MANAJEMEN RANTAI PASOK (SCM) KOPI

Download MANAJEMEN RANTAI PASOK (SCM) KOPI. Coffee Supply Chain Management. Reni Kustiari. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jl. A. Yani...

0 downloads 415 Views 417KB Size
MANAJEMEN RANTAI PASOK (SCM) KOPI Coffee Supply Chain Management Reni Kustiari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No.70 Bogor 16161

ABSTRACT In general, supply chain of coffee beans is controlled by the domestic roasters as the branches of roasters abroad operating also as the exporters with foreign capital facility. In the coffee export market, exporters with foreign capital facility dominate the coffee bean market for their ability to control distribution supply lines, working with capital support from the company abroad and soft loans from the banks of the countries of origin (6% per year), and comprehensive market information. There are eight coffee marketing channels, namely: (1) farmers-village traders-middlemen-wholesalers-exporters-domestic roaster; (2) farmers-farmers’ groups- middlemen - exporters-domestic roasters; (3) farmers – farmers’ groups - domestic roaster; (4) farmers – farmers’ groups - domestic roaster (partnership); (5) farmers- village traders- processors of coffee powder; (6) farmers – processor of coffee powder; (7) farmers – traders at district level - processors of coffee powder; (8) farmers - traders at district level middlemen -exporters. The marketing pattern beneficial to the farmers is the direct marketing pattern from farmers to processors of coffee powder. This pattern is the most favorable pattern for farmers because, although the farmers have to pay transport cost but income shares of the farmers were Rp 3,250/kg or the largest farmers’ share compared to other patterns. To revitalize coffee farming in dealing with trade liberalization and globalization, the government should focus on production and post-harvest technologies development such as recommended technology application and harvesting the red beans to produce high quality coffee and possible of wet processing to get higher price. Key words: coffee bean, farmers, coffee roasters, foreign capital, post harvest ABSTRAK Secara umum, rantai pasokan biji kopi dikuasai oleh perusahaan roasters domestik yang merupakan cabang roaster di luar negeri dan pengekspor dengan fasilitas PMA di dalam negeri. Khusus untuk pasar kopi ekspor, pengekspor dengan fasilitas PMA mendominasi pasar biji kopi karena kemampuannya dalam menguasai jalur distribusi pasokan, dukungan modal kerja dari induk perusahaan di luar negeri dan bunga pinjaman bank dari negara asal yang murah (6% per tahun) dan penguasaan informasi pasar. Ada delapan jalur pemasaran kopi yaitu: (1) petanipedagang pengumpul-pedagang besar- pedagang perantara-eksportir-domestik roaster; (2) petani- kelompok tani- pedagang perantara-eksportir-domestik roaster; (3) petani - kelompok tani - domestik roaster; (4) petani - kelompok tani - domestik roaster (dengan pola kemitraan); (5) petani- pedagang pengumpul- pengolah kopi bubuk; (6) petani - pengolah kopi bubuk; (7) petani - pedagang besar- pengolah kopi bubuk; (8) petani - pedagang besar-pedagang perantaraeksportir. Pola tata niaga yang menguntungkan petani yaitu pola pemasaran dari petani langsung ke pengolah kopi bubuk. Pola pemasaran ini merupakan pola yang paling menguntungkan bagi petani, karena walaupun petani harus mengeluarkan biaya transport namun kontribusi yang diterima petani dari pola tersebut mencapai Rp 3.250/kg, terbesar dibandingkan dengan pola tata niaga yang lainnya. Dalam rangka revitalisasi usahatani kopi menghadapi liberalisasi dan globalisasi perdagangan, maka perhatian yang lebih serius perlu diarahkan kepada upaya pengembangan teknologi produksi dan pasca panen seperti penerapan teknologi yang sesuai anjuran dan panen petik merah agar dihasil produk biji kopi yang berkualitas tinggi dan dapat diproses secara basah yang akan mendapat harga relatif tinggi di pasar biji kopi. Kata kunci: biji kopi, petani, pengolah kopi, modal asing, pasca panen

100

PENDAHULUAN Peran komoditas kopi bagi perekonomian Indonesia masih cukup penting, baik sebagai sumber pendapatan bagi petani kopi, sumber devisa maupun penyedia lapangan tenaga kerja melalui kegiatan pengolahan, pemasaran dan perdagangan (ekspor dan impor). Pada tahun 1994, komoditas kopi merupakan primadona di sub sektor perkebunan karena nilai ekspornya paling tinggi di antara komoditas tanaman perkebunan lainnya, yaitu sebesar US$ 723 juta atau 25,6 persen dari nilai ekspor sektor pertanian. Namun, setelah harga kopi terus menurun karena terjadi kelebihan suplai kopi di pasar dunia, pada tahun 2009 perolehan devisa dari komoditas kopi menurun tajam dan hanya menghasilkan nilai ekspor sebesar US$ 824.015 ribu atau 3,60 persen dari nilai ekspor seluruh komoditas pertanian, 0,85 persen dari nilai ekspor non-migas dan 0,71 persen dari nilai total ekspor (Statistik Pertanian, 2010). Walaupun sumbangan ekspor kopi terhadap penerimaan devisa negara relatif kecil dan cenderung terus menurun namun kopi telah memberikan manfaat tersendiri bagi kelangsungan hidup sebagian masyarakat Indonesia karena mampu memberi penghidupan pada sekitar 2,06 juta jiwa (Statistik Perkebunan, 2011), jumlah tersebut hanya dari lingkungan perkebunan, belum termasuk industri kopi (roasters) yang melibatkan cukup banyak tenaga kerja. Pada tahun 1984 pangsa ekspor kopi Indonesia menduduki nomor tiga tertinggi setelah Brasilia dan Kolombia. Bahkan, untuk kopi robusta ekspor Indonesia menduduki peringkat pertama di dunia. Sebagian besar ekspor kopi Indonesia adalah jenis kopi robusta (93%), sisanya adalah jenis kopi arabika. Namun, sejak tahun 1997 posisi Indonesia tergeser oleh Vietnam, dengan menjadi negara pengekspor kopi terbesar keempat sesudah Brasilia, Vietnam dan Kolombia. Pesatnya perkembangan produksi kopi dunia telah menyebabkan kelebihan pasokan dan mengakibatkan persaingan antar negara produsen menjadi semakin ketat. Dalam periode 2000-2010, rata-rata produksi kopi dunia mencapai 7,15 juta ton (ICO, 2011). Brasilia memproduksi 2,31 juta ton yang 24 persen di antaranya jenis robusta. Diikuti Vietnam 949,44 ribu ton, 95 persen dari jumlah itu berupa robusta, Kolombia 657,11 ribu ton (robusta 2 persen), Indonesia 482,19 ribu ton (robusta 90 persen), Ethiopia 308,11 (arabika 100 persen). Laju pertumbuhan tertinggi terjadi di Ethiopia yaitu sebesar 6,95 persen per tahun, diikuti oleh Indonesia, Vietnam dan Brasilia masing-masing sebesar 4,1 persen, 3,8 persen, dan 2,9 persen per tahun. Sebaliknya produksi kopi di Kolumbia menurun sekitar 2,3 persen per tahun. Sementara rata-rata jumlah permintaan impor pada periode yang sama hanya 5,69 juta ton. Perinciannya adalah Amerika 1,39 juta ton, Eropa 3,67 juta ton, Jepang 430 ribu ton dan ROW 180 ribu ton (ICO, 2011). Laju peningkatan produksi kopi dunia yang drastis sejak tahun 1999 tersebut telah menyebabkan harga kopi berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Tanaman kopi sangat peka terhadap bencana embun upas dan kekeringan karena dapat meningkatkan serangan penyakit pada tanaman dan menggagalkan sebagian besar pertanaman kopi. Karena tanaman baru akan menghasilkan sesudah 3-5 tahun, maka produksi kopi sangat tergantung pada guncangan penawaran, akibatnya harga kopi dunia sangat berfluktuatif. Selain kelebihan pasokan, yang menyebabkan harga jatuh adalah siklus produksi dan harga, yang biasanya terjadi pada komoditas primer. Untuk kopi siklusnya 35 tahun, sekali dalam 35 tahun harga turun ke titik terendah, kemudian naik lagi sejalan dengan berkurangnya pasokan (Kopi Indonesia, 2001b). Gambar 1 menunjukkan bahwa harga kopi di pasar dunia cenderung fluktuatif, baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini pada akhirnya akan berpengaruh pada perkembangan harga kopi di pasar domestik. Penurunan harga kopi arabika dunia tidak 101

terlalu mempengaruhi harga kopi arabika domestik. Hal ini terjadi diduga karena kualitas kopi arabika dari Indonesia lebih baik dibandingkan dengan kopi sejenis dari negara lainnya sehingga pengaruhnya tidak begitu besar. Namun karena produksi kopi arabika relatif kecil, yakni sekitar 10 persen dari total produksi nasional maka kondisi keseluruhan perkopian nasional tetap stagnan. Fluktuasi harga kopi yang terjadi tidak terlepas dari perkembangan produksi kopi dunia, terutama produksi kopi Brasilia sebagai produsen utama. Peningkatan harga kopi tahun 1994 karena penurunan ekspor dari Brasilia sebagai akibat dari satu kali bencana kekeringan dan dua kali embun upas yang terjadi dalam satu tahun (ITC, 2002). Tingginya harga kopi arabika pada tahun 1997 karena terjadi penurunan volume ekspor dari beberapa negara pengekspor yang mengalami penurunan produksi sebagai akibat bencana El Nino dan karena perkebunan kopi di Brasilia terkena embun upas, terakhir melanda Brasilia pada tahun 2000. Harga kopi arabika dan kopi robusta yang menurun dan mencapai harga terendah pada tahun 2001 disebabkan oleh produksi kopi di Brasilia (kopi arabika) dan Vietnam (kopi robusta) mengalami peningkatan yang drastis sebagai dampak dari keberhasilan program-program peningkatan produktivitas di kedua negara tersebut. Selain itu, harga yang turun drastis ini diduga sebagai akibat dari permainan pembeli-pembeli kelas dunia (roasters dan pengimpor) atau perusahaan multinasional yang melakukan pembelian melalui perwakilan yang tersebar di sentrasentra kopi negara produsen, seperti Nestlé di Lampung. Sejak tahun 2001 harga kopi robusta dan arabika di pasar dunia cenderung meningkat, namun harga kopi di pasar domestik masih rendah sampai dengan tahun 2005. Harga kopi di pasar domestic cenderung bergerak naik bersama dengan peningkatan harga di pasar dunia (Gambar 1). Oleh karena itu, agar dapat meningkatkan daya saing di pasar global perlu dilakukan kajian rantai pasok untuk komoditas kopi yang merupakan salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia.

