JURNAL PSIKOLOGI VOLUME 39, NO. 1, JUNI 2012: 112 – 120
Metode Stimulasi dan Perkembangan Emosi Anak Usia Dini Wisjnu Martani1 Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Abstract Emotion is an important factor for early child life. Children use their emotion to be able to be survive. One of the factors in early child emotion development is teacher. The technique to stimulate depends on the teacher understanding to the child development and the stimulation it self. This research was aimed to investigate how extent the teacher understanding was implemented in the stimulation technique for early children emotional development. The participants were 30 kindergarten teachers. Data was collected using interview and opened questionary. Data was analyzed through qualitative approach. The result shows that teacher understands the children emotional development, but the stimulation way is based on the manner set and teacher perception. Keywords: teacher perception, early children, stimulation, emotional development Masa1 usia dini merupakan “golden age period”, artinya merupakan masa emas untuk seluruh aspek perkembangan manusia, baik fisik, kognisi emosi maupun sosial. Salah satu aspek perkembangan yang penting bagi anak usia dini adalah aspek emosi. Merangkum pendapat Goleman, Izard dan Ackerman, Le Doux, (Hansen & Zambo 2007) emosi adalah perasaan yang secara fisiologis dan psikologis dimiliki oleh anak dan digunakan untuk merespons terhadap peristiwa yang terjadi disekitarnya. Emosi bagi anak usia dini merupakan hal yang penting, karena dengan emosi anak dapat memusatkan perhatian, dan emosi memberikan daya bagi tubuh serta mengorganisasi pikir untuk disesuaikan dengan kebutuhan. Lebih lanjut Hansen dan Zambo (2007) menjelaskan tentang contoh fungsi emosi dalam kehidupan anak usia dini, misal: 1
Korespondensi dengan penulis dapat dilakukan melalui:
[email protected]
112
takut adalah salah satu emosi yang digunakan untuk ”survival”. Pada saat emosi takut muncul pada anak, maka anak menjadi sadar terhadap lingkungan dan menimbulkan sikap hati-hati pada diri anak. Senyum merupakan ekspresi emosi senang, dengan senyum anak akan mampu memberikan tanda kepada sekitarnya tentang situasi yang dialami dan kebutuhan untuk melakukan hubungan antar pribadi. Singkat kata emosi membantu anak sepanjang waktu untuk bertahan dan berkomunikai dengan lingkungan. Emosi berkembang sepanjang waktu, emosi pada anak usia dini berkembang dari yang sederhana menjadi ke suatu kondisi yang lebih kompleks. Emosi berkembang sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Menurut Bronfenbreuner (Santrock, 2006) ada sejumlah sistem yang berpengaruh terhadap perkembangan anak yaitu mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem dan kronosistem. Salah satu sistem yang paling kuat dan langsung pengaruhJURNAL PSIKOLOGI
METODE STIMULASI, PERKEMBANGAN EMOSI
nya terhadap perkembangan anak adalah mikrosistem. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan mikro oleh Bronfenbreuneur adalah situasi lingkungan yang menyebabkan anak dapat melakukan kontak langsung dan saling mempengaruhi. Lingkungan mikro mempunyai peran khusus dalam perkembangan anak, karena dalam mikrossitem ini terdapat unsur orangtua, guru dan juga mencakup kuantitas.dan kualitas pengasuhan. Anak berkembang melalui interaksi dengan lingkungan. Salah satu lingkungan yang berperan adalah orang tua. Namun pada tahun terakhir jumlah orang tua terutama ibu yang bekerja semakin meningkat; pada saat yang bersamaan muncul kelompok atau lembaga yang menyelenggarakan pendidikan di luar rumah untuk anak usia dini. Kondisi ini seolah gayung bersambut dengan kebutuhan orangtua untuk tetap dapat mendapatkan cara yang dianggap sesuai untuk perkembangan anak. Orang tua berharap bahwa di Taman Kanak-kanak (TK) anak akan mendapatkan stimulasi yang