BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi di lingkungan Rumah Sakit. P. aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif yang seringkali menjadi sumber infeksi. P. aeruginosa memiliki kecenderungan hidup di lingkungan yang lembab mudah ditemukan di air, tanah dan tanaman, termasuk buah-buahan dan sayuran. Bakteri ini jarang ditemukan sebagai bagian dari flora normal pada orang sehat, jika terjadi kolonisasi pada orang yang sehat, umumnya ditemukan pada saluran pencernaan dan bagian tubuh yang lembab, seperti tenggorokan, mukosa hidung, kulit ketiak, dan daerah perineum. Bakteri ini sering dijumpai sebagai kontaminasi pada kolam renang, kolam air panas, wastafel air, cairan pembersih lensa kontak, injeksi obat, dan telapak bagian dalam sepatu. 1 P. aeruginosa memiliki potensi sebagai bakteri patogen di lingkungan rumah sakit. Larutan air yang digunakan dalam perawatan medis misalnya, desinfektan, sabun, cairan irigasi, tetes mata, dan cairan dialisis sering terkontaminasi dengan P. aeruginosa. Bakteri ini juga sering ditemukan dalam aerator, peralatan terapi pernafasan, shower dan wastafel di lingkungan rumah sakit.1 Bakteri tersebut banyak ditemukan sebagai bakteri penyebab infeksi nosokomial pada saluran kemih, infeksi luka paska operasi, infeksi pembuluh darah, Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) dan meningitis khususnya pasien dengan sistem imun yang rendah di intensive care unit (ICU). Penelitian di Indonesia didapatkan P. aeruginosa sebagai salah satu bakteri gram negatif yang paling sering menginfeksi yaitu sebesar 25,8%.3,4 Selama ini bakteri P. aeruginosa menimbulkan manifestasi klinis mencakup kasus bakterimia, pneumonia, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi luka pasca operasi dan infeksi lainnya. Kemampuan bakteri P. aeruginosa untuk bertahan hidup pada kondisi lingkungan
ekstrem dan bertahan dalam jangka waktu yang lama pada permukaan tubuh sering menyebabkan infeksi. Disamping itu penularan infeksi melalui kontak dari satu pasien ke pasien lain kerap terjadi di lingkungan rumah sakit.3,4 Berdasarkan data dari The National Healthcare Safety Network, P. aeruginosa menduduki peringkat pertama terbanyak setelah Staphylococcus aureus dan Acinetobacter baumannii. Disamping itu, infeksi yang disebabkan oleh P. aeruginosa akan sulit untuk diterapi, hal ini dikarenakan semakin banyak munculnya strain resisten terhadap beberapa antibiotik (Multidrug Resistance). Kasus luar biasa yang disebabkan oleh Multidrug Resistance P. aeruginosa (MDR-PA) telah dilaporkan beberapa rumah sakit di dunia. Angka kejadian infeksi P. aeruginosa cukup tinggi di lingkungan kesehatan di seluruh dunia. Peningkatan ini juga terjadi di Amerika Serikat dalam satu dekade terakhir ini.2 Multidrug Resistance P. aeruginosa (MDR-Pa) merupakan bakteri P. aeruginosa yang resistensi terhadap lebih dari tiga golongan obat, yakni golongan sefalosporin antipseudomonal (ceftazidime atau cefepime), golongan karbapenem (imipenem atau meropenem), golongan pinicillin (ampicillin/sulbactam), golongan fluoroquinolon (ciprofloxacin atau levofloxacin), dan golongan aminoglikosida (gentamisin, tobramycin, atau amikasin). MDR-Pa merupakan patogen yang muncul sangat cepat di lingkungan kesehatan khusunya di rumah sakit sedangkan resistensi yang disebabkan oleh P. aeruginosa paling sulit dikendalikan dan dicegah. Infeksi MDR P. aeruginosa (MDR-Pa) cenderung terjadi pada pasien dengan status imunitas yang rendah, pasien dengan penyakit dasar yang serius dan pada pasien yang mendapat terapi antibiotik spektrum yang luas. 6 Suatu penelitian di Amerika Serikat membuktikan bahwa dari 414 pasien yang menjalani prosedur bronkoskopi didapati 9,4% terinfeksi pada saluran nafas atas dan bawah, serta infeksi
