MALPRAKTIK DOKTER DALAM PERSPEKTIF HUKUM

Download 184 Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 10 No. 2 Mei 2010 dari munculnya perbedaan pendapat ini .... jalankan operasi amandel terhadap pasien (Sant...

1 downloads 572 Views 181KB Size
183

MALPRAKTIK DOKTER DALAM PERSPEKTIF HUKUM Bambang Heryanto Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah Abstract Now adays malpractice problem of health service start to talk lively by the various society. That matter is seen from many indictment cases of malpractice which submitted by the society about a doctor profession that regarded to have inflicted the patient in conducting a task which are cause the wrong act, feel pain, injury, physical defect, body damage, and death. A law justification of doctor malpractice which is cause the inflicted of patient, so the victim side could be demand for materil and immateril compensation. The law protection of doctor malpractice’s victim who is demand to the court, a judges could apply a Res Ipsa Loquitur doctrine, its means that the victim sides does not need to prove the presence of carelessness substances, but they enough to show the truth. Keyword: Malpractice, Res Ipsa Loquitur Abstrak Pada saat ini, masalah malpraktik pelayanan kesehatan mulai dibicarakan oleh berbagai kalangan dalam masyarakat. Hal itu terlihat dari banyaknya dakwaan kasus malpraktik yang disampaikan oleh masyarakat tentang profesi dokter yang dalam melakukan tugasnya telah melakukan tindakan yang salah yang menimbulkan kesakitan, cedera, cacat fisik, kerusakan tubuh, dan kematian. Suatu pembenaran hukum dalam malpraktik dokter yang menyebabkan pasien merasa dirugikan, sehingga sisi korban mengajukan permintaan kompensasi materil dan immateril. Perlindungan hukum bagi korban terhadap tindakan malpraktik dokter dapat dilakukan dengan cara menuntut ke pengadilan, seorang hakim bisa menerapkan doktrin Res IPSA Loquitur, berarti pada diri korban tidak perlu membuktikan adanya zat kecerobohan, tetapi mereka cukup untuk menunjukkan kebenaran. Kata Kunci: Malpraktik, Res IPSA Loquitur

Pendahuluan Masalah malpraktik dalam pelayanan kesehatan pada akhir-akhir ini mulai ramai di bicarakan masyarakat dari berbagai golongan. Hal ini ditunjukkan banyaknya pengaduan kasuskasus malpraktik yang diajukan masyarakat terhadap profesi dokter yang dianggap telah merugikan pasien dalam melakukan perawatan. Sebenarnya dengan meningkatnya jumlah pengaduan ini membuktikan bahwa masyarakat mulai sadar akan haknya dalam usaha untuk melindungi dirinya sendiri dari tindakan pihak lain yang merugikannya. Dengan menggunakan jasa pengacara masyarakat mulai berani menuntut/menggugat dokter yang diduga telah melakukan malpraktik. Hal ini juga dari sudut lain menunjukkan bahwa tingkat pendidikan maupun tingkat kesejahteraan masyarakat semakin me-

ningkat pula sehingga masyarakat dapat menggunakan jasa pengacara untuk mencari keadilan bagi dirinya atas tindakan pihak lain yang dirasakan telah merugikannya. Munculnya keadaan yang sebenarnya sangat menggembirakan ini, sekaligus menunjukkan makin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, tetapi sayang, banyak menimbulkan masalah. Salah satu masa-lah yang dimaksud, sangat merisaukan adalah adanya perbedaan pendapat antara para pengacara dengan dokter atau tenaga kesehatan lainnya tentang apa yang dimaksud dengan malpraktik tersebut. Bertitik tolak dari adanya perbedaan pendapat ini, tidak mengherankan jika banyak putusan profesi dokter yang menyatakan tidak ada malpraktik yang dilakukan dokter seringkali ditanggapi secara sinis oleh pengacara. Menya-

