MENGELOLA DAN STRATEGI MENGATASI KONFLIK BAGI PEMIMPIN Oleh Samsul Hidayat, M.Ed (Widyaiswara Madya BKD & DIKLAT Provinsi NTB)
ABSTRAKSI Konflik bukanlah sesuatu yang dapat dihindari atau disembunyikan, tetapi harus diakui keberadaannya, dikelola dan diubah menjadi suatu kekuatan bagi perubahan positif. Ada berbagai macam cara menangani konplik. Keterampilan ini sangat berguna selama tahap konfrontasi, sebelum situasinya berkembang menjadi krisis. Seorang pemimpin harus mengetahui sifat, lingkup, sirklus, penyebab, mendeteksi dan bagaimana strategi mengatasi konplik agar konplik tidak meluas kemana mana. Strategi pengelolaan konflik secara langsung, bisa melakukan cara seperti: 1)Membuat persiapan intervensi, 2) Meningkatkan Kesadaran dan Mobilisasi Untuk
Mendukung Perubahan. 3) Pencegahan, 4) Mempertahankan Kehadiran
meliputi, 5) Memungkinkan suatu Penyelesaian. Kata kunci : Konplik, sifat, sirklus, penyebab, strategi.
PENDAHULUAN Konflik atau pertentangan pada umumnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak fungsional. Suatu sistem, pranata atau suatu institusi yang sering mengalami konflik akan dinilai lebih tidak harmonis dibandingkan sistem, pranata atau institusi yang jarang mengalami konflik. Pemahaman seperti ini lebih disebabkan adanya kecenderungan dari kebanyakan orang untuk memilih strategi hidup yang lebih akomodatif daripada harus memakai jalan yang sering menempatkan orang dalam posisi yang saling kontradiktif. Ritzer (1992) menjelaskan bahwa ide pokok tentang konflik pada intinya dapat terbagi menjadi tiga pikiran besar : Pertama, bahwa masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang ditandai adanya pertentangan terus menerus diantara
unsur-unsurnya. Kedua, setiap elemen akan memberikan sumbangan pada disintegrasi sosial. Ketiga, keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Sedangkan teori struktural yang ditentang oleh teori konflik mengandung pula tiga pemikiran utama : Pertama, bahwa masyarakat, berada pada kondisi statis, atau tepatnya berada pada kondisi keseimbangan. Kedua, setiap elemen atau institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas. Ketiga, anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum.
PENGERTIAN KONFLIK Pengertian konflik, sebagaimana dikemukakan Lewis A.Coser (1972) bahwa: “konflik sebagai perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kekuasaan, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka”. Lebih lanjut, Coser mengemukakan bahwa konflik dapat bersifat fungsional secara positif maupun negatif. Fungsional positif, apabila konflik tersebut berdampak memperkuat kelompok, sebaliknya bersifat negatif bila bergerak melawan struktur atau bertentangan dengan nilai-nilai utama. Sementara itu Beebe & Masterson (1994) menyatakan konflik hanya mempunyai dampak negatif apabila ; (1) konflik itu menghalangi kita untuk mencapai tujuan bersama, (2) mengganggu kualitas dan produktivitas masyarakat, dan (3) mengancam kesatuan. Kata konflik seringkali mengandung konotasi negatif, yang cenderung diartikan sebagai lawan kata dari pengertian kerjasama, harmoni, dan perdamaian. Konflik acapkali diasosiasikan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pandangan yang demikian sulit untuk diubah, walau konflik sebenarnya perlu dimaknai sebagai suatu ekspresi perubahan masyarakat. Konflik bukanlah sesuatu yang dapat dihindari atau disembunyikan, tetapi harus diakui keberadaannya, dikelola dan diubah menjadi suatu kekuatan bagi perubahan positif. Dengan demikian, konflik mengandung pengertian yang sangat cair, cepat berubah dan selalu bermakna ganda. Dari waktu ke waktu pergeseran terjadi dalam hal intensitas, sifat, jenis, penyebab, dan lokasi konflik serta pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
2
LINGKUP KONFLIK Bagaimanapun pengertian konflik dapat berbeda arti bagi orang-orang yang berbeda, misalnya bahwa konflik dapat merujuk pada suatu debat atau perlombaan antar individu atau antar kelompok, suatu ketidaksetujuan, argumentasi, perselisihan atau pertentangan; suatu perjuangan, peperangan atau pertikaian ;
atau suatu
keadaan gangguan, ketidakstabilan, ketidakteraturan atau kekacauan. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup konflik adalah sebagai berikut : 1) Konflik yang timbul diantara individu yang satu dengan individu yang lain (antar individu), yang meliputi ; (a) antara individu dengan individu lain dari kelompok yang berbeda, misalnya seorang warga suku tertentu dengan seorang warga suku yang lain, dan (b) antara individu-individu dalam satu kelompok, misalnya perebutan tanah antar anggota suku, yang disebut juga sebagai konflik interhouse atau inter-generational, 2) Konflik antar kelompok (intra group atau intrahouse), dapat berupa konflik antar sub-sub kelompok yang otonom dalam satu kelompok, dan konflik antar kelompok besar yang otonom dalam komunitas atau masyarakat.
