PEMIKIRAN DAN KONTRIBUSI TOKOH EKONOMI ISLAM KLASIK DAN

Download PEMIKIRAN DAN KONTRIBUSI TOKOH EKONOMI ISLAM. KLASIK DAN KONTEMPORER. Ahmad Maulidizen. Ph.D Candidate, Departement of Syariah and Econom...

0 downloads 390 Views 570KB Size
PEMIKIRAN DAN KONTRIBUSI TOKOH EKONOMI ISLAM KLASIK DAN KONTEMPORER Ahmad Maulidizen Ph.D Candidate, Departement of Syariah and Economics Academy of Islamic Studies, University of Malaya. Kuala Lumpur Email: [email protected] Abstract: Islamic economics is a science that combines economics with the principle of Sharia. The development of Islamic economic thought has begun from the time of the Prophet Muhammad. In writing this article aims to find out the economic scholars of Islam and their contribution in its development. The author distributes Islamic economic scholars in two categories Classical and Contemporary. In the classical Islamic economic scholars include; Zayd ibn ‘Alī, Abū Ḥanīfa, Abū Yūsuf, al-Ghazālī, Ibn Taimiyah, Ibn Khladun, Ibn Qayyim, Shah Wali Allāh al-Naḍwī, Muhammad Abduh and Muhammad Iqbal. When Contemporary Islamic economic scholars are distributed in 3 categories, Iqtiṣādunā (Baqir al-Sadr), Mainstream (Muhammad Abdul Mannan, Nejatullah Siddiqi, Syed Nawab Heider Naqvi and Monzer Kahf), and Alternative (Timur Kuran). Keyword: Islamic Economic Thought, Classical, Contemporary Abstrak: Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan yang menggabungkan antara ilmu ekonomi dengan prinsip ajaran Syariah. Perkembangan pemikiran dan ilmu ekonomi Islam sudah bermula dari zaman Rasulullah SAW, Sahabat sampai saat ini. Dalam penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui tokoh ekonomi Islam dan kontribusi mereka dalam pengembangannya. Penulis membagikan tokoh ekonomi Islam dalam dua kategori Klasik dan Kontemporer. Dalam tokoh ekonomi Islam Klasik, yaitu Zaid bin ʻAlī, Abū Ḥanīfah, Abū Yūsuf, al-Ghazālī, Ibn Taimiyah, Ibn Khladun dan Ibn Qayyim, Shah Wali Allāh al-Naḍwī, Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal. Manakala kategori tokoh ekonomi Islam Kontemporer dibagikan dalam 3 Kategori, Aliran Iqtisaduna (Baqir al-Sadr), Aliran Mainstream ( Muhammad Abdul Mannan, Nejatullah Siddiqi, Syed Nawab Heider Naqvi dan Monzer Kahf), dan aliran Alternatif (Timur Kuran). Kata Kunci: Pemikiran dan kontribusi, Tokoh Ekonomi Islam, Klasik dan Kontemporer

Pendahuluan Ekonomi Islam merupakan hasil pemikiran para Muslim yang sumber kepada nilai-nilai Islam yaitu al-Qur‟an dan al-Hadith. Ekonomi Islam juga merupakan sebuah sistem ekonomi yang menjelaskan segala fenomena tentang prilaku, pilihan dan pengambilan keputusan dalam setiap unit kegiatan atau aktivitas ekonomi dengan mendasarkan pada aturan moral dan etika Islam. Tujuan akhir ekonomi Islam adalah sebagaimana tujuan dari maqāṣid shāriah, yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

42

akhirat (falāḥ) melalui tata kehidupan yang baik dan terhormat. Pada asasnya pemikiran ekonomi Islam adalah untuk merumuskan sebuah konsep penawaran dan permintaan, mekanisme, regulasi pasar, penetapan harga yang adil, pemerataan kekayaan yang maksimum, dan tentunya pelarangan riba, gharar, dan maisir demi terciptanya keadilan yang merata di segala sektor.1 Untuk keberhasilan ekonomi Islam, diperlukan kepada kita mengenal pasti ilmu ini. Salah satu cara adalah dengan mengetahui tokoh-tokoh klasik ataupun kontemporer yang memberikan pemikiran mereka terhadap perkembangan ilmu ekonomi Islam. Dalam pembagian tokoh, penulis mengkalisifikasikan tokoh ekonomi Islam kepada dua kategori, 1) Masa Klasik dan 2) Masa Modern (kontemporer).2 TOKOH EKONOMI ISLAM KLASIK 1.

Zaid Bin ʻAlī( 10-80 H/699-738 M) Zaid Bin ʻAlī memiliki pandangan bahwa uang akan menghasilkan sesuatu

melalui perniagaan. Oleh sebab itu pandangannya terhadap transaksi jual beli secara kredit dengan harga lebih tinggi adalah sah karena yang terpenting adalah terwujudnya saling riḍā diantara kedua belah pihak.3 Ia hanya menganggap bahwa keuntungan dari penjualan secara beransur merupakan murni bagian dari perniagaan dan tidak termasuk ribā dan merupakan jawaban dari permintaan pasar.4 Abū Zahrā5 1

Ajaran Al-qur‟an yang bersifat global ini selari dengan fitrah manusia yang bersifat dinamis mengikuti perubahan zaman. Apabila majoriti ayat-ayat ahkam Al-qur‟an bersifat absolut dan terperinci, manusia nescaya menjadi terikat yang pada akhirnya akan menghambat perkembangan masyarakat. Inilah letak hikmah dari keumuman ayat-ayat tersebut. Lihat Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), 29. Lihat juga Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2004), 5; J. Michael Taylor, “Islamic Banking The Feasibility of Establishing an Islamic Bank In The United State”, American Business Law Journal, 40 Am. Bus. L. J. 385 (Winter 2003), 387. 2 Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam:Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan Pasar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2013), 5; Muhammad Ghafur, Pemikiran Tokoh Ekonomi islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 37 3 Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Cet. Ke-3 (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 231-253; M. Nejatullah Siddiqi, Islamic Economic Thought: Recent Works on History of Economic Thought in Islam, a Survey, Reading in Islamic Thought (Malaysia: Longman, 199), 3 4 Ibid

