MITIGASI GEMPA DAN TSUNAMI DIDAERAH PERKOTAAN

dengan gempa dan Tsunami, terutama pada area yang secara jelas berpotensi terjadi ... Beberapa uraian pada makalah ini mencoba memberikan gambaran yan...

107 downloads 636 Views 1MB Size
Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

MITIGASI GEMPA DAN TSUNAMI DIDAERAH PERKOTAAN

Tommy Ilyas Guru Besar Geotechnic Fakultas Teknik Universitas Indonesia

Abstrak Tulisan ini mengetengahkan mitigasi gempa dan Tsunami di daerah perkotaan untuk menghindari korban jiwa dan kerusakan struktur yang berada di daerah yang terkena gempa maupun Tsunami. Pendekatan modelling di laboratorium untuk memprediksi kerusakan yang terjadi atau merancang struktur bangunan yang tahan gempa maupun Tsunami merupakan hal yang paling mungkin dilakukan mengingat penelitian dengan kondisi sebenarnya (skala penuh/full scale) merupakan hal sangat sulit dilakukan serta jika memungkinkan akan memerlukan biaya yang sangat mahal. Beberapa contoh modeling dengan alat shaking table dan centrifuge serta modeling analisis dengan finite element akan diuraikan dalam tulisan ini untuk memberikan gambaran mengenai hasil simulasi dibandingkan dengan kondisi sebenarnya. Pada akhirnya diharapkan hasil rancangan yang memenuhi persyaratan jika pada akhirnya model tersebut akan dibangun.

Pendahuluan Indonesia merupakan daerah kepulauan yang diapit lempeng Eropa Asia - Australia di Selatan serta lempeng Pasifik dan Philipine dibagian Timur-Utara. Pergeseran diantara lempeng tersebut dapat mengakibatkan proses gempa terjadi disuatu titik kedalaman dan menjalar sepanjang patahan/sesar. Jika bidang patahan terjadi didasar laut kestabilan air laut terganggu secara vertikal maupun horizontal. Bahkan jika gempa yang terjadi magnitudenya besar (9 skala Richter) seperti Aceh terjadi sesar sepanjang ribuan kilometer sehingga menyebabkan terjadinya Tsunami (Desember 2004) yang menelan korban jiwa hampir 300.000 orang serta kerusakan infrastruktur yang amat besar. Pada bulan Mei tahun 2006 kembali terjadi gempa tektonik di Selatan Yogyakarta juga akibat pergeseran lempeng Asia-Australia yang juga mengakibatkan korban jiwa mendekati angka 5000 jiwa dan kerusakan infra struktur yang besar. Baru-baru ini di Pangandaran terjadi Tsunami dengan gelombang setinggi 5 meter menyapu daerah Pantai Pangandaran dan lagi-lagi terjadi korban jiwa sekitar 400 orang dan kerusakan infra struktur. Dengan latar belakang kondisi Indonesia yang rawan gempa dan Tsunami ini, seminar mengenai mitigasi gempa didaerah perkotaan yang diprakarsai oleh Fakultas Teknik Unsrat ini amat tepat dan diharapkan dapat menghasilkan sesuatu hasil positif bagi pembangunan didaerah perkotaan yang rawan gempa dan Tsunami. Dengan perkembangan cepat yang terjadi di perkotaan diseluruh belahan dunia, bencana alam seperti banjir dan curah hujan diatas normal, periode musim kering yang berkepanjangan, dan serangan angin taufan, tanah longsor dan gempa bumi adalah ancaman umum bagi umat manusia. Walaupun kemajuan mengenai pemahaman permasalahan bencana alam dan mitigasi bencana alam namun bagi sebagian besar orang masih banyak isu-isu yang belum terpecahkan. Didalam tulisan ini penggunaan pemodelan fisik untuk studi dari permasalahan struktur bangunan untuk memperkecil atau mengurangi akibat gempa dan tsunami ditinjau. Pemodelan fisik geoteknik adalah instrumen yang dapat diandalkan untuk mempelajari permasalahan struktur bangunan jika terjadi gempa atau

1

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Tsunami. Beberapa aplikasi pemodelan fisik yang sesuai dengan keadaan aslinya dengan singkat ditinjau.

