PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN SEBAGAI

Download 20 Okt 2011 ... Tujuan penelitian untuk mengetahui bentuk pemberdayaan masyarakat di ... Sementara itu, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konse...

0 downloads 657 Views 164KB Size
Seminar Nasional : Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN SEBAGAI ALTERNATIF PERLINDUNGAN KAWASAN HUTAN KONSERVASI (Kasus Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat) Sumarhani Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor Korespondensi : Jln Gunung Batu No. 5 P.O Box 165; Telp 0251-315222, Email: [email protected]

ABSTRAK Kawasan hutan konservasi merupakan benteng terakhir dalam pengelolaan hutan di Indonesia yang dikarenakan dua bentuk kawasan hutan yang lain yaitu hutan produksi dan hutan lindung telah tinggi tingkat degradasinya, Undang-undang No.41/1999, masyarakat sekitar hutan sebagai salah satu Stakeholder dalam pengelolaan kawasan hutan perlu dilibatkan. Penelitian dilakukan di Desa Cihanyawar, Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi, pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2010. Tujuan penelitian untuk mengetahui bentuk pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan dan upaya pelestarian ekosistem hutan konservasi. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer dilakukan dengan wawancara menggunakan metode purposive sampling terhadap 15 responden yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGGP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa matapencaharian responden.sebagian besar sebagai petani baik petani pemilik (20 %) maupun buru tani (47 %) dan dagang (13 %). Luas kepemilikan lahan sangat rendah (≤ 0,25 ha/KK. Bentuk pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan dilakukan melalui pola pemanfaatan lahan dengan menggunakan model wanatani (agroforestry). Jenis tanaman yang ditanam adalah damar, mahoni, manglit, rasamala, puspa dan tanaman pertanian semusim (palawija dan sayuran) serta tanaman pertanian penghasil buah.. Rata-rata pendapatan petani dari usahatani wanatani sebesar Rp 9.212.500,-/ha/tahun. Bentuk pemberdayaan yang lain yaitu usaha ternak domba dikembangkan dengan sistem digulir dan hampir semua responden memiliki kambing. Rata-rata setiap responden memiliki kambing 3-5 ekor. Dengan terpeliharanya tanaman hutan dan tanaman pertanian disamping ekosistem hutan konservasi teraga petani dapat memperoleh hasil dari tanaman semusim dan tanaman buah.. Kata kunci: Hutan konservasi, TNGGP, pemberdayaan masyarakat. Agroforestry PENDAHULUAN Indonesia mempunyai kawasan hutan tropis yang sangat luas, mencapai 120,35 juta ha atau sekitar 68% dari total luas wilayah daratan. Sekitar 17,03 % dari luas hutan tersebut atau seluas 20,50 juta ha merupakan kawasan hutan konservasi (Badan Planologi Kehutanan, 2006). Kawasan hutan konservasi didefinisikan sebagai kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya, yang terdiri atas kawasan hutan Suaka Alam, kawasan hutan Pelestarian Alam dan Taman Buru (Undang-undang No. 41/1999, Pasal 1 dan Pasal 7). Selanjutnya, dalam Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya disebutkan, bahwa kawasan hutan Suaka Alam terdiri atas Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, sedangkan kawasan Pelestarian Alam terdiri atas Taman Nasional, Taman Wisata Alam, dan Taman Hutan Raya. Kawasan hutan konservasi merupakan bagian dari kawasan konservasi yang berada pada kawasan hutan. Luas kawasan hutan konservasi di Indonesia sampai akhir Desember 2007 mencapai 28.007.753 ha yang terdiri atas Cagar Alam 4,61 juta ha, Suaka Margasatwa 5,43 juta ha, Taman Nasional 16,38 juta ha, Taman Wisata Alam 1,03 juta ha, Taman Hutan Raya 332 ribu ha dan Taman Buru 225 ribu ha (Ditjen PHKA, 2008). Namun demikian, hutan di Indonesia termasuk kawasan hutan konservasi sebagian besar telah mengalami kerusakan yang cukup berat. Badan Planologi Kehutanan (2008), melaporkan bahwa 1 Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011

