METODE MENEKAN KEHILANGAN HASIL PADI

Download bahwa penanganan pascapanen secara tidak tepat dapat menimbulkan susut atau kehilangan baik mutu maupun ... varietas yang susah rontoh yang...

0 downloads 373 Views 81KB Size
METODE MENEKAN KEHILANGAN HASIL PADI

Sigit Nugraha dan tim Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Jl. Tentara Pelajar 12 Kampus Cimanggu, Bogor

ABSTRAK Usaha untuk meningkatkan produksi telah berhasil dilakukan oleh pemerintah, namun belum diikuti dengan penanganan pascapanen dengan baik. Produksi padi yang melimpah di saat musim hujan mengundang berbagai masalah, terutama dalam proses penanganan panen dan pascapanen. Varietas padi yang ditanam pada saat ini adalah varietas unggul baru. Salah satu kelemahan dari varietas unggul adalah mudah rontok, jumlah anakan banyak, sehingga menyebabkan kehilangan pada saat panen dan perontokan tinggi. Disadari bahwa penanganan pascapanen secara tidak tepat dapat menimbulkan susut atau kehilangan baik mutu maupun fisik. Teknologi penekanan kehilangan hasil yang dipilih untuk diterapkan harus teknologi yang sesuai dengan spesifik lokasi. Teknologi tersebut tidak bertentangan dengan masyarakat pengguna, baik secara teknis, ekonomis maupun sosial budaya masyarakat setempat. Secara umum metode atau teknologi untuk menekan kehilangan hasil panen dapat ditempuh dengan sistem panen beregu, yang dilengkapi dengan unit alat perontok dengan penerapan proses yang baik (GMP). Dalam pembentukan sistem panen beregu terdapat perbedaan pada masing-masing lokasi atau daerah. Pada daerah dengan pemilikan lahan sempit, penerapan teknologi yang dapat dilakukan yaitu dengan cara pengembangan sistem panen beregu dengan anggota 5 – 7 orang yang dilengkapi dengan 1 unit pedal thresher. Pada daerah pantura dengan pemilikan lahan yang luas pembentukan sistem beregu beranggotakan 15-20 orang yang dilengkapi dengan 1-2 unit power thresher

PENDAHULUAN Beras adalah bahan pangan sumber karbohidrat penting dan merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Kestabilan stok beras sangat besar pengaruhnya terhadap ketahanan pangan, kestabilan politik maupun ekonomi bangsa

Usaha untuk meningkatkan produksi telah berhasil dilakukan oleh pemerintah, namun belum diikuti dengan penanganan pascapanen dengan baik. Produksi padi yang melimpah disaat musim hujan mengundang berbagai masalah, terutama dalam proses penanganan panen dan pascapanen. Varietas padi yang ditanam pada saat ini adalah varietas unggul baru. Salah satu kelemahan dari varietas unggul adalah

mudah rontok, jumlah anakan banyak,

sehingga menyebabkan kehilangan pada saat panen dan perontokan tinggi. Disadari bahwa penanganan pascapanen secara tidak tepat dapat menimbulkan susut atau kehilangan baik mutu maupun fisik. Berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat kehilangan hasil panen antara lain varietas padi (beberapa varietas padi sangat mudah rontok yaitu golongan IR, dan varietas yang susah rontoh yang umumnya padi bulu/varietas Fatmawati), alat dan cara panen yang menentukan besar kecilnya kehilangan hasil, perilaku petani/penderep, umur panen, alat perontok, lokasi dan musim. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor: (1) teknologi belum sesuai baik secara teknis, ekonomis maupun sosial budaya lokal yang kondisinya beragam di tiap wilayah, dan (2) tidak ada insentif harga produk seperti gabah atau beras yang mutunya lebih baik sehingga petani mengabaikan cara penanganan padi yang baik. Selama kurun waktu 15 tahun kemudian, tingkat kehilangan hasil masih belum banyak berubah. Pada tingkat produksi padi mencapai 50 juta ton gabah kering giling (GKG), dapat diperkirakan bahwa jumlah kehilangan gabah menjadi kurang lebih 10 juta ton tiap tahun. Proses kehilangan ini terjadi pada setiap tahapan produksi padi, mulai dari panen, perontokan, pengeringan, pengangkutan, penggilingan dan penyimpanan. Persentase kehilangan yang

tinggi terutama terjadi pada tahapan

pemanenan dan perontokan padi, diperkirakan kehilangan di tahapan tersebut lebih besar dari 9% (BPS, 1996). Perbaikan data kehilangan hasil padi baru dapat diperoleh lagi pada kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh Ditjentan, BPS dan Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian

pada tahun anggaran 2005, 2006 dan 2007. Pada pengukuran yang

dilakukan kali ini ada perubahan metode terutama penggunaan petak kontrol untuk mengukur kehilangan panen yang diganti dengan penggunaan metode papan 9 yang

dikembangkan

oleh

IRRI.

