NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENGEMBANGAN

Download Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter dengan .... hakikat dunia, pengetahuan, dan nilai-nilai yang d...

0 downloads 589 Views 572KB Size
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER DI ERA GLOBAL Hatamar Rasyid Email: [email protected] Abstract (The Globalization Era has tremendous impact to the development of inter-human life in the world, both effects are positive or negative. Of course this has become serious enough challenge for both educators and government. Current challenges and the future of how we are able to put character education as the strength of the nation. Therefore, policies and implementation of education-based character by considering different values of local wisdom (local wisdom, genius) in school is very important and strategic in order to build charater and nation. Local knowledge can serve as a source of noble values for which purpose. The formation of character is one of the objectives to be achieved in the implementation of national education (UU Sisdiknas). In Article 1, Act No. 20 of 2003 on National Education System, stated that among the objectives of national education is to develop the potential of learners to have the intelligence, personality and noble character. Impelentation of these laws mean that education is not only establish Indonesia intelligent beings, but also personality or character, so that will be born generation of people who grow up with a character that breathes noble values of the nation and religion). *** Era globalisasi telah memberikan dampak yang luar biasa bagi perkembangan kehidupan antar manusia di muka bumi, baik dampak yang bersifat positif maupun negatif. Tentu hal ini menjadi tantangan yang cukup serius baik bagi kalangan pendidik maupun pemerintah. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

|1

Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter dengan mempertimbangkan berbagai nilai-nilai kearifan lokal ( local wisdom, genius) di sekolah menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Kearifan lokal dapat berfungsi sebagai salah satu sumber nilai-nilai yang luhur bagi maksud tersebut. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan pendidikan nasional. Pada Pasal 1, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah undang-undang tersebut bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Keywords: Nilai-Nilai Kearifan Lokal, Pendidikan Karakter, Globalisasi, pembangunan identitas dan jati diri. A. PENDAHULUAN Pembangunan nasional dalam segala bidang yang telah dilaksanakan selama ini tidak dapat dipungkiri memang mengalami berbagai kemajuan. Namun, ditengah-tengah kemajuan tersebut terdapat dampak negatif, yakni terjadinya pergeseran nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pergeseran sistem ini

tampak dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, seperti penghargaan terhadap nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas sosial, musyawarah mufakat, kekeluargaan, sopan santun, kejujuran, rasa malu, dan rasa cinta tanah air yang kecendrungannya semakin memudar. Solusi lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

|2

mengurangi masalah budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah melalui pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif, karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. 1 Persoalan pendidikan merupakan persoalan yang sangat kompleks, karena diperlukan adanya partisipasi nyata dari masyarakat. Pendidikan juga tidak bisa lepas dari karakter dan budaya. Sekolah adalah sebagai bagian dari pranata untuk membangun karakter dan budaya. Pendidikan memiliki pengaruh terhadap perkembangan kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok, dan kehidupan individu. Pendidikan mampu menentukan model manusia yang akan dihasilkannya.

1 Aqib, Z. (2011). Panduan & alikasi pendidikan karakter untuk: SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK. Bandung: Yrama Widya. hal. 25

Pendidikan juga memberikan kontribusi yang besar terhadap kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan kontribusi, serta sarana dalam membangun watak bangsa 2 (Nation and Character). Salah satu model pendidikan yang menjadi perbincangan serius beberapa tahun terakhir ini adalah pendidikan karakter. Pendidikan karakter menjadi perhatian hampir semua komponen bahkan pemerintah di era pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono menaruh perhatian khusus terhadap pendidikan karakter ini. Hal itu dipicu oleh adanya berbagai krisis kebangsaan baik pada bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, maupun pada bidang agama dan pendidikan. Selain itu di dunia pendidikanpun mengalami krisis identitas, yaitu menurunnya nilai-nilai moral,

2

Ibid. hal 26-27

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

|3

misalnya adanya sikap tidak jujur dalam ujian, adanya perkelahian antar pelajar, adanya pelecehan seksual oleh sebagain tenaga pendidik terhadap siswa didikanya, dan masalah-masalah penyimpangan lainnya. Hilangnya nilai-nilai kebersamaan sebagai bangsa maupun karakter masyarakat yang menyimpang dari nilai-nilai luhur yang selama ini menjadi ciri dan kebanggan bangsa Indonesia menjadi keprihatinan bersama, sehingga dibutuhkan adanya pendidikan karakter. Pada prinsipnya pendidikan karakter di Indonesia sudah dilakukan sejak zaman Ki Hajar Dewantara, tetapi kemudian tergerus dengan adanya nilainilai modern yang masuk dengan begitu derasnya, termasuk adanya pengaruh yang kuat dari arus globalisasi. Pendidikan karakter sekarang ini masih dipandang sebagai wacana dan belum menjadi bagian yang terintegrasi dalam pendidikan

