OSEANA, VOLUME XIV, NOMOR 2 : 65 – 71, 1989

Download Di bagian bawah dari lapisan euphotis terjadinya degredasi bahan-bahan organik disebabkan oleh respirasi secara anaerob, di mana aseptor te...

0 downloads 366 Views 355KB Size
www.oseanografi.lipi.go.id

ISSN 0216–1877

Oseana, Volume XIV, Nomor 2 : 65 – 71, 1989

PENGUKURAN AKTIVITAS RESPIRASI SISTEM TRANSPOR ELEKTRON PADA PERAIRAN LAUT oleh Sutomo 1)

ABSTRACT MEASUREMENT METHOD OF ELECTRON TRANSPORT RESPIRATORY ACTIVITY IN MARINE ENVIRONMENT Photosynthetic process by phytoplankton in seawater is always followed by respiratory process Le. degradation of organic matter with the support of enzymatic activity. The respiratory process is regulated by electron transport system (ETS). A tetrazolium salt method for measurement of respiratory electron transport system in marine environment is described. Results of ETS studies in several waters are presented.

menembus. Di samping fotosintesis, pada waktu yang sama juga terjadi proses sebaliknya yaitu respirasi yang merupakan degradasi dari zat organik. Resprasi terjadi di semua bagian laut. Respirasi adalah biooksidasi yaitu oksidasi dari bahan makanan yang menghasilkan tenaga. Dalam suatu sistem, reaksi oksidasi akan selalu diikuti dengan reaksi reduksi. Di dalam reaksi oksidasi selalu terjadi pengurangan elektron sedangkan reaksi reduksi selalu terjadi pertambahan elektron. Jadi dalam reaksi oksidasi tidak selalu oksigen yang bereaksi dengan substrat dan pada reaksi reduksi tidak selalu ada hidrogen yang bereaksi dengan substrat. Pada lapisan eufotis waktu terjadi respirasi, maka zat organik yang terjadi akan mengalami proses degradasi melalui cara aerob dan proses tersebut

PENDAHULUAN Dua proses penting dalam kehidupan dunia tumbuhan yakni pembentukan bahanbahan organik melalui proses fotosintesis dan dekomposisi bahan organik tersebut dalam proses respirasi. Banyak peneliti oseanografi mempelajari produktifitas primer suatu perairan dengan cara reaksi penggabungan radio aktif bikarbonat pada pembentukan zat-zat organik (STEEMANNIELSEN 1952), namun penelitian mengenai penggunaan bahan-bahan organik atau respirasi itu sendiri sangatlah kurang. Hal ini disebabkan proses respirasi itu sangat rumit. Pada lingkungan perairan, fotosintesis hanya terjadi pada lapisan atas atau zone euphotis, di mana cahaya matahari masih

1) Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI, Ambon.

65

Oseana, Volume XIV No. 2, 1989

www.oseanografi.lipi.go.id

diatur oleh Electron Transport System (ETS). Di bagian bawah dari lapisan euphotis terjadinya degredasi bahan-bahan organik disebabkan oleh respirasi secara anaerob, di mana aseptor terakhir bukan oksigen, melainkan bahan organik, contoh pada proses fermentasi (JUTONO et al. 1972). Di dalam proses respirasi enzym yang memegang peranan ialah enzym dehidrogenase yang merupakan golongan terbesar dari enzym oksidoreduktase (BITTON 1983). Enzym dehidrogenase berfungsi sebagai katalisator oksidasi substrat dengan memindahkan elektron melalu ETS. Enzym dehidrogenase yang berperan di dalam sistem ETS terdapat pada membran sel mikrobia atau pada mikrosoma dan mitochondria sel eukaryotik dan disebut enzym NADH dehidrogenase, suksinat dehidrogenase dan cytochrom (PACKARD et al. 1983, OLANCZUKNEYMAN & VOSJAN 1977). ETS yang terdapat di dalam mitochondria dan microsoma tersebut merupakan rantai komplek dari cytochrom, flavoprotein dan ionion metal yang membawa elektron dari makanan ke oksigen yang merupakan elektron aseptor terakhir (PACKARD 1971). Bahan organik yang dipakai dalam proses metabolisme pada organisme multicellulair biasanya diperoleh langsung dari makanan, yang kemudian dicerna dan akhirnya akan diserap oleh dinding usus. Sedangkan pada organisme unisellulair, di luar tubuhnya terdapat enzym-enzym yang berfungsi sebagai penghancur makanannya. Hubungan antara respirasi elektron transport sistem dengan siklus Krebs dan oksidasi fosforilasi pada proses tahap awal dari rantai makanan dapat dilihat pada Gambar 1. Selama degradasi atau katabolisme dari molekul-molekul organik akan terbentuk Adenosin Tri Phosphat (ATP), yang menghasilkan energi dan selanjutnya digunakan pada beberapa reaksi yang memerlukan sum-