SIFAT KONFLIK Konflik bukanlah suatu keadaan yang statis, melainkan bersifat ekspresif, dinamis dan dialektis. Konflik sangat erat kaitannya dengan keadaan damai. Hal ini sebagaimana dikemukakan Adam Curle (1971) yang dikutip Lederach (1998) dengan menggambarkan kontinum hubung-an tersebut. Pergerakan dari keadaan konflik kepada peluang untuk menyelesaikan konflik yang terjadi sampai pada situasi damai, digambarkan dalam 4 tahap utama, sebagai berikut : 1) Tahap pertama adalah tahap konflik tersembunyi, dimana orang masih tidak menyadari adanya ketidakseim-bangan dari kekuatan dan adanya ketidakadilan yang mempengaruhi kehidupannya. Jika kesadaran akan adanya konflik meningkat, maka timbul perubahan yaitu memasuki tahap konfrontasi, 2) Tahap kedua adalah tahap konfrontasi, yaitu suatu keadaan dimana konflik diekspresikan secara terbuka, baik dengan memilih cara kekerasan maupun tanpa kekerasan atau kombinasi dari keduanya. Apabila tahap kedua tersebut akan menimbulkan keseimbangan kekuatan dan pengakuan eksistensi kedua pihak yang berkonfrontasi, hal ini akan menuntun kepada suatu penyelesaian konflik, 3) Tahap ketiga yaitu tahap negosiasi, kedua belah pihak yang berkonflik telah menyadari adanya konflik dan mengakui posisi dan eksistensi masing-masing pihak sehingga
3
memungkinkan untuk melakukan negosiasi, 4)Tahap keempat, dengan berhasilnya negosiasi, maka akan mengarahkan penyelesaian konflik dan perbaikan hubungan antar kedua belah pihak. Kondisi inilah yang disebut hidup berkelanjutan (survive) atau mencapai situasi berkeadilan dan damai. Berdasarkan sasaran dan perilaku (bertentangan atau selaras), konflik dibedakan menjadi 4 sifat, yaitu : 1) Tanpa Konflik ; suatu situasi damai atau situasi kestabilan yang dinamis, dalam arti bila keadaan ini ingin terus dicapai, maka orangorang yang ada di dalamnya harus mampu memanfaatkan perilaku dan tujuan serta mengelola konflik secara kreatif, 2) Konflik Tertutup (Latent) ; suatu konflik yang sifatnya tersembunyi (berakar namun tidak tampak di permukaan), sehingga untuk dapat menanganinya secara efektif, tipe konflik ini perlu diangkat ke permukaan. Konflik tipe ini dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, 3)Konflik Terbuka (Manifest) ; suatu konflik yang berakar dalam dan sangat nyata di permukaan. Konflik tipe ini dicirikan oleh aktifnya pihak-pihak yang berkonflik dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai bernegosiasi dan mungkin juga mencapai jalan buntu., 4) Konflik di Permukaan (Emerging) ; suatu konflik yang berakar dangkal atau bahkan tidak berakar dan muncul hanya karena kesalah pahaman mengenai sasaran. Konflik tipe ini dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi. Konflik tipe ini dicirikan dengan telah teridentifikasinya pihak-pihak yang berkonflik.
SIKLUS KONFLIK. Siklus konflik menggambarkan rangkaian kejadian yang membentuk suatu siklus. Namun demikian urutan kejadian bukan merupakan tahapan yang kaku. Menurut Kriesberg bahwa “tahapan-tahapan yang luas melalui perjuangan cenderung bergerak dan bervariasi dalam konteks berapa lama suatu tahap berakhir, transisi dari tahap satu ke tahap berikutnya, atau urutan kejadian”. Siklus konflik mencakup tahapan kegiatan sebagai berikut : 1) Kondisi-kondisi yang Mendasari. Kondisi yang mendasari konflik adalah hubungan antar pihak-pihak yang berkonflik yang mengarah pada keluhan-keluhan dan perbedaan tujuan, perbedaan status dalam hierarkhi sosial, perbedaan dalam konteks sosial, 2) Manifestasi. Pada tahap awal konflik, upaya perjuangan menjadi nyata atau manifest. Empat hal yang terjadi pada tahap ini adalah : (a) paling tidak satu pihak memiliki identitas diri, misal uang membedakan satu pihak dari pihak lainnya, (b) salah satu pihak yakin atas adanya keluhan-keluhan atau kondisi yang tidak memuaskan atau tidak adil, (c) salah satu anggota meyakini bahwa kondisi yang tidak memuaskan tersebut dapat diatasi
4
melalui perubahan pada pihak lainnya, dan (d) kedua pihak memiliki keyakinan bahwa mereka dapat bertindak untuk mencapai tujuan tersebut. Konflik menjadi manifest bila salah satu pihak mengekspresikan keyakinannya tersebut dengan memobilisasi pendukung-pendukung atau dengan mencoba mempengaruhi pihak lawannya secara langsung untuk mencapai tujuan mereka. Adakalanya untuk mengatasi munculnya konflik ke permukaan, dilakukan upaya-upaya tertentu. Upaya-upaya tersebut meliputi intimidasi pihak-pihak yang melakukan perubahan, mengurangi sumberdaya agar tidak terjadi perubahan yang efektif, atau meyakinkan pada pihak lainnya bahwa mereka tidak dapat mencapai tujuan tersebut. Cara lain dengan meyakinkan bahwa kondisi yang mereka hadapi adalah adil atau merupakan hasil
tindakan mereka sendiri, memperbaiki kondisi
ketidakadilan atau meningkatkan identitas bersama. Dengan : 1) Eskalasi. Tahap eskalasi biasanya merupakan tahap yang relatif lama. Pada tahap ini perlawanan menjadi
nyata
dan
masing-masing
berusaha
untuk
mencapai
tujuannya,
meningkatkan usaha-usaha mereka dengan memperkuat sarana-sarana yang mereka gunakan dan mengumpulkan dukungan-dukungan. Pada awalnya cara-cara yang
digunakan bersifat
persuasif
dan bisa jadi menjanjikan hasil yang