Gempa bumi Gempa bumi, terutama gerakan tanah yang kuat adalah contoh dari pembebanan siklik yang tidak beraturan yang meliputi sebuah cakupan yang utuh dari karakteristik dan regangan geser serta karakteristik perilaku tanah dalam region. Konsekwensi pada tanah deposit seperti liquifaksi dan kegagalan lereng, atau penurunan yang besar dalam kaitan dengan lahan densification, dapat mengakibatkan kerusakan yang fatal pada bangunan didaerah itu. Dengan begitu, didaerah seismic, kebutuhan akan analisis yang rasional dan perkiraan-perkiraan objektif yang memiliki resiko harta dan kehidupan bukan hanya kebutuhan akademis. Proses gempa tektonik secara diagramatis terlihat pada Gambar 1. Pertemuan dua lempengan mengalami subduksi yang menyebakan terjadinya gempa tektonik Empat golongan kerusakan utama akibat gempa 1. Ground shaking – Ini adalah gerakan tanah akibat gempa yang merupakan unsur utama penyebab keruntuhan struktur 2. Liquefaction – Kehilangan strength pada pasir yang jenuh air akibat pembebanan siklik. Kondisi ini menyebabkan penurunan dan pergerakan lateral dari pondasi. Yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi lokasi yang berpotensi liquefaction dengan menghindari pembangunan diatasnya, atau cara lain membuat fondasi dalam sehingga terhindar dari liquefaction 3. Bidang patahan (fault rupture) – Ini pergerakan patahan akibat gempa. Pergerakan dapat vertikal maupun horizontal. 4. Landslide – Sering kali terjadi sebagai akibat dari terjadinya gempa. Perlu dihindari pembangunan diatas lereng atau dikaki dari lereng.

Gambar 1 Proses Gempa Tektonik

2

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Tsunami Pengertian Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang artinya Tsu berati pelabuhan dan nami berarti gelombang. Kata ini secara mendunia sudah diterima dan secara harfiah yang berarti gelombang tinggi/besar yang menghantam pantai/pesisir. Tsunami sendiri terjadi akibat gempa tektonik yang besar dilaut ( lebih besar dari 7.5 skala Richter dan kedalaman episentrum lebih kecil dari 70 km) yang mengakibatkan terjadinya patahan/rekahan vertikal memanjang (kasus Aceh patahan mencapai ribuan kilometer) sehingga air laut terhisap masuk dalam patahan dan kemudian secara hukum fisika air laut tadi terlempar kembali setelah patahan tadi mencapai keseimbangan. Kecepatan air/gelombang yang sangat cepat terjadi. Pada kasus Tsunami di Aceh kecepatannya dapat mencapai ratusan kilometer per jam nya. Antara terjadinya gempa dan Tsunami ada jeda waktu yang dapat digunakan untuk memberikan peringatan dini pada masyarakat. Pengalaman di Aceh menunjukkan peringatan dini belum berjalan. Secara diagramatis terlihat pada Gambar 2 proses terjadinya Tsunami Gempa mengakibatkan pergerakan vertikal dari dasar laut yang memindahkan air laut

Gelombang besar secara radial bergerak kesemua arah

Gambar 2 Proses terjadinya Tsunami

Tsunami early warning system (TEWS) Hal sederhana yang dapat dilakukan untuk memberi peringatan dini bagi penduduk yang berada di sekitar kota/pantai yang memiliki potensi Tsunami adalah memberi peringatan melalui sirene atau televisi/radio lokal yang dapat dengan segera mensosialisasikan akan terjadinya Tsunami. Menurut pengalaman di Aceh ada jeda waktu sekitar 30 menit sampai gelombang mencapai pantai. Saat ini didaerah yang rawan seperti di Aceh dan Pangandaran sedang disiapkan perangkat alat pendeteksi dini untuk memperkirakan terjadinya gempa maupun Tsunami. Early warning system yang lebih sophisticated seperti pemasangan peralatan khusus baik dilaut maupun didarat perlu melibatkan semua unsur yang memiliki potensi untuk secara cepat memberikan peringatan dini. Pada Gambar 3, 4 dan 5 tergambar diagram design early warning untuk Tsunami lokal di Indonesia (sumber BMG)

