Analisa Kelayakan Bisnis Usaha Pembudidayaan Ikan Koki pada Lahan Terbatas di Jakarta 1
2
2
Gusti Bagus Made Wisnantara , Komar Sumantadinata dan Fransiska R. Zakaria Abstract
One of the fishery commodities that has a greater chance to be developed is the ornamental fish farming. The total availability of ornamental fish at the fish exporters is always smaller than the total demand from overseas. The export of ornamental fish tends to increase. The foreign exchange gained from exporting ornamental fish is USD10 – 15 million annually. By using an intensive fishery system, it is expected that aquatic fish farming can be done in the city with limited space. Selection of species of fish is based on several factors beside the stability of demand and price. One suitable species of ornamental fish to be farmed is goldfish (carpekoi) koki fish. Based on the analysis of result, it can be concluded that goldfish farming in a limited space in Jakarta is feasible to be implemented. This business has a Net Present Value (NPV) of Rp109.863.062 and an Internal Rate of Return (IRR) of 64.91%. The Payback Period (PBP) is within 7.31 months. The Benefit/Cost (B/C) Ratio is 2.8 times, and the Break-Even Point (BEP) is Rp1.748.414 in sales. However, this business is sensitive to price change and production level with a minimum output of 45%. If the price decreases up to 45%, this business is no longer feasible. For this reason, it is necessary to use good farming techniques and effective marketing strategies. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Salah satu komoditas perikanan yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan adalah ikan hias. Sektor usaha di komoditas ini tidak begitu terpengaruh oleh krisis moneter dan dapat dikembangkan sepanjang tahun. Hal ini cukup memungkinkan, karena teknologi dan wilayah yang ada mampu mengatasi kendala musim dan biologis . Perkembangan ekspor ikan hias Indonesia cenderung terus meningkat, sehingga menempati posisi kesebelas pengekspor ikan hias. Devisa dari ekspor komoditas ini mencapai US$ 10-15 juta per tahun (Dirjen Perikanan dan Kelautan, 2003). Ketersediaan ikan hias sebagai komoditas ekspor pada tingkat eksportir selalu lebih kecil daripada permintaan dari luar negeri. Usaha budidaya ikan hias air tawar berpeluang besar untuk terus dikembangkan dan ditingkatkan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pembenihan maupun pembesaran. Dari sekian banyak ikan hias air tawar yang ada di Indonesia, ikan koki (Carassius auratus) adalah ikan yang cukup banyak dibudidayakan. Ikan ini sangat populer di kalangan hobis dan pencinta ikan hias, karena keunikan dan keindahan tubuhnya, kelucuan gerakannya, warna yang variatif dan harga yang tidak terlalu mahal. Dari sisi mutu sebenarnya ikan koki Indonesia masih kalah jika dibandingkan ikan koki impor. Hal ini disebabkan teknik pemeliharaan dan pembenihan di Indonesia yang belum maksimal. Ikan mas koki sendiri tergolong adaptif terhadap lingkungan baru dan bebas dari penyakit berbahaya sebagaimana pernah terjadi pada ikan koi. Berusaha di bidang ikan hias bagi masyarakat DKI Jakarta sangat tepat karena lahan yang dibutuhkan relatif sempit, didukung oleh ketersedian pakan alami seperti jentik nyamuk, kutu air dan cacing rambut yang berlimpah dan iklim tropis yang memungkinkan kegiatan budidaya dapat berlangsung sepanjang tahun (Dinas Perikanan DKI Jakarta, 2003). Selama ini usaha budidaya ikan umumnya terkonsentrasi di pedesaan, karena keberadaan lahan memungkinkan dan adanya ketersediaan