184 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 2 Mei 2010

dari munculnya perbedaan pendapat ini yang seharusnya tidak perlu terjadi, perlu dicari solusi untuk menghilangkannya. Salah satu cara adalah dengan merumuskan bersama mengenai pengertian tentang apa yang dimaksud dengan malpraktik tersebut. Di samping itu perlu pula dicari kriteria mengenai batasan kewenangan dokter dalam melakukan pro fesinya, baik batasan secara hukum, moral, etik maupun disiplin (segi profesi), sehingga bila seorang dokter dalam melaksanakan tugas profesinya sudah memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan, sungguh pun ada pihak yang merasa dirugikan atas tindakan dokter, masyarakat tidak dengan seenaknya mengatakan bahwa dokter telah melakukan malpraktik.1 Perlu diperhatikan pula, bahwa dokter merupakan bagian dari masyarakat, karenanya dokter juga mengenal berbagai tanggungjawab terhadap norma-norma yang berlaku di masyarakat dimana dokter bertugas. Tanggungjawab sebagai anggota masyarakat ada kaitannya dengna tata tertib yang berlaku di masyarakat antara lain adalah norma hukum/tertib hukum yang berisi perintah/larangan bagi semua pihak yang melanggarnya serta memberikan sanksi yang tegas demi ketenteraman dan ketertiban dalam masyarakat yang bersangkutan. Tanggung jawab hukum itu sendiri muncul dan banyak macamnya, yaitu ada tanggungjawab menurut hukum perdata, menurut hukum pidana, menurut hukum administrasi, disamping juga menurut aturan atau hukum yang ditentukan oleh profesi sendiri. Tanggungjawab di bidang hukum perdata dapat ditemukan dalam setiap pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena dalam setiap pelayanan kesehatan selalu terjadi hubungan antara dua pihak sebagai subyek hukum, dimana masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban yang sama. Maksud dengan dua pihak disini adalah dokter dengan pasien. Hubungan antara dokter dengan pasien diatur dalam suatu perjanjian yang syaratnya harus dipenuhi secara umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW. Hubungan dokter dengan

pasien dalam hal perawatan kesehatan ini lazim disebut sebagai transaksi terapeutik. Dalam transaksi terapeutik ini dokter berkewajiban memberikan pelayanan sebaik mungkin sesuai dengan standar profesi (medik) yang telah di tentukan oleh undang-undang. Berdasarkan pernyatan di atas, maka tulisan ini akan mengkaji tentang Malpraktik dokter, tanggungjawab dokter dalam kasus malpraktik medis dan perlindungan hukum korban malpraktik dokter. Pembahasan Malpraktik Dokter Berbicara mengenai malpraktik atau malpractice berasal dari kata “mal” yang berarti buruk. Sedang kata “practice” berarti suatu tindakan atau praktik. Dengan demikian secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu tindakan medik “buruk” yang dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien. Di Indonesia, istilah malpraktik yang sudah sangat dikenal oleh para tenaga kesehatan se-benarnya hanyalah merupakan suatu bentuk medical malpractice, yaitu medical negligence yang dalam bahasa Indonesia disebut kelalaian medik. Menurut Gonzales dalam bukunya Legal Medical Pathology and Toxicology menyebutkan bahwa malpractice is the term applied to the wrongful or improper practice of medicine, which result in injury to the patient. Malpraktik menurut Azrul Azwar2 memiliki beberapa arti. Pertama, malpraktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter, oleh karena pada waktu melakukan pe-kerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau di lakukan oleh dokter pada umumnya, di dalam situasi dan kondisi yang sama. Kedua, mal-praktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter, oleh karena melakukan pekerjaan kedokteran di bawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat di lakukan oleh setiap dokter dalam 2

1

Hendrojono Soewono, 2007, Malpraktik Dokter, Surabaya: Srikandi, hlm.8

Azrul Azwar, 1996, Kriteria Malpraktik dalam Profesi Kesehatan, Makalah Kongres Nasional IV PERHUKI, Surabaya.