memadai bagi perkembangan anak. Pada lingkungan belajar di luar rumah atau di TK, anak akan belajar dan mendapat stimulasi. Melton (dalam Ben-Arieh, et al, 2009) berpendapat bahwa sekolah merupakan lingkungan utama bagi proses perkembangan anak, dan berperan dalam menciptakan kegiatan untuk kesejahteraan anak. Namun pada kenyataannya tidak semua anak mendapatkan perkembangan yang optimal, bahkan anak mengalami developmental delay atau developmental problems. Lickona (dalam Woolfolk, 2006) mengatakan bahwa variasi dalam situasi akan menghasilkan variasi dalam perilaku. Suasana yang dibangun dalam satu situasi yang mendekati kehidupan yang sebenarnya, dapat menyebabkan anak JURNAL PSIKOLOGI
menjadi kaya akan pengalaman. Anak tidak saja berpikir dan bertindak dari sisi kognitifnya saja, namun juga menggunakan atau mengasah ranah non kognitifnya. Dengan demikian mereka dapat berkembang secara optimal menjadi manusia seutuhnya (secara horisontal dan vertikal). Anak belajar melalui berbagai cara antara lain melalui imitasi, melakukan sesuatu atau mencoba dan mengalami (Einon, 2005). Lingkungan menyediakan sesuatu yang dibutuhkan anak, dan anak akan memanfaatkan apa yang ditawarkan oleh lingkungan. Orang dewasa dapat melatih, menjelaskan, dan mengoreksi anak, atau menunjukkan sesuatu kepada anak. Oleh karena itu yang dapat dilakukan adalah membantu anak untuk melibatkan dan mendorong anak untuk mencoba dan mengalami. Anak mempunyai bakat atau kemampuan yang telah dibawa sejak lahir, namun bakat atau kemampuan tersebut tidak akan berkembang apabila tidak memperoleh rangsangan dari lingkungannya Pendidikan anak usia dini merupakan suatu bentuk stimulasi yang pada dasarnya adalah upaya-upaya intervensi yaitu menciptakan lingkungan sekitar anak usia dini agar mampu menstimulasi seluruh aspek perkembangan anak. Intervensi merupakan sejumlah informasi yang diatur melalui pembelajaran tertentu untuk pertumbuhan, perkembangan maupun perubahan perilaku. Menurut Mashar (2007), mengutip pendapat Foot et al mengatakan bahwa anak yang mengalami hambatan ataupun problema perkembangan, tidak akan berkembang secara optimal. Terjadinya problema dalam perkembangan emosi pada anak usia dini salah satunya dipengaruhi oleh guru. Penelitian Mashar (2007) menunjukkan bahwa guru yang telah dilatih untuk mendampingi anak, ternyata anak mampu 113
MARTANI
berperilaku dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2009) juga menunjukkan bahwa guru yang dilatih dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi pada anak usia dini, dan dalam mengurangi terjadinya problema perkembangan pada anak. Telah terjadi pergeseran paradigma dalam pengembangan dan pendidikan anak usia dini. Pada masa yang lalu, tujuan dari pendidikan anak usia dini adalah persiapan akademis untuk masuk sekolah formal, sehingga pendidikan anak usia dini lebih menekankan pada aspek perkembangan kognitif dan bahasa. Pada masa sekarang paradigma telah merubah menuju pada pengasuhan dan perkembangan anak, yang artinya harus melibatkan caring and education. Perubahan paradigma ini berakibat dalam cara memperlakukan anak, termasuk dalam memberikan stimulasi. Anak tidak berkembang secara otomatis, namun dipengaruhi oleh cara lingkungan memperlakukan mereka. Ketika anak memasuki lingkungan ”sekolah” non formal seperti taman kanak-kanak, maka ruang dan kesempatan untuk berinteraksi semakin luas. Stimulasi yang diberikan oleh guru termasuk yang berpengaruh. Cara guru memberikan stimulasi terhadap anak adalah tergantung pada pemahaman guru terhadap stimulasi dan permahaman terhadap anak. Menjadi guru yang baik, berarti seseorang harus bersedia dan mampu mengenali siapa anak didiknya. Pengenalan terhadap anak merupakan hal yang penting, karena setiap anak adalah unik (Pearsons & Sardo, 2006). Namun kenyataan menunjukkan bahwa pada umumnya guru mengabaikan tentang keunikan anak. Bagi guru lebih mudah memberikan pendidikan yang sama dan adil menurut konsep guru, dengan kata lain guru tidak mem114
