MIKROFISIKA AWAN DAN HUJAN
MIKROFISIKA AWAN DAN HUJAN
BAYONG TJASYONO HK.
BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA
Bayong Tjasyono Mikrofisika Awan Dan Hujan / Bayong Tjasyono- Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika xxiv + 257 hlm: 16x21 cm ISBN: 978-979-1241-02-1 1. Meteorologi
1. Judul 551.6
Penulis
: Bayong Tjasyono HK.
Editor & Reviwer : Hadi Widiyatmoko Ratna Satyaningsih Welly Fitria Penerbit
: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jl. Angkasa 1 No.2 Kemayoran, Jakarta, Indonesia 10720 Telp. (6221) 4246321; Faks. (6221) 4246703
Cetakan I, Tahun 2007 Cetakan II, Tahun 2012 © Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2012
Kata Pengantar Penerbit Cetakan ke-2 Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya atas perkenanNya, buku Mikrofisika Awan dan Hujan dapat diterbitkan kembali untuk cetakan ke-2. Buku ini diterbitkan kembali atas dasar banyaknya permintaan dari para pengguna, yaitu peneliti, mahasiswa, dan dari lingkungan BMKG sendiri. Penerbitan kembali untuk cetakan ke-2 ini dilakukan setelah proses penyempurnaan yaitu dengan mengkompilasi usulan perubahan/koreksi dari pengguna dan Reviewer yang secara khusus ditunjuk untuk memberikan masukan/koreksi baik dari segi penulisan maupun substansinya. Reviewer untuk buku ini adalah Drs. Hadi Widiatmoko, M.Si yang dianggap mempunyai kompetensi di bidang ini. Usulan perubahan tersebut kemudian disampaikan kepada Penulis untuk mendapat persetujuannya. Besar harapan kami, buku ini dapat digunakan menjadi acuan baik untuk pembelajaran maupun penelitian, sehingga dapat mempunyai andil dalam pengembangan ilmu pengetahuan, utamanya di bidang meteorologi. Kepada Reviewer dan Penulis kami mengucapkan terima kasih, mudah-mudahan usaha penyempurnaan buku ini bisa berlanjut, sehingga menjadi buku yang semakin berbobot. Jakarta, Agustus 2012 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
Dr. Masturyono, M.Sc i
Prakata Buku Mikrofisika Awan dan Hujan dapat dibaca dan dimanfaatkan oleh para peneliti di bidang sains atmosfer dan meteorologi, serta dapat dipakai sebagai buku ajar dalam kuliah-kuliah program Sarjana, Magister dan Doktoral di bidang Sains Atmosfer, Fisika Atmosfer, Meteorologi Fisis, Modifikasi Cuaca, Agrometeorologi, Teknik Lingkungan, dan lain-lain. Konsentrasi buku ini adalah pada aspek mikrofisis awan terutama yang melibatkan proses-proses pembentukan tetes awan, kristal es dan tetes hujan. Di Indonesia, presipitasi dimaksudkan sebagai hujan, karena faktanya yang diukur adalah tetes-tetes air, meskipun kadang-kadang terjadi batu es (hail) tetapi segera meleleh sehingga menjadi tetes air ketika diukur oleh penakar hujan. Buku Mikrofisika Awan dan Hujan, membahas sejarah perkembangan mikrofisika awan dan hujan, proses fisis uap air yaitu perubahan fasa uap yang memainkan peranan penting dalam mikrofisika awan. Aerosol atmosferik sebagai inti kondensasi awan sangat penting dalam proses pengintian heterogen. Formasi tetes awan yaitu pertumbuhan tetes dengan kondensasi. Pertumbuhan tetes awan melalui benturan–tangkapan menjadi tetes hujan. Pertumbuhan kristal es dengan difusi dan “akresi”. Modifikasi cuaca, modifikasi awan dan presipitasi, melenyapkan kabut, menindas batu es hujan dan mereda siklon tropis. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BMKG yang telah mensponsori dan mendanai penyusunan buku Mikrofisika Awan dan ii
Hujan sampai selesai. Kepada Prof. Dr. Mezak A. Ratag yang mengevaluasi naskah buku ini kami mengucapkan terima kasih. Kepada Bapak Maman Sanukman yang telah membantu pengetikan dan Bapak Otang yang membuat gambar-gambar naskah buku ini, serta kepada semua pihak yang mendukung penyelesaian buku ini, kami mengucapkan terima kasih. Tidak pernah ada waktu yang ideal untuk menulis buku semacam ini. Karena itu kekurangan-kekurangan harap dimaklumi dan kritik membangun akan kami terima dengan senang hati. Akhirnya kami berharap semoga buku Mikrofisika Awan dan Hujan mencapai sasaran dan bermanfaat bagi pembacanya. Bandung, 17 Juli 2007 Bayong Tjasyono HK. Kelompok Keahlian Sains Atmosfer Institut Teknologi Bandung
iii
Pengantar Mikrofisika Awan dan Hujan Mikrofisika awan dan hujan adalah cabang dari disiplin ilmu meteorologi fisis yang menekankan pada kajian proses-proses fisis pembentukan partikel awan dan presipitasi (tetes hujan dan kristal es). Penekanan dari mikrofisika awan dan hujan adalah pada kajian tentang pembentukan awan dan pertumbuhan presipitasi. Pembentukan tetes awan dan interaksinya dalam pembentukan partikel presipitasi dikendalikan oleh proses-proses berskala sangat kecil (ukuran partikel awan dan presipitasi) yang disebut mikrofisika awan. Meskipun demikian makrofisika awan yaitu kendali proses berskala besar oleh gerak atmosfer yang menyebabkan terjadinya awan juga perlu diketahui. Kemajuan mikrofisika awan dan hujan masih terhambat oleh pengertian yang miskin tentang interelasi antara fenomena pengintian (nukleasi) pada skala molekuler dan dinamika sistem awan pada skala ratusan atau ribuan kilometer. Studi awan sangat penting bagi meteorologiwan dan ilmuwan atmosfer. Observasi dan fotografi awan merupakan alat yang sangat bernilai untuk menentukan karakteristik termodinamika dan dinamika udara yang selanjutnya dipakai dalam peramalan cuaca jangka pendek. Pentingnya studi awan karena awan adalah fasa yang penting dalam siklus air di atmosfer. Awan bertindak sebagai pengubah uap air (fasa gas) menjadi air (fasa cair) yang sangat dibutuhkan manusia, karena tanpa air manusia dipastikan tidak dapat mempertahankan hidup di bumi. Manusia dapat bertahan hidup tanpa makan sampai satu bulan, tanpa air minum hanya sampai satu minggu karena manusia akan mati iv
jika kehilangan cairan tubuh lebih dari 1%, dan tanpa atmosfer hanya dapat bertahan hidup beberapa menit saja. Awan adalah kumpulan butiran air dan kristal es yang sangat kecil atau campuran keduanya dengan konsentrasi berorde 100 per centimeter kubik dan mempunyai radius sekitar 10 mikrometer. Awan terbentuk jika volume udara lembap mengalami pendinginan sampai di bawah temperatur titik embunnya. Dalam lapisan atmosfer di atas benua maritim Indonesia, pendinginan sangat sering disebabkan oleh ekspansi adiabatik udara yang naik melalui konveksi, orografi dan konvergensi. Jenis awan yang terbentuk disebut awan konvektif, awan orografik dan awan konvergensi. Pendinginan dapat juga disebabkan oleh proses radiatif atau percampuran udara yang berbeda temperatur dan kelembapannya. Presipitasi (endapan) adalah bentuk air cair (hujan) atau bentuk air padat (salju) yang jatuh sampai permukaan tanah. Jika sebelum mencapai permukaan, partikel air atau kristal es menguap, disebut virga atau stalaktit. Bentuk presipitasi adalah hujan, gerimis, salju, dan batu es hujan. Hujan adalah bentuk presipitasi yang sering dijumpai di bumi dan di Indonesia yang dimaksud dengan presipitasi adalah curah hujan. Presipitasi berasal dari awan dan asal usul awan merupakan studi khusus. Di atmosfer tidak terjadi pengintian homogen tetapi sebaliknya terjadi pengintian heterogen, karena atmosfer bebas selalu mengandung partikel aerosol yang bertindak sebagai inti kondensasi awan (IKA) atau inti es (IES). Kondensasi uap air terjadi dalam bentuk tetes air, tetapi jika temperatur awan di bawah 0 C maka di dalam awan terdapat campuran kristal es dan tetes awan kelewat dingin sampai temperatur awan mencapai – 40 C. Di bawah temperatur ini (< -40 C), tetes awan kelewat dingin spontan membeku menjadi kristal es. Awan dengan temperatur > – 10 C, pada umumnya berisi tetes-tetes air, disebut awan panas, sedangkan awan yang sebagian atau seluruhnya v
mempunyai temperatur < – 10 C berisi campuran tetes air kelewat dingin dan kristal es, disebut awan dingin atau awan campuran. Penggolongan ini didasarkan bahwa inti es mulai aktif pada temperatur sekitar – 10 C. Bagian awan yang mempunyai temperatur di atas 0 C seluruhnya berisi tetes-tetes air, bagian awan yang mempunyai temperatur antara 0 C dan – 40 C berisi tetes air kelewat dingin dan kristal es bagi yang menemukan inti es (IES), dan bagian awan dengan temperatur di bawah – 40 C berisi seluruhnya kristal es. Partikel presipitasi (tetes hujan dan kristal es) akan tumbuh jika populasi awan menjadi tidak stabil. Kelabilan mikrostruktur awan panas disebabkan oleh perbedaan ukuran tetes awan atau perbedaan kecepatan jatuh terminal tetes. Sedangkan mikrostruktur awan dingin tidak stabil akibat beda tekanan uap di atas air kelewat dingin (es) dan tekanan uap di atas es (ei), dimana es > ei pada temperatur di bawah 0 C yang sama. Ada dua mekanisme pertumbuhan partikel presipitasi. Pertama, mekanisme Bowen – Ludlam atau proses kolisi – koalisensi. Dalam hal ini tetes (drop) membentur dan menangkap butiran (droplet) awan, jadi tetes awan tumbuh menjadi tetes hujan (raindrops), sedangkan butiran awan melenyap. Kedua, mekanisme Bergeron – Findeisen atau proses kristal es. Karena tekanan uap di atas air kelewat dingin (es) lebih besar dari pada tekanan uap di atas es (ei), maka tetes air kelewat dingin berdifusi ke kristal es, sehingga kristal es akan tumbuh dengan mengorbankan tetes air kelewat dingin. Pertumbuhan butiran awan melalui kondensasi sangat lambat sehingga tidak dapat menjelaskan terbentuknya tetes hujan. Dari butiran awan mula-mula yang terbentuk oleh pengintian heterogen melalui inti kondensasi menjadi ukuran tetes dengan jari-jari 50 m diperlukan waktu lebih dari 10 jam, sedangkan waktu hidup awan pada umumnya berkisar dua jam. Dalam awan panas yang mengandung tetes berukuran heterogen akan menjadi labil akibat beda kecepatan jatuh vi
terminal di antara tetes-tetes awan. Pertumbuhan awan panas melibatkan fasa cair melalui mekanisme kolisi–koalisensi. Tetes yang mempunyai kecepatan terminal lebih cepat, akan menumbuk dan menangkap butiran (tetes kecil) yang mempunyai kecepatan terminal lambat dalam proses koleksi sehingga tetes awan tumbuh menjadi tetes hujan sedangkan butiran awan akan melenyap. Jadi pertumbuhan tetes awan panas menjadi hujan adalah pertumbuhan gabungan, pertama oleh kondensasi melalui difusi molekul-molekul uap air, kemudian oleh koleksi butiran-butiran awan. Untuk membentuk satu tetes hujan diperlukan puluhan ribu sampai satu juta butiran awan melalui mekanisme kolisi–koalisensi. Pertumbuhan tetes dalam awan panas bergantung pada ukuran tetes dan butiran awan, kecepatan jatuh terminal tetes relatif terhadap butiran awan, kadar air awan, dan efisiensi koleksi yaitu hasil kali efisiensi kolisi dan efisiensi koalisensi. Dalam awan dingin yang mengandung campuran tetes awan kelewat dingin dan kristal es, maka pertumbuhan partikel presipitasi melalui mekanisme kristal es dengan tiga cara : (i) melalui fasa uap air yaitu pertumbuhan massa kristal es oleh deposisi uap air seperti pertumbuhan butiran awan oleh kondensasi, (ii) melalui pembekuan tetes yaitu pertumbuhan partikel es oleh pembekuan tetes awan kelewat dingin ketika terjadi tumbukan antara partikel es dan tetes awan, pertumbuhan dengan cara ini dapat menghasilkan batu es hujan (hail stone) dengan diameter 1 cm atau lebih, (iii) Melalui penggabungan yaitu partikel es tumbuh melalui tumbukan dan penggabungan satu sama lain. Tumbukan terjadi karena ada beda kecepatan jatuh terminal diantara partikel es dan pelekatan terjadi terutama pada temperatur kristal es di atas – 5 C ketika permukaan es menjadi sangat lengket. Curah hujan ekuatorial benua maritim Indonesia sangat penting, di satu sisi sebagai sumber kehidupan tetapi pada sisi lain vii
sebagai sumber bencana alam banjir dan kekeringan. Curah hujan Indonesia juga penting dalam cuaca dan iklim global. Dua pertiga jumlah curah hujan global terjadi di daerah tropis. Energi panas laten kondensasi yang dilepaskan ketika uap air berubah fasa menjadi tetes awan sebagian dipakai sebagai energi sirkulasi atmosfer global. Setiap gram uap air yang berkondensasi menjadi tetes awan melepaskan energi panas laten sekitar 2450 joule. Karena itu studi distribusi curah hujan secara geografis mencerminkan pemahaman distribusi sumber panas global yang menggerakkan mesin atmosfer global. Di Indonesia, curah hujan merupakan unsur peubah iklim ekuatorial sebagai indikator kuantitatif yang sangat penting, misalnya jumlah hujan tahunan, distribusi hujan musiman dan harian, intensitas hujan dan frekuensi hari hujan yang menunjukkan variasi spasial dan temporal. Modifikasi cuaca sudah dilakukan sejak lebih dari 60 tahun yang lalu, yakni sejak percobaan pembenihan es kering yang dipimpin oleh Vincent Schaefer dan Irving Langmuir pada tahun 1946. Kemudian pada tahun 1947, Vonnegut menemukan AgI yang dapat bertindak sebagai inti es. Sejarah modifikasi cuaca di Indonesia dimulai sejak percobaan hujan buatan dilaksanakan untuk mengisi air hujan di Waduk Jatiluhur pada tahun 1979. Dari jumlah curah hujan tahunan yang secara rata-rata mencapai di atas 2000 mm, terutama di kawasan Indonesia bagian barat, maka ketersediaan sumber daya air untuk pertanian berlimpah. Tetapi mengingat variasi curah hujan temporal dan spasial sangat besar, maka modifikasi cuaca terutama peningkatan jumlah curah hujan sangat diperlukan. Dalam irigasi modifikasi cuaca diperlukan untuk mengisi waduk ketika menjelang atau akhir musim hujan, sehingga periode pengairan untuk persawahan menjadi lama. Dalam pertanian, modifikasi cuaca diperlukan untuk memperpanjang jumlah curah hujan yang dibutuhkan tanaman padi sehingga meningkatkan jumlah dan hasil panenan. viii
Modifikasi cuaca berdasarkan pada prinsip-prinsip mikrofisika awan dan hujan dengan memodifikasi awan secara buatan atas usaha manusia untuk tujuan peningkatan curah hujan, menindas batu es hujan (hail stone), melenyapkan kabut atau awan rendah dan melerai siklon tropis. Modifikasi cuaca di Indonesia sebaiknya tidak dilakukan pada daerah bertekanan udara tinggi atau pada lereng di bawah angin, karena pada kedua daerah ini terjadi gerak turun udara (subsidensi) yang mengalami kompresi (lawan dari ekspansi) sehingga udara menjadi panas dan awan akan buyar. Modifikasi cuaca juga tidak dilakukan pada musim kemarau karena kelembapan kritis garam sebagai inti kondensasi awan tidak tercapai dan atmosfernya kurang labil. Modifikasi cuaca disarankan pada musim pancaroba dengan tujuan memperpanjang musim hujan dan memperpendek musim kemarau. Pada musim pancaroba atmosfernya masih labil dan kelembapan kritis garam masih dapat tercapai.
ix
Daftar Gambar
Gambar 1.1. Bentuk utama awan : berserat, lapisan, dan gumpalan.
13
Gambar 1.2. Awan stratus dan hubungannya dengan profil temperatur
14
Gambar 1.3. Jenis cumulus dalam lapisan inversi. (a) Awan cerobong, (b). Cumulus dempak
15
Gambar 3.1. Uap air dalam keseimbangan dengan permukaan cair
47
Gambar 3.2. Tephigram untuk mencari temperatur titik embun dan temperatur kondensasi isentropik P.
56
Gambar 3.3. Ekspansi sampel udara lanjutan (Gambar 3.2) di l u a r titik kondensasi isentropik P.
63
Gambar 3.4. Tephigram yang memuat pseudoadiabat dan garis uap
65
Gambar 4.1. Diagram skematik yang menggambarkan cara tetes berselaput dan tetes pancaran terbentuk jika gelembung udara pecah pada permukaan laut.
76
Gambar 4.2. Distribusi jumlah aerosol dalam pengukuran udara kontinental, udara laut, dan udara kota tercemar.
80
Gambar 4.3. Distribusi permukaan aerosol (a) dan volume aerosol (b), berdasarkan pengukuran ukuran aerosol di Denver, Colorado : udara kota tercemar, udara kontinental, dan udara kontinental dari abu gunung (Wallace, 1977).
83
Gambar 4.4. Ketergantungan konsentrasi inti es (IES) pada
92
x
temperatur Gambar 5.1a. Foto genus awan : 1. Cirrus, 2. Cirrocumulus, 3. Cirrostratus, 4. Altocumulus, 5. Altostratus, dan 6. Nimbostratus. Gambar 5.1b. Lanjutan foto genus awan : 7. Stratocumulus, 8. Stratus kabut gunung, 9. Cumulus humilis, 10. Cumulus fraktus, 11. Cumulonimbuskapilatus, 12. Cumulonimbus presipitasio. Gambar 5.2. Rasio jenuh keseimbangan sebuah tetes larutan yang terbentuk pada sebuah inti kondensasi ammonium sulfat. Gambar 5.3. Prosentase pengamatan dengan kelewat jenuh (s) kurang dari nilai yang diberikan, untuk 338 sampel dari ketinggian 150 – 2100 m di atas dasar awan dan untuk 86 sampel diambil dalam 300 m dari dasar awan. Gambar 5.4. Variasi frekuensi awan kelewat dingin dan awan yang mengandung kristal es (Pruppacher and Klet, 1980).
107
108 114
117 119 120
Gambar 5.5. Penyajian skematik mikrostruktur awan campuran Gambar 6.1. Pertumbuhan butiran awan dengan kondensasi dalam lingkungan konstan. Gambar 6.2. Ketergantungan parameter pertumbuhan pada temperatur dan tekanan.
132 134 138
Gambar 6.3. Geometri tumbukan Gambar 6.4. Trajektori pertumbuhan tetes di dalam awan dengan j arijari awal R dan akhir R
144
0
Gambar 6.5. Trajektori Bowen yang dihitung dengan kecepatan arus udara keatas (Rogers and Yao, 1989) Gambar 6.6. Trajektori tetes yang dihitung dari efisiensi kolisi pada tabel 6.3 dengan menganggap efisiensi koalisensi satu.
145 146 147
Gambar 6.7. Diameter tetes untuk trajektori seperti gambar 6.6. 154 xi
Gambar 7.1. Mekanisme pengintian es dan bagan cara-cara inti es atmosferik dalam pembekuan es (Rogers and Yau, 1989).
161
Gambar 7.2. Kelewat jenuh relatif terhadap es dalam atmosfer pada keseimbangan kejenuhan relatif terhadap air.
164
Gambar 7.3. Penyajian skematik bentuk utama kristal es (Rogers, 1976).
166
Gambar 7.4. Bagian tipis melalui pusat pertumbuhan batu es. Gambar 8.1. Waktu yang diperlukan sebuah kristal es dan butiran air untuk tumbuh dengan massa yang ditunjukkan pada absis Gambar 8.2. Spektra dimensional tetes-tetes hujan
176 179 180
Gambar 8.3. Distribusi ukuran tetes yang diukur dibandingkan dengan kurva eksponensial (Marshall and Palmer, 1948) Gambar 8.4. Distribusi ukuran keping-keping salju dalam suku diameter tetes yang dihasilkan oleh peleburan keping salju (Gunn and Marshall, 1958)
182 198
Gambar 9.1. Diagram skematik evolusi hujan panas dan hujan dingin yang berasal dari IKA dan IES. Gambar 9.2. Sebuah butiran air relatif besar jatuh di dalam awan yang mengandung banyak butiran lebih kecil (Moran and Morgan, 1947). Gambar 9.3. Di dalam awan dingin, kristal es tumbuh dengan mengorbankan butiran air kelewat dingin (Moran and Morgan, 1997). Gambar 9.4. Variasi kelembapan relatif terhadap waktu. Hasil pengamatan termohigrograf pada tanggal 3–6 Januari 2006, Kampus ITB, Bandung. Gambar 9.5. Kecepatan terminal sebuah partikel yang jatuh melalui udara sebagai fungsi ukuran partikel (Moran and Morgan, 1997). xii
203
206
210
212 221
Gambar 10.1. Kelembapan relatif kritis sebagai fungsi temperatur untuk garam NaCl
233
Gambar 10.2. Penyajian skematik modifikasi kabut panas oleh penyemaian partikel higroskopis.
233
Gambar 10.3. Panas yang diperlukan untuk membuyarkan kabut sebagai fungsi temperatur udara dan kadar air awan.
239
Gambar 10.4. Diagram skematik yang menunjukkan efek hipotesis pembenihan awan-awan cumulus dalam hurricane.
xiii
Daftar Tabel
Tabel 1.1. Deskripsi jenis awan.
10
Tabel 1.2. Arti sandi awan rendah, menengah dan tinggi
20
Tabel 3.1. Tekanan uap jenuh di atas air dan di atas es serta panas laten kondensasi dan sublimasi
54
Tabel 5.1. Ukuran, konsentrasi dan kecepatan jatuh terminal komparatif beberapa partikel dalam proses pembentukan awan
99
Tabel 5.2. Tinggi awan berdasarkan lintang geografis
100
Tabel 5.3. Jenis presipitasi dari awan hujan
101
Tabel 5.4. Nilai jejari kritis dan kelewat jenuh kritis untuk tetes yang terbentuk pada inti NaCl
116
Tabel 6.1. Nilai viskositas dinamik udara, koefisien konduktivitas termal udara, dan koefisien difusi uapair dalam udara, pada p = 1000 mb (Houghton, 1985)
133
Tabel 6.2
Kecepatan pertumbuhan butiran dengan kondensasi (Mason, 1971)
133
Tabel 6.3. Efisiensi kolisi untuk tetes R dan butiran r (Rogers and Yau, 1989)
139
Tabel 7.1. Sifat pengintian partikel berbagai bahan (Houghton,1985)
157
xiv
Tabel 9.1. Variasi tekanan uap jenuh dan perbandingan campuran jenuh dengan temperatur pada tekanan 1000 mb (Moran and Morgan, 1997)
208
Tabel 9.2. Kecepatan terminal tetes hujan sebagai fungsi ukuran tetes (Gunn and Kinzer, 1949)
215
Tabel 10.1. Diameter tetes hujan dikaitkan dengan berbagai diameter partikel aerosol (Rosinski, 1973).
221
xv
Padanan Kata
Indonesia – Inggris air cair kelewat dingin
supercooled liquid water
adiabatik gadungan
pseudoadiabatic
aerosol garam laut
sea salt aerosol
aerosol raksasa
giant aerosol
air cair
liquid water
aliran
flux
angin tenang
calm
antar muka
interfacial
awan dingin
cold cloud
awan panas
warm cloud
awan kembang kol
cauliflower cloud
badai guruh
thunderstorm
bahan
material
baku
standard
basah
moist
batu es
hailstone
batu es hujan
hailstone
berdampingan, bersamaan
coexist xvi
bola basah
wetbulb
butiran
droplet
cairan
liquid
cekungan
basin
cuaca buruk (bengis)
severe weather
cuaca lalu
past weather
cuaca sekarang
present weather
curah hujan
rainfall
daur, siklus
cycle
demikian juga
likewise
deposisi (endapan) basah
wet deposition
deposisi kering
dry deposition
endapan, presipitasi
precipitation
embun
dew
embun beku
frost
gadungan / palsu
pseudo
garis badai guruh
line of thunderstorm
garis awan badai
squall lines
gas perunut
trace gases
gaya gabung
affinity
gelembung air
water bubble
gerimis
drizzle
geser angin
wind shear
golakan
turbulent
halus
fine
hujan
rain
hujan amat lebat (torensial)
torrential rains xvii
hujan buatan
rain making
hujan campur salju
sleet
hujan deras
shower
hujan lebat
heavy rains
hujan rangsangan
stimulation of rain
idaman
ideal
inti kondensasi awan (IKA)
cloud condensation nucleus
inti pembekuan, inti es (IES)
ice nucleus
jalur
track
jambul, bulu
plume
jangka
range
jelas, tidak samar
unambiguous
jenis, golongan
genus, plural : genera
kabas
smog
kabas (kabut – asap)
smog (smoke – fog)
kajian
study
kasar
coarse
keadaan mantap
steady state
keanginan
wind blown
kebasahan
moisture confusion
kebingungan, kekacauan kehancuran
disintegration
kelembapan
humidity
kelewat jenuh
supersaturation
kelistrikan, elektrisitas
electricity
kilap, kemilau
sheen
kilat, halilintar
lightning xviii
kristal embun beku
rimed crystal
kristal es
ice crystal
khas, unik
unique
kumpulan kristal
crystal aggregate
landasan, paron
anvil
laut terbuka
open ocean
lempung, tanah liat
clay
lengket
sticky
lereng di atas angin
windward side (slope)
lereng di bawah angin
leeward side
limpasan
run off
lingkungan laut
marine environment
meringkas
summarize
mudah terbakar
combustible
mutlak
absolute
nyata
real
paras
level
paras kondensasi terangkat
lifting condensation level (LCL)
paras kondensasi konvektif
convective condensation level (CCL)
paras peleburan
melting level
peleburan
melting
pelenyapan
dissipation
pembakaran
combusition
pembekuan
freezing
pengentalan
coagulation
pembekuan tetes
riming
pembersihan, pemindahan
removal xix
pemuatan listrik, elektrifikasi
electrification
penakar hujan
raingage
penakar hujan pencatat
recording raingage
penampakan, keterbukaan
exposure
pengembunan, kondensasi
condensation
pengendapan, deposisi
deposition
penguapan, evaporasi
evaporation
penggabungan
aggregation
penguapan
evaporation
pengubahan
conversion
penimbunan
accumulation
penting sekali, gawat
crucial
per–awan–an
cloudiness
perkembangan, evolusi
evolution
permulaan
initiation
perpindahan, pelenyapan
removal
pertambahan
accreation
peubah
variable
proses terbalikan
reversible process
proses tak terbalikan
irrreversible process
puncak ombak putih
whitecap
puting beliung
tornado
ruang, kamar
chamber
salju
snow
samar, berarti dua
ambiguous
sel konveksional
convectional cell
semburan
ejection xx
serpih (keping) salju
snowflake
sublimasi
sublimation lapse rate
susut temperatur tambalan, potongan
patch
tanah beku
frozen soil
tanggap
response
tangkapan
coalescence
terhadap
with respect to
tetes
drop
tetes hujan
raindrop
titik beku
frost point
titik embun
dew point
tudung, selubung
veil
tumbukan, benturan
collision
udara basah
moist air
udara kering
dry air
ukuran tampak
visible size
unsur pokok
constituent
variasi ruang dan waktu
spatial and temporal variations
zona konvergensi antar tropis
intertropical convergence zone (ICZ)
xxi
Daftar Isi
Kata Pengantar Penerbit
i
Prakata
ii
Pengantar
iv
Daftar Gambar
x
Daftar Tabel
xiv
Padanan Kata
xvi
Daftar Isi
xxii
Bab 1. Pendahuluan
1
1.1. Atmosfer Ekuatorial Indonesia
2
1.2. Sejarah Mikrofisika Awan dan Hujan
5
1.3. Klasifikasi Awan
8
1.4. Bentuk Utama Awan
12
1.5. Awan Dalam Berita Sinop
15
1.6. Resumé
21
Bab 2. Termodinamika Udara
23
2.1. Termodinamika Udara Kering xxii
23
2.2. Persamaan Keadaan Udara Kering
29
2.3. Bentuk Alternatif Persamaan Energi dan Entropi
31
2.4. Persamaan Keadaan Udara Basah
33
2.5. Peubah Kebasahan
37
2.6. Resumé
42 45
Bab 3. Proses Fisis Uap Air 3.1. Persamaan Clausius – Clapeyron
46
3.2. Aplikasi Persamaan Clausius – Clapeyron
50
3.3. Kejenuhan Udara Basah
55
3.4. Proses Pseudoadiabatik
60
3.5. Proses Adiabatik Udara Jenuh
66
3.6. Resumé
70 73
Bab 4. Aerosol Atmosferik 4.1. Sumber Aerosol
74
4.2. Spektra Ukuran Aerosol
78
4.3. Aerosol Garam Laut (AGL)
84
4.4. Mekanisme Pemindahan Partikel AGL dari 87
Atmosfer 4.5. Inti Kondensasi dan Inti Es Atmosferik
89
4.6. Resumé
94
Bab 5. Pembentukan Awan
97
5.1. Aspek General Pembentukan Awan dan Hujan
98
5.2. Genus Awan
102
5.3. Pengintian Air Cair
109
xxiii
5.4. Pengaruh Zat Larut
111
5.5. Mikrostruktur Awan
116
5.6. Resumé
120
Bab 6. Pertumbuhan Tetes Hujan Dalam Awan Panas 6.1. Pertumbuhan Difusional Butiran Awan
123 123
6.2. Persamaan Pertumbuhan Butiran Melalui Kondensasi
128
6.3. Kolisi dan Koalisensi
135
6.4. Persamaan Pertumbuhan Tetes
140
6.5. Trajektori Tetes
143
6.6. Resumé
147
Bab 7. Pertumbuhan Partikel Es Dalam Awan Dingin
149
7.1. Awan Dingin dan Awan Campuran
150
7.2. Inti Es Atmosferik
155
7.3. Pertumbuhan Partikel Es dari Fasa Uap
160
7.4. Pertumbuhan Partikel Es dari Pembekuan tetes
165
7.5. Pertumbuhan Partikel Es dari Penggabungan
169
7.6. Resumé
171 173
Bab 8. Proses Presipitasi 8.1. Proses Kristal Es Lawan Koalisensi
174
8.2. Distribusi Ukuran Tetes
177
8.3. Distribusi Ukuran Keping Salju
181
8.4. Teori Presipitasi
184
8.5. Efisiensi Presipitasi
188
xxiv
8.6. Resumé
192
Bab 9. Modifikasi Cuaca : A. Prinsip Dasar Modifikasi Awan
195
9.1. Latar Belakang Modifikasi Cuaca
196
9.2. Proses Mikrofisis Presipitasi
199
9.3. Proses Pertumbuhan Partikel Presipitasi
202
9.4. Kecepatan Terminal Partikel Awan dan Presipitasi
211
9.5. Resumé
216
Bab 10. Modifikasi Cuaca : B. Modifikasi Awan dan Presipitasi
219
10.1. Kelembapan Kritis Garam
220
10.2. Teknologi Modifikasi Awan
222
10.3. Teknologi Modifikasi Cumulus
226
10.4. Aplikasi Modifikasi Cuaca
230
10.5. Resumé
240
Daftar Pustaka
243
Lampiran :
247 1. Abjad Yunani
248
2. Tekanan Uap Jenuh di atas Air murni dan Es
249
3. Daftar Simbol Huruf Latin dan Yunani Biodata
250 257
xxv
Bab 1 Pendahuluan
Sistem klasifikasi awan internasional diusulkan pada tahun 1803 oleh Luke Howard (1772 – 1864) seorang meteorologiwan Inggris yang memakai empat nama Latin yaitu cumulus (artinya gumpalan atau gundukan) yang dipakai untuk awan konvektif. Stratus (artinya lapisan) yaitu awan yang berbentuk lapisan. Cirrus (artinya rambut) yaitu awan yang berbentuk berserat atau berserabut. Dalam klasifikasi internasional, kata Latin nimbus atau nimbo yang berarti awan hujan juga dipakai misalnya nimbostratus (Ns), cumulonimbus (Cb). Ns berarti awan lapisan yang menghasilkan hujan, dan Cb berarti awan gumpalan yang memberikan hujan. Penamaan awan juga memakai gabungan dua dari tiga kata dasar cirrus, stratus, cumulus. Sebagai contoh cirrocumulus (Cc) gabungan dari kata cirrus dan cumulus, cirrostratus (Cs) gabungan dari kata cirrus dan stratus, dan stratocumulus (Sc) gabungan dari kata stratus dan cumulus. Cirrocumulus adalah awan berbentuk gumpalan kecil-kecil yang terdiri dari serat yang lembut. Cirrostratus adalah awan lapisan yang tampak berserat. Stratocumulus (Sc) adalah awan lapisan yang unsur-unsurnya berbentuk gumpalan dengan ukuran horisontal jauh lebih besar dari pada ukuran vertikalnya. Mikrofisika Awan Dan Hujan
1
1.1. Atmosfer Ekuatorial Indonesia Atmosfer bumi mempunyai ketebalan sekitar 1000 km (rumbairumbai bumi) yang dibagi menjadi lapisan-lapisan troposfer, stratosfer, mesosfer, termosfer, dan eksosfer. Dalam troposfer terjadi konveksi akibat radiasi bumi dari penyerapan radiasi matahari terutama spektrum tampak, karena itu proses konveksi lebih aktif di daerah ekuatorial. Atmosfer tropis mencakup daerah antara 23,5 U (tropis Cancer) dan 23,5 S (tropis Capricorn), sedangkan atmosfer ekuatorial yang dimaksud dalam diskusi ini dibatasi oleh lintang antara 10 U dan 10 S, jadi benua maritim Indonesia dapat dikatakan daerah ekuatorial. Daerah ekuatorial dilalui oleh garis ekuator geografis (lintang 0) yang tetap dan pita ekuator meteorologis yang bergerak ke utara atau ke selatan ekuator geografis mengikuti migrasi tahunan (gerak semu) matahari. Di daerah ekuatorial radiasi tampak merupakan komponen radiasi matahari yang terbesar dan sangat kuat. Karenanya alih panas kearah atas oleh konveksi adalah sangat aktif di ekuator dan sirkulasi global dibangkitkan untuk mengalihkan panas dari ekuator ke daerah lintang yang lebih tinggi. Pada waktu ekinoks (kedudukan matahari di ekuator, terjadi pada 21 Maret dan 23 September) maka pemanasan daerah ekuator mencapai maksimum. Dalam atmosfer di atas garis ekuator terjadi osilasi tengah tahunan (Semiannual Oscillation). Pada tipe hujan ekuatorial, distribusi curah hujan bulanan menampakan maksima ganda, dengan curah hujan maksimum setelah ekinoks. Karena gaya Coriolis menuju nol di sekitar ekuator, maka gelombang khusus dapat terjadi dan menjalar kearah atas lebih mudah di daerah ekuatorial dari pada di daerah-daerah lain. 2
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Istilah “tropis” tidak mempunyai arti yang eksak. Ilmuwan menemukan kata “tropis” dari tropis Cancer (23,5 U) dan tropis Capricorn (23,5 S) yang menunjukkan batas jarak semu matahari yaitu ketika matahari berada di lintang 23,5 U yang disebut garis balik utara pada tanggal 22 Juni dan ketika berada di lintang 23,5 S yang disebut garis balik selatan pada tanggal 22 Desember. Daerah Ekuatorial dapat didefinisikan sebagai daerah yang dibatasi oleh lintang 10 U dan 10 S atau daerah yang dibatasi oleh parameter Coriolis = 2 sin = 2 x 7,29 x -5 -5 -5 -1 10 x sin 10 = 14,58 x 10 x 0,174 = 2,5 x 10 s , dimana adalah kecepatan sudut rotasi bumi dan adalah lintang tempat. Jelas bahwa gaya Coriolis menuju nol di ekuator. Meteorologiwan sering memakai batas lain untuk mendefinisikan tropis dengan memakai sumbu sel tekanan tinggi subtropis yaitu batas sirkulasi atmosfer yang didominasi oleh angin timuran di tropis dan oleh angin baratan di daerah lintang tengah. Batas dari daerah tropis adalah lintang 30 U dan 30 S yang disebut “lintang kuda” (horse latitude). Pada daerah lintang kuda terjadi subsidensi (angin turun) sehingga cuaca kebanyakan cerah dan jumlah curah hujan sedikit. Gurun dan padang rumput (steppe) kebanyakan terjadi di daerah lintang kuda. Parameter Coriolis pada lintang kuda hampir tiga kali lipat dibanding di lintang 10. Besar parameter Coriolis pada lintang kuda adalah f = 2 sin 30 = 7,3 x -5 -1 10 s . Dari definisi daerah ekuatorial (10 U – 10 S) di atas, maka benua maritim Indonesia termasuk dalam daerah ekuatorial. Antara angin pasat yang konvergen di sekitar daerah tekanan rendah ekuator terdapat daerah transisi dengan angin berubah-ubah yang lemah, disebut zona konvergensi intertropis (ZKI) atau Mikrofisika Awan Dan Hujan
3
Intertropical Convergence Zone (ICZ) atau doldrums (daerah angin lemah). Daerah transisi kedua adalah daerah lintang kuda. Curah hujan maksimum sekitar 70 – 80 inci (1 inci = 25,4 mm) terdapat pada sabuk selebar 10 derajat di sekitar ekuator dimana terdapat ZKI dengan massa udara yang panas dan lembap. Daerah ekuatorial menerima energi matahari maksimum. Energi panas ini dipakai untuk menggerakkan atmosfer secara global ke daerah lintang menengah dan tinggi (kutub). Gerak atmosfer global tidak hanya membawa panas tetapi juga membawa kelembapan (uap air) dan zat-zat lain yang mengendalikan cuaca dan iklim harian, karena itu sangat mempengaruhi kehidupan dalam planet bumi. Masukan energi panas untuk menggerakkan atmosfer terjadi melalui awan-awan terutama awan cumulus tinggi yang terbentuk di daerah ekuatorial. Ada tiga daerah ekuatorial dimana konveksi dan formasi awan cumulusnya menjadi penting, yaitu Indonesia, Afrika Ekuatorial (Afrika Tengah), Amerika Ekuatorial (Amerika Selatan). Di antara ketiga daerah ekuatorial maka Indonesia merupakan daerah konvektif yang sangat aktif, pembentukan awannya berfluktuasi secara musiman ataupun tahunan. Daerah Indonesia dikenal sebagai benua maritim (maritime continent) dalam meteorologi troposfer. Pada tahun tertentu, awan konvektif kuat (deep convection) bergeser ke arah Pasifik Tengah Ekuatorial, sehingga iklim global menjadi tidak normal. Gejala ini dikenal sebagai ENSO (El Niño – Southern Oscillation). Periode 30 – 60 hari juga terdeteksi dan disebut variasi antar musiman (inter seasonal) atau osilasi Madden–Julian. Daerah ekuatorial masih miskin dipahami sehingga observasi atmosfer di atas Indonesia menjadi sangat penting dalam pemahaman hubungan antara atmosfer ekuatorial dengan cuaca dan iklim global. 4
Mikrofisika Awan Dan Hujan
1.2. Sejarah Mikrofisika Awan dan Hujan Proses awan kebanyakan pada skala jauh lebih kecil yaitu skala yang sebanding dengan dimensi partikel awan dan presipitasi. Prosesproses ini adalah pembentukan, pertumbuhan butiran awan, dan interaksinya dengan lingkungan. Tujuan dari fisika awan adalah untuk menjelaskan bagaimana sebuah butiran awan dapat terbentuk dari fasa uap, tumbuh menjadi ukuran tampak, kemudian berinteraksi dengan partikel-partikel awan lain membentuk presipitasi. Penggabungan aspekaspek fisika awan ini dinamakan mikrofisika awan dan presipitasi, tetapi di Indonesia pada umumnya presipitasi (endapan) berbentuk cair atau hujan, sehingga judul buku ini menjadi Mikrofisika Awan dan Hujan. Mikrofisika awan adalah sains yang sangat muda, kebanyakan informasi kuantitatif pada awan dan presipitasi, dan proses-proses yang terlibat telah diperoleh sejak tahun 1940. Baik Lamarck (1744 – 1829) maupun Howard (1772 – 1864) percaya bahwa awan yang mereka kaji terdiri dari gelembung-gelembung air (water bubbles). Gagasan gelembung dikemukakan pada tahun 1672 oleh von Guericke (1602 – 1686) disebut partikel awan kecil yang ia peroleh dalam ruang ekspansi sederhana ‘‘bullulae’’ (artinya bubble = gelembung). Meskipun secara tegas ia menamakan partikel-partikel besar dalam ruang ekspansi ‘‘guttulae’’ (artinya drop = tetes), gagasan gelembung berlaku lebih dari satu abad sampai Walker (1816 – 1870) melaporkan pada tahun 1846 bahwa partikel-partikel kabut tidak pecah seperti pada gelembung. Meskipun observasi ini diperkuat pada tahun 1880 oleh Dines (1855 – 1927), tetapi kemudian dibantah oleh Assmann (1845 – 1918) berdasarkan kajian komprehensifnya mengenai butiran-butiran awan dengan bantuan mikroskop (1984). Mikrofisika Awan Dan Hujan
5
Usaha untuk memberikan penjelasan kuantitatif proses pembentukan partikel awan datang relatif lambat. Sebagai contoh, pada tahun 1875 Coulier (1824 – 1890) melakukan eksperimen ruang ekspansi sederhana pertama yang menunjukkan peranan penting partikel-partikel debu dalam pembentukan tetes-tetes awan dari uap air. Beberapa tahun kemudian, Aitken (1839 – 1919) memperkenalkan konsep baru ini. Ia menyimpulkan dari eksperimennya dengan memakai ruang ekspansi pada tahun 1881 bahwa tetes awan terbentuk dari uap air hanya dengan bantuan partikel-partikel debu yang bertindak sebagai inti untuk memprakarsai fasa (tahap) baru. Aitken menyatakan bahwa tanpa partikel debu di atmosfer, tidak akan ada kabur (haze), tidak ada kabut, tidak ada awan dan karenanya tidak ada hujan. Penemuan Coulier dan Aitken dibentuk lebih kuantitatif oleh Wilson (1869 – 1959) yang menunjukkan pada tahun 1897 bahwa udara lembap murni tanpa partikel debu akan menahan kelewat jenuh beberapa ratus persen sebelum tetes air terbentuk secara spontan. Dalam tahun 1866, Renou (1815 – 1902) pertama kali menunjukkan bahwa kristal-kristal es dapat memainkan peranan penting dalam inisiasi (permulaan) hujan. Renou menyarankan bahwa untuk pertumbuhan presipitasi, dua lapisan awan dibutuhkan : satu terdiri dari tetes kelewat dingin dan yang lain pada ketinggian yang lebih tinggi yang memberikan kristal-kristal es ke dalam lapisan awan di bawah. Pemahaman yang lebih maju tentang pembentukan presipitasi yang melibatkan kristal es dikemukakan oleh Wegener (1911) yang menunjukkan melalui prinsip-prinsip termodinamika bahwa pada temperatur di bawah 0 C tetes air kelewat dingin dan kristal es tidak dapat berdampingan (bersamaan) dalam keseimbangan. Dengan 6
Mikrofisika Awan Dan Hujan
memakai pernyataan ini Bergeron (1891–1977) pada tahun 1933 mengemukakan bahwa presipitasi terjadi akibat kelabilan awan yang mengandung tetes kelewat dingin dan kristal es secara bersamaan. Bergeron menggambarkan bahwa dalam awan campuran ini, kristalkristal es tumbuh oleh difusi tetes air kelewat dingin sampai semua tetes dikonsumsi oleh kristal es atau semua kristal es jatuh keluar awan. Observasi awan oleh Findeisen tahun 1938 mempertegas mekanisme presipitasi Wegener – Bergeron. Usaha untuk memahami sifat awan dan presipitasi mempunyai sejarah yang panjang selama 70 tahun terakhir. Salah satu faktor utama yang merangsang perkembangan fisika awan adalah meningkatnya dunia penerbangan yang peka terhadap kejadian dan pertumbuhan awan, bahkan awan cumulonimbus dianggap jalur maut dalam penerbangan. Formulasi teori kondensasi uap air bersamaan dengan kajian awan di laboratorium dan di udara memungkinkan untuk meletakkan fondasi dalam cabang fisika awan. Mikrofisika awan kemudian didefinisikan sebagai kajian kondisi pertumbuhan elemen-elemen awan dan presipitasi yaitu butiran air dan kristal es. Keadaan sekarang, mikrofisika awan telah dibahas dalam buku-buku baru misalnya Mason (1975), Pruppacher (1980) dan lain-lain. Proses pada skala yang berjangka dari ratusan meter sampai ratusan kilometer bahkan ribuan kilometer terletak dalam daerah dinamika awan yang mulai dikembangkan 50 tahun yang lalu. Agar awan terbentuk maka diperlukan volume udara besar yang didinginkan di bawah temperatur titik embunnya. Di atmosfer pendinginan dapat melalui ekspansi adiabatik udara yang naik, pendinginan radiatif dan pencampuran massa udara yang beda temperatur dan kelembapannya. Agar presipitasi tumbuh maka pendinginan harus Mikrofisika Awan Dan Hujan
7
berlanjut karena presipitasi masih memerlukan uap air yang berkondensasi. Kecepatan pendinginan dan volume udara yang dipengaruhi akan menentukan jumlah kondensasi dan karenanya mempengaruhi jumlah presipitasi yang dapat diproduksi oleh sebuah awan. Pembentukan tetes-tetes awan dan interaksinya dalam pembentukan tetes hujan dan kristal es dikendalikan oleh proses-proses skala sangat kecil (ukuran partikel awan dan presipitasi) yang disebut mikrofisika awan dan hujan. Meskipun demikian kendali proses-proses skala besar oleh gerak atmosfer yang menyebabkan awan perlu diketahui yaitu makrofisika pembentukan awan. Sebagai contoh pembentukan tetes dan pembekuan tetes awan dibarengi dengan pelepasan sejumlah panas laten yang mempengaruhi gerak massa udara awan. Jadi mikrofisika awan adalah kajian proses-proses skala kecil, sedangkan kajian prosesproses skala besar disebut dinamika awan atau kinematika awan. 1.3. Klasifikasi Awan a. Berdasarkan Pembentukan Awan Sistem awan dikendalikan oleh gerak udara vertikal akibat konveksi, efek orografik, konvergensi, dan front. Klasifikasi awan berdasarkan pada mekanisme gerak vertikal adalah : 1. Stratiform Awan ini menyebabkan hujan kontinu yang disebabkan oleh kenaikan udara skala makro oleh front atau konvergensi atau topografi. Daerah hujan cukup luas, intensitas hujan kecil dan gerimis sampai hujan sedang, arus udara ke atas dalam awan ini mencakup daerah yang luas tetapi lemah. 2. Cumuliform 8
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Awan ini menyebabkan hujan lokal yang disebabkan oleh konveksi yang terletak dalam udara labil. Intensitas hujan besar dari hujan normal sampai hujan lebat (shower). Arus udara ke atas dalam awan ini mencakup daerah yang kecil tetapi kuat. b. Berdasarkan Tinggi Dasar Awan 1. Awan rendah, mempunyai ketinggian dasar awan kurang dari 2 km, biasanya dipakai kata ’’strato’’, misalnya Nimbostratus (Ns), Stratocumulus (Sc), dan Stratus (St). 2. Awan menengah, mempunyai ketinggian dasar awan antara 2 dan 6 km, biasanya dipakai awalan ’’alto’’, misalnya Altocumulus (Ac) dan Altostratus (As). 3. Awan tinggi, mempunyai ketinggian dasar awan lebih dari 6 km, penamaannya ditandai dengan awalan ’’cirro’’, misalnya Cirrostratus (Cs), Cirrocumulus (Cc) dan Cirrus (Ci). Kadangkadang Cirrostratus menyebabkan lingkaran optik d isekitar matahari atau bulan yang disebut ’’halo’’. Peristiwa ini disebabkan oleh refraksi dan refleksi oleh kristal-kristal es di dalam awan Cirrostratus.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
9
Tabel 1.1. Deskripsi jenis awan Jenis awan
Dasar awan Komposisi
Deskripsi
Cirrus (Ci)
> 7 Km
es
Pita putih atau serabut halus, atau tambalan (potongan-potongan kecil) dengan serat atau tampak kilap seperti sutera.
Cirrocumulus (Cc)
> 7 Km
es
Tambalan putih atau lapisan elemenelemen kecil yang teratur dalam bentuk butir-butir (grains), ombak, dan sebagainya
Cirrostratus (Cs)
> 7 Km
es
Tudung (veil) agak putih dengan bagianbagian sedikit tersusun, meliputi langit secara luas dan merata.
Altocumulus (Ac)
2 – 7 Km
air
Lapisan putih atau abu-abu dari unsurunsur awan kecil teratur dan halus, tambalan elemen-elemen kecil, tambalan halus dengan garis bentuk yang tegas atau tumpukan / berkas lapisan cumuliform.
Altostratus (As)
2 – 7 Km
air
Lapisan serabut agak abu-abu atau agak biru atau tampak seragam, meliputi langit secara luas.
Nimbostratus (Ns)
< 2 Km
air
Lapisan tebal abu-abu, seringkali gelap, biasanya disertai hujan atau salju.
Stratocumulus (Sc)
< 2 Km
air
Lapisan abu-abu atau agak putih dengan elemen-elemen yang gelap, seringkali tersusun teratur.
Stratus (St)
< 2 Km
air
Lapisan abu-abu dengan dasar serba sama yang cerah, kadang-kadang terjadi hujan gerimis (drizzle).
Cumulus (Cu)
Biasanya dasar awan rendah. Pertumbuhan vertikal beberapa km
air
Awan berdiri sendiri, padat, dengan garisgaris tajam, tumbuh secara vertikal seperti “kembang kol” (cauliflower clouds), menyebabkan hujan tiba-tiba (shower).