Malpraktik Dokter dalam Perspektif Hukum 185

siatuasi atau tempat yang sama. Ketiga, malpraktik adalah setiap kesalahan profesional diperbuat oleh seorang dokter, yang di dalamnya termasuk ke-salahan karena perbuatan-perbuatan yang tidak masuk akal serta kesalahan karena keterampilan ataupun kesetiaan yang kurang dalam menyelenggarakan kewajiban atau dan atau pun keper-cayaan profesional yang dimilikinya. Menurut Munir Fuady,3 malpraktik memiliki pengertian yaitu setiap tindakan medis yang dilakukan dokter atau orang-orang di bawah pengwasannya, atau penyedia jasa kesehatan yang dilakukan terhadap pasiennya, baik dalam hal diagnosis, terapeutik dan manajemen penyakit yang dilakukan secara melanggar hukum, kepatutan, kesusilaandan prinsip-prinsip profesional baik dilakukan dengan sengaja atau karena kurang hati-hatiyang menyebabkan salah tindak rasa sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan kerugian lainnya yang menyebabkan dokter atau perawat harus bertanggungjawab baik secara adminis-tratif, perdata maupun pidana. Hermien Hadiati Koeswadji yang mengutip pendpaat John D. Blum mengatakan, bahwa medical malpractice adalah suatu bentuk professional negligence yang oleh pasien dapat dimintakan ganti rugi apabila terjadi luka atau cacat yang diakibatkan langsung oleh dokter dalam melaksanakan tindakan profesional yang dapat diukur. Dalam sistem hukum Indonesia yang salah satu komponennya merupakan satu hukum substantif, diantara hukum positif yang berlaku tidak dikenal adanya istilah malpraktik, baik dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan maupun dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Memperhatikan Undang-Undang No 23 Tahun 1992 khususnya pada Pasal 54 dan 55 disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter. Sedangkan pada Undang-Undang No. 29 Tahun 2004, khususnya pada Pasal 84 dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter. Pegangan pokok yang dipakai untuk menetapkan adanya malpraktik cukup jelas yakni 3

Munir Fuady, 2005, Sumpah Hippocrates Aspek Hukum Malpraktik Dokter, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.2-3

adanya kesalahan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter pada waktu melakukan perawatan dan ada pihak lain yang dirugikan atas tindakan dokter tersebut. Kenyataannya ternyata tidak mudah untuk menetapkan kapan adanya kesalahan profesional tersebut. Menurut Azrul Azwar yang mengutip pendapat dari Benard Knight bahwa dalam praktik sehari-hari ada tiga kriteria untuk menentukan adanya kesalahan profesional. Pertama, adanya kewajiban dokter menyelenggarakan pelayanan kedokteran bagi pasiennya, titik tolak dari kemungkinan terjadinya kesalahan profesional yang menimbulkan kerugian bagi orang lain tersebut adalah adanya kewajiban pada diri dokter melakukan tindakan medik atau pelayanan kedokteran bagi pasiennya, kewajiban yang dimaksud disini, yang tunduk pada hukum perjanjian, maupun mempunyai beberapa ciri khusus danjika disederhanakan dapat dibedakan atas professional ditues, doctor patient rela-tionship, informed consent, professional medi-cal standard, lingkup profesional yang dimiliki tersebut hanya untuk upaya yang akan di laksanakan saja, bukan untuk hasil akhir. Kedua, adanya pelanggaran kewajiban dokter terhadap pasiennya, sesuai dengan pengertian kewajiban sebagaimana dikemukakan di atasmaka pelanggaran yang dimaksud disini hanyalah yang sesuai dengan kelima ciri kewajiban profesional seorang dokter, misalnya, tidak melakukan kewajiban profesional seorang dokter sebagaimana yang lazimnya dilakukan oleh setiap dokter; telah terjadi kontra terapetik, tetapi dokter tidak melakukan kewajiban profesionalnya, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh seorang dokter pada setiap pelayanan kesehatan; tidak meminta persetujuan pasien sebelum melakukan suatu tindakan medik dan atau pelayanan kedokteran; tidak melaksanakan tindakan medik atau pelayanan kedokteran sesuai dengan standar profesi; dan menjanjikan hasil tindakan medik pelayanan kedokteran yang kenyataannya tidak sesuai dengan perjanjian. Ketiga, sebagai akibat pelanggaran kewajiban timbul kerugian terhadap pasien, kerugian yang dimaksud disini semata-mata