melalui aliran darah (bakterimia) sebanyak 66,7 % diantaranya didapati P. aeruginosa setelah dilakukan kultur.18,19 Penelitian sebelumnya, pada pasien yang terinfeksi bakteri MDR-Pa disebutkan angka mortalitas meningkat dari 26% menjadi 68%.8 Penelitian yang dilakukan di Korea Selatan memperlihatkan pemberian terapi antimikroba empiris untuk bakteremia merupakan prediktor independen kematian 30 hari, tetapi penelitian lain menunjukan adanya korelasi yang buruk antara mortalitas pasien dan terapi pilihan empiris akibat adanya MDR-Pa. Dengan demikian adanya MDR-Pa dapat memperpanjang lama rawat inap di unit intensif (ICU) selama 6 hari serta jika rawat inap selain bangsal ICU memperpanjang lama rawat inap menjadi 18 hari.6 MDR-Pa menjadi berkembang pesat di rumah sakit, seiring dengan meningkatnya angka kejadian dan kematian yang cukup signifikan akibat sedikitnya obat antimikrobial yang efektif melawan penyakit infeksi yang disebabkan P. aeruginosa.8 Prevalensi kematian yang lebih tinggi juga ditemukan pada pasien dengan kolonisasi bakteri P. aeruginosa dibandingkan kontrol yang tanpa terjadi kolonisasi P. aeruginosa.9 Angka kematian
yang diakibatkan infeksi MDR-Pa umumnya masih tinggi yakni sekitar 68%.
Peningkatan angka kematian ini dikaitkan dengan resistensi antibiotik yang meluas, efektifitas terapi empirik, dan ketersediaan pemilihan terapi definitif.5,7 Peningkatan infeksi MDR-Pa dan terbatasnya pengembangan antibiotik baru untuk mengatasi MDR-Pa membuat klinisi dihadapkan pilihan menggunakan terapi antibiotik yang lebih besar dosis dan efek toksisnya bagi pasien. Dengan demikian tersedianya data yang terkait dengan infeksi MDR-Pa akan membantu klinisi dalam membuat keputusan yang cepat dan tepat dalam memberikan terapi dan penetapan prognosis penyakit ini.9,10,12 Informasi tentang kepekaan kuman terhadap antibiotik diharapkan dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas, biaya pengobatan dan lama rawat inap di rumah sakit. Namun peta
dan pola kepekaan kuman terhadap antibiotik belum tersedia di tangan para klinisi dengan cepat, tepat, dan selalu terkini.8 Oleh karena diperlukan suatu penentuan kerentanan antibiotik oleh MIC (Minimal Inhibitory Concentration) secara kuantitatif.9 Beberapa metode uji kepekaan kuman tersedia secara komersial dan metode manual atau berbasis alat untuk menjalankan pemeriksaan rutin uji kepekaan kuman. Metode disk-diffusion, borth microdilution dengan atau tanpa alat untuk pembacaan panel dan rapid-automated instrument-based methods. Pemeriksaan dengan menggunakan E-test dalam menentukan MIC (Minimal Inhibitory Concentration) berguna untuk beberapa kuman tertentu salah satunya pada bakteri P. aeruginosa.10 Penelitian yang dilakukan Arroyo, et al.,(2005) menyatakan bahwa E-test merupakan metode alternatif penentuan nilai MIC (Minimal Inhibitory Concentration) pada bakteri P. aeruginosa dan Acinetobacter baumannii yang sederhana dan akurat.11 Dengan semakin meningkatnya kasus MDR-Pa, maka perlu strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut salah satu strateginya dengan mengkombinasi terapi empiris. Beberapa penelitian sebelumnya telah meneliti efek sinergi dalam terapi kombinasi antibiotik. Dimana diperoleh hasil terapi kombinasi terbukti mampu melawan MDR-Pa. Efek sinergi telah diteliti sebelumnya yakni meropenem dikombinasikan dengan ciprofloksasin (floroquinolon) mampu memberikan hasil yang memuaskan dalam mencegah terjadinya MDR-Pa.12 Disamping itu kombinasi meropenem dan ciprofloxacin mampu memberikan efek sinergi terhadap MDR-Pa secara bermakna selama 12 jam pada suhu inkubasi 37oC, kemudian perlahan turun efek sinerginya setelah 24 jam inkubasi.12,13 Pada infeksi yang disebabkan MDR-Pa, pemilihan antibiotik dengan cepat dan tepat seolah menjadi sangat penting. Oleh karenanya penatalaksanaan infeksi yang disebabkan MDRPa yang baik tentunya akan menurunkan mortalitas dan morbiditas secara signifikan. Dengan
latar belakang tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam untuk melihat ada tidaknya efek sinergi kombinasi meropenem, gentamisin dan levofloxacin terhadap MDR-Pa dengan metode E-test.
B. Pertanyaan Penelitian Apakah kombinasi meropenem dengan gentamisin, serta meropenem dengan levofloksasin mempunyai efek sinergi terhadap isolat klinis MDR-Pa?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat ada tidaknya efek sinergi meropenem dengan gentamisin, serta meropenem dengan levofloksasin terhadap isolat klinis MDR-Pa.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti ilmiah mengenai ada tidaknya efek sinergi kombinasi meropenem dengan gentamisin, serta meropenem dengan levofloksasin terhadap isolat klinis MDR-Pa. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan kepada klinisi tentang infeksi MDR-Pa beserta efek kombinasi meropenem dengan gentamisin, serta meropenem dengan levofloksasin. 3. Hasil penelitian ini mampu memberikan evaluasi penggunaan E-test sebagai metode alternatif yang mudah dalam menentukan MIC (Minimal Inhibitory Concentration) dan sebagai metode untuk menilai efek kombinasi antibiotik pada isolat klinis MDR-Pa.
E. Keaslian Penelitian Penelitian terkait efek sinergi kombinasi antibiotik terhadap isolat klinis MDR-Pa sudah dilakukan beberapa penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian menunjukan adanya efek sinergi yang bervariasi pada antibiotik golongan karbapanem, aminoglikosida dan fluroquinolon terhadap isolat klinis MDR-Pa dengan metode E-test. Beberapa penelitian tersebut dapat dirangkum pada tabel 1. Tabel 1. Keaslian Penelitian Nama Peneliti dan Tahun Penelitian W.He et al., 2012
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
In vitro E-test synergy doripenem with amikacin, colistin, and levofloxacin against P. aeruginosa with defined karbapenem resistance mechanisms as determined by the E-test method
Metode E-test dapat mengevaluasi efek sinergi antibiotik kombinasi Doripenem dengan Amikasin, Colistin, dan Levofloksasin pada 100 isolat klinis P. aeruginosa resisten terhadap golongan Karbapenem dengan hasil 67% (doripenemamikasin), 31%(doripenem-colistin), 23% (doripenem-levofloksasin). Dari 51 isolat P. aeruginosa dengan metode Time-kill Assay (TKA) menunjukan kombinasi Meropenem dengan Ciprofloksasin mampu membunuh 34 isolat, sedangkan kombinasi Meropenem dengan Colistin sebanyak 13 isolat. Kombinasi antibiotik Levofloxacin (LEV) dengan piperacillin/tazobactam (TZP) metode E-test dan Time-kill Assay (TKA) terhadap 31 isolat P. aeruginosa resisten terhadap Flouroquinolon, dengan metode Etest efek sinerginya 9/31 (29 %), sedangkan metode TKA efek sinerginya 14/31 (45%). Kombinasi antibiotik Imipenem dengan Amikasin mempunyai efek sinergi 90% dari 7193 isolat P. aeruginosa berasal dari spesimen darah dan sputum koleksi sampel dari 1997 hingga 2009. Metode E-test menjadi alternatif metode kombinasi antibiotik secara in vitro bila dibandingkan metode lain TKA dan Checkerboard dimana metode E-test lebih simpel dan mudah dalam interpretasi hasil.
Glenn et al., 2008
Activity of Meropenem with and without Ciprofloxacin and Colistin against P. aeruginosa and Acinetobacter baumannii
Chachanidze et al., 2009
In vitro of levofloxacin plus pipera cillin/tazobactam against Pseudomonas aeruginosa
R.N. Master et al., 2011
Analysis of resistance, crossresistance and antimicrobial combinations for P. aeruginosa isolates from 1997 to 2009
White et al., 1996
Comparison of the different in vitro methods of detecting synergy: Time-Kill Assay (TKA), Checkerboard, and E-test