Cumulonimbus Biasanya dasar air dan es Awan lebat dan padat. Bagian atas terdiri awan rendah. pada bagian dari es, yang menunjukkan serat-serat dan (Cb) Pertumbuhan vertikal sampai tropopause
10
atasnya
biasanya menyebar horisontal dalam bentuk sebuah landasan (anvil) atau jambul (plume), sering terjadi hujan lebat, hujan batu es (hail), kilat dan guruh.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
c. Berdasarkan partikel presipitasi Awan adalah kumpulan tetes air atau kristal es atau kombinasi keduanya. Berdasarkan jenis partikel presipitasi, awan dapat diklasifikasikan menjadi : 1. Awan tetes Awan tetes sering disebut awan panas, awan ini sebagian partikelnya terdiri dari tetes air. Tetes air dalam awan berasal dari kondensasi uap air melalui inti kondensasi awan (IKA) yang ada di atmosfer bawah. Pertambahan kelembapan sampai ke suatu nilai yang diperlukan terjadinya kondensasi di atmosfer terutama disebabkan oleh pendingin adiabatik udara yang mengalami pengangkatan secara termal atau secara mekanis. Selain oleh kelembapan, pertumbuhan tetes hasil kondensasi ini ditentukan oleh sifat higroskopis yaitu kemampuan inti kondensasi seperti garam dapur NaCl dan oleh jejari tetes (r) atau kelengkungan tetes (1/r). Tetes-tetes awan kebanyakan berjejari sekitar 10 m (10 mikron), tetapi dengan mekanisme benturan – tangkapan tetes-tetes awan dapat menjadi tetes hujan yang berjejari sekitar 1000 m atau 1 mm. 2. Awan es Awan yang sebagian partikelnya terdiri dari kristal es disebut awan es, sering disebut awan dingin atau awan campuran. Pada ketinggian atmosfer tertentu, temperatur mulai lebih rendah dari titik beku, di Indonesia temperatur titik beku dicapai pada ketinggian atmosfer antara 4 dan 5 kilometer di atas permukaan laut (d.p.l). Pada ketinggian atmosfer dengan temperatur di bawah titik beku, tetes awan kelewat dingin tidak langsung membeku menjadi kristal es semuanya, hanya Mikrofisika Awan Dan Hujan
11
tetes awan yang menemukan inti es (IES) yang membeku menjadi kristal es. Tetapi pada temperatur – 40 C atau lebih rendah, tetes air kelewat dingin secara spontan membeku menjadi kristal es. Karena pada temperatur yang sama di bawah titik beku, tekanan uap jenuh di atas tetes kelewat dingin (es) lebih tinggi dari pada tekanan uap jenuh di atas kristal es (ei), maka tetes berdifusi dan mendeposisi pada kristal es, sehingga kristal es tumbuh menjadi besar dan tetes melenyap. Kristal es yang tumbuh bercabang ini, terpecah menjadi serpih-serpih es ketika turun melayang di udara. Dengan cara seperti ini jumlah kristal es menjadi berlipat ganda sehingga terbentuk awan es. Karena sifat kristal es lebih lambat menguap dari tetes air, maka dalam udara tak jenuh bagian luar awan tetes menguap lebih cepat dari pada bagian luar awan es. Kondisi ini menyebabkan tepi awan tetes tampak lebih tegas (jelas) dari pada awan es. Pencampuran awan es dengan udara di sekelilingnya hanya menyebabkan perluasan awan, sehingga tepi awan es tampak tidak tegas (kabur). 1.4. Bentuk Utama Awan Awan mempunyai bentuk bermacam-macam dan setiap awan dalam proses pertumbuhannya akan mengalami perubahan bentuk secara terus menerus, sehingga di dalam atmosfer terdapat jenis awan yang jumlahnya sangat banyak. Sejumlah awan yang banyak itu dapat digolongkan menjadi tiga bentuk utama (dasar), yaitu bentuk berserat, lapisan dan gumpalan; lihat gambar 1.1. Bentuk berserat disebabkan oleh kristal es yang jatuh, bentuk lapisan adalah awan yang pertumbuhannya dalam arah horisontal, dan bentuk gumpalan akibat pertumbuhan vertikal yang sangat besar oleh konveksi lokal. 12
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Gambar 1.1. Bentuk utama awan : berserat, lapisan, dan gumpalan.
Bentuk utama awan dapat dibagi menjadi sepuluh golongan yang disebut jenis (genus). Kesepuluh jenis awan tersebut adalah: cirrus (Ci), cirrocumulus (Cc), cirrostratus (Cs), altocumulus (Ac), alrostratus (As), nimbostratus (Ns), stratocumulus (Sc), stratus (St), cumulus (Cu), cumulonimbus (Cb). Tiap jenis awan dibagi menjadi subgenus (subjenis) awan yang didasarkan pada keistimewaan bentuk, dimensi, dan pada perbedaan struktur setiap jenis awan. Misalnya awan lentikularis mempunyai bentuk keistimewaan lonjong seperti lensa. Jenis awan yang dapat mempunyai subjenis lentikularis adalah cirrocumulus, altocumulus dan stratocumulus. Studi awan sangat penting bagi meteorologiwan dan fisikawan atmosfer. Observasi dan fotografi awan merupakan alat yang bernilai untuk menentukan karakteristik termodinamika dan dinamika udara yang selanjutnya dipakai untuk peramalan cuaca jangka pendek, misalnya: I.
Lapisan stratus atau stratocumulus di atas sebuah lembah, menandakan adanya inversi temperatur pada paras atas lapisan tersebut, lihat Gambar 1.2.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
13
Gambar 1.2. Awan stratus dan hubungannya dengan profil temperatur.
ii. Altocumulus jenis castellanus menandakan adanya ketidakstabilan udara yang kuat pada parasnya yang merupakan isyarat suatu situasi badai guruh. iii. Perkembangan awan cumuliform memberi informasi ketidakstabilan udara. Jika cumulus pertumbuhan vertikalnya dibatasi oleh paras tertentu, maka paras tersebut merupakan kedudukan inversi temperatur, jika tidak ada lapisan inversi maka awan akan tumbuh vertikal ke atas sampai mendekati tropopause. Ketika lapisan inversi lemah dan arus udara ke atas dalam awan cumulus kuat, maka awan dapat tumbuh menjulang ke atas menembus lapisan inversi yang stabil, biasanya disebut awan cerobong (chimney cloud). Awan cerobong mempunyai ukuran vertikal lebih besar dari pada ukuran horisontal Gambar 1.3a). Ketika lapisan inversi cukup kuat maka awan cumulus tampak seperti balok, karena dalam pertumbuhannya ujung awan ini patah oleh adanya inversi yang kuat, sehingga puncak awan menjadi dempak (Gambar 1.3b) iv. Kemiringan awan cumuliform menandakan adanya geser angin v/ z yaitu gradien kecepatan angin terhadap ketinggian, faktor yang penting untuk pertumbuhan tetes hujan dalam awan tersebut. 14
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Pentingnya studi awan karena awan merupakan fasa yang penting dalam daur (siklus) air di atmosfer. Awan sebagai pengubah uap air menjadi air yang dapat dipakai oleh manusia, karena tanpa air manusia tidak dapat mempertahankan hidup di bumi.
Gambar 1.3. Jenis cumulus dalam lapisan inversi. (a) Awan cerobong, (b) cumulus dempak.
1.5. Awan dalam Berita Sinop Berita sinop awan menyajikan simbol (sandi) berikut : N, Nh, CL, h, CM, CH, Ns, C, hs hs Arti dari masing-masing simbol tersebut adalah : N : jumlah semua awan yang menutupi langit, dinyatakan dalam perdelapanan. N = 4, setengah langit tertutup awan (simbol N = 0, langit cerah ( simbol N = 8, langit mendung (simbol Mikrofisika Awan Dan Hujan
dalam petacuaca)
dalam peta cuaca) dalam peta cuaca) 15
Nh : jumlah awan dengan tinggi dasar awan h meter yangmenutupi langit. Nh = 2, seperempat langit tertutup awan yang mempunyai tinggi dasar awan h meter. h : tinggi dasar awan. h = 3, tinggi dasar awan 200 – 300 m. C : tipe awan rendah. C = 5, stratus. C = x, awan tak dikenal. CM : tipe awan menengah. CM= 2, altostratus tebal. CH : tipe awan tinggi. CH= 1, cirrus. Kelompok 8Ns C hs hs ini dipakai ketika terjadi hal khusus dalam pengamatan awan. 8 : angka pengenal. Ns : jumlah perawanan (cloudiness) dari awan khusus C. C : tipe awan khusus. hs hs : tinggi dasar awan C. hs hs = 00, tinggi dasar awan kurang dari 30 m. = 01, tinggi dasar awan 30 m. = 02, tinggi dasar awan 60 m. Bentuk transmisi dan berita sinop bergantung pada regionalnya, untuk Indonesia yang termasuk dalam regional V mempunyai berita sinop sebagai berikut: Iiiii 16
Nddff VVwwW PPPTT N C hC C h
L
M
H
TdTd9RR
(8NsChshs)
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Lima digit terakhir yang terletak dalam tanda kurung biasanya tidak penting dan dapat diabaikan. Sandi cuaca internasional dapat dibaca pada setiap stasiun meteorologi sinoptik di Indonesia, misalnya di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Jakarta. Arti dari simbol dalam berita sinop yang terdiri dari lima digit adalah sebagai berikut : (1) Kelompok IIiii: II = nomor blok, tiap negara mempunyai satu nomor blok atau lebih. Indonesia mempunyai dua nomor blok yaitu Indonesia bagian barat = 96 dan Indonesia bagian timur = 97. iii = nomor stasiun, contoh: 96743 = stasiun meteorologi Jakarta, dan 97180 = stasiun meteorologi Ujung Pandang. (2) Kelompok Nddff : N : perawanan dd : arah angin, contoh: dd = 18 angin selatan, dd = 36 angin utara, dd = 00 angin tenang (calm), dan seterusnya -1
ff : kecepatan angin dalam knot (1 knot ~ 0,5 ms ) Contoh : ff = 22, berarti kecepatan angin 2 knot ff = 05, berarti kecepatan angin 5 knot dan seterusnya. Catatan : Jika kecepatan angin > 100 knot, maka ff diberi sandi sebagai kecepatan angin yang dikurangi 100 knot, dan sebaliknya dd ditambah 50. Mikrofisika Awan Dan Hujan
17
Contoh: Angin datang dari barat (270) mempunyai kecepatan 110 knot, maka kode yang diberikan ddff adalah 7710, angka 77 berasal dari 27 + 50, dan angka 10 berasal dari 110 – 100. (3) Kelompok VVwwW VV : visibilitas Contoh : VV = 93 berarti visibilitas antara 500 m sampai 1000 m. ww : keadaan cuaca pada waktu observasi. Contoh : ww = 90 berarti cuaca buruk, kode . W : cuaca yang lalu (past weather). Contoh : W = 0 berarti cerah, kode 0. W = 4 berarti kabut, kode (4) Kelompok PPPTT PPP : tekanan udara dalam milibar (mb) PPP = 201 berarti 1021,1 mb = 247 berarti 1024,7 mb TT : temperatur dalam F atau C (bergantung pemakaian) yangdibulatkan, misalnya 23,5 C dibulatkan menjadi 24 C dan 23,3 C dibulatkan menjadi 23 C. Contoh : TT = 30 berarti 30 C, Indonesia memakai C. Catatan: Jika temperatur adalah negatif, maka dikodekan sebagai berikut: Nilai mutlak temperatur ditambah dengan 50. Contoh : temperatur – 3 C dikodekan sebagai 53.
18
Mikrofisika Awan Dan Hujan
(5) Kelompok Nh CL h CM CH, sudah dijelaskan dimuka. (6) Kelompok Td Td 9 RR Kelompok ini hanya berlaku untuk daerah tropis saja termasuk Indonesia Td Td : temperatur titik embun dalam F atau C. 9
: angka pengenal.
RR : jumlah hujan dalam 12 jam yang lalu. Contoh : RR= 00 berarti tidak ada hujan (0 mm). = 01 berarti hujan 1 mm. = 02 berarti hujan 2 mm, dan seterusnya. (7) Kelompok 8Ns C hs hs Kelompok ini dipakai untuk memberi kode sifat-sifat khusus pada observasi awan, sudah dijelaskan dimuka. Berita sinop dan sandi cuaca internasional yang lebih jelas dan lengkap dapat dibaca pada setiap stasiun meteorologi utama, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Indonesia, atau dapat dibaca pada Bab 19, buku Klimatologi, (Bayong Tjasyono, 2004. Tabel 1.2, menunjukkan sandi-sandi awan rendah (CL), menengah (CM) dan tinggi (CH).
Mikrofisika Awan Dan Hujan
19
Tabel 1.2. Arti sandi awan rendah, menengah dan tinggi.
Sandi Angka
Awan Rendah (CL)
Awan Menengah (CM)
Awan Tinggi (CH)
0
Tidak ada awan
Tidak ada awan
Tidak ada awan
1
Cu kecil atau Frakto cumulus
As tipis
Ci tipis (halus)
2
Cu sedang atau Sc dengan tinggi dasar sama
As tebal atau Ns
Ci padat
3
Cb tanpa landasan (anvil)
Ac tipis dalam satu lapisan
Ci padat, dari landasan Cb
4
Sc yang terjadi dari Ac tipis terpisah-pisah, bentangan Cu terdapat pada satu tingkat
5
Stratocumulus (Sc)
Ac yang menjadi padat
Ci dan Cs sendirian dalam keadaan bertambah
6
Stratus
Ac yang terjadi dari bentangan Cu atau Cb
Ci dan Cs, atau Cs sendirian menjadi padat, tetapi langit tidak tertutup semua
7
Frakto stratus atau frakto cumulus
Ac dan As atau Ns
Cs yang menutupi seluruh langit
8
Cu dan Sc
Ac castellatus (bertanduk atau berbentuk bayangan bintik)
Cs tidak menutupi seluruh langit
9
Sb (cumulonimbus)
Ac kelihatan tak teratur
Cc (cirrocumulus)
X
CL tidak kelihatan CM tidak kelihatan karena karena kabut, badai kabut, debu, dan debu, dan sebagainya. sebagainya.
20
Ci halus yang menjadi padat
CH tidak kelihatan disebabkan oleh kabut, debu, atau tertutup CL dan CM.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
1.6. Resumé Diantara tiga daerah ekuatorial di bumi, maka Indonesia adalah daerah konvektif yang paling aktif ketimbang Afrika Ekuatorial (Afrika Tengah) dan Amerika Ekuatorial (Amerika Selatan). Pembentukan awan di Indonesia didominasi oleh awan konvektif jenis cumulus dan cumulonimbus yang dapat menghasilkan hujan lebat (shower), batu es hujan, guruh, dan kilat, bahkan tornado (puting beliung) meskipun skala Fujita – Pearson baru mencapai F0, atau paling tinggi F1. Hari petir di Indonesia berkisar antara 100 dan 150 per tahun. Mikrofisika awan dan hujan adalah cabang dari meteorologi fisis yang mempelajari proses-proses fisis pembentukan partikel awan dan hujan. Inti dari mikrofisika awan adalah studi tentang pembentukan awan dan pertumbuhan hujan. Informasi kuantitatif tentang awan dan proses fisis pembentukannya ditemukan sejak tahun 1940. Aitken (1839 – 1919) menyimpulkan eksperimennya (1881) bahwa tetes awan terbentuk dari uap air hanya dengan bantuan partikel debu yang bertindak sebagai inti kondensasi awan. Wilson (1869 1959) pada tahun 1897 menunjukkan bahwa udara lembap murni akan bertahan pada kelewat jenuh beberapa ratus persen sebelum tetes-tetes air terbentuk secara spontan. Wigand (1913 dan 1930) mengamati bahwa sumber-sumber inti kondensasi awan (IKA) selain lautan juga kontinen lebih banyak. Partikel-partikel debu ada juga yang bertindak sebagai inti es (IES) dalam pembentukan kristal-kristal es. Klasifikasi awan didasarkan, pertama pada arus udara vertikal atau pembentukan awan: stratiform dan cumuliform, kedua pada tinggi dasar awan: awan rendah (Ns, Sc, dan St), awan menengah (Ac Mikrofisika Awan Dan Hujan
21
dan As), dan awan tinggi (Cs, Cc, dan Ci), ketiga pada partikel presipitasi: awan tetes dan awan es, dan keempat pada temperatur : awan panas t > –10 C dan awan dingin < –10 C. Tepi awan tetes tampak lebih tegas daripada awan es yang tepinya tampak kabur (tidak tegas). Peristiwa kondensasi disebabkan oleh pendinginan adiabatik udara yang mengalami kenaikan secara termal atau secara mekanis. Studi awan sangat penting bagi meteorologiwan dan fisikawan atmosfer dalam membantu peramalan cuaca jangka pendek. Pentingnya studi awan karena awan merupakan fasa yang penting dalam daur air di atmosfer. Awan sebagai pengubah uap menjadi air yang dipakai manusia, hewan, tetumbuhan dalam mempertahankan hidup di bumi. Ada tiga bentuk utama awan yaitu bentuk berserat, lapisan, dan gumpalan. Bentuk utama (dasar) awan dapat dibagi menjadi sepuluh golongan yang disebut jenis awan: Ci, Cc, Cs, Ac, As, Ns, Sc, St, Cu dan Cb. Tiap jenis awan dibagi lagi menjadi subjenis awan yang didasarkan pada keistimewaan bentuk, dimensi dan struktur jenis awan, misalnya awan lentikularis mempunyai bentuk keistimewaan lonjong seperti lensa. Data awan dapat dibaca dari berita sinop dengan sandi-sandi cuaca, misalnya N : jumlah semua awan yang menutupi langit, Ns: jumlah perawanan dari awan khusus, h: tinggi dasar awan, CL, CM, CH: masing-masing jenis awan rendah, menengah, dan tinggi. Berita sinop untuk regional V terdiri dari 7 kelompok, masing-masing kelompok terdiri 5 digit. Angka pada kelompok berita sinop menunjukkan angka pengenal. Setiap stasiun meteorologi utama mempunyai sandi-sandi cuaca untuk mentransmisikan berita sinop ke Kantor Cuaca Pusat di Dalam Negeri (BMKG) atau Kantor Cuaca Pusat di Luar Negeri. 22
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Bab 2 Termodinamika Udara
Termodinamika mempelajari tentang transformasi panas ke dalam bentuk energi lain dan sebaliknya. Dalam atmosfer transformasi ini sangat penting dan perlu dtinjau secara rinci untuk memprediksi keadaan atmosfer yang akan datang. Pada kenyataannya air di dalam atmosfer dapat berbentuk padat, cair atau gas. Transformasi energi terjadi jika air berubah keadaan (fasa) akibat pelepasan atau penyerapan panas laten. Dalam termodinamika udara kering proses atmosfer ditinjau tanpa transformasi energi seperti pelepasan panas laten. Dalam meteorologi, udara diperlakukan sebagai campuran dua gas ideal: udara kering dan uap air yang disebut udara basah. Termodinamika udara basah ditentukan oleh kombinasi antara termodinamika udara kering dan uap air. Pengetahuan termodinamika udara basah dipakai untuk memahami proses fisis yang terjadi di atmosfer. 2.1.
Termodinamika Udara Kering
a. Ekspansi gas pada tekanan konstan Jika gas berekspansi pada tekanan konstan, maka ia melakukan kerja terhadap lingkungannya: Mikrofisika Awan Dan Hujan
23
dW = pdV
(2.1)
dimana dV adalah perubahan kecil dalam volume gas. Untuk satuan massa gas, persamaan (2.1) ditulis dengan huruf kecil: (2.2) Keterangan : w : kerja spesifik yang dilakukan : perubahan volume spesifik gas : densitas udara Jika sistem berekspansi dan melakukan kerja pada lingkungan, maka dw positif. Sebaliknya jika sistem dikompresi oleh gaya dari luar, maka kerja dilakukan pada sistem dan dw negatif. Dalam fisika energi sistem didefinisikan sebagai kapasitas sistem untuk melakukan kerja. Energi sama dengan kerja total yang dapat dilakukan dan diukur dalam satuan yang sama. Satuan SI (Sistem Internasional) energi adalah joule (J). Dalam keadaan tidak ada reaksi nuklir dan untuk kecepatan yang tidak mendekati kecepatan cahaya, maka hukum kekekalan energi dapat diterapkan pada perubahan energi dari tipe yang satu ke tipe yang lain. Hukum ini menyatakan bahwa dalam setiap sistem, energi tidak dapat diciptakan atau tidak dapat dimusnahkan. Jadi, jika energi ditambahkan pada sistem, maka energi akhir sama dengan energi inisial ditambah sejumlah energi yang ditambahkan. Sebaliknya jika energi dikurangi, maka energi akhir sama dengan energi awal dikurangi sejumlah energi yang diambil. Jumlah panas yang dibutuhkan bergantung pada cara panas itu 24
Mikrofisika Awan Dan Hujan
ditambahkan. Misalnya, jumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan temperatur satu derajat dengan volume sistem dijaga konstan, disebut kapasitas panas pada volume konstan, diberi notasi dengan simbol Cv. Sebaliknya, jika tekanan dijaga konstan, maka panas yang dibutuhkan untuk menaikkan temperatur satu derajat, disebut kapasitas panas pada tekanan konstan, diberi notasi dengan Cp. Sebuah sistem pada tekanan konstan akan berekspansi bila dipanasi, jadi melakukan kerja. Karena itu Cp lebih besar daripada Cv. Kapasitas panas per satuan massa dinyatakan sebagai kapasitas panas spesifik atau panas spesifik saja. Dalam hal ini diberi notasi dengan huruf kecil, sehingga panas spesifik pada tekanan konstan dan volume konstan ditulis sebagai cp dan cv. Konstanta gas spesifik (R) dapat ditulis dengan ekspresi berikut: R = cp cv (2.3) b. Hukum termodinamika pertama Hukum pertama ini menyatakan dua faktor empirik: I. Panas adalah bentuk energi, disebut hukum Joule yang menyatakan tara kalor mekanik sebagai: 1 kal = 4,1868J ii. Energi adalah kekal, dinyatakan oleh bentuk aljabar seperti dijelaskan dalam uraian berikut ini Jika sejumlah panas dQ ditambahkan pada sistem, maka sebagian panasnya dipakai untuk meningkatkan temperatur atau sebagian untuk mengatasi gaya atraksi antara molekul-molekul. Keduanya merupakan penambahan energi internal sistem dU. Jika Mikrofisika Awan Dan Hujan
25
penambahan kerja yang dilakukan oleh sistem adalah dW, maka hukum konservasi (kekekalan) menjadi: dQ = dU dW
(2.4)
Persamaan (2.4) adalah formulasi hukum pertama termodinamika. Jika suku-suku dalam persamaan (2.4) dibagi dengan massa sistem, diperoleh: dq = du dw
(2.5)
dq adalah panas yang ditambahkan per satuan massa. Jika gas per satuan massa berekspansi pada tekanan konstan, maka dw dapat disubstitusi dari persamaan (2.2), sehingga: dq = du pd
(2.6)
Persamaan (2.6) adalah bentuk lain dari hukum termodinamika pertama, kadang-kadang dinyatakan sebagai persamaan energi. Dalam diskusi di atas, dianggap bahwa gas berekspansi dan melakukan kerja pada lingkungannya, karena itu dw dan d keduanya positif. Sebaliknya, kerja dapat dilakukan kepada gas dengan menekannya. Hal ini dapat dikatakan bahwa gas melakukan kerja negatif atau dw negatif. Karena volume berkurang, maka d juga negatif. c. Energi internal gas ideal dan gas nyata Teori kinetik gas menganggap bahwa atom atau molekul gas bergerak cepat secara acak. Dalam hal gas ideal, maka dimensi partikelpartikel ini dipandang sangat kecil dan dapat diabaikan dibandingkan jarak rata-rata di antara partikel-partikel tersebut. Dianggap pula bahwa gaya atraktif satu sama lain sangat kecil yang dapat diabaikan, dan bahwa tumbukan satu sama lain atau tumbukan dengan dinding pembatasnya (container) adalah elastis sempurna. Sistem yang 26
Mikrofisika Awan Dan Hujan
demikian mengikuti aturan hukum gas ideal, sehingga energi internal sistem demikian hanya fungsi temperatur. Panas yang ditambahkan pada volume konstan hanya dipakai untuk meningkatkan gerak acak molekul-molekul gas. Berbeda dengan gas nyata (real), sebagian energi dipakai untuk mengatasi gaya-gaya interatomik atau intermolekuler. Jadi dalam kasus gas ideal, maka berlaku: du = cv .dT
(2.7)
dimana c adalah konstanta yang disebut panas spesifik pada volume tetap. v
Syarat perlu untuk gas ideal adalah: I. Persamaan keadaan gas ideal harus diterapkan, yaitu: p = R . T
(2.8)
ii. Energi internal hanya fungsi temperatur, yaitu: du = cv.dT Tinjau kasus dimana panas ditambahkan pada gas dengan volume dijaga tetap yaitu d = 0, maka persamaan (2.6) dapat direduksi menjadi: dq = du
(2.9)
Dalam kasus ini panas yang ditambahkan dipakai seluruhnya untuk menaikkan energi internal gas. Atom atau molekul mulai bergerak lebih cepat dan energi kinetiknya juga meningkat. Akibatnya temperatur gas naik, karena temperatur sebanding dengan energi kinetik partikel. Kenaikan temperatur juga terlihat dari persamaan (2.7). Makin kecil tekanan (p) atau makin besar volume spesifik (), maka gas nyata (real) makin mendekati hukum gas ideal. Dalam hal gas ideal, maka cv konstan, tetapi untuk gas nyata Mikrofisika Awan Dan Hujan
27
maka cv berubah dengan temperatur secara lambat. Udara adalah campuran gas dan mendekati gas ideal sepanjang tidak terjadi kondensasi. Untuk daerah temperatur atmosfer yang diamati, panas spesifik udara kering dapat dianggap konstan, diberi simbol cvd. d. Proses adiabatik dalam gas ideal Proses adiabatik didefinisikan bahwa gas tidak memperoleh panas dari atau tidak kehilangan panas ke lingkungannya. Dalam hal ini, dq = 0 dan persamaan (2.5) menjadi: 0 = du dw
(2.10)
Sehingga perubahan energi internal gas ideal dapat dinyatakan sebagai: du = dw (2.11) Jika gas berekspansi selama proses adiabatik, maka gas melakukan kerja pada lingkungannya dan dw positif. Dari persamaan (2.11) jelas bahwa du negatif yaitu kerja dilakukan dengan memakai energi internal. Menunjuk pada persamaan (2.7), jika du negatif, maka dT juga negatif. Jadi ekspansi adiabatik cenderung menurunkan temperatur. Berbeda jika kerja dilakukan kepada gas dengan kompresi secara adiabatik, maka kerja yang dilakukan oleh gas (dw) menjadi negatif. Substitusi pada persamaan (2.11) menunjukkan du positif, yaitu energi internal sampel gas meningkat. Energi yang diberikan kepada gas akan meningkatkan energi kinetik atom atau molekul gas, karena itu temperatur gas naik selama kompresi adiabatik. Hal ini dapat diperiksa pada persamaan (2.7), baik du dan dT keduanya positif. Bentuk alternatif hukum termodinamika pertama untuk gas ideal dalam proses adiabatik dapat diperoleh dengan mengambil dq =0
28
Mikrofisika Awan Dan Hujan
pada persamaan (2.6), sehingga: 0 = du pd (2.12) Selama ekspansi adiabatik, maka da positif dan du negatif. Dari persamaan (2.7) terlihat dT negatif, karenanya terjadi penurunan temperatur. Berbeda dengan kompresi adiabatik, d negatif. Jadi du dan dT keduanya positif, karena itu temperatur naik, meskipun gas tidak menerima panas dari lingkungannya. Sebenarnya energi mekanis diubah menjadi energi internal yang cenderung meningkatkan energi kinetik atom atau molekul gas. 2.2.
Persamaan Keadaan Udara Kering
Udara adalah campuran gas yang dapat diperlakukan sebagai gas ideal selama tidak terjadi kondensasi. Dalam homosfer (yaitu lapisan di bawah 80 km), berat molekuler rata-rata (Md) adalah -1 28,964 kg mol . Konstanta gas spesifik untuk udara kering (Rd), adalah: (2.13) *
-1
-1
dengan : R adalah konstanta gas universal = 8314 joule mol K . Jika udara dipandang sebagai campuran gas-gas ideal, maka persamaan keadaan untuk udara kering dapat ditulis: p = RpT (2.14) Panas spesifik gas adalah jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan temperatur satu derajat dalam satuan massa. Untuk udara kering terdapat panas spesifik udara kering pada tekanan konstan (cpd) dan pada volume konstan (cvd). Nilai numerik kedua panas spesifik -1 -1 -1 -1 tersebut adalah: cpd = 1005 Jkg K dan cvd = 718 Jkg K , sehingga Mikrofisika Awan Dan Hujan
29
konstanta gas spesifik udara kering adalah: (2.15) Poisson menurunkan persamaan untuk proses adiabatik yang berbentuk: (2.16) Keterangan : R = konstanta gas spesifik cp = panas spesifik udara pada tekanan konstan Persamaan (2.16) dapat dipakai untuk menentukan temperatur gas, selama tidak ada pertukaran panas dengan lingkungannya. Konstanta bergantung pada tekanan dan temperatur awal dari gas dalam proses adiabatik. Misalnya, jika tekanan awal 1000 mb dan temperatur awal adalah , maka persamaan (2.16) menjadi:
atau : (2.17) Temperatur disebut temperatur potensial. Temperatur potensial dapat didefinisikan sebagai temperatur gas yang dimiliki jika gas dikompresi atau diekspansi secara adiabatik dari keadaan p dan T ke tekanan 1000 mb. Jelas bahwa temperatur potensial tidak berubah selama proses adiabatik, dikatakan besaran ini mempunyai sifat konservatif. Untuk
30
Mikrofisika Awan Dan Hujan
udara kering nilai K adalah:
2.3.
Bentuk Alternatif Persamaan Energi dan Entropi
Dalam pasal 2.1b, telah diturunkan persamaan energi (2.6) yang merupakan bentuk khusus hukum termodinamika pertama. Untuk gas ideal, persamaan (2.6) dan (2.7) menjadi: (2.18) Dengan menurunkan persamaan keadaan (p = RT), diperoleh: (2.19) sehingga persamaan (2.18) menjadi:
Dari persamaan (2.3), maka: (2.20) Persamaan (2.18) dan (2.20) adalah bentuk persamaan energi yang banyak dipakai dalam meteorologi. Hukum termodinamika kedua, menyatakan secara tidak langsung adanya peubah keadaan lain yang disebut entropi dan didefinisikan dengan persamaan: (2.21) Tinjau persamaan energi (2.20) dan substitusi volume spesifik dari persamaan keadaan, sehingga diperoleh:
Mikrofisika Awan Dan Hujan
31
Dibagi dengan temperatur T, menghasilkan: (2.22)
dq adalah diferensial eksak, artinya jika diintegrasi sepanjang lintasan R
tertutup, misalnya pada diagram (, –p), maka hasilnya nol untuk setiap lintasan tertutup yang dipilih, yaitu: (2.23)
dq T
Entropi spesifik (s) atau entropi d persatuan massa menghubungkan besaran dq dan T atau
.
Diferensial dq
menyatakan jumlah panas yang ditambahkan pada satuan massa gas dengan temperatur T. Entropi spesifik bertambah jika panas diserap oleh gas dan berkurang jika panas dipindahkan. Dalam proses adiabatik, tidak ada panas ditambahkan kepada atau diambil dari sistem, yaitu dq = 0, dan persamaan (2.21) menjadi : (2.24) artinya entropi spesifik (f) = konstan. Oleh karena itu proses adiabatik kadang-kadang disebut proses isentropik (entropi sama). Proses adiabatik kering adalah proses dimana tidak ada panas ditambahkan kepada atau dikurangi dari udara kering. Karena itu tidak ada perubahan entropi spesifik atau d = 0 dan karenanya disebut juga proses isentropik. Dengan memperlakukan udara kering sebagai campuran gas ideal, maka dapat ditentukan persamaan (2.17) untuk temperatur potensial (). Dapat ditunjukkan bahwa temperatur potensial udara kering konstan selama proses adiabatik kering. Menunjuk pada persamaan (2.17):
32
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Dengan mengambil logaritma natural, diperoleh: Dalam bentuk diferensial, menjadi: Kalikan dengan c menjadi: p
(2.25) (2.26) Dari persamaan (2.21) dan (2.22), menghasilkan: (2.27) Jadi perubahan entropi dikaitkan dengan perubahan temperatur potensial. Karena proses adiabatik kering adalah proses isentropik (d = 0), maka persamaan (2.27) menghasilkan: atau (2.28) Karena itu temperatur potensial udara kering adalah konstan selama proses adiabatik kering. Telah dibicarakan termodinamika udara kering, tetapi atmosfer mengandung uap air dan panas laten yang dilepaskan ketika terjadi perubahan keadaan (fasa). Proses fisis yang berkaitan dengan termodinamika udara basah akan dibicarakan pada subbab berikutnya. 2.4.
Persamaan Keadaan Udara Basah
Telah dibicarakan bahwa dalam kondisi atmosfer, udara kering dan uap air secara terpisah memenuhi persamaan keadaan gas ideal
Mikrofisika Awan Dan Hujan
33
(ideal) dengan cukup teliti. Karena itu dapat dimungkinkan untuk menentukan bentuk persamaan keadaan udara basah yang merupakan campuran antara udara kering dan uap air, sehingga: (2.29) dimana Rm adalah konstanta gas spesifik udara basah. Untuk mempelajari sifat campuran gas ideal, tinjau hukum Dalton sebagai berikut: Tekanan total yang dilakukan oleh campuran gas ideal sama dengan jumlah tekanan parsial yang masing-masing bekerja jika gas itu sendiri memenuhi seluruh volume pada temperatur campuran gas tersebut. Jadi untuk campuran gas yang terdiri dari n komponen, maka : (2.30) Keterangan : i : 1, 2, ..., n p : tekanan gas total pn : tekanan gas komponen ke–n Jika setiap gas secara terpisah mengikuti hukum gas ideal, yaitu :
maka tekanan gas komponen ke–n, adalah :
Keterangan : V : volume campuran gas ideal mn : massa komponen ke–n Mn : berat molekuler gas komponen ke–n , volume spesifik gas komponen ke–n 34
Mikrofisika Awan Dan Hujan
, konstanta gas spesifik komponen ke–n Dengan memakai hukum Dalton diperoleh: (2.31)
(2.32)
dengan
atau
Berat molekuler rata-rata untuk campuran gas ideal didefinisikan sebagai berikut :
atau (2.33) sehingga persamaan (2.32) menjadi : (2.34) Jadi campuran gas ideal mengikuti persamaan (2.34) yang analogi dengan hukum gas ideal untuk komponen tunggal. Hubungan konstanta gas spesifik udara basah (Rm) dan udara Mikrofisika Awan Dan Hujan
35
kering (Rd) dapat dijelaskan sebagai berikut: Misalkan m dan m adalah massa uap air dan massa udara kering dalam campuran gas, maka menurut persamaan (2.33) untuk dua jenis gas adalah: v
d
(2.35) dimana : M : berat molekuler rata-rata campuran gas (uap air dan udara kering) Md : berat molekuler udara kering Mv : berat molekuler uap air Diketahui bahwa :
Rv dan
R* Mv
(2.36)
R 1 maka: Dengan memasukkanRke persamaan (2.35), m d R d m v R v m d d* m v *v * 1 R R R M md m v md m v atau (2.37) Dengan membagi numerator (pembilang) dan denominator (penyebut)
36
Mikrofisika Awan Dan Hujan
pada sisi kanan persamaan (2.37) oleh md, diperoleh: Keterangan : Rm : konstanta gas spesifik udara basah Rv : konstanta gas spesifik uap air : perbandingan campuran
karena r << 1, maka pangkat 2 dan lebih tinggi dari r diabaikan, sehingga :
Jadi, konstanta gas spesifik udara basah adalah: (2.38) 2.5.
Peubah Kebasahan
Udara basah (moist air) adalah campuran udara kering dengan uap air. Ada beberapa cara untuk menyatakan kadar uap air, bergantung pada aplikasinya. Parameter dalam udara basah dinyatakan dalam besaran meteorologis tekanan uap, perbandingan campuran dan kelembapan. a. Tekanan uap Karena air menguap ke dalam udara kering, maka uap melakukan tekanan, sehingga didefinisikan, tekanan uap atau tekanan parsial uap air (e) adalah bagian tekanan atmosfer yang dilakukan oleh
Mikrofisika Awan Dan Hujan
37
uap air. Satuan praktis tekanan uap adalah milibar (mb), dimana 1 mb = -2 100 Nm = 1 hPa = 0,1 kPa. Tekanan uap parsial yang dilakukan oleh uap air dalam ruang di atas permukaan jenuh disebut tekanan uap jenuh (es). Tekanan uap jenuh selalu dinyatakan terhadap ruang di atas permukaan air datar, nilainya bertambah dengan kenaikan temperatur. Pada temperatur di bawah titik beku, tekanan uap jenuh di atas permukaan es datar (ei) lebih kecil dari pada di atas air kelewat dingin (es) pada temperatur yang sama (ei < es). b. Kelembapan mutlak Densitas uap air (rv) disebut kelembapan mutlak (absolute) yang dihubungkan dengan persamaan keadaan uap air sebagai berikut: atau (2.39) Keterangan : v : volume spesifik uap air Rv : konstanta gas spesifik uap air T : temperatur c. Perbandingan campuran Perbandingan campuran kelembapan (the humidity mixing ratio) udara basah biasanya disebut perbandingan campuran (r), yaitu perbandingan massa uap air (mv) yang ada terhadap massa udara kering (md) dalam sampel tersebut, diekspresikan sebagai:
38
Mikrofisika Awan Dan Hujan
(2.40) Jika V adalah volume sampel udara basah, maka: dimana v dan d adalah densitas uap air dan udara kering pada temperatur T dan tekanan p. Dari persamaan keadaan uap air dan udara kering : , dengan pd = p – e Keterangan : pd
: tekanan udara kering
p
: tekanan udara basah
ρv εe e Karena r tekanan uap (e) ~sangat ε kecil dibanding tekanan udara ρ pe p basah (p), maka: v ε
Rd Rv
287 J kg -1 K 1 461,5 J kg 1 K 1
0,622
(2.41)
dengan :
d. Kelembapan spesifik Mv ρv ρv e e q Kelembapan εperbandingan massa ~ ε uap air spesifik (q) adalah M ρ ρd ρ v p 1 ε e p dengan massa udara lembap. (2.42) Perbandingan campuran dan kelembapan spesifik jenuh
Mikrofisika Awan Dan Hujan
39
dinyatakan denganerss dan qs, dan didefinisikan oleh es persamaan (2.41)
r
ε
dan
q
ε
s dengan mengganti e oleh e , yaitu s dan (2.42) : s p
p (2.43)
Karena tekanan uap jenuh es fungsi dari temperatur, maka r dan s
q hanya fungsi dari temperatur dan tekanan, dan tidak bergantung pada s
kadar uap di udara. e. Kelembapan relatif Kelembapan relatif (relative humidity) adalah rasio perbandingan campuran dengan nilai jenuhnya pada temperatur dan tekanan yang sama: (2.44) Kelembapan relatif (RH) biasanya dinyatakan dalam persen. f. Temperatur virtual Tinjau dua sampel udara, satu basah dan yang lain kering pada temperatur (T) dan tekanan (p) yang sama. Dengan memakai persamaan keadaan udara basah dan udara kering secara terpisah, diperoleh: ,udara basah ρm
40
1 , udara kering ρ 1 0,61r d
Mikrofisika Awan Dan Hujan
dan dengan memakai persamaan (2.38), diperoleh: (2.45) Jadi densitas udara basah (m) lebih kecil daripada densitas udara kering (d). Tetapi, persamaan keadaan udara kering menunjukkan bahwa pada tekanan konstan densitas udara kering berkurang dengan kenaikan temperatur. Karena itu untuk setiap sampel udara basah pada tekanan dan temperatur tertentu, terdapat sebuah sampel udara kering yang mempunyai tekanan sama tetapi temperaturnya lebih tinggi, ini dikenal dengan temperatur virtual (Tv). Temperatur virtual sebuah sampel udara basah didefinisikan sebagai temperatur dimana udara kering pada tekanan total sama, akan mempunyai densitas yang sama seperti sampel udara basah. Dengan memakai persamaan keadaan udara basah dan udara kering, diperoleh: p = mRmTm dan p = dRdTv Karena dalam hal ini m = d, maka : RmT = RdTv (2.46) Jadi persamaan keadaan udara basah (2.29) dapat ditulis dalam bentuk : p = RdTv (2.47) Persamaan (2.47) menunjukkan definisi alternatif temperatur virtual yaitu temperatur yang akan dipunyai udara basah jika tekanan dan volume spesifiknya sama dengan yang dipunyai sampel udara kering. Mikrofisika Awan Dan Hujan
41
Hubungan pendekatan antara temperatur aktual dan temperatur virtual dapat diturunkan dari persamaan (2.38) dan (2.46), yaitu: T T(1 + 0,61r) (2.48) Karena perbandingan campuran tidak pernah mencapai atau -2 r < 4 x 10 ,maka beda antara temperatur aktual dan temperatur virtual biasanya kurang dari 1 K (satu kelvin). Dalam persamaan (2.48), r menyatakan jumlah kilogram uap air yang tercampur dalam satu kilogram udara kering. Pada diagram termodinamika, garis perbandingan campuran jenuh biasanya dinyatakan dalam gram uap air per kilogram udara kering. 2.6.Resumé Udara kering terdiri dari gas utama (nitrogen, oksigen, argon dan karbon dioksida) dan gas minor (neon, helium, ozon, kripton, dan lain-lain). Udara basah terdiri dari udara kering dan uap air. Udara natural terdiri dari udara basah dan aerosol. Udara basah ditentukan oleh kombinasi antara termodinamika udara kering dan uap air. Pengetahuan termodinamika udara basah dipakai untuk memahami proses-proses fisis yang terjadi di atmosfer. Dalam meteorologi udara kering dan uap air diperlakukan sebagai gas ideal. Panas spesifik pada volume dan tekanan konstan dapat ditulis:
Proses-proses khusus udara kering dapat dinyatakan dalam persamaan berikut: I. Proses isobarik : dp = 0
42
Mikrofisika Awan Dan Hujan
ii.
Proses isotermal : dT = 0 dq = p d = dw iii. Proses isosterik : d = 0 dq = cv dT = du iv. Proses adiabatik : dq = 0 cv dT = p datau cp dT = dp Proses adiabatik adalah proses khusus yang penting karena banyak perubahan temperatur yang terjadi di atmosfer dapat didekati sebagai adiabatik. Hukum termodinamika pertama menyatakan dua fakta empirik yaitu panas adalah bentuk energi disebut hukum Joule yang menyatakan tara kalor mekanik : 1 kal = 4,1868 J, dan energi adalah kekal yang dinyatakan oleh bentuk aljabar dalam satuan massa; panas yang ditambahkan pada sistem (dq) dipakai untuk meningkatkan energi internal (du) dan kerja yang dilakukan sistem (dw) atau dq = du + dw. Hukum termodinamika pertama kadang-kadang disebut persamaan energi. Hukum termodinamika kedua menyatakan adanya peubah (variable) keadaan lain yang disebut entropi (s), didefinisikan oleh ekspresi:
, dimana d adalah penambahan entropi spesifik
(entropi per satuan massa), dan T adalah temperatur. Jika udara kering dianggap sebagai campuran gas ideal, maka persamaan keadaannya adalah p = RdT, dimana p adalah tekanan, adalah volume spesifik (volume per satuan massa), Rd adalah konstanta gas spesifik udara kering, dan T adalah temperatur. Sedangkan persamaan keadaan udara basah adalah p = RmT dengan Rm = Rd (1 + 0,61r), dimana Rm adalah konstanta gas spesifik udara basah, dan r Mikrofisika Awan Dan Hujan
43
Bab 3 Proses Fisis Uap Air
Meskipun uap air (H2O) kadarnya sangat kecil di atmosfer, tetapi gas ini sangat penting dalam proses cuaca, karena uap air mempunyai sifat dapat berubah fasa (wujud) menjadi fasa cair disebut kondensasi dan sebaliknya disebut evaporasi atau menjadi fasa padat (es) disebut deposisi dan sebaliknya disebut sublimasi. Perubahan fasa yang lain misalnya dari fasa cair menjadi fasa padat (es) disebut pembekuan dan sebaliknya disebut peleburan. Atmosfer mengandung udara kering, uap air dalam ketiga fasanya, dan aerosol, disebut udara natural. Jumlah uap air di udara bergantung pada tempat dan waktu. Di atas gurun Sahara kadar uap air sangat kecil, sedangkan benua maritim Indonesia sering disebut daerah ekuatorial lembap. Udara lembap adalah campuran dari udara kering dan uap air. Dalam mikrofisika awan dan hujan, uap air sangat penting dengan beberapa alasan. Pertama, uap air dapat menjadi partikel awan melalui kondensasi, dan partikel awan dapat menjadi tetes hujan melalui mekanisme benturan – tangkapan (awan tetes) atau menjadi kristal es melalui difusi tetes kelewat dingin ke kristal es (awan es). Kedua, uap air dapat menyerap radiasi gelombang pendek matahari maupun radiasi gelombang panjang bumi. Ketiga, uap air mengandung panas laten Mikrofisika Awan Dan Hujan
45
(terselubung) yang dapat dilepaskan menjadi energi ketika uap air mengondensasi. Panas laten ini merupakan sumber energi gangguan atmosfer. Keempat, uap air dapat mempengaruhi kecepatan evaporasi (penguapan) dan evapotranspirasi. Kelima, uap air di atmosfer dapat berubah fasa. Keenam, kadar uap air dan distribusi vertikalnya mempengaruhi kestabilan atmosfer.
3.1. Persamaan Clausius - Clapeyron Uap air di atmosfer secara pendekatan mempunyai kelakuan seperti gas ideal. Persamaan keadaannya adalah: e ρv R v T atau eα v R v T (3.1) Keterangan: e v v Rv
: : : :
tekanan uap densitas uap air volume spesifik (per satuan massa) uap air konstanta gas individu untuk uap air = 0,4615 J g-1 K-1 = 461,5 J kg-1 K-1
Persamaan (3.1) kadang-kadang ditulis sebagai: e ρv
Rd T ε
(3.2)
dimana: Rd : konstanta gas individu untuk udara kering = 0,287 J g-1 K-1 = 287 J kg-1 K-1 Rd ε 0,622 Rv
46
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Uap air mempunyai panas spesifik pada tekanan konstan (cpv) = 1,81 J g-1 K-1 = 1810 J kg-1 K-1 dan pada volume konstan (cvv) = 1,35 J g-1 K-1 = -1 -1 1350 J kg K . Tinjau sebuah container (kotak) yang tertutup dan terisolasi terhadap panas, diisi sebagian dengan air. Molekul-molekul lapisan permukaan air berada dalam agitasi (gerakan tak teratur) dan sebagian melepaskan diri sebagai molekul-molekul uap air. Sebaliknya beberapa molekul uap bertumbukan dengan permukaan dan menempel. Karena itu kondensasi dan evaporasi terjadi secara simultan (bersamaan), lihat gambar 3.1.
A Gambar 3.1. Uap air dalam keseimbangan dengan permukaan cair.
Pada temperatur tertentu, kondisi keseimbangan akan tercapai jika dua proses mempunyai kecepatan yang sama. Kemudian temperatur udara dan uap sama dengan temperatur cair dan tidak ada transfer neto molekul-molekul dari fasa satu ke fasa lain. Ruang di atas cairan (liquid) kemudian disebut jenuh dengan uap air. Dalam keadaan demikian, tekanan parsial uap air disebut tekanan uap jenuh yang hanya bergantung pada temperatur. Jika L adalah panas yang diperlukan untuk mengubah satu satuan massa cair ke uap dengan tekanan dan temperatur dipegang tetap (disebut panas laten penguapan), maka untuk transisi dari fasa 1 (cair) ke fasa 2 (uap) diperoleh persamaan: q2
L
dq
u2
q1
Mikrofisika Awan Dan Hujan
du
u1
α2
pdα
u 2 u1 es α 2 α1 (3.3)
α1
47
dimana es menunjukkan tekanan uap jenuh yang konstan selama proses berlangsung. Karena temperatur juga konstan maka : q2
q2
φ
2 dq (3.4) L dq T T dφ T φ 2 φ1 T q1 q1 φ1 dq dimana: d T adalah penambahan entropi spesifik yang menyertai
penambahan panas dq untuk satu satuan massa gas pada temperatur T. Dengan menyamakan persamaan (3.3) dan (3.4), diperoleh: u 2 u1 es α 2 es α1 T2 T1 atau u1 es α1 T1
u 2 e s α 2 T2
(3.5)
Persamaan (3.5) menunjukkan bahwa kombinasi variabel termodinamika dalam perubahan fasa isotermal dan isobarik adalah konstan. Kombinasi variabel termodinamika ini disebut fungsi Gibbs sistem dan diberi notasi G, jadi untuk fasa 1 diperoleh: G1
u1 es α1 T1
(3.6)
dan persamaan (3.5) dapat ditulis sebagai: G1
G2
G u e s α T
Meskipun besaran G konstan dalam transisi fasa, tetapi fungsi Gibbs berubah dengan temperatur dan tekanan, dan ketergantungannya pada variabel-variabel ini dapat ditentukan dengan bentuk diferensial: dG du es dα α des Td dT
48
(3.7)
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Tetapi, dari hukum termodinamika pertama: du + pd = dq, dan untuk uap air menjadi, du + es d = dq = Td, sehingga persamaan (3.7) dapat direduksi menjadi: dG du es dα α des Td dT Td
dG α des dT
(3.8)
Karena fungsi Gibbs G sama untuk kedua fasa maka, dG1 = dG2 dan persamaan (3.8) menjadi : α1 des 1 dT α 2 des 2 dT atau des α 2 α1
dT 2 1
atau des dT
2 1 α 2 α1
dari persamaan (3.4): 2 1 des dt
L T α 2 α1
L T (3.9)
Persamaan (3.9) menyatakan perubahan tekanan uap jenuh terhadap temperatur dan disebut persamaan Clausius–Clapeyron (Clapeyron, 1834 and Clausius, 1850). Dalam keadaan atmosfer biasa (ordiner) maka 2 >> 1, dan uap air berkelakuan sebagai gas ideal, sehingga persamaan (3.9) dapat direduksi menjadi: (3.10)
Mikrofisika Awan Dan Hujan
49
dengan memasukkan persamaan keadaan uap air, untuk sublimasi, maka L harus diganti oleh Ls. Keterangan : L : panas laten penguapan Ls : panas laten sublimasi 2 : volume spesifik uap air es : tekanan uap jenuh Rv : konstanta gas uap air 0
Pada temperatur lebih dingin 0 C, persamaan (3.10) menggambarkan tekanan uap jenuh dari air cair kelewat dingin. Es juga dapat berada dalam keseimbangan dengan uap pada temperatur di bawah 0 0 C (temperatur beku). Perubahan tekanan uap jenuh es terhadap temperatur diberikan oleh persamaan Clausius – Clapeyron (3.10), dengan L diganti oleh Ls yaitu panas laten sublimasi. Pada temperatur lebih panas 0 0C, hanya air cair yang berada dalam keseimbangan dengan uap air.
3.2. Aplikasi Persamaan Clausius – Clapeyron Sebagai pendekatan pertama, persamaan Clausius–Clapeyron dapat diintegrasi dengan meninjau panas laten konstan; Dari persamaan (3.10):
Bila diintegrasi dari temperatur T0 = 0 0C = 273 K sampai pada temperatur T : e s T
e s0
50
des es
L Rv
T
dT
T
2
T0
Mikrofisika Awan Dan Hujan
atau n
es T es0
L Rv
1 1 T0 T
(3.11)
dengan es0 adalah tekanan uap jenuh pada temperatur T0, yaitu sebuah konstanta yang harus ditentukan melalui eksperimen. Diperoleh bahwa 0 es0 = 611 Pa = 6,11 mb pada T0 = 0 C. Panas laten penguapan pada 0 6 temperatur sekitar 0 C mendekati 2,50 x 10 J/kg. Dengan memasukkan nilai-nilai ini kedalam persamaan (3.11) diperoleh persamaan Clausius – Clapeyron pendekatan tekanan uap jenuh di atas air sebagai berikut: A eB T
es T
(3.12)
dengan A = 2,53 x 108 kPa dan B = 5,42 x 103 K. Panas laten penguapan sedikit bergantung pada temperatur dan 0 0 bervariasi sekitar 6% pada jangka temperatur dari – 30 C sampai + 30 C. Ketergantungan temperatur dapat dinyatakan dari persamaan (3.3) yaitu: L u 2 u1 es α 2 α1 dengan menganggap 2 >> 1 dan es 2 = Rv T, dimana 2 = v : volume spesifik uap air, maka: L u 2 u1 e s α 2 u 2 u1 R v T Jika dideferensiasi terhadap T, menghasilkan: dL dT
du 2 du1 Rv dT dT
dL dT
c vv c R v
atau
Mikrofisika Awan Dan Hujan
c pv c
(3.13)
51
Keterangan: c vv
du 2 dT
: kapasitas panas spesifik uap air pada volume konstan.
du1 dT
c
: kapasitas panas spesifik air cair
dan c pv
c vv R v : panas spesifik uap air pada tekanan konstan.