Sedangkan

kehilangan

pada

saat

penggilingan

menggunakan metode penggilingan petani dan penggilingan skala laboratoris. Hasil pengukuran menunjukkan angka yang sangat kecil yaitu kehilangan pemanenan 1,57% dan kehilangan perontokan sebesar 0,98%. Angka-angka ini masih perlu dikaji lebih lanjut untuk mendapatkan angka kehilangan hasil yang valid yang dapat diterima semua pihak. Verifikasi pedoman umum metode pengukuran susut hasil sedang dilakukan oleh Balai Besar Litbang Pascapanen pada tahun anggaran 2011.

PENANGANAN PASCA PANEN PADI

A. Tahapan Pascapanen Padi Tahapan proses penanganan pascapanen padi yang dilakukan oleh petani dimulai dengan penentuan umur panen pada hamparan sawah. Penentuan umur panen dapat dilakukan secara visual dengan melihat kenampakan padi, melihat umur tanaman berdasarkan diskripsi masing-masing varietas yang dikeluarkan oleh Balai Besar Penelitian Padi maupun menggunakan tes kadar air gabah. Umur panen optimum sangat menentukan mutu maupun kehilangan hasil saat panen. Padi yang dipanen sebelum masak optimal akan menghasilkan kualitas gabah maupun beras yang kurang baik. Umumnya padi yang dipanen muda akan menghasilkan kualitas beras dengan persentase butir hijau dan butir mengapur yang tinggi. Rendemen beras giling rendah, dengan persentase beras pecah dan menir tinggi serta warna beras menjadi kusam. Tahapan kegiatan penanganan pascapanen dimulai dari penentuan umur panen sampai dengan penggilingan ditampilkan pada Gambar1.

Gambar 1. Diagram Alir Tahapan Kegiatan Penanganan Pascapanen Padi

Padi siap panen

Penentuan umur panen

Pemotongan/pemanenan

Penumpukan sementara di lahan

Pengumpulan padi ke tempat perontokan

Penumpukan/penundaan perontokan

Perontokan

Pengangkutan gabah ke rumah petani

Penjemuran gabah

Penyimpanan gabah

Penggilingan

B. Kehilangan Hasil Pascapanen Kegiatan

pascapanen

meliputi

kegiatan

pemanenan,

perontokan,

pengangkutan, pengeringan, penggilingan, penyimpanan, dan pemasaran. Kehilangan hasil pasca panen sampai saat ini masih cukup tinggi, yaitu lebih dari 20%. Titik kritis kehilangan hasil terjadi pada tahapan pemanenan dan perontokan. Dengan tingkat kehilangan yang masih cukup tinggi, yaitu pada tahapan pemanenan kehilangan masih

berkisar 9%, dan pada tahapan perontokan masih lebih dari 4%. Teknologi penekanan kehilangan hasil pada tahapan kegiatan pemanenan dan perontokan

yang telah

dilakukan yaitu dengan rekayasa sosial budaya pada cara dan sistem panen, dapat menekan kehilangan hasil menjadi 5,9% (Setyono et al, 1995) Keragaan kehilangan hasil yang

dilaksanakan BB pascapanen di tiga

ekosistem menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kehilangan hasil yang signifikan, yaitu berturut-turut kehilangan pada ekosistem lahan irigasi sebesar 13,35%, kehilangan pada ekosistem lahan tadah hujan sebesar 10,39 dan kehilangan hasil pada ekosistem lahan pasang surut sebesar 15,26% (Nugraha et al, 2007). Penekanan kehilangan hasil yang dapat di lakukan terutama pada proses pemanenan dengan panen secara berkelompok atau beregu dan perontokan padi dilakukan dengan menggunakan mesin perontok atau power thresher

TEKNOLOGI PENEKANAN KEHILANGAN HASIL

Titik kritis kehilangan terjadi pada tahapan pemanenan yang mencapai 9,19% dan pada tahapan perontokan sebesar 4,98% ( BPS, 1996), berbagai usaha telah dilakukan untuk menekan atau mengurangi tingkat kehilangan hasil tersebut. Perbaikan sistem penanganan pascapanen padi telah banyak dilakukan dengan tujuan antara lain (1) mengurangi atau menekan kahilangan hasil, (2) memperbaiki kualitas gabah dan beras, (3) meningkatkan rendemen giling serta harga jual beras. Teknologi penekanan kehilangan hasil pascapanen padi dapat diuraikan sebagai berikut:

