MENGAJAR PESERTA DIDIK LAMBAT BELAJAR

Download Jurnal Rehabilitasi dan Remediasi (JRR) Tahun 21, Nomor 2, Desember 2011. ... MENGAJAR PESERTA DIDIK LAMBAT BELAJAR. DI SEKOLAH DASAR...

0 downloads 670 Views 129KB Size
Jurnal Rehabilitasi dan Remediasi (JRR) Tahun 21, Nomor 2, Desember 2011. ISSN 0854-0020. Pusat Penelitian Rehabilitasi dan Remediasi (PPRR) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) UNS. Jl. Ir. Sutami 36A Kampus Kentingan Surakarta, 57126, Telp./Fax. (0271) 632916 ARTIKEL UTAMA

MENGAJAR PESERTA DIDIK LAMBAT BELAJAR DI SEKOLAH DASAR Oleh: Sutijan

ABSTRACT In the learning process, not every student learns heterogeniously in the classroom. Each student is different from the other. Each of them has specific character, and needs special way of teaching accordingly. As a group of students in the classroom, there are many characteristics dealing with the teaching process. These characteritics of learning are mainly categorized into three groups, fast, normal, and slow learners. In the inclusive setting of classroom, the fast and slow learners need special service. The fasts need enrichment and the slow needs remidiation.

Pendahuluan

Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar

Peserta didik lambat belajar sering disebut sebagai “slow learner” yang karena berbagai alasan dan keadaan, menyebabkan anak didik tersebut diperlakukan sebagai peserta didik normal. Mereka juga dimasukkan di sekolah normal. Padahal seharusnya mereka ini mendapat perlakuan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Peserta didik demikian ini juga sering disebut sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK). Di tangan para guru yang kurang berpengalaman dan pengetahuan, mereka diperlakukan seperti anak normal. Akibatnya, mereka tidak sanggup mengikuti pembelajaran secara tuntas, yang akhirnya tinggal kelas, atau bahkan drop outs dengan sendirinya. Dalam kesempatan ini akan disajikan dua hal, yaitu pendidikan inklusi dan pembelajaran tuntas di sekolah dasar.

Pendidikan inklusi masih termasuk hal yang baru di Indonesia umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi, diantaranya adalah pendidikan inklusi yang merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatanhambatan yang dapat menghalangi setiap peserta didik untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah peserta didik penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok yang homogen.

*) Dosen PGSD FKIP UNS Surakarta

Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi keberagaman kebutuhan peserta didik. Mereka juga diharapkan dapat mencari anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan. Dalam kesempatan ini akan dibicarakan lima hal yang berkenaan dengan pendidikan inklusi, yaitu: klasifikasi anak yang berkebutuhan khusus, kurikulum nasional dan kaitannya dengan ABK, pandangan masyarakat terhadap pendidikan inklusi, pentingnya pendidikan inklusi, dan model kelas inklusi. A. Klasifikasi Khusus

Anak

Berkebutuhan

Pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya, sesuai dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan adalah sebagai berikut: 1. Tuna Netra 2. Tuna Rungu 3. Tuna Grahita: (a.l. Down Syndrome) 4. Tuna Grahita Ringan (IQ = 50-70) 5. Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50) 6. Tuna Grahita Berat (IQ < 25) 7. Tuna Daksa 8. Tuna Laras (Dysruptive) 9. Tuna Wicara 10. Tuna Ganda 11. HIV AIDS 12. Gifted : Potensi kecerdasan istimewa (IQ > 125), kelompok ini juga disebut talented: potensi bakat istimewa (Multiple Intelligences: Language, Logico Mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual).

13. Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia/ Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/ Bicara, Dyspraxia/ Motorik). 14. Lambat Belajar ( IQ = 70 –90 ) 15. Autis 16. Korban Penyalahgunaan Narkoba 17. Indigo B. Pendekatan secara kurikulum nasional dikaitkan dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Kurikulum pendidikan nasional yang diterapkan saat ini ternyata sangat menyulitkan anak-anak yang berkebutuhan khusus (ABK), seperti yang terjadi di sekolah-sekolah inklusi. Kebutuhan sekolah inklusi ini bukan kurikulum yang berfokus bagaimana mengarahkan peserta didik agar sesuai harapan standar kurikulum yang berangkat dari sekedar bagaimana mengatasi keterbatasan peserta didik, tetapi berangkat dari penghargaan, optimisme dan potensi positif anak yang berkebutuhan khusus. Tetapi kenyataan yang ada sekarang, kurikulum pendidikan nasional masih kaku, arogan dan tidak mau mengalah. Bahkan terhadap peserta didik yang termasuk ABK, di mana peserta didiknyalah yang harus mengalah dan menyesuaikan diri, bukan kurikulum yang menyesuaikan diri dengan potensi peserta didik. Kondisi tersebut sangat menyulitkan anak-anak berkebutuhan khusus yang berada dalam kelas inklusi. Selain kurikulum yang menjadi hambatan bagi pengembangan sekolah inklusi adalah, banyak guru yang masih belum memahami program inklusi. Kalaupun ada yang paham, ketrampilan untuk menjalankan sekolah inklusi, itupun masih jauh dari harapan. Bahkan ketersediaan guru pendamping khusus juga belum mencukupi. Salah satu program, mendesak yang harus dikuasai guru dalam program sekolah inklusi tersebut adalah menambah pengetahuan dan

ketrampilan deteksi dini gangguan dan potensi pada anak. Pendidikan inklusi berarti juga harus melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan, karena keberhasilan pendidikan inklusi tersebut sangat bergantung pada partisipasi aktif orang tua bagi pendidikan anaknya. C. Paradigma/Pandangan Masyarakat Terhadap Pendidikan Inklusi. Pendidikan inklusi memang tidak popular dalam masyarakat. Masyarakat hanya disibukkan dengan urusan meningkatkan kualitas pendidikan secara horisontal maupun vertikal. Sehingga anak bangsa yang memiliki kebutuhan yang terbatas ini sering termarginalkan (kaum yang tersisih). Pelayanan pendidikan ini memang memerlukan sarana dan prasarana yang cukup besar tapi bukan berarti harus ditinggalkan karena mereka mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Kita harus meninggalkan persepsi konvensional bahwa anak dengan berkebutuhan terbatas misalnya untuk anak tuna netra hanya dicetak menjadi Tukang Pijat. D. Pentingnya Pendidikan Inklusi. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31. Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan

perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh peserta didik. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para peserta didik untuk dapat belajar menghormati realitas kehidupan dalam masyarakat. Pendidikan inklusi adalah hak asasi manusia, di samping merupakan pendidikan yang baik dan dapat menumbuhkan rasa sosial. Itulah ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan pentingnya pendidikan inklusi. Ada beberapa argumen di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi merupakan hak asasi manusia: (1) semua anak memiliki hak untuk belajar bersama; (2) anak-anak seharusnya dihargai dan tidak didiskriminasikan dengan cara dikeluarkan atau disisihkan hanya karena kesulitan belajar dan ketidakmampuan mereka; (3) orang dewasa yang cacat, yang menggambarkan diri mereka sendiri sebagai pengawas sekolah khusus, menghendaki akhir dari segregrasi (pemisahan sosial) yang terjadi selama ini; (4) tidak ada alasan yang sah untuk memisahkan anak dari pendidikan mereka, anak-anak milik bersama dengan kelebihan dan kemanfaatan untuk setiap orang, dan mereka tidak butuh dilindungi satu sama lain (CSIE, 2005). Adapun alasan-alasan di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang baik: (1) penelitian menunjukkan bahwa anak-anak akan bekerja lebih baik, baik secara akademik maupun sosial, dalam setting yang inklusif; (2) tidak ada pengajaran atau pengasuhan dalam sekolah yang terpisah/khusus yang tidak dapat terjadi dalam sekolah biasa; (3) dengan diberi komitmen dan dukungan, pendidikan inklusif merupakan suatu penggunaan sumber-sumber pendidikan yang lebih efektif. Dan argumen-argumen dibalik pernyataan bahwa pendidikan inklusi dapat membangun rasa sosial: (1) segregasi (pemisahan sosial) mendidik anak menjadi takut, bodoh, dan menumbuhkan prasangka;

