PENAPISAN DAN KARAKTERISASI AKTINOMISET

Download Micromonospora dikenal sebagai penghasil antibiotik, khususnya antibiotik aminoglikosida (gentamisin dan netamisin), enedin, dan oligosakar...

1 downloads 739 Views 21MB Size
PENAPISAN DAN KARAKTERISASI AKTINOMISET PENGHASIL SENYAWA ANTIBAKTERI Escherichia coli ATCC 35218 RESISTEN ANTIBIOTIK BETA LAKTAM

DYAH NOOR HIDAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penapisan dan Karakterisasi Aktinomiset Penghasil Senyawa Antibakteri Escherichia coli ATCC 35218 Resisten Antibiotik Beta-laktam adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2014

Dyah Noor Hidayati NIM G3511000081

RINGKASAN DYAH NOOR HIDAYATI. Penapisan dan Karakterisasi Aktinomiset Penghasil Senyawa Antibakteri Escherichia coli ATCC 35218 Resisten Antibiotik ΒetaLaktam. Dibimbing oleh YULIN LESTARI dan BAMBANG MARWOTO. Diare dan gastroenteritis yang disebabkan oleh mikrob patogen, salah satunya E. coli, merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Pengobatan yang paling umum adalah dengan pemberian antibiotik,namun, yang menjadi masalah adalah meningkatnya resistensi patogen terhadap antibiotik, khususnya golongan beta-laktam. Masalah tersebut menjadikan penemuan antibiotik baru sangat penting dan aktinomiset merupakan sumber yang sangat menjanjikan sebagai penghasil penghasil senyawa aktif baru tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan aktinomiset asli Indonesia yang menghasilkan senyawa antibakteri E. coli ATCC 35218 resisten antibiotik betalaktam dan mengidentifikasi ciri-ciri morfologi dan molekuler isolat aktinomiset penghasil senyawa antibakteri E. coli ATCC 35218 resisten antibiotik betalaktam tersebut. Sembilan puluh enam isolat aktinomiset dari kultur stok koleksi Biotechnology Microbial Culture Collection (BioMCC), BPPT, diremajakan di dalam media ISP2 (International Streptomyces Project) dan diinkubasikan pada suhu 28 oC selama 14-21 hari. Pengelompokan aktinomiset ke dalam kelompok Streptomyces dan non-streptomyces dilakukan berdasarkan morfologi mikroskopis dari biakan di dalam media agar ISP2 umur 21 hari. Penapisan aktivitas antibakteri dilakukan menggunakan metode agar plug dan adanya aktivitas antibakteri ditandai dengan zona bening di sekitar isolat aktinomiset setelah inkubasi selama 24-48 jam pada suhu 36±1oC. Isolat aktinomiset yang menunjukkan aktivitas antibakteri selanjutnya dilakukan karakterisasi pola aktivitas antibakteri berdasarkan umur isolatdi dalam media agar Karakterisasi pola aktivitas antibakteri dari kultur agar dilakukan dengan menumbuhkan isolat aktinomiset pada media agar ISP2 dalam cawan selama 15 hari pada suhu 28 oC. Setiap 3 hari, dari kultur agar diambil untuk dilakukan uji aktivitas antibakteri menggunakan metode agar plug. Karakterisasi pola aktivitas antibakteri isolat aktinomiset aktif dari kultur cair dilakukan dengan memfermentasikan isolat di dalam media cair ISP2 dan diinkubasikan pada suhu 28 oC, 220 rpm, selama 15 hari. Setiap 3 hari fermentasi dilakukan pengambilan sampel dan dilakukan penyarian senyawa aktif dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut etil asetat, dengan perbandingan 1:1 (v/v). Ekstrak etil asetat yang diperoleh dipekatkan dan selanjutnya digunakan untuk uji aktivitas antibakteri menggunakan metode KirbyBauer pada konsentrasi 1 mg/disc. Isolat aktinomiset aktif juga dilakukan karakterisasi pola pertumbuhannya di dalam empat jenis media agar dan media cair yang meliputi media ISP2, ISP4, MS (Micromonospora Starch), dan BM (Bennet’s Medium). Karakterisasi pola pertumbuhan di dalam media agar dilakukan dengan menumbuhkan isolat aktinomiset ke dalam 4 jenis media tersebut dan diinkubasi pada suhu 28 oC selama 21 hari. Pengamatan yang dilakukan meliputi warna koloni, pembentukan miselia, dan pertumbuhan spora. Karakterisasi pola pertumbuhan di dalam media cair dilakukan dengan menumbuhkan isolat aktinomiset selama 15 hari, 28 oC,

220 rpm. Setiap 3 hari sampel diambil dan dilakukan pengukuran volume padatan selnya (% PMV). Karakterisasi morfologi mikroskopis isolat aktif dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap kultur di dalam media ISP2 agar umur 21 hari dengan mikroskop pada perbesaran 500-1000x. Karakterisasi molekuler isolat aktif dilakukan berdasarkan sekuen parsial 16S rRNA dan dibandingkan dengan sekuen 16S rRNA yang terdapat di GenBank dengan blastn. Tingkat kekerabatan di analisis menggunakan perangkat lunak MEGA 5. Ekstrak etil asetat isolat aktinomiset dengan aktivitas antibakteri paling tinggi dilakukan analisis menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dan pendugaan berat molekul senyawa aktif dilakukan menggunakan quadrupole time of flight mass sphectrometry (QTOF-MS). Pengelompokan isolat aktinomiset berdasarkan morfologi dan warna, dari 96 isolat aktinomiset, 8 isolat termasuk dalam kelompok Streptomyces dan 88 isolat non-streptomyces. Penapisan aktivitas antibakteri mendapatkan tiga isolat, yaitu BioMCC-at.HH-64, BioMCC-at.HH-78, dan BioMCC-at.HH-259 yang menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap E. coli ATCC 35218 dengan rata-rata diameter penghambatan masing-masing adalah 13,55, 13,88 and 14,71 mm. Hasil karakterisasi pola aktivitas antibakteri dari kultur padat menunjukkan sampai umur 15 hari ketiga isolat masih memperlihatkan aktivitas antibakteri dan aktivitas tertinggi dihasilkan oleh kultur umur 9 hari. Hasil karakterisasi pola aktivitas antibakteri dari ekstrak etil asetat menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat dari isolat BioMCC-at.HH-64 sampai hari ke-15 fermentasi tidak menunjukkan aktivitas antibakteri. Aktivitas antibakteri ditunjukkan oleh ekstrak etil asetat dari isolat BioMCC-at.HH-78 dan BioMCC-at.HH-259 setelah 12 hari fermentasi, dan peningkatan aktivitas antibakteri ditunjukkan oleh ekstrak etil asetat dari fermentasi isolat BioMCC-at.HH-259 selama 15 hari. Hasil karakterisasi pola pertumbuhan isolat aktinomiset aktif, baik dalam media agar maupun cair ketiga isolat menunjukkan pola pertumbuhan yang relatif berbeda untuk media yang berbeda. Pola pertumbuhan paling baik ditunjukkan ketika isolat aktinomiset ditumbuhkan di dalam media ISP4. Hasil pengamatan morfologi mikroskopis menunjukkan bahwa ketiga isolat memiliki spora tunggal berbentuk bola, yang tumbuh pada pangkal atau percabangan hifa dan termasuk dalam genus Micromonospora. Hasil blastn menunjukkan bahwa ketiga isolat memiliki tingkat homologi tertinggi dengan M.chersina sebesar 99%. Berdasarkan hasil analisis kemiripan, isolat BioMCC-at.HH-64 memiliki tingkat kemiripan 99,17 % dengan BioMCC-at.HH-259. Sedangkan, isolat BioMCC-at.HH-78 memiliki tingkat kemiripan 42,57 % dengan BioMCC-at.HH-64 dan 42,74 % dengan BioMCC-at.HH-259. Hasil pendugaan terhadap berat molekul senyawa aktif adalah sebesar 186,12 Da yang merujuk pada senyawa napthylethylenediamine. Aktivitas antibakteri senyawa tersebut terhadap E coli ATCC 35218 belum pernah dilaporkan. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa aktinomiset asli Indonesia memiliki potensi sebagai penghasil senyawa aktif antibakteri yang mampu menghambat E.coli ATCC 35218 resisten antibiotik beta-laktam. Kata kunci : aktinomiset, antibakteri, resisten beta-laktam, Micromonospora,16S rRNA, senyawa aktif, berat molekul

SUMMARY DYAH NOOR HIDAYATI. Screening and characterization of actinomycetes with antibacterial activity against Escherichia coli ATCC 35218 beta-lactam resistant. Supervised by YULIN LESTARI and BAMBANG MARWOTO. Diarrhea and gastroenteritis caused by microbial pathogens, such as E. coli, was one of cause death in Indonesia. The most common treatment was with antibiotics. However, the rates of resistance to some antibiotics were significantly higher, especially to beta-lactam classes. Therefore, the discovery of new antibiotics was very important and actinomycetes are very promising as a source of new active compounds producer. The objectives of this research are to obtain indigenous Indonesian actinomycetes producing antibacterial activity againts resistant beta-lactam antibiotic E. coli ATCC 35218, and to characterize morphologically and genetically of the active isolates as well as for their active compounds. Ninety six actinomycetes isolates from Biotechnology Microbial Culture Collection (BioMCC), BPPT were cultured on ISP2 medium and incubated at 28 o C for 14-21 days. The actinomycetes isolates were grouped into Streptomyces and non-streptomyces genus according to their microscopic morphology from 21 days old culture on ISP2 medium. The colour of actinomycetes colonies were observed on Yeast Starch Agar (YSA) Medium from 14-21 days old cultures. Antibacterial activity screening was performed by agar plug method and the activities were indicated by the clearing zone around the actinomycetes isolates after 24-48 incubation at 36 ± 1 oC. Furthermore, the active isolates were characterized their antibacterial activity patterns based on the age of the isolates, both from agar and liquid cultures. Antibacterial activity patterns characterization from agar cultures was performed by inoculating the isolates in ISP2 agar medium and incubated at 28 oC, 15 days. Every 3 days of interval incubation, the cultures were sampled and assayed for their antibacterial activities by agar plug method. Antibacterial activity patterns characterization from liquid cultures was done by inoculating the isolates in ISP2 broth medium and incubated in a rotary shaker at 28 oC, 220 rpm, 15 days. Every 3 days of incubation the culture broth were sampled and extracted using ethyl acetate, 1:1 (v/v), and concentrated. The extracts were assayed for their antibacterial activities by Kirby-Bauer method at concentration of 1 mg/disc. The active actinomycetes were also characterized for their growth patterns both in solid and liquid media using 4 different media including ISP2, ISP4, MS, and BM. The isolates were cultured on solid medium and incubated for 21 days at 28 oC and observed their growth patterns, including the colony colour, mycelium development, and sporulation. The actinomycetes growth patterns in liquid media were characterized by inoculating the isolates in 4 media and incubated in a rotary shaker incubator for 15 days, 28 oC, 220 rpm. Every 3 days of incubation, the cultures were sampled and measured their packed mycelial volume (PMV). Morphological characterization of actinomycetes isolates was performed by microscopic observation under 5000-1000x magnification directly from ISP2 21 days old cultures. Molecular characterization of the actinomycetes isolates were conducted based on 16S rRNA sequences and the partial sequences were obtained

comparing to the genbank (NCBI) databases. The phylogenetic degree was analyzed by MEGA 5 software. The most active ethyl acetate extract from actinomycetes isolate was characterized its bioactive compound using High Performance Liquid Chromatography (HPLC) and estimated of its molecular weight by quadrupole time of flight mass sphectrometry (QTOF-MS). Actinomycetes isolates grouping based on morphology were grouped 8 isolates into Streptomyces and 88 isolates into non-Streptomyces. Three selected isolates, BioMCC-at.HH-64, BioMCC-at.HH-78, and BioMCC-at.HH-259 showed their antibacterial activity againts E. coli ATCC 35218. The diameter of inhibition were 13,55, 13,88 and 14,71 mm, respectively. The characterization of antibacterial activity pattern based on the age of the isolates, showed that up to 15 days of culture, all of the isolates still showed their antibacterial activities. The highest activities were at 9 days of culture. The characterization of antibacterial activity pattern from ethyl acetate extracts, showed that the ethyl acetate extracts from BioMCC-at.HH-64 fermentation broth didn’t show their antibacterial activity. Meanwhile, BioMCC-at.HH-78’s extract showed its antibacterial activity from 12 days of fermentation, and BioMCC-at.HH-259’s extract showed its antibacterial activity from 12 days fermentation and increased after 15 days of fermentation. The growth patterns characterization of actinomycetes isolates resulted that both on solid and liquid cultures they showed varied growth patterns, and their best growth were in ISP4 medium. The morphological obsevation under microscope showed that all active isolates were formed single sperical spores which grows on the tip of hyphae or spreads on the mycelial brancing and belong to the genera of Micromonospora. The blastn search from partial sequnces of 16S rRNA were obtained, showed that all active actinomycetes have 99% similarity to M. chersina. Based on the results of similarity analysis, isolate BioMCC-at.HH-64 has a level of 99,17% similarity with BioMCC-at.HH-259. Meanwhile, isolate BioMCC-at.HH-78 has a level of 42,57% similarity with BioMCC-at.HH-64 and 42,74% with BioMCC-at.HH-259. The ethyl acetate extract of BioMCC-at.HH259 was analyzed by HPLC and QTOF-MS. The molecular weight estimation of active compound from BioMCC-at.HH-259 was 186,12 Da which referred to napthylethylenediamine. The antibacterial activity of this compound against E. coli ATCC 35218 has not been reported. From the results of this study we concluded that Indonesian indigenous actinomycetes are potential producers of antibacterial bioactive compounds with activity against antibiotic resistant betalactam Escherichia coli ATCC 35218.

Key words : actinomycetes, antibacteria, resistant beta lactam, Micromonospora, 16S rRNA, active compound, molecular weight

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENAPISAN DAN KARAKTERISASI AKTINOMISET PENGHASIL SENYAWA ANTIBAKTERI Escherichia coli ATCC 35218 RESISTEN ANTIBIOTIK BETA LAKTAM

DYAH NOOR HIDAYATI

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Laksmi Ambarsari MS

3

Judul Tesis : Penapisan dan Karakterisasi Aktinomiset Penghasil Senyawa Antibakteri Escherichia coli ATCC 35218 Resisten Antibiotik Beta-Laktam Nama : Dyah Noor Hidayati NIM : G351100081

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Yulin Lestari Ketua

Dr Bambang Marwoto Apt, MEng. Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Mikrobiologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Anja Meryandini, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MSc, Agr

Tanggal Ujian: 28 April 2014

Tanggal Lulus:

4

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2011 ini adalah tentang bioprospeksi aktinomiset sebagai penghasil senyawa antibakteri, dengan judul Penapisan dan Karakterisasi Aktinomiset Penghasil Senyawa Antibakteri Escherichia coli ATCC 35218 Resisten Antibiotik Βeta-Laktam. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Yulin Lestari dan Bapak Dr Bambang Marwoto Apt, MEng. selaku pembimbing atas arahan dan bimbingannya, Ibu Dr Laksmi Ambarsari selaku penguji dari luar komisi atas saran dan masukannya yang sangat berharga, Program Studi Mikrobiologi, Jurusan Biologi, IPB dan seluruh pengajar atas ilmu yang diberikan, Kementrian Riset dan Teknologi atas beasiswa yang diberikan, dan Kepala Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT dan jajarannya atas sarana dan prasarana yang diberikan. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan untuk suami tercinta atas pengorbanan, kesabaran dan doa’nya, dan juga untuk bapak, ibu, mamah, kakak-kakak dan adik-adik atas seluruh do’anya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2014

Dyah Noor Hidayati

5

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian

1 1 2 2 2

2 TINJAUAN PUSTAKA Aktinomiset Micromonospora Antimikrob Antibiotik Βeta-Laktam Escherichia coli ATCC 35218 Pengujian Aktivitas Antibakteri

3 3 4 4 5 6 7

3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Peremajaan dan Pembuatan Kultur Kerja Isolat Aktinomiset Pengelompokan Isolat Aktinomiset Penapisan Aktivitas Antibakteri Karakterisasi Pola Aktivitas Antibakteri Karakterisasi Pola Pertumbuhan dan Morfologi Aktinomiset Aktif Karakterisasi Molekuler Isolat Aktinomiset Aktif Karakterisasi Awal dan Pendugaan Berat Molekul Senyawa Aktif Antibakteri Digram Alir Peelitian

7 7 8 8 8 8 9 10 11 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

12

5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran

25 25 25

LAMPIRAN

30

RIWAYAT HIDUP

53

6

DAFTAR TABEL

1 2 3 4

Daftar beberapa senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat aktinomiset Pola pertumbuhan isolat aktinomiset aktif pada berbagai media agar Hasil kuantifikasi konsentrasi dan kemurnian DNA hasil isolasi Hasil pensejajaran sekuens parsial 16S rRNA isolat aktinomiset aktif dengan galur acuan yang terdapat pada database GenBank 5 Persentase nilai jarak genetik dan tingkat homologi antar isolat aktinomiset aktif

4 16 19 19 20

DAFTAR GAMBAR 1 Struktur kimia penicillin G dan sefalosporin 2 Bagan ruang lingkup penelitian 3 Aktivitas antibakteri isolat aktinomiset BioMCC-at.HH-64, BioMCCat.HH-78 dan BioMCC-at.HH-259 terhadap E. coli ATCC 35218 4 Pola aktivitas antibakteri isolat aktinomiset BioMCC-at.HH-64, BioMCC-at.HH-78 dan BioMCC-at.HH-259 dari kultur agar 5 Pola aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat isolat aktinomiset berdasar lama fermentasi 6 Morfologi makroskopis isolat aktinomiset aktif di dalam 4 jenis media agar setelah 21 hari inkubasi 7 Pola pertumbuhan isolat aktinomiset aktif di dalam media cair, ISP2, ISP4, MS dan BM 8 Morfologi mikroskopis isolat aktinomiset aktif setelah inkubasi 21 hari pada media agar ISP2 9 Dendogram filogenetik berdasar sekuen gen 16S rRNA isolat aktinomiset aktif dan genus lainnya 10 Spektrum massa senyawa dari ekstrak etil asetat isolat BioMCC-at.HH259 11 Struktur kimia naphtylethylenediamine dan N-(1-Naphthyl) 1,2ethanediamine dihydrochloride