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

43

menyatakan bahwa keputusan Ẓaid Bin ʻAli adalah sah. Karena ia memisahkan antara harga dan jangka waktu, apabila masa yang diambil lebih panjang maka harga akan lebih tinggi.6 Hal ini menjadi dasar penerapan konsep jual beli kredit dalam memenuhi keperluan bagi seluruh masyarakat. Asas penetapan akad harus diambil dari ayat al-Qur‟ān dan al-Ḥadīth sebagai asas utama. Tetapi pada aktivitas ekonomi merujuk kepada dasar keadilan dan keseimbangan dalam memutuskan segala perkara.7 2. Abū Ḥanīfah (80-150 H /699 -767 M) Selain dikenal sebagai seorang imam mazhab Ḥanafī, Abū Hanīfah merupakan pakar yang telah memberikan pemikiran dalam perkembangan ekonomi Islam. Salah satu pemikirannya adalah tentang salam, yaitu bentuk transaksi dimana pihak penjual dan pembeli setuju bila barang akan dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati.8 Abū Ḥanīfah juga memberikan perbaikan atas konsep salam karena sering terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli. Beliau mencoba menghilangkan pertikaian dengan memberikan penjelasan mengenai kontrak ini, seperti menjelaskan jenis komoditi, kualiti, kuantiti, waktu dan tempat pengiriman, dan dia juga mewajibkan untuk memenuhi persyaratan bahwa komoditi harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan pengiriman.9 Siddiqi10 menambahkan hasil pemikiran Abū Ḥanīfah yaitu murābaḥah (penjualan dengan margin dari harga beli yang disepakati dengan beberapa tambahan demi menciptakan keadilan. Pemikiran Abu Hanifah terhadap zakat membawa 5

Muhammad Abu Zahra, al-Imam Zaid (Cairo, Dar al Fikr al „arabi, 539 H). Adiwarman Karim, Op.cit. 231-253 7 Siddiqi, Op. cit ,5. 8 Salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran dilakukan di muka, dengan syarat-syarat tertentu. Lihat Muhammad Sholahuddin, Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan dan Bisnis Syariah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 158; Mardani, Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah (Jakarta: Rajawali Pres, 2011), 130; Adiwarman Karim, Op.cit. 13-14; Siddiqi, Op. cit ,5; Sucipto Hery. Ensiklopedi Tokoh Islam (Dari Abu Bakar sampai Nashr dan Qardawi) (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2003), 31; Abu Zahra, Muhammad, Abu Hanifa, Cairo (Dar al Fikr al‟Arabi,1977) , 412. 9 Sucipto Hery, Op.cit, 34 10 Siddiqi, Op. cit ,5. 6

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

44

konsep yang masih digunakan sehingga saat ini, yaitu mewajibkan zakat pada perhiasan emas dan perak. Orang yang berhutang tidak diwajibkan membayar zakat jika hutangnya lebih banyak daripada harta yang dimiliki.11 Dalam kerjasama hasil pertanian (Muzāraʻah), kebijakan Abū Ḥanīfah meninggikan nilai kemanusiaan dengan melindungi pekerja lemah,12 apabila tanah tidak dapat menghasilkan apapun maka petani dibebaskan dari pembagian kerugian. Dalam isu wakaf, Abu Hanifah berpendapat bahwa benda wakaf masih tetap milik wāqif. Wakaf dan pinjam meminjam memiliki kedudukan yang sama, jadi benda wakaf dapat dijual, diwariskan dan di hadiahkan kepada pihak lain, kecuali wakaf untuk masjid dan wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat dan wakaf yang di ikrarkan.13 3.

Abū Yūsuf (113-182 H/ 802-881 M) Pemikiran Abū Yūsuf lebih menekankan tentang perpajakan dan tanggung

jawab negara. Pemikirannya tertulis dalam buku al-Kharāj yang ditulis pada masa Khalifah Harun al-Rashīd dan kitab ini dijadikan rujukan oleh para pakar ekonomi Islam Modern kemudian di apikasikan. Pemikiran Abū Yūsuf dalam al-Kharāj, antara lain: (1) Segala aktivitas ekonomi, sarana serta kemudahan yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah, namun jika manfaat dari segala sarana dan kemudahan itu hanya dapat dirasakan oleh pihak tertentu, maka orang tersebut dapat dikenakan biaya. Kemudian, demi terciptanya kesejahteraan masyarakat, negara berhak untuk membebankan pajak fa‘i ushur, jizyah dan lain-lain sebagai pendapatan negara. (2) Perpajakan, Abū Yūsuf mengganti praktik misāḥah (fixed tax) dengan muqāsamah (proportional tax), dikarenakan hal tersebut akan menindas dan mendzalimi rakyat miskin, dan menentang sistem

11

Ibid. 5. Muhammad Yusuf Musa, Abu Hanifa wa’l Qiyam a1-Insaniyah fi madhhabih (Cairo, Maktabah Nahgah, Misr, 1957), 182. 13 Tariq Suwaidan , Biografi Imam Abu Hanifah (Jakarta: Zaman, 2003). 12

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

45

Qābalah14, (3) Dalam mekanisme harga, ia melarang penguasa menentukan harga suatu barang, karena menurutnya keadilan hanya terjadi jika harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar saja.15 Penjelesan Abū Yūsuf dalam mekanisme pasar dan nasihat kepada pemerintah tidak disertakan dengan pembahasan yang terperinci. Sejauh ini pemikiran Abū Yūsuf dijadikan rujukan dalam menerapkan konsep perpajakan di beberapa negara dunia. Ia telah menawarkan konsep maslahah yang shumul untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan.16 4. Al-Ghazālī (451-505 H/ 1055- 1111 M ) Wawasan dan pengetahuan Al-Ghazālī sangatlah luas, terutama tentang evolusi pasar, peranan uang dan penentuan kebijakan. Perhatian Al-Ghazālī tertumpu kepada perilaku individu yang dibahas secara rinci berdasarkaan al-Qur‟ān, al-Ḥadīth dan Ijma„. Ia memiliki padangan bahwa setiap manusia harus memenuhi keperluan hidupnya dan melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah. Al-Ghazālī memberikan peringatan bahwa pemimpin harus menjamin kesejahteraan kehidupan rakyatnya. Prinsip keadilan, apabila ada rakyat yang tidak mampu dalam membiayai kehidupannya, maka seluruh rakyat berkecukupan harus membantu meringankan bebannya. Pandangan Al-Ghazālī terhadap pajak, menginspirasi dalam penentuan monetary policy pada masa modern.17 Al-Ghazālī tentang pertukaran barang (barter), tidak efisien sistem barter dan kepentingan dan fungsi uang.18 Rafiq al-Mișrī19 memberikan satu tanggapan pada fungsi uang pada pemikiran Al-Ghazālī ialah sebagai dasar nilai, media pertukaran, dan nilai simpanan. Uang tidak boleh menjadi bahan pertukaran dengan wang itu 14

