78
Wayan Siti, dkk. Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(2), 2011, 78-88
PEMBERDAYAAN EKONOMI KERAKYATAN BERBASIS MASYARAKAT ADAT DI KECAMATAN BEBANDEM KABUPATEN KARANGASEM, BALI Wayani Siti1, Wayan P. Windia1, dan Putu Dyatmikawati2 1
Universitas Udayana, 2Universitas Dwijendera
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran, Karangasem Bali. Telp. 0361 704622
Ringkasan Eksekutif Tujuan dari kegiatan IbW ini adalah pemberdayaan masyarakat dalam membangun kapasistas lokal seperti kesejahtraan masyarakat melalui pemanfaatn teknologi untuk pemanfaatan potensi lokal khususnya di Kecamatan Bebandem, Kabupaten karangasem. Kecamatan Bebandem terletak di bagian utara Kabupaten Karangasem berada pada ketinggian antara 225 – 975 m dpl dengan luas wilayah 61,80 km². Sebagian besar wilayahnya berupa perbukitan, dengan tebing-tebing curam dan menjadi hulu dari beberapa sungai yang mengalir di Kabupaten Karangasem. Geologi wilayah terbentuk dari endapan bahan vulkanik yang menjadi bahan galian C. data menunjukkan areal ini sebagian besar digunakan sebagai lahan kering (87,24%), 8,38% untuk lahan pertanian, dan sisanya (7,02%) untuk peruntukan lain. Sebagian besar mata pencaharian penduduk 73,54 % berasal dari sektor pertanian (pertanian lahan sawah, perkebunan, dan peternakan), kerajinan 19,33 %, perdagangan dan jasa 6,01 %, dan pertambangan 1,12 %. Dari angka tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan bidang startegis sehingga perlu mendapatkan prioritas. Baru-Baru ini, komoditas yang paling dikembangkan di daerah ini adalah kakao dan salak. Komoditas ini menawarkan beberapa keuntungan, meliputi: harga yang relatif stabil dan tinggi, dengan mudah dijual pasar, dan mudah untuk ditangani, tidak memerlukan perawatan sulit dan perlakuan khusus. Sementara itu, di (dalam) sektor ternak, khususnya peternakan sapi sangat penting untuk mendukung ekonomi keluarga. Masalah yang paling krusial dijumpai di wilayah ini adalah masih tingginya angka kemiskinan. Pada tahun 2008 tercatat jumlah penduduk miskin di Kecamatan Bebandem berjumlah 5.996 KK dari total 41.835 KK di Kabupaten Karangasem. Kondisi ini menuntut adanya upaya menentukan strategi khusus dan langkah yang lebih serius dalam membangun perekonomian masyarakat. Startegi yang ditempuh adalah melalui pemberdayaan segenap potensi masyarakat secara sinergis, holistik dan berkelanjutan sehingga program yang dilakukan dapat berjalan secara efektif dan produktif. Strategi ini sejalan dengan strategi yang dibangun oleh pemerintah, seperti yang tertuang dalam rencana pengembangan Kabupaten Karangasem 2005-2010, prioritas pengembangan wilayah tersebut meliputi pengembangan Bebandem sebagai pusat pengembangan kakao dan sapi, rehabilitasi lahan bekas galian C untuk dikembangkan menjadi kawasan hutan, pemberdayaan ekonomi masyarakat
Wayan Siti, dkk. Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(2), 2011, 78-88
79
khususnya industri rumah tangga, industri menengah dan koperasi, pengembangan lembaga keuangan tradisional (LPD), dan pengembangan pertanian yang mengikutsertakan partisipasi desa adat. Hal ini dimulai dengan rencana pengembangan yang efektif, wilayah ini perlu mendapat dukungan dari universitas, yang memiliki tujuan dan fungsi sebagai inisiator, motivator, fasilitator, innovator dan komunikator dalam pengembangan pariwisata secara lebih luas. Metode yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan wilayah diatas meliputi beberapa pendekatan, yaitu: (1) Model Partisipatory Rural Appraisal (PRA), (2) model Entrepreneurship Capacity Building (ECB), (3) model Teknologi Transfer (TT) dan (4) model Informasi Teknologi (IT). Kegiatan yang dilakukan, secara garis besar dapat dikelompokan menjadi 5, yaitu: (1) Budidaya tanaman kakao, penanggulangan penyakit gayas, dan tumpangsari kakao dengan HMT, (2) Pengolahan hasil pertanian local (labu siam dan umbi-umbian) bahan camilan khas masyarakat setempat, (3) Pengolahan limbah pertanian menjadi pakan sapi dan pengolahan limbah sapi menjadi pupuk permentasi, (4) Reahabilitasi lahan bekas galian C dengan tanaman kultura (tanaman keperluan ritual), dan (5) Penyusunan awig-awig tertulis berbasis pemberdayaan masyarakat Kata-kata kunci: pemberdayaan, ekonomi kerakyatan, masyarakat adat