Sumber: ICO dan Ditjenbun, 1990-2009 (diolah)

Gambar 1.

Harga Kopi Robusta dan Kopi Arabika di Pasar Domestik dan Pasar Internasional, 1990-2009

Berdasarkan sentralitas produksi maka Kabupaten Tanggamus dan Lampung Barat terpilih sebagai kabupaten contoh, masing-masing merupakan daerah sentra 102

penghasil kopi robusta. Untuk melengkapi data dan informasi rantai pasok komoditas kopi maka dilakukan pengumpulan data dan informasi melalui wawancara dengan petani, pedagang, eksportir dan pengolah. KEBIJAKAN TATA NIAGA KOPI Departemen Perdagangan mengatur tatacara dan prosedur ekspor kopi dengan mengeluarkan SK Menteri Perdagangan RI No. 26/MPP/Kep/I/2006 menggantikan SK No.29 tanggal 22 Januari 1999. Selain itu departemen perdagangan menerbitkan suratsurat yang berkaitan dengan kegiatan ekspor, termasuk Surat Persetujuan Ekspor Kopi (SPEK), dan Certificate of Origin (CO) dari ICO serta memberi penanganan bila terjadi kasus-kasus dalam perdagangan kopi, baik perdagangan domestik maupun ekspor serta melakukan pembinaan terhadap para pengekspor. Sedangkan Dinas Perkebunan bertugas melakukan pembinaan kepada perkebunan–perkebunan besar swasta (PBS), perkebunan milik negara (PTPN) dan perkebunan rakyat. Peranan utama Asosiasi Pengekspor Kopi Indonesia (AEKI) adalah membantu kegiatan pemasaran, terutama dalam mencari pasar baru/diversifikasi pasar. Untuk maksud tersebut, AEKI mempererat hubungan kerjasama dengan masyarakat perkopian internasional serta instansi atau lembaga yang terkait dengan bidang perkopian dalam upaya meningkatkan kinerja perkopian Indonesia. Selain itu AEKI bersama-sama dengan pemerintah melakukan upaya untuk meningkatkan pendapatan petani kopi dan penerimaan devisa negara. AEKI mendirikan Pusat Penyuluhan dan Pengembangan Kopi (P3K). Dalam pembangunan P3K ini BPD AEKI meminta bantuan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember. Pasal 2 ayat 1 dalam SK Menteri Perdagangan RI No. 26/MPP/Kep/I/2006 disebutkan bahwa ekspor kopi hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah diakui sebagai pengekspor kopi oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri. Pasal 2 ayat 2, pengakuan sebagai pengekspor kopi berlaku tanpa batas waktu selama perusahaan yang bersangkutan melaksanakan kegiatan ekspor sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pengakuan sebagai pengekspor kopi dinyatakan tidak berlaku apabila pengekspor kopi yang bersangkutan tidak melaksanakan kegiatan ekspor selama satu tahun. Kepada ETK yang tidak berlaku lagi akan dapat ditunjuk kembali dengan nomor Kode International Coffee Organization (ICO Code) yang sama sepanjang perusahaan tersebut masih aktif (mempunyai kegiatan) berdasarkan pada rekomendasi dari Dinas Perindag Provinsi domisili perusahaan tersebut. Apabila pengekspor (ETK) melakukan aktivitas ekspor harus mengajukan surat permohonan Surat Persetujuan Ekspor Kopi (SPEK) kepada Dinas Perindag Provinsi dengan melampirkan Sales Contract or Letter of Credit (L/C). ETK membayar iuran kopi kepada AEKI untuk kopi yang akan diekspor dan menerima bukti berupa kuitansi. Pemerintah mengatur iuran anggota AEKI untuk membayar iuran sebagai anggota ICO yang dibebankan pemerintah kepada AEKI. Selain itu dana yang terkumpul untuk membayar kewajiban keanggotaan Indonesia dalam ACPC (Association of Coffee Producing Country). Berdasarkan pada Surat Direktur Jenderal Pajak kepada Ketua Umum AEKI Nomor S-723/Pj.51/2001 tanggal 11 Juni 2001, maka ditetapkan atau diputuskan pada butir 7.c bahwa:”atas ekspor kopi dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0 persen dan pajak Masukan yang telah dibayar dapat diminta kembali. Dengan demikian dalam harga pokok penjualan tidak ikut diperhitungkan Pajak Pertambahan Nilai dan hal ini akan menaikkan daya saing di pasar dunia serta membantu meningkatkan perolehan devisa negara. 103

Sistem pemasaran kopi di Indonesia berubah-ubah dan berbeda-beda antar daerah. Perubahan ini bukan hanya disebabkan oleh pola pemasaran tradisional tetapi juga oleh penyesuaian pada perubahan dalam sistem produksi, metode pengolahan dan hubungan antara petani kopi dan pedagang perantara. Hampir seluruh rantai pemasaran kopi dikuasai oleh pedagang swasta dan pengekspor. Kontribusi perkebunan negara dalam produksi dan pemasaran hanya sekitar 3 persen dari total pasokan nasional (Jong, 1997). Kebijakan pemerintah Indonesia untuk meliberalisasi perdagangan domestik, dalam hal ini termasuk pasar biji kopi berlangsung sejak tahun 1996. Kegiatan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) melalui penanaman modal asing langsung (FDI) di bidang ekspor dan impor diatur SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 11/MPP/SK/I/1996 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari PP No. 2 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 46 tahun 1997 dan diubah lagi dengan PP No. 16 Tahun 1998. Khusus untuk perdagangan biji kopi SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan di atas memberi kebebasan perusahaan asing (multinasional) untuk membeli biji kopi langsung dari petani. Perusahaan asing (MNC) pada perdagangan kopi dimulai sejak 1996 (Warta Ekonomi pada tanggal 18 Mei 1998 1). Pada waktu itu, banyak perusahaan pengekspor kopi mengalami masalah likuiditas karena harga kopi yang rendah telah menekan para pengekspor kopi. Selain itu, harga rendah yang berkepanjangan berdampak negatif bagi petani sehingga produksi turun. Namun produksi kopi yang menurun secara tajam menyebabkan harga kopi meningkat drastis. Sebagai akibat dari harga tinggi banyak perusahaan pengekspor nasional tidak mampu membeli kopi petani. Perusahaan-perusahaan pengekspor kopi nasional yang mengalami masalah likuiditas tersebut kemudian diambil alih oleh MNC dari Amerika Serikat dan Jepang yang jumlahnya sekitar 10 buah. MNC ini kemudian beroperasi dan mampu membeli kopi petani pada tingkat harga yang tinggi, yaitu harga kopi arabika bisa mencapai Rp. 25.000/kg dan kopi robusta Rp. 16.000/kg pada tahun 2007. Sejak tahun 1998, seiring dengan merosotnya harga kopi dunia, MNC sudah mampu mengendalikan harga melalui kekuatan likuiditasnya. Hal ini menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan pada pasar biji kopi mengakibatkan adanya perubahan kekuatan pasar dan menempatkan perusahaan PMA/MNC dalam posisi dominan. Dampak selanjutnya adalah rantai pasokan kopi dikuasai perusahaan multinasional, menimbulkan ketergantungan harga bagi produsen (petani), dan tertekannya peluang peningkatan nilai tambah domestik dari pengolahan biji kopi. Perusahaan nasional yang menghasilkan barang untuk ekspor, meskipun telah mampu memproduksi barang dengan kualitas memenuhi syarat, belum sepenuhnya berhasil menembus pasar luar negeri karena kelemahan di bidang pemasaran. Dampak negatif beroperasinya perusahaan eksportir PMA terhadap pabrik pengolahan mungkin juga melanda industri pengolahan kopi, yaitu tertekannya nilai tambah domestik yang diperoleh dari industri pengolahan kopi nasional. AREAL, PRODUKSI, EKSPOR DAN HARGA KOPI Areal Luas areal kopi di Indonesia meningkat dengan lambat yaitu dari sekitar 1,06 juta ha pada tahun 1990 menjadi sekitar 1,3 juta ha pada tahun 2010 atau meningkat 1

Warta Ekonomi No. 52/Th IX/18 Mei 1998. Anggota AEKI gulung tikar.

104

rata-rata 0,85 persen per tahun selama periode 20 tahun. Selama periode 1997-1999, luas areal menurun sebesar 0,7 persen per tahun. Menurunnya luas areal tersebut terutama karena adanya gangguan iklim berupa kekeringan yang relatif panjang. Selanjutnya areal cenderung meningkat karena harga kopi di pasar dunia dan pasar domestik cenderung meningkat. Di Lampung, provinsi sentra produksi kopi terbesar kedua sesudah Sumatera Selatan, luas areal kopi cenderung meningkat lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan luas areal kopi di Indonesia, yaitu dari sekitar 121 ribu ha pada tahun 1990 menjadi sekitar 163,4 ribu ha pada tahun 2010 atau meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,78 persen per tahun selama periode yang sama. Dengan demikian kontribusi luas areal kopi Lampung meningkat sekitar 0,91 persen per tahun dari sekitar 11,3 persen pada tahun 1990 menjadi 12,6 persen pada tahun 2010. Tabel 1. Perkembangan Luas Areal Kopi Indonesia dan Lampung, 1990-2010 (ha) Tahun Indonesia Lampung 1990 1.069.848 121.271 1991 1.119.854 128.974 1992 1.333.898 130.147 1993 1.147.567 129.348 1994 1.140.385 131.452 1995 1.167.511 132.043 1996 1.159.079 133.686 1997 1.170.028 131.974 1998 1.153.343 144.217 1999 1.127.277 131.536 2000 1.260.687 203.578 2001 1.313.383 164.905 2002 1.372.184 164.737 2003 1.291.910 166.056 2004 1.303.943 166.058 2005 1.255.272 168.006 2006 1.308.732 164.006 2007 1.295.012 163.092 2008 1.295.111 164.170 2009 1.299.348 163.180 2010 1.302.636 163.439 Pertumbuhan (%/th) 0,85 1,78 Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia, 1990-2010

Pangsa Lampung 11,34 11,52 9,76 11,27 11,53 11,31 11,53 11,28 12,50 11,67 16,15 12,56 12,01 12,85 12,74 13,38 12,53 12,43 12,50 12,56 12,55 0,91

