MODUL 1 KARAKTERISASI SPEKTRUM SUMBER CAHAYA 1.1

Download gas gabungan antara Helium dan Neon dengan perbandingan 10:1. [2] ... cahaya, antara lain: 1. Sumber Cahaya. • Laser He-Ne 1 buah. • Lampu ...

0 downloads 494 Views 1MB Size
MODUL 1 KARAKTERISASI SPEKTRUM SUMBER CAHAYA 1.1 Pokok Bahasan  Spektrum gelombang elektromegnetik  Sumber-sumber cahaya 1.2 Tujuan Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan :  Dapat melakukan karakterisasi spektrum dan menentukan lebar spektral sumber cahaya. 1.3 Dasar Teori 1.3.1 Spektrum Gelombang Elektromegnetik Susunan rentang gelombang elektromagnetik berdasarkan panjang gelombang dan frekuensinya disebut dengan spektrum gelombang elektromagnetik. Spektrum gelombang elektromagnetik dipancarkan oleh transisi elektron, yaitu ketika elektron berpindah dari orbit satu ke orbit yang lain. Spektrum elektromagnetik dapat dibagi dalam beberapa daerah yang terentang dari gelombang radio sampai dengan sinar gamma. Hal ini dapat dilihat pada gambar spektrum gelombang elektromanetik di bawah ini.[1]

Gambar 1.1 Spektrum Gelombang Elektromagnetik Cahaya matahari yang tidak tampak berwarna ternyata dapat dipecahkan menjadi susunan cahaya berwarna yang tampak sebagai cahaya merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Artinya, cahaya putih merupakan gabungan dari beberapa cahaya berwarna. Jika spektrum cahaya tersebut dikumpulkan dan diloloskan kembali melalui sebuah prisma, cahaya tersebut kembali menjadi cahaya putih. Berikut ini spektrum warna cahaya tampak.

Gambar 1.2 Spektrum Warna Cahaya Tampak 1.3.2 Sumber Cahaya Setiap sumber cahaya memiliki karakteristrik spektrum yang berbeda-beda. Pada dasarnya terdapat 2 jenis sumber cahaya, yaitu cahaya alami dan cahaya buatan. Cahaya alami merupakan cahaya yang berasal dari matahari, sedangkan cahaya buatan berasal dari lilin, lampu gas, lampu minyak, dan lain-lain. Kedua sumber cahaya ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Sumber cahaya alami memiliki sifat tidak menentu, tergantung pada iklim, musim, dan cuaca. Sedangkan cahaya buatan membutuhkan biaya tertentu, namun peletakan dan kestabilan cahaya dapat diatur. Berikut ini beberapa jenis sumber cahaya buatan. 1. Laser LASER (Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation) merupakan mekanisme suatu alat yang memancarkan radiasi elektromagnetik, biasanya dalam bentuk cahaya yang tidak dapat dilihat maupun dapat lihat dengan mata normal, melalui proses pancaran terstimulasi. Pancaran LASER biasanya tunggal, memancarkan foton dalam pancaran koheren. Komponen yang diperlukan adalah resonator untuk proses penguatan foton. Salah satu jenis laser yang sering digunakan adalah laser He-Ne. Laser ini merupakan jenis laser gas gabungan antara Helium dan Neon dengan perbandingan 10:1.[2]

Gambar 1.3 Laser

2. Lampu Pijar Lampu pijar adalah sumber cahaya buatan yang dihasilkan melalui penyaluran arus listrik melalui filamen yang kemudian memanas dan menghasilkan cahaya. Saat bola lampu pijar dihidupkan, arus listrik akan mengalir dari electrical contact menuju filamen dengan melewati kawat penghubung. Akibatnya akan terjadi pergerakan elektron bebas dari kutub negatif ke kutub positif. Elektron di sepanjang filamen ini secara konstan akan menabrak atom pada filamen. Energinya akan menggetarkan atom. Ikatan elektron dalam atom-atom yang bergetar ini akan mendorong atom pada tingkatan tertinggi secara berkala. Saat energinya kembali ke tingkat normal, elektron akan melepaskan energi ekstra dalam bentuk foton. Atom-atom yang dilepaskan ini dalam bentuk foton-foton sinar infrared yang tidak mungkin dilihat oleh mata manusia.

Gambar 1.4 Lampu Pijar 3. Lampu TL Lampu TL (Fluorescent Lamp) adalah lampu listrik yang memanfaatkan gas Neon dan lapisan fluorescent sebagai pemendar cahaya pada saat dialiri arus listrik. Tabung lampu TL ini diisi oleh gas yang pada saat elektrodanya mendapat tegangan tinggi gas ini akan terionisasi sehingga menyebabkan elektron-elektron pada gas bergerak dan memendarkan fluorescent pada tabung lampu TL.[3]

Gambar 1.5 Lampu TL 4. LED Light Emitting Diode (LED) adalah suatu semikonduktor yang memancarkan cahaya monokromatik yang bekerja pada kondisi tegangan maju (forward bias). Warna yang dihasilkan tergantung pada bahan semikonduktor yang dipakai. Berikut ini spectrum dari LED putih dan LED berwarna.

