Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi Dots Amira Permatasari Bagian Paru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Sejarah Penanggulangan TB Paru di Indonesia TB menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia, dan sebagian besar negaranegara di dunia. Dengan meningkatnya penderita HIV/AIDS, kecenderungan permasalahan TB semakin meningkat. Di perkirakan di Indonesia terjadi 500.000 kasus baru TB paru dan 175.000 diantaranya meninggal dunia di setiap tahunnya.(l) Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan terakhir di Indonesia yang dilakukan pada tahun 1995 menunjukkan bahwa Tuberkulosis masih merupakan penyebab kematian utama, setelah penyakit jantung dan saluran pernapasan.(2) Berbagai cara telah ditempuh dalam pemberantasannya, yaitu:(3) 1) Upaya pemberantasan penyakit TB paru telah dimulai tahun 1908 pada jaman pemerintahan Belanda oleh perkumpulan swasta "Centrale Vereninging Voor Tuberculose Bestrijding (CVT)”. Usahanya terbatas pada pengasingan penderita dalam sanatorium dengan istirahat dan terapi diet. 2) Pada tahun 1933 baru perhatian ditujukan kepada rakyat umum yang juga perlu dilindungi terhadap penularan penyakit ini dengan mendirikan biro-biro konsultasi yang ditangani oleh sebuah yayasan "Stichting Centrale Vereninging Bestrijding der Tuberculose" (SCVT). Prinsip pengobatan sanatorium, istirahat dan terapi diet ditinggalkan, diganti dengan tindakan aktif dengan pembedahan terapi kolaps yang tujuannya memperpendek masa perawatan. 3) Tahun 1942 pada jaman pendudukan Jepang, aktifitas pemberantasan TB paru sebagian besar terhenti, yang hanya dilakukan adalah usaha kuratif sedangkan usaha preventif tidak dilakukan karena keadaan yang tidak mengijinkan. 4) Setelah Indonesia merdeka dengan bantuan UNICEF dan WHO didirikan Pilot Project di Bandung tahun 1952 yaitu: Tuberculose Demonstration and Training Programme, dimana pada saat itu pengobatan dan penyuluhan mulai dilakukan di balai-balai pemberantasan penyakit Tuberkulosa (BP4); dan BCG Demonstration and Training Programme, dimana usaha yang dilakukan adalah vaksinasi BCG didahului test Mantoux 5) Sejalan dengan ditemukannya OAT, maka sanatorium tidak dibangun lagi dan dirubah menjadi R.S.Paru-paru. Terapi kolaps lambat laun ditinggalkan diganti dengan pembedahan secara modern seperti reseksi, pneumektomi atau lobektomi. Disamping itu sarana diagnostik lebih disempurnakan seperti bronkhoskopi, bronkhografi, planigrafi, biopsi pleura, biopsi transbronkhial, sitologi, pemeriksaan faal paru dan lain-lain. Indikasi rawat di rumah sakit hanya terbatas kasus-kasus tertentu saja, sehingga lahirlah pengobatan massal. Pemberantasan TB paru
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
1
diintegrasikan dengan Puskesmas dimana diagnosa TB Paru ditegakkan hanya atas penemuan BTA (+) secara langsung dari sputum penderita. 6) Baru pada permulaan Pelita I tahun 1969 Program Pemberantasan TB Paru di laksanakan secara nasional dengan vaksinasi BCG terhadap anak umur 0-14 tahun secara langsung tanpa di dahului oleh test mantoux di seluruh Indonesia. Pengobatan dengan paduan OAT yang lebih efektif dan, masa pengobatan yang pendek yang memakai Rifampisin makin ditingkatkan pada permulaan Pelita III setelah uji coba tahun 1975. 7) Program pemberantasan TB paru yang dilakukan sampai sekarang adalah: a. Vaksinasi BCG b. Penemuan kasus secara pasif dan aktif c. Pengobatan dan pengobatan ulang terhadap penderita TB d. Penyuluhan kesehatan e. Evaluasi program Latar Belakang Pemberantasan TB paru secara Nasional di Indonesia telah berlangsung 30 tahun sejak tahun 1969 namun hasilnya belum memuaskan. Penyakit tuberkulosa adalah penyakit infeksi biasa dimana kuman penyebabnya telah diketahui dan obat-obat untuk mengatasinya cukup efektif dan telah mengalami kemajuan pesat. Tetapi penanggulangannya dan pemberantasannya sampai saat ini masih belum memuaskan. Apalagi di saat sekarang ini negara kita mengalami krisis berkepanjangan dalam tahun-tahun terakhir ini, bahkan di negara majupun masalah ini muncul kembali karena penyakit HIV-AIDS sehingga WHO pada tahun 1993 mengumumkan GLOBAL EMERGENCY terhadap TB paru. Angka drop out yang tinggi, pengobatan yang tidak adekuat dan resistensi terhadap OAT merupakan kendala dalam pengobatan TB paru.