Produksi Lebih dari 85 persen perkebunan kopi di Indonesia terletak di sebelah selatan khatulistiwa, dimana periode curah hujan dan sinar matahari menyebabkan masa panen kopi terjadi dalam periode bulan April sampai September. Sementara di wilayah bagian utara khatulistiwa, seperti Aceh dan Sumatera Utara, masa panen kopi terjadi dalam periode Oktober sampai Februari. Komoditas kopi diproduksi hampir di seluruh provinsi di Indonesia, namun sentra produksi kopi terbesar adalah Sumatera Selatan dan Lampung. Rata-rata total produksi kopi nasional pada periode 1990-2010 mencapai 557,09 ribu ton. Produksi kopi di Indonesia meningkat relatif cepat, yaitu dari sekitar 412 ribu ton pada tahun 1990 menjadi sekitar 712,7 ribu ton pada tahun 2010 atau meningkat rata-rata 3,25 persen per tahun. Penurunan luas areal karena terjadi kekeringan yang relatif panjang selama 105

periode 1997-1999 tampaknya tidak menyebabkan penurunan produksi kopi, ini terjadi karena produktivitas kopi yang cenderung meningkat. Produksi kopi di Lampung meningkat lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan produksi kopi di Indonesia, yaitu dari sekitar 85,7 ribu ton pada tahun 1990 menjadi sekitar 142,18 ribu ton pada tahun 2010 atau meningkat rata-rata 3,89 persen per tahun. Kontribusi produksi kopi dari Lampung terhadap total produksi kopi di Indonesia cenderung menurun, dari sekitar 20,7 persen pada tahun 1990 menjadi 19,95 persen pada tahun 2010 (Tabel 2). Tabel 2. Perkembangan Produksi Kopi Indonesia dan Lampung, 1990-2010 (Ton) Tahun Indonesia 1990 412.767 1991 428.305 1992 436.930 1993 438.868 1994 450.191 1995 457.801 1996 421.751 1997 384.042 1998 512.165 1999 524.687 2000 554.574 2001 569.234 2002 682.019 2003 663.571 2004 647.385 2005 640.365 2006 682.158 2007 676.475 2008 698.016 2009 704.736 2010 712.778 Pertumbuhan (%/th) 3,25 Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia, 1990-2010

Lampung 85.719 82.745 90.573 90.878 69.635 74.080 91.184 77.610 63.776 94.709 100.131 90.515 150.805 142.523 142.599 142.761 141.305 140.095 140.090 140.976 142.188 3,89

Pangsa Lampung 20,77 19,32 20,73 20,71 15,47 16,18 21,62 20,21 12,45 18,05 18,06 15,90 22,11 21,48 22,03 22,29 20,71 20,71 20,07 20,00 19,95 0,56

Ekspor Dalam perekonomian Indonesia kopi berstatus sebagai komoditas (promosi) ekspor. Masalah pengembangan ekspor kopi yang dihadapi Indonesia antara lain adalah produk kopi ekspor utama Indonesia, kopi robusta, sering dijustifikasi bermutu rendah. Harga kopi sangat ditentukan oleh kualitas, yang dipengaruhi oleh negara asal, varietas dan penanganan pasca panen. Untuk meningkatkan kualitas kopi ekspor Indonesia, pemerintah Indonesia menerapkan sistem nilai cacat (defect system) sejak tahun 1983. Penerapan standar mutu sistem cacat ini mampu meningkatkan citra mutu kopi Indonesia, sehingga tidak lagi dikenai price discount dan peluang di pasar–pasar tradisional dan non-tradisional semakin terbuka. Berdasarkan surat edaran dari Coffee Terminal Market Association of London tanggal 31 Mei 1984, kopi Indonesia dinyatakan layak ditenderkan, tanpa dikenai potongan harga sebesar ₤10/ton dari harga basis, sebagaimana berlaku sebelumnya (Yahmadi, 1999). Volume ekspor kopi Indonesia tampak fluktuatif dengan kecenderungan menurun dari 421,2 ribu ton menjadi hanya 468,7 ribu ton, atau meningkatkan dengan 106

laju sekitar 1,58 persen per tahun (Tabel 3). Rendahnya laju peningkatan ini karena Indonesia mengalami kesulitan bersaing di pasar kopi internasional yang sudah mengalami kelebihan penawaran. Pada tahun 2009, negara pengekspor utama kopi adalah Brasilia diikuti berturut-turut oleh Vietnam, Kolombia dan Indonesia. Keempat negara ini mengekspor sebesar 57,3 persen dari total ekspor kopi dunia, naik dari 36,4 persen pada tahun 1986. Pangsa ekspor kopi dari Brasilia dan Vietnam meningkat drastis sehingga pangsa negara pengekspor lainnya menurun. Tabel 3. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Kopi Indonesia, 1990-2009 (Ton) Volume (Kg) Tahun 1990 421.833 1991 380.666 1992 269.352 1993 349.916 1994 289.288 1995 230.201 1996 366.602 1997 313.430 1998 357.550 1999 352.970 2000 340.890 2001 250.820 2002 325.010 2003 323.520 2004 344.080 2005 445.830 2006 413.500 2007 321.400 2008 468.750 2009 510.898 Pertumbuhan (%/Th) 1,58 Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia, 1990-2008

Nilai ($US) 377.154 372.431 236.774 344.208 745.744 606.369 595.268 511.284 584.244 467.858 326.256 188.493 223.916 258.795 294.113 503.836 586.877 636.319 991.458 824.015 2,73

Selama periode 1990-2009, nilai ekspor juga menunjukkan kecenderungan meningkat sekitar 2,73 persen per tahun lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan volume ekspor (1,58 persen). Ini berarti bahwa nilai per satuan volume ekspor kopi Indonesia di pasar dunia menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu. Harga kopi Indonesia (sebagian besar robusta) sangat dipengaruhi oleh kondisi produksi negara-negara produsen utama, terutama Vietnam, karena musim panen kopi robusta di Indonesia dan Brasilia terjadi pada waktu yang bersamaan yakni AprilSeptember. Hal ini terjadi karena sebagian besar areal perkebunan kopi robusta di Indonesia dan Vietnam berada di sebelah selatan garis khatulistiwa. Volume ekspor kopi robusta yang cenderung menurun terkait erat dengan kelesuan para pelaku dalam mengusahakan kopi robusta, baik petani, pedagang maupun pengekspor, terutama sebagai akibat sangat rendahnya harga yang diterima oleh masing-masing pelaku dalam agribisnis kopi. Bahkan terkadang pengekspor mengalami kerugian pada saat melakukan ekspor karena harga domestik yang lebih mahal daripada harga di pasar dunia. Pangsa ekspor kopi Indonesia di pasar dunia cenderung menurun. Pada periode tahun 1990-2010, meskipun tampak fluktuatif, volume ekspor kopi Indonesia cenderung meningkat. Namun, karena volume ekspor kopi Vietnam dan Brasilia mengalami 107

peningkatan yang lebih tinggi, masing-masing sebesar 18,7 persen dan 2,8 persen per tahun, maka pangsa ekspor Indonesia mengalami penurunan dari 5,98 persen pada 2000 menjadi 5,67 persen pada 2010 (ICO, 2011). Peningkatan ekspor kopi Vietnam yang drastis didukung oleh produktivitas tanaman yang tinggi yaitu sekitar 3 ton/ha, sementara produktivitas tanaman kopi Indonesia hanya sekitar 600 kg/ha. Penurunan pangsa ekspor Indonesia merefleksikan adanya penurunan daya saing ekspor kopi Indonesia. Harga Harga ekspor kopi robusta (FOB) ditentukan oleh penawaran dan permintaan di pasar dunia, posisi antara pengekspor dan pengimpor serta posisi pengekspor dan petani produsen. Perkembangan harga kopi robusta di pasar spot London seringkali tidak tercermin pada harga ekspor, sehingga dapat disimpulkan bahwa harga FOB lebih banyak diakibatkan oleh kekuatan negosiasi pengekspor dan pengimpor. Hasil sementara menunjukkan bahwa sejak bulan Mei 1994 harga kopi mulai meningkat tajam, ini terjadi karena muncul isu bahwa di Brasilia akan terjadi bencana embun upas (frost). Isu tersebut memancing spekulan untuk memborong kopi. Harga kopi (komposit) pada saat terjadi frost pada bulan Juli 1994 mencapai USCents 218,9/lb. Hal ini merupakan implikasi dari harga robusta yang meningkat drastis dari rata-rata USCents 47,2/lb menjadi USCents 113,1/lb (Tabel 4). Tabel 4. Perkembangan Harga Kopi Robusta di Tingkat Produsen, Pengekspor, dan di Pasar Internasional, 1990-2008 (UScents/lb) Pasar Tahun Harga Produsen1) Pengekspor (FOB) 2) Internasional1) 1990 29,70 42,00 50,00 1991 29,90 44,10 45,20 1992 24,90 38,10 38,30 1993 28,50 43,80 47,20 1994 91,40 132,10 113,10 1995 95,70 135,00 118,30 1996 58,40 79,50 74,50 1997 58,40 73,80 75,00 1998 59,40 81,00 76,40 1999 46,60 63,80 64,10 2000 22,40 44,00 40,10 2001 13,60 28,10 53,90 2002 14,60 24,30 56,40 2003 16,60 32,60 60,60 2004 24,20 44,30 75,40 2005 42,90 46,10 111,50 2006 60,20 73,60 142,60 2007 85,80 101,00 191,20 2008 92,50 107,90 232,10 Pertumbuhan (%/th) 1,62 0,45 6,74 Sumber: ICO (2011)