1.3.3 Monokromator Untuk mengamati karakteristik spektrum dari tiap sumber cahaya, digunakan monokromator. Monokromator merupakan perangkat optik yang dapat mengubah gelombang polikromatik menjadi monokromatik. Dengan menggunakan monokromator, maka karakteristik dari suatu material dapat diketahui hanya dengan melihat spektrum dari sumber cahaya tersebut. Prinsip kerja monokromator menggunakan salah satu fenomena optik, yaitu dispersi. Ketika cahaya polikromatis sudah terdispersi, cahaya-cahaya monokromatis yang dihasilkan akan diarahkan. Sehingga hanya panjang gelombang tertentu yang dapat keluar melalui exit slit.[4] 1.3.4 Lebar Spektral Spektral adalah hasil interaksi antara energi elektromagnetik dengan suatu objek. Objek yang ada di permukaan bumi mempunyai karakteristik yang berbeda satu dengan lainnya. Terdapat objek yang mempunyai sifat daya serap yang tinggi dan pantulannya rendah terhadap elektromagnetik, dan sebaliknya. Pola pantulan dan absorpsi ini berbeda untuk panjang gelombang (wavelength) yang berbeda. Cahaya tampak baik monokromatik maupun polikromatik memiliki lebar spektral yang berbeda-beda.[5] Lebar spektral diketahui melalui perpotongan antara daya rata-rata dari sumber cahaya dengan panjang gelombang atau dikenal dengan FWHM (Full Wave of Half Maximum). Berikut ini persamaan yang digunakan. [5]

1.4 Eksperimen : Karakterisasi Spektrum Laser He-Ne dan Laser Argon 1.4.1 Peralatan Eksperimen Peralatan yang dibutuhkan pada praktikum modul 1 karakterisasi spektrum sumber cahaya, antara lain: 1. Sumber Cahaya  Laser He-Ne 1 buah  Lampu Pijar 1 buah  LED (Warna Putih/ Warna lainnya) 1 buah  Lampu TL 1 buah 2. 3. 4. 5.

Monokromator 1 buah Adaptor DC 1 buah Optical power meter Thorlabs PM100D 1 buah Laptop yang sudah terinstall program PMD100D Utility

Gambar 1.6 Set Up Eksperimen

1.4.2 Prosedur Percobaan Prosedur percobaan yang harus dilakukan pada praktikum karakterisasi spektrum sumber cahaya adalah sebagai berikut. 1. Peralatan disusun seperti Gambar 1.6. 2. Optical power meter dihubungkan dengan laptop melalui kabel USB. 3. Optical power meter dinyalakan dan jalankan program PMD100D Utility. Tunggu optical power meter terhubung dengan laptop. 4. Sumber cahaya ditempatkan sesuai Gambar 1.6. 5. Sumber cahaya dinyalakan dengan jarak 3 cm dari detektor. 6. Panjang gelombang pada optical power meter diatur pada λ = 400 - 700 nm dengan kenaikan tiap 10 nm. 7. Nilai daya optik yang terbaca diamati dan disimpan. 8. Ulangi langkah ke-5 untuk sumber cahaya lain. 9. Membuat grafik daya optik sebagai fungsi panjang gelombang untuk semua sumber cahaya. 10. Menentukan lebar spektral untuk tiap sumber cahaya. Daftar Pustaka [1] Léna, Pierre; François Lebrun, François Mignard (1998). Observational Astrophysics. Springer-Verlag. ISBN 3-540-63482-7 [2] Conceptual physics, Paul Hewitt, 2002 [3] http://elektronika-dasar.web.id/teori-elektronika/karakteristik-dan-prinsip-kerja-lampu-tlfluorescent-lamp/ [4] http://chemtech.org/cn/cn212 [5] Evhy, Kumalasari. “Laporan Spektral”. 2013. Retrieved from http://www.scribd.com/doc/169008326/LAPORAN-SPEKTRAL

MODUL 2 BENDING DAN PENGARUH SUHU PADA SERAT OPTIK 2.1 Pokok Bahasan  Prinsip-prinsip transmisi sinyal laser pada serat optik.  Pengaruh lekukan (bending) pada daya sinyal keluaran serat optik.  Pengaruh suhu pada daya sinyal keluaran serat optic. 2.2 Tujuan Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan :  Mengetahui prinsip transmisi sinyal pada serat optik.  Mengetahui pengaruh perubahan lekukan (bending) terhadap nilai daya sinyal yang ditransmisikan pada serat optik.  Mengetahui pengaruh suhu terhadap nilai daya sinyal yang ditransmisikan pada serat optic. 2.3 Dasar Teori Serat Optik Serat optik adalah suatu pemandu gelombang dieletrik yang berbentuk silinder terbuat dari material low-loss seperti kaca silika[6]. Bagian utama dari serat optik terdiri dari core dan cladding yang dilindungi oleh coating. Kedua bagian utama tersebut memiliki indeks bias yang berbeda.

Gambar 2.1 Struktur Serat optik[4] Struktur dasar dari sebuah serat optik yang terdiri dari 3 bagian : a. Core (inti) : sebuah batang silinder terbuat dari bahan dielektrik (bahan silika (SiO2), biasanya diberi doping dengan germanium oksida (GeO2) atau fosfor penta oksida (P2O5) untuk menaikan indeks biasnya) yang tidak menghantarkan listrik, inti ini memiliki jari-jari, besarnya sekitar 8 – 200 µm dan indeks bias n1, besarnya sekitar 1,5. b. Cladding (selimut) : merupakan bagian yang membungkus core sehingga pulsa-pulsa cahaya yang akan keluar dari core terpantul ke dalam core kembali sehingga pulsa cahaya tidak hilang di perjalanan. Cladding mempunyai diameter yang bervariasi antara 125 µm (untuk siglemode dan multimode step index) dan 250 µm (untuk multimode graded index)

c. Coating (jaket) : terbuat dari bahan plastik yang elastis, berfungsi sebagai pelindung core dan cladding dari gangguan luar. Ada 3 jenis perambatan cahaya yang terjadi pada serat optik, yaitu:

