MUTU KARKAS AYAM HASIL PEMOTONGAN TRADISIONAL DAN PENERAPAN

Download tanpa dipuasakan. Maksud dipuasakan adalah untuk memperoleh bobot tubuh kosong dan untuk mempermudah proses penyembelihan khususnya ayam ya...

1 downloads 289 Views 525KB Size
MUTU KARKAS AYAM HASIL PEMOTONGAN TRADISIONAL DAN PENERAPAN SISTEM HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT Abubakar Balai Penelitian Ternak, Kotak Pos 221, Bogor 16002

ABSTRAK Pemotongan ayam sebagian besar masih dilakukan secara tradisional di rumah pemotongan ayam (RPA) sehingga menghasilkan karkas yang bermutu rendah. Kerugian akibat kerusakan karkas selama penanganan/pemotongan ayam mencapai 10−20%, terutama adanya memar-memar (90%) pada dada dan paha. Tulisan ini menyajikan informasi mutu karkas ayam hasil pemotongan tradisional yang dilakukan di RPA dan kemungkinan diterapkannya sistem hazard analysis critical control point (HACCP). Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk hasil pertanian khususnya untuk menjamin keamanan pangan. Prinsip dasar dari sistem pengawasan bahan pangan asal hewan meliputi pencegahan dini serta pengawasan proses produksi dan distribusi produk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa RPA dengan skala pemotongan ternak 100−300 ekor/hari (skala kecil) dan antara 400−3.000 ekor/hari (skala besar) masih menggunakan sistem pemotongan tradisional dan sebagian menggunakan mesin sederhana pencabut bulu dengan kapasitas 5−10 ekor/mesin/2−3 menit. Sarana RPA masih terbatas dan belum mengikuti sistem HACCP. Hasil pengkelasan karkas dengan metode SNI 1998 menunjukkan bahwa karkas yang memiliki mutu I sekitar 51,85−66,55%, mutu II antara 27,97−43,02%, dan mutu III antara 5,13−10,17% untuk pencabutan bulu menggunakan mesin sederhana, sedangkan pencabutan bulu dengan tangan menghasilkan mutu I 50,75−58,91%, mutu II 32,63−40,45%, dan mutu III 7,76−11,25%. Pemotongan ayam dengan dimasukkan ke dalam corong dan pencabutan bulu dengan tangan menghasilkan persentase mutu karkas terbaik sebesar 66,67%. Kata kunci: Ayam potong, komposisi karkas, pemotongan, HACCP

ABSTRACT The quality of chicken carcass originated from traditional slaughter house and application of hazard analysis critical control point Chicken slaughtering is commonly conducted traditionally which produced low quality carcass. Carcass losses due to the unproper handling during slaughtering achieved 10−20% mainly caused by bruising (90%) and 38% of which occurred in the breast and legs. This paper presented information on carcass quality originated from traditional slaughter house and possibility of applying hazard analysis critical control point (HACCP) system. The system aimed at increasing the quality of agricultural product especially its safety for consumers. For animal products, it involves early preventing and controlling production and distribution of the products. Results of previous experiments showed that there are two groups of traditional slaughter house, i.e., small scale (100−300 chicks/day) and larger scale (400−3,000 chicks/day). Some of slaughter houses used simple machines in withdrawing feather with the capacity of 5−10 chicks/machine/2−3 minutes. They had limited facilities and did not follow the HACCP concept. Carcass grading using SNI method (1998) resulted grade I 51.85−66.55%, grade II 27.97−43.02%, and grade III 5.13−10.17% when the feathers were withdrawn using machine, and 50.75−58.91%, 32.63−40.45%, and 7.76−11.25% for the grade I, II, and III, respectively, when feathers were withdrawn manually. Laboratory test indicated that slaughtering using tubes and feathers withdrawal manually resulted in the best carcass quality achieving 66.67%. Keywords: Broiler chickens, carcass composition, slaughtering, HACCP

Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003

33

K

arkas/daging ayam merupakan salah satu komoditas penting ditinjau dari aspek gizi, sosial budaya, dan ekonomi. Industri karkas ayam mempunyai prospek ekonomi yang cukup cerah, karena usaha peternakan ayam relatif mudah dikembangkan, cepat menghasilkan, serta usaha pemotongannya sederhana. Untuk memenuhi permintaan pasar yang cukup tinggi akan karkas ayam, maka selain kuantitas, produsen diharapkan dapat menyediakan karkas ayam yang berkualitas (Abubakar 1992; International Meat and Poultry HACCP Alliance 1996). Sampai saat ini, posisi peternak rakyat masih lemah, karena mereka tidak memiliki akses yang cukup terhadap tiga komponen bisnis yang sangat menentukan, yaitu sarana produksi, teknologi, dan informasi harga (Badan Agribisnis 1995). Kondisi ini telah mendorong pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) No.22/1990 yang bertujuan untuk memberdayakan peternak rakyat sebagai pelaku utama di sektor budi daya, sekaligus mewujudkan perunggasan yang tangguh menjelang era pasar global. Dalam Kepres tersebut dinyatakan bahwa perusahaan peternakan atau perusahaan di bidang peternakan yang melakukan kemitraan wajib memiliki sarana penanganan dan pemotongan ayam serta ayam pedaging yang dihasilkan harus halal, bersih, dan sehat. Penataan pasar dengan mendorong pengembangan usaha industri pemotongan ayam ini dilakukan untuk meningkatkan daya saing produk perunggasan, antara lain karena usaha peternakan ayam potong masih menjual ayam dalam bentuk ayam hidup (Anonymous 1995). Rumah potong ayam (RPA) modern yang ada hanya tujuh buah, yang terkonsentrasi di Jabotabek dengan kapasitas pemotongan 1.000−5.000 ekor/hari untuk skala kecil dan 5.000−15.000 ekor/hari untuk skala besar. Karkas yang dihasilkan habis diserap oleh toko swalayan dan hotel-hotel yang ada di sekitar Jabotabek (Abubakar et al. 2000). RPA yang ada di kota-kota besar, kecuali di Surabaya, ada dua buah dengan kapasitas pemotongan 15.000 ekor/hari, umumnya masih bersifat tradisional berupa tempat pemotongan ayam (TPA) yang menghasilkan karkas bermutu rendah. Kerusakan karkas selama penanganan/pemotongan ayam mencapai 10−20% (Abubakar et al. 1992). Kerusakan terbesar (90%) disebabkan adanya memar-memar 34

yang terjadi 1−13 jam sebelum pemotongan dan 38% terdapat pada bagian dada dan paha (USDA 1973; Zweighert 1981). Penyebab memar antara lain adalah terlalu padatnya penempatan ayam, perlakuan kasar saat pengangkutan/ pemotongan, iritasi dan cysts pada dada, faktor genetik, penyumbatan pembuluh darah, freezer burn, darkened bones, dan black melanin (Ensminger 1998). Tulisan ini menyajikan informasi mutu karkas ayam hasil pemotongan secara tradisional yang dilakukan di RPA dan kemungkinan diterapkannya hazard analysis critical control point (HACCP). Konsep HACCP didefinisikan sebagai suatu metode pendekatan kepada identifikasi dan penetapan hazard serta risiko yang ditimbulkan berkaitan dengan proses produksi, distribusi, dan penggunaan makanan oleh konsumen dengan maksud untuk menetapkan pengawasan sehingga diperoleh produk yang aman dan sehat.

TEKNIK PEMOTONGAN AYAM Pada dasarnya ada dua teknik pemotongan ayam, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Pemotongan secara langsung (tradisional) dilakukan setelah ayam dinyatakan sehat. Ayam disembelih pada bagian leher dengan memotong arteri karotis dan vena jugularis. Pemotongan ayam secara tidak langsung dilakukan melalui proses pemingsanan dan setelah ayam benar-benar pingsan baru dipotong. Pemingsanan dimaksudkan untuk memudahkan penyembelihan dan agar ayam tidak tersiksa dan terhindar dari risiko perlakuan kasar sehingga kualitas kulit dan karkas yang dihasilkan lebih baik. Pemingsanan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu menggunakan alat pemingsan atau knocker, dengan senjata pemingsan atau stunning gun, dengan pembiusan, serta dengan menggunakan arus listrik (Soeparno 1994). Teknik pemotongan ayam yang baik adalah pemotongan secara tidak langsung atau dengan pemingsanan karena dengan cara tersebut kualitas kulit dan karkas lebih baik dibandingkan dengan pemotongan secara langsung. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penyembelihan ayam adalah ayam harus sehat, tidak dalam keadaan lelah,