Peningkatan harga kopi robusta ini sejalan dengan kenaikan harga kopi arabika. Namun kemudian harga kopi cenderung turun dari waktu ke waktu. Penurunan harga kopi robusta lebih besar dibandingkan dengan penurunan harga kopi arabika. Kondisi 108

ini disebabkan oleh produksi kopi robusta dunia meningkat drastis, sedangkan permintaannya cenderung stabil. Harga terendah sejak kuota dibekukan adalah USCents 53,9/lb, yang terjadi pada tahun 2001. Kemudian harga cenderung terus meningkat mencapai USCents 232,1/lb pada tahun 2008. SISTEM TATA NIAGA KOPI Usahatani Kopi Usahatani kopi adalah bentuk penggunaan lahan yang paling banyak ditemukan di daerah-daerah dengan kemiringan lereng curam. Kopi memang tanaman utama yang menjadi andalan masyarakat Provinsi Lampung, terutama di Kabupaten Tanggamus dan Lampung Barart. Usahatani kopi merupakan sumber pendapatan utama. Masyarakat di wilayah ini telah lama membudidayakan kopi. Kondisi iklim dan tanah sangat baik bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kopi. Selain kesesuaian iklim dan kondisi tanah, harga jual kopi yang relatif tinggi sejak tahun 2007, kemudahan pemasaran juga merupakan insentif yang baik bagi masyarakat untuk terus memperluas kebun kopinya. Jenis pupuk yang umun digunakan adalah NPK, pupuk cair dan pupuk kandang, tetapi yang paling banyak digunakan responden adalah NPK. Dari seluruh responden, 35 persen yang menggunakan ketiga pupuk ini. Akan tetapi yang paling banyak (53%) hanya menggunakan dua jenis pupuk, yaitu NPK dan pupuk kandang. Bagi responden yang hanya menggunakan pupuk sedikit sekali alasan yang dikemukakan umumnya karena kekurangan dana untuk membeli pupuk. Harga pupuk dari hari ke hari dirasa makin berat bagi petani untuk membelinya. Sumber bibit yang paling banyak adalah dari kebun sendiri. Selain murah, petani juga merasa yakin dengan tanaman yang telah diusahakannya sendiri. Benih kopi yang akan ditanam dibuat anakan sendiri dan setelah cukup umur baru dipindahkan. Kalau membeli, petani membeli dalam bentuk bibit, jadi bisa langsung ditanam. Untuk bibit yang dibeli biasanya petani membeli dari tempat-tempat yang dianggap mempunyai bibit yang bagus, seperti dari PPL, petani berhasil, atau dari balai penelitian. Adapun varietas kopi yang diusahakan umumnya Robusta (91 persen) hanya sedikit yang mengusahakan Arabica (4 persen) dan ada juga yang mengusahakan keduanya (5 persen). Kalau dilihat syarat tumbuh dari kedua varietas kopi ini, kopi arabica akan lebih baik tumbuhnya pada lahan dengan ketinggian di atas 700 m dari permukaan laut, robusta sebaliknya. Dengan demikian pada kebun yang dibangun di lahan yang tinggi sudah banyak yang ditanam arabica. Hal ini ditunjang dengan makin luasnya pertanaman kopi arabica di Kecamatan Sumberjaya sejak tahun 95/96 yaitu seluas 191 ha (Masjud, 2000). Dalam menanam kopi, petani tidak mempunyai jarak tanam yang baku. Umumnya jarak tanam yang digunakan adalah (2x3) m atau (1x1) m. Jenis obat-obatan pemberantas hama dan penyakit yang digunakan petani sangat beragam, tapi ada juga petani yang tidak menggunakan obat-obatan sama sekali. Harga pestisida yang semakin mahal membuat petani tidak membeli obat walaupun tanamannya membutuhkan obat-obatan tersebut. Pestisida yang paling banyak digunakan petani adalah furadan, fastac, spark dan roundup. Pemberantasan hama dan penyakit pohon kopi hanya dilakukan bila serangan dianggap sudah sangat membahayakan. Kalau kondisi serangan belum terlalu merusak tidak dilakukan penyemprotan, tapi dilakukan pembuangan bagian pohon yang sakit. Selain menghemat pestisida, cara ini dilihat cukup efektif dalam memberantas hama dan penyakit dan menghindari pencemaran pestisida pada biji kopi yang siap panen. 109

Rata-rata luas kebun yang dkuasai dan dimiliki petani kopi antara 1 - 2 ha. Secara rata-rata luas kebun kopi yang dikuasai adalah 1,45 ha. Pengusahaan kebun kopi melalui sewa atau sakap (bagi hasil) merupakan alternatif yang banyak dilakukan pilih. Usahatani kopi membutuhkan biaya yang tidak sedikit, oleh karena itu masalah kekurangan modal merupakan kendala dalam budidaya tanaman kopi ini. Produksi kopi sangat dipengaruhi oleh umur tanaman kopi itu senidiri. Kopi yang berumur kira-kira dua tahun baru mulai berbuah produksinya akan meningkat terus sampai sekitar umur lima tahun. Kemudian produksinya akan menurun kembali pada sekitar umur 30 tahun, berbeda-beda tergantung pemeliharaan kebun kopinya. Pendapatan yang diterima masyarakat sangat ditentukan oleh harga jual kopi yang sangat berfluktuatif. Sebagai contoh harga jual kopi Lampung rata-rata pada tahun 2007 adalah Rp. 18.500,- per kg, sedangkan pada tahun 2009 hanya mencapai Rp. 16.791,- per kg (Lampung Dalam Angka, 2009). Pada saat harga jual kopi rendah, petani seringkali mengganti kebun dengan tanaman lain atau kurang memelihara kebun dengan baik sehingga produksinya menurun. Rata-rata penerimaan dan biaya produksi usahatani kopi di Kabupaten Tanggamus dan Lampung Barat pada tahun 2010 dapat dilihat pada Table 5. Tampak bahwa dengan produksi sebesar 700 kg per ha, maka petani dapat memperoleh keuntungan bersih sekitar Rp 2.033.000. Adapun biaya yang harus dikeluarkan antara lain biaya tenaga kerja sebesar Rp. 3.375.000, biaya pupuk dan pestisida sekitar Rp. 3.022.000 dan biaya pascapanen Rp. 320.000 per ha. Secara umum, usahatani kopi masih dalam kondisi yang menguntungkan. Biaya untuk menghasilkan satu kg biji kopi sekitar Rp 9.500, sedangkan rata-rata harga biji kopi di tingkat petani sekitar Rp 12.000 – Rp 13.000 per kg. Tabel 5. Penerimaan dan Biaya Produksi Usahatani Kopi, 2010 Uraian

Jumlah

Harga/unit

Nilai

Tenaga kerja Nunas

50

25.000

1.250.000

Pemeliharaan kebun

25

25.000

625.000

Panen

50

30.000

1.500.000

360

2.700

972.000

4.000

200

800.000

Pupuk cair

12

50.000

600.000

Furadan

65

10.000

650.000

700

350

245.000

10

5.000

50.000

700

12.500

8.750.000

Pupuk & Pestisida NPK Pupuk kandang

Biaya Lain Jemur dan giling Transportasi Penerimaan Total Biaya

6.717.000

Keuntungan

2.033.000

R/C

1,30

B/C

0,30

Rantai Pasok Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian, diketahui ada beberapa pola tata niaga. Secara umum pemasaran kopi di tingkat petani adalah biji kopi. Seperti 110

komoditas pertanian lainnya, rantai pasok kopi Lampung melibatkan beberapa lembaga tata niaga. Rantai pasok kopi dari hulu hingga hilir melibatkan produsen (petani dan perusahaan perkebunan), pedagang (pengumpul, besar, dan perantara), pengekspor, perusahaan multinasional converters/grindersl, perusahaan kopi domestik dan supermarket/pengecer kopi domestik. Secara ringkas rantai pasok kopi di Lampung disajikan pada Gambar 2. Pola pemasaran yang pendek tersebut sangat menguntungkan petani karena semakin pendek rantai tata niaga, maka marjin yang diterima petani semakin besar. Untuk rantai pasok kopi dari tingkat produsen sampai pada tingkat konsumen diantaranya adalah : I.

Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Besar – Pedagang Perantara – Eksportir – Domestik Roaster/PMA – Konsumen

II. Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Perantara – Eksportir – Domestik Roaster/PMA – Konsumen III. Petani – Pedagang Pengumpul/Kelompok Tani – Domestik Roaster/PMA – Konsumen IV. Petani – Pedagang Pengumpul – Pengolah Kopi Bubuk – Konsumen V. Petani – Pengolah Kopi Bubuk – Konsumen VI. Petani – Pedagang Besar – Pengolah Kopi Bubuk – Konsumen VII. Petani – Pedagang Besar – Pedagang perantara – Eksportir – Domestik Roaster – Konsumen Pada umumnya konsumen tidak membeli biji kopi, dengan kata lain kopi bukan final produk yang dapat langsung dikonsumsi melainkan harus diolah terlebih dahulu menjadi kopi bubuk atau produk kopi lainnya. Dalam memasarkan komoditas kopi, petani bebas memilih jalur tata niaga yang diinginkan. Setelah panen sebagian petani membawa hasil panennya untuk dijual kepada pedagang pengumpul desa, dijual langsung ke pedagang besar, atau ke pengolahan kopi bubuk. Dalam menentukan harga penjualan, petani biasanya mencari informasi melalui media masa, sesama petani, pedagang dan juga pengekspor. Namun dalam penentuan harga penjualan pembeli masih lebih dominan walaupun masih dapat terjadi tawarmenawar kalau memang mutu/kualitas biji kopi petani dalam keadaan baik. Petani di beberapa lokasi telah mempunyai sekretariat kelompok yang dilengkapi dengan alat ukur kadar air dan penentuan mutu kopi sehingga petani lebih berani untuk meminta harga layak kepada pembeli.

111

Petani

Domestic Roasters Internasional Roasters

Pedagang Pengumpul

Pedagang Besar

Konsumen

Pengolah Kopi Bubuk

Pedagang Perantara

Pengekspor

Supermarket/ Pedagang Pengecer

Gambar 2. Diagram Rantai Pasok Biji Kopi Lampung

Pedagang pengumpul desa membeli komoditas kopi dari berbagai sentra produksi kemudian dikumpulkan dan dijual ke pedagang besar untuk didistrbusikan ke pedagang lain, eksportir, roaster domestik atau ke industri pengolah kopi bubuk. Sebagian besar petani menjual kopi ke pedagang pengumpul desa/kelompok tani dari pada ke pedagang besar. Dengan alasan petani tidak usah mengeluarkan ongkos angkut yang mahal dan ketentuan kualitas/grade kopi yang harus baik, petani cukup mengangkut hasil panen ke rumah kemudian dijemur dan jika kira-kira sudah memenuhi kriteria kualitas kadar air 20 persen dan defect 225 baru dijual ke pedagang pengumpul desa/kelompok tani. Sekitar 35 persen responden melakukan transaksi dengan pedagang pengumpul desa, sebanyak 33 persen responden menjual langsung kelompok tani, 17 persen ke pedagang besar, dan 15 persen ke industri pengolah kopi bubuk. Sedangkan untuk tingkat pedagang besar banyak yang melakukan aktifitas transaksi dengan roaster domestik (75%), sesama pedagang besar (15%) dan eksportir (10%). Untuk melakukan transaksi dengan eksportir, maka pedagang harus melakukan pengolahan/pengeringan dan grading kembali terhadap biji kopi karena untuk kebutuhan ekspor ada standar mutu yang harus dipenuhi seperti dari tingkat kadar air (14%), defect (120), dan ukuran kopi. Volume penjualan tidak dibatasi selama masih ada pembeli, dengan demikian volume penjualan disesuaikan dengan jumlah permintaan. Harga penjualan di tingkat pedagang ditentukan harga kopi biji asalan sebagai bahan input utama. Oleh karena itu harga penjualan mengikuti harga di pasar internasional dan domestik. Wilayah penjualan kopi bubuk tidak ditetapkan sebelumnya, tidak ada segmentasi pasar dan tidak ada syarat-syarat perdagangan yang harus dipenuhi oleh pembeli. Pengolah kopi bubuk tidak melakukan hubungan kerjasama penjualan baik dengan sesama pengolah lainnya maupun dengan pembeli. Terdapat pembedaan perlakuan transaksi penjualan terhadap pembeli. Pengekspor nasional (AEKI) memperluar pasar non tradisional melalui kerjasama dengan Konsulat, Atase Perdagangan dan Kadin. Hal ini dilakukan untuk menghindari pembayaran yang tertunda atau tidak bayar sama sekali. Pengekspor lokal biasanya hanya membeli kopi dari pedagang besar dan pedagang perantara yaitu kopi grade IV sesuai dengan permintaan pengimpor. Pembayaran dilakukan secara cash. Pada umumnya, sumber 112

