OCR DOCUMENT

Download setiap masyarakat mempunyai satu sistem yang unik dalam mempersepsikan dan mengorganisasikan fenomena material, seperti benda-benda, kejadi...

0 downloads 864 Views 240KB Size
RINGKASAN PENGETAHUAN DAN STRATEGI PETANI HORTIKULTURA: KOMPETENSINYA DALAM PENINGKA TAN PENDAPATAN PETANI DAN STABILITAS EKOSISTEM LADANG studi di Desa Gurusinga Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara Oleh : Sri Alem Br.Sembiring dan Nita Savitri :2005:iv + 54 hal + 5 lamp Kajian ini terarah pada pengetahwm dan strategi petani Karo penanam hortikuItura di Desa Gurusinga. Fokus kajian kepada sistem pengetahuan Iokal dalam pengolahan ladang dan strategi-strategi petani dalam mengembangkan pola tanam campuran dari budidaya hortikultura mereka. PeneIitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi, menggambarkan dan menjelaskan secara rinci bagaimana sistem klasifikasi petani atas tanaman dan segala haI yang berhubungan dengan cocok tanam. Penelitian juga merangkum bentuk pola tanam yang saat ini dikembangkan petani, dan menjelaskan keterkaitan sistem klasifikasi dengan bentuk pola tanam yang dipraktikkan petani. Kajian ini menjadi penting dari sisi akademis karena studi-studi yang menekankan kepada kompleksitas sistem pengetahuan lokal yang dirangkai dengan lingkup sosial budaya dan sistem ekologi IokaI adaIah jenis kajian aktuaI saat ini. Bahkan untuk tingkat dunia menjadi sangat penting karena berhubungan dengan pemeIiharaan biodiversitas tanaman. Studi seperti ini juga merupakan masukan penting bagi pemerintah daerah, terutama untuk memahami potensi lokal yang dapat dijadikan penopang bagi sistem desentrasilasi untuk menghindari kebijakan lama yang sentralistik. Pemahaman akan potensi lokal sangat mendukung teriptanya pemerintahan Iokal yang kondusif Penelitian dilakukan dengan metode utama dalam iImu antropologi untuk penelitian lapangan yaitu 'in depth interview' dan observasi partisipasi terbatas untuk perolehan data primer. Disamping beberapa metode lain untuk kelengkapan data sekunder.’Field work’ yang diIakukan secara kontiniu dan bertahap melahirkan beberapa data dan beberapa kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan petani akan tanaman itu merupakan akumulasi pengalaman panjang dari pergulatan mereka dengan tanaman, tanah, hama dan penyakit, cuaca/iklim, pupuk dan pestisida, perkembangan harga yang terintegrasi dari satu periode tanam ke periode tanam lain. Proses panjang ini mencetuskan sistem klasifikasi tanaman yang sedemikian kompleks. Klasifikasi ini merupakan hasil dari prose belajar dengan lingkungan alam lokal.

i Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Tidak hanya lingkungan alam lokal yang terlibat, sisi sosial budaya juga terserap dalam pengetahuan dan praktik tanam campuran itu.Pola tanam apa yang mereka praktikkan pada periode kali ini tenyata juga merupakan hasil dari hubungan sosial dengan banyak agen dalam masyarakat petani. Peranan pertemanan, persabatan, hubungan kerabat menjadi penting sebagai salah satu akses untuk menentukan corak pola tanam strategi penanaman demi menjaga keberhasilan panen. Petani mengembangkan hubungan pinjam-meminjam beragam bentuk; bibit, pupuk-pestisida, tenaga kerja dan modifikasinya hanya atas dasar kepentingan dan saling percaya yang mengikat mereka masing-masing.Hubungan sosial ini menjadi penting mengingat tingginya kondisi ketidakpastian yang dihadapi petani. Ketidakpastian iklim/cuaca, serangan hama dan penyakit dan ketidakpastian harga merupakan 'momok' yang sangat meresahkan petani. Apa yang dipraktikkan petani sebagai hasil pengalaman panjang dari sejumlah proses penanaman di ladang menunjukkan bahwa mereka belajar bagaimana mempertahankan kualitas hasil dan kualitas kesuburan tanah. Pengalaman keberhasilan dan kegagalan panen yang dialami petani dari masa ke masa dijadikan acuan untuk mempertahankan keberlanjutan sistem pertanian mereka. Apa yang dipraktikkan petani hortikultura di Desa Gurusinga ini searah dengan isu global yang menyuarakan 'sustainable agriculture' dengan penekanan pada keragaman 'biodiversity'. ** (Departemen Antropologi - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sumatera Utara, Medan)

ii Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

DAFTAR ISI halaman RINGKASAN i KATAPENGANTAR iii DAFTAR ISI iv BAB I PENDAHULUAN BAB II RINCIAN MASALAH……………………………………………………… 5 BAB III TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………....... 6 BAB IV TUJUAN DAN KONTRIBUSI PENELITIAN.............................................. 11 BAB V METODE PENELITIAN…………………………………………………… 12 BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………………...... 15 A. Gambaran Umum Desa Gurusinga 1. Lekasi dan Penduduk Gurusinga……………………………………… 15 2. Kondisi Lingkungan Alam dan Tata Ruang………………………....... 20 B. Pengetahuan Petani dalam Pengeioiaan Ladang 1. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Usia Tanam………………………. 26 2. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Waktu Produktivitas....................... 26 3. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Perawatan Tanaman……………… 27 4. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Ukuran Tinggi Tanaman………… 31 5. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Sumber Penyakit............................ 31 6. Klasifikasi Tanaman BerdasarkanTujuan dan Pemanfaatan………….. 33 7. KlasifikasiTanaman BerdasarkanSasaran Distribusi……………......... 34 8. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Fluktuasi Harga…………………… 35 C. Bentuk-Bentuk Praktik Tanam Campuran Petani 1. Pola Tanam Campur-campur....................................................................36 2. Pola Tanam Tumpang Tindih....................................................................37 3. Pola Tanam Tua Muda ………………………………………………….38 4. Pola Tanam Rotasi atau Sada-Sada……………………………………..39 5. Pola Tanam Ragi-agi……………………………………………………40 D. Strategi Tanam untuk Peningkatan HasiI 1. Petani Lahan Tunggal………………………………………………….41 2. Petani Lahan Multi…………………………………………………….44 E. Strategi Sosial Budaya Antisipasi Kondisi Ketidakpastian……………….45 F. Signifikansi Bagi Stabilitas Ekosistem Ladang…………………………...47 BAB VII PENUTUP………………………………………………………………….. 50 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………… 52 LAMPlRAN iv Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Daftar Lampiran Lampiran 1

Lokasi Pemukiman Desa Gurusinga

Lampiran 2

Data Demografi Desa Gurusinga A Tabel Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian B. Tabel Distribusi Penduduk Menurut Pendidikan C. Tabel Distribusi Penduduk Menurut Agama D. Tabel Sarana dan Prasarana Desa

Lampiran 3

Jenis-jenis Tanaman Hortikultura yang Dibudidayakan Petani di Gurusinga

Lampiran 4

Jenis Hama dan Penyakit (Organisme Penganggu Tanaman) yang Menyerang Tanaman Hortiku1tura

Lampiran 5

Lampiran Keterangan Informan dan Jumlah Ladang serta Pengelolaannya

Lampiran 6

Foto Ladang HortikuItura Petani

v Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

BAB I PENDAHULUAN

Penelitian ini akan mengkaji pengetahuan dan strategi petani Karo penanam hortikultura yang tinggal di Desa Gurusinga, Kec. Berastagi, Kab.Karo, Sumatera Utara. Bertani merupakan mata pencaharian utama untuk menghidupi keluarga dan sumber biaya bagi pendidikan anak-anak mereka. Fokus kajian akan diarahkan pada sistem pengetahuan petani dalam pengolahan lahan dan strategi-strategi petani dalam mengembangkan pola tanam campuran dari budidaya hortikultura mereka. Pengetahuan dan strategi petani itu perlu dicermati karena tingginya kondisi ketidakpastian dari segi iklim, serangan hama dan tingginya fluktuasi harga pasar. Menurut pengakuan petani Karo, kondisi ketidakpastian tersebut sangat meresahkan dan tidak dapat diprediksi dan berimbas pada penghasilan mereka yang juga cenderung sangat berfluktuasi (hasil wawancara dengan petani pada bulan Pebruari 2004). Masalah petani menjadi semakin kompleks karena mereka juga dihadapkan pada tuntutan untuk tetap menjaga stabilitas ekosistem ladang agar tetap dapat diusahakan secara berkelanjutan. Tuntutan keseimbangan ekosistem ini menjadi Prioritas karena petani Karo di Desa Gurusinga tidak pernah ‘mengistirahatkan’ tanah ladang mereka. Tanah digunakan secara terus-menerus dari satu waktu tanam ke waktu tanam berikutnya tanpa ada masa bera. Petani-petani Karo di Desa Gurusinga menanam jenis tanaman hortikultura yang mereka sebut dengan tanaman muda, yaitu jenis sayur-sayuran dengan usia panen antara 3 sampai 4 bulan. Jenis tanaman ini meliputi wortel, selada, saledri, daun bawang, kubis, kubis bunga, brokoli, bit, buncis, andebi, cabai merah, paprika, rawit, kacang panjang, kacang kapri, kacang jogo, kacang koro, ketumbar daun, kentang, ketna, lobak, pater seli, petsai, peleng, tangho, terung, tomat (hasil pengamatan sementara dan wawancara penulis dengan petani bulan Pebruari 2004). Dari sisi ilmu Antropologi, apa yang dilakukan petani Karo di ladang-ladang hortiku1tura mereka menjadi menarik untuk dikaji karena merupakan bahasan aktual yang menekankan pada kompleksitas sistem pengetahuan lokal dengan memfokus pada pengetahuan lokal sebagai sebuah proses, dimana studi-studi seperti ini berhubungan dengan 1 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

pengetahuan pertanian yang diletakkan dalam lingkup sistem sosial budaya dengan sistem ekologi dan dalam suatu konteks yang memandang bahwa pengetahuan pertanian itu berkembang (Amanor 1993:17). Selain itu, Nizar (1995:3) juga menegaskan bahwa studi yang menekankan pada hubungan antara pengetahuan lokal dan praktek-praktek yang dilakukan petani dan pemeliharaan dari 'biodiversitas' tanaman adalah merupakan sesuatu yang penting saat ini. Kepentingan ini juga dimaksudkan agar tidak terjadi seperti apa yang dikemukakan oleh Hobart (1993:1) bahwa dalam penerapan pengetahuan ilmiah oleh para ahli ataupun pembuat kebijakan yang ditujukan kepada petani seringkali terjadi diabaikannya pengetahuan lokal dan kemampuan potensial mereka (petani) untuk berkembang (Winarto 1998). Winarto dan Choesin (1988:iii) menegaskan "tidak dapat disangkal bahwa pelbagai proyek pembangunan masih dirancang secara 'top down' tanpa melibatkan partisipasi penduduk setempat, proyek-proyek pembangunau sering melibatkan asumsi bahwa pengetahuan ilmiahlah yang lebih superior atau lebih 'benar' dari pada pengetahuan lokal. Dari segi praktikal pada tingkat lokal, pembahasan mengenai pengetahuan lokal juga menjadi penting dalam era otonomi daerah. Dengan adanya UU Otonomi Daerah NO.22 dan 25 Tahun 1999 membuat berbagai pihak mulai menyadari bahwa potensi-potensi lokal mutlak perlu dikembangkan untuk mendukung sistem desentralisasi sebagai pengganti kebijakan lama yang sentralistik. Potensi lokal ini meliputi aspek politik, ekonomi dan sosial budaya. Pengembangan potensi lokal ini perlu diperhatikan untuk dapat mendukung sistem pembangunan partisipatif yang merupakan kata kunci yang harus diterapkan pada setiap wilayah sesuai tuntutan otonomi. Salah satu strategi penting adalah dengan melihat bagaimana pengetahuan lokal (petani) itu dikembangkan masyarakat untuk mendukung sistem perekonomian dan menjaga keseimbangan ekosistem ladang mereka. Dari segi praktikal pada tingkat global, penelitian ini menjadi penting mengingat bahwa petani yang menjadi subjek penelitian ini adalah pencocok tanam hortikultura yang menekankan pada keragaman tanaman. Isu keragaman ini selaras dengan isu global untuk: mempertahankan keragaman hayati (‘biodiversity’). Cleveland (1993) mengatakan bahwa dalam jangka panjang, keragaman hayati itu sangat diperlukan bagi persediaan makanan pada tingkat dunia bagi masa sekarang dan masa yang akan datang. Keragaman hayati juga berfungsi sebagai sistem yang mendukung kehidupan di planet ini untuk kontribusi oksigen, 2 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

mempertahankan Kualitas atmosfer dan ketersediaan air, dan merupakan Kunci yang mendasar bagi sistem pertanian yang berkelanjutan (‘sustainable agriculture’). Tanah Karo, khususnya Desa Gurusinga dipilih karena merupakan desa yang memiliki areal perladangan terluas di Kec.Berastagi dibandingkan dengan desa lainnya yang juga mengembangkan tanaman hortikultura. Kekhususan lain adalah di desa ini dikembangkan beberapa variasi dari pola tanam campuran. Sementara, desa-desa lainnya hanya mengembangkan satu atau dua pola tanam campuran saja (wawancara dengan petani pada bulan Februari 2004). Mengapa petani di desa ini mengembangkan lebih banyak variasi pola tanam campuran dibanding desa lainnya yang jaraknya relatif sangat dekat. Antara Desa Guru Singa dengan beberapa desa lainnya hanya dibatasi oleh sebuah Sekolah Dasar Negeri atau lahan pertanian, sebuah sungai atau hutan kecil sepanjang 0,5 m. Namun, desa tetangganya hanya mengembangkan pola tanam campuran dengan hanya memilih tanaman yang menurut klasifikasi mereka disebut tanaman capcai. Capcai ini hanya meliputi wortel, selada, dau saledri, paterly, daun bawang. Sementara di Gurusinga membudidayakan tanaman bemsia singkat yag sangat beragam. Selain itu, jika dilihat dari segi kondisi ekologi seperti tanah, cuaca, flora dan fauna bahkan jenis hama yang menyerang tanaman cenderung berjenis sama untuk beberapa desa lain di Kec.Berastagi. Mengapa hal ini dapat terjadi? Tulisan ini akan mendeskripsikan dimensi sosial budaya dari pengetahuan pertanian petani Karo di Desa Gurusinga.

