(ODHA) OLEH

Download Persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 ... Konsekuensi dari stigma dan diskriminasi, ODHA menjadi menarik diri ...

0 downloads 435 Views 273KB Size
ZERO PERLAKUAN DISKRIMINATIF TERHADAP ORANG DENGAN HIV-AIDS (ODHA) Oleh: Dr. Ir. R. Harry Hikmat, MSi (Staf Ahli Bidang Dampak Sosial)

Latar Belakang Penanggulangan HIV/AIDS adalah segala upaya yang meliputi pelayanan promotif, preventif, diagnosis, kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan, angka kematian, membatasi penularan serta penyebaran penyakit agar wabah tidak meluas ke daerah lain serta mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya. Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Integrasi sosial ODHA adalah adaptasi ODHA dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, sehingga tidak mengalami diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat. Peningkatan kejadian HIV dan AIDS yang bervariasi mulai dari epidemi rendah, epidemi terkonsentrasi dan epidemi meluas, perlu dilakukan upaya penanggulangan HIV dan AIDS secara terpadu, menyeluruh dan berkualitas. Berdasarkan Laporan Kementerian Kesehatan (2014), prevalensi orang dengan HIV, sejak tahun 2006 s.d 2014 secara kumulatif sebanyak 150.296 orang terinfeksi HIV yang tersebar di 386 kabupaten/kota (78%) dari 498 kabupaten/kota. Adapun prevalensi orang dengan AIDS, sejak tahun 2005 s.d 2014 kumulatif sebanyak 55.799 orang. Persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (32,9%). Persentase AIDS pada laki-laki sebanyak 54% dan perempuan sebanyak 29%. Sementara itu 17% tdk melaporkan jenis kelaminnya. Jumlah AIDS tertinggi adalah ibu rumah tangga (6.539 kasus). Faktor penularan tebanyak melalui heterosexual (61,5%). Angka kematian menurun 3,79% tahun 2012 menjadi 0,46% tahun 2014. Jumlah ODHA mendapat pengobatan ARV 45,361 orang. Berdasarkan Survei Dampak Kampanye “Aku Bangga dan Aku Tahu (ABAT) tentang HIV-AIDS, diketahui masyarakat umur 15-28 tahun hanya 11,4 % tahun yang mengetahui HIV-AIDS tahun 2010 dan menurun menjadi 10,4 % tahun 2012. Persentase Kasus HIV-AIDS berdasarkan Berdasarkan laporan UNAIDS diketahui bahwa HIV/ AIDS (http://www.avert.org/hiv-aidsstigma-and-discrimination.htm) di Indonesia termasuk satu dari Negara Asia yang memiliki pertumbuhan epidemic tertinggi. Tahun 2010, diduga sekitar 5 juta orang dengan HIV/AIDS, berada pada rangking ke-99 dan mengalami stigma sosial yang tinggi, sehingga hanya 5-10% yang terdiagnosa dan mendapat pengobatan. Dampak dari adanya stigma dan diskriminasi yang dialami ODHA antara lain kehilangan pekerjaan, status sosial, dukungan dari keluarga dan komunitas, sehingga mereka cenderung menghindari treatment yang tepat dan semakin banyak orang dengan HIV tidak terdeteksi perkembangannya. Orang dengan HIV akan berhubungan dengan stigma dan diskriminasi dalam bentuk prasangka berlebihan, sikap yang negatif, dan perlakuan salah secara langsung dari orangorang sekitarnya. Konsekuensi dari stigma dan diskriminasi, ODHA menjadi menarik diri dari lingkungan keluarga, kelompok pertemanan, dan komunitas sekitarnya. Selain itu mengalami Artikel Staf Ahli Bidang Dampak Sosial 2015