Teknologi Penentuan Umur Panen 1. Pengamatan Secara Visual Umur panen dapat ditentukan berdasarkan pengamatan visual dengan cara melihat kenampakan padi pada hamparan sawah. Umur panen optimal padi dicapai setelah 90-95% butir gabah pada malai padi sudah berwarna kuning atau kuning keemasan. Padi yang dipanen pada kondisi tersebut akan menghasilkan gabah yang berkualitas sangat baik, dengan

kandungan butir hijau dan butir mengapur yang rendah. Padi yang dipanen pada kondisi optimum juga akan menghasilkan rendemen giling yang tinggi. 2. Pengamatan Teoritis (diskripsi varietas dan pengukuran kadar air gabah) Penentuan umur panen padi dengan dengan pengamatan teoritis dapat dilakukan dengan cara : (1) berdasarkan umur tanaman hari setelah berbunga rata (hsb) antara 30 sampai 35 hari setelah berbunga rata atau umur tanaman berdasarkan saat tanam (hst) yaitu antara 135 – 140 hari setelah tanam, dan (2) penentuan umur panen berdasarkan kadar air gabah. Umur panen optimum dicapai setelah kadar air gabah mencapai 22-23% pada musim kemarau, dan antara 24-26% kadar air gabah pada musim penghujan (Darmajati, 1974; Damarjati et al, 1981)

Teknologi Pemanenan Alat panen yang dipergunakan oleh petani telah berkembang mengikuti perkembanganya varietas padi baru yang telah dihasilkan. Alat pemotong malai padi ini berkembang dari ani-ani, kemudian menjadi sabit dan terakhir sabit bergerigi dengan bahan baja yang sangat tajam untuk menekan kehilangan. Penggunaan sabit gerigi dapat menekan kehilangan hasil sebesar 3 % (Damarjati et al, 1990; Nugraha et al, 1990). Cara panen padi yang biasa dilakukan petani ada 3 yaitu cara panen potong bawah, cara panen potong tengah dan cara panen potong atas. Cara panen ini akan dipilih berdasarkan jenis atau cara perontokan yang digunakan. Jika padi digebot atau dirontokkan dengan alat pedal “thresher” maka padi dipanen dengan cara potong bawah. Cara panen potong atas atau potong tengah ditempuh jika padi rontok dengan alat perontok “power thresher”. Sistem panen yang dikenal pada saat ini adalah sistem panen bebas atau keroyokan, individu/monopoli dan beregu. Pada sistem bebas, jumlah pemanen pada satu luasan lahan tidak dibatasi. Pada sistem panen individu atau monopoli, satu luasan tertentu menjadi monopoli satu / dua keluarga pemanen. Pada sistem penan beregu jumlah pemanen antara 5-7 orang yang dilengkapi satu unit pedal thresher atau 15-20

orang yang dilengkapi 1 unit power thresher (Setyono et al, 1993a dan Setyono el al 1993b).

Penumpukan dan Pengumpulan Padi Potensi kehilangan hasil yang dapat terjadi pada proses pemanenan padi adalah pada saat penumpukan dan pengumpulan padi untuk dirontok. Untuk menghindari atau mengurangi terjadinya kehilangan hasil saat panen sebaiknya pada waktu penumpukan padi dan pengangangkutan menggunakan alas plastik, sehingga gabah yang rontok dan tercecer dapat ditampung dalam wadah tersebut. Penggunaan alas dan wadah pada saat penumpukan dan pengangkutan dapat menekan kehilangan hasil antara 0.94-2.36%.

Teknologi Perontokan Perontokan adalah proses melepaskan butiran gabah dari malai padi yang dapat dilakukan melalui proses mekanis yaitu dengan proses menyisir atau membanting malai padi pada benda yang lebih keras ataupun alat perontok tertentu. Pada beberapa kasus, tidak semua petani langsug melakukan perontokan padinya setelah melakukan pemotongan. Di beberapa daerah penundaan perontokan atau terjadinya keterlambatan perontokan selalu terjadi. Beberapa hal yang mungkin terjadi selama proses penundaan antara lain : (1) terjadi kehilangan hasil yang disebabkan oleh gabah yang rontok selama penumpukan atau dimakan binatang, dan (2) terjadi kerusakan gabah karena adanya reaksi enzimatis, sehingga gabah cepat tumbuh berkecambah, terjadinya butir kuning, berjamur atau rusak. Hasil penelitian menunjukan terjadinya kerusakan dan kehilangan hasil panen akibat keterlambatan perontokan padi. Kerusakan gabah setelah penundaan perontokan selama 3 hari pada musim kemarau mencapai 2,84 %. Sedangkan kerusakan gabah karena penundaan padi selama 1 malam pada 3 agroekosistem berturut-turut sebesar 1,25% pada ekosistem irigasi, 1,47% pada lahan tadah hujan dan 1,85% pada lahan pasang surut. Tingginya persentase gabah rusak menyebabkan gabah tidak memenuhi standar kualitas yang