laju kerusakan hutan di Indonesia selama periode 1985-1997 sebesar 1,8 juta ha per tahun, periode 1997-2000 sebesar 2,84 juta ha per tahun dan periode 2000-2005 mencapai 1,08 juta ha per tahun. Lebih lanjut disebutkan bahwa luas kerusakan hutan sampai tahun 2000 mencapai lebih dari 59 juta ha, termasuk di dalamnya 4,69 juta ha kawasan hutan konservasi. Sementara itu, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) (2007), mengemukakan data luas kerusakan hutan hutan konservasi sampai tahun 2005 mencapai 77.832,90 ha. Terdapatnya perbedaan data kerusakan kawasan hutan konservasi yang dikeluarkan oleh BAPLAN dengan PHKA tersebut disebabkan data kerusakan hutan dari Unit Pelaksana Teknis PHKA belum seluruhnya masuk. Berdasarkan data tersebut memperlihatkan bahwa kawasan hutan konservasi kini mengalami banyak kerusakan. Seperti halnya kawasan hutan konservasi lainnya di Indonesia, kawasan hutan TNGGPpun tidak luput dari berbagai gangguan yang menyebabkan terjadinya kerusakan kawasan hutan tersebut. Berbagai gangguan yang menyebabkan terjadinya kerusakan kawasan hutan diantaranya adalah penebangan liar, kebakaran hutan, perambahan lahan hutan, pengambilan hasil hutan bukan kayu dan perburuan satwa liar. Selain itu permasalahan lain yang terjadi adalah rendahnya kesadaran masyarakat sekitar kawasan terhadap konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem TNGGP . Berbagai upaya restorasi kawasan konservasi telah dilakukan, namun belum memberikan hasil yang memuaskan. Salah satu alternatif untuk mengurangi ancaman dan gangguan kawasan dari masyarakat sekitar adalah melibatkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam usaha perlindungan kawasan konservasi TNGGP. Dengan kata lain, perlu dicari strategi dalam bentuk kegiatan nyata pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan. Untuk melibatkan masyarakat sekitar, sangat penting di ketehui karakteristik masyarakat seperti kondisi sosial-ekonomi masyarakat terutama yang berinteraksi langsug dengan kawasan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui bentuk nyata pola pemanfaatan lahan berbasis masyarakat di sekitar kawasan TNGGP. KEADAAN UMUM TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO TNGGP adalah salah satu kawasan pelestarian alam (KPA) terletak di Jawa Barat dan dikelilingi oleh 3 (tiga) daerah administrasi pemerintahan yaitu Kabupaten Cianjur, Bogor dan Sukabumi. Jumlah desa yang berada di sekitar kawasan TNGGP mencapai 66 desa yang meliputi18 kecamatan dari tiga kabupaten (Balai Besar TNGGP, 2009). Kawasan hutan TNGGP ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 TNGGP seluas 15.196 ha. Kemudian melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 kawasan TNGGP diperluas menjadi 21.975 ha. Perluasan kawasan TNGGP tersebut merupakan perluasan kawasan hutan yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani sebagai hutan produksi dan hutan lindung. Dan atas dasar berita acara serah terima pengelolaan No.002 Bast-HUKAMAS/III/2009 Nomor 1237/II-TU/2/2009 tanggal 6 Agustus 2009, dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten kepada Balai Besar TNGGP luas kawasan yang diserahkan adalah 7.655 ha. Dengan demikian luas total TNGGP adalah 22.851 ha (Balai Besar TNGGP., 2009). Keberadaan kawasan hutan TNGGP memiliki peranan penting bagi kehidupan masyarakat sekitar, terutama dalam perlindungan fungsi hidrologis dan keanekaragaman hayati. Kawasan TNGGP merupakan gabungan dari dua gunung berapi yang menjulang tinggi yaitu Gunung Gede (2.958 meter) dan Gunung Pangrango (3.019 meter). Topografi kawasan TNGGP bervariasi mulai landai hingga bergunung dengan kisaran ketinggian antara 700 m dan 3.000 m dpl. (Balai Besar TNGGP., 2009). Berdasarkan ketinggian tempat, terdapat tiga tipe ekosistem hutan pegunungan yang ada di kawasan TNGGP, yaitu tipe hutan hujan pegunungan bawah/sub-montana (≤1.500 m dpl), tipe hutan hujan pegunungan/ montana (1.500 – 2.400 m dpl) dan tipe hutan hujan sub-alpin (≥ 2.400 m dpl). Jenis-jenis tanah yang mendominasi kawasan TNGGP adalah latosol coklat, assosiasi andosol coklat, regosol dan litosol dengan batuan vulkanik. Menurut klasifikasi iklim Schmid – Ferguson, TNGGP termasuk tipe iklim A dengan ratarata curah hujan 3.000 – 4.000 mm/tahun. Karena itu TNGGP disebut sebagai hutan hujan tropis pegunungan (Balai Besar TNGGP., 2009).