Page 1

keterbatasan pelayanan kesehatan, pendidikan dan mengalami erosi perlindungan hak asasi manusianya serta mengalami kerusakan psikologis. Secara umum, ODHA menjadi terbatas dalam hal akses untuk pengujian HIV, memperoleh treatment dan pelayanan HIV lainnya. Faktor-faktor penyebab munculnya stigma bagi ODHA, antara lain: hidup dengan HIV dan AIDS behubungan dengan kematian; perilaku seksual menyimpang (homoseksual, korban NAPZA, pekerja seks); dihubungkan dengan penularan hubungan seksual yang dianggap adanya perilaku tidak bermoral dan terkena infeksi merupakan hukuman atas perbuatannya, merupakan bentuk tidak adanya tanggung jawab pribadi dalam kehidupan bermasyarakat. Kesalahan persepsi dari masyarakat tentang resiko-resiko bagi kehidupan ODHA, berakibat ODHA termarjinal dari kehidupan bermasyarakat dan semakin terbatasnya layanan yang dibutuhkan bagi ODHA. Dampaknya kondisi tersebut memberikan kontribusi meluasnya epidemik HIV dan kematian jumlah penderita AIDS secara global. Epidemik, stigmatisasi dan diskriminasi merupakan faktor yang menunjukkan ketidakmampuan individu, keluarga dan masyarakat dalam melindungi dirinya sendiri dan merespons peningkatan ODHA. Hasil penelitian dari International Centre for Research on Women (ICRW) tahun 2012, menemukan konsekuensi dari stigma terhadap orang dengan HIV antara lain kehilangan pendapatan, diputusnya pekerjaan, kehilangan keluarga, kegagalan dalam pernikahan, terhentinya keinginan mempunyai anak, miskin layanan kesehatan, mundur dari layanan perawatan di rumah, hilangnya harapan hidup, dan perasaan yang sangat sedih, serta kehilangan reputasi. Stigma bagi ODHA bukan hanya membuat semakin sulit kehidupan seseorang, namun berhubungan dengan perkembangan epidemik HIV dan AIDS secara global. Kondisi ini dipicu juga dengan adanya stigma yang terstruktur dari pemerintah, stigma layanan kesehatan, stigma dalam dunia pekerjaan, stigma dari rumah tangga dan lingkungan komunitas dan banyaknya hambatan dalam kehidupan bermasyarakat. Pemerintah melalui Kemenkes telah mencanangkan tiga zero ukuran penanggulangan HIV-AIDS yaitu: zero kematian karena AIDS; zero penularan HIV; zero perlakuan diskriminatif terhadap ODHA. Dalam konteks zero perlakuan diskriminatif terhadap ODHA, maka Kementerian Sosial dapat berperan secara nyata melalui dukungan dan rehabilitasi sosial.

Evaluasi Kebijakan Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, mengatur secara komprehensif dan berkesinambungan yang terdiri atas promosi kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan rehabilitasi terhadap individu, keluarga, dan masyarakat. Tujuan dari pengaturan penanggulangan HIV dan AIDS adalah: menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru; menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan AIDS; meniadakan diskriminasi terhadap ODHA; meningkatkan kualitas hidup ODHA; mengurangi dampak sosial ekonomi dari penyakit HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat Prinsip dalam penanggulangan HIV dan AIDS meliputi: memperhatikan nilai-nilai agama, budaya, dan norma kemasyarakatan; menghormati harkat dan martabat manusia serta Artikel Staf Ahli Bidang Dampak Sosial 2015