ditentukan (BSN, 2000). Gabah yang rusak karena tersengat serangga akan menimbulkan potensi terjadinya kerusakan karena infeksi jamur yang merugikan kesehatan bagi manusia. Untuk mendukung program keamanan pangan sebaiknya petani tidak melakukan penundaan perontokan padi disawah lebih dari satu malam. Terjadinya beras busuk dan berjamur diduga dapat menstimulir mikroba patogen yang merugikan bagi pencernaan manusia. Perbaikan teknologi penundaan perontokan dapat dilakukan dengan cara : (1) menggunakan alas plastik pada saat penundaan padi, dan (2) penundaan boleh dilakukan tetapi tidak boleh lebih dari satu malam dengan tinggi tumpukan padi tidak lebih dari 1 m. Dengan implementasi teknologi penundaan tersebut dapat menekan kehilangan hasil antara 1,35-3,12% dan menekan terjadi butir kuning dan rusak antara 1,77-2,22%. Perontokan padi merupakan tahapan setelah pemotongan padi (pemanenan). Tahapan kegiatan ini bertujuan untuk melepas gabah dari malai. Padi dirontok dengan mesin perontok. Ada beberapa tipe dan model mesin perontok yang telah dikembangkan, mulai dari mesin perontok manual pedal “thresher” dan mesin perontok padi mekanis “power thresher”. Kinerja alat perontok akan menentukan tingkat kehilangan hasil. Kecepatan putaran silinder perontok

menentukan hasil perontokan,

kehilangan hasil dan gabah yang tidak terontok karena masih menempel pada malai padi. Alat perontok pedal “thresher” berputar pada kecepatan 100-150 rpm, sedangkan “power thresher” disarankan pada 400-450 rpm. Penyebab utama kehilangan hasil pada perontokan padi adalah : (1) perilaku petani yang bekerja kurang hati-hati, (2) cara penggebotan dan frekuensi pembalikan padi, (3) kecepatan silinder perontok dan (4) besarnya alat plastik yang digunakan pada saat merontok. Penggunaan alat perontok dapat mengurangi jumlah gabah yang tidak terontok dan masih menempel pada malai padi. Hasil pengujian dari empat model mesin perontok type TH-6 menunjukkan bahwa kapasitas kerjanya berkisar antara 523-1.125

kg/j/unit. Penggunaan mesin perontok selain dapat menekan kerhilangan hasil juga dapat meningkatkan kapasitas dan mutu gabah. Introduksi alat/mesin panen stiper, reaper dan combine harvester juga sudah dilakukan. Unjuk kerja alat tersebut antara lain, stiper dengan kapasitas pemanenan 17 jam/ha jauh lebih cepat dibandingkan dengan panen secara manual (252jam/orang/ha), sedangkan combine harvester kapasitas panennya (5,05 jam/ha). Penggunaan stiper dapat menekan kehilangan panen dan perontokan 2,51%, sedangkan penggunaan reaper dapat menekan kehilangan hasil 6,1%. Keberadaan sistem kelompok/regu panen berpengaruh terhadap jumlah gabah yang tidak terontok dan jumlah gabah yang tercecer.

Teknologi Pengeringan Untuk menghasilkan beras berkualitas baik, gabah hasil panen harus diturunkan kadar airnya secara cepat dengan penjemuran dengan sinar matahari langsung ataupun dengan alat pengering buatan. Gabah yang terlambat dikeringkan akan berakibat tidak baik terhadap kualitas berasnya. Hal ini disebabkan gabah hasil panen dengan kadar air tinggi dan kondisi lembab mengalami respirasi dengan cepat. Akibatnya butir gabah busuk, berjamur, berkecambah maupun mengalami reaksi browning enzimatis

sehinga beras berwarna kuning/kuning kecoklatan. Kehilangan

hasil pada tahapan penjemuran umumnya disebabkan oleh (1) fasilitas penjemuran seperti lantai jemur maupun alas lainnya yang kurang baik, sehingga banyak gabah yang tercecer dan terbuang saat proses penjemuran dan (2) adanya gangguan hewan seperti ayam, burung, kambing dll. Ada 2 cara pengeringan yang lazim digunakan oleh petani yaitu : (1) pengeringan dengan cara penjemuran langsung menggunakan sinar matahari, dan (2) pengeringan

dengan

menggunakan

alat

pengering

buatan

(artificial

dryer).

