MEMBANGUN AKUNTANSI MANAJEMEN SYARIAH: MENDESAKKAH? Sonhaji STIE Malangkuçeçwara Jalan Terusan Candi Kalasan Malang Email:
[email protected] Abstract: Developing Syaria Management Acoounting: Is it Urgent? Accounting Management was born from the root of Western capitalism characterized with egoistic, materialistic and individualistic values that potentially cause dysfunctional behavior. Management Accounting is related more with behavioral aspect. This article seeks to identify the basic behavioral assumptions using an Islamic perspective. Islam worldview can be used to develop Sharia Management Accountingby using the rule: "maintain the good from the past, take the better from today, and if you can not accept all, do not reject everything". Further improvements need to be made, both in terms of ideas as well as research concepts. It is not only urgent but there must also be willingness to develop syaria management accounting. Abstrak: Membangun Akuntansi Manajemen Syariah: Mendesakkah?. Akuntansi manajemen lahir dari “rahim” kapitalisme dalam pola pikir barat yang bercirikan muatan egoistik, materialistik dan individualistik yang potensial menimbulkan perilaku disfungsional. Akuntansi manajemen banyak berkaitan dengan keperilakuan. Artikel ini berusaha mengidentifikasi asumsi-asumsi dasar keperilakuan dengan menggunakan worldwiew Islam yang selanjutnya dapat digunakan untuk membangun akuntansi manajemen syariah. Upaya ini dapat dilakukan dengan menggunakan kaidah “memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik serta jika tidak bisa menerima semuanya jangan tolak semuanya”. Perbaikan lebih lanjut perlu terus dilakukan baik dari segi pemikiran konsep maupun penelitian. Hal ini bukan saja mendesak namun juga harus ada kemauan untuk melakukan. Kata Kunci: akuntansi manajemen, keperilakuan, sudut pandang Islam, syariah.
worldview di lingkungan dimana diciptakan dan dikembangkan. Dari sudut pandang ini, akuntansi manajemen saat ini yang menurut istilah Mulawarman (2011: xvii) lahir dari peradaban barat atau sebagai by product barat dipengaruhi oleh worldview kapitalis yang bersifat egoistik, dan materialistik dan individualistik (Triyuwono 2012: 8). Kenyataan ini sejalan dengan pandangan positivisme dalam keilmuan, yang secara keilmuan akuntansi manajemen dikembangkan di dalamnya. Tidak bisa dipungkiri, bahwa positivisme telah memberikan “jasanya” pada penyelesaian masalah manusia di dunia dan telah men-
”Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik” (Nurcholis Madjid)
Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 4 Nomor 1 Halaman 1-164 Malang, April 2013 ISSN 2086-7603
Akuntansi manajemen, seperti “saudaranya”, akuntansi keuangan, lahir dari “rahim” kapitalisme. Hal ini membawa konsekuensi logis, bahwa akuntansi manajemen menyandang sifat-sifat kapitalisme di dalamnya yang mewujud dalam teknik-teknik aplikasinya baik dalam bentuk dipengaruhi maupun memengaruhi penggunanya. Akuntansi manajemen, sebagai bagian dari akuntansi, dapat dipandang sebagai ilmu pengetahuan dan praktik yang dalam pengembangan dan pemanfaatannya dipengaruhi oleh 112
Sonhaji, Membangun Akuntansi Manajemen Syariah: Mendesakkah?...113
dasari perkembangan ilmu di era modern ini. Suatu era yang membuat lompatan kemajuan duniawi yang sangat luar biasa. Namun sa-yang karena “watak” dari filsafat yang mendasarinya, positivisme membuat manusia tidak terkendali. Peradaban modern, yang lahir dari pandangan positivisme digambarkan oleh Kuntowojoyo (2006: 115117) telah menimbulkan manusia modern yang penuh problematik dan menjadi tawanan dari ciptaannya sendiri. Pandangan ini telah menimbulkan perilaku disfungsional. Kalau akuntansi manajemen dikembangkan berdasar pada pandangan-pandangan tersebut bisa dipastikan bahwa akuntansi manajemen berada dalam pusaran: dilahirkan dan dikembangkan oleh kapitalismepositivistik yang pada gilirannya sebagai alat yang menyuburkan pandangan tersebut. Pandangan ini telah menimbulkan perilaku disfungsional yang dampak negatifnya sudah dirasakan dan sepertinya tidak semakin menyurut. Akuntansi manajemen memerlukan worldviewlain yang lebih humanis dan transenden agar dapat sebagai alat dan sarana penyedia informasi yang berguna sekaligus meningkatkan rasa transendetal pemakainya guna peningkatan kesejatian kemanusiaannya. Artikel ini berusaha menggali dan mengidentifikasi konsep, yang disebut asumsi-asumsi dasar keperilakuan, berdasar pada worldview Islam yang selanjutnya dapat digunakan untuk membangun akuntansi manajemen syariah. Worldview positivistik yang mendasari pengembangan ilmu modern barat memang telah berhasil melakukan pembebasan pada manusia dari belenggu mistik, namun sayang justru masuk pada belenggu baru berupa pemberhalaan ciptaannya sendiri. Capra (2002: 3) menggambarkan akibat dari ilmu pengetahuan modern, yang karena dominannya, menimbulkan krisis multidimensional yang menyangkut berbagai segi kehidupan dengan dimensi intelektual, moral dan spiritual. Hal ini telah mengimbas ke dalam akuntansi, termasuk akuntansi manajemen. Akuntansi manajementelah memberikan kemanfaatan pada dunia bisnis dan organisasi, yang meliputi mulai dari penyediaan informasi untuk mengetahui, sampai pada pertanggungjawaban, perencanaan, pengendalian dan pengambilan keputusan. Namun karena terlahir dan dikembangkan dari pandangan positivisme, yang dampak-