modal pengekspor lokal sebagian (50%) berasal dari lembaga keuangan (bank) dan 50 persen sisanya dari modal sendiri. Volume pembelian oleh eksportir sudah ditentukan sebelumnya sekaligus untuk stok dan disesuaikan dengan jumlah pasokan. Harga pembelian mengikuti harga di pasar terminal London. Dalam pembelian kopi tidak ada penetapan wilayah, segmentasi pasar dan syarat-syarat perdagangan bagi pemasok. Jumlah perusahaan pengekspor kopi yang aktif saat ini hanya tinggal sekitar 60 buah. Namun tidak ada kerjasama dengan pengekspor lain. Selain itu tidak ada perlakuan pembedaan transaksi pembelian terhadap pemasok. Permasalahan dalam pembelian barang adalah persaingan dengan sesama pengekspor terutama pengekspor asing. Oleh karena itu, eksportir harus melakukan pendekatan kepada pemasok/pedagang perantara dan memberikan pinjaman/bantuan modal. Volume penjualan tidak dibatasi melainkan ditentukan oleh permintaan impor. Harga penjualan mengacu pada harga di pasar internasional/London. Penjualan/ekspor masih dilakukan ke pasar-pasar tradisional karena pasar-pasar yang baru belum lancar pembayarannya (sering tertunda). Ada segmentasi pasar dalam ekspor kopi dan syarat-syarat perdagangan yang jelas yang harus dipenuhi oleh pengekspor. Namun tidak ada hubungan kerjasama yang formal antar pengekspor maupun dengan pembeli/pengimpor. Tidak ada pembedaan perlakuan transaksi penjualan terhadap semua pengimpor di negara-negara mitra dagang. Biasanya pengimpor adalah roaster internasional. Menurut AEKI seharusnya PMA tidak dapat langsung ke petani dan syarat bagi PMA terlalu ringan. PMA tidak harus punya gudang sendiri, jadi hanya cukup menyewa saja sudah dapat melakukan ekspor. Oleh karena itu, AEKI berharap kebijakan mengenai PMA dapat direvisi oleh pemerintah. Menciptakan regulasi yang dapat menguntungkan semua pihak, misalnya pembentukan DOLOG kopi seperti yang dilakukan oleh pemerintah Vietnam. PMA yang dominan antara lain adalah Ned Coffee dan Indocafco (kapasitas 45000 ton). Walaupun sudah ada cluster pembinaan kopi tetapi perusahaan tidak mau melakukan kemitraan. Pengekspor Indo Cafco mencari pasokan sampai ke provinsi lain seperti Bengkulu dan Sumatera Selatan, walaupun kualitasnya lebih rendah dan harganya dapat ditekan menjadi lebih rendah. Kopi biji dengan kualitas rendah ini akan diolah lebih lanjut, sehingga dapat menghasilkan kopi sesuai dengan kualitas yang diinginkan. Sekitar 40 persen dari total kopi yang dibutuhkan oleh Indo Cafco dibeli dari petani yang tergabung dalam tujuh KUB di Lampung. Sejak 2008, pembelian kopi oleh Indo Cafco adalah sekitar 45 ribu ton per musim, dimana 2 ton diantaranya adalah kopi yang sudah disertifikasi. Petani di Lampung sudah dibantu oleh internal control system untuk meningkatkan kualitas kopi dan kemitraan yang berupa KUB kopi sertifikasi. Ada sekitar lima PMA yang sudah mengikuti program sertifikasi. Di Lampung, total produksi kopi yang sudah bersertifikasi mencapai sekitar 5000 ton. Kopi ini mempunyai kualitas baik karena diharuskan untuk melakukan petik merah agar dapat dilakukan proses pengolahan basah (wet process). Ekspor dari Indo Cafco terutama ditujukan ke pasar Uni Eropa (75%), pasar Jepang (10%) dan pasar lainnya (15%). Dari sekitar lebih dari 200 perusahaan pengekspor yang menguasai pangsa pasar ekspor sekitar 50 persen tahun 2007 berjumlah 21 perusahaan pengekspor kemudian turun menjadi hanya 10 perusahaan pada tahun 2008 dan 2009 (Tabel 6). Perusahaan-perusahaan tersebut pada umumnya perusahaan PMA dan mendominasi penguasaan pasar karena menguasai jalur distribusi pasokan, dukungan modal kerja dari induk perusahaan di luar negeri dan bunga pinjaman bank dari negara asal yang murah (6% per tahun) serta penguasaan informasi pasar.

113

Tabel 6. Perusahaan Pengekspor Kopi pada Pangsa Pasar 50%

2007

Pangsa pasar 2008

2009

Sarimakmur Tunggalmandiri

9,08

5,55

6,89

2

Olam Indonesia PT

3,39

7,94

6,74

3

Indra Brothers PT

3,13

5,91

6,51

4

Asal Jaya PT

5,10

5,84

6,40

2,55 4,55 1,45

4,12 4,61

4,50 4,09 3,36 3,21 2,72 2,71 2,61

No

Nama Perusahaan Pengekspor

1

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Sarimakmur Tunggal Mandiri PT Nedcoffee Indonesia Makmur Jaya PT Indokom Citra Persada PT Asia Makmur PT Alam Jaya CV Antara Saudara CV Aman Jaya Perdana PT Indo Cafco PT Andira Indonesia PT Sidikalang PT Taman Delta Indonesia PT Perkebunan Nusantara XII (Persero) PT Laju Sinar Abadi PT Indokom Citrapersada Pt Gemilang Jaya Makmur Abadi PT Sam Karya Abadi PT Samson Jaya PT Menacom PT Jumlah Sumber: Badan Pusat Statistik (2010), diolah.

2,36 3,03 0,32 1,85 1,93 0,99 1,68 1,06 1,85 1,46 1,58 0,83 0,51 1,87 50,55

5,50 3,55 3,76 3,12

49,91

49,74

Penguasaan pangsa pasar tersebut diikuti dengan perilaku mendominasi pasar melalui kemampuannya dalam (i) memenuhi kebutuhan baik pada saat harga mengalami bullish (naik) maupun berrish (turun) karena sentimen pasar, (ii) mengatur pasokan dengan mengandalkan pemasok tetap melalui pemberian uang muka, (iii) mengikat kontrak dengan pemasok, (iv) menggunakan pengekspor nasional sebagai brokernya, dan (v) menggunakan stok sebagai instrumen pengendalian. PMA pada umumnya berasal dari negara-negara yang merupakan pasar tradisional tujuan ekspor kopi Indonesia. Oleh karena itu Sejak masuknya PMA ke Indonesia, pasar-pasar tradisional tersebut tidak melalui pengekspor lokal lagi. Jumlah eksportir berkurang dari sekitar 200 eksportir menjadi hanya 60 eksportir saja. Ada beberapa eksportir lokal yang berubah menjadi PMA. Strategi bersaing perusahaan pengekspor kopi nasional tidak bersaing bebas tetapi mengikuti strategi perusahaan multinasional atau bergabung/beraliansi strategis dengan perusahaan multinasional. Selain itu menjadi pemasok bagi perusahaan multinasional, namun tidak menjadi komisioner dari perusahaan multinasional. Perkembangan mutu biji kopi hingga saat ini berdasarkan faktor mutu yang dilihat yaitu kadar air (%) semakin tinggi dan jumlah biji cacat per 100 gram semakin banyak, namun kadar kotoran (%) cenderung menurun. Secara umum, kualitas dan produksi kopi lampung tampak menurun terutama pada tahun 2010. Hal ini disebabkan oleh perubahan iklim sehingga pada saat panen kopi curah hujan masih tinggi. Perusahaan pengekspor nasional memperoleh pasokan sampai dari luar provinsi. Selain itu pasokan secara bebas diperoleh dari dalam provinsi (beberapa kabupaten, 114

kecamatan dan desa). Pasokan tidak hanya dari kabupaten, kecamatan dan desa tertentu saja. Pada umumnya pengekspor nasional memperoleh pasokan dari pedagang besar/pedagang perantara. Faktor yang menentukan penguasaan pangsa pasar ekspor biji kopi antara lain adalah membangun jaringan ekspor, membangun jaringan pasokan, kemampuan mempengaruhi pasokan (harga dan pembayaran), kemampuan mempengaruhi penjualan (mengatur pengapalan), kemampuan mengakses informasi pasar dan kemampuan memprediksi pasar. Upaya untuk meningkatkan nilai perdagangan kopi adalah dapat meningkatkan mutu/kualitas sesuai dengan grade yang dibutuhkan oleh pengimpor/konsumen. Hasil pengamatan rantai tataniaga pelaku industri kopi di lapangan diuraikan secara terperinci pada Tabel 7. menggambarkan keterkaitan petani terhadap teknologi, sumber daya manusia (diri petani sendiri) dan proses pengadaan (procurement). Tabel 7. Manajemen Rantai Pasok Komoditas Kopi Rakyat di Provinsi Lampung Akses Terhadap Input/Sarana Produksi Observasi Masalah dan Tantangan Manajemen Sumber Daya Manusia Tanaman Kopi merupakan Petani kesulitan meningkatkan sumber pendapatan pendapatan keluarganya karena utama keluarga tanaman banyak terserang hama penyakit. Tenaga kerja yang digunakan lebih banyak tenaga kerja keluarga. Tenaga kerja banyak dibutuhkan pada saat penunasan dan pemanenan Pengembangan Teknologi Teknologi produksi belum maksimal diintroduksikan di tingkat petani.

Pengadaan Petani menghadapi kesulitan untuk mendapatkan bibit yang berkualitas

Pemerintah perlu membantu peremajaan tanaman dengan cara member bantuan modal dan bibit yang berkualitas dan homogen.