yaitu sistem pembayaran pajak dengan cara adanya penjamin melihat kepada keahlian yang

dimiliki 15

Adiwarman Karim, Op.cit. 231-253. Nejatullah Siddiqi, Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf (Jeddah, Majallah Abhath al –Iqtisad al Islami), 67-68 17 Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-din, juz 2 (Beirut: Dar Al-nadwah), 109; Adiwarman, Op.cit, 19. 18 Siddiqi, Op.cit, 20 19 Rafiq al- Misri, al- Islam wa’l Nuqud (International Centre for Research in Islamic Economics, Jeddah, 1981), 40-46. 16

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

46

sendiri, kecuali dengan membelanjakan dengan barang yang kemudian barang tersebut dijual kembali dengan margin yang disepakati. 5.

Ibn Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M) Ibn Taimiyah menjelaskan 3 teori keadilan dalam aktivitas ekonomi, yaitu

upah yang adil, keuntungan yang adil, dan harga yang adil. Konsep harga yang adil (justice price) yaitu tarif dimana orang menjual barangnya dengan secara umum dan diterima sebagai keseimbangan pada masa dan tempat yang khusus. Ibn Taimiyah memberikan teori yang masih digunakan dalam ekonomi modern yaitu konsep mekanisme pasar. Perubahan tingkat harga tidak selalu disebabkan oleh pelaku pasar, namun faktor kurangnya produksi atau turunnya jumlah impor barang. 20 Ibn Taimiyyah mennyatakan bahwa kenaikan permintaan barang yang tidak diikuti dengan kenaikan penawaran atau produksi barang akan mendorong kenaikan harga barang.21 Dalam menegakkan keadilan dan memenuhi seluruh kebutuhan dasar, penetapan harga harus menyertakan pemerintah ketika terjadi kekurangan kebutuhan dasar diantara masyarakat sehingga tidak terjadi monopoli harga dan barang. Kelangkaan barang juga persoalan ekonomi di masyarakat dan memerlukan kepada kebijakan ekonomi dari pemerintah. Islahi22 juga menyatakan konsep Ibn Taimiyah tentang penetepan upah ini bertujuan untuk menghindari tindakan eksploitasi dari pihak penguasa terhadap pihak pekerja. Pernyataan ini menunjukkan teori penawaran dan permintaan tenaga kerja sehingga mempengaruhi kadar upah. Teori upah yang adil ini kemudian diadopsi oleh David Ricardo empat abad kemudian.

20

Adiwarman karim, Op.cit, 19 Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam : Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan Pasar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 158; Siddiqi, Islam Ka Nazriya-Milkiyat, Islam‟s Theory of Property (Lahore,Islamic pUblication 1968); Monzer Kahf, The Economic Views of Ibn Taimeyah; Mubarak Muhammad, Nizam al-Islam al-Iqtisad, mabadi wa qawa’id ‘amma (Beirut Dar alfikr,1972), 62 22 A.A. Islahi , Economic Concept of Ibn Taimiyah (London : Leicester, 1988), 225 21

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

47

6.

Ibn Khaldun (732-845 H/ 1332-1406 M) Pemikiran ekonomi Ibn Khaldun telah mendahului pemikiran ekonom barat.

Ibn Taimiyah memiliki pengetahuan yang luas sehingga mampu menulis pemikiran ekonomi dalam perspektif yang komprehensif. Ibn Khaldun mempunyai pandangan yang jelas tentang hubungan faktor-faktor dinamika sosial, moral, ekonomi dan politik yang berbeda, namun saling berkaitan satu sama lain dan berperan terhadap kemajuan masyarakat.23 Kitab Muqaddimah berisi pembahasan mengenai prinsip ekonomi. Tidaklah diragukan bahwa Muqaddimah merupakan hasil pemikiran Ibn Khaldun tentang pemikiran-pemikiran ekonomi. Pengetahuan Ibn Khaldun tentang prinsip-prinsip ekonomi sangat dalam, dan jauh ke depan. Bahkan banyak pemikirannya yang masih relevan dan menjadi dasar bagi pakar ekonomi Islam modern.24 Dalam analisisnya, Ibn Khaldun membagi fenomena harga berdasarkan jenis barang,yaitu: (1) barang kebutuhan dasar dan (2) barang pelengkap. Menurutnya, apabila suatu pasar berkembang dan selanjutnya populasi bertambah (menjadi pasar besar), maka pengadaan barang-barang kebutuhan dasar akan mendapatkan keutamaan.25 Hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Dari diagram di atas menerangkan bahwa: supply bahan pokok penduduk pusat kota (QS2) jauh lebih besar dan pada supply bahan dasar penduduk kota kecil (QS1). Dimana menurut Ibn Khaldun, penduduk pasar besar memiliki supply bahan pokok yang melebihi keperluannya sehingga harga bahan pokok di pasar besar relatif 23

HendriAnto, Pengantar Ekonomi Mikro Islami (Yogyakarta,Ekonisia), 77-78 Umar Chapra, The Future of Islamic Economic; An Islamic Prespective, 173 25 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Terj. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 421-423. 24

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

48

lebih murah (P2). Sementara itu, supply bahan pokok di pasar kecil relatif kecil, karena itu orang akan lebih khawatir kehabisan makanan sehingga harganya relatif lebih

mahal

(P1).

Kesimpulan

adaalah

terjadinya

proses

peningkatan

disposableincome.26 Dari penduduk kota naiknya disposable income dapat meningkatkan marginal propensity to consume terhadap barang-barang mewah dari penduduk kota tersebut. Konsep pemahaman ekonomi Ibn Khaldun telah digunakan oleh ekonom barat, dan dijadikan sebagai dasar atau konsep dalam ekonomi konvensional.27 7.