Pengeringan dengan sinar matahari (penjemuran) harus memperhatikan intensitas sinar, suhu pengeringan yang selalu berubah, ketebalan penjemuran dan frekuensi pembalikan. Penjemuran yang dilakukan tanpa memperhatikan hal-hal tersebut di atas dapat menyebabkan penurunan kualitas beras, misalnya beras akan menjadi pecah

waktu proses penggilingan. Penjemuran pada lapisan semen yang dilakukan dengan ketebalan yang tipis kurang dari 1 cm dapat mengakibatkan persentase beras pecah lebih dari 70% dengan rendemen giling rendah. Pengeringan dengan alat pengering buatan akan menghasilkan gabah berkualitas lebih baik, hal ini disebabkan suhu pengering, aliran udara panas dan laju penurunan kadar air dapat dikendalikan. Teknologi pengeringan gabah dengan bahan bakar sekam merupakan teknologi unggulan yang mudah untuk diimplementasikan karena biaya pengeringan yang murah dan efisien dengan kualitas yang baik.

Teknologi Penyimpanan Petani umumnya menyimpan gabah dengan dua cara (1) sistem curah, yaitu gabah yang sudah kering dicurahkan pada satu tempat yang dianggap aman dari gangguan hama maupun cuaca, dan (2) cara penyimpanan dengan menggunakan kemasan/wadah seperti karung plastik, karung goni, pengki tenggok dan lain-lain. Kehilangan hasil saat penyimpanan disebabkan oleh kondisi kemasan, tempat penyimpanan, gangguan hama dan penyakit gudang dan keadaan cuaca setempat, kadar air gabah akan mengikuti kondisi keseimbangan udara luar. Pada wadah yang kedap udara umumnya kadar air penyimpanan tidak akan banyak mengalami perubahan, sedangkan pada konsisi wadah yang tidak kedap udara kadar air gabah akan mengikuti perubahan sesuai dengan kelembaban udara sekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan hasil pada tahapan penyimpanan gabah pada agroekosistem padi lahan irigasi sebesar 1,37%, pada agroekosistem padi lahan tadah hujan sebesar 1.28% dan pada agroekosistem padi lahan pasang surut sebesar 2,24% (Nugraha el al , 2005) Lama penyimpanan akan berpengaruh terhadap kualitas gabah yang dihasilkan. Pada kondisi kadar air tinggi yang akan diikuti dengan kelembaban yang tinggi, kerusakan gabah selama penyimpanan akan semakin cepat.

Teknologi Penggilingan Proses pengilingan adalah proses pengupasan gabah untuk menghasilkan beras yaitu dengan cara memisahkan lapisan lemma dan palea serta mengeluarkan biji

beras. Pada proses ini ada dua tipe alat penggilingan padi yang digunakan oleh petani yaitu : tipe penggilingan padi 1 phase (single pass) dan tipe penggilingan padi 2 phase (double pass).

Penggilingan 1 phase yaitu proses pemecah kulit dan penyosoh

menyatu, sehingga proses gabahnya masuk pada hoper pemasukan dan keluar sudah menjadi beras putih. Sedangkan pada penggilingan 2 phase, dipisahkan antara proses pemecah kulit dan proses penyosohan, sehingga merupakan dua tahap proses kegiatan. Dari dua cara penggilingan ini akan menghasilkan beras dengan kualitas yang berbeda. Kehilangan pada tahapan penggilingan umumnya disebabkan oleh penyetelan blower penghisap, penghembus sekam dan bekatul. Penyetelan yang tidak tepat dapat menyebabkan banyak gabah yang terlempar ikut ke dalam sekam atau beras yang terbawa ke dalam dedak. Hal ini menyebabkan rendemen giling rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan hasil pada tahapan penggilingan di agroekosistem padi lahan irigasi sebesar 2,16%, pada agroekosistem padi lahan tadah hujan sebesar 2,35% dan pada agroekosistem padi lahan pasang surut sebesar 2,60% (Nugraha et al, 2005). Kualitas beras akan ditentukan dalam proses penyosohan (polish). Proses yang baik akan menghasilkan beras dengan penampakan yang cerah dan mengkilat, serta derajat sosoh yang tinggi. Proses penyosohan yang tidak baik akan menghasilkan beras kusam, miling meter yang rendah dan persentase beras pecah dan menir yang tinggi. Proses penyosohan berpengaruh terhadap kualitas penampakan beras yang beras dari 3 agroekosistem yang berbeda. Beras yang dihasilkan dari ekosistem irigasi menghasilkan beras yang lebih baik, hal ini ditunjukkan dengan derajat sosoh (miling degree) yang tinggi yaitu mencapai 94.0% diikuti dengan beras yang dihasilkan dari tadah hujan dengan sosoh 93.0% dan beras dari lahan pasang surut dengan derajat sosoh 89.0% Kualitas beras juga ditentukan oleh kecerahan maupun warna putih yang dikandungnya yang dapat ditentukan dengan parameter whitenes dan transparancy.