tidak produktif atau bukan bibit. Sebelum dipotong ayam diistirahatkan selama 12− 24 jam tergantung iklim, jarak antara asal ayam dengan rumah potong, dan jenis transportasi. Pengistirahatan dimaksudkan agar ayam tidak stres, darah dapat ke luar sebanyak mungkin saat dipotong, dan cukup energi sehingga proses rigor mortis berlangsung secara sempurna (Soeparno 1994). Pada dasarnya ada dua cara untuk mengistirahatkan ayam sebelum disembelih, yaitu dengan dipuasakan dan tanpa dipuasakan. Maksud dipuasakan adalah untuk memperoleh bobot tubuh kosong dan untuk mempermudah proses penyembelihan khususnya ayam yang liar. Cara pemotongan ternak unggas yang lazim di Indonesia adalah cara Kosher, yaitu secara langsung (Ensminger 1998). Pada saat penyembelihan darah harus keluar sebanyak mungkin. Jika darah keluar sempurna maka bobot darah sekitar 4% dari bobot tubuh. Proses pengeluaran darah pada ayam biasanya selama 50−120 detik, tergantung pada besar kecilnya ayam yang dipotong. Setelah disembelih, ayam dicelupkan ke dalam air hangat untuk mempermudah pencabutan bulu. Lama pencelupan dan suhu air pencelup tergantung pada kondisi ayam: perendaman dalam air hangat 50−54o C selama 30−45 detik untuk ayam muda dan kalkun; perendaman dalam air hangat 55−60o C selama 45−90 detik untuk ayam tua atau pada suhu air 65−80o C selama 5−30 detik, kemudian dimasukkan dalam air dingin agar kulit tidak rusak; perendaman dalam air hangat 50− 54 o C selama 30 detik untuk broiler. Perendaman pada temperatur lebih tinggi dari 58o C dapat menyebabkan kulit menjadi gelap dan mudah terserang bakteri (Soeparno 1994). Setelah pencabutan bulu dilakukan pengeluaran organ dalam, dimulai dari pemisahan tembolok dan trakhea serta kelenjar minyak di bagian ekor. Selanjutnya, rongga badan dibuka dengan membuat irisan dari kloaka ke arah tulang dada. Kloaka dan visera atau organ dalam dikeluarkan, kemudian dilakukan pemisahan organ dalam, yaitu hati dan empedu, rempela, dan jantung. Isi rempela dikeluarkan, demikian pula empedu dipisahkan dari hati dan dibuang. Paruparu, ginjal, testes (pada jantan) atau ovarium (pada betina) dapat dipisahkan dari bawah kolumna vertebralis, serta kepala, leher, dan kaki juga dipisahkan. Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003

Menurut Ensminger (1998), persentase bagian yang dipisahkan sebelum menjadi karkas adalah hati/jantung 1,50%, rempela 1,50%, paru-paru 0,90%, usus 8%, leher/ kepala 5,60%, darah 3,50%, kaki 3,90%, bulu 6%, karkas 60,10%, serta air 9%. Bobot karkas yang telah dipisahkan dari bulu, kaki, leher/kepala, organ dalam, ekor (kelenjar minyak) yaitu sekitar 75% dari bobot hidup ayam. Jumlah RPA tradisional di beberapa daerah disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa jumlah RPA tradisional yang diteliti berkisar antara 5−15 buah, paling sedikit (5 buah) di Lampung dan terbanyak di Semarang, DKI Jakarta,dan Surabaya masing-masing 15 buah. Ratarata kapasitas pemotongan ayam antara 100 – 3.000 ekor/hari dengan rataan bobot karkas terkecil 851 ± 129 g dan terbesar 1.160 ± 209 g.

Teknik pencabutan bulu ayam pada proses pemotongan di RPA dapat dilihat pada Tabel 2. Sebagian besar RPA menggunakan mesin sederhana pencabut bulu, kecuali di Medan dan Lampung yang masih menggunakan tangan dalam proses pencabutan bulu ayam. Kapasitas mesin pencabut bulu berkisar antara 5−10 ekor/mesin/2−5 menit dengan suhu air antara 50−60o C dan lama pencelupan 1−2 menit.

KUALITAS KARKAS DAN DAGING Karkas ayam adalah bobot tubuh ayam setelah dipotong dikurangi kepala, kaki, darah, bulu serta organ dalam. Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum pemotongan, antara lain genetik,

Tabel 1. Jumlah RPA tradisional dan rata-rata kapasitas pemotongan ayam. Lokasi Bandung1 Cirebon 1 Tangerang 1 Bogor 1 Bekasi1 Semarang1 DKI Jakarta 2 Surabaya2 Medan 3 Lampung 3 Denpasar 3

Rata-rata kapasitas potong (ekor/hari)

Jumlah RPA 12 10 7 10 10 15 15 15 10 5 10

Sumber: 1Abubakar et al. (2000);

300 100 500 100 100 100 100 100 200 150 150 2

Rata-rata bobot karkas (g)

− 3.000 − 2.000 − 1.000 − 400 − 500 − 500 − 500 − 300 − 500 − 200 − 500

975 1.050 1.000 1.025 1.025 1.050 921 1.160 891 851 870

+ + + + + + + + + + +

288 253 252 247 204 250 255 209 111 129 120

Abubakar et al. (1991); 3Abubakar et al. (1994).

Tabel 2. Teknik pencabutan bulu ayam pada proses pemotongan ayam di RPA. Lokasi RPA Bandung1 Cirebon 1 Tangerang 1 Bekasi1 Bogor 1 Semarang1 DKI Jakarta 2 Surabaya2 Medan 3 Lampung 3 Denpasar 3

Teknik pencabutan bulu Mesin 10 4 3 3 7 10 15 15 − − 10

Tangan

Kapasitas mesin (ekor/2−5 menit)

Suhu air (oC)/lama pencelupan (menit)

2 6 4 7 3 5 − − 10 5 −

5−10 10 10 5−10 5−10 5−10 5−10 10 − − 10

55−60 o C/1 50−55o C/1−2 60o C/1 55−60o C/1 50o C/1 55−60 o C/1 55 60 55 55 55−60/2