Ketergantungan ketersediaan tenaga kerja dalam kelompok sangat tinggi

Pemberdayaan kelompok tani Kopi dapat dimanfaatkan sebagai kelembagaan mikro yang dapat membantu petani dalam melakukan kegiatan usahatani

Dengan modal yang terbatas petani tidak menggunakan input sesuai kebutuhan

Pemberdayaan kelompok tani dapat dimanfaatkan sebagai kelembagaan mikro yang dapat membantu petani dalam mengakses fasilitas permodalan.

Bibit tanaman kopi menjadi salah satu kendala dalam mendukung upaya peremajaan

Pemerintah harus berupaya memberi bantuan bibit berkualitas

Aktivitas Produksi di Lahan Usahatani Manajemen Sumber Daya Manusia Petani pada umumnya sudah Hanya sebagian kecil petani menerapkan perbaikan yang melakukan petik merah biji teknologi berproduksi namun Kopi. demikian pemeliharaan tanaman masih belum optimal. Penunasan sebagai pemeliharaan tanaman masih belum maksimal dilakukan oleh petani. Pengembangan Teknologi Akses petani terhadap teknologi pada umumnya difasilitasi oleh pemerintah dan eksportir kopi

Rekomendasi Strategis

Peningkatan kemampuan dan pengetahuan petani harus selalu ditingkatkan agar kualitas biji kopi membaik.

Kebersihan kebun masih menjadi masalah di tingkat usahatani mengingat terbatasnya tenaga kerja.

Kegiatan pemeliharaan kebun hendaknya mendapatkan perhatian yang sama dengan panen.

Upaya membantu petani agar mampu mengakses teknologi terkini dibidang produksi dan pascapanen.

Pemerintah seharusnya dapat berperan untuk mengintegrasikan peranan masing-masing pelaku di industri perkopian agar lebih sinergi.

115

Peran penyuluh pertanian masih belum maksimal di dalam membantu petani berusahatani Kopi

Pengadaan Akses petani tenaga kerja terkendala oleh modal.

terhadap sangat minimnya

Kelembagaan penyuluh hampir tergantikan oleh pihak lain seperti LSM, dan pedagang luar negeri.

Melalui program revitalisasi perkebunan peran penyuluh dapat diintegrasikan dengan beragam program pendampingan teknologi, sehingga terdapat sinergi program dan pelaksanannya.

Tenaga kerja lebih banyak berasal dari dalam keluarga

Sosialisasi untuk melaksanakan sanitasi kebun secara regular, sehingga kelangkaan tenaga kerja dapat di atasi.

Pengumpulan Produk dan Pergerakan Barang ke Pembeli Manajemen Sumber Daya Manusia Petani memiliki informasi yang sempurna tentang pasar komoditas Kopi di tingkat lokal dan nasional.

Harga biji Kopi sangat fluktuatif perubahan harga dapat terjadi dengan cepat.

Pemerintah harus memonitor harga biji Kopi. Baik di pasar domestik maupun di pasar internasional

Petani mengumpulkan biji Kopi ke pedagang pengumpul atau ke kelompok tani.

Sarana transportasi yang kurang memadai menjadi kendala untuk mempercepat transportasi produk

Peningkatan kualitas transportasi menjadi tanggungjawab pemerintah, guna memperlancar perdagangan Kopi

Teknologi di bidang kemasan belum banyak disosialisasikan di tingkat petani

Program revitalisasi perkebunan hendaknya menyentuh seluruh tahap dalam rantai tataniaga termasuk teknologi pasca panen.

Petani menghadapi keterbatasan tenaga kerja saat proses pemetikan

Diperlukan teknologi pemetikan dan pemberdayaan angkatan kerja di pedesaan untuk berperan di industri Kopi.

Petani saat ini berada pada Proses negosiasi harga mengikuti posisi tawar yang relatif baik. kualitas biji kopi. Pemasaran dan Penjualan Produk

Pengarahan petani pada proses negosiasi harga agar lebih efektif.

Pengembangan Teknologi Petani menggunakan karung plastik sebagai tempat biji Kopi yang akan diperdagangkan Pengadaan Proses pemetikan merupakan tahapan produksi yang sangat intensif tenaga kerja. Pola yang ada saat ini dikerjakan oleh tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja upah.

Manajemen Sumberdaya Manusia Petani memahami sepenuhnya kriteria kualitas yang diminta oleh pembeli (petik merah).

Petani sulit memenuhi kualitas yang disyaratkan oleh pembeli (pedagang) karena terdesak kebutuhan keluarga.

Perbaikan kualitas biji Kopi sesuai dengan permintaan pasar menjadi prasyarat utama yang harus dilakukan petani. Pemerintah hendaknya memberikan bantuan fasilitas permodalan

Pengembangan Teknologi Petani memanfaatkan sepenuhnya jasa teknologi informasi didalam menjalin komunikasi dengan para pedagang. Pengadaan Petani memiliki akses yang cukup baik terhadap pasar dan informasi.

116

Pola yang berlangsung saat ini sudah cukup efektif.

Pemerintah dapat mendukung dengan lebih memfasilitasi kelembagaan kemitraan yang sudah ada dengan “Nestle” dan “Indocafco”

Petani Kopi saat ini sangat mudah memperoleh informasi terkait dengan pasar dan harga

Pemerintah mendorong pihak swasta (pedagang, pabrik pengolahan) menyediakan informasi pasar secara gratis.

Fasilitas pengolahan pada umumnya dimiliki oleh “Roaster” asing, jumlah pelaku lokal sangat terbatas.

Petani pada umumnya menjual dalam bentuk biji kopi. Saat ini sebagian besar roaster domestic/PMA membuka kantor cabang di sentra produksi guna mempermudah proses pembelian biji Kopi. Jasa Industri Terhadap Petani

Pabrik pengolahan terkendala dengan harga biji kopi yang fluktuatif dan lebih tinggi dari harga dunia

Manajemen Sumberdaya Manusia Perusahaan pengolahan/ Pola kemitraan yang dilakukan roaster domestik maupun oleh industri pengolahan dapat eksportir memberikan membantu petani pelatihan kepada petani dan memfasilitasi petani dengan teknologi terkini di bidang produksi dan pasca panen

Pemerintah hendaknya menjadi mediator agar petani tidak dirugikan dalam kemitraan yang terjadi antara petani dan pihak swasta.

Pihak industri pengolah dan pedagang memahami apa yang dibutuhkan oleh petani

Keterlibatan yang sudah berlangsung lama membuat pihak pembeli mengetahui dengan baik kebutuhan petani.

Tugas pemerintah mensinergikan dan mendukung peran serta pihak swasta (roaster dan eksportir)dalam membantu petani.

Keterlibatan permerintah lebih banyak terkait program pemberdayaan.

Program-program pemberdayaan untuk tanaman Kopi banyak dilakukan oleh beragam instansi baik pemerintah dan swasta. Namun harus diupayakan agar tidak terjadi dupikasi kegiatan.

Pemerintah seharusnya konsisten dengan route map industri kopi.

Dalam upaya meningkatkan kualitas biji kopi pedagang internasional memfasilitasi petani dengan pelatihan teknik produksi dan kualitas. Pengadaan Petani di sentra-sentra produksi sangat mudah mengakses jasa penyuluhan yang disediakan oleh pihak swasta.

Peran penyuluh perkebunan masih terbatas, transfer teknologi lebih banyak melibatkan pihak swasta

Pemerintah diharapkan dapat mendesain penyuluh perkebunan dan bersinergi dengan lembaga swasta.

Pihak pemerintah, swasta maupun LSM memberikan fasilitas penyuluhan yang sering tumpah tindih

Pemerintah selayaknya mensinergikan upaya yang dilakukan oleh semua pihak untuk lebih meningkatkan keahlian petani

Penyediaan input lebih banyak diusahakan secara swadaya oleh petani dan kelompoknya

Kios saprodi di beberapa lokasinya jaraknya hanya tersedia di ibukota kabupaten atau kecamatan

Pemerintah hendaknya mengidentifikasi kios saprodi yang ada di sentra produksi.

Pengembangan Teknologi

Marjin Tata Niaga Perdagangan biji kopi pada umumnya dimulai dengan transaksi langsung antara petani dengan pedagang pengumpul desa atau petani menjual produknya melalui kelompok tani. Ini terjadi karena domestik roaster selalu melakukan pembelian dalam jumlah yang besar sehingga petani tidak dapat menjual langsung ke roaster domestik. Petani kopi melakukan kemitraan dengan domestik roaster melalui kelompok tani. Selanjutnya pedagang pengumpul desa menjual kepada pedagang besar yang akan membeli dengan cara datang langsung ke pedagang pengumpul desa atau sebaliknya pedagang pengumpul desa yang melakukan pengiriman. Sistem pembelian dilakukan dengan cara borongan tanpa memperhatikan grade biji kopi. Selain ke pedagang besar (pedagang kecamatan dan pedagang kabupaten), pedagang pengumpul desa, menjual kepada ke pengolah kopi bubuk atau ke pedagang perantara. 117