3 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

BAB II RINCIAN MASALAH

Berdasarkan paparan kondisi empiris di atas, dapat dikemukakan bahwa masalah utama penelitian ini adalah pada aspek pengetahuan dan strategi petani dalam mengolah lahan ladang mereka. Apa yang mereka ketahui tentang tanaman dan pengolahan lahan, bagaimana susunan sistem kategorisasi pengetahuan mereka. Variasi pola tanam campuran apa saja yang mereka kembangkan, mengapa mereka mengganti variasi pola tanam campuran tersebut dari satu waktu tanam ke waktu tanam lain dan mengapa jenis tanaman yang dipilih petani juga cenderung berbeda dari setiap waktu tanam. Bagaimana keterkaitan pengetahuan dan strategi pergantian pola tanam campuran iui dengan hasil panen atau pendapatan dan stabilitas ekosistem ladang mereka. Apa saja kondisi ketidakpastian yang dihadapi petani, bagaimana pengetahuan dan strategi petani ini berhubungan dengan kondisi ketidakpastian yang mereka hadapi.

4 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

BAB III TINJAUAN PUSTAKA Pertanian dalam penelitian ini dikonseptualisasikan sebagai produk dari kebudayaan, dimana teknologi dan pengetahuan pertanian diletakkan dalam sistem sosial budaya dan ekologi dimana pengetahuan itu dikembangkan (Amanor 1993: 1 7) atau dengan isti1ah Millar (1993) bahwa tekno1ogi pengetahuan pertanian ini ada1ah merupakan pandangan yang ho1istik dari pendukungnya dan didasarkan pada kerangka kerja dinamis dari interaksi yang kontinu dengan lingkungan. Dua i1muwan di atas mengisyaratkan bahwa pengetahuan itu tidak terlepas dari aspek sosia1, ekonomi dan budaya dan bersifat dinamis. Aspek dinamis yang dimaksud selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Barth (1987) bahwa pengetahuan selalu dalam proses pembuatan, ide-ide selalu direkonstruksi dan dievaluasi kembali (1ihat juga, Borofsky 1987; 1994a;1994b; Antwiler dan Mersman 1996:14)1. Sedangkan pengertian kata ‘loka1’ yang dirujuk dalam penelitian ini mengikuti Antweiler dan Mersman (1996:5-17) yaitu sesuatu yang tidak dipahami dalam pengertian batas-batas wilayah (topografi) yang sempit yang mengarah kepada lokasi semata, tetapi lebih kepada suatu pengetahuan yang diintegrasikan secara budaya dan dihubungkan dengan lingkungan (secara ekologi) atau disebut ‘culturally situated’.2 1 Borofsky (1987) mengatakan bahwa pengetahuan itu selalu dalam proses kreasi dan modifikasi, reinterpretasi, evolusi dan rekonstruksi yang terus berlanjut. Sementara itu dalam tulisan lainnya, Borofsky (1994a;1994b) membedakan antara ‘knowledge’ dan ‘knowing’ dikatakannya bahwa orang memiliki lebih dari sekedar pengetahuan (‘knowledge’) yang formal dan mantap, tetapi mereka juga memiliki pengetahuan yang berproses (‘knowing’). Antweiler dan Mersman (1996:14) menegaskan bahwa pengetahuan individu itu senantiasa juga berubah melalui waktu dan bergantung pada situasi. 2 Menurut Antweiler dan Mersman (1996: 5-17), pengetahuan lokal itu memiliki karakteristik tersendiri, meliputi: (1) pengetahuan yang berdasarkan kenyataan, kemampuan ( capabilities), dan keahlian-keahlian (sebagai ‘procedural knowledge’), (2) disesuaikan dengan orientasi kehidupan yang nyata untuk persoalan-persoalan sehari-hari, bersifat fleksibel (mudah berubah), (3) bersifat empiris yang diperoleh berdasarkan observasi, uji coba (‘trial and error and natural experiment’), (4)memerlukan pembuktian dalam waktu yang lama, (5) muncul dalam konteks ekologi lokal (6) muncul dan ditransmisikan dalam lingkungan sosial lokal

5 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Aliran antropologi kognitif yang juga disebut sebagai etnografi baru memusatkan perhatiannya pada pengetahuan-pengetahuan individu yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari -hari. Spradley (l997;xix-xx) mendefenisikan kebudayan sebagai sistem pengetahuan yang

diperoleh

manusia

melalui

proses

belajar

yang

mereka

gunakan

untuk

menginterpretasikan dunia sekeliling mereka dan sekaligus untuk menyusun srategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Pengetahuan itu ada dalam pikiran (’mind’) anggota masyarakat tersebut dan tugas peneliti adalah ‘mengorek’ pola yang ada dalam pikiran manusia itu melalui ‘folk taxonomy’. Aliran antropologi kognitif ini berasumsi bahwa setiap masyarakat mempunyai satu sistem yang unik dalam mempersepsikan dan mengorganisasikan fenomena material, seperti benda-benda, kejadian, prilaku dan emosi. Karena itu, objek kajian antropologi bukanlah fenomena material tersebut, tetapi tentang cara fenomena material tersebut diorganisasikan dalam pikiran (‘mind’) manusia. Tugas seorang etnografer adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran tersebut. Marzali (1997: xx) menyebutkan bahwa cara yang paling tepat untuk memperoleh budaya tersebut adalah melalui bahasa, atau lebih khusus lagi melalui daftar kata-kata yang ada dalam suatu bahasa. Bahasa dan istilah-istilah (nama/sebutan) yang digunakan oleh petani Karo dalam hal ini menjadi penting untuk ditelusuri. Penelusuran aspek bahasa ini untuk melihat bagaimana mereka membuat sistem pengkategorisasian dalam pikiran mereka untuk menjelaskan sistem pengetahuan mereka. Shri Ahimsa Putra (1985:107) mengatakan bahwa pembelian nama merupakan proses penting dalam kehidupan manusia sebab melalui proses ini manusia dapat ‘menciptakan’ keteraturan dalam persepsinya atas baik itu dalam bentuk formal, informal, maupun bersifat desentralisasi, (7) orientasinya holistik (berhubungan secara sistemik dengan daerah-daerah lain disekitarnya, (8)bersifat komprehensif, sistemik, memiliki metode, tetapi tidak dilakukan dengan sangat sadar, bersifat lisan ‘verbalised’), (9) diterima dan diketahui secara luas sebagai suatu kesepakatan, (10) pemanfaatannya secara lokal berlawanan dengan sumber-sumber eksternal (pengetahuan ilmiah) untuk sesuatu yang sifatnya pemecahan masalah.

6 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

lingkungan. Dari nama dapat diketahui patokan apa yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk membuat klasifikasi, hal ini berarti kita juga dapat mengetahui 'pandangan hidup' pendukung kebudayaan tersebut. Shri Ahimsa Putra (1985) menegaskan bahwa melalui bahasa inilah berbagai pengetahuan baik yang tersembunyi (‘tacit’) maupun yang tidak (‘explicit’) terungkap pada si peneliti. Taylor (1969:6-8) memberikan suatu contoh bagaimana suatu masyarakat membentuk suatu sistem kategorisasi dari peralatan rumah tangga. Taylor menyebutnya dengan ‘taxonomy of filmitur’. Masyarakat tersebut membedakan penyebutan antara 'chair', ‘sofas’, ‘desks’, dan ‘tables’. ‘Tables’ ini dibedakan atas dua penyebutan lain, yaitu ‘end tables dan ‘dining tables’. Semua istilah atau penyebutan ini dikategorikan dalam satu kelompok yang disebut ‘furniture’. Frake (1969:28-41) menemukan bahwa orang Indian Brazil mengkategorikan makanan dalam tiga kelompok yaitu; ‘sandwich, pie dan ice cream bar’. Masing-masing kelompok ini terdiri dari beberapa bagian lain. ‘Sandwich’ terdiri dari ‘hamburger’ dan ‘ham sandwich ‘. ‘Pie’ terdiri dari ‘apple pie’ dan ‘cherry pie’. Sementara,' lce cream bar’ adalah makanan yang disebut ‘Eskimo pie’. Winarto (1998:53-97) menemukan bahwa petani di dua desa di Kec.Ciasem, Kab. Subang, Jawa Barat mengkategorikan bahwa semua serangga itu adalah hama. Hama atau hewan pengganggu tanaman dibedakan dalam tiga kelompok berdasarkan derajat kerusakan yang ditimbulkannya pada padi; (1) hewan yang merusak padi (satoan nu ngarusak pare) seperti tikus, wereng, walang sangit, lembing hitam dan ulat grayak,(2) hewan yang mengganggu, tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang parah (satoan nu ngeganggu, enteu ngarusak pare) seperti ulat daun, belalang daun, kepiting, anjing tanah, sejenis nyamuk (rembetung) dan (3) hewan yang tidak mengganggu dan tidak merusak padi (satoan nu enteu ngarusak jeung enteu ngeganggu pare) seperti ulat, ikan, katak, belut, cacing tanah, dan labalaba. Johnson (1974:87-101) menemukan bahwa petani di wilayah Timur Laut Brazil dengan sistem pertanian tebang bakar (‘slash and burn agriculture’) memiliki dua kategori utama untuk mengelompokkan tanah mereka, (1) tanah untuk bangunan rumah, terdiri dari tanah liat, pasir, batu kerikil dan batu besar (‘rock’ ), (2) tanah untuk pertanian terdiri dari 15 7 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

istilah penyebutan, seperti; ‘rocado novo, capoeira, capoeira velha, campestre, coroa, corgoo, rio,mlagoa, baixo, brejo, vasante, lastro, quintal, salgada, sitio’. Seluruh jenis tanah pertanian ini selanjutnya dibedakan juga atas dasar kesuburan dan kelembabannya. Johnson(1974) juga melihat hubungan antara jenis tanah dengan jenis tanaman untuk melihat hubungan antara apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka lakukan dalam praktik pertanian mereka. Mengenai strategi pola tanam campuran, beberapa studi menunjukkan bahwa petani mampu mengolah sumber daya alam mereka dan mengembangkan strategi-strategi baru dan percobaan-percobaan dalam bidang percampuran tanaman atau pola tanam. Aumeeruddy (1995: 308-322) dengan studi ‘phytopracfices’(mempakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan suatu metode dari penduduk setempat dalam menanam hortikultura) menunjukkan bahwa petani-petani di wilayah tropic (secara individu) melakukan percampuran tanaman secara bersama-sama. Percampuran tanaman ini ditujukan untuk menjaga kualitas kesuburan tanah, meningkatkan hasil masing-masing tanaman, pengembangbiakan tanaman, ataupun mengantisipasi keadaan cuaca yang terlalu panas, sehingga percampuran itu terlihat seperti hutan kebun. Sedangkan Bennagen (1996) telah membuktikan bahwa di beberapa wilayah Philippina terdapat kearifan-kearifan tradisional petani dalam praktik-praktik pengelolaan lingkungan. Beberapa dari praktik tersebut yang penting adalah praktik tanam campuran dan pengaturan jarak tanam agar waktu tanam dan panen dari masing-maing tanaman tidak serentak. Praktik seperti ini memberi banyak keuntungan bagi petani misalnya, tanaman mereka terbebas dari hama dan penyakit, dan kestabilan hasil panen dalam situasi iklim terburuk sekalipun. Hasil kajian dari para ahli di atas dapat dijadikan sebagai arahan untuk mengungkapkan pengetahuan petani Karo di Desa Gurusinga mengenai lingkungan alam sekitamya yang berhubungan dengan praktik tanam campuran mereka; bagaimana mereka membuat kategorisasi atas tanah, iklim, tanaman, hama, pupuk dan pestisida. Bagaimana simpul-simpul pengetahuan ini berkaitan dengan strategi penanaman dan kondisi ketidakpastian yang mereka hadapi. Apakah semua tindakan petani ini berkaitan dengan upaya mereka menjaga keseimbangan ekosistem ladang atau apa yang mereka ketahui tentang kelestarian lingkungan mereka.

8 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

BAB IV TUJlJAN DAN KONTRIBSI PENELITIAN TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi sistem kategorisasi pengetahuan petani Karo dalam mengolah lahan mereka dengan tanaman hortikultura. Dengan mendeskripsikan variasi pola tanam campuran yang mereka kembangkan dan pengetahuan yang melatarbelakangi tindakan itu dan mendeskripsikan keterkaitannya dengan kondisi ekologi, sosial dan budaya setempat, maka hasil penelitian ini dapat digunakan berbagai pihak yang berkepentingan terutama uutuk kemajuan teknologi dunia pertanian dan peningkatan pendapatan petani. KONTRIBUSI PENELITIAN Hasil penelitian ini akan memberi kontribusi dari segi teoritis, terutama untuk perkembangan teori-teori Ilmu Antropologi kognitif dan studi-studi tentang pengetahuan lokal. Dari segi praktis, hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi yang berharga untuk memperluas wawasan pembaca, para praktisi (LSM) atau pembuat kebijakan bahwa petanipetani atau komunitas-komunitas lokal itu memiliki pengetahuan yang dinamis dan bersifat kontekstual. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai informasi penting uutuk memudahkan pembuat kebijakan dalam menerapkan suatu teknologi pertanian tertentu (baru) dengan tidak mengabaikan kemampuan lokal petani. Deugan demikian, introdusir pengetahuan baru di bidang teknologi pertanian dapat lebih aplikatif dan efisien bagi petani setempat. Sehingga pembangunan partisipatif yang diharapkan berkembang pada era otonomi daerah dapat benarbenar terlaksana dan berjalan beriringan dengan berkembangnya potensi-potensi lokal.