nya seperti yang disinggung di atas, ternyata hal tersebut tidak membebaskan pemakai, atau akuntansi itu sendiri, dari implikasi yang tidak semestinya yang sebagiannya diakibatkan oleh orang yang membangun dan menggunakan akuntansi untuk kepentingan pribadi dan egonya serta oleh nilai-nilai yang mendasari pembangunan dan pengembangannya. Bahkan seolah-olah, akuntansi diciptakan untuk memenuhi nafsu negatif manusia. Pertanyaan yang muncul, mengapa akuntansi dapat dimanfaatkan seperti itu? Bukankah akuntansi, sebagai ilmu pengetahuan dan praktik, bebas nilai? Kalau akuntansi bebas nilai, bukankah semestinya akuntansi tidak dapat memengaruhi manusia untuk berbuat yang tidak semestinya? Ternyata, akuntansi tidak bebas nilai. Bahkan Triyuwono (2006)menyatakan dengan tegas bahwa ”Tidak mungkin! Akuntansi tidak mungkin bebas nilai, karena dalam proses penciptaannya melibatkan manusia yang memiliki kepribadian dan penuh dengan kepentingan”. Pernyataan tersebut menggambarkan implikasi dari sebuah pandangan. Akuntansi berada pada dua posisi, yang dipengaruhi ketika dibangun dan memengaruhi saat digunakan. Tidak bebas nilai, membuat akuntansi dapat mendorong orang untuk melakukan tindakan yang sejalan dengan nilai-nilai yang mendasari akuntansi. Dari perspektif ilmu, akuntansi memiliki sifat keilmuan seperti bidang-bidang yang lain, yang pada dasarnya bahwa ilmu tidak akan bebas nilai. Sebagai kreasi manusia, ilmu ternyata merupakan hasil dari pandangan hidup suatu bangsa, agama dan peradaban tertentu. Tidak bebas nilai tersebut, karena sebagai kreasi manusia, ilmu ternyata merupakan hasil dari pandangan hidup (worldview) suatu bangsa, agama dan peradaban tertentu. Dengan demikian ilmu sarat dengan muatan nilai-nilai filosofis dan nilai-nilai tertentu masyarakat yang mengembangkan (Daud 2005; Islamia 2005; Kartanegara 2005: 86-87). Tentu saja, akuntansi juga demikian, sebagai suatu ilmu dan praktik yang dibangun dan dikembangkan di suatu tempat dan peradaban tertentu, akuntansi akan dipengaruhi oleh pandangan-pandangan dimana akuntansi dikembangkan. Sebetulnya akuntansi yang tidak bebas nilai ini tidaklah jadi persoalan, sebab begitulah nature dari kehidupan. Yang menjadi masalah justru jika yang memengaruhi
114
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 112-126
akuntansi adalah nilai-nilai atau praktik yang menimbulkan akibat yang tidak sehat. Sebab dalam perjalanannya, akuntansi, termasuk akuntansi manajemen, sebagai seperangkat pengetahuan dan praktik ternyata telah menjadi alat pendukung perilaku disfungsional dari praktik bisnis. Diakui bahwa kapitalisme telah membawa manusia ke kemajuan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Namun ini tidak menghilangkan efek sampingnegatifnya yang meresahkan. Pengaruh tersebut dapat diamati dari fenomena kejahatan bisnis yang terjadi. Akuntansi telah digunakan untuk membantu praktik yang tidak sehat yang membuat perusahaan bangkrut dan ekonomi negara terguncang. Hal ini dapat merujuk pada kasus Enron, yang mencakup enam isu akuntansi dan auditing untuk melakukan penyimpangan yang melibatkan direksi, komisi audit, pengacara dan auditor (Benston dan Hartgraves 2002) dan akuntan telah jauh meninggalkan kemestian kemampuan dalam melakukan tugasnya (Reinstein dan McMillan 2004). Dalam konteks Indonesia, kasus Bank Century adalah contoh nyata penggunaan akuntansi untuk tujuan yang tidak benar. Disamping itu terdapat kasus-kasus lainnya yang melibatkan Kantor Akuntan Publik (KAP) terkenal di Indonesia dengan kasus yang beragam dan kasus yang juga terjadi pada Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan/BPKP (Ludigdo 2007: 11-12). Seperti yang sudah disinggung di atas, bahwa akuntansi adalah hasil dari peradaban barat, berciri kapitalis yang banyak diwarnai oleh pandangan hidup barat yang nilai-nilai dominannya adalah egoistik, materialistik dan individualistik. Atas nilai-nilai itulah akuntansi dibangun dan dikembangkan (Triyuwono 2012: 8). Siapa yang menciptakan nilai-nilai tersebut? Tentu saja, manusia yang berada di lingkungan itu. Nilai-nilai dimaksud masuk pada sistem apa pun bentukan manusia, termasuk terhadap akuntansi. Pada gilirannya, pengguna akuntansi akan terkontaminasi dengan nilai-nilai yang ada. Manusia yang pada awal menggunakan akuntansi tidak menggunakan nilainilai egoistik, materialistik dan individualistik, dapat terpengaruh walau secara tidak disadari. Implikasi dari pandangan hidup atau nilai-nilai yang dianut oleh manusia yang membangun akuntansi dapat dilihat dari dominasi akuntansi konvensional yang ber-
laku saat ini yang menggunakan laba sebagai dasar akuntansi nilai tambah. Konsep ini ternyata berimplikasi pada perilaku menjajah dan menghegemoni kepentingan manusia oleh segelintir sangat sedikit manusia “kapitalis” (pemegang saham dan pemilik dana) melalui institusi yang disebut Korporasi Multinasional. Dengan teknologi dan bantuan akuntansi lalu lintas aliran kas perusahaan melalui "dunia maya" yang semakin tak terkendali. Terdapat hegemoni politik dan pergeseran kekuatan ekonomi yang membuat negara hanya sebagai "aktor figuran"(Mulawarman 2010). Dalam kaca mata Herzt (2011: 12) justru kekuasaan negara diambil alih oleh perusahaan-perusahaan. Kekuasaan pengusaha lebih kuat daripada politisi. Dalam situasi seperti ini, akuntansi telah digunakan segai sarana akumulasi modal untuk kepentingan pribadi seperti; pemilik, pemegang saham, investor atau kreditor (Mulawarman 2010). Dari keadaan tersebut dan “keprihatinan”nya, Mulawarman menawarkan metode alternatif dengan apa yang disebutnya akuntansi berbasis nilai tambah berdasar kearifan holistik. Berbeda dengan ide Mulawarman, penulis dalam artikel ini menawarkan ide konstruksi konsep dasar yang didasarkan pada asumsi-asumsi yang digali dari worldview Islam guna membangun akuntansi manajemen syariah. Setelah pertama menyajikan latar belakang ide, artikel ini dilanjutkan sesi kedua yang menjelaskan asumsi-asumsi keperilakuan yang mendasari akuntansi manajemen konvensional. Hasil identifikasi dan postulat Caplan (1978) tentang asumsi-asumsi dasar keperilakuan akuntansi manajemen tradisional dan teori organisasi modern dibahas di sesi ini. Ketiga, artikel ini memaparkan postulat asumsi dasar keperilakuan berdasar worldview Islam, dan sesi keempat adalah penutup. HASIL DAN PEMBAHASAN Asumsi-asumsi keperilakuan yang Mendasari akuntansi manajemen Konvensional. Dalam menjalankan fungsinya, manajemen memerlukan alat bantu yang dapat menyediakan informasi untuk perencanaan dan pengendalian perusahaan. Salah satu alat bantu ini adalah Sistem akuntansi manajemen/SAM yang dirancang oleh akuntan. Dalam situasi lingkungan yang terus berubah dan sulit diprediksi,