formal, padahal pendidikan di Indonesia sudah memiliki mata pelajaran pancasila, kewarganegaraan, budi pekerti, dan sejenisnya. Globalisasi adalah sebuah era yang antara satu peradaban atau kebudayaan mempengaruhi peradaban dan kebudayaan lainnya, sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan mondialnya arus komunikasi. Tanpa dipungkiri kebudayan dan peradaban Barat saat ini sangat mempengaruhi berbagai sendi kehidupan di berbagai belahan dunia timur. Globalisasi menjadikan kebudayaan Barat sebagai trend kebudayaan dunia. Kebudayaan Barat yang didominasi budaya Amerika yang sarat dengan konsumerisme, hedonisme dan materialisme menjadi kebudayaan global dan kiblat bagi kebudayaankebudayaan di negara-negara berkembang. Budaya global ini melanda dunia ditandai dengan hegemonisasi gaya hidup (life

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

|4

style). Bersamaan dengan itu, era modern telah melahirkan banyak kreasi berbagai fasilitas untuk mempermudah memenuhi kebutuhan manusia. Fasilitas dan peralatan yang canggih hasil kreasi manusia itu mengalirkan nilai-nilai baru dari luar, yaitu peredaran dan pertukaran 3 kebudayaan. Dunia akan terus mengalami revolusi Four Ti (Technology,Telecomunication, Transportation, Tourism) yang memiliki globalizing force yang dominan sehingga batas antar daerah dan antar negara semakin kabur, dan akan tercipta sebuah global village. Hal ini menjadikan kebudayaan yang berkembang sangat banyak meninggalkan rumusan aslinya. Kecanggihan media komunikasi dan informasi sebagai produk era modern telah mampu 3 Fu, Jean Hoying & Chiu, Chi Yue. 2007. “Local Culture's Responses to Globalization. Exemplary Persons and Their Attendant Values”. Journal of Cross-Cultural Psychology September 2007 vol. 38 no. 5. Hal. 24

mentransfer kebudayaan ke seluruh penjuru sendi kehidupan masyarakat global dengan sangat mudah dan cepat. Datangnya kebudayaan global tersebut menimbulkan akulturasi yang tidak jarang menghempaskan nilai-nilai kebudayaan asli (lokal) dari akarnya yang kemudian menggantikan eksistensinya. Padahal, kebudayaan asing ini terkadang tidak cocok atau bahkan bertentangan dengan nilai dan norma kebudayaan lokal. Salah satu problem dari globalisasi adalah bagaimana membangun karakter masyarakat melalui pendidikan, baik pendidikan formal maupun non fomal khususnya melalui nilai-nilai kearifan lokal. 4 Dalam perspektif antropologi, Indonesia terdiri dari ratusan suku. Dalam suku bangsa Indonesia ini memiliki kebudayaan sendiri, memiliki nilai-nilai luhur sendiri, dan

4

Ibid. hal 25

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

|5

memiliki keunggulan lokal atau kearifan lokal (local wisdom) sendiri. Sedangkan dalam perspektif pendidikan dikatakan bahwa pendidikan merupakan transformasi sistem sosial budaya dari satu generasi ke generasi yang lain dalam suatu prosess masyarakat. Tilaar menjelaskan bahwa pendidikan merupakan “proses pembudayaan”. Dengan kata lain, pendidikan dan kebudayaan memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Ketika berbicara tentang pendidikan, maka kebudayaan pun ikut serta di dalamnya. Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan dan begitu pula praksis pendidikan selalu berada dalam lingkup kebudayaan. Dalam konteks itulah, menurut Chaidar Alwasilah lahir pendidikan bermakna deliberatif, yaitu “setiap masyarakat berusaha mentransmisikan gagasan fundamental yang berkenaan dengan hakikat dunia,

pengetahuan, dan nilai-nilai yang dianutnya.” Hal inilah yang kemudian melahirkan istilah Etnopedagogi, yaitu praktek pendidikan berbasis kearifan lokal. 5 Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilainilai karakter kepada warga sekolah dan masyarakat yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran

5 Susanti, Retno, 2011. “Membangun Pendidikan karakter di Sekolah: Melalui Kearifan Lokal”, Makalah disampaikan pada Persidangan Dwi. Hal. 5

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

|6

dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. 6 Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan normanorma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dengan demikian, pendidikan

karakter adalah upaya sistematis untuk mengembangkan seluruh potensi lahiriah, batiniah dan ‘aqliyah guna membangun perilaku yang sesuai dengan nilai yang berkembang di masyarakat dan yang bersumber dari nilainilai agama. Persoalannya adalah bagaimana nilai-nilai kearifan lokal dapat dijadikan sebagai salah satu landasan dalam membangun karakter di tengahtengah terpaan globalisasi yang terus bergerak merengsek ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat dewasa ini. Tulisan ini mencoba mengelaborasi dan mengeksplorasi, serta mencari hubungan dialektis antara nilainilai kearifan lokal (local wisdom, local genius) dengan pengembangan pendididikan karakter ditengah tantangan kehidupan global dewasa ini.