186 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 2 Mei 2010

terjadi karena adanya kesalahan profesional, bukan karena resiko suatu tindakan medik. Tanggungjawab Dokter Dalam Kasus Malpraktik Medis (Medical Malpractice) Kritik masyarakat terhadap profesi kedokteran di Indonesia akhir-akhir ini makin sering muncul di berbagai media, baik media cetak maupun elektronik. Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan tentang perlindungan hukum yang merupakan hak dasar sosial (the right to health care) dan hak individu (the right of self determination), menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak persoalan malpraktik atas kesadaran hukum msyarakat diangkat menjadi masalah perdata. Misalnya kasus Prita Mulyasari, dimana Prita pada awalnya berobat ke RS. Omni Internasional tentang keluhan yang di rasa. Dari hasil tes laboratorium menunjukan positif demam berdarah (keluhan panas tiga hari, sakit kepala berat, mual, muntah, lemas, sakit tenggorokan dan tidak ada nafsu makan). Namun setelah diminta hasil tesnya, terjadilah awal sengketa, karena antara hasil tes dan diagnosa tidak sesuai. Prita dimenangkan karena dukungan masyarakat dengan “Koin Prita” yang hampir setiap hari diberitakan dalam media cetak dan elektronik.4 Di dalam RS Puri Cinere, Kodya Depok terjadi kasus yaitu Dr. Wardhani, Sp.THT menjalankan operasi amandel terhadap pasien (Santi Marina). Setelah operasi selesai dan ke-mudian saar dari pembiusan Santi Marina suaranya berubah menjadi Bindeng. Oleh ka-rena itu Santi Marina menggugat Dr. Wardhani, Sp.THT untuk mempertanggungjawabkan akibat malpraktik5. Terhadap kasus-kasus tersebut, apakah dokter harus bertanggung-jawab bila terjadi malpraktik medik? Aspek hukum perdata yang menyangkut gugatan seorang pasien terhadap dokter yang 4

5

Putusan No. 300/Pdt.G/2009/PN.Tangerang Internasional Melawan Prita Mulyasari Putusan MARI No.957K/Pdt/2006

RS.Omni

menanganinya hampir semuanya adalah masalah tuntutan ganti kerugian. Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karenasalahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dalam perkembangannya diperluas menjadi 4 (empat) kriteria. Pertama, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; atau kedua, melawan hukum hak subjektif orang lain; atau ketiga, melawan kaidah tata susila; atau keempat bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.6 Masalah tanggungjawab dokter dalam kasus malpraktik medik, ada relevansi dengan perbuatan melanggar hukum Pasal 1366 dan 1364 K.U.H Perdata,7 yaitu pertama pasien harus mengalami suatu kerugian; kedua, ada kesalahan atau kelalaian (disamping perseorangan, rumah sakit juga dapat bertanggungjawab atas kesalahan atau kelalaian pegawainya); ketiga, ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan; dan keempat, perbuatan itu melanggar hukum. Apabila seseorang pada waktu melakukan perbuatan melawan hukum itu tahu betul perbuatannya akan berakibat suatu keadaan tertentu yang merugikan pihak lain dapat dikatakan bahwa pada umumnya seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Syarat untuk dapat dikatakan bahwa seorang tahu betul hal adanya keadaan-keadaan yang menyebabkan kemung-kinan akibat itu akan terjadi.8 Kesalahan bertindak ini terjadi karena kurangnya ketelitian dokter di dalam melakukan observasi terhadap pasien sehingga terjadilah hal yang tidak diinginkan bersama. Ketidaktelitian ini merupakan tindakan yang masuk di dalam kategori tindakan melawan hukum hukum, sehing6

7 8

Bambang Heryanto, 2006, Diktat Kuliah Perbuatan Melawan Hukum, Purwokerto: FH Unsoed, hlm.21 Hendrojono Soewono, Op.cit, hlm.147 Rosa Agustina, 2004, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Fakultas Hukum UI, hlm.47