Sonhaji, Membangun Akuntansi Manajemen Syariah: Mendesakkah?...115
akuntan, sebagai perancang SAM menggunakan pan-dangannya dalam memutuskan bagaimana SAM dibangun dan informasi apa saja yang sebaiknya disajikan kepada manajemen (Caplan 1978). Dengan demikian, sebagai seperangkat pengetahuan yang mendasari aplikasi SAM, akuntansi manajemen telah mendominasi perannya di aktivitas perencanaan, pengevaluasian dan pengambilan keputusan serta pengendalian. Sebagai suatu sistem informasi, Akuntansi Manajemen menghasilkan informasi untuk pemakai. Akuntansi manajemen dapat dianggap sebagai alat. Laiknya sebuah alat, tentu sangat dipengaruhi oleh lingkungan di mana akuntansi manajemen dibangun dan diterapkan. Salah satu aspek lingkungan dimaksud adalah berkaitan dengan keperilakuan. Anggapan dasar atau asumsi berkaitan dengan keperilakuan dimaksud mendasarkan pada asumsi-asumsi dari teori orga-nisasi tentang keperilakuan yang selanjutnya menentukan konstruksi dan operasional akuntansi manajemen. Seperti dimaklumi bahwa pemfungsian akuntansi manajemen erat dengan keperilakuan, sehingga luas lingkup dan corak SAM sebagai wujud aplikasi akuntansi manajemen sangat dipengaruhi oleh pandangan akuntan yang membangun sistem tersebut tentang perilaku (Caplan 1978). Adapunpandangan tentang perilaku manusia yang dimiliki akuntan dipengaruhi oleh pandangan mana dari teori organisasi yang dianut oleh seorang akuntan tersebut. Berkaitan dengan pandangan tentang keperilakuan yang mendasari akuntansi manajemen, dalam tulisan klasiknya, Caplan (1978) telah mengindentifikasi asumsi-asumsi keperilakuan (Behavioral Assumptions) yang mendasari pengembangan akuntansi manajemen yang berasal dari asumsi-asumsi teori organisasi. Pertama, dia telah mengidentifikasi asumsi-asumsi keperilakuan dari konsep teknologi perekayasaan Industri, teori organisasi klasik, dan teori Ekonomi tentang Perusahaan. Hasil identifikasinya disebut “asumsi-asumsi keperilakuan model akuntansi manajemen ”tradisional” perusahaan” (behavioral assumptions of ”tradisional” management accounting model of the firm). Kedua, dia berusaha mempostulatkan asumsi-asumsi keperilakuan berdasar teori organisasi modern dan menghubungkan dengan akuntansi manajemen, yang disebut“ beberapa asum-
si-asumsi keperilakuan dari teori organisasi modern (some assumptions from modern organizational theory). Usaha Caplan mengidentifikasi asumsi-asumsi keperilakuan pada akuntansi manajemen dari Teori Organisasi Tradisional/TOT dan usaha membuat postulat dari Teori Organisasi Modern/ TOM memberi wawasan pada kita tentang apa anggapan dasar atau asumsi yang melandasi pengembangan akuntansi manajemen. Hasil mengidentifikasi dan membuat postulat asumsi-asumsi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 - 4. Disebut asumsi-asumsi keperilakuan model akuntansi manajemen ”tradisional” Perusahaan, karena baik secara filosofi maupun teknik, akuntansi Manajemen tradisional adalah produk dari teori klasik atau TOT. Sedangkan dari perkembangan teori organisasi yang ada sangat mungkin mempostulatkan asumsi-asumsi alternatif yang diadopsi dari TOM. Caplan (1978) telah mempostulatkan dalam bentuk asumsi-asumsi keperilakuan dari TOM. Pertanyaan-pertanyaan menariknya menurut Caplan (1978) adalah bagaimana implikasi pandanganpandangan tersebut? Menurut pengamatannya, bahwa pandangan tradisional tentang perilaku telah menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan bagi organisasi dan partisipannya. Karenanya dia mengajukan pandangan alternatif yang diambil dari TOM. Setelah diidentifikasi asumsi-asumsi keperilakuan dari TOM, timbul pertanyaan mendasar di antaranya; apakah benarbenar ada perbedaan pokok tentang asumsi perilaku antara TOT dan TOM? Adakah konsekuensi yang berbeda bagi perusahaan dan partisipannya antara pandangan tentang perilaku yang berdasar pada TOT dan TOM?. Pertanyaan tersebut menimbulkan pertanyaan yang lebih khusus, yaitu apakah SAM yang lebih berorientasi ke TOM akan memberikan hasil yang lebih baik daripada yang berorientasi ke TOT? Atau apakah TOM memberikan perspektif yang memberikan dampak baik pada praktik bisnis dan operasional akuntansi manajemen? Pertanyaan-pertanyaan tersebut lebih mengacu pada hasil dalam bentuk finansial atau laba perusahaan. Secara makro dapat dideteksi bahwa dari kejadian akhir-akhir ini berkenaan dengan skandal perusahaan besar yang merekayasa informasi untuk kecurangan, ternyata pandangan modern pun belum menghasilkan hasil yang baik. Justru pandangan modern, yang sejalan den-
116
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 112-126
Tabel 1. Asumsi Berkaitan dengan Tujuan Organisasi Asumsi Keperilakuan Model akuntansi manajemen “Tradisional” tentang Perusahaan /teori Organisasi Tradisional
Asumsi Keperilakuan dari teori Organisasi Modern
a. Tujuan utama aktivitas bisnis adalah maksimalisasi laba (teori Ekonomi)
a. Organisasi merupakan koalisi yang terdiri atas partisipan organisasi. Organisasi tidak mempunyai pikiran, sehingga tidak mempunyai tujuan, hanya individu yang mempunyai tujuan.