6 12 13 14 14 16 17 18 21 23 23

DAFTAR LAMPIRAN 1 Daftar isolat aktinomiset yang digunakan dan pengelompokannya berdasarkan morfologi mikroskopis 2 Hasil karakterisasi pola aktivitas antibakteri isolat aktinomiset dari kultur agar 3 Hasil karakterisasi pola aktivitas antibakteri isolat aktinomiset dari ekstrak etil asetat 4 Komposisi media untuk karakterisasi pola pertumbuhan isolat aktinomiset aktif 5 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset BioMCCat.HH-64 menggunakan primer forward

30 32 33 34 35

7 6 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset at.HH-64 menggunakan primer reverse 7 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset at.HH-78 menggunakan primer forward 8 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset at.HH-78 menggunakan primer reverse 9 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset at.HH-259 menggunakan primer forward 10 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset at.HH-259 menggunakan primer reverse 11 Sekuen konsensus 16S rRNA isolat aktinomiset aktif 12 Kromatogram KCKT ekstrak etil asetat isolat aktinomiset at.HH-259 dan BioMCC-at.HH-78 13 Publikasi ilmiah

BioMCC36 BioMCC37 BioMCC38 BioMCC39 BioMCC40 41 BioMCC42 43

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit infeksi hingga saat ini masih menjadi salah satu penyebab tertinggi kematian di Indonesia, dan infeksi saluran pencernaan masih menduduki posisi ke-2 penyebab kematian secara umum setelah pneumonia. Berdasarkan profil data kesehatan Indonesia tahun 2011, penyakit infeksi masih mendominasi 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit pada tahun 2010. Diare dan gastroenteritis yang disebabkan oleh infeksi patogen dilaporkan menempati posisi tertinggi, dengan jumlah kasus pasien rawat inap sebanyak 73.889, dan 1.289 (1,79%) dilaporkan meninggal dunia (Kemenkes RI 2012). Penyebab infeksi saluran pencernaan yang terjadi di Indonesia antara lain diakibatkan oleh infeksi patogen Escherichia coli, dan pengobatan yang umum digunakan adalah dengan penambahan nutrisi dan cairan serta pemberian antimikrob. Antimikrob yang umum digunakan di Indonesia untuk pengobatan infeksi tersebut antara lain adalah siprofloksasin, ampisilin, kloramfenikol, dan gentamisin. Intensitas penggunaan antimikrob yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama munculnya resistensi bakteri terhadap antimikrob, selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi. Resistensi pada awalnya terjadi di tingkat rumah sakit, tetapi lambat laun juga berkembang di lingkungan masyarakat, termasuk E. coli. Hasil studi berkenaan dengan resistensi antimikrob di Indonesia menyatakaan bahwa dari 2494 individu di masyarakat, 53% E. coli resisten terhadap berbagai jenis antimikrob yang ada di pasaran, antara lain: ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (15%). Hasil penelitian terhadap 781 pasien yang dirawat dirumah sakit didapatkan 81% E. coli resisten terhadap lebih dari satu jenis antimikrob, yaitu ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%) (Lestari et al. 2005; Duerink et al. 2007). Penelitian lain juga melaporkan bahwa beberapa galur E. coli di Indonesia telah mengalami mutasi gen, dari sensitif menjadi resisten terhadap antimikrob golongan fluoroquinolon (Kuntaman et al. 2005). Resistensi E. coli terhadap antimikrob juga dilaporkan oleh peneliti di dunia (Livermore et al. 2003). Masalah resistensi E. coli terhadap antimikrob yang sudah ada di pasaran terutama golongan beta-laktam, harus segera diatasi. Salah satu caranya adalah dengan senantiasa mencari antimikrob baru dengan potensi yang lebih tinggi dan mekanisme yang berbeda dalam menghambat atau membunuh patogen penyebab infeksi. Di sisi lain, munculnya galur baru yang resisten lebih cepat dibandingkan dengan tingkat penemuan antimikrob baru yang semakin lambat (Donadio et al. 2002). Pada saat ini, para peneliti di dunia tengah gencar mengembangkan pencarian antimikrob baru yang bersumber pada mikrob, terutama aktinomiset, karena sangat berpotensi untuk menghasilkan senyawa aktif baru. Menurut Berdy (2005), dari 16500 senyawa antimikrob yang diisolasi dari mikrob, 52,7% (8700 antimikrob) diantaranya dari aktinomiset, sedangkan sisanya yaitu 29,7% dan

2 17,6% berturut-turut diisolasi dari kapang dan bakteri. Dari 8700 antimikrob yang diisolasi dari aktinomiset, 6550 diantaranya diisolasi dari genus Streptomyces dan sisanya, 2250 dari kelompok non-streptomyces atau rare actinomycetes. Penemuan antimikrob baru dari rare actinomycetes juga dilaporkan oleh beberapa peneliti di dunia (Hopmann et al. 2002; Beltrametti et al. 2006). Di Indonesia, penelitian untuk mendapatkan antimikrob baru dengan memanfaatkan mikrob asli Indonesia masih sangat sedikit, dikarenakan biaya yang dibutuhkan cukup besar dan memakan waktu yang cukup lama. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan tema penapisan dan karakterisasi aktinomiset penghasil senyawa antibakteri E. coli resisten antibiotik, dengan memanfaatkan biodiversitas aktinomiset asli dari alam Indonesia yang di koleksi BP Bioteknologi, BPPT.

Perumusan Masalah Munculnya resistensi patogen E. coli penyebab penyakit infeksi saluran pencernaan terhadap antibiotik yang sudah ada di pasaran. Di sisi lain, penyakit infeksi saluran pencernaan masih menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia dan Indonesia. Masih kurangnya pemanfaatan keragaman mikrob asli Indonesia, terutama aktinomiset sebagai sumber pencarian bahan obat baru.

Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mendapatkan isolat aktinomiset asli Indonesia sebagai penghasil senyawa antibakteri E. coli ATCC 35218 resisten antibiotik betalaktam dan ciri-ciri morfologi serta molekuler isolat aktinomiset penghasil senyawa antimikrob E. coli ATCC 35218 resisten antibiotik beta-laktam.

Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi peremajaan isolat aktinomiset, pengelompokan isolat aktinomiset berdasarkan morfologi mikroskopis, penapisan aktivitas antibakteri E. coli ATCC 35218, karakterisasi pola aktivitas antibakteri isolat aktinomiset aktif dari kultur agar dan ekstrak etil asetat, karakterisasi pola pertumbuhan isolat aktinomiset aktif dalam media agar dan cair, karakterisasi morfologi dan 16S rRNA isolat aktinomiset aktif, analisis KCKT terhadap ekstrak etil asetat dari isolat paling aktif dan pendugaan berat molekul senyawa aktif antibakteri dengan QTOF-MS.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Aktinomiset Aktinomiset merupakan bakteri gram-positif aerob yang membentuk filamen bercabang atau hifa, tidak membentuk kepingan-kepingan dan memproduksi spora aseksual, yang menyerupai kapang dalam morfologinya. Pertumbuhan aktinomiset di dalam media padat atau agar akan membentuk percabangan hifa yang tumbuh baik pada permukaan atau menembus ke dalam agar. Pada umumnya, septa membagi hifa ke dalam bentuk sel yang panjang (20 µm atau lebih) yang berisi beberapa nucleoid, beberapa membentuk struktur yang menyerupai jaringan yang disebut sebagai thallus. Beberapa aktinomiset juga memiliki miselia aerial yang terbentang di atas substrat atau agar dan membentuk konidia (spora aseksual dengan dinding tipis) atau konidiospora pada ujung filamen. Spora berada di dalam sporangium dan memiliki bentuk sangat bervariasi. Spora aktinomiset berkembang dari pembentukan septa pada ujung filamen, pada umumnya merupakan respon terhadap makanan yang berkurang, sebagian besar tidak tahan terhadap pemanasan tetapi tahan terhadap pengeringan dengan baik (Kar 2008). Aktinomiset banyak dijumpai pada tanah terutama bagian rizosfer, namun saat ini aktinomiset banyak diisolasi dari sumber lainnya antara lain dari air, tanaman, sedimen laut dan organisme laut (Pathom-aree 2006; Ceyclan et al 2008; Imada et al 2010). Sebagian besar aktinomiset yang berhasil diisolasi dari alam merupakan kelompok Streptomyces, dan untuk mendapatkan aktinomiset dari kelompok non-streptomyces, para peneliti di dunia telah melakukan pengembangan teknik isolasi dan modifikasi media isolasi (Gavrish et al 2008). Aktinomiset dikenal sebagai mikrob penghasil berbagai macam senyawa metabolit sekunder, yaitu suatu senyawa hasil metabolisme mikrob yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan sekunder, antara lain untuk bertahan hidup dari kompetisi antar mikrob, menyediakan mekanisme pertahanan dan memfasilitasi proses reproduksi, namun tidak dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi. Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh aktinomiset berupa agen antimikrob, antikanker, agen penurun kolesterol, imunosuppresan, antiparasit, herbisida dan senyawa-senyawa lainnya (Miao dan Davies 2010). Daftar beberapa senyawa aktif yang dihasilkan oleh aktinomiset ditampilkan dalam Tabel 1.

4 Tabel 1 Daftar beberapa senyawa aktif yang dihasilkan oleh aktinomiset Organisme penghasil Senyawa Aplikasi Sumber Referensi Micromonospora sp. Micromonospora sp. M. purpurea Streptomyces aureofaciens S. griseus Amycolaptosis orientalis Saccharopolyspora erythraea S. avermitilis S. clavuligerus S. hygroscopicus S. hygroscopicus S. noursei S. verticillus

Maklamisin Diazepinomisin Gentamisin Tetrasiklin

Antibakteri Antibakteri Antibakteri Antibakteri

Streptomisin Vankomisin Eritromisin

Antibakteri Antibakteri Antibakteri

Avermektin Asam klavulanat Bialopos Rapamisin Nistatin Bleomisin

Anticacing Inhibitor β-laktamase Herbisida Immunosupresan Antifungi Antikanker

Igarashi et al. (2011) Charan et al. (2004) Miao dan Davis (2010)

Micromonospora Micromonospora merupakan aktinomiset yang termasuk dalam famili Micromonosporaceae. Ciri-ciri dari genus Micromonospora antara lain, mempunyai miselia bercabang, spora tidak bergerak (non-motile), berupa spora tunggal yang melekat pada sporofor pendek atau panjang yang ditemukan dalam kelompok-kelompok percabangan. Miselia aerial tidak ditemukan, atau pada beberapa kultur ditemukan sebagai pengembangan koloni yang tidak teratur, dan hanya berwarna putih atau keabu-abuan (Holt et al. 2000). Isolasi Micromonospora dapat dilakukan dari habitat aslinya di alam, antara lain dari tanah rizosfer (Cheng et al. 2011), tanah gambut (Thawai et al. 2005), air (Trujillo et al. 2005), tanaman (Kirby dan Meyers 2010), dan bahkan dari lingkungan yang sangat ekstrim seperti sedimen laut dalam (Gärtner et al. 2011) dan bebatuan di Antartica (Hirsch et al. 2004). Micromonospora dikenal sebagai penghasil antibiotik, khususnya antibiotik aminoglikosida (gentamisin dan netamisin), enedin, dan oligosakarida (Berdy 2005). Beberapa senyawa aktif baru dilaporkan berhasil diisolasi dari Micromonospora, di antaranya adalah lupinacidin, suatu antitumor yang dihasilkan oleh M. lupini (Igarashi et al. 2007); levantilide A dan B, golongan makrolida baru (Gärtner et al. 2011); serta retymicin, galtamycin B dan saquayamycin Z yang dihasilkan oleh Micromonospora sp. Tü 6368 (Antal et al. 2005).

Antimikrob Antimikrob adalah suatu senyawa yang dihasilkan oleh mikrob yang pada konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan, atau membunuh, mikrob lainnya. Selain dihasilkan oleh mikrob, senyawa antimikrob juga dihasilkan oleh tanaman tingkat tinggi dan juga hewan. Pada umumnya antimikrob diproduksi melalui proses fermentasi. Namun saat ini, produksi dengan proses semisintetis

5 semakin meningkat, produk yang diperoleh dari hasil fermentasi di modifikasi secara kimia. Beberapa senyawa kimia sintetis juga digunakan untuk kemoterapi infeksi penyakit, seperti sulfonamid dan kuinolon. Ribuan antimikrob telah banyak dikenal dan setiap tahunnya lusinan antimikrob ditemukan, namun hanya sebagian kecil yang digunakan secara klinis untuk pengobatan (Berdy 2005; Jayaraman 2009). Sampai saat ini antimikrob masih sangat dibutuhkan, karena merupakan satu-satunya obat untuk penyakit infeksi yang masih menjadi salah satu penyebab tertinggi kematian di dunia, terutama di negara berkembang. Berdasarkan cara kerjanya antimikrob bekerja dengan mengganggu pembentukan dinding sel bakteri (golongan beta-laktam dan glikopeptida), menghambat sintesis protein (golongan makrolida dan aminoglikosida), mengganggu sintesis asam nukleat (fluorokuinolon dan rifampin), merusak struktur membran (polimiksin dan daptomisin), dan menghambat jalur metabolisme (sulfonamid) (Tenover 2006). Penggunaan antimikrob secara terus menerus yang tidak sesuai dapat menimbulkan resistensi bakteri. Resistensi dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu merusak antimikrob dengan enzim yang diproduksi, mengubah reseptor titik tangkap antimikrob, mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antimikrob pada sel bakteri, antimikrob tidak dapat menembus dinding sel akibat perubahan sifat dinding sel bakteri, dan antimikrob masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari dalam sel melalui mekanisme transport aktif keluar sel (Levy dan Marshall 2004; Saga dan Yamaguchi 2009). Antibiotik Βeta-Laktam Antibiotik beta-laktam merupakan golongan antibiotik yang cukup besar dan paling banyak digunakan. Semua antibiotik yang termasuk dalam golongan β–laktam mempunyai struktur molekul yang mengandung gugus beta-laktam. Golongan antibiotik ini meliputi penicillin dan turunannya, cephalosporin, monobactam, dan carbapenem (Gambar 1). Antibiotik beta-laktam bekerja dengan menghambat pembentukan dinding sel bakteri, yaitu dengan mengikat enzim yang membentuk dinding sel, penicillin binding proteins (PBPs). Penghambatan PBPs melemahkan dinding sel, yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel dan perlahan-lahan akan menyebabkan kematian sel (Babic et al. 2006). Kelompok besar antibiotik golongan beta-laktam adalah turunan 6aminopenicillanic acid (6-APA) dan sefalosporin (Gambar 2). Antibiotik yang merupakan turunan 6-APA antara lain penicillin G, penicillin V, ampicillin, methicillin dan carbenicillin. Sebagian besar bakteri mengalami resistensi terhadap penicillin, karena adanya penicillinase atau beta-laktamase kelompok A (Bradford 2001). Kelompok sefalosporin hingga sekarang ini masih banyak digunakan, dan terdiri dari 5 generasi yang berbeda dalam spektrum aktivitas. Sefalosporin generasi pertama (cefadroxil, cephradine) lebih efektif terhadap bakteri Gram-positif dibanding Gram-negatif. Generasi kedua (cefuroxime, cefaclor) memiliki aktivitas terhadap bakteri Gram-positif sama baiknya terhadap Gram-negatif. Sefalosporin generasi ketiga, keempat dan kelima (cefotaxime, ceftriaxon), pada umumnya efektif terhadap bakteri Gram-negatif dan

6 Staphylococcus tidak resisten meticilin, dan terkadang mencapai sistem saraf pusat sehingga digunakan untuk pengobatan meningitis (Rice 2012).

Gambar 1 Struktur kimia penicillin G (kiri) dan sefalosporin (kanan) (Babic et al. 2006) Mekanisme resistensi terhadap antibiotik beta-laktam meliputi, penurunan kemampuan antibiotik untuk mencapai PBPs, menurunkan afinitas pengikatan PBPs, dan merusak antibiotik melalui ekspresi enzim beta-laktamase. Enzim beta -laktamase bekerja dengen mengikat dan memotong cincin beta-laktam. Pada bakteri Gram-positif, antibiotik memiliki kebebasan untuk menjangkau membran sitoplasma bakteri, dimana terdapat PBPs. Pada bakteri Gram-negatif, membran terluar dari bakteri (yang tidak dijumpai pada Gram-positif) mampu membatasi masuknya beta-laktam dan memusatkan molekul beta-laktamase. Molekul betalaktam apabila tidak mampu mencapai ruang periplasma, baik karena terjadi penurunan kemampuan jangkauan atau karena meningkatnya efluk. Pengumpulan beta-laktamase, walaupun relatif lemah, akan dapat menyebabkan tingkat resistensi yang tinggi (Poole 2004; Wilke et al. 2005; Bockstael dan Aerschot 2008).