Sumber: 1Abubakar et al. (2000); 2Abubakar et al. (1991);

Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003

3

Abubakar et al. (1994).

spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, dan pakan serta proses setelah pemotongan, di antaranya metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon, antibiotik, lemak intramuskular atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, serta macam otot daging (Abubakar et al. 1991). Faktor yang menentukan nilai karkas meliputi bobot karkas, jumlah daging yang dihasilkan, dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan. Nilai karkas dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, umur, dan jumlah lemak intramuskuler dalam otot (Abubakar dan Wahyudi 1994). Faktor nilai karkas dapat diukur secara objektif seperti bobot karkas dan daging, dan secara subjektif misalnya dengan pengujian organoleptik atau panel. Faktor kualitas daging yang dimakan meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau dan cita rasa serta kesan jus daging (Abubakar et al. 1995). Di samping itu, lemak intramuskuler, susut masak (cooking loss) yaitu berat daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan, dan pH daging ikut menentukan kualitas daging. Kualifikasi kualitas karkas ayam didasarkan atas tingkat keempukan dagingnya. Ayam berdaging empuk yaitu ayam yang daging karkasnya lunak, lentur, dan kulitnya bertekstur halus, sedangkan ayam dengan keempukan daging sedang umumnya mempunyai umur yang relatif tua dan kulitnya kasar. Kelas sedang ini meliputi stag, ayam jantan umur kurang dari 10 bulan, serta kalkun betina dan jantan umur sekitar 12−15 bulan (Soeparno 1994). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), kualitas karkas yang baik (mutu I) adalah yang konformasinya sempurna, perdagingan tebal, perlemakan baik, keutuhan cukup baik dan sempurna, serta bebas dari memar dan bulu jarum. Tabel 3 menyajikan hasil pengkelasan (grading) dengan metode SNI pada karkas ayam hasil pemotongan secara tradisional. Dengan pencabutan bulu menggunakan mesin, sebagian besar (51,85−66,55%) karkas termasuk mutu I, kecuali karkas hasil pemotongan di DKI Jakarta, Surabaya, dan Denpasar yang sebagian besar termasuk mutu II masingmasing sebesar 81,54%; 62,67%; dan 69%. Hasil pengkelasan karkas ayam yang 35

Tabel 3. Mutu karkas ayam hasil pemotongan tradisional dengan pencabutan bulu menggunakan mesin dan tangan.

Lokasi RPA

Jumlah Sampel sampel RPA karkas

Persentase mutu karkas (cabut bulu dengan mesin) I

Bandung1 Cirebon1 Tangerang 1 Bekasi1 Bogor 1 Semarang1 DKI Jakarta2 Surabaya2 Medan 3 Lampung 3 Denpasar 3

12 10 7 10 10 15 15 15 10 5 10

100 80 70 50 50 100 235 150 150 100 150

66,55 55,35 57,15 51,85 60,80 61,47 15,38 28,67 − − 8

Persentase mutu karkas (cabut bulu dengan tangan)

II

III

I

II

III

27,97 36,50 32,68 43,02 34,05 30,35 81,54 62,67 − − 69

5,48 8,15 10,17 5,13 5,15 8,18 3,08 8,66 − − 23

56,12 54,24 50,75 50,85 58,91 57,17 − − 5,50 − −

32,63 35,59 40,45 38,45 33,33 33,98 − − 62 68 −

11,25 10,17 8,80 10,70 7,76 8,85 − − 32,50 32 −

Penentuan karkas mutu I, II, III menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI, 1998). Sumber: 1Abubakar et al. (2000); 2Abubakar et al. (1991); 3Abubakar et al. (1994).

dipotong secara tradisional dengan pencabutan bulu dengan tangan menghasilkan mutu I antara 5,50−58,91%.

MUTU KARKAS AYAM HASIL PEMOTONGAN DI LABORATORIUM Penilaian mutu karkas ayam menggunakan SNI dilakukan dengan melihat konformasi karkas, perdagingan, perlemakan, keutuhan, penampakan, warna, dan kebersihan karkas. Konformasi adalah bentuk dan kesempurnaan karkas; sempurna atau cacat pada bagian tubuh berpengaruh pada penilaian mutu karkas. Perdagingan dinilai dari tebal atau tipisnya karkas. Perlemakan dinilai dari cukup atau tipisnya lemak pada karkas. Keutuhan karkas juga berpengaruh terhadap penilaian mutu karkas. Memar pada bagian tubuh berpengaruh terhadap penilaian mutu karkas, begitu juga adanya bulu yang menempel pada kulit karkas. Tabel 4 memperlihatkan rataan persentase mutu karkas ayam dari berbagai teknik pemotongan dan pencabutan bulu yang dilakukan di laboratorium dengan penilaian menggunakan SNI 1998. Pemotongan ayam dengan dimasukkan dalam corong dan pencabutan bulu dengan tangan (CT) menghasilkan persentase mutu karkas terbaik (mutu I) 36