(2) semua anak membutuhkan suatu pendidikan yang akan membantu mereka mengembangkan relasi-relasi dan menyiapkan mereka untuk hidup dalam arus utama; dan (3) hanya inklusi yang berpotensi untuk mengurangi ketakutan dan membangun persahabatan, penghargaan dan pengertian (CSIE, 2005). Pertimbangan filosofis yang menjadi basis pendidikan inklusi paling tidak ada tiga. Pertama, cara memandang hambatan tidak lagi dari perspektif peserta didik, namun dari perspektif lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah harus memainkan peran sentral dalam transformasi hambatan-hambatan peserta didik. Kedua, perspektif holistik dalam memandang peserta didik. Dengan perspektif tersebut, peserta didik dipandang mampu dan kreatif secara potensial. Sekolah bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan di mana potensi-potensi tersebut berkembang. Ketiga, prinsip non-segregasi. Dengan prinsip ini, sekolah memberikan pemenuhan kebutuhan kepada semua peserta didik. Organisasi dan alokasi sumber harus cukup fleksibel dalam memberikan dukungan yang dibutuhkan kelas. Masalah yang dihadapi peserta didik harus didiskusikan terus menerus di antara staf sekolah, agar dipecahkan sedini mungkin untuk mencegah munculnya masalahmasalah lain (UNESCO, 2003). Ada tiga langkah penting menuju inklusi yang nyata: komunitas, persamaan dan partisipasi. Semua staf yang terlibat dalam pendidikan merupakan suatu komunitas yang memiliki visi dan pemahaman yang sama tentang pendidikan inklusi, baik konsep dan pentingnya maupun dasar-dasar filosofis. Setiap anggota komunitas memiliki persamaan (hak yang sama), dan -karena itusama-sama berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan inklusi, sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasinya. Dalam pendidikan inklusi, sistem sekolah tidak berhak menentukan tipe

peserta didik, namun sebaliknya sistem sekolah yang harus menyesuaikan untuk memenuhi kebutuhan semua peserta didik. Terkait dengan ini, ada ungkapan bahwa komunitas (semua staf yang terlibat dalam pendidikan inklusi) „melampaui dan di atas‟ (over and above) kurikulum (UNESCO, 2003). E. Model Kelas Inklusi. Direktorat PLB (2007: 7) menjelaskan tentang penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut: 1. Kelas reguler (inklusi penuh). Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama. 2. Kelas reguler dengan cluster. Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus. 3. Kelas reguler dengan pull out Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. 4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out. Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktuwaktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. 5. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian. Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler. 6. Kelas khusus penuh. Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.

Pembelajaran Tuntas di Sekolah Dasar 1. Pembelajaran tuntas (mastery learning) adalah pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu. Pembelajaran tuntas dilakukan dengan pendekatan diagnostik. Strategi pembelajaran tuntas menganut pendekatan individual. Dalam belajar tuntas ( mastery learning ): “All students can learn” namun tergantung: kecepatan dan iramanya sendiri-sendiri. “Jika peserta didik dikelompokkan berdasarkan tingkat kemampuannya untuk beberapa mata pelajaran dan diajarkan sesuai dengan karakteristik mereka, maka sebagian besar dari mereka akan mencapai ketuntasan”. Pelaksanaan pembelajaran tuntas dapat disajikan dalam diagram sebagai berikut ini: Selesai siswa yang cepat perlu pengayaan normal materi

lambat perlu remidiasi

Waktu belajar

Mulai waktu belajar 2. Belajar Tuntas Peserta didik yang belajar lambat perlu waktu lebih lama untuk materi yang

sama, mereka dapat berhasil jika kompetensi awal mereka terdiagnosis secara benar dan mereka diajar dengan metode dan materi yang berurutan, mulai dari tingkat kompetensi awal mereka. (JH. Block, B. Bloom) 3. Kriteria Belajar Tuntas Belajar tuntas: 90% peserta didik menguasai 90% kompetensi (tujuan). (Gagne, dkk, principles of instructional design) Belajar Tuntas (mastery learning): peserta didik tidak diperkenankan mengerjakan pekerjaan berikutnya, sebelum mampu menyelesaikan pekerjaan dengan prosedur yang benar dan hasil baik. ( John B. Carrol, A Model of School Learning) 4. Prinsip-prinsip Pembelajaran Tuntas a) Kompetensi yang harus dicapai peserta didik dirumuskan dengan urutan yang hirarkis, b) Penilaian acuan patokan, dan setiap kompetensi harus diberikan feedback, c) Pemberian pembelajaran remedial serta bimbingan yang diperlukan, d) Pemberian program pengayaan bagi peserta didik yang mencapai ketuntasan belajar lebih awal. (Gentile & Lalley: 2003) 5. Mengapa harus pembelajaran tuntas? Proses pendidikan dalam sistem persekolahan kita, selama ini umumnya belum menerapkan pembelajaran sampai peserta didik menguasai materi pembelajaran secara tuntas. Akibatnya, tidak aneh bila banyak peserta didik yang tidak menguasai materi pembelajaran meskipun sudah dinyatakan tamat dari sekolah. Tidak heran pula kalau mutu pendidikan secara nasional masih rendah. 6. Metode Pembelajaran a) Dalam pembelajaran tuntas, metode pembelajaran yang sangat ditekan-