Dengan menganggap panas spesifik sebagai konstanta, maka persamaan (3.13) dapat diintegrasi : L
c
dL
L0
L L0
T
pv
c dT T0
c pv c T T0
atau LT
L 0 c c pv T T0
(3.14)
dengan L0 = L(T0) adalah konstanta integrasi. Kapasitas panas spesifik bergantung pada temperatur dan tekanan, meskipun sangat kecil. Pada tekanan uap jenuh, misalnya, panas spesifik pada tekanan konstan cpv bertambah dengan meningkatnya 0 temperatur, sekitar 2% lebih besar pada temperatur 30 C dibandingkan pada –30 0C. Untuk banyak tujuan, variasi ini dapat diabaikan dan nilai cpv=1870 J kg-1 K-1, secara pendekatan panas spesifik pada volume -1 -1 -1 konstan cvv = 1410 J kg K . Untuk air cair, panas spesifik sekitar 1 kal g K-1 = 4187 J kg-1 K-1 pada temperatur lebih panas 0 0C dengan variasi 1%, tetapi jika temperatur di bawah 0 0C, besaran ini perlahan-lahan naik 0 sampai suatu nilai sekitar 8% lebih besar pada – 30 C. 52
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Sebagai pendekatan pertama untuk tekanan uap jenuh di atas es (ei) dipakai persamaan Clausius – Clapeyron (3.12), dengan konstanta 9 3 A = 3,41 x 10 k Pa dan B = 6,13 x 10 K. Pendekatan ini diperoleh dari penggantian panas laten penguapan L (dalam persamaan 3.11) dengan Ls yaitu panas laten sublimasi. Dengan memakai Ls = 2,83 x 106 J kg-1 dan 0 0 ei pada 0 C = 611 Pa. Eksperimen menunjukkan bahwa es ~ ei pada 0 C, lihat tabel 3.1. Dengan membandingkan persamaan (3.11) untuk tekanan uap jenuh di atas air (es) dan di atas es (ei) menunjukkan bahwa pada temperatur di bawah titik beku: L T es T exp f 0 1 ei T R v T0 T
(3.15)
dimana Lf = Ls – L adalah panas laten peleburan (fusi) air. Secara 0 numerik, pendekatan persamaan (3.15) disekitar 0 C, adalah es T 273 ~ ei T T
Mikrofisika Awan Dan Hujan
2,66
T dalam K, dan T0 0 0 C (3.16)
53
Tabel 3.1. Tekanan uap jenuh di atas air dan di atas es serta panas laten *) kondensasi (L) dan sublimasi (Ls). T (0C)
es (Pa)
ei (Pa)
L (J/g)
Ls (J/g)
– 40 – 35 – 30 – 25 – 20 – 15 – 10 –5 0 5 10 15 20 25 30 35 40
19,05 31,54 51,06 80,90 125,63 191,44 286,57 421,84 611,21 872,47 1227,94 1705,32 2338,54 3168,74 5245,20 5626,45 7381,27
12,85 22,36 38,02 63,30 103,28 165,32 259,92 401,78 611,15
2603
2839
2575
2839
2549
2838
2525
2837
2501 2489 2477 2466 2453 2442 2430 2418 2406
2834
*) Sumber: Rogers and Yau (1989)
Persamaan (3.16) menunjukkan bahwa tekanan uap jenuh di atas air (es) lebih besar daripada tekanan uap jenuh di atas es (ei) untuk semua temperatur di bawah 273 K dan bahwa rasio es/ei terus naik jika temperatur berkurang. Atmosfer yang jenuh terhadap air adalah juga kelewat jenuh relatif terhadap es, dan derajat kejenuhan bertambah dengan kelewat dingin. Bolton 1980 (dalam Rogers and Yau, 1989) menunjukkan bahwa data yang ditabelkan pada es (T) untuk air mempunyai ketelitian 0,1% 54
Mikrofisika Awan Dan Hujan
pada jangka temperatur – 30 0C < T < 35 0C, dengan formula empiris berikut: 17,67 T es T 6,112 exp T 243,5 0 dimana es dalam mb dan T dalam C.
(3.17)
3.3. Kejenuhan Udara Basah Ada beberapa proses udara basah dapat mencapai kejenuhan (saturation). Proses-proses ini misalnya dengan memasukan temperatur baru yang merefleksikan kadar air di udara, seperti : temperatur titik embun, temperatur bola basah, dan temperatur kondensasi isentropik. a. Temperatur titik embun Temperatur titik embun Td, didefinisikan sebagai temperatur dimana udara basah harus didinginkan pada tekanan dan perbandingan campuran konstan sehingga menjadi jenuh terhadap air. Temperatur titik beku (the frost point temperature) Tf, didefinisikan serupa, agar udara menjadi jenuh relatif terhadap es. Jelas bahwa perbandingan campuran pada temperatur titik embun sama dengan perbandingan campuran udara basah: rs (p, Td) = r. Pendekatan analitik dari temperatur titik embun Td adalah: Td Td r, p
B n Aε rp
(3.18)
Dianggap bahwa tidak ada uap air yang masuk maupun yang meninggalkan udara basah, sehingga perbandingan campurannya r konstan. Jika udara basah didinginkan secara isobarik (tekanan konstan) maka suatu temperatur dimana udara menjadi jenuh akan tercapai, disebut temperatur titik embun atau secara sederhana disebut titik embun (Td). Mikrofisika Awan Dan Hujan
55
Kondensasi akan terjadi jika temperatur udara basah turun di bawah titik embun. Secara grafik titik embun dilukiskan oleh tephigram pada gambar 0 3.2. Pada gambar ini, ditunjukkan sampel udara pada temperatur 10 C, tekanan 900 mb, dan dianggap mempunyai perbandingan campuran 5 g/kg. Titik embun (Td) diperoleh dari perpotongan isobar 900 mb dengan 0 garis uap 5 g/kg, hasilnya Td = 2,2 C. Temperatur kondensasi isentropik diperoleh dari perpotongan adiabat melalui (T, p) dengan garis uap 5 g/kg, hasilnya Tc = 0,7 0C dan pc ~ 800 mb.
Gambar 3.2. Tephigram untuk mencari temperatur titik embun (Td) dan temperatur kondensasi isentropik (Tc).
b. Temperatur bola basah Temperatur sampel udara basah dapat didinginkan pada tekanan konstan melalui penguapan air atau sublimasi es. Dalam hal ini perbandingan campuran (r) udara meningkat. Panas laten untuk perubahan fasa cair atau padat (es) menjadi uap air diberikan oleh udara itu sendiri. 56
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Akibatnya, udara basah menjadi dingin pada suatu temperatur dimana udara menjadi jenuh, disebut temperatur bola basah (Tw) Temperatur bola basah Tw, didefinisikan sebagai temperatur dimana udara dapat didinginkan melalui penguapan air pada tekanan konstan sampai tercapai kejenuhan (catatan : r tidak dipegang konstan, sehingga Td Tw pada umumnya). Tinjau sampel udara basah yang terdiri dari 1 kg udara kering dan r kg uap air, maka penambahan (perubahan) panasnya adalah : 1 r dq c v dT r c vv dT Keterangan : cp : panas spesifik udara kering tekanan konstan = 1005 J kg-1 K-1 cv : panas spesifik udara kering pada volume konstan = 718 J kg-1 K-1 -1 -1 cvv : panas spesifik uap air pada volume konstan = 1410 J kg K dq dT
c v r c vv 1 r
c 1 r vv cv cv 1 r
c 1 1,96 r v 1 r
Panas spesifik pada volume konstan untuk udara basah (moist air) adalah : dq c vm ~ c v 1 r , karena : dq c vm dT dT c vv 1410 J kg 1 K 1 1,96 dengan memasukkan nilai cv 718 J kg 1 K 1 Dan panas spesifik udara basah pada tekanan konstan adalah: c pm
c p 1 0,9r
Mikrofisika Awan Dan Hujan
(3.19)
57
Dalam proses isobarik (tekanan tetap), maka hukum termodinamika untuk sampel udara basah adalah: (3.20)
dq c pm dT c p dT 1 0,9r
Berkaitan dengan massa penguapan air (dr) maka terjadi kehilangan panas sebesar : 1 r dq Ldr atau
Ldr 1 r Dari persamaan (3.20), diperoleh : dq Ldr c p dT 1 r 1 0,9r 1 0,9r atau c p dT ~ Ldr 1 1,9r dq
faktor koreksi (1,9r) sering diabaikan terhadap 1, sehingga c p dT Ldr
(3.21)
Dengan menganggap L konstan terhadap temperatur maka persamaan (3.21) dapat diintegrasi: Tw
dT
r
T
Tw T
L s dr c p r
atau T Tw rs p, T r
58
L rs r cp L cp
(3.22)
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Dengan menggabung persamaan rs (p, T) dan persamaan Clausius – Clapeyron untuk es (T) dan dengan pendekatan persanmaan (3.12) untuk es (T) diperoleh Tw sebagai berikut: Tw
T
L cp
B ε A e Tw r p
(3.23) 8
yang dapat dipecahkan dengan iterasi. Konstanta A = 2,53 x 10 k Pa dan B = 5,42 x 103 K. c. Temperatur ekivalen Proses isobarik lain dalam udara basah terjadi ketika uap airnya mengondensasi pada tekanan tetap. Dalam kasus ini, panas laten yang dilepaskan selama kondensasi uap air dipakai untuk memanasi udara. Temperatur yang tercapai ketika semua uap air dalam sampel udara telah mengondensasi disebut temperatur ekivalen. Secara praktis tidak ada mekanisme dalam atmosfer yang mencapai pada temperatur ekivalen. Tetapi dimungkinkan menentukan temperatur ekivalen pseudo (Tse) dari diagram skew T - np atau tephigram yang secara pendekatan Tse sama dengan temperatur ekivalen (Te). Temperatur ekivalen didefinisikan sebagai temperatur sampel udara basah yang akan tercapai jika semua kebasahan (moisture) dikondensasikan pada tekanan konstan. Ekspresi Te berasal dari persamaan (3.22) jika diambil rs ~ 0 (perbandingan campuran akhir) dan Tw = Te, jadi: Te
T
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Lr cp
(3.24)
59
d. Temperatur kondensasi isentropik Temperatur kondensasi isentropik (Tc) didefinisikan sebagai temperatur dimana kejenuhan tercapai bila udara basah didinginkan secara adiabatik dengan perbandingan campuran r dipegang konstan. Pendekatan analitik untuk Tc yang harus dipecahkan dengan iterasi, adalah: 1
Aε T k 0 Te B n (3.25) rp 0 Tc Persamaan ini diperoleh dengan mengambil Tc = Td (r,pc) dan oleh substitusi persamaan (3.18) untuk Td kedalam persamaan adiabatik k T p T0 p 0 , dan ditulis dalam bentuk : Tc T0
p c p0
k
(3.26)
Sebenarnya, hal itu tidak jelas bahwa kondensasi akan terjadi bila ekspansi berlanjut di luar titik kejenuhan. Temperatur kondensasi isentropik (Tc) dapat dimengerti dengan bantuan peta termodinamik. Udara mula-mula mempunyai koordinat (T, p) dengan perbandingan campuran r. Kemudian didinginkan secara adiabatik sampai adiabatnya memotong garis uap yang didefinisikan oleh rs = r. Tekanan pada interseksi (perpotongan) ini disebut tekanan kondensasi isentropik (pc) dan temperaturnya Tc, lihat gambar 3.2. untuk acuan.
3.4. Proses Pseudoadiabatik Jika ekspansi udara terus berlanjut setelah titik kondensasi isentropik dicapai, maka kondensasi juga tercapai dan panas laten 60
Mikrofisika Awan Dan Hujan
kondensasi yang dilepaskan cenderung memanasi udara. Akibatnya susut temperatur (penurunan temperatur terhadap ketinggian) akan lebih lambat setelah kondensasi ketimbang ketika sebelum terjadi kondensasi. Dalam proses pseudoadiabatik dianggap air kondensasi (condensate) segera menjadi tetes presipitasi (tetes hujan atau kristal es). Hal ini merupakan kasus yang paling sederhana, karena kadar panas laten kondensasi diabaikan dalam menghitung perubahan temperatur udara. Dimungkinkan menurunkan ekspresi proses pseudoadiabatik udara jenuh. Tinjau sebuah sampel udara jenuh yang terdiri dari 1 kg udara kering dan rs kg uap air. Keadaan awal sampel udara jenuh ini mempunyai tekanan p, temperatur T dan jumlah uap air rs. Misalkan sampel berekspansi dan menjadi dingin di bawah kondisi pseudoadiabatik. Produk-produk kondensasi jatuh keluar dari udara segera setelah terbentuk, sehingga keadaan barunya menjadi p + dp, T + dT, dan rs + drs. Dengan demikian perubahan tekanannya sebesar dp, temperaturnya dT yang sesuai dengan perubahan kadar airnya drs, dimana dp, dT dan drs semuanya negatif. Kondensasi dari – drs kg uap air akan melepaskan panas laten sebesar – Ldrs dan dianggap bahwa panas ini dipakai untuk memanasi udara basah. Karena rs < 1, maka jumlah panas yang diserap oleh uap air yang tersisa adalah kecil dibandingkan dengan yang diperoleh udara kering. Karena itu dianggap bahwa semua panas laten yang dilepaskan akan diserap oleh 1 kg udara kering yang melakukan tekanan parsial pd = p – es, dimana p adalah tekanan udara basah dan es adalah tekanan uap jenuh. Dengan memakai hukum termodinamika pertama, diperoleh hubungan pendekatan dari persamaan (2.20) sebagai berikut: Mikrofisika Awan Dan Hujan
61
(3.27) Persamaan (3.27) dapat disederhanakan dengan mengabaikan es terhadap p. Dan jika dibagi dengan T, diperoleh: (3.28) atau (3.29) Persamaan (3.28) merupakan basis pseudoadiabat (kurva pseudoadiabatik) pada peta termodinamika. Dengan memakai persamaan (2.26) untuk udara kering, diperoleh: dr L s c p d n θ (3.30) T Karena drs negatif (kondensasi) selama ekspansi, maka temperatur potensial () tidak tetap, melainkan menjadi panas, akibat pelepasan panas laten. Untuk kondensasi yang terjadi selama proses pseudoadiabatik maka temperatur aktual (T) sampel terus turun, tetapi kecepatan penurunan temperatur dengan ketinggian tempat (susut temperatur) lebih kecil dibandingkan dengan udara tak jenuh. Selama kenaikan sampel udara, biasanya dapat dibenarkan untuk mengabaikan perbedaan kecil antara proses adiabatik jenuh dan pseudoadiabatik. Dengan memakai diagram aerologi (tephigram atau skew T - n p) dianggap bahwa kecepatan menjadi dingin (penurunan temperatur) parsel udara jenuh yang naik dalam proses pseudoadiabatik pada dasarnya sama dengan kecepatan pendinginan dalam proses adiabatik jenuh yang sebenarnya. 62
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Gambar 3.3, menunjukkan proses ekspansi pseudoadiabatik. Dalam ekspansi adiabatik, temperatur berkurang sepanjang adiabatik kering sampai titik kondensasi isentropik P tercapai. Ekspansi selanjutnya dibarengi dengan pelepasan panas laten dan temperatur mengikuti kurva pseudoadiabatik dari P.
Gambar 3.3. Ekspansi sampel udara lanjutan (gambar 3.2) di luar titik kondensasi isentropik P. Garis titik-titik adalah pseudoadiabat melalui P. Diagram ini menunjukkan penentuan beberapa temperatur teoritis penting (Tsw, w, dan sebagainya) yang mencirikan sampel udara.
Beberapa tambahan temperatur khusus yang dapat didefinisikan oleh diagram termodinamika adalah : a. Temperatur basah adiabatik Tsw diperoleh dengan mengikuti pseudoadiabat dari titik P ke bawah ke tekanan mula-mula. Hasilnya mempunyai ketelitian sekitar 0,5 0C dari temperatur bola basah yang dihitung dengan persamaan (3.22), lihat gambar 3.3. Mikrofisika Awan Dan Hujan
63
b. Temperatur potensial bola basah w didefinisikan sebagai perpotongan kurva pseudoadiabatik melalui P dengan isobar p = 1000 mb, lihat gambar 3.2. c. Temperatur eqivalen Te (definisi adiabatik) diperoleh dengan mengikuti pseudoadiabat ke atas dari titik P ke tekanan yang sangat rendah, jadi semua uap air mengondensasi, kemudian kembali ke tekanan semula sepanjang adiabatik kering. Temperatur ini dengan mengintegrasi persamaan (3.28) dari temperatur mula T ke temperatur final Te, dan dapat didekati oleh persamaan berikut: Te
Lr T exp s c p Tc
(3.31)
d. Temperatur potensial ekivalen e, didefinisikan sebagai temperatur parsel udara yang akan dimiliki jika diambil dari temperatur ekivalennya ketekanan 1000 mb dalam proses adiabatik, lihat gambar 3.3. Formula semi empiris dengan ketelitian 0,5 K adalah: e
64
2675r exp Tc
(3.32)
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Gambar 3.4. Tephigram yang memuat pseudoadiabat dan garis uap.
Ada hubungan satu-satu antara e dan w , keduanya ditentukan oleh proses pseudoadiabatik yang mencirikan sampel udara baik konservatif (kekal) dalam proses adiabatik kering atau proses pseudoadiabatik. Mikrofisika Awan Dan Hujan
65
Gambar 3.4, menunjukkan Tephigram dengan pseudoadiabat dan garis uap. Pseudoadiabat adalah garis dengan w konstan dan dinyatakan dalam 0C pada posisi antara 500 – 600 mb. Garis uap adalah garis-garis dengan rs konstan dan dinyatakan dalam g/kg. Dalam proses pseudoadiabatik fasa terkondensasi tidak ditinjau untuk menghitung perubahan temperatur udara. Jumlah bahan terkondensasi ini dapat ditentukan sebagai berikut. Misalnya udara pada titik kondensasi isentropik terdiri dari 1 kg udara kering dan rs kg uap air. Ketika udara ini berekspansi secara pseudoadiabatik, maka perbandingan campuran jenuh rs berkurang sejumlah drs. Jika udara tetap berada dalam keadaan jenuh, maka jumlah air yang sama harus dikondensasikan yaitu sebesar dX, jadi berlaku: dX d rs
(3.33)
Persamaan (3.33) menyatakan hubungan antara perbandingan campuran jenuh dan jumlah bahan yang terkondensasi.
3.5. Proses Adiabatik Udara Jenuh Jika udara jenuh berekspansi secara adiabatik, maka uap air akan mengondensasi menjadi air cair atau es karena temperaturnya turun. Proses kondensasi ini akan melepaskan panas laten yang akan memberikan sebagian energi untuk melakukan ekspansi. Akibatnya kecepatan penurunan temperatur dengan penurunan tekanan (kenaikan ketinggian) lebih kecil dari pada dalam ekspansi adiabatik kering. Dalam kasus ekspansi adiabatik kering, seluruh energi yang dipakai untuk kerja ekspansi berasal dari energi internal gas. Untuk sistem secara keseluruhan proses tersebut adalah adiabatik. Tetapi, hal itu tidak adiabatik untuk unsur-unsur individu 66
Mikrofisika Awan Dan Hujan
(udara kering, uap air dan produk kondensasi) yang membentuk sistem. Ada beberapa kemungkinan dalam mendefinisikan proses fisis ini, tetapi hanya akan ditinjau dua kasus ekstrim di atmosfer, yaitu: a. Proses terbalikan (reversible process) dimana semua produk-produk kondensasi (tetes air atau kristal es) tersimpan dalam sampel udara. b. Proses tak terbalikan (irreversible process) dimana produk-produk kondensasi jatuh keluar dari sampel udara segera setelah partikel presipitasi tersebut terbentuk. Situasi dalam atmosfer nyata (riil) sering terletak antara kedua kasus ekstrim tersebut. Beberapa produk kondensasi dapat jatuh keluar, sedang yang lain tetap mengapung sebagai partikel-partikel awan dalam udara. Untungnya perbandingan campuran udara adalah kecil dan produk-produk kondensasi yang jatuh keluar tidak banyak membawa panas, sehingga kehilangan panas juga kecil. a. Proses terbalikan Jika semua produk-produk kondensasi (tetes air dan kristal es) tetap mengapung di dalam udara, maka sampel udara selalu terdiri dari material yang sama. Karena itu transformasi sampel udara adalah reversible (terbalikan). Panas laten kondensasi yang dilepaskan akan memanasi uap air dan produk-produk kondensasi dari sampel udara. Proses demikian adalah adiabatik dalam pengertian tidak ada panas ditambahkan dari luar, meskipun panas laten tampak sebagian panas terasa (sensible) di dalam sampel udara. Kasus ini disebut proses adiabatik basah atau proses adiabatik jenuh. Mikrofisika Awan Dan Hujan
67
Dalam proses adiabatik jenuh terbalikan, air terkondensasi berada bersama udara dan kapasitas panasnya diperhitungkan. Dari persamaan (3.33), rasio campuran air total Q didefinisikan sebagai: Q rs X (3.34) adalah kekal dalam parsel udara jenuh. X adalah perbandingan campuran air cair adiabatik. Dengan asumsi bahwa parsel udara adalah sistem termodinamika tertutup, maka perubahan temperatur akan terbalikan, adiabatik dan isentropik. Entropi spesifik udara berawan diberikan oleh ekspansi berikut: d rs v X w
(3.35)
Keterangan: d, v, w : entropi spesifik udara kering, uap, dan cair. Dari persamaan (3.4): L T 2 1 atau L T v w , L maka v w dan persamaan (3.35) dapat ditulis sebagai: T L (3.36) d w Q rs T Karena itu dalam proses isentropik ( : konstan), maka Lr d 0 d d d w Q d s (3.37) T tetapi dd c p d n T R d d n p d dan dw
c w d n T
Keterangan: cw : panas spesifik air cair Q = x + rs : rasio campuran air total -1 -1 Rd = 287 J kg K : konstanta gas individu untuk udara kering. 68
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Sehingga:
c
p
Lr Q c w d n T R d d n p d d s 0 T
(3.38)
Beda utama antara persamaan (3.38) dan (3.28) adalah bahwa panas laten yang diserap oleh zat (bahan) air diperhitungkan dalam proses adiabatik jenuh terbalikan. Integrasi persamaan (3.38) memberikan: rs L exp konstan R T c p c w Q pd d cw Q cp T
(3.39)
b. Proses tak terbalikan Dalam proses tak terbalikan produk-produk kondensasi jatuh keluar dari sampel udara segera setelah terbentuk. Jadi perubahan massa dan komposisi sampel udara serta transformasi adalah tidak terbalikan. Tinjau sebuah sampel udara jenuh yang mula-mula naik dan berekspansi akibat penurunan tekanan udara lingkungan. Panas laten akan dilepaskan karena produk-produk kondensasi terbentuk dan jatuh keluar. Kasus ini mengurangi kecepatan pendinginan sampai suatu nilai yang lebih kecil dari pada susut temperatur (lapse rate) adiabatik kering. Karena itu sampel menjadi dingin dari pada susut temperatur adiabatik jenuh yang sesuai. Misalkan arah gerak sekarang berubah kebawah dan sampel udara mulai turun. Karena sampel turun ke paras yang lebih bawah dimana tekanannya lebih besar maka sampel akan dikompresi. Energi internal partikel akan meningkat dan temperatur akan naik. Pemanasan ini tidak dapat diubah kembali menjadi panas laten, karena air (atau es) tidak lama Mikrofisika Awan Dan Hujan
69
lagi akan menguap. Jadi sampel udara akan meningkat temperaturnya pada susut temperatur adiabatik kering ketika sampel udara turun. Karena itu, perubahan dimana sampel udara menjadi dingin pada susut temperatur adiabatik jenuh ketika udara naik, tetapi menjadi panas pada susut temperatur adiabatik kering ketika udara turun adalah tidak terbalikkan. Sampel tidak dapat kembali pada keadaan asalnya tanpa perubahan-perubahan pada lingkungannya. Karena air (atau es) yang mengondensasi jatuh keluar akan membawa panas, maka proses ini tidak benar-benar adiabatik. Hal ini dinyatakan sebagai proses pseudo adiabatik. Pada waktu sampel mengalami penurunan, maka panas laten yang dilepaskan selama dalam proses akan dipakai untuk memanasi udara kering dan uap air yang tersisa, tetapi tidak memanasi produkproduk kondensasi. Akan ditinjau kemudian bahwa garis adiabatik jenuh pada diagram skew T – n p menyatakan perubahan temperatur dalam sampel udara jenuh yang naik secara pseudoadiabatik. Dianggap bahwa semua uap air dikondensasikan menjadi air cair dan diendapkan (jatuh) segera setelah terbentuk. Dalam hal ini, garis adiabatik jenuh pada diagram aerologi kadang-kadang dinyatakan sebagai garis pseudoadiabatik. Tetapi dalam praktek, perbandingan campuran udara adalah kecil dan air kondensasi yang jatuh keluar tidak sanggup membawa banyak panas.
3.6. Resumé Perubahan fasa uap air memainkan peranan penting dalam mikrofisika awan dan hujan. Udara basah (udara kering dan uap air) mengalami pendinginan sampai di bawah temperatur titik embunnya 70
Mikrofisika Awan Dan Hujan
melalui ekspansi adiabatik udara yang naik, pendinginan radiatif dan percampuran udara yang berbeda sifat fisisnya (temperatur dan kelembapan). Perubahan tekanan uap jenuh terhadap temperatur dinyatakan oleh persamaan Clausius–Clapeyron. Persamaan Clausius–Clapeyron dapat diaplikasikan secara pendekatan pada tekanan uap jenuh di atas air (es) dan di atas es (ei) dengan menyesuaikan konstanta A dan B. Parameter udara basah dinyatakan dalam berbagai besaran meteorologis seperti tekanan uap (e), perbandingan campuran (r) dan kelembapan : kelembapan mutlak atau densitas uap air (v), kelembapan spesifik (q) dan kelembapan relatif (RH). Ada beberapa proses udara basah dapat mencapai kejenuhan (saturation), misalnya dengan memasukkan temperatur baru yang mencerminkan kadar air di udara seperti temperatur titik embun (Td), temperatur bola basah (Tw), temperatur ekivalen (Te), temperatur kondensasi isentropik (Tc) dan lain-lain. Jika ekspansi udara terus berlanjut maka terjadi kondensasi yang melepaskan panas laten untuk memanasi udara, sehingga susut temperatur lebih lambat setelah terjadi kondensasi dari pada sebelum kondensasi. Kasus dimana air kondensasi (condensate) dianggap sebagai air yang segera menjadi tetes-tetes hujan yang keluar dari awan disebut proses pseudoadiabatik. Kasus ini sangat sederhana karena kadar panas kondensasi tidak diperhatikan dalam perhitungan perubahan temperatur udara. Dalam udara jenuh ada dua proses fisis ekstrim di atmosfer yaitu proses terbalikan dimana produk kondensasi (tetes air atau kristal es) berada dalam sampel udara, dan proses tak terbalikan dimana produk kondensasi jatuh keluar dari sampel udara segera setelah partikel presipitasi terbentuk. Mikrofisika Awan Dan Hujan
71
BAB 4 Aeorosol Atmosferik
Untuk memahami proses pembentukan awan diperlukan pengetahuan karakteristik fisis dan kimia aerosol atmosfer. Aerosol adalah partikel padat atau cair dalam medium udara yang mempunyai kecepatan jatuh sangat kecil. Dari perspektif seorang mikrofisikawan awan, partikel awan terbentuk oleh aerosol dengan ukuran 0,01 m melalui pengintian, dan untuk membentuk tetes-tetes hujan maka massa partikel-partikel awan harus ditingkatkan satu juta kali atau lebih. Sekarang mikrofisika awan ditandai oleh saling mempengaruhi antara laboratorium, lapangan dan kajian teoritis. Aerosol atmosferik tidak hanya penting dalam mikrofisika awan tetapi juga pada polusi udara, karena visibilitas (jarak pandang) ditentukan oleh distribusi massa dan ukuran aerosol atmosferik. Aerosol mempunyai ukuran lebih besar dibandingkan ukuran molekul, tetapi masih cukup kecil sehingga dapat melayang di dalam atmosfer. Aerosol atmosferik dapat berasal dari sumber alami, misalnya letusan gunung api, permukaan darat atau laut, dan dapat berasal dari sumber buatan manusia, seperti pembakaran bahan fosil dari industri atau kendaraan bermotor. Aerosol atmosferik dapat turun kepermukaan melalui gaya gravitasi Mikrofisika Awan Dan Hujan
73
untuk yang berukuran besar dan dibersihkan oleh curah hujan atau curah salju terutama untuk aerosol yang berukuran kecil.
4.1. Sumber Aerosol Partikel-partikel aerosol atmosferik diinjeksikan ke atmosfer dari sumber alam (natural) dan sumber antropogenik atau sumber buatan manusia. Partikel-partikel ini kebanyakan berasal dari permukaan bumi, tetapi sebagian berasal dari dalam bumi melalui kegiatan vulkanik, sedangkan partikel lainnya masuk ke atmosfer dari ruang angkasa. Konsentrasi partikel aerosol atmosferik sangat bervariasi dengan waktu dan lokasi yang sangat bergantung pada keterdekatan sumber, pada kecepatan emisi, pada kekuatan konvektif dan kecepatan alih difusif golakan, pada efisiensi berbagai mekanisme pembersihan atau pemindahan partikel, dan pada parameter meteorologis yang mempengaruhi distribusi vertikal dan horisontal juga mekanisme pembersihan. Observasi menunjukkan bahwa konsentrasi partikel aerosol atmosferik berkurang dengan ketinggian dari permukaan bumi. Faktanya, sekitar 80% massa partikel aerosol total berada pada troposfer paling bawah. Konsentrasi partikel aerosol juga berkurang dengan bertambahnya jarak horisontal dari pantai ke arah laut terbuka, karena daratan sumber partikel-partikel aerosol lebih efisien dari pada osean (lautan). Diperkirakan bahwa 61% partikel aerosol total berada di belahan bumi utara (BBU) dibandingkan di belahan bumi selatan (BBS) yang mencakup massa darat lebih kecil. Di BBU kebanyakan massa partikel aerosol diinjeksikan ke dalam atmosfer yang terletak pada daerah lintang geografis antara 300 dan 600 U, karena pada daerah lintang ini terdapat sekitar 88% sumber-sumber partikulat. Partikel aerosol yang berasal dari 74
Mikrofisika Awan Dan Hujan
bumi terbentuk oleh dua mekanisme utama yaitu konversi (pengubahan) gas–ke–partikel, dan disintegrasi (kehancuran) mekanis atau kimia permukaan bumi padat dan cair. Aerosol usul dan komposisi partikel-partikel aerosol atmosferik dapat diringkas sebagai berikut : i. Proses pembakaran : kebakaran hutan, pembakaran dalam industri yang menghasilkan partikel berbentuk garam, karbon dan jelaga. ii. Reaksi fasa gas, termasuk fotokimia, misalnya pembentukan sulfat dan nitrat. Jika SO2 dioksidasi menjadi SO3 dalam fasa gas, maka beberapa transformasi akan terjadi dengan segera. SO3 menyerap uap air dari udara dan membentuk sebuah tetes H2SO4 dalam larutan. Tetes ini dapat menyerap NH3 dan membentuk alumunium sulfat (NH4)2SO4. Juga jika H2SO4 muncul dalam tetes-tetes awan baik dengan tangkapan atau dengan pembentukan dalam tetes itu sendiri, dan jika tetes ini mengandung partikel garam NaCl maka reaksi berikut dapat terjadi. H2SO4 + 2 NaCl Na2SO4 + 2HCl
(4.1)
dimana HCl menguap dalam udara dan sodium sulfat tinggal sebagai residu. Sulfat yang mengandung partikel juga dihasilkan secara langsung dari percikan laut dan dari erosi tanah. Nitrit
dan nitrat NO3 dapat dihasilkan dan memberikan
kontribusi pada aerosol atmosferik. Reaksi yang terjadi dapat ditunjukkan secara bagan berikut:
Mikrofisika Awan Dan Hujan
75
iii. Dispersi partikel-partikel padat. Reaksi kimia di dalam tanah yang diikuti oleh erosi air dan erosi angin dapat menyebabkan pemasukan partikel-partikel dari batu-batuan mineral ke dalam udara : garam sodium (Na), kalsium, potasium dan sebagainya. iv. Dispersi larutan. Percikan gelembung kecil di laut menyebabkan masuknya partikel ke dalam udara. Di atas lautan aerosol raksasa (giant aerosol) terdiri dari garam laut yang berasal dari tetes-tetes yang terpercik ke udara bila gelembung udara dalam gelombang pecah di permukaan laut. Beberapa tetes ini menguap dan meninggalkan partikel garam laut sebagai partikel raksasa, lihat gambar 4.1. Kebanyakan tetes-tetes yang lebih kecil dihasilkan bila bagian atas sebuah selaput gelombang udara pecah pada permukaan laut. Jika gelembung dengan diameter lebih dari 2 mm pecah, maka setiap pancaran (eject) kira-kira terjadi dua ratus tetes masuk ke dalam udara. Setelah mengalami penguapan, tetes ini meninggalkan partikel garam laut dengan diameter kurang dari 0,3 m. Kecepatan produksi partikel garam di atas lautan secara rata-rata diperkirakan -2 -1 berorde 100 cm s .
Gambar 4.1. Diagram skematik yang menggambarkan cara tetes berselaput (film droplets) dan tetes pancaran (jet drops) terbentuk jika gelembung udara pecah pada permukaan laut. Beberapa tetes akan menguap dan meninggalkan partikel garam laut di dalam udara.
76
Mikrofisika Awan Dan Hujan
v. Sumber lain dari aerosol atmosfer adalah dari gunung berapi (vulkanik). Berdasarkan konvensi, aerosol dapat digolongkan menurut diameternya (D) sebagai berikut : D < 0,2 m, disebut partikel Aitken 0,2 m < D < 2 m, disebut partikel besar D > 2 m, disebut partikel raksasa Nama partikel Aitken berasal dari fisikawan Scotlandia yaitu John Aitken (1839–1919) yang mengembangkan instrumen untuk mengamati partikel aerosol dua abad yang silam. Salah satu teknik yang tertua dan tidak rumit dengan berbagai bentuk modifikasi dan masih banyak dipakai untuk mengukur konsentrasi aerosol atmosferik adalah penghitung inti Aitken. Aerosol yang paling kecil (inti Aitken) terutama berasal dari proses pembakaran yang kemungkinan berkaitan dengan aktivitas manusia, meskipun kebakaran hutan dan aktivitas vulkanik juga turut berkontribusi. Dengan demikian jumlah inti Aitken yang berlimpah terdapat pada kota-kota besar dan konsentrasi aerosol yang tinggi dengan diameter di bawah 0,2 m terdapat dalam udara tercemar di atas kota. Kenyataannya inti Aitken juga berasal dari udara darat dan laut yang menunjukkan bahwa adanya sumber lain ketimbang hanya dari proses pembakaran. Salah satu sumber demikian adalah konversi gas perunut dalam atmosfer kedalam aerosol, disebut konversi gas–ke–partikel yang dapat terjadi melalui pengintian aerosol dari gas kelewat jenuh dan oleh reaksi fotokimia yang dikaitkan dengan absorpsi radiasi matahari oleh molekul-molekul. Mikrofisika Awan Dan Hujan
77
Jika konsentrasi tinggi bahan kimia berada dalam atmosfer, maka reaksi fotokimia dapat membentuk kabas (smog), seperti yang terjadi di Cekungan Los Angeles. Hidrokarbon, oksida nitrik, dan ozon memainkan peranan sangat penting dalam pembentukan kabas. Konversi gas–ke–partikel dapat ditingkatkan oleh kelembapan relatif tinggi dan kehadiran air cair. Sebagai contoh, kecepatan oksidasi sulfur dioksida menjadi sulfat meningkat dengan faktor sekitar delapan ketika kelembapan relatif meningkat dari 70% menjadi 80%. Sulfat dapat juga diproduksi oleh reaksi sulfur dioksida dan ammonia dalam butiranbutiran awan (cloud droplets), kemudian ketika butiran-butiran menguap maka partikel-partikel sulfat ditinggalkannya. Aerosol mungkin juga berasal dari permukaan bumi ketika debu keanginan (terutama pada daerah kering), oleh emisi tepung sari dan spora dari tanaman, dan di atas laut oleh ledakan gelembung-gelembung udara. Tetapi sumber-sumber ini menjadi penting untuk aerosol besar dan raksasa dari pada sebagai sumber inti Aitken. Di atas laut aerosol raksasa dipancarkan ke dalam udara ketika gelembung-gelembung pecah pada permukaan laut, lihat gambar 4.1.
4.2. Spektra Ukuran Aerosol Partikel aerosol atmosferik mempunyai jangka (range) ukuran -4 dari sekitar 10 m sampai 10 mikrometer, bergantung pada jangka ukuran partikel yang ditinjau dan lokasi pengukuran. Jangka konsentrasinya dari sekitar 107 sampai 10-6 per cm3. Distribusi ukuran aerosol di darat, di laut dan di daerah kota yang udaranya tercemar dN ditunjukkan pada gambar 4.2, dimana ordinatnya adalah dlog D 78
Mikrofisika Awan Dan Hujan
yang di plot dengan skala logaritma, dan sebagai absis adalah log D. Notasi N menunjukkan konsentrasi aerosol dengan diameter lebih besar D, untuk mudahnya dianggap aerosol berbentuk bola. Pada gambar 4.2 juga diplot persamaan (4.2) dengan = 3, tetapi garisnya digeser dari kurva lainnya supaya menjadi jelas. Beberapa konklusi menarik dapat ditarik dari gambar 4.2, yaitu: i. Konsentrasi aerosol turun secara tajam dengan bertambahnya ukuran aerosol. Karena itu, jumlah total konsentrasi didominasi oleh aerosol yang lebih kecil, untuk aerosol dengan diameter kurang dari 0,2 m disebut inti Aitken. ii. Bagian kurva distribusi ukuran yang merupakan garis lurus diekspresikan dalam bentuk: dN log konstanta β log D d log D atau dengan mengambil antilog diperoleh: dN C D β d log D
(4.2)
dimana C adalah konstanta yang dikaitkan dengan konsentrasi aerosol dan – adalah nilai kemiringan (slope) kurva distribusi ukuran, nilai biasanya terletak antara 2 dan 4. Aerosol kontinental dengan diameter lebih dari sekitar 0,2 m mengikuti persamaan (4.2) yang sangat dekat dengan nilai = 3.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
79
Gambar 4.2. Distribusi jumlah aerosol dalam pengukuran udara kontinental (–), udara laut (---), dan udara kota tercemar (…).
iii. Distribusi jumlah (ukuran) yang diamati menguatkan pengamatan penghitung inti Aitken yang menunjukkan bahwa konsentrasi total aerosol secara rata-rata, paling besar dalam udara kota yang tercemar dan yang paling kecil dalam udara laut. iv. Konsentrasi aerosol dengan diameter lebih dari sekitar 2 m (disebut aerosol raksasa) secara rata-rata agak serupa baik di kontinental, laut maupun di kota yang tercemar. Pengertian lain dalam distribusi ukuran aerosol dapat diperoleh dengan mengeplot distribusi luas permukaan atau volume aerosol. dS Dalam distribusi luas permukaan, ordinat adalah dan absis d log D adalah log D, dimana S adalah luas permukaan total aerosol dengan dV diameter lebih besar D. Dalam distribusi volume, ordinat adalah d log D dan absis log D, dimana V adalah volume total aerosol dengan diameter lebih besar D. 80
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Jika distribusi jumlah aerosol diberikan oleh persamaan (4.2), dengan dN menyatakan konsentrasi jumlah aerosol dalam interval d (log D), maka dapat diturunkan persamaan-persamaan berikut : a. dN/dD Persamaan (4.2) : dN CD d log D karena itu dN dD CD , dD d log D atau dN dD
CD
dN dD
d log D dD
CD d n D n 10 dD
CD 1 . n 10 D
Jadi C D 1 n 10
(4.3)
Catatan e
log D
Jadi, n D atau log D
Mikrofisika Awan Dan Hujan
e
log 10 . 10 log D n 10 . log D
n 10 . log D
n D n 10
81
b. dS/d(log D) : distribusi luas permukaan aerosol. Luas permukaan aerosol total dengan diameter lebih besar D. 1 S 4r 2 N , r D : jejari aerosol 2 2 1 S 4 D N D 2 N 2 dS D 2 dN karena itu dS dN D 2 D 2 . CD d log D d log D jadi dS CD 2 d log D
(4,4)
c. dV/d(log D) : distribusi volume aerosol. Volume aerosol total dengan diameter lebih besar D 4 3 V r N 3 3 dV D dN 6 karena itu
3
4 1 D . N 3 2
dV d log D
3 dN D 6 d log D
dV d log D
CD 3 6
3 D N 6
3 D . CD 6
Jadi,
82
(4.5)
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Dari persamaan yang diturunkan dalam persamaan (4.4), terlihat bahwa dS/d (log D) adalah sebuah fungsi D yang menaik untuk < 2 dan fungsi D yang menurun untuk > 2. Karena itu distribusi permukaan aerosol akan mencapai nilai puncak jika lebih besar nilai 2. Distribusi volume aerosol dalam persamaan (4.5) akan mencapai nilai puncak jika lebih besar nilai 3, mirip dengan distribusi permukaan aerosol, lihat Gambar 4.3.
Gambar 4.3. Distribusi permukaan (a) dan volume aerosol (b) berdasarkan pengukuran ukuran aerosol di Denver, Colorado, ..... : udara kota tercemar, — : udara kontinental, dan --- : udara kontinental dari abu gunung (Wallace, 1977).
Kenyataan bahwa fluktuasi kecil dalam kemiringan (slope) distribusi jumlah aerosol disekitar nilai – 2 dan – 3 (yaitu = 2 dan 3) tampak sebagai maksima dan minima lokal masing-masing dalam distribusi permukaan dan volume aerosol yang merupakan keistimewaankeistimewaan sehingga lebih bermanfaat dalam beberapa hal dibandingkan kurva distribusi jumlah aerosol. Mikrofisika Awan Dan Hujan
83
4.3. Aerosol Gara m Laut Aerosol garam laut (AGL) mempunyai pengaruh besar pada bidang geofisika secara luas. Dalam pembahasan buku ini, AGL sangat mempengaruhi pada mikrofisika awan dan hujan, terutama karena AGL dapat bertindak sebagai inti kondensasi awan (IKA). Partikel-partikel aerosol garam laut berinteraksi dengan gas atmosferik dan unsur pokok aerosol yang lain melalui perannya sebagai pencuci gas yang dapat mengondensasi dan menindas pembentukan partikel baru, sehingga mempengaruhi distribusi ukuran aerosol-aerosol lain tersebut. Perlu dibedakan antara partikel AGL (yang berkaitan dengan bahan fasa cair, padat atau fasa campuran) dan AGL yang terdiri dari partikel-partikel tersebut yang mengapung dalam atmosfer. Aerosol garam laut (AGL) didefinisikan sebagai komponen aerosol yang terdiri dari tetes air laut dan partikel garam laut kering (dry sea salt particles). Jejari partikel AGL berjangka dari kurang 0,1 m sampai lebih besar 1000 m (1mm). AGL adalah sebuah komponen penting dari aerosol laut (marine) yang tidak terganggu oleh lingkungan laut, jauh dari sumber-sumber kontinental dan antropogenik. Lagipula, garam laut adalah salah satu kontributor terbesar pada massa bahan partikulat yang diinjeksikan kedalam atmosfer secara global dengan 12 12 perkiraan kontribusi tahunan dari 0,3 x 10 kg sampai 30 x 10 kg yang sebanding dengan fluks massa garam laut 0,03 x 10-6 g m-2 s-1 sampai 3 x -6 -2 -1 10 g m s pada osean (lautan). Fluks massa garam ini setara dengan perpindahan (pelenyapan) harian lapisan air setebal 0,07 m sampai 7 m, evaporasinya menghasilkan fluks panas laten sebesar 0,002 Wm-2 -2 sampai 0,2 Wm . Sangat berbeda dengan evaporasi air global rata-rata tahunan di atas lautan adalah 100 cm atau lebih besar yang sesuai dengan perpindahan harian rata-rata lapisan air sekurang-kurangnya 84
Mikrofisika Awan Dan Hujan
setebal 0,3 cm dengan disertai fluks panas laten sebesar 80 Wm-2 atau lebih. Jadi, produksi aerosol garam laut meskipun berkontribusi besar pada massa bahan partikulat yang diinjeksikan kedalam atmosfer, tidak berkontribusi cukup besar pada pertukaran air global atau panas laten antara osean dan atmosfer. Partikel aerosol garam laut sangat penting untuk berbagai alasan : partikel AGL (aerosol garam laut) bertindak sebagai inti kondensasi awan (IKA) untuk membentuk tetes awan, pertukaran gas dengan atmosfer dan mengikutsertakan reaksi kimia, menghamburkan cahaya, pertukaran kebasahan (moisture) dengan atmosfer, dan berpartisipasi dalam daur geokimia unsur-unsur. Pentingnya partikel AGL dalam proses-proses di atmosfer bergantung pada ukuran, konsentrasi dan waktu tinggal partikel, dan bergantung pada sejauh mana partikelpartikel ini dapat bercampur secara vertikal di atmosfer. Hal ini dikendalikan oleh faktor-faktor meteorologis dan lingkungan yang mempengaruhi pembentukan dan pemecahan gelombang-gelombang laut; sifat dan cakupan areal puncak ombak putih; produksi, dinamika, dan ledakan pecah gelembung-gelembung; pembentukan tetes, kelakuan atmosfer, dan angkutan (transport); proses-proses yang bertindak untuk memindahkan tetes-tetes ini. Partikel aerosol garam laut sangat berpengaruh pada awan dalam atmosfer laut karena bertindak sebagai inti kondensasi awan dalam pembentukan tetes-tetes awan. Distribusi ukuran konsentrasi jumlah aerosol garam laut (AGL) mempengaruhi distribusi ukuran konsentrasi jumlah tetes awan-awan maritim yang mempengaruhi pembentukan hujan dan kemungkinan memainkan peranan dalam pencucian udara unsur-unsur antropogenik. Kemampuan partikel AGL Mikrofisika Awan Dan Hujan
85
untuk membentuk sebuah tetes awan ditentukan oleh ukurannya, oleh kondisi meteorologis terutama kecepatan arus udara keatas yang mempengaruhi kelewat jenuh lingkungan (kelembapan relatif lebih besar dari 100%) serta oleh komposisi dan distribusi ukuran konsentrasi kehadiran partikel aerosol lain. Jika parsel udara (air parcel) naik dalam atmosfer, maka akan menjadi dingin secara adiabatik yang bergantung pada kecepatan arus udara keatas. Penurunan temperatur menyebabkan kenaikan kelembapan relatif (RH) lingkungan yang diberikan oleh persamaan Clausius – Clapeyron. Karena kelembapan lingkungan meningkat, maka uap air mengondensasi pada partikel aerosol yang ada dan menjadi tetes dengan kecepatan yang dikendalikan oleh temperatur lingkungan dan oleh beda antara nilai RH lingkungan dan RH keseimbangan tetes. Kelembapan relatif (RH) sebuah tetes tertentu sama dengan perbandingan tekanan uap air keseimbangannya dengan tekanan uap jenuh massa air murni (pure bulk water) pada temperatur lingkungan, dan bergantung pada komposisi dan ukuran tetes. RH keseimbangan pada umumnya berbeda dari RH massa air murni (yaitu 100%), karena adanya zat larut (efek larutan) yang menurunkan RH keseimbangan dan kelengkungan tetes dalam hubungannya dengan tegangan permukaan (efek kelengkungan) yang meningkatkan RH keseimbangan ini. Kedua efek larutan dan kelengkungan tetes dinyatakan dalam persamaan Köhler yang akan dibahas pada bab 5. Indonesia sebagai benua maritim yang mempunyai luas laut sekitar 70% dan darat 30%, peranan aerosol garam laut sangat penting dalam pembentukan tetes awan. Indonesia sebagai wilayah ekuatorial yang konveksinya paling aktif dibandingkan wilayah ekuatorial Amerika 86
Mikrofisika Awan Dan Hujan
dan Afrika sangat berperan dalam pembentukan awan dan hujan konveksional. Awan konvektif jenis cumulus (Cu) terutama cumulonimbus (Cb) merupakan jalur maut bagi penerbangan. Awan Cb dapat menghasilkan hujan sangat lebat, batu es, bahkan dapat menghasilkan petir (kilat dan guruh) dan puting beliung. Hari guruh di Indonesia sekitar 100 atau lebih per tahun sedang di daerah subtropis sekitar 50 per tahun.
4.4. Mekanisme Pemindahan Partikel AGL dari Atmosfer Mekanisme yang bertindak untuk mengangkut partikel-partikel AGL (aerosol garam laut) dari atmosfer ke permukaan bumi dalam konteks lautan digolongkan menjadi deposisi (endapan) basah dan deposisi kering. a. Deposisi basah Deposisi basah partikel berkenaan dengan alih partikel dari atmosfer ke permukaan oleh presipitasi baik dalam–awan (in–cloud) atau penyapuan bawah–awan (below–cloud). Di dalam awan, partikel membentuk tetes awan yang kemudian dipindahkan oleh curah hujan melalui deposisi gravitasional atau tangkapan dan penggabungan oleh hidrometeor yang jatuh. Penyapuan bawah–awan terdiri dari partikelpartikel yang tertangkap oleh tetes-tetes yang jatuh dan karenanya partikel lepas dari atmosfer dan jatuh ke permukaan bumi. Faktor kunci yang mempengaruhi kecepatan deposisi basah partikel adalah ukuran, bentuk dan higroskopisitasnya; konsentrasi partikel-partikel lain, ukurannya dan higroskopisitasnya; kelembapan atmosfer, kecepatan arus keatas, dan temperatur; frekuensi curah hujan, distribusi ukuran tetes hujan dan intensitas hujan. Mikrofisika Awan Dan Hujan
87
Karena partikel AGL (aerosol garam laut) mempunyai konsentrasi rendah, higroskopisitas tinggi dan ukuran besar dibandingkan partikel-partikel lain yang ada dalam atmosfer laut maka partikel AGL sangat efektif sebagai (IKA). Penyapuan dalam–awan diduga sangat penting untuk pemindahan partikel AGL kecil yang tercampur di seluruh lapisan batas laut. Sedangkan tangkapan oleh tetes-tetes hujan yang jatuh (penyapuan bawah–awan) diyakini merupakan mekanisme pemindahan yang efisien untuk partikel AGL yang lebih besar. Deposisi basah diharapkan memindahkan dari atmosfer partikel AGL berbagai ukuran dalam jumlah besar selama peristiwa hujan dengan intensitas cukup besar dan durasi cukup lama. b. Deposisi kering Deposisi kering bahan gas dan partikulat berkenaan dengan alih bahan-bahan ini kepermukaan bumi (laut, darat, termasuk permukaan tanaman) oleh mekanisme tanpa melibatkan presipitasi. Faktor kunci yang mempengaruhi kecepatan deposisi kering partikel adalah ukuran, bentuk, densitas, dan higroskopisitasnya; kelembapan, kecepatan angin, turbulensi dan stabilitas atmosfer; dan sifat-sifat permukaan dimana gas dan partikel terjadi. Di atas osean (lautan), mekanisme utama deposisi kering partikel adalah sedimentasi gravitasional, alih turbulen, difusi Brownian, tangkapan oleh gelombang dan penyapuan oleh percikan air laut. Untuk partikel AGL, kecepatan deposisi kering sangat bergantung pada ukuran partikel dan kecepatan angin. Deposisi kering disebabkan oleh aliran (flux) kebawah partikelpartikel AGL. Fluks deposisi kering antar–muka–partikel AGL dengan r80 didefinisikan sebagai fluks partikel yang diendapkan ke permukaan laut, 88
Mikrofisika Awan Dan Hujan
yang sama dengan beda antara fluks produksi dan fluks vertikal neto antar–muka partikel AGL melalui permukaan laut. Definisi ini tidak samar, karena semburan tetes dari permukaan laut dan deposisinya ke permukaan merupakan proses yang sangat berbeda. Massa larutan sebuah partikel AGL dapat dinyatakan secara unik (khusus) oleh jejari partikel dalam keseimbangan dengan atmosfer pada kelembapan relatif (RH) tertentu. Dengan mengambil kelembapan relatif baku 80% maka jejari partikel dinyatakan oleh r80. Demikian juga, r98 menyatakan jejari sebuah partikel AGL dalam keseimbangan dengan atmosfer pada RH = 98%.