3

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Gambar 3

Gambar 4

Gambar 5 Sistim Komunikasi

4

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Mitigasi bencana gempa/Tsunami Jepang telah membangun dinding penahan Tsunami setinggi 4,5 pada daerah pantai yang padat penduduk. Namun ketika gempa tahun 1993 menimpa Hokaido, tinggi gelombang Tsunami mencapai 30m. Dinding penahan terlampaui namun tetap dapat mengurangi kecepatan dari Tsunami. Korban jiwa tetap tidak terhindarkan. Dinding semacam ini dapat digunakan di Aceh atau daerah lainnya (Pangandaran) yang rawan Tsunami, namun efektivitas dinding penahan tersebut perlu dilakukan penelitian. Pembuatan model dengan alat centrifuge dan melakukan uji di laboratorium dapat mensimulasikan tinggi gelombang yang dikehendaki. Mitigasi harus memperhatikan semua tindakan yang diambil untuk mengurangi pengaruh dari bencana dan kondisi yang peka dalam rangka untuk mengurangi bencana yang lebih besar dikemudian hari. Karena itu seluruh aktivitas mitigasi difokuskan pada bencana itu sendiri atau bagian/elemen dari ancaman. Beberapa hal untuk rencana mitigasi (mitigation plan) pada masa depan dapat dilakukan sebagai berikut: 1) Perencanaan lokasi (land management) dan pengaturan penempatan penduduk 2) Memperkuat bangunan dan infrastruktur serta memperbaiki peraturan (code) disain yang sesuai. 3) Melakukan usaha preventif dengan merealokasi aktiftas yang tinggi kedaerah yang lebih aman dengan mengembangkan mikrozonasi 4) Melindungi dari kerusakan dengan melakukan upaya perbaikan lingkungan dengan maksud menyerap energi dari gelombang Tsunami (misalnya dengan melakukan penanaman mangrove sepanjang pantai) 5) Mensosialisasikan dan melakukan training yang intensif bagi penduduk didaerah area yang rawan Tsunami 6) Membuat early warning sistem sepanjang daerah pantai/perkotaan yang rawan Tsunami Pada Gambar 6 disampaikan diagram dari mitigation planing proses (case study dari Regional all hazard mitigation Master Plan for Benton, Lane and Liin county, USA ) berupa 7 langkah yang perlu diantisipasi. Dimulai dari asesmen resiko bencana sampai dengan penyediaan dana untuk pembangunannya. Mitigasi pada langkah keempat dihentikan jika risk atau toleransi dapat diterima. Jika tidak rencana dilanjutkan sampai langkah ketujuh yang merupakan prioritas dari mitigasi proyek yang diperlukan yaitu menyediakan pendanaan untuk mewujudkan. Perkembangan terbaru untuk meramalkan terjadinya gempa adalah dengan adanya awan diatas daerah terjadinya gempa. Menurut Sarmoko (peneliti di LAPAN) awan misterius tersebut tercipta akibat pergumulan uap air panas yang muncul dari rekahan permukaan bumi dengan udara dingin di angkasa. Uap air panas yang bertekanan tinggi melesak dari tanah sebagai dampak aktivitas seismik tingkat tinggi diperut bumi Memang hasilnya baru sekitar 60% kecocokannya dengan gempa yang terjadi. Sebagai contoh ketika terjadi gempa di Kobe pada tahun 1995 terjadi awan berbentuk seperti angin tornado terlihat dikota Kobe sebelum gempa terjadi. Meski terbukti kebenarannya para peneliti belum menggunakan prediksi gempa lewat awan yang terjadi untuk konsumsi publik. Gempa dapat terjadi 4-5 hari setelah penampakan awan gempa bisa juga terjadi setelah 130 hari kemudian melihat pengalaman yang terjadi di Jepang, AS dan China. Pemantauan satelit awan gempa merupakan terobosan besar untuk mitigasi bencana gempa. Penelitian lanjutan masih terus dikembangkan dengan megklarifikasi lewat satelit.

5

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Gambar 6

Sumber : All hazard mitigation Master Plan for Benton, Lane and Liin county, USA

Peranan Engineer Teknik Sipil dalam mitigasi gempa dan Tsunami Ahli Teknik Sipil dapat berperan dalam menganalisa bangunan infrastruktur yang telah ada maupun yang akan dibangun dengan lebih memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan gempa dan Tsunami, terutama pada area yang secara jelas berpotensi terjadi gempa tektonik. Peranan ahli geotenik dan struktur dapat lebih di daya gunakan agar dapat mensimulasikan pengaruh gempa dan Tsunami yang mungkin terjadi pada bangunan infrastruktur. Melakukan modelliing adalah salah satu upaya yang banyak dilakukan. Beberapa uraian pada makalah ini mencoba memberikan gambaran yang bisa segera dilakukan oleh para ahli teknik Sipil untuk dapat berperan aktif dalam mitigasi gempa dan Tsunami.