Page 2

memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender; kegiatan diarahkan untuk mempertahankan dan memperkokoh ketahanan dan kesejahteraan keluarga; kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; kegiatan dilakukan secara sistimatis dan terpadu, mulai dari peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan, perawatan dan dukungan bagi yang terinfeksi HIV (ODHA) serta orangorang terdampak HIV dan AIDS; kegiatan dilakukan oleh masyarakat dan Pemerintah berdasarkan kemitraan; melibatkan peran aktif populasi kunci dan ODHA serta orang-orang yang terdampak HIV dan AIDS; dan memberikan dukungan kepada ODHA dan orang-orang yang terdampak HIV dan AIDS agar dapat mempertahankan kehidupan sosial ekonomi yang layak dan produktif. Posisi strategis Kemensos dengan SDM Kesejahteraan Sosial dalam penanggulangan HIV dan AIDS meliputi: praktek pekerjaan sosial medis dalam memberikan dukungan dan rehabilitasi sosial integrasi sosial ODHA dalam kehidupan bermasyarakat. Pemberian dukungan dan rehabilitasi sosial dilakukan dengan 2 (dua) kegiatan yang terintegrasi meliputi: peningkatan peran pemangku kepentingan; intervensi perubahan perilaku yang meliputi: peningkatan peran pemangku kepentingan ditujukan untuk menciptakan tatanan sosial di lingkungan populasi kunci yang kondusif; dan intervensi perubahan perilaku ditujukan untuk memberi pemahaman dan mengubah perilaku kelompok secara kolektif dan perilaku setiap individu dalam kelompok sehingga diskriminasi bagi ODHA berkurang. Perawatan dan dukungan HIV dan AIDS harus dilaksanakan dengan pilihan pendekatan sesuai dengan kebutuhan: perawatan berbasis fasilitas pelayanan kesehatan; dan perawatan rumah berbasis masyarakat (Community Home Based Care). Perawatan dan dukungan HIV dan AIDS harus dilakukan secara holistik dan komprehensif dengan pendekatan biopsikososiospiritual yang meliputi: tata laksana gejala; tata laksana perawatan akut; tata laksana penyakit kronis; pendidikan kesehatan; pencegahan komplikasi dan infeksi oportunistik; perawatan paliatif; dukungan psikologis kesehatan mental, dukungan sosial ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat untuk membina kelompok-kelompok dukungan; dan evaluasi dan pelaporan hasil. Perawatan rumah berbasis masyarakat (Community Home Based Care) merupakan bentuk perawatan yang diberikan kepada orang terinfeksi HIV tanpa infeksi oportunistik, yang memilih perawatan di rumah. Perawatan dirumah bertujuan untuk mencegah infeksi, mengurangi komplikasi, mengurangi rasa sakit/tidak nyaman, meningkatkan penerimaan diri menghadapi situasi dan memahami diagnosis, prognosis dan pengobatan, serta meningkatkan kemandirian untuk mencapai hidup yang berkualitas. Rehabilitasi menurut Permenkes Nomor. 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS Pasal 38 Ayat 1, rehabilitasi pada kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan terhadap setiap pola transmisi penularan HIV pada populasi kunci terutama pekerja seks dan Pengguna Napza Suntik. Rehabilitasi pada kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan melalui rehabilitasi medis dan sosial. Rehabilitasi pada kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS ditujukan untuk mengembalikan kualitas hidup untuk menjadi produktif secara ekonomis dan sosial. Dalam pengaturan tentang Rehabilitasi dalam Permenkes Nomor. 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, belum diatur tentang Rehabilitasi Sosial. Artikel Staf Ahli Bidang Dampak Sosial 2015

Page 3

Rehabilitasi sosial berdasarkan Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 7 dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial, diberikan dalam bentuk: motivasi dan diagnosis psikososial; perawatan dan pengasuhan; pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan; bimbingan mental spiritual; bimbingan fisik; bimbingan sosial dan konseling psikososial; pelayanan aksesibilitas; bantuan dan asistensi sosial; bimbingan resosialisasi; bimbingan lanjut; dan/atau rujukan. Berdasarkan analisis kebijakan yang ada, nampak bahwa peran strategis bagi Kementerian Sosial sudah tercantum, namun dalam ruang lingkup tugas dan fungsi belum sepenuhnya jelas, terutama fungsi dalam memberikan dukungan dan rehabilitasi sosial bagi ODHA dan lingkungan sosial.

Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan analisis situasi dan evaluasi kebijakan, diperlukan pengaturan dalam bentuk Peraturan Menteri Sosial tentang Pemberian Dukungan Lingkungan Sosial dan Perlakuan Non Diskriminasi bagi ODHA. Ruang lingkup kebijakan memperhatikan pengarusutamaan rehabilitasi dan dukungan sosial berbasis keluarga dan komunitas kepada ODHA dan lingkungan sosialnya. Permensos dimaksud sekaligus menjadi acuan (Norma, Standar, Prosedur, dan Kegiatan) bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan penanggulangan ODHA sesuai dengan Permendagri Nomor 27 Tahun 2014 tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah. Ruang lingkup rancangan Permensos mencakup upaya mencegah stigma dan diskriminasi, peran ODHA, perilaku sehat dan ketahanan keluarga. Upaya mencegah dan diskrimasi meliputi: pemahaman dengan benar dan lengkap mengenai cara penularan HIV dan pencegahannya; pemberdayaan orang terinfeksi HIV sebagaimana anggota masyarakat lainnya; dan ajakan semua anggota masyarakat untuk tidak mendiskriminasi orang terinfeksi HIV baik dari segi pelayanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan semua aspek kehidupan. Setiap orang harus berpartisipasi secara aktif untuk mencegah dan menanggulangi epidemi HIV sesuai kemampuan dan perannya masing-masing. Masyarakat dapat berperan serta dalam upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara: mempromosikan perilaku hidup sehat; meningkatkan ketahanan keluarga; mencegah terjadinya stigma dan diskrimasi terhadap orang terinfeksi HIV dan keluarga, serta terhadap komunitas populasi kunci; membentuk dan mengembangkan Warga Peduli HIV/AIDS; dan mendorong warga masyarakat yang berpotensi melakukan perbuatan berisiko tertular HIV untuk memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan KTS. Pengaturan lebih lanjut dengan Warga Peduli AIDS diperlukan dan sangat relevan dalam pemberian dukungan dan rehabilitasi sosial kepada ODHA. Warga Peduli AIDS merupakan wadah peran serta masyarakat untuk melakukan Penanggulangan HIV dan AIDS dan dapat dibentuk di tingkat kecamatan, kelurahan/desa, dusun/kampung, rukun warga, dan rukun tetangga. Kegiatan Warga Peduli HIV/AIDS dapat diintegrasikan dengan kegiatan desa/RW siaga. ODHA perlu dipastikan memperoleh akses program-program perlindungan sosial sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor. 07 Tahun 2014 tentang Program Indonesia Sehat, Program Indonesia Pintar, dan Program Simpanan Keluarga Sejahtera. Pemberian program perlindungan sosial merupakan upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko Artikel Staf Ahli Bidang Dampak Sosial 2015

Page 4

dari guncangan dan kerentanan sosial akibat terkena HIV-AIDS. Tantangan yang harus diatasi oleh Direktorat Rehabilitasi Tuna Sosial Ditjen Rehabsos, bagaimana akses program tetap menjaga prinsip kerahasiaan. Untuk itu diperlukan penyusunan pedoman khusus dan dipadukan dengan kegiatan dukungan dan rehabilitasi sosial. Kementerian Kesehatan telah mencanangkan dan melaksanakan Kampanye Sosial ABCDE (Abstinence: absen berhubungan yang beresiko bila diketahui pasangan memiliki potensi penyakit menular seksual; Be Faithful: setia pada pasangan (tidak jajan, tidak gonta ganti pasangan); Condom: menggunakan kondom jika beresiko; Drugs: menghindari penggunaan Narkoba; Equipment: tersedia alat perlengkapan umum yang steril. Kampanye tersebut masih terbatas pada aspek medis, sehingga perlu dilengkapi dengan aspek rehabilitasi sosial dan dukungan kepada ODHA dan lingkungan sosial. Oleh karena itu, melalui Sekretariat Jenderal c.q Pusat Penyuluhan Sosial perlu membangun kerjasama dengan Kemenkes agar kampanye sosial dapat mencakup aspek-aspek rehabilitasi sosial dan dukungan sosial bagi ODHA dan lingkungan sosialnya. Sumber daya manusia yang terlibat dalam penanggulangan HIV dan AIDS terdiri atas tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan. Tenaga kesehatan merupakan tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi dan kewenangan di bidang medis. Tenaga non kesehatan berperan di bidang kebijakan, kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, sosial, budaya yang mencakup segenap permasalahan HIV dan AIDS secara holistik. Oleh karena itu perlu upaya yang serius untuk meningkatkan kompetensi para Pekerja Sosial dan Penyuluh Sosial dalam pelaksanaan praktek pekerjaan sosial medis oleh Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Penyuluh Sosial, serta Pusdiklat dan Balai Besar Diklat Kesos Badiklit Kesos, dalam hal ini bukan hanya praktek konseling bagi ODHA, tetapi juga kemampuan dalam melaksanakan dukungan keluarga (family support) melalui kegiatan Bimbingan Teknis atau Diklat. Dalam Permenkes diasosiasikan bahwa praktek konseling merupakan komunikasi informasi untuk membantu klien/pasien agar dapat mengambil keputusan yang tepat untuk dirinya dan bertindak sesuai keputusan yang dipilihnya. Konseling dan Tes HIV Sukarela yang selanjutnya disingkat KTS adalah proses konseling sukarela dan tes HIV atas inisiatif individu yang bersangkutan. Dalam perpekstif pekerjaan sosial medis konseling tidak hanya terkait medis tetapi juga non medis, termasuk bagi setelah menjadi ODHA agar mempunyai kepercayaan diri,motivasi dan integrasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam praktek pekerjaan sosial dengan ODHA, pekerja sosial melakukan case management untuk memastikan ODHA memperoleh respon layanan dan rehabilitasi sosial yang sesuai dengan hak dan kebutuhannya. Kebijakan dimaksud dilaksanakan oleh team terpadu (Dit RTS, Puspensos, Pusdiklat, Balai Diklat), dan LKS yang berpengalaman. Kebijakan dimaksud berdasarkan perspektif praktek pekerjaan sosial medis. Kementerian sosial, c.q Ditjen Rehabilitasi Sosial perlu meningkatkan kerjasama dengan pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah (seperti Yayasan Pelita Ilmu, Yayasan Aids Indonesia, Yayasan Lentera, dll) dalam mengimplementasikan kebijakan serta memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan pelayanan dukungan dan rehabilitasi sosial bagi ODHA. Kementerian Sosial dan instansi/lembaga pemerintah lainnya dalam Penanggulangan HIV dan AIDS dapat bermitra aktif Lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, Artikel Staf Ahli Bidang Dampak Sosial 2015