sebesar 66,67%, disusul pemotongan dengan digantung dan pencabutan bulu dengan tangan (GT), yaitu 57,63%. Persentase mutu karkas terendah (mutu III) paling banyak (30%) dihasilkan oleh pemotongan dengan dimasukkan dalam corong dan cabut bulu dengan mesin (CM). Persentase tertinggi mutu I pada CT tersebut diperoleh karena teknik pemotongan dengan menggunakan corong menyebabkan ayam tidak banyak mengalami benturan dengan benda keras yang bisa menyebabkan terjadinya memar, dan pencabutan bulu dengan tangan menyebabkan kondisi ayam terlihat utuh dan bersih. Walaupun metode pencabutan bulu dengan tangan

kurang efisien karena membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan pencabutan bulu menggunakan mesin, dengan persentase karkas mutu I yang tinggi diharapkan harga jualnya lebih baik. Rataan skor uji organoleptik terhadap warna dan penampakan karkas, baik pada karkas utuh maupun potongan karkas hasil pemotongan ayam di laboratorium menunjukkan bahwa warna karkas ayam utuh yang paling disukai panelis adalah yang dihasilkan dengan teknik pemotongan digantung dan cabut bulu dengan mesin (GM) dengan skor 3,04 (suka), sedangkan untuk warna potongan karkas, panelis menyukai karkas yang dibeli di pasar dengan skor 3,10 (suka). Untuk penampakan karkas ayam utuh, panelis menyukai hasil pemotongan dengan corong dan cabut bulu dengan mesin (CM) dengan skor 3,04 (suka), sedangkan untuk penampakan potongan karkas, skor tertinggi adalah karkas hasil pemotongan dengan corong dan cabut bulu dengan mesin (CM) dengan skor 3,04 (suka). Warna dan penampakan potongan karkas yang paling tidak disukai adalah yang dihasilkan dengan pemotongan menggunakan tangan dan pencabutan bulu dengan tangan, dengan skor masing-masing 1,91 dan 2,09.

KETERSEDIAAN SARANA PEMOTONGAN DI RPA Ketersediaan sarana pemotongan ayam di RPA sangat penting untuk berlangsungnya proses pemotongan dan untuk menghasilkan ayam potong ber-

Tabel 4. Persentase mutu karkas berdasarkan perlakuan teknik pemotongan dan pencabutan bulu. Mutu karkas I II III

Persentase mutu karkas berdasarkan perlakuan TT

TM

GT

GM

CT

CM

P

53,33 33,33 13,34

36,36 38,19 25,45

57,63 28,81 13,56

55 21,67 23,33

66,67 16,67 16,66

40 30 30

54,84 29,03 16,13

TT = pemotongan dengan tangan, cabut bulu dengan tangan; TM = pemotongan dengan tangan, cabut bulu dengan mesin; GT = pemotongan dengan digantung, cabut bulu dengan tangan; GM = pemotongan dengan digantung, cabut bulu dengan mesin; CT = pemotongan dengan masuk corong, cabut bulu dengan tangan; CM = pemotongan dengan masuk corong, cabut bulu dengan mesin; P = karkas dibeli dipasar. Sumber: Triyantini et al. (2000).

Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003

kualitas baik. Sarana pemotongan ayam di RPA tradisional sangat berbeda dengan di RPA modern yang serba otomatis (Abubakar et al. 1998). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa hanya sekitar 20− 50% RPA yang menyediakan tempat penyimpanan sementara secara khusus dan tempat istirahat ayam sebelum dipotong. RPA yang baik minimal mempunyai tempat penyimpanan sementara, tempat ayam diistirahatkan sebelum dipotong, tempat pemotongan khusus, ruang pembersihan bulu dengan ketersediaan air yang cukup, ruang pemotongan karkas dan organ dalam, ruang pengkelasan, ruang pengemasan, ruang pendinginan, dan tempat pengolahan limbah pemotongan. Tempat penyimpanan sementara sebagian besar hanya ada di halaman RPA yang kadang kala berfungsi juga untuk tempat kendaraan/alat angkut ayam. Hanya 50−83% RPA yang mempunyai tempat pemotongan secara khusus, sebagian yang lain tempat pemotongan bersatu dengan tempat penyimpanan sementara, bahkan ada yang bersatu dengan tempat pembersihan bulu dan cenderung kurang bersih. Untuk ruang pembersihan bulu, 10−66% RPA menyediakannya secara khusus. Di ruang ini tersedia mesin sederhana pencabut bulu, dan untuk pencabutan bulu menggunakan tangan tersedia alas plastik. Hanya 20−33% RPA yang menyediakan tempat khusus pemotongan karkas/pengeluaran organ dalam. Sebagian besar RPA tidak menyediakan tempat tersebut karena bersatu dengan ruang pencabutan bulu, bahkan ada yang bersatu dengan ruang pemotongan ayam, sehingga keadaan karkas kurang bersih. Ruang pengkelasan atau sortasi/ penentuan kelas karkas tersedia di RPA Bandung, Tangerang, dan Semarang, meskipun baru 6,60–28,50% yang memilikinya. Namun, ruang pengkelasan lebih sering tidak digunakan karena RPA tidak melakukan pengkelasan untuk karkas ayam. Ruang pengkelasan sering digunakan untuk menyimpan karkas sebelum dijual ke pasar. Ruang pengemasan karkas baru dimiliki RPA Bandung, Tangerang, dan Semarang, itu pun hanya sekitar 6,60−28,50% dari jumlah RPA yang ada di daerah tersebut. Pengemasan dilakukan sebelum penyimpanan sementara. Hanya tiga RPA di Bandung dan satu RPA di Tangerang yang menyediakan ruang penyimpanan dingin untuk karkas yaitu berupa Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003