Escherichia coli ATCC 35218 Bakteri E. coli merupakan kelompok gram-negatif yang tidak membentuk spora, berbentuk batang anaerob fakultatif dan tergolong ke dalam famili Enterobacteriaceae. Sebagian besar E. coli spp. merupakan penghuni yang tidak berbahaya di dalam usus manusia dan hewan berdarah-panas lainnya, namun, beberapa galur dapat menimbulkan penyakit. Berdasarkan penyakit yang ditimbulkan E. coli digolongkan menjadi ETEC (Enterotoxigenic E. coli), EPEC (Enteropathogenic E. coli), EIEC (Enteroinvasive E. coli), EHEC (Enterohemorrhagic E. coli) dan EAEC (Enteroaggregative E. coli). Kejadian infeksi tertinggi di negara berkembang, termasuk Indonesia, diakibatkan EHEC, salah satunya akibat patogen E. coli serotype O157:H7. Infeksi terjadi akibat konsumsi daging, buah, sayuran dan air yang tercemar (Miller et al. 2001; Kiranmayi et al. 2010). Dalam penelitian-penelitian uji kerentanan E. coli serotype O157:H7 terhadap suatu antimikrob, karena sifatnya yang sangat patogen, maka untuk keselamatan dan keamanan menggunakan bakteri pengganti yang tidak bersifat patogen namun memiliki sifat yang paling mirip, yaitu menggunakan E. coli ATCC 35218 (Gurtler et al. 2010). Escherichia coli ATCC 35218 merupakan galur yang menghasilkan beta-laktamase, yaitu suatu enzim yang mampu menghidrolisis cincin beta-laktam dan menjadikan antimikrob tidak aktif sebelum

7 mencapai target penicillin-binding proteins (PBPs). Βeta-laktamase yang dihasilkan adalah TEM-1 yang termasuk dalam beta-laktamase kelompok A (penicillinase). Βeta-laktamase kelompok A adalah kelompok yang paling luas penyebarannya, enzim tersebut dibawa dalam plasmid, sensitif terhadap inhibitor yang secara komersial ada di pasaran dan resisten terhadap penisilin dan sefalosporin turunan pertama (Gupta 2007). Jenis enzim tersebut banyak dijumpai pada isolat klinis dan dapat dihambat oleh clavulanat, sulbaktam and tazobaktam. Pada bakteri gram negatif termasuk E. coli, enzim beta-laktamase terdapat pada bagian periplasma, tempat bakteri melawan antimikrob sebelum sampai pada situs reseptor (Bradford 2001; Miller et al. 2001). Mekanisme resistensi E. coli terhadap antimikrob yang terjadi kemungkinan karena menerima gen penyandi enzim beta-laktamase yang berfungsi merusak antimikrob sebelum antimikrob memberikan reaksi. Mekanisme ke dua, bakteri menerima tekanan dari dalam sel yang dapat menghancurkan antimikrob sebelum mencapai sasaran (mekanisme effluks). Mekanisme ke tiga, bakteri menerima gen untuk siklus metabolisme yang memungkinkan dinding sel mengubah tempat pelekatan suatu agen antimikrob sehingga antimikrob tidak dapat melekat (Rupp dan Fey 2003; Tenover 2006).

Pengujian Aktivitas Antibakteri Munculnya resistensi antimikrob mendorong para peneliti untuk mencari senyawa antimikrob baru, salah satunya menggunakan mikrob sebagai sumber pencarian dengan berbagai metode pengujian. Dalam uji aktivitas antimikrob dari mikrob beberapa peneliti melakukan pengujian awal untuk mengetahui ada tidaknya aktivitas antibakteri yang dihasilkan oleh isolat mikrob tersebut. Metode ini bersifat kualitatif dan menggunakan mikrob uji yang tidak atau sedikit bersifat patogen, selanjutnya dilakukan penapisan dengan metode pengenceran, metode ini bersifat kuantitatif dan biasanya menggunakan mikrob yang benar-benar patogen (Smania-Jr et al. 2007). Penapisan awal aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain adalah dengan metode streak (Ogunmwonyi et al. 2010), metode agar overlay (Thakur et al. 2007), metode agar well, metode difusi agar (Al-Zahrani 2007), dan metode difusi cakram (Ilic et al. 2007).

3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT (BP Bioteknologi), Kawasan Puspiptek Serpong. Penelitian dilaksanakan mulai November 2011 sampai Juni 2013.

8 Peremajaan dan Pembuatan Kultur Kerja Isolat Aktinomiset Isolat aktinomiset yang digunakan merupakan koleksi BP Bioteknologi BPPT hasil isolasi dari tanah beberapa daerah di Indonesia. Peremajaan isolat aktinomiset dilakukan dengan menumbuhkan kembali isolat aktinomiset dari stok dalam gliserol beku pada media agar International Streptomyces Project (ISP) 2 dan diinkubasikan pada suhu 28 oC selama 14-21 hari. Koloni tunggal yang diperoleh ditumbuhkan di dalam 5 ml media ISP1 dan diinkubasi pada suhu 30 oC selama 72 jam. Kultur dalam media ISP1 kemudian diinokulasikan sebanyak 200 µl ke dalam media ISP2 dalam tabung dan di inkubasi pada suhu 28 oC selama 1421 hari. Isolat aktinomiset dalam tabung selanjutnya digunakan sebagai kultur kerja dan disimpan di dalam lemari pendingin pada suhu 2-5 o C.

Pengelompokan Isolat Aktinomiset Pengelompokan isolat aktinomiset menjadi kelompok Streptomyces dan non-streptomyces, dilakukan berdasarkan morfologi mikroskopis. Pengamatan morfologi mikroskopis secara langsung dilakukan terhadap koloni yang tumbuh pada media agar ISP2 (14-21 hari) pada perbesaran 400x menggunakan mikroskop (Olympus BX51). Karaktersistik morfologi yang diperoleh dibandingkan dengan panduan yang terdapat pada Bergey’s Manual (Kawamoto 1989).

Penapisan Aktivitas Antibakteri Penapisan aktivitas antibakteri dilakukan terhadap 96 isolat menggunakan metode agar plug pada media Mueller Hinton Agar (MHA). Isolat aktinomiset di dalam media agar ISP2 dalam cawan (21 hari) dipotong (diameter ± 7 mm) dan diletakkan di atas media uji Mueller Hinton Agar (MHA) yang telah diinokulasi dengan bakteri uji sebanyak 106 cfu/ml. Cawan di inkubasi selama 24 jam pada suhu 36 ± 1oC dan dilakukan pengamatan aktivitas antibakteri, yang ditandai dengan zona bening disekitar isolat aktinomiset. Aktivitas daya hambat diperoleh dengan mengukur diameter zona bening di sekitar isolat menggunakan jangka sorong (Mitutoyo, Japan) (Sharma et al. 2011).

Karakterisasi pola aktivitas antibakteri Karakterisasi pola aktivitas antibakteri dari kultur agar dilakukan dengan menumbuhkan isolat aktinomiset aktif pada media agar ISP2 dalam cawan dan diinkubasikan pada suhu 28 oC selama 15 hari. Setiap 3 hari inkubasi, kultur diambil dan dilakukan uji aktivitas antibakteri menggunakan metode agar plug (seperti metode penapisan aktivitas antibakteri di atas). Karakterisasi pola aktivitas antibakteri dari ekstrak etil asetat dilakukan dengan menumbuhkan isolat aktinomiset di dalam media cair ISP2, pada suhu 28 oC selama 15 hari, dan dilakukan pengocokan dengan kecepatan 220 rpm (Rotary Shaker Incubator,

9 Takasaki Scientific Instruments Corp). Setiap 3 hari inkubasi, 350 ml kultur diambil dan dilakukan ekstraksi menggunakan pelarut etil asetat (1:1 v/v). Campuran di kocok dalam pengocok (Resipro Shaker SR-2s, Taitec) dengan kecepatan 300 stroke/menit selama 60 menit, dan kemudian disentrifugasi pada kecepatan 3000 x g (Kubota 7780) selama 20 menit. Fase organik dipisahkan dari fase air dan dipekatkan pada suhu 40 oC, ± 3 jam dalam labu rotavapor sampai diperoleh kurang lebih 20 ml ekstrak. Pemekatan dilanjutkan dengan memindahkan ekstrak ke dalam tabung dan proses dilakukan dengan alat pemekat pada suhu 30 oC, ± 90 menit (Sakuma EC-2000) sehingga diperoleh ekstrak etil asetat pekat. Ekstrak etil asetat kemudian dilarutkan dalam metanol (HPLC Grade 99% kemurnian) dan dibuat pada konsentrasi 30000 mg/l. Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode Kirby-Bauer (Bauer et al. 1966). Ekstrak etil asetat dalam metanol diteteskan ke dalam kertas cakram diameter 6 mm sampai konsentrasi 1 mg/disc (30 µl) dan dikering anginkan. Kertas cakram selanjutnya diletakkan di atas media MHA yang telah di inokulasi dengan bakteri uji (10 6 cfu/ml) dan di inkubasi pada suhu 36 ± 1 oC selama 24-48 jam. Kontrol negatif yang digunakan adalah etil asetat dan metanol, dan sebagai kontrol positif adalah ampisilin pada konsentrasi 30 µg/disc, juga dilakukan uji aktivitas antibakteri.

Karakterisasi pola pertumbuhan dan morfologi aktinomiset aktif Karakterisasi pola pertumbuhan di dalam media agar dilakukan dengan menumbuhkan isolat pada empat jenis media agar dalam cawan, yaitu Yeastextract malt-extract (ISP2), Inorganic salt-starch (ISP4), Micromonospora Starch Medium (MS), dan Bennett’s Medium (BM) (Lampiran 4). Inkubasi selama selama 21 hari pada suhu 28 oC dan dilakukan pengamatan yang meliputi warna koloni, pertumbuhan miselia, dan pertumbuhan spora. Karakterisasi pola pertumbuhan isolat aktinomiset di dalam media cair dilakukan dengan menumbuhkan masing-masing kultur murni aktinomiset ke dalam 30 ml media vegetatif (ISP2 cair). Kultur vegetatif sebanyak 10 % (v/v)(106 spora/mL) dipindahkan ke dalam 45 ml media fermentasi cair setelah 72 jam inkubasi pada suhu 28 oC, 220 rpm Fermentasi dilakukan pada kondisi yang sama selama 15 hari dan setiap selang waktu 3 hari kultur di panen. Sepuluh mililiter kultur dimasukkan ke dalam tabung dan disentrifugasi pada kecepatan 3000 x g selama 5 menit pada suhu 4 oC untuk memisahkan miselia dari partikel-partikel di dalam media (dilakukan menggunakan Kubota 7780). Miselia yang telah terpisah dilarutkan kembali dengan larutan salin (0,85% natrium klorida) sampai diperoleh volume awal. Tahap ini di ulang sampai 3 kali, kemudian tabung dibiarkan selama 20 menit agar miselia mengendap. Padatan miselia atau packed mycelial volume (PMV) di ukur dan dinyatakan sebagai persen (%) sel terhadap volume (10 ml) cairan (Rho et al. 1991). Karakterisasi morfologi isolat aktinomiset secara mikroskopis dilakukan dengan pengamatan terhadap kultur di dalam media agar yang meliputi struktur miselia, spora, dan perkembangan sporofor secara langsung dibawah mikroskop (perbesaran 500-1000x). Morfologi isolat yang telah diamati dibandingkan dengan morfologi aktinomiset yang diberikan dalam Bergey’s Manual untuk pendugaan identifikasi isolat sampai ke tingkat genus (Kawamoto 1989).

10 Karakterisasi Molekuler Isolat Aktinomiset Aktif Isolasi DNA DNA isolat aktinomiset diekstraksi menggunakan Instagene Matrix (BioRad) dan dilakukan sesuai prosedur dari pabrik. Koloni tunggal aktinomiset pada media agar diambil dan dimasukkan ke dalam tabung mikro yang telah diisi dengan 10 µl ddH2O, kemudian ditambahkan kedalamnya 90 µl larutan Instagene Matrix. Tabung yang berisi campuran tersebut selanjutnya dipanaskan pada suhu 100 ºC selama 15 menit dan disentrifugasi pada kecepatan 12500 rpm/16500 x g (TOMY MX-301, USA) selama 3 menit. Supernatan diambil sebanyak 8 µl untuk dilakukan amplifikasi menggunakan PCR (PCR Thermal Cycler, Takara, Japan). Konsentrasi dan kemurnian DNA hasil isolasi ditentukan dengan spektrofotometer (Nanodrop ND-1000). Amplifikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA hasil ekstraksi Amplifikasi dilakukan menggunakan Master mix dari produk Go Taq Green Master Mix (Promega) dalam campuran yang terdiri dari ddH2O 1.6 µL, DMSO 1 µl, primer universal 178 F (5′-GATCCACATGATGTATTAGTGC) 0.2 µl, primer universal 179 R (5'-GGTGTTGTCGTTGTTCCAGTAGAGGATGTC) 0.2 µl, Master Mix 9 µl, dan template 8 µL. Semua bahan dicampur dengan pipet dan larutan dispindown dengan disentrifugasi. Kondisi PCR yang digunakan adalah sebagai berikut : pre-denaturasi 96 oC, 2 menit; denaturasi 96 oC, 20 detik; annealing 60 oC, 20 detik; elongasi 72 oC, 1 menit; elongasi akhir 72 oC, dan dilakukan sebanyak 35 siklus. Pemurnian produk PCR Tahap ini dilakukan menggunakan Gel/PCR DNA fragments Extraction Kit (DF Buffer, Washing Buffer, Elution Buffer, DF Column). Produk PCR 4 µl diambil, ditambah dengan 6 µl ddH2O dan dicampur dengan 1 µL 10x loading dye. Campuran dimasukkan ke dalam sumur gel agarosa (1%) dan dilakukan elektroforesis, adanya fragmen DNA divisualisasi dengan UV. Potongan DNA yang terbentuk pada gel agarose kemudian dipotong ± 300 mg dan dimasukkan ke dalam tabung mikro. Buffer DF ditambahkan ke dalam tabung sebanyak 500 µl, dihomogenkan dengan vortek, dan diinkubasi pada suhu 55-60 oC selama 10 menit sampai potongan gel benar-benar terlarut. Selama inkubasi, tabung dibolakbalik tiap 2-3 menit dan sampel didinginkan sampai suhu ruang. Campuran sampel diambil sebanyak 800 µl dan dimasukkan ke dalam DF Column yang ditempatkan pada tabung pengumpul, kemudian disentrifugasi 8000 rpm selama 30 detik. Cairan yang mengalir sepanjang kolom dibuang dan diletakkan kembali pada tabung pengumpul. Selanjutnya, 500 µl Washing Buffer (ditambah etanol) ditambahkan ke dalam DF Column dan disentrifugasi 8000 rpm selama 30 detik. Cairan yang mengalir sepanjang kolom dibuang dan diletakkan kembali pada tabung pengumpul dan dilakukan sentrifugasi lagi selama 2 menit (14000 rpm) untuk mengeringkan matriks dalam kolom. Kolom yang telah kering dimasukkan ke dalam tabung mikro baru dan ditambahkan ke dalamnya 15-50 µl Elution Buffer pada bagian tengah matriks. Tabung mikro berisi kolom dibiarkan selama 2 menit sampai elution buffer terserap oleh matriks, kemudian disentrifugasi 15000 rpm selama 2 menit untuk mencuci bersih DNA yang telah dimurnikan.

11 Amplifikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA hasil pemurnian Tahap ini dilakukan menggunakan Master mix dari produk Go Taq Green Master Mix (Promega). Amplifikasi dilakukan dalam campuran yang terdiri dari ddH2O 1.6 µl, DMSO 1 µl, primer 178 F 0.2 µl, primer 179 R 0.2 µl, Master Mix 9 µl, dan Template 8 µl. Kondisi PCR yang digunakan adalah sebagai berikut : pre-denaturasi 96 oC, 2 menit; denaturasi 96 oC, 20 detik; annealing 60 oC, 20 detik; elongasi 72 oC, 1 menit; elongasi akhir 72 oC, dan dilakukan sebanyak 35 siklus. Produk PCR yang telah dilakukan pemurnian disekuens menggunakan ABI 3130 Genetic Analyzer. Hasil sekuens 16S rRNA dibandingkan dengan database yang ada di genebank National Center Biotechnology Information (NCBI) dengan Basic Aligment Search Tool (BLAST). Sekuen 16S rRNA selanjutnya disejajarkan menggunakan program CLUSTAL W2. Analisis filogenetik dilakukan menggunakan perangkat lunak MEGA 5. Jarak genetik dikomputasi menggunakan metode p-distance (Tamura et al. 2011).

Karakterisasi awal dan pendugaan berat molekul senyawa aktif antibakteri Ekstrak etil asetat isolat aktinomiset aktif yang telah dikeringkan dibuat larutan pada konsentrasi 1000 mg/l menggunakan metanol (HPLC Grade). Larutan selanjutnya, dianalisis menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Sistem KCKT yang digunakan adalah Waters 2695, dengan kolom C18 Puresil (5µ; 4,6x150 mm), fase gerak asetronitril 100%, pada panjang gelombang 254 nm. Dari larutan yang sama dilakukan analisis menggunakan quadrupole time-of flight mass sphectrometry (QTOF-MS)(XEVO Waters) untuk pendugaan berat molekul senyawa yang terdapat dalam ekstrak etil asetat isolat aktinomiset aktif. Berat molekul yang diperoleh dibandingkan dengan database yang terdapat di ChemSpider untuk mengetahui jenis senyawa.

12 Digram Alir Penelitian

96 isolat aktinomiset

Streptomyces

Non-streptomyces

Penapisan aktivitas antibakteri E.coli ATCC 35218

Isolat aktinomiset aktif

Karakterisasi isolat aktinomiset

16S rRNA

Karakterisasi pola pertumbuhan isolat aktinomiset

Morfologi

A

B

C

D

Karakterisasi pola aktivitas antibakteri

Kultur agar

Media Padat dan Cair

Isolat aktinomiset potensial sebagai penghasil senyawa antibakteri E.coli ATCC 35218 yang terkarakterisasi secara morfologi dan molekuler

Ekstrak kasar

Ekstrak paling aktif Analalisis KCKT, QTOF-MS

Gambar 2 Diagram alir keseluruhan penelitian

4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengelompokan isolat aktinomiset berdasarkan morfologi mikroskopis diperoleh 8 isolat yang termasuk ke dalam kelompok Streptomyces dan 88 isolat termasuk dalam kelompok non-streptomyces. Hasil selengkapnya disajikan pada Lampiran 1. Penapisan aktivitas antibakteri terhadap 96 isolat aktinomiset diperoleh 3 isolat yang menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap E. coli ATCC 35218, masing-masing adalah isolat BioMCC-at.HH-64, BioMCC-at.HH-

13 78 dan BioMCC-at.HH-259, berturut-turut dengan diameter penghambatan sebesar 13,55, 13,88 and 14,71 mm (Lampiran 2). Aktivitas antibakteri ditunjukkan oleh zona bening di sekitar isolat (Gambar 3).