perhatikan kebutuhan anak. Menurut Ormrod (2003) guru cenderung menuntut siswa untuk menurut atau taat dengan menunjukkan perilaku yang baik di mata guru sebagai akibatnya anak akan mendapat stimulasi dengan cara yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka, dan pada gilirannya akan memunculkan terjadinya problema perkembangan, Anak berkembang dalam lingkungan yang beragam. Goldin–Meadow (2008) menyatakan bahwa lingkungan akan mempengaruhi anak dalam berbagai hal, antara lain akan berpengaruh terhadap bagaiamana seorang anak berkembang dan belajar dari lingkungan. Kualitas dan kuantitas pengasuhan terhadap anak usia dini ini menurut Mönks, Knoers, dan Haditono (2004) berkait dengan pemberian stimulasi. Pemberian stimulasi harus sesaui dengan kebutuhan anak, anak yang mendapat stimulasi yang berlebih atau kurang, akan menyebabkan anak mengalami problema perkembangan. Problema perkembangan dapat terjadi karena pemberi stimulasi tidak paham tentang capaian perkembangan. Santrock (2006) menjelaskan bahwa pada pendidikan anak usia dini dimasa sekarang telah mengalami pergeseran paradigma. Capaian perkembangan dalam pengembangan anak usia dini merupakan yang utama. Berarti pemberian stimulasi adalah berdasarkan pada pengetahuan terhadap tipikal perkembangan anak atau berkait dengan keunikan anak, tidak lagi berdasar pada sudut kepentingan orangtua atau guru. Oleh karena itu bagaimana pemahaman guru tentang pemahaman terhadap stimulasi dan aspek perkembangan anak merupakan suatu hal yang penting untuk diteliti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman guru terhadap cara memberikan stimulasi untuk perkembangan emosi anak usia dini.
JURNAL PSIKOLOGI
METODE STIMULASI, PERKEMBANGAN EMOSI
Adapun pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut 1. Bagaimana pemahaman guru tentang stimulasi ? 2. Bagaimana pengertian guru tentang perkembangan emosi anak usia dini? 3. Apa yang dilakukan untuk menstimulasi perkembangan emosi anak?
Metode Subjek penelitian Pada penelitian ini sejumlah 30 orang guru TK menjadi subjek penelitian. Guru yang menjadi subjek penelitian berjenis kelamin perempuan, dengan latar belakang pendidikan yang bervariasi. Ada guru yang latar belakang pendidikannya SMA, SPG, dan Sarjana. Pengalaman menjadi guru TK cukup bervariasi, minimal telah berpengalaman lima tahun dan paling lama 33 tahun. Subjek penelitian adalah guru dari tiga TK yang berada di Kota Yogyakarta, mereka semua mengampu kelas, yang dalam setiap kelas terdiri 12 anak sampai dengan 25 anak. Cara pengumpulan data Data dikumpulkan melalui; 1. Wawancara. Untuk memperoleh informasi tentang pemahaman guru terhadap cara stimulasi dan perkembangan emosi anak., digunakan wawancara: secara individual terhadap guru. Wawancara dilakukan berdasarkan panduan wawancara yang telah disusun. 2. Observasi dilakukan untuk memperoleh data tentang perilaku dan kegiatan subjek dalam proses pembelajaran dan pemberian stimulasi yang dilakukan di kelas. Observasi data ini digunakan juga untuk checking terhadap hasil wawancara dan self report. JURNAL PSIKOLOGI
3. Self report. Self report dilakukan dengan serangkaian pertanyaan yang bersifat terbuka, sehingga diperoleh informasi yang original berasal dari subjek penelitian. Panduan wawancara, observasi dan self report disusun mengacu pada Developmental Appropriateness Practices dari NAEYC atau The National Association for the Education of Young Children (Puckett & Diffily 2004 dan Santrock, 2006). Developmental Appropriateness Practices (DAP) merupakan ”green book” yang disusun untuk membantu pihak yang menyelenggarakan program bagi anak usia dini, supaya program yang tersusun sesuai dengan kebutuhan anak. Ada tiga komponen