6 (http://persemaian2013.org/apa-sihpendidikan-karakter-bangsa/ diakses pada hari Sabtu tgl 30 april 2016 jam 11.05).

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

|7

B. PENDIDIKAN KARAKTER Pendidikan karakter bagi bangsa Indoensia adalah sesuatu yang urgen yang harus diajarkan dan dijadikan teladan. Murid atau peserta didik tidak hanya harus dicerdaskan secara intelektual dan emosional, namun juga karakternya perlu dibangun agar nantinya tercipta pribadi yang unggul dan berakhlak mulia. Pendidikan karakter sangatlah penting, maka dari itu pemerintah mewajibkan belajar 9 tahun. Dalam pelaksanaan pendidikan, salah satunya pendidikan karakter, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMENDIKBUD) mencantumkan pendidikan karakter yang bisa membangun bangsa untuk masa depan Indonesia. 7

7

Amri. S dkk.2011. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran: Strategi Analisis dan Pengembangan Karakter Siswa dalam Proses Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. hal. 27

Berbagai masalah yang menimpa bangsa Indonesia sejak reformasi 1998 dan berbagai krisis moral dan mental yang terjadi pada bangsa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menyadarkan semua pihak akan pentingnya pendidikan karakter, terutama bagi generasi muda para siswa dan siswi di sekolah. Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter inipun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Tujuan pendidikan karakter adalah sebagai peningkatan wawasan, perilaku, dan ketrampilan, dengan berdasarkan 4 pilar pendidikan. Tujuan akhirnya adalah terwujudnya insan yang berilmu dan berkarakter. Namun, pendidikan karakter belum menunjukkan hasil yang mengembirakan. Hal tersebut

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

|8

diantaranya disebabkan oleh pemahaman orang tua yang masih minim, lingkungan anak didik yang tidak kondusif bagi tumbuh kembang emosi dari psikologisnya, dan situasi negara yang menumbuhsuburkan jiwa koruptif. 8 Pentingnya menanamkan karakter dalam proses pendidikan menggugah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk memasukkan tujuan pendidian karakter dalam peraturan dan perundangan negara kita. Dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional

8

Susanti, Retno, hal. 2

bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab .9 Urgensi penanaman karakter dan nilai-nilai integritas pendidikan yang strategis bagi peserta didik dengan adanya sinergitas tujuan dan fungsi pendidikan menjadi perhatian semua pihak terutama Komisi Pendidikan di DPR RI dengan menyebutkan pasal-pasal khusus dalam Undang-Undang Sisdiknas. Misalnya pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan

9

Ibid. hal. 125

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

|9

lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik (Retno Susanti, 10 Sebagai benteng pendidikan utama, keluarga adalah lembaga pertama dalam menanamkan berbagai nilai-nilai pendidikan kepada anak, terutama menanamkan pendidikan karakter. Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian

10

Ibid. hal. 125

kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .Oleh sebab itu sangat jelas sekali bahwa fungsi dan tujuan pendidikan di setiap jenjang berkaitan secara sinergitas

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 10

dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Keberhasilan bangsa China dalam mengembangkan kesadaran masyarakatnya akan tantangan dan persaingan global dewasa ini menyebabkan mereka dengan segera menjadi negara yang mampu bersaing dengan negara dan bangsa maju lainnya, baik di Asia maupun pada tingkat dunia, sebagai hasil dari pengembangan karakter bangsa China, bukan hanya pengembangan wawasan dan pengetahuan saja. Hal ini menurut Retno Susanti (2011: 2) dengan mengutip dari Ali Ibrahim Akbar (2000: 25) dapat dibuktikan dari hasil penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh

kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, bahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan normanorma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Lebih lanjut menurut Retno 11 menejelaskan pentingnya

11

Ibid. hal. 4

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 11

kemampuan soft skills dibandingkan hard skills ini diperkuat oleh pandangan Fasli Jalal, Wakil Menteri Pendidikan Nasional di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono yang menegaskan bahwa pendidikan karakter memiliki makna penting bagi bangsa dan negara, tertama dalam menciptakan kader-kader pembangunan bangsa yang berkarakter dan bermoral. Beliau menjelaskan bahwa pendidikan karakter sangat erat dan dilatar belakangi oleh keinginan mewujudkan konsensus nasional yang berparadigma Pancasila dan UUD 1945. Konsensus tersebut selanjutnya diperjelas melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab”. Lebih jauh Wamen Diknas Era Pemerintahan SBY, Fasli Jalal dengan mengacu kepada pasalpasal pada UU Sisdiknas di atas, mengungkapkan bahwa telah terdapat 5 dari 8 potensi peserta didik yang implementasinya sangat melekat dengan tujuan pembentukan pendidikan karakter. Kelekatan inilah yang menjadi dasar hukum begitu pentingnya pelaksanaan pendidikan karakter. Fasli pun mengatakan bahwa, pada dasarnya pembentukan karakter itu dimulai dari fitrah yang diberikan Ilahi, yang kemudian membentuk jati diri dan prilaku. Dalam prosesnya sendiri fitrah Ilahi ini sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 12