6

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Kerusakan pada Fondasi Dangkal akibat gempa Fondasi dangkal secara luas banyak digunakan didaerah-gempa untuk struktur skala kecil sampai skala menengah. Daya dukung fondasi dangkal berkurang pada waktu terjadinya momen akibat gaya horizontal ketika terjadi gempa. Mekanisme kegagalan yang terjadi dapat dimodelkan dengan dengan teknik Particle Image Velocimetry (PIV), yang banyak digunakan pada mekanika fluida untuk mengukur defleksi. Gambar 7 menunjukkan mekanisme keruntuhan menurut Prandtl. Pada Gambar 8 terlihat pengaturan model uji pondasi strip diatas lapisan pasir dengan menggunakan shaking table (Knappet et,all.,2004). Shaking table bekerja berdasarkan momentum sudut penyimpanan (storing angular momentum) dari motor roda penggerak, kemudian dikonversikan menjadi gerakan horizontal melalui sebuah motor dengan memberikan gerakan sinusoidal input pada frekwensi tunggal.

Gambar 7 Mekanisme keruntuhan Prandtl

Gambar 8 Shaking table

Gambar 9 memperlihatkan displacement dibawah pondasi pada siklus yang pertama sampai dengan keempat. Hasil tes menunjukkan perilaku dinamis dari fondasi bervariasi diantara seperempat siklus dari input gerakan sinusoidal. Gambar 9a memperlihatkan mekanisme keruntuhan yang asimetrik terjadi pada bagian sebelah kiri dari fondasi dan struktur berputar dengan titik putar pada garis pusat (centerline). Terlihat juga hanya sedikit terjadi pergerakan

7

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

kesisi sebelah kanan dari region yang runtuh sehingga terjadi uplift. Gaya gempa yang diteruskan oleh shaking table mulai dari titik displacement maksimum dan juga maksimum akselerasi. Oleh karena itu selama seperempat siklus yang pertama akselerasi yang diterima struktur berkurang dari titik puncak ketika gempa terjadi. Besaran gaya inersia pada awalnya besar dan menimbulkan momen yang besar pada fondasi dan menyebabkan tanah runtuh seperti pada Gambar 7. Perilaku yang sama terlihat pada Gambar 9c, selama tigaperempat siklus juga diawali dengan akselerasi maksimum dan pada kasus ini terjadi perpindahan arah akselarasi juga didapati displacement lebih besar. Selama siklus kedua dan keempat fondasi berputar pada satu sudut memobilisasi wedge dari tanah dibawah fondasi. Keruntuhan yang terjadi sama dengan keruntuhan seperti pada Gambar 7 dimana besaran momen tidak diperhitungkan. Pada Gambar 10 dapat dilihat mekanisme keruntuhan kritis dari berbagai magnitude gempa. Terlihat pada Gambar 10 dengan meningkatnya kh akan meningkatkan average total settlement. Pada akhirnya memang dapat disimpulkan bahwa bearing capacity dari pondasi dangkal berkurang ketika fondasi menerima momen putar dan gaya horisontal ketika terjadinya gempa. Dari hasil percobaan yang dilakukan dapat dilihat jika titik pusat masa berada di atas fondasi pengaruh dari momen amat signifikan karena mengurangi daya dukung fondasi akibat uplift. Mekanisme kegagalan berubah setiap siklus gempa, dengan titik putar bergerak dari ujung fondasi mengikuti titik percepatan maksimum.

8

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Gambar 9 Displacement dibawah pondasi dari PIV pada test A2

9

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Gambar 10 Efek magnitude gempa pada mekanisme kegagalan kritis

10

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Centrifuge model tests Gambar 11 memperlihatkan hubungan antara phisical modelling, numerical modelling dan data yang diperoleh dari model skala penuh dan aplikasinya pada desain. Randolph (2001) menunjukkan akan sangat menguntungkan jika melakukan uji moded fisik untuk mengevaluasi respon yang kompleks dari tanah, kompleksitas dari geometri atau konstruksi dan sekaligus dapat mempelajari phenomena baru.

Gambar 11 Kontribusi dari physical modelling terhadap disain (Randolph,2001)