b. Tujuan utama dapat dibagibagikan menjadi sub-subtujuan yang didistribusikan pada seluruh organisasi (Prinsip Manajemen) c. Tujuan bersifat aditif, apa yang baik untuk bagian-bagian bisnis akan juga baik untuk semua bagian (Prinsip Manajemen)
b. Tujuan yang dipandang sebagai tujuan organisasi sebenarnya adalah tujuan anggota-anggota yang dominan dalam koalisi terebut, tunduk pada kendalakendala yang dipaksakan oleh partisipan lainnya dan oleh ligkungan eksternal organisasi. c. Tujuan organisasi cenderung berubah sebagai reaksi terhadap: perubahan tujuan partisipan yang dominan, perubahan hubungan di dalam koalisi , dan (3) perubahan lingkungan eksternal organisasi. d. Pada perusahaan yang kompleks, tidak ada tujuan tunggal universal organisasi seperti maksimalisasi laba. Sampai kepada hal bahwa setiap tujuan sesungguhnya secara keseluruhan dapat terindentifikasi, tujuan itu mungkin kelangsungan hidup perusahaan. e. Menghadapi dunia yang sangat kompleks dan tidak pasti, dan hanya diperlengkapi dengan rasional terbatas, maka anggota organisasi cenderung memusatkan pada tujuan-tujuan ”lokal” (misalnya; individu atau departemen). Tujuan lokal ini sering bertentangan dengan lainnya. Lagi pula, tampaknya tidak ada dasar yang sah bagi asumsi bahwa mereka homogen dan dengan demikian bersifat aditif – apa yang baik untuk bagian-bagian tertentu tidak otomatis baik bagi keseluruhan
Sumber: Caplan 1978
Sonhaji, Membangun Akuntansi Manajemen Syariah: Mendesakkah?...117
Tabel 2. Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Perilaku Partisipan Asumsi Keperilakuan Model akuntansi manajemen “Tradisional” tentang Perusahaan /teori Organisasi Tradisional a. Partisipan organisasi termotivasi terutama oleh kekuatan ekonomi (teori Ekonomi) b. Pekerjaan pada hakikatnya merupakan tugas yang tidak menyenangkan yang dihindari orang bilamana mungkin (Prinsip Manajemen) c. Manusia biasanya tidak efisien dan boros (Manajemen Ilmiah)
Asumsi Keperilakuan dari teori Organisasi Modern
a. Perilaku manusia dalam organisasi pada hakekatnya merupakan peroses penyelesaian masalah, pengambilan keputusan yang adaptif. b. Partisipan organisasi termotivasi oleh aneka ragam kebutuhan dan dorogan psikhologis, sosial dan ekonomi. Kekuatan relatif dari kebutuhan yang berlainan tersebut berbeda antara indvidu-individu dan pada individu yang sama untuk sekali waktu c. Keputusan individu untuk bergabung dengan organisasi, dan keputusan untuk tidak menyumbangkan usahanya yang produktif sebagai anggota, didasarkan pada partisipasi individu terhadap taraf mana tindakan tersebut akan memperbaiki pencapaian tujuan pribadinya. d. Efisiensi dan keefektifan perilaku manusia dan pengambilan keputusan di dalam organisasi dibatasi oleh; ketidaksang-gupannya mengkonsentrasikan lebih dari beberapa hal saja dalam sekali waktu, kepekaan yang terbatas pada lingkungannya, (3) keterbatasan pengetahuan tentang tindakan alternatif dan konsekuensi dari alternatif tersebut, (4) keterbatasan kesanggupan penalaran, dan (5) ketidaklengkapan dan ketidakkonsistenan sistem-sistem pilihan. Sebagai akibat keterbatasan rasionalitas manusia, perilaku individu dan organisasi biasanya diarahkan pada usaha-usaha untuk menemukan penyelesaian yang cukup memuaskan daripada untuk menemukan penyelesaian yang optimal.
Sumber: Caplan 1978
118
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 112-126
Sonhaji, Membangun Akuntansi Manajemen Syariah: Mendesakkah?...119
Tabel 4. Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Peranan akuntansi manajemen Asumsi Keperilakuan Model akuntansi manajemen “Tradisional” tentang Perusahaan /teori Organisasi Tradisional a. Fungsi utama akuntansi manajemen adalah untuk membantu manajemen dalam proses maksimaisasi laba (Manajemen Ilmiah) b. Sistem akuntansi merupakan alat ”alokasi tujuan” yang memunginkan manajemen menyeleksi tujuan operasinya serta mendistribusikannya di seluruh perusahaan, yaitu menetapkan tanggung jawab suatu prestasi. Ini umumnya disebut “perencanaan” (Prinsip Manajemen) c. Sistem akuntansi merupakan alat pengendalian yang memungkinkan manajemen untuk mengidentifikasi dan memperbaiki prestasi yang tidak dikehendaki (Manajemen Ilmiah) d. Terdapat kepastian, rasionalitas, dan pemahaman yang cukup akurat tanggung jawab untuk suatu prestasi dengan manfaat dan kos bagi prestasi tersebut (Prinsip Manajemen) e. Sistem akuntansi bersifat “netral” dalam evaluasinya prasangka pribadi diabaikan oleh objektivitas sistem (Prinsip Manajemen)
Asumsi Keperilakuan dari teori Organisasi Modern a. Proses akuntansi manajemen adalah sistem akuntansi yang maksud pokoknya adalah: memberi berbagai tingkatan manajemen data yang memudahkan fungsi pengambilan keputusan untuk perencanaan dan pengendalian, dan berfungi sebagai media komunikasi di dalam organisasi b. Pemakaian teknik pengendalian anggaran dan teknik akuntansi lainnya yang efektif memerlukan pemahaman interaksi antara teknik-teknik tersebut dengan tingkat motivasi dan tingkat aspirasi individu yang akan dikendalikan c. Objektivitas proses akuntansi manajemen sebagian merupakan mitos. Akuntansi memiliki keleluasaan yang luas dalam penseleksian, pemrosesan dan pelaporan data. d. Dalam melaksanakan fungsinya di dalam organisasi, para akuntan bisa diharapkan terpengaruh oleh tujuan pribadi dan departemennya sendiri seperti para partisipan lainnya pun dapat terpengaruh.