Executive Summary The purpose of IbW is to empower people in building local capacity as well as welfare of society through technology-based local exploitation potency, at Bebandem, Karangsem Regency in particular. Bebandem is located in the northern part of Karangasem regency, geographically located at an altitude between 225-975 m above sea level. The village occupied an area of 61.80 km². Most of the areas consist of hills, with steep cliffs and into the upstream of the several rivers that flow in Karangasem regency. Geologically, the regions are formed from sediment eruption of Mount Agung volcanic material that became the C minerals. Data showed that the land use in the district is primarily for dry land (87.24%), 8.38% of agricultural fields, and others (7.02%). Most people (73.54%) work in agriculture sector (agriculture paddy fields, plantations, and livestock), 19.33% produce various kinds of craft, trade and services 6.01%, and about 1.12% working in the mining. These figures indicate that the agricultural sector has a strategic role and need priority to be developed. Recently, the most developed commodity in the region is cocoa and salak (snakeskin fruit). These commodities offer many advantages, include: high and relatively stable prices, easily sold in the market, and the relatively easy to handle, does not require special and difficult treatment. Meanwhile, in the livestock sector, a cattle in particular, plays a fairly important as supporting the family economy. However, poverty is still considered as the most crucial problem in this region. In 2008, it is recorded that number of people living below poverty line is high, about 5996 households of total 41,835 families within Karangasem Regency. This condition requires a specific strategy and efforts to determine a more serious step in building
80
Wayan Siti, dkk. Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(2), 2011, 78-88
the community's economy. The strategy pursued in this program is through synergic, holistic and sustainable empowerment of all communities’ potential in order to ensure effective and productive program. This strategy is inline with the strategy set up by the government. As stated in the Karangasem Regency Development Plan 2005-2010, priority will be given in the following areas, include developing Bebandem as integrated cocoa and cattle development centers; rehabilitation of ex-mining land through the development of community forests C; economic empowerment of the people, especially small business / home industries, medium enterprises and cooperatives, traditional financial institutions (LPD), and agriculture in the broad sense to include the participation of desa adat (indigenous village). It is also stated that to make sure the effectiveness of this development plan, the region needs support from university/college, which aimed to function as initiator, motivator, facilitator, innovator and communicator in tourism development widely. Methods and approaches used in this community empowerment program, include (1) participatory rural appraisal (PRA) model; 2) entrepreneurship capacity building (ECB) model; 3) technology transfer (TT) model and (4) information model technology (IT). In general, the overall activities performed are: (1) cocoa cultivation, gayas disease prevention, and intercropping cocoa with HMT, (2) Processing of local agricultural produce (squash and jain) of typical local snacks, (3) Processing of agricultural waste into cattle feed and cattle waste into fertilizer fermentation, (4) Development of forest by planting ‘kultura’ (plantation used for ritual purposes), and (5) Draft of written awig awig (traditional rules and regulations) based community empowerment. Result showed that IbW activities got a very positive response from stakeholders - target communities, village heads, district and Local Government Unit (SKPD). There are number of reasons that drive these conditions include: (1) IbW program have brought significant benefits for the society, especially the transfer of applied science and technology to the public that fits the needs of the community, (2) Methods and community empowerment strategies undertaken in these activities, especially the assistances considered more effective compare with any community empowerment without assistance-ship, and (3) The involvement of various components within the team especially the PPL (communication and extension officer), head of village, and Babinsa, especially in creating a synergy between the respective components so that the empowerment run intensive and productive which resulted on the sustainability of the program conducted. Key words: empower, social welfare, local community A. PENDAHULUAN Salah satu Misi Kabupaten karangasem yang tercantum dalam RPJM 20052010 adalah mewujudkan masyarakat madani berlandaskan pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Misi tersebut bertujuan untuk menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya. Sasarannya adalah meningkatkan partisipasi aktif dan keberdayaan masyarakat dalam pembangunan. Adapun kegiatan yang diprogramkan adalah meningkatkan usaha ekonomi wilayah desa/kelurahan.