sumber air yang relatif memadai. Tetapi dengan semakin menurunnya ketersediaan lahan dan air, maka pola usaha seperti yang dianut selama ini (ekstensifikasi) mulai beralih secara bertahap ke pola intensif, dengan menggunakan teknologi yang hemat lahan dan air. 2. Permasalahan Beternak koki dengan berbagai jenisnya (Lion Head, Pearl Scale, Tosa, Pencer, Calico, Buble eye, Ranchu, Sukiyu, Fom Tail, Tosakin, Black Moor, Mata Teleskop, Bulldog, Red Head dan Celestial) dapat dilakukan dimana saja, dengan memperhatikan beberapa faktor, yaitu sarana dan 1 2
Alumni PS MPI, SPs IPB Staf Pengajar PS MPI, SPs IPB
14
prasarana budidaya, faktor mutu air dan faktor ekonomis (Sayuti, 2003). Membudidayakan koki sebaiknya dilakukan di dalam kolam, karena dapat menampung lebih banyak ikan dan lebih permanen, sehinggga dapat digunakan secara berulang-ulang. Selain itu juga, dapat digunakan bak plastik, bak semen, bak fiberglass atau gentong yang terbuat dari tanah liat. Pemilihan ini terkait dengan jumlah koki yang akan dipelihara dan besarnya modal yang tersedia. Dengan cara ini budidaya koki dapat dilakukan di halaman rumah yang tidak terlalu luas, dan dapat dilakukan para peternak yang tinggal di kota terbesar akibat terbatasnya luas lahan yang ada (Budiman dan Lingga, 2002). Lokasi yang digunakan untuk beternak koki juga harus cukup mendapat sinar matahari, tetapi diusahakan agar tidak terkena sinar matahari langsung. Sinar matahari ini berguna untuk menjaga kehangatan air terutama pada saat penetasan telur. Sumber air yang dapat digunakan adalah air sumur, air sungai dan air Penyaringan Air Minum (PAM). Dari ketiga sumber tersebut yang paling disarankan adalah air sumur. Air PAM memang yang terbersih tetapi kadar klorin dan kaporitnya tinggi, serta kondisi ini tidak baik untuk ikan. Klorin dan kaporit dapat dihilangkan dengan cara melakukan aerasi kuat selama setengah hari. Jika masih berbau kaporit dapat ditambahkan potasium tiosulfat (K 2 S 2 O 3 ) dengan dosis 1 kristal untuk 30 liter 0 air. Secara umum kriteria air yang baik untuk beternak koki adalah yang bersuhu 22-32 C (tropis) 0 0 atau idealnya 27-30 C. Toleransi suhu siang dan malam yang terbaik adalah 3 C. Koki akan hidup baik pada pH sedikit asam sampai netral, yaitu 6,5-7,5. Ikan koki dapat terserang penyakit yang disebabkan, antara lain karena kekurangan gizi, faktor lingkungan dan serangan parasit yang terdapat di perairan yang dihuni ikan. Dengan teknik dan pola pemeliharaan yang benar, gangguan hama dan penyakit dapat dicegah semaksimal mungkin. Pemanenan koki dapat dilakukan beberapa kali tergantung kemauan dan strategi peternak. Panen besar dilakukan pada waktu koki berumur 5 bulan ke atas yang didasarkan pada permintaan pasar, yang biasanya mencari koki berukuran M dan L (Sayuti, 2003). Pemanenan koki yang berumur di bawah 5 bulan dapat dilakukan dengan menggunakan sesek (serok) yang terbuat dari kain kasa lembut agar tidak merusak sirip. Sedangkan untuk yang berumur di atas 5 bulan dapat dilakukan dengan menangkap koki menggunakan tangan secara hati-hati. Kajian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Apakah usaha budidaya koki layak dan menguntungkan jika dilaksanakan di Jakarta dengan lahan terbatas ? b. Bagaimana peranan pemasaran dalam meningkatkan penjualan usaha budidaya ikan koki ? 3. Tujuan Penelitian a. Mengkaji kelayakan usaha budidaya ikan koki dengan lahan terbatas di kota besar yang relatif padat penduduknya. b. Untuk mengetahui peranan pemasaran dalam meningkatkan penjualan pada usaha budidaya ikan koki.