menguntungkan, namun demikian dapat saja terjadi bentuk kekerasan atau paksaan digunakan walaupun halus. Pada tahap ini ada kecenderungan konflik menjadi destruktif, karena interaksi masing-masing pihak semakin kuat dan mereka cenderung melihat dalam posisi “zero-sum conflict”. Dimensi hubungan yang menentukan sejauhmana suatu konflik bersifat destruktif adalah perlakuan yang tidak manusiawi, dan keinginan untuk melanjutkan perjuangan-perjuangan dan bahkan membalas dendam, kekerasan, intimidasi dan penekanan pada musuh yang hanya menimbulkan konflik yang berkepanjangan, 2) De-eskalasi. De-eskalasi terjadi setelah jangka waktu yang bervariasi dari tahap eskalasi dan biasanya terjadi pada setiap pertikaian. Faktor yang mempengaruhinya beragam baik internal pada pihakpihak yang berkonflik ataupun kondisi eksternal. Kondisi-kondisi yang mengarah pada de-eskalasi dapat berupa kejadian kejadian antara lain : a) Melemahnya upaya meneruskan perlawanan, b) Cara-cara yang tidak memaksa ; berubah cara pandang mengenai hubungan, saling pengertian,
tumbuhnya
saling
ketergantungan,
membangun
kepercayaan,
perubahan salah satu pihak yang berkonflik (perubahan kepemimpinan, peraturan dan lain-lain) juga peran perantara, c) Kerangka waktu dalam menyelesaikan konflik
5
(jangka pendek atau jangka panjang), d) Kondisi sosial, ekonomi, ideologi dan demografi. Perantara atau pihak ketiga (dari luar) dapat memberikan sumbangan berarti dalam mencapai tahap de-eskalasi, yakni dalam (1) mengatur hal-hal yang berkenaan untuk mengakhiri konflik (2) membagi sumberdaya yang ada (3) memberikan legitimasi pada opsi-opsi baru (4) membantu mengimplementasikan dan menjaga kesepakatan yang telah dicapai. Tahapan terminasi antara lain : 1) Terminasi. Peralihan dari tahap deeskalasi menuju terminasi jarang terjadi secara mulus. Adakalanya terdapat pihakpihak yang mensabotase, yakni orang-orang yang tidak terlibat penuh dalam proses pengelolaan konflik atau orang-orang yang tidak mendukung. Walaupun demikian dalam model siklus konflik, cepat atau lambat suatu konflik akan mencapai tahap terminasi Suatu terminasi konflik terjadi karena pihak yang menantang merubah bentuk hubungannya dengan pihak lawan. Adakalanya salah satu pihak menekan pihak lainnya atau diantara mereka terjadi bentuk hubungan kompromi, sehingga mencapai hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Namun demikian jarang hasilnya benar-benar seimbang dan tetap ada ketidaksepakatan dalam menilai hasilnya. Proses terminasi bisa terjadi melalui proses negosiasi atau mediasi, 2)Hasil dan Spiral. Tahap terminasi memberikan hasil dalam berbagai bentuk, seperti perubahan-perubahan internal pihak yang berkonflik, perubahan hubungan yang lebih memuaskan, rekonsiliasi dan restrukturasi konteks sosial. Perubahan internal yang terjadi bisa dalam bentuk penghancuran atau kematian dari salah satu pihak yang berkonflik, misalnya kematian anggota, bubarnya kelompok atau organisasi. Apabila pihak yang berkonflik dalam kelompok, bisa terjadi perubahan kepemimpinan atau perubahan ideologi kelompok, perubahan aliansi, dan lain-lain. Selain itu, dari pihak partisan menjadi punya keyakinan bahwa pandangan dari pihak lawan bisa jadi benar.
TEORI-TEORI TENTANG KONFLIK SOSIAL Fisher (2000) mengidentifikasi teori-teori berbagai penyebab konflik sebagai berikut :1) Teori Hubungan Masyarakat. Teori ini beranggapan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah : (1) Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian
antara
kelompok-kelompok
yang
mengalami
konflik,
dan
(2)
6
Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih terbiasa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya, 2) Teori Negosiasi Prinsip.Teori ini beranggapan bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras, dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah : (a) Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasar kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap, serta (b)Melancarkan proses pencapaian kesepakat-an yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak, 3) Teori Kebutuhan Manusia.Teori ini berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam masyarakat disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti dari pembicaraan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah : (a) Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, serta (b) Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak, 4)Teori Identitas.Teori ini memiliki asumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak terselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah : (a) Melalui fasilitasi lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik, mereka diharapkan dapat meng-identifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk mem-bangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka, serta (b) Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak, 5) Teori Kesalahpahaman Antar Budaya.Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokkan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah : (a) Menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain, (b) Mengurangi stereotip negative yang mereka miliki tentang pihak lain, dan (c) Meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya, 6) Teori Transformasi Konflik. Teori ini beranggapan bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidak adilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah : (a) Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, terma-suk kesenjangan ekonomi, (b) Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-pihak yang mengalami konflik, serta
7
(c)Mengembangkan
berbagai
proses
dan
sistem
untuk
mempromosikan
pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.
PENYEBAB TERJADI KONFLIK Faktor penyebab) berkenaan dengan konflik menurut Fisher (2000) dalam Nuraini dan Ida Yuhana (2003) adalah
sebagai berikut :1) Kekuasaan.