Wayan Siti, dkk. Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(2), 2011, 78-88
81
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan program pemberdayaan masyarakat disegala aspek kehidupan untuk meningkatkan nilai ekonomi wilayah. Kecamatan Bebandem terletak di bagian utara Kabupaten Karangasem berada pada ketinggian antara 225 – 975 m dpl dengan luas wilayah 61,80 km². Sebagian besar wilayahnya berupa perbukitan, dengan tebing-tebing curam dan menjadi hulu dari beberapa sungai yang mengalir di Kabupaten Karangasem. Geologi wilayah terbentuk dari endapan bahan volkanik yang menjadi bahan galian C. Masalah yang paling krusial dijumpai di wilayah ini adalah masih tingginya angka kemiskinan. Pada tahun 2008 tercatat jumlah penduduk miskin di Kecamatan Bebandem berjumlah 5.996 KK dari total 41.835 KK di Kabupaten Karangasem. Kondisi ini menuntut adanya upaya menentukan strategi khusus dan langkah yang lebih serius dalam membangun perekonomian masyarakat. Startegi yang ditempuh adalah melalui pemberdayaan segenap potensi masyarakat secara sinergis, holistik dan berkelanjutan sehingga program yang dilakukan dapat berjalan secara efektif dan produktif. Penggunaan lahan di kecamatan ini utamanya untuk lahan kering 87,24 %, ditanami tanaman perkebunan seperti pohon kelapa, kopi, vanili, cengkeh, kakao dan lain-lainnya. Selain tanaman tersebut ada juga tanaman buah-buahan seperti salak, wani, durian, pisang, rambutan dan lain-lain. Disusul dengan pertanian sawah 8,38 %, dengan jenis tanaman padi, padi gogo, hortikultura, dan palawija, sedangkan untuk penggunaan lain sebear 7,02 %. Sementara itu, mata pencaharian penduduk 73,54 % berasal dari sektor pertanian (pertanian lahan sawah, perkebunan, dan peternakan), kerajinan 19,33 %, perdagangan dan jasa 6,01 %, dan pertambangan 1,12 %. Dari angka tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan bidang startegis sehingga perlu mendapatkan prioritas. Usaha tani merupakan bidang usaha di hulu, diharapkan dengan berkembangnya sistem pertanian yang berwawasan agribisnis dapat menstimulasi dan menumbuhkembangkan bidang jasa dan usaha lainnya di hilir. Salah satu alternatif adalah berkembangnya industri rumah tangga pembuatan makanan khas olahan hasil pertanian, pemasaran, koperasi yang pada akhirnya dapat memberikan nilai tambah pendapatan bagi masyarakat perdesaan. Kelembagaan tradisional petani yaitu subak masih sangat efektif, begitu pula ketersediaan lahan pertanian masih sangat luas. Permasalahan yang ada di lapangan adalah pertanian semakin tidak diminati oleh generasi muda. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor, diantaranya tidak adanya posisi tawar dari produk pertanian tanaman pangan pokok (padi dan palawija) dan banyaknya alternatif pekerjaan yang menjanjikan pendapatan yang lebih besar seperti pertukangan dan kerajinan. Faktor-faktor pembatas lainnya bagi para petani dan masyarakat perdesaan untuk mengembangkan usahanya adalah: lemahnya penguasaan Ipteks, langka modal dan tidak dikuasainya peluang pasar, baik pasar lokal maupun pasar regional. Untuk itu pemberdayaan masyarakat tani sangat diperlukan, guna memotivasi wawasan agribisnis dan agrowisata dengan tetap dalam bingkai tatanan budaya Bali. Sektor peternakan khususnya sapi memegang peranan yang cukup penting sebagai usaha penunjang ekonomi keluarga. Perbandingan antara jumlah penduduk dengan populasi sapi di wilayah ini adalah 3 : 1. Terbatasnya ketersediaan hijauan dan belum adanya upaya mencari pakan alternatif seperti pengolahan limbah