Gambar 3 Aktivitas antibakteri isolat aktinomiset BioMCCat.HH-64, BioMCC-at.HH-78 dan BioMCCat.HH-259 terhadap E.coli ATCC 35218 (ditandai oleh tanda panah) Dari hasil pengelompokan isolat aktinomiset yang digunakan pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa 92% isolat aktinomiset yang digunakan merupakan kelompok non-streptomyces atau aktinomiset langka. Aktinomiset langka merupakan sumber potensial untuk penapisan senyawa aktif, dalam hal ini senyawa antibakteri, yang berasal dari mikrob (Berdy 2005). Hal ini terbukti dengan adanya aktivitas antibakteri dari isolat aktinomiset yang diujikan, yaitu diperoleh tiga isolat yang mampu menghambat E. coli ATCC 35218. Aktivitas antibakteri tertinggi dihasilkan oleh isolat BioMCC-at.HH-259 dengan diameter hambat 14,7 mm. Tingkat penghambatan yang dihasilkan oleh isolat aktinomiset BioMCC-at.HH-259 dan dua isolat lainnya termasuk dalam kategori lemah. Tingkat penghambatan diperoleh dengan mengurangi diameter penghambatan yang terbentuk dengan diameter kultur aktinomiset yang diujikan. Tingkat penghambatan 5 < 10 mm termasuk dalam kategori lemah, 10 < 20 mm kategori sedang, dan > 20 mm termasuk dalam kategori kuat (El-Tarabily et al. 2000). Pola aktivitas antibakteri isolat aktinomiset aktif di dalam media agar berdasarkan umur kultur disajikan pada Gambar 4. Isolat BioMCC-at.HH-64 dan 78 mulai menunjukkan aktivitas antibakteri pada umur 3 hari, sedangkan isolat BioMCC-at.HH-259 mulai menunjukkan aktivitas antibakteri pada umur 6 hari. Aktivitas antibakteri paling tinggi terjadi pada kultur umur 9 hari dan mulai menurun pada kultur umur 12 hari.

Diameter penghambatan (mm)

14 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0

0

3

6

9

12

15

Umur kultur (hari)

Gambar 4

Pola aktivitas antibakteri isolat aktinomiset BioMCC-at.HH-64 (○), BioMCC-at.HH-78 (□) dan BioMCC-at.HH-259 (∆) berdasarkan umur kultur pada media agar

Diameter peghambatan (mm)

Pola aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat kasar isolat aktinomiset aktif berdasarkan lama fermentasi di dalam kultur cair disajikan dalam Gambar 5. Hasil menunjukkan sampai hari ke-15 fermentasi, ekstrak etil asetat dari isolat BioMCC-at.HH-64 tidak menunjukkan aktivitas antibakteri. Ekstrak etil asetat isolat BioMCC-at.HH-78 menunjukkan aktivitas antibakteri setelah fermentasi 12 hari dan aktivitas antibakteri tidak terlihat pada ekstrak hasil fermentasi 15 hari. Ekstrak etil asetat isolat BioMCC-at.HH-259 juga menunjukkan aktivitas antibakteri setelah fermentasi 12 hari dan aktivitas antibakteri meningkat setelah fermentasi 15 hari. Dibandingkan dengan kontrol positif yang digunakan, yaitu ampisilin, aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat dari BioMCC-at.HH-259 setelah 15 hari fermentasi pada konsentrasi 1 mg per disc setara dengan aktivitas antibakteri ampisilin pada konsentrasi 30 µg per disc (Lampiran 3). Perbedaan konsentrasi yang cukup tinggi tersebut kemungkinan dikarenakan ekstrak etil asetat aktinomiset masih banyak mengandung pengotor baik dari media fermentasi maupun senyawa lainnya, sedangkan kontrol sudah merupakan senyawa murni dengan tingkat kemurnian 99%. 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 0

3

6

9

12

15

Lama Fermentasi (hari)

Gambar 5 Pola aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat isolat aktinomiset berdasar lama fermentasi (BioMCC-at.HH-64 (○), BioMCC-at.HH-78 (□) dan BioMCC-at.HH-259 (∆))

15 Pola aktivitas antibakteri yang dihasilkan dari kultur agar dan cair pada penelitian ini sangatlah berbeda. Perbedaan tersebut dimungkinkan ketika uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap kultur agar isolat aktinomiset, maka banyak campuran senyawa lainnya yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap E.coli ATCC 35218 dan ketika dilakukan ekstraksi, senyawa tersebut tidak dapat larut di dalam etil asetat. Kasus seperti ini mungkin dikarenakan pelarut yang kurang sesuai dan proses pengocokan campuran yang tidak cukup (Gurung et al. 2009). Kemungkinan lainnya adalah karena perbedaan morfologi aktinomiset ketika ditumbuhkan di dalam media agar dan cair, yaitu sebagai miselia berfilamen di dalam media agar dan sebagai potongan-potongan miselia di dalam media cair, atau karena adanya modifikasi kimia dari senyawa aktif yang menjadi tidak aktif di dalam kultur cair (Bushell 1993). Aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat dari kultur cair, selain dipengaruhi oleh kondisi fermentasi termasuk komposisi media, aerasi dan jumlah inokulum; juga dipengaruhi oleh proses ekstraksi, termasuk pelarut yang digunakan dan lamanya pengocokan campuran (Qin et al. 2012). Aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat isolat aktinomiset baru terlihat setelah 12 hari fermentasi, yaitu lebih lambat dibandingkan aktivitas antibakteri dari kultur agar. Pada kelompok aktinomiset dan mikrob berspora lainnya, produksi metabolit sekunder terjadi bersamaan, atau sedikit lebih awal, sebelum dimulainya sporulasi, hal ini terjadi ketika ditumbuhkan pada media agar atau padat. Dari hasil penelitian ini, isolat BioMCC-at.HH-259 menunjukkan aktivitas antibakteri yang lebih lambat dibandingkan dua isolat lainnya, kemungkinan karena dimulainya proses sporulasi yang juga lebih lambat. Produksi metabolit sekunder maupun sporulasi terjadi hampir bersamaan pada awal fase stasioner, dapat diduga bahwa kedua proses tersebut diatur oleh mekanisme yang tumpang tindih. Pada beberapa kasus tidak ada keterkaitan antara pembentukan spora dan produksi antibiotik, khususnya, oleh organisme yang tidak berspora. Dalam kultur cair, produksi metabolit sekunder umumnya terbatas sampai pada fase stasioner, dan lebih sering terjadi karena keterbatasan nutrisi (Bibb 2005; Glazer dan Nikaido 2007). Berdasarkan pola aktivitas antibakteri yang diperoleh di atas, menunjukkan bahwa produksi senyawa antibakteri E. coli ATCC 35218 oleh isolat aktinomiset BioMCC-at.HH-64, 78, dan 259 dipengaruhi oleh umur kultur dan lama fermentasi. Penggunaan media agar atau padat dalam penelitian ini lebih sesuai untuk produksi senyawa aktif antibakteri, karena membutuhkan waktu yang lebih cepat, namun penelitian lebih lanjut perlu dilakukan. Hasil karakterisasi pola pertumbuhan isolat aktinomiset aktif di dalam 4 jenis media agar yang digunakan bervariasi antar isolat, meskipun secara umum semua isolat mampu tumbuh dengan baik pada lebih dari satu media yang berbeda (Tabel 2). Morfologi makroskopis masing-masing isolat di dalam keempat media ditampilkan dalam Gambar 6.

16 Tabel 2 Pola pertumbuhan isolat aktinomiset aktif pada berbagai media agar 1

BioMCC-at.HH-64 2

3

ISP2

Bagus

Hitam

Hitam

ISP4

Bagus

Hitam

MS

Kurang bagus

BM

Sedang

Media

Oranye-hitam kecoklatan Oranye-hitam kecoklatan

BioMCC-at.HH-78 1 2 3 Hitam Sedang Hitam kecoklatan

Tidak berwarna Bagus Tidak berwarna Bagus Tidak berwarna Bagus

BioMCC-at.HH-259 1 2 3 Bagus

Hitam

Hitam

Tidak berwarna

Bagus

Hitam

Tidak berwarna

Hitam Tidak berwarna kecoklatan

Bagus

Hitam

Tidak berwarna

Tidak berwarna Sedang

Krem

Tidak berwarna

Hitam

Hitam

Gambar 6 Morfologi makroskopis isolat aktinomiset aktif di dalam 4 jenis media agar setelah 21 hari inkubasi (1 BioMCC-at.HH-64, 2 BioMCCat.HH-78, 3 BioMCC-at.HH-259; A ISP2, B ISP4, C MS, D BM) Secara keseluruhan, pertumbuhan ketiga isolat aktinomiset tumbuh dengan bagus pada ke empat media yang berbeda. Koloni yang tumbuh memperlihatkan warna miselium mulai dari tidak berwarna, oranye, sampai hitam kecoklatan atau kehijauan. Morfologi koloni tunggal yang terbentuk juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, kecuali koloni isolat BioMCC-at.HH-78 di dalam media ISP2. Pada umumnya koloni yang dibentuk oleh isolat aktinomiset pada permukaan media agar terdapat tiga tipe. Tipe pertama terdiri dari koloni pucat kasar atau halus yang dapat dengan mudah terlepas dari media padat. Koloni ini jarang ditutupi dengan miselia aerial dan biasanya dibentuk oleh aktinomiset dengan fase miselia sementara. Tipe ke dua, koloni yang hampir tanpa miselia substrat dan terdiri dari hifa aerial yang melekat kuat pada media. Tipe ke tiga, merupakan koloni yang padat dan kasar biasanya membawa hifa aerial yang

17 melekat erat pada media melalui hifa yang menembus ke dalam media (Kalakoutskii dan Agre 1976). Berdasarkan tipe-tipe koloni di atas, ketiga isolat aktinomiset termasuk ke dalam tipe yang pertama. Hasil karakterisasi pola pertumbuhan isolat aktinomiset di dalam empat jenis media cair bervariasi antar isolat (Gambar 7). Berdasarkan PMV yang diperoleh, pertumbuhan ketiga isolat di dalam media ISP4 menunjukkan pertumbuhan yang relatif lebih bagus dibandingkan di dalam media lainnya.

BioMCC-at.HH-64

12

BioMCC-at.HH-78

10

10

8 PMV (%)

8 6 4

6 4 2

2

0

0 0

3

6

9

12

15

0

3

6

9

12

BioMCC-at.H-259

12 10 8 PMV (%)

PMV (%)

12

6 4

2 0 0

3

6 9 Lama fermentasi (hari)

12

15

Gambar 7 Pola pertumbuhan isolat aktinomiset aktif di dalam media cair ISP2 (), ISP4 (), MS () dan BM () Pola pertumbuhan isolat aktinomiset di dalam media cair ditandai dengan biomassa (% PMV) yang diperoleh, semakin tinggi persentase PMV yang terbentuk menandakan pertumbuhan yang semakin bagus. Hasil memperlihatkan bahwa isolat BioMCC-at.HH-64 menunjukkan pertumbuhan relatif paling bagus di dalam media ISP4, diikuti pertumbuhan dalam media ISP2, MS, dan BM. Pola yang sama juga diperlihatkan oleh isolat BioMCC-at.HH-259. Media pertumbuhan yang paling bagus untuk pertumbuhan isolat BioMCC-at.HH-78 adalah media ISP4, yang diikuti oleh pertumbuhan di dalam media ISP2, BM dan MS. Secara keseluruhan pertumbuhan terbaik ditunjukkan oleh pertumbuhan isolat aktinomiset di dalam media ISP4. Media ISP4 memiliki komposisi paling lengkap dibandingkan dengan media lain yang digunakan, yaitu mengandung soluble starch, ammonium sulfat, dan kalium fosfat, berturut-turut adalah sebagai

15

18 sumber karbon, nitrogen, dan fosfat. Media tersebut juga menyediakan elemen mikro sebagai sumber logam, seperti zat besi dan mangan. Pola pertumbuhan di dalam media ini juga bervariasi antar isolat, hal ini dimungkinkan karena kemampuan untuk mencerna komponen media juga bervariasi (Kalakoutskii dan Agre 1976; Glazer dan Nikaido 2007). Pertumbuhan dan produksi antibiotik oleh aktinomiset dan mikrob lain yang berspora di dalam batch culture, terutama dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama adalah sifat dasar dan konsentrasi komposisi media yang berbeda seperti karbon, nitrogen, fosfat, dan sumber logam. Sumber karbon yang dapat secara langsung tersedia untuk pertumbuhan, seperti glukosa, seringkali menekan produksi antibiotik namun sangat bagus untuk pertumbuhan. Polisakarida seperti, pati, lebih sering digunakan dalam produksi antibiotik. Kedua, kondisi kultivasi seperti suhu, pH, waktu inkubasi, ketersediaan oksigen, serta tipe dan konsentrasi inokulum. Dalam kultur kocok, faktor paling penting yang berpengaruh terhadap perpindahan massa gas dalam media kultivasi adalah bentuk dan volume labu kultivasi, volume media, agitasi, dan kekentalan media (El-Enshasy et al. 2000; Himabindu dan Jetty 2006). Hasil pengamatan morfologi mikroskopis isolat aktinomiset aktif menunjukkan bahwa semua isolat termasuk ke dalam kelompok nonstreptomyces, yaitu genus Micromonospora. Berdasarkan morfologinya isolat aktinomiset aktif memiliki spora tunggal berbentuk bola dengan ukuran 0,6 -0,9 µm yang terletak pada pangkal cabang hifa yang pendek atau panjang, dan beberapa berkembang dalam satu kelompok (Gambar 8).

Gambar 8 Morfologi mikroskopis isolat aktinomiset aktif setelah inkubasi 21 hari pada media agar ISP2, spora ditunjukkan oleh tanda panah (perbesaran 1000x) Micromonospora merupakan salah satu genus aktinomiset selain Streptomyces, yang dikenal sebagai penghasil antibiotik dunia, dan genus ini masih sangat sedikit diteliti dibandingkan dengan Streptomyces. Beberapa senyawa bioaktif baru merupakan hasil isolasi dari spesies Micromonospora, dan menunjukkan aktivitas antitumor, antiparasit, and antimikrob (Charan et al. 2004; Igarashi et al. 2007; Gärtner et al. 2011; Sakai et al. 2012). Anggota dari genus Micromonospora yang dikenal sebagai penghasil antibiotik antara lain adalah M. purpurea dan M. echinospora, keduanya merupakan penghasil gentamisin, dan M. chalcea yang merupakan penghasil izumenolida. Gentamisin merupakan 18 antibiotik dengan spektrum luas, bersifat basa, dan terlarut dalam air, dengan aktivitas tinggi terhadap bakteri Gram-negatif dan Mycobacterium tuberculosis

19 (Himabindu dan Jetty 2006), sedangkan, izumenolida merupakan inhibitor betalaktamase (Liu et al. 1980). Dari hasil pengamatan morfologi dapat disimpulkan bahwa isolat aktinomiset aktif dalam penelitian ini termasuk dalam kelompok non-streptomyces (aktinomiset langka). Hasil isolasi DNA isolat aktinomiset aktif dilakukan elektroforesis di dalam gel agarose dan hasil pengamatan menunjukkan terbentuknya pita tunggal pada gel dengan ukuran ± 700 pb. Gambar elektroforesis DNA di dalam gel agarose tidak disajikan karena kualitas gambar yang tidak bagus. Hasil kuantifikasi konsentrasi DNA isolat aktinomiset adalah 62,62 ng/ul untuk isolat BioMCCat.HH-64, 39,48 ng/ul untuk BioMCC-at.HH-78 dan 90,24 ng/ul untuk isolat. Tingkat kemurnian masing-masing amplikon adalah 1,90 untuk isolat BioMCCat.HH-64, 1,79 untuk BioMCC-at.HH-78 dan 1,93 untuk BioMCC-at.HH-259 (Tabel 3). Tabel 3 Hasil kuantifikasi konsentrasi dan kemurnian DNA hasil isolasi Kode Isolat

Konsentrasi (ng/ul)

Kemurnian

BioMCC-at.HH-64

62,62

1,90

BioMCC-at.HH-78

39,48

1,78

BioMCC-at.HH-259

90,24

1,93

Berdasarkan hasil kuantifikasi konsentrasi DNA hasil isolasi di atas menunjukkan bahwa DNA yang diperoleh cukup untuk dilakukan amplifikasi, demikian juga dengan tingkat kemurnian yang diperoleh. DNA dapat dikatakan murni atau terbebas dari kontaminan protein jika memiliki kemurnian 1,8 – 2,0. Sekuens 16S rRNA dari produk PCR dengan ABI Genetic Analyzer menunjukkan hasil yang cukup bagus dan dapat dilihat dari kromatogram yang terbentuk (Lampiran 5-10), panjang sekuens yang diperoleh berkisar antara 610-720 pb dari total sekitar 1500 pb sekuen 16S rRNA. Hasil sekuens parsial selanjutnya dilakukan analisis menggunakan perangkat lunak BioEdit untuk mendapatkan sekuen konsensus (Lampiran 11). Hasil pensejajaran sekuen parsial 16S rRNA dari ketiga isolat aktinomiset aktif dengan sekuen di database GenBank menggunakan program blastn menunjukkan bahwa ketiga isolat memiliki tingkat kemiripan tertinggi dengan Micromonospora chersina sebesar 99 % (Tbael 4). Tabel 4 Hasil pensejajaran sekuens parsial 16S rRNA isolat aktinomiset aktif dengan galur acuan yang terdapat pada database GenBank Panjang Tingkat Kode isolat Strain acuan No Akses sekuens (pb) kemiripan (%) BioMCC-at.HH-64 724 M. chersina R-Ac 138 FN649453 99 BioMCC-at.HH-78