Kekuasaan yang dimaksud disini adalah kekuatan, legitimasi, otoritas atau kemampuan memaksa pihak lain. Dalam suatu konflik, seringkali akar masalahnya berpusat pada usaha untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar, atau kekhawatiran kehilangan kekuasaan. Pihak yang berkonflik sering merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuasaan untuk melakukan perubahan atau perdamaian. Beberapa situasi dapat dipengaruhi oleh kekuasaan yang bersumber dari adanya otoritas, akses ke sumberdaya, jaringan kerja, kemampuan/keahlian, informasi serta sumber yang disebabkan kepribadian seseorang, 2) Budaya. Budaya sangat menentukan cara orang berpikir dan bertindak. Masyarakat dimanapun menghormati budayanya sendiri dan sering mempertahankannya dalam menghadapi pengaruhpengaruh dari luar. Budaya yang dimaksud adalah suatu kebiasaan dan nilai-nilai tertentu yang diakui secara umum oleh suatu masyarakat yang tinggal di suatu tempat tertentu. Budaya itu sendiri merupakan produk kolektif yang menghasilkan suatu ukuran dan rangkaian tindakan yang dipakai sebagai acuan untuk menilai tindakan orang lain. Budaya ini sering muncul sebagai faktor yang berpengaruh terhadap konflik, 3) Identitas. Identitas dalam kaitannya dengan situasi konflik memiliki banyak dimensi. Rasa identitas seseorang dapat cepat berubah sebagai respons terhadap ancaman, baik yang nyata atau yang dirasakan. Sesungguhnya suatu hal yang penting dari seseorang untuk memiliki rasa percaya terhadap siapa dirinya (memilih identitasnya sendiri), sehingga orang lain tidak dapat memaksakan suatu identitas tertentu pada dirinya. Konflik sering terjadi akibat tidak diakuinya atau dipaksakannya suatu identitas tertentu pada seseorang/sekelompok orang atau adanya prasangka (stereotip) yang tidak akurat, 4) Gender. Gender yang dimaksud disini adalah perbedaan pria dan wanita yang dikonstruksi secara sosial. Pria dan wanita memiliki peran sosial, sumber kekuasaan dan pengaruh yang berbeda. Akibat perbedaan peran dan tanggung jawab ini, pria dan wanita dapat memiliki perspektif yang berbeda dan mungkin kepentingan yang bersaing. Implikasi perbedaan ini dalam analisis konflik, penilaian mengenai dampak konflik kekerasan, dalam melakukan identifikasi strategi yang sesuai bagi tindakan, dan kemungkinan kelompok atau pelaku untuk bekerja sama menyelesaikan konflik, serta mengurangi
8
efek yang timbul karena kekerasan, 5) Hak. Hak merupakan dimensi konflik sosial dan politik yang vital. Pelanggaran hak dan perjuangan untuk menghapuskan pelanggaran ini merupakan dasar dari beberapa konflik kekerasan. Beberapa bentuk bentuk Konflik yang mungkin dan Potensial Muncul di Daerah, antara lain : 1.
Benturan kepentingan dalam pemilihan kepala daerah.
2.
Pertikaian yang terjadi karena perbedaan aspirasi dalam pemilihan kepala desa.
3.
Pengangkatan dan promosi jabatan aparat daerah yang selalu mengundang konflik.
4.
Hubungan antara eksekutif legislatif daerah yang belum tertata dalam hubungan yang fungsional dan profesional.
5.
Akses dan pemilikan sumber ekonomi yang muncul atau mencuat sejak Otda diterapkan seperti penguasaan dan distribusi air yang dikomersialkan untuk publik.
6.
Dan, perebutan pada sumber pendapatan yang terbuka sejak adanya Otonomi Daerah seperti penarikan retribusi, pajak reklame.
7.
Tarik menarik kekuasaan dan kewenangan terutama berkaitan dengan dana dan penganggaran dengan pusat.
8.
Konflik yang berkaitan dengan pergeseran dan perpindahan pemilikan tanah.
9.
Pertikaian yang muncul tentang batas wilayah (kabupaten-kodya) karena perluasan dan penentuan ulang batas wilayah.
10. Konflik sosial yang muncul karena booming perilaku asosial yang mulai menyebar ke daerah (narkoba, prostitusi, judi, minum-minuman). 11. Konflik internal Pemda yang berkaitan dengan penentuan tugas dan kewajiban antara Dinas dan lembaga yang ada di daerah. 12. Rasionalisasi sumberdaya manusia dan ‘Reseizing’ dinas dan lembaga daerah. 13. Konflik yang muncul karena penguatan ulang rasa primordial kedaerahan untuk legitimasi jabatan dan fungsi-fungsi tertentu di daerah. 14. Pengadaan dana koordinasi kegiatan untuk aparat di tingkat kecamatan. 15. Sinkronisasi operasi khusus di daerah seperti operasi perjudian. 16. Konflik kewenangan dan pertanggungjawaban antara camat sebagai aparat daerah (bukan penguasa wilayah lagi) dengan Lurah atau Kepdes yang dipilih warga dan memiliki otonomi. 17. Konflik yang mungkin terjadi karena perubahan fungsi dan status camat (yang bertugas
hanya
jika
ada
delegasi
wewenang
dari
bupati)
dengan
9
mensinkronisasikannya dengan tugas sektoral dari berbagai dinas dan lembaga yang ada di Pemda (Pheni Chalid, 2004).