4.5. Inti Kondensasi dan Inti Es Atmosferik Cara menggambarkan kecenderungan populasi aerosol yang membentuk awan ialah dengan spektrum aktivitasnya yaitu jumlah partikel per satuan volume yang diaktifkan menjadi tetes-tetes awan, dinyatakan sebagai fungsi kelewat jenuh (s). Spektra demikian diukur dengan memakai ruang awan (cloud chamber) dimana kelewat jenuh dapat dicapai dan dikendalikan secara teliti. Sampel udara dimasukkan ke dalam ruang awan dan kelewat jenuh ditetapkan pada nilai rendah yang berorde persepuluh persen (s = 0,1% = 0,001). Dengan bantuan optik maka jumlah inti yang tumbuh pada ukuran pengaktifan (activation size) dapat diamati dan dihitung. Perhitungan dilakukan pada langkah-langkah kenaikan kelewat jenuh, biasanya pada jangka dari sekitar 0,3 sampai 1 persen. Inti yang diaktifkan dengan cara ini disebut inti kondensasi awan (IKA). Ada sebagian kumpulan populasi aerosol total yang dapat menyebabkan formasi awan-awan natural. Penghitungan jumlah IKA sering didekati dengan hubungan hukum pangkat (Rogers and Yau, 1989) : Mikrofisika Awan Dan Hujan
89
Nc = Csk,
dengan
s = (S – 1) x 100%
(4.6)
Keterangan : s : kelewat jenuh dalam persen S : rasio jenuh Nc : jumlah inti per satuan volume yang diaktifkan pada kelewat jenuh kurang dari s. C, k : parameter yang bergantung pada tipe massa udara. Nilai tipik untuk udara maritim : C = 30 – 300 cm-3 dan k = 0,3 – 1,0. -3 Sedangkan untuk udara kontinental : C = 300 – 3000 cm dan k = 0,2 – 2,0. Dengan menganggap spektrum aktivitas berbentuk seperti persamaan (4.6), maka konsentrasi tetes N yang terbentuk dalam udara ke atas (updraft) dengan kecepatan w dapat dinyatakan dalam sukusuku w, C, dan k. Untuk k antara 0,4 dan 1,0 secara pendekatan dapat diekspresikan dengan persamaan (Twomey, 1959 dalam Rogers and Yau, 1989): Smaks
k
3
~ 3,6 1,6 x 10 3 w 2
k 2
C
(4.7) -3
dengan N (jumlah tetes per satuan volume) dalam cm dan w (kecepatan vertikal) dalam cm s-1. Twomey (1959) juga menemukan persamaan untuk kelewat jenuh maksimum dalam udara ke atas yang dapat didekati oleh persamaan: 2
N ~ 0,88 C
k 2
k 3
7 x 10 2 w 2 k 2
(4.8)
Perbandingan spektra aktivitas dengan spektra tetes yang diamti memberikan konfirmasi eksperimental hubungan erat antara populasi inti dan tetes-tetes awan yang dihasilkan. Perkembangan awan setelah tingkat 90
Mikrofisika Awan Dan Hujan
pembentukannya, terutama jumlah dan karakteristik presipitasi yang dihasilkan lebih dikendalikan oleh fenomena skala besar seperti kecepatan arus udara ke atas dan perbekalan uap air daripada oleh struktur mikrofisika awannya. Tetapi mikrostruktur menentukan bagaimana kemampuan sebuah awan untuk menghasilkan presipitasi, dan berapa lama waktu yang diperlukan agar presipitasi terbentuk. Dari pertimbangan beberapa faktor, termasuk deposisi kering, waktu tinggal di atmosfer, konsentrasi dan gradien fluks dekat permukaan laut, dan waktu tanggap terhadap kelembapan relatif dan kecepatan angin maka partikel-partikel AGL diklasifikasikan menjadi tiga jangka ukuran berdasarkan sifatnya di atmosfer dan pada fluks antar–muka. Partikel dengan jejari r80 < 1 m dinyatakan sebagai partikel AGL kecil, 1m < r80 < 25 m sebagai partikel AGL medium, dan r80 > 25 m sebagai partikel AGL besar. Ada banyak nama telah dipakai untuk menggolongkan partikel aerosol kedalam jangka ukuran, termasuk (IKA) seperti Aitken, halus, kasar, sangat halus (ultrafine), sangat kecil, raksasa, sangat besar, beberapa diantaranya dipakai pada jangka ukuran partikel-partikel AGL. Sebagai contoh, partikel dengan ukuran 0,1 m < r < 1 m disebut inti besar dan r > 1 m disebut inti raksasa. Partikel garam laut raksasa di atmosfer mempunyai jejari r80 > 1 m, sedangkan partikel halus mempunyai jejari r < 1 m dan partikel kasar r > 1 m. Agar terhindar dari kekacauan maka untuk partikel AGL seharusnya memakai klasifikasi kecil, medium, dan besar (Junge, 1956; Whitby, 1978 dalam Lewis and Schwartz, 2004) Persamaan Clausius–Clapeyron memberikan keadaan keseimbangan sistem termodinamika yang terdiri dari badan air dan Mikrofisika Awan Dan Hujan
91
uapnya. Saturasi (kejenuhan) didefinisikan sebagai situasi keseimbangan dimana kecepatan penguapan dan kondensasi sama besar. Dalam kenyataannya tetes-tetes air mulai mengondensasi dalam uap air murni hanya jika kelembapan relatif mencapai beberapa ratus persen, kecuali jika ada partikel-partikel berukuran kecil yang mempunyai gaya gabung untuk air dan sebagai pusat-pusat kondensasi. Partikel-partikel ini disebut inti kondensasi awan. Proses dimana fasa uap menjadi tetes-tetes air melalui inti kondensasi disebut pengintian heterogen. Sedangkan pembentukan tetes dari uap dalam lingkungan murni yang memerlukan kelewat jenuh tinggi dan tidak penting di dalam atmosfer disebut pengintian homogen. Konsentrasi inti es (IES) sedikit berubah terhadap ruang dan waktu, dan bahwa gambaran tipik (khusus) adalah satu inti per liter pada temperatur – 20 0C. Konsentrasi itu biasanya sangat bergantung pada temperatur. Ketergantungan temperatur rata-rata ditunjukkan pada gambar 4.4. Pada gambar ini sebenarnya ada deviasi yang lebar terhadap garis lurus (Rogers, 1977).
IES per liter udara
100
10
1
0,1
0,01 – 10
– 20
– 30 0C
Gambar 4.4. Ketergantungan konsentrasi inti es (IES) pada temperatur.
92
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Konsentrasi inti es (IES) atmosfer dari metode deteksi ini mengandung ketidakpastian karena banyak pengaruh seperti sejarah aerosol, kelembapan ruang awan, dan peubah-peubah eksperimental lainnya. Ketika kelewat dingin meningkat, maka konsentrasi inti meningkat. Konsentrasi inti es juga meningkat dengan kenaikan kelewat jenuh yang kuantitasnya tidak selalu terkendali atau terukur dalam eksperimen. Selanjutnya ada kejelasan bahwa beberapa peristiwa pengintian tidak terjadi dengan segera, tetapi penampakan inti memerlukan waktu yang lama pada kondisi kelewat dingin. Akibatnya, hanya sebagian inti yang berada dalam sampel udara dapat diaktifkan selama waktu percobaan. 4
-3
Dengan mengambil 10 cm sebagai konsentrasi partikel aerosol 0 tipik, dapat dilihat bahwa satu inti per liter aktif pada temperatur – 20 C. Meskipun masih ada ketidakpastian, tetapi ada kejelasan bahwa mineral lempung terutama kaolinite (tanah lempung) sebagai komponen utama inti es (IES) atmosferik, material yang banyak dijumpai dalam banyak 0 tipe tanah dengan ambang batas pengintian adalah – 9 C. Kepingkeping salju yang jatuh ke tanah biasanya dijumpai mengandung partikel yang menjadi pusat pertumbuhan kristal. Partikel-partikel ini didefinisikan oleh mikroskop elektron yang menunjukkan koalinite dengan ukuran antara 0,1 dan 4 m. Bagaimana kaolinite dapat menerangkan kejadian es dalam awan lebih panas dari – 9 0C yang kadang-kadang diamati, jawabannya masih belum jelas. Sumber lain dari inti es (IES) adalah bakteria dalam material daun tanaman rusak yang dapat menjadi inti yang efektif pada temperatur panas. Telah diketahui bahwa partikel tanah biasanya dapat menjadi aktif pada temperatur lebih panas dari pada batas ambang untuk kaolinite yang Mikrofisika Awan Dan Hujan
93
mungkin dijelaskan dengan inti-inti berukuran submikron dari beberapa bahan organik minor. Perak iodida (AgI) mempunyai temperatur pengintian relatif panas (– 4 0C) adalah bahan IES yang banyak dipakai dalam pembenihan awan buatan. Bahan perak iodida dapat dibuat dalam bentuk partikel-partikel yang sangat halus oleh pembakaran senyawa perak khusus. Material meteor telah dipikirkan kemungkinannya sebagai sumber inti es atmosferik, pada awalnya ketika Bowen menemukan korelasi antara kejadian curah hujan ekstrim dengan hujan meteor, dan yang lebih baru karena meteorit submikron yang diproduksi oleh penguapan akan mengondensasi kembali menjadi material meteoritik sebagai inti es (IES) yang agak efektif. Tetapi dari observasi selanjutnya jelas tampak bahwa sumber bumi banyak mengandung inti-inti es. Pengukuran pada situs pantai (coastal sites) menunjukkan lebih banyak inti dalam udara di atas darat dari pada di atas osean (lautan). Konsentrasi inti juga berkurang dengan ketinggian di atas tanah yang konsisten dengan sumber pada permukaan. Bahkan pada Kutub Selatan, partikulat dalam keping-keping salju yang dijumpai adalah mineral lempung.
4.6. Resumé Aerosol adalah partikel padat atau cair yang mengapung di udara. Beberapa partikel aerosol bersifat higroskopis dan bertindak sebagai inti kondensasi awan (IKA). Aerosol terbentuk oleh pemadatan gas atau oleh disintegrasi cairan atau material padat. Untuk memudahkan, maka semua jenis aerosol digambarkan berbentuk sferis (bola). Jangka (range) diameter partikel aerosol dari 10 nm untuk 94
Mikrofisika Awan Dan Hujan
molekul-molekul sampai lebih dari 10 m untuk garam, debu dan partikel-partikel pembakaran. Partikel aerosol dalam atmosfer berasal dari sumber-sumber primer natural dan antropogenik (aktivitas manusia) seperti debu angin (20%), percikan laut (40%), kebakaran hutan (10%), serta operasi pembakaran dan industrial lain (5%). Sisanya (25%) dikaitkan dengan sumber-sumber sekunder yang melibatkan konversi gas–ke–partikel melalui proses fotokimia dan kimia lain. Diantara gas, maka reaksi pembentuk partikulat yang utama adalah SO2, NO2, dan NH3. Tanpa memandang mekanismenya, aerosol atmosferik secara kontinu mengalami banyak transformasi kimia dan fisika, termasuk kongulasi (pemadatan), kondensasi, awan, sedimentasi, dispersi, percampuran dan mengalami deposisi kering di dalam–awan (in–cloud) yang bertindak sebagai inti kondensasi atau deposisi basah di bawah–awan (below–cloud) melalui penyapuan curah hujan. Pertikel aerosol dapat dinyatakan sebagai distribusi jumlah dN (ukuran) aerosol: d log D CD , distribusi luas permukaan aerosol: dS dV CD 2 dan distribusi volume aerosol: . CD 3 d log D 6 d log D Aerosol garam laut (AGL) dapat bertindak sebagai inti kondensasi awan (IKA) sehingga mempengaruhi mikrofisika awan dan hujan. AGL adalah komponen aerosol yang terdiri dari tetes air laut dan partikel garam laut kering. Jejari partikel AGL berkisar dari kurang 0,1 m sampai lebih besar 1 mm. Partikel AGL turun ke permukaan bumi melalui deposisi basah atau deposisi kering. Deposisi basah adalah alih partikel dari atmosfer ke permukaan oleh Mikrofisika Awan Dan Hujan
95
presipitasi, baik sebagai IKA dalam–awan (in–cloud) atau melalui penyapuan bawah–awan (below–cloud). Deposisi kering adalah alih partikel ke permukaan bumi tanpa melibatkan presipitasi. AGL sangat penting dalam interaksi udara – laut, dan memainkan peranan dominan dalam banyak aspek kimia atmosfer, radiasi atmosfer, geokimia (termasuk daur geokimia berbagai unsur), meteorologi, klimatologi, mikrofisika awan, oseanografi dan ekologi pantai. Peranan aerosol garam laut (AGL) dalam pembentukan awan di atas Indonesia sangat penting, karena sebagai benua maritim mempunyai luas perairan 70%. Sebagai wilayah ekuatorial yang konveksinya paling aktif diantara wilayah ekuatorial lainnya, awan konvektif jenis cumulus mendominasi tumbuh di atas wilayah Indonesia. Awan cumulonimbus dapat menghasilkan hujan deras, batu es dan petir. Partikel dengan susunan molekuler dan kristalografik seperti yang dimiliki es yang mempunyai struktur heksagonal cenderung mempunyai kemampuan pengintian es yang baik. Kebanyakan inti es (IES) yang baik sebenarnya tidak larut dalam air. Beberapa partikel tanah inorganik (terutama tanah liat) dapat mengintikan es pada temperatur di atas – 15 0C dan partikel ini kemungkinan memainkan peranan penting pada pengintian es dalam awan. Dari kajian 87% kristal salju yang dikumpulkan pada tanah mempunyai partikel-partikel mineral lempung pada pusatnya dan lebih dari separo partikel-partikel ini adalah jenis kaolinite. Baru-baru ini diamati bahwa daun-daun tanaman yang rusak banyak yang bertindak sebagai inti es, beberapa 0 inti ini aktif pada temperatur – 4 C. Perak iodida (AgI) adalah inti es yang banyak dipakai dalam pembenihan awan artifisial. 96
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Bab 5 Pembentukan Awan
Faktanya uap air murni tidak dapat mengondensasi menjadi tetes air di troposfer yaitu lapisan atmosfer bawah dimana proses cuaca terjadi. Fakta juga menunjukkan bahwa atmosfer mengandung partikel berukuran mikron yang mempunyai gaya gabung terhadap air dan bertindak sebagai inti kondensasi awan (IKA). Di troposfer tidak terjadi pengintian homogen, sebaliknya terjadi pengintian heterogen yaitu proses pembentukan tetes awan melalui inti kondensasi awan. Awan terbentuk jika udara menjadi kelewat jenuh terhadap air cair atau dalam beberapa kasus terhadap es. Kebanyakan kelewat jenuh terjadi di atmosfer akibat kenaikan parsel udara melalui konveksi, konvergensi, orografi atau front yang menyebabkan ekspansi udara dan pendinginan adiabatik. Di bawah kondisi ini, uap air mengondensasi pada beberapa aerosol di udara untuk membentuk sebuah awan dengan butiran-butiran air. Jika tekanan uap air di udara adalah e, maka es adalah tekanan uap jenuh di atas permukaan datar air cair dan ei adalah tekanan 0 uap jenuh di atas es. Untuk temperatur di bawah 0 C, tekanan uap jenuh di atas air kelewat dingin lebih besar dari pada tekanan uap jenuh di atas es (es > ei).
Mikrofisika Awan Dan Hujan
97
5.1. Aspek General Pembentukan Awan dan Hujan Banyak ragam jenis inti kondensasi yang berada dalam atmosfer. Beberapa menjadi berair (wetted) pada kelembapan relatif (RH) kurang dari 100% dan memberikan haze (kabur) yang menghalangi visibilitas. Inti kondensasi yang relatif besar, yang mungkin akan tumbuh menjadi ukuran tetes awan. Karena udara menjadi dingin dalam kenaikan adiabatik, maka kelembapan relatif mendekati 100%. Inti yang higroskopis kemudian bertindak sebagai pusat kondensasi. Jika kenaikan udara diteruskan, maka kelewat jenuh akan terjadi karena pendinginan. Kelewat jenuh diartikan sebagai kelebihan kelembapan relatif di atas nilai keseimbangannya (100%). Jadi udara dengan RH = 101,5% mempunyai kelewat jenuh 1,5%. Karena awan terus naik, maka 0 puncaknya menjadi dingin di bawah temperatur 0 C. Tetes-tetes air yang kelewat dingin di dalam awan mungkin membeku atau mungkin tidak, bergantung pada ada atau tidaknya inti pembeku (inti es). Untuk tetes air murni, pembekuan homogen tidak akan terjadi sampai temperatur sekitar 0 – 40 C tercapai. Tetapi jika inti yang sesuai terdapat, maka pembekuan dapat terjadi hanya pada beberapa derajat di bawah temperatur 0 0C. Awan adalah sekumpulan tetes yang mempunyai konsentrasi 3 berorde 100 per cm dan mempunyai jejari sekitar 10 m. Tetes hujan akan tumbuh jika populasi awan menjadi tidak stabil. Pertama tumbukan langsung dan penangkapan tetes-tetes air. Kedua interaksi antara tetes air dan kristal es yang terbatas pada awan yang puncaknya di atas paras 0 0 C. Jika sebuah kristal es berada bersama sejumlah tetes air kelewat dingin, maka situasi menjadi tidak stabil. Keseimbangan tekanan uap di atas es lebih kecil daripada di atas air pada temperatur yang sama, karenanya kristal es tumbuh dengan difusi uap dan tetes menguap untuk mengimbanginya. 98
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Alih uap bergantung pada perbedaan keseimbangan tekanan uap di atmosfer air dan es yang sangat efisien pada temperatur sekitar – 15 0C. Sekali kristal es tumbuh lebih besar daripada tetes air, maka kristal es mulai jatuh relatif terhadap tetes air sehingga tumbukan mungkin terjadi. Jika tumbukan terjadi antara kristal es dengan kristal es lain, maka keping-keping salju (snowflakes) akan terjadi dan jika tetes-tetes air terkumpul, maka batu es mungkin terbentuk. Jika partikel jatuh melalui 0 paras 0 C, maka terjadi peleburan dan keluar dari dasar awan sebagai tetes hujan yang terbentuk dari koalisensi. Bila cuaca dingin, atau bila batu-batu es besar terjadi, maka partikel tersebut yang dalam perjalannya mencapai permukaan tanah mungkin tidak meleleh, dan akan tetap menjadi batu es hujan. Tabel 5.1. Ukuran, konsentrasi dan kecepatan jatuh terminal komparatif beberapa partikel dalam proses pembentukan awan. Partikel
Jejari (r)
Konsentrasi (n) per liter
Kecepatan jatuh terminal (v)
Inti kondensasi khusus
0,1 m
106 -1
0,001 mm s
Tetes awan khusus
10 m
10
Tetes awan besar
50 m
10
Batas tetes awan dan hujan Tetes hujan khusus
-1
6
-1
1 cm s-1
3
-1
27 cm s-1
100 m
–
70 cm s
1 mm
1-1
6,5 m s
-1
-1
Partikel-partikel yang menarik di dalam awan mempunyai jangka (range) yang besar mengenai ukuran, konsentrasi dan kecepatan jatuh. Mikrofisika Awan Dan Hujan
99
Tabel 5.1, membandingkan sifat-sifat tersebut untuk beberapa partikel awan dan presipitasi. Perlu diperhatikan bahwa ada perbedaan yang besar antara ukuran inti kondensasi khusus dan sebuah tetes awan atau antara tetes awan dan tetes hujan. Tinggi awan (dasar dan puncak awan) adalah jarak vertikal dari lokasi pengamatan sampai dengan ketinggian awan. Ketinggian awan diukur dari daerah pegunungan atau dari permukaan laut. Ketinggian awan adalah faktor penting untuk menentukan jenis awan. Pengamat melaporkan ketinggian awan biasanya dari permukaan laut, sehingga perlu adanya koreksi untuk data dari tempat-tempat lain. Observasi menunjukkan bahwa tinggi awan bervariasi dari dekat permukaan laut sampai ketinggian 8 km di daerah kutub, 14 km di daerah lintang menengah dan 18 km di daerah tropis. Dengan perjanjian, ketinggian troposfer dimana awan terbentuk dibagi menjadi tiga lapisan yaitu lapisan tinggi, menengah, dan rendah. Lapisan-lapisan ini mempunyai beda ketinggian bergantung pada lintang geografis. Tabel 5.2, menunjukkan tinggi awan menurut lintang geografis, dan tabel 5.3, menunjukkan jenis presipitasi awan hujan. Tabel 5.2. Tinggi awan berdasarkan lintang geografis. Paras (level)
Daerah Kutub
Daerah Subtropis
Daerah Tropis
Tinggi
2 – 8 km
5 – 14 km
6 – 18 km
Menengah
2 – 4 km
2 – 7 km
2 – 8 km
Rendah
100
dari permukaan sampai ketinggian 2 km
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Tabel 5.3. Jenis presipitasi dari awan hujan. Tipe Awan
Presipitasi As
Ns
Sc
St
Cu
Cb
Hujan lebat
–
–
–
–
V
V
Hujan
V
V
V
–
–
–
Gerimis
–
–
–
V
–
–
Keping-keping salju
–
–
V
–
V
V
Salju
V
V
V
V
V
V
Batu es hujan
–
–
–
–
–
V
Catatan: Salju terjadi di daerah yang mempunyai temperatur di bawah 0 0C, misalnya dalam musim dingin
Tinggi dasar awan dapat dihitung dari beda antara temperaur permukaan dan temperatur titik embun. Jika udara dianggap bercampur secara sempurna dari permukaan tanah sampai dasar awan (terutama dalam hal Cumulus termal), maka tinggi dasar awan dapat ditentukan dari pertimbangan termodinamik. Temperatur udara yang naik akan menjadi dingin lebih cepat dari pada temperatur titik embunnya. Ketinggian paras kondensasi di atas permukaan dapat ditulis dengan ekspresi : (5.1) Keterangan : T : temperatur permukaan (0F) 0 Td : temperatur titik embun ( F) Z : tinggi paras kondensasi (kaki) T dan Td dapat diukur dengan psychrometer (termometer bola basah Mikrofisika Awan Dan Hujan
101
dan bola kering). Tinggi dasar awan adalah 100 – 200 kaki lebih tinggi daripada paras kondensasi yang dihitung. Balon pandu (pilot) yang masuk ke awan dapat menentukan tinggi dasar awan. Balon ini mempunyai massa 8 – 10 gram dan naik -1 dengan kecepatan antara 2,3 dan 2,5 ms (antara 460 dan 490 kaki per menit). Waktu yang diperlukan balon dari permukaan sampai dasar awan dicatat dan dikalikan dengan kecepatan naik balon menghasilkan ketinggian dasar awan: Z = v.t Keterangan : v : kecepatan naik balon t : waktu balon dari permukaan ke dasar awan
(5.2)
5.2. Genus Awan Tiap genus (golongan utama) awan dibagi menjadi jenis awan, dan tiap jenis awan dibagi lagi menjadi varitas awan. Awan dapat digolongkan menjadi sepuluh genus yaitu Cirrus (Ci), Cirrocumulus (Cc), Cirrostratus (Cs), Altocumulus (Ac), Altostratus (As), Nimbostratus (Ns), Stratocumulus (Sc), Stratus (St), Cumulus (Cu), dan Cumulonimbus (Cb), Cirrus (Ci) didefinisikan sebagai awan yang tampak tersusun dari serat lembut dan halus, berwarna putih mengkilap seperti sutra. Di langit, Ci tampak seperti kumpulan serat halus yang jaraknya relatif jarang atau yang jaraknya rapat. Genus awan Ci mempunyai jenis awan : fibratus, unsinus dan spisatus. Cirrus terdiri dari kristal-kristal es. Awan Ci tumbuh berkembang dari kristal es yang jatuh dari Cirrocumulus, atau dari bagian Cumulonimbus, atau dari penguapan bagian yang tipis dari Cirrostratus, lihat foto 1. 102
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Cirrocumulus (Cc) adalah lapisan awan yang tampak terdiri dari unsur sangat kecil menyerupai butir padi-padian yang berwarna putih. Masing-masing unsur dapat saling bersambung atau terpisah. Genus awan Cc mempunyai jenis awan : lentikularis dan undulatus. Cc hampir seluruhnya terdiri dari kristal es. Mungkin ada tetes sangat kelewat dingin tetapi biasanya segera menjadi kristal es. Cc dapat terbentuk dalam udara cerah, atau dari Cirrus dan Cirrostratus. Jenis lentikularis (Cc berbentuk lensa) dapat terbentuk karena pengangkatan orografik lokal dari udara lembap; lihat foto 2. Cirrostratus (Cs) adalah awan yang tampak seperti tirai kelembu halus keputih-putihan yang menghasilkan gejala halo yaitu gejala optis yang tampak seperti lingkaran yang mengelilingi matahari atau bulan. Halo disebabkan oleh refraksi dan refleksi cahaya dari kristal es di atmosfer. Genus awan Cs mempunyai jenis awan : fibratus dan nebulosus. Cs terutama terdiri dari kristal es. Cs dapat terbentuk dari Cirrus atau Cirrocumulus yang membentang, dapat juga Cs terbentuk dari kristal es yang jatuh dari Cumulonimbus, lihat foto 3. Altocumulus (Ac) adalah lapisan awan berwarna putih atau kelabu, terdiri dari unsur-unsur berbentuk bulatan pipih. Jenis awan Ac adalah Stratiformis dan lentikularis. Ac terutama terdiri dari tetes air, tetapi pada temperatur sangat rendah dapat berbentuk kristal es. Ac terbentuk karena adanya turbulensi atau konveksi di lapisan atmosfer menengah. Dapat pula Ac terbentuk dari Cirrocumulus yang menebal dan dari transformasi Stratocumulus, Altostratus dan Nimbostratus, atau terbentuk dari pembentangan awan Cumulus dan Cumulonimbus. Dalam bentuk lensa (lentikularis), Ac terbentuk karena efek orografik lokal udara lembap, lihat foto 4. Mikrofisika Awan Dan Hujan
103
Altostratus (As) adalah lapisan awan yang tampak berserat, berwarna keabu-abuan atau kebiru-biruan menutupi sebagian atau seluruh langit. As menyerupai Cirrostratus yang tebal, tetapi tidak menimbulkan halo. As tidak mempunyai jenis awan. As dapat berbentuk awan tipis sehingga matahari dan bulan yang berada dibaliknya kelihatan samar-samar seperti berada dibelakang kaca buram, dapat pula berbentuk awan sangat tebal dan gelap, sehingga matahari dan bulan yang berada dibaliknya tidak terlihat. As terdiri dari tetes air dan kristal es. As mengandung tetes hujan yang dapat menimbulkan gejala virga yaitu hujan yang tidak sampai ke permukaan bumi karena tetes-tetes hujan yang jatuh menguap di atmosfer. As dapat terbentuk dari Cirrostratus yang menebal, kadang-kadang dari Nimbostratus yang menipis. Dapat pula As terbentuk dari lapisan Altocumulus yaitu dari kristal es yang jatuh dari Altocumulus, oleh pembentangan bagian tengah atau atas Cumulonimbus, lihat foto 5. Ninbostratus (Ns) adalah lapisan awan yang luas berwarna kelabu tua. Ns cukup tebal sehingga matahari yang berada dibaliknya tidak terlihat. Ns tidak mempunyai jenis awan. Ns terdiri dari tetes awan dan hujan. Curah hujan dapat mencapai permukaan atau berbentuk virga. Curah hujan yang terjadi adalah hujan kontinu (terus menerus). Ns terbentuk dari pembentangan Cumulus besar atau Cumulonimbus. Ns dapat pula terbentuk dari Altostratus yang menebal, kadang-kadang dari Stratocumulus atau Altocumulus, lihat foto 6. Stratocumulus (Sc) adalah lapisan awan yang terdiri dari unsur berbentuk bulatan pipih atau bulatan panjang pipih berwarna kelabu. Langit yang seluruhnya tertutup Sc tampak berombak. Jenis awan Sc 104
Mikrofisika Awan Dan Hujan
adalah stratiformis, lentikularis dan undulatus. Sc dapat berbentuk sangat tipis sehingga matahari yang berada dibaliknya dapat terlihat, dan dapat berbentuk sangat tebal sehingga matahari yang berada dibaliknya tidak terlihat sama sekali. Sc terdiri dari tetes awan, kadang-kadang tetes hujan yang menghasilkan hujan dengan intensitas kecil. Sc dapat dihasilkan dari Altocumulus yang bertambah besar ukuran unsurnya. Sc dapat pula terbentuk dari pembentangan bagian tengah dan atas awan Cumulus atau Cumulonimbus, lihat foto 7. Stratus (St) adalah awan rendah tetapi tidak menyentuh permukaan bumi dan umumnya berwarna kelabu. Jenis awan St adalah nebulosus, fraktus. Dasar awan St sering sangat rendah sehingga menutupi puncak lereng gunung disebut kabut gunung (atau kabut bukit) atau menyentuh permukaan bumi disebut kabut. Matahari yang berada dibaliknya tidak terlihat jika St tebal, tetapi matahari dapat terlihat jika St tipis. St terdiri dari butiran awan atau tetes awan kecil dan tidak menimbulkan halo. St yang tebal terdiri dari tetes hujan yang dapat menghasilkan gerimis. St terbentuk oleh pendinginan atmosfer bawah atau oleh tetes-tetes hujan yang jatuh dari awan Altostratus, Nimbostratus, Cumulus atau Cumulonimbus. Gerimis adalah hujan yang terdiri dari tetes air yang mempunyai diameter lebih kecil 0,5 mm, lihat foto 8. Cumulus (Cu) adalah awan yang tampak mampat dan berbentuk gumpalan yang menjulang. Bagian atasnya terdiri dari tonjolan-tonjolan seperti bunga kol dengan garis batas tajam atau tegas. Dasar awannya horisontal, biasanya berwarna kelabu. Bagian awan yang kena matahari berwarna putih cemerlang. Jika matahari berada dibalik awan, maka awan tampak gelap dengan pinggirnya bercahaya. Jenis awan Cu adalah Mikrofisika Awan Dan Hujan
105
humilis, congestus, mediokris, dan fraktus. Cu terutama terdiri dari tetes air. Kristal es dapat terjadi pada bagian awan yang temperaturnya di bawah 0 0C. Jika ukuran vertikal awan Cu besar, maka Cu dapat menghasilkan hujan lebat tiba-tiba dengan durasi sekitar satu jam. Cu tumbuh dalam arus konveksi akibat pemanasan permukaan bumi oleh radiasi matahari, lihat foto 9 dan 10. Cumulonimbus (Cb) adalah awan yang tampak mampat dan berat, menjulang sangat tinggi berbentuk gumpalan besar. Dalam pertumbuhannya yang berasal dari Cu, maka Cb mulai kehilangan tonjolan dan ketajaman garis batas pada puncaknya. Cumulonimbus mempunyai jenis awan kalvus, kapilatus dan bentuk tambahan presipitasio. Cb terdiri dari tetes awan dan bagian atasnya terdapat kristal es. Cb juga mengandung tetes hujan besar. Awan Cb dapat menghasilkan hujan deras tiba-tiba yang disertai dengan batu es, kilat dan guruh. Nama Cumulonimbus diberikan jika paling sedikit sebagian dari bagian atas awan tampak tidak tegas atau tampak berserat. Jika ciri ini tidak terlihat, maka ciri lain dari awan Cb adalah batu es dan petir, lihat foto 11 dan 12.
106
Mikrofisika Awan Dan Hujan
1
2
3
4
5
6
Gambar 5.1a. Foto genus awan: 1. Cirrus, dan 2. Cirrocumulus, 3. Cirrostratus, 4. Altocumulus, 5. Altostratus, dan 6. Nimbostratus.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
107
1
2
3
4
5
6
Gambar 5.1b. Lanjutan foto genus awan : 7. Stratocumulus, 8. Stratus kabut gunung, 9. Cumulus humilis, 10. Cumulus fraktus, 11. Cumulonimbus kapilatus, dan 12.Cumulonimbus presipitasio.
108
Mikrofisika Awan Dan Hujan
5.3. Pengintian Air Cair Tetes akan stabil jika ukurannya melampaui nilai kritis tertentu. Tetes yang lebih besar ukuran kritis akan tumbuh dan tetes yang lebih kecil akan melenyap (meluruh). Ukuran kritis ditentukan oleh keseimbangan antara kecepatan pertumbuhan dan peluruhan yang berlawanan. Kecepatan ini bergantung pada apakah butiran terbentuk dalam ruang bebas (pengintian homogen) atau bersentuhan dengan benda lain (pengintian heterogen). Untuk pengintian homogen air murni, kecepatan pertumbuhan bergantung pada tekanan parsial uap air lingkungan yang menentukan kecepatan pada mana molekul-molekul air yang mengenai butiran. Proses peluruhan, penguapan, sangat bergantung pada temperatur butiran dan tegangan permukaannya. Molekul-molekul pada permukaan tetes harus memperoleh energi cukup untuk mengatasi gaya ikat agar tidak lepas. Jika keseimbangan terjadi antara cair dan uapnya maka kecepatan kondensasi dan penguapan seimbang dan tekanan uap sama dengan tekanan uap jenuh atau tekanan uap keseimbangan. Tekanan uap jenuh di atas permukaan tetes bergantung pada kelengkungannya dan ditulis sebagai: 2 es r es ~ exp r R v L T
(5.3)
Keterangan : es(r) : tekanan uap jenuh di atas permukaan tetes berbentuk bola r : jari-jari tetes : tegangan permukaan tetes L : densitas tetes T : temperatur Rv : konstanta gas untuk uap air es (~) : tekanan uap jenuh di atas air datar (bulk water) Mikrofisika Awan Dan Hujan
109
Persamaan (5.3) pertama kali diturunkan pada tahun 1870 oleh Baron pertama Lord Kelvin (William Thomson, 1824 – 1907) ahli fisika dan matematika Scotlandia. Thomson masuk Universitas Glasgow pada usia 11 tahun, dan pada usia 22 tahun menjadi Profesor Filosofi Natural di Universitas yang sama. Tegangan permukaan () adalah kerja per satuan luas yang diperlukan untuk memperluas cairan pada temperatur tetap. Pada daerah temperatur meteorologis maka tegangan permukaan air sekitar 7,5 x 10-2 N/m = 75 dyne/cm. Jika ukuran tetes (r) berkurang maka tekanan uap yang diperlukan untuk menjadi jenuh akan menjadi besar. Jika tekanan uap lingkungan e > es(r) maka tetes dengan jari-jari r akan tumbuh, sebaliknya jika e < es(r) maka tetes akan lenyap. Ukuran kritis tetes (rc) dapat ditentukan dengan persamaan : atau
e es rc
0
e es rc Substitusikan pada persamaan (5.3), maka diperoleh : 2 e es ~ exp rc R v L T atau rasio jenuh S, adalah : S
e es ~
n S
110
2 exp R r T v L c
2 R v L rc T
Mikrofisika Awan Dan Hujan
atau rc
2 R v L T n S
(5.4)
Agar tetes yang terbentuk menjadi stabil maka tetes harus tumbuh pada jari-jari lebih besar rc. Dalam atmosfer, tetes awan terbentuk pada aerosol yang disebut inti kondensasi. Menurut gaya gabungnya untuk air maka aerosol diklasifikasikan menjadi higroskopis, netral atau hidrofobik. Pengintian pada aerosol netral memerlukan kelewat jenuh kira-kira sama seperti pengintian homogen. Pada aerosol hidrofobik yang tahan basah (air) pengintian menjadi sulit karena memerlukan kelewat jenuh tinggi. Tetapi pada aerosol higroskopis yang dapat larut dan mempunyai gaya gabung untuk air maka pembentukan tetes hanya memerlukan kelewat jenuh lebih rendah dari pada nilai pengintian homogen.
5.4. Pengaruh Zat Larut Efek zat larut yang tidak mudah menguap menurunkan tekanan uap keseimbangan di atas tetes, akibatnya tetes larutan dapat berada dalam keseimbangan dengan lingkungan pada kelewat jenuh jauh lebih rendah dari pada tetes air murni dengan ukuran sama. Untuk permukaan air datar, penurunan tekanan uap karena adanya zat larut yang tidak mudah menguap dapat diekspresikan menurut hukum Raoult: n0 e' (5.5) es ~ n n0 dimana e adalah tekanan uap keseimbangan di atas larutan yang terdiri dari n0 molekul air dan n molekul zat larut. Untuk larutan encer dengan n0 >> n, maka persamaan (5.5), menjadi : Mikrofisika Awan Dan Hujan
111
e' n 1 es ~ n0 Karena n << n0, maka n dapat diabaikan terhadap n0, sehingga: n0 e' 1 es ~ n n0
(5.6)
Untuk larutan dimana molekul-molekul terlarutnya dapat diuraikan maka persamaan (5.6) harus dimodifikasi dengan mengalikan n oleh faktor derajat disosiasi ionik i. Faktor i yang disebut faktor Van't Hoff dapat ditentukan dari koefisien aktivitas ionik besaran fundamental yang ditentukan oleh data eksperimental. Low, 1989 (dalam Rogers and Yau, 1989) membuat tabel nilai-nilai i untuk delapan konsentrasi elektrolit (zat elektrolisa) termasuk klorida sodium (NaCl) dan ammonium sulfat yang sangat penting sebagai inti kondensasi. Untuk kedua zat ini, nilai i ~ 2 merupakan pendekatan yang pantas untuk dipakai dalam perhitungan, sebelum ada informasi yang lebih persis. Jumlah ion-ion efektif dalam zat larut dengan massa ms adalah: n
i N 0 ms Ms
(5.7)
dimana : N0 : bilangan Avogadro yaitu jumlah molekul per mol Ms : berat molekuler zat larut i : faktor Van't Hoff, untuk klorida sodium dan ammonium sulfat i ~ 2 ms : massa zat larut n : jumlah ion dalam zat larut 112
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Jumlah molekul-molekul air dengan massa mw dapat ditulis serupa dengan persamaan (5.7) yaitu: n0
N0 mw Mv
(5.8)
Keterangan: Mv : berat molekuler uap air mw : massa air n0 : jumlah molekul-molekul air 4 3 r L dimana r adalah jari-jari Dengan menulis massa air m w 3 tetes dan L adalah densitas tetes air, maka persamaan (5.6) dapat diekspresikan menjadi: e' b 1 3 es ~ r
(5.9)
Keterangan: b
3i m v m s 4 L M s
Jika persamaan Kelvin (5.3) dan efek larutan (5.9) digabung, memberikan persamaan tekanan uap keseimbangan tetes larutan es' r sebagi berikut: es' r b 1 3 e a / r (5.10) es ~ r dengan: a
2 L R v T
L adalah densitas tetes Mikrofisika Awan Dan Hujan
113
Jika jari-jari tetes larutan r tidak terlalu kecil maka persamaan (5.10) dapat didekati dengan baik oleh: es' r a b 1 3 es ~ r r
(5.11)
Gambar 5.2. Rasio jenuh keseimbangan sebuah tetes larutan yang terbentuk pada sebuah inti kondensasi ammonium sulfat dengan massa 10-16 gram.
Dalam bentuk persamaan pendekatan ini, a/r dapat disebut suku lengkungan yang menyatakan kenaikan rasio jenuh sebuah tetes 3 terhadap permukaan datar. Suku b/r disebut suku larutan yang menunjukkan penurunan tekanan uap akibat adanya zat terlarut. Secara numerik, nilai a dan b masing-masing adalah:
114
a
3,3 x 10 5 cm T
b
4,3i m s cm 3 Ms
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Untuk nilai-nilai T, ms dan Ms tertentu, maka persamaan (5.11) menggambarkan ketergantungan rasio jenuh pada ukuran sebuah tetes larutan. Kurva paduan persamaan Kelvin dan efek larutan disebut kurva Köhler yang dilukiskan pada gambar 5.2. Kurva dalam gambar 5.2, menunjukkan bahwa efek larutan mendominasi untuk radius tetes kecil, sehingga sebuah tetes larutan yang sangat kecil berada dalam keseimbangan dengan uap pada kelembapan relatif kurang dari 100%. Jika kelembapan relatif meningkat, maka tetes akan tumbuh sampai mencapai keseimbangan sekali lagi. Proses kenaikan kelembapan lingkungan dan pertumbuhan tetes sampai pada ukuran keseimbangan dapat dilanjutkan sampai pada kelembapan relatif * 100% dan sedikit diatasnya. Akhirnya rasio jenuh kritis S tercapai yaitu pada puncak kurva Köhler. Dalam contoh ini (Gambar 5.2) pada kelewat * jenuh (s) = 0,6% yang sesuai dengan jari-jari kritis r = 0,13 m. Sampai * titik ini (S = 1,006 atau s = 0,006 = 0,6%), agar tetes menjadi tumbuh maka kelembapan relatif harus dinaikan. Perlu dicatat bahwa sekali tetes * tumbuh di atas radius kritis r maka rasio jenuh keseimbangannya turun di * bawah nilai rasio jenuh kritis S . Sehingga uap akan berdifusi ke tetes dan tetes akan tumbuh tanpa menaikan rasio jenuh lingkungan. Inti kondensasi dikatakan aktif jika tetes yang terbentuk disekitar * * inti mencapai ukuran kritis r . Sekali tetes melewati ukuran r maka tetes terus tumbuh sampai pada ukuran tetes awan jika rasio jenuh lingkungan pada sebuah nilai di atas kurva keseimbangan. Kenyataannya, pertumbuhan terus menerus tidak akan terjadi karena banyak tetes yang hadir untuk bersaing mendapatkan uap air yang ada dan cenderung menurunkan rasio jenuh ketika kondensasi menjadi lebih cepat dari pada produksi kelewat jenuh. Mikrofisika Awan Dan Hujan
115
Nilai jari-jari kritis r* dan rasio jenuh kritis S* dapat diturunkan dari ekspresi pendekatan (5.11) dengan mendeferensir S terhadap r kemudian disamadengankan nol; dS 0 dr diperoleh r* dan *
S
dengan
S 1
a b r r3
3b a
1
4a 3 27 b
(5.10)
Tabel 5.4, memberikan contoh jejari dan kelewat jenuh kritis untuk tetes yang terbentuk pada inti klorida sodium (NaCl). Tabel 5.4. Nilai-nilai jejari kritis r* dan kelewat jenuh (S* – 1) sebagai fungsi jejari dan massa inti; dengan menganggap bola (butiran) NaCl pada temperatur 273 K (Rogers and Yau 1989). Massa garam Jejari butiran NaCl rs Jejari kritis tetes Kelewat jenuh (m) (S* – 1) (%) terlarut (g) r* (m) -16
0,0223
0,19
0,42
-15
0,0479
0,61
0,13
-14
0,103
1,9
0,042
-13
0,223
6,1
0,013
-12
0,479
19,0
0,0042
10 10 10 10 10
5.5. Mikrostruktur Awan Meskipun kelembapan relatif (RH) awan dan kabut mendekati 100%, tetapi dalam observasi banyak dijumpai penyimpangan 116
Mikrofisika Awan Dan Hujan
kelembapan relatif dari nilai tersebut. Laporan dari berbagai lokasi geografis berbeda menunjukkan bahwa kelembapan relatif kabut telah ditemukan mempunyai jangka (range) dari 81 sampai 100%. Kadangkadang penyimpangan kecil kejenuhan biasanya diamati pada bagian dalam awan. Warner, 1968 (dalam Pruppacher and Klet, 1980) secara tidak langsung mendeduksi nilai-nilai kelembapan relatif dalam awan Cumulus kecil sampai moderat berdasarkan pengukuran kecepatan vertikal dan ukuran tetes. Hasilnya ditunjukkan dalam gambar 5.3 yang dapat disimpulkan bahwa dalam awan-awan tersebut, kelembapan relatif jarang melewati 102% (atau kelewat jenuh 2%) dan jarang lebih rendah 98% (atau kelewat jenuh – 2%). Kasus ini menunjukkan bahwa perubahan fasa uap air menjadi tetes atau kristal es terjadi dalam kelembapan relatif disekitar 100%.
Gambar 5.3. Prosentase pengamatan dengan kelewat jenuh (s) kurang dari nilai yang diberikan, untuk semua 338 sampel (garis tebal) dari ketinggian 150 – 2100 m di atas dasar awan dan untuk 86 sampel (garis tipis) diambil dalam 300 m dari dasar awan. Mikrofisika Awan Dan Hujan
117
Dari beberapa lintasan pesawat melalui awan-awan Cumulus, diperoleh bahwa pada bagian luar awan, udara biasanya mempunyai kelembapan relatif antara 95 dan 100 persen, kemudian menukik turun serendah 70% dekat ujung-ujung awan dimana percampuran turbulen bertanggung jawab masuknya udara kering dari luar awan. Pada bagian awan yang lebih dalam dijumpai kelembapan relatif yang berjangka dari 100% sampai 107%. Awan-awan cair dan kabut sering dijumpai dalam atmosfer pada 0 temperatur di bawah 0 C, karena air dengan segera menjadi kelewat dingin, terutama partikel-partikel yang kecil. Kurva 1 dan 2 pada gambar 5.4, menunjukkan kecenderungan ini. Kurva-kurva tersebut didasarkan pada sejumlah pengamatan pesawat yang dilakukan oleh Peppler (1940) di atas Jerman, dan oleh Borovikov et. al. (1963) di atas teritori Eropa Uni Soviet. Kurva-kurva tersebut menunjukkan bahwa awan-awan kelewat dingin sangat biasa terjadi di dalam atmosfer, 0 terutama jika temperatur puncak awan lebih panas dari – 10 C. Tetapi dengan menurunnya tempartur, kemungkinan peningkatan es sedemikian sehingga pada – 20 0C kurang dari 10% awan terdiri dari tetes-tetes kelewat dingin. Hanya dalam kasus-kasus yang jarang terjadi awan kelewat dingin diamati pada temperatur serendah – 35 0C di atas Jerman, dan serendah – 36 0C di atas teritori Eropa Uni Soviet.
118
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Gambar 5.4. Variasi frekuensi awan kelewat dingin dan awan yang mengandung kristal es. Kurva 1 dan 2 memakai ordinat sebelah kiri. Kurva 3 dan 4 memakai ordinat sebelah kanan. Kurva 1 : Peppler (1940), Jerman, untuk awanawan cair; kurva 2 : Borovikov et. al. (1963), Teritori Eropa Uni Sovjet, untuk awan-awan cair; kurva 3 : Moskop et. al. (1970), Tasmania, untuk awan-awan campuran; kurva 4 : Morris and Braham (1968), Minnesota, untuk awan-awan campuran. Sumber Pruppacher and Klet, 1980.
Jika sebuah awan tumbuh secara kontinu, maka puncak awan melewati isoterm 0 0C. Meskipun begitu sebagian tetes-tetes awan berbentuk cair dan disebut tetes awan kelewat dingin, dan sebagian lagi berbentuk padat atau kristal es bila tetes bertemu inti pembeku. Tetestetes kelewat dingin yang tidak menemukan inti pembeku (inti es) akan menjadi beku pada temperatur sekitar – 40 0C atau lebih rendah. Di 0 bawah ketinggian isoterm 0 C semua tetes awan berbentuk cair. Bagan mikrostruktur awan dapat dilihat pada gambar 5.5.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
119
Gambar 5.5. Penyajian skematik mikrostruktur awan campuran. O : tetes awan, X : kristal es, : tetes kelewat dingin
5.6. Resumé Fakta menunjukkan bahwa atmosfer mengandung aerosol higroskopis yang bertindak sebagai inti kondensasi awan. Proses dimana tetes air dari fasa uap air terbentuk pada inti kondensasi disebut pengintian heterogen. Partikel-partikel yang membentuk awan (inti, tetes awan dan tetes hujan) mempunyai jangka yang lebar mengenai kecepatan jatuh terminal, konsentrasi dan ukurannya. Awan adalah sekumpulan tetes yang berjejari sekitar 10 m dan mempunyai 3 konsentrasi berorde 100 per cm . Awan terbentuk jika udara menjadi kelewat jenuh terhadap air cair atau terhadap es. Di atmosfer, kelewat jenuh terjadi jika udara mengalami ekspansi dan pendinginan adiabatik melalui kenaikan parsel udara, misalnya konveksi, orografi atau konvergensi. Awan dibagi menjadi sepuluh golongan utama (genus). Tiap genus awan dibagi menjadi beberapa jenis awan dan setiap jenis awan masih dapat dibagi lagi menjadi varitas awan. Pembagian jenis awan didasarkan pada keistimewaan yang terdapat pada bentuk, dimensi dan 120
Mikrofisika Awan Dan Hujan
perbedaan struktur dalam setiap genus awan. Misalnya awan genus tertentu berbentuk lonjong atau seperti lensa maka jenis awannya lentikularis. Jenis lentikularis terdapat pada genus awan Cc, Ac, dan Sc. Pembagian varitas awan didasarkan pada tata letak unsur makroskopik awan dan pada sifat transparansi atau kejernihan. Misalnya unsur makroskopik awan dapat tersusun dalam beberapa baris sejajar menyerupai gulungan ombak pantai, maka varitas awan ini disebut undulatus, yang berarti ombak. Kejernihan awan dapat dibedakan antara yang tipis dan yang tebal. Jika melalui awan, posisi matahari masih dapat ditentukan, maka varitas awan dinamakan translusidus, yang berarti transparan dan jika tidak dapat ditentukan, maka varitas awan disebut opakus, yang berarti rapat atau gelap (tidak tembus cahaya). Tekanan uap jenuh di atas permukaan tetes bergantung pada kelengkungannya. Efek zat larut adalah menurunkan tekanan uap keseimbangan di atas tetes, sehingga tetes larutan berada dalam keseimbangan dengan lingkungan pada kelewat jenuh yang lebih rendah dibandingkan dengan tetes air murni pada ukuran yang sama. Tetes awan akan stabil jika ukurannya melampaui nilai kritis tertentu. Tetes yang ukurannya lebih besar nilai kritis akan tumbuh dan yang lebih kecil nilai kritis akan meluruh. Gabungan persamaan tekanan uap jenuh karena efek kelengkungan dan efek larutan disebut kurva Köhler. Meskipun awan tumbuh melewati isoterm 0 0C, tetapi sebagian partikel awan berbentuk cair, disebut tetes awan kelewat dingin dan sebagian lagi berbentuk padat atau kristal es. Tetes awan kelewat dingin yang tidak menemukan inti es akan menjadi beku pada temperatur sekitar 0 – 40 C atau lebih rendah. Mikrofisika Awan Dan Hujan
121
Bab 6 Pertumbuhan Tetes Hujan Dalam Awan Panas
Awan yang terletak di bawah isotherm – 10 0C disebut awan panas. Dalam awan panas hampir seluruhnya terdiri dari butiran-butiran 0 air cair (liquid water droplets) karena sampai temperatur – 10 C butiran awan tidak spontan membeku. Butiran-butiran awan panas dapat tumbuh melalui kondensasi dalam lingkungan kelewat jenuh, kemudian melalui tumbukan – tangkapan dengan butiran-butiran awan lain. Pada bab 5 telah dijelaskan bagaimana butiran awan terbentuk. Jika butiran awan telah melampaui puncak kurva Köhler atau melampaui jari-jari kritis r*, maka butiran tersebut dapat terus tumbuh melalui kondensasi uap air tanpa penambahan rasio jenuh S. Jadi agar sebuah butiran larutan tumbuh menjadi tetes awan maka rasio jenuh S* dan jejari kritis butiran r* harus dilampaui. Dalam bab ini akan dijelaskan bagaimana pertumbuhan butiran awan selanjutnya sampai terbentuk tetes awan (cloud drop) dan tetes hujan (raindrop).