yaitu penyediaan lingkungan yang berkait dengan pemilihan materi dan peralatan dengan mempertimbangkan tahap perkembangan emosi anak atau komponen kurikulum, strategi pendampingan untuk perkembangan emosi anak usia dini atau komponen strategi pembelajaran, dan perencanaan untuk menyediakaan kegiatan yang bervariasi sehingga anak mempunyai pengalaman atau komponen arahan/pengelolaam emosi. Adapun yang dimaksud oleh ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut (1) Komponen tujuan kurikulum yang dimaksud adalah apakah anak diberi kesempatan untuk mengalami stimulasi semua aspek perkembangan baik fisik, emosi, kognitif ataupun sosial ataukah hanya dipusatkan pada pemberian pengalaman dari aspek kognitif saja, evaluasi terhadap anak dilakukan berdasarkan keunikan dari masingmasing anak ataukah dievaluasi berdasarkan norma kelompok dan dituntut untuk menunjukkan kemampuan serta ketrampilan yang sama. Komponen ini digunakan untuk melihat pemahaman guru tentang stimulasi 115
MARTANI
(2) Komponen strategi pembelajaran mencakup cara guru mendorong terciptanya pembelajaran aktif dan memfasilitasi lingkungan yang memungkinkan anak untuk melakukan eksplorasi di lingkungannya. Komponen ini dapat digunakan untuk mengungkap cara yang dilakukan oleh guru untuk menstimulasi perkembangan emosi anak
sar ketiga komponen Developmental Appropriateness Practices (DAP).
(3) Komponen Pengelolaan/arahan untuk perkembangan emosi dan sosial meliputi cara mengontrol perilaku anak, pemberian kesempatan untuk mengembangkan ketrampilan emosi dan sosial. Melalui komponen ini dapat dilihat pengertian guru tentang perkembangan emosi anak usia dini
(1) Pemahaman guru tentang stimulasi Subjek penelitian mengatakan paham tentang stimulasi dan pemberian stimulasi dalam memberikan stimulasi di sekolah, disampaikan dalam tujuan kurikulum dengan membuat persiapan untuk kegiatan belajar mengajar pada hari itu atau yang dikenal sebagai SKH, serta mempersiapan alat peraga yang akan digunakan pada hari itu, mempersiapkan evaluasi untuk anak usia dini.
Prosedur pelaksanaan Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui tahap persiapan yang meliputi penentuan, penyusunan pedoman wawancara dan self report. Subjek diperoleh dengan mendatangi beberapa TK yang ada di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Berdasarkan kesediaan mereka terpilih 30 orang guru TK. Setelah itu dilakukan pelaksanaan penelitian dengan menggunakan wawancara untuk mengumpulkan informasi tentang pengertian guru terhadap capaian perkembangan emosi anak usia dini, dan tentang cara memberi stimulasi pada anak. Selain itu dilakukan pula pengisian self report untuk mengumpulkan informasi tentang pemahaman guru terhadap stimulasi emosi, bentuk dan cara memberikan stimulasi. Setelah data terkumpul dilakukan analisis Metode analisis data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Analisis dilakukan dengan pendekatan fenomenologis, observasi dan self report. Data yang terkumpul diidentifikasi berda116
Hasil dan Diskusi Berdasarkan informasi yang diberikan oleh subjek penelitian melalui wawancara dan self report (isian kuesioner terbuka), diperoleh hasil sebagai berikut:
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hsu (2008) di Taiwan, menurut penelitian Hsu guru dalam mengajar selalu patuh dengan peraturan dan kebijakan yang telah digariskan. Namun sebagaimana yang disampaikan oleh Puckett dan Diffily (2004), dan Santrock (2006) guru belum sepenuhnya memperhatikan DAP. Dalam proses pembelajaran, guru menyiapkan kegiatan dengan sangat terstruktur dan lebih banyak menentukan kegiatan anak. Hal ini terlihat dari informasi yang mereka berikan, bahwa fungsi guru dalam proses pembelajaran yang sekaligus sebagai proses pemberian stimulasi adalah sebagai pengarah dan penentu kegiatan di kelas, meskipun mereka mengaku berperan juga sebagai fasilitator. Kondisi ini diperkuat dengan data yang diperoleh di lapangan, bahwa banyak guru yang telah memiliki pengalaman lebih dari sepuluh tahun JURNAL PSIKOLOGI