Ibn Qayyim (691-751 H/ 1291-1350 M) Pemikiran Ibn Qayyim dipengaruh oleh Ibn Taimiyah yang menjadi gurunya

selama 16 tahun. Ibn Qayyim memberikan perhatian kepada kajian zakat. Ibn Qayyim menekankan

prinsip

keadilan

dalam

besaran

zakat

(nisab).

Ibn

Qayyim

memperkenalkan konsep penetapan besaran zakat disesuaikan dengan keterlibatan tenaga kerja dalam suatu aktivitas produksi, dimana semakin banyak tenaga kerja yang terlibat pada suatu proses produksi maka semakin kecil besaran zakatnya. Harta temuan dikenakan zakat yang tinggi (20%) karena tidak banyak pekerja yang dilibatkan, sedangkan hasil panen dikenakan zakat 10% bagi ladang yang menampung air hujan, karena manusia tidak banyak melakukan upaya untuk menggarapnya. Kadar zakat itu boleh turun menjadi 5% dan 2,5% jika tenaga kerja yang dilibatkan lebih banyak.28 Pemikiran ekonomi Ibn Qayyim lainnya adalah mengenai mekanisme pasar, fungsi uang dan konsep keadaan ekonomi. Dalam mekanisme pasar, Ibn Qayyim berpendapat harga ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Namun ia juga tak menafikan peran pemerintah untuk ikut mengatur pasar jika terjadi ketidak adilan dalam transaksi ekonomi dipasar. Pemikiran Ibn Qayyim tentang fungsi uang, adalah fungsi utama uang sebagai alat 26

AdiwarmanKarim, Ekonomi Mikro Islami, Edisi Kedua (Jakarta: IIIT, 2003), 231. Umar Chapra,Op.cit. 175. 28 Karnaen A Perwata atmadja dan Anis Byarwati, Jejak Rekam Ekonom iIslami (Jakarta: Cicero Publishing, 2008), 148. 27

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

49

tukar dan alat ukur nilai. Pandangan ini didasarkan kepada hasil pengamatan yang dimulai ketika masyarakat mulai meminta uang untuk memenuhi kebutuhan pokok.29 Menurut Nor Chamidi30 menambakan mengenai konsep kaya dan miskin, Ibn Qayyim menegaskan, kaya itu lebih baik dibanding miskin karena seseorang dalam keadaan kaya akan dapat menjalankan ibadah dengan lebih baik daripada seseorang dalam keadaan miskin. Dengan memiliki kekayaan seseorang akan mampu bersedekah lebih banyak, membangun masjid, berhaji, dan lain-lain. Ibn Qayyim juga memaparkan pendapat mengenai ribā dan membaginya menjadi dua jenis yaitu ribā al-jāli dan ribā al-khāfī, Ribā al-jālī terjadi jika pemberi pinjaman mengenakan tambahan biaya atau bunga atas pinjamannya, sementara ribā al-khāfī merupakan riba yang samar yang seterusnya dibahagi menjadi ribā al-faḍl (mengenakan jumlah tambahan saat menukar barang yang sama) dan ribā al-nasi’ah (mengenakan jumlah tambahan ketika pembayaran dilakukan dengan tempoh). 8. Shah Wali Allāh Al-Ḍaḥlawi (1114-1176 H/1703-1763 M) Shah Wali Allāh menjelaskan banyak hal yang berkaitan ekonomi Islam. Shah Wali Allāh membahas ekonomi Islam secara umum, tetapi tanggapannya terhadap kesejahteraan ekonomi untuk kehidupan sangat bermanfaat. Shah Wali Allāh membahas keperluan asas manusia, kepemilikan, sarana produksi, kepentingan untuk bekerjasama dalam proses produksi dan berbagai bentuk distribusi dan konsumsi. Shah Wali Allāh juga mengkaji bagaimana israf menyebabkan peradaban menjadi menurun, ia berusaha menghapuskan praktik monopoli dan penentuan keuntungan secara israf yang disampaikan membuat investasi lebih produktif. Shah Wali Allāh meletakkan kejujuran dan keadilan dalam bertransaksi sebagai syarat penting untuk menciptakan kemajuan dan kesejahteraan. Beberapa komentar Shah Wali Allāh tentang kelemahan sistem barter kurang tepat apabila diaplikasikan dalam ekonomi modern dan sistem bunga (interest) yang merusak (bahkan menurutnya dengan 29

Ibid Nor Chamidi, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogjakarta 2010)

30

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

50

adanya bunga, manusia cenderung menyembah uang) telah membawa perubahan yang lebih maju. Shah Wali Allāh juga membahas perlunya pembagian dan spesialisasi kerja, serta keuntungan dari penggunaaan uang sebagai alat tukar dalam praktik ekonomi modern. Kajiannya mengenai faktor-faktor menurunnya pendapatan adalah karena faktor perbelanjaan pada produk yang kurang produktif dan peningkatan beban pajak atas orang-orang yang lemah.31 Pada akhirnya, Shah Wali Allāh menyatakan kerjasama telah membentuk dasar hubungan ekonomi yang manusiawi dan Islami. Kesimpulan dari hasil pemikiran beliau adalah kejujuran moral sangat diperlukan untuk membuat tatanan sosial ekonomi yang stabil dan seimbang. 9.

Muhammad Abduh (1266-1323 H/1849-1905 M)32 Muhammad

Abduh

menyatakan

demi

kemaslahatan

umum,

Islam

mewajibkan pemerintah untuk berperan dalam urusan ekonomi. Peranan yang diharapkan antara lain; mendirikan pabrik-pabrik untuk meningkatkan produksi, membuat lahan kerja baru, menentukan harga barang pokok dan menentukan kebijakan ekonomi. Muhammad Abduh mengartikan perilaku zalim sebenarnya adalah perilaku zalim dalam ekonomi. Sebagai contoh, kikir yang kufur nikmat ialah orang kaya yang mencintai hartanya sehingga mereka tidak mau mengeluarkan harta demi kemaslahatan umum. Muhammad Abduh mengingatkan akan bahaya dari perilaku pemilik modal (kapitalis) yang cenderung ingin mendapatkan keuntungan dengan cara eksploitasi keperluan orang lain dan menimbulkan ribā. Muhammad Abduh setuju bahwa kemiskinan seseorang itu memang sudah menjadi sunnatullah dalam masyarakat. Artinya, kemiskinan itu disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah karena faktor tidak mampu bekerja, gagal berusaha, pengangguran, malas, dan rendahnya pendidikan. Ia mengatakan, “jika kemiskinan seseorang memang sudah menjadi sunnatullah, maka mengatasi kemiskinan itu pun juga harus 31 32

Nor Chamidi, Op.Cit. 37 Adiwarman Azwar Karim, Op.cit.