Pedagang perantara membeli biji kopi untuk dijual langsung ke eksportir. Harga ekspor ke Internasional roaster dan penjualan ke domestik roaster sangat ditentukan oleh karakteristik produk biji kopi (kadar air dan defect). Biaya angkutan merupakan komponen terbesar dalam biaya tata niaga/pemasaran. Menurut hasil wawancara dengan petani besarnya biaya angkutan produk biji kopi disebabkan bentuk fisiknya yang bersifat bulky. Secara geogfrafis wilayah Kabupaten Tanggamus dan Lampung Barat memiliki topografi datar sampai dengan berbukit. Besarnya komponen biaya sesuai dengan jarak tempuh, dimana untuk pedagang pengumpul desa jarak tempuh relative dekat karena masih dalam satu desa. Sedangkan pedagang besar dan eksportir harus mengangkut lebih jauh untuk pemasaran ke luar kota. Sementara untuk industri kopi komponen biaya terbesar adalah biaya untuk pengolah biji kopi menjadi kopi bubuk. Marjin tata niaga atau marjin pemasaran dipisahkan menjadi dua yaitu dari petani sampai dengan domestik roaster dan dari petani ke pengolah kopi bubuk. Pemisahan dilakukan karena terdapat petani yang langsung menjual ke pengolah kopi bubuk dan ada sebagian yang menjual ke roaster domestik melalui jalur pedagang pengumpul desa/kelompok tani yang ikut dalam proses tata niaga. Peran pedagang besar dan kelompok tani cukup besar dalam rantai tata niaga biji kopi lampung. Pada umumnya petani kopi di Lampung bermitra dengan roaster domestik Nestle dan Indo Cafco. Namun tidak dilakukan kontrak secara tertulis melainkan hanya secara lisan. Kapasitas Nestle mencapai 11 ribu ton sedangkan Indo Cafco hanya 4500 ton per tahun. Petani yang tidak melakukan kemitraan dengan pengolah biasanya menjual kopinya ke Pasar Talang Padang sekitar 29,5 persen dari total produksi dengan harga sekitar Rp 12.500/kg, ke toko sekitar rumah sekitar 56 persen dari total produksi dengan harga rata-rata Rp 12.000/kg dan 14,5 persen sisanya dijual ke pedagang pengumpul di desa dengan harga rata-rata Rp 12.000/kg. Pedagang pengumpul desa kemudian menjual ke pedagang kecamatan dan selanjutnya dijual ke pedagang besar atau dari pedagang pengumpul desa langsung ke pengekspor domestik di Teluk Betung. Ada juga eksportir yang menjuan ke roaster domestic/ PMA (Nestle atau Indo Cafco). Hal ini dilakukan eksportir untuk mendapatkan uang secara cepat. Marjin keuntungan eksportir relatif besar dibandingkan pelaku tata niaga lainnya demikian pula biaya tata niaganya. Ini terjadi karena eksportir harus menanggung biaya seperti biaya kemasan Rp 90/kg, biaya bongkar Rp 10/kg, biaya sortasi Rp 100/kg, biaya muat Rp 60/kg, biaya jemur Rp 90/kg, dan penyusutan sekitar 13 persen. Biji kopi dari petani kopi yang melakukan kemitraan dengan roaster domestik biasanya dikumpulkan oleh kelompok tani (KUB). Kopi biji yang dapat diterima oleh Nestle adalah kopi RB1 dan RB2 yaitu biji kopi dengan kadar air masing-masing 11persen dan 12 persen dan nilai defect masing-masing sebesar 120. Namun demikian, penjualan ke Nestle dapat lebih menguntungkan dibandingkan dengan penjualan ke pengekspor, karena harga di Nestle selalu mengikuti harga di pasar internasional. Tingkat keuntungan ini berkisar antara Rp 200 – Rp 500/kg. Semua penjualan ke Nestle, petani dikenai iuran untuk kas kelompok tani margo rukun sebesar Rp 5-15/kg, biaya pajak 0.5% dan biaya pembinaan petani Rp 20/kg, baru kemudian mendapat nota yang dapat digunakan untuk mencairkan check pembayaran oleh Nestle. Wilayah pembelian oleh roaster domestik hanya dibatasi di kabupaten Tanggamus, hal ini dilakukan karena kualitas kopi dari kabupaten lain lebih rendah dibandingkan dengan kopi dari Kabupaten Tanggamus, namun tidak ada segmentasi pasar dalam hal pembelian kopi. Pada prakteknya ada kopi dari kabupaten lain yang dijual ke roaster domestik melalui kelompok tani di kabupaten Tanggamus dan 118

kelompok tani mendapatkan keuntungan dengan membeli kopi yang lebih murah dari kabupaten lain. Sebagian besar penjualan kopi dari KUB (7 KUB) ditujukan ke Nestle yaitu sekitar 75 persen dari total pembelian, sebagian kecil 10 persen dijual ke pengekspor dan 15 persen sisanya dijual ke sesama pedagang. Volume penjualan oleh pedagang tidak dibatasi tetapi disesuaikan dengan jumlah permintaan. Informasi harga penjualan diperoleh dari media masa dan pengekspor. Dalam penentuan harga penjualan jarang sekali terjadi tawar-menawar karena sudah berdasarkan harga kopi di pasar dunia. Kopi dari kelompok tani dapat juga dijual langsung ke pengekspor bebas tanpa ikatan kemitraan seperti Olam dan Ned coffee. Perbedaan harga penjualan dari kelompok tani ke pengekspor yang bermitra dan pengekspor bebas mencapai sekitar Rp 1.000-2.000 per kg. Pedagang besar dapat juga merupakan mitra dari PT. Nestle. Sekitar 30 persen dari total pembelian pedagang besar berasal dari kelompok tani dan 70 persen lainnya dari pedagang pengumpul desa. Harga basis di tingkat petani berkisar antara Rp 12.000 – Rp 13.300/kg. Selanjutnya pedagang besar dan pedagang perantara menjual ke roaster domestik atau ke pedagang lainnya/sesama pedagang. Hal ini dilakukan karena jika dijual ke Nestle, pembayaran baru diterima petani paling cepat dua hari kemudian karena kopi harus melalui tahapan tes kadar air, defect dan uji citarasa (cup test) dan pembayaran hanya dapat dilakukan pada hari selasa dan jumat. Hal ini terjadi karena harga patokan mengikuti harga di pasar London yang berubah setiap hari selasa dan jumat. Penjualan ke sesama pedagang ini dilakukan untuk mendapat uang cash dengan cepat karena pembayaran dilakukan secara langsung. Selain itu penjualan ke sesama pedagang dapat dilakukan untuk grade biji kopi yang rendah. Perbedaan harga penjualan ke pedagang/pengekspor dan ke Nestle adalah sekitar Rp 300/kg. Menurut pedagang dan petani, keberadaan PMA di Lampung memberi manfaat dan keuntungan tersendiri karena dengan adanya PMA harga yang diterima petani menjadi maksimal. Marjin keuntungan dapat mencapai Rp 300/kg, diluar biaya tataniaga. Bahkan sering terjadi harga di pasar domestik lebih mahal dibandingkan dengan harga di London, ini disebabkan oleh stock kopi di dalam negeri rendah sehingga pengekspor menjual ke pasar domestik. Tidak ada penetapan wilayah penjualan kopi selama pembeli mengambil langsung ke lokasi pedagang. Dalam penjualan kopi tidak ada segmentasi penjualan ataupun syarat-syarat perdagangan yang harus dipenuhi. Pada umumnya, hubungan kerjasama penjualan dengan pedagang lain maupun kerjasama dengan pembeli tidak dilakukan oleh pedagang. Terdapat pembedaan perlakuan transaksi penjualan terhadap pembeli, jika pembelinya PT Nestle maka pembayaran baru diperoleh sekitar 2-6 hari kemudian, sedangkan penjualan ke pengekspor dan pedagang lain mendapatkan pembayaran secara langsung atau cash. Permasalahan dalam penjualan kopi antara lain persaingan dengan sesama pedagang yang semakin ketat, terutama dalam hal memasok barang ke PT Nestle. Untuk mengatasi hal ini pedagang harus selalu upaya bekerja lebih cepat dari pedagang pesaing. Strategi dagang yang diterapkan terkait dengan harga tidak banyak dilakukan karena sudah ditentukan berdasarkan harga di pasar internasional. Sedang strategi untuk produk selalu mencari yang petik merah atau yang berkualitas baik agar tidak sering terjadi penolakan oleh PT Nestle. Tujuan penjualan dibagi tidak ke satu tempat agar mendapat modal berdagang dan harga yang relatif lebih baik. Pedagang pada umumnya tidak melakukan strategi untuk promosi. Untuk meningkatkan kekuatan/posisi di pasar strategi yang dilakukan adalah berusaha mengikuti pelatihan yang dilakukan oleh pengekspor dan pengolah. Prospek usaha dagang kopi sampai saat ini masih sangat menguntungkan. Walaupun kadang ada klaim dari pembeli tentang kadar air terutama jika musim hujan bersamaan dengan saat menjemur kopi. 119

Pedagang hanya melakukan kontrak dengan pengolah. Isi kontrak hanya menjelaskan jumlah yang harus dipasok oleh pedagang. Pengolah biasanya membeli kopi dari petani sebanyak 30 persen dengan tingkat harga Rp 12.000/kg (dinamakan harga perangko karena diambil di tempat petani), sedangkan dari Kecamatan Teluk Betung Utara (Kodya Bandar Lampung) sebanyak 70 persen kopi dibeli dengan harga Rp 13.000/kg (dinamakan harga loko pabrik karena sudah sampai di tempat pedagang/pengolah) perbedaan harga ini karena perbedaan jarak yang harus ditempuh. Tawar menawar antara pedagang dan petani dapat merubah harga sekitar Rp 200/kg di tingkat petani dan sekitar Rp 50/kg di tingkat pengekspor. Selain membeli dari petani, pengolah membeli dari pedagang dari kabupaten lain. Informasi penentuan harga pembelian diperoleh dari pengekspor dan sesama pedagang dan harga di pasar internasional. Dalam pembelian kopi oleh pengolah tidak ditetapkan segmentasi pasar karena semua pelaku dalam industri kopi mengacu pada pasar internasional untuk penentuan harga basisnya. Selain itu, tidak ada syarat-syarat apapun untuk pemasok biji kopi. Tidak ada hubungan kerjasama dengan pengolah lainnya dan dengan pemasok biji kopi (pedagang,dan petani). Tidak ada pembedaan perlakuan transaksi pembelian terhadap pemasok. Biji kopi kualitas apapun dapat diterima oleh pengolah. Selanjutnya pengolah melakukan pengeringan lebih lanjut terhadap biji kopi yang kadar airnya lebih dari 14 persen dan disortasi berdasarkan grade. Selanjutnya, kopi kualitas baik akan diolah jadi kopi bubuk sedangkan kopi dengan kualitas kurang bagus dijual eksportir lokal atau ke pedagang lain. Biji kopi pecah dapat dijual kembali dengan harga Rp 6.000-7.000 per kg (50% dari harga normal). Konversi dari kopi beras menjadi bubuk adalah 0,8 atau 1 kg kopi beras akan menjadi 8 ons kopi bubuk. Biaya jemur sekitar Rp 3.200/kg dan biaya pengolahan Rp 800/kg, dengan demikian biaya produksi dapat mencapai Rp 4.000/kg. Ongkos menggiling (dari gelondong ke beras) 1 kw kopi adalah 5-6 kg kopi biji atau sekitar Rp 60.000/kw. Distribusi biaya tata niaga relatif merata kecuali biaya angkut dan harga beli. Marjin keuntungan tertinggi berada pada level pedagang yaitu pada pedagang besar yang mencapai Rp 300/kg. Hal ini disebabkan besarnya risiko yang dihadapi, disamping besarnya modal dalam mekanisme tata niaga juga risiko produk rusak dan berjamur. Sedangkan marjin terendah berada pada tingkat pedagang pengumpul desa dan pedagang perantara. Salah satu penyebabnya adalah biaya penyimpanan yang harus ditanggung oleh pedagang besar sebelum pembeli datang. Selain itu dari sisi permodalan pedagang pengumpul desa relatif memiliki modal yang kecil. Resiko rusak juga menjadi pembatas pedagang besar ini untuk meningkatkan marjin keuntungan. Pada Tabel 8 dan 9 dapat dilihat lebih rinci, hasil analisis marjin tata niaga biji kopi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa marjin keuntungan setiap level pedagang relatif besar dibandingkan dengan biaya tata niaga sehingga harga di tingkat petani menjadi relatif rendah. Bahwa pola tata niaga di atas merupakan ciri dari tata niaga yang bersifat monopsoni. Harga ditentukan oleh beberapa atau satu lembaga tata niaga yang dalam hal ini pemilik modal. Dalam tata niaga biji kopi, pedagang besar memegang peranan yang sangat besar dalam menjalankan fungsi tata niaga biji kopi, karena pedagang besar itulah yang menyediakan sebagian besar modal kerja dan menghadapi risiko paling besar. Risiko inilah yang sering dijadikan alasan untuk menekan harga di tingkat pedagang pengumpul desa maupun petani, sebagai akibatnya tata niaga biji kopi menjadi tidak efisien. Di sisi lain posisi petani sangat lemah sebagai penerima harga, sehingga menjadikan pedagang memiliki kekuasaan lebih menentukan harga, selain beberapa petani telah menerima pembayaran awal sebelum panen. Namun saat ini posisi petani 120

dalam menentukan harga menjadi semakin baik sejalan dengan masuknya PMA di daerah sentra produksi kopi lampung. Perbandingan jumlah pelaku asing/PMA dan lokal di industri kopi adalah 20 persen:80 persen, namun penguasaan pasarnya sama yaitu 50 persen:50 persen. Tabel 8. Marjin Tata Niaga Biji kopi di Kabupaten Tanggamus, 2010 Unsur Marjin