(4) Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka penulis berkeinginan menyajikan. masalah ini kedalam tulisan sari kepustakaan agar menjadi bahan masukan kepada diri penulis dan kita semua dalam membrantas penyakit Tuberkulosis Paru. II. PERMASALAHAN PENGOBATAN TB PARU Banyak faktor yang mempengaruhi keberadaan penyakit ini. Disamping faktor medis, faktor sosio ekonomi dan budaya, sikap dan perilaku orang terhadap penyakit ini sangat mempengaruhi keberhasilan dalam penanggulangan penyakit ini.(4) Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan : A. Faktor Sarana Ditentukan oleh : • Tersedianya obat yang cukup dan kontinu • Oedikasi petugas pelayanan kesehatan yang baik • Pemberian regimen OAT yang adekuat B. Faktor penderita Yang ditentukan oleh : • Pengetahuan pendenta yang cukup mengenai penyakit TB Paru, cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
2
•
Menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi, cukup istirahat, hidup teratur dan tidak minum alkohol atau merokok. • Menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan saputangan, jendela rumah cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari. • Tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah penyakit infeksi biasa dan dapat disembuhkan bila berobat dengan benar • Kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh C. Faktor keluarga dan masyarakat lingkungan • Dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan pengobatan seseorang dengan selalu mengingatkan penderita agar makan obat, pengertian yang dalam terhadap penderita yang sedang sakit dan memberi semangat agar tetap rajin berobat. Situasi krisis berkepanjangan yang melanda negara kita dalam tahun-tahun terakhir ini, makin memperburuk situasi karena menurunnya status gizi sebagai akibat krisis ekonomi menyebabkan turunnya status kekebalan tubuh manusia, sehingga makin menyebabkan makin meluasnya penyebaran penyakit ini(2) Pada saat ini telah terjadi penyebaran strain kuman resisten majemuk (MDRTB) yang menjadi kedaruratan "HOT ZONE" di dunia termasuk Indonesia yang biayanya 100 x lebih mahal.(2) William J. Burman dkk dari University of Colorado Health Sciences Center, Denver, menganalisa data pasien TB Paru berobat jalan dengan DOT (Directly Observed Therapy) dari tahun 1984-1994 di The Denver Metro Tuberculosis Clinic, diperoleh informasi bahwa Program Tuberkulosis Kontrol di perkotaan dengan DOTS, yang mengalami kegagalan umumnya disebabkan karena berhubungan dengan faktor peminum alkohol dan gelandangan. Kegagalannya adalah peningkatan 10 x kejadian hasil akhir pengobatan yang jelek dan gagalnya terapi. Pada studi di New York City pada tahun 1967 tentang faktor penyebab kekambuhan menyatakan bahwa alkohol merupakan faktor resiko utama penyebab terjadinya kekambuhan TB paru. Dan pada tahun 1991 di New York City di peroleh data bahwa peminum alkohol dan gelandangan sangat erat hubungannya dengan kegagalan terapi. Sehingga diperlukan program lain yang inovatif untuk menanggulangi kasus seperti ini.(5) Penelitian lanjutan William J. dkk dari University of Colorado, Denver, data Program TB Kontrol selama tahun 1984 hingga 1994 di kaji ulang Untuk melihat pasien yang dilakukan. pengurungan dan mengevaluasi keefektifan dari tindakan ini. Ternyata sekitar 5% dari pasien yang diobati dilakukan pengurungan untuk kasus-kasus yang gagal pengobatan; dan ditambah 5% lagi pasien yang sulit untuk follow up dan menawarkan diri untuk dilakukan pengurungan. Pasien-pasien yang alkoholic dan gelandanganlah yang erat hubungannya dengan penggunaan cara pengurungan ini. Pengurungan jangka pendek yang dilanjutkan dengan rawat jalan, pengobatan diawasi secara langsung menjadi relatif lebih sukses dalam pengelolaan populasi pasien yang sulit seperti ini (lama pengurungan berkisar mulai dari 9 hari hingga 142 hari).(6)
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
3