6.1. Pertumbuhan Difusional Butiran Awan Sebelum dan sesudah butiran awan mencapai ukuran kritis, maka butiran awan tumbuh melalui difusi molekul-molekul uap air di atas permukaannya. Jika butiran terbentuk pada inti higroskopis, misalnya NaCl, maka efek larutan terhadap rasio jenuh adalah penurunan tekanan Mikrofisika Awan Dan Hujan
123
uap. Untuk massa larutan yang konstan, makin kecil jari-jari tetes berarti 3 makin tinggi konsentrasi dengan faktor 1/r . Tinjau butiran mempunyai jari-jari r dan terletak dalam medan uap air dengan konsentrasi molekul-molekul uap pada jarak R dari pusat butiran yang dinyatakan dengan n(R). Medan uap dapat juga digambarkan dalam suku-suku densitas (kerapatan) uap air atau kelembapan mutlak v(R), dimana: ρ v n m0 Keterangan: m0 : massa satu molekul air n : onsentrasi molekul-molekul uap air Bila dianggap difusi isotropi, sehingga n(R) atau v(R) tidak bergantung pada arah keluar dari butiran. Pada setiap titik di dalam medan uap, maka konsentrasi molekul dianggap memenuhi persamaan difusi berikut: n t
D 2 n
(6.1)
dimana D adalah koefisien difusi molekuler. Dalam kondisi mantap (steady state) atau stasioner, dianggap bahwa n/t = 0, sehingga persamaan (6.1) menjadi: 2 n R 0
1 2 n R R 2 R R
(6.2)
R adalah jarak n(R) dari pusat butiran. Solusi umum persamaan (6.2) adalah: n R C1
124
C2 R
(6.3)
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Konstanta-konstanta C1 dan C2 diperoleh dengan menerapkan syarat batas berikut: Pada jarak R, maka nn : nilai konsentrasi uap lingkungan atau tak terganggu n = C1 – C2/ atau konstanta C1 = n Pada jarak Rr, maka nnr : konsentrasi uap pada permukaan butiran nr = n – C2/r atau konstanta C2 = r(n – nr) Dengan syarat batas di atas maka solusi persamaan (6.3) menjadi: r n R n n n r (6.4) R n , Fluks molekul pada permukaan butiran sama dengan D R R r sehingga kecepatan pertambahan massa butiran adalah: dm dt
n 4 r2 D m0 R R r
(6.5)
Keterangan : m : massa butiran r : jari-jari butiran m0 : massa satu molekul air D : koefisien difusi molekuler nR
n r R 1 n n r
n 2 r R n n r R n R R r
r . r 2 n n r r 1 n n r
Mikrofisika Awan Dan Hujan
125
Dengan menggabung persamaan (6.4) dan (6.5), diperoleh: m 1 4 r 2 D . n n r m 0 t r atau m t
4 r D n n r m 0
(6.6)
Jika dinyatakan dalam densitas uap, maka: m 4 r D ρ v ρ vr (6.7) t Keterangan : v = n m0 : densitas uap lingkungan vr = nr m0 : densitas uap pada permukaan butiran dengan jarijari r Persamaan (6.7) menyatakan pertumbuhan difusional untuk sebuah butiran yang terisolasi di dalam medan uap. Terlihat bahwa tetes akan tumbuh jika v > vr dan menguap jika v < vr. Biasanya v ditentukan dari kondisi lingkungan tertentu. Sedangkan vr bergantung pada ukuran butiran, komposisi kimia dan temperatur. Temperatur butiran biasanya tidak sama dengan temperatur lingkungan, sehingga harus ditentukan dengan meninjau alih (transfer) panas antara butiran dan lingkungannya. Dalam proses kondensasi, dilepaskan panas laten yang cenderung meningkatkan temperatur butiran di atas temperatur lingkungan. Difusi panas keluar dari tetes diberikan oleh persamaan analogi pada (6.7), yaitu: Q 4 r K Tr T (6.8) t 126
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Keterangan : T : temperatur lingkungan Tr : temperatur pada permukaan butiran K : koefisien konduktivitas panas udara Dari persamaan (6.7) dan (6.8), maka kecepatan perubahan temperatur pada permukaan butiran adalah: mc
dTr dt
dm dQ L dt dt
4 3 dT π r ρL c r 3 dt
L
dm dQ dt dt
(6.9)
Keterangan: m 4 3 π r 3 ρ L : massa butiran L : densitas air c : kapasitas panas spesifik L : panas laten kondensasi Jika dianggap proses pertumbuhan keadaan mantap (steady state) maka dTr/dt = 0, sehingga persamaan (6.9) menghasilkan: L
dm dt
dQ dt
Dari persamaan (6.7) dan (6.8), diperoleh: L 4 π r D ρ v ρ vr
4 π r K Tr T
atau ρ v ρ vr Tr T
Mikrofisika Awan Dan Hujan
K LD
(6.10)
127
Dalam persamaan (6.10) perbandingan K/LD sedikit bergantung pada temperatur dan tekanan, dan kondisi lingkungan dinyatakan oleh v dan T. Biasanya temperatur tetes Tr dan densitas uap pada permukaan permukaan tetes vr tidak diketahui, tetapi dari persamaan (5.11) dan persamaan keadaan uap air, biasanya Tr dan vr dapat dinyatakan dengan: ρ vr
es r R v Tr
a be T 1 3 s r r r R v Tr
(6.11)
dimana es (Tr) adalah tekanan uap keseimbangan (jenuh) di atas sebuah permukaan air datar pada temperatur Tr dan diberikan oleh persamaan Clausius – Clapeyron. Persamaan (6.10) dan (6.11) terdiri dari sebuah sistem simultan yang dapat dipecahkan secara numerik untuk Tr dan vr sehingga diperoleh evaluasi kecepatan pertumbuhan tetes dengan kondensasi.
6.2. Persamaan Pertumbuhan Butiran Melalui Kondensasi Sebagai sebuah alternatif pada metode solusi numerik, didekati secara analitik untuk menghitung kecepatan pertumbuhan sebuah tetes dengan kondensasi. Dalam sebuah medan uap jenuh, perubahan densitas uap dihubungkan dengan perubahan temperatur oleh persamaan Mason (1971): dρ v L dT dT (6.12) ρv R v T2 T dimana v adalah densitas uap air, Rv adalah konstanta gas individu untuk uap air, dan L adalah panas laten kondensasi. Jika persamaan ini diintegrasi dari temperatur Tr sampai temperatur T, dan menganggap T/Tr ~ 1, maka diperoleh: 128
Mikrofisika Awan Dan Hujan
n
ρ vs ρ vrs
L 1 R v Tr T Tr
T Tr
(6.13)
Keterangan : vs: densitas uap jenuh lingkungan vrs : densitas uap jenuh permukaan tetes dengan jari-jari r Subskrip ”s” menunjukkan densitas uap jenuh. Karena vs/vrs ~ 1, maka persamaan (6.13) secara pendekatan menghubungkan: T Tr L 1 T Rv T
ρ vs vrs ρ vrs
dengan T ~ Tr (6.14) 2
Secara pendekatan juga dapat dilakukan bahwa TTr ~ T . Substitusi dari persamaan (6.8) untuk (T – Tr) dan persamaan (6.9) dalam dT proses pertumbuhan keadaan mantap r 0 , maka persamaan (6.14) dT menjadi: dm L L 1 R v T 4 π r K T dt
ρ vs ρ vrs ρ vrs dengan
dQ dm L dt dt
(6.15)
Dari persamaan (6.7), diperoleh: ρ v ρ vr ρ vr
Mikrofisika Awan Dan Hujan
4 π r D ρ vr 1 dm dt
(6.16)
129
4 3 π r ρ L , hubungan kecepatan 3 dm dr pertumbuhan massa tetes dan jejari tetes adalah 4 π r 2 ρL . dt dt Dengan mengurangi persamaan (6.15) dari (6.16) dan menganggap bahwa vr = vrs maka diperoleh persamaan pendekatan kecepatan pertumbuhan sebuah tetes melalui kondensasi sebagai berikut: dr S 1 r dt L Lρ ρ R T 1 L L v KT Des T R v T atau
Jika massa butiran m
r
dr dt
S 1 Fk Fd
(6.17)
L L L ρ R T dan Fd L v 1 Des T Rv T KT e dimana S adalah rasio jenuh lingkungan, L adalah densitas es T
dengan Fk
butiran, dan e = v Rv T adalah tekanan uap air. Jika S < 1 maka dr/dr < 1 dan butiran awan tidak akan tumbuh menjadi tetes, sebaliknya butiran akan menguap. Bentuk pendekatan persamaan (6.17) mengabaikan efek larutan dan kelengkungan pada tekanan uap keseimbangan (jenuh) tetes. Jika efek larutan dan kelengkungan dimasukkan maka persamaan pendekatan (6.17) menjadi: a b S 1 3 dr r r r (6.18) dt Fk Fd Dalam penyebut persamaan (6.17), Fk menyatakan suku termodinamika yang berkaitan dengan konduksi panas, Fd adalah suku yang berkaitan 130
Mikrofisika Awan Dan Hujan
dengan difusi uap. Dalam suku Fk, dapat ditunjukkan bahwa L/RvT >> 1, sehingga angka 1 dapat diabaikan secara pendekatan, atau Fk
L2 ρ L R v K T2
Koefisien difusi dan koefisien konduktivitas termal berubah dengan temperatur, lihat tabel 6.1. Panas laten L dan tekanan uapjenuh es juga bergantung pada temperatur, ditabelkan pada tabel 3.1. Secara pendekatan K sebanding dengan viskositas dinamik udara () dan D sebanding dengan viskositas kinematik ( = /) dengan adalah densitas udara. Viskositas dinamik hanya bergantung pada temperatur dan dapat dihitung dengan formula pendekatan sebagai berikut: 393 T μ T 1,72 x 10 5 T 120 273 dimana T dalam K dan dalam kg m-1 s-1.
3/2
(6.19)
Persamaan umum (6.18) tidak mungkin diintegrasi secara analitik. Dengan data temperatur, tekanan, rasio jenuh, massa dan berat molekuler inti kondensasi, persamaan (6.18) dapat dipecahkan secara numerik atau grafik untuk menentukan ukuran butiran sebagai fungsi waktu. Tabel 6.2, mendaftar hasil-hasil butiran awan yang tumbuh pada inti khlorida sodium (NaCl) pada kelewat jenuh (s) = 0,05%, p = 90 kPa = 900 mb, dan T = 273 K. Sebuah butiran yang terbentuk pada sebuah inti kondensasi besar terlihat pada awalnya tumbuh lebih cepat dari pada butiran-butiran dengan inti kecil, tetapi setelah mencapai jejari tertentu (sekitar 10 m), kecepatan pertumbuhannya kira-kira sama tanpa memandang massa inti. Jika sebuah butiran menjadi cukup besar, maka suku a/r dan b/r3 diabaikan terhadap (S – 1) dan persamaan (6.17) adalah pendekatan yang baik. Mikrofisika Awan Dan Hujan
131
Dengan demikian: dr 1 r dengan S 11 dan 1 Fk Fd (6.20) dt 1 disebut parameter pertumbuhan kondensasi normalisasi. Jika persamaan ini diintegrasi dari jari-jari mula r0 pada saat t = 0 sampai jarijari butiran r pada saat t, maka diperoleh jari-jari butiran bertambah dengan waktu r(t) sebagai berikut: r
t
r dr t,
r0
r r0 pada t 0 dan r r pada t t
0
r
1 2 r 2
t
t r0
r 2 r02
2t
0
r t
r02 2 t
(6.21)
dimana r0 adalah jejari butiran mula-mula. Grafik pertumbuhan butiran awan menjadi tetes berbentuk parabola dengan pertumbuhan mula-mula cepat kemudian menjadi lambat, lihat gambar 6.1. Bentuk parabolik membatasi distribusi ukuran butiran sebagai hasil pertumbuhan. r
r0 0 0
t
Gambar 6.1. Pertumbuhan butiran awan dengan kondensasi dalam lingkungan konstan. r0 : jejari awal dan t : waktu.
132
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Tabel 6.1. Nilai viskositas dinamik udara (), koefisien konduktivitas termal udara (K), dan koefisien difusi uap air dalam udara (D), pada p = 1000 mb (Houghton, 1985). T (0C)
(kg m s )
– 40 – 30 – 20 – 10 0 10 20 30
1,512 x 10 1,564 x 10-5 1,616 x 10-5 1,667 x 10-5 1,717 x 10-5 1,766 x 10-5 -5 1,815 x 10 -5 1,862 x 10
-1
-1
K (J m-1 s-1 K-1)
-5
2,07 x 10 2,16 x 10-2 2,24 x 10-2 2,32 x 10-2 2,40 x 10-2 2,48 x 10-2 -2 2,55 x 10 -2 2,63 x 10
-2
D (m2 s-1) -5
1,62 x 10 1,76 x 10-5 1,91 x 10-5 2,06 x 10-5 2,21 x 10-5 2,36 x 10-5 -5 2,52 x 10 -5 2,69 x 10
Catatan: Nilai D dalam tabel untuk tekanan 100 kPa (1000 mb). Karena D sebanding dengan /, maka D berbanding terbalik dengan tekanan untuk temperatur tertentu.
Tabel 6.2. Kecepatan pertumbuhan butiran dengan kondensasi (jejari awal= 0,75 m). Sumber Mason, 1971. Massa inti (g) Radius (m) r(t) 1 2 4 10 20 30 50
10-14
10-13
10-12
Waktu (sekon) untuk tumbuh dari radius mula r0 = 0,75 m menjadi : 2,4 0,15 0,013 130 7,0 0,61 1000 320 62 2700 1800 870 8500 7400 5900 17500 16000 14500 44500 > 12 j 43500 > 12 j 41500 ~ 12 jam
Jelas dari tabel 6.1., bahwa pertumbuhan butiran menjadi tetes awan Mikrofisika Awan Dan Hujan
133
melalui kondensasi tidak dapat menjelaskan terjadinya hujan. Untuk jejari butiran mula 0,75 m menjadi tetes dengan jejari 50 m dibutuhkan waktu sekitar 12 jam atau lebih, sedang tetes hujan paling kecil dalam bentuk hujan gerimis mempunyai jari-jari 100 m.
Gambar 6.2. Ketergantungan parameter pertumbuhan 1 = 1/(Fk + Fd) pada temperatur dan tekanan. Kontur adalah besaran log10 1 yang diplot, dengan 1 dinyatakan dalam satuan m2 s-1. Garis titik-titik adalah pseudoadiabat dengan w = 0 0C dan 20 0C. Sumber Rogers and Yau, 1989.
Parameter pertumbuhan kondensasi 1 sebagai fungsi temperatur 2 -1 dan tekanan, dan dalam sistem SI mempunyai satuan m s . Karena ukuran tetes biasanya diukur dalam m, maka lebih baik 1 dinyatakan dalam 2 -1 m s . Gambar 6.2, menyatakan ketergantungan log10 1 pada temperatur 0 dan tekanan. Misalnya, pada p = 80 kPa dan T = 0 C, interpolasi dari gambar memberikan : log10 1 = 1,834, sehingga 1 = 101,834 = 68,2 m2 s-1. Garis titik-titik menyatakan temperatur dan tekanan sepanjang garis 0 0 pseudoadiabatik yang sesuai dengan w = 0 C dan 20 C. Hal ini memberi indikasi adanya variasi paramater pertumbuhan kondensasi yang dinormalisasikan (1) sepanjang penyebaran vertikal awan. 134
Mikrofisika Awan Dan Hujan
6.3. Kolisi dan Koalisensi Dalam seksi 6.3 ini, perlu dibedakan antara butiran (droplets) dan tetes (drop). Kebanyakan presipitasi (endapan) yang jatuh ke permukaan tanah adalah sebagai hujan yang diproduksi oleh awan-awan yang 0 puncaknya tidak tumbuh sampai temperatur jauh lebih dingin dari 0 C. Mekanisme yang bertanggung jawab pada pembentukan presipitasi dalam awan panas (awan yang temperaturnya > – 10 0C) ini adalah koalisensi (coalescence) di antara butiran awan. Selain koalisensi berpengaruh dalam proses pembentukan presipitasi di daerah tropis, koalisensi juga efektif dalam awan-awan cumulus daerah lintang tengah yang puncaknya tumbuh sampai temperatur di bawah titik beku. Tugas pokok dari mikrofisika awan dan hujan adalah menjelaskan bagaimana tetes-tetes hujan (raindrops) dapat terbentuk oleh kondensasi dan koalisensi (tangkapan) dalam waktu sependek 20 menit. Waktu ini merupakan interval yang diamati pada awan cumulus antara pertumbuhan awan dan muncul pertama kali sebagai hujan. Selama waktu ini populasi sebuah awan terdiri dari butiran-butiran berorde 100 butiran per cm3 dengan jejari rata-rata 10 m, berkembang 3 menjadi populasi tetes hujan dengan 1000 tetes per m yang mempunyai diameter tipik (khusus) 1 mm. Meskipun masih ada keraguan, tetapi pada umumnya setuju bahwa kolisi (collision) dan koalisensi butiranbutiran dapat meningkatkan jejari 50 kali lipat, syangnya peristiwa ini tidak terjadi dalam jumlah yang signifikan sampai beberapa butiran tumbuh mencapai jejari sekitar 20 m. Butiran-butiran yang lebih kecil mempunyai penampang kolisi (tumbukan) kecil dan kecepatan jatuh lambat, karenanya mempunyai kemungkinan kecil bertumbukan dengan butiran lain. Mikrofisika Awan Dan Hujan
135
Koalisensi hanya dapat menjadi signifikan setelah spektrum butiran tumbuh menjadi ukuran yang berbeda kecepatan jatuhnya, dengan beberapa butiran dapat mencapai jejari 20 m atau lebih. Jika dalam awan yang sedang tumbuh, butiran-butiran mencapai jejari 30 m maka koalisensi lebih dominan dalam proses pertumbuhan. 5 Diameter tetes hujan 1 mm mungkin hasil dari tumbukan berorde 10 butiran. Dari persamaan pendekatan (6.21), maka dapat ditentukan bahwa sebuah butiran awan dapat tumbuh oleh kondensasi pada jejari 20 m dalam 10 menit di bawah kondisi rasio jenuh (S) lingkungan konstan jika kelewat jenuh (s) sekitar 0,5%. Untuk konsentrasi butiran -1 tipik, kelewat jenuh ini akan memerlukan arus udara ke atas 5 ms atau lebih. Kondisi khusus demikian hanya akan didekati dalam awan-awan cumulus yang sedang tumbuh dengan penyebaran vertikal yang meluas. Dalam awan ini kelihatannya kondensasi dalam kenaikan parsel berawan secara adiabatik dapat menghasilkan butiran-butiran yang diperlukan untuk memprakarsai koalisensi dalam waktu realistik. Pelebaran menuju ukuran-ukuran yang lebih besar akan meningkatkan kesempatan koalisensi ketika ukuran butiran mendekati 20 m. Pelebaran pada ukuran-ukuran yang lebih kecil mempunyai peluang kecil untuk berkoalisensi karena penampang kolisi efektif sangat kecil. Tumbukan terjadi akibat beda tanggap (response) butiranbutiran terhadap gaya gravitasi, gaya listrik, atau gaya aerodinamik. Efek gravitasi sangat dominan di dalam awan, butiran besar jatuh lebih cepat dari pada butiran kecil. Sebuah tetes yang jatuh hanya akan menumbuk sejumlah butiran yang terletak di dalam lintasan tetes, karena beberapa 136
Mikrofisika Awan Dan Hujan
butiran tersapu kesamping dalam arus udara disekitar tetes. Rasio jumlah kolisi aktual dengan jumlah yang tersapu keluar disebut efisiensi kolisi (E1) yang bergantung pada ukuran tetes kolektor dan ukuran butiranbutiran tertangkap. Kolisi (tumbukan) bukan jaminan terjadinya koalisensi. Jika sepasang tetes bertumbukan maka beberapa tipe interaksi mungkin terjadi: a. sepasang tetes mungkin melambung terpisah, b. sepasang tetes mungkin bergabung (coalesce) secara permanen dan menjadi satu, c. sepasang tetes mungkin bergabung secara temporer kemudian berpisah dengan mempertahankan masing-masing identitas awalnya, d. sepasang tetes mungkin bergabung secara temporer kemudian pecah menjadi tetes-tetes kecil (small drops). Tipe interaksi bergantung pada ukuran tetes dan trajektori tumbukan, juga dipengaruhi oleh adanya gaya listrik dan faktor-faktor lain. Untuk tetes dengan jari-jari lebih kecil 100 m, maka interaksi (a) dan (b) sangat penting. Rasio jumlah koalisensi (tangkapan) dengan jumlah kolisi (tumbukan) disebut efisiensi koalisensi (E 2 ). Pertumbuhan sebuah tetes oleh proses kolisi–koalisensi ditentukan oleh efisiensi koleksi (E) yaitu hasil kali efisiensi kolisi (E1) dan efisiensi koalisensi (E2). Studi laboratorium menunjukkan bahwa efisiensi koalisensi mendekati satu (E2 ~ 1) jika tetes-tetes yang bertumbukan bermuatan atau ada medan listrik. Karena di dalam awan natural medan listrik lemah dan muatan-muatan jarang, maka studi teoritis pertumbuhan tetes dengan kolisi – koalisensi biasanya diasumsikan bahwa efisiensi koleksi sama dengan efisiensi kolisi (E = E1). Mikrofisika Awan Dan Hujan
137
Sebuah tetes dengan jari-jari R menyusul sebuah butiran dengan jari-jari r. Jika inersia butiran nol maka butiran akan terhempas ke samping oleh aliran arus disekitar tetes yang lebih besar sehingga tidak terjadi tumbukan. Kolisi bergantung pada gaya inersial dan aerodinamik, dan jarak antara pusat-pusat tetes dan butiran (x). Untuk nilai r dan R tertentu, ada nilai kritis parameter dampak (x0) di dalam mana tumbukan pasti terjadi dan di luar itu maka butiran akan disimpangkan keluar jalur tetes. Hasilnya dinyatakan dalam bentuk efisiensi kolisi yang didefinisikan sebagai: x 02 E R , r (6.22) R r 2 Keterangan : R : jari-jari tetes r : jari-jari butiran x0 : parameter dampak (the impact parameter)
Gambar 6.3. Geometri tumbukan.
Efisiensi kolisi (E) sama dengan fraksi dari butiran-butiran berjejari r dalam jalur yang terhempas keluar dari tetes kolektor yang sebenarnya menumbuk butiran tersebut atau efisiensi kolisi dapat ditafsirkan sebagai probabilitas bahwa tumbukan akan terjadi dengan sebuah butiran yang terletak acak dalam volume sapuan (swept volume). Tabel 6.3, menunjukkan efisiensi kolisi (E) untuk tetes R dan butiran r. 138
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Makin besar R dan r, makin besar niai E. Karena efisiensi koalisensi (E2) mendekati satu mka koefisiensi kolisi (E1) sama dengan koefisiensi koleksi (E) atau E = E1 . E2 = E1 . 1 = E1. Tabel 6.3. Efisiensi kolisi (E) untuk tetes R dan butiran r. Sumber Rogers and Yau, 1989. r (m)
R (m) 20 40 60 80 100 200 400 600 1000 (1 mm) 1800 3000 (3 mm)
2 x x – – – 0,039 0,098 0,17 0,15 0,08 0,02
4 0,027 0,020 0,13 0,23 0,32 0,46 0,51 0,54 0,52 0,45 0,33
8 0,12 0,40 0,57 0,68 0,73 0,81 0,83 0,83 0,82 0,80 0,71
10 0,17 0,55 0,68 0,76 0,81 0,87 0,88 0,88 0,88 0,86 0,81
20 – 0,75 0,86 0,92 0,94 0,95 0,96 0,98 0,98 0,94 0,94
25 0,75 0,91 0,95 0,96 0,96 0,97 ~ 1,0 ~ 1,0 ~ 1,0 ~ 1,0
Catatan ; x : tidak dapat ditentukan secara teliti dari data. – : efisiensi kolisi < 0,01.
Menurut beberapa peneliti, besaran efisiensi kolisi (E) disebut efisiensi kolisi linier yang didefinisikan sebagai: x0 yc (6.23) R Dari (6.22) dan (6.23), diperoleh: y c2 E 1 p 2 y c2
E 1 p
2
(6.24)
dimana p = r/R. Kadang-kadang efisiensi kolisi didefinisikan oleh Mikrofisika Awan Dan Hujan
139
ekspresi berikut: 2 x 02 y c2 1 p 2 2 E' y E 1 p (6.25) c 2 2 R 1 p 2 Karena E = E (1 + p) , jelas bahwa E dapat bernilai lebih besar satu.
6.4. Persamaan Pertumbuhan Tetes Misalkan sebuah tetes berjejari R jatuh dengan kecepatan jatuh terminal u(R) melalui sekumpulan butiran yang lebih kecil berjejari r dengan kecepatan jatuh terminal u(r). Jelas bahwa u(R) > u(r). Akan ditinjau posibilitas tetes besar membentur dan menangkap butiran kecil sehingga ukuran tetes membesar. Dalam awan panas terdapat tetes dan butiran yang berbeda ukurannya. Tetes yang jatuh mempunyai kecepatan relatif (u(R) – u(r)) terhadap butiran. Anggap terjadi tumbukan dan penggabungan dalam satu detik dengan semua butiran yang memenuhi silinder dengan tinggi (u(R) – u(r)) dan jari-jari (R + r). Gambar 6.4a, menunjukkan trajektori yang tidak menyimpang sehingga setiap butiran yang pusatnya terletak di dalam silinder dengan jari-jari (R + r) dan sumbunya melalui pusat tetes, akan membentur tetes yang selanjutnya bergabung. Gambar 6.4b, menunjukkan efek aerodinamik yang merubah situasi sehingga butiran bergerak menjauhi sumbu silinder. Misalkan W adalah kadar air awan per satuan volume (berorde 1 gram/m3) yaitu massa semua butiran yang terkandung dalam satuan volume. Pertambahan massa tetes secara empiris dituliskan dengan ekspresi berikut: dm dt 140
2
EWπ R r u R u r
(6.26) Mikrofisika Awan Dan Hujan
dimana (R + r) adalah jari-jari silinder dan u(R) – u(r) adalah kecepatan jatuh tetes relatif terhadap butiran atau tinggi silinder dalam waktu satu sekon. Dalam satu detik tetes menyapu volume silinder (R + r) . (u(R) – u(r)). E adalah nilai rata-rata efektif efisiensi koleksi atau faktor koreksi untuk populasi butiran yaitu perkalian efisiensi kolisi (E1) dengan efisiensi koalisensi (E2). Jika tetes-tetes semuanya lebih kecil sekitar 100 m maka efisiensi koalisensi (tangkapan) dianggap mendekati satu, sehingga efisiensi koleksi identik dengan efisiensi kolisi, jadi E = E1. Jika massa tetes m dinyatakan dengan jejari tetes R, maka persamaan (6.26) menjadi: 2 dR EW r 1 u R u r (6.27) dt 4ρ L R Catatan: Massa tetes: m dm dt
4ππ 2ρ L
dR dt
4 πR 3 . ρ L 3 atau
dR dt
dm dt 4ππ 2ρ L
Untuk R >> r maka (u(R) << u(r)) dan u(r) diabaikan terhadap u(R), sehingga persamaan (6.27) dapat disederhanakan menjadi: dR EW u R (6.28) dt 4ρ L dimana L adalah densitas air. Nilai E (efisiensi koleksi) bergantung pada R dan r. Untuk R dan r yang besar maka nilai E mendekati satu, sehingga pertumbuhan tetes menjadi cepat. Mikrofisika Awan Dan Hujan
141
Perubahan ukuran tetes dengan ketinggian (z) dapat diperoleh dari persamaan: dR dz
dR dt dt dz
dR 1 dt w u R
(6.29)
Keterangan : w : kecepatan arus udara keatas (updraft) u(R) : kecepatan jatuh terminal tetes berjari-jari R dz/dt : kecepatan vertikal = w – u(R), dan dt/dz = 1/(w – u(R)) Dengan mengganti dR/dt dari persamaan (6.28) maka persamaan (6.29) yang menyatakan perubahan radius tetes terhadap ketinggian dapat ditulis sebagai: dR dz
EW uR . 4ρ L w u R
(6.30)
Jika kecepatan udara keatas sangat kecil dan dapat diabaikan maka persamaan (6.30) menjadi: dR EW (6.31) dz 4ρ L Persamaan (6.31) memerikan pertumbuhan tetes karena proses koleksi kontinu dengan menganggap awan sebagai kontinum. Pertumbuhan sebenarnya terjadi karena peristiwa diskrit dari penangkapan butiran. Tetes membesar ketika tetes turun (–z). Fluktuasi turbulen akan meningkatkan tangkapan (koalisensi) dengan meningkatnya kesempatan kolisi butiran-butiran. Meskipun sangat sulit untuk mempredik efek turbulensi dengan pasti, tetapi dapat dikenal dua mekanisme dimana turbulensi dapat mempengaruhi proses koleksi. 142
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Pertama, bahwa tetes-tetes dengan ukuran berbeda mempunyai respon (reaksi) berbeda terhadap medan kecepatan yang berfluktuasi. Untuk butiran kecil, waktu relaksasi (pengendoran) reaksi terhadap fluktuasi kecepatan kira-kira sebanding dengan kuadrat jari-jari tetes. Mekanisme kedua yang dapat mempengaruhi koalisensi dalam medium turbulen yang mungkin penting untuk tetes-tetes yang mempunyai ukuran sama atau ukuran berbeda. Mekanisme ini dikaitkan dengan struktur olakan (eddy) medan kecepatan turbulen. Olakan turbulen menyokong pada proses koleksi dan efeknya meningkat dengan peningkatan intensitas turbulensi, tetapi pengaruhnya pada tingkat pertumbuhan tetes adalah kecil. Perlu dicatat bahwa efek turbulensi pada koalisensi belum dimengerti dengan baik. Hasil sementara untuk medan turbulensi homogen, menunjukkan bahwa koleksi butiran-butiran ditingkatkan oleh reaksi diferensial pada turbulensi.
6.5. Trajektori Tetes Trajektori tetes secara sederhana mengikuti kurva seperti pada gambar 6.4, dimana z = 0 sesuai dengan dasar awan. Jelas bahwa agar proses ini memungkinkan maka awan harus mempunyai ketebalan tidak lebih kecil dari z yang sesuai dengan puncak trajektori. Usaha untuk mengembangkan model yang lebih realistik dari pada komputasi sederhana (persamaan 6.30) menunjukkan tinjauan dinamika awan termasuk faktor-faktor rumit seperti struktur arus udara keatas juga kebawah dan percampuran turbulen dengan lingkungan. Gambar 6.4, menunjukkan trajektori sebuah tetes yang tumbuh dalam awan. Tetes dengan jari-jari awal R0 berada pada tinggi referensi 0 (dasar awan) dibawa keatas oleh arus udara kemudian tumbuh Mikrofisika Awan Dan Hujan
143
bertambah besar. Ketika cukup besar untuk mengatasi arus udara keatas, tetes akan jatuh kembali dan melintasi paras referensi dengan jari-jari R. Agar proses ini memungkinkan maka puncak awan harus lebih tinggi dari z. Model Bowen menggunakan persamaan (6.30) dalam penilaian perkembangan hujan awan-awan panas. Bowen (1950) menganggap bahwa sebuah awan dengan butiran-butiran berukuran uniform (serba sama) naik dengan arus udara keatas konstan dan tumbuh melalui kondensasi. Dia meninjau bahwa sebuah tetes dengan dua kali massa tetes lain hadir sebagai akibat kesempatan koalisensi dan butiran. Tetes ini dibawa keatas bersama butiran-butiran dan tumbuh melalui kondensasi dan koalisensi mengikuti persamaan (6.30) dengan memakai efisiensi kolisi Langmuir dan pendekatan kecepatan jatuh terminal. Contoh dari peristiwa ini dilukiskan pada gambar (6.5).
Gambar 6.4. Trajektori pertumbuhan tetes di dalam awan dengan jari-jari awal R0 dan akhir R.
144
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Gambar 6.5. Trajektori Bowen yang dihitung dengan kecepatan arus udara keatas w = 1 ms-1, kadar air awan W = 1 g m-3. (a) : Udara, (b) : butiran-butiran awan yang awalnya mempunyai jari-jari 10 m, (c) : tetes yang awalnya mempunyai massa dua kali massa butiran awan (Rogers and Yau, 1989).
Pada awalnya pertumbuhan tetes dengan koalisensi lambat dan berorde sama magnitudonya seperti pertumbuhan dengan kondensasi. Tetapi, u dan E bertambah secara cepat dengan ukuran tetes sehingga koalisensi secara cepat melebihi kondensasi. Jika tetes tumbuh pada sebuah ukuran yang segera akan diimbangi oleh arus udara keatas (updraft), maka tetes tersebut mencapai puncak trajektorinya. Pada pertumbuhan selanjutnya tetes mulai turun dan terus tumbuh pada lintasannya kearah bawah yang akhirnya muncul sebagai sebuah tetes hujan dari dasar awan. Parameter yang penting dalam model Bowen adalah kecepatan arus udara keatas dan kadar air awan. Dengan meningkatnya kecepatan arus udara keatas, tetes akan naik pada paras yang lebih tinggi sebelum tetes itu mulai turun, dan muncul dari dasar awan dengan ukuran yang lebih besar. Untuk kecepatan arus udara keatas tertentu, tetes-tetes akan tumbuh lebih besar tetapi mempunyai trajektori lebih rendah karena kadar air awan meningkat. Mikrofisika Awan Dan Hujan
145
Untuk mengilustrasikan efek arus udara keatas lihat gambar 6.6 dan 6.7 dengan memakai data efisiensi koleksi yang baru. Dalam -3 perhitungan, Bowen memakai r = 10 m dan W = 1 g m , tetapi untuk menjamin pertumbuhan beberapa tetes kolektor mempunyai jari-jari awan 20 m. Gambar 6.6, menunjukkan trajektori untuk kecepatan arus -1 udara keatas 0,5 dan 1,0 ms , dan gambar 6.6, menunjukkan diameter tetes sebagai fungsi ketinggian. Pertumbuhan butiran oleh kondensasi diabaikan.
Gambar 6.6. Trajektori tetes yang dihitung dari efisiensi kolisi pada tabel 6.3 dengan menganggap efisiensi koalisensi satu. Jari-jari tetes awal 20 m. Kadar air awan 1 g m-3, semua tetes awan mempunyai jari-jari 10 m.
Perhitungan gabungan antara arus udara keatas, tinggi awan, waktu untuk produksi hujan, dan ukuran tetes yang dihasilkan secara kualitatif sesuai dengan observasi. Ketidaksesuaian yang serius antara prediksi dan observasi terletak pada waktu yang diperlukan. Perhitungan menunjukkan bahwa sekitar satu jam diperlukan untuk menghasilkan tetes berukuran milimeter, sedangkan observasi menunjukkan bahwa tetes seperti itu dapat dibentuk dalam waktu kurang dari setengahnya. 146
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Gambar 6.7. Diameter tetes untuk trajektori seperti gambar 6.6.
6.6. Resumé Pertumbuhan tetes melalui kondensasi pada awalnya cepat tetapi kemudian menjadi lambat. Waktu hidup kebanyakan awan berkisar satu jam. Pertumbuhan kondensasi dengan difusi molekulmolekul uap air tidak dapat diharapkan penambahan jejari butiranbutiran awan lebih dari 20 m. Dari jejari butiran awal 0,75 m kemudian menjadi butiran dengan jejari 20 m diperlukan waktu sekitar 2 jam, dan menjadi butiran dengan jejari 50 m diperlukan waktu sekitar 12 jam. Di atmosfer, situasi menjadi rumit oleh banyak faktor, populasi butiran bergantung pada : i). Distribusi ukuran, konsentrasi dan sifat kimia IKA (inti kondensasi awan). ii). Kecepatan arus udara keatas yang akan membentuk awan. iii). Percampuran udara berawan dengan lingkungannya melalui gerak golakan (turbulent). Observasi menunjukkan bahwa ukuran spektra butiran-butiran awan lebih besar dari pada yang diperkirakan dari teori. Mikrofisika Awan Dan Hujan
147
Pertumbuhan tetes awan melalui kondensasi tidak dapat menjelaskan terbentuknya tetes hujan. Di dalam awan panas tetestetes berukuran heterogen sehingga awan menjadi labil akibat beda kecepatan jatuh terminal diantara tetes. Pertumbuhan tetes dalam awan panas melalui mekanisme Bowen–Ludlam atau mekanisme kolisi–koalisensi yang melibatkan fasa cair. Tetes akan mempunyai kecepatan jatuh lebih besar dari pada butiran awan sehingga terjadi proses tumbukan–tangkapan atau proses koleksi, dan tetes tumbuh menjadi ukuran tetes hujan (R > 100 m). Jadi pertumbuhan tetes dalam awan panas adalah pertumbuhan gabungan, pertama oleh kondensasi kemudian dengan koleksi. Dalam mekanisme kolisi – koalisensi tetes tumbuh menjadi tetes hujan sedangkan butiranbutiran awan terkoleksi oleh tetes. Untuk membentuk satu tetes hujan diperlukan puluhan ribu sampai satu juta butiran awan melalui mekanisme Bowen – Ludlam. Pertumbuhan tetes dalam awan panas bergantung pada ukuran tetes dan butiran, kecepatan jatuh terminal tetes dan butiran, efsiensi koleksi, dan kadar air awan. Efisiensi koleksi E adalah hasil kali efisiensi kolisi E1 dan efisiensi koalisensi E2 atau E = E1 . E2. Efisiensi koalisensi mendekati satu sehingga efisiensi koleksi sama dengan efisiensi kolisi atau E = E1. Nilai efisiensi kolisi E1 bergantung pada ukuran tetes R dan butiran r. Untuk R = 80 m dan r = 25 m, maka E1 ~ 0,90.
148
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Bab 7 Pertumbuhan Partikel Es dalam Awan Dingin
Pengintian spontan uap air menjadi tetes cair tidak akan terjadi di atmosfer kecuali ada IKA (inti kondensasi awan). Demikian juga pengintian spontan air di dalam awan tidak akan terjadi kecuali ada IES (inti es) atau temperatur awan mencapai temperatur – 40 0C. Jadi, jika sebuah parsel udara awan naik, maka awan akan menjadi es pada 0 0 0 temperatur sekitar – 40 C. Antara temperatur 0 C dan – 40 C tidak terjadi pengintian spontan. Sejumlah partikel aerosol tertentu mempunyai sifat memudahkan inisiasi fasa es dalam air, partikel-pertikel inti disebut inti pembeku atau inti es (IES). Faktor kendali pertumbuhan massa kristal es adalah deposisi yaitu perubahan fasa uap air menjadi fasa es, mirip dengan faktor kendali pertumbuhan massa tetes oleh kondensasi. Dalam awan campuran, pertumbuhan massa partikel es disebabkan oleh tumbukan dengan tetestetes kelewat dingin yang kemudian membeku pada partikel es membentuk batu es hujan (hailstone). Partikel es dapat juga tumbuh melalui mekanisme tumbukan dan gabungan (aggregation) satu sama lain. Tumbukan partikel es satu sama lain terjadi jika kecepatan jatuh terminalnya berbeda. Pelekatan kristal-kristal es yang bertumbukan Mikrofisika Awan Dan Hujan
149
terjadi terutama pada temperatur sekitar – 5 0C dimana permukaan es menjadi sangat lengket (sticky).
7.1. Awan Dingin dan Awan Campuran 0
Jika sebuah awan tumbuh di atas paras isoterm 0 C dan 0 temperatur mencapai – 10 C atau lebih rendah disebut awan dingin. Meskipun temperaturnya di bawah 0 0C, tetapi butiran-butiran air masih dapat berada dalam awan disebut butiran kelewat dingin, butiran yang menemukan inti pembeku akan menjadi partikel es. Awan dingin yang mengandung partikel es dan butiran kelewat dingin disebut awan campuran, jika awan dingin terdiri seluruhnya es dikatakan awan es. Dua fasa transisi dapat mengarah pada pembentukan es yaitu pembekuan sebuah butiran cair atau deposisi langsung dari uap air menjadi fasa es. Keduanya adalah proses pengintian yang pada dasarnya pengintian homogen dan heterogen. Kristal es yang terbentuk dalam awan bersamaan dengan butiran cair adalah lingkungan yang menguntungkan untuk tumbuh secara cepat melalui difusi. Uap air dalam awan pada dasarnya relatif jenuh terhadap air cair dan karenanya relatif kelewat jenuh terhadap es. Dalam beberapa menit, kristal es tersebut dapat tumbuh pada ukuran beberapa puluh mikrometer. Sebuah kristal es dengan ukuran ini akan jatuh dengan kecepatan beberapa puluh centimeter per sekon. Kristal es ini pada akhirnya terbentuk sebagai kristal individu, atau bertumbukan dengan butiran-butiran kelewat dingin membentuk kristal embun beku (a rimed crystal) atau bertumbukan dengan kristal lain membentuk kumpulan kristal (a crystal aggregate) atau serpih salju (snowflake). Jadi proses pertumbuhan kristal es sama seperti butiran awan yaitu difusi yang 150
Mikrofisika Awan Dan Hujan
diikuti oleh pembekuan (coagulation). Tetapi untuk kristal es pertumbuhan difusional lebih signifikan dari pada untuk butiran karena beda tekanan uap jenuh di atas air dan es. Akan menguntungkan jika ditinjau transisi fasa homogen yang menyebabkan pembentukan es. Pembekuan homogen tetes cair murni terjadi bila fluktuasi statistik aransemen (susunan) molekuler air menghasilkan struktur es yang stabil seperti yang terjadi dengan inti es. Hal ini persis sama seperti pengintian homogen cairan dalam uap air. Dua pertimbanan untuk menentukan kondisi pengintian pembekuan homogen yaitu : (i) ukuran inti yang stabil dan (ii) probabilitas kejadian inti es embionik (seperti janin) oleh penyusunan kembali secara acak (random) molekul-molekul air. Besaran-besaran ini bergantung pada energi bebas permukaan dari antarmuka sebuah kristal/cairan yang analogi dengan tegangan permukaan pada antarmuka (interface) sebuah cairan/uap. Nilai numerik energi bebas permukaan tidak diketahui secara -2 -2 -2 akurat, tetapi berkisar 2 x 10 Jm atau 20 erg cm . Dengan energi sebesar ini, maka diperkirakan butiran-butiran yang lebih kecil 5 m akan membeku secara spontan pada temperatur sekitar – 40 0C. Sedangkan butiran yang lebih besar diperkirakan membeku pada temperatur sedikit lebih panas, beberapa tetes diperkirakan berada pada temperatur sedingin – 40 0C, yang menyatakan bahwa pembekuan 0 heterogen terjadi pada temperatur lebih panas dari – 40 C. Tetapi kadang-kadang pesawat terbang melaporkan peng–es–an (icing) dalam awan terjadi pada temperatur sekitar – 40 0C yang menyatakan bahwa butiran awan kadang-kadang mungkin tidak membeku sampai batas ambang homogen dicapai.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
151
Deposisi homogen terjadi bila molekul uap membentuk embrio es yang stabil oleh kesempatan kolisi. Meskipun energi bebas permukaan antarmuka kristal/uap sulit diketahui, teori memperkirakan bahwa pengintian deposisi homogen hanya terjadi pada kondisi kelewat jenuh ekstrim. Lebih dari dua puluh kali lipat kelewat jenuh terhadap es 0 diperlukan pada temperatur beberapa derajat di bawah 0 C, dan kelewat jenuh tetap lebih tinggi pada temperatur yang lebih dingin. Konfirmasi eksperimental teori deposisi homogen nampaknya mustahil (tidak mungkin) karena butiran air cair selalu harus menginti (nucleate) secara homogen sebelum kelewat jenuh mencapai nilai tingi yang diperlukan untuk es. Butiran air cair akan membeku secara spontan pada temperatur 0 lebih dingin dari – 40 C yang membuat tidak mungkin untuk mengenali kristal-kristal es yang mungkin terbentuk oleh deposisi. Meskipun tidak ada kepastian eksperimental, tetapi jelas bahwa deposisi homogen tidak dapat terjadi di atmosfer, dimana kelewat jenuh ekstrim yang diperlukan tidak pernah ada. Kristal-kristal es biasanya tampak dalam sebuah awan dalam jumlah lumayan (appreciable) bila temperatur tetes-tetes di bawah 0 temperatur sekitar – 15 C yang menandakan pengintian heterogen. Air jika kontak dengan bahan (material) asing akan membeku pada 0 temperatur lebih panas dari – 40 C, deposisi terjadi pada permukaan dengan kelewat jenuh dan kelewat dingin lebih kecil dari nilai pengintian homogen. Jadi nukleasi (pengintian) es dalam air kelewat dingin atau lingkungan kelewat jenuh dibantu oleh kehadiran permukaan benda asing atau partikel yang mengapung di udara (aerosol). Bahan asing memberikan sebuah permukaan atau lapisan (substrate) pada mana molekul air dapat bergeseran, melekat (stick), 152
Mikrofisika Awan Dan Hujan
atau mengikat bersama, dan membentuk gabungan (aggregate) dengan struktur seperti es. Makin besar gabungan partikel es, makin mungkin menjadi stabil dan kontinu untuk hidup. Probabilitas pengintian pembekuan heterogen atau deposisi bergantung secara kuat pada sifatsifat bahan dasar juga pada kelewat dingin dan kelewat jenuh. Makin batas itu lebih rapat maka molekul-molekul air akan berada pada permukaan (lapisan) sehingga makin besar probabilitas pengintian es. Bahkan jika struktur kristal bahan mirip sekali dengan bidang kristal es maka akan meningkatkan kesempatan pengintian es. Bila ikatan dan kesesuaian kisi-kisi kristal baik, maka kelewat jenuh dan kelewat dingin yang diperlukan untuk mengintikan es pada bahan mungkin jauh lebih rendah dari pada dalam pengintian es homogen. Awan-awan kelewat dingin di atmosfer tumbuh dan hidup (exist) dalam kehadiran sejumlah besar partikel aerosol yang sebagian kecil bertindak sebagai inti es pada temperatur yang kebanyakan lebih 0 panas dari batas ambang – 40 C untuk pembekuan homogen. Beberapa mekanisme pengintian adalah mungkin dan ditunjukkan secara bagan dalam gambar 7.1. Es dapat terbentuk secara langsung dari fasa uap pada inti deposisi yang sesuai. Ada tiga mode (cara) aktivasi yang dikenal dalam inti pembekuan. Beberapa inti bertindak pertama sebagai pusat-pusat kondensasi, kemudian sebagai inti-inti pembekuan. Beberapa inti meningkatkan pembekuan pada saat bersentuhan dengan butiran kelewat dingin. Dan inti-inti yang lain menyebabkan pembekuan setelah melekat atau membenam dalam sebuah butiran.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
153
Gambar 7.1. Mekanisme pengintian es dan bagan cara-cara inti es atmosferik dalam pembekuan es (Rogers and Yau, 1989).
Sebuah partikel mungkin mengintikan es dalam cara-cara berbeda, bergantung pada kondisi lingkungan dan sejarahnya di dalam awan. Sulit membedakan antara penintian deposisi dan pengintian pembekuan bila es menginti pada permukaan yang tidak mudah larut dalam lingkungan yang relatif jenuh terhadap air cair. Bahkan dalam kondisi di bawah kejenuhan air, pengintian tidak harus berarti deposisi, karena inti tersebut mengandung komponen yang mudah larut. Bahan yang mudah larut (soluble) mungkin mengintikan fasa cair di bawah kejenuhan air dan bahan tidak mudah larut (insoluble) mungkin mengintikan es melalui pembekuan. Karena ada keraguan di antara mekanisme pembentukannya, maka pengintian es sering dikatakan sebagai pengganti fenomena yang lebih spesifik yaitu pengintian pembekuan atau pengintian deposisi. 154
Mikrofisika Awan Dan Hujan
7.2. Inti Es Atmosferik Jika butiran air tidak mengandung partikel asing, maka butiran hanya membeku oleh proses pengintian homogen (atau spontan), dimana sebuah embrio es dengan ukuran kritis terbentuk oleh gabungan (aggregation) sejumlah molekul-molekul air dalam butiran. Pengintian homogen terjadi pada temperatur sekitar – 36 0C untuk butiran-butiran yang mempunyai jejari antara 20 dan 60 m dan pada temperatur sekitar 0 – 39 C untuk butiran-butiran yang mempunyai jejari beberapa mikrometer. Karena itu hanya awan-awan tinggi yang dapat terjadi pembekuan oleh pengintian homogen. Jika butiran mengandung tipe khusus partikel asing, disebut inti pembeku, maka butiran dapat membeku oleh proses pengintian heterogen dimana molekul-molekul air dalam butiran terkumpul pada permukaan partikel untuk membentuk struktur seperti es (icelike structure) yang dapat meningkatkan ukuran dan menyebabkan butiran membeku. Karena pembentukan struktur es dibantu oleh inti pembeku, pengintian heterogen dapat terjadi pada temperatur jauh lebih tinggi dari pada pengintian homogen. Partikel yang mempunyai jarak (spasi) molekuler dan susunan kristalografik serupa dengan es (yang mempunyai struktur heksagonal) cenderung mempunyai kemampuan mengintikan es dengan baik. Kebanyakan inti es yang baik sebenarnya tidak larut dalam air. Beberapa partikel-partikel tanah anorganik (inorganic) terutama lempung dapat 0 mengintikan es pada temperatur agak tinggi yaitu di atas – 15 C, dan partikel ini memainkan peranan penting mengintikan es dalam awan. Banyak bahan (material) organik sebagai penginti (nucleator) es yang Mikrofisika Awan Dan Hujan
155
baik. Baru-baru ini diamati bahwa daun-daun tanaman yang busuk banyak mengandung inti es, beberapa inti es aktif pada temperatur 0 0 setinggi – 4 C. Inti es yang aktif pada temperatur – 4 C juga ditemui dalam air laut yang kaya plankton. Konsentrasi inti es atmosferik dipengaruhi oleh banyak faktor seperti sejarah aerosol, kelembapan, dan peubah-peubah lainnya. Ketika kelewat dingin meningkat, maka konsentrasi inti es meningkat. Konsentrasi inti es juga meningkat dengan kenaikan kelewat jenuh. Tabel 7.1, meringkas temperatur ambang batas pembekuan (pembentukan es) dari bahan murni dan bahan alam tertentu. Perak iodida (AgI) mempunyai temperatur pengintian relatif panas – 4 0C. AgI adalah bahan yang banyak dipakai dalam pembenihan awan buatan. Bahan perak iodida dapat dibuat dalam bentuk partikel yang sangat halus oleh pembakaran senyawa perak khusus.