Physical modelling Physical modelling dapat digunakan untuk menguji secara komprehensif struktur bangunan untuk mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh gempa bumi maupun Tsunami. Di Jepang gempa bumi merupakan bencana alam yang menjadi prioritas tinggi untuk penanggulangan maupun mencegah efek yang lebih luas jika terjadi gempa. Shaking tables tests yang dilakukan dengan 1-g seringkali digunakan untuk mengevaluasi struktur dan respon elemen geoteknik akibat gempa bumi yang masif. Iai (2001) dari Port and Airport Research Institute (PARI) mengilustrasikan penggunaan shaking table yang besar untuk menguji respon dinamik dari wharf front structure (struktur depan dermaga) dari berbagai tingkat gerakan dari gempa bumi. Dia memperlihatkan pentingnya menggunakan hukum skala yang benar pada model untuk mendapatkan tes data yang akurat dari panjang, waktu, akselerasi, perpindahan, tegangan/tekanan dan regangan serta ekses tegangan pori. Akselerasi pada permukaan tanah (AV9) dan dibawah struktur (W2) dapat diobservasi sehingga dapat diketahui secara tepat kondisi dari struktur pada saat uji shaking Observasi tipikal mengenai struktur dermaga terhadap gempa bumi diilustrasikan pada Gambar 12. Hasilnya menunjukkan uji dengan menggunakan shaking table yang besar memberikan pengertian yang lebih baik dari perilaku struktur dermaga akibat beban gempa sehingga engineer dapat mendisain dengan lebih baik dan aman struktur dermaga.

11

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Gambar 12 Hasil tipikal dari tes shaking table ( Iai,2001)

Studi mengenai Tekanan tanah aktif akibat seismik pada Gravity Retaining Wall Matsuo et,all. (2002) melakukan studi model centrifuge mengenai perilaku retaining wall yang menerima gaya seismik. Lebih lanjut akan diilustrasikan penggunaaan model centrifuge untuk menggambarkan terjadinya sliding pada retaining wall (dinding penahan tanah) yang memiliki embedment dimuka dinding penahan tanah. Pada Gambar 13 dililustrasikan sebuah model graviity retaining wall yang diuji di laboratoriumi dengan menggunakan alat centrifuge

Gambar 13 Model set up (Matsuo et al, 2002)

12

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Gambar 14 Hubungan antara lateral displacement dan besaran shaking Shaking test dari sebuah gravity retaining wall setinggI 9 m dengan perbedaan embedment dilakukan pada alat centrifuge. Ditemukan tekanan tanah aktif lebih kecil ketika dinding sliding. Nilai dari tekanan tanah ditemukan lebih kecil dari standar yang diajukan oleh tekanan tanah aktif Monoe-Okabe. Dengan memberikan embedment sangat membantu untuk meningkatkan stabilitas seismik. Pada Gambar 14 ditunjukkan perpindahan horizontal dari puncak dinding selama shaking event.

Gambar 15 Photo dari kasus 5 dan 6 setelah uji coba

Terlihat pada Gambar 14 tersebut perpindahan horizontal meningkat dengan meningkatnya akselerasi namun dengan adanya embedment yang cukup besar perpindahannya mengecil. Dengan memberikan embedment terlihat sangat signifikan untuk mengurangi displacement akibat beban gempa. Gambar 15 menunjukkan pergeseran dinding setelah uji coba. Kasus 1 tanpa embedment, Kasus 2 dengan embedment 50 mm (16% dari tinggi dinding penahan tanah) dan kasus 5 dengan embedment 25 mm (8% dari tinggi retaining wall). Kedua model

13

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

dengan jelas memperlihatkan bentuk kelongsoran yang amat berbeda dengan adanya embedment. Dari hasil pengujian dengan menggunakan model centrifuge tersebut bentuk struktur setelah uji coba secara detail dapat dipelajari.

Pengujian gaya lateral pada grup tiang Ilyas, T., et al (2002, 2004) melakukan serangkaian uji model centrifuge untuk mengetahui perilaku grup tiang pada tanah normally consolidated clay yang menerima pembebanan horizontal. Menurut desain tiang konvensional (Polos,1980) grup tiang yang simetri berperilaku sama untuk setiap tiang, namun hasil uji centrifuge menghasilkan perilaku yang berbeda. Pada grup tiang 2x2 dengan jarak tiang 3D yang dibebani gaya lateral, dengan desain konvensional, akan menghasilkan defleksi dan bending momen yang sama untuk setiap tiang, namun uji centrifuge memberikan hasi yang berbeda. Front/lead dan rear pile berperilaku berbeda. Pengaruh shadowing mengakibatkan front/lead piles menerima bending momen yang lebih besar dibandingkan dengan rear pile. Brown et all (1988) mengajukan konsep p-multiplier untuk mengevaluasi efek dari grup tiang. P-multipiler dapat ditentukan secara eksperimental dengan membandingkan tiang tunggal dan grup tiang pada displacement yang sama pada kepala tiang (pile head) Pada Tabel 1 dibawah ini dipresentasikan hasil pengujian p-multipier grup tiang yang simetri dengan jarak antar tiang 3D. Tabel tersebut memperlihatkan grup tiang 2x1 sampai dengan 4x4. Terlihat pada tabel tersebut perbedaan antara p-multiplier yang diterima oleh tiang lead/front, tiang pada baris kedua, tiang pada baris ketiga dan tiang pada baris keempat. Juga didapati efisiensi grup tiang menurun cukup signifikan sering bertambahnya jumlah tiang dalam grup. Terlihat pada Tabel 2 makin besar defleksi pada kepala tiang makin kecil efisiensi grup tiang. Perlu menjadi perhatian dalam mendisain grup tiang untuk memperhatikan fenomena shadowing effect.

