Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid tentang ... - Portal Garuda

pengetahuan umum, dengan bacaan buku-buku yang luas termasuk kepustakaan asing; Arab dan Barat,4 suatu penguasaan ilmu penge- tahuan yang saling bersi...

4 downloads 527 Views 386KB Size
Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid

Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan Muhammad Rusydy Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Abstract: Nurcholish Madjid is an Indonesian Islamic thought and reformer who was educated in the traditional and modern milieu. He argued Islamic thinking grounded in monotheism, but because of the use of foreign terms that are not familiar to the Muslims of Indonesia, the idea is being controversial. Then he changed the methodology by using a language that is easily understood. Actually his thinking is not changed from the early, and he argued about the actualization of Islam with modernity as well trickledown effect into the Indonesian context. His thinking is the crystallization of the purity of Islam, pluralism Indonesia, and current progress. Keywords: Nurcholish Madjid, universalisme Islam, Islam Indonesia.

I. Pendahuluan Nurcholish Madjid1 adalah seorang pembaharu pemikiran Islam Indonesia yang mengkaji Islam secara universal dan rasional, namun Fachry Ali menyebut Nurcholish Madjid sebagai fenomena dalam konteks masyarakat Indonesia karena mampu melahirkan beberapa perubahan tertentu di dalam masyarakat baik secara institusional maupun literar. Fachry Ali, “Kata Pengantar” dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998), cet. I, h. xxi. 1

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

189

Muhammad Rusydy

tetap berpijak pada prinsip dasar al-Qur’an, Hadits, dan tradisi intelektual Islam. Ia memunculkan pemikiran tentang Islam2 dengan pemahaman baru yang relatif berbeda dengan pemahaman kebanyakan umat Islam Indonesia. Pemikiran keislaman Nurcholish Madjid, yang populer pula disebut Cak Nur, telah banyak dikaji dalam konteks masalah-masalah keislaman di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Nurcholish Madjid berada pada posisi sebagai pembaharu pemikiran Islam kontemporer yang penting di Indonesia, karena ia memang hadir dengan gagasan dan pembaharuan pemikiran keislaman yang aktual. Pembaharuan pemikiran Islam Cak Nur bersifat rasional, inklusif, dan aktual, sehingga telah menempatkan dirinya pada posisi “neo-modernis” Islam.3 Sebagai pembaharu pemikiran Islam yang elaboratif, Cak Nur secara terus menerus melakukan kajian ulang secara kritis terhadap praktik pengamalan Islam. Dalam memunculkan pembaharuan pemikiran Islam, ia hanya melibatkan diri dalam organisasi sosial kemasyarakatan, bukan dalam sosial politik. Berbeda dengan para Islam dan pemikiran Islam/pemikiran keislaman/pemikiran tentang Islam dua hal yang berbeda. Islam adalah wahyu yang kemudian menjadi nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Pemikiran Islam/pemikiran keislaman/pemikiran tentang Islam adalah hasil interpretasi terhadap wahyu. Moselim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 67. 3 Neo-modernis Islam berusaha membangun visi modernisme Islam dengan tidak meninggalkan warisan intelektual Islam dan bergelut dengan modernitas. Pendekatannya ialah ijtihad dan pemaduan keilmuan Islam dengan metode-metode analisis Barat. Modernis Islam berusaha membangun modernisme Islam untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman namun tetap berpijak pada warisan intelektual Islam dan tidak apologetik terhadap modernitas. Fazlur Rahman, “Islam, Challenges and Opportunitic” dalam A.W. Welch & P. Chachia, (ed.), Past Influense and Present Challenge, (Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1979), h. 315-325; Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq, (Jakarta: Paramadina-Pustaka Antara dan AdikaryaThe Ford Foundation, 1999); Edy A. Effendy, (ed.), Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999), cet. I, h. 79; Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), cet. I, h. 171-185. 2

190

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid

intelektual muslim generasi sebelumnya atau para intelektual muslim kontemporer yang sezaman dengannya yang aktif dalam organisasi kemasyarakatan dan politik atau bahkan politik praktis. Ini dapat dilihat dari beberapa aktivitasnya yang konsisten dalam bidang akademik, keilmuan, dan penelitian disertai dengan beberapa jabatan yang pernah dipegangnya. Cak Nur adalah seorang intelektual muslim yang dididik dalam ilmu-ilmu keislaman dan ilmu pengetahuan umum, dengan bacaan buku-buku yang luas termasuk kepustakaan asing; Arab dan Barat,4 suatu penguasaan ilmu pengetahuan yang saling bersinergi sebagai dasar intelektualitasnya.

II. Perjalanan Intelektual Nurcholish Madjid Cak Nur memperoleh dasar-dasar keagamaan dari ayahnya, Abdul Madjid. Ia juga belajar di Sekolah Rakyat di pagi hari dan Madrasah al-Wathaniyyah pada sore hari.5 Setelah pendidikan dasar, ia melanjutkan studinya ke Pesantren Darul ‘Ulum Rejoso, Jombang. Hanya sampai dua tahun, ia tidak tahan belajar di Darul ‘Ulum karena ayahnya sebagai anggota NU berafiliasi ke Partai Masyumi. Ini menyebabkan Nurcholish Madjid sering disindir “sebagai anak kesasar” di lingkungan Pesantren Darul ‘Ulum. Ia kemudian pindah ke Pondok Pesantren Gontor.6 Setelah tamat dari Gontor, Cak Nur melanjutkan ke Jurusan Sastera Arab, Fakultas Adab, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan selesai pada tahun 1968 dengan predikat cum laude. Pada awalnya, Nurcholish Madjid ingin kuliah ke Universitas al-Azhar, M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi, Catatan Atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid”, pengantar dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1999), cet. XII, h. 17-18. 5 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 72. 6 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 74-75; Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 22; Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amin Rais,Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), cet. I, h. 122. 4