120
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 112-126
gan pandangan kapitalis, menjadikan “jalan mulus” bagi akuntansi, termasuk akuntansi manajemen, bagi fenomena kejahatan ekonomi yang terjadi melalui perekayasaan di sistem akuntansi. Gambaran mengkhawatirkan kapitalisme telah menjadi sorotan beberapa ahli, yang akuntansi manajemen dijadikan sebagai salah satu alat yang dikembangkan dan digunakan untuk mendukung kapitalisme. Hertz (2011: 11-12) telah merasakan adanya keprihatinan masyarakat dunia terhadap keadaan dunia saat ini. Hal ini semata dikarenakan oleh apa yang disebutnya sebagai pendulum kapitalisme mengayun terlalu jauh. Dengan satu cirinya yang dominan yaitu kecintaan dan keyakinannya terhadap pasar bebas telah mengacaukan kebenaran sejati. Tentu saja ini bukan hanya tidak sempurna namun juga tidak adil. Bagaimana tidak, negara yang semestinya memelihara kepentingan rakyatnya sudah tidak dapat dipercaya, hanya karena kalah dengan perushaan-perusahaan besar, yang sudah mengambil alih fungsi negara. Percaturan bisnis telah mengalahkan suara rakyat yang pada gilirannya rakyatlah yang harus menaggung beban lebih tinggi dari pertumbuhan terus menerus yang telah menjadi tujuan kapitalisme. Hertz (2011: 13-14) memberikan ilustrasi yang baik tentang bagaimana kapitalisme bekerja. Dia menyayangkan sikap Perdana Menteri Inggris, Thatcher dan Presiden Amerika, Reagan yang pandangan kapitalismenya telah memberi kekuasaan yang besar pada perusahaan-perusahaan. Dia memberi metafora untuk kapitalisme sebagai “gelembung Benetton”. Benetton telah memasang reklame berupa seorang bayi hitam kelaparan, kurban AID menjelang ajal dan seragam berdarah tentara Bosnia yang tewas. Benetton mengejutkan orang yang melihat reklame tersebut, tetapi hanya berupa kejutan bukan untuk bertindak. Tetap saja Benetton hanya bertujuan untuk mendongkrak keuntungan melalui keseng-saraan orang lain. Jadi foto yang dipampang di reklamenya hanya “omong kosong” belaka. Ini persis yang dilakukan partai besar; Demokrat yang menggembor-gemborkan sisi baik liberarisme dan Partai Republik dengan konservatismenya, hanya untuk meraih suara. Hanya menawarkan pilihan yang supaya diangap berbeda yang tidak ada dalam realita. Menurut Hertz, politisi hanya menawarkan satu solusi berupa sistem eko-
nomi Laissez faire, budaya konsumerisme, kekuatan finansial dan perdagangan bebas. Kalau tujuan utamanya adalah keuntungan sebagaimana disebut Caplan (1978) sebagai aplikasi asumsi dasar ekonomi tradisional yang diadopsi oleh organisasi tradisional, yang selanjutnya digunakan oleh akuntansi manajemen. Pertumbuhan telah menjadi “agama” kapitalisme, yang diwujudkan dalam produksi yang terus tumbuh. Untuk ini masyarakat telah menciptakan dan masih hidup dalam “Sistem-Uang-harus-Tumbuh”. Dalam masyarakat kapitalis, manusia terus mengejar hal yang superlatif dan tidak puas hanya dengan jumlah. Hal ini juga telah menciptakan keragaman “dunia buatan”, yang sudah melampaui dunia bilogis. Padahal pertumbuhan ekonomi abadi adalah sesuatu yang mustahil di bumi yang terbatas. Masyarakat kapitalis juga pandai menyimpangkan pengertian, salah satunya pembangunan yang berkelanjutan telah diartikan sebagai pertumbuhan yang berkelanjutan. Akibatnya kerusakan alam dari ekploitasi untuk tujuan ekonomi tidak lagi liner namun eksponensial. Dampak yang secara tidak sadar menyangkut moral-etis adalah dalam usaha mempertahankan “Sistem-Uang-harusTumbuh”, akan ada “penunggang bebas” dalam berhubungan dengan lingkungan yang menginternalisasi keuntungan dengan membiarkan beban eksternalisasi yang merugikan pihak lain (Hoogendijk 1996). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kapitalisme telah menimbulkan perilaku disfungsional secara menyeluruh. Hoogendijk (1996) menyarankan untuk memotong sektor “uang-harus-tumbuh” dan memupuk “ekonomi hijau” dan perubahan mindset. Sejalan dengan pandangan Hertz bahwa negara dikalahkan oleh perusahaan-perusahaan, Hoogendijk menyatakan bahwa negara besar modern ibarat raksasa yang terhuyunghuyung yang dipaksa berlari terus agar tak terjatuh. Fenomena perilaku disfungsional dan kejahatan ekonomi yang berlingkup akuntansi telah dipaparkan oleh Benston and Hartgraves (2002) dan Reinstein and McMillan (2004). Sedangkan yang berlingkup pengauditan diungkap oleh Ludigdo (2007: 1112). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa baik TOT maupun TOM gagal membawa perusahaan dan partisipannya ke perilaku bisnis yang lebih baik, etis dan humanis.
Sonhaji, Membangun Akuntansi Manajemen Syariah: Mendesakkah?...121
Sebetulnya, hal tersebut secara tidak langsung telah menjawab pertanyaan Caplan seperti yang diajukan di atas. Fenomena seperti tersebut di atas dapat dimengerti sebab manusia akan bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang dipercaya dan dianutnya. Sebagai contoh, ada prinsip ekonomi dan bisnis berlaku dalam waktu yang lama sekali, yaitu ”memeroleh pendapatan sebanyak-banyaknya dengan biaya serendah-rendahnya” atau maksimalisasi laba (Caplan 1978). Selisih pendapatan dan biaya tersebut adalah laba, sebagai pusat perhatian pelaku ekonomi dan bisnis. Berkaitan dengan konsep laba ini, Mulawarman (2010) mensinyalir adanya ketidakkonsistenan dalam keseimbangan harmonisasi dalam akuntansi yang nampak dalam struktur laporan laba rugi. Prinsip ini sangat besar pengaruhnya pada praktik bisnis. Sehingga prestasi manajer perusahaan dinilai berdasarkan prinsip tersebut, yang wujudnya berbentuk laba yang selalu meningkat, aktiva yang terus berkembang dan biaya yang paling efisien. Hoogendijk (1996: xxix) meyebut “pertumbuhan berkelanjutan”. Ini yang oleh Triyuwono (2006) disebut untuk kepentingan ego. Hal tersebut menggambarkan pemenuhan keinginan yang mengabaikan akibat tidak menguntungkan bagi orang lain atau lingkungan, yang oleh Hoogendijk (1996: xv) disebut “penunggang bebas” dalam urusan lingkungan, yaitu dengan menginternalisasi keuntungan, namun membiarkan beban sebagai eksternalitas yang merugikan kerugian di pihak lain. Sayangnya lagi, hal ini telah membentuk sifat dan perilaku manajer dalam menjalankan tugasnya. Tentu saja hal tersebut bisa terjadi, karena manajer ”ditekan” oleh pemegang saham, dan pada saat yang bersamaan dia berada dalam situasi yang sarat dengan hubungan dan persaingan bisnis yang banyak diliputi oleh perilaku egoistik, materialistik dan individualistik, sehingga wajar jika manajer bereaksi yang sama dengan nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya. Jika TOT dan TOM yang “merasuk” ke akuntansi manajemen telah menimbulkan perilaku disfungsional dan gagal membuat perilaku bisnis yang lebih humanis dan moral-etis, lalu pertanyaan menariknya adalah apa yang dapat dilakukan oleh akademisi dan praktisi untuk memperbaiki keadaan ini? Menurut penulis setidaknya ada tiga alternatif. Pertama, tetap menjalankan