Kehilangan Kualitas/ Penurunan Mutu Di dalam sistem tataniaga dan perdagangan beras, kualitas fisik beras sangat menentukan. Penurunan kualitas fisik dapat menyebabkan kehilangan bobot maupun kehilangan nutrisi beras. Kedua hasil tersebut dapat menyebabkan jatuhnya harga jual gabah maupun beras. Selain kehilangan bobot di dalam perlakuan penanganan pascapanen yang salah dapat menyebabkan kehilangan kualitas kimia. Kehilangan tersebut dapat terjadi karena (1) terjadi penundaan atau keterlambatan perontokan, (2) penumpukan padi di sawah

yang

terlalu

lama,

(3)

terjadinya

keterlambatan

dalam

proses

penjemuran/pengeringan dan (4) kerusakan yang terjadi karena kondisi penyimpanan yang tidak memenuhi syarat. Kerusakan kualitas fisik gabah dapat berupa meningkatnya persentase gabah retak yang berpengaruh terhadap rendemen giling, terjadinya penurunan densitas dan bobot 1000 butir, terjadi kerusakan gabah seperti gabah tumbuh, gabah busuk, gabah berkecambah, gabah berjamur dan berwarna kuning. Hasil penelitian menunjukan terjadinya kehilangan kualitas fisik antara 0.49-1.50%, yang terjadi pada saat penundaan perontokan sebesar 0.27-0.77% dan terjadi pada saat penyimpanan gabah diikuti petani sebesar 0.22-0.73%. Kehilangan Nutrisi Kehilangan nutrisi dapat terjadi karena berkurangnya unsur-unsur kimia penting pada beras karena kesalahan dalam penanganan segar maupun penanganan selama penyimpanan. Penurunan nutrisi juga dapat terjadi karena reaksi oksidasi yang dapat menyebabkan meningkatnya kandungan asam lemak bebas, sehingga beras menjadi tengik dan bahkan mengandung unsur racun (toxin) yang berbahaya bila dikonsumsi manusia. Terjadinya penurunan kadar air gabah selama penyimpanan antara 1.532.61% karena adanya kadar air keseimbangan antara suhu dan kelembaban masingmasing lokasi penyimpanan. Dengan terjadinya perubahan kadar air, maka akan terjadi pula perubahan keseimbangan unsur-unsur mikro yang terdapat dalam beras

diantaranya terjadi kenaikan kadar abu antara 0.12-0.7%, kadar serat antara 0.871.41%, dan kadar karbohidrat antara 1.42-2.33%. Penyimpanan gabah selam 5 bulan belum menunjukkan adanya perubahan nyang nyata terhadap kandungan asam lemak bebas, sehingga belum menimbulkan bau tengik pada beras. Hal ini diduga karena pada penyimpanan gabah lapisan aleuron atau lapisan bekatul yang banyak mengandung asam lemak masih tertutup kulit sekam (karyopsis), sehingga terjadi oksidasi asam lemak bebas dapat dihindari, beda kalau penyimpanan tersebut dilakukan pada beras pecah kulit (Nugraha et al, 1989).

LANGKAH-LANGKAH DALAM PENERAPAN TEKNOLOGI PENEKANAN KEHILANGAN HASIL

Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan teknologi penekanan kehilangan hasil pascapanen padi adalah bahwa secara ekonomis penerapan teknologi tersebut memberikan keuntungan dan manfaat bagi pihak-pihak yang terkait, seperti petani, buruh tani, kelompok tani maupun pengusaha jasa alsintan. Adapun langkahlangkah yang harus ditempuh sebagai berikut.

1. Peningkatan Kemampuan dan Ketrampilan Petani. Upaya

perbaikan

penanganan

pascapanen

sebaiknya

dimulai

dengan

peningkatan kemampuan dan ketrampilan petani dalam hal pascapanen padi, yang dimulai dengan pengenalan tahapan pascapanen, titik kritis tahapan pascapanen yang dapat menimbulkan potensi kehilangan serta cara mengatasi atau menekan kehilangan tersebut.