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

191

Muhammad Rusydy

Kairo. Karena situasi politik dalam negeri Mesir saat itu kurang kondusif, ia tidak jadi berangkat ke sana. Imam Zarkasyi menyarankan agar ia melanjutkan kuliah ke IAIN.7 Di IAIN Jakarta, Cak Nur mengkaji Islam secara analitis, filosofis dan inklusivistik. Ia juga dipengaruhi oleh pemikiran Hamka. Sebagai mahasiswa, ia tinggal di asrama Masjid Agung al-Azhar, tempat Hamka membina umat. Secara tidak langsung ia berguru pada Hamka, yang dilihatnya mampu mempertemukan pandangan kesufian, wawasan budaya, dan semangat al-Qur’an.8 Untuk keorganisasian, Nurcholish Madjid memilih Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia teringat pesan ayahnya agar menghormati tokoh-tokoh Masyumi.9 HMI memang mempunyai hubungan yang dekat dengan Masyumi.10 HMI menjadi lahan yang subur bagi Cak Nur untuk mengaktualisasikan intelektualitasnya, sampai ia terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI untuk dua periode berturutturut (1966-1969 dan 1969-1971). Posisinya di HMI memberi banyak peluang baginya untuk memainkan peranan penting dalam tingkat nasional maupun internasional. Cak Nur juga diangkat sebagai Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) (19671969) dan Wakil Sekretaris Umum International Islamic Federation of Students Organization (IIFSO).11 Peran aktif Nurcholish Madjid di tingkat internasional menjadi pengalaman berharga bagi perkembangan intelektualitasnya. Ia sempat mengadakan kunjungan ilmiah ke Amerika Serikat selam lima pekan (1968), kemudian dilanjutkan ke Arab Saudi, Irak, dan Kuwait selama dua bulan. Dalam kunjungan tersebut ia banyak melakukan pengamatan, dialog, dan diskusi. Kunjungannya ke Amerika Serikat, seperti diakuinya Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, h. 124. 8 Komaruddin Hidayat, “Kata Pengantar” dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. II., h. xiii. 9 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 78. 10 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 59. 11 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 78-79. 7

192

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid

sendiri, adalah penting namun tidak memiliki nilai lebih jika dibandingkan dengan kunjungannya ke Timur Tengah. Baginya bahwa kunjungan ke Timur Tengah telah membuka mata untuk melihat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan diskursus keislaman dan kemodernan.12 Kunjungannya ke kedua wilayah yang berbeda secara sosial, kultural, dan religi memberi perbandingan yang kontras baginya. Kunjungan ke kedua wilayah yang berbeda ini membawanya untuk sampai kepada kesimpulan bahwa ternyata Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara “non-muslim”, atau bahkan negara “sekuler”, lebih religius dari pada negara-negara Timur Tengah yang umumnya dikenal sebagai “Negara Islam”.13 Cak Nur pernah pula menjadi Pemimpin Umum majalah Mimbar, Jakarta (1973-1976). Kemudian ia menjabat sebagai Direktur Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK) (1972-1976) dan menjadi Direktur Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi (LKIS) (19741977).14 Untuk kepentingan pembentukan dan peningkatan intelektualitas, Cak Nur bekerja pada LIPI sebagai peneliti. Di LIPI ia terlibat dalam penelitian ilmiah empiris dan bergaul dengan para ilmuan yang setia dengan tradisi dan etika keilmuan. Dari tahun 1978-1984 Cak Nur berangkat ke Amerika Serikat dalam rangka melanjutkan pendidikan S-2 dan S-3 di Universitas Chicago, Amerika. Di Chicago pada mulanya ia ingin memperdalam ilmu politik di bawah bimbingan Leonard Binder. Namun diubahnya dengan mengambil konsentrasi bidang kajian Islam di bawah bimbingan Fazlur Rahman.15 Pada pertengahan tahun 1986, Cak Nur bersama dengan beberapa kolega, di antaranya Su’bah Asa, mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina. Paramadina merupakan lembaga pengajian dengan fokus kegiatan diskusi keagamaan. Lembaga ini tumbuh sebagai pusat kajian yang kreatif dan konstruktif bagi kemajuan umat Islam Indonesia. Kegiatannya diarahkan untuk meningkatkan Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 79. Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, h. 127. 14 Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish, h. 26. 15 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 85. 12 13

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

193

Muhammad Rusydy

kemampuan umat Islam dalam menjawab tantangan zaman dan menyumbangkan tradisi intelektualitas bagi masyarakat dan bangsa. Lembaga ini mempunyai sistem keanggotaan dan partisipasi tertentu dengan tradisi pembahasan yang bersemangat pluralistik, terbuka, dan tenggang rasa.16 Kegiatan diskusi tidak ada mutlak-mutlakan di dalamnya, dan tidak ada yang berhak merasa yang paling benar. Setelah sepuluh tahun memimpin Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta, Cak Nur kemudian mendirikan Universitas Paramadina Mulya. Sejak berdiri pada tahun 1996 ia menjabat sebagai rektor sampai ia wafat pada tahun 2006. Di sela kesibukannya memimpin Paramadina ia pernah diangkat menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mewakili utusan golongan (1988) dan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada masa terakhir pemerintahan Peresiden Soeharto (1998). Menjelang pemilihan umum (pemilu) yang dipercepat di masa pemerintahan BJ. Habibi (1999), ia diangkat menjadi anggota Dewan Penasihat Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), suatu lembaga independen yang mengawasi pelaksanaan pemilu. Masih di tahun 1999 ia menjadi ketua Tim 11, yang dibentuk oleh pemerintahan Peresiden BJ. Habibi untuk memverifikasi partai-partai politik yang akan mengikuti Pemilu. Pada tahun 2003, Cak Nur secara terbuka menyatakan besedia maju menjadi calon peresiden RI pada pemilu tahun 2004. Hal ini dikemukakan olehnya dalam jumpa pers di Kampus Universitas Paramadina, Jakarta, pada 28 April 2003.17 Cak Nur melakukan pendekatan platform yang memiliki agenda ke depan, yang tidak bersifat mendadak dan sementara. Dalam sejarah, sepanjang Indonesia merdeka para pemimpin bangsa ini selalu menggunakan jalur partai politik dengan pendekatan pribadi dan keluarga, tanpa platform dan agenda. Dalam memimpin, mereka tidak mempunyai Nurcholish Madjid, “Pembuka Kata” dalam bukunya, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. IV, h. vii. 17 Harian Kompas, 29 April 2003. 16