yang lama, akuntansi manajemen konvensional yang berdasar TOM atau TOT, dengan “menambal” apa yang kurang yang menyebabkan perilaku menyimpang. Langkah ini mengandung resiko, akan selalu ada pola berulang antara “kejadian” dan “reaksi” yang berupa “tambal sulam”. Cara ini sifatnya tidak tuntas dan tidak menyeluruh. Kedua, mengganti model dan teknik yang konvensional dengan yang lainnya secara total. Ini juga ada resiko, bahwa karena yang “baru” belum stabil maka bersifat spekulasi. Ketiga, dekonstruksi asumsi keperilakuan TOT dan TOM di akuntansi manajemen konvensional dengan yang berdasar pada worldview Islam. Ini perlu dilakukan karena fenomena kejahatan ekonomi dan bisnis banyak dipengaruhi oleh konsep dan prinsip yang tidak lagi memadahi bagi pembangunan kehidupan kemanusiaan yang lebih baik dan humanis, apalagi yang lebih spiritual. Dengan demikian adalah rasional jika tindakan perbaikan adalah dengan menggali nilai-nilai yang lebih baik dan lebih spiritual sebagai landasan praktik bisnis dan akuntansi. Nilai-nilai dimaksud, worldview Islam dapat digali dari nilai-nilai Islami. Asumsi Dasar Keperilakuan berdasar Worldview Islam. Akuntansi baik dilihat dari sudut pengetahuan maupun praktik, tidak lepas dari pandangan yang mendasari. Seperti telah diiuraikan di atas, bahwa akuntansi yang selama ini didasarkan dan dikembangkan dengan basis positivisme atau keilmuan barat. Pada saat yang sama, keilmuan barat mengalami kebuntuhan dalam menjawab pertanyaan mendasar manusia dan terdapat penyimpangan dari pandangan moral-etis. Dalam pengantar tentang tentang topik epistemologi dalam pemikiran Islam, majalah Islamia (Islamia 2005) memberikan gambaran tentang ide worldview (pandangan hidup) yang dianut ilmu. Ada keyakinan bahwa ilmu adalah by product dari pandangan hidup suatu bangsa atau peradaban. Worldview diartikan sebagai pandangan hidup atau filsafat hidup atau prinsip hidup. Dalam Islam worldview dimaksudkan sebagai visi Islam atau prinsip Islam. Seperti yang dikutip oleh Zarkasyi (2005), Al-Attas memandang worldview Islam sebagai “pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud, oleh karena yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka worldview Islam berarti
122
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 112-126
pandangan Islam tentang wujud”. Worldview memiliki struktur yang terdiri atas (1) struktur tentang kehidupan, (2) tentang dunia, (3) tentang manusia, (4) tentang nilai dan (5) tentang struktur pengetahuan. (Zarkasyi 2005). Berdasarkan struktur tersebut dan ranah yang ditawarkan oleh Caplan, artikel ini berusaha mempostulatkan asumsi dasar keperilakuan berdasarkan worldview Islam guna membangun akuntansi manajemen syariah. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kedua teori, TOT dan TOM, walau telah mewarnai organisasi sangat lama, telah gagal membawa kehidupan manusia, lebih-lebih dalam bisnis, ke yang lebih harmonis, humanis dan spiritualis. Padahal kedua teori tersebut telah lama mendasari dan melingkupi akuntansi manajemen. Dari pandangan Triyuwono (2006) dan Caplan (1978), dapat dikatakan bahwa akuntansi, baik Akuntansi Keuangan maupun akuntansi manajemen, sebagiannya didasari nilai-nilai atau asumsi keperilakuan seperti, egoistik, materialistik dan individualistik, yang merupakan ekspresi dari asumsi keperilakuan TOT dan TOM. Dengan demikian, akuntansi manajemen memiliki andil dalam penggunaan asumsi keperilakuan yang tidak memihak pada keharmonisan, kehumanisan
dan kespiritualitasan. Dapat juga dikatakan bahwa akuntansi manajemen ikut menyuburkan jalannya kedua teori tersebut yang mengakibatkan ketidakharmonisan, baik antara kehidupan individu dengan masyarakat, masyarakat dengan negara, dan negara dengan negara lain di dunia, maupun antara kehidupan materi, mental dan spiritual manusia. Ketidakharmonisan ini diperparah oleh anggapan bahwa nilai-nilai atau asumsi-asumsi yang ”dipegang” selama ini dianggap benar, walau menimbulkan kehidupan yang tidak harmonis. Pendasaran prinsip-prinisp atau asumsi TOT dan TOM tersebut telah lama mendominasi akuntansi manajemen, bahkan sampai sekarang. Dari implikasi di atas, penulis memandang bahwa diperlukan nilai-nilai lain untuk mengatasi masalah ini, dalam bentuk mata ketiga atau sé laén (sing liyan, the others) yang melakukan dekonstruksi di pusat kecerdassan intelektual (Triyuwono 2010). The others dimaksud adalah pijakan yang lebih hakiki. Kalau pijakan dimaksud adalah asumsi-asumsi keperilakuan, maka akuntansi manajemen memerlukan asumsi-asumsi keperilakuan yang lebih hakiki. Pada giliran beriutnya dimungkinkan pula untuk mempostulatkan asumsi-asumsi keperilakuan alternatif yang diambil dari per-
Gambar 1 Membangun akuntansi manajemen syariah Melalui Asumsi Dasar Keperilakuan yang Sesuai dengan Worldview Islam
Sonhaji, Membangun Akuntansi Manajemen Syariah: Mendesakkah?...123
spektif lain, dalam artikel ini adalah worldview Islam atau perspektif syariah guna membangun akuntansi manajemen syariah. Jika digambarkan akan nampak sebagai berikut. Pemikiran pembangunan kerangka konseptual akuntansi manajemen syariah yang penulis tawarkan meminjam istilah dan pemikiran Madjid (1992: 542) berupa “Akulturasi Timbal Balik” dalam menjelaskan Islam dan budaya lokal. Tulisan ini tentang akuntansi manajemen yaitu sebuah sistem berasal dari budaya barat. Sistem ini masuk ke Indonesia yang sebelumnya belum mengenal sama sekali. Ini analogi dengan masuknya Islam ke Indonesia. Agama yang masuk ke suatu daerah atau negara tentu akan ada perbedaan tata cara antara yang ada di agama yang baru masuk dengan tata cara yang sudah lama ada di daerah setempat. Memang akan terjadi beberapa bentuk tanggapan atas masuknya tatacara baru, mulai dari menolak sampai dengan mengunakan secara total, dengan variasi penyesuaian baik tatacara baru ke yang lama maupun sebaliknya. Karenanya ada pandangan bahwa ”suatu agama, termasuk Islam, dalam interaksinya dengan budaya lain, tentu akan mengalami akulturasi timbal balik” (Madjid 1992: 550). Akulturasi timbal balik ini telah memunculkan kaidah, etos atau ungkapan yang terkenal di kalangan ulama, seperti”Adat adalah syari’at yang dihukumkan”. ”Yang baik menurut adat-kebiasaan adalah sama nilainya dengan syarat yang harus dipenuhi, dan yang mantap benar dalam adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan yang mantap benar dalam nash” dan ”Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik” (Madjid 1992: 554). Pemikiran ini sejalan dengan kaidah fiqih Islam yang berbunyi: ”Jika tidak bisa menerima semuanya jangan tolak semuanya”. Jadi menurut penulis, pembangunan akuntansi manajemen syariah dapat dimulai dari mengidentifikasi dan mempostulatkan asumsi-asumsi dasar berbasis worldview Islam dengan tidak menafikan seluruh apa yang ada di akuntansi manajemen konvensional. Dengan kaidah-kaidah tersebut, akuntansi manajemenakan semakin kaya dengan konsep yang lama yang baik dengan yang baru yang lebih baik. Melalui ranah empat aspek seperti yang diajukan Caplan (1978), yaitu; Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Tujuan