KONFLIK YANG SERING TERJADI DI INDONESIA Dalam perjalanan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Indonesia, terutama setelah terjadinya krisis multidimensi pada tahun 1997, situasi konflik di tanah air begitu marak dengan karakteristik konflik yang beragam. Konflikkonflik yang terjadi di Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Payne (1997) berkisar antara ; 1) Welfarist communalism, yaitu konflik yang terjadi karena kecemburuan sosial akibat distribusi sumberdaya yang tidak dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, 2) Retaliatory communalism, yakni konflik yang diakibatkan oleh tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan antar komunitas, dan 3) Separatist communalism, yakni konflik vertikal dengan adanya gerakan-gerakan separatis yang ingin memisahkan diri secara politik. Konflik horizontal bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) yang terjadi di daerah Sambas Kalimantan Barat, dan Sampit di Kalimantan Tengah, dapat dikategorikan sebagai Welfarist communalism, yaitu konflik yang terjadi karena kecemburuan sosial akibat distribusi sumberdaya yang tidak seimbang antara penduduk pribumi dengan pendatang, disamping adanya sentimen etnik atau ras antara suku Melayu dan Dayak dengan suku Madura sebagai pemicu konflik. Selanjutnya konflik yang bernuansa SARA lainnya seperti yang terjadi di Ambon (Maluku), dan Ternate (Maluku Utara), serta konflik Poso (Sulawesi Tengah) dapat dikategorikan sebagai Retaliatory communalism, yakni konflik yang diakibatkan oleh tindakan kekerasan yang dilakukan antar komunitas, dengan sentimen keagamaan sebagai pemicu konflik. Sementara konflik vertikal yang muncul di Nanggroe Aceh Darussalam dan di Papua, dapat dikategorikan sebagai Separatist communalism, yakni konflik yang ditandai dengan adanya gerakan-gerakan separatis yang ingin memisahkan diri secara politik. Begitu pula terjadinya konflik yang bersifat lokal kedaerahan namun sudah menjadi isu nasional, seperti “kasus Matraman” di Jakarta, konflik sosial di Mataram Nusa Tenggara Barat, konflik sosial di daerah Indramayu, konflik vertikal di Majalaya, dan konflik-konflik lokal kedaerahan lainnya di berbagai wilayah Indonesia, seperti konflik sosial di Subang, Purwakarta, Banjaran, dan di lain-lain tempat, lebih bercorak Welfarist communalism,
karena kecemburuan sosial akibat distribusi
sumberdaya yang tidak dapat diakses oleh semua lapisan, dan Retaliatory
10
communalism, dimana konflik yang terjadi diakibatkan oleh kekerasan antar komunitas. Situasi
konflik
tersebut
semakin
memperburuk
citra
masyarakat
Indonesia, yang sebelumnya dikenal sebagai masyarakat dan bangsa yang “ramah tamah, beradab, dan sopan santun”. Konflik sosial yang bersifat horizontal maupun vertikal yang terjadi dibeberapa wilayah Indonesia tersebut, telah menimbulkan disintegrasi sosial yang berdampak lebih luas pada timbulnya pengungsian. Pengungsian merupakan fenomena yang sarat dengan perma-salahan sosial. Warga masyarakat korban konflik kehilangan tempat tinggal, dan terpaksa tinggal di tempattempat yang acapkali tidak layak bahkan sering berpindah-pindah.
BAGAIMANA MENDETEKSI KONFLIK Fisher et.al (2000) memandang analisis konflik sebagai suatu proses praktis untuk mengkaji dan memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang. Hasil pengkajian dan pemahaman ini selanjutnya dijadikan sebagai dasar untuk mengembangkan strategi penanganan konflik. Dalam praktek pekerjaan sosial langkah ini disebut asesmen yang kemudian menjadi dasar untuk membuat rencana intervensi. Mengapa kita harus menganalisis konflik? Jika konflik merupakan suatu gambar yang utuh, maka gambar tersebut terdiri atas potongan-potongan gambar yang harus dicocokan satu sama lain sehingga membentuk gambar tersebut. Untuk mengetahuinya kita harus mengelaborasi setiap potongan gambar dan kita harus mencocokannya satu sama lain, seperti bermain puzzle. Oleh karena itu menganalisa konflik penting untuk : 1. Memahami berbagai situasi sehingga terjadi konflik, latar belakang sejarahnya. 2. Membuat peta konflik, termasuk mengenal kelompok yang terlibat dalam konflik. 3. Memahami faktor-faktor penyebab terjadinya konflik. 4. Memahami dampak dari konflik yang terjadi. 5. Sebagai dasar untuk menyusun rencana strategis penanggulangan konflik, dari mulai pencegahan, pemecahan sampai pada penanganan pasca konflik. Menurut Fisher et.al, analisis konflik tidak hanya dilakukan sekali saja. Analisis perlu dilakukan secara terus menerus, sebab situasi konflik berubah-ubah sesuai dengan eskalasinya. Perubahan-perubahan ini memerlukan analisis sehingga intervensinya sesuai dengan perkembangan konflik.
MENGANALISIS KONFLIK 11
Beberapa alat bantu analisis yang dapat digunakan untuk menganalisa konflik menurut Fisher et al. adalah sebagai berikut :1) Penahapan konflik. Penahapan konflik adalah sebuah grafik yang menunjukan peningkatan dan penurunan intensitas konflik yang digambar dalam skala tertentu. Tujuan menyusun penahapan ini adalah: (a) Untuk melihat tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan konflik, (b) Untuk membahas berada pada tahap mana situasi konflik tersebut sekarang, (c) Untuk meramalkan pola-pola peningkatan intensitas konflik di masa depan dengan tujuan untuk menghindari pola-pola tersebut, (d) Untuk mengidentifikasikan periode waktu yang dianalisis dengan menggunakan alat-alat bantu lain. Pada umumnya konflik melalui tahap-tahap sebagai berikut: a) Pra konflik. Tahap ini merupakan suatu periode dimana terdapat ketidaksesuaian antara dua pihak atau lebih sehingga timbul konflik. Pada tahap pra konflik ini, kedua pihak berkonfrontasi