METODOLOGI 1. Lokasi Lokasi kajian adalah 3 usaha budidaya ikan yang berada di daerah Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. 2. Metode Kerja Kajian dititik beratkan pada aspek keuangan (finansial), aspek pemasaran dan aspek teknis. Kelayakan finansial usaha budidaya ikan koki dinilai dengan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Titik Pulang Pokok (Break Even Point), Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C) dan Payback Period (PBP), serta dilanjutkan dengan Analisa Sensitivitas. Rinciannya sebagai berikut : n NPV = ∑ t=1 dimana :
CFt - I0 t (1+K) t n CF I0 IRR
n I0= ∑ CFt t t=1 (1+IRR)
= tahun ke = jumlah tahun = aliran kas bersih = investasi awal pada tahun 0 = tingkat bunga yang dicari harganya
Jurnal MPI Vol.1 No. 2. September 2006
15
Kriteria penilaian : Jika IRR yang didapat ternyata lebih besar dari rate of return yang ditentukan maka investasi dapat diterima. n ∑ Bt t t=0 (1+i) Gross B/C = n ∑ Ct t t=0 (1+i) dimana :
n t i Bt Ct
= umur proyek = jumlah tahun = tingkat diskonto = manfaat yg diperoleh pada tahun ke- t = biaya yang dikeluarkan pada tahun ke- t
Nilai Investasi PBP
=
X 1 tahun Kas Masuk Bersih
Jika payback period lebih pendek waktunya dari maximum PBP, maka usulan investasi dapat diterima. Kelemahannya tidak memperhatikan konsep nilai waktu dari uang dan juga tidak memperhatikan aliran kas masuk setelah payback. Rumus perhitungan yang digunakan pada analisa finansial bersumber dari referensi Husnan dan Suwarsono (1984), Gittinger (1986) dan Umar (1997). Analisa sensitivitas merupakan suatu teknis analisa untuk menguji secara sistematis apa yang akan terjadi pada penerimaan suatu proyek apabila terjadi perubahan dengan perkiraan-perkiraan yang dibuat dalam perencanaan. Menurut Gitinger (1986), pada bidang pertanian, proyek sensitif berubah akibat empat masalah utama, yaitu harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan biaya dan perkiraan hasil yang akan diperoleh. Analisa Pemasaran dilakukan terhadap Bauran Pemasaran (marketing mix) seperti produk (product), harga (price), tempat (place) dan promosi (promotion) (Mc. Carthy, 1981). Analisa pemasaran dari suatu proyek adalah rencana pemasaran output yang dihasilkan dan rencana penyediaan input yang dibutuhkan untuk kelangsungan dan pelaksanaan proyek. Menurut Kotler (1980) ada lima faktor yang menyebabkan mengapa pemasaran itu penting, yaitu : 1. Jumlah produk yang dijual menurun 2. Pertumbuhan penampilan perusahaan juga menurun 3. Terjadinya perubahan yang diinginkan konsumen 4. Kompetisi yang semakin tajam, dan 5. Terlalu besarnya pengeluaran untuk penjualan Konsep yang digunakan pada analisa pemasaran bersumber dari referensi Kotler (1980), Mc. Carthy (1981) dan Soekartawi (1989). Bauran pemasaran perusahaan pada suatu waktu (t) bagi produk tertentu dapat dikemukakan dengan vektor (McCarthy, 1981) : (P 1 , P 2 , P 3 ,P 4 ) t dimana P 1 = kualitas produk, P 2 =price(harga), P 3 = place(tempat), dan P 4 = promosi. Strategi pemasaran adalah logika pemasaran dan berdasarkan itu unit bisnis diharapkan untuk mencapai sasaran-sasaran pemasarannya. Strategi pemasaran terdiri dari pengambilan keputusan tentang biaya pemasaran, bauran pemasaran, dan alokasi pemasaran dalam hubungannya dengan keadaan lingkungan yang diharapkan dan kondisi persaingan (Kotler,1980).
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Keadaan Umum Dari tiga petani budidaya ikan hias yang berlokasi di Jakarta, ternyata tidak ada yang secara khusus membudidayakan ikan koki, yaitu hanya membudidayakan ikan hias lain sebagai diversifikasi produk dan melihat trend pasar. Secara garis besar proses budidaya ikan koki terdiri dari 5 proses (Gambar 1). Hal pendukung lainnya berupa modal kerja per siklus (6 bulan) usaha budidaya ikan koki dan data investasi awal usaha budidaya disajikan secara berturur-turut pada Tabel 1 dan 2.