613

M. chersina RT III8

EU274367

99

BioMCC-at.HH-259

647

M. chersina R-Ac 135

FN649452

99

Penghitungan jarak genetik dan tingkat homologi antar isolat aktinomiset (Tabel5) dilakukan menggunakan p-distance dan hasil menunjukkan bahwa isolat BioMCC-at.HH-64 memiliki tingkat homologi 98,17 % dengan BioMCC-at.HH-

20 259 dengan jarak genetik 0,8. Isolat aktinomiset BioMCC-at.HH-78 memiliki tingkat homologi 42 % dengan kedua isolat aktinomiset lainnya. Tabel 5 Persentase nilai jarak genetik (bawah diagonal) dan homologi (atas diagonal) antara isolat aktinomiset aktif A B C D 99,00

A B

1,0

C

57,6

57,4

D

1,5

0,8

42,40

98,50

42,57

99,17 42,74

57,3

A M. chersina DSM44151, B BioMCC-at.HH-64, C BioMCC-at.HH-78, D BioMCC-at.HH-259

Hasil analisis molekuler terhadap ketiga isolat aktif diperoleh sekuen parsial dengan panjang masing-masing adalah 724, 613, dan 647 pb untuk isolat BioMCC-at.HH-64, BioMCC-at.HH-78, dan BioMCC-at.HH-259. Masingmasing sekuen 16S rRNA dari isolat selanjutnya dibandingkan dengan sekuen 16S rRNA yang tersedia di database GenBank dengan blastn. Hasil menunjukkan bahwa ketiga isolat memiliki kemiripan dengan Micromonospora chersina, dengan tingkat kemiripan 99 %, yaitu BioMCC-at.HH-64 memiliki kedekatan tertinggi dengan M. chersina R-Ac138 (FN649453), isolat HH-78 dengan M. chersina RtIII8 (EU274367), dan isolat BioMCC-at.HH-259 dengan M. chersina R-Ac135 (FN649452). Isolat aktif aktinomiset, meskipun ketiganya teridentifikasi 99% memiliki kedekatan dengan M. chersina, namun berdasarkan penghitungan jarak genetik antar sekuen 16S rRNA dari ketiga isolat tersebut ternyata memiliki jarak genetik yang cukup jauh. Isolat BioMCC-at.HH-78 hanya memiliki tingkat homologi sekitar 42% dengan dua isolat lainnya, dan isolat BioMCC-at.HH-64 dan BioMCC-at.HH-259 memiliki tingkat homologi 99,17 % satu sama lain. Hasil pembentukan dendogram filogenetik (Gambar 9) yang disimpulkan menggunakan metode Neighbor-Joining menunjukkan bahwa dua isolat, BioMCC-at.HH-64 dan BioMCC-at.HH-259 terdapat dalam satu kelompok yang sama dan memiliki kedekatan hubungan dengan M. chersina. Isolat BioMCCat.HH-78 terpisah dari isolat lainnya dan terdapat satu kelompok dengan M. olivasterospora, M. viridifaciens, and M. echinaurantiaca.

21

Gambar 9 Dendogram filogenetik berdasar sekuen gen 16S rRNA isolat aktinomiset aktif dan genus lainnya (akar dari bootstrap). Isolat aktif ditunjukkan oleh simbol tebal. Persentasi bootstrap value berdasar pada 500 kali ulangan data ditunjukkan pada nodes; bootstrap value lebih rendah dari 40 % dibuang Berdasarkan dendogram filogenetik ketiga isolat terbagi menjadi dua kelompok, yaitu isolat BioMCC-at.HH-64 dan 259 terdapat dalam satu kelompok, sedangkan isolat BioMCC-at.HH-78 terdapat di dalam kelompok lainnya. Hasil ini di perkuat oleh hasil penghitungan jarak genetik, yang menunjukkan bahwa

22 isolat BioMCC-at.HH-78 memiliki jarak genetik yang cukup jauh dengan dua isolat aktinomiset aktif lainnya, yaitu 57 % dengan tingkat homologi 42 %. Berbeda dengan kedua isolat aktif lainnya, yang memiliki jarak genetik cukup dekat yaitu 0,8 dengan tingkat homologi 99,17 %. Menurut Koch et al. (1996), tingkat kekerabatan Micromonospora spp. tinggi, berkisar dari 97-99%, dan tingkat kemiripan untuk beberapa tipe galur Micromonospora juga sangat tinggi (>98%), sehingga untuk menentukan status suatu spesies tidak bisa hanya dengan data hasil sekuen 16S rRNA, namun perlu dilakukan hibridisasi DNA-DNA untuk memastikan tipe galur dari spesies tersebut. Dua isolat dapat dianggap sebagai satu spesies apabila hibridisasi DNA-DNA lebih dari 70% (Goris et al. 2007). Kasus seperti ini banyak dilaporkan terjadi pada kelompok aktinomiset, terutama pada beberapa tipe galur dari spesies Micromonospora. Sebagai contoh kasus adalah M. echinospora subsp. ferruginea dan M. echinospora subsp. echinospora, memiliki sekuen 16S rRNA yang sangat identik (tingkat kemiripan 99,7%); namun subspesies ke tiga, M. echinospora subsp. pallida, memiliki keterkaitan yang jauh dengan kedua subspesies lainnya. Hal ini kemungkinan karena perbedaan konsentrasi menakuinon dan komposisi asam lemak yang terkandung dalam isolat tersebut(Koch et al. 1996). Micromonospora chersina pertama kali dipublikasikan oleh Tomita et al. (1992), miselia muda dari spesies ini bercabang secara monopodial dan membentuk spora tunggal (berbentuk bola dengan duri tumpul yang pendek) yang tidak bertangkai atau muncul pada sporofor yang pendek atau panjang, dan tidak membentuk miselia aerial. Isolat ini dikenal sebagai penghasil dienemisin, yaitu suatu antitumor-antibiotik, dengan aktivitas spektrum luas, tidak hanya aktif terhadap sel tumor namun juga aktif terhadap bakteri dan cendawan (Konishi et al. 1991). Dienemisin, khususnya dienemisin A hingga saat ini masih diteliti untuk kemungkinan penggunaannya dalam pengobatan (Tuttle et al. 2005). Publikasi mengenai aktivitas anti beta-laktamase yang dihasilkan oleh species ini belum pernah dilaporkan. Hasil analisis kromatografi dengan KCKT terhadap ekstrak etil asetat dari fermentasi 12 hari isolat BioMCC-at.HH-78 dan 259 disajikan dalam Lampiran 12. Kromatogram KCKT dari ekstrak etil asetat BioMCC-at.HH-259 menunjukkan terbentuknya puncak tunggal yang muncul antara menit 15 – 16, dan berdasarkan hasil tersebut dilakukan analisis menggunakan QTOF-MS dan hasil menunjukkan terbentuknya fragmen dengan serapan tertinggi yaitu dengan berat molekul 186,12 Da (Gambar 10).

23

186,12

Gambar 10 Spektrum massa senyawa dari ekstrak etil asetat isolat BioMCC-at.HH-259 Kromatogram ekstrak etil asetat isolat BioMCC-at.HH-259 menunjukkan perbedaan yang cukup nyata dengan kromatogram dari isolat BioMCC-at.HH-78. Hasil analisis KCKT memperlihatkan bahwa dari kromatogram ekstrak etil asetat isolat BioMCC-at.HH-259 terdapat satu puncak yang dominan yang muncul pada waktu retensi 15-16 menit. Berdasarkan hasil ini, selanjutnya ekstrak dilakukan analisis menggunakan QTOF-MS untuk pendugaan awal berat molekul senyawa aktif. Hasil menunjukkan bahwa senyawa dari ekstrak etil asetat isolat BioMCCat.HH-259 mempunyai berat molekul ±186,12 Da. Hasil pencarian melalui database yang terdapat pada ChemSpider, senyawa yang memiliki berat molekul paling mendekati adalah senyawa naphtylethylenediamine (N-(1-Naphthyl)-1,2ethanediamine), dengan rumus molekul C12H14N2. Senyawa ini bersifat polar dan dapat larut dalam air. Aktivitas antibakteri dari senyawa tersebut belum pernah dilaporkan, namun senyawa turunannya, N-(1-Naphthyl)-1,2-ethanediamine dihydrochloride, telah digunakan sebagai pereaksi kuantitatif (sebagai coupling agent) untuk analisis dengan metode spektrofotometrik protein tiol (Verma et al.1991); sulfonamid dan thallium (III) (Nagaraja et al. 2008). Struktur molekul naphtylethylenediamine dan senyawa turunannya, N-(1-Naphthyl)-1,2ethanediamine dihydrochloride dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Struktur molekul naphtylethylenediamine (kiri) dan N-(1-Naphthyl) 1,2-ethanediamine dihydrochloride (kanan)

24 Senyawa bioaktif yang dihasilkan isolat aktinomiset pada penelitian ini kemungkinan adalah inhibitor beta-laktamase atau senyawa antibakteri yang sedikit dihidrolisis atau tidak dapat dihidrolisis oleh aktivitas beta-laktamase yang dihasilkan oleh bakteri target (Babic et al. 2006). Bakteri E. coli ATCC 35218 merupakan bakteri resisten beta-laktam, tidak bersifat patogen dan memproduksi beta-laktamase tipe TEM-1. Dalam studi uji tantang mikrob, bakteri tersebut digunakan sebagai bakteri pengganti untuk EHEC E. coli O157:H7 (Gurtler et al. 2010). Pada bakteri Gram-negatif, beta-laktamase merupakan mekanisme resistensi yang sangat penting terhadap antibiotik beta-laktam. Beta-laktamase merupakan enzim yang diproduksi oleh bakteri yang menghidrolisis cincin betalaktam dan menjadikan antibiotik tidak aktif sebelum target penicillin binding protein (PBP). Terdapat dua prinsip untuk menghadapi resistensi terhadap betalaktam termasuk menemukan inhibitor dan inactivator beta-laktamase dan antibiotik baru yang menunjukkan daya ikat yang lebih kuat terhadap PBP dan tidak atau sedikit dihidrolisis oleh beta-laktamase (Babic et al. 2006). Pada saat ini terdapat 3 jenis inhibitor beta-laktamase yang digunakan untuk pengobatan: asam klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam, yang penggunaannya dikombinasikan dengan antibiotik lainnya (Miller et al. 2001). Agen antibakteri merupakan salah satu metabolit sekunder yang diproduksi oleh aktinomiset. Metabolit sekunder diproduksi sebagai respon akan terbatasnya ketersediaan nutrisi, dan tidak diperlukan untuk pertumbuhan mikrob penghasilnya, akan tetapi menyediakan fungsi pertahanan diri untuk hidup di alam. Berbeda dengan metabolit sekunder, metabolit primer berhubungan dengan pertumbuhan dan pemeliharaan hidup, yang berkenaan dengan pelepasan energi dan penyusunan makromolekul penting seperti gula, protein, asam nukleat, dan asam organik. Suatu organisme akan mengalami kematian jika metabolisme primer berhenti (Demain dan Fang 1995). Pada penelitian ini, dari 96 isolat aktinomiset yang digunakan untuk penapisan aktivitas antibakteri terhadap E. coli ATCC 35218, sebanyak 3 isolat yang menunjukkan aktivitas antibakteri, yaitu BioMCC-at.HH-64, BioMCCat.HH-78 dan BioMCC-at.HH-259. Karakterisasi pola aktivitas antibakteri dari kultur agar ketiga isolat aktif tersebut menunjukkan aktivitas antibakteri tertinggi dihasilkan oleh kultur umur 9 hari, sedangkan aktivitas antibakteri dari ekstrak kasar etil asetat, dihasilkan oleh ekstrak hasil fermentasi selama 12 hari. Aktivitas antibakteri tertinggi dihasilkan oleh isolat aktinomiset BioMCC-at.HH-259. Ekstrak kasar dari isolat BioMCC-at.HH-259 ini selanjutnya dilakukan analisis KCKT dan pendugaan berat molekul dengan QTOF-MS. Karakterisasi pola pertumbuhan isolat aktinomiset aktif di dalam media agar maupun cair menunjukkan bahwa pertumbuhan terbaik adalah di dalam media ISP4. Karakterisasi morfologi makroskopis dan mikroskopis menunjukkan bahwa ketiga isolat termasuk ke dalam genus Micromonospora, spora yang dihasilkan mempunyai bentuk seperti bola-bola tunggal yang melekat pada pangkal atau percabangan hifa. Hasil analisis 16S rRNA sekuen parsial isolat aktinomiset menunjukkan bahwa ketiga isolat memiliki kedekatan tertinggi (99%) dengan Micromonospora chersina. Hasil pendugaan berat molekul senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat aktinomiset BioMCC-at.HH-259 memiliki berat molekul ±186,12 Da. Berdasarkan penelusuran melalui ChemSpider, senyawa dengan berat molekul

25 yang paling mendekati adalah naphtylethylenediamine (N-(1-Naphthyl)-1,2ethanediamine), yang memiliki rumus molekul C12H14N2. Aktivitas antibakteri terhadap E. coli ATCC 35218 dari senyawa tersebut belum pernah dilaporkan, sehingga senyawa aktif dari isolat aktinomiset BioMCC-at.HH-259 memiliki potensi untuk dikembangkan. Bagian dari penelitian ini telah dipublikasikan dalam Jurnal Microbiology Indonesia, Volume 7, No 3, September 2013 (Lampiran 13).

5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah isolat aktinomiset asli Indonesia, Micromonospora chersina BioMCC-at.HH-259 memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai penghasil senyawa antibakteri E. coli ATCC 35218 resisten antibiotik beta-laktam dan berdasarkan pendugaan berat molekul senyawa yang dihasilkan paling mendekati dengan senyawa naphtylethylenediamine. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan media dan kondisi fermentasi yang sesuai untuk produksi senyawa aktif antibakteri dari Micromonospora chersina BioMCC-at.HH-259, serta dilakukan pemurnian dan karakterisasinya.

DAFTAR PUSTAKA Al-Zahrani SHM. 2007. Studies on the antimicrobial activity of Streptomyces sp. isolated from Jazan. JKAU Sci 19:127-138. Antal N, Fiedler HP, Stackebrandt E, Beil W, Ströch K, Zeeck A. 2005. Retymicin, galtamiycin B, saquayamyzin Z and ribofuranosyllumichrome, a novel secondary metabolites from Micromonospora sp. Tü 6368. J Antibiot 58:95-102. Babic M, Hujer AM, Bonomo RA. 2006. What’s new in antibiotic resistance? Focus on beta-lactamase. Drug Resistance Updates 9: 142-156. Bèrdy J. 2005. Bioactive microbial metabolites: a personal view. J Antibiot 58:1-26. Bauer AW, Kirby WMM, Sherris JC, Turck M. 1966. Antibiotic susceptibility testing by a standardized single disk method. Am J Clin Pathol 45:493-496. Beltrametti F, Rossi R, Selva E, Marinelli F. 2006. Antibiotic production improvement in the rare actinomycete Planobispora rosea by selection of mutants resistant to the aminoglycosides streptomycin and gentamycin and to rifamycin. J Ind Microbiol Biotechnol 33:283-288. Berdy J. 2005. Bioactive microbial metabolites: a personal view. J Antibiot 58:126.

26 Bibb MJ. 2005. Regulation of secondary metabolism in Streptomyces. Curr Opin Microbiol 8:208-215. Bockstael K, Aerschot AV. 2008. Antimicrobial resistance in bacteria. Cent Eur J Med 4(2):141-155. Bradford PA. 2001. Extended-spectrum β-lactamases in the 21st century: characterization, epidemiology, and detection of this important resistance threat. Clin Microbiol Rev 14(4):933-951. Bushell ME. 1993. A method for increasing the success rate of duplicating antibiotic activity in agar and liquid cultures of Streptomyces isolates in new antibiotics screens. J Ferm Bioeng 76(2):89-93. Ceyclan O, Okmen G, Ugur A. 2008. Isolation of soil Streptomyces as sources antibiotics against antibiotic-resistant bacteria. Eur-Asia J BioSci 2:73-82. Charan RD, Schlingman G, Janso J, Bernan V, Xidong F, Carter GT. 2004. Diazepinomicin, a new antimicrobial alkaloid from a marine Micromonospora sp. J Nat Prod 67:1431-1433. Cheng W, Xiao XX, Zhi Q, Hai LW, Hai PL, Qing YX, Ji SR, Kui H. 2011. Micromonospora rhizosphaerae sp. nov., isolated from mangrove rhizophere soil. IJSEM 61:320-324. Demain Al, Fang A. 1995. Emerging concepts of secondary metabolism in Actinomycetes. Actinomycetol 9(2):98-117. Donadio S. Carrano L, Brandi L, Serina S, Soffientini A, Raimondi E, Montanini N, Sosio M, Gualerzi CO. 2002. Targets and assays for discovering novel antibacterial agents. J Biotechnol 99:175-185. Duerink DO, Lestari ES, Hadi U, Nagelkerke NJD, Severin JA, Verbrugh HA, Keuter M, Gyssens IC, van den Broek PJ. 2007. Determinants of carriage of resistant Escherichia coli in the Indonesian population inside and outside hospitals. J Antimicrob Chem 60:377-384. El-Enshasy H, Farid MA, El-Sayed SA. 2000. Influence of inoculum type and cultivation conditions on natamycin production by Streptomyces natalensis. J Basic Microbiol 40:333-342. El-Tarabily KA, Soliman MH, Nassar AH, Al-Hassani HA. 2000. Biological control of Sclerotina minor using a chitinolytic bacterium and actinomycetes. Plant Pathol 49:573-583. Gärtner A, Ohlendorf B, Schulz D, Zinecker H, Wiese J, Imhoff JF. 2011. Levantilides A and B, 20-membered macrolides from Micromonospora strain isolated from the Mediterranean deep sea sediment. Mar Drugs 9:98-108. Gavrish E, Bolmann A, Epstein S, Lewis K. 2008. A Trap for In Situ Cultivation of Filamentous Actinobacteria. J Microbiol.Methods. 72:257-262. Glazer N, Nikaido H. Microbial Biotechnology: fundamentals of applied microbiology. 2nd Ed. Cambridge Univ Press, USA. Goris J, Konstantinidis KT, Klappenbach JA, Coenye T, Vandamme P, Tiedje JM. 2007. DNA-DNA hybridization values and their relationship to wholegenome sequence similarities. IJSEM 57:81-91. Gupta V. 2007. An update on newer β-lactamases. Ind J Med Res 126:417-427. Gurtler JB, Rivera RB, Zhang HQ, Geveke DJ. 2010. Selection of surrogate bacteria in place of E.coli O157:H7 and Salmonella Typhimurium for pulsed electric field treatment of orange juice. Int J Food Microbiol 139:1-8.