194

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid

arah kemana bangsa ini akan dibawa, sehingga akhirnya bangsa ini sulit keluar dari permasalahan yang dialaminya.18 Cak Nur menyadari bahwa langkah menuju RI-1 bukan hal yang mudah. Para penentu kebijakan, partai politik di DPR dan pemerintah, sudah membuat Undang-Undang perpolitikan yang tertutup. Sistem perpolitikan waktu itu tidak memungkinkan seorang calon independen ikut dalam pemilihan presiden tanpa diusung oleh partai politik. Partai politik sendiri tidak ada yang mau mengusung calon dari luar partai, karena masing-masing sudah mempunyai calon sendirisendiri dari dalam. Selama mengarungi masa-masa kreativitas dan aktivitas intelektual, Cak Nur telah menulis beberapa karya pemikiran Islam. Dalam makalah ini akan dikemukakan beberapa dari karyanya. Namun penting untuk dikemukakan bahwa keseluruhan karyanya tidak ada yang merupakan karya utuh yang ditulis secara khusus. Semua karyanya berasal dari artikel-artikel yang ditulis dalam berbagai kesempatan, kemudian dikumpulkan dan disusun menjadi suatu kesatuan dalam bentuk buku. Dilihat dari sudut pandang metodologis terkesan tidak sistematis. Akan tetapi dari segi objek dan makna, karya-karyanya mengandung ketajaman analisanya, kedalaman argumentasinya, keabsahan referensinya, relevan dan aktual. Di antara karya-karya Cak Nur ialah Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, kumpulan tulisan-tulisan dari tahun 1968 sampai tahun 1986. Menurut Cak Nur, beberapa artikel yang dimuat dalam buku ini merupakan respon terhadap berbagai isu dan persoalan yang berkembang pada saat artikel-artikel tersebut ditulis.19 Karya Cak Nur berikutnya ialah Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan Kemanusiaan dan Kemoderenan. Buku ini juga Majalah Panjimas, No. 13, Tahun I, “Justru yang Saya Lakukan”, wawancara Juni 2003 dengan Nurcholish Madjid dalam Ahmad Gaus AF dan Yayan Hendrayani, (ed.), Begawan Jadi Capres, Cak Nur Menuju Istana, (Jakarta: KPP, 2003), h. 204. 19 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1999), cet. XII, h. 7-8. 18

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

195

Muhammad Rusydy

berisi kumpulan artikel yang ditulis pada pertengahan tahun 1980an dan awal tahun 1990-an. Sebagian besar adalah makalah-makalah diskusi keagamaan di Paramadina. Secara tidak langsung sebenarnya kandungannya agak tersusun secara sistematis dan utuh di banding karya-karyanya yang lain. Namun karya ini tetap saja tidak bisa dibayangkan sebagai suatu buku yang direncanakan ditulis dengan suatu objek dan sistematika yang tersusun padu. Buku adalah karya monumental Cak Nur yang berusaha memunculkan kajian tentang ajaran-ajaran Islam dengan adil, inklusif, kosmopolit, modern. Karya ini syarat dengan gagasan-gagasan tauhid, keimanan, disiplin ilmu keislaman tradisional, pengembangan masyarakat etika, universalisme, dan kosmopolitanisme, dan modernisme dalam Islam. Karya ini juga memuat masalah simpul keagamaan pribadi, ibadah sebagai institusi iman, reaktualisasi nilai kultural, dan masalah keadilan, di samping juga masalah hukum Islam, kosmologi Islam dan antropologi Islam. Karya selanjutnya ialah Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah.20 Buku ini, walaupun awalnya berasal dari kumpulan berbagai artikelnya, namun relatif utuh dan padu seperti karya tersebut di atas. Karya ini mencerminkan pemikiran penulisnya secara sistematis. Isinya berkisar pada masalah keadilan, demokrasi, dan keimanan. Dasar-dasar argumennya jelas berpijak pada prinsip-prinsip fundamental Islam yakni alQur’an, Hadits, dan tradisi khazanah Islam. Karya lain yang ditulis oleh Cak Nur adalah Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia.21 Karya ini pun merupakan kumpulan berbagai artikel yang telah ditulis dan didiskusikan dalam berbagai forum, namun isinya sistematis dan terarah sebagaimana dua karya terakhir di atas. Hal ini karena berbagai artikel yang dimuat sengaja diarahkan untuk penerbitan buku sebagaimana dimaksudkan itu. Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet. I. 21 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet. I. 20

196

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid

III.Integrasi Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan Melalui pendekatan holistik terhadap pemikiran Cak Nur akan tampak bahwa ia adalah pembaharu pemikiran Islam yang mengemukakan gagasan-gagasan tentang integrasi keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan sebagai paradigma pemikirannya.22 Integrasi artinya pembauran sehingga menjadi suatu kesatuan yang bulat dan utuh, atau ialah proses penyatuan berbagai kelompok budaya sosial ke dalam kesatuan wilayah dan pembentukan suatu identitas nasional. Jadi, maksud dari integrasi di sini ialah penyatuan gagasan Nurcholish Madjid dalam tiga hal utama yaitu keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan untuk membangun suatu peradaban Islam dan keindonesiaan yang ideal. Integrasi pemikiran Cak Nur dalam dialektika tiga gagasan yaitu keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan tercermin secara jelas di dalam bukunya, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan dan Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan Kemanusiaan dan Kemodernan. Dalam menjelaskan integrasi keislaman dan keindonesiaan, terlebih dahulu Cak Nur menjelaskan posisi Indonesia. Untuk sampai kepada gambaran yang diinginkan, ia bertitik tolak dari sudut pandang geografis dan sosiologis-antropologis Indonesia. Maka wacana keindonesiaannya yang elaboratif dapat membuka wawasan dan memberikan pemahaman yang faktual sekaligus aktual. Cak Nur mengemukakan bahwa secara geografis Indonesia adalah bangsa muslim yang paling besar di dunia. Namun secara religio-politis dan ideologis Indonesia bukan negara Islam. Indonesia adalah negara yang berideologi Pancasila, yang dipandang sebagai jalan tengah antara gagasan nasionalisme sekuler dan gagasan negara Islam. Pancasila sebagai dasar falsafah negara dapat “diterima” oleh sebagian besar umat muslim dengan catatan setelah silasilanya, sampai batas-batas tertentu, mengalami islamisasi.23 M. Syafi’i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid”, dalam Sukandai. A.K., Prof. Dr. Nurcholish Madjid Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. II, h. 215. 23 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, h. 3; Nurcholish 22