Jurnal MPI Vol.1 No. 2. September 2006
16
1. Sarana dan Prasarana Produksi
2. Persiapan
3. Pemeliharaan
-
Pemilihan Lokasi Faktor kualitas air Faktor sarana Faktor prasarana
- Pembuatan/persiapan kolam - Pemasangan sarana pendukung - Pengisian dan pengolahan air
-
Penggantian air Pembenihan Pemberian pakan Pemberantasan hama dan penyakit Monitoring
4. Pemanenan
- Penyortiran - Pengemasan - Pengangkutan
5. Pemasaran
-
Penentuan harga Obyek pemasaran Saluran pemasaran Promosi pemasaran
Gambar 1. Proses budidaya ikan koki
Tabel 1. Modal kerja per siklus usaha budidaya ikan koki No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Modal Kerja Pakan induk dan benih, (blood worm dan cacing) Upah tenaga kerja Listrik Pajak(PBB) Obat-obatan, red itch, met blue, dll Plastik Jumlah (1+2+………+6)
Jumlah (Rp) 1.500.000 2.400.000 100.000 100.000 50.000 50.000 4.200.000
Tabel 2. Data investasi awal usaha budidaya ikan koki No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8.
Data Investasi Pembuatan bak induk, 2 bak @ 4m2 Pembuatan pemijahan 1 bak, 4 m2 Pembuatan bak pendederan 2 @ 6 bak @ 4m Pompa air + tangki penampungan air Aerator (hi blow 60 watt) Biaya pasang listrik 1.300 watt Pengadaan induk • betina, 4 ekor @Rp.50.000 • jantan, 4 ekor @Rp.50.000 Tabung oksigen Peralatan pembenihan (ember,serok,dll) Jumlah (1+2+….+8)
Jurnal MPI Vol.1 No. 2. September 2006
Jumlah (Rp) 1.000.000 500.000 3.000.000 5.000.000 1.500.000 1.000.000 200.000 200.000 500.000 230.000 13.130.000
17
2. Hasil Kajian a. Analisa Laporan Keuangan Dari laporan keuangan usaha budidaya ikan koki satu periode siklus pada tahun pertama (Tabel 3), terlihat bahwa pendapatan bersih masih negatif, tetapi dilihat dari indikator kelayakan seperti NPV, IRR, PBP, B/C ratio dan BEP cukup menjanjikan. Tabel 3. Laporan keuangan usaha budidaya ikan koki satu periode siklus pada tahun pertama
A. PENERIMAAN 1. Penerimaan Penjualan a. Kualitas A (umur 20 hari) b. Kualitas B (umur 3 bulan) c. Kualitas C (umur 4 bulan) d. Kualitas D (umur 6 bulan) 2. Nilai Sisa
Unit 5.000 2.000 1.000 1.000
Satuan ekor ekor ekor ekor
Harga Satuan 50 1.000 2.000 7.000
TOTAL PENERIMAAN (1+2) B. PENGELUARAN 1. Biaya Investasi a. Induk b. Pembuatan bak/kolam - bak induk - bak pemijahan - bak pendederan c. Peralatan - hapa - sorokan & sikat - selang air - serok - ember besar d. Pompa air + tangki penampungan air e. Aerator hi blow 60 W f. Biaya pasang listrik 1300 W g. Tabung oksigen Total biaya investasi (1) 2. Biaya Operasional (non tunai) a. Penyusutan Kolam b. Penyusutan Induk c. Penyusutan Alat d. Penyusutan Pompa e. Penyusutan Aerator f. Amortisasi pasang listrik g. Penyusutan tabung oksigen Total biaya non tunai (2) 3 Biaya Operasional (tunai) a. Tenaga Kerja (1 org) b. Pakan - blood worm - cacing sutera c. Obat-obatan d. Plastik kemas e. Listrik f. Pajak Total Biaya Tunai (3) TOTAL PENGELUARAN (1+2+3) PENDAPATAN BERSIH (A-B) DF %,16.00% NPV (Rp) IRR (%) PBP (months) B/C Ratio BEP (Rp)
Harga Total
500.000 4.000.000 4.000.000 14.000.000 22.500.000
8
ekor
50.000
400.000
2 1 6
buah buah buah
500.000 500.000 500.000
1.000.000 500.000 3.000.000
1 2 2 2 2 1 1 1 1
buah buah buah buah buah buah buah kali buah
80.000 10.000 25.000 10.000 30.000 5.000.000 1.500.000 1.000.000 500.000