27 Gurung TD, Sherpa C, Agrawal VP, Lekhak B. 2009. Isolation and characterization of antibacterial actinomycetes from soils samples of Kalapatthar, Mount Everest Region. Nepal J Sci Tech 10:173-182. Himabindu M, Jetty A. 2006. Optimization of nutritional requirements for gentamicin production by Micromonospora echinospora. Indian J Exp Biol 44:842-848. Hirsch P, Mevs U, Kroppenstedt RM, Schuman P, Stackebrandt E. 2004. Cryptoendolithic Actinomycetes from Antarctic Sandstone Rock Samples:Micromonospora endolithica sp. nov. and two Isolates Related to Micromonospora coerulea Jensen 1932. Syst Appl Microbiol 27:166-174. Holt JG, Krieg NR, Sneath PHA, Staley JT, Williams ST. 2000. Bergey's Manual of Determinative Bacteriology, 9ed. Lippencott, Williams dan Wilkens, Philadelphia, PA, pp. 653-655. Hopmann C, Kurz M, Bronstrup M, Wink J, Beller D Le. 2002. Isolation and structure elucidation of vancoremycin: a new antibiotic from Amycolaptosis sp.ST 101170. Tetrahedron Lett 43:435-438. Igarashi Y, Trujillo ME, Martínez-Molina E, Yanase S, Miyanaga S, Obata T, Sakurai H, Saiki I, Fujita T, Furumai T. 2007. Antitumor anthraquinones from an endophytic actinomycete Micromonospora lupini sp. nov. Bioorg Med Chem Lett 17:3702-3705. Igarashi Y, Oguro H, Furihata K, Oku N, Indananda C, Thamchaipenet A. 2011. Maklamicin, an antibacterial polyketide from an endophytic Micromonospora sp. J Nat Prod 74:670-674. Ilic SB, Konstantinovic SS, Todorovic ZB, Lazic ML, Veljkovic VB, Jokovic N, Radovanovic BC. 2007. Characterization and antimicrobial activity of the bioactive metabolites in Streptomyces isolates. Microbiol 7:421-428. Imada C, Masuda S, Kobayashi T, Sato NH, Nakashima T. 2010. Isolation and characterization of marine and terrestrial actinomycetes using a medium supplement with NaCl. Actinomycetol 24:12-17. Jayaraman R. 2009. Antibiotic resistance: an overview of mechanisms and a paradigm shift. Curr Sci 96:1475-1484. Kalakuotskii LV, Agre NS. 1976. Comparative aspects of development and differentiation in actinomycetes. Bacteriol Rev 40(2):469-524. Kar A. 2008. Pharmaceutical Microbiology. New Delhi: New Age Publication. Kawamoto I. 1989. Genus Micromonospora Orskov 1923 In: Williams ST. (Ed.), Bergey's Manual of Systematic Bacteriology. 4. Williams and Wilkins, Baltimore, MD. p. 2442-2450. [Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. Kiranmayi CB, Krishnaiah N, mallika EN. 2010. Escherichia coli O157:H7-An Emerging pathogen in foods of animal origin. Veterinary World 3(8):382-389. Kirby BM, Meyers PR. 2010. Micromonospora tulbaghiae sp. nov., isolated from the leaves of wild garlic, Tulbaghia violacea. IJSEM 60:1328-1333. Koch C, Kroppenstedt RM, Stackebrandt E. 1996. Intragenic relationship of the Actinomycete genus Micromonospora. Int J Sys Bacteriol 46(2):383-387.

28 Konishi M, Ohkuma H, Matsumoto K, Saitoh K, Miyaki T, Oki T, Kawaguchi H. 1991. Dynemicins, new antibiotics with the 1,5-dyn-3-ene and anthraquinone subunit. J Antibiotics 44(12):1300-1305. Kuntaman K, Lestari ES, Severin JA, Kershof IM, Mertaniasih NM, Purwanta M, Hadi U, Johnson JR, van Belkum A, Verbrugh HA. 2005. Fluoroquinoloneresistant Escherichia coli, Indonesia. Emerg Infect Dis 11:1363-1369. Lestari ES, Severin JA, Filius PMG, Kuntaman K, Duerink DO, Hadi U, Wahjono H, Verbrugh HA. 2005. Antimicrobial resistance among commensal isolates of Escherichia coli and Staphylococcus aureus in the Indonesian population inside and outside hospital. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 27:45-51. Levy SB, Marshall B. 2004. Antibacterial resistance worldwide: causes, challenges and responses. Nature Med Supp 10(12):122-129. Liu WC, Astle G, Wells Jr JC, Trejo WH, Principe PA, Rathnum ML, Parker WL, Kocky OR, Sykes RB. 1980. Izumenolide, a novel β-lactamase inhibitor produced by Micromonospora: detection, isolation and characterization. J Antibiotics 33(11):1256-1261. Livermore DM, Nichols T, Lamagni TL, Potz N, Reynolds R, Duckworth G. 2003. Ciprofloxacin-resistant Escherichia coli from bacteraemias in England: increasingly prevalent and mostly from men. J Antimicrob Chem 52:10401042. Miao V, Davies J. 2010. Actinobacteria: the good, the bad, and the ugly. Antonie van Leeuwenhoek 98:143-150. Miller LA, Ratnam K, Payne DJ. 2001. Β-Lactamase-inhibitor combinations in the 21st century: current agents and new developments. Curr Opin Pharm 1:451-458. Nagaraja P, Al-Tayar NG, Kumar AS. 2008. Development of a selective and sensitive spectrophotometric method for the trace determination of thallium(III) using 3-methyl-2-benzothiazolinone hydrazone hydrochloride and N-(1-naphthyl)-ethylenediamine dihydrochloride. J AOAC Int 91(5):11161123. Ogunmwonyi IH, Mazomba N, Mabinya L, Ngwenya E, Green E, Akinpelu DA, Olaniran AO, Bernard K, Okoh AI. 2010. Studies on the culturable marine actinomycetes isolated from the Nahoon beach in the Eastern Cape Province of South Africa. Afr J Microbiol Res 4:2223-2230. Pathom-aree W, Stach JEM, Ward AC, Horikoshi K, Bull AT, Goodfellow M. 2006. Diversity of actinomycetes isolated from challenger deep sediment (10,898 m) from the Mariana Trench. Extremophlies 10:181-189. Poole K. 2004. Resistance to beta-lactam antibiotics. Cell Mol Life Sci 64:22002223. Qin S, Yun H, Hui Y. 2012. Optimization of fermentation conditions for antibiotic production by actinomycetes YJI strain against Sclerotinia sclerotiorum. J Agri Sci 4(7):95-102. Rho, Taek Y, Nam-Kung G, Lee KJ. 1991. Rheological characteristics of rifamycin B fermentation using Nocardia mediterranei. J Microbiol Biotechnol 1(1):70-74. Rice BL. 2012. Mechanisms of Resistance and Clinical Relevance of Resistance to β-Lactams, Glycopeptides, and Fluoroquinolones. Mayo Clin Proc. 87 (2):198-208.

29 Rupp ME, Fey PD. 2001. Extended spectrum β-lactamase (ESBL)-producing Enterobacteriaceae: consideration for diagnosis, prevention and drug treatment. Drugs 63(4):353-365. Saga T, Yamaguchi K. 2009. History of antimicrobial agents and resistant bacteria. JMAJ 52(2):103-109. Sakai A, Mitsumori A, Furukawa M, Kinoshita K, Anzai Y, Kato F. 2012. Production of a hybrid 16-membered macrolide antibiotic by genetic engineering of Micromonospora sp. TPMA0041. J Ind Microbiol Biotechnol. 39:1693-1701. Sharma D, Kaur T, Chadha BS, Manhas RJ. 2011. Antimicrobial activity of actinomycetes against multidrug resistant Staphylococcus aureus, E.coli and various other pathogens. Trop J Pharm Res 10(6):801-808. Smania-Jr A, Valgas C, Souza SM de, Smania EFA. 2007. Screening methods to determine antibacterial activity of natural products. Braz J Microbiol 38:369380. Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, Nei M, Kumar S. 2011. MEGA5: molecular evolutionary genetics analysis using Maximum Likelihood, Evolutionary Distance, and Maximum Parsimony Methods. Mol Biol Evol 28(10):2731-2739. Tenover FC. 2006. Mechanisms of antimicrobial resistance in bacteria. Am J Med 119:3-10. Thakur D, Yadaf A, Gogoi BK, Bora TC. 2007. Isolation and screening of Streptomyces in soil of protected forest areas from the states of Assam and Tripura, India, for antimicrobial metabolites. J Mycol Med 17:241-249. Thawai C, Tanasupawat S, Itoh T, Suwanborirux K, Suzuki K, Kudo T. 2005. Micromonospora eburnea sp. nov., isolated from a Thai peat swamp forest. IJSEM 55:417-422. Tomita K, Hoshino Y, Ohkusa N, Tsuno T, Miyaki T. 1992. Micromonospora chersina sp.nov.. Actinomycetol 6(1):21-28. Trujillo ME, Molinero CF, Velázquez E, Kroppenstedt RM, Schuman P, Mateos PF, Molina EM. 2005. Micromonospora mirobrigensis sp. nov. IJSEM 55:877880. Tuttle T, Kraka E, Cremer D. 2005. Docking, triggering, and biological activity of Dynemicin A in DNA: a computational study. J Am Chem Soc 127:9469-9484. Verma KK, Stewart KK, Jain A, Gupta D, Sanghi SK. 1991. Manual and flowinjection spectrophotometric assay of thiols, based on their S-nitrosation. Talanta 38(3):283-289. Wilke MS, Lovering AL, Strynadka NCJ. 2005. Beta-lactam antibiotic resistance: a current structural perspective. Curr Opin Microbiol 8:525-533.

30 Lampiran 1 Daftar isolat aktinomiset yang digunakan dan pengelompokannya berdasarkan morfologi mikroskopis

Kelompok Streptomyces Kode Isolat

Warna Koloni pada Media YSA

BioMCC-at.HH-66

hijau keabuan

BioMCC-at.HH-67

hijau keabuan

BioMCC-at.HH-68

coklat keabuan

BioMCC-at.HH-92

coklat keabuan

BioMCC-at.HH-93

kecoklatan

BioMCC-at.HH-203

coklat keabuan

BioMCC-at.HH-205

coklat keabuan

BioMCC-at.HH-224

coklat keabuan

Kelompok non-streptomyces

Kelompok non-streptomyces

Warna Koloni pada Media YSA BioMCC-at.HH-41 kuning gading-keputihan

Warna Koloni pada Media YSA BioMCC-at.HH-61 oranye kehitaman

BioMCC-at.HH-42

oranye pucat

BioMCC-at.HH-62

putih kecoklatan

BioMCC-at.HH-43

kuning gading-kecoklatan

BioMCC-at.HH-63

kuning gading

BioMCC-at.HH-44

putih kecoklatan

BioMCC-at.HH-64

hitam kehijauan

BioMCC-at.HH-45

putih keabuan

BioMCC-at.HH-65

hitam kecoklatan

BioMCC-at.HH-46

kuning gading

BioMCC-at.HH-69

putih

BioMCC-at.HH-47

kecoklatan

BioMCC-at.HH-70

hitam kehijauan

BioMCC-at.HH-48

kuning gading

BioMCC-at.HH-71

hitam

BioMCC-at.HH-49

putih keabuan

BioMCC-at.HH-72

hitam

BioMCC-at.HH-50

oranye pucat

BioMCC-at.HH-73

kuning gading

BioMCC-at.HH-51

kuning gading

BioMCC-at.HH-74

oranye terang

BioMCC-at.HH-52

keabuan

BioMCC-at.HH-75

hitam kecoklatan

BioMCC-at.HH-59

hitam

BioMCC-at.HH-76

hitam kecoklatan

BioMCC-at.HH-60

hitam kecoklatan

BioMCC-at.HH-77

kuning gading

Kode Isolat

Kode Isolat

31 Lanjutan

Kelompok non-streptomyces

Kelompok non-streptomyces

Kode Isolat

Warna Koloni pada Media YSA

Kode Isolat

Warna Koloni pada Media YSA

BioMCC-at.HH-78

hitam kecoklatan

BioMCC-at.HH-116

kuning gading

BioMCC-at.HH-79

hitam kecoklatan

BioMCC-at.HH-117

kuning gading

BioMCC-at.HH-80

kuning gading

BioMCC-at.HH-118

putih kecoklatan

BioMCC-at.HH-81

hitam kecoklatan

BioMCC-at.HH-119

kuning gading

BioMCC-at.HH-82

hitam kecoklatan

BioMCC-at.HH-120

kuning gading

BioMCC-at.HH-83

hitam kehijauan

BioMCC-at.HH-123

kuning gading

BioMCC-at.HH-84

hitam

BioMCC-at.HH-202

ornye-hitam

BioMCC-at.HH-85

hitam kecoklatan

BioMCC-at.HH-206

hitam

BioMCC-at.HH-86

oranye kemerahan

BioMCC-at.HH-209

oranye-hitam

BioMCC-at.HH-87

hitam kehijauan

BioMCC-at.HH-212

kecoklatan

BioMCC-at.HH-88

oranye-hitam

BioMCC-at.HH-213

oranye terang

BioMCC-at.HH-89 BioMCC-at.HH-94 BioMCC-at.HH-97

putih oranye-hitam kuning gading

BioMCC-at.HH-216 BioMCC-at.HH-221 BioMCC-at.HH-225

kuning gading oranye hitam

BioMCC-at.HH-98

oranye-hitam

BioMCC-at.HH-230

oranye

BioMCC-at.HH-99

kuning gading

BioMCC-at.HH-234

putih kecoklatan

BioMCC-at.HH-100

keabuan

BioMCC-at.HH-237

oranye

BioMCC-at.HH-101

kuning gading keabuan

BioMCC-at.HH-239

hitam kehijauan

BioMCC-at.HH-104

kuning gading

BioMCC-at.HH-256 kuning gading-kehijauan

BioMCC-at.HH-105

kuning gading

BioMCC-at.HH-257

oranye kemerahan

BioMCC-at.HH-106

hitam kecoklatan

BioMCC-at.HH-258

hitam

BioMCC-at.HH-107

putih kecoklatan

BioMCC-at.HH-259

hitam kehijauan

BioMCC-at.HH-108

kuning gading

BioMCC-at.HH-268

hitam kecoklatan

BioMCC-at.HH-109

kuning gading

BioMCC-at.HH-272

coklat kemerahan

BioMCC-at.HH-110

kuning gading

BioMCC-at.HH-273

hitam kecoklatan

BioMCC-at.HH-111

oranye pucat

BioMCC-at.HH-275

kuning gading

BioMCC-at.HH-112

kuning gading

BioMCC-at.HH-276

kuning gading

BioMCC-at.HH-115

oranye

BioMCC-at.HH-278

oranye

32 Lampiran 2 Hasil uji pola aktivitas antibakteri isolat aktinomiset dari kultur agar

Kode Isolat

Umur kultur (hari)

Rata-rata diameter zona hambat (mm)

BioMCC-at.HH-64

0

-

3

12,97

6

14,82

9

16,41

12

12,41

15

12,15

0

-

3

10,02

6

14,84

9

16,35

12

13,92

15

12,12

0

-

3

-

6

16,19

9

18,44

12

16,59

15

15,48

BioMCC-at.HH-78

BioMCC-at.HH-259

*Diameter isolat aktinomiset ± 7 mm

33 Lampiran 3 Hasil karakterisasi pola aktivitas antibakteri isolat aktinomiset dari ekstrak etil asetat Kode Isolat

Lama fermentasi (hari)

Rata-rata diameter zona hambat (mm)

BioMCC-at.HH-64

0

-

3

-

6

-

9

-

12

-

15

-

0

-

3

-

6

-

9

-

12

8,53

15

-

0

-

3

-

6

-

9

-

12

9,52

15

18,25

BioMCC-at.HH-78

BioMCC-at.HH-259

Kontrol Positif (Ampisilin)

17,94

Konsentrasi ekstrak etil asetat isolat aktinomiset: 1 mg per disc Konsentrasi kontrol: 30 µg per disc Diameter paper disc (kertas cakram): 6 mm

34 Lampiran 4

Komposisi media untuk karakterisasi pola pertumbuhan isolat aktinomiset aktif ISP2

ISP4

MS

BM

Nama Media Komposisi per Liter (g) Glukosa

4

-

20

10

Soluble starch

-

10

10

-

Malt extract

10

-

-

-

Yeast extract

4

-

5

1

N-Z Amine A (enzymatic digest of casein)

-

-

5

2

Beef extract

-

-

-

1

K2HPO4

-

1

-

-

MgSO4.7H2O

-

1

-

-

NaCl

-

1

-

-

(NH4)2SO4

-

2

-

-

CaCO3

-

2

1

-

FeSO4·7H2O

-

0,001

-

-

MnCl2·4H2O

-

0,001

-

-

ZnSO4·7H2O

-

0,001

-

-

*Untuk media agar di tambah dengan agar bakteriologi sebanyak 20 %

35

Lampiran 5 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset BioMCC-at.HH-64 menggunakan primer forward

Lampiran 6 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset BioMCC- at.HH-64 menggunakan primer reverse 36

37

Lampiran 7 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset BioMCC- at.HH-78 menggunakan primer forward