ber energi. Biasanya ATP ini dipakai untuk pemeliharaan energi dan reaksi-reaksi biosynthesis. Reaksi biosyntesis atau anabolisme sangat penting untuk pertumbuhan organisme. Di antara unsur-unsur pembentuk senyawa-senyawa organik dari tumbuhtumbuhan dan hewan, maka karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor dan belerang adalah yang terpenting. Untuk mengetahui senyawa-senyawa organik dapat dipelajari secara kwalitatif dan kwantitatif. Beberapa metode yang sering digunakan dalam mempelajari senyawa-senyawa organik antara lain : (1) Metode kromatografi dan spektrofotometri atau dengan cara kromatografi tekanan tinggi "High Performance Liquid Chromatography" (HPLC), antara lain dipergunakan dalam analisis pigmen; (2) Berbagai metode dapat digunakan untuk estimasi total hidrokarbon yang terekstraksi dengan gravimetri, sedangkan yang memberikan respon fotometri dengan spektrometri ultraviolet, spektrofotometri infra merah, spektrometri flouresensi, gas kromatografi, HPLC, tergantung sifat dan jenis hidrokarbon; (3) Penentuan tiap-tiap tetapan fisik pada azasnya dapat berguna sebagai tanda kemurnian senyawa organik. Penentuan tetapan-tetapan fisik di antaranya ialah titik cair, titik didih, berat jenis, indeks bias dan daya putar optis; Pengukuran kalor bakar molekul zatzat organik ialah banyaknya kalor, yang diukur dengan kilogramkalori, yang keluar apabila 1 gram molekul terbakar menjadi karbondioksida dan air (BERTHELOT & VIEILLE dalam HOLLEMAN et al. 1946); Metode nitrogen menurut cara Dumas, menentukan karbon dan hidrogen menurut LIEBIG, dengan beberapa modifikasi pengerjaannya; (6) Beberapa metode lain untuk menentukan senyawa organik dapat dipela jari menurut cara KJELDAHL untuk menen-

66

Oseana, Volume XIV No. 2, 1989

www.oseanografi.lipi.go.id

r

Gambar 1. Bagan sederhana proses tahap awal dari rantai makanan yang masuk ke dalam sistem respirasi ETS dan hubungannya dengan siklus KREBS (TCA) dan oksidasi fosforilasi.

67

Oseana, Volume XIV No. 2, 1989

www.oseanografi.lipi.go.id

rangkaian proses degradasi dengan cara respirasi aerob per unit waktu dapat diukur besarnya tingkat respirasi. Skema umum untuk elektron transport sistem dapat dilihat pada Gambar 2. Di dalam metode ETS, aktifitas ETS yang diukur ialah tingkat respirasinya. Aktifitas ETS ini dapat diukur berdasarkan reduksi garam tetrazolium yang membentuk warna stabil. Dari banyaknya jenis garam tetrazolium yang mempunyai aktivitas tinggi terhadap elektron ialah 2 – (p–iodotenil) –3– (p–nitrotenil) –5– tenil tetrazolium kloride (INT) dan donor elektron yang sangat berlebihan seperti pada NADH+, NADPH+, dan asam suksinat. Dengan cara ini dapat diperoleh potensial metabolisme suatu komunitas atau dari contoh organisme suatu perairan bila transport elektron tersebut dapat diubah ke dalam suatu bentuk substrat yang jenuh.

tukan nitrogen. Metode CARIUS menentukan halogen-halogen juga untuk menentukan belerang, fosfor dan arsen. Dan masih banyak lagi metode lain yang dapat digunakan untuk pengukuran senyawa organik. Pada saat ini sudah banyak dikembangkan metode-metode baru dalam analisis senyawasenyawa organik dengan peralatan yang lebih canggih. Dalam tulisan ini akan dipelajari secara garis besar tentang metode pengukuran aktifitas respirasi Electron Transport System (ETS) di perairan laut dan beberapa hasil penelitian ETS. AKTIFITAS SISTEM TRANSPOR ELEKTRON (ELECTRON TRANSPORT SYSTEM) Semua organisme mempunyai rantai respirasi. Banyaknya elektron yang melalui

Gambar 2. Skema umum reduksi INT menjadi formazan melalui elektron transport sistem dengan elektron-elektron yang datang dari NADH, NADPH dan suksinat (VOSJAN 1982).