82
Wayan Siti, dkk. Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(2), 2011, 78-88
pertanian menjadi sumber pakan berkwalitas menjadi salah satu kendala pengembangan peternakan sapi di wilayah ini. Sektor perkebunan merupakan bidang strategis lain yang menjadi prioritas pengembangan di Kecamatan Bebandem. Hal ini dasarkan karena komoditas ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya, diantaranya : harga tinggi, laku di pasar dan relatif tidak memerlukan perawatan yang sulit dalam usaha taninya. Memperhatikan potensi dan peluang tersebut di atas, maka pemerintah Kabupaten Karangasem mencanangkan Kecamatan Bebandem sebagai sentra produksi komoditas tanaman Kakao dengan pola integrasi dengan peternakan sapi. Upaya penguasaan Iptek dalam agroindutri kakao sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan program di atas. Hal tersebut sangat memerlukan adanya pendampingan perguruan tinggi. Kondisi sosial budaya masyarakat dicirikan oleh kentalnya kehidupan masyarakat adat yang sangat menjungjung tradisi yang telah berjalan secara turuntemurun. Peran lembaga tradisional seperti desa adat sangat dominan dalam mengatur kehidupan masyarakat dalam kesehariannya. Dalam banyak aspek hal ini sangat positif bagi pemberdayaan pemberdayaan masyarakat, namun tidak jarang aturan-aturan yang berlaku di desa adat sudah tidak relevan lagi dengan kodisi masyarakat kekinian. Akbatnya munculah benturan-benturan sosial yang bernuansa adat baik dalam desa adat itu sendiri maupun antara satu desa adat dengan desa adat tetangganya. Kondisi di atas, dalam rangka melakukan pemberdayaan masyarakat di wilayah ini mesti disertai dengan perbaikan kondisi sosial budaya masyarakat karena hal ini dapat menjadi kendala yang sangat berarti bagi keberhasilan usaha pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Mengacu kepada pemotretan awal terhadap potensi wilayah Bebandem dan singkronisasi dengan program Pemda Karangasem yang tertuang dalam RPJM pada wilayah bersangkutan, maka pihak perguruan tinggi (Universitas Udayana dan Universitas Dwijendera) bersama Pemda Karangsem mengusulkan program: Pemberdayaan Potensi Masyarakat Perdesaan dalam Pengembangan Ekonomi Kerakyatan di Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem, Bali B. SUMBER INSPIRASI Masalah yang paling krusial dijumpai di Kecamatan Bebandem adalah masih tingginya angka kemiskinan. Material gunung api yang sangat banyak di wilayah ini mengalami eksploitasi yang tidak terkendali. Bila terus berlanjut tanpa disertai mitigasi yang memadai sangat berpotensi menimbulkan bahaya lingkungan bagi wilayah di bawahnya mengingat daerah ini merupakan daerah hulu. Sementara itu, potensi wilayah berupa pertanian dan peternakan yang menjadi tumpuan hidup lebih dari 73,54 % jumlah penduduk belum digarap secara optimal karena sector ini dipandang kurang menguntungkan serta masih lemahnya penerapan Ipteks pada sector tersebut sehingga kurang produktif. Peran lembaga tradisional seperti desa adat sangat dominan dalam mengatur kehidupan masyarakat dalam kesehariannya. Dalam banyak aspek hal ini sangat positif bagi pemberdayaan pemberdayaan masyarakat, namun tidak jarang aturan-
Wayan Siti, dkk. Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(2), 2011, 78-88
83