Lampiran 8 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset BioMCC- at.HH-78 menggunakan primer reverse 38

39

Lampiran 9 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset BioMCC- at.HH-259 menggunakan primer forward

Lampiran 10 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset BioMCC- at.HH-259 menggunakan primer reverse 40

41 Lampiran 11

Sekuen konsensus 16S rRNA isolat aktinomiset aktif (sekuen parsial)

Isolat BioMCC-at.HH-64 TTTGAACGCCGGGGGCGCGTGCTTAACACATGCAAGTCGAGCGGAA AGGCCCTTCGGGGTACTCGAGCGGCGAACGGGTGAGTAACACGTGAGCA ACCTGCCCTAGGCTTTGGGATAACCCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGAA TAGGACCTGGCCTCGCATGAGGCTGGGTGGAAAGTTTTTCGGCCTGGGAT GGGCTCGCGGCCTATCAGCTTGTTGGTGGGGTGATGGCCTACCAAGGCGA CGACGGGTAGCCGGCCTGAGAGGGCGACCGGCCACACTGGGACTGAGAC ACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGCACAATGG GCGGAAGCCTGATGCAGCGACGCCGCGTGAGGGATGACGGCCTTCGGGT TGTAAACCTCTTTCAGCAGGGACGAAGCGTAAGTGACGGTACCTGCAGAA GAAGCGCCGGCCAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAAGACGTAGGGCGC GAGCGTTGTCCGGATTTATTGGGCGTAAAGAGCTCGTAGGCGGCTTGTCG CGTCGACTGTGAAAACCCGCAGCTCAACTGCGGGCCTGCAGTCGATACGG GCAGGCTAGAGTTCGGTAGGGGAGACTGGAATTCCTGGTGTAGCGGGGA AAAATGCGCAACGTGTTCGGTTTCCCCCCCGAAATCTTGCGGGCGGCTAT AGACGGCGGGCCCGCACTTGACTGCGGGGTTTCC Isolat BioMCC-at.HH-78 TTTGGCATTTTTCCCGCTACACCAGGAATTCCAGTCTCCCCTACCGA ACTCTAGCCTGCCCGTATCGACTGCAGGCCCGCAGTTGAGCTGCGGGGTT TTCACGGTCGACGGGACAAGCCGCCTACGAGCTCTTTACGCCCAATAAAT CCGGACAACGCTCGCSCCCTACGTCTTACCGCGGCTGCTGGCACGTAGTT GGCCGGCGCTTCTTCTGCAGGTACCGTCACTTACGCTTCGTCCCTGCTGAA AGAGGTTTACAACCCGAAGGCCGTCATCCCTCACGCGGCGTCGCTGCATC AGGCTTCCGCCCATTGTGCAATATTCCCCACTGCTGCCTCCCGTAGGAGTC TGGGCCGTGTTTCAGTCCCAGTGTGGCCGGTCGCCCTCTCAGGCCGGCTA CCGGTCGTCGCCTTGGTAGGCCATCACCCCACCAACAAGCTGATAGGCCG CGAGCCCATCCCAGGCCGAAAAACTTTCCACCAAACCTCATGGGAGGCCA GGTCATATTCGGTATTAGCCCCGGTTTCCCGGGGTTATCCCAAAGCCTAG GGCAGGTTGCTCACGTGTTACTCACCCGTTCGCCGCTCGAGTACCCCGAA TGGCCTTTCCGCTC Isolat BioMCC-at.HH-259 GAACGCTGGGCGGCGTGCTTAACACATGCAAGTCGAGCGGAAAGGC CCTTCGGGGTACTCGAGCGGCGAACGGGTGAGTAACACGTGAGCAACCT GCCCTAGGCTTTGGGATAACCCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGAATAG GACCTGGCCTCGCATGAGGCTGGGTGGAAAGTTTTTCGGCCTGGGATGGG CTCGCGGCCTATCAGCTTGTTGGTGGGGTGATGGCCTACCAAGGCGACGA CGGGTAGCCGGCCTGAGAGGGCGACCGGCCACACTGGGACTGAGACACG GCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGCACAATGGGCG GAAGCCTGATGCAGCGACGCCGCGTGAGGGATGACGGCCTTCGGGTTGTA AACCTCTTTCAGCAGGGACGAAGCGTAAGTGACGGTACCTGCAGAAGAA GCGCCGGCCAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAAGACGTAGGGCGCGAG CGTTGTCCGGATTTATTGGGCGTAAAGAGCTCGTAGGCGGCTTGTCGCGT CGACTGTGAAAACCCGCAGCTCAACTGCGGGCCTGCAGTCGATACGGGCA GGCTAGAGTTCGGTAGGGGAGAATTCCATTCCTGGTGTAGCGTGGAAAAA TGCGCAA

42 Lampiran 12 Kromatogram ekstrak etil asetat isolat aktinomiset BioMCC-at.HH259 (atas) dan BioMCC-at.HH-78 (bawah) dengan fase gerak: Acetonitril 100%; panjang gelombang: 254 nm; kolom: C18

Available online at http://jurnal.permi.or.id/index.php/mionline DOI: 10.5454/mi.x.x.x

ISSN 1978-3477, eISSN 2087-8587 Vol 7, No 3, September 2013, p xx-xx

Characterization of Micromonospora spp. with Activity Against Beta-Lactam Antibiotic-resistant Escherichia coli ATCC 35218 DYAH NOOR HIDAYATI1,3*, YULIN LESTARI1,2, AND BAMBANG MARWOTO4 1

Department of Biology, Institut Pertanian Bogor, Darmaga Campus, Bogor 16680, Indonesia Department of Biopharmaca, Institut Pertanian Bogor, Taman Kencana Campus, Bogor 16151, Indonesia 3 Center for Biotechnology BPPT, Kawasan PUSPIPTEK-Serpong, Tangerang Selatan 15314, Indonesia 4 Directorate of Pharmaceutical and Medical Technology BPPT, Kawasan PUSPIPTEK-Serpong, Tangerang Selatan 15314, Indonesia

2

The emerge of antibiotic resistance has been an important issue all over the world, on the other hand, infectious diseases have been one of the highest causes of death causes in the world. Therefore, the discovery of a new antimicrobial drug is very important, and the group of rare actinomycetes are really promising as the producer of new bioactive compounds, in this case antibiotics. In this study we screened and characterized the actinomycetes with antibacterial activity against Escherichia coli ATCC 35218 resistant beta-lactam antibiotics. A total of 96 strains collected in Biotechnology Microbial Culture Collection (BioMCC), BPPT, were screened for their antibacterial activities by the agar plug method. Three strains, at-HH-64, at-HH-78, and at-HH-259, showed antibacterial activity. The selected strains were cultured on four different media, both solid and liquid media, e.g. ISP2, ISP4, Micromonospora Starch Medium (MS), and Bennet’s Medium (BM), and we characterized their morphology and growth patterns. Morphological characterization showed that all strains belonged to the genera Micromonospora. The active strains were also identified based on 16S rRNA partial sequence. Blast search of the 16S rRNA sequences of all tested strains with the sequences available in the NCBI data bank showed a maximum similarity 99% with Micromonospora chersina. Key words : antibacterial activity, characterization, Micromonospora screening Munculnya resistensi antibiotik telah menjadi isu penting di seluruh dunia, di sisi lain, penyakit menular telah menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. Oleh karena itu, penemuan obat antimikroba baru adalah sangat penting, dan kelompok aktinomiset langka benar-benar menjanjikan sebagai penghasil senyawa bioaktif baru, dalam hal ini antibiotik. Dalam penelitian ini kami melakukan penapisan dan karakterisasi aktinomiset yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap E.coli ATCC 35218 resisten antibiotik beta-laktam. Sebanyak 96 strain aktinomiset yang merupakan koleksi dari Biotechnology Microbial Culture Collection (BioMCC), BPPT, dilakukan penapisan aktivitas antibakteri terhadap E.coli ATCC 35218 dengan metode agar plug. Tiga strain menunjukkan aktivitas antibakteri, yaitu strain HH-64, HH-78, dan HH-259. Strain dengan aktivitas antibakteri selanjutnya ditumbuhkan di dalam empat jenis media, baik padat maupun cair, yaitu ISP2, ISP4, Micromonospora Starch Medium (MS), dan Bennet's Medium (BM), dan dilakukan karakterisasi morfologi dan pola pertumbuhannya. Karakterisasi morfologi menunjukkan bahwa seluruh strain termasuk ke dalam kelompok genus Micromonospora. Strain aktif juga dilakukan identifikasi berdasarkan sekuen 16S rRNA. Hasil blast sekuen 16S rRNA dibandingkan dengan data yang terdapat pada NCBI menunjukkan bahwa ketiga strain memiliki kedekatan tertinggi (99%) dengan Micromonospora chersina. Kata kunci: aktivitas antibakteri, karakterisasi, Micromonospora, penapisan

Escherichia coli is a frequent cause of lifethreatening bloodstream infections and other common infections, such as urinary tract infections. Antibioticresistant E. coli are readily acquired via the diet (food and water), and other factors such as continuous drug usage, the in appropriate dose usage and the natural factors of that microbe itself. The resistance results in increased mortality, morbidity, and health care cost. In Indonesia resistant E.coli have emerged, whereas the rates of resistance to some antibiotics were *Corresponding author; Phone/Fax: 021-7563120/02175602085, Email: [email protected]

significantly higher, especially to beta-lactam classes (Lestari et al. 2008). Beta-lactams remain the most widely utilized antibiotics owing to their comparatively high effectiveness, low cost, and minimal side effects. Among the various classes of antibiotics, penicillin and cephalosporins are the most frequently used agents in treatment of bacterial infection. The most common mechanism of resistance to this class of antibiotics is the ability of bacteria to produce beta-lactamases, enzymes that degrade or modify the antibiotic before it can reach the appropriate target site. These enzymes are very important for Gram-negative bacteria, including E.coli, as they constitute a major defense mechanism

xx HIDAYATI ET AL.

against beta-lactam based drugs (Wilke et al. 2005). On the other hand the antibiotic resistant has been an important issue all over the world, on the other side, the discovery of new antibiotics is slower than the rate of resistance. Consequently, it is important to focus on screening programs of microorganisms, primarily of rare actinomycetes, for their production of antibiotics (Donadio et al. 2002). Actinomycetes are well known as producers of bioactive secondary metabolites which include antibiotics, anticancer agents, enzymes, and biocontrol agents. According to Bérdy (2005), from 16 500 antimicrobial compounds isolated from microbes, 52.7% (8700 antimicrobial) were from actinomycetes, while the remaining 29.7% and 17.6% respectively were isolated from fungi and bacteria. Of 8700 antimicrobial compounds isolated from actinomycetes, 6550 have been isolated from the genus Streptomyces and the rest, 2250 from rare actinomycetes. The discovery of a new antimicrobial compounds from rare actinomycetes have been reported by several researchers over the world (Hopmann et al. 2002; Beltrametti et al. 2006). Micromonospora, which are a group of rare actinomycetes are widely distributed in nature, inhabiting variated environments such as coastal sediment (Zhao et al. 2004), soil rhizosphere (Qiu et al. 2008), peat swamp forest (Thawai et al. 2005), and from root nodules of the leguminous plants (Trujillo et al. 2007). Micromonospora species are best known for synthesizing antibiotics, especially aminoglycosides including gentamicin and netamicin, oligosaccharide antibiotics, and enediyne (Bérdy 2005). In this study, we utilized the microbes collected in the Biotechnology Microbial Culture Collection (BioMCC), BPPT, specifically actinomycetes, as the source for screening of antibacterial compounds against E.coli ATCC 35218 resistant beta-lactam antibiotics, and we characterized the active strains.

MATERIALS AND METHODS Actinomycetes Isolates. The strains were collection of Microbial Biotechnology Culture from the (BioMCC)-BPPT, isolated from soil using highheating method, cultured on ISP2 agar medium, and maintained as frozen cell in 20% glycerol solution. Screening of Antibacterial Activity. Antibacterial activity was assayed by the agar plug method on Mueller Hinton Agar (MHA). The ninety-six actinomycete isolates were subcultured on yeastextract malt-extract agar medium (ISP2) for 14-21 d,

Microbiol Indones

and the agar containing the cells was cut off (about 7 mm in diameter) and placed on the assay plates inoculated with 106 CFU mL-1 tested bacteria. After 24 h incubation at 36 ± 1 °C, the antibacterial activities were determined by clearing zone around the tested isolates (Sharma et al. 2011). Antibacterial Activity Patterns. The antibacterial activity pattern of Micromonospora spp. was conducted using the agar plug method (as described above). The active isolates were cultured on ISP2 agar medium and incubated at 28 °C for 15 d. Every 3 d of interval incubation, the plates were picked up and assayed their antibacterial activities againts test bacteria. For the antibacterial activities were expressed as the diameter of the growth inhibition zone (mm) and measured using calipers (Mitutoyo, Japan). Morphological and Growth Pattern Characterization of Active Actinomycetes. The potent actinomycetes isolates were selected and characterized by morphological characteristics in four different agar media (yeast-extract malt-extract (ISP2), Inorganic salt-starch (ISP4), Micromonospora Starch Medium (MS), and Bennett’s Medium (BM)). The morphological methods consist of macroscopic and microscopic characterization. Macroscopically, the actinomycete isolates were grown in four different media, and characterized their growth and colony color after 21 d of incubation. For microscopy, the plates from different media were observed for their mycelial structure, spores, and sporophore development directly under a microscope (Olympus BX51, 1000x magnifications). The observed morphology of the isolates was compared with the Actinomycetes morphology provided in Bergey’s Manual for the presumptive identification of the isolates (Kawamoto 1989). For growth patterns characterization, a pure culture of the actinomycetes isolates was inoculated individually into the seed medium (ISP2 broth). After 72 h of incubation, the seed culture at a rate of 10 % (v/v) was transferred into the four different fermentation media, using the same media as for morphological characterization (described before). The fermentation was carried out at 28 °C for 15 d under agitation at 220 rpm (performed using Rotary Shaker Incubator, Takasaki Scientific Instruments Corp). After every 3 d of incubation, the flasks were harvested, and the amount of packed mycelial cells (PMV) was measured. Culture broth was taken (10 mL) and centrifuged at 3 000 x g for 5 min (performed using Kubota 7780) to separate cells from fine particles of the medium. The separated mycelia were resuspended in a saline solution (0.85 % sodium

Volume 7, 2013

chloride) to give the original volumes using 15 mL centrifuge tubes. This step were replicated three times, then the mycelia wasallowed to sediment for 20 min. The PMV was measured and expressed as % of cells to total volume (10 mL) (Rho et al. 1991). Molecular Identification of Active Strains Based on 16S rRNA Sequence. The DNA from active actinomycetes was isolated using InstaGene Matrix (BioRAd). The pure colony of the isolate was collected from fresh culture on ISP2 agar medium, transfered to the microtubes consisting of 10 µL ddH2O, added with 90 µL Instagene Matrix, and heated at 100 °C for 15 min. The mixed solution was centrifugated at 15 000 x g (TOMY MX-301) for 3 min. The DNA amplification was performed via Polymerase Chain Reaction (PCR) by PCR Thermal Cycler (Takara, Japan). The DNA template (8 µL) was added to the amplification mixture containing 1.6 µL ddH2O, 1 µL DMSO, 0.2 µL primer 178 F, 0.2 µL primer 179 R, and 9 µL Master Mix. After the initial denaturation for 2 min at 96 °C, 35 cycles of amplification were performed, 20 s at 90 °C denaturation, 20 s at 60 °C annealing and 1 min 72 °C elongation. These cycles were followed by a final 5 min elongation cycle at 72 °C. The PCR product purification was done using Gel/PCR DNA fragments Extraction Kit (DF Buffer, Washing Buffer, Elution Buffer, DF Column) and amplified by PCR using the mixture reaction from Go Taq Green Master Mix (Promega). The PCR product was directly sequenced using ABI 3130 Genetic Analyzer, and 16S rRNA sequences data from each isolate was compared to the database available at GenBank by using the BLAST software (blastn) on the National Center Biotechnology Information site (NCBI) (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/). The 16S rRNA sequences of the active strain were aligned using the CLUSTAL W2 program. Phylogenetic and molecular evolutionary analyses were conducted using MEGA software version 5. The evolutionary distances were

Microbiol Indones

xx

computed using the Maximum Composite Likelihood method and were in units of the number of base substitutions per site (Tamura et al. 2011).