80.000 20.000 50.000 20.000 60.000 5.000.000 1.500.000 1.000.000 500.000 13.130.000
10 4 2 5 5 10 5
tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun
6
bulan
400.000
4.800.000
60 60 2 100 6 1
liter liter buah buah bulan tahun
2.500 10.000 25.000 500 150.000 100.000
300.000 1.200.000 100.000 100.000 1.800.000 100.000 8.400.000
450.000 100.000 115.000 1.000.000 300.000 100.000 100.000 2.165.000
10.565.000 (1.195.000) 0,9984 109.863.062 64,91 7,32 2,18 1.748.414
Jurnal MPI Vol.1 No. 2. September 2006
18
b. Analisa Kelayakan Usaha Dalam perhitungan analisis kelayakan digunakan asumsi-asumsi berikut : 1) Usaha dimulai dari pembibitan sendiri untuk jenis koki kepala singa (lion head) dan penghitungan dilakukan untuk satu siklus produksi (6 bulan). 2) Penghitungan usaha dilakukan sampai dengan pemanenan koki ketika berumur 6 bulan. 3) Pemeliharaan koki dilakukan dalam tiga jenis kolam (kolam induk, kolam pemijahan dan kolam pendederan) yang masing-masing berukuran 1 x 4 m. 4) Semua jenis pakan diperoleh dengan membeli. 5) Proses budidaya koki yang dilakukan dianggap normal. 6) Setelah menetas dan mengalami seleksi alam, telur koki yang berhasil menjadi burayak untuk setiap pasang induk adalah 2.500 ekor. 7) Agar lebih realistis, semua harga input dan investasi diasumsikan naik 1% per tahun, kecuali upah tenaga kerja dan biaya listrik 2% per tahun. 8) Volume produksi dan harga output naik 1% setiap tahun. 9) Umur proyek adalah 10 tahun. 10) Tingkat diskonto yang digunakan 16%, walaupun rataan tingkat suku bunga pada kondisi kajian ini cenderung turun (7%) dan hal ini dijadikan asumsi untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga SBI atau deposito dalam jangka waktu 10 tahun ke depan. Laporan keuangan menyatakan bahwa pada tahun pertama, usaha ini mengalami rugi/ defisit Rp.1.195.000, akibat biaya investasi Rp.13.130.000 (55% dari total biaya). Jika biaya investasi dikeluarkan, maka akan didapatkan keuntungan bersih Rp.11.935.000 per tahun atau rataan Rp.994.583 per bulan. Berdasarkan kriteria NPV pada Tabel 3 berarti dalam sepuluh tahun umur proyek, berdasarkan atas nilai sekarang proyek akan menghasilkan keuntungan Rp.109.863.062. Dari tabel terlihat nilai IRR 64,91%, jauh di atas tingkat suku bunga sertifikat Bank Indonesia periode Juni 2000 sampai April 2004 yang 13,26%. Hal lainnya didapatkan nilai Gross B/C 2,18, sehingga mengindikasikan proyek ini layak dijalankan. Nilai tersebut dapat diartikan bahwa setiap penambahan Rp.1,00 biaya akan memperoleh tambahan keuntungan Rp. 2,18. Berdasarkan kriteria jangka waktu pengembalian modal (PBP) didapat hasil 7,32 bulan, berarti diperlukan waktu 1 siklus pemeliharaan dahulu agar semua investasi dapat kembali. Semakin cepat jangka waktu pengembalian modal ini, maka semakin baik. Dilihat dari besarnya biaya investasi yang dikeluarkan dapat dikategorikan sebagai usaha kecil, sehingga wajar apabila jangka waktu pengembalian modal proyek relatif cepat. Kriteria terakhir yang digunakan untuk mengetahui pada tingkat penjualan berapakah sudah didapatkan keuntungan adalah nilai BEP. Dalam hal ini besarnya Rp 1.748.414 berarti usaha ini tidak rugi dan tidak untung, apabila didapatkan keuntungan Rp.1.748.414 dari penjualan setiap siklusnya. c.