Gambar 2.2 Perambatan Cahaya dalam Serat Optik 1. Sinar merambat lurus sepanjang sumbu serat tanpa mengalami refleksi atau refraksi. 2. Sinar mengalami refleksi total karena memiliki sudut datang yang lebih besar dari sudut kritis dan akan merambat sepanjang serat melalui pantulan – pantulan. 3. Sinar akan mengalami refraksi dan tidak akan dirambatkan sepanjang serat karena memiliki sudut datang yang lebih kecil dari sudut kritis. Prinsip yang digunakan pada perambatan cahaya pada serat optik adalah hukum Snellius. Snellius menyatakan bahwa „perbandingan sinus antara sudut datang dan sudut bias sebanding ratio kecepatan cahaya pada dua media tersebut atau berbanding terbalik dengan ratio indeks bias dari kedua.’ sin(1 ) v1 n2 (2.1)   sin( 2) v 2 n1

Gambar 2.3 Hukum Snellius Dari hukum snellius didapatkan bahwa jika sebuah cahaya merambat pada dua medium yang indeks bias medium asal lebih tinggi dari pada indeks bias medium tujuannya maka cahaya akan dapat terpantul sempurna ( Total Internal Reflection). Dari prinsip cahaya dipandu pada serat optik dengan memanfaatkan total internal reflection.

2.4 Total Internal Reflection (TIR) Total internal reflection (TIR) merupakan prinsip pemanduan cahaya pada serat optik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.4[8]. Cahaya dapat ditransmisikan atau dipandu pada serat optik disebabkan karena berkas cahaya datang dari medium yang mempunyai indeks bias lebih besar ke medium yang mempunyai indeks bias lebih kecil. Jika sudut berkas cahaya datang lebih kecil daripada sudut kritis, maka cahaya akan dibiaskan keluar dari serat optik.

Gambar 2.4 Skema Peristiwa Total Internal Reflection[8] Sedangkan jika sudut berkas cahaya datang lebih besar daripada sudut kritis, maka cahaya akan dipantulkan lagi ke dalam serat optik. Sudut kritis adalah besar sudut datang yang menghasilkan sudut bias sebesar 90°. Jika dituliskan dalam persamaan matematis, persamaan sudut kritis dapat diturunkan dari persamaan Snellius yang mempunyai sudut bias sebesar 90 ° menjadi persamaan (2.2). (2.2) c = sudut kritis n1 = indeks bias medium yang lebih rapat (besar) n2 = indeks bias medium cahaya yang lebih renggang (kecil) TIR hanya terjadi pada berkas cahaya kedua dan ketiga. Berkas cahaya pertama tidak terjadi TIR disebabkan karena sudut datangnya lebih kecil daripada sudut kritis. Oleh karena itu berkas cahaya yang dimasukkan ke dalam core serat optik harus mempunyai sudut maksimal yang dapat diterima agar menghasilkan sudut kritis yang minimal. Gambar 2.5 menjelaskan berkas cahaya yang dimasukkan ke dalam core serat optik yang menghasilkan sudut kritis agar terjadi pemanduan cahaya pada serat optik. Nilai θo maksimal yang dapat diterima dapat dicari menggunakan persamaan (2.3). (2.3)

dimana n adalah indeks bias medium di luar serat optik, n1 adalah indeks bias core, n2 adalah indeks bias cladding, θo max adalah sudut penerimaan berkas cahaya maksimal agar terjadi total internal reflection dan θc adalah sudut kritis.

Gambar 2.5 Skema pemanduan cahaya pada serat optik[8]

Nilai sin θo maksimal dapat direpresentasikan dengan NA (Numerical Aperture), yaitu angka yang merepresentasikan sudut penerimaan maksimal serat optik agar terjadi pemanduan cahaya yang sempurna. Nilai NA selalu < 1. Persamaan matematis untuk mendapatkan NA dapat diturunkan dari persamaan (2.3) menjadi persamaan (2.4).

(2.4) dimana ∆ adalah perbedaan indeks core-cladding yang dapat dicari menggunakan persamaan (2.5). (2.5) dimana n1 adalah indeks bias core dan n2 adalah indeks bias cladding. 2.5 Jenis-Jenis Serat Optik a. Singlemode Step Index

Gambar 2.6 Serat Optik Singlemode Step Index[2]

Serat optik singlemode memiliki diameter core antara 2 – 10 mm dan sangat kecil dibandingkan dengan ukuran cladding-nya. Cahaya hanya merambat dalam satu mode saja yaitu sejajar dengan sumbu serat optik. Memiliki redaman yang sangat kecil, memiliki lebar pita frekuensi yang sangat lebar, Digunakan untuk jarak jauh dan mampu menyalurkan data dengan kecepatan bit rate yang tinggi. b. Multimode Step Index

Gambar 2.7 Serat Optik Multimode Step Index[2] Serat optik ini pada dasarnya mempunyai diameter core yang besar (50 – 200 um) dibandingkan dengan diameter cladding (125 – 400 um). Sama halnya dengan serat optik singlemode, pada serat optik ini terjadi perubahan index bias dengan segera (step index) pada batas antara core dan cladding. Diameter core yang besar (50 – 200 um) digunakan untuk menaikkan efisiensi coupling pada sumber cahaya yang tidak koheren seperti LED. Karakteristik penampilan serat optik ini sangat bergantung pada macam material/bahan yang digunakan. Berdasarkan hasil penelitian, penambahan prosentase bahan silica pada serat optik ini akan meningkatkan penampilan (performance). Tetapi jenis serat optik ini tidak populer karena meskipun kadar silicanya ditingkatkan, kerugian dispersi sewaktu transmit tetap besar, sehingga hanya baik digunakan untuk menyalurkan data atau informasi dengan kecepatan rendah dan jarak relatif dekat. Perambatan gelombang cahaya pada multimode step index serat sebagai berikut :