Tabel 1

Sumber ASCE Journal Geotechnical and Geoenvironmental Engineering vol 130, no.3, March 1, 2004

14

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Tabel Table21. Group efficiency of pile group Number of pile 1 2 4 9 16 6 9

Group efficiency .2D 0.25D 100% 100% s=3D 90% 88% 86% 87% 74% 73% 82% 69% 66% 78% 73% 66% s=5D 100% 100% 100% 98% 95% 95% .1 D 100%

Sumber T.Ilyas, Performance of laterally loaded pile group in clay. Physical Modelling in Geotechnic-ICPMG 2002

Finite Element/Difference Simulation Analisa numerik yang dilakukan oleh Howie J.A.,et all., (2005) memberikan pengertian yang mendalam mengenai pengaruh kondisi permukaan tanah dari sinyal seismik kedalam percobaan seismik, yang merupakan bagian dari studi untuk menginterpretasikan seismic cone data kedalam kondisi permukaan tanah. Kasus perambatan gelombang untuk tanah yang homogen dan tanah kekakuannya meningkat sejalan dengan kedalaman. Penggunaan program finite difference FLAC dapat digunakan untuk mensimulasikan seluruh uji seismik. Untuk mengasumsikan kekakuan bahan dan damping karakteristik seismic cone penetration test (SCPT), data seismik dihasilkan dari data simulasi. Dari beberapa percobaan yang dihasilkan metoda finite difference untuk perambatan gelombang memberikan pemahaman yang dalam bagi faktor-faktor yang mempengaruhi interpretasi dari keseluruhan uji seismik yang dilakukan. Finite element analysis juga banyak digunakan untuk memodelkan retrogressive failures pada daerah lepas pantai (offshore) dan fasilitas infrastruktur pantai. Mekanisme keruntuhan memberikan karakter yang unik pada submarine slides seperti pergerakan volume masa yang besar, perpindahan yang panjang dari slide bocks dan terjadinya longsoran dekat permukaan atau pada lapisan deposit. Studi mengenai kasus ini dilakukan oleh Azizian dan Popescu dari Faculty of Engineering and Applied Sciences, Memorial University of New Foundland Canada (2005)

Kesimpulan dan Saran Jika kerusakan dapat diprediksi secara detail dan mekanisme terjadinya kerusakan diketahui dengan baik, tes lanjutan dapat dilakukan untuk menguji berbagai cara untuk mengurangi bencana alam seperti mengurangi kerusakan pada fondasi dangkal maupun dalam atau struktur geoteknik lainnya akibat gempa.bumi tektonik Penelitian tentang fenomena alam seperti gempa bumi, Tsunami, landslide dan lainnya terlalu sulit untuk dilakukan secara utuh. Oleh karena itu pendekatan laboratoris diharapkan dapat mengatasinya. Penggunaan modeling baik dengan pendekatan laboratorium (centrifuge modeling) maupun simulasi dengan finite element/difference memiliki keandalan dan dinilai mampu untuk mensimulasikannya.. Peringatan dini bagi terjadinya gempa dan Tsunami sudah merupakan keniscayaan keberadaannya.