Seminar Nasional : Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan

Sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, TNGGP dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan untuk penelitian, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Undang-undang No. 5 Tahun 1990). Kawasan hutan TNGGP merupakan hulu dari empat Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yaitu DAS Citarum (Kab. Cianjur), DAS Ciliwung dan DAS Cisadane (Kab. Bogor) dan DAS Cimandiri (Kab. Sukabumi). Dari ke empat DAS tersebut terdapat lebih dari 58 sungai besar dan sungai kecil mengalir menuju laut Jawa dan ke Samudra Hindia. Keberadaan kawasan hutan TNGGP telah mampu memenuhi kebutuhan air bersih bagi 20 juta penduduk yang berada disekitarnya, baik kebutuhan air untuk rumah tangga, pertanian maupun industri. (Wiratno et al. 2004 dalam Wawan G., 2009). Selain itu kawasan ini juga memiliki potensi kekayaan flora yang tinggi dan merupakan habitat dari berbagai jenis satwa langka yang dilindungi. Sebagai suatu kawasan konservasi TNGGP yang memiliki peran penting bagi kehidupan manusia, ditengah-tengah tinggi dan pesatnya pembangunan wilayah di sekitarnya, maka keberadaan kawasan TNGP perlu dijaga dan dipertahankan kelestariannya. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Desa Cihanyawar, Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi, pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2010. Desa tersebut merupakan salah satu dari 66 desa yang ada di sekitar dan berbatasan langsung dengan TNGGP. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer dilakukan dengan wawancara menggunakan metode purposive sampling terhadap 15 responden yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGGP. Data sekunder didapat melalui penelusuran pustaka atau laporan dari berbagai instansi terkait, seperti Perum Perhutani, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan kantor desa. Data ditabulasi, dianalisis secara diskriptif kualitatif dan kuantitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Desa Cihanyawar Desa Cihanyawar, Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu desa di sekitar TNGGP memiliki luas 934,90 ha, mempunyai topografi datar hingga berbukit dengan ketinggian 600 m -700 m dpl. Jenis tanah di desa ini termasuk latosol coklat dan assosiasi andosol coklat kekuning-kuningan. Menurut Schmid - Ferguson, tipe iklim lokasi penelitian termasuk tipe A dengan rata-rata curah hujan 2.984 mm/thn. Kondisi alam seperti ini sangat cocok untuk budidaya tanaman pertanian, perkebunan dan kehutanan (Profil Desa Cihanyawar, 2008) Berdasarkan luas lahan dan penggunaannya, wilayah sekitar TNGGP terdiri atas pemukiman 13,93 ha (1,5 %), persawahan 190 ha (20,3 %), kebun 691,63 ha (74 %), pekarangan 6,96 ha (0,7 %), selebihnya kuburan, kantor, dan prasarana umum lainnya 32,38 ha (3,5 %). Meskipun demikian kebun yang memiliki luasan cukup tinggi, didominasi oleh tanaman semusim seperti sayuran (kacang panjang, buncis, terong, cabe, tomat, caisim, singkong dan pisang) yang memerlukan pengolahan tanah intensif. Disisi lain, tanaman pohon yang mempunyai fungsi sebagai pengatur tata air kurang diminati petani sehingga banyak lahan terbuka dan peluang terjadinya erosi cukup tinggi. Desa Cihanyawar yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan konservasi, keberadaan tanaman pohon mempunyai arti yang cukup penting bagi perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman hayati, di samping tanaman semusim yang dapat langsung dimanfaatkan petani. Mata pencaharian utama responden di sekitar kawasan TNGGP hampir sebagian besar adalah petani baik sebagai pemilik (20 %) maupun buruh tani (47 %). Selebihnya sebagai buruh bangunan (20 %) dan dagang (13 %) (Gambar 1.)