Malpraktik Dokter dalam Perspektif Hukum 187

ga menyebabkan kerugian yang harus ditanggung oleh pasien.9 Vollman mempersoalkan apakah syarat kesalahan (schuldvereiste) harus diartikan dalam arti subyektifnya (konkrit). Dalam hal syarat kesalahan harus diartikan dalam arti subjektifnya maka mengenai pelaku pada umumnya dapat diteliti apakah perbuatannya dapat di persalahkan kepadanya, apakah keadaan jiwanya adalah sedemikian rupa sehingga ia dapat menyadari maksud dari arti perbuatannya dan apakah si pelaku pada umumnya dapat dipertanggungjawabkan. Adapun mengenai syarat kesalahan dalam arti obyektif maka yang dipersoalkan adalah apakah si pelaku pada umumnya dapat dipertanggungjawabkan, dapat dipersalahkan mengenai suatu perbuatan tertentu dalam arti bahwa ia harus dapat mencegah timbulnya akibat-akibat dari perbuatannya yang konkrit. Si pelaku secara lain daripada yang seharusnya dilakukannya dan dalam hal yang demikian itu kesalahan dan sifat melawan hukum menjadi satu.10 Perlindungan Hukum Korban Malpraktik Dokter Doktrin adalah pendapat para ahli hukum dan landasan penggunaan doktrin yaitu asas hukum yang mengedepankan communis opinio doctorum atau seseorang tidak boleh menyimpang dari pendapat umum para sarjana atau ahli hukum. Doktrin yang berlaku di dalam ilmu kesehatan yaitu Res Ipsa Loquitur artinya doktrin yang memihak pada korban. Pembuktian dalam hukum acara perdata yang menentukan bahwa pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum dalam bentuk kelalaian tidak perlu membuktikan adanya unsur kelalaian tersebut, cukup menunjukkan faktanya. Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan. Doktrin ini biasanya digunakan di dalam kasus-kasus malpraktik kedokteran.11

9

10

11

Alexandra Indriyanti Dewi, 2008, Etika Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, hlm.267 Vollman dalam Moegni Djojodirdjo, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Yogyakarta: Pradnya Paramita, hlm.66 Alexandra Indriyanti Dewi, op.cit, hlm.198-200

Syarat berlakunya Res Ipsa Loquitur adalah, pertama, kejadian tersebut tidak biasanya terjadi; kedua, kerugian tersebut tidak ditimbulkan pihak ketiga; ketiga, instrumen yang di gunakan di dalam pengawasan pelaku tindakan; dan keempat, bukan kesalahan korban. Doktrin ini dirasa lebih memberikan kedilan pada pasien, mengingat pasien adalah orang awam bidang ilmu kedokteran. Sangatlah bertentangan dengan asas keadilan jika pasien yang menjadi korban suatu tindakan kelalaian, masih harus membuktikan terjadinya kelalaian. Padahal pasien sama sekali tidak tahu proses bagaimana kelalaian tersebut terjadi, karena ia telah mempercayakan hidup dan kesehatannya pada dokter yang dianggap lebih ahli. Untuk itu beban pembuktian ini oleh doktrin Res Ipsa Loquitur dibebankan kepada petugas medis yang dianggap lebih tahu proses dan standar yang digunakan di dalam melakukan tindakan medis tersebut. Pasien tidak perlu membuktikan/membeberkan proses terjadinya kelalaian, cukup memperlihatkan akibat yang dideritanya saja. Dengan demikian, doktrin Res Ipsa Loquitur sebenarnya merupakan semacam bukti sirkum-tansial (circumstantial evidence), yakni suatu bukti tentang suatu fakta dimana faktafaktanya dapat digunakan untuk menarik kesimpulan. Kasus malpraktik dokter yang menimpa pasien Santi Marina yang telah dibuktikan dengan putusan Mahkamah Agung (Putusan Mahkamah Agung Nomor: 957K/Pdt/ 2006), di mana Santi Marina mengalami perubahan suara setelah operasi amandel menjadi bindeng (sengau) adalah kejadian yang tidak biasa dalam operasi tersebut. Kejadian ini sudah menun-jukkan bahwa Santi Marina adalah korban yang harus mendapat perlindungan hukum. Karena dalam doktrin Res Ipsa Loquitur, korban sudah dapat menunjukkan “the thing speaks for it self”. Dalam kasus Santi Marina, penulis paparkan putusan M.A.R.I Nomor 957K/Pdt/2006 sebagai berikut.