Gambar 2.8 Perambatan Cahaya Pada Multimode Step Index[2] Dalam multi mode step index mempunyai kelebihan diantaranya mudah terminasi, kopling efisien serta tidak mahal sedangkan kerugiannya adalah dispersi lebar dan mempunyai bandwidth minimum. c. Multimode Graded Index

Gambar 2.9 Serat optik Grade Index Singlemode[2] Pada Graded-index multimode terdapat lapisan pada inti kacanya sehingga index sinar yang merambat tidak menabrak lapisan cladding. Sinar yang masuk dalam inti tidak dipantulkan sepanjang melewati inti tersebut. Cahaya merambat lurus membentuk ”envelope” dengan kombinasi interval biasa. Kecepatan perambatannya ditentukan oleh kerapatan index n1. Jenis serat optik ini sangat ideal untuk menyalurkan informasi pada jarak menengah dengan menggunakan sumber cahaya LED maupun LASER, di samping juga penyambungannya yang relatif mudah. 2.6 Lekukan (Bending) Pada Serat Optik Bending merupakan salah satu faktor (selain absorbtion, scattering) yang menyebabkan terjadinya redaman (atenuasi) dalam proses transmisi sinyal pada serat optik. Redaman serat optik merupakan karakteristik penting yang harus diperhatikan mengingat kaitannya dalam menentukan jarak pengulang (repeater), jenis pemancar dan penerima optik yang harus digunakan[1]. Redaman sinyal cahaya yang merambat di sepanjang serat merupakan pertimbangan penting dalam desain sebuah sistem komunikasi optik, karena menentukan peran utama dalam menentukan jarak transmisi maksimum antara pemancar dan penerima. Ada dua jenis bending (pembengkokan) yaitu macrobending dan microbending. Macrobending adalah pembengkokan serat optik dengan radius yang panjang bila dibandingkan dengan radius serat optik. Redaman ini dapat diketahui dengan menganalisis distribusi modal pada serat optik. Microbending adalah pembengkokan-pembengkokan kecil pada serat optik akibat ketidakseragaman dalam pembentukan serat atau akibat adanya tekanan yang tidak seragam pada saat pengkabelan. Salah satu cara untuk menguranginya adalah dengan menggunakan jacket yang tahan terhadap tekanan[6]. Redaman ( ) sinyal atau rugi-rugi serat optik didefenisikan sebagai perbandingan antara daya output optik (Pout) terhadap daya input optik (Pin) sepanjang serat L, dimana dapat ditunjukkan pada Persamaan 2.6. (2.6) Dimana: L = Panjang serat optik (km) Pin = Daya input optik (Watt) Pout= Daya output optik (Watt) = Redaman Menurut rekomendasi ITU-T, kabel serat optik harus mempunyai koefisien redaman 0.5 dB/km untuk panjang gelombang 1310 nm dan 0.4 dB/km untuk panjang gelombang 1550 nm.

Tapi besarnya koefisien ini bukan merupakan nilai yang mutlak, karena harus mempertimbangkan proses pabrikasi, desain komposisi serat, dan desain kabel. Untuk itu terdapat range redaman yang masih diijinkan yaitu 0.3 - 0.4 dB/km untuk panjang gelombang 1310 nm dan 0.17 - 0.25 dB/km untuk panjang gelombang 1550 nm. 2.7 Serat Optik Sebagai Sensor Bahan-bahan untuk membuat serat optik terdiri dari banyak jenis, salah satunya adalah serat optik plastik. Serat optik plastik adalah media transmisi cahaya yang dapat diaplikasikan untuk sensor dan berkas cahaya yang ditransmisikan lebih dari satu sehingga dapat juga disebut serat optik multimode. Beberapa aplikasi serat optik plastik sebagai sensor antara lain sebagai sensor pergeseran, sensor suhu, sensor tekanan, sensor kelembaban, sensor laju aliran fluida, sensor laju rotasi, sensor konsentrasi suatu zat, sensor medan Iistrik, sensor medan magnet, serta sebagai sensor analisis kimia. (Gupta, 1998). Struktur dari serat optik plastik secara umum sama dengan serat optik pada umumnya, yaitu terdiri dari core, cladding dan coating seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. Tetapi serat optik plastik mempunyai ukuran fisik yang lebih besar dibandingkan dengan serat optik berbahan kaca. Selain itu, serat optik plastik lebih fleksibel dan tidak mudah patah karena serat optik plastik terbuat dari bahan polimer. Kekurangan dari serat optik jenis ini adalah kurang cocok jika diaplikasikan untuk transmisi data pada sistem komunikasi serat optik karena serat optik plastik mempunyai dispersi yang besar pada jarak yang pendek. Sensor menggunakan serat optik pada umunya menggunakan metode adsorbsi gelombang cahaya oleh cladding, yaitu dengan menggatikan cladding serat optik dengan spesimen yang akan diukur, Perubahan spesimen cladding menyebabkan penyerapan pada cladding berubah pula. Hal inilah yang menyebabkan intensitas cahaya yang ditransmisikan berbeda-beda jika spesimen yang dijadikan cladding berbeda. Saat sinar ditransmisikan pada serat optik yang sedikit energinya masuk ke dalam cladding dan menghilang (atenuasi) 2.8 Eksperimen : Bending Pada Serat Optik 2.8.1 Peralatan Eksperimen Adapun peralatan yang digunakan dalam eksperimen ini adalah sebagai berikut: a. Laser b. Serat optik multimode c. Serat optik singlemode d. Penggaris e. Optical Power Meter (OPM) Thorlabs 2.8.2 Prosedur Eksperimen Adapun langkah-langkah dalam melakukan eksperimen adalah sebagai berikut:

Gambar 2.10 Set Up Eksperimen 1 Modul 2[5] a. Peralatan dirancang seperti pada gambar 2.10 b. Pengukuran dilakukan pada daya cahaya LASER yang keluar dari serat optik sebelum diberi gangguan (bending) menggunakan OPM. c. Serat optik diberi gangguan berupa lekukan (bending) dengan kelengkungan diameter 2cm dan diukur daya cahayanya menggunakan OPM. d. Dilakukan variasi kelengkungan diameter serat optik 2 cm, 1,5 cm, dan 1 cm, dan 0,5 cm dengan 3 lilitan secara bertahap dan diukur daya cahayanya menggunakan OPM. e. Dilakukan perbandingan data antara hasil keluaran cahaya laser terhadap jari-jari bending yang diberikan menggunakan grafik.

Gambar 2.11 Set Up Eksperimen 2 Modul 2[5] f. Serat optik dililitkan pada silinder seperti pada gambar 2.11 dan diukur daya cahayanya menggunakan OPM (variasi jumlah lilitan sesuai arahan asisten). g. Dilakukan perbandingan data antara hasil keluaran cahaya laser terhadap jumlah lilitan serat optik menggunakan grafik. 2.8.3 Tabel Eksperimen Dalam Eksperimen serat optik ini data yang akan diambil adalah sebagai berikut: Tabel Eksperimen 1 Tabel 2 . 1. Hasil Eksperimen Jari-Jari Percobaan kePin Pout (cm) 1

2 : : :

2.9 Eksperimen : Pengaruh Suhu terhadap Daya Keluaran Serat Optik 2.9.1 Peralatan Eksperimen Adapun peralatan yang digunakan dalam eksperimen ini adalah sebagai berikut: 1. Serat Optik MultiMode 2. Magnetic Stirrer 3. Optical Power Meter 2.9.2 Prosedur Eksperimen Adapun langkah-langkah dalam melakukan percobaan ini adalah sebagai berikut:

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Gambar 2.12 Skema Percobaan Menyusun peralatan percobaan seperti Gambar 2.5. Atur suhu pada magnetic stirrer pada suhu 50⁰C. Salah satu bagian serat optic diletakkan pada plat magnetic stirrer ( tidak menempel ) dan ujung lainnya dihubungkan dengan Optical Power Meter. Lakukan pengukuran sebanyak 3 kali pada masing-masing suhu dan catat daya yang dihasilkan oleh Optical Power Meter. Ulangi langkah 3-5 dengan suhu 100⁰C dan 150⁰C Buat grafik hubungan antara daya yang dihasilkan akibat perubahan suhu yang dilakukan. Analisa hasil percobaan tersebut.

Daftar Pustaka [1] Chapter II, Serat optik. Universitas Sumatera Utara. (repository.usu.ac.id/bitstream/.../4/Chapter%20II.pdf, diakses 24 Oktober 2014) [2] Roychoudhuri, Chandrasekhar.Fundamental of Photonics. USA : SPIE Press. 2008. [3] Ahmad,Imam. Sistem Transmisi Serat Optik (http://digilib.ittelkom .ac.id/index.php?view=article&catid=11%3Asistem-komunikasi &id=681%3Asistemtransmisi-serat-optik&option=com_content& Itemid=14, diakses 10 Oktober 2013) [4] Smith,Graham.Optiks and Photonics:An Introduction. USA:John Wiley & Sons, Ltd. 2007 [5] Wiley, John. 1990,” Principles Of Optical Engineering”. Departement of Electrical Enginering The Pennslyvania University, New York. [6] Saleh, Bahaa E., Teich, Malvin Carl, “Fundamental Of Photonics”. New York : John Wiley & Sons, Inc. 1991 [7] Hukum Snellius. (http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Snellius, diakses 30 Oktober 2013) [8] Keiser, Gerd. 2000. “Optical Fiber Communications Third Edition”. New York : McGrawHill.

MODUL 3 DESAIN OPTIK 3.1 Pokok Bahasan  Dasar desain divais optika geometri  Aplikasi pengolahan menggunakan OSLO 3.2 Tujuan Adapun tujuan pada eksperimen kali ini adalah agar mahasiswa dapat :  Mendesain divais berbasis optika geometri  Melakukan optimasi untuk menurunkan aberasi pada divais 3.3 Dasar Teori 3.3.1 Desain Optik Desain optik adalah suatu proses yang digunakan untuk membuat rancangan divais optik. Divais optik yang didesain dapat berupa desain kamera, teropong, mikroskop dan lain-lain dengan merekayasa peletakkan lensa-lensa dan komponen optik lainnya. Dengan membuat desain divais optik maka dapat ditentukan titik fokus terbaik dalam sebuah sistem optik, dapat mengetahui aberasi-aberasi berbagai titik di bidang gambar, dapat ditentukan ukuran apperture. Sehingga, kecacatan-kecatatan yang mungkin timbul pada suatu divais optik dapat diminimalisir dan kerja dari divais optik juga dapat lebih optimal. Yang perlu diperhatikan dalam membuat desain divais optik adalah bahan divais optik, bentuk surface dari komponen-komponen optik yang dipakai, panjang gelombang yang dipakai, serta bentuk berkas yang masuk dan yang dihasilkan. 3.3.2 Beam Expander Beam expander adalah komponen pada optik yang digunakan untuk memperbesar beam. Beam expander merupakan konsep dasar yang digunakan pada teleskop. Jenis beam expander ada 2 yaitu : 1. Galilean Beam Expander Galilean beam expander terdiri dari lensa negatif dan lensa positif.