68

Oseana, Volume XIV No. 2, 1989

www.oseanografi.lipi.go.id

Metode aktifitas ETS adalah suatu cara pengukuran aliran rantai elektron dalam substrat basah. Maksud dan tujuan pengukuran aktifitas ETS itu ialah untuk mengetahui aktifitas respirasi yang ada di suatu tempat. Dalam ilmu kelautan metode ini diperkenalkan oleh PACKARD (1971) dalam penelitiannya tentang plankton di perairan laut. Kemudian setelah diadakan suatu perubahan rumus perhitungan dilakukan pula pada sedimen-sedimen di dasar laut seperti yang dilakukan oleh OLANCZUK-NEYMAN & VOSJAN (1977). Pengukuran ETS terdiri dari beberapa tahap, yakni : pengambilan contoh (sampling), homogenisasi, sentrifuge, inkubasi, penghentian reaksi, pengukuran formazan (dimana reaksi terjadi pada saat reduksi 1 molekul INT menjadi formazan menerima 2 elektron yang sebanding dengan 1/2 O2 menjadi H2O). Pengukuran formazan ini dengan cara spectrofotometri. Pada saat sampling ditekankan pada organisme apa yang akan diteliti, homogenasi diperlukan kondisi yang stabil dengan memperhatikan larutan penyangga, pH, suhu dan waktu homogenasi. Selanjutnya setelah disentrifuge didapatkan larutan yang jernih, lalu di inkubasi dengan interval waktu antara setengah sampai satu jam pada temperatur 20 °C. Kemudian dilakukan penghentian reaksi dan. diukur bersama-sama larutan blangko. Perhitungan ETS didapatkan dari hasil pembacaan koefisien absorbsi formazan-INT pada panjang gelombang 490 nanometer : 15,9. 103 M–1. Cm–1. Elektron aseptor INT merupakan suatu komplek sitokrom – b – koenzim q komplek pada rantai elektron (PACKARD dalam RUYITNO et al. 1984). Reduksi 1 molekul INT menjadi formazan ini sebanding dengan 1/2 molekul komsumsi oksigen. Suatu pengukuran ETS ialah : µg O2/contoh/satuan waktu. Untuk perhitung-

an ETS yang diinkubasikan ditambahkan larutan penyangga Triton X–100 ke dalam larutan formazan. Larutan penyangga tersebut untuk menghindari larutan INT dari reduksi non enzimatis. Metode perhitungan ETS yang dikemukakan oleh (PACKARD & WILLIAMS dalam VOSJAN 1982) sebagai berikut:

g = dalam gram atau 1 = liter; h = hour (jam); S = berat atau volume dalam gram atau liter ; t = waktu inkubasi dalam jam; ∆E = absorben/cm; 15,9 x l0 –3 = molar absorben formazan; V = volume akhir dari suatu reaksi (liter); U = volume homogenat yang digunakan selama percobaan dalam ml; 32/2 = faktor transformasi dari µ mol INT ke µg. O2. BEBERAPA HASIL PENELITIAN ETS PADA PERAIRAN LAUT Distribusi vertikal dari aktivitas ETS di bagian timur dari daerah tropis Lautan Pasifik telah dilakukan oleh PACKARD et al. (1971). Di perairan ini pada zone euphotis aktivitas ETS cepat berkurang dari lapisan atas ke lapisan yang lebih dalam sampai dengan kedalaman 500 m. Hal ini menunjukan metode ETS sangat sensitif terhadap perubahan aktifitas respirasi pada tiap-tiap lapisan kedalaman laut. Hubungan antara aktifitas distribusi ETS dengan kandungan oksigen telah dilakukan oleh DEVOL et al. (1976) di Lautan Pasifik. Dari penelitian tersebut didapatkan aktivitas ETS yang tertinggi bertepatan dengan kandungan oksigen yang rendah, tetapi tidak ada kaitannya dengan penambahan ATP.

69

Oseana, Volume XIV No. 2, 1989

www.oseanografi.lipi.go.id

perairan. Pengerjaan metode ETS adalah sangat mudah hanya dengan menggunakan peralatan penelitian yang sederhana seperti sentrifuge, spektrofotometer dan homogenizer. Informasi aktifitas ETS pada sedimen di kawasan industri dapat dipakai untuk membantu dalam pemantauan analisis dampak lingkungan dengan lebih teliti.