188 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 2 Mei 2010

Para Pihak dan Pokok Perkara Bahwa Mahkamah Agung memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara : 1. DR. WARDHADI, SP.THT, dalam kedudukan dan jabatannya selaku Dokter Spesialis THT di RS Puri Cinere, bertempat tinggal di Jl. Maribaya Blok F2 No. 1 Puri Cinere Sawangan, Kodya Depok, dalam hal ini memberi kuasa kepada Titi Sansiwi, SH, Advokat, berkantor di Komp. Villa Bintaro Indah Blok B1q No. 15A, Ciputat 15414, Pemohon Kasasi dahulu Tergugat I/Pem-banding; 2. SHANTI MARINA, bertempat tinggal di Perumahan Bumi Karang Indah Jl. Bumi Asih Blok A2 No. 8 RT 013/Rw 03, Kel. Lebak Bulus, Kec. Cilandak, Jakarta Selatan, Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding; 3. RUMAH SAKIT PURI CINERE, berkedudukan di Jl. Maribaya Blok F2. No. 1 Puri Cinere Sawangan, Kodya Depok, turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat II/Turut Terbanding; Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang Termohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat telah menggugat sekarang Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi sebagai Tergugat I, II dimuka persidangan Pengadilan Negeri Cibinong pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut. Pertama, bahwa Penggugat telah menjalani operasi amandel pada tanggal 31 Maret 2003 yang dilakukan oleh Tergugat I di RS Puri Cinere (Tergugat II); kedua, bahwa sebelum operasi dilakukan Tergugat I mengharuskan penggugat melakukan pemeriksaan/test darah dan rontgen paru-paru yang hasilnya menyatakan Penggugat dalam keadaan baik dan siap untuk menjalani operasi amandel; ketiga, bahwa 1 (satu) hari pasca operasi Penggugat merasakan adanya perbedaan pada suaranya yang sebelum operasi dalam keadaan baik/ normal, akan tetapi setelah operasi berubah menjadi sengau/bindeng dan ketika ditanyakan kepada Tergugat I dikatakan penyebabnya adalah luka operasi karena operasi baru dilakukan; keempat, bahwa karena belum ada perubahan suara Penggugat, maka pada tanggal 13 Mei Penggugat melakukan pemeriksaan dan konsultasi kepda

Dr. Retno Wardhani, Sp.THT, dokter spesialis lainnya pada Tergugat II, setelah dilakukan pemeriksaan dengan alat sinuscopy dinyatakan bahwa tulang belakang dengan langit-langit atas daerah kerongkongan tidak rapat sehingga ada angin yang masuk meng-akibatkan suara di hidung; kelima, bahwa untuk memastikan penyebab berubahnya suara dan keluhan lain yang timbul setelah operasi, maka pada tanggal 26 Mei 2003 Penggugat memeriksa dan mengkonsultasikannya kepada dokter spesialis THT lainnya yaitu : Prof. Dr. Hendarto Hendarmin, Sp,THT. Dari hasil pemeriksaan tersebut dinyatakan bahwa tulang sebelah kiri lebih pendek dari sebelah kanan yang seharusnya sama-sama panjang. Keenam, bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan keterangan kedua dokter spesialis tersebut, maka patut diduga Tergugat I telah melakukan kesalahan sewaktu operasi amandel Penggugat dengan kata lain operasi yang di lakukan Tergugat I tidak sesuai dengan prosedur standar pelayanan profesi maupun standar pelayanan medis; ketujuh, bahwa akibat operasi yang dilakukan oleh Tergugat I, mengakibatkan Penggugat: suara menjadi sengau/ bindeng se-hingga tidak bisa berkomunikasi secara normal; napas menjadi pendek; kalau bicara terkadang tertahan karena napas yang pendek; kalau menguat langit-langit dan tulang sebelah kiri kerongkongan terasa sakit seperti tertarik; jika minum dan makan tidak nyaman seperti ada yang mengganjal dan keluar dari hidung. Kedelapan, bahwa perbuatan Tergugat I yang telah melakukan operasi tidak sesuai dengan prosedur pelayanan profesi dan standar pelayanan medis mengakibatkan suara Penggugat seperti yang disebutkan di atas adalah perbuatan melawan hukum; kesembilan, bahwa oleh karena Tergugat I sedang melaksanakan tu-gasnya melakukan operasi amandel terhadap Penggugat di tempat Tergugat Ii, maka Tergugat II juga harus bertanggungjawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I; kesepuluh, bahwa akibat dari perbuatan me-lawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I, Penggugat telah mengalami