Analisa Sensitivitas Analisa sensitivitas terhadap usaha budidaya ikan koki didasarkan pada beberapa kondisi berikut : 1) Terjadi penurunan volume produksi 30%, harga output dan harga input tetap. 2) Terjadi penurunan harga output 20%, volume produksi dan harga input tetap. 3) Terjadi kenaikan harga input 10%, volume produksi dan harga output tetap. 4) Terjadi penurunan volume produksi 30% dan penurunan harga output 20%, harga input tetap. 5) Terjadi penurunan volume produksi 30% dan kenaikan harga input 10%, volume produksi tetap. 6) Terjadi penurunan harga output 20% dan kenaikan harga input 10%, volume produksi tetap. 7) Terjadi penurunan harga volume produksi 30%, penurunan harga output 20% dan kenaikan harga input 10%. Output hanya didapat dari penjualan ikan, maka perubahan pada volume produksi dapat berakibat sama dengan perubahan pada harga jual, sehingga besarnya penjualan/ penerimaan ditentukan oleh volume produksi dikali harga jual. Dari hasil analisa sensitivitas pada Tabel 4 didapatkan bahwa tingkat volume produksi turun 30%, padahal harga jual (output) tetap, NPV turun 67%, yaitu Rp. 36.617.839, PBP mundur hampir 2 kali (199%) menjadi 21,93 bulan, IRR turun hampir setengah kali (49%) menjadi 32,83% dan Gross B/C turun 30% menjadi 1,52 dan BEP naik 34% menjadi Rp. 2.335.748. Hal tersebut dinilai masih dalam batas kelayakan proyek.
Jurnal MPI Vol.1 No. 2. September 2006
19
Dari hasil analisa lebih lanjut didapatkan NPV proyek akan menjadi negatif (tidak layak), jika terjadi penurunan volume produksi ataupun penurunan harga jual 45%. PBP menjadi 8,684 bulan, sehingga proyek dinilai sensitif terhadap perubahan harga dan volume produksi. Jika terjadi penurunan volume produksi atau harga jual 30%, maka terjadi perubahan-perubahan hasil kriteria penilaian lebih besar dari 30%. Selain itu, bila harga jual turun 45% tanpa dibarengi dengan perubahan-perubahan lain (harga input dan volume produksi), maka dapat dipastikan proyek akan mengalami kerugian atau tidak layak dijalankan. Tabel 4. Hasil analisa sensitivitas usaha budidaya ikan koki Kondisi
NPV (Rp)
IRR (%)
PBP (bulan)
B/C Ratio
BEP (Rp)
Standar/Normal
109.863.062
64,91
7,32
2,18
1.748.414
V -30%
36.617.839
32,83
21,93
1,52
2.335.748
P -20%
61.032.913
43,88
13,17
1,74
2.048.959
I +10%
100.834.820
61,06
8,51
2,02
1.857.392
V-30% dan P-20%
2.436.735
15,71
317,71
1,22
3.243.806
V -30% dan I +10%
27.589.597
28,55
31,04
1,41
2.630.271
P +20% dan I+10%
52.004.672
39,84
16
1,61
2.241.621
V -30%, P-20% dan -6.591.506 10,48 -132 1,13 I+10% Keterangan : V = Volume Produksi, P = Harga Output, I = Harga Input
4.026.486
Pada kondisi selanjutnya jika harga input (pakan, upah kerja,obat-obatan dll) naik sebesar 10% akan mengakibatkan NPV turun sebesar 8% menjadi Rp.100.834.820, tingkat IRR turun 6% menjadi 61,06%, PBP naik 16% menjadi 8,51 bulan dan Gross B/C turun 7% menjadi 2,02 (Tabel 5). Angka-angka itu mencerminkan masih layaknya proyek jika dilaksanakan dan akibat kenaikan harga input 10% hanya mengakibatkan kriteria penilaian rataan turun kurang dari 10%. Kondisi berikutnya dimana volume produksi turun 30% dibarengi dengan penurunan harga jual 20% yang dapat terjadi misalnya bila terdapat kegagalan panen serta berkurangnya minat/permintaan ikan koki akibat trend ikan hias lain. Data yang didapat adalah turunnya nilai NPV sebesar 98% menjadi hanya Rp.2.436.735 dan IRR turun 76% menjadi 15.71% yang berarti dibawah discount rate serta payback period menjadi 317,71 bulan yang berarti lebih lama dari umur proyek yang hanya 