3 Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011

Gambar 1. Matapencaharian responden Desa Cihanyawar Rata-rata luas pemilikan lahan sangat rendah (≤ 0,25 ha), banyak petani yang tidak mempunyai lahan dan hanya bekerja sebagai buruh tani (47 %), sehingga lahan yang dimiliki belum dapat mencukupi kebutuhan hidup. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang demikian, menimbulkan berbagai permasalahan dan tekanan terhadap kawasan TNGGP. Sebagian dari kejadian tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat tentang fungsi, manfaat dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan TNGGP dan terbatasnya alternatif pemenuhan kebutuhan dasar mereka seharihari. Tingkat kesadaran masyarakat di sekitar kawasan tercermin dengan adanya berbagai jenis kegiatan yang menurunkan kualitas sumberdaya lingkungan TNGGP. Rendahnya kesadaran masyarakat tersebut disebabkan oleh masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Sebagian besar responden berpendidikan Sekolah Dasar (60 %), dan Sekolah Lanjutan Pertama (20 %) serta Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (7 %) yang tidak mempunyai ketrampilan khusus dan kemampuan bersaing, sehingga kesempatan bekerja di luar pertanian sangat terbatas. Bahkan responden yang buta aksara juga masih cukup banyak dijumpai (13 %) (Gambar 2).

Gambar 2. Tingkat pendidikan responden di Desa Cihanyawar BENTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pengembangan pola pikir dan pola sikap yang mendorong timbulnya kesadaran anggota masyarakat agar mau memperbaiki kehidupannya dengan menggunakan potensi yang dimilikinya. Pemberdayaan masyarakat di sekitar TNGGP bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat, memperbaiki kesejahteraannya, dan meningkatkan partipasi mereka dalam segala kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem secara berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat diarahkan pada desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan, sebagai upaya agar mereka dapat mandiri mengembangkan kesadaran, pengetahuan dan ketrampilan dalam memanfaatkan dan melindungi sistem penyangga kehidupan serta pengawetan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Selain itu, pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan partisipasi, kemitraan dan kemandirian terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan jaminan