freezer. Untuk tempat pengolahan limbah pemotongan, tidak ada RPA yang menyediakannya secara khusus, karena limbah kotoran dibuang secara langsung, sedangkan limbah bulu ayam ditampung di keranjang plastik atau drum plastik yang selanjutnya diambil secara berkala oleh petugas pengumpul bulu. Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan tersedianya sarana pemotongan yang baik dan lengkap di RPA, yaitu dapat meningkatkan jumlah dan mutu karkas, sehingga dapat memenuhi permintaan pasar secara kontinu, serta memudahkan pengawasan kesehatan ayam yang dipotong sekaligus kesehatan karkas yang dihasilkan.

KONSEP HACCP DALAM PERSPEKTIF KEAMANAN PANGAN Tuntutan pasar akan mutu dan kesehatan pangan semakin tinggi dengan dikenalkannya konsep HACCP untuk pangan. Konsep HACCP cukup penting dalam mengantisipasi liberalisasi perdagangan, di mana produk dihadapkan pada daya saing harga dan tuntutan kualitas yang semakin disadari oleh masyarakat konsumen. Konsep HACCP pertama kali dikemukakan tahun 1972 di Amerika pada konferensi nasional tentang perlindungan pangan. Konsep ini kemudian berkembang dan dimanfaatkan oleh kalangan industri makanan di Inggris. Pada tahun 1993, Codex menetapkan konsep HACCP sebagai alat manajemen keamanan pangan. Beberapa negara Asean telah pula menetapkan konsep HACCP sebagai upaya menunjang program jaminan mutu. Prinsip dasar penerapan konsep ini pada hakekatnya lebih ditekankan pada upaya pencegahan daripada pemeriksaan. Konsep HACCP didefinisikan sebagai suatu metode pendekatan kepada identifikasi dan penetapan hazard serta risiko yang ditimbulkan berkaitan dengan proses produksi, distribusi, dan penggunaan makanan oleh konsumen dengan maksud untuk menetapkan pengawasannya sehingga diperoleh produk yang aman dan sehat. HACCP merupakan suatu pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi hazard dan menetapkan upaya pengawasannya. Hazard merupakan titik rawan terhadap pencemaran, baik yang sifatnya mikrobiologi, kimia maupun fisik

yang secara potensial dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Critical control point (CCP) merupakan langkah atau prosedur di mana tindak pengawasan dilaksanakan untuk mengeliminasi, mencegah atau memperkecil hazard sampai pada tingkat yang tidak membahayakan. Dengan menitikberatkan pada pengawasan serta faktor kunci yang dapat mempengaruhi keamanan dan kualitas pangan, maka petugas pengawas, produsen maupun konsumen dapat menjamin tingkat keamanan pangan (American Meat Institute Foundation 1994). Prinsip pelaksanaan HACCP adalah: 1) mengidentifikasi hazard dan memperkirakan kemungkinan bahaya yang ditimbulkan (hazard analysis) pada mata rantai pangan serta menetapkan langkahlangkah pengendaliannya sampai pada tingkat yang tidak membahayakan; 2) menetapkan CCP atau titik tindak pengawasan yang diperlukan untuk pengendalian bahaya, yaitu titik tindak pengawasan yang dapat menjamin keamanan produk dan titik tindak yang hanya dapat memperkecil kemungkinan bahaya yang timbul akibat pencemaran; 3) menetapkan kriteria/pengawasan yang menunjukkan pengawasan pada CCP yang ditetapkan tersebut telah berjalan sesuai prosedur; 4) menetapkan dan menerapkan prosedur untuk memonitor setiap CCP, misalnya pemeriksaan, fisik/ kimia, organoleptik, biologis dan pencatatan terhadap faktor-faktor penting lainnya yang diperlukan untuk kontrol; 5) menetapkan tindakan yang perlu diambil apabila kriteria yang ditetapkan untuk mengawasi CCP tidak berjalan sebagaimana mestinya; 6) verifikasi kembali dengan menggunakan informasi pendukung dan pengujian untuk meyakinkan bahwa HACCP tersebut dapat dilaksanakan oleh bagian pengawasan kualitas atau pihak lain sebagai unsur pengawas; dan 7) menetapkan cara pencatatan dan dokumentasi (International Meat and Poultry HACCP Alliance 1996).