120 bulan (10 tahun). Ini semua mengindikasikan bahwa proyek ini tidak layak, dimana NPV positif tetapi nilainya kecil sekali. Sekali lagi terlihat bahwa proyek ini sensitif terhadap penurunan produksi dan atau penurunan harga jual/ output. Data selanjutnya, jika volume produksi turun 30% dibarengi dengan kenaikan harga input produksi sebesar 10% juga, menyebabkan nilai NPV turun sebesar 75% menjadi hanya Rp 27.589.597. Dalam kondisi ini walaupun nilai NPV sangat kecil tetapi masih dalam batas layak (positif). Disinilah diperlukan manajemen produksi yang baik dan usaha untuk meningkatkan hasil produksi ataupun meningkatkan kualitas ikan koki agar nilai jualnya meningkat. Selanjutnya jika terjadi kenaikan harga jual sebesar 20% tetapi pada saat yang sama terjadi pula kenaikan harga faktor-faktor produksi/input sebesar 10%. Proyek masih layak dilaksanakan karena NPV hanya turun setengahnya (53%), sedangkan B/C ratio menjadi 1,61 (turun 26%) dengan tingkat BEP Rp.2.241.621. Kondisi terakhir adalah apabila volume produksi turun 30%, harga jual turun 20% serta harga input naik 10%. Sudah dapat dipastikan proyek tidak layak dilaksanakan karena NPV menjadi negatif yang sangat besar yaitu -6.591.506 dan IRR turun 84% menjadi 10,48%. d. Analisa Pemasaran Dari ketiga usaha budidaya yang diteliti dapat diketahui bahwa tidak ada strategi pemasaran khusus yang diterapkan. Pemasaran hanya dilakukan kepada pembeli sekitar tempat usaha dan pedagang yang datang ke tempat usaha tersebut pada waktu panen. Hal lainnya dari laporan keuangan sederhana yang disusun, belum terlihat adanya pos khusus untuk biaya pemasaran. Padahal pemasaran memegang peranan penting untuk meningkatkan hasil usaha.
Jurnal MPI Vol.1 No. 2. September 2006
20
Petani 4 3
2 Pedagang Pengumpul
Pedagang Pengecer
Pedagang Besar 1 Konsumen Gambar 2. Pola saluran pemasaran ikan koki
Keterangan : 1. Menjual langsung ke konsumen; 2. Melalui pedagang pengumpul; 3. Melalui pedagang pengencer; 4. Melalui pedagang besar. Tabel 5. Hasil analisa sensitivitas usaha budidaya ikan koki dalam persentase
Kondisi Standar/Normal V -30% P -20% I +10% V-30% dan P-20% V -30% dan I +10% P +20% dan I+10% V -30%, P-20% dan I+10%
NPV (%)
IRR (%)
Payback (%)
B/C Ratio (%)
BEP (%)
-67 -44 -8 -98 -75 -53
-49 -32 -6 -76 -56 -39
199 80 16 4.239 324 125
-30 -20 -7 -44 -35 -26
34 17 6 86 50 28
-106
-84
-1.907
-48
130
Keterangan : V = Volume Produksi; P = Harga Output; I = Harga Input
1) Aspek Produk Dari kajian didapatkan bahwa dalam satu siklus pemeliharaan satu pasang induk koki dapat menghasilkan rataan sekitar 2.500 ekor bibit koki yang berhasil dibesarkan dalam siklus normal. Jika ada serangan hama/penyakit, jumlah produksi dapat berkurang lebih dari 10%, karena banyaknya bibit ikan yang mati. Tetapi dengan semakin bertambahnya wawasan mengenai teknik budidaya ikan koki ini, hal itu sangat jarang terjadi. Koki yang dihasilkan dibagi dalam beberapa ukuran menurut umurnya, yaitu umur 20 hari, umur 3 bulan disebut ukuran S (small), umur 4-5 bulan disebut ukuran M (medium) dan umur lebih besar dari 6 bulan disebut ukuran L (large). Selain itu, dihasilkan pula koki untuk kontes yang merupakan pilihan dengan perawatan khusus. Semua ukuran tersebut diperoleh melalui penyortiran setiap kali panen. Untuk mutu kontes ini hendaknya dihasilkan koki yang lain dari yang sudah ada, yaitu melalui teknik kawin silang, sehingga dapat menjadi brand name produk yang secara tidak langsung akan mengangkat harga jual produk lainnya karena penangkarannya sudah dikenal.