Malpraktik Dokter dalam Perspektif Hukum 189

kerugian materiel dan immateriel sebesar Rp 1.020.825.375,- (satu milyar dua puluh juta delapan ratus dua puluh lima ribu tiga ratus tujuh puluh lima rupiah) yang perinciannya seperti dalam gugatan, dan semua kerugian ini harus dibayar secara tang-gung renteng oleh Tergugat I dan Tergugat II; dan kesebelas, bahwa agar Tergugat I dan Ter-gugat II mau melaksanakan isi putusan perkara ini, mohon Pengadilan menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar uang paksa sebesar Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah) setiap hari, apabila lalai melaksanakan isi putusan perkara ini. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penggugat mohon kepada Pengadilan Negeri Cibinong agar terlebih dahulu meletakkan sita jaminan atas sebidang tanah dan bangunan rumah milik Tergugat I di Graha Cinere Jl. Nusa Penida XV Gg. III No. 4 Kel. Limo, Kec. Limo. Kodya Depok dan sebidang tanah dan bangunan di atasnya stempat dikenal dengan RS Puri Cinere, milik Tergugat II terletak di Jl. Maribaya Blok F2 No.1 Puri Cinere, Sawangan, Kodya Depok dan selanjutnya menuntut kepada Pengadilan Negeri tersebut supaya memberikan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu, yaitu pertama, menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; kedua, menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilaksanakan terlebih dahulu atas Sebidang tanah dan bangunan rumah tinggal yang berdiri di atas milik Tergugat I terletak di Graha Cinere Jl. Nusa Penida XV Gg. III No. 4 Kel. Limo, Kec. Limo, Kotamadya Depok; Sebidang tanah dan bangunan rumah tinggal yang berdiri di atasnya setempat dikenal dengan nama RS Puri Cinere milik Tergugat II terletak di Jl. Maribaya Blok F2 No. 1, Puri Cinere, Sawangan Kotamadya Depok. Ketiga, menyatakan Tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum dan Tergugat II turut bertanggungjawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I; keempat, menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat sebesar Rp 1.020.825. 375,- (satu milyar dua puluh juta delapan ratus dua puluh lima ribu tiga ratus tujuh puluh lima

rupiah); kelima, menghukum/memerintahkan Tergugat I dan Tergugat II untuk memulihkan kembali kesehatan Penggugat dalam keadaan semula sebagaimana halnya sebelum operasi. Apabila Tergugat I dan Tergugat II tidak mau/ sanggup melaksanakannya, maka Penggugat akan melaksanakannya sendiri dan Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng harus mengganti biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Penggugat; keenam, menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar uang paksa sebesar Rp 500.000,(lima ratus ribu rupiah) setiap hari, apabila lalai melaksanakan isi putusan perkara ini; ketujuh, menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uit voorbaar bij voorraad) meskipun ada upaya verzet, banding, kasasi dan atau upaya hukum lainnya; dan kedelapan, menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk mem-bayar biaya perkara; atau kesembilan, apabila Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono); Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Pengadilan Negeri Cibinong memberi putusan sebagai berikut. Pertama, mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; kedua, menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan dalam perkara ini, sebagaimana dalam berita acara sita jaminan Nomor: 24/CB/ Pdt/2004/PN.Cbn.jo.126/Pdt.G/2003/PN.Cbn; ketiga, menyatakan Tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum dan Tergugat II turut bertanggungjawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I; keempat, menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar agnti rugi materiel dan immateriel kepada Penggugat se-besar Rp 520.825.375,- (lima ratus dua puluh ju-ta delapan ratus dua puluh lima ribu tiga ratus tujuh puluh lima rupiah) dengan perincian 70% kewajiban Tergugat I dan 30% kewajiban Tergugat II; dan kelima, menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;

190 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 2 Mei 2010

Dasar tuntutan dan Gugatan Hukum dalam Sengketa Medik Dasar-dasar hukum yang dipakai oleh pasien untuk menuntut dokter atau sarana kesehatan dapat didasarkan atas pasal-pasal sebagai berikut. Pertama, secara eksplisit dalam undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan tidak termuat pengertian sengketa medik, tetapi dalam undang-undang tersebut diatur mengenai ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan, seperti yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 55 ayat (1) menentukan bahwa Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan, dan ayat (2) menentukan bahwa Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kedua, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 66 ayat (1) dan ayat (3). Pasal 66 ayat (1) menentukan bahwa setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia; dan ayat (3) menentukan bahwa Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan. Secara implisit dikatakan bahwa sengketa medik adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran. Dengan demikian maka sengketa medik merupakan sengketa yang terjadi antara pengguna pelayanan medik dengan pelaku pelayanan medik dalam hal ini antara pasien dan dokter berikut sarana kesehatan. Ketiga, Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menentukan bahwa barang siapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang mendapat luka-luka berat,

diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun. Keempat, Pasal 360 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ayat (2) menentukan bahwa barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun; dan ayat (2) menentukan bahwa barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-luka berat sedemikian rupa sehingga timbul penyakit halangan, menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah. Kelima, Pasal 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menentukan bahwa jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan, dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan. Keenam, Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menrebitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Ketujuh, Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa setiap orang yang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya. Kedelapan, Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang di sebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barangbarang yang berada di bawah pengawasannya. Kesembilan, Pasal 1370 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya seseorang, maka suatu atau isteri yang ditinggalkan, anak

Malpraktik Dokter dalam Perspektif Hukum 191

atau orang tua si korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan korban mempunyai hak menuntut ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan; dan kesepuluh, Pasal 1371 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut, juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan. Dari pasal-pasal yang disebutkan di atas, kalau dikaitkan dengan tindakan medik, maka pasal-pasal tersebut sebenarnya belum cukup mengakomodir dari suatu proses tindakan medis tetapi hanya mengakomodir hasil dari suatu tindakan medis, yaitu adanya kerugian pada pihak pasien. Padahal dalam pelayanan medik, hasil yang akan dicapai bukanlah resultaat verbintennis melainkan inspanning verbitennis (upaya yang sunggu-sungguh). Dengan demikian, bila terjadi kerugian pada pihak pasien, maka tidak selalu berarti ada kelalaian pada pihak pelaku pelayanan medik. Disamping itu, dilihat dari jenis konsekuensi dari perbuatan melawan hukum khususnya perbuatan melawan hukum terhdap tubuh orang, maka ganti rugi dapat diberikan jika terdapat salah satu unsur-unsur sebagai berikut. Pertama, kerugian ekonomis, misalnya pengeluaran biaya pengobatan dan rumah sakit; kedua, luka atau cacat terhadap tubuh korban; ketiga, adanya rasa sakit secara fisik; dan sakit secara mental, seperti stress, sangat sedih, rasa bermusuhan yang berlebihan, cemas, dan berbagai gangguan mental/jiwa lainnya. Kitab undang-undang Hukum Perdata (K.U.H. Perdata) tidak dengan tegas atau bahkan tidak mengacu secara rinci tentang ganti rugi tertentu, atau salah satu aspek dari ganti rugi, maka hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan ganti rugi tersebut sesuai dengan asas kepatutan, sejauh hal tersebut memang dimintakan oleh pihak korban/penggugat. Justifikasi terhadap kebebasan hakim ini adalah

karena penafsiran kata rugi, biya dan bunga tersebut sangat luas dan dapat mencakup hampir segala hal yang bersangkutan dengan ganti kerugian. Ganti rugi dalam malpraktik dokter dapat berupa ganti rugi immateriil yang jumlahnya tidak dapat diperhitungkan secara matematis, tetapi lebih cenderung pada kebijaksanaan hakim. Pertimbangan hakim meliputi beratnya beban mental yang dipikul oleh korban, status dan kedudukan darikorban, situasi dan kondisi dimana perbuatan melawan hukum malpraktik terjadi, dan situasi dan kondisi mental korban dan pelaku. Penutup Simpulan Beberapa hal dapat disimpulkan dari pembahasan di atas. Pertama, Malpraktik dokter merupakan bentuk kelalaian dari dokter dalam melakukan tindakan medik yang mengakibatkan rasa sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan kerugian lainnya. Kedua, dokter dapat dipertanggungjawabkan terhadap kasus malpraktik yang merugikan pasien karena perbuatan melawan hukum yaitu bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melawan hukum hak subyektif orang lain; melawan kaidah kesusilaan, dan bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang. Ketiga, pasien sebagai pihak korban dari malpraktik dokter, harus mendapat perlindungan hukum, sesuai dengan doktrin Res Ipsa Loquitur (keberpihakan kepada korban) dengan menuntut ganti kerugian materiil dan immateriil.