9 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

BAB V METODE PENELITIAN Penelitian ini akan menggunakan metode pengumpulan data dengan teknik wawancara mendalam (‘indeepth interview’), observasi partisipasi serta diskusi ke1ompok terfokus (‘focus group discussion’). Tiga metode ini terutama digunakan untuk mengumpulkan data primer di lapangan (‘field work’). Data sekunder dapat diperoleh dari Kantor kepala desa atau kecamatan, dinas pertanian dan beberapa instansi terkait dan juga beberapa hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan penelitian. Dalam melakukan wawancara mendalam, peneliti akan mempersiapkan topik-topik wawancara sebagai pedoman atau petunjuk wawancara (‘interview guide’). Selama wawancara berlangsung, peneliti senantiasa menjaga agar wawancara itu tetap pada fokus masalah. Peneliti dapat melakukan ‘probing’ atau memotong pembicaraan atau penjelasan ulang apabila si informan berbicara di luar konteks penelitian (lihat Bernard 1994:215-220). Peneliti akan menggunakan catatan penelitian dan tape recorder dengan seijin informan. Peneliti juga akan bersikap jujur tentang tujuan penelitian secara umum kepada informan. Sikap jujur ini menurut Bogdan dan Taylor (1993:71-74) diperlukan dalam penelitian uutuk mencegah timbulnya sikap curiga dan tidak terbukanya informan dalam memberikan informasi. Wawancara mendalam memiliki prinsip utama yaitu belajar dari masyarakat setempat mengenai mereka, kebudayaan mereka, bahasa mereka, dan cara-cara hidup mereka (Spradley 1979:46; 1980;3). Wawancara mendalam ini oleh Fontana dan Frey (1994:355-366) disebut juga ‘the open-ended ethnographic (in-depth) interview’ atau dengan istilah Bernard (1994:209-215) sebagai ‘ethnographic interviewing’ yang merupakan wawancara yang memberikan kesempatan atau kebebasan pada si informan untuk memberi penjelasan mengenai apa yang mereka ketahui dan mereka anggap penting.

10 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Dengan kata lain pendekatan ‘emic view’ yang akan dikembangkan dalam penelitian ini. Materi wawancara akan diarahkan anatara lain kepada apa yang mereka ketahui tentang tanah, iklim, tanaman, hama, pupuk, harga hasil pertanian mereka, pestisida, bagaimana mereka menyebutnya dalam bahasa mereka, mengapa penyebutan tersebut sebagai pilihan mereka, apa dasar yang membedakan atan menghubungkan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Bagaimana cara petani menentukan strategi tanam mereka, apa tujuan mereka memilih strategi tersebut, bagaimana hubungan Strategi ini dengan pengetahuan dan ekosistem ladang, dan lain-lain. Semua petani dapat dijadikan subjek untuk diwawancarai. Peneliti akan melakukan model ‘snow ball’ dan juga melihat situasi perkembangan penelitian untuk menentukan beberapa informan yang akan dipilih menjadi informan kunci (‘ key informant’) yang akan diwawancarai secara lebih mendalam dibandingkan petani-petani lainnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan atau bias dalam perolehan informasi dan penentuan informan kunci. Peneliti juga akan melakukan observasi partisipasi, dalam pengertian bahwa peneliti tidak ikut terlibat secara aktif sebagai petani. Peneliti turut aktif dalam beberapa kegiatan yang dilakukan petani yang tidak menganggu jalannya penelitian, seperti; turut serta dalam beberapa pertemuan yang diadakan petani untuk membahas pertanian mereka, mengikuti beberapa kegiatan sosial dan upacara ritual di desa, bersama-sama petani pergi ke ladang untuk melakukan pengamatan langsung. Semua ini dilakukan tanpa menganggu jalannya proses penelitian. Atkinson dan Hammersley (1994:248) menyebutkan bahwa sebaiknya seluruh penelitian sosial mengambil bentuk observasi partisipasi, karena kita tidak dapat mempelajari dunia mereka tanpa menjadi bagian dari mereka. Bernard (1994:136) menyebut observasi partisipasi sebagai ‘ethnographic fieldwork’ yang merupakan fondasi dari antropologi budaya. Jenis penelitian lapangan merupakan sesuatu yang mutlak, dekat dengan masyarakat, membina ‘rapport’ atau hubungan yang baik dengan mereka, membina rasa saling percaya, sehingga dapat melakukan pengamatan terlibat dan wawancara mendalam dengan baik (lihat juga Bogdan dan Tylor 1993:87-98).

11 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Dalam penelitian ini, beberapa hal yang diamati antara lain; apa yang mereka lakukan dan peralatan apa yang mereka gunakan dalam mengolah lahan, jenis sayuran apa yang mereka, bagaimana mereka membuat percampuran tanaman, apa saja yang mereka kerjakan di ladang, bagaimana mereka merawat tanah dan tanaman dengan pupuk dan pestisida, siapa melakukan apa di antara anggota keluarga petani atau buruh tani yang mereka gunakan, dan lain-lain. Peneliti juga akan mengamati tanaman apa saja yang dipanen dan apa tanaman pengganti untuk waktu tanam berikutnya. Jadi , pengamatan tidak hanya sekedar melihat percampuran tanaman, tetapi berusaha untuk menghubungkan pilihan tanaman pengganti dengan pengetahuan petani tentang situasi kontekstual saat itu. Diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dilakukan dengan tujuan untuk berdiskusi bersama beberapa petani. Petani yang disertakan dalam FGD merupakan tokoh adat, atau beberapa informan kunci lainnya yang memiliki pengetahuan mendalam tentang kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan budaya setempat. Pertanyaan yang diajukan atau materi yang akan didiskusikan pada dasarnya tidak berbeda dengan wawancara mendalam. Beberapa pertanyaan yang berbeda akan diajukan sesuai dengan perkembangan penelitian selama di lapangan. Tujuan FGD adalah untuk melengkapi, memperjelas atau agar data yang terkumpul lebih rinci untuk mendeskripsikan masalah penelitian ini.

12 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Desa Gurusinga Deskripsi berikut ini mengenai lokasi desa Gurusinga, keadaan lingkungan alam penduduk dan tata ruang desa. Topik ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan bahwa sarana dan prasarana yang terdapat di desa ini sangat mendukung untuk kegiatan praktik tanam campuran petani.

1. Lokasi dan Penduduk Desa Gurusinga Desa Gurusinga secara administratif dibagi ke dalam empat dusun3. Desa ini merupakan desa terluas kedua di wilayah kecamatan Berastagi, mencapai 600 ha, dan juga memiliki areal perladangan terbesar mencapai 315 ha. Areal perladangan ini digunakan secara efektif untuk penanaman hortikultura, khususnya sayur-sayuran. Pemanfaatan lahan lainnya digunakan untuk pemukiman seluas 35 ha, tanah wakaf 3 ha, hutan lindung dan hutan masyarakat 130 ha, rawa-rawa 30 ha, lain-lain 87 ha (BPS, 1997). Desa ini diapit oleh beberapa desa di wilayah Kecamatan Berastagi dan desa-desa lain di wilayah Kecamatan Simpang Empat. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Lingga Julu, di utara berbatasan dengan Desa Raya dan Desa Rumah Berastagi dan Desa Gundaling II. Sementara di sebelah barat berbatasan dengan Desa Bulan Baru dan Desa Raja Payung, dan di timur berbatasan dengan Desa Kaban. Desa Gurusinga memiliki sarana jalan yang cukup baik. Sarana jalan ini menghubungkan Desa Gurusinga dengan desa lainya, dan juga dengan ibu kota kecamatan dan ibu kota kabupaten (lihat lampiran peta-l). Dari Ibu kota Propinsi Sumatera Utara, desa ini dapat dicapai dalam waktu satu jam tiga puluh menit, dengan jarak berkisar 60 km. Sementara dari ibu kota kabupaten di Kabanjahe, desa ini dapat dicapai dalam waktu lima belas sampai dua puluh menit. Desa ini juga dapat dicapai dengan mudah dalam waktu yang cukup singkat melalui dua jalur dari terminal di Ibu kota kecamatan di Berastagi. 3

Dusun I dan II terletak di Kuta atau Gurusinga, begitu sebutan yang digunakan penduduk untuk kompleks pemukiman yang terletak di desa ini. Dusun III disebut Korpri dan dusun IV disebut Tangkulen (lihat peta-l).

13 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Pada jalur pertama, bus akan melewati Desa Gundaling Dua untuk menuju dusun IV. Perjalanan sekitar sepuluh menit dengan jarak berkisar 1 km. Penduduk Gurusinga yang berdomisili di dusun IV tinggal terpisah dengan ke tiga dusun lainnya. Lokasi dusun ini terletak di pinggir jalan umum antar kecamatan, penduduknya tinggal berdampingan, serta dapat berinteraksi dengan penduduk dari desa lain setiap hari. Dusun ini lebih juga dekat ke ibu kota kecamatan. Transportasi umum dan truk pengangkut hasil ladang lebih lancar berhilir mudik melewati dusun IV4. Di samping itu, mobilitas penduduknya juga cukup tinggi untuk ke luarmasuk desa setiap saat. Hal ini memungkinkan setiap individu bertemu dan berbicara dengan banyak orang. Petani dapat pergi ke kios untuk mencari informasi tentang harga pupuk dan pestisida, ataupun berdiskusi tentang kebutuhan pestisida untuk tanaman mereka, atau ke pasar untuk mencari informasi tentang perkembangan harga dan distribusi barang. Hal ini merupakan salah satu sumber informasi yang penting bagi petani dalam hubungannya dengan kegiatan perladangan. Terutama saat ini, petani sangat ‘gusar’ terhadap fluktuasi harga dan tingginya harga-harga pupuk dan pestisida. Jalur kedua menuju desa membutuhkan waktu sedikit lebih lama, berkisar 20menit, dengan jarak berkisar 3-4 km dari terminal di Kecamatan Berastagi. Jalur ini akan melewati jalan utama menuju kota kabupaten sebelum tiba di Gurusinga (lihat lampiran peta-l). Dari terminal menuju Desa Gurusinga, bus terlebih dahulu akan melewati Desa Rumah Berastagi dan Desa Raya yang terkenal dengan jenis cocok tanam capcai5. Kemudian, setelah melewati kedua desa ini, bus akan membelok ke kanan memasuki Dusun III (Korpri) Desa Gurusinga. Kemudian, bus akan berhenti tepat di tengah kuta (Dusun I dan II), karena tujuan bus dan penumpang pada jalur ini hanyalah menuju Desa Gurusinga (lihat lampiran peta-1). Lalu lintas bus dan truk pengangkut hasil ladang pada jalur ini juga sangat lancar dan tersedia setiap saat dimulai pada pagi hari berkisar pukul 06.00 wib sampai berkisar pukul 18.00 atau 1900 wib setiap harinya6 . 4 Di dusun IV ini terdapat 8 gudang penyimpanan dan gudang untuk memuat produk-produk hasil pertanian. 5 Capcai adalah penyebutan untuk sekelompok jenis tanaman yang berusia 3 bulan. Namun, beberapa dari jenis tanaman ini dapat dipanen dan laku di jual ke pasar walupun usianya masih sekitar dua bulan Tanaman tersebut antara lain adalah selada, daun bawang, daun saledri, daun ketumbar, sayur manis, ketna, dan bit. 6 Jalur kedua ini akan terlihat lebih sibuk dengan lalu lalangnya truk- truk ukuran sedang dan besar yang mengangkut hasil komoditi hortikultura dan buah - buahan (jeruk) dari desa lain. Hal ini disebabkan karena di Dusun III terdapat empat gudang bongkar muat hasil ladang dalam jumlah besar.

14 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Jalur alternatif menuju kuta (Dusun Idan II) dapat di tempuh melalui dusun IV, dengan membelok ke kiri pada simpang Gurusinga, begitu penduduk menyebut nama persimpangan jalan tersebut (lihat lampiran peta-l). Persimpangan ini berbatasan dengan Desa Raja Payung. Melalui simpang ini, waktu tempuh berkisar 15 menit mencapai kuta (dusun I dan II) dan Korpri (dusun III). Kemudahan melakukan perjalanan dari dan ke desa ini juga disebabkan karena beberapa penduduk desa memiliki sarana transportasi pribadi, seperti mobil dan sepeda motor. Kemudahan untuk memperoleh informasi melalui media komunikasi juga telah dapat dirasakan penduduk Gurusinga. Seluruh keluarga petani telah memiliki sebuah pesawat radio tape. Sementara untuk kepemilikan pesawat televisi, hampir seluruh keluarga telah memilikiya. Sarana informasi melalui media cetak, seperti koran lokal juga tersedia di beberapa warung kopi. Di dusun I dan II terdapat 8 warung kopi, di Dusun II terdapat 3 warung kopi, dan di Dusun IV terdapat 2 warung kopi. Semua warung kopi ini berlangganan koran setiap harinya. Warung kopi ini merupakan tempat bagi penduduk desa (khususnya pria) untuk menghabiskan waktu luang mereka. Penduduk Desa Gurusinga ini hampir seluruhnya orang Karo. Penduduk Desa Gurusinga terdiri dari 465 kk, dan jumlah penduduk secara keseluruhan mencapai 2027 jiwa. Terdapat juga orang Jawa dan Toba yang merupakan kelompok pendatang. Kelompok pendatang ini tidak dihitung dalam data kependudukan desa. Mereka hanya diwajibkan untuk melaporkan kedatangannya. Mereka tinggal di Gurusinga untuk sementara waktu, bekerja sebagai buruh tani harian, dan dapat pergi kapan saja sesuka hati mereka. Data kependudukan Desa Gurusinga berdasarkan mata pencaharian penduduknya menunjukkan bahwa dari 465 kk yang ada di desa, terdapat 375 kk sebagai petani, 70 kk pedagang dan 20 kk pegawai negeri (lihat lampiran 4). Beberapa dari keluarga pedagang dan pegawai negeri juga melakukan kegiatan cocok tanam di ladang. Ladang tersebut merupakan warisan dari orang tua mereka. Di samping itu, beberapa penduduk dari semua golongan mata pencaharian ini juga melakukan usaha sampingan dengan beternak sapi, kerbau, ayam, itik serati, bebek dan juga angsa, baik disekitar rumah atau di ladang mereka.