Gambar 3.1 Galilean Beam Expander 2. Keplerian Beam Expander Keplerian beam expander terdiri dari 2 lensa positif.

Gambar 3.2 Keplerian Beam Expander 3.3.3 Prinsip Pembelokan Sinar pada Lensa Pembelokan cahaya atau yang lebih dikenal dengan pembiasan cahaya ketika cahaya merambat dari suatu medium ke medium lain yang memiliki indeks bias yang berbeda. Pembiasan cahaya terjadi karena adanya perubahan kelajuan gelombang cahaya ketika gelombang cahaya tersebut merambat di antara dua medium berbeda.

Gambar 3.3 Pembiasan Cahaya

v= 3.3.4 Pembentukan Bayangan pada Lensa Untuk menganalisis pembentukan bayangan oleh lensa, dapat menggunakan konsep sinar-sinar istimewa. Dikatakan istimewa karena membentuk suatu bentuk geometri yang sederhana dan mudah dianalisis.

Sinar-sinar istimewa untuk lensa cembung:

Gambar 3.4 Sinar Istimewa Lensa Cembung Sinar istimewa 1: sinar yang sejajar sumbu utama lensa akan dibiaskan menuju titik fokus (f2) lensa. Sinar istimewa 2: sinar yang menuju pusat lensa akan diteruskan. Sinar Istimewa 3: (kebalikan dari sinar istimewa 1) sinar yang melewati titik fokus lensa (f1) akan dibiaskan sejajar sumbu utama. Sinar-sinar istimewa untuk lensa cekung:

Gambar 3.5 Sinar Istimewa Lensa Cekung Sinar istimewa 1: sinar yang sejajar sumbu utama lensa akan dibiaskan seakan-akan dari titik fokus (f1) lensa. Sinar istimewa 2: sinar yang menuju pusat lensa akan diteruskan.

Sinar Istimewa 3: (kebalikan dari sinar istimewa 1) sinar yang menuju titik fokus lensa (f2) akan dibiaskan sejajar sumbu utama.

3.3.5 Cacat Pembentukan Bayangan pada Lensa Aberasi disebut juga kesesatan atau kecacatan lensa. Aberasi adalah kelainan bentuk bayangan yang dihasilkan oleh lensa atau cermin (Tippler, 2001). Aberasi optik adalah degradasi kinerja suatu sistem optik dari standar pendekatan paraksial optika geometri. Degradasi yang terjadi dapat disebabkan sifat-sifat optik dari cahaya maupun dari sifat-sifat optik sebagai medium terakhir yang dilalui sinar sebelum mencapai mata pengamatnya. 1. Aberasi Sferis Aberasi sferis adalah gejala kesalahan terbentuknya bayangan yang diakibatkan pengaruh kelengkungan lensa atau cermin. Aberasi semacam ini akan menghasilkan bayangan yang tidak memenuhi hukum-hukum pemantulan atau pembiasan. 2. Aberasi Kromatik Aberasi kromatik adalah pembiasan cahaya yang berbeda panjang gelombang pada titik fokus yang berbeda. Prinsip dasar terjadinya aberasi kromatis oleh karena fokus lensa berbeda-beda untuk tiap-tiap warna. 3. Aberasi Monokromatik Aberasi monokromatik sering juga disebut aberasi tingkat ketiga adalah aberasi yang terjadi walaupun sistem optik mempunyai lensa dengan bidang sferis yang telah sempurna dan tidak terjadi dispersi cahaya. 4. Koma Koma adalah gejala dimana bayangan sebuah titik sinar yang terletak diluar sumbu lensa tidak berbentuk titik pula. Dapat dihindari dengan diafragma. 5. Distorsi Distorsi adalah gejala bayangan benda yang berbentuk bujur sangkar tidak berbentuk bujur sangkar lagi atau terjadi kerusakan bayangan benda. Dapat dihindari dengan lensa ganda dengan diafragma ditengahnya. 6. Astigmatisme

Astigmatisme adalah gejala dimana bayangan benda titik tidak berupa titik tapi berupa ellips atau lingkaran. Astigmatisme itu sama dengan koma namun koma terbentuk akibat penyebaran gambar dari suatu titik pada suatu bidang yang tegak lurus pada sumbu lensa sedangkan astigmatisme terbentuk sebagai penyebaran gambar dalam suatu arah sepanjang sumbu lensa. 3.3.6 Pengenalan OSLO