lingkungan memilki peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan prilaku. Oleh karena itu sekolah sebagai bagian dari lingkungan memiliki peranan yang sangat penting. Fasli Jalal menganjurkan agar setiap sekolah dan seluruh lembaga pendidikan memiliki school culture , dimana setiap sekolah memilih pendisiplinan dan kebiasaan mengenai karakter yang akan dibentuk. Oleh sebab itu salah satu kewajiban yang harus dilakukan para pemimpin dan pendidik lembaga pendidikan tersebut agar mampu memberikan suri teladan mengenai karakter tersebut. Memang banyak perdebatan tejadi antara para expert pendidikan dan dan kalangan lainnya apakah content pendidikan karakter harus dimasukkan dalam kurikulum atau tidak, jika dimasukkan dalam struktur kurikulum, apakah integrated atau

separated atau tidak. Tentu perdebatan tentang hal ini sangat lumrah dan menunjukkan bahwa pendidikan karakter memang memiiki makna dan urgensi yang sangat penting bagi pembangunan bangsa. Sementara Fasli Jalal sendiri menegaskan bahwa hendaknya pendidikan karakter ini tidak dijadikan kurikulum yang baku, melainkan dibiasakan melalui proses pembelajaran. Selain itu mengenai sarana-prasarana, pendidikan karakter ini tidak memiliki sarana-prasarana yang istimewa, karena yang diperlukan adalah proses penyadaran dan pembiasaan. C. NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER Secara historis-geneologis, pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etisspiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 13

menurut Foerster. Pertama, keteraturan interior dengan setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Itu dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh oleh atau desakan dari pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen

yang dipilih. Karakter itulah yang menentukan bentuk seorang pribadi dalam segala 12 tindakannya. Pembentukan nikai-nilai karakter yang ideal juga menjadi tujuan pendidikan nasional yang juga membentuk watak peserta didik agar memiliki akhlak dan moralitas serta nilai-nilai ajaran agama yuang dianutnya sehingga dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Harapannya, lulusan pendidikan memiliki kepekaan untuk membangun silaturrahmi, toleransi, dan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Selain itu juga, pendidikan Indonesia menemukan kembali ideologi pendidikan yang sempat hilang 12

Masruroh, F. (2011). Implementasi pendidikan karakter di sekolah dasar sebagai upaya pengembangan kepribadian siswa (studi berdasarkan pendidikan karakter di sekolah dasar anak sholeh di Malang). Tesis S-2 Program Studi Magister Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan tidak dipublikasikan: Universitas Muhamadiyah Malang (UMM). Hal. 6

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 14

dan tidak terarah, yakni pendidikan demogratis bermoral pancasila sesuai dengan pernyataan pencetus pendidikan karakter yaitu pedagogik Jerman FW Foerster tahun 1869-1966 yang menekankan dimensi etisspiritual dalam proses pembentukan pribadi. Pendidikan karakter itu sendiri merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat 13 hilang. Oleh karena itu para ahli dan praktisi dalam pendidikan semakin menyadari betapa pentingnya peranan pendidikan afektif dalam pencapaian tujuan pendidikan yang sebenarnya. Tujuan tersebut ialah bahwa peserta didik mampu dan mau mengamalkan pengetahuan yang diperoleh dari dunia pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih setelah muncul suatu penemuan bahwa EQ (Emotional

13

Ibid. hal 24

quotient) menyambung 80% terhadap keberhasilan seseorang dalam kehidupan, dibandingkan dengan IQ yang hanya menyambung 20%. Sehingga menguatkan bahwa “keseimbangan antara zikir (menyadari kekuasaan Allah) dan pikir (mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, menyintesis dan mengevaluasi) merupakan ajaran Islam yang kebenarannya telah terbukti secara empiris, yakni terbentuknya akhlak mulia dan kecerdasan secara terpadu”. 14 Menurut teori memang setiap anak lahir dengan temperamen, kebutuhan, dan bakatnya masing-masing. Tidak ada yang salah dengan segala perbedaan tersebut karena sejatinya setiap anak mempunyai potensi untuk mengembangkan karakter yang baik dan menjadi kontribusi