15 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Usaha sampingan ini tidak untuk dijual. Sapi atau kerbau merupakan investasi bagi petani, dapat juga digunakan petani untuk menarik pedati ke dan dari ladang, sebagai alat transportasi mereka atau untuk mengangkat pupuk dan hasil ladang. Sementara ternak lainnya untuk dikonsumsi sendiri. Penduduk yang disebut pedagang adalah mereka yang membuka usahausaha kedai kopi, kedai nasi, warung kelontong, penjual gorengan, pengusaha angkutan (bus), pedagang perantara, serta pemilik kios pupuk dan pestisida. Sementara mereka yang disebut pegawai adalah penduduk yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan atau berprofesi sebagai guru, baik di sekolah swasta ataupun negeri. Data kependudukan lainnya menunjukkan bahwa sebahagian besar dari penduduk dewasa (usia 50-60 tahun) memiliki pendidikan hanya tamat sekolah dasar (SD), yakni berjumlah 615 orang. Penduduk yang tidak tamat SD berjumlah 345, dan jumlah ini hampir sama banyak dengan penduduk yang memiliki pendidikan hanya sampai pada tingkat SLTP. Sementara, penduduk yang mengenyam pendidikan sampai jenjang SLTA mencapai 200 orang, dan jenjang akademi mencapai 125 orang. Penduduk yang memiliki gelar sarjana juga mencapai 98 orang. Selain itu juga terdapat beberapa kelompok anak-anak yang belum mencapai usia sekolah sekitar 254 orang. Beberapa penduduk yang telah mengenyam pendidikan hingga tingkat sarjana ini berasal dari lulusan Universitas Karo (UKA) yang berada di ibu kota kabupaten di Kabanjahe. Penduduk Gurusinga juga memeluk agama yang berbeda-beda. Pemeluk Kristen Protestan memiliki jumlah terbesar, yaitu 1185 jiwa. Pemeluk agama Islam berjumlah 510 jiwa. Pemeluk agama Katolik berjumlah 230 jiwa, dan pemeluk aliran kepercayaan berjumlah 120 jiwa. Sehingga jumlah total penduduk desa ini adalah 2027 jiwa. 2. Kondisi Lingkungan Alam dan Tata Ruang Desa Gurusinga Suhu udara dan letak ketinggian Tanah Karo7 secara umum sangat mendukung seluruh desa di Kabupaten ini melakukan kegiatan cocok tanam. Desa Gurusinga sebagai salah satu desa di Kecamatan Berastagi terletak pada ketinggian 1400 m dpl. Desa ini memiliki suhu udara yang relatif sejuk, berkisar antara 16˚ – 27˚ C (BPS SUMUT 1997). 7 Tanah Karo secara umum berada pada ketinggian 140-1400 m di atas permukaan laut dengan suhu udara berkisar antara 15˚ C s/d 2S°C. Kelembapan udara sebesar 09,5%, tersebar antara 88% s/d 91 %. dan curah hujan rata-rata 1000-4000 mm/tahun (BPS SUMUT,1997). Secara khusus suhu udara di Gurusinga rata-rata 16˚-27˚C, dengan kelembapan rata-rata 82% dan curah hujan 2400-2800 mm/tahun (BPS SUMUT,1997).

16 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Mengenai keadaan tanah, menurut petani-petani di Gurusinga, tanah di desa ini memiliki tiga variasi berdasarkan kesuburannya. Petani menggunakan kriteria warna dan tekstur tanah. Pertama, tanah yang berwarna hitam pekat dan sangat gembur, mudah hancur, dan berkesan basah. Kedua, berwama hitam kecoklatan sedikit berpasir dan berbatu, juga sangat gembur. Ketiga, berwarna coklat kemerahan, terlihat banyak mengandung batu-batuan kecil. Jenis ini terlihat seperti gumpalan-gumpalan kecil dan apabila basah terasa lengket seperti tanah liat8. Jenis tanah yang subur adalah jenis pertama dan kedua, dan terdapat di sekitar kaki Bukit Deleng Kutu (lihat lampiran peta-3). Berdasarkan studinya di Tanah Karo, Kozok (1991: 21-26) menyebutkan bahwa jenis tanah ini adalah tanah ‘andoso!’, sangat subur dan terdapat hampir di sebagian besar dataran tinggi Karo. Tanah ini mengandung unsur vulkanik dari Bukit Barisan dan pengaruh keberadaan Gunung Sinabung dan Sibayak, ditemukan pada wilayah yang berada di zona pegunungan. Sedangkan, jenis tanah ketiga disebut penduduk kurang subur. Kozak (1991:21-26), menyebutnya dengan jenis tanah ‘podzol’, berwarna abuabu dan kemerahan, sangat asam dan mengandung sedikit material organik Sifat tanah ini tidak sesuai uutuk penanaman hortikultura, khususnya sayur-sayuran. Namun, Kozok juga melaporkan, bahwa jenis tanah ini masih dapat dijadikan subur dengan menambah pupuk buatan. Dalam mengolah jenis tanah yang kurang subur ini, petani Gurusinga menggunakan taneh api, yaitu abu sisa pembakaran sampah ataupun kayu-kayu. Hasil dari tindakan petani ini memperlihatkan perbaikan kesuburan lahan-lahan di sekitar Tangku!en (dusun IV), dan perladangan menuju Tangku!en, dan kemudian lahan di Korpri (dusun III). Sementara itu, mengenai ketersediaan air bagi penduduk desa, penduduk dapat memperolehnya dari beberapa air pancuran yang bersumber dari mata air yang tersebar di seluruh desa, menampung air hujan dalam bak di kamar mandi masing-masing penduduk, dan juga dari air yang bersumber dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) di Kecamatan Berastagi. 8 Menurut Lightfoot (199S:3S0), dari studi yang dilakukannya di Philipinajuga menemukan klasifikasi petani atas kesuburan tanah dengan rnenggunakankriteria \'iarna atau tekstur tanah, dan petani juga yakin bahwa tanah selalu dapat diremajakan kembali fungsinya.

17 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Dalam kaitannya dengan praktik tanam campuran, petani hanya mengharapkan curahan dari air hujan. Di desa ini tidak ditemukan sumber mata air besar seperti sungai ataupun irigasi yang mengalir di antara ladang-ladang petani. Menurut petani di Gurusinga, mereka cenderung memanfaatkan air dari sumber mata air yang tersebar di beberapa tempat di areal perladangan penduduk untuk kebutuhan-kebutuhan penyemaian benih, dan sangat jarang (atau hampir tidak pernah) untuk menyiram tanaman mereka. Penduduk menyebut sumber mata air ini dengan istilah tapin9. Mata air ini mengalir melalui beberapa jurang-jurang kecil atau daerah rendah di beberapa lokasi perladangan. Beberapa di antara aliran ini akan bertemu pada satu titik tertentu, dan menjadi sebuah sebuah sungai kecil (di dasar jurang). Terdapat juga suatu kolam air dengan ukuran luas 10 x 20 m, terletak di belakang kaki bukit Deleng Kutu yang disebut cek dam si linur. Namun, lokasi sungai kecil dan cek dam ini jauh dari lokasi areal perladangan penduduk. Batas antara lokasi perladangan dan cek dam ini adalah hutan-hutan kecil di kaki bukit tersebut. Berdasarkan keterangan seorang petugas dari Dinas Pertanian setempat (Pak Rs/ 45 tahun), kebutuhan air bagi tanaman penduduk di desa ini masih tercukupi dari curahan hari hujan yang relatif tinggi setiap hari, sehingga dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman. Di samping itu, suhu udara yang relatif sejuk, dan pengembunan pada tanaman sepanjang malam juga sangat mendukung bagi tumbuh kembang tanaman. Keterangan Pak Rs ini sesuai dengan data dari Stasiun Klimatologi Kuta Gadung. Data tersebut menunjukkan bahwa curahan hari hujan rata-rata tinggi setiap bulan. Jika dilihat dari turunnya hujan setiap hari secara umum, maka daerah-daerah di wilayah Kecamatan Berastagi hampir mendapat hujan setiap hari. Hujan tersebut dapat saja hanya gerimis dan berlangsung beberapa jam. Di samping itu, suhu udara cenderung stabil dalam keadaan sejuk. Suhu maksimum cenderung hanya berkisar 26,8˚C atau 26,3˚C untuk tahun 1998 hingga 2004. Sementara, suhu minimum cenderung berkisar 19,2˚C untuk tahun 1998, dan 19,1˚C untuk tahun 1999 hingga 2004 (Stasiun Klimatologi Kuta Gadung, Berastagi. Kab.Karo). 9 Tapin berarti air pancuran. Penduduk, membuat suatu kolam untuk menampung air dari sumber mata air, membuat pipa dari bambu untuk mengalirkan air. Air ini dapat digunakan untuk keperluan mandi dan mencuci pakaian. Sementara untuk keperluan memasak penduduk menggunakan saran air dari PAM (Perusahaan Daerah Air Mnum).

18 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Dengan kondisi lingkungan alam seperti ini, Desa Gurusinga sangat cocok bagi kegiatan praktik tanam campuran petani. Namun menurut petani, mereka juga mengadapi beberapa kendala. Menurut petani adakalanya hujan tidak ‘sampai’ ke desa mereka. Hujan hanya terjadi di beberapa desa lainnya. Bahkan menurut penduduk, kadangkala hujan sering disertai dengan tiupan angin kencang. Bahkan, pada saat-saat tertentu, cuaca dapat menjadi sangat panas (menurut ukuran petani), terasa sangat kering, dan disertai dengan angin kencang, lalu tiba-tiba mendung dan hujan gerimis. Adakalanya juga hujan disertai dengan butiran-butiran es dengan diameter 1 cm hingga 2 cm. Penduduk menyebutnya dengan udan batu (hujan batu). Terjadinya perubahan-perubahan cuaca ini tidak dapat diduga-duga. Beberapa petani Gurusinga mengatakan bahwa mereka hanya hidup dari kegiatan pertanian, sehingga keadaan iklim ini tidak membuat mereka berhenti atau mengurangi kegiatan penanaman, atau beralih ke jenis pekerjaan lain. Menurut petani-petani di Gurusinga, mereka hanya memiliki tanah sebagai modal yang paling berharga untuk mata pencaharian mereka, dan hanya tahu mengenai kegiatan pertanian. Selain itu, kegiatan pertanian ini juga telah mereka geluti sejak mereka kecil. Mengenai kegagalan dan keberhasilan, bagi petani itu adalah resiko yang sudah biasa mereka hadapi. Petani-petani di Gurusinga ini mengolah lahan pertanian mencapai 315 ha. Areal perladangan itu terbentang dari arah timur, barat, utara dan selatan, dan terlihat seolah ‘memeluk’ kompleks pemukiman di desa ini. Sebagai daerah pertanian, desa ini memiliki suatu pola tata ruang yang ‘menarik’, dari segi komposisi rumah dan penataan perladangan. Apabila pengamatan dilakukan tepat pada bagian tengah dari Dusun I dan II (kuta) , maka akan terlihat ‘wajah’ desa yang dihiasi beberapa rumah adat tradisional Karo, lengkap dengan dua tanduk kepala kerbau pada dua sisi atapnya10. Berdampingan dengan rumah adat, akan ditemukan beberapa rumah penduduk bertingkat tiga dengan bangunan permanen dan lengkap dengan antena parabola. Pada beberapa lokasi di tengah kuta, terlihat juga beberapa lumbung padi yang sudah berusia sama dengan rumah adat tradisional. Berdampingan dengan rumah adat dan rumah bertipe permanen (batu), diternukan juga beberapa bangunan rumah bertipe semi permanen (setengah batu), dan rumah sederhana (kayu). 10

Saat ini terdapat tujuh rurnah adat yang masih berdiri, lima diantaranya masih dihuni, dan dua sisanya tidak layak dihuni. Menurut penduduk seternpat, usia rata-rata rumah adat ini tidak kurang dari 70 tahun.

19 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Komposisi rumah-rumah penduduk ini sangat padat dan tidak beraturan. Komposisi ini menjadi menarik karena bentuk bangunan itu sangat kontras satu dengan lainnya, terdiri dari berbagai tipe: model dan ukurannya juga beragam. Jika berjalan ke arah luar pemukiman kuta, tepatnya ke arah timur, yaitu pada bagian awal di luar kompleks perkampungan (Dusun I dan II), maka ke arah mata angin mana saja pengamatan dilakukan (T-B-U-S), terlihat hutan-hutan kecil milik keluarga-keluarga petani Gurusinga dengan bambu sebagai tanaman dominan. Menurut keterangan penduduk, bambu ini sengaja dipelihara hingga berusia tua dengan dua tujuan utama. Pertama, sebagai tanaman pelindung bagi tanaman mereka di ladang. Karena, bambu dapat menyerap air, dan dapat menahan panasnya matahari bagi tanaman lain di bawahnya. Kedua, petani memanfaatkannya untuk membuat keranjang bambu. Keranjang ini dapat dijual dan juga digunakan untuk mengangkat hasil pertanian dari ladang ke pasar. Namun, beberapa penduduk juga hanya memelihara bambu hingga berusia tua dan menjualnya kepada pembuat keranjang bambu. Ditemukan juga hutan-hutan kecil milik desa yang disebut sebagai pulo-pulo kuta. Hutan kecil ini sangat tinggi dan rimbun, ditumbuhi tanaman-tanaman kayu besar dan telah berumur ratusan tahun dengan ukuran diameter 0,5 m sampai 1 m. Melihat lebih jauh ke arah luar untuk mengetahui apa yang ada dibalik hutan-hutan kecil ini, mulai terlihat areal perladangan petani-petani Gurusinga dengan berbagai ukuran, bentuk dan ragam pola tanam dan varietas tanaman. Areal perladangan ini terlihat seperti tertata rapi dengan komposisi bentuk dan warna tanaman yang sangat bervariasi. Dengan mengalihkan pandangan lebih jauh ke sekeliling desa, terlihat sebuah bukit dengan pepohonan tua dan sangat rimbun. Penduduk menyebutnya Deleng Kutu. Bukit ini diyakini sebagai tempat keramat oleh seluruh penduduk. Tidak seorang pun dari penduduk memanfaatkan bukit ini menjadi perladangan, atau menebang kayunya. Deleng Kutu terpelihara hingga saat ini kelestariannya. Beberapa penduduk hanya memanfaatkan lokasi di bawah kaki bukit untuk perladangan. Tanaman utama yang dipilih adalah jagung atau jeruk yang dicampur dengan cabai dan beberapa tanaman usia muda (3 atau 4 bulan panen).