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

197

Muhammad Rusydy

Dalam pandangan Cak Nur, Pancasila sebagai dasar falsafah negara melalui proses islamisasi terbatas dan dialogis yang terbuka menunjukkan adanya keanekaragaman pemahaman umat. Munculnya perbedaan-perbedaan umat tidak terlepas dari realitas keindonesiaan. Dalam doktrin iman, Islam adalah satu dalam arti Islam ditegakkan di atas landasan tauhid yang jelas dan tegas, namun sebagai ekspresi kultural maka Islam di Indonesia muncul dalam keanekaragaman wajah. Keanekaragaman ini sebagai akibat yang logis dari hasil dialogis perjalanan panjang sejarah Indonesia dan itu harus diakui sebagai suatu hal yang alamiah. Namun yang perlu dijaga oleh segenap bangsa khususnya kaum muslimin ialah keanekaragaman ekspresi keislaman jangan sampai merusak bangunan tauhid dan persaudaraan universal sebagai suatu idealisme pembumian doktrin yang tidak mudah diwujudkan. Pluralisme budaya, suku, bahasa, daerah, dan agama di Indonesia merupakan unsur yang kaya dan kuat untuk merekat integrasi nasional bila semuanya itu dianyam secara arif dan saling pengertian.24 Dengan demikian, sebenarnya keanekaragaman atau pluralisme, bagi Cak Nur harus diarahkan kepada adanya konvergensi nasional, yakni pemusatan pandangan ke arah satu titik yang sama menuju persatuan Indonesia. Dengan ini maka akan muncul kehidupan kosmopolit, yaitu suatu tata pergaulan keindonesiaan baik lahiriah maupun batiniah dengan wawasan luas, meliputi seluruh masyarakat. Kosmopolitanisme akan menjadi spirit bagi nilai-nilai keindonesiaan karena budaya Indonesia ialah rangkuman puncak berbagai budaya daerah.25 Kosmopolitanisme sebagai spirit nilai-nilai keindonesiaan, bagi Cak Nur, akan menapikan “nativisme” karena dalam kelanjutannya nativisme akan berakhir pada daerahisme atau sukuisme. Sementara Madjid, “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia”, dalam Mark R. Woodward, (ed.), Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, (Bandung: Mizan, 1998), cet. I, h. 91. 24 A. Syafi’i Maarif, Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet. I, h. 25. 25 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan, h. 40. 198

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid

pada sisi lain nativisme bila menyatu dengan atavisme maka suatu nativisme akan menjadi penghalang pertumbuhan nilai-nilai keindonesiaan. Untuk Indonesia pada masa sekarang, belum terwujud nilainilai keindonesiaan yang benar-benar diterima oleh semua pihak.26 Jadi, Pancasila baru diterima oleh sebagian besar masyarakat, belum diterima oleh seluruh masyarakat. Ini dapat dilihat dari adanya usaha untuk mendirikan negara agama oleh beberapa pihak. Selanjutnya bagi Cak Nur bahwa nilai-nilai keindonesiaan yang kosmopolitan dapat tumbuh melalui dua cara yaitu cara pasif dan cara aktif. Pertumbuhan nilai-nilai keindonesiaan melalui cara pasif mengikuti irama perjalanannya dari dalam dirinya. Pertumbuhannya dengan cara ini meskipun berasal dari interaksi pergaulan antara keanekaragaman kelompok masyarakat, dapat diinterupsi dengan sengaja oleh berbagai kepentingan. Maka baginya nilai-nilai keindonesiaan perlu dikembangkan dengan cara kedua yaitu dengan cara aktif. Dengan cara ini tidak diserahkan hanya kepada perkembangannya yang serba aksidental, tetapi disertai oleh usaha kreatif dari segenap bangsa Indonesia.27 Bagi Cak Nur, makna nilai-nilai keindonesiaan ialah nilai-nilai luhur universal dan kosmopolitan bangsa Indonesia. Nilai-nilai ini harus didasarkan pada budaya hasil dialog panjang dengan agama (Islam). Nilai-nilai ini mempunyai peranan yang strategis dalam membangun persatuan umat. Persatuan ini menumbuhkan kemantapan diri sendiri sebagai bangsa. Makanya, pertumbuhan kemantapan itu senantiasa berjalan sejajar dengan pertumbuhan nilai-nilai keindonesiaan itu sendiri. Kemantapan itu berimplikasi kepada kebebasan dari rasa takut terhadap pluralitas maupun rasa cemas kepada arus pengaruh globalisme. Maka kemantapan nilai-nilai keindonesiaan akan menjadi pangkal adanya fase pertumbuhan lebih lanjut yang lebih penting yaitu fase keterbukaan atau dalam istilah populernya inklusivitas. Inklusivitas terutama Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan, h. 40; Lihat juga M. Syarfi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet. I, h. 216. 27 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan, h. 41. 26