14

Aqib :26-27

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 15

positif untuk masyarakat, kelak setelah dia dewasa.15 Kepedulian terhadap pengembangan aspek afektif banyak yang difokuskan pada segi evaluasi, termasuk perumusan tujuan instruksional. Pada akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia, banyak yang tertarik pada prosesnya, yakni proses pengembangan ketrampilan afektif. Ketrampilan afektif disini dimaksudkan meliputi ketrampilan intra pribadi yang berkaitan dengan kemampuan mengola diri sendiri dan ketrampilan antarpribadi yang berhubungan dengan pengembangan kemampuan mengadakan hubungan antarpribadi antar sesama manusia yang lain. Kepedulian tersebut dilandasi sebuah kesadaran bahwa tanpa adanya keterpaduan antara aspek afektif

dan kognitif, perasaan dan pikiran, atau dzikir dan pikir, tidak akan dapat dihasilkan sumber daya manusia yang berilmu amaliah dan beramal ilmiah. Hal itu juga telah menjadi salah satu alasan penerapan pendidikan karakter di beberapa sekolah yang sudah menerapkannya dan juga menjadi salah satu pusat perhatian oleh pemerintah dalam pencapaian pendidikan Nasional. 16 Selain itu menurut Elkind17 pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions 16

Aqib. hal. 25 Elkind,. David and Freddy Sweet,1993. “What Makes Character Education Programs Work?” Educational Leadership (Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development, Nov. 1993. hal. 88 17

15

Priyatna, A. 2011. Parenting for character building panduan bagi orang tua untuk membangun karakter anak sejak dini. Jakarta: PT Alex Media Komputindo Kelompok Gramedia. hal. 28

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 16

of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter. Menurut Elkind,18 pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about,

18

Ibid. hal. 89

and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Menurut T. Ramli (2003: 41), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 17

anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Oleh karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional

Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosiopolitis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia. Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 18

dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa. D. Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Membangun Pendidikan Karakter di Era Globalisasi Ketika berbicara mengenai kearifan lokal yang terlintas di benak kita adalah sesuatu yang bersifat kelokalan/kedaerahan dan berasal dari jaman dahulu kala atau warisan nenek moyang. Memang benar bahwa kearifan lokal tidak bisa dipisahkan dengan suatu komunitas/daerah dimana kearifan lokal tersebut lahir dan berkembang. 19 Levitt menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan proses dan produk revitalisasi serta transformasi pengetahuan dan 19

Levitt, Kathryn M.Anderson. 2003. “Local Menaing, Global Schooling” . New york: Palgrave MacMillan. hal. 77

budaya, juga praktek-praktek adat. Tidak hanya itu kearifan lokal memungkinkan orang untuk menjadi lebih strategis dalam bernegosiasi ketika menghadapi arus globalisasi yang berupaya menyeragamkan umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Dari pendapat Levitt dapat disimpulkan 3 (tiga) hal penting, yakni: (1) bahwa kearifan lokal diciptakan oleh anggota komunitas/masyarakat itu sendiri; (2) menjadi panutan bagi anggota komunitas dalam menjalankan kehidupan seharihari; (3) kearifan lokal tidak dapat muncul begitu saja, tetapi merupakan hasil revitalisasi dan transformasi pengetahuan serta budaya. Memang benar bahwa keraifan lokal merupakan hasil cipta karya anggota masyarakat itu sendiri melalui serangkaian “ujian” sejalan dengan kehidupan komunitas/ masyarakat tersebut karena anggota masyarakat setempatlah

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 19

yang paling mengetahui segala hal secara terperinci mengenai karakteristik komunitas/ masyarakatnya. Pengetahuan/ pemahaman mengenai komunitasnya mendorong terciptanya kearifan local (local wisdom, local genius) yang bertujuan membuat kehidupan mereka menjadi lebih tertata sehingga kearifan lokal seyogyanya dipatuhi oleh semua anggota komunitas/masyarakat. dan dijadikan panutan oleh anggotanya dalam menjalani kehidupan. Tentu saja proses menjadikan anggota komunitas mau menerima, memahami, dan melaksanakan kearifan local tersebut tidak mudah dan memerlukan waktu yang 20 panjang. Kearifan lokal merupakan salah satu produk budaya. Menurut Asuncion-Lande21

20

ibid. hal. 78 Asuncion-Lande, N.C. 1990. “Intercultural Communication” . In G. L. Dahnke sand G.W. Clatterbuck (eds). “Human Communication

kebudayaan sebagai sistem simbol bersama, keyakinan, dan praktik yang diciptakan oleh sekelompok orang sebagai mekanisme adaptif untuk kelangsungan hidup dan perkembangan mereka dan kemudian ditransmisikan kepada generasi berikutnya sebagai bagian dari pengetahuan mereka. Sebagai sebuah produk budaya kearifan lokal dapat menjadi identitas komunitas / masyarakat yang membedakannya dengan komunitas / masyarakat lainnya, Setiap komunitas pasti memiliki identitas etnis yang khas sesuai dengan karakteristik masingmasing. Curran & Gurevitch (2000: 67) menyatakan bahwa identitas mengacu pada sebuah refleksi individu ataupun secara kolektif. Menurut Schement (1998: 22) etnis sebagai masalah pilihan yang mencerminkan otonomi dan penentuan nasib