20 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

B. Pengetahuan Petani dalam Pengelolaan Ladang Jenis hortikultura yang mereka budidayakan di ladang adalah beragam jenis sayursayuran untuk kebutuhan pasar. Praktik tanam campuran merupakan jenis cocok tanam yang dipilih petani. Sebahagian kecil hasil ladang juga digunakan untuk kebutuhan subsistensi selain untuk dijual ke pasar. 1. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Jenis Usia Seluruh tanaman hortikultura (sayur-sayuran) yang dibudidayakan disebut petani Gurusinga dengan tanamen muda, yaitu tanaman yang telah dapat memberi hasil pada usia singkat sekitar tiga atau empat bulan. Selain itu, usia tanamen muda hanya berkisar tiga bulan hingga satu tahun (jenis tanaman muda lihat lampiran 3). Petani membedakan tanamen muda ini dengan tanamen tua, yaitu tanaman yang memberi hasil dalam hitungan usia tahun, dan usia tanaman dapat mencapai lebih dari satu tahun. Tanamen tua berorientasi pasar yang cenderung ditanam petani adalah jeruk. 2. KIasifikasi Tanaman Berdasarkan Waktu Produktivitas Tanaman Tanamen muda ini berdasarkan waktu produktivitasnya dibedakan petani atas dua kelompok; tanaman dengan waktu panen satu kali (sekali ku tiga) dan waktu panen lebih dari satu kali (piga-piga kali ku tiga9) Tanaman sekali ku tiga meliputi; kentang, kubis, petsai, wortel lobak, kacang jogo, ketna, bit, selada, daun bawang dan peleng. Tanaman dengan waktu panen lebih dari satu kali adalah; tomat, cabai merah, cabai rawit, buncis, arcis, patersly, saledri, ketumbar daun, terung, kacang panjang, kacang koro, kubis bunga dan brokoli. 3. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Perawatan Tanaman Petani Gurusinga membagi tanamen muda menjadi tiga kelompok berdasarkan perawatan tanaman; tingkat kerumitan perawatan, modal perawatan dan keahlian perawatan tanaman. 9

Secara harafiah sekali ku tiga berarti hanya satu kali ke pasar. Sebutan ini untuk menyebut kelompok tanaman muda yang hanya panen satu kali dalam satu waktu tanam. Piga-piga kali ku tiga berarti beberapa kali ke pasar. Sebutan ini ditujukan bagi kelompok tanaman dengan masa panen beberapa kali dalam satu waktu tanam

21 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

3.1. Kerumitan perawatan tanaman Petani membagi tanamen muda atas dua kelompok, yaitu; tanamen capcai dan tanamen muda biasa. Jenis capcai meliputi; wortel, bit, ketna, selada, daun bawang (bawang daun), seledri, ketumbar daun, patersly dan sayur manis. Kelompok tanaman jenis ini cenderung dipanen dalam bentuk daun, kecuali wortel dan bit (panen dalam bentuk umbi). Selain jenis capcai semua jenis tanaman dikelompokkan sebagai tanamen muda biasa. Secara umum, terdapat tiga perbedaan antara dua kelompok tanaman ini. Pertama, kelompok capcai adalah tanaman yang sangat butuh air, harus disiram pada awal waktu tanam dan juga pada perawatan selanjutnya apabila cuaca terlalu panas. Setelah dipanen dan sebelum dijual ke pasar, tanaman capcai harus dicuci terlebih dahulu. Kelompok tanaman muda lainnya tidak terlalu butuh air, tidak harus disiram pada awal tumbuhnya,cukup hanya air hujan dan juga tidak perlu dicuci sebelum dijual ke pasar. Kedua, kelompok capcai dapat dijual ke pasar walaupun usianya belum mencapai usia panen (3-4 bulan). Petani tidak akan rugi karena kelompok ini tidak membutuhkan biaya yang tinggi dalam perawatannya. Tanaman muda lainnya hanya dipanen apabila sudah cukup umur atau mencapai 4 bulan. Harga akan murah jika dijual sebelum memasuki usia panen10. Ketiga, beberapa kelompok capcai dapat dipanen dua kali dalam satu minggu secara rutin sampai tanaman berusia kurang lebih enam bulan. Panen rutin ini untuk jenis daun, seperti daun saledri, daun patersly, dan daun ketumbar. Helai demi helai daun dipetik dan menyisakan daun muda (pucuk daun). Kelompok tanaman muda lainnya dipanen secara bersama sama. Kalaupun ada jenis yang tidak dipanen lebih dari satu kali, pemanenan itu tidak memetik daun helai demi helai setiap minggu. 10

Kategori harga jual murah dan mahal untuk diukur petani dengan membandingkannya terhadap biaya perawatan tanaman.

22 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

3.2. Modal Perawatan Tanaman Petani membagi dua kelompok tanaman untuk jenis ini; tanaman si megegeh modal (tanaman bermodal besar) dan tanaman si sitik modal (tanaman muda bermodal kecil Pengelompokan ini berhubungan dengan biaya pembelian pupuk dan pestisida untuk perawatan tanaman hingga panen. Tanaman bermodal besar meliputi; tomat, kentang, cabai merah, cabai paprika, kubis, kubis bunga dan brokoli. Tanaman bermodal kecil meliputi jenis capcai; buncis, lobak, kacang jogo, kacang panjang, kacang koro, terung dan jenis petsai. Pupuk yang digunakan adalah pupuk buatan pabrik (PUSRI); urea (disebut juga urea), KCL (disebut paten kali ) dan SP-36 (disebut tripe!). ZA disebut penduduk dengan garam,SS (disebut (amapos), BASF (disebut rustika). Petani juga menggunakan pupuk organik buatan sendiri yang mereka sebut taneh gemuk. Pupuk buatan ini meliputi pupuk kandang dan pupuk hijau atau kompos. Pestisida disebut obat oleh Petani di Gurusinga dan juga petani lain di Tanah Karo. Obat ini dapat dibeli di kios pupuk dan pestisida di Berastagi (ibu kota kecamatan) dan juga di Kabanjahe (ibu kota kabupaten). Penyemprotan obat dilakukan secara rutin tanpa menunggu serangan hama dan penyakit tanaman. Petani mengatakan bahwa tindakan ini dilakukan sebagai antisipasi serangan hama dan penyakit yang tidak dapat diramalkan. Berdasarkan pengalaman mereka, tanaman tidak akan berhasil dengan baik apabila tidak disemprot obat. Menurut petani setiap bibit yang ditanam adalah modal yang harus dijaga dengan baik jika tidak ingin rugi. Petani juga mengatakan bahwa dosis obat yang digunakan cenderung lebih besar dari yang tertera di kemasan. Berdasarkan pengalaman petani, hama dan penyakit cenderung menyerang tanaman jika mereka mengikuti dosis di kemasan. Apabila penyakit sudah menyerang, maka aturan dosis hama dilebihkan lagi untuk mengantisipasi peluasan serangan hama dan penyakit. Petani lebih memilih melakukan antisipasi daripada menunggu hama dan penyakit menyerang, karena menghentikan perluasan serangan, jauh lebih mahal daripada mencegahnya.

23 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Karena mahalnya biaya perawatan tanaman, beberapa petani memanfaatkan ‘hubungan baik’ mereka dengan pemilik toko pupuk dan pestisida. Hubungan atas dasar kepercayaan yang diawali sebagai pembeli tetap berkembang menjadi hubungan pinjam meminjam pupuk, pestisida dan bibit tanpa jaminan 11.

3.3. Keahlian Perawatan tanaman Petani membagi tanaman muda menjadi dua bagian; tanaman top dan tanaman si biasa. Tanaman top merupakan jenis tanaman muda yang sangat 'dikenal' petani; petani sangat memahami perawatan tanaman dan se1a1u mendapat keuntungan apabila menanamnya, walau dalam cuaca terburuk sekalipun. Si petani sangat ahli terhadap tanaman ini. "Sesekali kami memang pernah rugi, tapi sedikit dan sangat jarang terjadi, paling kembali modal dan bagi kami itu tidak termasuk merugi", demikian ungkap Pak Ginting yang memiJiki tanaman tomat sebagai tanaman top12 Keahlian merawat tanaman top ini hanya beredar diantara kerabat dekat yang memiliki hubungan baik. Keahlian yang tertutup peredarannya ini meliputi kiat-kiat khusus menyiasati tanaman agar tumbuh dan panen melimpah ruah. Kiat-kiat tcrsebut berupa; teknik cara tanam, dosis dan waktu pemberian pupuk dan penyemprotan pestisida, atau proses pembibitan yang sempurna. Keahlian tanaman top ini bersifat sangat individual, merupakan identitas bagi komunitas kerabat atau klen (marga) tertentu. Setiap individu atau kelompok marga tertentu cenderung memiliki tanaman top yang berbeda. Petani punya sebutan untuk mereka dengan keahlian khusus ini, seperti; petani yang memihki tanaman top kentang disebut perkentang. Mereka dengan tanaman top cabai disebut percina (cina = cabai). Orang yang memiliki tanaman top kubis disebut perkol (kol = kubis). 11

Petani memimjam pupuk dan pestisida atau juga bibit tanaman dan akan membayarnya pada saat panen. Harga pinjaman dihitung jumlahnya sebesar harga barang pada saat petani akan membayar, jika petani merugi, mereka dapat terus berhutang dan membayarnya pada saat panen mendatang, Perjanjian yang diadakan hanya keterikatan pembelian kebutuhan pertanian harus dari toko yang sama. Petani mengatakan cara ini sebagai 'win' win solution' untuk petani dan pemilik took pupuk/pestisida.

12

Kembali modal bagi petani Gurusinga tidak dinilai sebagai kerugian, karena cenderung tidak menghitung biaya tenaga kerja dan waktu yang mereka keluarkan dalam merawat tanaman sebagai biaya produks.Petani akan menghitung tenaga kerja dan waktu sebagai modal apabila mereka menggunakan buruh tani untuk bekerja di ladangnya. Buruh tani ini harus diberi upah berkisar Rp.20.000-25.000 untuk satu hari kerja di ladang dengan tanamen muda dimulai pukul 09.00 - 11.00 WIB.

24 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Sedangkan tanaman si biasa adalah jenis tanaman muda lainnya yang bukan merupakan tanaman top si petani. Petani tidak sangat ahli dalam merawat jenis tanam si biasa ini. Petani tidak selalu untung apabila memilih tanaman si biasa baginya. "Jika untung bisa untung besar, jika rugi bisa sangat buntung", begitulah penjelasan Pak Karo-Karo di Gurusinga.

4. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Ukuran Tinggi Tanaman

Tinggi tanaman dari permukaan tanah merupakan dasar petani mengklasifikasikan tanaman muda mereka. Petani menghubungkan tinggi tanaman itu dengan kerimbunan cabang-cabang dan daun tanaman. Berdasarkan hal ini, petani membedakan tiga kelompok tanaman muda; si nggedang melalau bulung (tanaman tinggi dan daun rimbun), si sedang (tinggi tanaman sedang dan daun tidak rimbun),si gendek (tanaman pendek). Tanaman si nggedang melala bulung adalah tanaman muda yang memiliki batang (seperti kayu) dengan tinggi rata-rata mencapai pangkal paha orang dewasa (sekitar 1 m), memiliki beberapa cabang dan daun rimbun

13

. Cabai merah, cabai rawit, cabai paprika, tomat, arcis, kacang panjang,

kacang koro dan terung adalah contoh jenis ini. Hasil panen jenis ini dalam bentuk buah. S'i sedang juga juga memihki batang tanaman dengan tinggi rata-rata hingga lutut petani dewasa (dibawah 1 m), dengan beberapa cabang tanaman. Hasil panen juga dalam bentuk buah, seperti; buncis dan kacang jogo. Sedangkan, Si gendek adalah tanaman yang tidak memiliki batang tanaman (dalam bentuk kayu), hanya dalam bentuk daun dengan tinggi tidak sampai ukuran lutut petani dewasa. Hasil tanaman dalam bentuk umbi dan daun, seperti; kentang, wortel, lobak, bit, jenis capcai, jenis petsai, kubis, kubis bunga dan brokoli.

13.

Petani menggunakan kriteria ukuran tinggi tanaman dengan membandingkan terhdap ukuran tinggi tubuh mereka

25 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

5. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Sumber Penyakit Klasifikasi ini berkaitan erat dengan kondisi iklim di Gurusinga. Berdasarkan sumber penyakit, petani mengelompokkan tanaman muda ke dalam dua bagian; tanaman ‘sakit’ karena hawa (angin dan cuaca) dan karena tanah atau pinakit taneh. Petani menjelaskan bahwa tanaman muda mereka dapat tumbuh tidak sempurna disebabkan hawa yang tidak baik. Dalam musim hujan (banyak hujan) urat tanaman tidak berjalan (September-Desember). Musim sedang atau tukar-tukar hawa akan banyak ulat-ulat atau busuk daun/batang (Agustus-September). Pada musim ini, cuaca dapat berubah beberapa kali dalam satu hari; panas, lalu turun hujan secara tiba-tiba atau mendung, atau gerimis tibatiba diiringi angin kencang. Jika musim panas, maka semua zat tanah (unsur hara) akan diserap panas matahari (Mei-Agustus). Musim yang baik adalah musim sedang, khususnya Januari-April. Namun, mereka tidak mungkin hanya menanam pada bulan ini, karena mata pencaharian utama dari pertanian. Penyakit ada karena hawa tidak baik. Tanaman tidak tahan terhadap hawa itu. Mereka menjelaskan apa itu hawa dengan menghubungkan suhu atau temperatur udara dengan kecepatan atau arah angin. Menurut petani, apabila mereka menyesuaikan jenis tanaman dengan kecenderungan jenis iklim yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman itu, temyata penyakit yang dihindarkan juga menyerang tanaman. Sehingga, hasil yang diperoleh juga tidak sesuai dengan harapan petani. Dengan pengalaman berulang-ulang seperti ini, petani cenderung menanam setiap jenis tanaman dalam setiap kondisi iklim. Beberapa penyakit yang bersumber dari hawa antara lain; bayungen ('pseudomonas Solanacearum’), cendol-cendol/nipe-nipe(‘Crocidolomiabinotalis’), Kriting (‘’Spodoptera litura '). meseng pucuk (‘Antraknose’)14. Penyakit tanaman juga disebabkan karena ‘penyakit tanah’. "Tanah kami juga sudah ‘sakit’. Tanah yang ‘sakit’ ini menularkan penyakit pada tanaman. Petani tidak tahu apa dan mengapa tanah mereka menjadi ‘sakit’. 14

Keterangan lebih lanjut dapat dilihat dalam Sembiring, Sri Alem (2000) Praktik Tanam Campuran: Kaiian Proses pengambilan Keputusan Petani dalam Memilih Jenis Tanaman Hortikultura di desa Gurusina. Kec. Berastagi Sumatera Utara. Thesis. Program Pascasarjana Program Studi Antropologi Universitas Indonesia.

26 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Penyakit tanah ini akan menyerang tanaman apabila petani menanam jenis tanaman yang sama untuk dua waktu tanam secara berturut-turut pada lahan yang sama. Bagian tanaman yang diserang cenderung adalah akar, umbi ataupun pangkal batang tanaman (1ihat lampiran 4). Beberapa penyakit yang bersumber dari tanah antara lain; akar lobak atau nematoda bengkak akar (‘Meiloidogyne Spp’), balagering atau penggerek umbi dan batang (‘Phthorimaea Operculella Zeller’).