aturan yang berlaku di desa adat sudah tidak relevan lagi dengan kodisi masyarakat kekinian. Akbatnya munculah benturan-benturan sosial yang bernuansa adat baik dalam desa adat itu sendiri maupun antara satu desa adat dengan desa adat tetangganya. Kondisi di atas, dalam rangka melakukan pemberdayaan masyarakat di wilayah ini mesti disertai dengan perbaikan kondisi sosial budaya masyarakat karena hal ini dapat menjadi kendala yang sangat berarti bagi keberhasilan usaha pemberdayaan masyarakat itu sendiri. C. METODE Metode yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan wilayah diatas meliputi beberapa pendekatan, yaitu: (1) Model Partisipatory Rural Appraisal (PRA), (2) model Entrepreneurship Capacity Building (ECB), (3) model Teknologi Transfer (TT) dan (4) model Informasi Teknologi (IT). 1. Model Partisipatory Rural Appraisal (PRA) Model PRA identik dengan model pendekatan sosial budaya Bali yang mengedepankan partisipatif, dialogis, komunikatif, etik dan emik. PRA ini digunakan untuk menentukan arah pembangunan dan mensolusikan segala sesuatu permasalahan yang ada. Masyarakat selalu diikutsertakan dalam segala keputusan untuk wilayahnya. Seluruh stakeholder yang berada di wilayah IbW dan pemerintahan yang lebih tinggi ikut terlibat dalam perencanaan pembangunan. Salah satu cara dalam pelaksanaan PRA adalah melakukan pertemuan dengan masyarakat perdesaan, pihak eksekutif, legislatif, swasta dan perguruan tinggi. 2. Model Entrepreneurship Capacity Building (ECB) Model ini digunakan untuk meningkatkan kemampuan kewirausahaan masyarakat perdesaan, baik di bidang agribisnis, industri dan perdagangan. Program yang sesuai digunakan melalui pemberdayaan dan pendampingan. Pihak Perguruan Tinggi berfungsi sebagai motivator, inovator, fasilitator, dan komunikator. Model ECB tersebut digunakan untuk seluruh periode, terutama pada tahun kedua. 3. Model Teknologi Transfer (TT). Penemuan-penemuan hasil penelitian dan atau kegiatan lainnya dari perguruan tinggi disosialisasian kepada masyarakat secara tepat guna. Selanjutnya dilakukan pelatihan teknologi tepat guna untuk berbagai sektor. Penggunaan model ini dilakukan pada awal tahun kedua dan ketiga, karena pada tahun pertama difokuskan untuk menggali data dasar yang teliti dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. D. KARYA UTAMA Kegiatan yang dilakukan, secara garis besar dapat dikelompokan menjadi 5, yaitu: (1) Budidaya tanaman kakao, penanggulangan penyakit gayas, dan tumpangsari kakao dengan HMT, (2) Pengolahan hasil pertanian local (labu siam dan umbi-umbian) bahan camilan khas masyarakat setempat, (3) Pengolahan limbah pertanian menjadi pakan sapi dan pengolahan limbah sapi menjadi pupuk permentasi,
84
Wayan Siti, dkk. Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(2), 2011, 78-88
(4) Reahabilitasi lahan bekas galian C dengan tanaman kultura (tanaman keperluan ritual), dan (5) Penyusunan awig-awig tertulis berbasis pemberdayaan masyarakat Karya utama dari kegiatan IbW ini berupa terapan Ipteks dalam penyusunan awig-awig (peraturan) desa adat yang inovatif, dilandasi kajian ilmiah serta berwawasan pemberdayaan masyarakat dan lingkungan. Artinya bahwa awig-awig adat tersebut mencantumkan tentang peranserta dan tanggungjawab desa adat dalam pengembangan perekonomian masyarakat adat serta pelestarian lingkungan di wilayah desanya. Hal ini berbeda dengan awig-awig desa adat yang lazim dijumpai pada masayarakat adat di Bali. Desa adat hanya mengatur tentang parahyangan, yaitu kegiatan ritual yang ada kaitannya dengan aktivital religious. Selain itu, karya yang lain berupa teknologi tepat guna mesin pengolahan hasil pertanian berupa mesin pengiris ubi yang digerakan dengan listrik.