Pola I Rp/kg %

Petani Biaya 9.750 27,08 Farmer share 2.250 6,25 Harga jual 12.000 33,33 Pedagang pengumpul desa/kelompok tani Harga beli 12.000 33,33 Biaya tata niaga 240 0,67 Marjin keuntungan 260 0,72 Harga jual 12.500 34,72 Pedagang besar Harga beli 12.500 34,72 Biaya tata niaga 250 0,69 Marjin keuntungan 300 0,83 Harga jual 13.050 36,25 Pedagang perantara Harga beli 13.050 36,25 Biaya tata niaga 200 0,56 Marjin keuntungan 250 0,69 Harga jual 13.500 37,50 Eksportir Harga beli 13.500 37,50 Biaya tata niaga 350 0,97 Marjin keuntungan 450 1,25 Harga jual 14.300 39,72 Domestic roaster Harga beli 14.300 39,72 Biaya tata niaga 11.000 30,56 Marjin keuntungan 10.700 29,72 Harga jual 36.000 100,0 Total Biaya Tata niaga 12.040 33,44 Total Marjin Keuntungan 11.960 33,22 Total Marjin Pemasaran 24.000 66,67

Pola II Rp/kg %

Pola III Rp/kg %

Pola IV (kemitraan) Rp/kg %

9.750 2.250 12.000

27,08 6,25 33,33

9.750 2.250 12.000

27,08 6,25 33,33

10.200 2.300 12.500

28,33 6,39 34,72

12.000 540 460 13.000

33,33 1,50 1,28 36,11

12.000 800 500 13.300

33,33 2,22 1,39 36,94

12.500 800 1.000 14.300

34,72 2,22 2,78 39,72

13.000 200 300 13.500

36,11 0,56 0,83 37,50

13.500 350 450 14.300

37,50 0,97 1,25 39,72

14.300 11.000 10.700 36.000 12.090 11.910 24.000

39,72 30,56 29,72 100,0 33,58 33,08 66,67

13.300 11.000 11.700 36.000 11.800 12.200 24.000

36,94 30,56 32,50 100,0 32,78 33,89 66,67

14.300 11.000 10.700 36.000 11.800 11.700 23.500

39,72 30,56 29,72 100,0 32,78 32,50 65,28

Dari kedelapan pola tata niaga yang ada, pola ke 8 merupakan pola tata niaga yang memberikan margin share yang paling besar kepada petani yaitu sebesar 15,88 persen. Ini menunjukkan bahwa pola ini merupakan pola tata niaga yang paling efisien. Namun pola yang memberikan keuntungan terbesar kepada petani adalah pola VI yaitu sebesar Rp 3.250/kg, jika menjual biji kopi langsung ke pengolah kopi bubuk.

121

Tabel 9. Marjin Tata Niaga Biji kopi di Kabupaten Tanggamus, 2010 Unsur Marjin Petani Biaya Farmer share Harga jual Pedagang pengumpul desa Harga beli Biaya tata niaga Marjin keuntungan Harga jual Pedagang besar Harga beli Biaya tata niaga Marjin keuntungan Harga jual Pedagang perantara Harga beli Biaya tata niaga Marjin keuntungan Harga jual Eksportir Harga beli Biaya tata niaga Marjin keuntungan Harga jual Pengolah Kopi Bubuk Harga beli Biaya tata niaga Marjin keuntungan Harga jual Total Biaya Tata niaga Total Marjin Keuntungan Total Marjin Pemasaran

Pola V Rp/kg %

Pola VI Rp/kg %

Pola VII Rp/kg %

Pola VIII Rp/kg %

9.750 2.250 12.000

28,68 6,62 35,29

9.750 3.250 13.000

9.750 2.750 12.500

28,68 8,09 36,76

10.150 2.350 12.500

68,58 15,88 84,46

12.000 240 760 13.000

35,29 0,71 2,24 38,24 12.500 125 375 13.000

36,76 0,37 1,10 38,24

12.500 225 275 13.000

84,46 1,52 1,86 87,84

13.000 200 300 13.500

87,84 1,35 2,03 91,22

13.500 550 750 14.800

91,22 3,72 5,07 100,00

975 1.325 2.300

6,59 8,95 15,54

13.000 12.320 8.680 34.000 12.560 9.440 22.000

38,24 36,24 25,53 100,00 36,94 27,76 64,70

13.000 12.320 8.680 34.000 12.320 8.680 21.000

28,68 9,56 38,24

38,24 36,24 25,53 100,00 36,24 25,53 61,76

13.000 12.320 8.680 34.000 12.445 9.055 21.500

38,24 36,24 25,53 100,00 36,60 26,63 63,23

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Secara umum, rantai pasokan biji kopi dikuasai oleh perusahaan roasters domestik yang merupakan cabang roaster di luar negeri dan pengekspor dengan fasilitas PMA di dalam negeri. Khusus tentang pasar kopi ekspor, pengekspor dengan fasilitas PMA mendominasi pasar biji kopi karena kemampuannya dalam menguasai jalur distribusi pasokan, dukungan modal kerja dari induk perusahaan di luar negeri dan bunga pinjaman bank dari negara asal yang murah (6% per tahun) dan penguasaan informasi pasar. Produk ekpor utama kopi dari Indonesia adalah dalam bentuk biji yang mengacu pada harga pasar London. Secara umum perkembangan harga biji kopi Indonesia mengalami peningkatan yang cukup baik seiring dengan perkembangan harga dunia. Walaupun persentase harga yang diterima petani masih relatif rendah, yaitu sekitar 55 persen dari harga FOB, selisih yang tersisa masih cukup besar untuk dinikmati oleh pelaku tataniaga lainnya. .

Fluktuasi harga komoditas Kopi cenderung meningkat dengan volatilitas yang cukup tinggi. Harga yang relatif tinggi menjadi insentif dan direspons positif oleh petani. Namun, tidak dapat dengan cepat diantisipasi oleh petani kopi tesebut karena komoditas kopi merupakan tanaman tahunan dan petani terkendala oleh modal. 122

Rantai pasok kopi diantisipasi secara beragam. Panjang atau pendek rantai pasok dari komoditas kopi ditentukan oleh jumlah pedagang perantara yang terlibat. Di daerah sentra produksi yang menghasilkan kopi dengan mutu tinggi dan memiliki pasokan cukup besar umumnya memiliki rantai pasok yang lebih sederhana dan pendek dibandingkan dengan di daerah bukan sentra produksi. Keberadaan perwakilan pengimpor di tingkat desa untuk beberapa kabupaten sentra bahkan memotong rantai pasok sehingga jalurnya lebih efisien dan ramping. Ada delapan jalur pemasaran kopi yaitu: (1) petani-pedagang pengumpulpedagang besar- pedagang perantara-eksportir-domestik roaster; (2) petani- kelompok tani- pedagang perantara-eksportir-domestik roaster; (3) petani -, kelompok tani domestik roaster; (4) petani - kelompok tani - domestik roaster (dengan pola kemitraan); (5) petani- pedagang pengumpul- pengolah kopi bubuk; (6) petani - pengolah kopi bubuk; (7) petani - pedagang besar- pengolah kopi bubuk; (8) petani - pedagang besarpedagang perantara-eksportir. Pola tata niaga yang menguntungkan petani yaitu pola pemasaran dari petani langsung ke pengolah kopi bubuk merupakan pola yang paling menguntungkan bagi petani, karena walaupun petani harus mengeluarkan biaya transport namun kontribusi yang diterima petani dari pola tersebut mencapai Rp 3250/kg, terbesar dibandingkan dengan pola tata niaga yang lainnya. Dalam rangka revitalisasi usahatani kopi menghadapi liberalisasi dan globalisasi perdagangan perhatian yang lebih prioritas perlu diarahkan kepada upaya pengembangan teknologi produksi dan pasca panen seperti penerapan teknologi yang sesuai anjuran dan panen petik merah agar dihasil produk biji kopi yang berkualitas tinggi dan dapat diproses secara basah yang akan mendapat harga relatif tinggi di pasar biji kopi. Bersamaan dengan upaya pengembangan pengolahan pasca panen, perlu ditingkatkan keikutsertaan petani dalam program kemitraan yang saling menguntungkan baik dengan pedagang maupun dengan roaster domestic, dengan syarat ada suatu jaminan dan konsistensi dalam tingkat keuntungan yang diterima langsung oleh petani. DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 1990-2011. Statistik Perkebunan Indonesia: Kopi. Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Jakarta. International Coffee Organization. 2011. Coffee Statistics 1990-2010. International Coffee Organization, London. International Trade Centre-UNCTAD/WTO. 2002. Coffee: An Exporters’s Guide. United Nations, New York. Jong, G. 1997. Imperfections in the Coffee Market: The influence of the Earning of Indonesian Coffee Farmer. Working Paper Graduate of The Faculty of Economical Sciences. University of Groningen. The Hague. Masjud, Y. I. 2000. Kajian Karakteristik dan Dampak Lingkungan Kegiatan Petani sekitar Hutan. Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 10. Yahmadi, M. 1999. Beberapa Catatan Tentang Perkembangan Mutu Kopi Ekspor Indonesia 1983-1998. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 15(1): 49-63.

123