III. STRATEGI DOTS Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerjasama dengan badan Kesehatan Dunia (WHO), melaksanakan suatu evaluasi bersama ("WHO-Indonesia Joint Evaluation") yang menghasilkan rekomendasi Perlunya segera dilakukan perubahan mendasar pada strategi penanggulangan TB di Indonesia, yang kemudian disebut sebagai "STRATEGI DOTS" Sejak itu dimulailah era baru pemberantasan TB di Indonesia.(2) Istilah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dapat diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek. setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).(7) Tujuannya mencapai angka kesembuhan yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping obat jika timbul dan mencegah resistensi. (7) Sebelum pengobatan pertama kali dimulai DOTS harus dijelaskan kepada pasien tentang cara dan manfaatnya. Seorang PMO harus ditentukan dan dihadirkan di poliklinik untuk diberi penerangan tentang DOTS dan tugas-tugasnya. PMO haruslah seseorang yang mampu mernbantu pasien sampai sembuh selama 6 bulan dan sebaiknya merupakan anggota keluarga pasien yang diseganinya.(7) Ada 5 kunci utama dalam strategi DOTS yaitu:(2) 1. Komitmen 2. Diagnosa yang benar dan baik 3. Ketersediaan dan lancarnya distribusi obat 4. Pengawasan penderita menelan obat 5. Pencatatan dan pelaporan penderita dengan sistem kohort Hasil evaluasi pada tahun 1998 menggambarkan bahwa cakupan penemuan penderita baru mencapai 9,8% dengan angka keberhasilan mencapai 89%, sehingga WHO menggolongkan kita sebagai negara dengan penyelenggara program yang baik tetapi ekspansi sangat lambat. Kajian data ini mendapatkan dari Puskesmas pelaksana program DOTS yang baru mencapai lebih kurang 40% dari 7000 Puskesmas dan Rumah Sakit yang ada.(2) Telah dilakukan suatu studi analisa oleh William J. Burman dkk. Dari University of Colorado Health Sciences Center, Denver, pada tahun 1994 yang membandingkan biaya dan keefektifan DOTS dibanding dengan pengobatan secara mandiri (SAT=Self Administreted therapy) terhadap pengobatan Tuberkulosa aktif di rumah sakit pemerintah di Denver. Mereka mengkaji data biaya rata-rata perpasien pada era pengobatan dengan SAT (Januari 1980 hingga Desember 1992) dan data pada era DOT (November 1986 hingga Desember 1992). Hasilnya total biaya pengobatan dengan DOT dan SAT tidak jauh berbeda ($1,206 vs $1,221 perpasien ), tetapi DOT menjadi lebih mahal bila nilai waktu diperhitungkan. Kalau biaya kekambuhan dan kegagalan diperhitungkan maka DOT lebih murah dibandingkan SAT. Walaupun pada awal biayanya agak tinggi, DOT adalah strategi yang lebih efektif dibanding SAT karena dapat menghasilkan angka kesembuhan yang tinggi setelah terapi awal, dan sehubungan dengan itu biaya pengobatan menjadi lebih sedikit berkaitan dengan kegagalan terapi dan resistensi obat. Analisa biaya dan keefektifan ini sangat mendukung usaha penggalakkan penerapan dari DOT.(8)
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
4
IV. KESIMPULAN 1. TB Paru masih merupakan masalah di negara berkembang, bahkan di negara maju masalah ini kembali muncul dengan adanya HIV-AIDS. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan : A. Faktor sarana B. Faktor penderita C. Faktor keluarga dan Masyarakat Lingkungan 3. Strategi DOTS sesuai dengan anjuran WHO telah terbukti dapat menekan angka drop out dengan meningkatkan angka kesembuhan. 4. Strategi DOTS akan menjamin kesembuhan, mencegah penularan, terbukti berhasil mencegah resistensi, efektif dengan biaya relatif rendah. V. DAFTAR PUSTAKA 1 Abednego H.M.M.: Kebijaksanaan baru dalam penanggulangan tuberkulosis di Indonesia. Disampaikan pada Konggres VI Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), Ciloto, 20-23 Nopember 1996. 2 Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan: Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Disampaikan pada Seminar Sehari TB Paru Dalam rangka Peringatan Hari TB Sedunia ke 117, Jakarta, Mei 1999. 3 Soeroso H.R.: Fungsi BP4 Dalam Pemberantasan TB dan Perkembangan Pulomonolog. Laporan Penataran Pemberantasan Penyakit TBC, Medan, 1977. 4 Nukman R.: Kendala Dalam Pengobatan TB Paru. Disampaikan pada Seminar Sehari TB Paru Dalam rangka Peringatan Hari TB Sedunia ke 117, Medan, 8 Mei 1999. 5 Burman WJ, Cohn DL, et al: Noncompliance With Directly Observed Therapy for Tuberculosis. CHEST 1997; 111: 1168-1173. 6 Burman WJ, Cohn DL, et al: Short-term Incarceration for the Management of Noncompliance With Tuberculosis Treatment. CHEST 1997; 112 : 57-62. 7 The Indonesian Association of Pulmonologists: Hasil Konperensi Kerja VIII Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta, 26-29 November 1998. 8 Burman WJ, Dalton CB, et al: A Cost effectiveness Analysis of Directly Observed Therapy vs Self Administered Therapy for Treatment of Tuberculosis, CHEST 1977; 112 : 63-70.
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
5