Gambar 1. Mesin Alat Pemotong Ubi untuk Bahan Kripik
Gambar 2. Pendampingan Penyusunan Awigawig (Peraturan) Desa Adat
E. ULASAN KARYA 1. Budidaya tanaman kakao, penanggulangan penyakit gayas, dan tumpangsari kakao dengan HMT. Permasalahan yang dihadapi petani dalam pengembangan tanaman kakao di daerah IbW adalah rendahnya keterampilan dalam menghasilkan bibit tanaman kakao yang bermutu, serangan penyakit gayas, dan belum optimalnya pemanfaatan lahan areal pengusahaan tanaman kakao. Untuk itu, maka dilakukan pelatihan pembibitan tanaman, pelatihan teknik penanggulangan penyakit gayas, dan pembuatan demplot lapangan. Jenis demplot yang dibuat adalah demoplot teknik penanggulangan hama gayas pada tanaman kakao dan tumpangsari tanaman kakao dengan hijauan pakan ternak (HMT). Pada demplot ini diintoduksikan sebanyak 5 jenis HMT, sedangkan jumlah petani yang dilatih sebanyak 100 orang dari dua desa yaitu Desa Buanagiri dan Desa Jungutan.
Wayan Siti, dkk. Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(2), 2011, 78-88
85
Hasil yang diperoleh menunjukkan, sebanyak 80 % petani mampu mempraktekkan teknik pembibitan kakao secara benar, sementara itu sebanyak 92% mampu menerapkan teknik penanggulangan hama gayas. Kelompok yang belum mampu mengaplikasikan baik teknik pembibitan, maupun teknik penanggulangan hama gayas berasal dari golongan usia lanjut. Luas demplot penanggulangan hama gayas dan tumpangsari kebun kakao dengan HMT adalah 10 are dan dilahan petani seluas 10 ha. 2. Pengolahan hasil pertanian lokal (labu siam dan umbi-umbian) bahan camilan khas masyarakat setempat, Alih teknologi tepat guna pada industry rumah tangga pengolahan hasil pertanian adalah pembuatan kripik, dodol, chip ubi dan ketela unggu. Kelompok wanita tani dapat menerapkan teknologi yang diberikan secara benar dengan kualitas yang memadai, serta sudah mulai menjalankan usahanya, terutama penjualan kripik ketela ungu. Volume produksi saat berjumlah 10 kg per hari dengan nilai Rp. 300.000 dengan keuntungan sebesar Rp. 200.000. Produksi telah dilakukan secara rutin karena produknya laku dipasarkan. Usaha ini mampu memberi nilai tambah terhadap produk hasil pertanian labu siam mencapai 10 kali lipat dari harga bahan bakunya. Pada pengembangan usaha pengolahan hasil pertanian ini dihasilkan rancang bangun mesin pertanian tepat guna yang sangat membantu dalam meningkatkan kapasitas produksi yaitu mesin pengiris ketela unggu untuk bahan baku kripik dengan kapasitas 10 kg yang digerakkan dengan tenaga listrik sehingga diperoleh irisan dengan ketebalan tetap dalam jumlah banyak. 3. Pengolahan limbah pertanian menjadi pakan sapi dan pengolahan limbah sapi menjadi pupuk fermentasi, Penyebarluasan teknologi pengolahan limbah pertanian menjadi pakan sapi dan pengolahan limbah sapi menjadi pupuk fermentasi dilakukan melalui pelatihan teknologi bersangkutan di Kelompoktani Wirawan di Desa Klating Kabupaten Tabanan. Jenis limbah pertanian yang diolah menjadi pakan sapi adalah kulit buah kakao. Peserta pelatihan terdiri dari kelompok ternak Buanagiri dan Jungutan berjumlah 30 orang. Hasil yang ditunjukkan diantaranya, sebanyak 28 petani mampu mempraktekkan pengolahan limbah kakao menjadi pakan ternak dengan teknik fermentasi. Sebanyak 20 peserta mampu mengoperasikan instalasi biogas secara mandiri, dan mampu mengolah kotoran sapi melalui fermentasi menjadi bokasi dan biourine. Kemampuan mengadopsi teknologi tersebut terapkan, dalam artian produksi pakan, pupuk, dan operasional biogas telah dilakukan secara rutin tidak sekedar praktek atau demontrasi. Hasil produksi pupuk telah laku dipasarkan sehingga sangat prospektif dikembangkan. 4. Pengembangan hutan rakyat adat dengan tanaman kultura (tanaman keperluan ritual). Masyarakat adat di bali tidak dapat dilepaskan dengan kegiatan ritual yang disebut upakara. Keseluruhan ritual tersebut membutuhkan sarana yang berasal dari