Gambar 3.6 Tampilan OSLO OSLO (Optics Software for Layout Optimization) adalah software yang digunakan untuk mendesain suatu divais optik. Umumnya layar permukaan OSLO terdiri dari dua surfaces yaitu “object surface” di bagian kiri dan “image surface” di bagian kanan. Ada 4 parameter utama dalam setiap surfaces yaitu jari-jari kelengkungan (ketebalan material), indeks refraksi (tipe kaca), dan jari-jari apperture. Untuk lebih mudah dapat memanfaatkan graphic windows pada setiap plot parameter sistem yang berbeda. Berikut masing-masing penjelasan dari toolbar OSLO: a. Command : kolom yang berfungsi untuk memasukkan nilai b. Spreadsheet : lembar yang digunakan menampilkan data desain divais optik c. Main Window : toolbar menu utama d. Graphic Windows : jendela yang menampilkan visualisasi dari desain divais optik yang telah dibuat e. Status Bar : kolom yang menampilkan informasi operasi yang sedang dilakukan dan informasi obyek yang sedang diaktifkan

f. Text Window : rekaman data berupa teks yang menampilkan desain divais optik g. Slider-wheel Window : untuk menemukan bentuk optimal dari suatu desain divais optik

3.4 Eksperimen 3.4.1 Desain Divais Optik Peralatan Eksperimen Peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan eksperimen desain divais optik, antara lain: a. Laptop b. Software OSLO Langkah-Langkah Eksperimen Pada praktikum desain optik adalah untuk mendesain beam expander (tipe keplerian, dengan dua lensa cembung) yaitu: Desain Divais Optik Menggunakan Software a. Ditentukan perbesaran beam, dalam percobaan kali ini digunakan perbesaran 3x, dengan lensa pertama memiliki panjang fokus 100 mm, sehingga lensa kedua panjang fokusnya 340 mm. Bahan kaca yang digunakan adalah BK7. b. Pilih “File” kemudian “New Lens” dari menu OSLO.

Gambar 3.10 Penamaan Desain c. Diisikan nama “Landscape” pada kotak New File name. Pilih Custom lens pada File type dan isikan “4” pada Number of Surfaces untuk jumlah permukaan lensa. Klik “OK”. d. Selanjutnya akan muncul sheet baru.

Gambar 3.11 Tampilan Pengaturan Entrance Beam Radius dan Field Angle Diisikan data sebagai berikut:  Lens : Landscape  Ent beam radius : 5  Field angle : 0 e. Selanjutnya menentukan bahan lensa pertama dengan memasukkan data “BK7” di kolom GLASS pada surface 1 (baris kedua, setelah OBJ).

Gambar 3.12 Penentuan Bahan Lensa Pertama f. Didesain lensa pertama dengan OSLO, yaitu lensa dengan panjang fokus 100 mm, dengan mengisikan data sebagai berikut:  Radius (surface 1) : 100 mm  Radius (surface 2) : -100 mm  Thickness (surface 1) : 10 mm  Aperture Radius (surface 1) : 25 mm  Aperture Radius (surface 2) : 25 mm

Gambar 3.13 Pengaturan Bentuk Lensa Pertama g. Selanjutnya menentukan bahan lensa kedua dengan memasukkan data “BK7” di kolom GLASSS pada surface 3.

Gambar 3.14 Penentuan Bahan Lensa Kedua h. Didesain lensa kedua dengan OSLO, yaitu lensa dengan panjang fokus 330 mm, dengan mengisikan data sebagai berikut:  Radius (surface 3) : 340 mm  Radius (surface 4) : -340 mm  Thickness (surface 3) : 5 mm 

Aperture Radius (surface 3) : 25 mm



Aperture Radius (surface 4) : 25 mm

Gambar 3.15 Pengaturan Bentuk Lensa Kedua i. Untuk melihat hasil lensa yang didesain, pilih “Draw on”, sehingga muncul tampilan sebagai berikut:

Gambar 3.16 Tampilan Draw on j. Untuk melihat hasil sinar yang melalui divais optik yang didesain, maka ditambahkan surface setelah surface 4 dan menambahkan nilai thickness pada surface 4.

Gambar 3.17 Tampilan Insert After k. Jarak antar dua lensa pada beam expander dirubah sehingga sinar hasil beam expander sejajar.

Gambar 3.18 Tampilan Pengubahan Jarak Lensa l. Lakukan analisa aberasi yang terjadi pada desain di OSLO.

3.4.2 Eksperimen Beam Expander Peralatan Eksperimen Peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan eksperimen beam expander, antara lain: 1. Laser He-Ne 2. 2 lensa cembung dengan dioptri yang sama 3. Layar Langkah-Langkah Eksperimen a. Setelah selesai dengan mendesain divais, sekarang melakukan percobaan beam expander dengan menggunakan laser He-Ne dan lensa. b. Memasang kedua lensa cembung pada statif. c. Lensa disusun dengan posisi sesuai perhitungan pada simulasi. d. Hidupkan laser lalu ukur diameter beam dan gambar beam yang keluar langsung dari laser. e. Ukur diameter beam dan gambar beam yang keluar dari lensa kedua. f. Hitung perbesaran beam dan bandingkan dengan hasil desain optik dengan OSLO serta lakukan analisa pada kedua hasil tersebut.

MODUL 4 INTERFEROMETER 4.1 Pokok Bahasan  Prinsip dasar interferometer michelson  Pengaruh perubahan jarak dengan jumlah pergeseran frinji 4.2 Tujuan Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan :  Dapat mengetahui prinsip dasar interferometer michelson  Mengetahui pengaruh perubahan jarak dengan jumlah pergeseran frinji 4.3 Dasar Teori 4.3.1 Interferensi Interferensi merupakan superposisi dua gelombang atau lebih. Apabila dua gelombang yang berfrekuensi dan berpanjang gelombang sama tapi berbeda fase bergabung, maka gelombang yang dihasilkan merupakan gelombang yang amplitudonya tergantung pada perbedaan fasenya. Jika beda fasenya adalah 0 atau kelipatan 360o, maka gelombang akan sefase dan berinterferensi saling menguatkan (konstruktif). Amplitudo yang dihasilkan merupakan penjumlahan dari masing-masing gelombang. Jika perbedaannya 180o maka gelombang yang dihasilkan akan saling melemahkan (destruktif). Amplitudo yang dihasilkan merupakan perbedaan amplitudo masing-masing gelombang. Perbedaan fase antara dua gelombang sering disebabkan oleh adanya perbedaan panjang lintasan yang ditempuh oleh kedua gelombang.