156
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Tabel 7.1. Sifat pengintian partikel berbagai bahan (Houghton, 1985). Ambang nukleasi 0 ( C)
Komentar
1. Bahan murni Es AgI Pb I2 Cu S Cu O Hg I2 Ag2 S Cd I2 I2
0 –4 –6 –7 –7 –8 –8 – 12 – 12
– tidak larut sedikit larut tidak larut tidak larut tidak larut tidak larut larut larut
2. Mineral Vaterite Kaolinite (tanah liat) Abu vulkanik Halloysite Vermiculite Cinnabar
–7 –9 – 13 – 13 – 15 – 16
3. Organik Testosteron Chloresterol Metaldehyde – Naphthol Phloroglucinol Bactterium “Pseudomonas Syringae”
–2 –2 –5 – 8,5 – 9,4 – 2,6
Bahan
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Silikat
Bakteria dalam jamur daun 157
Meskipun masih ada ketidakpastian, tetapi ada kejelasan bahwa mineral lempung (clay) terutama kaolinite (lihat tabel 7.1) sebagai komponen utama inti es atmosferik, material yang banyak dijumpai dalam banyak tipe tanah dengan temperatur ambang untuk pembekuan adalah – 9 0C. Keping-keping salju yang jatuh ketanah biasanya dijumpai mengandung partikel yang menjadi pusat pertumbuhan kristal es. Partikel ini didefinisikan oleh mikroskop elektron yang menunjukkan kaolinete dengan ukuran yang berjangka dari 0,1 sampai 4 m. Bagaimana kaolinete dapat menerangkan kejadian es dalam awan lebih panas dari – 9 0C yang kadang-kadang diamati, jawabannya masih belum jelas. Sumber lain dari inti es adalah bakteria dalam material daun tanaman busuk dapat menjadi inti yang efektif pada temperatur panas 0 (– 2,6 C). Telah diketahui bahwa partikel tanah biasa dapat menjadi aktif pada temperatur lebih panas dari pada batas ambang untuk kaolinite yang mungkin dijelaskan dengan inti berukuran submikron dari beberapa bahan organik minor. Bakterium Pseudomonas syringae dapat bertindak sebagai inti es pada temperatur sepanas – 1,3 0C, meskipun kemampuan pengintiannya bersifat aneh dan mudah berubah. Tetapi signifikansi intiinti biogenik dalam atmosfer belum terbukti dan masih perlu penelitian lebih lanjut. Material meteor kemungkinan sebagai sumber inti es atmosferik, pada awalnya karena ditemukan korelasi antara kejadian curah hujan ekstrim dengan hujan meteor (meteor showers), dan yang lebih baru karena meteorit submikron yang diproduksi oleh penguapan dan mengondensasi kembali menjadi material meteoritik adalah inti es yang agak efektif. Tetapi dari observasi selanjutnya jelas tampak bahwa sumber bumi banyak mengandung inti-inti es. Pengukuran pada situs 158
Mikrofisika Awan Dan Hujan
pantai (coastal sites) menunjukkan lebih banyak inti dalam udara dari trajektori di atas darat ketimbang di atas osean. Konsentrasi inti es berkurang dengan ketinggian di atas tanah, konsisten dengan sumber inti pada permukaan. Bahkan pada Kutub Selatan, partikulat dalam kepingkeping salju yang dijumpai adalah mineral lempung. Kejadian kristal es dalam awan dikaitkan dengan tipe awan, temperatur, dan umur awan. Pengamatan menegaskan bahwa temperatur awan yang lebih dingin, mempunyai kemungkinan lebih besar kristal es hadir bersama-sama dengan butiran air kelewat dingin. Konsentrasi kristal es yang diukur di dalam awan berjangka sekitar 0,01 per liter sampai 100 per liter. Konsentrasi yang tinggi terdapat pada awan cirus dan masih cukup tinggi dalam kabut es yang terbentuk di bawah kondisi daerah kutub utara (arctic) yang sangat dingin. Kristal-kristal pertama yang tampak dalam sebuah awan harus terbentuk pada inti es. Perkecualian dari generalisasi ini mungkin terjadi pada awan-awan cirus yang terbentuk pada temperatur sedemikian dingin sehingga pembekuan homogen dapat terjadi sesegera mungkin ketika fasa air tampak. Kristal es tambahan kemudian diproduksi oleh proses sekunder dimana kristal-kristal primer dimultiplikasikan (dilipatgandakan). Dua mekanisme dikenal sebagai pendukung produksi partikel es sekunder : pecahan kristal-kristal es dan pemecahan atau penyerpihan tetes-tetes yang membeku. Mekanisme produksi partikel sekunder kadang-kadang disebut serpihan embun beku (rime–splintering) yang menyebabkan konsentrasi kristal es tinggi. Peristiwa ini kadang-kadang diamati dalam awan-awan cumulus maritim dengan temperatur tidak 0 lebih dingin dari pada – 10 C. Tidak ada keraguan bahwa kristal-kristal Mikrofisika Awan Dan Hujan
159
es diproduksi oleh proses sekunder, tetapi karena pemahaman tentang proses ini sangat terbatas maka banyak observasi konsentrasi kristal es tidak dapat dijelaskan secara kuantitatif.
7.3. Pertumbuhan Partikel Es dari Fasa Uap Dalam awan campuran yang didominasi oleh tetes-tetes kelewat dingin, udara mendekati jenuh terhadap air cair, karenanya kelewat jenuh terhadap es. Misalnya, udara jenuh terhadap air cair pada 0 temperatur – 10 C menjadi kelewat jenuh terhadap es sebesar 10% dan pada temperatur – 20 0C menjadi kelewat jenuh terhadap es sebesar 21%. Nilai-nilai ini jauh lebih tinggi dari pada kelewat jenuh udara berawan terhadap air cair yang jarang melebihi 1%. Akibatnya, dalam awan campuran kristal es tumbuh dari fasa uap lebih cepat dari pada yang dilakukan oleh tetes awan. Sekali janin (embrio) es terbentuk baik oleh deposisi secara langsung dari uap air atau oleh pembekuan sebuah butiran kelewat dingin maka terjadi pertumbuhan difusional, karena janin es pada hakekatnya berada dalam lingkungan yang jenuh terhadap air. Persamaan pertumbuhannya analogi dengan pertumbuhan tetes awan tetapi dengan perbedaan yang penting yaitu kristal es biasanya tidak sferis. Bila kristal-kristal es pertama menginti dalam sebuah awan, maka kristal-kristal tersebut menemukan lingkungan dimana tekanan uapnya sama dengan atau sedikit lebih besar dari pada tekanan uap keseimbangan di atas air cair (es). Rasio jenuh relatif terhadap es dapat ditulis: e e es e Si . S. s (7.1) ei es ei ei dengan S menunjukkan rasio jenuh terhadap air dan ei adalah tekanan uap keseimbangan di atas es. Rasio kelewat jenuh yaitu [(es/ei) – 1] 160
Mikrofisika Awan Dan Hujan
dirajah (diplot) dalam gambar 7.2 dari data dalam tabel 3.1. Ini menunjukkan bahwa air jenuh di dalam sebuah awan mempunyai kelewat jenuh tinggi relatif terhadap es dan merupakan lingkungan yang menguntungkan untuk pertumbuhan cepat melalui difusi dan deposisi. Lingkungan ini akan tetap menguntungkan untuk pertumbuhan kristal selama butiran-butiran cair yang ada menguap dan menjaga tekanan uap pada keseimbangan relatif terhadap air. Jika butiran-butiran pada akhirnya melenyap oleh penguapan atau pembekuan, maka rasio jenuh akan turun pada keseimbangan relatif terhadap es.
Gambar 7.2. Kelewat jenuh relatif terhadap es dalam atmosfer pada keseimbangan kejenuhan relatif terhadap air.
Masalah yang menentukan pertumbuhan sebuah kristal melalui difusi adalah analogi dengan masalah pertumbuhan sebuah butiran air melalui kondensasi tetapi lebih rumit karena bentuk kristal nonsferis (tidak bulat). Maxwell dalam teorinya termometer bola basah memecahkan persamaan-persamaan alih panas dan massa dengan mengambil analogi antara persamaan difusi dan persamaan elektrostatik yang menggambarkan Mikrofisika Awan Dan Hujan
161
distribusi potensial di sekitar sebuah konduktor bermuatan. Analogi elektrostatik adalah titik awal dari teori pertumbuhan kristal es melalui difusi. Dengan memakai persamaan elektrostatik Poisson dan teorema Green, dapat ditunjukkan bahwa integral sekeliling permukaan sebuah konduktor komponen normal –, (dimana adalah potensial elektrostatik) adalah sama dengan 4Cs, dimana s adalah potensial konduktor dan C kapasitannya. Jika diidentifikasi – Dn yang adalah fluks molekul-molekul air dengan – , maka aliran total air yang keluar dari kristal es analogi dengan 4CD (ns – n~), dimana ns adalah densitas jumlah uap pada permukaan kristal dan n~ adalah nilainya pada jarak yang jauh dari permukaan kristal. Asumsi bahwa 2n = 0 dan bahwa ns sama pada seluruh titik di permukaan adalah diperlukan agar melengkapi analogi tersebut. Jadi persamaan pertumbuhan massa kristal es melalui difusi dapat ditulis mengikuti analogi persamaan (6.7) sebagai berikut: dm dt
4π C ρ v ρ vr
(7.2)
dimana C menunjukkan kapasitan elektrik dengan satuan panjang, yaitu sebuah fungsi ukuan dan bentuk partikel. Untuk sebuah bulatan, maka C = r sehingga persamaan (7.2) menjadi persamaan pertumbuhan sebuah tetes. Untuk sebuah piringan lingkaran dengan jari-jari r, yang dapat dipakai sebagai pendekatan bagi kristal es bentuk pelat (piringan), maka C = 2r/. Pada persamaan 7.2, D adalah koefisien difusi molekuler, v adalah densitas uap lingkungan, dan vr adalah densitas uap pada permukaan kristal es. Kristal es bentuk jarum (ice needles) dapat didekati dengan formula untuk sebuah sferoid prolate (prolate spheroid) dengan setengah sumbu panjang dan setengah sumbu pendek masing-masing adalah a dan b, sebagai berikut : 162
Mikrofisika Awan Dan Hujan
A A n a A b dengan
C
a 2 b2
Untuk sferoid oblate (oblate spheroid) maka: aε arcsin ε
C
dengan
eliptisitas
1
b2 a2
Kristal-kristal es yang sebenarnya mempunyai bentuk lebih rumit dari pada bulatan, piringan, dan elipsoid yang memakai formula teoritis di atas (persamaan 7.2). Tetapi tipe-tipe kristal es umum seperti dendrite bidang dan pelat dapat didekati oleh piringan lingkaran dengan luas yang sama. Demikian juga kristal berbentuk jarum dapat didekati dengan prolate panjang. Ketika kristal es tumbuh, permukaannya dipanasi oleh panas laten sublinasi (Ls) dan nilai vr akan naik. Di bawah kondisi pertumbuhan stasioner, nilai vr ditentukan oleh keseimbangan antara suku panas laten dan alih panas menjauhi dari permukaan kristal es, dinyatakan oleh ekspresi: ρ v ρ vr K (7.3) Tr T Ls D Menurut argumen termodinamika pada bab 6, maka persamaan (7.2) dan (7.3) dapat digabung yang memberikan ekspresi analitik pertumbuhan kristal es. Formula ini secara persis sama seperti yang berlaku untuk tetes-tetes air jika r diganti dengan C, es (T) dengan ei (T) dan L dengan Ls panas laten sublimasi: dM dt
4C Si 1 L s L Rv T 1 s KT ei T D R v T
Mikrofisika Awan Dan Hujan
(7.4)
163
Dalam persamaan (7.4) seperti pada persamaan (6.17) bahwa efek-efek kinetik dan ventilasi diabaikan. Efek-efek ini belum dipahami baik untuk kristal es maupun butiran air. Molekul-molekul uap tidak dapat menyatu dengan sebuah kristal es dalam cara serampangan, melainkan harus mengikat molekul per molekul sehingga dengan cara seperti itu pola kristal dipertahankan. Akibatnya, mungkin tidak teliti untuk mengidentifikasi vr dengan densitas uap keseimbangan es, dan dalam kenyataannya vr mungkin tidak sama pada semua titik permukaan kristal. Karena efek-efek ini maka kecepatan pertumbuhan sebuah kristal es akan cenderung lebih lambat dari pada yang diberikan oleh persamaan (7.4). Kerena pertumbuhan awal kristal-kristal es biasanya terjadi dalam sebuah awan air, maka Si = es/ei dalam persamaan (7.4) sangat bergantung pada temperatur seperti ditunjukkan pada gambar (7.2).
Gambar 7.3. Penyajian skematik bentuk-bentuk utama kristal es: a). kolom, b). pelat, c). dendrite (Rogers, 1976).
Kondisi lingkungan tidak hanya menentukan kecepatan pertumbuhan, tetapi juga bentuk sebuah kristal yang sedang tumbuh. Semua bentuk ini secara dasar merupakan struktur heksagonal, tetapi dengan rasio sumbu berbeda lebar. Gambar 7.3, mengilustrasikan tipetipe kristal utama, yaitu kolom, pelat, dan dendrite. Ketika sebuah kristal 164
Mikrofisika Awan Dan Hujan
yang sedang tumbuh bergerak melalui sebuah awan, bentuk kristalnya akan berubah menurut kondisi lingkungan yang berubah.
7.4. Pertumbuhan Partikel Es dari Pembekuan Tetes Dalam awan campuran, partikel es meningkat massanya ketika bertumbukan dengan butiran air kelewat dingin yang kemudian membeku padanya. Proses ini mengacu pada pertumbuhan melalui pembekuan yang menghasilkan pembentukan berbagai struktur beku misalnya jarum beku ringan, kolom beku padat uniform, pelat beku padat, dan kristal bintang beku padat. Bila pembekuan berlanjut di luar bentuk tertentu maka pembekuan menjadi sulit untuk melihat bentuk kristal es aslinya. Partikel beku ini disebut graupel, misalnya graupel bongkah dan graupel kerucut. Graupel adalah batu es lembek (soft hail) atau tetes hujan beku (frozen raindrop). Batu es hujan (hailstone) menyatakan kasus ekstrim pertumbuhan partikel es dengan pembekuan. Batu es terbentuk dalam awan konvektif yang kuat dengan kadar air cair tinggi. Di bawah kondisi ekstrim telah diamati batu es dengan diameter sebesar 13 cm dan massa lebih dari 0,5 kg. Tetapi batu es dengan diameter sekitar 1 cm lebih banyak ditemukan. Jika sebuah batu es mengumpulkan butiran-butiran air kelewat dingin dengan jumlah sangat besar maka temperatur permukaannya meningkat sampai 0 0C dan beberapa air yang terkumpul tidak akan membeku. Dengan demikian permukaan batu es menjadi diliputi oleh lapisan air cair dan dikatakan batu es menjadi basah. Di bawah kondisi semacam ini beberapa air cair dapat terlepas dalam jalur olakan batu es, tetapi beberapa air cair dapat juga tergabung kedalam tautan (hubungan) air – es untuk membentuk apa yang dikenal sebagai batu es bunga karang (spongy hail). Mikrofisika Awan Dan Hujan
165
Jika sebagian tipis batu es dipotong dan dilihat dalam cahaya, maka sering terlihat lapisan-lapisan gelap dan terang secara bergantian, lihat gambar 7.4. Lapisan gelap adalah es buram (opaque) yang terdiri banyak gelembung-gelembung air kecil dan bagian terang adalah es cerah (bebas gelembung air). Terlihat dari gambar 7.4 bahwa permukaan sebuah batu es dapat mengandung cuping-cuping (lobes) besar. Pertumbuhan cuping tampak lebih jelas bila butiran-butiran yang terkumpul adalah kecil dan pertumbuhannya mendekati batas basah. Pertumbuhan cuping-cuping dapat disebebkan oleh kenyataan bahwa setiap jendol-jendol (bumps) kecil pada sebuah batu es adalah area peningkatan efisiensi koleksi butiran-butiran air.
Gambar 7.4. Bagian tipis melalui pusat pertumbuhan batu es.
Pertumbuhan melalui pertambahan (accretion) terjadi bila setiap partikel presipitasi besar menyusul dan menangkap sebuah partikel yang lebih kecil. Tetapi dalam pemakaian yang umum, akresi (pertambahan) kadang-kadang diartikan sebagai penangkapan butiran-butiran kelewat dingin oleh sebuah partikel presipitasi fasa es. Sebuah kristal es yang jatuh 166
Mikrofisika Awan Dan Hujan
melalui awan dengan butiran-butiran air kelewat dingin dan kristal-kristal es dapat tumbuh melalui pertambahan air atau melalui penggabungan (aggregation) dengan kristal-kristal lain. Pertumbuhan akresional mengarah pada struktur embun beku (rime) dan graupel sedangkan agregasi mengarah pada keping-keping salju. Kristal-kristal yang jatuh paling cepat adalah partikel-partikel graupel yaitu partikel yang bukan kristal-kristal sebenarnya, melainkan gabungan dari butiran-butiran beku. Dalam proses pertumbuhan melalui akresi (pertambahan) yang muncul adalah efisiensi koleksi. Pertama, ada masalah aerodinamik efisiensi kolisi, kemudian masalah apakah terjadi pelekatan pada waktu tumbukan. Karena kristal es jatuh lebih lambat daripada butiran air dengan massa sama, maka masuk akan jika efisiensi kolisi menjadi lebih besar. Karena pembekuan terjadi akibat kontak dengan butiran-butiran air kelewat dingin, maka efisiensi koalisensi dapat diperkirakan satu. Dalam proses penggabungan (aggregation) kristal, efisiensi koleksi kurang baik dipahami. Indikasinya adalah bahwa struktur terbuka seperti dendrite lebih memungkinkan melekat pada waktu tumbukan ketimbang kristal-kristal bentuk lain, dan bahwa dalam setiap kasus pelekatan lebih memungkinkan pada temperatur relatif panas. Dari pengamatan ukuran keping-keping salju sebagai fungsi temperatur, dapat disimpulkan bahwa penggabungan hanya mungkin 0 signifikan terjadi pada temperatur lebih panas dari – 10 C. Dalam pertumbuhan akresional (pertambahan) yang menghasilkan graupel, maka pendekatan analogi pada persamaan (6.28) dapat dilakukan: dm dt
E W π R 2 u R
Mikrofisika Awan Dan Hujan
(7.5)
167
Keterangan : m : massa partikel W
: kadar air cair awan
R
: jari-jari partikel
u(R) : kecepatan jatuh partikel yang jejarinya R E
: efisiensi koleksi rata-rata
Pendekatan yang sama dapat dilakukan dalam menganalisa proses penggabungan. Karena semua keping salju jatuh dengan kecepatan sekitar 1 ms-1 dan kristal-kristal es jatuh pada kecepatan sekitar 0,4–0,5 ms-1, maka persamaan pertumbuhan untuk keping salju (snowflake) adalah: dm dt
E W π R 2 u
(7.6)
dimana u adalah beda kecepatan jatuh antara keping salju dan kristalkristal es yang pada hakekatnya suatu konstanta. Kadang-kadang populasi kristal es lebih mudah ditandai oleh jumlah densitas (the number density) N dari pada oleh densitas air beku W, yang hubungannya adalah: W
N υρ
dimana adalah volume (rata-rata) kristal-kristal es dan adalah densitasnya. Jika keping salju dianggap mempunyai densitas sama, maka m = V dimana V menunjukkan volumenya. Persamaan pertumbuhan yang dinyatakan oleh volume menjadi: dV dt
B E V 2 / 3 N υ u
(7.7)
dimana B3 = 9/16. Jelas bahwa persamaan (7.7) harus dipahami sebagai pendekatan kasar pada proses pertumbuhan aktual. Perhitungan 168
Mikrofisika Awan Dan Hujan
berdasarkan pada persamaan (7.7) menunjukkan hasil yang sesuai dengan pengamatan graupel dan keping-keping sajlu (Fletcher, 1962).
7.5. Pertumbuhan Partikel Es dari Penggabungan Mekanisme ketiga yang menyatakan pertumbuhan partikelpartikel es di dalam awan adalah melalui tumbukan dan penggabungan (aggregation) satu sama lain.Partikel-partikel es dapat bertumbukan satu sama lain akibat beda kecepatan jatuh terminalnya. Kecepatan jatuh terminal kristal es berbentuk prisma tanpa pembekuan butiran, meningkat sesuai dengan peningkatan panjang kristal, misalnya kecepatan jatuh kristal es berbentuk jarum (needles) dengan panjang 1 -1 dan 2 mm masing-masing adalah sekitar 0,5 dan 0,7 ms . Berbeda dengan kristal es berbentuk pelat tanpa pembekuan butiran, mempunyai kecepatan jatuh terminal yang tidak bergantung pada diameternya. Sifat ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Ketebalan sebuah kristal es berbentuk pelat pada dasarnya tidak bergantung pada diameter, sehingga massanya bervariasi secara linier dengan penampang luas. Karena gaya seret (drag force) yang bekerja pada sebuah kristal pelat juga bervariasi dengan penampang luas kristal, maka kecepatan jatuh terminal yang ditentukan oleh keseimbangan antara gaya seret dan gravitasi yang bekerja pada kristal es, adalah tidak bergantung pada diameter pelat. Akibatnya, kristal pelat tanpa pembekuan butiran tidak mungkin (unlikely) bertumbukan satu sama lain kecuali kristal-kristal es bergerak cukup dekat sehingga dipengaruhi oleh efek jalur olakan. Kecepatan jatuh terminal kristal dan graupel tanpa pembekuan butiran bergantung dengan kuat pada tingkat pembekuan dan dimensinya. Misalnya partikel graupel dengan diameter 1 dan 4 mm Mikrofisika Awan Dan Hujan
169
mempunyai kecepatan jatuh terminal masing-masing sekitar 1,0 dan 2,5 ms-1. Dari diskusi ini terlihat bahwa kolisi partikel-partikel es di dalam awan bertambah besar jika terjadi beberapa pembekuan butiran. Faktor kedua yang mempengaruhi pertumbuhan dengan agregasi (penggabungan) adalah apakah dua partikel es akan melekat bersama (adhere together) ataukah tidak bilamana terjadi tumbukan. Probabilitas pelekatan (adhesion) ditentukan terutama oleh dua faktor yaitu tipe partikel es dan temperatur. Kristal-kristal es ruwet (berbelit-belit) seperti dendrite, cenderung melakat bersama karena kristal-kristal menjadi terlilit pada kolisi, sebaliknya dua kristal pelat padat cenderung mengambul (rebound). Terlepas dari ketergantungan pada kebiasaan (sifat), probabilitas pelekatan dua kristal yang brtumbukan meningkat dengan meningkatnya temperatur pelekatan, terjadi terutama pada 0 temperatur di atas sekitar – 5 C dimana permukaan es menjadi sangat lengket. Tidak seperti pertumbuhan melalui deposisi, kecepatan pertumbuhan sebuah partikel es melalui pembekuan butiran air dan penggabungan dengan kristal es lain meningkat bila ukuran partikel es meningkat. Perhitungan sederhana menunjukkan bahwa sebuah kristal es berbentuk pelat dengan diameter 1 mm jatuh melalui sebuah awan yang mempunyai kadar air cair 0,5 gm-3, dapat tumbuh menjadi sebuah partikel graupel sferis (berbentuk bola) dengan diameter sekitar 1 mm dalam waktu sekitar 10 menit. Sebuah partikel graupel dari ukuran ini, dengan densitas 100 kgm-3, mempunyai kecepatan jatuh terminal sekitar -1 1 ms dan akan meleleh menjadi sebuah tetes dengan diameter sekitar 460 m. Diameter sebuah keping salju dapat meningkat dari 1 mm sampai 1 cm dalam waktu sekitar 30 menit oleh penggabungan 170
Mikrofisika Awan Dan Hujan
(aggregation) dengan kristal es yang memberikan kadar es awan adalah -3 sekitar 1 gm . Sebuah kristal salju gabungan dengan diameter 1 cm mempunyai massa sekitar 3 mg dan kecepatan jatuh terminal sekitar 1 -1 ms . Dalam peleburan, sebuah kristal salju dengan massa ini (3 mg) akan membentuk sebuah tetes dengan diameter sekitar 2 mm. Jadi, pertumbuhan kristal-kristal es dalam awan campuran, pertama oleh deposisi dari fasa uap, kemudian oleh pembekuan dan/atau oleh penggabungan, dapat menghasilkan partikel-partikel berukuran presipitasi dalam periode waktu yang layak (sekitar 40 menit).
7.6. Resumé Sekali awan tumbuh mencapai ketinggian yang mempunyai 0 temperatur lebih dingin dari 0 C, maka kristal-kristal es mungkin terbentuk. Dua fasa transisi dapat mengarah pada pembentukan es yaitu pembekuan butiran air kelewat dingin atau deposisi langsung dari uap air menjadi fasa es. Pengintian spontan dari uap air menjadi butiranbutiran air tidak akan terjadi di atmosfer, demikian juga tidak akan terjadi penginian spontan menjadi kristal es tanpa kehadiran partikel asing yang disebut inti kondensasi awan (IKA) dan inti es (IES). Pengintian spontan air menjadi es dapat terjadi jika butiranbutiran awan mencapai temperatur sekitar – 40 0C. Jadi, ketika parsel awan naik, maka awan akan mengandung seluruhnya partikel es pada 0 0 0 temperatur – 40 C. Lapisan awan antara 0 C dan – 40 C tidak terjadi pengintian spontan, sehingga pada lapisan awan ini terdapat campuran kristal es dan tetes kelewat dingin, disebut awan campuran. Pada 0 0 lapisan awan antar 0 C dan – 40 C tetes dapat membeku jika Mikrofisika Awan Dan Hujan
171
menemukan IES atau inti pembeku yang mempunyai sifat memudahkan inisiasi fasa es dalam air. Pertumbuhan partikel es dalam awan dingin atau awan campuran melalui tiga cara : i). melalui fasa uap air. Faktor yang mengendalikan pertumbuhan massa kristal es oleh deposisi uap air serupa dengan pertumbuhan butiran awan oleh kondensasi. Tetapi masalah pertumbuhan kristal es lebih rumit karena kristal es tidak berbentuk bola (bulat), sehingga titik-titik dengan densitas uap air sama tidak terletak pada pusat kristal es, sedangkan pada butiran awan (berbentuk bola) terletak pada pusatnya. ii). melalui pembekuan tetes. Dalam awan campuran, partikel es tumbuh oleh pembekuan tetes kelewat dingin pada waktu terjadi tumbukan antara partikel es dan tetes. Pertumbuhan partikel es dengan pembekuan tetes dapat menghasilkan batu es hujan (hailstone). Batu es dengan diameter 1 cm lebih sering dijumpai, tetapi pernah diamati batu es yang mempunyai diameter sebesar 13 cm dengan massa lebih dari 0,5 kg. iii). melalui penggabungan. Partikel es tumbuh melalui tumbukan dan penggabungan satu sama lain. Tumbukan dapat terjadi jika ada beda kecepatan jatuh terminal diantara partikel-partikel es. Kemungkinan pelekatan ditentukan oleh dua faktor yaitu jenis partikel dan temperatur es. Pelekatan terjadi terutama pada temperatur di atas sekitar – 5 0C ketika permukaan es menjadi sangat lengket. Pertumbuhan partikel es melalui pembekuan dan penggabungan meningkat jika ukuran kristal es juga meningkat.
172
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Bab 8 Proses Presipitasi
Dalam meteorologi, presipitasi menyatakan endapan air (aqueous) berbentuk cair atau padat (es) yang berasal dari atmosfer dan jatuh ke permukaan bumi. Masalah utama dalam proses presipitasi adalah penjelasan cara pertumbuhan tetes dari ukuran partikel awan (jejari sekitar 10 m) menjadi bentuk-bentuk presipitasi melalui pertumbuhan langsung kondensasi dan deposisi pada inti yang memerlukan waktu lama atau sangat lambat. Ada dua mekanisme yang dapat menjelaskan terjadinya presipitasi yaitu proses kolisi – koalisensi untuk awan panas dan proses kristal es yang melibatkan awan dingin atau awan campuran. Bentuk-bentuk presipitasi adalah : Gerimis, biasanya berasal dari awan stratus yang terdiri dari tetes-tetes air kecil dengan diameter 0,2 sampai 0,5 mm dan intensitas hujannya kurang dari 1mm/jam. Hujan, biasanya jatuh dari awan nimbostratus dan cumulonimbus, diameter tetesnya lebih dari 0,5 mm dan intesitas hujannya lebih dari 1,25 mm/jam. Salju, gumpalan kristal-kristal es dalam bentuk serpih-serpih. Ukuran serpihan bergantung pada kadar air dan kelembapan disekitar kristal. Pelet es (ice pellet), biasanya disebut sleet yaitu tetes hujan yang membeku dengan diameter 5 mm atau kurang. Batu es (hail) terdiri dari Mikrofisika Awan Dan Hujan
173
bongkahan es bulat atau bergerigi, sering ditandai oleh lapisan konsentris menyerupai struktur bawang, dan mempunyai diameter lebih dari 5 mm. Di Indonesia yang dimaksud dengan presipitasi adalah hjan. Hujan adalah bentuk presipitasi yang sering dijumpai di bumi, tetapi dalam bab 8 akan dibahas hujan dan salju.
8.1. Proses Kristal Es Lawan Koalisensi Agar tetes hujan atau keping salju (partikel presipitasi) mencapai ukuran yang cukup besar, maka diperlukan agregasi (penggabungan) dan akresi (pertambahan) dalam kasus pertumbuhan fasa es atau koalisensi dalam proses fasa air. Kondensasi – difusi sendiri tidak dapat menjelaskan pembentukan tetes hujan dengan radius 2 dan 3 mm dalam waktu selama pertumbuhan awan. Tetapi proses ini lebih efektif untuk kristal es dari pada untuk butiran air, karena kenyataan bahwa lingkungan berawan cenderung jenuh terhadap air dan kelewat jenuh terhadap es. Pengalaman menunjukkan bahwa presipitasi ringan dapat terjadi dalam bentuk kristal es individu yang menunjukkan bahwa agregasi atau akresi tidak pernah terjadi. Dapat diduga bahwa beberapa presipitasi yang mencapai permukaan dalam bentuk gerimis (drizzle) atau hujan sangat ringan disebabkan oleh kristal es yang tidak teragregasi dan melebur sebelum mencapai tanah. Sebaliknya dalam awan panas, pertumbuhan difusional sangat lambat untuk menghasilkan tetes-tetes gerimis dalam waktu yang memadai, sehingga koalisensi (tangkapan) selalu diperlukan untuk menghasilkan hujan dari awan tersebut. Banyak awan cumulus yang awalnya tumbuh pada temperatur lebih panas dari pada 0 0C atau cukup panas sehingga butiran-butiran tidak memungkinkan membeku, kemudian tumbuh secara vertikal 174
Mikrofisika Awan Dan Hujan
sampai paras (level) yang cukup tinggi di atas isoterm 0 0C dimana pembentukan kristal es memungkinkan terjadi. Dalam awan-awan demikian dapat terjadi kedua mekanisme presipitasi, mula-mula proses koalisensi diantara butiran air, kemudian proses kristal es. Proses mana yang dominan, bergantung terutama pada temperatur puncak awan, kadar air cair awan, dan tingkat konsentrasi butiran. Proses koalisensi cenderung akan menonjol dalam awan yang relatif panas dengan kadar air cair tinggi dan konsentrasi butiran rendah. Gambar 8.1, mengilustrasikan waktu yang diperlukan sebuah kristal es yang tumbuh dengan difusi dan sebuah tetes yang tumbuh dengan koalisensi untuk mencapai massa tertentu.Kristal es dalam gambar 8.1 adalah sebuah dendrite berbentuk bintang yang tumbuh dalam lingkungan jenuh terhadap air pada temperatur – 15 0C dan -8 tekanan 80 kPa dengan massa awal 10 gram. Kapasitan (capacitance) bentuk ini diambil 2/r, dengan r jejari piringan lingkaran. Massa dan jari-jari dihubungkan dengan formula empiris, yaitu : m = 3,8 x 10-3 r2, dengan m dalam gram dan r dalam cm (Houghton, 1985). Tetes air berawal dengan jejari 25 m dan tumbuh oleh koleksi terus menerus dalam awan yang mengandung butiran-butiran yang semuanya -3 mempunyai jejari 10 m, dengan kadar air cair 1 gm . Dalam hal ini diambil efisiensi koleksi yang realistik. Kristal tumbuh secara cepat oleh difusi melebihi ukuran awal tetes yang lebih besar pada 75 sekon dan berlanjut untuk sementara melebihi tetes tersebut yang pertumbuhan awalnya dihalangi oleh efisiensi koleksi yang kecil. Kurva strip-strip menunjukkan kecepatan fraksional penambahan massa (1/m . dm/dt) untuk tetes dan kristal es. Besaran ini pada awalnya lebih besar untuk kristal, tetapi berkurang Mikrofisika Awan Dan Hujan
175
ketika kristal tumbuh mengikuti garis (hampir) lurus yang menyatakan ketergantungan hukum pangkat dm/dt pada massa kristal. Untuk tetes, penambahan massa fraksional mula-mula rendah dan meningkat secara monoton sampai pada nilai asimptotik (asymptotic), dalam contoh ini 5 x -3 10 sekon. Sampai waktu 7 menit kristal es tumbuh relatif lebih cepat dari pada tetes. Dengan waktu ini tetes akhirnya mengalami kolisi yang cukup untuk mencapai sebuah ukuran dimana efisiensi koleksi tidak lagi kecil. Tetes hanya mencapai massa kristal es pada waktu 30 menit bila jejarinya 160 m. Ukuran ini adalah tetes gerimis yang jatuh dengan kecepatan -1 sekitar 1,3 ms .
Gambar 8.1. Waktu yang diperlukan sebuah kristal es dan butiran air (kurva kontinu) untuk tumbuh dengan massa yang ditunjukkan pada absis. Skala atas menunjukkan jejari tetes. Kurva strip-strip adalah untuk kecepatan pertambahan massa fraksional yang ditunjukkan pada skala sebelah kanan.
Presipitasi dapat dikatakan dimulai jika terbentuk partikelpartikel yang mempunyai massa sekitar 4 g. Untuk air ukuran ini sesuai dengan jejari ambang 0,1 mm. Perhitungan menunjukkan bahwa dalam 176
Mikrofisika Awan Dan Hujan
kondisi yang baik presipitasi dapat dimulai oleh proses kristal es dalam waktu sekitar 10 menit atau oleh koleksi air terus menerus dalam waktu dua kalinya. Dalam awan-awan cumulus di lintang tengah, presipitasi kemungkinan diawali oleh proses kristal es karena kelambatan pertumbuhan koalisensi awal.
8.2. Distribusi Ukuran Tetes Presipitasi dapat dimulai melalui proses koalisensi atau proses kristal es. Koalisensi lebih didukung dalam awan-awan yang relatif panas dengan kadar air cair tinggi. Setelah partikel-partikel presipitasi terbentuk, kemudian partikel tumbuh terutama oleh penyapuan butiran-butiran awan (akresi) atau oleh penggabungan satu sama lain. Pertumbuhan lanjutan menghasilkan tetes hujan, keping salju, atau batu es hujan. Tanpa memandang bagaimana awalnya presipitasi di sebagian besar di dunia turun ke tanah sebagai hujan. Biasanya diukur pada permukaan sebagai jumlah curah hujan dalam satuan mm atau intensitas hujan dalam mm/jam. Deskripsi hujan yang lebih lengkap diberikan dalam bentuk fungsi distribusi ukuran tetes yang menyatakan jumlah tetes per satuan interval ukuran (biasanya diameter) per satuan volume ruang. Distribusi demikian telah diukur dengan berbagai metode dikebanyakan daerah iklim dunia. Meskipun distribusi ini berubah terhadap waktu dan ruang, tetapi biasanya menunjukkan penurunan cepat konsentrasi tetes dengan bertambahnya ukuran, sekurang-kurangnya untuk diameter melampau sekitar 1 mm. Juga distribusi tersebut biasanya menunjukkan variasi sistematik dengan intensitas hujan, jumlah relatif tetes besar cenderung meningkat dengan intensitas hujan.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
177
Gambar 8.2, menunjukkan spektra dimensional tetes-tetes hujan yang diperoleh pada waktu Campagne Front 77 pada bulan Oktober – November 1977 dengan disdrometer. Data yang disajikan pada gambar 8.2 adalah salah satu contoh Campagne Front 77 dalam sistem depresioner frontal tanggal 22 Oktober 1977 pukul 18.01.43 sampai dengan 18.10.43 waktu lokal. Pada perkemahan (camp) ini, dilakukan pengukuran granulometri hujan dengan alat disdrometer yang dikembangkan oleh Joss and Waldvogel (1967) yang memberikan spektra dimensional tetes-tetes dengan asumsi bahwa tetes hujan jatuh dalam udara dengan kecepatan terminalnya. Selama perkemahan (Campagne Front 77), disdrometer ditempatkan di Houdan (50 km sebelah barat kota Paris) berdekatan dengan radar milimetrik yang mempunyai panjang gelombang 8,6 mm milik ’ Institut et Observatoire de Physique du Globe du Puy de Dôme, Clermont – Ferrand, Prancis. Disdrometer mempunyai luas tangkapan 50 2 cm , diameter tetes minimum dan maksimum yang dapat dianalisa masing-masing adalah antara 0,3 mm dan 5,0 mm. Contoh gambar 8.2, menunjukkan bahwa distribusi ukuran tetes mendekati bentuk eksponensial negatif, terutama dalam hujan yang konstan (steady rain). Gambar 8.3 membandingkan spektra tetes pada tiga nilai intensitas hujan dengan aproksimasi eksponensial yang sangat baik, yaitu garis lurus pada koordinat semilogaritmik. Jadi distribusi ukuran tetes (kecuali untuk ukuran yang sangat kecil), dapat didekati oleh ekspresi berikut: ND
178
N 0 e D
(8.1)
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Gambar 8.2. Spektra dimensional tetes-tetes hujan. Ordinat adalah jumlah tetes per satuan volume N(D), sedangkan absis adalah diameter tetes D. Mikrofisika Awan Dan Hujan
179
Gambar 8.3. Distribusi ukuran tetes yang diukur (garis titik-titik) dibandingkan dengan kurva eksponensial (garis lurus) dan distribusi yang dilaporkan oleh peneliti lain (garis strip-strip). Sumber Marshall and Palmer, 1948.
dimana N(D) dD adalah jumlah tetes per satuan volume dengan diameter antara D dan D + dD. Marshall and Palmer (1948) mendapatkan bahwa faktor kemiringan hanya bergantung pada intensitas hujan dan ditulis sebagai: λR
41 R 0, 21
(8.2)
dimana mempunyai satuan cm-1 dan R (intensitas hujan) diukur dalam mm/jam. Parameter perpotongan N0 adalah sebuah konstanta yang besarnya sama dengan: N0
0,08 cm 4
(8.3)
Tidak semua distribusi ukuran tetes mempunyai bentuk eksponensial yang sederhana. Sekalipun begitu pengukuran dari banyak 180
Mikrofisika Awan Dan Hujan
daerah berbeda menunjukkan bahwa sampel-sampel individual yang dirata-ratakan cenderung membentuk eksponensial yang terbatas. Untuk hujan konstan pada lintang tengah kontinental, nilai Marshall – Palmer tentang dan N0 sering diperoleh dengan pendekatan yang memadai.
8.3. Distribusi Ukuran Keping Salju Karena keping-keping salju adalah agregasi (penggabungan) kristal-kristal atau keping-keping salju yang lebih kecil, maka tidak mudah untuk mengukur dimensi liniernya. Akibatnya, data ukuran keping-keping salju pada umumnya dinyatakan dalam suku-suku massa partikel atau diameter tetes air yang terbentuk jika keping salju meleleh. Distribusi ukuran gabungan keping-keping salju diukur oleh Gunn and Marshall (1958) dan diplot pada koordinat semilogaritmik seperti pada tetes-tetes hujan, lihat gambar 8.4. Data untuk intensitas presipitasi tertentu dapat disesuaikan dengan memadai oleh sebuah fungsi eksponensial dalam bentuk persamaan (8.1). Untuk salju, parameter-parameter tersebut dihubungkan dengan intensitas presipitasi sebagai berikut: λ cm 1
25,5 R 0, 48
(8.4)
dan N 0 cm 4
3,8 x 10 2 R 0,87
(8.5)
Dalam persamaan ini, intensitas presipitasi R (mm/jam) dinyatakan dalam suku-suku ketebalan air ekivalen dari salju yang terakumulasi. Kajian teoritis pertumbuhan presipitasi perlu menghitung momen-momen distribusi ukuran tetes. Misalnya, fluks presipitasi melalui bidang horisontal, massa presipitasi per satuan volume, dan Mikrofisika Awan Dan Hujan
181
refleksivitas radar presipitasi yang semuanya secara sederhana dihubungkan dengan momen-momen tertentu N(D). Karena momenmomen diketahui secara analitik maka hal ini menguntungkan dalam karya teoritis, untuk momen ke n diberikan oleh: ~ n 1 n (8.6) 0 D NDdD N 0 λ n 1 dimana menunjukkan fungsi gamma. Untuk n bilanan bulat (integer) maka (n + 1) = n!. Hasil analitik ini yang memerlukan batas atas integrasi tak terhingga (infinite), pada uumnya pendekatan yang baik untuk distribusi reel yang mempunyai batas atas diameter terhingga (finite). Bentuk eksponensial N(D) turun secara cepat dengan D, sehingga partikel-partikel besar tidak realistis dinyatakan oleh batas tak terhingga yang memberi sedikit kontribusi pada integral.
Gambar 8.4. Distribusi ukuran keping-keping salju dalam suku diameter tetes yang dihasilkan oleh peleburan keping salju. Sumber Gunn and Marshall, 1958.
Analisa kembali data dari Gunn and Marshall (1958) dan peneliti lain. Sekhan and Srivastava (1970) menentukan bahwa fungsi eksponensial 182
Mikrofisika Awan Dan Hujan
negatif persamaan (8.1) memberikan penyesuaian yang memadai untuk semua observasi dengan hasil-hasil yang lebih konsisten jika nilai-nilai parameter mengikuti ekspresi berikut: λ cm 1
22,9 R 0, 45
(8.7)
dan N 0 cm 4
2,5 x 10 2 R 0,94
(8.8)
Karena ketidaktentuan dalam metode-metode pengukuran N(D) untuk keping-keping salju maka ada beberapa perbedaan dalam hasilhasil yang diharapkan. Pengukuran yang diperoleh dari pengamatan sejumlah keping-keping dengan ukuran tertentu yang jatuh pada sebuah permukaan horisontal selama waktu eksposur (penampakan) tertentu. Untuk menduga dari observasi konsentrasi N(D) keping-keping salju dalam ruang, maka distribusi yang diamati dibagi dengan kecepatan jatuh keping-keping salju dalam setiap interval ukuran. Kecepatan jatuh ini tidak secara unik bergantung pada ukuran, tetapi bergantung juga pada densitas dan kemungkinan bentuk kristal yang membentuk kepingkeping salju. Karena ada variabilitas dalam struktur keping salju maka sangat mungkin ada variabilitas dalam ketergantungan N(D) pada intensitas presipitasi. Distribusi ukuran keping salju, seperti halnya tetes-tetes hujan ditentukan oleh proses pertumbuhan dan patahan, pertumbuhan populasi keping salju adalah lebih sulit untuk menganalisa secara teoritis. Bentuk kristal adalah signifikan dalam menentukan kecepatan pertumbuhan difusional, dan dapat mempengaruhi kecenderungan untuk menggumpal (clumping). Patahan keping-keping salju (snowflakes) mungkin karena induksi kolisi yang bergantung pada tipe dan temperatur kristal. Persamaan umum untuk pertumbuhan kristal es oleh akresi dan agregasi Mikrofisika Awan Dan Hujan
183
telah diformulasikan pada persamaan (7.5), (7.6), dan (7.7), tetapi masih banyak ketidakpastian tentang pembentukan kristal es dan interaksinya yang tidak mungkin untuk segera mengembangkan model komprehensif evolusi distribusi ukuran salju.
8.4. Teori Presipitasi Intensitas presipitasi adalah fluks presipitasi melalui permukaan horisontal, dinyatakan dalam fluks volume air. Dalam satuan SI dinyatakan dalam m3m-2s-1 = ms-1, tetapi menurut konvensi (perjanjian) biasanya dinyatakan dalam mm/jam. Intensitas presipitasi dapat ditulis dalam suku fungsi distribusi N(D) sebagai: ~ π R ND D 3 u U dD (8.9) 6 0 dimana u(D) adalah kecepatan jatuh partikel yang berukuran D, dengan konvensi bahwa D menyatakan diameter leleh (melted diameter) dan R ekivalen dengan intensitas hujan. Persamaan (8.9) dapat dipakai untuk salju dan hujan. Pada paras di atas tanah kemungkinan ada gerak udara vertikal sehingga interpretasi intensitas presipitasi sebagai fluks menjadi kabur (ambiguous). Dengan adanya arus udara keatas dengan kecepatan U, maka fluks presipitasi menjadi: ~ π R ND D 3 u D dD (8.10) 6 0 Jelas besaran ini dapat menjadi negatif untuk U cukup besar. Sebuah ukuran jumlah presipitasi yang tidak bergantung kecepatan arus udara keatas adalah kadar air presipitasi L, yang didefinisikan sebagai: 184
Mikrofisika Awan Dan Hujan
~
π L ρ L ND D 3 dD (8.11) 6 0 Nilai-nilai R pada permukaan dapat bervariasi dari jumlah sedikit sampai beberapa ratus mm/j. Intensitas presipitasi lebih dari sekitar 25 mm/j selalu dikaitkan dengan awan-awan konvektif. Pada kebanyakan intensitas presipitasi berbagai tempat dalam bentuk curah hujan (snowfall) cenderung mempunyai besaran lebih kecil dari pada dalam bentuk curah hujan. Presipitasi dari awan stratiform tumbuh melalui proses kristal es. Awan ini mempunyai kadar air cair relatif rendah, sehingga koalisensi sepertinya tidak efektif. Awan stratiform berakhir dalam waktu yang lama, dan jika awan berlangsung pada ketinggian dimana temperaturnya sekitar – 15 0C maka proses kristal es dapat menyebabkan presipitasi. Survei pertumbuhan presipitasi menjelaskan bahwa setiap paras (level) dalam awan stratiform mempunyai peran khusus untuk memainkan proses presipitasi. Paras-paras atas yang dingin (T ~ – 20 0C) menyediakan kristal-kristal es yang bertindak sebagai embrio-embrio untuk pertumbuhan presipitasi pada paras-paras bawah. Awan pada paras-paras tengah (T ~ – 15 0C) memberikan lingkungan yang tepat untuk pertumbuhan difusional cepat. Kebanyakan pertumbuhan presipitasi terjadi pada paras-paras paling bawah. Dalam awan konvektif waktu pertumbuhan presipitasi lebih pendek, tetapi kadar air cair lebih tinggi dari pada stratiform sehingga koalisensi sangat berperan dalam menghasilkan hujan. Dari observasi diperoleh bahwa waktu hidup sebuah unsur konvektif (sekitar 20 menit) adalah juga waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan presipitasi. Proses pembentukan presipitasi harus dimulai pada awal pertumbuhan awan Mikrofisika Awan Dan Hujan
185
yaitu pada paras bawah. Sedangkan presipitasi dapat diawali oleh koalisensi atau proses kristal es, bergantung terutama pada temperatur dan kadar air awan, sebagian besar pertumbuhan presipitasi melalui akresi. Jadi mekanisme pembentukan presipitasi sangat berbeda antara awan stratiform dan awan konvektif. Sebagian pendekatan, hujan kontinu sering dapat dipandang sebagai proses keadaan mantap (steady–state process) dimana besaran awan dapat berubah dengan ketinggian tetapi konstan terhadap waktu pada ketinggian tertentu. Sebaliknya, hujan deras (shower) dapat didekati sebagai sistem dimana sifat-sifat awan berubah dengan waktu tetapi konstan terhadap ketinggian pada waktu tertentu. Sebagai contoh pemakaian pendekatan untuk hujan deras akan dipecahkan (dicari jawabannya) untuk evolusi (perkembangan) distribusi ukuran tetes hujan terhadap waktu dengan menganggap pertumbuhan melalui akresi butiran-butiran awan. Dalam kasus ini, bentuk elementer persamaan pertumbuhan kontinu diberikan oleh persamaan (6.28): dR EWu R dt 4ρ L Untuk tetes-tetes yang jangka ukurannya menengah (intermediate) hukum kecepatan jatuh linier (persamaan 9.12) dapat dipakai, dan jika EW dapat dipandang sebagai konstanta maka solusi persamaan pertumbuhan menjadi: Rt
R 0 e at
(8.12)
dengan a k 3 EW 4ρ L Misalkan n (R, t) dan n (R, 0) = n0 (R) menunjukkan, masingmasing spektrum ukuran tetes hujan pada waktu t dan pada waktu awal (inisial). Karena hanya akresi yang dipandang sebagai mekanisme pertumbuhan, maka jumlah tetes hujan dalam interval dR0 pada 186
Mikrofisika Awan Dan Hujan
distribusi awal sama seperti jumlah tetes-tetes interval dR dalam distribusi pada waktu t, yaitu: n R, t dR n 0 R 0 dR 0 (8.13) Dari persamaan (8.12) diperoleh: n R, t e at n 0 Re at
(8.14)
yang menyatakan distribusi pada setiap waktu t dalam suku distribusi inisial (awal). Dalam pendekatan hujan kontinu jumlah fluks tetes-tetes hujan konstan dengan tinggi, selain itu distribusi ukuran tetes akan berubah dengan waktu. Karena itu distribusi awan dan distribusi setelah jatuh sejarak h dihubungkan dengan ekspresi: n R, h u R dR
n 0 R 0 u R 0 dR 0
(8.15)
Dengan menganggap kecepatan arus keatas dapat diabaikan dan memakai kecepatan jatuh pada persamaan (9.12), diperoleh: bh n R, h 1 (8.16) n 0 R bh R dengan b EW 4ρ L Meskipun hanya pendekatan kasar, tetapi persamaan (8.14) dan (8.16) memberikan indikasi perbedaan antara dua proses presipitasi ideal. Sebenarnya, hasil-hasil ini menyatakan perluasan persamaan akresi pertumbuhan kontinu pada populasi tetes. Sebagai contoh kemanfaatan pendekatan ini, misalnya menyelesaikan intensitas presipitasi yang diproduksi dalam hujan deras yang sedang tumbuh. Kadar air hujan pada waktu t diberikan oleh ekspresi: ~ Lt 4 3 n 0 R 0 R 3 dR 0 0
Mikrofisika Awan Dan Hujan
187
Dari persamaan (8.13), untuk proses hujan deras (shower), L dapat dinyatakan dalam suku-suku distribusi ukuran tetes awal:
Jika sekarang dipakai asumsi kecepatan jatuh, R dan R0 dikaitkan dengan persamaan (8.12) maka diperoleh:
dengan: L0
~
4 3 n 0 R 0 R 30 dR 0 0
-3
adalah kadar air hujan inisial. Jika misalnya EW = 1gm , kemudian a = 2,0 x 10-3 s-1, maka kadar air cair sebesar lipat dua (2 L0), memerlukan waktu t = (n 2)/3a = 116 sekon = 1,93 menit.