Besarnya aktifitas ETS dinyatakan dalam µ mol O2 m–2. h–1, hal ini dapat diasumsikan perbandingan antara oksigen dan karbon 1 banding 1, atau dapat ditulis dalam satuan mgC m–2. d–1. Hasil penghitungan respirasi ETS di daerah euphotis mempunyai nilai kurang dari 250 mg c.m –2 . d –1 (PACKARD & WILLIAMS dalam VOSJAN 1982). Besarnya ETS ini menunjukkan tingkat produktifitas suatu perairan. Pada penelitian ekspedisi SNELLIUS II, Bulan Agustus 1984 yang bertepatan dengan musim timur di perairan Laut Banda dan Laut Arafura telah diadakan penelitian tentang biomassa mikroba dan aktifitas respirasi pada lapisan permukaan oleh VOSJAN & NIEUWLAND (1987). Hasilhasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut : Pengukuran biomassa ATP dan repirasi dari aktifitas ETS organisme yang mempunyai ukuran kurang dari 50 µ /m, mempunyai nilai kolom air dari integrasi lapisan permukaan sampai dengan kedalaman 300 meter berkisar antara 1,4 sampai dengan 4,4 g C m–2. Tingkat respirasi pada suhu insitu (di tempat) berkisar antara harga 1 sampai dengan 4,2 g C m–2. d–1 Harga tertinggi biomassa dan respirasi dalam kolom air didapatkan pada kedalaman kurang dari 50 m. Distribusi horizontal biomassa dan respirasi mempunyai harga tertinggi di daerah tenggara Laut Banda dan selatan Irian Jaya atau Laut Arafura. Nilai perbandingan antara respirasi dan biomassa (R : B) adalah 0,5 dan 1,7 d–1, perbandingan ini secara tidak langsung menyatakan bahwa perubahan bahan-bahan organik terjadi dengan cepat. Dari pembahasan di atas pengukuran aktifitas ETS dapat digunakan sebagai studi dasar mengenai kondisi lingkungan periran laut atau tingkat kesuburan suatu

DAFTAR PUSTAKA BITTON, G. 1983. Bacterial and biochemical tests for assessing chemical toxicity in aquatic environment : A Review. Crit. Rev. Control 13 : 51 – 67. DEVOL, A.H., T.T. PACKARD and O. HOLM–HENSEN 1976. Respiratory electron transport activity and adenosin triphosphate in the oxygen minimum of the eastern tropical North Pacific. Deepsee Res. 23 : 963–973. HOLLEMAN, L.W J., A.A. DJOHARI, B.D. ARDIWIKARTA, S. HARDJO–DARSONO dan U. IMANWIREDJO 1946. Kimia organik Publ. J.B. Wolters–Djakarta.: 1 - 33. JUTONO, S. JUDORO, S. HARTADI, S. KABIRUN, SUHADI dan SUSANTO 1972. Dasar-dasar mikrobiologi untuk perguruan tinggi. Gadjah Mada University Press: 140–195. OLANCZUK–NEYMAN, K.M. and J.H. VOSJAN 1977. Measuring respiratory electron transport system activity in marine sediment. Neth. J. Sea Res. 11 : 1–13. PACKARD T.T. 1971. Respiration and respiratory electron transport activity in marine phytoplankton. J. Mar. Res. 29 : 235 – 244. PACKARD, T.T., M. HEALY and F.A. RICHARDS 1971. Vertical distribution of activity of the respiratory electron transport system in marine plankton. Limnol. Oceanogr. 16 : 60 – 70. 70

Oseana, Volume XIV No. 2, 1989

www.oseanografi.lipi.go.id

RUYITNO, E. PAUPTIT and J.H. VOSJAN 1984. Orientation on electron transport system activity measurement in different organism. (Training for Indonesian – Dutch Snellius II Expedition in 1984 – 1985). Print, by NIOZ, Texel. pp : 1 – 8. STEEMANN–NIELSEN, E. 1952. The use of radioactive carbon (14C) for measuring organic production in the sea. J. Cons. perm. int. Eplor. Mer. 18 : 117 – 140 hal.

VOSJAN, J.H. 1982. Respiratory electron transport system activities in marine environments. Hidrobiol. Bull. 16 : 61 – 68. VOSJAN, J.H. and G. NIEUWLAND 1987. Microbial biomass and respiratory surface waters of the east Banda Sea and northwest Arafura Sea (Indonesia) at the time of the southeast monsoon. Limnol Oceanogr. 32 (3) : 767 – 775.

71

Oseana, Volume XIV No. 2, 1989