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

51

dengan sunnatullah, begitu juga halnya dengan kekayaan seseorang.” Begitu juga jika seseorang ingin memperoleh kekayaan, maka ia harus berusaha dan bekerja untuk memperolehnya. 10. Muhammad Iqbal (1289-1357 H/1873-1938 M)33 Muhammad Iqbal memiliki pemikiran ekonomi Islam lebih kepada konsepkonsep umum. Ia melihat kelemahanan dari sistem kapitalis dan komunis. Dan ia mengambil sikap yang lebih baik dengan bersumber kepada al-Quran dan al-Hadith. Menurutnya, semangat Kapitalis, yaitu memupuk modal sebagai nilai dasar sistem ini dan bertentangan dengan semangat Islam. Demikian juga, semangat komunis banyak melakukan pemaksaan kepada masyarakat dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Iqbal memperhatikan terhadap petani, buruh dan masyarakat lemah lainnya. Ia menganggap semangat kapitalis yang selalu mengeksploitasi menjadi asing bagi Islam. Ia menganggap bahawa pembentukan keadilan sosial merupakan salah satu bagian dari tugas pemerintahan Islam, dan memandang zakat sebagai potensi yang efektif untuk menciptakan masyarakat yang adil. TOKOH EKONOMI ISLAM KONTEMPORER 1. Aliran Iqtiṣādunā Pola utama aliran ini adalah pemikiran tentang pemecahan masalah ekonomi yang muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai pengaruh dari ekonomi kapitalis yang menguntungkan pihak yang kuat dan kaya. Pemahaman ekonomi iqtisaduna beranggapan bahwa puncak permasalahan ekonomi adalah bukan karena sumber daya yang tidak terbatas, tetapi karena ketamakan manusia yang tidak terbatas. Faham mazhab ekonomi ini menganggap bahwa segala sumber daya alam adalah tidak terbatas. Aliran ini dipelopori oleh Baqir Sadr. Pemikiran Baqir al-Sadr menyatakan Islam tidak mengurusi hukum permintaan dan penawaran, hubungan antara keuntungan dan bunga, juga fenomena 33

Ibid

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

52

diminishing return dalam produksi. Ekonomi Islam adalah doktrin karena ia membincangkan semua aturan dasar dalam kehidupan ekonomi dihubungkan dengan ideologi mengenai keadilan sosial. Menurut Baqir al-Sadr, sistem ekonomi Islam berhubungan dengan kenyataan dan apa yang seharusnya berasas pada kepercayaan, hukum, konsep dan definisi Islam yang diambil dari sumber al-Qur‟an dan al-Hadith. Di dalam doktrin ekonominya, keadilan menempati posisi utama. Keadilan merupakan penilaian moral dan tidak dapat diuji. Sebaliknya keadilan sosial merupakan dasar pengukuran untuk melihat teori, aktivitias dan produksi ekonomi. Baqir al-Sadr menilai sistem ekonomi Islam bagian dari sistem Islam secara keseluruhan dan harus dipelajari sebagai keseluruhan disiplin ilmu. Baqir al-Sadr mensarankan agar orang-orang memahami dan mempelajari pandangan dunia Islam lebih dahulu jika ingin mendapatkan hasil yang memuaskan dalam menganalisis sistem ekonomi Islam. Di dalam pendekatan yang bersifat holistic inilah Baqir al-Sadr membahas doktrin ekonomi. Manusia mempunyai dua kepentingan yang saling bertentangan secara potensial, yaitu kepentingan pribadi dan sosial. Baqir al-Sadr melihat bahwa solusinya ada pada agama, dan inilah peran yang dimainkan oleh agama dalam sistem ekonomi Islam. Distribusi pendapatan adalah suatu proses pembagian (sebagian hasil penjualan produk total) kepada faktor-faktor yang ikut menentukan pendapatan. Faktor-faktor tersebut diantaranya faktor tenaga kerja, tanah, modal, dan manajemen. Besaran distribusi pendapatan ditentukan oleh tingkat peranan masing-masing faktor produksi. Baqir al-Sadr membagikan distribusi menjadi dua bagian, yakni distribusi sebelum produksi (pre-production distribution) dan sesudah produksi (postproduction distribution). Penjelasan Baqir al-Sadr mengenai hal ini didasarkan kepada hukum yang berhubungan dengan kepemilikan dan distributiverights.34 Pemikiran ekonomi Islam Baqir Al-Sadr adalah sebagai berikut:

34

Mohamed Aslam Haneef, Op.cit, 89

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

53

A. Hubungan Kepemilikan Tipe Tanah yang di garap

Tanah Mati

Tanah yang digarap secara alami (Hutan)

Jenis Tanah Tanah taklukan

Milik umum (public) : penduduk membayar cukai untuk digunakan bagi kepentingan masyarakat

Milik Negara; individu dapat memperoleh hak pakai dengan bekerja, cukai dibayar kepada Negara

Milik Negara, individu dapat memperoleh hak pakai

Tanah dakwaan

Kepentingan swasta oleh penduduk

Milik Negara, individu dapat memperoleh hak pakai

Milik Negara, individu dapat memperoleh hak pakai

Tanah Perjanjian

Tergantung perjanjian : kepemilikan swasta atau public

Milik Negara

Milik Negara

Tanah lain

Milik Negara

Milik Negara

Milik Negara

Kepemilikan swasta atau pribadi hanya terbatas pada hak memakai, prioritas untuk menggunakan dan hak untuk melarang orang lain dalam menggunakan sesuatu yang menjadi miliknya. Perbedaan antara kepemilikan oleh publik dan negara terletak pada cara penggunaan barang yang bersangkutan. Jika kepemilikan harus digunakan untuk kepentingan seluruh anggota masyarakat (rumah sakit, sekolah dan sebagainya) maka kepemilikan oleh Negara. B. Pelarangan riba dan pelaksanaan zakat, Baqir al-Sadr tidak membahas mengenai riba lebih terpeinci, namun ia hanya sebatas memberikan pembahasan mengenai riba ialah bunga dan modal uang, sedangkan untuk zakat, Baqir al-Sadr memandangnya sebagai kewajiban Negara dan kemudian dibelanjakan untunk

mengurangi

kemiskinan dan untuk menciptakan

keseimbangan sosial.