Seminar Nasional : Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan

terciptanya kelestarian lingkungan, hutan dan kawasan konservasi. Masyarakat yang berada di sekitar hutan akan menjadi kekuatan besar dalam menjaga kelestarian hutan, jika yang menghambat peningkatan kesejahteraan dapat diatasi dengan baik, tepat dan sesuai dengan kebutuhan. John MacKinon, dkk. (1993), mengungkapkan bahwa keberadaan atau kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan akan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan kawasan yang dilindungi. Jika kawasan yang dilindungi sebagai penghalang, maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestariannya. Sebaliknya bila kawasan pelestarian dianggap sebagai sesuatu yang positip manfaatnya, maka penduduk sendiri akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan. Dengan demikian diperlukan pendekatan yang khas pada masing-masing kawasan konservasi dalam menjalin hubungan partisipatif sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan. Terdapat beberapa strategi yang harus ditempuh dalam upaya pemberdayaan masyarkat yaitu : (1) Pengembangan aspirasi dan partisipasi masyarakat, (2) pengembangan kelembagaan masyarakat, (3) pengembangan usaha ekonomi rakyat, (4) pendekatan lintas sektoral, (5) menerapkan teknologi ramah lingkungan (Perlidungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004). Bentuk pemberdayaan masyarakat yang didapat dari hasil penelitian di Desa Cihanyawar berbasiskan pengelolaan lahan dan pengembangan usaha ekonomi masyarakat melalui ternak domba. Lahan di sekitar kawasan TNGGP, merupakan areal yang cukup potensial sebagai pelindung atau penyangga kelestarian biodiversitas dan ekosistem kawasan hutan konservasi. Karena itu pembangunan di sekitar kawasan diharapkan mempunyai hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Masyarakat di desa Cihanyawar, mengembangkan lahannya sebagai sumber ekonomi dengan sistem wanatan atau tumpangsari (agroforestry) merupakan penanaman campuran antara tanaman pohon penghasil kayu atau buah dengan tanaman semusim. Penanaman dengan sistem tumpangsari di sekitar kawasan konservasi diperoleh keuntungan yaitu : (1) keanekaragaman jenis (species diversity) sebagai sumber plasma nutfah untuk mendukung kawasan konservasi, (2) keamanan pendapatan (income security), (3) frekuensi pendapatan (income frequency), (4) kemungkinan keberlanjutan hasil (product sustainability). Yang dimaksud dengan keragaman jenis yaitu banyaknnya jenis tanaman yang ditanam, dengan tujuan untuk menyiapkan bila terjadi kegagalan tanaman yang satu maka dapat dihasilkan dari tanaman yang lain. Keamanan pendapatan adalah jaminan atau peluang bahwa hasil panen yang diperoleh dapat secara mudah di jual dan mempunyai nilai jual tinggi. Frekuensi pendapatan, menunjukkan pendapatan yang diperoleh dapat berupa harian, mingguan, bulanan dan tahunan. Keberlanjutan adalah lamanya pola agroforestry berlanjut dan terpenuhinya kebutuhan pangan secara berkesinambungan Untuk mengetahui jenis tanaman yang dikembangkan responden di sekitar TGGP dapat di lihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Jenis tanaman yang dikembangkan responden dalam sistem agroforestry di sekitar kawasan TNGGP Jenis tanaman Jarak tanam (m) A. Pohon penghasil kayu Damar (Agathis damara) 5x5 Sengon (Paraserianthes falcataria) 2x2 Mahoni (Swietenia macrophylla) 4x4 Suren (Toona sureni) 2x3 B. Pohon penghasil buah Mangga (Mangifera indica) Petei (Parkia speciosa) Apokat (Persea americana ) Kelapa (Cocos nucifera) Durian (Durio zibethinus) Nangka (Artocarphus integra) Pisang (Musa paradisiaca) Rambutan (Nephelium lapaceum)

6x6 5x5 5x5 10 x 10 10 x 10 6x6 4 x5 5 x5 5

Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011

Jengkol (Archidendron jiringa) Manggis (Garcinia mangostana)

10 x 10 6x6

C. Semusim padi (Oryza sativa) Jagung (Zea mays) Terong (Solanum melongena) Kacang panjang (Vigna cylindrica) Buncis (Phaseolus vulgaris) Singkong (Manihot esculenta)