6. Klasifikasi Tanamaii Berdasarkan Tujuan Pemanfaatan Tanaman

Tanaman muda dibedakan atas dua kelompok; tanaman sampingan dan dayaan. Tanaman sampingan adalah tanaman muda yang dibudidayakan hanya untuk sampingan atau sekedar tambahan. Petani tidak mengharapkan keuntungan besar dari jenis ini. Beberapa petani tidak menjual hasil tanaman sampingan, hanya untuk subsistensi. Beberapa contohnya antara lain; jenis petsai, jenis capcai, buncis, kacang koro, terung dan cabai rawit15. Beberapa jenis tanaman sampingan lainnya adalah tanaman obat dan juga beberapa bumbu dapur16. Tanaman ini juga ditujukan sebagai ‘tumbal’ atau ‘sasaran’ dari penyakit yang akan menyerang tanaman. Harapan keuntungan utama petani berasal dari tanaman dayaan, yaitu tanaman yang ditanam dengan tujuan utama untuk dijual ke pasar. Petani dapat menggolongkan seluruh jenis tanaman muda sebagai tanaman dayaan selama mereka menanam tanaman tersebut untuk tujuan dijual ke pasar, dan mempunyai harapan besar untuk mendapatkan keuntungan darinya.

15 Terdapat juga tanaman sampingan lain seperti; labu kuning, labu putih(walo), labu jipang dan daun singkong. Jenis tanaman ini tidak disebut tanamen muda, walaupun telah menghasilkan dalam usia 4 bulan. Namun, usianya dapat mencapai lebih dari tiga tahun jika dirawat Petani Gurusinga menyebutnya dengan semuan-semuan juma (tanaman-tanaman ladang). Tanaman ini berkembang biak dengan cara menjalar. 16 Tanaman obat yang ditanam petani antara lain; tebu hitam, daun bangun-bangun, dan daun sirih. Sedangkan jenis bumbu dapur antara lain; jahe, kunyit dan kencur, dan lengkuas.

27 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

7. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Sasaran Distribusi Petani mengelompokkan tanaman muda kedalam dua bagian; tanamen kirim (tanaman ekspor) dan tanamen la kirim (tanaman untuk lokal). Tanaman ekspor adalah tanaman muda yang dapat diekspor atau dikirim ke luar negeri. Berikut ini daftar tanaman ekspor dengan negara tujuan. Tabel 2.Jenis Tanaman Ekspor dari Kecamatan Berastagi dan Negara-negara Tujuan Ekspor

No

Jenis Tanaman

Negara Tujuan

1

Kentang

Malaysia, Singapura, Brunei D.,USA

2

Tomat

Singapura dan Malaysia

3

Kubis Bunga

Malaysia, Singapura, Hongkong

4

Kubis

Malaysia, Singapura, Jepang,Taiwan, Pakistan

5

Wortel

Malaysia, Singapura, Pakistan, Hongkong

6

Buncis

Malaysia, Singapura, Hongkong, Jepang

7

Arcis

Malaysia

8

Seledri

Malaysia

Sumber : Departemen Perindag Kabupaten Karo 2005 Jenis tanamen Ia kirim adalah tanaman yang cenderung tidak diekspor. Menurut petani, tanaman ini hanya didistribusikan untuk beberapa daerah lain atau di luar Sumatera Utara, seperti; Medan, Aceh, Batam, Padang, Palembang, dan juga Riau 17 17

Dalam menjual tanaman kebutuhan ekspor dan lokal ini, petani memiliki dua alternatif pilihan penjualan, yaitu kepada agen

(pedagang perantara untuk ekspor) dengan melelang tanaman di ladang atau membawanya ke pasar induk di Berastagi dan menjualnya ke perkoper (pedagang perantara untuk kebutuhan lokal)

28 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

8. KIasifikasi T anaman Berdasarkan Fluktuasi Harga Petani menggolongkan jenis tanaman atas fluktuasi harga menjadi dua bagian; tanaman dengan perubahan harga yang sangat cepat dan tanaman dengan perubahan harga yang tidak terlalu cepat. Petani menyebut tanaman dengan fluktuasi harga tinggi dengan tanamen ngeri atau tanamen ngeri-ngeri sedap, seperti; tomat, kentang, cabai merah, kubis bunga dan wortel18. Harga tanaman ini dapat berubah ‘jauh’ dalam hitungan hari. Perbedaan harga sangat mencolok dari hari ke hari. jenis tanaman ini sebahagian besar tergolong tanaman ekspor. Besamya permintaan ekspor barang menentukan perubahan harga. Tanaman yang tergolong memiliki fluktuasi harga pasar yang tidak terlalu cepat adalah; buncis, brokoli, lobak, jenis terung dan jenis capcai (kecuali wortel). Jenis tanaman ini tidak berubah secara mencolok perbedaan harganya. Jika naik,harga tidak terlalu tinggi dan jika turun harga tidak jatuh terlalu besarl9. Sehubungan dengan fluktuasi harga ini, petani menempuh beberapa cara untuk: mendapatkan informasi baru yang di ‘up date’ setiap hari bahkan beberapa kali dalam sehari, terutama apabila petani hendak menjual tanamannya. Petani mengembangkan jalur informasi dengan para agen dan perko per. Bahkan banyak petani yang membuka jalur informasi dengan tukang timbang di pasar induk dan juga dengan supir angkot dalam kota/antar kampung. Mereka inilah yang lebih cepat mendapat informasi mengenai harga barang, jenis tanaman yang ‘banjir barang’, arus ekspor, distribusi antar kota.

18 Petani Gurusinga menjelaskan bahwa harga jenis tanaman ngeri ini dapat tiba-tiba menjadi mejile (mahal) dan juga tibatiba menjadi mejin (murah). Menurut pengalaman petani dalam menjual tanaman ini, mereka dapat untung besar tetapi juga dapat memperoleh kerugian besar. 19 Petani-petani rnenjelaskan penyebab perubahan harga dengan beragam versi. Beberapa petani mengatakan harga dapat berubah-ubah karena jumlah panen yang sangat banyak atau ‘banjir barang’ untuk jenis tanaman yang sama. Harga dapat naik jika ada permintaan barang dari daerah lain atau dari luar negeri, atau karena kegagalan panen di daerah lain untuk satu jenis tanaman tertentu.

29 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

C. Bentuk-Bentuk Praktik Tanam Campuran Petani Petani hortikultura di Desa Gurusinga memperlihatkan adanya perbedaan-perbedaan pada bentuk praktik tanam campuran mereka. Perbedaan tersebut dapat dibedakan dalam lima bentuk pola tanam. Petani membedakannya secara tegas dalam penamaan tertentu untuk setiap pola tanam, yaitu; campur-campur, tumpang tindih, tua-muda, rotasi (sada-sada) dan bertingkat. Menurut petani, perbedaan penyebutan ini didasarkan pada jenis dan jumlah percampuran tanaman di dalam ladang tersebut. Dengan kata lain, perbedaan penyebutan tersebut berhubungan dengan bentuk klasifikasi petani atas tanaman-tanaman hortikultura yang mereka budidayakan. Uraian berikut akan mendeskripsikan bagaimana bentuk pola tanam itu dilakukan petani Gurusinga. 1. Pola Tanam Campur-campur Pada pola tanam campur-campur, petani-petani menanam lebih dari satu jenis tanaman muda di ladang. Tanaman tersebut dapat berasal dari tanaman ekspor atau lokal. Jenis tanaman yang dipilih cenderung memiliki usia panen satu kali. Dalam melakukan penanaman, petani membuat perencanaan waktu tanam dan waktu panen yang tidak serentak antara beberapa jenis tanaman yang dipilih. Dengan demikian, petani dapat melakukan perawatan dengan baik untuk semua tanamannya. Tujuan penanaman cenderung untuk dijual ke pasar (tanamen dayaan). Pada pola tanam ini, petani menata ladangnya dengan membagi satu lahan ladang menjadi beberapa petak. Ukuran setiap petak tergantung pada keinginan si petani. Beberapa jenis tanaman akan ditanam petani dalam setiap petak. Satu petak dapat juga hanya satu jenis tanaman. Sehingga akan terlihat keragaman tanaman dalam tiap petak-petak di satu ladang. Ladang petani akan terlihat seperti pola kain perca ‘tambal-sulam’. Satu petak akan berwama hijau dan berdaun lebat dengan ukuran tinggi berkisar setengah meter. Petak lain berwarna lebih putih, sangat pendek dan tidak memiliki batang tanaman. Petak lainnya hanya berupa barisan gundukan tanah dengan tanaman yang masih berukuran tinggi sekitar 10 cm.

30 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

2. Pula Tanam Tumpang Tindih Pada pola tanam ini, petani cenderung memilih satu jenis tanaman pilihan dominan. Tanaman dominan itu memiliki waktu panen lebih dari satu kali. Dominan dalam arti bahwa tanaman itu ditujukan untuk mendapat keuntungan besar pada waktu tanam kali ini (tanaman dayaan). Tanaman dominan ini akan dicampur dengan tanaman muda lain dengan tujuan sampingan, misalnya cabai yang berusia hingga 9 bulan dan dapat dipanen beberapa kali akan dicampur dengan tanaman lain yang usianya 3 atau 4 bulan dengan satu kali panen, misalnya wortel atau kubis. Walaupun akan dijual ke pasar hasil panen dari tanaman campuran, maka tujuannya adalah untuk menambah biaya perawatan tanaman dominan atau untuk keperluan dapur sehari-hari semata. Secara harafiah, tumpang tindih diartikan petani sebagai kondisi penanaman dimana terdapat beberapa jenis tanaman yang saling berhimpitan. Lebih dari sekedar bermacammacam seperti pada pola campur-campur. Satu tanaman berusia lebih panjang dari yang lain, usia dan jenis tanaman lebih beragam dan pergantian tanaman lebih dinamis; cabut satu jenis tanam jenis lain -sisip tanaman lain di celah tanaman yang ada, dan seterusnya tanpa mengistirahatkan tanah dalam waktu lama.

3. Pola Tanam Tua-Muda Kata tua-muda yang dimaksud adalah dari segi jenis usia tanaman. Dalam pola tanam ini, beberapa jenis tanaman muda akan dipadankan dengan tanaman tua. Tanaman muda cenderung ditujukan untuk tanaman dayaan. Sedangkan, tanaman tua sebagai tanaman sampingan karena hasilnya baru dapat diperoleh petani setelah usia tanaman dua atau tiga tahun, seperti jeruk. Beberapa petani yang mempraktikkan pola tanam ini mengatakan bahwa pola tanam ini cenderung dipilih berkisar 8 atau 9 tahun lalu. Mereka juga menambahkan bahwa jika saat ini mulai terlihat beberapa petani cenderung memilih pola tanam ini dikarenakan harga buah jeruk yang meningkat tinggi sekitar 7 tahun lalu (sekitar 1998).

31 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Jeruk cenderung ditanam secara berbaris. Jarak antar barisan sekitar 4 atau 5 m, dan setiap batang dalam satu baris juga berjarak 4 atau 5 m. Tanaman muda dicampurkan petani dengan tiga cara. Pertama, tanaman muda ditanam di antara setiap batang jeruk, Ke dua, beberapa petani memilih menanam tanaman muda di antara setiap baris jeruk. Ketiga, petani lain menanam tanaman muda di antara baris dan di antara batang jeruk. Petani mengatakan bahwa seluruh jenis tanaman muda dapat dipadankan dengan jeruk. Dengan tata ruang seperti di atas, maka ladang petani akan terlihat seperti ladang dengan penanaman tumpang tindih. Seluruh tanaman (tua dan muda) akan terlihat seperti barisan, warna dan tinggi tanaman juga berbeda-beda, karena mereka memilih jenis tanaman muda yang berbeda-beda jenis. Masing-masing tanaman muda tersebut akan berbeda usia, jenis dan waktu panennya. 4. Pola Tanam Rotasi atau Sada-sada Menurut petani di Gurusinga, kata rotasi yang mereka gunakan bukan merupakan bahasa Karo. Mereka tidak tahu secara pasti sejak kapan kata rotasi mereka gunakan untuk menyebut salah satu bentuk pola tanam mereka. Beberapa petani lain lebih senang menyebut pola tanam rotasi dengan sada-sada. Secara harafiah berarti satu-satu. Petani akan menyebut mereka memilih pola tanam sada-sada apabila mereka menanam satu jenis tanaman muda untuk dalam satu ladang. Pilihan tanaman adalah jenis tanaman ekspor. Beberapa petani juga mencampur jenis tanaman ekspor ini dengan tanaman muda lain yang ditujukan sebagai tanaman sampingan. Hasilnya tidak terlalu diharapkan. Tanaman ini ditanam di antara tanaman utama dan jumlahnya cenderung sedikit. Beberapa petani lain malah mengatakan bahwa tanaman sampingan ini ditujukan sebagai ‘sasaran’ serangan hama atau ‘tumbal’ untuk melindungi jenis tanaman ekspor tersebut. Jenis tanaman sampingan yang dipilih cenderung adalah arcis, buncis ataupun kacang jogo. Tanaman ekspor dan sampingan akan dipanen secara bersamaan. Petai mengatakan bahwa mereka akan untung besar jika harga bagus (tinggi). Tetapi, mereka akan buntung (rugi besar) apabila harga tanaman ekspor sangat murah. Beberapa petani lain yang tidak mencampur pola tanam sada-sada dengan tanaman muda lain juga tetap mengatakan bahwa mereka adalah petani tanam campuran. 32 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Mereka menjelaskan bahwa mereka juga menanam beberapa jenis tanaman secara bersamaan di ladang mereka. Hanya saja, mereka menanam pada ladang yang berbeda lokasinya. Dalam satu ladang dengan pola sada-sada dan ladang lain dengan beberapa jenis tanaman muda lainnya dengan pola tanam lain yang juga akan dijual ke pasar lokal di Berastagi. 5. Pola Tanam Ragi-agi Kata ragi-agi secara harafiah berarti kakak-beradik. Dengan pola tanam ini, ladang petani akan ditanam denagn satu jenis tanaman muda yang sama, namun dengan usia yang berbeda-beda. Petani akan membagi sawah ladang dalam beberapa petak atau kelompok tanam. Satu kelompok tanaman usianya lebih tua dibandingkan ke1ompok lainnya. Perbedaan usia ini yang disebut petani Gurusinga dengan ragi-agi. Tujuan penanaman ini adalah untuk tanaman dayaan, yaitu untuk keuntungan dalam jumlah besar. Secara umum, petani akan membagi ladang mereka dalam tiga petak. Petani akan mengatur waktu tanam sedemikian rupa, sehingga setiap petak akan berbeda usia sekitar dua hingga satu bulan. Dengan demikian, petani dapat panen setiap dua minggu atau satu bulan secara rutin. Jenis tanaman pilihan dengan pola tanaman ini tidak memiliki kekhususan seperti dalam penanaman sada-sada yang khusus jenis tanaman ekspor. Setiap jenis tanaman muda dapat dipilih untuk pola tanam ragi-agi. Petani cenderung memilih jenis tanaman top mereka untuk pola ragi-agi karena mereka lebih ahli merawatnya20. Mereka cenderung selalu berhasil dari segi kuantitas dan kualitas hasil panen untuk jenis tanaman top, mereka cenderung se1alu beruntung apabila memilih tanaman top mereka. Petani dengan pola tanam ragi-ragi juga mengatakan mereka adalah petani penanam tanaman campuran. Petani - petani ini menjelaskan bahwa mereka juga menanam jenis tanaman muda lain di lahan ladang mereka lainnya dengan pilihan pola tanam yang berbeda, seperti tua-muda atau tumpang-tindih. Menurut beberapa petani, mereka melakukan beberapa pilihan pola tanam karena mempunyai lebih dari satu ladang. 20