15

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Daftar Pustaka 1. T.Ilyas, CF Leung, YK Chow, SS Budi “Centrifuge Model Studi of Laterally Loaded Pile Groups in Clay”. Journal of Geotechnical Engineering March 2004 Vol.130, Number 3 ISSN 1090-0241. 2. T.Ilyas, CF Leung, YK Chow, SS Budi.”Discussion of “Centrifuge Model Studi of Laterally Loaded Pile Groups in Clay””. Journal of Geotechnical Engineering October 2005 Vol.135, Number 3 ISSN 1090-0241 3. T.Ilyas, Leung CF, Chow YK and Budi SS,2002, “Performance of Laterally Loaded Pile Group in Clay”. International Conference on Physical Modelling in Geoechnics 10-12 July 2002, Canada. 4. Iai,S, 2001.”Mechanics of model test: 1g field”. Presentation at 15th International Conference on soil Mechanics and geotechnical Engineering TC2 Workshop, August 2001, Istanbul. 5. O.Matsuo, S.Nakamura & Y.Saito. “Centrifuge tests on seismic behaviiour of retaining walls”. Physical modelling in Geotechnics: ICPMG ’02, Philips, Guo & Popescue(eds) @ 2002 Swets & Zetlinger Lisse, ISBN 90 5809 389 1 6. Reducing Earthquake-Tsunami Hazards in Pacific Northwest Ports and Harbors, 2001 7. Hazard,Disaster and community. Code of Practice USA 2003 8. Earthquakes by Bruce A. Bolt, 2003, 9. John A Howie; Ali Amini., Numerical simulation of seismic cone signals. Canadian Geotechnical Journal; Apr 2005; 42, 2; ProQuest Science Journals pg. 574 10. A Azizian; R Popescu. Finite element simulation of seismically induced retrogressive failure of submarine slopes. Canadian Geotechnical Journal; Dec 2005; 42, 6; ProQuest Science Journals, pg. 1532. 11. Foundations and Geotechnical Hazards, 2004 (Systematic Rehabilitation) 12. J.A. Knappett*, S.K. Haigh, S.P.G. Madabhushi. Mechanisms of failure for shallow foundations under earthquake loading. Schofield Centre, University of Cambridge, Madingley Road, Cambridge CB3 0EL, UK., Soil Dynamics and Earthquake Engineering 26 (2006) 91–102 13. J.A. Knappett*, S.K. Haigh, S.P.G. Madabhushi.,Mechanisms of failure for shallow foundations under earthquake loading. Soil Dynamics and Earthquake Engineering 26 (2006) 91–102 14. Badan Meteorologi dan Geofisika, 2004 15. Brown D.A, Morrison C, Reese L.C, 1988 “Lateral load behaviour of pile group in sand” Journal of Geotechnical Engineering, Vol.125, No.11, November1988, pp.1261-1276

16

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Lampiran Disarikan dari Foundations and Geotechnical Hazards, 2004 (Systematic Rehabilitation) Data Sources. Information required to adequately characterize a site will likely be derived from a combination of several sources, ncluding existing data, a site reconnaissance, and site-specific studies. Potential data sources include the following: • geological maps • topographical maps • hazard maps • geotechnical reports • design/construction drawings Regional maps—including topographic maps and geologic maps—may be used to provide a general source of information on the conditions in the vicinity of the site. Topographic maps can be useful in assessing the landslide hazard potential that may affect the site.Similarly, geologic maps can provide information on surficial geologic units that may be related to ground stability. Finally, various hazard maps may existindicating potential earthquake faults, and areas potentially susceptible to liquefaction, landsliding, and flooding or inundation. All of these maps may be used to provide an assessment of the large-scale performance of the site.

Liquifaction Soil liquefaction is a phenomenon in which a soil below the groundwater table loses a substantial amount of strength due to strong earthquake ground shaking. Recently deposited (i.e., geologically young) and relatively loose natural soils and uncompacted or poorly compacted fill soils are potentially susceptible to liquefaction. Loose sands and silty sands are particularly susceptible; loose silts and gravels also have potential for liquefaction. Dense natural soils and well-compacted fills have low susceptibility to liquefaction. Clay soils are generally not susceptible,except for highly sensitive clays found in some geographic regions. The Guidelines provide criteria that facilitate screening sites that do not have a significant liquefaction hazard. In addition to these criteria, if the site is located in an area where a regional mapping of liquefaction potential has been carried out by the USGS or other governmental agency, then such mapping might also be used to screen for a liquefaction hazard. Generally, sites located in areas characterized as having a low or vet low liquefaction hazard can be screened out. However, definitions used in regional liquefaction potential zonations vary, and the definitions, bases, uncertainty, and qualifications associated with the zonation should be carefully reviewed before relying on regional maps.