dan akhirnya terjadi konfrontasi, b) Konfrontasi : pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Peristiwa pemicu sudah terjadi, kemudian masing-masing pihak sudah mulai menggalang kekuatan. Pertikaian mulai meningkat menjadi konfrontasi kekuatan, dan tindakan-tindakan kekerasan pun mudah terjadi. Hubungan pihak-pihak yang konflik menjadi sangat tegang, bahkan terbentuk polarisasi para pendukung masing-masing pihak, c) Krisis : tahap ini merupakan puncak konflik dimana terjadi tindakan-tindakan kekerasan yang paling keras. Dalam konflik berskala besar terjadi peperangan. Pada masing-masing pihak akan banyak yang terbunuh. Komunikasi normal terputus. Masing-masing pihak saling menuduh dan saling menentang d) Akibat : pada tahap ini sekarang eskalasi konflik mulai menurun, ketegangan pun menurun. Kemungkinan-kemunkinan akibat : ada pihak yang kalah menjadi taklukan ada pihak yang menang menjadi penakluk, kemungkinan tidak ada pihak yang kalah atau menang tapi masing-masing melakukan gencatan senjata. Upaya-upaya negosiasi bermunculan dari berbagai pihak, baik dari pihak-pihak yang berkonflik
maupun dari pihak ketiga termasuk
pemerintah, aparat keamanan, LSM, dll. Pada konflik berskala besar pengungsian terjadi pada masing-masing pihak, infrastruktur banyak yang rusak, e) Pasca konflik : pada tahap ini masing-masing pihak mengakhiri konfrontasi dan kekerasan, sehingga ketegangan pun berkurang dan komunikasi sudah mengarah pada normal. Upaya perdamaian dan upaya-upaya untuk mencegah terjadinya konfrontasi dilakukan. Para pengungsi mulai dikembalikan kerumahnya masing-masing, atau membangun pemukiman baru, 2) Urutan kejadian. Selain dengan cara penahapan, menyusun urutan kejadian konflik juga merupakan alat bantu untuk menganalisis konflik. Alat Bantu ini merupakan grafik yang menunjukan kejadian–kejadian yang digambar dalam skala waktu tertentu menurut urutan kejadian-nya. Tujuan
12
menggunakan alat bantu ini :a) Untuk menunjukan pandangan-pandangan yang berbeda tentang sejarah dalam suatu konflik, b)Untuk menjelaskan dan memahami pandangan masing-masing pihak tentang kejadian-kejadian, c) Untuk mengidentifi kasi kejadian-kejadian mana yang paling penting menurut masing-masing pihak, 3)Pemetaan konflik. Alat bantu pemetaan ini dimaksudkan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan dengan pihak lain. Sebaiknya pemetaan konflik dibuat oleh berbagai pihak sehingga terdapat berbagai pandangan. Tujuan pemetaan konflik :a) Untuk lebih memahami situasi dengan baik, b) Untuk melihat hubungan diantara berbagai pihak secara lebih jelas, c) Untuk menjelaskan dimana letak kekuasaan, d). Untuk memeriksa keseimbangan masing-masing kegiataan atau aksi-reaksi, e) Untuk melihat posisi para sekutu dan sekutu potensial f)
Untuk mengidentifikasi mulainya intervensi, g) Untuk
mengevaluasi apa yang telah dilakukan. Beberapa pertanyaan yang perlu dirumuskan sebelum membuat peta konflik :a) Siapa pihak-pihak utama yang terlibat dalam konflik?, b) Pihak-pihak lain mana yang terlibat atau berkaitan dengan konflik, termasuk kelompok-kelompok kecil dan pihak-pihak luar, c) Apa hubungan diantara semua pihak dan bagaimana caranya pihak-pihak tersebu terwakili dalam peta ? Apakah ada aliansi lainnya ? Siapa saja orang-orang terdekat ? Adakah hubunganhubungan yang retak? Apakah terjadi konfrontasi?, d) Apakah ada isu-isu pokok yangharus disebutkan dalam peta?, e) Adakah hubungan anda dan organisasi anda dengan pihak-pihak yang terlibat konflik ? Apakah anda mempunyai hubungan khusus yang memberikan peluang untuk mengatasi situasi konflik ?, 4) Segitiga SPK (sikap perilaku-konteks). Alat bantu ini merupakan suatu analisis berbagai faktor yang berkaitan dengan sikap, perilaku dan konteks bagi masyarakat pihak utama yang terlibat konflik. Analisis didasarkan pada prinsip bahwa konflik memiliki komponen-komponen sikap, perilaku dan konteks (situasi). Tujuan alat bantu ini :a)Untuk mengidentifikasi ketiga faktor itu disetiap pihak utama, b) Untuk menganalisis
bagaimana
berbagai
faktor
saling
mempengaruhi,
c)
Untuk
menghubungkan berbagai faktor dengan berbagai kebutuhan dan ketakutan masingmasing, d). Untuk menidentifikasikan titik awal intervensi, 5). Analogi bawang Bombay. Analogi bawang Bombay adalah suatu cara untuk menganalisis perbedaan pandangan tentang konflik dari pihak-pihak yang berkonflik. Bawang Bombay memiliki lapisan-lapisan. Lapisan paling luar adalah posisi-posisi kita di depan umum, yang dapat dilihat dan didengar oleh semua orang. Lapisan kedua adalah kepentingan kita, apa yang ingin kita capai dari situasi tertentu. Lapisan terakhir merupakan inti, yakni kebutuhan terpenting yang perlu kita penuhi. Analisis ini sangat bermanfaat dilakukan untuk masing-masing pihak yang terlibat konflik.Tujuan
13
analisis bawang Bombay : a) Untuk bergerak berdasarkan posisi publik masingmasing pihak dan memahami berbagai kepentingan serta kebutuhan masing-masing pihak, b) Untuk mencari titik kesamaan diantara kelompok-kelompok sehingga dapat menjadi dasar bagi perubah-an selanjutnya, 6) Pohon konflik. Pohon konflik adalah suatu alat bantu analitis dengan menggunakan gambar pohon untuk mengurutkan isu-isu pokok konflik. Cara ini paling baik digunakan dalam kelompok secara bersama. Tujuan alat bantu ini :a) Untuk merangsang diskusi tentang berbagai sebab dan akibat suatu konflik, b). Untuk membantu kelompok menyepakati masalah inti, c)Untuk membantu suatu kelompok atau tim dalam, d) Untuk menghubungkan mengambil keputusan tentang prioritas untuk mengatasi berbagai isu konflik. Berbagai sebab dan akibat satu sama lain, dan untuk memfokuskan organisasinya.