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

199

Muhammad Rusydy

dalam kehidupan keagamaan adalah salah satu aspek yang penting dalam warga bangsa yang plural.28 Cak Nur sangat menghargai pandangan hidup pluralirisme. Dalam konteks pluralitas, menurutnya, di Indonesia tidak boleh muncul tirani baik dari kalangan mayoritas maupun minoritas. Meskipun demikian, ia menggarisbawahi dan harus disadari oleh semua masyarakat bahwa Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan paling besar jumlahnya di dunia.29 Jadi, menurut Cak Nur, keterbukaan penting artinya bagi kehidupan keberagamaan di Indonesia. Ini tidak lain karena penduduk Indonesia sebagai suatu negara bangsa adalah beraneka ragam dalam aspek agama bahkan etnis dan kultur. Dengan demikian, dapat ditarik suatu garis lurus bahwa keindonesiaan Indonesia adalah keanekaragaman namun realitasnya dalam keanekaragaman ini merupakan mayoritas Islam. Islam masuk ke Indonesia dengan cara-cara damai. Hasil Islamisasi dengan cara damai ini memunculkan praktek sinkretisme dengan salah satu indikasinya adalah sistem penanggalan Jawa yang mempertahankan asal usul Hindu kalender Shaka tetapi diubah dengan nama-nama Arab.30 Maka menurutnya, perkembangan kebudayaan Islam di Indonesia sebagian besar merupakan hasil dialogis antara nilai-nilai Islam yang universal dengan ciri-ciri kultural kepulauan Nusantara.31 Dalam masalah integrasi Islam dan modernitas, kemodernan bagi Cak Nur adalah kreativitas manusia menuju kemajuan. Namun Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan, h. 44. Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam”, 91. 30 Sinkretisme ialah perpaduan antara ajaran Islam dengan unsur non Islam misalnya dengan unsur Hindu-Budha. Contohnya kalender Jawa yang berasal dari kalender Hindu diubah dari sistem solar (matahari) ke sistem lunar (bulan) dan nama-nama bulannya diambil dari namanama bulan dalam kalender Hijriah setelah dikonversi ke dalam bahasa Jawa, misalnya ‘Asyura (Arab) untuk Muharram menjadi Suro (Jawa); Shafar (Arab) menjadi Sapar (Jawa); dan seterusnya, sehingga ia mengalami proses Islamisasi. Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam”, h. 94. 31 Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam”, h. 95. 28 29

200

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid

dalam perspektif sejarah kemanusiaan, kreativitas itu merupakan kelanjutan berbagai hasil usaha umat manusia sebelumnya. Karena itu, kemodernan merupakan keharusan sejarah yang tidak bisa dielakkan. Kemodernan bukan masalah pilihan atau penghadapan. Mau tidak mau kemodernan harus terjadi dalam suatu perjalanan waktu.32 Pandangan Cak Nur tentang kemodernan ini didasarkan pada fakta sejarah yang melihat kemodernan bukan merupakan monopoli suatu tempat atau kelompok manusia tertentu. Selalu ada kemungkinan bahwa dimana saja dan siapa saja berpeluang untuk mengejar dan menyertai kemodernan. Cak Nur menunjuk Jepang sebagai salah satu bangsa bukan Barat yang tidak saja berhasil menyertai kemodernan itu, tapi telah menjadi modern dengan kecepatan yang mencengangkan.33 Dengan meletakkan kemodernan sebagai suatu keharusan sejarah dan menyebutkan Jepang sebagai salah satu contoh, ini merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh Cak Nur sebagai apresiasi intelektual darinya terhadap urgensi kemodernan. Dengan cara ini tampak bahwa ia berusaha menumbuhkan rasa percaya diri kepada umat muslim dalam memberikan respon terhadap kemodernan.34 Cak Nur menekankan pendapatnya untuk menunjukkan integrasi keislaman dan kemodernan. Kemodernan bukan penghadapan antara dua kultur Timur dan Barat, atau dua tempat Asia dan Afrika, atau lebih tidak benar lagi antara dua agama Islam dan Kristen; yang terjadi sebenarnya ialah penghadapan antara dua zaman, yaitu zaman agraria dan zaman teknik. Untuk memperkuat pendapatnya ini, Cak Nur mengutip pandangan Marshal G.S. Hodgson dalam karyanya, The Venture of Islam, yang mengatakan bahwa keunggulan dunia Islam selama berabad-abad masa jayanya adalah keunggulan relatif, betapapun hebatnya, antara sesama abad agraria. Keunggulan Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. IV, h. 450. 33 Nurcholish Madjid, (ed.), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet. III, h. 65. 34 M. Syarfi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, h. 215. 32

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

201

Muhammad Rusydy

Eropa Barat terhadap dunia Islam terjadi dalam makna dan dimensi historis, yaitu keunggulan abad teknik atas abad agraria. Hal ini dapat dibandingkan dengan keunggulan bangsa Sumeria di masa lalu atas bangsa-bangsa lain, yaitu keunggulan suatu masyarakat agraria berkota atas masyarakat agraria bukan berkota.35 Dengan demikian, kesan bahwa Islam adalah tradisional dan Barat adalah modern hanya bersifat psikologis. Sebab meskipun terdapat unsur rasionalitas yang kuat dalam kemodernan, namun terdapat bukti yang menunjukkan bahwa masyarakat modern yang ada sekarang juga berkembang dengan mengikuti jalur kultural tradisional tertentu. Sementara masyarakat pra-teknik seperti dunia Islam pada umumnya, meskipun mempunyai unsur otoritas kultural yang lebih kokoh, dalam banyak hal lebih rasionalnya dibanding dengan masyarakat teknik.36 Jadi, keunggulan masyarakat tekhnik atas masyarakat agraris adalah relatif sifatnya, sebagaimana keunggulan yang pernah dialami oleh masyarakat Islam selama berabadabad masa jayanya. Sejalan dengan pemikiran Cak Nur tentang masalah integrasi keislaman dan kemodernan ialah apa yang yang dikemukakan oleh Ernest Gellner. Gellner, seorang sosiolog agama, berpendapat bahwa Islam sebenarnya mewariskan “Tradisi Agung” yang selalu bisa menyertai kemodernan. Tradisi Agung ini selalu bisa dimodernkan tanpa harus banyak memberi konsesi kepada pihak luar, dan bisa merupakan kelanjutan dari berbagai dialog dalam umat sepanjang sejarahnya. Sebagaimana menurut Gellner, di antara berbagai agama yang ada, Islam adalah satu-satunya agama yang mampu tanpa banyak gangguan masalah doktrinal untuk mempertahankan sistem keimanannya dalam abad modern seperti sekarang ini.37 Lebih lanjut mengenai masalah keislaman dan kemodernan, bagi Cak Nur bahwa terdapat banyak karakter dalam agama Islam yang mendukung Nurcholish Madjid, (ed.), Khazanah Intelektual Islam, h. 63; Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 450-451. 36 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, h. 63-64. 37 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, h. 66. 35