17

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Landsliding Earthquake-induced landslides represent a significant hazard to the seismic performance of facilities located on steep slopes in marginally stable areas. Landslides may affect a structure by directly undermining a facility,resulting in structural damage. Alternatively, off-site landslides could develop above a structure, and the debris from the landslide (avalanche, rock fall, or debris torrent) could impinge upon a structure and lead to undesirable performance. Thus, consideration of landslide effects should include both on-site and off-site sources. Sites that are more likely to be affected bu earthquake-induced landslides include locations with slopes of 18 degrees or greater, or a history of rock falls, avalanches, or debris

18

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

torrents. Stability analysis shall be performed for all sites located on slopes steeper than three horizontal to one vertikal (approximately 18 degrees), and the stability analysis should consider the following factors: • Slope geometry – slope inclination – slope height • Subsurface conditions – stratigraphy (material type and bedding) – material properties (unit weight, friction angle,and cohesion) – groundwater conditions (level, perched locations,and hydrostatic pressures) • Level of ground shaking Pseudo static analyses may be used to evaluate landsliding potential. Such analyses should be used only in instances where liquefaction would not develop and where the underlying materials would not suffer major strength degradation as a result of earthquake ground shaking (i.e., soft, sensitive clays). The analyses should be conducted using a seismic coefficient equal toone-half the peak ground acceleration for the site area. A safety factor of at least 1.0 should be obtained. The pseudo-static analysis is conservative because it is performed with a continuously applied horizontal force acting in the downhill direction. A static factor of safety of 1.0 is considered acceptable for this type of analysis. Safety factors of 1.5 are appropriate for static vertical load conditions, which the slopes must meet independently.

Coceptual Schemes to Resist Liquefaction-Induced Lateral Spreading

19

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

20

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Pile Foundations Axial Loading. Earthquake-induced axial loading of pile groups may be of significant design importance in the analysis of the seismic rocking response of rigid shear walls for buildings when subjected to lateral loading. Analyses also show that the rotational stiffness of a pile group is generally dominated by the axial stiffness of individual piles. The rotational or

21

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

rocking behavior of a pile group may have a significant influence on the seismic response of a structure and could significantly influence column moments. Although elastic solutions exist for the pile head stiffness for piles embedded in linear elastic media (Poulos and Davis, 1980; Pender, 1993), the complexities of the nonlinear load transfer mechanisms to the pile shaft and tip make the selection of an equivalent linear elastic modulus for the soil verydifficult. The use of the nonlinear Winkler spring approach provides an alternate procedure that has been widely adopted in practice.

22

Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006

Tommy Ilyas

Simplified Rehabilitation Simplified Rehabilitation appropriate for use on some buildings. These procedures include some investigation of foundation conditions and, in some cases, requirements for basic modifications. Linear Procedures If the foundation is assumed to be fixed in the analysis, geotechnical component displacements are, by definition, zero. Thus, for these actions, acceptability only be assessed by considering the geotechnical components to be forcecontrolled. This reduces the seismic force contribution to a more realistic level. Since geotechnical components are actually “ductile” in contrast to most other force-controlled components, acceptable force levels for these fixed-base actions may be based on upperbound capacities. If these capacities are exceeded, the implication is that actual geotechnical component displacements may be large enough to increase displacement demands significantly in other parts of the structure. The practical consequence is to require the designer to model the elastic properties of the foundation. If the analysis includes elastic modeling of the foundation, then for shallow and deep foundations, no limit of uplift or compression displacement is necessary for Collapse Prevention or Life Safety Performance Levels. In essence, m = infinity for these cases. This is reasonable, since soil bearing capacity does not degrade for short-term cyclic loads and the consequences of foundation movements are reflected in an approximate manner by the response of the structure in the model. This is true even though fictitious “tension” is allowedto develop between a footing and the soil. This is considered to be analogous to tension yielding in bending of a structural element where the estimate of inelastic displacements assumes that the beam remains elastic. Even if the seismic overturning moment is equal to the maximum resisting moment due to gravity, this situation changes quickly with seismic load reversal. Experience with past earthquakes does not indicate that gross overturning is a problem for buildings. If the calculated displacements do not result in adverse behavior in the structure, there is no need to limit foundation displacements. However, the situation for the Immediate Occupancy Performance Level is different, since foundation displacements may result in damage that impedes the use of the facility. For this reason, fixed-base conditions should not be assumed for structures sensitive to base movement. Non Linear prosedure The assumption that the base of the structure is rigid in nonlinear procedures is acceptable, provided that the resulting forces do not exceed upper-bound component capacities. The rationale for this limitation is similar to that for linear procedures. If the foundation is modeled with appropriate nonlinear force-displacement relationships, the acceptability of geotechnical components for Collapse Prevention or Life Safety Performance is analogous to that for linear procedures. For Immediate Occupancy, the amount of the total structural displacement due to foundation movement must be calculated. Some percentage of this foundation-related movement is assumed to be permanent, and the effects of this must be included in considering whether the building can remain functional. Permanent foundation movement is controlled bu foundation soil type and thickness, and foundation system characteristics (footing dimensions and geometry).

23