Gambar 4.1 Interferensi konstruktif dan destruktif Interferensi gelombang tidak teramati kecuali sumbernya koheren, atau perbedaan fase diantara gelombang konstan terhadap waktu. Koherensi dalam optika biasanya didapatkan

dengan membagi cahaya dari sumber tunggal menjadi dua berkas atau lebih yang kemudian digabungkan untuk menghasilkan pola interferensi. Pembagian ini dapat dicapai dengan memantulkan cahaya dari dua permukaan yang terpisah. Alat yang dirancang untuk menghasilkan pola interferensi dari perbedaan panjang lintasan disebut interferometer optik. Interferometer dibagi menjadi 2 jenis, yaitu interferometer pembagi muka gelombang dan interferometer pembagi amplitudo. Pada pembagi muka gelombang, muka gelombang pada berkas cahaya pertama dibagi menjadi dua, sehingga menghasilkan dua buah berkas sinar baru yang koheren, dan ketika jatuh di layar akan membentuk pola interferensi yang berwujud garis gelap terang berselang-seling. Pada interferometer pembagi amplitudo, dapat diumpamakan sebuah gelombang cahaya yang jatuh pada suatu lempeng kaca yang tipis. Sebagian dari gelombang akan diteruskan dan sebagian lainnya akan dipantulkan. Kedua gelombang memiliki amplitudo yang lebih kecil dari gelombang sebelumnya. Ini dapat dikatakan bahwa amplitudo telah terbagi. Jika dua gelombang tersebut bisa disatukan kembali pada sebuah layar maka akan dihasilkan pola interferensi. 4.3.2 Interferometer Michelson Skema kerja interferometer seperti yang digambarkan pada Gambar 1. Sinar yang bersumber dari sumber monokromatis dibelah/split menjadi dua berkas sinar oleh cermin M0 (beam splitter) yang memiliki kemiringan 45o dari arah sinar yang datang. Beam splitter mentransmisikan setengah dari cahaya yang datang menuju cermin M1 dan meneruskan sisanya ke cermin M2. Sehingga masing masing berkas menempuh panjang lintasan yang berbeda (L1 dan L2). Setelah terpantul dari cermin M1 dan M2, kedua berkas kembali bertemu dan terjadi superposisi yang menghasilkan pola interferensi yang diamati lewat teleskop atau bisa juga dengan menggunakan layar

Gambar 4.2 Skema Interferometer Michelson

Bentuk pola interferensi dari kedua berkas bergantung dari beda panjang lintasan yang telah dilalui. Pergantian antara pola terang ke terang atau gelap ke gelap sesuai sebanding dengan perbedaan fase sebesar 2π yang sebanding dengan selisih satu panjang gelombang antara dua panjang lintasan yang ditempuh berkas. Ketika cermin M2 bergerak pada arah refleksi sinar, panjang lintasannya akan berubah dan pola yang tertangkap pada layar akan menunjukkan pergeseran frinji. Jika Li mereprensentasikan panjang lintasan awal dari cermin M2 (L2), dan ΔL adalah perubahan panjang L2, maka perubahan panjang lintasan dapat diekspresikan sebagai fungsi dari panjang gelombang

Jumlah pergeseran frinji (cycle) dinotasikan sebagai n. Simbol λ merupakan panjang gelombang sumber cahaya pembentuk interferensi. 4.4 Eksperimen : Interferometri 4.4.1 Peralatan Eksperimen Pada eksperimen ini peralatan yang dibutuhkan antara lain: a. Beam splitter 50:50 b. 2 buah cermin c. Beam ekspander d. Laser He-Ne e. Micro displacement f. Layar g. Statif h. Tuas 4.4.2 Prosedur Eksperimen Prosedur pada eksperimen ini adalah sebagai berikut : a. Peralatan disusun seperti pada gambar

b. c. d. e. f. g.

Gambar 4.3 Set-up eksperimen Salah satu cermin diletakkan diatas micro displacement sebagai measurement mirror Micro displacement digerakkan menggunakan tuas sebesar 10 micron, pastikan tidak ada getaran dari luar saat pergeseran dilakukan Jumlah pergeseran frinji dicatat Langkah c diulangi sebanyak 5 kali Percobaan c sampai e diulangi dengan variasi perubahan jarak 20 dan 30 micron Hasil percobaan dibandingkan dengan hasil perhitungan

Daftar Pustaka [1] R. A. Serway, J. J. Jewett. “Wave Optics” in Physics for Scientists and Engineers with Modern Physics, 8th Ed. USA: Brooks/Cole 2010. pp 1097 – 1098 [2] Francon. M. 1968. Optical Interferometry. Academic Press Inc: London [3] Hecht, E. 2002. Optics, 4th Edition. Pearson Education. San Francisco [4] Falah, Masroatul. Analisis Pola Interferensi pada Interferometer untuk Menentukan Panjang Gelombang Sumber Cahaya. Universitas Diponegoro