RESULTS Antibacterial Activity of Micromonospora spp. From the ninety-six actinomycetes strains which were assayed, three strains showed inhibition activity against E.coli ATCC 35218, they were strains HH-64, HH-78, and HH-259, with the inhibition diameters of 13.55, 13.88 and 14.71 mm, respectively (Fig 1). Characterization of antibacterial activity, based on the age of culture (Fig 2) showed that the highest activities were at 9 d of culture. Antibacterial activities started on the third day of culture, except for the strain HH-259, and continued to increase until the 9 d of culture. The antibacterial activities began to decline at 12 d of culture. Overall, up to 15 d of culture, all of the strains still showed their antibacterial activities. Morphological and Growth Patterns Characteristic of Micromonospora spp. Micromonospora spp. showed varied growth patterns in different liquid media, indicated by the yielded biomass (% PMV). The strain HH-64 showed the best growth in ISP4 broth, followed by the growth in the ISP2, MS and BM media. This pattern also occured for strain HH-259. The best growth medium for strain HH-78 was ISP4, followed by ISP2, MS and BM (Fig 3). Macroscopically, morphological colony observations of three strains in the four different growth media varied. Strain HH-64 grew abundantly in all media and sporulated more slowly on Bennet’s medium. Strain HH-78 grew abundantly and sporulated well in all media. Strain HH-259 grew abundantly on ISP2 medium and moderately on three other media, and it sporulated slowly on MS and BM media. Overall, the color of vegetative mycelium of the strains was colorless to

Fig 1 The antibacterial activities of Micromonospora spp. against E.coli ATCC 35218 (shown by clear zones around the tested strains)

Microbiol Indones

xx HIDAYATI ET AL. 20 18 Diameter of inhibition (mm)

16 14 12 10 8 6 4 2 0 0

3

9

6

15

12

Culture time (d)

Fig 2 Antibacterial activity patterns of Micromonospora spp. from ISP2 agar culture performed using agar plug method 12

BioMCC-at-HH64

PMV (%)

10 8 6 4 2 0 0

3

6

9

15

12

Culture time (d)

10

BioMCC-at-HH259

12

8

8 PMV (%)

PMV (%)

10

BioMCC-at-HH78

6 4 2

6 4 2

0 0

3

6

9

12

15

0

9 6 15 12 Culture time (d) Fig 3 The growth patterns of Micromonospora spp. in four various liquid media (ISP2, ISP4, Micromonopora Medium (MS), and Bennet’s Medium(BM)) Culture time (d)

light orange-yellow, then turned to greenish-black or brownish-black after sporulation (Fig 4). Microscopic observation showed that all active strains belong to the genus Micromonospora (Fig 5). Molecular Identification of Micromonospora spp. The partial sequences of each strain was compared with 16S rRNA gene sequences in the GenBank database. The homology search by the BLAST program showed that all

0

3

strains showed similarities to Micromonospora chersina, with 16S rRNA gene-sequence-similarity values of 99%. The results indicated that the closest related species for strain HH- 64 was with M.chersina R-Ac138 (Fn649453), for strain HH-78 with M.chersina RtIII8 (EU274367), and for strain HH-259 was with M.chersina R-Ac135 (FN649452), respectively. The phylogenetic dendogram was inferred using the Neighbor-Joining

Volume 7, 2013

Microbiol Indones

xx

Fig 4 Micromonospora spp. colonies after 21 d incubation on four different agar media (A. ISP2, B. ISP4, C. Micromospora Medium, D. Bennet’s Medium)

Fig 5 Microscopic structures of Micromonospora spp. 21 d old on ISP2 medium, the spherical spore indicated by the red arrow (1000 x magnification)

method and the results showed that two strains, HH-64 and HH-259, were clustered together and were closely related with other M. chersina. The strain HH-78 was separated from the anothers and it was clustered together with M.olivasterospora, M. viridifaciens, and M. echinaurantiaca (Fig 6).

DISCUSSION From the results we obtained, 3 strains showed antibacterial activities, and the patterns of antibacterial

activity based on the age of the cultures showed that until 15 d of culture they still have activities against the target bacteria. Antibacterial activities are characterized by the formation of a clear zone around the actinomycetes colony being tested (Fig 1), the wider the clear zone formed, the greater the antibacterial activity produced. This indicates that the strains are capable of secreting a substance that inhibits the growth of test bacteria, in this case E. coli ATCC 35218. The bioactive compounds could be a beta-lactamase inhibitor or antibacterial compounds that cannot be hydrolysed or

xx HIDAYATI ET AL.

Microbiol Indones

Fig 6 The phylogenetic dendogram based on 16S rRNA gene sequences of Micromonospora spp. and other genera (root of bootstrap). The strains are shown in bold symbols. Percentage bootstrap values based on 500 resampled data sets are shown at the nodes; bootstrap value lower than 40% were cut off.

are hydrolysed poorly by beta-lactamase activity produced by the target bacteria (Babic et al. 2006). The bacterial target we used in this study was E. coli ATCC 35218, it is a beta-lactam resistant bacteria, a non-pathogenic from that produces TEM-1 betalactamase. This bacteria is used as a bacterial surrogate

for EHEC E.coli O157:H7 in microbial challenge studies (Gurtler et al. 2010). In Gram-negative bacteria, beta-lactamases are the most important mechanism of resistance to beta-lactam antibiotics. Beta-lactamases are bacterial enzymes that hydrolyse the beta-lactam ring and render the antibiotic inactive

Volume 7, 2013

before it reaches the penicillin-binding-protein (PBP) target. There are two principal ways to overcome the beta-lactam resistance involving finding inhibitors or inactivators of beta-lactamases and finding a new betalactam antibiotic that demonstrates great affinity for the target PBP which is not hydrolized or hydrolized poorly, by beta-lactamases (Babic et al. 2006). Currently, there are 3 beta-lactamasei inhibitors used i clinically: clavulanic acid, sulbactam, and tazobactam, which are combined with other antibiotics (Miller et al.2001). Antibacterial agents are one of the secondary metabolites produced by actinomycetes. Secondary metabolites are produced as a response to the limited availability of nutrients, and are not essential for the growth of the producing cultures but serve diverse survival functions in nature. In contrast with secondary metabolites, the primary metabolites are associated with growth and maintenance of life, its concern with the release energy and the synthesis of important macromolecules such as sugars, proteind, nucleic acids, and organic acids. The organism will be die if primary metabolism were stopped (Demain & Fang 1995). In actinomycetes, the production of secondary metabolites coincides with, or precedes, sporulation. Its occurs when cultured on the agar medium. In the liquid culture, the secondary metabolites generally limited to the stationary phase, and its frequently assumed to the result of nutrient limitation. Because both secondary metabolites production and sporulation occurs close to the beginning of the stationary phase, one may suspect that these two process are regulated by an overlapping mechanism. However, in some cases there is no close connection between the spore formation and antibiotic production, particulary, by non-sporulating organisms (Bibb 2005; Glazer & Nikaido 2007). The growth pattern of active strains showed that the patterns varied in different media (Fig 4). The best growth is demonstrated by the growth in ISP4 medium. The medium has a more complex composition than other media we used, it contains soluble starch, ammonium sulphate, and potassium phosphate, as a source of carbon, nitrogen, and phosphate, respectively. In addition, the media also provides micro-elements as a sources of metals, such as ferrous iron and manganese. The growth patterns in this medium also varied among the strains, which may due to their ability to assimilate the medium components variably. Microbial growth and antibiotic production by actinomycetes and other spore forming strains in batch

Microbiol Indones

xx

culture are mainly influenced by two factors. The first is the nature and concentrations of different medium composition such as carbon, nitrogen, phosphate, and metals sources. Carbon sources that can readily serve as growth substrates, such as glucose, often repress antibiotic production but are excellent for growth. Polysaccharides such as, starch, are often preferable in antibiotic yield. The second factor is cultivation conditions such as temperature, pH, incubation time, oxygen supply, type and concentration of inoculum. In shaking flask cultures, the important factors that influence the gas-mass transfer in the cultivation media are mainly the shape and volume of the cultivation vessel, medium volume, the degree of agitation and the medium viscosity (El-Enshasy et al. 2000; Himabindu & Jetty 2006). In order to maximize the fermentative production of secondary metabolites, in this case antibacterial compounds, its important to characterize the producing organism. Characterization of the active strains showed that all strains belonged to the genus Micromonospora and they closely related to M. chersina. Microscopically, they were characterized by the presence of single spherical spores located terminally on short or long hyphal branches and sometimes developed into clusters,with no aerial mycelium being formed. M. chersina was first proposed by Tomita et al. (1992), the vegetative mycelium of this strain is branched monopodially and forms single spores (spherical with short blunt spines) which are sessile or born on short- or long-monopodial sphorophores, and no aerial mycelium is formed. This strain is known as a dynemicin producer, an antitumor antibiotic, with broadspectrum activity. Not only did it have activity against tumor cells, it also had activity against bacteria and fungi (Konishi et al. 1991). The phylogenetic analysis (Fig 6), showed that the strain HH-78 was separated from the two others and its closely related species, M.chersina. Instead, it clustered together with M.olivasterospora, M.viridifaciens, and M.echinaurantiaca, this was probably due to their menaquinone concentration and fatty acid composition (Tomita et al. 1992; Koch et al.1996). Besides Streptomyces, Micromonospora is one of the genera of actinomycetes that is known as world antibiotics producer and this genus has remained poorly studied compared to Streptomyces. Some new bioactive compounds have been isolated from Micromonospora species, and have been shown to have antitumor, antiparasitic, and antimicrobe activity (Charan et al. 2004; Igarashi et al. 2007; Gärtner et al. 2011; Sakai et al. 2012). Other members of the genus

xx HIDAYATI ET AL.

Microbiol Indones

Micromonospora that known as antibiotic producers were M.purpurea and M. echinospora, as gentamicin producers, and M.chalcea as a izumenolide producer. Gentamicin is a broad spectrum, basic, and water soluble antibiotic, which highly activity against Gram negative bacteria and Mycobacterium tuberculosis (Himabindu and Jetty 2006), meanwhile, izumenolide is beta-lactamase inhibitor (Liu et al. 1980). In this study we have shown that rare actinomycetes, specially, Micromonospora from Indonesian habitat are potential antibacterial producers, in this case, as E.coli resistant beta-lactam antibiotics. Further studies are needed to obtain the optimum media and conditions of fermentation production, isolation, purification, and characterization of the active compounds.

AKCNOWLEDGMENTS We thank to the Ministry of Research and Technology, for the scholarship and the Management of Biotechnology Center, BPPT for providing laboratory facilities to carry out this work.

REFERENCES

Microbiol. 40(5-6):333-342. doi:1521-4028(200012)4 0:5/6<333::AID-JOBM333>3.0.CO;2-Q. Gärtner A, Ohlendorf B, Schulz D, Zinecker H, Wiese J, Imhoff JF. 2011. Levantilides A and B, 20-membered macrolides from Micromonospora strain isolated from the Mediterranean deep sea sediment. Mar Drugs. 9: 98-108. doi: 10.3390/md9010098. Glazer N, Nikaido H. Microbial Biotechnology: fundamentals of applied microbiology. 2nd Ed. Cambridge Univ Press, USA. Gurtler JB, Rivera RB, Zhang HQ, Geveke DJ. 2010. Selection of surrogate bacteria in place of E.coli O157:H7 and Salmonella Typhimurium for pulsed electric field treatment of orange juice. Intl J Food Microbiol. 139(1-2):1-8. doi:10.1016/j.ijfoodmicro.20 10.02.023. Himabindu M, Jetty A. 2006. Optimization of nutritional requirements for gentamicin production by Micromono spora echinospora. Indian J Exp Biol. 44(10):842-848. Hopmann C, Kurz M, Bronstrup M, Wink J, Beller D Le. 2002. Isolation and structure elucidation of vancoremycin: a new antibiotic from Amycolaptosis sp.ST 101170. Tetrahedron Lett. 43(3):435-438. doi:10.1016/S0040-4039(01)02171-2. Igarashi Y, Trujillo ME, Martínez-Molina E, Yanase S, Miyanaga S, Obata T, Sakurai H, Saiki I, Fujita T, Furumai T. 2007. Antitumor anthraquinones from an endophytic actinomycete Micromonospora lupini sp. nov. Bioorg Med Chem Lett. 17(13):3702-3705. doi:10.1016/j.bmcl.2007.04.039.

Beltrametti F, Rossi R, Selva E, Marinelli F. 2006. Antibiotic production improvement in the rare actinomycete Planobispora rosea by selection of mutants resistant to the aminoglycosides streptomycin and gentamycin and to rifamycin. J Ind Microbiol Biotechnol. 33(4):283288. doi:10.1007/s10295-005-0061-4.

Kawamoto I. 1989. Genus Micromonospora Orskov 1923 In: Williams ST. (Ed.), Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. 4. Williams and Wilkins, Baltimore, MD. p 2442-2450.

Babic M, Hujer AM, Bonomo RA. 2006. What’s new in antibiotic resistance? Focus on beta-lactamase. Drug Resistance Updates 9(3):142-156. doi: 10.1016/j.drup. 2006.05.005.

Koch C, Kroppenstedt RM, Stackebrandt E. 1996. Intragenic relationship of the Actinomycete genus Micromonospora. Int J Sys Bacteriol. 46(2):383-387. doi:10.1099/00207713-46-2-383.

Bèrdy J. 2005. Bioactive microbial metabolites: a personal view. J Antibiot. 58:1-26. doi:10.1038/ja.2005.1.

Konishi M, Ohkuma H, Matsumoto K, Saitoh K, Miyaki T, Oki T, Kawaguchi H. 1991. Dynemicins, new antibiotics with the 1,5-dyn-3-ene and anthraquinone subunit. J Antibiotics. 44(12):1300-1305. doi:10.7164/ antibiotics.44.1300.

Bibb MJ. 2005. Regulation of secondary metabolism in Streptomyces. Current Opinion in Microbiology 8(2):208-215. doi:10.1016/j.mib.2005.02.016. Charan RD, Schlingmann G, Janso J, Bernan V, Feng X, Carter GT. 2004. Diazepinomicin, a new antimicrobial alkaloid from marine Micromonospora. J Nat Prod. 67(8):1431-1433. doi:10.1021/np040042r. Demain Al, Fang A. 1995. Emerging concepts of secondary metabolism in Actinomycetes. Actinomycetol. 9(2):98117. doi:10.3209/saj.9_98.

Lestari ES, Severin JA, Filius PMG, Kuntaman K, Duerink DO, Hadi U, Wahjono H, Verbrugh HA. 2008. Antimicrobial resistance among commensal isolates of Escherichia coli and Staphylococcus aureus in the Indonesian population inside and outside hospital. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 27(1):45-51. doi:10.1007/s10096-007-0396-z.

Donadio S, Carrano L, Brandi L, Serina S, Soffientini A, Raimondi E, Montanini N, Sosio M, Gualerzi CO. 2002. Targets and assays for discovering novel antibacterial agents. J Biotechnol. 99(3):175-185. doi:10.1016/S0168-1656(02)00208-0.

Liu WC, Astle G, Wells Jr JC, Trejo WH, Principe PA, Rathnum ML, Parker WL, Kocky OR, Sykes RB. 1980. Izumenolide, a novel β-lactamase inhibitor produced by Micromonospora:detection, isolation and characterization. J Antibiotics. 33(11):1256-1261. doi:10.7164/antibiotics.33.1256.

El-Enshasy H, Farid MA, El-Sayed SA. 2006. Influence of inoculum type and cultivation conditions on natamycin production by Streptomyces natalensis. J Basic

Miller LA, Ratnam K, Payne DJ. 2001. Β-Lactamaseinhibitor combinations in the 21st century: current agents and new developments. Curr Opinion Pharm.

Volume 7, 2013 1(5):451-458. doi:10.1016/S1471-4892(01)00079-0. Qiu D, Ruan J, Huang Y. 2008. Selective isolation and rapid identification of members of the genus Micromonospo ra. Appl Environ Microbiol. 74(17):5593-5597. doi:10.1128/AEM.00303-08. Rho, Taek Y, Nam-Kung G, Lee KJ. 1991. Rheological characteristics of rifamycin B fermentation using Nocardia mediterranei. J Microbiol Biotechnol. 1(1):70-74. Sakai A, Mitsumori A, Furukawa M, Kinoshita K, Anzai Y, Kato F. 2012. Production of a hybrid 16-membered macrolide antibiotic by genetic engineering of Micromonospora sp. TPMA0041. J Ind Microbiol Biotechnol. 39(11):1693-1701. doi:10.1007/s10295012-1173-2. Sharma D, Kaur T, Chadha BS, Manhas RJ. 2011. Antimicrobial activity of actinomycetes against multidrug resistant Staphylococcus aureus, E.coli and various other pathogens. Trop J Pharm Res. 10(6): 801808. doi:10.4314/tjpr.v10i6.14. Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, Nei M, Kumar S. 2011. MEGA5: molecular evolutionary genetics analysis using Maximum Likelihood, Evolutionary Distance, and Maximum Parsimony Methods. Mol Biol Evol. 28(10):2731-2739. doi:10.1093/molbev/msr121.

Microbiol Indones

xx

Thawai C, Tanasupawat S, Itoh T, Suwanborirux K, Suzuki K, Kudo T. 2005. Micromonospora eburnea sp. nov., isolated from a Thai peat swamp forest. Intl J Sys Evol Microbiol. 55(1):417-422. doi:10.1099/ijs.0.63217-0. Tomita K, Hoshino Y, Ohkusa N, Tsuno T, Miyaki T. 1992. Micromonospora chersina sp. nov.. Actinomycetol. 6(1):21-28. doi:10.3209/saj.6_21. Trujillo ME, Kroppenstedt RM, Fernández-Molineo C, Schumann P, Martínez-Molina E. 2007. Micromonospora lupini sp. nov. and Micromonospora saelicesensis sp. nov., isolated from root nodules of Lupinus angustifolius. Intl J Sys Evol Microbiol. 57(12):27992804. doi:10.1099/ijs.0.65192-0. Wilke MS, Lovering AL, Strynadka NCJ. 2005. Β-lactam antibiotics resistance:current structural perspective. Curr Opin Microbiol. 8(5):525-533. doi:10.1016/j.mib. 2005.08.016. Zhao H, Kassama Y, Young M, Kell DB, Goodacre R. 2004. Differentiation of Micromonospora isolates from a coastal sediments in Wales on the basis of Fourier Transform Infrared Spectroscopy, 16S rRNA sequence analysis, and the Amplified Fragment Lenght Polymorphism Technique. Appl Environ Microbiol. 70(11):6619-6627. doi:10.1128/AEM.70.11.66196627.2004.

53

44

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari ibu Sumartini Hardjo Soemarto dan ayah Sunar Robbi pada tanggal 8 Agustus 1977. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Pondok Pesantren Modern (PPMI) Assalaam, Sukoharjo, Jawa Tengah dan pada tahun yang sama masuk ke Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Airlangga melalui program UMPTN dan lulus pada bulan Agustus 2001. Pada bulan Desember 2001, penulis diterima sebagai pegawai negeri di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan ditempatkan di Balai Pengkajian Bioteknologi, Serpong. Penulis mendapatkan beasiswa dari Kementrian Negara Riset dan Teknologi pada tahun 2010 untuk melanjutkan studi S2, dan mengambil studi di Program Studi Mikrobiologi, Institut Pertanian Bogor. Karya ilmiah yang merupakan bagian dari program S2 penulis telah dipublikasikan di Jurnal Microbiology Indonesia,Volume 7, Nomor 3, September 2013.