kan adalah pembelajaran individual, pembelajaran dengan teman atau sejawat (peer instruction), dan bekerja dalam kelompok kecil. Berbagai jenis metode (multi metode) pembelajaran harus digunakan untuk kelas atau kelompok. b) Pembelajaran tuntas lebih efektif menggunakan pendekatan tutorial dengan sesion-sesion kelompok kecil, tutorial orang perorang, pembelajaran terprogram, buku-buku kerja, permainan dan pembelajaran berbasis komputer (Kindsvatter, 1996). 7. Peran Peserta Didik a) Peserta didik sebagai subjek didik. b) Fokus pada `Peserta didik dan yang akan dikerjakannya‟. c) Kemajuannya bertumpu pada usaha serta ketekunannya secara individual. 8. Peran Guru Pada Pembelajaran Tuntas a) Menjabarkan KD (Kompetensi Dasar) ke dalam satuan-satuan (unitunit) yang lebih kecil dengan memperhatikan pengetahuan prasyarat. b) Menata indikator berdasarkan cakupan serta urutan unit. c) Menyajikan materi dengan metode dan media yang sesuai. d) Memonitor seluruh pekerjaan peserta didik. e) Menilai perkembangan peserta didik dalam pencapaian kompetensi (kognitif, psikomotor, dan afektif). f) Menggunakan teknik diagnostik. g) Menyediakan sejumlah alternatif strategi pembelajaran bagi peserta didik yang mengalami kesulitan. 9. Sistem penilaian menggunakan ulangan/ ujian berkelanjutan, yang ciri-cirinya adalah: a) Ulangan dilaksanakan untuk melihat ketuntasan setiap Kompetensi Dasar.

b) Ulangan dapat dilaksanakan untuk satu atau lebih Kompetensi Dasar. c) Hasil ulangan dianalisis dan ditindaklanjuti melalui program remedial, program pengayaan. d) Ulangan mencakup aspek kognitif dan psikomotor. e) Aspek afektif diukur melalui kegiatan inventori afektif seperti: pengamatan, kuesioner, dsb. 10. Pembelajaran Remedial a) Pembelajaran remedial adalah pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik yang belum mencapai ketuntasan pada KD tertentu, menggunakan berbagai metode yang diakhiri dengan penilaian untuk mengukur kembali tingkat ketuntasan belajar peserta didik. b) Pada hakikatnya semua peserta didik akan dapat mencapai standar kompetensi yang ditentukan, hanya waktu pencapaian yang berbeda. Oleh karenanya perlu adanya program pembelajaran remedial (perbaikan). 11. Prinsip Pembelajaran Remedial a) Adaptif. b) Interaktif. c) Fleksibilitas dalam metode pembelajaran dan penilaian. d) Pemberian umpan balik sesegera mungkin. e) Pelayanan sepanjang waktu. 12. Diagnosis Kesulitan Belajar Peserta Didik. a) Kesulitan ringan (kurang perhatian saat mengikuti pelajaran). b) Kesulitan sedang (gangguan belajar dari luar peserta didik, misalnya: faktor keluarga, lingkungan tempat tinggal, dan pergaulan). c) Kesulitan berat (ketunaan pada diri peserta didik misalnya tuna rungu, tuna netra, dan tuna daksa)