86
Wayan Siti, dkk. Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(2), 2011, 78-88
tumbuhan yang disebut tanaman upakara. Desa adat merupakan lembaga masyarakat yang bertugas dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan ritual tersebut. Oleh sebab itu, penanaman tanaman upakara sebagai hutan rakyat menjadi wahana yang sangat baik dalam pelestarian lingkungan mengingat tanaman tersebut sangat disakralkan oleh masyarakat adat sehingga pantang ditebang sembarangan. Melalui kegiatan I bW telah berhasil ditanam sebanyak 2500 pohon tanaman upakara yang terdiri dari tanaman cenana, majegau, nagasari, jebugarum, rijasa, cempaka dan sandat. 5. Penyusunan awig-awig tertulis berbasis pemberdayaan masyarakat Awig-awig desa adat merupakan perangkat aturan yang mengatur tatanan kehidupan krama desa, krama tamiu dan tamiu. Berkaitan dengan hal tersebut perlu disimak Perda Propinsi Bali Nomor 06 Tahun 1986 tanggal 25 Juni 1986 tentang Kedudukan Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Ada perbedaan yang mendasar antara awig-awig yang dibuat sebelum tahun tersebut dengan sesudahnya, baik sistimatika maupun substansi awig-awig terutama yang menyangkut batas desa, penduduk desa, sanksi dan ketentuan awig-awig yang mengatur hubungan antar desa pakraman. Sistimatika awig-awig jaman dulu kurang jelas. Ketentuan dalam awig-awig terkesan seperti notulen rapat. Sementara sistimatika awig-awig jaman sekarang relatif lebih baik. Sesudah tahun 1986, sistimatikanya disusun sebagai berikut: (1) aran lan wawidangan; (2) Patitis lan pamikukuh; (3) Sukertatata pakraman; (4) Sukerta tata agama; (5) Sukerta tata pawongan; (6) Wicara lan pamidanda. Perbedaan mendasar antara awig-awig Desa Tanah Aron dengan awig-awig desa lainnya di Bali adalah terletak pada diaturnya mengenai sukerta tata palemahan, yaitu mengatur tentang pelestarian lingkungan. Selain itu pada bagian sukerta tata pawongan diatur mengenai fungsi dan tugas desa adat dalam pemberdayaan desa adat. F. KESIMPULAN Hasil evaluasi pelaksanaan kegiatan menunjukkan bahwa program I bW mendapatkan respon yang sangat positif dari pihak terkait seperti masyarakat sasaran, kepala desa, camat dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang terkait dengan kegiatan IbW. Ada beberapa alasan yang mendorong kondisi tersebut diantaranya: (1) program IbW membawa manfaat yang berarti bagi masyarakat terutama transfer terapan Ipteks kepada masyarakat karena sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tepat guna; (2) Metode dan strategi pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan pada kegiatan ini terutama pendampingan dirasakan sangat efektif oleh masyarakat, berbeda dengan upaya pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan sebelumnya; dan (3) Keterlibatan berbagai komponen dalam tim terutama PPL, kepala desa, serta Babinsa khususnya menyangkut pendampingan adat mampu menciptakan sinergisme antara komponen yang bersangkutan sehingga pemberdayaan berjalan intensif dan produktif yang berimplikasi kepada keberlanjutan dari program yang dilakukan.