STRATEGI PENGELOLAAN KONFLIK Fisher et al. (2000) menawarkan sebuah strategi pengelolaan konflik secara langsung, sebagai berikut : 1) Membuat persiapan intervensi. Tindakan yang perlu dilakukan pada tahap persiapan intervensi ini adalah :a) Mengidentifikasi dan mengubah pendekatan terhadap konflik. Pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan : (1) Pengendalian. Strateginya mengendalikan, menyaingi, menekan, memaksa, bertempur. Ciri situasi : tidak sabar dengan dialog dan pengumpulan informasi, (2) Pemecahan masalah. Strateginya : pengumpulan informasi, dialog, mencari alternatif. Ciri situasi : peduli tetapi berkomitmen untuk memecahkan, (3)Kompromi. Strategi : mengurangi harapan-harapan, tawar menawar, memberikan menerima, memecahkan perbedaan. Ciri situasi : menolak masuk dalam dialog atau dalam
pengumpulan informasi, (4) Akomodasi. Strategi : setuju, menentramkan,
mengurangi atau mengabaikan perbedaan pendapat, menyerah. Ciri situasi : tertarik pada informasi dan persetujuan pihak lain, b) Mengidentifikasi dan mengurangi prasangka. Sikap-sikap negatif yang sering muncul dalam
situasi konflik adalah:
(1) Prasangka, yaitu opini tentang sesuatu, seseorang, atau suatu kelompok yang terbentuk terlalu dini, tanpa alasan yang baik atau pengetahuan dan pengalaman yang cukup, (2) Stereotip, yaitu gambaran yang digeneralisasikan dan tercipta karena prasangka terhadap kelom-pok tertentu, terlalu disederhanakan sehingga menimbulkan
pandangan
bahwa
seluruh
anggota
kelompok
memiliki
sifat
pembawaan tertentu, yang biasanya negatif, (3) Diskriminasi, yaitu perilaku negatif yang disebabkan oleh prasangka dan stereotip terhadap suatu kelompok atau kelompok-kelompok tertentu. Mengurangi prasangka dapat dimulai dari diri sendiri melalui introspeksi. Kemudian bila dalam diri kita terdapat prasangka mulailah untuk mengubahnya. Selanjutnya, hal ini didiskusikan dengan pihak-pihak yang terlibat
14
konflik, agar mereka menyadari akan adanya prasangka, stereotip atau diskriminasi yang secara tidak disadari ada pada diri mereka. Akhirnya kita dapat mengajak mereka untuk dapat mengubahnya, 2) Meningkatkan Kesadaran dan Mobilisasi Untuk Mendukung Perubahan. Metoda-metoda yang dapat digunakan untuk hal ini: a)Melobi : pendekatan-pendekatan langsung terhadap para pengambil keputusan dan orang-orang yang memiliki hubungan dengan mereka dala mrangka meyakinkan mereka untuk membuat atau mengubah suatu kebiakan atau peraturan tertentu, b)Berkampanye : tindakan-tindakan yang bertujuan untuk memobilisasi publik yang lebih luas tentang suatu isu tertentu sehingga pengambilan keputusan dapat dipaksa untuk mengubah suatu kebijakan atau peraturan, c) Tindakan langsung anti kekera san : tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mengubah situasi ketidakadilan atau penindasan melalui usaha anti kekerasan atau persuasi, atau melakukan protes, menolak
bekerja-sama,
membangun
lembaga
alternatif,
mengembang-kan
ketidakpatuhan warga sipil, berpuasa dan tindakan-tindakan spiritual, seperti doa bersama, 3) Pencegahan. Mencegah konflik memanas sehingga berubah menjadi kekerasan : tindakan-tindakan untuk mengelola konflik pada tahap awal agar dapat mencegah konflik berubah menjadi kekerasan. Sebaiknya kita dapat mencegah konflik agar tidak menjadi semakin memanas sehingga berubah menjadi kekerasan. Sebab tindakan pencegahan pada tahap konfrontasi, tahap akibat dan tahap pasca konflik lebih sulit. Mencegah konflik menjadi kekerasan adalah strategi yang sangat berguna
untuk
dapat
melakukan
tindakan-tindakan
pencegahan.