13. Teknik untuk Mendiagnosis Kesulitan Belajar. a) Tes prasyarat. b) Tes diagnosis. c) Wawancara . d) Observasi. 14. Pembelajaran remedial diberikan setelah peserta didik mempelajari satu atau beberapa KD tertentu yang diuji melalui Ulangan Harian. 15. Pelaksanaan Remedial. a) Pembelajaran ulang dengan metode dan media yang berbeda, b) Belajar mandiri atau pemberian bimbingan secara khusus, c) Pemberian tugas/latihan, d) Belajar kelompok dengan bimbingan alumni atau tutor sebaya, e) dan lain-lain, yang semuanya diakhiri dengan penilaian . 16. Penilaian ulang diberikan kepada peserta didik yang telah mengikuti program pembelajaran remedial agar dapat diketahui apakah peserta didik telah mencapai ketuntasan dalam penguasaan kompetensi yang telah ditetapkan. 17. Nilai Remedial. a) Nilai remedi idealnya dapat lebih tinggi dari KKM. Apabila kebijakan ini diberlakukan, maka setiap peserta didik (termasuk yang sudah mencapai KKM) berhak mengikuti remedi untuk memperbaiki nilai sehingga mencapai nilai maksimal (100). b) Oleh karena itu, mempertimbangkan kepraktisan dalam pelaksanaan remedial sekolah dapat menetapkan nilai remedi sama dengan nilai KKM. Kebijakan ini harus disosialisasikan sejak awal tahun pelajaran. 18. Contoh: Teknik pelaksanaan penugasan/ pembelajaran remedial a) Penugasan individu diakhiri dengan penilaian bila jumlah peserta didik

yang mengikuti remedial maksimal 20%. b) Penugasan kelompok diakhiri dengan penilaian individual bila jumlah peserta didik yang mengikuti remedi lebih dari 20% tetapi kurang dari 50%. c) Pembelajaran ulang diakhiri dengan penilaian individual bila jumlah peserta didik yang mengikuti remedi lebih dari 50 %. 19. Pembelajaran Pengayaan a) Peserta didik yang telah mencapai kompetensi lebih cepat dari peserta didik lain dapat mengembangkan dan memperdalam kecakapannya secara optimal melalui pembelajaran pengayaan. b) Pembelajaran pengayaan dapat diartikan sebagai suatu pengalaman atau kegiatan peserta didik yang telah melampaui persyaratan minimal (KKM) yang ditentukan oleh Satuan Pendidikan dan tidak semua peserta didik dapat melakukannya. c) Pembelajaran pengayaan memberikan kesempatan bagi peserta didik yang memiliki kelebihan sehingga mereka dapat mengembangkan minat dan bakat serta mengoptimalkan kecakapannya. d) Pengayaan merupakan penguatan pada KD tertentu dengan memberi tugas membaca, tutor sebaya, diskusi, dan lain-lain 20. Identifikasi Tingkat Kelebihan Kemampuan Belajar a) Belajar lebih cepat b) Menyimpan informasi lebih mudah c) Keingintahuan yang tinggi d) Berpikir mandiri e) Superior dalam berpikir abstrak f) Memiliki banyak minat 21. Teknik Identifikasi a) Tes IQ (Intelligence Quotient)

b) Tes inventori c) Wawancara d) Pengamatan (observasi) 22. Kegiatan yang dirancang untuk disajikan kepada peserta didik. Sajian dimaksud dapat berupa peristiwa sejarah, buku, tokoh masyarakat, yang secara regular tidak tercakup dalam kurikulum. Jenis Pembelajaran Pengayaan Kegiatan yang diperlukan oleh peserta didik agar berhasil dalam melakukan pendalaman dan investigasi terhadap topik yang

diminati dalam bentuk pembelajaran mandiri. Kegiatan Eksplorasi Ketrampilan Proses 23. Jenis Pembelajaran Pengayaan Program yang diberikan kepada peserta didik yang memiliki kemampuan belajar lebih tinggi berupa pemecahan masalah nyata dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah atau pendekatan investigatif pemecahan masalah. 24. Bentuk Pelaksanaan Pembelajaran Pengayaan: Belajar Kelompok

DAFTAR PUSTAKA

Bandono (2008), Filosofi Belajar Tuntas: google-wikipedia. Haryati, M. (2007), Model dan Teknik Penilaian KTSP. PP No. 72 Tahun 1997, tentang Pendidikan Luar Biasa. SE Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang Rintisan Pelaksanaan Pendidikan terpadu. [email protected]. Suprawoto Sunardjo (2008), Belajar Tuntas: google-wikipedia. UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, tentang pemberian warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan.