MENINGKATNYA KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN

Download Literatur akademis mengenai ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia sering mengindikasikan bahwa ketimpangan telah berada pada tingk...

0 downloads 425 Views 104KB Size
Meningkatnya Ketimpangan Pendapatan dan Dampaknya terhadap Penerimaan Pajak Oleh Eddy Mayor Putra Sitepu, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI* Literatur

akademis

mengenai

ketimpangan

distribusi

pendapatan

di

Indonesia

sering

mengindikasikan bahwa ketimpangan telah berada pada tingkat yang relatif rendah sebagai hasil dari kebijakan pemerintah yang salah satu pilarnya adalah ‘pro-poor policy’. Sebagai contoh, sebuah diskusi sepanjang 2 halaman mengenai kinerja ekonomi Indonesia selama dekade terakhir dalam World Development Report 2006 menggunakan frasa ‘pro-poor’ sebanyak 12 kali (World Bank, 2005: 126-127). Namun demikian, terjadi perdebatan bahwa hal tersebut merupakan bentuk kesalahpahaman, yang lahir dari kesulitan yang signifikan dalam menerjemahkan data survey belanja dan pendapatan untuk Indonesia yang tersedia (Cameron, 2002). Ketimpangan pendapatan semakin meningkat Dengan menggunakan data survey perpajakan dan survey rumah tangga, dihasilkan estimasi proporsi penghasilan tertinggi di Indonesia dalam periode 1920-2004 (Leigh dan van der Eng, 2009). Hasil analisis menunjukkan bahwa proporsi penghasilan tertinggi tumbuh selama periode 1920an dan 1930an, namun turun di masa setelah kemerdekaan. Terjadi kenaikan tajam pada akhir 1990an, bertepatan dengan krisis ekonomi tahun 1997-1998. Berdasarkan data-data yang dapat diperbandingkan, proporsi penghasilan tertinggi di Indonesia secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain; sebuah temuan yang bertentangan dengan pandangan bahwa Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang egalitarian. Proporsi penghasilan tertinggi merupakan indikasi terjadinya ketimpangan pendapatan. Dengan meningkatnya proporsi penghasilan tertinggi, berarti semakin besar proporsi pendapatan nasional yang dikuasai oleh kelompok penduduk yang mempunyai penghasilan tertinggi, atau dengan kata lain pendapatan nasional terkonsentrasi pada kelompok penghasilan tertinggi. Dan jika dilihat dalam perspektif jangka waktu tertentu, apabila proporsi tersebut semakin meningkat, dapat dikatakan bahwa ketimpangan pendapatan semakin meningkat. Dalam kasus Indonesia, data menunjukkan kecenderungan tersebut. Pada tahun 1982, 10 persen pendapatan tertinggi menguasai 32,64 persen dari total pendapatan nasional, selanjutnya meningkat dengan konstan hingga mencapai 39,53 persen pada tahun 2001. Peningkatan yang lebih signifikan terjadi pada kelompok 0,05 persen dan 0,01 persen pendapatan tertinggi. Untuk kelompok 0,05 persen pendapatan tertinggi, proporsinya meningkat dari 1,33 persen menjadi 5,29 persen dalam periode 1993-2000, sedangkan untuk kelompok 0,01 persen pendapatan tertinggi meningkat proporsinya dari 0,38 persen menjadi 2,25 persen dalam periode yang sama. Ketimpangan pendapatan dan basis pemajakan Sebuah studi yang dilakukan oleh Aizenman dan Jinjarak (2012) menyelidiki keterkaitan antara ketimpangan pendapatan dan basis pemajakan diantara negara-negara pada periode 2000-an, dan menghubungkannya dengan tingkat ketergantungan terhadap utang. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara ketimpangan pendapatan dengan basis

pemajakan, dan ketimpangan pendapatan yang lebih tinggi terkait dengan basis pemajakan yang lebih rendah, ruang fiskal riil (de facto fiscal space) yang lebih kecil, dan ketergantungan terhadap utang yang lebih tinggi. Ruang fiskal riil—berdasarkan kajian Aizenman dan Jinjarak (2011) sebelumnya—didefinisikan sebagai utang pemerintah dibandingkan dengan basis pajak riil, dimana basis pajak riil adalah penerimaan pajak yang terealisasi dirata-ratakan selama beberapa tahun untuk memperhalus fluktuasi siklus bisnis. Karena itu, ruang fiskal riil mempunyai kaitan yang berkebalikan dengan lamanya tahun pajak yang diperlukan untuk melunasi hutang pemerintah. Pada prakteknya, penerimaan pajak rata-rata menjadi ukuran yang baik atas kapasitas pemajakan riil, sebagai hasil dari dijalankannya ketentuan dalam perpajakan dan penindakan yang efektif. Sementara rasio utang terhadap GDP meningkat pesat dalam masa-masa krisis (misalnya Irlandia dalam krisis baru-baru ini, debt-to-GDP ratio-nya meningkat lebih dari 2 kali lipat dalam waktu 1 tahun), kapasitas pemajakan riil berubah secara perlahan di saat krisis (Alesina dan Drazen 1991). Akibatnya, rasio utang pemerintah terhadap basis pajak riil, atau jumlah tahun pajak yang diperlukan untuk melunasi utang pemerintah, memberikan informasi mengenai ketatnya ruang fiskal suatu negara. Untuk kasus terjadinya guncangan fiskal yang tidak terantisipasi semacam itu, negara dengan utang pemerintah / rata-rata penerimaan pajak yang lebih rendah mungkin memiliki lebih banyak ruang untuk menyesuaikan diri dengan melakukan realokasi prioritas penggunaan basis pemajakan yang relatif tinggi. Untuk dapat menjelaskan hubungan antara basis pemajakan dengan ketimpangan pendapatan, Aizenman dan Jinjarak (2012) melakukan analisis ekonometrika tersebut pada 50 negara yang mempunyai catatan komprehensif mengenai variabel-variabel kunci seperti: Gini coefficient, basis pemajakan, dan ruang fiskal hingga tahun 2011. Kemudian ditemukan bahwa ketimpangan yang semakin tinggi mempunyai keterkaitan dengan basis pemajakan yang lebih kecil dalam periode yang diteliti; dan bahwa dampak ketimpangan tersebut meningkat dari 2007 ke 2011. Pengaruh ketimpangan terhadap ruang fiskal bekerja melalui saluran basis pemajakan, dan pengaruhnya besar: peningkatan 1 standar deviasi Gini coefficient, atau 10 dalam skala 0-100, terkait dengan basis pemajakan rata-rata yang lebih rendah sebesar 21 persen dari GDP di 2011. Memperluas basis pemajakan Basis pemajakan riil memang tidak dapat diubah dalam waktu singkat karena mencerminkan kontrak sosial. Kontrak tersebut bergantung pada kapasitas negara untuk melakukan penindakan perpajakan, yang bermuara pada persepsi publik terhadap keadilan dalam perpajakan dan manfaat yang diperoleh dari pengeluaran sektor publik oleh pemerintah. Pandangan ini konsisten dengan temuan kajian empiris baru-baru ini yang menemukan bahwa kepatuhan dalam perpajakan dan kerelaan individu untuk membayar pajak dipengaruhi oleh persepsi tentang keadilan dalam struktur pajak. Seorang wajib pajak individu sangat dipengaruhi oleh persepsinya terhadap perilaku wajib pajak lainnya (Alm dan Torgler 2006). Jika wajib pajak memandang bahwa sikap mereka cukup terwakili dan mereka mendapatkan manfaat dalam bentuk barang publik, rasa memiliki terhadap

negara meningkat, dan karenanya kerelaan untuk membayar pajak juga meningkat (Frey dan Torgler 2007). Dengan demikian, ketimpangan pendapatan yang semakin besar akan membatasi kemampuan untuk melakukan kebijakan kontra fiskal. Mengkonfirmasi logika tersebut, hasil temuan empiris dari Aizenman dan Jinjarak (2012) menyatakan bahwa semakin terpolarisasi suatu masyarakat maka akan semakin sulit untuk menyesuaikan diri dengan menaikkan pajak pada saat krisis. Panduan fiskal yang seragam berdasarkan traktat Maastricht (debt-to-GDP dibawah 60 persen) terlalu lunak untuk negara-negara yang mempunyai basis pemajakan yang kecil. Kriteria traktat Maastricht seharusnya mendorong negara-negara dengan basis pajak yang kecil untuk memperluas basis pemajakannya dan mengadopsi kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Kombinasi dari kedua kebijakan tersebut akan meningkatkan persepsi masyarakat terhadap keadilan dalam struktur pajak, mengurangi polarisasi, dan memperbaiki kapasitas untuk menyesuaikan diri pada saat terjadi krisis. Tantangan di masa depan Bagi Indonesia, meningkatnya ketimpangan pendapatan memberikan tantangan serius bagi keberlangsungan penerimaan perpajakan. Berdasarkan data dari Bank Dunia, tax to GDP ratio Indonesia dalam kurun waktu 2001-2012 menunjukkan tren yang fluktuatif, yaitu cenderung meningkat dalam periode 2001-2008 dari 11,6% hingga mencapai 13,31%. Namun pada tahun 2009 terjadi penurunan tajam ke posisi 11,06% sebelum kembali mengalami kenaikan yang konsisten pada periode 2010-2012 hingga mencapai 12,37%. Perlu upaya berkelanjutan untuk meningkatkan porsi penerimaan pajak. Menurut data IMF, rasio penerimaan pajak aktual terhadap PDB pada tahun 2010 sebesar 11,6 persen, padahal kapasitas pajak diperkirakan sekitar 21,5 persen dari PDB. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB di Indonesia adalah yang terendah diantara negara-negara G-20 dan negaranegara emerging markets. Tingkatan dan struktur penerimaan pajak cenderung stabil dalam 6 tahun terakhir. Hal ini antara lain disebabkan oleh populasi wajib pajak (WP) yang masih sempit di Indonesia, walaupun terjadi peningkatan secara bertahap dalam periode tersebut. Penerimaan pajak bertahan dalam kisaran 11,4−13 persen dari GDP sejak 2001, dengan sedikit peningkatan pada beberapa tahun pertama dan terjadi penurunan dari tahun 2008 ke 2009. Salah satu langkah yang dapat berdampak signifikan bagi peningkatan tax to GDP ratio dan keberlangsungan penerimaan pajak adalah perluasan basis pemajakan dengan perluasan populasi WP orang pribadi. Otoritas perpajakan harus dapat menjangkau WP dengan penghasilan tertinggi yang menguasai 60 persen kekayaan Indonesia. Selain itu, perlu dipertimbangkan penerapan super rich tax, dimana tarif pajak khusus yang sangat tinggi dikenakan terhadap orang-orang yang sangat kaya. Selain itu, pengelolaan data yang akurat serta pemeriksaan dan penagihan yang kuat perlu dilakukan untuk mendukung langkah-langkah tersebut. *) Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili instansi tempat penulis bekerja

Referensi Leigh, Andrew & van der Eng, Pierre, 2009. "Inequality in Indonesia: What can we learn from top incomes?," Journal of Public Economics, Elsevier, vol. 93(1-2), pages 209-212, February. Aizenman, J. & Jinjarak Y. (2012). Income inequality, tax base, and sovereign spreads. NBER Working Paper Series 18176. Cambridge: National Bureau of Economic Research. Aizenman, J and Y Jinjarak (2011), “The Fiscal Stimulus of 2009-10: Trade Openness, Fiscal Space and Exchange Rate Adjustment”, NBER Working Paper No. 17427, forthcoming, NBER International Seminar on Macroeconomics 2011. Alm, J and B Torgler (2006), “Culture differences and tax morale in the US and in Europe”, Journal of Economic Psychology, 27:224-246. Frey SB and B Torgler (2007), “Tax morale and conditional cooperation”, Journal of Comparative Economics, 35:136-159. Melo, M., Pereira, C., & Souza, S. (2010). The Political Economy of Fiscal Reform in Brazil: The Rationale for the Suboptimal Equilibrium.