2. Teknologi Spesifik Lokasi Teknologi penekanan kehilangan hasil yang dipilih untuk diterapkan harus teknologi yang sesuai dengan spesifik lokasi. Teknologi tersebut tidak bertentangan dengan masyarakat pengguna, baik secara teknis, ekonomis maupun sosial budaya masyarakat setempat. Sebagai contoh, dalam pembentukan sistem panen beregu terdapat perbedaan pada masing-masing lokasi atau daerah. Pada daerah dengan

pemilikan lahan sempit , penerapan teknologi yang dapat dilakukan yaitu dengan cara pengembangan sistem panen beregu dengan anggota 5 – 7 orang yang dilengkapi dengan 1 unit pedal thresher. Sedangkan ditempat lain dapat dikembangkan sistem panen beregu dengan anggota 15 – 20 orang yang dilengkapi 1 unit power thresher.

3. Pembentukan dan Pemberdayaan Kelompok Upaya perbaikan penanganan dan penekanan kehilanganh hasil panen dengan penerapan teknologi pascapanen yang baru, sebaiknya dilakukan secara berkelompok yang bersifat komersial dan mandiri, baik oleh kelompok tani, regu panen, dan pengusaha jasa alsintan dengan cara membentuk kelembagaan jasa pemanen, jasa perontok, jasa penjemuran, dan jasa penggilingan, sehingga nilai tambah yang diperoleh dapat dirasakan oleh seluruh anggota kelompok.

4. Manajemen Lapangan Penyusunan rencana operasional jasa pemanenan, jasa perontokan, jasa pengeringan dan jasa penggilingan dapat dihitung berdasarkan pesanan petani yang sesuai dengan RDK (Rencana Difinitif Kelompok), luas areal dalam satu kelompok sesuai dengan jumlah dan kapasitas alsintan pada satu daerah. Alokasi pekerjaan tersebut nantinya dapat diintegrasikan dalam penyusunan rencana kelompok. Dengan demikian penerapan teknologi penekanan kehilangan hasil yang sesuai akan sangat efektif dan efisien.

5. Pelatihan dan Pembinaan SDM Untuk

menunjang

keberhasilan

dalam

penerapan

teknologi

penekanan

kehilangan hasil, sebaiknya disiapkan terlebih dahulu SDM yang mumpuni dan mampu untuk menjalankan segala kegiatan. Peningkatan kemampuan dapat dilakukan melalui pelatihan dan pembinaan SDM baik dalam penggunaan atau pengoperasian alat sampai dengan teknik-teknik perbengkelan.

6. Pembinaan Kelembagaan Penerapan teknologi penekanan kehilangan hasil perlu didukung kelembagaan yang kuat, misalnya kelembagaan keuangan desa, kelembagaan penyuluhan, kelembagaan teknis, penyebaran informasi, yang diperkuat dengan kebijakan dan aturan yang dikeluarkan dari instansi terkait dalam pelaksanaannya.    

V. DAFTAR PUSTAKA Ananto, E.E, Sutrisno, Astanto dan Soentoro 2002. Pengembangan alat dan mesin pertanian menunjang sistem usaha tania dan perbaikan pascapanen di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Biro Pusat Statistik, 1996. Survei susut pascapanen MT 1994/95 dan MT 1995. Kerjasama BPS, Ditjen Tanaman Pangan, Badan Pengendali Bimas, Bulogbapenas, IPB, dan Badan Litbang Pertanian. BSN. 2000. Sistem Manajemen Mutu – Persyaratan SNI 19-9001-2001. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta . Damardjati, D.S., 1974. Pengaruh tingkat kematangan padi (Oryza sativa L.) terhadap sifat dan mutu beras. Thesis MS Institut Pertanian Bogor. Damardjati, D.S., H. Suseno dan S. Wijandi, 1981. Penentuan umur panen optimum padi sawah (Oryza sativa L.). Penelitian Pertanian 1:19:26. Nugraha, S., A. Setyono dan D.S. Damarjati. 1990. Pengaruh keterlambatan perontokan padi terhadap kehilangan hasil dan mutu. Laporan Hasil Penelitian 1988/89. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Nugraha, S., A. Setyono dan Sutrisno, 1999. Perbaikan penanganan pascapanen padi melalui penerapan teknologi perontokan. Simposium penelitian tanaman pangan IV. Bogor, 22-24 November 1999. Nugraha, S., Sudaryono., R. Rachmat dan S. Lubis 1999. Pengaruh keterlambatan perontokan padi terhadap kehilangan dan mutu hasil. Seminar Ilmu Pertanian Wilayah Barat. Universitas Sriwijaya. Palembang, 20-21 Oktober 1999.