Keterangan mengenai tanaman top dapat dilihat pada bagian B.3 Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Perawatan tanaman

33 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Petani dengan pola tanam ragi-ragi juga mengatakan mereka adalah petani penanam tanaman campuran. Petani - petani ini menjelaskan bahwa mereka juga menanam jenis tanaman muda lain di lahan ladang mereka lainnya dengan pilihan pola tanam yang berbeda, seperti tua-muda atau tumpang-tindih. Menurut beberapa petani, mereka melakukan beberapa pilihan pola tanam karena mempunyai lebih dari satu ladang. D. Strategi Tanam untuk Peningkatan Hasil Petani di Gurusinga menerapkan beragam pola tanam di ladang mereka. Pilihan pola tanam masing-masing petani cenderung didasarkan pada pengalaman mereka dalam menanam jenis tanaman tersebut pada waktu tanam yang lampau. Pengalaman itu mengajarkan kepada mereka apa yang harus ditanam pada waktu tanam berikutnya. Berikut ini akan dideskripsikan bagaimana petani Gurusinga menerapkan pilihan strategi pola tanam untuk mendapat keuntungan maksimal di setiap panen. 1. Petani Lahan Tunggal Petani dengan lahan tunggal mengantisipasi ketidakpastian iklim, serangan hama dan fluktuasi harga pasar dengan menggunakan dua strategi. Pertama, mereka memilih beberapa jenis pola tanam dan ada juga petani yang menyewa ladang lain. Petani dengan modal relatif kecil dan tidak berani berspekulasi untung-untungan cenderung memilih alternatif pertama. Petani dengan modal relatif besar dan bagi mereka yang berani berspekulasi akan memilih alternatif kedua. Bagi petani yang memilih alternatif pertama cenderung akan memilih pola tanam campur-campur, tumpang tindih. Beberapa petani lainnya ada juga memilih pola tanam tuamuda. Tua-muda kurang diminati kelompok petani dengan modal relatif keciI karena biaya perawatan tanaman tua seperti jeruk relatif mahal menurut mereka. Selain itu tanaman jeruk baru mulai dapat menghasilkan setelah 2 tahun21. 21

Menurut petani di Gurusinga, tanaman jeruk telah mulai berbuah setelah berusia lebih dari satu tahun. Mereka mengatakan buah yang dihasilkan belum memberi keuntungan karena relatif sedikit. Mereka menyebut usia ini dengan penyebutan sangana erlajar erbuah (sedang belajar berbuah). Masa ini buah jeruk hanya dapat diharapkan untuk dikonsumsi sendiri dan hanya relatif sedikit jumlah yang dapat dijual. Pada periode panen awal ini, menurut petani hasil penjualan jerukpun tidak cukulp untuk membeli pupuk dan pestisida yang digunakan untuk merawat jeruk.

34 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Penanaman beragam tanaman ini dimaksudkan petani untuk mengantisipasi kerugian akibat kondisi ketidakpastian iklim, serangan hama dan penyakit dan juga fluktuasi harga tanaman yang sangat cepat. Jika tidak diantisipasi dengan pilihan keragaman tanaman, maka jika bernasib baik dapat untung besar. Tetapi juga dapat rugi besar. Petani yang hanya memiliki satu lahan dan tidak menyewa lahan ini mengatakan bahwa masalah utama yang tidak dapat mereka tangani dari tiga kondisi ketidakpastian di atas adalah tingginya fluktuasi harga pasar. Sebagaimana diungkapkan Pak SG (45 tahun): "Kalau iklim itu adalah hak Tuhan Yang Kuasa, kami petani tidak bisa campuri sama sekali, begitu juga serangan hama dan penyakit sangat tergantung iklim. Tapi masih bisa kami campuri dengan bantuan perawatan dan pestisida. Tetapi kalau harga, wah... itu kuasanya pemerintah dan Bosslah, kami tidak bisa campuri, kami ini apalah...... Jadi Untuk antisipasinya ya.. tanamlah bermacam-macam, kalau tidak tomat mahal..mudahmudahan wortel, atau buncis atau kentang atau bunga kol (kubis bunga, pen) atau apa sajalah" Mengenai tingginya fluktuasi harga ini, petani mengatakan bahwa mereka selalu dipusingkan dengan pilihan kapan harus memanen tanaman jika usia panen sudah tiba. Apakah pada pagi hari, siang atau sore. Karena harga dalam satu hari dapat berubah-ubah di pasar induk lokal di Berastagi. Beberapa petani malah mengatakan bahwa kesulitan tidak hanya pada saat memilih waktu panen di ladang dan kapan membawanya ke pasar, tetapi kesulitan juga timbul pada saat memilih detik-detik untuk memutuskan ‘lepas’ barang (jual) atau ‘tahan’ (menunda menjual) dengan harapan harga naik. Kompleksnya pilihan untuk menjual ini juga diungkapkan oleh Ibu NG (50 thn) yang mengelola lahan tunggal: “Saya pernah pilih panen buncis pagi hari, lalu menjelang siang saya bawa ke pasar Berastagi, sekitar( jam 2 siang ada yang tawar Rp.700 satu kilo. Saya tidak jual dengan harapan sebentar lagi mungkin akan naik, karena saya lihat tidak ada petani yang bawa buncis, eh.. malah turun jadi Rp650,- satu kilo. Tunggu lagi naik sedikit jadi Rp.700,tunggu lagi naik jadi Rp.850,- tunggu lagi jadi Rp.800,- tunggu lagi Rp.700,- akhirnya sampai jam 5 sore harapan saya tidak terkabul. Harga turun dan akhirnya saya lepas dengan harga Rp.650,- padahal ada sekitar 50 kg panen saya, coba bayangkan kalau saya hanya tanam buncis, kan rugi,,;saya punya harapan dari tanaman wortel yang 4 hari lagi bisa dipanen”.

35 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Kondisi ketidakpastian ini juga yang menyebabkan petani dengan ladang tunggal ini tidak berani berspekulasi untuk menyewa ladang lain. Karena disamping biaya sewa ladang yang relatif tinggi menurut mereka. Mereka juga ditakutkan dengan kerugian akibat naikturunnya harga yang begitu cepat untuk sebahagian jenis tanaman muda yang mereka budidayakan. Bagi petani lahan tunggal yang memilih alternatif kedua, yaitu dengan menyewa lahan lain mempunyai dilemma yang sama dengan petani pemilik lahan lebih dari satu (lahan multi). Karena mereka juga sudah tergolong sudah memiliki lahan lebih dari satu. Sehingga strategi mereka cenderung sama dengan petani lahan multi sebagaimana yang akan diuraikan dibawah ini. 2. Petani Lahan Multi Petani dengan lahan multi yang dimaksud adalah petani yang memiliki lebih dari satu ladang. Petani ini menanami beberapa ladang secara bersamaan dengan memilih beberapa macam pola tanam. Peluang pilihan keragaman jenis tanaman lebih banyak bagi petani lahan multi dibandingkan dengan petani lahan tunggal. Petani lahan multi cenderung memilih pola tanam rotasi atau sada-sada ataupun ragi-agi untuk salah satu ladang mereka. Pilihan pola tanam sada-sada dan ragi-agi cenderung membutuhkan modal yang relatif lebih besar karena menanam satu jenis tanaman dalam satu ladang. Dengan demikian, biaya perawatan tanaman menjadi lebih besar. Selain itu, resiko kerugian juga lebih besar karena tidak ada tanaman lain sebagai altematif penutup kerugian di ladang yang sama jika harga tanaman itu tiba-tiba murah mengingat tingginya fluktuasi harga. Sebagai antisipasi kerugian, petani lahan multi cenderung menanami lahan ladang mereka yang lain dengan pola tanam campur-campur, tumpang-tindih atau tua muda. Mereka mengharapkan tanaman campuran di ladang lain tersebut sebagai ‘back up’ atau pelindung dari kerugian di ladang pertanian dengan pola tanam sada-sada dan ragi-agi. Tetapi, keuntungan besar juga menanti petani apabila pada saat mereka panen harga tanaman tinggi.

36 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Sehubungan dengan peluang kerugian besar dan untung besar ini, Pak PG (50 th) mengatakan kunci sukses dan pengalaman rugi besar beliau: “Sebenarnya kami juga tidak sembarangan pilih tanaman, ada kiat-kiatnya kata orang Karo, ada cara bagaimana supaya kita tahu kira-kira 3 atau 4 bulan mendatang apa yang mahal. Tapi tidak selamanya tepat, namanya juga ramalan nakku……kita kan hanya berharap ramalan itu benar. Tapi kalau saya lebih banyak benarnya, pernah juga rugi besar, saya tanam kol (kubis, pen) waktu itu, kalau saya jual lebih banyak ruginya daripada kol itu saya cincang dan biarkan busuk di ladang. Kenapa tidak, ladang saya luas,harus bayar upahan untuk panen, beli keranjang, beli tanli, bayar ongkos angkut, semuanya lebih 300 perak saya hitung. Sedangkan harga hanya ditawar 300 perak, kan lebih rugi dijual, jadi biar saja busuk dan jadi pupuk di ladang,nah.. .itulah "Susahnya kami tukang cangkul, ha. .ha...” Pak PG (50 th) yang memiliki 4 lokasi ladang berbeda juga menjelaskan bagaimana beliau menutupi kerugiannya dari hasil ladang lainnya yang ditanami dengan tanaman muda lain selain kubis: “Pada waktu itu, untunglah ladang lain yang saya tanam kentang secara ragi-agi dapat harga (mahal, pen) dan juga tomat dan bunga kol juga harganya bagus, jadi tertutuplah kerugian saya dari ladang kol (kubis, pen) itu, kalau tidak, wah... hutang saya di kios pupuk dan obat (pestisida) tidak terbayar, uang sekolah anak dari mana...nah, itu enaknya kalau tanaman kita banyak, tidak dapat uang dari yang ini… dapat uang pula dari yang lain, gitulah...” Penjelasan Pak PG ini dan juga beberapa petani lainnya menunjukkan bahwa keragaman pola tanam yang mereka praktikkan adalah cerminan dari keragaman kondisi ketidakpastian yang juga mengiringi kegiatan pertanian para petani di Gurusinga ini. E. Strategi Sosial Budaya Antisipasi Kondisi Ketidakpastian Mengingat tingginya kondisi ketidakpastian iklim atau cuaca, serangan hama dan penyakit tanaman, danjuga ketidakpastian harga, petani mengembangkan beberapa bentuk hubungan sosial.Hubungan sosial ini memberi peluang bagi petani untuk mengurangi biaya produksi atau sebagai garansi bahwa kegiatan pertaniannya akan tetap berlanjut walaupun si petani mengalami kerugian besar saat ini.

37 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Hubungan sosial di antara petani yang berpengaruh terhadap kegiatan praktik tanam campuran mereka adalah hubungan-hubungan sosial yang sifatnya tidak formal22. Hubunganhubungan sosial ini tidak memiliki nama tertentu. Hubungan ini didasarkan atas adanya kepentingan yang sama dan rasa saling percaya. Sarana atau media penting sebagai pengembangan jaringan hubungan ini adalah kedai kopi yang tersebar di Desa Gurusinga. Kedai kopi menjadi sarana berkumpul bagi kaum pria sesudah pulang dari ladang atau tempat mengobrol mengisi waktu luang pada pagi hari sebelum ke ladang. Sarana lain tempat hubungan ini dapat berlangsung adalah di ladang sesama petani, di pasar atau bahkan di bus antar desa. Hubungan sosial ini dikembangkan dalam bentuk hubungan pinjam-meminjam. Pinjam meminjam bibit, tenaga kerja sesama keluarga petani adalah hal yang paling banyak dilakukan petani. Selain itu, petani juga mengembangkan hubungan pinjam meminjam pupuk dan pestisida dengan pemilik kios pupuk di kota Berastagi. Beberapa petani lain juga meminjam uang di antara sesama mereka. Hubungan sosial ini dapat dikembangkan di antara sesama kerabat si petani atau dengan orang lain yang tidak memiliki hubungan kerabat dengan si petani selama mereka diikat rasa saling percaya.

E. Signifikansi Bagi Stabilitas Ekosistem Ladang

Pengetahuan dan praktik tanam campuran petani di Desa Gurusinga yang ini menunjukkan bahwa satu petani dengan petani lain cenderung mempraktikkan pola tanam campuran dan pilihan jenis tanaman yang beragam. Perbedaan pilihan jenis tanaman dan pola tanam cenderung didasarkan pada pengalaman atau lebih tepatnya merupakan akumulasi pengetahuan petani dari satu periode tanam ke periode tanam lain.

22 Di desa Gurusinga juga terdapat beberapa bentuk hubungan sosial bersifat formal. Beberapa organisasi tersebut meliputi; organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan ataupun organisasi sosial ekonomi Organisasi keagamaan berupa beberapa kelompok perkumpulan gereja, kelompok pengajian dan remaja mesjid. Sementara organisasi kepemudaan yang dimaksud adalah karang taruna. Organisasi sosial lainnya adalah kegiatan PKK, koperasi dan kelompok tani (tidak aktif) Menurut petani, pertemuan dalam kegiatan ini hanya membicarakan agenda rutin semata tanpa menyinggung kegiatan-kegiatan pertanian secara terfokus.