202

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid

umat muslim memasuki dan menyertai kemodernan. Dengan mengutip Gellner, menurut Cak Nur, di antara karakter itu ialah varian murni Islam yang bersifat egalitarian dan bersemangat keilmuan. Sementara varian yang mempunyai sistem hirarkis, seperti yang terdapat dalam kalangan kaum sufi, selamanya dipandang sebagai berada di pinggiran.38 Pendapat Gellner yang dikutip Cak Nur ini bisa dianggap sebagai pemikiran yang bersifat spekulasi sosiologis. Namun Hodgson, seorang ahli keislaman, mempunyai pendapat yang substantif. Ia menyatakan bahwa abad teknik lahir karena terjadinya transmutasi di Eropa Barat Laut yang ditimbulkan oleh adanya investasi inovatif pada abad ke-16, baik dalam bidang mental maupun material. Ciri menonjol dalam investasi inovatif ini adalah sikap kalkulatif dan inisiatif pribadi yang senantiasa didahulukan atas pertimbangan otoritas tradisi. Hodgson melihat sikap inovatif seperti ini telah lama ada dalam masyarakat agraria berkota di dunia Islam. Ia mengatakan bahwa “Dunia Islam, karena pada zamanzaman Islam-Tengah lebih kosmopolitan daripada Barat, mewujudkan lebih banyak syarat bagi kalkulasi bebas dan inisiatif pribadi dalam pranata-pranatanya.” Dengan tegas Hodgson menyimpulkan, bahwa banyak pergeseran dari tradisi sosial ke kalkulasi pribadi di mana di Eropa adalah bagian dari “modernisme” karena transmutasi, yang membawa Barat lebih dekat kepada apa yang sudah mapan dalam tradisi Dunia Islam.39 Argumen sosiologis integrasi keislaman dan kemodernan sebagaimana yang dikemukakan oleh Gellner dan Hodgson itu, layak dikemukakan oleh Cak Nur di hadapan kaum muslimin. Hal ini adalah dalam rangka menumbuhkan keyakinan mendalam kepada kaum muslimin bahwa kemodernan bukan masalah yang harus dinegasikan atau bahkan diperhadapkan bagi Islam. Cak Nur menyambut optimis kemajuan dunia dengan bekal potensi doktrinal dan keilmiahan Islam.40 Dengan ini maka tidak akan timbul kete38 39 40

Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, h. 66. Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, h. 66-67. M. Syarfi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, h. 217.

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

203

Muhammad Rusydy

gangan antara Islam dan kemajuan dunia yang dihadapi oleh Islam. Hal ini sudah dibuktikan dalam perjalanan sejarah peradaban Islam. Pemikiran tentang kemajuan mengandung makna adanya tahapan dalam penerapan ajaran agama Islam. Dari sudut pandang penahapan ini dan sejalan dengan dinamika “etos gerak” ajaran Islam itu sendiri, berarti tidak ada penyelesaian yang sifatnya ‘sekali untuk selamanya’ atas kehidupan yang selalu bergerak dan berubah. Ini, bagi Cak Nur, bukan berarti umat muslim Indonesia harus terjebak ke dalam relativisme yang tidak terkendali sehingga mereka tidak punya pendirian dan tidak ada keberanian untuk berbuat. Tetapi setiap bentuk penyelesaian masalah umat yang terjadi harus dilaksanakan dengan bijaksana. Sementara di sisi lain penyelesaian itu harus pula terbuka pada setiap perbaikan dan kemajuan, sehingga sedapat mungkin diterima oleh berbagai kelompok.41 Berkenaan dengan upaya memajukan negara, Cak Nur mengemukakan adanya teori ushul fiqh tentang nasikh dan mansukh. Dalam teori nasikh dan mansukh dikemukakan bahwa suatu ajaran, ketentuan, atau hukum yang lama dapat digantikan oleh ajaran, ketentuan, atau hukum baru yang lebih baik. Namun ia mengakui bahwa teori ini terkadang mengundang kontroversi, namun baginya, teori ini perlu diperhatikan secara seksama dalam kaitannya dengan respon Islam terhadap perubahan dan perkembangan zaman.42 Jadi, bertitik tolak dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa integrasi keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan menurut pemikiran Cak Nur adalah suatu hal yang mungkin sehingga tidak perlu diperdebatkan. Ketiga ide ini mempunyai kesejalanan, sehingga integrasi antara ke tiganya tidak akan memunculkan ketegangan. Keislaman dengan wataknya yang egaliter dan inklusif selalu bersedia berdialog dengan keindonesiaan yang plural dan bersedia menyertai kemodernan yang berpeluang berkembang dari waktu ke waktu. Kemodernan sekaNurcholish Madjid, “Pengantar: Umat Islam Indonesia memasuki Zaman Modern”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. lxxii. 42 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, h. 213. 41

204

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid

rang ini bukan akhir dari perjalanan sejarah kemanusiaan. Setelah zaman modern ini akan ada lagi zaman modern dengan permasalahan yang multikompleks. Keislaman dan keindonesiaan akan selalu berada di dalam kemodernan dengan berbagai macam problemanya baik dalam bentuk kemudahan maupun berupa tantangan. Sebagai seorang pembaharu pemikiran Islam, Cak Nur telah mengemukakan gagasan integrasi keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Ia telah melakukan “jihad” intelektual tanpa henti berupa kegiatan-kegiatan pembaharuan dengan ketekunan dan tanggung jawab yang tinggi. Sekalipun kariernya di LIPI tidak dapat dilaksanakan secara maksimal karena tugas-tugas keilmuan yang menantang bagi kepentingan masa depan bangsa, namun ia telah mewariskan sebuah ensiklopedi wacana pemikiran peradaban yang kaya hasil dari ramuan berbagai sumber unit peradaban umat manusia. Dari karya intelektual yang dihasilkannya, tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa ia adalah seorang kelahiran Jombang yang berwawasan universal dengan dasar tauhid (monoteisme) Islam sebagai dermaga tempat bertolaknya. Dengan demikian, dunia pemikiran merupakan kesejatian dirinya, bukan dunia politik yang hanya menghabiskan energi.43 Sepanjang perjalanan pembaharuan pemikiran Islam yang dilakukan oleh Cak Nur, sedikit banyak, peta keberagamaan di Indonesia ditandai oleh aneka macam ketegangan krusial dengan warna keagamaan, meskipun harus diakui bahwa agama bukan satusatunya faktor. Tampak kelihatan pertimbangan keagamaan dari ketegangan itu ialah munculnya ke permurkaan benturan antar umat beragama, misalnya yang hangat dalam ingatan adalah konflik Kristen-Islam di Poso dan Maluku. Belakangan adalah isu terorisme dan slogan-slogan jihad yang mengesahkan penggunaan kekerasan. Tentu terjadinya konflik, kekerasan, benturan, atau semacamnya A. Syafii Maarif, “Sekapur Sirih: Membedah Nurcholish Madjid”, dalam Abdul Halim, (ed.), Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan yang Membebaskan Refleksi Atas Pemikiran Nurhcolish Madjid, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), cet. II, h. vii. 43