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

54

C. Pengambilan Keputusan, alokasi Sumber dan kesejahteraan publik merupakan Peranan negara. Kepemilikan oleh Negara menunjukkan peranan Negara dan memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk menegakkan keadilan, hal ini dapat dicapai melalui berbagai fungsi; (1) Distribusi sumber daya alam kepada para individu didasarkan kepada kebutuhan dan kapasiti kerja mereka, (2) Pelaksanaan aturan agama dan hukum terhadap penggunaan sumber dan (3) Menjamin keseimbangan sosial. 2. Aliran Mainstream Pola utama dari pemikiran aliran ini adalah kebalikan dari aliran iqtisaduna. Perbedaannya adalah puncak permasalahan ekonomi, menurut mereka masalah ekonomi dikarenakan kekurangan (scarcity). Ini maksudnya segala sumber daya alam adalah terbatas tetapi keperluan manusia yang tidak terbatas. Untuk itu manusia diarahkan untuk melalukan aktivitas ekonomi berdasarkan kepada skala prioritas dalam memenuhi kebutuhan manusia dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur‟an dan al-Hadith.35 Tokoh-tokoh utama pada aliran ini iaitu, Muhammad abdul Mannan, Muhammad Nejatullah Siddiqi, Syed Nawab Haidar Naqvi, dan Monzer Kahf. 2.1. Muhammad Abdul Mannan Mannan mendefinisikan ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu sosial yang memperlajari masalah-masalah ekonomi bagi suatu masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Mannan menjelaskan ciri-ciri kerangka institusional, ia membagi kepada kerangka sosial Islam dan hubungan yang terpadu antar individu, masyarakat dan Negara. Mannan mendefinisikan kebebasan sebagai kemampuan untuk melaksanakan kewajiban seperti yang sudah diatur Syariah. Hubungan individu – masyarakat - negara itu dipandang sebagai sesuatu yang mempunyai tujuan dan kerjasama, bekerja secara harmonis untuk mencapai tujuan sistem ekonomi.36

35

Nor Chamidi, Op.cit, 386. Aslam Haneef, Op.ci, 23.

36

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

55

Kemudian kepemilikan swasta yang relatif dan kondisional, menurut Mannan kepemilikan terhadap segala sesuatu yang ada di dunia ini ialah milik Allah dan manusia hanya sebagai khalifah dan kita harus menggunakan sumber daya yang ada demi kemaslahatan dan kebaikan manusia. Kemudian Mannan menyusun syarat untuk mengatur swasta; tidak boleh ada aset yang menganggur namun harus dimanfaatkan secara berkelanjutan, kewajiban pembayaran zakat, penggunaan untuk aktiviti yang menguntungkan, pengunaan yang tidak membahayakan, kepemilikan yang sah, penggunaan yang seimbang, keuntungan dari penggunaan yang benar dan patuh Syariah dalam hal warisan.37 Mekanisme pasar, Mannan tidak percaya bahwa mekanisme pasar cukup untuk menentukan semua harga dan jumlah produksi, khususnya jika berhubungan dengan pemberian bagi si miskin, sehingga ia mensarankan pengaturan, pengawasan dan kerjasama dengan perusahaan negara terbatas. Karena peran negara pada umumnya adalah merekonstruksi pola dan pertumbuhan produksi yang mencukupi, penekanan pada kerjasama dan persaingan yang terkawal, penekanan pada bagi hasil yang adil untuk mengganti bunga, kebijakan moneter dan fiskal demi stabilisasi, kebijakan upah yang baik, meningkatkan ekonomi antarnegara Muslim yang bersatu, penyediaan keperluan dasar bagi semua orang. Dalam zakat, Mannan menyatakan bahwa zakat adalah sebuah elemen sosial Islam dan berkedudukan wajib bagi Muslim. Kadar dan penerima zakat sudah ditetapkan, maka semestinya zakat akan mudah diimplementasikan. Mannan memberikan saran untuk menghapuskan (riba) dalam sistem ekonomi Islam dan menggantikannya dengan pembagian keuntungan dan rugi serta partisipasi berkeadilan. Mannan menekankan keberlangsungan muḍārabah tidak hanya pada tahap nasional melainkan juga pada tahap internasional. Mannan berpendapat bahwa ekonomi Islam itu berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi barang dalam kerangka masyarakat Islam yang di dalamnya jalan hidup Islami ditegakkan

37

Ibid

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

56

sepenuhnya. Pada masalah „kelangkaan‟, Mannan berpendapat bahwa dalam ekonomi manapun, kelangkaan itu pasti terjadi dan dianggap sebagai masalah ekonomi.38 Dalam masalah produksi, Mannan banyak membahas kualiti, kuantiti, maksimalisasi dan partisipasi sebagai sifat proses produksi. Sistem ekonomi, Manan lebih tampak elektif terhadap perlunya „surplus produksi‟ bermakna ganda. Menurutnya produksi tidak dilakukan hanya sebagai tanggapan atas permintaan pasar, melainkan didorong kepada pemenuhan kebutuhan dasar..39 Mannan beranggapan bahwa apabila ekonomi Islam dihadapkan pada masalah kekurangan sumber daya, maka baginya ini sama saja dengan prinsip scarcity dengan ekonomi barat. Namun yang membedakan dari sistem sosio-ekonomi lain ialah sifat motivasional yang memberi pengaruh kepada pola, struktur, arah dan komposisi produksi distribusi dan penggunaan. Dengan demikian, tugas utama ekonomi Islam adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran ke arah yang lebih adil. 40 2.2. Nejatullah Siddiqi Siddiqi menganggap ekonomi sebagai sebuah aspek budaya yang muncul dari pandangan dunia seseorang. Siddiqi menolak determinisme ekonomi Marx. Baginya, ekonomi Islam itu harus memanfaatkan teknis produksi terbaik dan metode organisasi yang ada.41 Sifat Islam terletak pada hubungan antar manusia, di samping pada sikap dan kebijakan-kebijakan sosial yang membentuk sistem tersebut. Ciri yang membedakan sistem ekonomi islam dengan sistem ekonomi barat adalah dalam suatu kerangka Islam, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi merupakan sarana untuk mencapai tujuan spiritual dan moral.42 Oleh karena itu, Siddiqi memberikan ide untuk