METODE STIMULASI, PERKEMBANGAN EMOSI
mengajar di TK, sehingga pemberian stimulasi diartikan lebih sebagai pembiasaan, dan menurut sudut pandang guru bukan berdasar pada ”child centered”, serta kurang sesuai dengan paradigma tentang pengasuhan anak usia dini yang seharusnya berpegang pada caring and education tidak lagi hanya berorientasi pada pengajaran. Prinsip 3N’s yaitu Normal development, Nature dan Needs serta 3C’s yaitu contextual, culture and competence sebagai prinsip dasar perkembangan anak (Woodhead, 2005) belum sepenuhnya dipahami dan digunakan oleh guru. Ada kemungkinan dilihat dari sisi contextual dan culture menyebabkan terjadinya pemahaman yang berbeda. Papalia, Olds, dan Feldman (2002) mengatakan bahwa di beberapa negara barat dan di Amerika, dalam pelaksanaan pendidikan pra sekolah untuk anak usia dini lebih menekankan pada pendekatan child centered yang filosofinya lebih menekankan pada perkembangan sosial dan emosi, bukan hanya menekankan pada penyiapan keterampilan akademik dasar. Karena sebagaimana dikemukan oleh Pearson dan Degotardi (2009), pendidikan untuk anak usia dini ditandai oleh nilai dan praktek yang bervariasi. Menurut Papalia et al. (2009), nilai dan budaya mempunyai peran sebagai dasar dalam penyelenggaraan pendidikan pra sekolah, lebih jauh dicontohkan bahwa pendidikan untuk anak usia dini antara di Amerika dan di Jepang mempunyai kesamaan paradigma, namun nilai budaya yang berbeda menyebabkan pendekatan yang digunakan sebagai dasar dalam pendidikan anak usia dini berbeda. Di Jepang penekannya lebih pada societal centered, yaitu lebih menekankan pada ketrampilan sosial dan JURNAL PSIKOLOGI
sikap yang harmonis dalam kelompok, misal cara untuk menghormati guru adalah dengan menunjukkan gerakan membungkuk. Pendidikan untuk anak usia dini di Jepang tidak hanya berazaskan child centered semata, karena pendekatan ini selain menekankan pada eksperi diri dan kreativitas, cenderung mengembangkan sikap individualis, sehingga kurang sesuai dengan budaya Jepang. Oleh karena itu pendidikan untuk anak usia dini di Jepang menggunakan pendekatan kombinasi antara child centered ditambah dengan role centered atau societal centered (Papalia, et al., 2009). Kemungkinan hal ini juga yang terjadi di Indonesia, karena nilai dan budaya di Indonesia adalah berbeda dengan di negara barat. Orang Indonesia dalam mendidik anaknya tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan nilai dan budaya yang ada. Namun informasi tersebut dalam penelitian ini tidak terungkap. (2) Pengertian guru tentang perkembangan emosi anak usia dini Guru memahami emosi sebagaimana aspek perkembangan yang lain, namun mereka kurang memahami bahwa ada keunikan dan variasi dalam perkembangan emosi anak, kalau anak menunjukkan emosi yang berbeda dengan anak yang lain di kelas maka anak tersebut dinilai sebagai anak yang sedang mengalami masalah. Sebenarnya guru cukup mampu mengenali masing-masing anak yang berada di kelasnya, dan guru membutuhkan waktu sekitar 2-4 minggu untuk mengenal masing-masing murid, dan melalui amatan mereka mengenali kondisi murid. Namun mereka lebih pada kemampuan kognitif saja, karena data dilapangan menunjukkan bahwa anak dikenali sebagai anak yang 117
MARTANI