8.5. Efisiensi Presipitasi Awan memberikan langkah lanjutan dalam mengubah uap air atmosferik menjadi presipitasi. Tidak semua awan hujan sama efektifnya dalam menyelesaikan konversi ini. Misalnya awan-awan cumulus kecil sering tumbuh secara cepat tetapi mulai melenyap tepat ketika presipitasi tumbuh. Akibatnya sebagian besar air awan tidak diubah menjadi presipitasi tetapi tetap berada di atas yang pada akhirnya akan menguap. Kebanyakan awan-awan stratiform juga tidak efektif dalam memproduksi presipitasi. Meskipun waktu hidupnya berjamjam, tetapi awan-awan ini tidak mempunyai kadar air cair tinggi yang memungkinkan proses koalisensi maupun proses temperatur dingin yang diperlukan untuk memulai proses kristal es. Karena itu presipitasi kecil terjadi sungguhpun awan mungkin kelewat dingin di bagian atas akibat secara mikrofisis tidak stabil terhadap proses kristal es. Konsep 188
Mikrofisika Awan Dan Hujan
efisiensi presipitasi dipakai untuk memerikan (describe) bagaimana sebuah awan secara efektif dapat mengubah uap atau material terkondensasi menjadi presipitasi. Braham (1952) menentukan anggaran air badai-badai guruh kecil dengan menganalisa data awan di Florida dan Ohio. Untuk pemasukan uap air rata-rata kedalam badai-badai ini diperoleh 8,9 x 108 kg. Dari 8 jumlah ini, maka sebesar 5,3 x 10 kg mengondensasi, dan sisanya 3,6 x 8 10 kg tinggal dalam badai tanpa kondensasi. Dari air yang mengondensasi, hanya sekitar 108 kg yang mencapai tanah sebagai hujan, sisanya menguap dalam arus udara turun (downdraft) atau pada pinggirpinggir awan. Efisiensi presipitasi didefinisikan sebagai rasio massa hujan yang mencapai tanah dengan massa uap yang masuk ke awan. Dengan definisi ini maka efisiensi presipitasi hanya 11%. Jika efisiensi presipitasi didefinisikan sebagai fraksi air terkondensasi yang akhirnya mencapai tanah, maka nilai efisiensi menjadi 19% suatu nilai yang sering dijumpai pada badai-badai guruh. Wexler (1960) mendefinisikan efisiensi presipitasi agak berbeda, sebagai rasio jumlah presipitasi yang jatuh dengan air yang terbentuk oleh kondensasi dalam kenaikan pseudoadiabatik. Ia menemukan bahwa awan-awan yang sangat efisien adalah cumulus yang tertanam dalam awan stratus yang menyebar luas. Hardy (1963) membuat perhitungan dengan bentuk distribusi ukuran tetes hujan N(D) berbeda, untuk menentukan mana yang lebih efektif dalam pengosongan atau penyapuan butiran-butiran awan. Disimpulkan bahwa distribusi yang curam atau nilai besar dalam formula eksponensial, persamaan (8.1) adalah paling efektif. Berdasarkan pada pengamatan radar dalam hujan orografik Hawaii yang mengandung banyak tetes-tetes kecil, Rogers (1967) mendukung Mikrofisika Awan Dan Hujan
189
gagasan Hardy, dengan mencatat bahwa penurunan reflektivitas radar terhadap ketinggian yang cepat secara eksponensial menyatakan penyapuan yang efisien. Formasi presipitasi asam dapat dipahami melalui langkahlangkah berikut : i). Emisi ke lapisan atmosfer prekursor asam (acid precursors), terutama sulfur dan nitrogen oksida yang terjadi secara alamiah, juga oleh produk pembakaran bahan bakar dan aktivitas industri. ii). Transport polutan (zat pencemar) oleh gerak atmosfer. iii). Transformasi polutan oleh proses-proses fisis dan kemis, seperti oksidasi, hidrolisis, dan koagulasi (pengentalan). iv). Deposisi polutan pada permukaan bumi melalui presipitasi sebagai larutan asam sulfurik dan nitrik yang encer. Awan merupakan mata rantai yang penting dalam fenomena hujan asam bukan hanya karena sebagai sumber presipitasi tetapi juga karena sebagai perantara dimana terjadi reaksi-reaksi utama yang mengarah pada formasi zat-zat asam. Pengukuran keasaman (acidity) larutan yang biasa dilakukan adalah konsentrasi ion hidrogen, biasanya dinyatakan dalam besaran pH + + = log (1/[H ]) dimana [H ] adalah konsentrasi hidrogen dalam mole per liter. Air murni mempunyai pH = 7. Jika asam ditambahkan, maka kadar hidrogen akan naik dan pHnya akan turun. Air dan presipitasi awan natural mencapai keseimbangan dengan karbon dioksida atmosferik untuk membentuk asam karbonik lemah dengan pH = 5,6 pada paras laut. Oleh konvensi (perjanjian), presipitasi dengan pH < 5,6 dinyatakan
190
Mikrofisika Awan Dan Hujan
asam. Sulfat (SO2) yang terjadi secara alamiah dapat bereaksi dengan gas perunut, dan cenderung menurunkan pH sampai 5,0 yang lebih pantas sebagai latar belakang (background) terhadap efek-efek polusi. Daerah latar belakang natural sebenarnya bervariasi, bergantung pada hadirnya sumber-sumber lokal material aktif secara kimia, seperti partikel-partikel tanah yang dapat mempengaruhi asiditas (keasaman) presipitasi. Ada dua daerah besar didunia, yaitu Eropa bagian barat dan Amerika Utara bagian timur (keduanya daerah industri besar) yang mempunyai presipitasi dengan nilai pH rata-rata kurang dari 5 dan nilai tengahnya sekitar 4. ua senyawa kimia yaitu sulfur dioksida dan oksida nitrogen dapat diubah menjadi presipitasi asam. Keduanya memerlukan oksidasi sebagai suatu langkah dalam pembentukan asam yang dapat mudah larut. Salah satu cara terdiri atas oksidasi fasa gas yang diikuti oleh pengambilan dalam awan atau air hujan. Langkah lain adalah pertama penguraian gas yang kemudian diikuti oleh oksidasi fasa cair. Reaksireaksi ini sangat dipengaruhi oleh hadirnya gas perunut (trace gas) yang mengoksidasi seperti ozone (O3) dan hidrogen peroksida (H2O2). Amonia atmosferik (NH3) cenderung agak menawarkan keasaman. eaksi fasa gas dapat mengarah pada pembentukan asam sulfurik gas (H2SO4) yang segera berubah menjadi bentuk aerosol oleh penggabungan dengan aerosol yang ada atau oleh pengintian dengan uap air. Oksida nitrik (NO) dengan cepat mengoksidasi menjadi nitrogen dioksida (NO2) dalam kehadirannya sejumlah perunut O3. Oksidasi fasa gas NO2 cenderung mengarah pada gas asam nitrik HNO3 yang dengan cepat diambil oleh air cair dalam awan untuk membentuk asam nitrik cair.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
191
Lintasan fasa air secara potensial menjadi penting karena sebuah awan dengan butiran-butiran cair merupakan medium yang menguntungkan untuk reaksi air dengan gas. Studi laboratorium menunjukkan bahwa reaksi fasa air (aqueous–phase) yang paling signifikan adalah oksidasi SO2 oleh H2O2 dan O3. Kecepatan reaksi dengan O3 membatasi sendiri dan menjadi tidak penting bila pH di bawah sekitar 4,5. Karena itu reaksi dengan H2O2 dapat menjelaskan produksi awan dan air hujan yang mempunyai pH < 4,5. Beberapa masalah yang belum terselesaikan dalam kimia atmosfer adalah mengenai kecepatan produksi dan destruksi (pembinasaan) gas-gas perunut. Misalnya hidrogen peroksida (H2O2) tampak menjadi perlu untuk oksidasi fasa air yang menuju pada pembentukan H2SO4) tetapi H2O2 dipakai oleh proses ini. Jelas H2O2 diproduksi oleh reaksi fasa gas yang memerlukan hidroksil radikal (OH). Model awan yang dikembangkan yaitu memasukkan gabungan kimia gas perunut dengan proses-proses pertumbuhan butiran dan perkembangan presipitasi.
8.6. Resumé Partikel presipitasi dalam bentuk cair terbatas ukurannya karena gangguan akan meningkat dngan ukuran tetes hujan. Ketika diameter tetes mencapai sekitar 6 mm maka tegangan permukaan tidak dapat lagi menahan tetes. Sebuah tetes dengan diameter sebesar 6 mm menjadi labil dan hanya hidup singkat sebelum mengawali perpecahan. Pada waktu terjadi perpecahan maka dihasilkan sejumlah tetes yang lebih kecil. Patahan keping-keping salju mungkin terjadi oleh kolisi yang bergantung pada jenis dan temperatur kristal es. 192
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Dalam awan cumulus yang tumbuh secara vertikal sampai 0 paras yang cukup tinggi di atas isoterm 0 C, dapat terjadi kedua mekanisme, pertama proses koalisensi dinatara butiran air dan kedua proses kristal es. Proses mana yang lebih dominan, bergantung pada temperatur puncak awan, kadar air cair awan, dan konsentrasi butiran air. Presipitasi disebagian besar tempat-tempat di dunia turun kepermukaan bumi sebagai hujan yang biasanya diukur sebagai jumlah curah hujan dalam satuan mm atau intensitas hujan dalam mm/jam. Deskripsi hujan dinyatakan dalam bentuk fungsi distribusi ukuran tetes yang menyatakan jumlah tetes per satuan interval ukuran (biasanya dalam diameter) per satuan volume. Spektra tetes hujan mendekati bentuk eksponensial yaitu garis lurus pada koordinat semilogaritmik yang dapat didekati oleh ekspresi : 0,21 -4 N(D) = N0 exp (– D), dimana (R) = 41 R dan N0 = 0,08 cm . Distribusi ukuran gabungan keping-keping salju juga didekati oleh eksprsi : N(D) = N0 exp (– D), dimana (cm-1) = 22,9 R-0,45 dan N0 (cm-1) = 2,5 x 10-2 R-0,94. Karena tidak ada ketentuan dalam metode pengukuran N(D) untuk keping-keping salju maka ada beberapa perbedaan hasil-hasil yang diharapkan. Tidak seperti pertumbuhan melalui deposisi, kecepatan perumbuhan sebuah partikel oleh pengembunan beku (riming) dan penggabungan sebuah partikel es meningkat jika ukuran partikel es meningkat. Sebuah kristal es berbentuk pelat dengan diameter 1 mm -3 yang jatuh melalui awan dengan kadar air cair 0,5 gm dapat tumbuh menjadi sebuah partikel graupel sferis dengan diameter sekitar 1 mm dalam waktu sekitar 10 menit. Ukuran partikel graupel ini dengan Mikrofisika Awan Dan Hujan
193
densitas 100 kg m-3 mempunyai kecepatan jatuh terminal sekitar 1 ms-1 dan akan meleleh menjadi sebuah tetes dengan jejari sekitar 230 m. Pertumbuhan kristal-kristal es dalam awan campuran pertama oleh deposisi fasa uap, kemudian oleh pembekuan butiran kelewat dingin (riming) dan/atau oleh penggabungan yang menghasilkan partikel ukuran presipitasi dalam waktu sekitar 40 menit. Hujan asam adalah masalah lingkungan yang agak rumit. Sejak tahun 1950, perkara hujan asam menjadi menarik perhatian terutama ketika terjadi pengasaman danau di Scandinavia dan Kanada. Hujan asam adalah istilah yang lebih populer dari pada deposisi basah senyawa sulfur dan nitrogen. Pengukuran keasaman + + larutan dinyatakan dalam besaran pH = log (1/[H ]), dimana [H ] adalah konsentrasi hidrogen dalam mole per liter. Air murni mempunyai pH = 7. Oleh konvensi, presipitasi dengan pH < 5,6 dinyatakan asam. Dua senyawa kimia yaitu sulfur dioksida dan oksida nitrogen dapat diubah menjadi presipitasi asam.
194
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Bab 9 Modifikasi Cuaca
Bagian A : Prinsip Dasar Modifikasi Awan Modifikasi cuaca dimaksudkan sebagai modifikasi awan dan presipitasi secara buatan atas usaha manusia, dengan tujuan ; meningkatkan jumlah curah hujan, melenyapkan awan, menindas batu es dan mereda siklon tropis. Salah satu tujuan modifikasi cuaca di Indonesia adalah hujan buatan yaitu usaha membantu proses yang ada di atmosfer sehingga pembentukan butiran awan dan tetes hujan dipercepat. Proses curah hujan bergantung pada uap air yang masuk kedalam sistem awan dan bergantung pada efisiensi bagaimana uap air dapat diubah menjadi tetes hujan. Secara fisis, setiap kondensasi dan konversi tetes kelewat dingin menjadi partikel es akan meningkatkan gaya apung awan akibat pelepasan panas laten ketika uap berubah fasa menjadi tetes atau air menjadi partikel es awan. Teknologi modifikasi cuaca (TMC) sangat diperlukan di Indonesia mengingat variasi curah hujan secara temporal dan spasial sangat besar. Manfaat teknologi modifikasi cuaca di Indonesia adalah memperpanjang musim hujan atau memperpendek musim kemarau, meningkatkan pembangkit listrik tenaga air untuk kelangsungan Mikrofisika Awan Dan Hujan
195
produksi listrik yang disalurkan ke masyarakat luas dan meningkatkan suplai irigasi untuk persawahan. Dalam pertanian, teknologi modifikasi cuaca diperlukan untuk memperpanjang periode jumlah curah hujan sehinga jmlah panenan meningkat. Dalam irigasi, teknologi modifikasi cuaca diperlukan untuk mengisi waduk ketika menjelang atau akhir musim hujan sehingga periode pengairan untuk persawahan menjadi lama, dengan demikian hasil panenan meningkat.
9.1. Latar Belakang Modifikasi Cuaca Presipitasi adalah bentuk air cair (tetes hujan) atau air padat (partikel es) yang jatuh dari awan ke permukaan bumi. Bentuk presipitasi yang dikenal adalah hujan dan salju. Di Indonesia lebih dikenal dengan curah hujan. Sering awan cumulonimbus menghasilkan batu es (hail), tetapi batu es ini cepat melebur sehingga yang diukur oleh penakar adalah air hujan. Hujan diukur dalam bentuk jumlah curah hujan dalam satuan milimeter yaitu tinggi air hujan jika tidak menguap atau merembes kedalam tanah atau intensitas hujan dalam satuan milimeter per jam yaitu jumlah curah hujan per satuan waktu. Sejarah modifikasi cuaca sudah mencapai 61 tahun sejak percobaan pembenihan es kering yang dipimpin oleh Vincent Schaefer dan Irving Langmuir pada tahun 1946. Satu tahun kemudian Vonnegut menemukan perak iodida (AgI), suatu bahan yang dapat bertindak sebagai inti es dan menyebabkan air kelewat dingin membeku pada temperatur – 40 0C atau lebih rendah. Sejarah modifikasi cuaca di Indonesia baru mencapai 28 tahun sejak percobaan hujan buatan dilaksanakan di wilayah Perum Otorita Jatiluhur pada tahun 1979 oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta. 196
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Karena jumlah penduduk bertambah maka pemakaian air semakin bertambah. Distribusi hujan yang tidak merata secara temporal dan spasial menyebabkan pada bulan-bulan atau area tertentu dikhawatirkan terjadi kekurangan air yang menjurus pada kekeringan. Pada musim kemarau beberapa daerah memerlukan alat pengangkut (truk) air untuk menyuplai pasokan air pada area-area yang memerlukan air. Untuk meningkatkan produksi pertanian, maka diperlukan hujan buatan agar bercocok tanam padi dapat dilakukan 2 atau 3 kali setahun. Untuk mengimbangi kebutuhan air yang terus meningkat, maka ahli meteorologi (meteorologist) telah mencoba selama tiga dekade meningkatkan jumlah curah hujan melalui modifikasi awan dan presipitasi buatan. Telah 30 tahun, teknologi modifikasi cuaca diterapkan dan dikaji sejak uji coba hujan buatan di Bogor pada tahun 1977. Dahulu hujan buatan dilakukan tanpa landasan ilmiah, tetapi sekarang hujan buatan dilakukan dengan pengkajian mikrofisika awan dan hujan. Ada negara yang meragukan kemampuan dan hasil teknologi modifikasi cuaca dalam meningkatkan jumlah curah hujan, meskipun demikian sejumlah negara masih meneruskan pengkajian, penerapan dan pengembangan teknologi modifikasi awan dan presipitasi. Evaluasi keberhasilan dari teknologi ini kebanyakan dilakukan dengan cara statistik, sedangkan evaluasi proses mikrofisis awan dan presipitasi sampai sekarang masih terus dikajikembangkan. Proses presipitasi dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu hujan panas dan hujan dingin. Pembentukan hujan panas adalah proses semua uap dan air, sedangkan proses hujan dingin melibatkan partikel es. Evolusi spektrum butiran, tetes atau partikel es di dalam awan, ditentukan Mikrofisika Awan Dan Hujan
197
oleh persamaan pertumbuhan partikel. Selama ukuran partikel kecil (jarijari < 10 m) maka kecepatan jatuhnya dapat diabaikan dan dianggap bahwa pertumbuhan partikel awan berasal dari fasa uap yang dikendalikan oleh proses difusi molekuler massa uap H2O. Proses kondensasi dan deposisi mengendalikan pertumbuhan butiran dari inti kondensasi awan (IKA) atau kristal es dari inti es (IES), lihat gambar 9.1.
Gambar 9.1. Diagram skematik evolusi hujan panas dan hujan dingin yang berasal dari inti kondensasi awan dan inti es. Graupel : batu es lunak (soft hail) dengan diameter antara 2 dan 5 mm.
Dalam hujan panas, tetes awan tumbuh dengan kondensasi dan setelah mencapai ukuran 20 – 40 m, kondensasi sangat tidak efisien dalam pertumbuhan tetes selanjutnya, tetapi probabilitas tumbukan dengan tetes-tetes lain meningkat. Beberapa tetes awan akan tumbuh cepat dalam selang waktu pendek melalui koleksi dengan tetes-tetes awan lain, sementara sebagian tetes mungkin tidak tumbuh sama sekali. 198
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Setelah proses koleksi (tangkapan) dengan tetes yang lebih kecil, maka tetes memperoleh ukuran, kecepatan dan penampang koleksi yang lebih besar, sehingga tetes mengalami kesempatan tumbukan selanjutnya jauh lebih besar dari pada sebelumnya. Langmuir (1948) menerangkan bahwa tetes hujan tumbuh dengan batas. Dari pengamatannya ditetapkan 6 mm sebagai diameter tetes hujan maksimum, ini berarti bahwa kelabilan aerodinamik dari ukuran ini akan menuju ke perpecahan. Diketahui dari eksperimen bahwa tumbukan merupakan faktor kunci yang mendukung perpecahan. Hujan dingin juga terbentuk dalam awan yang terdiri terutama dari tetes-tetes. Pada bagian awan di atas paras 0 0C, partikel cair ini adalah kelewat dingin. Seperti halnya dalam hujan panas, ada juga kemungkinan bahwa tetes awan tumbuh dengan kondensasi, koalisensi dan perpecahan. Tetapi jika beberapa partikel aerosol bertindak sebagai inti es, maka kristal es mungkin terbentuk dan tumbuh dengan mengorbankan tetes-tetes air kelewat dingin yang menunjukkan tekanan uap lebih besar dari pada tekanan uap di atas es pada temperatur di bawah 0 0C yang sama. Jika tetes-tetes awan kecil (jari-jari < 10 m) maka proses koalisensi adalah tidak mungkin, tetapi agregasi kristal-kristal es mungkin menimbulkan formasi salju. Salju dapat jatuh ke permukaan tanah secara langsung atau meleleh pada waktu turun jika paras 0 0C berada di atas tanah.
9.2. Proses Mikrofisis Presipitasi Awan dapat terbentuk jika sekurang-kurangnya syarat berikut dipenuhi : Mikrofisika Awan Dan Hujan
199
i. Udara mengandung uap air cukup di atmosfer yang dapat berubah fasa menjadi air dan es melalui kondensasi dan deposisi atau sebaliknya, air menjadi uap melalui evaporasi dan es menjadi uap air melalui sublimasi. ii. Adanya aerosol yang bertindak sebagai inti kondensasi atau inti pembeku. iii. Adanya arus udara ke atas (updraft) akibat konveksi, orografi, konvergensi atau front. Sumber aerosol misalnya pembakaran dalam pabrik, percikan gelembung laut, letusan gunung berapi dan sebagainya. Aerosol buatan (NaCl, AgI) telah banyak dipakai pada pembenihan awan, dengan tujuan mempercepat tumbuhnya tetes hujan. Gerakan arus udara memainkan peranan penting dalam pembentukan awan dan menentukan karakter serta kuantitas presipitasi (endapan) yang dihasilkan awan. Dari fasa uap air yang tidak terlihat menjadi bentuk partikel awan (tetes, kristal es) yang dapat dilihat kemudian berinteraksi dengan partikel awan lain untuk membentuk partikel presipitasi disebut proses mikrofisis presipitasi. Proses dari fasa uap menjadi tetes air melalui inti kondensasi disebut pengintian heterogen yang memerlukan kelewat jenuh rendah. Sedangkan proses dari fasa uap menjadi tetes air dalam lingkungan murni yang memerlukan kelewat jenuh tinggi disebut pengintian homogen. Jika awan terus tumbuh maka puncak awan melewati isoterm 0 C. Meskipun demikian, ada tetes-tetes awan yang berbentuk cair disebut tetes awan kelewat dingin dan ada yang membeku jika tetes 0
200
Mikrofisika Awan Dan Hujan
tersebut menjumpai inti es. Tetes-tetes awan kelewat dingin yang tidak menjumpai inti pembekuan akan membeku pada temperatur sekitar – 40 0 0 C. Di bawah isoterm 0 C semua tetes terbentuk cair. Efek larutan menurunkan tekanan uap keseimbangan di atas sebuah tetes, sehingga tetes larutan dapat berada dalam keseimbangan dengan lingkungan pada kelewat jenuh jauh lebih rendah dari pada sebuah tetes air murni dengan ukuran yang sama. Sebuah inti kondensasi dikatakan menjadi aktif bila tetes yang * terbentuk pada inti, dapat tumbuh sampai jejari kritis r . Sekali tetes telah * melewati jejari kritis (r ) maka menurut teori pertumbuhan tetes akan berlanjut. Tetapi dalam awan pertumbuhan lanjutan ini tidak terjadi karena banyak tetes yang bersaing untuk mendapatkan uap air yang ada dan cenderung menurunkan rasio jenuh pada waktu kondensasi menjadi lebih cepat daripada produksi kelewat jenuh oleh kenaikan adiabatik. Masalah fisis pertumbuhan dengan kondensasi menganggap bahwa tetes dalam keadaan diam di atmosfer yang mempunyai tekanan uap air lebih besar daripada tekanan uap keseimbangan tetes. Selanjutnya uap air akan berdifusi menuju tetes dan mengondensasi padanya. Karena itu melepaskan panas laten (kondensasi) yang menyebabkan naiknya temperatur tetes, hal ini mempengaruhi keseimbangan tekanan uap tetes. Setelah waktu tertentu keadaan mantap semu (quasi – steady) akan terjadi dimana uap berdifusi menuju tetes sehingga tetes tumbuh secara lambat. Ada hubungan erat antara skala dan intensitas gerak vertikal dengan karakter presipitasi yang dihasilkan. Presipitasi dapat dikategorikan menjadi dua jenis yaitu : Mikrofisika Awan Dan Hujan
201
a. Presipitasi kontinu, stratiform, skala luas yang dikaitkan dengan kenaikan udara skala luas akibat front atau pengangkatan udara oleh topografi atau akibat konvergensi horisontal udara skala luas. b. Presipitasi hujan deras (shower precipitation), konvektif, terlokalisasi yang dikaitkan dengan konveksi udara labil skala – cumulus. Pola presipitasi stratiform berubah relatif lambat, sedangkan presipitasi konvektif berubah secara cepat. Hujan stratiform dihasilkan oleh awan nimbostratus (Ns), meskipun masa pelenyapan awan cumulus (Cu) dan awan orografik dapat menghasilkan hujan dengan struktur stratiform. Kebanyakan salju berasal dari awan Ns, tetapi hujan salju tiba-tiba (snow flurries) dan hujan deras graupel dapat dihasilan oleh awan-awan konvektif. Hujan deras adalah hujan yang tersusun rapat (compact) dengan perluasan horisontal secara pendekatan sama seperti perluasan vertikal.
9.3. Proses Pertumbuhan Partikel Presipitasi Partikel awan harus tumbuh cukup besar untuk dapat melawan arus udara keatas (updraft) sehingga partikel ini dapat bertahan hidup (survive) pada waktu jatuh kepermukaan bumi sebagai tetes-tetes hujan atau keping-keping salju tanpa menguap seluruhnya. Untuk membentuk satu tetes hujan diperlukan ratusan ribu sampai satu juta butiran awan. Pertumbuhan melalui kondensasi saja tidak memungkinkan butiranbutiran awan tumbuh menjadi tetes hujan atau keping salju. Ada dua proses penting yang menyebabkan partikel-partikel awan tumbuh menjadi partikel presipitasi, yaitu proses kolisi – koalisensi dalam awan panas dan proses kristal es dalam awan dingin. Proses Kolisi - Koalisensi Dalam awan panas, butiran-butiran awan dapat tumbuh melalui tumbukan kemudian tangkapan (gabungan) dengan butiran lainnya. 202
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Proses kolisi – koalisensi memerlukan beda ukuran butiran-butiran di dalam awan. Butiran-butiran yang mempunyai diameter atau jejari serba sama pada dasarnya mempunyai kecepatan jatuh terminal sama, sehingga tumbukan (kolisi) antar butiran sangat jarang. Sebaliknya butiran-butiran awan dengan diameter tidak sama akan mempunyai kecepatan jatuh terminal juga berbeda, sehingga tumbukan antar butiran lebih sering. Butiran-butiran awan besar biasanya berasal dari kehadiran inti garam laut raksasa yang menghasilkan butiran relatif besar dengan diameter lebih besar dari 40 mm. Sebuah butiran yang lebih besar (lebih berat) akan turun lebih cepat dari pada butiran yang lebih kecil (lebih ringan). Ketika turun, sebuah butiran besar menumbuk dan bergabung dengan butiran-butiran yang lebih kecil (kecepatan jatuh lebih lambat) dalam lintasannya, lihat gambar 9.2. Dengan kolisi dan koalisensi berulang, maka sebuah butiran akan tumbuh, kecepatan jatuh terminalnya meningkat, sehingga kolisi menjadi lebih sering. Pada akhirnya, butiran-butiran menjadi cukup besar kemudian jatuh dari awan dan mencapai permukaan bumi sebagai tetes-tetes hujan.
Gambar 9.2. Sebuah butiran air relatif besar jatuh di dalam awan yang mengandung banyak butiran yang lebih kecil. Butiran besar menumbuk butiranbutiran yang lebih kecil dalam lintasannya dan tumbuh melalui koalisensi. Sumber Moran and Morgan, 1997. Mikrofisika Awan Dan Hujan
203
Pada umumnya tetes awan mempunyai jejari yang berorde 10 sampai 100 m (1 m = 0,001 mm), dan tetes-tetes hujan normal mempunyai radius 1 sampai 3 mm. Jika tetes dianggap berbentuk bola (spheric), maka volume sebuah tetes awan adalah: 4 (9.1a) Va π R3 3 dan volume sebuah tetes hujan adalah: 4 3 Vh πr (9.1b) 3 dimana r dan R masing-masing adalah jejari tetes awan dan jejari tetes hujan. Dari persamaan (9.1a) dan (9.1b) diperoleh: (9.2)
Secara fisis persamaan (9.2) dapat diartikan bahwa : i. Jika jejari tetes awan (r) = 100 m dan jejari tetes hujan (R) = 3 mm, maka:
ii. Jika jejari tetes awan (r) = 10 m dan jejari tetes hujan (R) = 1 mm.
204
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Dari contoh-contoh di atas jelas bahwa puluhan ribu sampai satu juta tetes awan hanya akan terbentuk satu tetes hujan, melalui mekanisme kolisi – koalisensi. Proses Kristal Es Pertumbuhan butiran melalui kolisi – koalisensi penting terutama di daerah tropis, tetapi di daerah lintang-lintang menengah dan tinggi kebanyakan presipitasi yang jatuh ke permukaan bumi berasal dari proses kristal es atau proses Bergeron. Proses ini dinamakan sesuai dengan meteorologiwan Scandinavia Tor Bergeron yang pertama kali membahas proses kristal es pada tahun 1933. Proses Bergeron 0 diterapkan pada awan dingin yang mempunyai temperatur di bawah 0 C 0 (biasanya < – 10 C). Proses kristal es memerlukan keberadaan bersama (coexistence) uap air, butiran air kelewat dingin, dan kristal es. Kebanyakan inti pembentuk es (IES) tidak aktif pada temperatur 0 0 0 lebih panas dari – 9 C (16 F). Awan pada temperatur antara 0 dan – 9 C (32 dan 160F) semata-mata terdiri dari butiran-butiran air kelewat dingin, sedangkan pada temperatur antara sekitar – 10 dan – 20 0C, awan mengandung campuran sebagian besar butiran-butiran air kelewat dingin 0 dan beberapa kristal es. Di bawah temperatur – 20 C kebanyakan inti deposisi menjadi aktif, awan biasanya terdiri dari kristal-kristal es. Dan 0 pada temperatur sekitar – 40 C atau lebih rendah terjadi pembekuan spontan. Distribusi butiran air kelewat dingin dan kristal es agak lebih rumit dalam awan yang mempunyai pertumbuhan vertikal signifikan. Sebagai contoh awan cumulonimbus (Cb) mempunyai komponen berbeda pada ketinggian berbeda bergantung pada profil temperatur Mikrofisika Awan Dan Hujan
205
vertikal awan. Secara khusus, dibagian atas awan yang temperaturnya sangat rendah terdiri dari kristal-kristal es, didekat dasar awan terdiri dari butiran-butiran air, dan pada bagian antaranya terdapat campuran butiran air kelewat dingin dan kristal es. Dalam awan Cb dengan arus konveksi kuat terjadi transport butiran-butiran air cair ke bagian atas dimana butiran-butiran tersebut membeku. Proses ini merupakan sumber kristal es yang penting di dalam awan badai guruh. Proses Bergeron terjadi dalam awan (atau bagian awan) yang terdiri dari campuran kristal es dan butiran air kelewat dingin, lihat gambar 9.3. Pada mulanya butiran-butiran air kelewat dingin jauh melebihi jumlah kristal es karena inti kondensasi awan (IKA) jauh melebihi inti pembentuk es (IES). Tetapi kristal es tumbuh secara cepat dengan mengorbankan butiran-butiran air kelewat dingin terutama disebabkan oleh tekanan uap jenuh di atas air lebih besar dari pada di atas 0 es pada temperatur di bawah 0 C yang sama.
butiran kelewat dingin kristal es
Gambar 9.3. Di dalam awan dingin, kristal es tumbuh dengan mengorbankan butiranbutiran air kelewat dingin. Ketika kristal es membesar, jatuh lebih cepat kemudian menumbuk butiran-butiran air dan kristal es lain dalam lintasannya. Pada akhirnya, kristal es tumbuh cukup besar kemudian jatuh keluar awan sebagai keping salju. Sumber Moran and Morgan, 1997.
206
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Pada temperatur di bawah titik beku, molekul-molekul air menguap lebih segera dari permukaan air cair ketimbang dari es padat, karena molekul-molekul air lebih terikat secara kuat dalam fasa padat daripada dalam fasa cair. Akibatnya, tekanan uap jenuh lebih besar di atas air kelewat dingin daripada di atas es. Jadi di dalam awan campuran, tekanan uap yang jenuh untuk butiran-butiran air menjadi kelewat jenuh untuk kristal-kristal es. Misalkan di dalam awan pada temperatur – 10 0C tekanan uap adalah 2,86 mb. Menurut tabel 9.1, tekanan uap ini diterjemahkan kedalam kelembapan relatif = 100% (jenuh) untuk udara disekitar butiran-butiran air dan kelembapan relatif = 110% (kelewat jenuh) untuk udara disekitar kristal-kristal es. Dalam kondisi kelewat jenuh, uap air mengendap pada kristal es (proses deposisi) sehingga kristal es tumbuh. Deposisi menyebabkan uap air awan berkurang, dengan demikian kelembapan relatif udara lingkungan butiran-butiran air turun di bawah 100%, dan butiran menguap. Jadi, dalam proses Bergeron, kristal-kristal es tumbuh dengan mengorbankan butiranbutiran air.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
207
Tabel 9.1. Variasi Tekanan uap jenuh dan perbandingan campuran jenuh dengan temperatur pada tekanan 1000 mb (Moran and Morgan, 1997). Temperatur (0C) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 – 5 *) – 10 – 15 – 20 – 25 – 30 – 35 – 40 – 45
Tekanan uap jenuh (mb) Di atas air 73,78 56,24 42,43 31,67 23,37 17,04 12,27 8,72 6,11 4,21 2,86 1,91 1,25 0,80 0,51 0,31 0,19 0,11
Di atas es
6,11 4,02 2,60 1,65 1,03 0,63 0,38 0,22 0,13 0,07
Perbandingan campuran jenuh Di atas air 49,81 37,25 27,69 20,44 14,95 10,83 7,76 5,50 3,84 2,64 1,79 1,20 0,78 0,50 0,32 0,20 0,12 0,07
Di atas es
3,84 2,52 1,63 1,03 0,65 0,40 0,24 0,14 0,08 0,05
*) Untuk temperatur di bawah 0 0C, tekanan uap jenuh dan perbandingan campuran jenuh di atas air kelewat dingin lebih besar dari pada di atas es.
Kelembapan relatif (RH) dapat diekspresikan sebagai berikut: tekanan uap RH x 100% (9.3) tekanan uap jenuh atau RH
perbandingan campuran x 100% perbandingan campuran jenuh
(9.4)
Kelembapan relatif (RH) membandingkan konsentrasi uap air aktual di udara dengan konsentrasi uap air dalam udara yang sama pada 208
Mikrofisika Awan Dan Hujan
keadaan jenuh. Jika konsentrasi uap air aktual di udara sama dengan konsentrasi uap air pada keadaan jenuhnya, RH = 100% yaitu udara 0 jenuh terhadap uap air. Misalkan bahwa temperatur udara = 10 C dan tekanan uap = 6,1 mb. Dari tabel 9.1, dapat ditentukan bahwa pada temperatur 10 0C tekanan uap jenuh udara adalah 12,27 mb. Dengan memakai formula (9.1) diperoleh: RH
6,1 mb x 100% 49,7% 12,27 mb
Catatan bahwa kelembapan relatif (RH) berbanding lurus dengan tekanan uap dan berbanding terbalik dengan tekanan uap jenuh. Karena tekanan uap jenuh berbanding lurus dengan temperatur udara, maka RH berbanding terbalik dengan temperatur udara. Ketergantungan kelembapan relatif pada temperatur udara dapat membingungkan karena meskipun konsentrasi uap air aktual di udara tidak berubah, RH naik atau turun bergantung pada bagaimana temperatur udara berubah. Pada suatu hari tenang dan cerah, temperatur udara biasanya naik dari minimum sekitar matahari terbit menuju maksimum pada waktu sekitar pukul 13.00 waktu lokal kemudian turun lagi. Jika tekanan uap atau perbandingan campuran tidak berubah sepanjang hari, tetapi kelembapan relatif (RH) berubah secara terbalik dengan temperatur udara yaitu RH tinggi bila temperatur udara rendah atau sebaliknya. Gambar 9.4, menunjukkan pias termohigrograf pengamatan pada tanggal 3 – 6 Januari 2006, di Kampus ITB, Bandung. Setelah matahari terbit ketika udara menjadi panas, kelembapan relatif turun, bukan karena udara menjadi kering tetapi karena temperatur udara naik yang berarti tekanan uap jenuh meningkat.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
209
Gambar 9.4. Variasi kelembapan relatif terhadap waktu. Kelembapan relatif berbanding terbalik dengan temperatur udara. Hasil pengamatan temohigrograf pada tanggal 3–6 Januari 2006, Kampus ITB, Bandung.
Karena kristal es tumbuh lebih besar dan lebih berat, kecepatan jatuh terminalnya meningkat kemudian menumbuk dan menangkap butiran air kelewat dingin dan kristal-kristal es yang lebih kecil (lebih lambat) dalam lintasannya. Pada akhirnya beberapa kristal es menjadi begitu berat dan jatuh keluar dari dasar awan. Jika temperatur udara sekurang-kurangnya pada lintasan ke tanah di bawah titik beku maka kristal es mencapai permukaan bumi sebagai keping salju. Tetapi jika temperatur udara di bawah awan di atas titik beku maka keping salju meleleh dan jatuh sebagai tetes hujan. 210
Mikrofisika Awan Dan Hujan
9.4. Kecepatan Terminal Partikel Awan dan Presipitasi Butiran air atau kristal es awan sedemikian kecilnya sehingga dapat terus mengapung, kecuali partikel menguap atau mengalami pertumbuhan besar. Arus udara keatas (updraft) di dalam awan biasanya cukup kuat untuk menahan partikel-partikel awan sehingga tidak meninggalkan dasar awan dan tidak jatuh ke permukaan bumi. Bahkan jika partikel (butiran dan kristal es) turun dari awan, hanyutan (drift) kearah bawah demikian lambat sehingga partikel hanya menempuh jarak yang pendek sebelum menguap kedalam udara tak jenuh di bawah awan. Kecepatan sebuah partikel awan (butiran atau kristal es) atau partikel lain dalam udara tenang (calm air) diatur oleh dua gaya : (i) gaya gravitas yang mempercepat partikel jatuh ke bawah, dan (ii) gaya lawan yang disebabkan oleh hambatan udara melalui mana partikel turun. Ketika partikel dipercepat kebawah, hambatan (gesekan) udara meningkat, sementara gaya gravitas pada dasarnya dijaga konstan. Pada akhirnya gaya gesekan (seret) udara diimbangi oleh gaya gravitas dan partikel hanyut kebawah pada sebuah kecepatan konstan dikenal sebagai kecepatan jatuh terminal atau kecepatan terminal. Agar partikel tetap mengapung di udara, arus udara keatas harus cukup kuat untuk melawan kecepatan terminal partikel. Pada umumnya kecepatan terminal meningkat dengan ukuran partikel, lihat gambar 9.5. Karenanya, makin besar partikel, kecepatan arus udara keatas harus makin kuat agar partikel tetap mengapung. Partikel awan (butiran dan kristal es) sedemikian kecil (kebanyakan mempunyai diameter 10 sampai 20 m) sehingga partikel mempunyai kecepatan terminal sangat rendah, nilai tipiknya 0,3 sampai 1,2 cm s-1. Mikrofisika Awan Dan Hujan
211
Gambar 9.5. Kecepatan terminal sebuah partikel yang jatuh melalui udara sebagai fungsi ukuran partikel. Sumber Moran and Morgan, 1997.
Gaya seret (drag force) fluida viskus yang bekerja pada sebuah bola dengan jejari r dapat diekspresikan sebagai: π 2 2 (9.5) FR r u ρ CD 2 Keterangan : FR : gaya seret fluida viskus r : jejari bola u : kecepatan bola relatif terhadap fluida : densitas fluida CD : koefisiensi seret (drag coefficient) yang memberi sifat aliran atau C R (9.6) FR 6 π μ ru D e 24 dimana adalah viskositas dinamis fluida dan Re adalah bilangan Reynolds yang didefinisikan sebagai: Re μ R e 2 ρ ur μ atau ρ 2 ur 212
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Gaya gravitasional pada bola adalah: FG
4 3 μr g ρ L ρ 3
(9.7)
Keterangan : L : densitas air berbentuk bola : densitas udara g : percepatan gravitasi Dalam hal tetes air yang jatuh melalui udara maka: 4 3 FG μ r g ρL 3
(9.8)
suatu pendekatan yang baik, karena L >> . Jika FG = FR maka tetes akan jatuh terhadap udara pada kecepatan terminalnya. 4 3 C Re π r g ρ L 6 μ ru D 3 24 gaya gravitasi
gaya seret
Sehingga kecepatan terminal butiran adalah: u
2 r 2 g ρL 9 C D Re 24 μ
(9.9)
Untuk bilangan Re yang sangat kecil, maka (CD Re/24) = 1, sehingga: u
2 r 2 g ρL 9 μ
2 k1 ,runtuk tetes awan : r ~ 40 m (9.10)
k1 ~ 1,19 x 106 cm-1 s-1.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
213
Persamaan (9.10) disebut hukum Stokes dimana kecepatan jatuh terminal tetes awan bergantung pada kuadrat jari-jarinya. Hukum Stokes dipakai untuk tetes-tetes awan dengan jejari sampai sekitar 40 m. Untuk bilangan Re cukup tinggi maka berlaku hukum akar kuadrat sebagai berikut: u k2
r
atau u k 2 r1/ 2, untuk tetes hujan : 0,6 mm < r < 2 mm(9.11) Keterangan: 1/2 3 ρ0 k2 : 2,2 x 10 cm1/2 s 1 ρ : densitas udara -3 3 -3 0 : densitas udara referensi = 1,2 x 10 g/cm = 1,2 kg m sesuai dengan udara kering pada tekanan 1013 mb dan temperatur 20 0C. Hukum akar kuadrat berlaku untuk tetes hujan dengan jejari 0,6 3 1/2 -1 mm < r < 2 mm dengan k2 ~ 2,01 x 10 cm s , karena secara pendekatan 0/ ~ 1. Pada jangka (range) ukuran tetes menengah yaitu antara daerah hukum Stokes dan hukum akar kuadrat, maka formulas pendekatan yang berlaku: u k 3 r , untuk tetes awan 40 m < r < 0,6 mm
(9.12)
dengan k3 = 8 x 103 s-1. Tetes hujan mempunyai bilangan Reynolds tinggi tetapi tidak bulat benar sehingga hukum akar kuadrat hanya menggambarkan kecepatan terminal 214
Mikrofisika Awan Dan Hujan
tetes hujan dengan baik dalam jangka ukuran terbatas. Kecepatan terminal tetes hujan telah dihitung oleh Gunn and Kinzer (1949) dengan 0 data pada permukaan laut dengan tekanan 1013 mb dan temperatur 20 C, hasilnya dicantumkan pada tabel 9.2. Tetes hujan dengan diameter 6,0 mm atau lebih akan pecah menjadi tetes-tetes yang lebih kecil. Kecepatan jatuh terminal tetes hujan dapat dinyatakan dengan persamaan empiris berikut: u 9,65 10,3 e 0, 6 D
(9.13)
Keterangan : -1 u : kecepatan terminal tetes (ms ) D : diameter tetes hujan (mm) Tabel 9.2. Kecepatan terminal tetes hujan sebagai fungsi ukuran tetes(Gunn and Kinzer, 1949) Diameter (mm) 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0 2,2 2,4
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Kecepatan jatuh (ms-1) 0,27 0,72 1,17 1,62 2,06 2,47 2,87 3,27 3,67 4,03 4,64 5,17 5,65 6,09 6,49 6,90 7,27
Diameter (mm) 2,6 2,8 3,0 3,2 3,4 3,6 3,8 4,0 4,2 4,4 4,6 4,8 5,0 5,2 5,4 5,6 5,8
Kecepatan jatuh (ms-1) 7,57 7,82 8,06 8,26 8,44 8,60 8,72 8,83 8,92 8,98 9,03 9,07 9,09 9,12 9,14 9,16 9,17
215
9.5. Resumé Modifikasi cuaca dimulai pada tahun 1946 oleh Vincent Schaefer dan Irving Langmuir dengan pembenihan es kering. Kemudian Vonnegut pada tahun 1947 menemukan perak iodida AgI sebagai inti es (IES) buatan. Modifikasi cuaca di Indonesia baru dimulai pada tahun 1977 dengan status uji coba hujan buatan di wilayah Bogor, Jawa Barat. Operasi percobaan hujan buatan dilakukan pada tahun 1979 oleh instansi BPPT. Modifikasi awan buatan dilaksanakan dengan penyemaian partikel aerosol higroskopis yang bertindak sebagai inti kondensasi awan (IKA). Dari jumlah curah hujan tahunan yang secara rata-rata sekitar 2000 mm atau lebih, terutama dikawasan Indonesia bagian barat, maka kesediaan sumber daya air berlimpah. Tetapi mengingat variasi curah hujan secara temporal dan spasial sangat besar, maka teknologi modifikasi cuaca di Indonesia sangat dibutuhkan untuk meningkatkan jumlah curah hujan sehingga sumber daya air yang dipakai pertanian mencukupi. Dalam pembangkit listrik tenaga air dan irigasi teknologi modifikasi cuaca diperlukan untuk mengisi waduk. Awan konvektif jenis cumulus (Cu) dan cumulonimbus (Cb) banyak dijumpai di Indonesia. Awan jenis ini mempunyai pertumbuhan vertikal mencapai paras yang tinggi. Di bagian atas awan Cb yang temperaturnya sangat rendah terdiri dari kristal-kristal es, didekat dasar awan terdiri dari butiran-butiran air, sedangkan dibagian diantaranya terdiri dari campuran butiran-butiran air kelewat dingin dengan kristalkristal es. Akibat tekanan uap jenuh di atas air lebih besar dari pada di atas es, maka kristal-kristal es akan tumbuh dengan mengorbankan butiran-butiran air kelewat dingin. 216
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Jika kristal es tumbuh lebih besar, kecepatan terminalnya meningkat, kemudian menumbuk butiran air kelewat dingin dan kristal es yang lebih kecil (lebih lambat) dalam lintasannya. Beberapa kristal es menjadi begitu besar dan berat, sehingga jatuh keluar dari dasar awan. Jika temperaur udara di bawah awan sampai ketanah di bawah titik beku maka kristal es mencapai permukaan tanah sebagai serpih salju, sebaliknya jika temperatur di bawah awan di atas titik beku maka serpih salju meleleh dan jatuh sebagai hujan. Kecepatan jatuh terminal tetes bergantung pada ukuran tetes awan. Untuk tetes awan dengan jejari sampai sekitar 40 m, kecepatan jatuh terminalnya mengikuti hukum Stokes. Untuk tetes hujan berjejari antara 0,6 dan 2 mm, kecepatan jatuh terminalnya mengikuti hukum akar kuadrat. Untuk tetes berukuran menengah antara 40 m dan 0,6 mm, kecepatan jatuh terminalnya berbanding lurus dengan jejarinya. Gun and Kinzer (1949) telah menghitung kecepatan jatuh terminal tetes hujan (u) sebagai fungsi diameter tetes (D) yaitu u = 9,65 – 10,3 e-0,6D.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
217
Bab 10 Modifikasi Cuaca
Bagian B : Modifikasi Awan dan Presipitasi Modifikasi cuaca dimaksudkan sebagai modifikasi awan secara buatan atas usaha manusia, dengan tujuan : i. meningkatkan jumlah curah hujan. Dilakukan oleh banyak negara untuk mengatasi masalah air hujan yang distribusinya secara temporal dan local tidak merata, terutama dalam sistem monsun benua maritim Indonesia. ii. melenyapkan awan. Awan rendah seperti stratus dan kabut mengandung resiko di lingkungan bandara. Konsep menghilangkan awan atau kabut yaitu dengan menginjeksikan inti kondensasi atau inti es. Kabut panas lebih sulit dihilangkan. iii. menindas batu es hujan. Tetes kelewat dingin dalam awan cumulonimbus (Cb) dibekukan dengan partikel AgI, sehingga pembentukan batu es yang besar dapat dihindari. Dalam awan 0 campuran di bawah 0 C, maka tekanan uap di atas air es lebih besar dari pada di atas es ei. Mikrofisika Awan Dan Hujan
219
iv. melerai siklon tropis. Projek modifikasi siklon untuk mereda banjir dan angin belum menunjukkan hasil yang signifikan. Prinsipnya adalah menurunkan gradien temperatur dengan demikian gradien tekanan dan angin melemah.
10.1. Kelembapan Kritis Garam Pembentukan awan memerlukan inti kondensasi dimana uap air mengondensasi padanya dan membentuk tetes awan. Partikel yang higroskopis hanya menangkap uap air pada temperatur tertentu, mulai dari kelembapan relatif tertentu yang disebut kelembapan relatif kritis. Untuk sodium khlorida, RH = 75% dipandang sebagai kelembapan relatif kritis (RHc). Gambar 10.1, menunjukkan grafik kelembapan relatif kritis sebagai fungsi temperatur. Secara alamiah inti kondensasi berada di atmosfer dengan jarijari antara 0,1 dan 10m. Dalam percobaan hujan buatan di Indonesia diinjeksikan partikel garam NaCl dengan diameter 40 – 50 m. Partikel dengan ukuran ini berpeluang membentuk tetes hujan besar. Partikel akan memperbesar tetes awan selama kecepatan arus udara keatas di dalam awan masih dapat menopangnya. Partikel garam yang berdiameter di atas 100 m kurang berpeluang membentuk tetes hujan, karena waktu tinggal partikel besar di dalam awan relatif singkat sehingga menghasilkan tetes hujan yang lebih kecil. Partikel yang mempunyai diameter lebih besar 40 m yang membentuk tetes hujan dengan diameter lebih besar 1 mm telah dihitung sekitar 2000 tetes hujan, dan hasilnya ditunjukkan pada tabel 10.1.
220
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Gambar 10.1. Kelembapan relatif kritis sebagai fungsi temperatur untuk garam NaCl.
Tabel 10.1. Diameter tetes hujan (D, mm) dikaitkan dengan berbagai diameter partikel aerosol (d) dalam mikron. (Rosinski, 1973). Eksperimental
D (mm) dihitung a b c (4 m/s) (5 m/s) (6 m/s)
d (7,5 m/s)
e (10 m/s)
5,7
pecah
pecah
3,3
4,8
”
”
4,5
2,6
3,7
5,7
”
70
4,3
2,0
2,9
4,9
”
90
4,2
1,4
2,2
3,5
”
120
3,5
<1
1,4
2,5
5,4
200
2,7
<1
<1
1,0
2,5
d (m)
D (mm)
d (m)
40 – 50
4–6
40
4,9
5,0
50 – 60
4–5
50
5,0
60 – 75
3,5 – 5
60
75 – 100
2,5 – 4
100 – 250
1,0 – 3
Catatan : a
: masuk melalui muka awan pada ujung utama awan pada kecepatan 4 m/s, kadar air cair 0,3 g/m3. b, c, d, dan e: masuk melalui dasar awan sel badai guruh pada kecepatan 5; 6; 7,5; dan 10 m/s, kadar air cair 2 sampai 4 g/m3. Mikrofisika Awan Dan Hujan
221
Partikel garam dapur (NaCl) bertindak sebagai inti kondensasi dan jika ditaburkan di dalam awan partikel ini bertindak sebagai tetes larutan yang dapat menggiatkan mekanisme benturan dan penggabungan. Jika diameter butir garam 40 m (atau jejarinya 20 m) maka volume 1 butir garam adalah : 3
-2 3
3
V = 4/3 r = 4/3 x 3,14 x (2.10 ) mm -6
3
-9
3
~ 32 x 10 mm = 32 x 10 cm
3
misalkan massa jenis garam, = 1,2 gram/cm , maka massa 1 butir garam: m = V . = 32 x 10-9 cm3 x 1,2 gr/cm3 ~ 38,4 x 10-9 gram Jadi dalam 1 kg terdapat
1000 x 109 butir 38,4
~ 26 x 109 butir Jika pesawat mampu mengangkut 1 ton garam yang setara dengan 26 x 1012 butir garam, biasanya disebar dalam tempo, t = 45 menit = 45 x 60 12 detik = 2.700 detik, maka setiap detik disebarkan = 26 x 10 ~ 1010 butir 2700 garam NaCl. Hasil ini sesuai dengan percobaan hujan buatan di India, yaitu 1010 butir garam tiap detik disebar dari bawah dengan memakai generator dan menambah hujan 40% dengan asumsi semua butir garam masuk melalui dasar awan.