PENERAPAN KONSEP HACCP DALAM PEMOTONGAN AYAM DI RPA Dalam menerapkan sistem HACCP diperlukan evaluasi hazard mulai dari pra-produksi, produksi sampai pasca37

produksi dengan urut-urutan tertentu. Di tempat usaha pemotongan ayam, evaluasi dilakukan sejak penerimaan/penyimpanan ayam hidup sampai pada tahap penyimpanan hasil pemotongan. Hasil penelitian penulis di beberapa daerah menunjukkan bahwa konsep HACCP belum dapat diterapkan untuk proses pemotongan yang sangat sederhana. Kegiatan atau aktivitas yang disyaratkan HACCP sebagian besar tidak dilakukan oleh RPA karena sarana tidak tersedia. Aktivitas yang tidak dilakukan oleh RPA adalah menggantung ternak sebelum dipotong, pemingsanan ternak, penggantungan kembali setelah dipotong, pemotongan pundi-pundi secara langsung, pemeriksaan karkas/daging dan organ dalam, pengambilan paru-paru, pemotongan retail, trimmer, pencucian akhir, penyimpanan dingin, pengkelasan, pengepakan, dan penyimpanan akhir. Dibandingkan dengan konsep HACCP yang disyaratkan tersebut, maka hanya 50% kegiatan/aktivitas yang dapat dilakukan oleh RPA. Kesulitan penerapan konsep HACCP di RPA tidak hanya karena tidak adanya sarana, tetapi juga oleh faktor ketidaktahuan pengusaha pemotongan, ketidakpraktisan proses pemotongan, dan tidak adanya pembinaan dari dinas peternakan setempat. Konsep HACCP memang sangat ideal untuk diterapkan, tetapi memerlukan investasi yang besar untuk pengadaan sarana RPA. Untuk itu, konsep ini perlu dimodifikasi atau disederhanakan sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah dengan tidak mengurangi prinsip-prinsip pemotongan ayam dan memenuhi syarat kesehatan dan kebersihan karkas ayam yang dihasilkan. Konsep tersebut diharapkan dapat diterapkan pada daerah-daerah yang tidak tersedia RPA modern atau jauh dari kota-kota besar yang mempunyai RPA semimodern. Dari hasil penelitian penulis, pembinaan oleh dinas peternakan setempat sangat kurang, malahan masih banyak RPA yang tidak mempunyai ijin

operasional, sehingga keberadaannya tidak diketahui oleh dinas peternakan. Hanya RPA di Tangerang yang sudah melaksanakan peraturan daerah (Perda) setempat mengenai pemungutan retribusi pemotongan ayam, sejak tahun 2000, sekaligus dilakukan pengontrolan kegiatan pemotongan ayam sekali seminggu oleh petugas kesehatan masyarakat veteriner. Di daerah lain, perda mengenai hal tersebut sedang dalam proses penyelesaian. Pembinaan RPA oleh dinas peternakan diharapkan dapat membantu mengontrol aktivitas RPA yang menyimpang sekaligus untuk menerapkan perda dalam pengumpulan retribusi pemotongan ayam.

KENDALA DAN PERMASALAHAN DI RPA SERTA CARA PENANGGULANGANNYA Setiap usaha untuk mendorong meningkatkan perekonomian masyarakat biasanya terdapat hambatan, kendala serta permasalahan. Permasalahan yang ada antara lain adalah lokasi RPA yang terletak di sekitar warga/perkampungan sehingga menimbulkan polusi bau, serta perijinan yang sulit atau tidak mendapat ijin dari Pemda karena suatu hal sehingga pengusaha tidak/segan mengurus ijin usaha. Permasalahan tersebut dapat ditanggulangi dengan melakukan relokasi ulang terhadap RPA yang tidak sesuai dengan tata kota dan mempermudah atau menyederhanakan prosedur perijinan RPA. Permasalahan dan kendala lain adalah kurang stabilnya harga ternak, serta tidak tersedianya ternak hidup pada saat permintaan sedang tinggi, serta daya beli konsumen yang rendah. Penanggulangan dapat dilakukan dengan membentuk asosiasi antar-RPA, serta kemitraan antara pengusaha/peternak ayam, RPA dan para pelanggan/pedagang karkas ayam, sehingga masalah

ketersediaan ternak, stabilitas harga, serta daya beli/permintaan karkas ayam yang rendah dapat teratasi dengan baik.