38

Muhammad Abdul Mannan, The Making of An Islamic Economic Society, (Cairo : International Association of Islamic Banks1984), 229. 39 Euis Aamalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok : Gramata Publishing, 2005), 102 40 Abdul Azim Islahi, Contribution of Muslim Scholars of Economic Thought and Analysis, (Jeddah: Scientific Publishing Centre, King Abdul Aziz University, 2004), 11 41 Euis Aamalia, op.cit. 42 Aslam haneef, Op.cit, .63.

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

57

membentuk teori neo-klasik konvensional dan peralatannya untuk mewujudkan perubahan orientasi nilai, penataan kelembagaan dan tujuan yang hendak dicapai. Siddiqi memandang pemenuhan keperluan ekonomi sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup yang lebih besar, yaitu rida Allah dan mencapai sukses (falāh) di dunia dan akhirat. Tujuan itu hanya dapat terwujud jika aktivitas ekonomi ditentukan oleh moralitas dan spritualitas. Perubahan tersebut pada dasarnya terjadi dalam dua area. Pertama adalah asumsi perilaku yang melahirkan Islamicman. Kedua adalah upayanya memasukkan pertimbangan fiqh ke dalam analisisnya. 2.3.Syed Nawab Haider Naqvi Pemikiran Syed Nawab Haider Naqvi terdapat pada beberapa bagian. Dalam hubungan harta, Naqvi memiliki pemahaman yang sama dengan Baqir al-Sadr, dimana kepemilikan adalah mutlak oleh Allah. Maka hak kepemilikan sesuatu amatlah terbatas, karena dalam prespektif Islam kebebasan manusia untuk memiliki kekayaan hanyalah relatif untuk keperluan masyarakat.43 Sehubungan dengan harta warisan kekayaan individu, 1/3 dari harta warisan seseorang dapat diberikan kepada yang bukan anggota keluarga. Ini menunjukkan bahwa Naqvi mendorong untuk mendistribusikan kekayaan secara lebih luas, terutama kepada kaum miskin dan kaum tertindas. Pemahaman Naqvi tampak hanya dari pemahamannya yang memihak kepada kaum miskin dan lemah. Pada hal lebih luas, hak individu untuk memiliki kekayaan tidak dapat dibatasi karena mengingat aksioma tanggung jawab dan keseimbangan yang menyingkirkan kapitalisme. Naqvi juga membahas tentang sistem Insentif. Dalam faham kapitalis, orang yang memiliki kekayaan adalah motivator utama dalam pergerakan ekonomi dan bertanggung jawab social. Tetapi kenyataannya malah menjadi penindas seperti dalam sosialisme. Ia menyadari bahwa sifat asas manusia adalah tamak dan memetingkan diri sendiri untuk memelihara karakteristik saling membantu dan memberi memerlukan kepada bantuan pemerintah untuk pembuatan peraturan. Oleh karena itu, negara memelihara kualiti moral dan 43

Ibid

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

58

etika, maka kualiti akhlak harus dipaksakan kepada masyarakat dengan pendidikan. Sebagai tokoh Islam mainstream, Naqvi ikut mendukung penghapusan ribā dan penerapan zakat sebagai instrumen pengurang kadar kemiskinan. Sefaham dengan Mannan dan Siddiqi, penghapusan riba tidak hanya berhubungan dengan “perekonomian bebas bunga” tetapi perekonomian bebas eksploitasi‟. Dalam pandangannya mengenai zakat, Naqvi melihatnya sebagai perwakilan filsafat Islam. Karena Zakat adalah sebuah instrument yang sah, bertujuan untuk mendistribusikan kekayaan kepada kelompok miskin dan fakir. Oleh karena itu, hasil pengumpulan zakat „pasti tidak mencukupi‟ maka pajak lain dapat dilaksanakan. Pada kesimpulan, pemikiran Naqvi adalah bentuk kritikan ekstrim terhadap kapitalisme, karena ia memiliki tujuan untuk mengubah struktur dasar perekonomian feodalistik-kapitalistik pada masa sekarang ini. 2.4. Monzer Kahf Monzer Kahf memandang ekonomi dalam suatu sistem ekonom Islam adalah bersedia menerima paradigma Islam. Tidak memandang apakah ia muslim ataupun non muslim, selama ia boleh menerima tata nilai dan norma ekonomi sesuai dengan ajaran Islam. Seperti pemahaman tentang kepemilikan Allah dan dunia hanyalah sementara. Kahf tidak setuju dengan membiarkan kekuatan pasar sepenuhnya melakukan keputusan-keputusan alokatif dan distributif, tetapi ia sangat memandang penting peran yang dimiliki negara dalam penentuan kebijakan.44 Konsep kepemilikan yang dianut oleh Kahf, dimana manusia sebagai pelaku pasar adalah merupakan khalifah di muka bumi dan memiliki hak dan tanggung jawab untuk memiliki sesuatu dan memanfaatkannya. Kahf sependapat juga dengan yang lainnya, hak memiliki ini terbatas dan sah, sama dengan tanggung jawab manusia untuk bertindak sesuai dengan kehendak dan hukum Allah. Bahwa kekayaan tidak boleh hanya ditangan sedikit orang saja, dan mengharuskan adanya kerjasama antar manusia dalam pemanfaatannya. Kahf lebih menyukai struktur pasar daripada 44

MonzerKahf, TheIslamicEconomy (Canada: Plainfield, 1978), 37-38.