mempunyai masalah apabila anak tidak menunjukkan perilaku ataupun kinerja sebagaimana anak yang lain. Paradigma yang digunakan oleh guru cenderung paradigma lama, pendidikan untuk anak usia dini lebih menekankan pada aspek kognitif. Aspek emosi dan sosial kurang diperhatikan. Guru dalam menilai anak masih mendasarkan ukuran normatif, kurang mendasarkan adanya keunikan perkembangan anak (Puckett & Diffily, 2004). Kondisi ini sangat mungkin terjadi, mengingat guru yang menjadi subjek penelitian mempunyai latar belakang pendidikan yang beragam, tidak semuanya mempunyai latar belakang pendidikan yang sesuai untuk anak usia dini, meskipun pengalaman mereka bekerja sudah cukup lama. Dari kondisi latar belakang pendidikan guru ini dapat dijelaskan bahwa ada kemungkinan guru kurang mempunyai bekal yang memadai, terutama tentang adanya perubahan paradigma dalam pendidikan anak usia dini, atau meskipun mereka telah mengetahui, namun belum sepenuhnya menerapkan dalam pendidikan karena untuk mengubah mindset membutuhkan waktu. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di Ghana (Morrison, 2004) menunjukkan bahwa tidak semua guru telah mendapat pelatihan untuk menjadi pendidik untuk anak usia dini, sehingga dalam pemahaman tentang perkembangan emosi anak usia dini belum optimal. Selain itu ada kemungkinan bahwa guru telah mengerti tentang perkembangan emosi anak, karena pengertian tentang emosi dan perkembangan juga terkait dengan latar belakang budaya (Lee & Johnson, 2007), sehingga apabila
118
dikaitkan dengan DAP secara kaku akan terjadi ketidak sesuaian . (3) Upaya guru untuk menstimulasi perkembangan emosi anak Subjek penelitian menyatakan bahwa cara yang dipakai untuk menstimulasi perkembangan emosi tidak ada yang spesifik, dan mereka menggunakan cara sebagaimana yang telah ditetapkan dalam panduan. Mereka menyiapkan kegiatan menggambar sebagai sarana untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan anak. Dari penelitian diketahui pula bahwa guru banyak menggunakan benda dan permainan yang berupa balok-balok, buku ceritera, kaset/CD untuk berceritera dan mendengarkan lagu dan alasan yang dikemukakan oleh guru, karena media tersebut dapat untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan keterampilan anak dalam membaca, yang notabene merupakan bentuk dari prestasi akademis atau lebih cenderung mengasah kemampuan kognitif saja. Pelibatan anak dalam pemberian stimulasi kurang memadai. Padahal anak belajar dari lingkungan tidak hanya mengikuti instruksi guru saja, tetapi lebih berasarkan pengalaman yang mereka temui dalam kesehariannya Hsu (2008). Guru masih mempunyai pemahaman yang belum sesuai tentang DAP, mereka masih beranggapan bahwa anak yang baik adalah anak yang menurut instruksi guru, ketika dikelas lebih banyak diam, duduk di tempat yang telah ditentukan dan melihat serta mendengarkan apa yang dijelaskan oleh guru (Ormrod, 2003; Puckett & Diffily, 2004). Hal ini terlihat dari kegiatan yang banyak digunakan oleh guru dalam menstimulasi anak, yaitu dengan mendongeng, berceritera dan menggunakan JURNAL PSIKOLOGI
METODE STIMULASI, PERKEMBANGAN EMOSI
kartu. Ada beberapa guru yang menggunakan kegiatan menggambar atau menulis, tetapi alasan pemberian kegiatan tersebut lebih diarahkan supaya anak lancar membaca dan menulis. Kondisi ini menunjukkan bahwa tujuan pemberian kegiatan lebih untuk pengembangan aspek kognitif dan penyiapan akademik untuk pendidikan formal. Padahal pengembangan emosi pada anak usia dini merupakan hal yang penting,karena kalau emosi anak berkembang secara wajar, mereka dapat lebih berkonsentrasi dan mampu menyerap informasi yang diberikan kepada anak dengan lebih baik (Hansen & Zambo, 2007). Lebih lanjut dijelaskan oleh Hansen dan Zambo, kalau pendidikan di TK hanya menekankan pada prestasi akademis saja maka aspek emosi akan terabaikan dalam kehidupan anak sekaligus kehilangan kesempatan untuk mengembangkan emosi anak. Padahal menurut Hirsk-Pasek dan Golenkiff (Hansen & Zambo, 2007), perkembangan emosi mendasari perkembangan sosial dan keterampilan interpersonal anak. Penelitian yang dilakukan oleh Malik, Sarwar dan Khan (2010) di Pakistan menunjukkan bahwa guru dalam memberikan stimulsai lebih terfokus pada satu ranah saja, yaitu ranah sosial, namun ranah emosi kurang diperhatikan.