Jurnal MPI Vol.1 No. 2. September 2006
21
2) Aspek Harga Koki dapat dijual dalam berbagai tipe dan ukuran. Harga jual koki biasanya didasarkan pada umur dan besar kecilnya tubuh koki (Tabel 6). Pada dasarnya untuk penetapan harga di lapangan dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu harga jual yang ditetapkan berdasarkan biaya dan harga jual yang ditentukan berdasarkan perhitungan faktor persaingan di pasar. Dalam hal ini, banyak pengusaha menggunakan kombinasi kedua macam cara tersebut. Belum adanya kelompok petani ikan hias di sekitar daerah budidaya dapat menyebabkan terjadinya persaingan harga antar petani akibat tekanan harga dari pialang yang kerap datang ke daerah itu pada saat panen. Oleh karena itu, sebaiknya petani-petani ikan hias membentuk kelompok/koperasi untuk menstabilkan harga. Anggota koperasi bertindak sebagai petani ikan hias yang mempunyai tugas budidaya pembesaran dan perawatan ikan hias, serta berhak mendapatkan kredit berupa bibit ikan, obat-obatan dan pakan yang nantinya akan dikembalikan dalam bentuk penjualan ikan hias. Hal lainnya, berkewajiban memasarkan hasil penjualan dan menampung hasil pembesaran. Eksportir ikan hias menjalin kerjasama kemitraan pola dagang umum dengan koperasi.
Tabel 6. Ukuran dan harga ikan koki di Jakarta Bulan Januari 2003 Kategori
Umur
Ukuran
Bibit
20 hari
S
3 bulan
Sebesar biji kacang Seukuran ibu jari orang dewasa Seukuran telur ayam Seukuran telur itik
M L
4-5 bulan 7 bulan Lebih dari 1 Kontes tahun Sumber : Trubus, 2003.
Seukuran bola tenis
Harga di pasaran (Rp) 40-50 1.000-2.000 2.000 10.000 > 100.000
3) Aspek Tempat Aspek ini erat kaitannnya dengan jaringan distribusi, liputan pemasaran, saluran pemasaran, penyimpanan, dan transportasi. Dari kajian terhadap obyek penelitian, belum terlihatnya liputan pemasaran dan jaringan pemasaran yang terpadu, karena pemasaran hanya dilakukan di sekitar area usaha dengan pertimbangan dapat memperkecil biaya transportasi.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan
a. Usaha budidaya ikan koki pada lahan terbatas di kota Jakarta layak dilakukan, karena dapat
b.
memberikan keuntungan bagi pengelolanya. Hasil analisa finansial menunjukkan NPV Rp. 109.863.062, IRR 64,91%, PBP 7,32 bulan, B/C ratio 2,18 kali dan BEP pada tingkat penjualan Rp. 1.748.414. Hasil Analisa sensitivitas menunjukan bahwa usaha budidaya ikan koki sensitif terhadap perubahan volume produksi dan perubahan harga output, terutama adanya penurunan terhadap volume produksi atau harga output 45% dapat menyebabkan kegiatan budidaya menjadi tidak layak secara finansial.
2. Saran Petani ikan koki hendaknya melakukan strategi promosi dan kerjasama dengan eksportir untuk memperluas jaringan pemasaran serta meningkatkan pendapatan. Hal lainnya perlu bergabung dalam koperasi atau kelompok tani agar dapat memperoleh pinjaman kredit atau bantuan modal dari pihak lain dan untuk meningkatkan skala usahanya, serta dapat menstabilkan harga jual produk di pasar.
Jurnal MPI Vol.1 No. 2. September 2006
22
DAFTAR PUSTAKA
Budhiman, A. dan P. Lingga . 2002 Seri Agrihobi Maskoki. Penebar Swadaya. Jakarta. Dirjen Perikanan dan Kelautan. 2003. Statistik Volume dan Nilai Ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta. Dinas Perikanan DKI Jakarta. 2003. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Tahun 2003. Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta. Gittinger, JP. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. UI - Press. Jakarta. Husnan, S. dan Suwarsono. 1984. Studi Kelayakan Proyek : Konsep, Teknik dan Penyusunan Laporan. Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjahmada, Yogyakarta. Kotler, P. 1980. Manajemen Pemasaran : Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Kontrol (Terjemahan, Jilid 1 dan 2). Prenhalindo, Jakarta. McCarthy, E. J. 1981. Basic Marketing : A Managerial Approach. Homewood, Illinois. Sayuti. 2003. Budidaya Koki. Pengalaman dari Tulungagung. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-hasil Pertanian. CV. Rajawali Jakarta. Trubus. 2003. Pasar Mas Koki Tetap Ramai. Trubus Edisi Januari. Umar, H. 1997. Studi Kelayakan Bisnis. Teknik Menganalisa Kelayakan Rencana Bisnis Secara Komprehensif. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Jurnal MPI Vol.1 No. 2. September 2006