Wayan Siti, dkk. Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(2), 2011, 78-88
87
G. DAMPAK DAN MANFAAT KEGIATAN Dampak dan manfaat kegiatan I bW di Desa Plaga dan Biloksidan, Kecamatan Petang, Kabupaten Karangasem, dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu bagi masyarakat, Pemda dan Masyarakat. Bagi Masyarakat (1) Kualitas SDM masyarakat adat dapat ditingkatkan, melalui program-program penyuluhan, bimbingan, pelaksanaan dan evaluasi Ipteks yang telah diberikan dengan tetap berada dalam payung budaya dan keagamaan; (2) Masyarakat adat mampu menyusun awig-awig (peraturan) desa secara partisipasif sehingga sesuai dengan kebutuhan dan berwawasan pemberdayaan masyarakat dan lingkungan; (3) Berkembangnya wawasan kewirausahaan pada Lembaga tradisional petani (Subak Abian); (4) Tumbuhnya industri rumah tangga pada masyarakat adat khususnya ibu-ibu yang berimplikasi pada meningkatnya pendapatan. Bagi Pemerintah Daerah: (1) Terlaksananya program pemerintah dalam pengembangan ekonomi kerakyatan; (2) Terciptanya hutan rakyat secara swadaya yang bermanfaat bagi pelestarian lingkungan; (3) Meningkatnya wawasan dan kinerja aparat birokrasi diberbagai sektor dalam memberikan pelayanan, menyusun dan mengimplementasikan kebijakan yang lebih berorientasi pada model pemberdayaan masyarakat; (4) Manfaat lebih lanjut diharapkan dapat meningkatkan PAD. Bagi Perguruan Tinggi : (1) Telaksananya Tridarma Perguruan Tinggi, yaitu: pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat bersama Pemerintah Kabupaten Karangasem; (2) Dalam sektor pendidikan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, terutama wawasan sosio teknologi civitas akademika Universitas Udayana; (3) Manfaat dari segi penelitian adalah peningkatan pelaksanaan penelitian, baik oleh mahasiswa maupun dosen yang sangat diperlukan oleh Pemerintah Kabupaten Karangasem; (4) Di bidang pengabdian kepada masyarakat, adanya IbW dapat menyumbangkan sumberdaya kepakaran dan pengembangan teknologi tepat guna yang sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat pedesaan di Kabupaten Karangasem, baik oleh mahasiswa melalui program KKN PPM, maupun oleh dosen sebagai bentuk pelaksanaan darma ke tiga; (5) Mahasiswa yang telah ber KKN di wilayah I bW dapat meningkatkan wawasan kewirausahaan serta menyusun proposal penelitian untuk tugas akhirnya di Perguruan Tinggi. H. DAFTAR PUSTAKA (1) Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Penerbit: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Jawa Barat http//balittanah.litbang.deptan.go.id (2) I Ketut Sardiana, Wayan P Windia, I G N Sudiana. 2010. Taman Gumi Banten Ensiklopedi Tanaman Upakara.Udayana University Press. 166 hl. (3) Dherana, Tjok Raka, 1982. “Garis-Garis Besar Penulisan Awig-awig Desa Adat”, MPLA Dati I Bali. (4) Dherana, Tjok Raka, 1995. Desa Adat dan Awig-awig dalam Struktur Pemerintahan Bali, Denpasar, Upada Sastra.
88
Wayan Siti, dkk. Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 2(2), 2011, 78-88
(5) Djawantan Agama Hindu dan Budha Propinsi Bali, 1973. “Tata Nuntun Miwah midabdabin Desa Adat ring Bali”. (6) Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, Denpasar, 1970. “Pembinaan Awig-awig Desa dalam Tertib Masyarakat”. I. PERSANTUNAN Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah turut membantu kegiatan I bW di Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem, diantaranya: bapak Camat Bebandem, Kepala Desa Buanagiri dan Jungutan, Kelian Subak Abian Buanagiri, Kelompok Ternak Jungutan, Majelis Alit Desa Pakraman Bebandem, anggota tim pelaksana I bW, tim Monev Pemkab. Karangasem, serta pihak-pihak lainnya yang turut membantu yang tidak dapat disebutkan dalam tulisan ini.