Organisasi, Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Perilaku Partisipan, Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Perilaku Manajemen, dan Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Peran akuntansi manajemen, penulis berusaha mempostulatkan asumsi-asumsi sesuai dengan worldview Islam. Penulis berusaha mengidentifikasi asumsi yang berbeda dengan yang dahulu dan sekarang berjalan (TOT dan TOM). Caplan telah berhasil mengidentifikasi asumsi keperilakuan seperti di Tabel 1-4. Dari ranah tersebut penulis mempostulatkan seperti yang nampak di Tabel 5-8. Hasil di tabel-tabel tersebut masih belum mendalam karena digali dari referensi yang terbatas. Bisa jadi ada yang belum tepat benar, oleh karena itu penggalian yang bersumber pada Al Quran Karim, hadist dan khabar yang benar atau baik dari ulama, yang terkait dengan ekonomi dan penafsiran-penafsirannya, khususnya yang berkaitan dengan fiqih ekonomi, perlu terus dilakukan dengan serius. Upaya ini juga harus diteruskan dengan penelitian untuk menggali nilai-nilai Islami dalam aplikasinya. Penelitian dapat dilakukan dengan menggali dari pendapat tokoh-tokoh Islam dan di perusahaan syariah untuk menggali nilai dan melihat daya terap konsep di lingkungan praktik. Jika identifikasi ini berhasil dilakukan, maka akandapat dibangun konsep dasar akuntansi manajemen syariah yang akan memicu penulisan inovatif dan penelitian di bidang akuntansi manajemen syariah yang selama ini belum banyak tersentuh. Bukan itu saja, praktik akuntansi manajemen syariah yang lebih hunamis dan transenden bukan lagi mimpi di siang bolong. Pertanyaan menariknya, mendesakkah pengembangan akuntansi manajemen syariah? Mengamati dampak Akuntansi, termasuk akuntansi manajemen, konvensional yang disfungsiaonal dan yang “gelagatnya” belum akan surut, penulis berpendapat hal ini bukan saja sangat mendesak untuk dilakukan, namun juga harus mau melakukan. SIMPULAN Seperti yang sudah dikaji dalam uraian terdahulu bahwa akuntansi, termasuk akuntansi manajemen, tidak bebas nilai dan telah memberi implikasi yang disfungsional pada pengguna atau pemakai akuntansi manajemen. Dengan berdasar pada keperilakuan TOT, akuntansi manajemen tidak mampu memberi solusi pada penggunanya dalam
124
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 112-126
Tabel 5. Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Tujuan Organisasi a. Organisasi adalah sarana untuk mencapai tujuan orang-orang di dalamnya. Manusia adalah ciptaan Allah yang harus tunduk sepenuhnya pada-Nya, sehingga tujuannya harus sesuai dengan petunjuk-Nya. b. Di antara banyak petunjuk-Nya, yang menjadi tujuan utama manusia dalam Islam adalah bertemu Allah (liqo’) melalui amal saleh dan tidak menyekutukan Allah dengan apa pun jua (QS: Al Kahfi[18]: 110). Ini disebut tujuan hakiki manusia. c. Kaidah baku dalam Islam, suatu tujuan yang baik harus dijalankan dengan cara dan sarana yang baik juga. Sebagai sarana mencapai tujuan yang mulia, organisasi harus memiliki tujuan yang merupakan akspresi dari tujuan yang mulia tersebut. d. Karena sesuai dengan petunjuk Allah SWT, tujuan utama perusahaan, sebagai ekspresi tujuan partisipan di dalamnya, sebaikya tidak berubah, karena tujuan ini melampaui dari sekedar maksimalisasi laba dan kelangsungan hidup perusahaan. Tujuan ini melampaui kehidupan di dunia itu sendiri. e. Menghadapi dunia yang sangat kompleks dan tidak pasti serta kuatnya godaan untuk manyimpang, maka anggota organisasi harus tetap mengacu pada tujuan utama dan pencapaiannya yang sesuai dengan tuntunan Allah SWT. f. Tujuan pribadi masing-masing individu atau tujuan “lokal” dalam organisasi harus diselaraskan dengan tujuan utama mulia organisasi. Harus ada keyakinan bahwa setiap upaya baik akan memeroleh imbalan yang setimpal bahkan lebih besar dari sekedar imbalan materi. Partisipan organisasi tidak boleh terjebak oleh tujuan sesaat dan lebih rendah dari tujuan utama hidup yang hakiki. Tabel 6. Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Perilaku Partisipan a. Perilaku manusia untuk mencapai apa yang diinginkan, termasuk pengambilan keputusan, harus disemangati dan ditujukan untuk memeroleh ridho Allah SWT. Ini harus menjadi motivasi utama seorang muslim. b. Manusia dalam organisasi akan dihadapkan pada masalah dan pengambilan keputusan. Dalam pengambilan keputusan harus selalu berpihak pada yang benar. Dalam proses mengambil keputusan harus didahului memohon petunjuk Tuhan, dimusyahwarakan. Jika sudah diambil keputusan harus tawakal kepada Tuhan dan dilaksanakan sebaik-baiknya. c. Pada hakekatnya manusia muslim termotivasi oleh tujuan tunggal (ridho Allah), dan ini harus tetap sepanjang waktu. Sedangkan tujuan lainnya, psikhologis, sosial, dan ekonomi dicapai dalam rangka mencapai tujuan tunggal utama tersebut. Adanya godaan dan lemahnya penghayatan terhadap ajarannya serta sifat hati yang ”naik turun”, membuat manusia mudah tergoda untuk menyimpang dari tujuan mulianya. d. Pekerjaan adalah aktivitas mulia yang bernilai ibadah. Jika dilaksanakan dengan niat ibadah akan menerima kemuliaan, sedangkan jika tidak ditunaikan dengan amanah akan memeroleh murka Allah SWT. Oleh karena itu sengaja tidak melakukan pekerjaan atau menghindar dari pekerjaan termasuk perbuatan dosa. e. Keputusan individu untuk bergabung dengan organisasi didasarkan pada menjalankan amanah untuk berkarya dan individu harus memberikan yang terbaik, karena bukan saja akan memeroleh imbalan dari organisasi namun juga akan memeroleh balasan dari Allah dengan yang lebih baik. f. Keputusan individu untuk menyumbangkan dan tidak usahanya yang produktif harus didasarkan pada apakah organisasi dijalankan sesuai dengan tujuan utama yang mulia atau tidak. g. Dalam Islam ada prinsip, boros adalah teman setan. Pada prinsipnya seorang muslim harus efisien. Dalam kaitannya dengan membelanjakan rejeki, seorang muslim harus menganut prinsip seimbang, yaitu antara pelit dan boros. h. Pada prinsipnya kinerja manusia muslim tidak dinilai dari yang diperoleh, namun dari apa yang dipersembahkan atau diberikan pada kehidupan (prinsip memberi). Karena itu keterbatasan konsentrasi, kepekaan, pengetahuan, penalaran, dan ketidaklengkapan sistem-sistem pilihan, tidak boleh menghalangi pengarahan perilaku individu dan organisasi pada pemberian yang terbaik yang dapat disumbangkan.