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

205

Muhammad Rusydy

tidak semata-mata karena faktor keagamaan, juga faktor eksternal jelas memainkan peran penting misalnya masalah kesejarahan, kebangsaan, kesenjangan, hegemoni kultural, kekuasaan teritorial, dan lain-lain.44 Bagaimanapun semangat keagamaan, sedikit banyak, menjadi pemicu semangat kebencian pemeluk suatu agama berhadapan dengan pemeluk agama lainnya. Semangat kebencian ini memunculkan mental bagi penganut suatu agama yang mengarah kepada sikapsikap eksklusivisme, sektarianisme, dan intoleransi yang menyebabkan timbulnya fanatisisme golongan atau fanatisisme keagamaan yang berujung pada konflik dan benturan atas nama agama. Kenyataan-kenyataan empiris semacam ini menimbulkan keprihatinan sehingga perlu adanya pembaharuan pemikiran keagamaan yang membawa pencerahan. Seperti telah disebutkan di atas, Cak Nur adalah salah seorang intelektual muslim yang mempunyai konsens untuk mengadakan pembaharuan pemikiran keagamaan salah satunya dalam masalah integrasi keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan untuk tujuan pencerahan bagi umat muslim sehingga mereka mampu keluar dari berbagai benturan keagamaan. Cak Nur telah mengemukakan gagasan-gagasan tentang integrasi keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Ini merupakan gagasan-gagasan yang relatif progresif dan merupakan wacana ideal yang dikemukakan olehnya yang relevan dengan tuntutan keindonesiaan dan kemodernan. Jadi, pada dasarnya gagasan-gagasan pembaharuan pemikiran keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan Cak Nur bergeser dari wacana yang mengandung muatan kontroversial semisal sekularisasi, liberalisasi, dan anjuran meninggalkan wacana negara Islam; ke arah Islam kultural, misalnya tentang keadilan, demokratisasi, hak asasi manusia, inklusivisme dan pluralisme Islam. Dari sini ia mulai meluncurkan pemikiran civil society, suatu istilah yang diterjemahkan menjadi “masyarakaat madani” yang mempunyai ciri-ciri Abdul Hakim, “Islam Inklusivisme dan Kosmopolitanisme”, dalam Abdul Halim, (ed.), Menembus Batas Tradisi, h. 3. 44

206

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid

egaliter, demokratis, dan inklusif,45 dengan mengacu kepada Piagam Madinah sebagai model. Dalam memunculkan argumen itu, Cak Nur mendasarkan diri pada pandangan Robert N. Bellah yang mengatakan bahwa Piagam Madinah itu sangat modern pada zamannya.46 Civil society pada masa sekarang ini, diidentifikasi oleh Cak Nur sebagai rumah demokrasi, tempat bersemainya berbagai macam perserikatan, federasi, dan partai untuk menjadi perisai antara negara dan warganya.47 Gagasan pembaharuan pemikiran Islam Cak Nur tentang integrasi keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan berlanjut hingga pasca-Chicago. Ini dapat dilihat secara jelas dari kumpulan makalahnya yang dimuat dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban. Dalam buku ini ia mengemukakan secara jelas ajaran-ajaran Islam yang bersifat universal dan kosmopolitan dalam kaitannya dengan kindonesiaan dan kemodernan. Universalisme Islam bertitik tolak dari perkataan “Islam” yang berarti sikap pasrah dan berserah diri kepada Tuhan. Perkataan “Islam” selain nama agama bagi Rasul terkhir, ia juga menjadi nama yang tumbuh dari inti hakikat ajaran agama ini. Dengan ini maka pengikut Nabi Muhammad adalah seorang muslim par excellence, yang pada dasarnya tidak mengeksklusifkan yang lain, yang dalam menganut agamanya itu senantiasa sadar akan hakikat agamanya. Karena kesadaran akan makna hakiki keagamaan itu maka agama Islam dan umat muslim selamanya mempunyai impulse (dorongan hati) universalisme, yang pada urutannya memancar dalam wawasan kultural yang berwatak kosmopolit, suatu watak yang mencerminkan keanekaragaman yang Nurcholish Madjid, “Memberdayakan Masyarakat Menuju Negeri yang Adil Terbuka dan Demokratis”, Pidato Peringatan Ulang Tahun ke 10 Yayasan Paramadina, 1996, h. 7, sebagaimana dikutip dalam Budhy Munawar-Rahman, “Kata Pengantar”, dalam Nurcholish Madjid, Citacita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. I, h. xix. 46 Nursholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Universitas Paramadina, 2004), cet. III, h. 70. 47 Nurcholish Madjid, “Membangun ‘Rumah’ Demokrasi”, dalam, Membangun Oposisi Menjaga Momentum Demokratisasi, (Jakarta: Voice Center Indonesia, 2000), h. 19. 45

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

207

Muhammad Rusydy

bertitik tolak dari kesatuan kemanusiaan.48 Dalam kenyataan, agama Islam merupakan agama yang banyak mencakup berbagai ras dan kebangsaan, dengan kawasan yang meliputi banyak klimatologis dan geografis. Sudah sejak semula, sebagaimana dapat dilihat dari kehidupan Nabi Muhammad dan sabda-sabdanya, agama Islam menyadari penghadapannya dengan kemajemukan rasial dan budaya. Dengan demikian, Islam akan terbebas dari klaim eksklusivitas rasialistis dan linguistis. Bahkan dalam kenyataannya, rasial dan kebahasaan diturunkan nilainya dari kedudukan mitologisnya ke tataran spiritual, dengan memandangnya sebagai tanda kebesaran Tuhan. Karena dalam pandangan Islam yang penting bagi manusia ialah alam kemanusiaan itu sendiri.49 Dengan demikian, Cak Nur menekankan pemikiran-pemikiran keislaman yang bersifat universal, kosmopolit, dan terbuka yang bisa dibawa ke dalam alam keindonesian yang bersifat lokal. Setelah ini akan muncul keislaman yang sesuai dengan alam tradisi Indonesia yang dapat dihadapkan kepada kemodernan, yakni kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena Islam sendiri adalah agama modern, agama yang selalu dapat diadaptasikan dengan kemodernan, bahkan Islam adalah sumber kemodernan, maka tidak ada penghadapan antara keislaman dan kemodernan atau keislaman dan keindonesiaan.