21

theory: Theory and Research”; Wadsworth, Belmont, California. H. 23

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 20

diri yang lebih besar pada ranah identitas, sementara identitas etnis sebagai cerminan dari pengaruh berbagai faktor yang kompleks yang mendorong dan menarik individu terhadap penyebaran dan perpaduan atau pemeliharaan kekhasan budaya sosial dalam masyarakat yang dominan (Cornell dan Hartman, 1998; SuberviVelez, 1986). Lebih lanjut Brass (1991) menyatakan bahwa identitas etnis dapat berubah, mungkin ataupun tidak mungkin diartikulasikan dalam konteks dan waktu tertentu. Pendapat Brass tadi menjelaskan pada kita bahwa identitas etnis bisa jadi berubah ataupun tetap. Dalam hal ini kearifan local sebagai salah satu identitas etnis bias jadi berubah salah satunya disebabkan oleh adanya arus globalisasi. Kearifan lokal merupakan bagian dari konstruksi budaya. Kearifan lokal mengacu (local wisdom) pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan

berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat. Kearifan lokal secara dominan masih diwarnai nilainilai adat seperti bagaimana suatu kelompok sosial melakukan prinsip-prinsip konservasi, manajemen dan eksploitasi sumber daya alam. Perwujudan bentuk kearifan lokal yang merupakan pencerminan dari sistem pengetahuan yang bersumber pada nilai budaya di berbagai daerah di Indonesia, memang sudah banyak yang hilang dari ingatan komunitasnya. Namun, di sebagian kalangan komunitas itu walaupun sudah tidak lengkap lagi atau telah berakulturasi dengan perubahan baru dari luar, masih tampak ciriciri khasnya dan masih berfungsi sebagai pedoman hidup masyarakat.

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 21

Dalam kenyataan sejarah di Indonesia menunjukkan bahwa masing-masing etnis dan suku memiliki kearifan lokal sendiri. Misalnya saja (untuk tidak menyebut yang ada pada seluruh suku dan etnis di Indonesia), suku Batak kental dengan keterbukaan, Jawa nyaris identik dengan kehalusan, suku Madura memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan keuletan dan Suku Bangka Belitung yang terkenal dengan sikap saling tolong menolong dan kepeduliannya. Lebih dari itu, masing-masing memiliki keakraban dan keramahan dengan lingkungan alam yang mengitari mereka. Kearifan lokal itu tentu tidak muncul sertamerta, tapi berproses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka. Keterujiannya dalam sisi ini membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan

masyarakat. Artinya, sampai batas tertentu ada nilai-nilai perenial yang berakar kuat pada setiap aspek lokalitas budaya ini. Semua, terlepas dari perbedaan intensitasnya, mengeram visi terciptanya kehidupan bermartabat, sejahtera dan damai. Dalam bingkai kearifan lokal ini, masyarakat bereksistensi, dan berkoeksistensi satu dengan yang lain (Kartono Kartodirjo, 1994: 15 cf. Retno Puwanti, 2011: 8). Lebih jauh Retno menegaskan bahwa masyarakat Indonesia sudah sepatutnya untuk kembali kepada jati diri mereka melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya mereka. Dalam kerangka itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal. Sebagai misal, keterbukaan dikembangkan dan kontekstualisasikan menjadi kejujuran dan seabreg nilai

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 22

turunannya yang lain. Kehalusan diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi; dan demikian seterusnya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu. Untuk itu, sebuah ketulusan, memang, perlu dijadikan modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme, keserakahan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai tingkatan perlu menjadi garda depan, bukan dalam ucapan, tapi dalam praksis konkret untuk memulai. kearifan lokal yang digali, dipoles, dikemas dan dipelihara dengan

baik bisa berfungsi sebagai alternatif pedoman hidup manusia Indonesia dewasa ini dan dapat digunakan untuk menyaring nilai-nilai baru/asing agar tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa dan menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Sang Khalik, alam sekitar, dan sesamanya (tripita cipta karana). Dan sebagai bangsa yang besar pemilik dan pewaris sah kebudayaan yang adiluhung pula, bercermin pada kaca benggala kearifan para leluhur dapat menolong kita menemukan posisi yang kokoh di arena global ini. Tanggungjawab dan kewajiban bersama yang harus dilakukan oleh semua komponen baik pemerintah maupun masyarakat adalah bagaimana mengimplementasikan kearifan lokal untuk membangun pendidikan karakter baik di lingkungan masyarakat maupun di sekolah? Oleh karena itu,

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 23

perlu ada revitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan untuk membangun pendidikan karakter. Hal ini dikarenakan kearifan lokal di daerah pada gilirannya akan mampu mengantarkan masyarakat termasuk para siswa untuk memiliki identitas yang khas dan mencintai kelokalannya atau daerahnya. Kecintaan pada daerahnya akan mewujudkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah adalah kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata diri sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan sumber daya alam serta nilai-nilai lokal secara bijaksana untuk kepentingan dan kesejahteraan mereka sendiri (Anton Charlian,2013: 25 Amri S, 2011: 27). Disinilah kearifan lokal menjadi relevan dan penting.