0, 25 x 0,25 0,5 x 0,5 0,5 x 0,5 0,5 x 1,0 1,0 x 1,0 1,0 x 1,0

Sumber: data primer yang diolah

Rata-rata pendapatan petani dari usahatani wanatani sebesar Rp 9.212.500,-/ha/tahun. Bentuk pemberdayaan yang lain di sekitar TNGGP di desa Cihanyawar adalah pengembangan usaha ekonomi masyarakat melalui pemberian ternak domba dengan sistem bergulir. Peserta awal sebanyak 10 kepala keluarga (KK) masing-masing KK menerima 2 ekor domba. Anak domba yang dihasilkan berumur 6 bulan didistribusikan/digulirkan kepada anggota masyarakat lainnya. Kini responden mempunyai domba sekitar 3 – 15 ekor per KK . Usaha ekonomi ternak domba disamping dapat menciptakan lapangan kerja dan usaha baru di luar kawasan, juga dapat menambah pendapatan bagi masyarakat sekitar TNGGP. Seperti halnya yang dilakukan oleh TNGGP, bentuk pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi, juga telah dikembangkan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) melalui Model Desa Konservasi (MDK) di Kampung Cimapag, Desa Sirnaresmi,Kabupaten Sukabumi. Sesungguhnya pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi sudah dilakukan sejak tahun 1993 oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan Taman Nasional (TN) melalui pengembangan daerah penyangga. Karena hasilnya belum maksimal, maka sejak tahun 2006 pola pemberdayaan masyarakat tersebut diubah melalui Model Desa Konservasi (MDK). Pembangunan MDK merupakan pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar dan di dalam kawasan konservasi yang mempunyai fungsi ekologis, ekonomis, sosial dan budaya. Dalam pelaksanaan pemberdayaan, dilakukan secara terintegrasi dengan pengelolaan kawasan konservasi. Aditya dkk., (2007) mengemukakan bahwa dalam pembangunan MDK terdapat 3 kegiatan pokok yaitu (1) pemberdayaan masyarakat, (2) penataan ruang/wilayah pedesaan berbasis konservasi dan (3) pengembangan ekonomi pedesaan berbasis konservasi. Masyarakat Kampung Cimapag melalui sitem wanatani dapat merehabilitasi kawasan seluas 49,5 ha dengan jumlah tanama sebanyak 19.817 pohon yang terdiri dari jenis rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii), huru (Litsea javanica) dan beberapa jenis pohon serbaguna (Multi Purpose Tree Species) serta pakan ternak. Dalam kegiatan ini pihak Taman Nasional memberi bantuan bibit tanaman, pelatihan budidaya tanaan obat-oabatan (kapulaga, kedawung, dll), serta berupaya mencarikan pasarnya, meskipun masyarakat lebih banyak menanam dengan bibit swadaya karena sejak lama masyarakat sudah menanamnya . Model Kampung Konservasi dapat mengurangi aktivitas masyarakat menebang pohon untuk kayu bakar di kawasan TNGHS. PENUTUP Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi dapat meningkat, menciptakan berbagai aktivitas masyarakat untuk menambah pendapatan, melalui pengelolaan lahan dengan teknologi yang sesuai. Dengan pemberdayaan masyarakat melalui Masyarakat Kampung Konservasi, pengetahuan dan ketrampilan masyarakat dapat meningkat. Selanutnya masyarakat diharapkan dapat bersikap positif dan mendukung pengelolaan kawasan konservasi, kesehatan masyarakat dapat meningkat karena kondisi lingkungan pedesaan yang sehat dan diharapkan ketergantungan masyarakat terhadap kawasan berkurang. Pengelolaan lahan dengan system wanatani (agroforestry) merupakan sistem penggunaan lahan yang dapat mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan serta terwujudnya ekonomi masyarakat yang berbasis konservasi SDA.

Seminar Nasional : Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan

DAFTAR PUSTAKA Aditya H dan E Rachman. 2007. Tingkat Keberhasilan Restorasi Di Pondok Ijuk Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Volume IV(6). Badan Penelitian kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Badan Planologi Departemen Kehutanan. 2006. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2006. BPS. Departemen kehutanan. Jakarta. Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2009. ”Profil” Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Cipanas. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. 2008. Information of Conservation Areas in Indonesia. Direktorat Jenderal perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Jakarta. John, MacKinnon, Graham Child, Jim Thorsell. 1993. Pengelolaan Kawasan Yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. 2010. Rencana Strategis 2010-2014. Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta. _______. 1990. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta Gunawan W. 2009. Penetapan Kriteria dan Prioitas Kegiatan Restorasi Kawasan Hutan Konservasi. [Disertasi yang tidak dipublikasikan Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor]

7 Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011