Kesimpulan Berdasarkan temuan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemahaman guru terhadap cara memberikan stimulasi untuk perkembangan emosi anak usia dini masih belum memadai, karena guru lebih menekankan pada pentingnya kemampuan kognisi pada anak, dan cenderung mengabaikan perkembangan emosi pada JURNAL PSIKOLOGI
anak, sehingga sangat memungkinkan terjadinya problem perkembangan pada anak. Namun hal yang harus diperhatikan adalah kondisi ini terkait dengan nilai dan budaya yang ada disekitarnya. Karena faktor nilai dan budaya merupakan hal yang ikut menentukan orientasi pendidikan untuk anak usia, dan secara mempengaruhi penentuan standar perilaku dan cara mendidik anak.
Saran Atas dasar hasil penelitian, maka perlu digali lebih jauh mengenai filosofi yang mendasari penyelenggaran dan tujuan pendidikan anak usia dini di Indonesia. Selain itu penggunaan DAP sebagai green book perlu disesuaikan dengan nilai dan budaya Indonesia dan disosialisasikan kepada guru anak usia dini.
Kepustakaan Ben-Arieh, A., McDonnell, J. & Schwartz, S.A. (2009). Safety and home-school relations as indicators of children wellbeing: whose perspective count?. Social Indic Res. 90, 339-349. Einon, D. (2005). Creative Play for 2-5s. London: Octopus Publishing Group Ltd. Hansen, C.C & Zambo, D. (2007). Loving and learning with Wimberly and david. Fostering emotional development in early childhood education. Early Childhood Education Journal. 34 (4), 273-278. Hsu, Y.C. (2008). Taiwanese early childhood educators professional development. Early Child Development and Care, 178(3), 259-272.
119
MARTANI
Lee, K & Johnson, S.A. (2007). Child development in cultural Contexts: implications of cultural psychology for early childhood teacher education. Early Childhood Education Journal. 35, 233-243.
Ormrod, J.E., (2003). Educational Psychology. Boston: McGrawHill Co.Inc
Goldin-Meadow, S. (2008). Theories of Language Acquisition. In M.W. Haith & J.B. Benson (eds.), Encyclopedia of Infant and Early Childhood Development, Oxford: Elsevier Ltd.
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development 11Ed. Boston: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Malik, A. Sarwar, M. & Khan, N. (2010). Identification of the social development in early childhood in Paskistan. Journal of College Teaching and Learning. 7(6), 39-48. Mashar, R. (2007). Modul “Aku anak Ceria” untuk meningkatkan ketrampilan social anak. Tesis. (Tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Univeritas Gadjah Mada. Moleong, J.L. (2002). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Morrison, J.W. (2004). Under colonialism to democratization: early childhood development in Ghana. International Journal of Early Childhood, 32(2), 24 – 31. Mönks, F.J, Knoers, A.M.P & Haditono, S.R. (2004). Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2002). A Child ‘s world. Infancy through adolescence. Boston: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Pearson, E & Degotardi, S. (2009). Education for sustainable development in early childhood education: A global solution to local concerns ?. International Journal of Early Childhood. 41(2), 97-111. Pearsons, H., & Sardo, B., (2006). Educational psychology. Boston: Wadsworth Thomson Learning. Inc Puckett, M.B. & Diffily D. (2004). Teaching Young Children. An introduction to the early Childhood Profession. Australia: Thomson Delmar Learning Puspitasari, N. (2009). Tesis (Tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Univeritas Gadjah Mada. Santrock, J.W. (2006). Life Span Development. Boston: McGrawHill Co.Inc. Woodhead, M. (2005). Early childhood development: acquisition of rights. International Journal of Early Childhood. 37(3), 81-98. Woolfolk, A. (2006). Educational psychology. Boston: Pearson Education. Inc.
120
JURNAL PSIKOLOGI