Sebuah bangsa yang besar dan terhormat adalah bangsa yang memiliki identitas dan jati dirinya. Jati diri dan identitas nasional kita sudah final yaitu bangsa Indonesia yang diikat oleh identitas kebangsaan, bahasa dan tanah tumpah darah Indonesia (NKRI) dan disatukan oleh Bhinekka Tunggal Ika. Namun identitas lokal, adalah bagian penting dari identitas nasional dan menjadi kekayaan atau khazanah yang berisi nilainilai lokal yang dapat menyumbang kebudayaan nasional kita, termasuk dalam menengembangkan pendidikan karakter. Anak bangsa di negeri ini sudah sewajarnya diperkenalkan dengan lingkungan yang paling dekat di desanya, kecamatan, dan kabupaten, setelah tingkat nasional dan internasional. Melalui pengenalan lingkungan yang paling kecil, maka anakanak kita bisa mencintai desanya. Apabila mereka

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 24

mencintai desanya mereka baru mau bekerja di desa dan untuk desanya. Kearifan lokal mempunyai arti sangat penting bagi anak didik kita. Dengan mempelajari kearifan lokal anak didik kita akan memahami perjuangan nenek moyangnya dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.(http://koleksiskripsi.blogspot.com/2016/04/te ori-pembentukankarakter.html.). Nilai-nilai kerja keras, ulet, pantang mundur, dan tidak kenal menyerah perlu diajarkan pada anak-anak kita. Dengan demikian, pendidikan karakter melalui kearifan lokal seharusnya mulai diperkenalkan oleh guru kepada para siswanya. Semua satuan pendidikan siswanya memiliki keberagaman ras maupun agama, dapat menjadi laboratorium masyarakat untuk penerapan pendidikan karakter. Proses interaksi yang melibatkan semua pihak dalam kearifan lokal sama saja mempelajari karakteristik

dari materi yang dikaji sehingga siswa secara langsung dapat menggali karakter peristiwa kelokalan itu. Oleh karenanya kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup. Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan(Depdibud, 2002: 157) . Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilainilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dengan demikian membangun pendidikan karakter disekolah

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 25

dan masyarakat melalui kearifan lokal sangatlah tepat. Hal ini dikarenakan Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu dekat dengan situasi konkrit yang mereka hadapi sehari-hari. Model pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan sebuah contoh pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi kecakapan pengembangan hidup, (life skills development) dengan berpijak pada pemberdayaan ketrampilan serta potensi lokal pada tiap-tiap daerah. Kearifan lokal milik kita sangat banyak dan beraneka ragam karena Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa, berbicara dalam aneka bahasa daerah, serta menjalankan ritual adat istiadat yang berbeda-beda pula. Kehadiran pendatang dari luar seperti etnis Tionghoa, Arab dan

India semakin memperkaya kemajemukan kearifan lokal. 22 Pendidikan berbasis kearifan lokal dapat digunakan sebagai media untuk melestarikan potensi masing-masing daerah. Kearifan lokal harus dikembangkan dari potensi daerah. Potensi daerah merupakan potensi sumber daya spesifik yang dimiliki suatu daerah tertentu. Para siswa yang datang ke sekolah tidak bisa diibaratkan sebagai sebuah gelas kosong, yang bisa diisi dengan mudah. Siswa tidak seperti plastisin yang bisa dibentuk sesuai keinginan guru. Mereka sudah membawa nilai-nilai budaya yang dibawa dari lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Guru yang bijaksana harus dapat menyelipkan nila-nilai kearifan lokal mereka dalam proses 22

Aqib, Z. (2010). Pendidikan karakter membangun perilaku positif anak bangsa. Bandung: Yrama Widya. Aunillah, N. I. (2010). Panduan menerapkan pendidikan karakter di sekolah. Yogyakarta: Laksana.