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

59

mekanisme perencanaan terpusat, untuk mendukung pandangannya ini, ia mengambil contoh dari Nabi Muhammad, yang menolak untuk menetapkan harga dan membiarkan pasar menetapkan tingkat harga. Namun pasar harus berfungsi dengan baik, yaitu bebas daripada manipulasi. Kahf melihat prinsip kebebasan dan tanggungjawab ini lebih terwujud di dalam kerjasama daripada persaingan, dan kemudian menjadikan kerjasama sebagai tema atau pondasi umum didalam pertubuhan Islam. 3. Aliran Alternatif Aliran ini adalah aliran kritis secara ilmiah terhadap ekonomi Islam, baik sebagai ilmu maupun sebagai peradaban. Aliran ini mengkritik kedua aliran kontemporer sebelumnya. Aliran Iqtiṣādunā dikritik karena dianggap berusaha mengemukakan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan oleh tokohtokoh klasik sebelumnya, sedangkan aliran mainstream dikritik sebagai aliran serapan dari neo-klasik tetapi mengahapuskan elemen ribā serta menambah zakat dan akad, sehingga tidak ada keaslian pada aliran ini. Tokoh aliran ini adalah Timur Kuran. Pemikiran Timur Kuran mengkritisi ekonomi keadilan yang ditawarkan oleh ekonomi Islam. Kuran hanya menawarkan dua prinsip, yaitu prinsip keadilan dan prinsip kejujuran. Prinsip keadilan melarang ketidakmerataan dalam distribusi barang, dengan instrument distribusi harta (zakat), harta warisan dan sumbangan kemanusiaan (sedekah) dan prinsip kejujuran melarang pendapatan yang dilarang oleh Syariah45. Kuran juga mengkritisi tentang zakat sebagai pemerataan harta atau distribusi kekayaan. Dia beranggapan bahwa zakat tidak akan boleh mendistribusikan harta secara adil, karena menurutnya zakat dalam skema kecil dalam sektor pertanian, pertambangan, dan produksi barang mentah, boleh menjadi objek zakat seperti pada awal permulaan Islam. Namun zaman modern seperti sekarang ini banyak industri baik barang ataupun jasa yang menurutnya tidak dapat diukur nilai nisabnya sehingga 45

Timur Kuran, On The Notion of Economic Justice In contemporary Islamic Thought, 1989,

172

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

60

skim zakat tidak dapat diterapkan.46 Hal ini merupakan fikiran yang berlawanan daripada pemikiran tokoh-tokoh ekonomi Islam saat ini. Kuran juga mengkritisi adanya perbedaan pendapat diantara ulama mazhab. Karena ini merupakan sebuah ketidak konsistenan dalam ekonomi Islam.47 Perbedaan mazhab pemikiran dapat dibawa kepada kesepakatan para ulama atau disebut ijma‘ dan juga penganalogian masalah. Kedua bahasan tersebut menurutnya sangat diperlukan agar masyarakat yang tidak tau cara menghukumi suatu masalah boleh mengambil produk hukum yang sudah jadi iaitu ijma‘. Baginya ribā adalah puncak ketidakstabilan politik.48 KESIMPULAN Keragaman pola pikir dalam memandang ekonomi Islam pada dasarnya merupakan ijtihād para cendikiawan Muslim dalam membentuk kerangka ekonomi yang patuh Syariah. Para pemikir ekonomi Islam telah meletakkan dasar-dasar bangunan sistem ekonomi Islam yang meliputi sumber, prinsip, metode, dan teknik pelaksanaan. Walaupun banyak perbedaan, tetapi mereka tetap merujuk kepada alQur‟an dan al-Ḥadīth sebagai sumber ilmu yang absolut. Akhirnya, atas sumbangan pemikiran merekalah kontruksi bangunan sistem ekonomi Islam akan mampu menghantarkan seluruh manusia kepada kesejahteraan dan keadilan sosial yang merata. BIBILOGRAFI Books Al-Qur‟an Al-Hadis A.A. Islahi. Economic Concept of Ibn Taimiyah. London : Leicester, 1988. Al-Ghazali. Ihya Ulum Ad-din. Beirut: Dar An nadwah. Amalia Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok : Gramata Publishing, 2005. 46

Ibid. Ibid 48 https://www.academia.edu/12523134/Menjawab_Keraguan_Timur_Kuran diakses 30 Mei 47

2016

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

61

Anto Hendri. Pengantar Ekonomi Mikro Islami. Yogyakarta: Ekonisia. Chamidi Nor. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogjakarta 2010. Hery Sucipto. Ensiklopedi Tokoh Islam (Dari Abu Bakar sampai Nashr dan Qardhawi). Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2003. Islahi Abdul Azim. Contribution of Muslim Scholars of Economic Thought and Analysis. Jeddah: Scientific Publishing Centre, King Abdul Aziz University, 2004. J. Michael Taylor, “Islamic Banking The Feasibility of Establishing an Islamic Bank In The United State”, American Business Law Journal, 40 Am. Bus. L. J. 385 (Winter 2003), 387. Kahf Monzer. The Islamic Economy. Canada:Plainfield,1978. Karim Adiwarman. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Cet. Ke-3. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Karim Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami. Edisi Kedua. Jakarta:IIIT,2003. _______________. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004. Karnaen A Perwata atmadja dan Anis Byarwati. Jejak Rekam Ekonomi Islami. Jakarta:Cicero Publishing,2008. Khaldu, Ibn. Muqaddimah, Edisi Indonesia. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000. Kuran, Timur. On The Notion of Economic Justice In contemporary Islamic Thought, 1989. Mannan, Muhammad Abdul. The Making of An Islamic Economic Society. Cairo : International Association of Islamic Banks1984. Mujahidin, Akhmad. Ekonomi Islam : Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan Pasar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013. Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986 Siddiqi M. Nejatullah. Islamic Economic Thought: Recent Works on History of Economic Thought in Islam, a Survey, Reading in Islamic Thought. Malaysia: Longman, 1992. SuwaidanTariq. Biografi Imam Abu Hanifah. Jakarta: Zaman, 2003. websites https://www.academia.edu/6151188/Pemikiran_Ekonomi_Islam_Kontemporer https://www.academia.edu/12523134/Menjawab_Keraguan_Timur_Kuran

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

62