Sonhaji, Membangun Akuntansi Manajemen Syariah: Mendesakkah?...125
Tabel 7. Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Perilaku Manajemen a. Peran utama manajer adalah perwujudan dari peran utama sebagai manusia, yang tugas utamanya adalah menjadikan organisasi sarana untuk mencapai tujuan hakiki dan mengajak partisipan organisasi memberikan kontribusinya yang terbaik b. Untuk menjalankan tugas utama tersebut manajer harus memelihara keseimbangan antara hak dan kewajiban partisipan yang didasarkan pada pencapaian tujuan hakiki. c. Manajer mengajak partisipan lainnya untuk bersifat adil, yaitu menyumbangkan tenaganya sesuai dengan kewajibannya, bahkan bersifat ihsan yaitu memberikan lebih banyak dari kewajibannya. d. Peranan manajemen pada hakekatnya merupakan proses pengambilan keputusan yang tunduk pada nilai-nilai keilahian, yang tidak tergoda untuk kepentingan sesaat (laba). e. Esensi pengendalian manajemen adalah menyatu di diri individu sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban yang tidak hanya kepada manusia, namun yang lebih penting kepada Tuhan YME. Arah pengendalian manajemen adalah pada pencapaian tujuan hakiki.
menghadapi perkembangan lingkungan yang berkembang sangat pesat. Karenanya akuntansi manajemen bergeser mencari dasar asumsi keperilakuan yang sesuai, yaitu berdasarkan TOM. Namun kenyataannya, TOM juga gagal memberikan perspektif yang lebih baik. Berdasar teknikal penghitungan dan pencapaian tujuan perusahaan untuk memeroleh laba dan mengendalikan aktivitas organisasi, memang akuntansi manajemen kontemporer berhasil, namun dari segi keharmonisan, kehumanisan dan kesepiritualan, akuntansi manajemen telah menimbulkan atau menyokong adanya perilaku yang tidak semestinya atau disfungsional. Dengan mengadopsi empat ranah versi Caplan (1978)yaitu Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Tujuan Organisasi, Asumsi-
Asumsi Berkaitan dengan Perilaku Partisipan, Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Perilaku Manajemen, dan Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Peran akuntansi manajemen penulis berusaha mempostulatkan asumsi keperilakuan berdasar worldview Islam yang pengelompokkannya sesuai dengan ranah tersebut. Diharapkan upaya ini akan memicu penggalian mendalam berikutnya dan mendorong penelitian yang akan digunakan untuk membangun akuntansi manajemen syariah. Dalam perspektif Islam, menarik untuk disimak pandangan Kuntowijoyo. Tanpa menonjolkan sifat sintementil karena kepercayaan terhadap Islam, ia berusaha memberikan alternatif paradigmatik untuk memberikan wawasan terhadap ilmuan karena
126
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 112-126
kerisauannya terhadap arah ilmplikasi ilmu modern. Pesannya disampaikan dalam pernyataan sebagai berikut: “Dalam sebuah dunia di mana kekuatan dan pengaruh ilmu pengetahuan menjadi destruktif, mengancam kehidupan umat manusia dan peradabannya, Islam jelas harus tampil untuk menawarkan alternatif paradigmatiknya di bidang ilmu” (Kuntowijoyo 1996: 336). Urgensi identifikasi asumsi-asumsi keperilakuan berdasar worldview Islam guna mengkonstruksi Kerangka Konseptual akuntansi manajemen syariah, sebagai fondasi pembangunan akuntansi manajemenSyariah, sekali lagi penulis tegaskan, tidak hanya sangat mendesak untuk dilakukan, tetapi juga harus mau melakukan. DAFTAR RUJUKAN: Al-Qur’an, S. 2010. Syaamil Al-Qur’an Miracle The Reference. Sygma Publishing. Bandung. Benston, G. J., dan Hartgraves, A. L. 2002. “Enron: what happened and what we can learn from it”. Journal of Accounting and Public Policy Vol. 21, hal 105-127. Caplan, E. H. 1978. “Behavioral Assumptions of Management Accounting”. In W. E. Thomas (Ed.), Readings in Cost Accounting, Budgeting and Control (5 ed.: 95-115). South-Western Publishing Co. Cincinnati. Capra, F. 2002. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan (M. Thoyibi, Trans. 5 ed.). Bentang Budaya. Yogyakarta. Daud, W. M. N. W. 2005. “Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Umat”. Islamia, Vol. 5 No. 5, hal 51-74. Hertz, N. 2011. Penjajahan Kapitalisme: Runtuhnya Negara & Virus Jahat Konsumerisme (D. Solahudin, Trans.). Nuansa. Bandung. Hoogendijk, W. 1996. Revolusi Ekonomi: Menuju Masa Depan Berkelanjutan dengan Membebaskan Perekonomian dari Pengejaran Uang Semata (S. Padmo, Trans.). Yayasan Obor Indonesia. Ja-
karta. Islamia. 2005. “Pengantar: Epistemologi dalam Pemikiran Islam”. Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Thn II No. 5, hal 1-119. Kartanegara, M. 2005. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Mizan. Bandung. Kuntowijoyo. 1996. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (7 ed.). Mizan. Bandung. Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dam Etika. Tiara Wacana. Yogyakarta. Ludigdo, U. 2007. Paradoks Etika Akuntan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Madjid, N. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan. Yayasan Wakaf Paramadina. Jakarta. Mulawarman, A. D. 2010. On Holistic Wisdom Coredatum Accounting: Shifting from Accounting Income to Value Added Accounting Proceeding at the Third International Accounting Conference. Accounting Department FE-UI. Jakarta. Mulawarman, A. D. 2011. Akuntansi Syariah: teori, Konsep dan Laporan Keuangan. Bani Hasyim Press. Malang. Reinstein, A., dan McMillan, J. J. 2004. “The Enron debacle: more than a perfect storm”. Critical Perspectives on Accounting Vol. 15, hal 955–970. Triyuwono, I. 2006. Akuntansi Syari’ah: Menuju Puncak Kesadaran Ketuhanan Manunggaling Kawulo-Gusti. Pidato Pengukuhan Guru Besar Akuntansi Syari’ah di Gedung PPI Universitas Brawijaya. Malang. Triyuwono, I. 2010. “Mata Ketiga”: Sé Laén, Sang Pembebas Sistem Pendidikan Tinggi Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 1 No. 1, hal 1-23. Triyuwono, I. 2012. Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi, dan teori (2 ed.). Jakarta. Rajagrafindo Persada. Zarkasyi, H. F. 2005. “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”. Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, hal 9-20.