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 26

pembelajaran. Pendidikan berbasis kearifan lokal tentu akan berhasil apabila guru memahami wawasan kearifan lokal itu sendiri. Guru yang kurang memahami makna kearifan lokal, cenderung kurang sensitif terhadap kemajemukan budaya setempat. Hambatan lain yang biasanya muncul adalah guru yang mengalami lack of skill. Akibatnya, mereka kurang mampu menciptakan pembelajaran yang menghargai keragaman budaya daerah. E. PENUTUP Globalisasi tidak perlu dihindari karena bagaimanapun banyak hal positif yang dapat diambil manfaatnya. Dengan nilai-nilai kearifan lokal dapat menjadi kontrol atas terpaan nilai-nilai global, dan disinilah proses pendidikan karakter berlangsung. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa membangun pendidikan karakter di era global

dewasa ini melalui kearifan lokal mengandung nilai-nilai yang relevan dan berguna bagi pendidikan. Oleh karena itu pendidikan karakter berbasis kearifan lokal di tengah kemajuan globalisasi dapat dilakukan dengan internalisasi dan revitalisasi budaya lokal. Untuk mewujudkan pendidikan karakter disekolah berbasis kearifan lokal memerlukan adanya pengertian, pemahaman, kesadaran, kerja sama, dan partisipasi seluruh elemen dan komponen baik pemerintah, masyarakat maupun sekolah atau madrasah.

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 27

BIBLIOGRAPHY Amri.S dkk.2011. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran: Strategi Analisis dan Pengembangan Karakter Siswa dalam Proses Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustakaraya Asuncion-Lande, N.C. 1990. “Intercultural Communication” . In G. L. Dahnke sand G.W. Clatterbuck (eds). “Human Communication theory: Theory and Research”; Wadsworth, Belmont, California Aqib, Z. (2011). Panduan & alikasi pendidikan karakter untuk: SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK. Bandung: Yrama Widya. Aqib, Z. (2010). Pendidikan karakter membangun perilaku positif anak bangsa. Bandung: Yrama Widya. Aunillah, N. I. (2010). Panduan menerapkan pendidikan karakter di sekolah. Yogyakarta: Laksana. Amri, S. (2011). Implementasi pendidikan karakter dalam pembelajaran strategi analisis dan pengembangan karakter siswa dalam proses pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Ahmad, L. K. (2011). Mengembangkan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam KTSP. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Barnawi et al. (2012). Strategi & kebijakan pembelajaran pendidikan karakter. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Blum, Lawrence A.. 2001. “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-Ras” Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural”, dalam L. May, S. Collins-Chobanian, dan K. Wong, editor, Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural. Yogyakarta: Tiara Wacana.

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 28

Charliyan, Anton, 2013. Kepemimpinan Nasional Berbais Kearifan Lokal menuju Masyarakat Tatatengtrem Kertaraharja, Jakarta: Solusi Publishing Curran, James & Michael Gurevitch, 2000. “Americans Minorities and the New Media : Mass Media and Society, Third Edition”; Arnold, London. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,2002.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah. Elkind,. David and Freddy Sweet,1993. “What Makes Character Education Programs Work?” Educational Leadership (Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development, Nov. 1993 Fu, Jean Hoying & Chiu, Chi Yue. 2007. “Local Culture's Responses to Globalization. Exemplary Persons and Their Attendant Values”. Journal of Cross-Cultural Psychology September 2007 vol. 38 no. 5 http://koleksi-skripsi.blogspot.com/2016/04/teori-pembentukankarakter.html.diakses hari Kamis 28 April 2016 jam 9.49. http://pangasuhbumi.com/article/20582/pemulihan-lingkungandengan-kearifan-lokal.html diakses hari Kamis 28 April 2016 jam 9.45. http://tal4mbur4ng.blogspot.com/2016/04/kearifan-lokal-gunapemecahan-masalah.html diakses hari Jumat 29 April 2016 jam 10.15

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 29

Masruroh, F. (2011). Implementasi pendidikan karakter di sekolah dasar sebagai upaya pengembangan kepribadian siswa (studi berdasarkan pendidikan karakter di sekolah dasar anak sholeh di Malang). Tesis S-2 Program Studi Magister Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan tidak dipublikasikan: Universitas Muhamadiyah Malang (UMM). Kartodirdjo, Sartono. 1994a. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kartodirdjo, Sartono. 1994b. Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media. Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke-11. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan ke-6. Jakarta: Aksara Baru. Levitt, Kathryn M.Anderson. 2003. “Local Menaing, Global Schooling” . New york: Palgrave MacMillan Priyatna, A. 2011. Parenting for character building panduan bagi orang tua untuk membangun karakter anak sejak dini. Jakarta: PT Alex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Ramli T, 2004., Pengertian dan Konsep Pendidikan Karakter http://ariplie.blogspot.com/2014/12/pengertian-dan-konseppendidikan.html diakses pada hari Minggu tanggal 1 Mei 2016 jam 10.50.

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 30

Smiers, Joost. 2009. Arts under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi. Terjemahan Umi Haryati. Yogyakarta: Insistpress. Suprayogo,Imam, 2013. Pengembangan Pendidikan Karakter. Malang: UIN Maliki Press. Susanti, Retno, 2011. “Membangun Pendidikan karakter di Sekolah: Melalui Kearifan Lokal”, Makalah disampaikan pada Persidangan Dwi tahunan FSUA-PPIK USM pada tanggal 26 s/d 27 Oktober 2011 di Fakultas Sastra Unand, Padang.

EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015

| 31