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian lapang di RPA dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1) Keberadaan RPA tradisional dapat membantu pengadaan karkas ayam di daerah setempat, walaupun sarananya kurang memadai. Proses pemotongan di RPA tradisional masih sangat sederhana dan belum memenuhi syarat, terutama yang terdapat dalam konsep HACCP. Akibat pemotongan yang sederhana, hanya sekitar 50% karkas yang mutunya masuk mutu I (sangat baik) sesuai dengan SNI. 2) Pemotongan ayam di laboratorium dengan cara dimasukkan dalam corong dan pencabutan bulu dengan tangan menghasilkan karkas mutu I yang terbaik. Saran yang dapat dikemukakan adalah: 1) Perlu ada pembinaan yang serius dan kontinu dari dinas peternakan setempat terhadap RPA tradisional untuk menjaga kelangsungan pengadaan karkas ayam dan meningkatkan mutu karkas. 2) Untuk menjaga kontinuitas pasokan ternak ayam, serta stabilitas harga ayam dan karkas, disarankan dibentuk asosiasi antar-RPA, dan kemitraan antara pengusaha peternak ayam, RPA dan para pelanggan/pedagang karkas ayam di setiap kabupaten/ kota. 3) Konsep HACCP perlu disederhanakan sesuai keadaan daerah dan kondisi setempat sehingga dapat diterapkan secara bertahap.

DAFTAR PUSTAKA Abubakar, C.H. Sirait, dan N. Cahyadi. 1991. Kondisi rumah potong ayam di P. Jawa. Prosiding Seminar Pengembangan Peternakan dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi Nasional. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. hlm. 27−30.

38

Abubakar, Triyantini, dan H. Setiyanto. 1991. Kualitas fisik karkas broiler (Studi kasus di empat ibukota Propinsi P. Jawa). Prosiding Seminar Pengembangan Peternakan dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi Nasional. Fakultas Pertanian Universitas

Jenderal Soedirman, Purwokerto. hlm. 31− 35. Abubakar. 1992. Grading karkas broiler. Prosiding Seminar ISPI Bogor. Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia Caringin, Bogor. hlm. 12−14.

Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003

Abubakar, C.H. Sirait, Triyantini, S. Hadi, dan M. Tribudi. 1992. Laporan Penelitian Residu Pestisida Antibiotika dan Standarisasi Kualitas Karkas Broiler untuk Ekspor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor. hlm. 2−4.

untuk meningkatkan nilai tambah hasil ternak dalam usaha merangsang pertumbuhan agroindustri. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 170−176.

Abubakar, C.H. Sirait, dan N. Cahyadi. 1994. Standarisasi karkas broiler (Studi kasus di Medan, Lampung, dan Denpasar). Prosiding Pertemuan Nasional Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Peternakan. Sub Balai Penelitian Ternak. Klepu, Semarang. hlm. 20−24.

Abubakar, Triyantini, H. Setiyanto, Supriyati, Sugiarto, dan M. Wahyudi. 2000. Laporan akhir penelitian, survai potensi ketersediaan bulu ayam, cara pengolahan dan pemotongan ternak ayam di TPA. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor (belum dipublikasi). hlm. 10−15.

Abubakar dan M. Wahyudi. 1994. Pengaruh pemotongan sebelum atau sesudah rigor mortis terhadap penampakan karkas broiler. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. hlm. 135−139.

American Meat Institute Foundation. 1994. HACCP: The Hazard Analysis Critical Control Point in the Meat and Poultry Product. The American Meat Institute Foundation, Washington, DC. p. 1−5.

Abubakar, Triyantini, dan H. Setiyanto. 1995. Pengaruh suhu dan jenis kemasan plastik terhadap mutu karkas ayam selama penyimpanan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 847−853. Abubakar, H. Setiyanto, Triyantini, dan R. Sunarlim. 1998. Teknologi pascapanen

Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003

Anonymous. 1995. Laporan Utama Poultry Indonesia. Juli No. 197. Margie Group, Jakarta. hlm. 3. Badan Agribisnis. 1995. Sistem, strategi dan program pengembangan agribisnis. Badan Agribisnis, Jakarta. hlm. 3−4. International Meat and Poultry HACCP Alliance. 1996. Generic HACCP Model for poultry slaughter. The International Meat

and Poultry HACCP Alliance, Kansas City, Missouri. p. 2−5. Ensminger. 1998. Poultry Science. The Interstate Printer and Publisher, Denvile. p. 10−11. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. hlm. 5−6; 11−12. Standar Nasional Indonesia. 1998. Kumpulan Standar Nasional Indonesia (Subsektor Peternakan Jilid I) Ditjen Peternakan, Jakarta. hlm. 8−9. Triyantini, Abubakar, R. Sunarlim, dan H Setiyanto. 2000. Mutu karkas ayam hasil pemotongan berbeda. Prosiding Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner, 18− 19 September. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 391− 398. USDA. 1973. Standar for Quality and Grades. Poultry Grading and Inspection Agricultural Marketing. Definition and Illustration of US. Washington, DC p. 9−10. Zweighert, P. 1981. Meat Science and Technology. The Science of Meat and Meat Product. WH. Freeman Co, San Francisco. p. 41−42.

39