Page 5

organisasi profesi bidang kesehatan, komunitas populasi kunci, dan dunia usaha. Kerjasama kemitraan dengan organisasi non pemerintah, khususnya Lembaga Kesejahteraan Sosial yang telah berpengalaman dalam pemberian layanan bagi ODHA perlu dilakukan dan ditingkatkan, sekaligus mengajak serta LKS untuk melakukan perubahan paradigma pelayanan yang mengarah pada layanan berbasis keluarga dan komunitas, seperti yang tercakup dalam tabel 1. Selain itu kerjasama dengan Mitra Pembangunan Internasional (International Development Partners) dapat berkontribusi dalam Penanggulangan HIV dan AIDS sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kerjasama dan kemitraan khusus Penganggulangan HIV dan AIDS dipimpin dan dikoordinasikan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota. Untuk menunjang upaya Penanggulangan HIV dan AIDS yang berbasis bukti dan perbaikan dalam pelaksanaannya, perlu dilakukan penelitian dan riset operasional (action research) di bidang dampak sosial ekonomi dan praktek pekerjaan sosial medis kekhususan dalam memberikan dukungan dan rehabilitasi sosial bagi ODHA dan lingkungan sosial. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan bekerjasama dengan institusi dan/atau peneliti asing sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Balai Besar Penelitian Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) Yogjakarta segera melakukan penelitian pengembangan model pencegahan, model eliminasi diskriminasi dan model dukungan lingkungan sosial yang efektif bagi ODHA, terutama berbasis masyarakat. Tabel 1. Perubahan paradigma pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi ODHA yang dilaksanakan oleh LKS

Kondisi saat ini

Kondisi yang diharapkan

- Fungsi terbatas, jika ada multifungsi layanan

- Multifungsi bagi penerima manfaat (ODHA) (satu rumpun karakteristik masalah/ sasaran & multi metode)

- Longterm care

- Temporary shelter & early intervention berbasis case management

- Layanan kepada keluarga dan masyarakat terbatas

- Pusat layanan kepada keluarga (family suport) dan masyarakat (participatory community empowerment) - outreaching, tracing, home visit, family mediation, family suport, family preservation, family reunification/ reintegration, community development, sosialisasi/ awarness raising, kampanye sosial, dll. - Memperjuangkan akses program perlindungan sosial (KIP,KIS,PSKS)

Artikel Staf Ahli Bidang Dampak Sosial 2015

Page 6