10.2. Teknologi Modifikasi Awan Mikrostruktur awan dipengaruhi oleh konsentrasi inti kondensasi dan inti es, sedangkan pertumbuhan partikel presipitasi dipengaruhi oleh kelabilan di dalam mikrostruktur awan. Ada dua jenis kelabilan : 222
Mikrofisika Awan Dan Hujan
i. Dalam awan panas, tetes besar tumbuh dengan menangkap tetes kecil oleh mekanisme benturan–tangkapan. Kelabilan awan disebabkan oleh heterogenitas ukuran tetes. ii. Jika ada partikel es dalam awan campuran, maka partikel es akan tumbuh oleh deposisi dengan mengorbankan tetes air kelewat dingin, kemudian dengan pembekuan (riming) dan koleksi (aggregation). Kelabilan awan disebabkan tekanan uap di atas air kelewat dingin lebih besar ketimbang di atas es pada temperatur di 0 bawah 0 C yang sama. Dari gagasan di atas, disarankan teknik modifikasi awan dan presipitasi sebagai berikut : i. Dengan menginjeksikan (membenih) partikel higroskopis besar atau tetes air kedalam awan panas, agar dapat merangsang pertumbuhan tetes hujan oleh mekanisme benturan – tangkapan. ii. Dengan membenih inti-inti es buatan kedalam awan dingin (yang mungkin kekurangan inti es alam) dalam konsentrasi sekitar satu per liter, agar dapat merangsang produksi presipitasi oleh mekanisme kristal es. iii. Dengan menginjeksikan konsentrasi yang tinggi dari inti es buatan kedalam awan dingin agar dapat mengurangi secara drastis konsentrasi tetes kelewat dingin, karenanya menghalangi pertumbuhan partikel es oleh deposisi dari embun beku (riming). Hal ini cenderung melenyapkan awan dan menindas pertumbuhan partikel presipitasi.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
223
a. Teknologi Modifikasi Awan Panas Teknik yang lebih baik adalah menginjeksikan tetes-tetes air kecil (r ~ 30 m) atau partikel-partikel higroskopis (misalnya partikel garam) kedalam dasar awan; partikel ini mungkin tumbuh oleh kondensasi, kemudian oleh benturan–tangkapan, karena tetes ini pertama dibawa keatas, kemudian jatuh melalui awan. Awan cumulus dapat digolongkan sebagai awan panas, jika 0 temperatur awan lebih besar – 10 C, dapat juga digolongkan sebagai awan dingin, jika awan ini tumbuh jauh ke lapisan beku, sehingga temperatur awan sebagian atau seluruhnya di bawah – 10 0C. Paras (level) 0 0C disebut paras beku, atau paras peleburan. Dalam awan panas, jika tetes-tetes awan mempunyai ukuran serba sama maka kecepatan terminalnya sama, sehingga kemungkinan benturan dan tangkapan sangat kecil. Dari persamaan (6.26) dan (6.27) terlihat bahwa jika R = r, maka u(R) = u(r) sehingga u(R) – u(r) = 0 dan dm/dt = dR/dt = 0, jadi tidak terdapat pertumbuhan ukuran tetes. Secara alamiah awan ini sulit atau tidak dapat menghasilkan hujan. Modifikasi awan dapat dilakukan dengan menginjeksikan tetestetes besar kedalam awan sehingga mekanisme benturan dan tangkapan menjadi lebih aktif. Akibat proses benturan, tetes bertambah besar dan jatuh lebih cepat yang berarti efisiensi koleksi bertambah besar, dengan demikian tetes awan makin cepat tumbuh menjadi tetes hujan. Untuk membentuk satu tetes hujan diperlukan puluhan ribu sampai satu juta tetes-tetes awan. b. Teknologi Modifikasi Awan Dingin Cumulus yang tumbuh menjulang tinggi jauh ke lapisan atmosfer 0 dengan temperatur di bawah – 10 C, dapat digolongkan sebagai awan 224
Mikrofisika Awan Dan Hujan
dingin. Pada lapisan awan antara 0 0C dan – 40 0C tidak terjadi pengintian air secara spontan, kecuali jika tetes menjumpai inti pembeku atau inti es. Aerosol buatan yang banyak dipakai untuk merangsang presipitasi adalah perak iodida (AgI). Tetapi di Indonesia dimana banyak radiasi matahari maka AgI tidak efektif dipakai sebagai inti pembeku, karena itu sebagai gantinya dapat dipakai es kering (CO2 padat) yang ditaburkan dari puncak awan. Temperatur keseimbangan sublimasi es kering adalah 0 – 78 C, jauh lebih dingin dari pada temperatur pembekuan homogen air. Jika diinjeksikan kedalam awan kelewat dingin maka pelet es kering akan turun dan dalam lintasannya es kering akan membekukan tetes-tetes yang dilaluinya. Seperti dibicarakan dimuka, teknologi modifikasi awan dingin bergantung pada koeksistensi tetes kelewat dingin dan partikel es. Konsentrasi inti es di dalam udara agak kecil bahkan kadang-kadang kurang pada temperatur lebih panas. Karena itu perlu menginjeksikan inti es buatan atau bahan kimia lain kedalam awan agar pertumbuhan kristal es dapat menghasilkan presipitasi. Ini merupakan dasar ilmiah untuk kebanyakan uji coba modifikasi awan dan presipitasi yang telah dilakukan pada awan dingin. Bernard Vonnegut mulai mencari inti es buatan. Ia menunjukkan bahwa inti es efektif sebaiknya mempunyai struktur kristalografik yang serupa dengan struktur es. Pemeriksaan tabel-tabel kristalografik mengungkapkan bahwa perak iodida (AgI) memenuhi. Uji laboratorium menunjukkan bahwa perak iodida dapat bertindak sebagai 0 inti es pada temperatur setinggi – 4 C. Banyak bahan pengintian es buatan yang diketahui misalnya, timah iodida (lead iodide), kuningan sulfida (cupric sulfide) dan beberapa bahan-bahan organik misalnya, Mikrofisika Awan Dan Hujan
225
phloroglucinol, metaldehyde lebih efektif sebagai inti es dari pada peark iodida. Tetapi kebanyakan uji coba modifikasi awan buatan sampai sekarang masih memakai perak iodida.
10.3. Teknologi Modifikasi Cumulus Peningkatan jumlah curah hujan dalam awan cumulus dapat dilakukan dalam dua cara yaitu meningkatkan proses koalisensi dan meningkatkan pertumbuhan partikel es yang memanfaatkan keberadaan butiran air kelewat dingin. Puncak awan cumulus di Indonesia menembus jauh dari paras beku (sekitar 4,5 km), dan puncaknya mencapai ketinggian 17 km dengan temperatur sekitar – 85 0 C, sering disebut awan campuran. a. Meningkatkan Proses Koalisensi Pertumbuhan tetes awan menjadi ukuran presipitasi melalui koalisensi dalam awan cumulus dikaitkan dengan kecepatan arus udara keatas (updraft), dimensi awan, kadar air awan, waktu hidup awan, dan distribusi ukuran tetes awal yang dikendalikan oleh spektrum ukuran inti kondensasi awan (IKA). Pertumbuhan melalui koalisensi lebih mudah jika dalam awan ada tetes-tetes diantara banyak butiran-butiran awan sehingga tetes mampu menumbuk dan mengoleksi butiran-butiran awan. Di atas lautan (osean) inti garam laut raksasa (jari-jari 1 sampai 10 m) merupakan faktor utama untuk memulai koalisensi sehingga hujan cumulus marin lebih segera daripada hujan cumulus di atas darat. Diduga bahwa dengan memasukkan embrio presipitasi buatan dapat memperpendek waktu yang diperlukan terjadinya hujan dan dapat meningkatkan efisiensi presipitasi dalam awan yang waktu hidupnya 226
Mikrofisika Awan Dan Hujan
singkat. Embrio presipitasi buatan yang dimaksud yaitu dengan menyemprotkan air, dan tepung atau larutan bahan higroskopis. Kesulitan dalam pendekatan penyemprotan air untuk memodifikasi koalisensi karena jumlah air yang diinjeksikan kedalam awan cukup besar agar dihasilkan efek yang nyata. Untuk mengatasi masalah ini, diganti dengan material higroskopis sebagai agen semai. Dari 1 kg agen semai yang diinjeksikan kedalam sebuah awan dapat menghasilkan 5 sampai 10 kg air awan menjadi embrio-embrio tetes hujan buatan. Salah satu bahan utama yang dipakai dalam modifikasi cumulus adalah tepung halus garam (NaCl). Masalahnya adalah sulit untuk menggiling garam sesuai dengan spektrum ukuran yang diinginkan dan sulit mencegah agar partikel garam tidak menggumpal sebelum disebar. Injeksi inti-inti kondensasi yang terlalu kecil ke dalam awan dapat menyebabkan efek berlawanan pada pertumbuhan koalisensi. Inti yang terlalu kecil kemungkinan keluar dari awan oleh arus udara keatas. Metode lain adalah menyemprotkan material higroskopis seperti ammonium nitrate dan urea. Teknik ini mempunyai keuntungan karena partikel yang disemprotkan dengan diameter sekitar 10 m, disebarkan oleh turbulensi skala kecil dan dibawa sampai kedasar awan oleh konveksi. Kemanjuran (afficacy) memakai generator permukaan tanah (ground–based generator) untuk memperoleh jumlah bahan semai kedalam cumulus masih merupakan persoalan yang belum terpecahkan. Cara lain adalah larutan urea disemprotkan di atas dasar awan dengan pesawat. Partikel-partikel ini diharapkan terbawa oleh arus udara keatas, kemudian menangkap butiran-butiran awan lain ketika partikel turun mencapai dasar awan.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
227
b. Meningkatkan Proses Kristal Es Jika awan cumulus tumbuh jauh di atas paras beku, sebagian besar partikel awan tetap berbentuk cair, disebut tetes air kelewat dingin. Di bawah temperatur sekitar – 40 0C, tetes cair akan membeku secara homogen artinya membeku tanpa bantuan material asing. Vincent Schaefer dalam tahun 1946 menginjeksikan es kering (CO2 padat) kedalam awan cumulus. Es kering berbentuk pelet kecil (small pellet) yang mempunyai temperatur sekitar – 78 0C. Jika pelet es kering dimasukkan kedalam awan kelewat dingin, udara disekelilingnya menjadi kelewat jenuh tinggi dan juga menjadi dingin di bawah temperatur ambang kritis – 40 0C, sehingga banyak tetes cair terbentuk, kemudian tetes-tetes ini dan tetes-tetes kelewat dingin yang sebelumnya sudah terbentuk diubah menjadi kristal-kristal es. Pengukuran laboratorium menunjukkan bahwa 1 gram es kering dapat menghasilkan 12 sekitar 10 kristal-kristal es dalam sebuah awan kelewat dingin dengan 0 jangka temperatur – 2 sampai – 12 C. Untuk menyebarkan es kering kedalam menara cumulus kelewat dingin yaitu dengan menjatuhkannya pada puncak awan dari pesawat yang tentunya memerlukan biaya mahal. Keuntungan es kering relatif terhadap metode kristal es buatan adalah bahwa es kering dapat bekerja pada temperatur yang lebih panas dan menguap di atas tanah tanpa meninggalkan bekas (residue) yang mungkin dapat berbahaya bagi manusia maupun merusak lingkungan. Cara lain untuk meningkatkan proses kristal es dalam awan kelewat dingin, memakai inti pembeku (IES) buatan, dan yang pertama ditemukan adalah perak iodida (AgI). Perak iodida pertama dipakai oleh Vonnegut karena strktur kristalnya sangat menyerupai kristal es. Bahan lain yang jauh lebih murah adalah 228
Mikrofisika Awan Dan Hujan
timah iodida, tetapi struktur kristalnya sedikit kurang sesuai dengan kristal es. Timah iodida telah banyak dipakai dalam eksperimen penindasan batu es (hail) di Uni Soviet. Bagaimana perak iodida dapat bertindak sebagai inti es dalam awan kelewat dingin. Dapat dijelaskan bahwa karena struktur kristal AgI mirip dengan kristal es, maka butiran-butiran awan bereaksi seolah-olah partikel-partikel AgI adalah kristal es, sehingga es terbentuk dan tumbuh pada partikel AgI sementara tetes awan menguap, kecuali tetes bersentuhan langsung dengan AgI, akan membeku. Inti es artifisial (buatan) mempunyai dua kelas efek modifikasi pada awan cumulus kelewat dingin. Pertama, adalah meningkatkan efisiensi presipitasi. Partikel es yang bertindak sebagai embrio presipitasi, tumbuh dengan mengorbankan butiran-butiran air. Embrioembrio ini dapat tumbuh cukup besar dan jatuh keluar awan sebagai hujan atau salju. Konsep pembenihan berdasarkan hanya peningkatan efisiensi presipitasi disebut pendekatan statik, yaitu pendekatan yang mengabaikan efek dinamik. Kelas kedua, yang mungkin adalah efek dinamik. Pembekuan melepaskan panas laten. Karena sumber arus udara keatas, sebuah awan cumulus adalah gaya apung atau defisiensi (penurunan) densitas relatif terhadap lingkungannya, kemungkinan pemanasan udara berawan dapat menurunkan densitasnya sehingga mempengaruhi geraknya yaitu merubah dinamikanya. Eksperimen pembenihan dengan memakai konsep ini dikatakan memakai pendekatan dinamik. Pembenihan inti es buatan awan konvektif dengan konsentrasi sekitar 1 per liter dalam usaha meningkatkan efisiensi mekanisme kristal es untuk menghasilkan presipitasi, tampaknya lebih efektif dalam Mikrofisika Awan Dan Hujan
229
memodifikasi awan-awan cumulus jenis kontinental dari pada cumulus jenis marin. Terbatasnya sebaran ukuran tetes dalam awan cumulus kontinental menyebabkan mekanisme benturan – tangkapan agar menghasilkan hujan tidak efisien, karena itu formasi presipitasi dalam awan ini sering bergantung pada mekanisme kristal es. Lagi pula, karena kurangnya jumlah tetes-tetes besar (radius > 25 m) dalam awan kontinental, maka mekanisme multiplikasi es mungkin tidak beroperasi. Akibatnya produksi presipitasi dalam awan cumulus kontinental kadangkadang dihalangi oleh kekurangan inti-inti es alam, terutama inti-inti 0 yang efektif pada temperatur di atas sekitar – 16 C. Uji coba di Israel melalui pembenihan secara acak awan cumulus musim dingin jenis kontinental dengan perak iodida dari pesawat terbang menghasilkan peningkatan curah hujan yang berarti. Selama periode 1961–1967 presipitasi (endapan) pada daerah uji coba dalam projek Israel lebih besar 15% pada hari-hari pembenihan dibandingkan dengan pada hari-hari tanpa pembenihan. Sebaliknya uji coba di Missouri dimana awan cumulus musim panas dibenih dengan perak iodida dari pesawat terbang secara acak, gagal menunjukkan peningkatan curah hujan yang berarti pada hari-hari pembenihan. Studi fisis menyatakan bahwa awan-awan di atas Missouri adalah bersifat awan marin.
10.4. Aplikasi Modifikasi Cuaca Kabut dapat mengurangi visibilitas sehingga mengganggu lalu lintas darat, laut dan udara bahkan dapat menyebabkan kecelakaan akibat tabrakan antar kendaraan. Pesawat terbang tertunda mendarat atau tinggal landas jika di atas bandara terjadi kabut. Batu es besar dapat menimbulkan kerusakan dalam pertanian maupun dalam komunikasi 230
Mikrofisika Awan Dan Hujan
dan pemadaman listrik akibat putusnya saluran (kawat) telekomunikasi dan listrik. Siklon tropis menyebabkan kerusakan terutama yang disebabkan oleh angin kencang, hujan lebat dan gelombang badai. Gelombang badai adalah meningkatnya permukaan laut sepanjang pantai secara cepat karena angin siklon menggerakannya kepantai. Meskipun belum sepenuhnya berhasil, tetapi usaha memodifikasi kabut agar buyar, memodifikasi batu es agar tidak menjadi besar, dan memodifikasi siklon tropis agar energinya melemah telah dilakukan oleh para meteorologiwan. a. Pembuyaran Kabut 1. Kabut Panas Ada 3 teknik, semuanya dirancang untuk meningkatkan penguapan butiran-butiran air dan secara efektif telah berhasil untuk meningkatkan visibilitas dalam kabut panas : (i) percampuran mekanis kabut dengan udara kering dan panas dari atas, (ii) pengeringan udara dengan bahan kimia higroskopis, dan (iii) pemanasan udara. Dasar fisis pencerahan kabut panas (warm fog) dengan helikopter terutama terletak pada prinsip percampuran pencucian ke bawah (downwash mixing). Selama operasi pencerahan, helikopter melayanglayang atau bergerak lambat di muka udara cerah di atas lapisan kabut. Aksi pencucian kebawah helikopter memaksa udara cerah relatif kering ini kebawah kedalam kabut. Udara berombak pada penurunan bercampur dengan kabut. Jika kelembapan relatif udara di atas kabut mendekati 90% atau kurang, maka campuran udara ini menjadi kurang jenuh (subsaturated), sehingga butiran-butiran kabut akan menguap. Dimensi pencerahan yang ditimbulkan oleh olakan helikopter jauh lebih Mikrofisika Awan Dan Hujan
231
besar daripada helikopter itu sendiri, biasanya dengan faktor 10 sampai 20 kali. Pada kabut dangkal, olakan helikopter besar dapat cukup kuat untuk mendorong secara fisis udara berkabut kesamping dan diganti oleh udara cerah dari atas. Jika bahan higroskopis dalam bentuk partikel kering atau tetestetes larutan dilepaskan kedalam kabut, maka partikel-partikel ini akan menyerap uap air dan udara menjadi kering, menyebabkan butiranbutiran kabut menguap. Selama fasa penyemaian partikel-partikel higroskopis dimasukkan kedalam kabut di atas zona sasaran yang dimaksud, biasanya landasan kapal terbang. Jika partikel semai dimasukkan dari tanah, partikel ini harus dihembuskan keatas sampai ketinggian dimana pencerahan kabut diinginkan. Karena gaya gabung untuk uap air cukup besar, partikel higroskopis tumbuh secara cepat melalui kondensasi, kemudian jatuh oleh gravitas. Kebanyakan partikel higroskopis tumbuh sekitar tiga kali lebih besar sebelum jatuh keluar lapisan kabut dalam waktu sekitar 5 menit. Visibilitas meningkat karena butiran-butiran kabut menguap akibat defisit uap yang ditimbulkan partikel semai. Pencerahan pertama tampak pada paras (level) penyemaian kemudian meluas ketanah. Peningkatan visibilitas maksimum pada tanah terjadi dalam waktu sekitar 10 menit setelah penyemaian. Akhirnya terjadi pengisian kabut kembali oleh percampuran turbulen (golakan). Jika pencerahan lanjutan zona sasaran dikehendaki maka diperlukan penambahan material semai. Gambar 10.2 mengilustrasikan empat fasa yang menandai proses pencerahan kabut buatan.
232
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Gambar 10.2. Penyajian skematik modifikasi kabut panas oleh penyemaian partikel higroskopis.
Salah satu metode tertua yang sangat berhasil membuyarkan kabut panas adalah dengan pemanasan dari permukaan tanah melalui pembakaran bahan bakar hidrokarbon. Energi panas yang cukup harus diberikan untuk menguapkan butiran-butiran kabut dan untuk menaikan temperatur udara. Besaran panas ini dihitung dari hukum fisika. Gambar 10.3, menunjukkan beberapa jumlah panas yang diperlukan sebagai fungsi dari temperatur udara dan kadar air cair kabut.
Gambar 10.3. Panas yang diperlukan untuk membuyarkan kabut sebagai fungsi temperatur udara dan kadar air awan. Mikrofisika Awan Dan Hujan
233
Energi yang ditunjukkan pada gambar 10.3 adalah nilai minimum teoritis yang diperlukan untuk pembuyaran kabut secara sempurna. Dalam praktek, energi panas perlu ditambah untuk menguapkan secara cepat tetes-tetes kabut, uap air tambahan yang dimasukkan ke udara oleh pembakaran bahan bakar, dan memperhitungkan distribusi panas spasial yang tidak rata. Agar menjamin energi panas yang diperlukan memadai dan untuk memperhitungkan semua ketidakpastian maka nilai-nilai yang diberikan pada gambar 10.2 pada umumnya dikalikan dengan faktor dua atau lebih dalam perancangan operasional sistem pembuyaran kabut panas. 2. Kabut Kelewat Dingin Modifikasi fenomena cuaca yang paling mudah adalah kabut atau awan stratus kelewat dingin. Hanya dibutuhkan tambahan jumlah energi sedikit untuk merangsang transisi butiran-butiran air kelewat dingin menjadi fasa es yang lebih stabil sehingga terjadi pembuyaran kabut kelewat dingin (supercooled fog). Proses disipasi buatan berdasarkan pada fakta fisis bahwa tekanan uap keseimbangan di atas es lebih kecil dari pada di atas air pada temperatur yang sama. Jika kristal es berada dalam kabut air jenuh kelewat dingin, maka kristal es tumbuh oleh deposisi uap sehingga butiran-butiran air menguap. Ketika kristalkristal es tumbuh kemudian dijalarkan ke seluruh kabut oleh aksi percampuran golakan (turbulen) yang menjadi intensif oleh panas laten pembekuan yang dilepaskan karena perubahan volume akibat perubahan fasa air menjadi es. Kristal-kristal es disebarkan secara lateral pada kecepatan sekitar 1 ms-1, dan hanya berhenti jika konsentrasi kristal es berkurang secara nyata oleh kristal-kristal yang jatuh. Setelah 234
Mikrofisika Awan Dan Hujan
10 sampai 20 menit, kristal mulai mencapai tanah. Jatuhan kristal terus berlangsung sampai 1 jam atau lebih setelah awal memasukkan kristalkristal es. Waktu yang diperlukan untuk pencerahan kabut berkisar 30 sampai 60 menit bergantung pada tebal dan temperatur kabut, serta kondisi angin. Dua teknik dapat dipakai agar terbentuk kristal-kristal es yang diperlukan untuk mengawali proses pembuyaran kabut buatan. Teknik pertama, didasarkan pada penyemaian partikel sangat kecil berdiameter sekitar 1 mikrometer yang mempunyai struktur kristal sangat mirip dengan kristal es. Partikel-partikel ini bertindak sebagai embrio pada mana es dapat tumbuh, disebut inti pembeku atau inti es (IES) dan inisiasi proses pertumbuhan es disebut pengintian heterogen. Perak iodida (AgI) sangat sering dipakai sebagai IES buatan. Timah iodida dan beberapa bahan organik juga agen pengintian efektif, partikel ini aktif 0 pada temperatur lebih dingin – 5 C. Teknik kedua, dengan memasukkan kristal-kristal es kedalam kabut kelewat dingin yang melibatkan pengintian homogen. Kristal es dibentuk oleh pendinginan udara lokal sampai di bawah – 40 0C, temperatur kritis dimana terjadi pengintian es secara spontan tanpa bantuan IES. Pendinginan yang diperlukan untuk mengawali pengintian homogen dihasilkan oleh penyemaian dengan es kering yaitu karbon dioksida (CO2) padat yang berada pada temperatur 0 serendah – 78 C atau oleh penguapan dan ekspansi pendinginan (refrigerant) seketika, seperti propane (semacam methane) cair yang disemprotkan kedalam kabut. Teknik ini efektif dalam pembentukan 0 kristal-kristal es pada temperatur sepanas – 1 C.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
235
b. Penindasan Batu Es Dua alasan telah dikemukakan untuk mereda batu es hujan (hail) oleh pembenihan awan dengan inti es. Pertama, melibatkan pembekuan semua tetes kelewat dingin pada bagian atas Cumulonimbus yang menghasilkan batu es hujan. Efeknya ialah membasmi proses pertumbuhan akresional (pertambahan), menghilangkan kemungkinan pembentukan batu es besar. Meskipun efisiensi dari AgI diduga tinggi, 14 0 dengan perkiraan sekitar 10 inti per gram AgI pada temperatur – 20 C, tetapi jumlah bahan yang diperlukan untuk peng–es–an awan berlebihan dan pada waktu sekarang di luar kemampuan sistem pembenihan. Kedua, adalah lebih sederhana dalam pemakaian bahan pembenihan dan melibatkan penambahan inti es hanya terbatas dalam daerah awan dimana batu es diperkirakan mempunyai kecepatan pertumbuhan maksimum. Ilmuwan Soviet menduga bahwa daerah ini adalah bagian atas awan dimana reflektivitas maksimum dari radar teramati. Daerah dengan reflektivitas maksimum kemudian dibenih dengan ledakan meriam yang bermuatan AgI dan dilaporkan berhasil melenyapkan batu es hujan. Tetapi penalaran keefektifan teknik ini belum jelas. Berbagai pendekatan dilakukan dengan menambah inti es dalam daerah bawah yang diduga merupakan area arus vertikal (updraft) utama. Daerah ini mengandung inti es alam atau partikel presipitasi yaitu embrio batu es hujan. Diragukan bahwa dengan memasukkan inti buatan akan menyebabkan kompetisi yang cukup untuk persediaan air kelewat dingin yang ada, sehingga tidak ada kemungkinan batu es hujan tumbuh menjadi besar. Semua usaha pendekatan ini dimaksudkan untuk merubah batu es besar menjadi sejumlah batu es yang kecil-kecil. Batu es kecil ini mempunyai kesempatan melebur dengan sempurna pada waktu melewati 0 isoterm 0 C, sehingga sebelum mencapai tanah batu es mencair atau 236
Mikrofisika Awan Dan Hujan
paling tidak akan mengurangi kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh batu es besar. c. Melerai Siklon Tropis Salah satu projek modifikasi cuaca yang sangat ambisius (berambisi) dan yang pernah dicoba adalah modifikasi siklon tropis. Meskipun biaya mahal, secara saintifik dan logistik sulit dan diancam oleh masalah hukum yang menyeramkan tentang keberhasilan eksperimen modifikasi cuaca, meskipun demikian usaha untuk melerai atau mengurangi kekuatan angin siklon tropis yang mengerikan itu tetap diuji cobakan. Sekitar 60 tahun yang lalu, pada tanggal 13 Oktober 1947, sebuah siklon tropis disemai dengan perak iodida dalam usaha untuk mengurangi intensitas badai. Teknologi modifikasi cuaca untuk mereda banjir perlu kajian pendahuluan (hipotesis dan teoritis) apakah teknologi ini layak (visible) dan berarti (significant) untuk diterapkan. Projek modifikasi siklon tropis untuk mereda banjir dan kecepatan angin, belum menunjukkan hasil yang signifikan. Dalam percobaan, siklon tropis dibenih dengan perak iodida sehingga terjadi pelepasan panas laten pada waktu terjadi perubahan fasa dari uap air menjadi partikel-partikel awan. Pelepasan panas laten ini akan menaikan temperatur sehingga terjadi penurunan gradien temperatur dalam radius pembenihan. Pelemahan gradien temperatur akan memproduksi gradien tekanan lemah pada paras rendah dan menghasilkan angin lemah. Kelemahan teori ini menimbulkan keraguan apakah tetes awan kelewat dingin berjumlah cukup untuk menghasilkan jumlah pelepasan panas laten yang signifikan. Hipotesis yang mengkaitkan siklon tropis dengan hubungan antara jejari pemanasan maksimum (JPM) dan jejari angin maksimum Mikrofisika Awan Dan Hujan
237
(JAM). Jika JPM < JAM alasan fisis menunjukkan penurunan jejari angin maksimum dan peningkatan kecepatan angin maksimum. Sebaliknya, jika JPM > JAM, bagian udara yang masuk akan dialihkan keatas dalam awan pada JPM, JAM meningkat dan dengan kekekalan momentum sudut, kecepatan angin maksimum melemah. Menurut Anthes (1982) pengalihan sebagian udara keatas pada jejari yang lebih besar dengan merangsang pertumbuhan awan juga akan merubah anggaran uap air (moisture). Jika terjadi kenaikan fluks uap air vertikal atas pengorbanan uap air yang mengalir kedalam dinding mata, panas laten pada jejari dinding mata akan berkurang secara signifikan. Gambar 10.4, melukiskan penampang vertikal melalui siklon tropis. Teori bersandar pada asumsi yang sangat penting bahwa awanawan berada pada jejari lebih besar dari pada jejari dinding mata (R2 dalam gambar 10.4a) dan bahwa awan-awan ini mengandung air kelewat dingin. Menurut hipotesis, penyemaian berulang dan besar-besaran daerah awan kelewat dingin pada jarak R2 akan memicu pertumbuhan vertikal awan-awan ini melalui gaya apung yang ditambahkan. Meskipun energi fusi (fusion) itu sendiri kecil, tetapi peningkatan gaya apung akan menyebabkan pertumbuhan signifikan awan-awan ini yang kemudian mendapat tambahan massa dan uap air dari lapisan batas. Perubahan ini menghasilkan redistribusi (pembagian kembali) massa dan energi. Dinding mata tua, menghilangkan masukan uap air, memperlemah, karena subsidensi dalam mata yang dipertahankan oleh energi dalam dinding mata siklon. Karena panas laten dalam dinding mata dan subsidensi dalam mata berkurang, maka temperatur dan gradien tekanan berkurang. Dalam gradien tekanan yang lemah, udara yang mengalir masuk tidak mampu menembus jejari sedemikian kecil, dan kebanyakan terjadi kenaikan udara pada jejari (jarak) R2, sehingga terjadi dinding mata 238
Mikrofisika Awan Dan Hujan
baru pada jejari R2 yang berkaitan dengan pelemahan angin maksimum (Gambar 10.4b). Jelas bahwa hipotesis STORMFURY (projek modifikasi hurricane – AS) memakai banyak asumsi. Masalah penting yang harus dijawab sebelum menerima hipotesis ini antara lain : Apakah ada air kelewat dingin yang signifikan dalam awan-awan di luar jejari pemanasan maksimum? Apakah pertumbuhan awan-awan cukup mengganggu dinding mata dalam arti merusak ? Apakah selama periode modifikasi awan, medan angin menyesuaikan pada keadaan keseimbangan mantap semu (quasi steady) baru yang berlangsung cukup lama agar berdampak positif ?
Gambar 10.4. Diagram skematik yang menunjukkan efek hipotesis pembenihan awan-awan cumulus dalam hurricane (siklon tropis). Penyemaian air kelewat dingin (titik-titik) pada jejari R2 dalam gambar 10.4a menyebabkan pertumbuhan awan pada R2 dan peluruhan dinding mata tua awan pada R1. Mikrofisika Awan Dan Hujan
239
10.5. Resumé Jika awan panas mempunyai tetes-tetes berukuran sama maka sulit menghasilkan hujan secara alamiah, karena peluang mekanisme tumbukan – tangkapan sangat kecil. Modifikasi awan dapat dilakukan dengan menginjeksikan tetes yang lebih besar, sehingga mekanisme tumbukan–tangkapan menjadi aktif. Untuk membentuk sebuah tetes melalui mekanisme tumbukan – tangkapan diperlukan puluhan ribu sampai satu juta tetes awan. Kebanyakan modifikasi awan dingin sampai sekarang masih memakai inti es buatan AgI yang aktif pada temperatur sekitar – 4 0C. Ada dua cara untuk memodifikasi awan cumulus yaitu meningkatkan proses koalisensi dan meningkatkan proses kristal es. Untuk meningkatkan proses koalisensi dipakai embrio presipitasi buatan, misalnya dengan menyemprotkan air dan tepung atau larutan bahan higroskopis. Salah satu bahan utama yang dipakai dalam awan cumulus adalah tepung garam NaCl. Untuk awan cumulus yang tumbuh jauh di atas paras beku dipakai cara meningkatkan proses kristal es. Es kering atau CO2 padat diinjeksikan dari puncak awan. Cara lain untuk meningkatkan proses kristal es pada cumulus dingin adalah dengan menginjeksikan inti es buatan, biasanya perak iodida. Ada 3 teknik untuk membuyarkan kabut panas yaitu: (i) percampuran mekanis antara kabut dengan udara kering dan panas dari atas kabut, (ii) pengeringan udara dengan bahan kimia higroskopis, dan (iii) pemanasan udara. Cara tertua untuk membuyarkan kabut panas adalah melalui pembakaran bahan bakar dari permukaan tanah. Modifikasi cuaca yang paling mudah adalah membuyarkan kabut 240
Mikrofisika Awan Dan Hujan
kelewat dingin. Perak iodida dan es kering telah banyak dipakai dengan berhasil untuk mencerahkan mendung dan membuyarkan kabut kelewat dingin. Aplikasi modifikasi cuaca yang lain, yaitu : i. Menindas batu es, prinsipnya adalah mencegah pembentukan batu es agar tidak tumbuh menjadi besar melalui pembekuan semua tetes awan kelewat dingin, sehingga batu es tidak mempunyai kesempatan tumbuh membesar. ii. Mereda siklon tropis, prinsipnya melemahkan gaya gradien tekanan melalui pembenihan perak iodida sehingga terjadi pelepasan panas laten perubahan fasa air yang akan menaikan temperatur dengan demikian menurunkan gradien temperatur dalam radius pembenihan.
Mikrofisika Awan Dan Hujan
241
Daftar Pustaka
Anthes, R. A., 1982. Tropical Cyclones : Their Evolution, Structure and Effects, American Meteorological Society. Battan, L. J., 1973. Radar Observation of the Atmosphere, The University of Chicago Press, Chicago. Bayong Tjasyono HK.,1985. Tropical Storm Effect With Respect to Weather Over The Indonesian Region, Proc. ITB, Vol. 18, No. 2, Bandung. Bayong Tjasyono HK., 1997. Kaji Awan Konvektif Berdasarkan Pengukuran Radiosonde, J. IPTEK Iklim dan Cuaca, No. 1, BPPT, Jakarta. Bayong Tjasyono HK., 2000. Awan Konvektif di atas Benua Maritim Indonesoa, J. Meteorologi dan Geofisika, Vol. 1, No. 4, Jakarta. Bayong Tjasyono HK., 1995. Peramalan Badai Guruh Berdasarkan Indeks Ancaman Cuaca Buruk, Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Meteorologi, ITB, Bandung. Bayong Tjasyono HK., and Zadrach L. Dupe, 1996. Same Aspect of Convective Thunderstorm Deduced from Stability Index, Porc. of International Symposium on Equatorial Atmospheric Observation Over Indonesia, RASC – ITB – LAPAN, Bandung Bayong Tjasyono HK., 1997. Pola Pembentukan Awan Petir di Indonesia, Prosiding Seminar Nasional Teknologi Petir, ITENAS, Bandung. Bayong Tjasyono HK., Atika L., and Hadi T. W., 1993. The structure of Convecture Clouds based on the Analysis of Upper Air Sounding, Proc. of International Symposium on Equatorial Atmospheric Observation Over Indonesia, RASC – BPPT – LAPAN, Jakarta. Mikrofisika Awan Dan Hujan
243
Bayong Tjasyono HK., 1979. Comparaison des données du Radar millimetrique et des données Spectropluviométriques. Document de Travail, 'Institut de Physique di Glôbe, No. 20, Clermont Ferrand, France. Bayong Tjasyono HK., 2007. Proses Fisis – Dinamis Awan dan Modifikasinya, Seminar Monitoring dan Evaluasi Teknologi Modifikasi Cuaca untuk Pencapaian Peningkatan Produksi Beras 2 Juta ton, BMG, MHI, Puslitbang SDA, BPPT, Jakarta. Bayong Tjasyono HK., 1987. Tinjauan Teoritis Modifikasi Awan Konvektif dan Terapannya di Indonesia, Publikasi Khusus Hasil Penelitian, Lembaga Penelitian ITB, Bandung. Bayong Tjasyono HK., 1986. Hubungan Atenuasi Gelombang Mikro dan Curah Hujan, Majalah LAPAN, No. 41, Jakarta. Bayong Tjasyono HK., 2007. Mikrofisika Awan dan Modifikasi Cuaca, Seminar Teknologi Modifikasi Cuaca, BPPT, Jakarta. Bayong Tjasyono HK., 2000. Peluang Curah Hujan di Jawa Barat, JTM, Vol. 7, No. 2, ITB, Bandung. Bayong Tjasyono HK., 1991. Penyemaian Awan Sebagai Salah Satu Teknologi Alternatif dalam Penanggulangan Kemarau panjang, Seminar Nasional Antisipasi Iklim 1992 dan Dampaknya Terhadap Pertanian Tanaman Pangan, PERHIMPI, Bogor. Bayong Tjasyono HK., dan Saryono, 1994. Penentuan Parameter Meteorologis Yang Tak Terukur Radiosonde Untuk Peramalan Badai Guruh, Lap. Riset P4M, DPPM, DIKTI, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Bayong Tjasyono HK., and A. M. Mustofa, 2000. Seasonal Rainfall Variation over Monsoonal Areas, JTM, Vol. VIII, No. 4. Biltoft, C. A., 1974. Thunderstorm Potential Cold Air Cumulonimbi, J. App. Meteo., Vol. 13. Blith, A., M., and J. Lathan, 1991. A Climatological Parameterization for Cumulus Clouds, Bul. American Meteor. Soc., Vol. 48. Bowen, E. G., 1950. The formation of rain by coalesence, Australian J. Sci. Res.
244
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Carlson, T. N., R. A., Anthes, M. Sckwartz, S. G. Benjamin, and D. G. Baldwin, 1980. Analysis and Predictions of Severe Storms Environment, Bul. American. Meteor, Soc., Vol. 61. Douglas V. H., and Kenneth H. S., 1997. The Role of the Sun in Climate Change, Oxford University Press, Oxford. Fletcher, N. H., 1962. The Physics of Rainclouds, Cambridge University Press. Gunn, K. L. S., and Kinzer, G. D., 1949. The Terminal Velocity of Fall for Water Drops in Stagnant Air. J. Meteor. 6, 243 – 248. Hess, W. N., Editor, 1974. Weather and Climate Modification John Wiley & Sons, New York. Houghton, J. T., 1977. The Physics of Atmosphere, Cambridge University Press, Cambridge. Houghton, H. G., 1985. Physical Meteorology, MIT Press, Cambridge, Mass Massassuset. Iribarne, J. V., and H. R. Cho, 1980. Atmospheric Physics, D. Reidell Publishing Company, Dordrecht. Levin, L. M., and Litvinov, I. V., 1977. Cloud Physics and Weather Modification, Amerind Publishing Co. PVT. LTD., New York. Lewis, E. R., and Schwartz, S. E., 2004. Sea Salt Production : Mechanisms, Methods, Measurements and Model – A Critical Review, Geophysical Monograph 152, American Geophysical Union Washington, DC. Moran, J. M., and M. D. Morgan, 1994. Meteorology : The Atmosphere and The Science of Weather, Prentice Hall, London. Marshall, J.S., and Palmer, W. McK., 1948. The distribution of raindrops with size. J. Meteor., Vol. 5. Mason, B. J., 1971. The Physics of Clouds, Clarendon Press, Oxford. Mason, B. J., 1975. Clouds, Rain and Rainmaking, Oxford Univ. Press, London. Matveev, L. T., 1984. Cloud Dynamics, D. Reidel Publishing Company, Dordrecht. Pruppacher, H. R., and Klet, J. D., 1980. Microphysics of Clouds and Precipitation, D. Reidel Publishing Company, Boston. Retallack, H. J., 1981. Physical Meteorology, WMO, NO. 364, Geneva. Mikrofisika Awan Dan Hujan
245
Rogers, R. R., 1976. A Short Course in Cloud Physics, Pergamon Press, New York. Rogers, R. R., and Yau, M. K., 1989. A Short Course in Cloud Physics, Pergamon Press, New York. Rosinski, J., 1973. Formation of Raindrops on Large Aerosol Particles. J. Rech. Atmos., Vol. 7. Susilo P., 1996. Meteorologi, Penerbit ITB, Bandung. Wallace, J. M., and P. V. Hobbs, 1977. Atmospheric Science, Academic Press, Inc, London. World Meteorological Oragnization, 1979. Weather Modification Programme : Precipitation Enhancement Project, Report No. 13, WMO, Geneva.
246
Mikrofisika Awan Dan Hujan
Lampiran
1. Abjad Yunani 2. Tekanan Uap Jenuh 3. Daftar Simbol dan Kejelasan
Mikrofisika Awan Dan Hujan
247
LAMPIRAN 1 Abjad Yunani Dalam buku Mikrofisika Awan dan Hujan, dipakai abjad Latin dan abjad Yunani untuk mengekspresikan sebuah persamaan fisis. Dalam Lampiran 1, dicantumkan huruf kecil dan huruf besar Yunani. Huruf besar Yunani yang sama dengan huruf Latin ditandai oleh tanda kurung ( ). Huruf Kecil
Huruf Besar
Nama
Huruf Kecil
Huruf Besar
Nama
(A)
alfa
()
nu
(B)
beta
xi
gama
()
omikron
delta
pi
(E)
epsilon
()
rho
(Z)
zeta
sigma
(H)
eta
()
tau
theta
upsilon
(I)
iota
phi
(K)
kappa
(X)
chi
lambda
psi
(M)
mu
omega
248
Mikrofisika Awan Dan Hujan
LAMPIRAN 2 Tekanan Uap Jenuh di atas Air murni dan Es tc ( C)
Di atas es ei (mb)
Di atas air es (mb)
tc ( C)
Di atas air es (mb)
– 40 – 38 – 36 – 34 – 32 – 30 – 28 – 26 – 24 – 22 – 20 – 18 – 16 – 14 – 12 – 10 –8 –6 –4 –2 0
0,128 0,161 0,200 0,249 0,308 0,380 0,467 0,572 0,698 0,850 1,03 1,25 1,51 1,81 2,17 2,60 3,10 3,68 4,37 5,17 6,11
0,189 0,232 0,284 0,346 0,420 0,509 0,613 0,737 0,883 1,05 1,25 1,49 1,76 2,08 2,44 2,86 3,35 3,91 4,54 5,27 6,11
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40
6,11 7,05 8,13 9,35 10,72 12,27 14,02 15,97 18,17 20,63 23,37 26,43 29,83 33,61 37,79 42,43 47,55 53,20 59,42 66,26 73,77
0
Mikrofisika Awan Dan Hujan
0
249
LAMPIRAN 3 Daftar Simbol Huruf Latin dan Yunani Simbol B C CD c c cp cpm cpv cv cvm cvv D D D d E E E1 E2 e e ei es 250
Kejelasan Suku apung, B = T/T – 1 Suku kondensasi Koefisien seret yang memberi sifat aliran 8 -1 Kecepatan penjalaran gelombang elektromagnetik = 3 x 10 ms Panas spesifik air cair Panas spesifik udara kering pada tekanan konstan Panas spesifik udara basah pada tekanan konstan Panas spesifik uap air pada tekanan konstan Panas spesifik udara kering pada volume konstan Panas spesifik udara basah pada volume konstan Panas spesifik uap air pada volume konstan Diameter leleh (melted diameter) keping salju Diameter aerosol, tetes awan, tetes hujan Koefisien difusi molekuler Diameter bulatan yang membatasi kristal es Efisiensi koleksi efektif Efisiensi koleksi rata-rata Koefisien (efisiensi) kolisi Efisiensi Koalisensi Tekanan uap air Tekanan uap keseimbangan di atas larutan Tekanan uap jenuh di atas es Tekanan uap jenuh di atas air Mikrofisika Awan Dan Hujan
es(r) es(~) FB Fd FG FK FR f G1 g i K L Lf Ls M Md Ms Mv Mw m m ms mv m0 N(D) N(D)
Tekanan uap jenuh di atas permukaan tetes sferik Tekanan uap jenuh di atas air datar (bulk water) Gaya apung per satuan massa Suku termodinamika yang berkaitan dengan difusi uap Gaya gravitasional tetes Suku termodinamika yang berkaitan dengan konduksi panas Gaya seret fluida viskus Parameter Coriolis Fungsi Gibbs untuk fasa 1, G1 = u1 + es 1 - T1 Percepatan gravitas Faktor Van't Hoff Koefisien konduktivitas panas udara Panas laten penguapan Panas laten peleburan Panas laten sumblimasi Massa udara lembap Massa udara kering Massa zat larut Massa uap air Massa air Massa tetes Massa kristal es Berat molekuler zat larut Berat molekuler uap air Massa satu molekul Distribusi kumulatif diameter partikel Distribusi ukuran tetes
Mikrofisika Awan Dan Hujan
251
N Nc N0 n n n n0 p pd Q QL Qs Qv q q qs R R R RH Rd Re Rv r r 252
Konsentrasi tetes yang terbentuk dalam updraft dengan kecepatan w Jumlah inti per satuan volume yang diaktifkan pada kelewat jenuh kurang dari s. Bilangan Avogadro yaitu jumlah molekul per mol Jumlah molekul zat larut atau jumlah ion dalam zat larut Jumlah partikel per satuan volume udara Konsentrasi molekul-molekul uap air Jumlah molekul air Tekanan atmosfer Tekanan udara kering Perbandingan campuran air total, Q = rs + X Panas akibat akresi butiran cair kelewat dingin Panas yang hilang keudara melalui konduksi Panas yang diperoleh melalui sublimasi Jumlah panas Kelembapan spesifik Kelembapan spesifik jenuh Intensitas hujan (atau presipitasi) Jari-jari batu es Jari-jari tetes (drop) awan Kelembapan relatif Konstanta gas individu untuk udara kering Bilangan Reynold Konstanta gas individu untuk uap air Perbandingan campuran Jari-jari butiran awan Mikrofisika Awan Dan Hujan
rc rs r* S S S* S* – 1 S(D) s smaks T T T Td Tc Te Tr Ts Tsw Tv Tw u u u u(R) u(R) u(r)
Jari-jari kritis tetes Perbandingan campuran jenuh Jari-jari kritis tetes larutan Rasio jenuh Efisiensi sapuan Rasio jenuh kritis Kelewat jenuh kritis (s*) Distribusi kumulatif luas permukaan aerosol Kelewat jenuh dalam persen Kelewat jenuh maksimum Temperatur parsel udara Temperatur udara permukaan Temperatur udara lingkungan Temperatur titik embun Temperatur kondensasi isentropik Temperatur ekivalen Temperatur pada permukaan tetes Temperatur batu es Temperatur bola basah adiabatik Temperatur virtual Temperatur bola basah Kecepatan jatuh keping salju Energi dalam Komponen kecepatan horisontal arah x Kecepatan terminal tetes Kecepatan jatuh batu es dengan radius R Kecepatan terminal butiran
Mikrofisika Awan Dan Hujan
253
V Volume udara V(D) Distribusi kumulatif volume partikel v Komponen kecepatan horisontal arah y W Kadar air awan w Kecepatan udara vertikal (updraft) X Massa air cair x0 Parameter dampak (the impact parameter) yc Efisiensi kolisi linier Z Tinggi paras kondensasi Volume spesifik, volume per satuan massa Kemiringan garis dalam distribusi ukuran aerosol = Rd/Rv Konstanta yang besarnya sama dengan 0,622 Entropi spesifik (per satuan massa) d, v, w Entropi spesifik udara kering, uap air, dan air cair Fungsi gamma Viskositas kinematik udara Perbandingan campuran kondensat dalam parsel udara Viskositas dinamik udara Perbandingan campuran kondensat dalam udara lingkungan Temperatur potensial udara e Temperatur potensial ekivalen q Temperatur potensial ekivalen basah w Temperatur potensial bola basah Densitas kristal es Densitas parsel udara Densitas udara lingkungan d Densitas udara kering 254
Mikrofisika Awan Dan Hujan
L v vR vr vrs vs 1
Densitas tetes Densitas uap lingkungan Densitas uap pada permukaan batu es Densitas uap pada permukaan tetes dengan radius r Densitas uap jenuh permukaan tetes dengan radius r Densitas uap jenuh lingkungan Tegangan permukaan tetes Parameter pertumbuhan Parameter pertumbuhan kondensasi normalisasi
Mikrofisika Awan Dan Hujan
255
Biodata
Prof. Dr. Bayong Tjasyono HK., DEA., adalah dosen tetap pada Program Sarjana Meteorologi, Magister dan Doktoral Sains Kebumian, ITB dan sebagai dosen luar biasa pada Program Pascasarjana IPA, UPI, Bandung. Sekarang (2005 - 2007) menjabat Ketua Kelompok Keahlian Sains Atmosfer, ITB. Menyelesaikan studinya di ITB dan memperoleh Sarjana Muda Geofisika dan Meteorologi (1970), Sarjana Satu Geofisika dan Meteorologi (1971) danSarjana Geofisika dan Meteorologi (1972). Diplome d’Etudes Approfondies (DEA), Meteorologi, diraih dari Universite’ de Clermont, Perancis (1976 - 1977) dan Doktor Meteorologi, dari Uiversitas yang sama pada tahun (1977 - 1979). Dalam pengajaran, beliau memberi kuliah di ITB, UPI Program Sarjana, Magister dan Doktoral dalam mata kuliah Meteorologi, Klimatologi, Geosains, Georiksa (IPBA), Sains Atmosfer, Meteorologi Monsun, Meteorologi Fisis dan Dinamis, Modifikasi Cuaca, Mikrofisika Awan dan Hujan, dan Atmosfer Ekuatorial. Membimbing Skripsi S1, Tesis S2, dan Promotor Disertasi S3 dibidang Meteorologi dan Sains Atmosfer. Penelitian dalam bidang Meteorologi dan Sains Atmosfer dibiayai oleh ITB, DPPM - P & K, Bank Dunia, RUT, BMG, LAPAN, BPPT dan lain-lain. Beliau juga Mikrofisika Awan Dan Hujan
257
melakukan percobaan dan eksperimen bersama instansi riset lain seperti: - Peluncuran balon stratosfer di Watukosek, Jawa Timur, LAPAN - Percobaan Hujan Buatan di Waduk Jatiluhur (Jawa Barat), Waduk Riam Kanan (Kalimantan Selatan), Gunung Kidul (Yogyakarta), Soroako (Sulawesi Selatan), BPPT - Percobaan petir di Ciater, Bandung dan Kebun Teh Gunung Mas, Bogor, kerjasama Universitas Jepang dan Indonesia (ITB, LAPAN, PLN). - Monsoon Experiment, World Meteorological Organization (WMO). Hasil-hasil risetnya didesiminasikan melalui Prosiding seminar nasional dan internasional, Jurnal Ilmiah, Buku Referensi, Buku Ajar dan Laporan Riset. Pengabdian Pada Masyarakat, misalnya memberi kursus, lokakarya dibidang meteorologi untuk media massa, instansi riset dan lain-lain, seperti BMG, LAPAN, BPPT, Pusat Studi Lingkungan Hidup, dan instansi lain yang terkait (penyiar radio, Wartawan, Penyiar TV). Kunjunga Kerja (1996) ke Universitas Kyoto, Universitas Nagoya, Institut Riset Meteorologi dan Badan Meteorologi Jepang, serta memberi short course (kuliah singkat) di Universitas Tokyo, tentang Iklim Benua Maritim Indonesia. Pengajar pada International Summer Course, kerjasama ITB - Universitas Kyoto,2004.
258
Mikrofisika Awan Dan Hujan