38 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Hasil dari percobaan dan akumulasi pengetahuan adalah klasifikasi tanaman berdasarkan banyak hal. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan petani itu tidak statis. Berkembang sesuai dengan perkembangan situasi baru. Penyesuain ini selalu diupayakan petani demi mencapai harapan mereka dalam setiap periode tanam. Hasil dari apa yang mereka praktikkan adalah keragaman jenis tanaman dan pergantian jenis tanaman untuk setiap periode tanam. Fenomena ini searah dengan isu keragaman hayati (‘biodiversity’). Keragaman dan pergantian tanaman untuk setiap waktu tanam ini juga sangat menyumbang pada kelestarian kesuburan tanah. Kesuburan tanah yang tetap terpelihara sangat dibutuhkan petani bagi keberlanjutan sistem pertanian mereka. Petani-petani di Gurusinga menyebutkan bahwa jika mereka menanam jenis tanaman yang sama (atau mencampur tanaman yang sama) di lahan yang sama untuk dua periode tanam berturut-turut, maka hasil panen cenderung berkurang dari segi kuantitas dan kualitas. Selain itu, serangan hama juga akan cenderung lebih mengganas. Pengalaman ini mengajarkan petani bahwa mereka harus mengeluarkan dana lebih besar untuk biaya penyemprotan pestisida bagi tanaman jika tidak mengganti jenis tanaman di ladang yang sama untuk dua waktu tanam berturut-turut. Selain itu, biaya pupuk juga lebih banyak karena menurut petani tanah telah berkurang kekuatannya. Salah Salah seorang petani memberi penjelasan sehubungan dengan hal ini, Ibu SG (45 th) mengatakan: “Kalau tanamannya sama waktu panen semalam dan kita tanam lagi sama untuk sekarang, jadi tanaman yang sama itukan akan memakan zat tanah yang sama, jadi harus ditambah pupuk lebih banyak karena telah dimakan oleh tanaman yang sama sebelumnya, begitu juga hama dan penyakit yang sebelumnya ada akan lebih cepat berkembang karena tanamannya sama, karena tidak semua hama itu mati walau telah panen, entah kenapa begitu, kami tidak tahu….’. Petani lain bernama Pak NJ (50 th), menjelaskan bagaimana beliau menjaga kualitas tanah ladangnya agar tanah tetap subur walaupun beliau tidak mengganti seluruh jenis tanamannya. Pak NJ tidak mengganti pilihan tanamannya karena beliau tidak mempunyai dana tambahan untuk membeli bibit baru. Sehingga beliau hanya memakai persediaan bibit yang ada:

39 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

“Saya pernah tidak mengganti tanaman saya secara berturut-turut untuk tiga kali panen. Saya tanam kol (kubis, pen), sayur putih dan wortel, waktu itu saya buat tiga petak di ladang saya. Hasil bagus, tapi tidak terlalu banyak untung. Lalu saya tanam lagi yang sama, tapi posisinya saya ganti, ditukar petaknya, jadi zat tanahnya tetap bagus, tidak begitu juga dia hamanya, panennya juga bagus, saya ganti lagi ketiga kali petaknya, panennya bagus, barulah ada untung sedikit lebih banyak, pokoknya hindari tanaman yang sama di tanah yang sama itu saja, bisa juga kalau kol jadi akar lobak (‘Meloidogyne Spp’, pen) penyakitnya, begitulah yang kami alami,". Penjelasan petani ini merupakan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sebelumnya. Mereka melakukan upaya pergantian jenis tanaman demi menjaga kesuburan tanah dan sebagai upaya untuk meminimalisir serangan hama dan penyakit tanaman. Pergantian tanaman di setiap waktu tanam yang dilakukan petani tidak semata hanya untuk alasan akan kuantitas dan kualitas hasil panen. Dalam konteks mikro, apa yang dilakukan. setiap petani di Desa Gurusinga ini telah melestarikan ekosistem ladang mereka masing-masing. Terjaganya kesuburan tanah dalam setiap petak ladang di satu desa akan menunjang stabilitas ekosistem di desa tersebut. Stabilitas ekosistem pada tingkat desa ini akan berimplikasi pada stabilitas ekosistem pada tingkat lokal. Stabilitas ekosistem bagi petani sangat penting karena tidak hanya kesuburan tanah yang terjamin, melainkan siklus hidup organisme pengganggu tanaman (OPT) juga terputus dengan putusnya rantai makanan mereka yaitu tanaman yang sama di setiap waktu tanam dan di lokasi yang sama. Sebagaimana dijelaskan oleh Pak RS, seorang koordinator penyuluh lapangan di Tanah Karo; "Sebenarnya kalau persoalan serangan hama secara ilmiah memang akan terkurangi dengan mengganti jenis tanaman untuk setiap masa tanam. Serangan hama juga akan berkurang jika tanaman yang ditanam beragam untuk satu ladang di saat bersamaan, Sebenarnya perkembangbiakan hama ataupun penyakit tanaman dapat ditekan dengan keragaman tanaman untuk satu ladang dan pergantian tanaman. Kesuburan tanaman juga terjaga, terutama didukung penggunaaan pupuk kandang dan kompos yang banyak dipakai petani hortikultura di Tanah Karo ini, walaupun mereka tidak menyadari secara penuh apa yang mereka praktekkan itu untuk kebaikan lingkungan mereka”.

40 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Pada satu sisi, apa yang dilakukan petani dengan keragaman tanaman dan pergantian jenis tanaman untuk setiap masa tanam ini sesuai dengan paradigma para petugas pertanian di Tanah Karo tentang kesuburan tanah dan perlindungan ekosistem. Tetapi di sisi lain, petani dan penyuluh lapangan cenderung berseberangan paradigma tentang teknik-teknik perawatan dan pemeliharaan tanaman karena berhubungan erat dengan fluktuasi harga tanaman yang sangat tinggi.

41 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

BAB VII PENUTUP Dalam kaitannya dengan konteks keragaman tanaman, apa yang dipraktikkan petani hortikultura di Gurusinga ini akan menyumbang pada lestarinya keragaman tanaman dari hasil budidaya petani. Kelestarian keragaman tanaman akan senantiasa terpelihara karena ada hal lain yang juga lestari (paling tidak dalam prediksi petani) yaitu ketidakpastian iklim atau perubahan cuaca tidak menentu, fluktuasi harga yang sangat tinggi, serangan hama dan penyakit yang sulit diprediksi dan diantisipasi dan juga perubahan kualitas permintaan ekspor dan lokal hasil pertanian. Keseluruhan faktor ini akan mempengaruhi hasil panen dan penghasilan petani. Kekhawatiran akan jatuhnya harga dari beberapa jenis tanaman dan antisipasi serangan hama, petani akan cenderung tetap membudidayakan jenis tanaman yang beragam. Tindakan ini terutama ditujukan sebagai proteksi stabilitas hasil panen atau stabilitas penghasilan. Pelestarian keragaman hayati ini menurut Cleveland (1993) dan Shand (1997) sangat diperlukan dalam jangka panjang untuk kehidupan di planet ini dan merupakan kunci mendasar bagi sistem pertanian yang berkelanjutan (‘sustainable agriculture’)22. Urgensi terhadap perlindungan keragaman hayati ini juga telah melahirkan sebuah konvensi keragaman biologi di Rio pada tahun 1992. Konvensi ini telah menetapkan bahwa langkah pertama yang perlu dikampanyekan untuk seluruh dunia adalah perlindungan terhadap perusakan keragaman.

22

Menurut Cleveland (1993) dan Shand (l997) dalam jangka panjang, keragaman hayati itu sangat diperlukan bagi persediaan makanan pada tingkat dunia bagi masa sekarang dan masa yang akan datang. Berfungsi juga sebagai sistem yang mendukung kehidupan di planet ini untuk kontribusi oksigen, mempertahankan kualitas atmosfer dan juga bagi alasan estetis.

42 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Perusakan keragaman ini merupakan ancaman terhadap pemusnahan beberapa spesies dan perusakan lingkungan, termasuk di dalamnya tumbuhan, hewan, ikan atau hutan. Akhirnya, hal itu akan menyebabkan kerusakan ekosistem pada tingkat dunia 23. Kesadaran banyak pihak akan bencana yang dihadapi akibat hilangnya keragaman ini telah

mencetuskan

beberapa

upaya-upaya

ke

arah

konservasi

keragaman

hayati

(‘biodiversity’). Salah satu elemen penting dari upaya ini adalah konservasi ‘biodirsity’ dalam habitatnya sendiri (‘in situ’), selain konservasi di luar habitatnya sendiri pada ‘gene bank’ secara ‘ex situ’. Konservasi keragaman tanaman dalam habitatnya sendiri akan melibatkan petani sebagai orang yang paling dekat dengan budidaya tanaman tersebut. Dengan demikian, perhatian akan lebih bermanfaat difokuskan kepada petani dan pengetahuan lokal mereka. Petani adalah aktor yang paling penting dalam upaya konservasi keragaman tanaman. Pengetahuan yang mereka miliki suatu kearifan pemanfaatan lahan merupakan memperhatikan kepentingan lingkungan, ekonomi dan stabilitas ekosistem ladang mereka. ***

23

Beberapa tulisan menyebutkan bahwa perusakan keragaman hayati itu berasal dari usaha modernisasi pertanian, komersialisasi, maupun intensifikasi produksi. Salah satu langkah konkritnya adalah digencarkannya Program Revolusi Hijau atau pertanian sistem monokultur dengan pengutamaan pada penggunaan teknologi tinggi, pasokan energi tinggi dan hasil yang tinggi. Program Revolusi Hijau ini tidak hanya mengancam hilangnya keragaman hayati (‘biodiversity’), tetapi juga ancaman terhadap hilangnya pengetahuan-pengetahuan tradisional petani, karena keduanya memiliki hubungan yang saling terkait. Lihat dalam Shand 1997 dan Cleveland 1993).

43 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Daftar Pustaka Adler, Patricia A dan Adler, Peter. 1994 "Observational Techniques" dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (eds) Handbook of Qualitative Research.California: Sage Publication, hal. 377-397. Amanor, Kojo. 1993 "Introduvtion", dalam Walter de Boef, Kojo Amanor and Kate Wellard, with Anthony Bebbington (eds) Cultivating Knowledge: Genetic Diversity. Farmer Experimentation and Crop Research. London: Intermediate Technology Publication, hal. 17-19 . Antweiler, C. and Mersman, C. 1996 "Local Knowledge and Cultural Skills as Resources for Sustainable Forest Development". Conference Room Papper for the third Session of the Intergovermental Panel on Forest (IPF) in September 1996 on IPF Programme element 1.3: Traditional Forest-related Knowledge. Eschborn-Germany, hal 1 - 45. Atkinson,Paul dan Hemmersley, Martyn 1994 "Ethnography and Participant Observation", dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (eds) Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publication, hal. 236-248. Aumeeruddy,Y. 1995 "Phythopractices: Indigenous Horticultural Approaches to Plant Cultivation and Improvement in Tropical Region", dalam D.M. Warren, L.J. Slikkerveer and D. Brokensha (eds) The Cultural Dimension of Development: Indigenous Knowledge System. London: Intermediate Technology Publication, ha1. 308-322. Barth; F. 1987 Cosmologies in The Making: A Generative Approach to Cultural Variation in inner New Guinea. Cambridge: Cambridge University Press. Bennagen; Ponciano L. 1996 "Consulting the Spirits, Working with Nature, Sharing with Others: an Overview of Indigenous Resource Management", dalam Ponciano L. Bennagen and Maria Lucia Lucas Fernan (eds) Consulting the Spirits, Working with Nature, Sharing with Others: Indigenous Resource Management in the Philippines. Philippine: Sentro Para sa Ganap na Pamayanan, Inc., hal.1-22. Bernard, H. Russel 1994 Research Methods in anthropology: Oualitative and Ouantitative Approach (second edition).California: Sage Publication. Bogdan, Robert dan Taylor, Steven J. 1993 Kualitatif: Dasar-Dasar Penelitian (terjemahan). Surabaya: Usaha Nasional.

44 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Borofsky, R 1987 Making History: Pukapukan and Anthropological Construction of Knowledge. Cambridge: Cambridge University Press. 1994a "On The Knowledge and knowing of Cultural Activities" dalam R. Borofsky (ed) Assesing Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill, hal. 331-347. 1994b"The Cultural in Motion" dalam R. Borofsky (ed) Assesing Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill, hal. 313-319. Cleveland, D.A. 1993 "Is Variety More than Spice of Life: Diversity, Stability, and Sustainable Agriculture", Culture and Agriculture: 2-7. Fontana, Andrea dan Frey, James H. 1994 "lntervewing: The Art of Science" dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (eds) Handbook of Oualitative Research. California: Sage Publication, hal. 361-377. Frake, Charles O. 1969 "The Ethnographic Study of Cognition Systems", dalam Stephen J. Tyler (ed) Cognitive Anthropology United States:Waveland Press, Inc., ha1.28-40. Hobart, M. 1993 "Introduction: The Growth of Ignorance", dalam M. Hobart (ed) An Anthropological Critique of Development: The Growth of Ignorance. London: Routledge, hal 1-30. Johnson, A. 1974 "Ethnoecology and Planting Practices in a Swidden Agricultural System". American Ethnologist 1:87-101. Marzali, Amri. 1997 "Kata Pengantar" dalam James P.Spradley Metode Etnografi (terjemahan.). Yogya: Tiara Wacana Yogya, hal. xv-xxiv. Millar, David. 1993 "Fanner Experimentation and The Cosmovision Paradigm" dalam Walter de Boef, Kojo and Kate Wellard, with Anthony Bebbington (eds) Cultivating _knowledge: Genetic Diversity, Farmer Experimentation and Crop Research. London: Intermediate Technology Publication, hal. 44-49. Nizar, G. Singh. 1995 In Devence of Indigenous Knowledge and Biodiversity - a Conceptual Framework and Essential Elements of a Rights Regime". Papper. Third World Network, Penang Malaysia, hal. 1-21. Shri Ahimsa Putra, Heddy. 1985 "Ethnosains dan Etnometodologi" dalam Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Agustus jilid XII, No.2, hal 103-133. 45 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006

Spradley, James P. 1980 Participant Observation. New York: Reinhart and Winston. 1993 Metode Etnografi (terjemahan). Yogya: Tiara Wacana Yogya. Tyler, Stephen J. 1969 "Introduction", dalam Stephen J. Tyler (ed) Cognitive Anthropology. United States:Waveland Press, Inc., hal.25-28. Winarto, Yunita. 1998 "Hama dan Musuh Alami, 'Obat dan Racun': Dinamika Pengetahuan Petani dalam Pengendalian Hama". Jurnal Antropologi Indonesia No.55 Th XII, hal 53-68. Winarto, Yunita dan Choesin, Ezra M. 1998 "Pengetahuan Lokal dan Pembangunan". Jurnal Antropologi Indonesia No.55 Th XII, hal.iii-vii.

46 Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002

USU Repository©2006