Nugraha, S., Sudaryono, Syafaruddin Lubis, Naning Saputra, Ridwan Thahir, BAS Santosa, Ridwan Rachmat dan Mulyana Hadi Pernata, 2005. Laporan Balai Besar Libang Pascapanen Pertanian. Bogor 2005. Nugraha, S., R. Thahir dan Sudaryono 2007. Keragaan Kehilangan Hasil Pascapanenb padi pada 3 (tiga) Agroekosistem. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian. Vol. 3. Nomor 1 Tahun 2007. Rachmat, R., A. Setyono dan S. Nugraha. 1993. . Evaluasi sistem pemanenan beregu menggunakan beberpa mesin perontok. Agrimek. Vol 4 dan 5 No. 1 (1992/1993) Safaruddin L., Soeharmadi, S. Nugraha dan A. Setyono. 1990. Sistem pemanenan padi untuk meningkatkan mutu dan mengurangi kehilangan hasil. Media Penelitian. Sukamandi. No. 13 Hal. 1-4. Setyono, A., Sutrisno da S. Nugraha. 1993. Pengujian pemanenan padi sistem kelompok dengan memanfaatkan kelompok jasa pemanen dan jasa perontok. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 2001. Setyono, A., S. Nugraha. R. Thahir dan A. Hasanuddin. 1995. Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi 23-25 Agustus 1995.

Lampiran : Metode menekan susut panen padi Tahap Pemanenan •

Panen dan perontokan dilakukan oleh kelompok pemanen dengan anggota 5-7 orang yang dilengkapi satu unit pedal thresher • Saat panen ditentukan berdasarkan penempakan malai padi di lahan sawah 8090% berwarna kuning. Waktu panen dilakukan pada kondisi lahan rata dan kering, cuaca cerah antara pukul 8.00 – 15.00 WIB). • Cara panen dilakukan dengan potong bawah (5-10 cm di atas permukaan tanah) bila alat perontok gebotan atau pedal thresher atau potong atas bila alat perontoknya power thresher) dengan sabit. Padi yang telah dipotong dikumpulkan atau digunduk dengan menggunakan alas plastik ukuran 1 m x 1 m. Setelah proses pemotongan padi, gundukan beserta alas diangkut ke lokasi perontokan yang beralas plastik/ terpal ukuran 6 m x 6 m. Tahap Perontokan • • • • • •

Perontokan menggunakan pedal thresher yang dioperasikan 2 orang. Dengan cara mengumpankan satu genggam padi (maksimum 1 kg) Pada thresher yang berputar. Pengumpanan dilakukan dengan memegang pangkal batang jerami (sistem hole in), dengan 4-5 kali balikansampai bersih dengan kayuhan normal untuk menghasilkan putaran optimal (50-100 rpm). Gabah hasil perontokan dibersihkan secara manual dengan menggunakan sapu atau diangin-anginkan Gabah bersih dimasukkan ke dalam karung yang utuh dan diikat Gabah siap diangkut kerumah petani dengan menggunakan sepeda atau mobil Gabah segara dikeringkan (maksimum 1 malam di dalam karung)

Tahap Penjemuran •



Alas penjemuran lantai jemur semen atau terpal plastik luas 6 m x 6 m untuk kapasitas penjemuran 450 kg. Tebal penjemuran 3 cm, lama penjemuran 2 hari, dibalik sambil dibersihkan kotorannya setiap dua jam sekali. • Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan mesin pengering bahan bakar sekam yang lebih • ekonomis dan efisien serta mutu gabah terjamin. Pengeringan sampai kadar air 14%. Gabah kering giling diistirahatkan selama satu malan (tempering time). Kemudian gabah dapat langsung digiling atau dikemas dalam karung plastik yang diikat serta disimpan ditempat kering sampai maksimal 4 bulan dsengan alas balok kayu.

Tahap Penggilingan • • • • • • • •

Model penggilingan padi yang baik adalah penggilingan statis sistem double pass Umur ekonomis mesin penggiling lebih dari 10 tahun dengan perawatan yang rutin Penggantian rubber roll dilakukan setelah kapasitas 20-30 ton gabah kering giling Penggantian besi penyosohsetelah kapasitas 1000-2000 ton gabah kering giling Putaran mesin penyosoh 1100-1200 rpm Katup pengepres pengeluaran beras disesuaikan denganstandar kualitas beras dan konsisten Penggilingan padi menggunakan ayakan gabah maupun ayakan beras Asal bahan baku gabah memenuhi persyaratan mutu gabah (kadar air 14%, hampa/ kotoran 5%, butir hijau 3% dan butir kuning/rusak 3%.