Tindak-an
pencegahan memerlukan pemahaman tentang dinamika konflik. Kita memerlukan : a. Analisis konteks dan memahami elemen-elemen konflik, yaitu pihak-pihak yang terlibat, para pelaku dan kekuatan-kekuatan. b. Identifikasi pola-pola dan tahapan-tahapan konflik. c. Identifikasi indikator-indikator untuk setiap tahap konflik. d. Identifikasi mekanisme, struktur yang tersedia dan juga yang baru, yang diperlukan untuk mengatasi masalah tertentu. e. Proses perencanaan dan perancangan tindakan yang sesuai dengan situasi. f. Berpikir kreatif untuk menemukan cara-cara baru dalam melakukan sesuatu. Tindakan-tindakan pencegahan yang dapat dilakukan : a) Mengidentifikasi indikator-indikator eskalasi konflik, misalnya: (1)Adanya peningkatan kasus-kasus pelecehan oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain, (2) Adanya peningkatan insiden - insiden kekerasan, meskipun kecil, (3)
Adanya
insiden-
insiden konflik publik, misal di pasar, terminal, dll, (4)Adanya kelompok-kelompok yang tidak berkomunikasi, (5)Adanya ekspresi keluhan yang berulang-ulang, (6)
15
Adanya ke tidakpercayaan pada struktur yang mendukung keadilan atau keamanan, seperti suka main hakim sendiri, (7) Adanya ketegangan sosial dan politik, (8)Adanya ke kurangan perwakilan dari kelompok masyarakat yang dipilih sendiri, (9) Adanya ke timpangan pembangunan, b). Mekanisme yang dapat dilakukan: (1) Membentuk kelompok orang dari berbagai elemen masyarakat, (2)Mengirim sesepuh dari marga, suku, atau kelompok tradisional lainnya sebagai utusan, (3) Memanfaatkan ritual yang ada, termasuk nilai-nilai sosial dan budaya yang ada di masyarakat, (4) Memanfaatkan
struktur-struktur
atau
kelompok-
kelompok yang ada dan dihormati, misal kelompok wanita, dewan pengurus sekolah, pemangku adat, dll untuk mencegah konflik, (5)Melakukan publikasi secara hati-hati untuk kebutuhan tindakan darurat c) Panduan mencegah eskalasi konflik: (1)
tindakan
Menginvestigasi
pencegahan
insiden-insiden
untuk dengan
maksud mencari kejelasan siapa saja yang terlibat dan apa yang sesungguhnya terjadi, (2) Mengontrol rumor-rumor untuk memperbaiki kesalahpahaman dan laporan- laporan yang bersifat fitnah, (3) Memfasilitasi dialog dengan orang-orang dari setiap pihak dan dialog timbal balik di antara pihak yang berbeda pendapat, (4)Mendemonstrasikan solidaritas dengan mendatangi dan mendengarkan pihakpihak yang berkonflik secara spesifik, mengunjungi mereka yang menderita dan yang dituduh atau mungkin menghadiri pemakaman di semua pihak, (5) Membangun keyakinan dan kepercayaan di antara pihak yang bertentangan, (6)Mendorong rekonsiliasi: mengajak pihak-pihak yang bertentangan untuk bersama-sama mengakui kesa-lahan masa lalu dan membangun hubungan jangka panjang, (7)Meminta setiap pihak untuk membuat kesepakatan bahwa insiden-insiden itu tidak akan terulang, (8) Meminta setiap pihak menawarkan perbaikan, ganti rugi, dan restitusi: sebagai komitmen terhadap perubahan perilaku dan juga membayar kerugian, (9) Menyembuhkan luka: secara fisik, emosional, psikologis, spiritual, (10)Mengubah struktur-struktur dan sistem-sistem sehingga masalah yang sama tidak terulang, 4) Mempertahankan Kehadiran meliputi : (a)Perlindungan tanpa senjata : penjagaan secara fisik untuk melindungi para individu dan kelompok lokal yang terancam oleh petugas tidak bersenjata dari organisasi internasional, (b)Pemantauan dan observsi : tindakan-tindakan untuk mengumpulkan dan melaporkan informasi dari tangan pertama tentang perkembangan situasi konflik, termasuk verifikasi kesepakatan, 5) Memungkinkan suatu Penyelesaian meliputi : a) Membangkitkan kepercayaan : membangkitkan kembali dan meningkatkan saling percaya dan keyakinan di antara pihak-pihak yang berkonflik, b)Memfasilitasi dialog : memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik untuk berkomunikasi secara langsung.
16
KESIMPULAN Konflik bukanlah sesuatu yang dapat dihindari atau disembunyikan, tetapi harus diakui keberadaannya, dikelola dan diubah menjadi suatu kekuatan bagi perubahan positif. Dalam mengelola konflik itu perlu terus berusaha mencari caracara untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya dialog antara pihak-pihak yang mengambil bagian di dalamnya. Ada berbagai macam cara menangani konplik. Keterampilan ini sangat berguna selama tahap konfrontasi, sebelum situasinya berkembang menjadi krisis. Tercapainya kesepakatan bukan merupakan tujuan utama suatu dialog, tetapi yang perlu adalah saling memahami. Fasilitasi Dialog memungkinkan orang untuk membagikan pandangan mereka sendiri dan mendengar pandangan yang berbeda mengenai perhatian terhadap masalah politik atau sosial. Penerapan keterampilan ini tentu saja harus disesuaikan dengan budaya dan lingkungan tertentu dimana anda bekerja Seorang pemimpin harus mengetahui sifat, lingkup, sirklus, penyebab, mendeteksi dan bagaimana strategi mengatasi konplik agar konplik tidak meluas kemana mana. Strategi pengelolaan konflik secara langsung, bisa melakukan cara seperti: 1)Membuat persiapan intervensi, 2) Meningkatkan Kesadaran dan Mobilisasi Untuk
Mendukung Perubahan. 3) Pencegahan, 4) Mempertahankan Kehadiran
meliputi, 5) Memungkinkan suatu Penyelesaian.
17
DAFTAR PUSTAKA Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. 2001. Komunikasi Antar Budaya. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Fisher, Simon, et.al. 2000. Mengelola Konflik, Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak (Alih bahasa : S.N. Kartikasari dkk). Jakarta : The Britis Council Fromm, Erich. 2001. Akar Kekerasan. Penerjemah : Imam Muttaqin. Yogjakarta : Pustaka Pelajar Giddens Anthony, David Held. 1982. Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan, Kelompok, dan Konflik : Teori Sosial Kontemporer. Jakarta : CV Rajawali. Jalaluddin Rakhmat. 1992. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Milly Mildawati. 2004. Penguatan Kapasitas Bagi Kelompok Miskin Melalui Program Sekolah Warga Mandiri di Desa Sindang Indramayu. Program Magister Pengembangan Masyarakat. IPB. Nuraini W Prasodjo dan Ida Yuhana F. Tonny. 2003. Pengelolaan Konflik Sosial. Bogor : Magister Profesional Pengembangan Masyarakat. IPB Poloma, M. Margaret Tom.1985. Sosiologi Kontemporer. Penerjemah Yasagoma Jakarta : Rajawali Press. Ratna Megawangi. 1999. Membiarkan Berbeda. Bandung : Mizan. Soerjono Soekanto. 1986. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta : CV. Rajawali
18