IV. Kesimpulan Gagasan tentang integrasi keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan adalah pembauran antara ajaran Islam, tradisi keindonesiaan dan tuntutan kemodernan sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh dan bulat dalam arti penyatuan berbagai kelompok budaya sosial ke dalam kesatuan wilayah dan pembentukan suatu identitas nasional atas dasar nilai-nilai Islam. Penyatuan tiga gagasan utama yaitu keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan untuk membangun suatu peradaban Islam dan keindonesiaan yang ideal. 48 49

208

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 441. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 425-426. Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid

Penyatuan tiga gagasan utama itu merupakan jalan tengah antara gagasan nasionalisme sekuler dan gagasan negara Islam. Karena secara geografis Indonesia adalah bangsa muslim yang paling besar di dunia. Namun secara religio-politis dan ideologis Indonesia bukan negara Islam. Indonesia adalah negara yang didasarkan pada ideologi resmi bernama Pancasila sebagai hasil perjalanan panjang dan dialog berliku-liku antar anak bangsa dengan catatan setelah sila-silanya, sampai batas-batas tertentu, mengalami islamisasi.

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

209

Muhammad Rusydy

BIBLIOGRAFI Abdul Halim, (ed.), Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan yang Membebaskan, (Jakarta: Kompas, 2006), cet. II. Abdul Jabbar Beg, Muhammad, Islamic and Western Concept of Civilization, (Kuala Lumpur: The University of Malaya Press, 1400/1980), cet. II. Abdurrahman, Moselim, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997). Abdurrahman, Moselim, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1993), cet. I. Ali, Fachry, dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), cet. I. Ali, Fachry, “Kata Pengantar”, dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: paramadina, 1998). Anwar, M. Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet. I. Azra, Azyumardi, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan Fakta dan Tantangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet. II. Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran NeoModernisme Nurcholish Madjid Djohan Effendi Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq, (Jakarta: ParamadinaPustaka Antara dan Adikarya-The Ford Foundation, 1999). Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), cet. I. Effendy, Edy A., (ed.), Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, (Jakarta: Zaman Wacana Mulia, 1999), cet. I. Gaus AF., Ahmad. dan Yayan Hendrayani, Begawan Jadi Capres, Cak Nur Menuju Istana, (Jakarta: KPP, 2003), cet. I. Hassan, Muhammad Kamal, Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1980), cet. I. Hidayat, Komaruddin, “Kata Pengantar” dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. II. 210

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid

Hodgson, Marshal G.S., The Venture of Islam, Conscience and History in a World Civilization, (Illinois: University of Chicago Press, 1974), jil. I, buku I, cet. II. Kartanegara, Mulyadhi, Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, 2000). Kartanegara, Mulyadhi, “Dasar-dasar Pemikiran Cak Nur,” dalam Sukandi. A.K. (peny.), Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. II. Maarif, Syafi’i, Islam, Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1977), cet. I. Madjid, Nurcholish, “Islamic Roots of Modern Pluralism, Indonesian Experience”, Studia Islamika, volume 1, no. 1, 1994. Madjid, Nurcholish, (ed.), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet. III. Madjid, Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet. I. Madjid, Nurcholish, Kaki Langit Peradaban Islam. (Jakarta: Paramadina, 1997). Madjid, Nurcholish, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I. Madjid, Nurcholish, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana sosial Politik Kontemporer. (Jakarta: Paramadina, 1998), cet. I. Madjid, Nurcholish, “Mencari Akar-akar Islam Bagi Pluralisme Modern, Pengalaman Indonesia”, dalam Mark R. Woodward, (ed.), Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, (Bandung: Mizan, 1998). Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1999), cet. XII. Madjid, Nurcholish, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan (II),” Republika, 10 Agustus 1999. Madjid, Nurcholish, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. I. Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. II. Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012

211

Muhammad Rusydy

tentang Masalah Keimanan Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. IV. Madjid, Nurcholish, Membangun Oposisi, Menjaga Momentum Demokrasi, (Jakarta: Voice Center Indonesia, 2000). Madjid, Nurcholish, Masyarakat Religius, Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. II. Madjid, Nurcholish dan Budhy Munawar Rachman, “Pendahuluan” dalam Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 2002), jilid IV. Madjid, Nurcholish, The True Face of Islam, Essays on Islam and Modernity in Indonesia, (Jakarta: Voice Center Indonesia, 2003). Malik, Dedy Djamaluddin, dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid; M. Amin Rais; Nurcholish Madjid; dan Jalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), cet. I. Muzani, Saiful, “Islam dalam Hegemoni Teori Modernisasi: Telaah Kasus Awal,” Prisma, No 1, tahun XXII. Nadroh, Siti, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999). Prasetyo, Hendro, dan Ali Munhanif, (dkk.), Islam dan Civil Society, Pandangan Muslim Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan PPIM IAIN Jakarta, 2002). Rahman, Budhy Munawar, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2007), cet. I. Rasjidi, M., Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972). al-Sharqawy, Effart, Falsafah al-Hadlarah al-Islamiyyah, (Beirut: Dar al-Nahdlah al-‘Arabiyyah,1981). Suseno, Franz Magnis, “Islam’s Contribution to A Pluralistic Indonesia”, dalam Farinia Fianto, (dkk.), (eds.), Islam and Universal Values, Islam’s Contribution to the Construction of a Pluralism World, (Jakarta: ICIP, 2008), cet. I.

212

Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2012