Raissa dan Diah | Penatalaksanaan Kasus Baru Tuberkulosis Paru pada Wanita Usia 30 Tahun
Penatalaksanaan Kasus Baru Tuberkulosis Paru pada Wanita Usia 30 Tahun
Raissa Ulfah Fadillah, Diah Wulan Sumekar Rengganis Wardani Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex. Menurut World Health Organization (WHO), sepertiga penduduk dunia tertular tuberkulosis, dimana tahun 2000 lebih dari 8 juta penduduk dunia menderita tuberkulosis. Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan jumlah penderita tuberkulosis terbanyak setelah India dan Cina. Tujuan studi ini untuk mengetahui uraian masalah klinis, mengidentifikasi faktor resiko yang menjadi penyebab, dan memberikan penatalaksanaan penyakit tuberkulosis pada pasien melalui pendekatan kedokteran keluarga. Studi ini merupakan laporan kasus. Data primer diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, kunjungan keluarga, melengkapi data keluarga, dan psikososial. Penilaian berdasarkan diagnosis holistik dari awal, proses hingga akhir studi secara kualitatif dan kuantitatif. Pasien memiliki derajat fungsional tiga dengan tuberkulosis yang memiliki faktor resiko internal dan eksternal yaitu pola pengobatan kuratif, kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya, kurangnya dukungan dan pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien, serta lingkungan yang berdebu. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya mengenai obat yang harus dikonsumsi, efek samping, serta perubahan gaya hidup. Setelah evaluasi terdapat kepatuhan dalam minum obat dan perubahan gaya hidup kearah pola gaya hidup bersih dan sehat. Masalah klinis yang kompleks membutuhkan waktu lama dan kerjasama antara petugas kesehatan dan keluarga, tidak hanya menyelesaikan masalah klinis pasien, tetapi juga mencari dan memberi solusi atas permasalahan dalam lingkungan yang bisa mempengaruhi kesehatan pasien dan keluarga. Kata kunci: kedokteran keluarga, mycobacterium tuberculosis, tuberkulosis
New Case of Tuberculosis Disease Management in 30 Years Old Woman Abstract Tuberculosis is a disease caused by Mycobacterium tuberculosis infection. Based on World Health Organization (WHO), a third of global population infected by tuberculosis, on 2000 there are more that 8 billions global population are patient of tuberculosis. Indonesia is third rank after Indian and China. The objective of this study to determine the clinical description of the problem, identifying the risk factors that cause, and provide management of tuberculosis in patients with a family medicine approach. This study is a case report. Primary data were obtained through anamnesis, physical examination, home visit, family data complement, and psychosicial. The assessment is based on a holistic diagnosis from the start, the process and the end of the study qualitatively and quantitatively. Patient with functional degree three of tuberculosis had internal and external risk factors such as the pattern of currative treatment, lack of knowledge about disease, less support from family, and dusties environment. Education for patients and families about drugs that should be consumed and eaten, side effect of the drug, and life style modification. After the evaluation there are patient compliance in eaten drugs and life style modification for health. Clinical complex problem requires a long time and cooperation among health workers and family, not only solve the clinical problems, but also seek and provide solutions for problems in the environtment that can affect the health of the patient and family. Keywords: family medicine, Mycobacterium tuberculosis, tuberculosis Korespondensi : Raissa Ulfah Fadillah, alamat Jl. Tupai gg. Swadaya 2 No.31b Kedaton, Bandarlampung, Hp 082183000610, e‐mail
[email protected]
Pendahuluan Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeski Mycobacterium tuberkulosis complex. Penyakit tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi menular yang banyak didapatkan di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dan biasanya terjadi pada anak maupun orang dewasa.1 Menurut World Health Organization (WHO), sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, dimana pada tahun 2000 lebih dari 8 juta penduduk dunia menderita TB aktif.
Penyakit TB bertanggung jawab terhadap kematian hampir 2 juta penduduk setiap tahun dan sebagian besar terjadi di negara berkembang. WHO memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan AIDS. Menurut perkiraan antara tahun 2000‐ 2020 kematian karena TB meningkat sampai 35 juta orang. Setiap hari ditemukan 23.000 kasus TB aktif dan TB menyebabkan hampir 5000 kematian.2,8
J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|69
Raissa dan Diah | Penatalaksanaan Kasus Baru Tuberkulosis Paru pada Wanita Usia 30 Tahun
Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan jumlah penderita TB terbanyak di dunia setelah India dan China. Jumlah pasien TB di Indonesia adalah sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB dunia. Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Angka prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia produktif. Oleh karena itu kerugian ekonomi akibat TB juga cukup besar.3,8 Menurut Prof. Tjandra Yoga, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan tingginya kasus TB di Indonesia. Waktu pengobatan TB yang relatif lama (enam sampai delapan bulan) menjadi penyebab penderita TB sulit sembuh karena pasien TB berhenti berobat (drop) setelah merasa sehat meski proses pengobatan belum selesai. Selain itu, masalah TB diperberat dengan adanya peningkatan infeksi HIV/AIDS yang berkembang cepat dan munculnya permasalahan Tuberculosis‐Multi Drugs Resistant (TB‐MDR) atau kebal terhadap bermacam obat. Masalah lain adalah adanya penderita TB laten, dimana penderita tidak sakit namun akibat daya tahan tubuh menurun, penyakit TB akan muncul.4 Meskipun secara nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih menunjukkan disparitas antar wilayah. Dari data pencapaian target pengendalian TB per provinsi Tahun 2009, diketahui bahwa sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka penemuan kasus (CDR) 70% dan hanya lima provinsi menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85% kesembuhan.5 Saat ini Provinsi Lampung termasuk yang angka CDR nya masih dibawah 70%. Namun, walaupun demikian program penanggulangan TBC di Provinsi Lampung menunjukkan adanya perbaikan dari tahun ke tahun, meski belum dapat mencapai semua target nasional program.6 Peran dokter dalam mengatasi penyakit tuberkulosis sangatlah penting. Dokter sebagai pintu pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong penderita tuberkulosis, harus selalu meningkatkan pelayanan, salah satunya yang sering diabaikan adalah memberikan edukasi atau pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|70
kepada penderita dan keluarganya akan sangat berarti bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan, serta cara untuk mencegah penularan.7 Penerapan pelayanan dokter keluarga berbasis evidence based medicine pada pasien dengan mengidentifikasi faktor risiko, masalah klinis, serta penatalaksanaan pasien berdasarkan kerangka penyelesaian masalah pasien dengan pendekatan pasien centre dan family approach. Kasus Nn. S, 30 tahun dengan pendidikan terakhir SMA berdomisili di Jl. Karang Raya Barat Nomor 17 bekerja sebagai cleaning service di perusahaan swasta. Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pasien datang ke Puskesmas Panjang dengan keluhan batuk beradahak sejak ± satu bulan yang lalu dan tidak kunjung sembuh. Keluhan batuk disertai dengan dahak berwarna putih kental dan sulit dikeluarkan. Keluhan batuk disertai darah disangkal. Batuk dirasakan semakin memberat pada malam hari, keluhan timbul secara tiba‐tiba dan terus‐menerus, pasien juga mengeluh disertai demam yang tidak terlalu tinggi, dan berkeringat pada malam hari. Pasien juga mengaku penurunan nafsu makan sehingga pasien merasa lemas dan mengalami penurunan berat badan. Pasien pergi berobat ke dokter dan rumah sakit untuk mengobati keluhan batuknya. Setelah mengkonsumsi obat yang diberikan keluhan batuk berkurang, tetapi setelah obat habis keluhan kembali dirasakan. Pasien merasa kebingungan mengenai pengobatan yang dijalani karena berobat ke beberapa dokter dan diberikan obat yang berbeda. Akhirnya pasien berobat kembali ke puskesmas dan dicek sputum. Hasilnya pasien dinyatakan menderita tuberkulosis. Pasien tinggal di rumah dengan tiga kamar dengan ukuran rumah 35 m x 20 m. Sinar matahari tidak dapat masuk ke dalam kamar tidur. Dinding terbuat dari tembok semen. Ventilasi kurang, rumah terasa lembab, terdapat beberapa jendela ukuran 100 cm x 50 cm di kamar dan ruang tv namun jarang untuk dibuka. Kebersihan dan kerapian rumah kurang. Pakaian ditumpuk‐tumpuk menjadi satu. Sprei, sarung bantal, serta tirai jarang dicuci. Kamar mandi ada didalam rumah dan jamban dengan wc jongkok. Air
Raissa dan Diah | Penatalaksanaan Kasus Baru Tuberkulosis Paru pada Wanita Usia 30 Tahun
minum didapat dengan membeli air mineral isi ulang dalam galon, dan air untuk mandi‐cuci‐ kakus dari sumur. Jarak sumur dengan dapur dua meter. Saluran air dialirkan ke penampungan di depan rumah. Lingkungan rumah pasien bersebelahan dengan tempat rongsokan barang. Pola pengobatan dalam keluarga merupakan kuratif, dimana anggota keluarga mencari pelayanan kesehatan jika salah satu anggota keluarga ada yang sakit saja. Keluarga pasien juga tidak pernah mengingatkan pasien untuk mengobati setiap ada keluhan gatal pada keluarga dikarenakan persepsi keluarga penyakit gatal mungkin karena serangga dan sembuh sendiri. Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya disangkal. Pasien mengaku memiliki riwayat kontak dengan penderita yang mempunyai keluhan seperti ini serta menjalani pengobatan TB sebelumnya yaitu teman di lingkungan kerja. Riwayat pernah mendapat pengobatan TB disangkal. Riwayat memelihara hewan unggas disangkal. Riwayat memiliki penyakit asma dan alergi obat atau makanan disangkal. Pasien sehari‐hari bekerja membantu di warung makan milik orangtuanya dengan penghasilan yang tidak menentu. Awalnya pasien bekerja sebagai cleaning service di suatu perusahaan swasta daerah Panjang, tetapi dikarenakan pasien terdiagnosa TB dan disarankan untuk istirahat, pasien memutuskan untuk berhenti bekerja. Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Adik laki‐laki pasien bekerja sebagai buruh pabrik di panjang. Pasien mengaku pernah kontak langsung dengan teman kerja yang memiliki keluhan yang sama dan sedang menjalani pengobatan TB. Saat itu pasien masih tidak banyak mengetahui mengenai TB paru dan bagaimana penularannya. Metode penulisan case report menggunakan metode analisis data primer diperoleh melalui autoanamnesis dan pemeriksaan fisik. Kunjungan rumah, melengkapi data keluarga, dan psikososial serta lingkungan. Penilaian berdasarkan diagnosis holistik dari awal, proses dan akhir studi secara kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan, tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 80 x/menit,
frekuensi nafas 30 x/menit, suhu tubuh 36,9 o C, berat badan 48 kg, tinggi badan 155 cm, status gizi normal (Indeks Masa Tubuh (IMT): 20,9 kg/m2). Status generalis didapatkan mata, telinga, hidung, kesan dalam batas normal. Leher, JVP tidak meningkat, kesan dalam batas normal. Paru tampak adanya retraksi pada otot pernapasan, gerakan dada dan fremitus taktil simetris, suara sonor pada seluruh lapang paru, bunyi napas dasar vesikuler normal, didapatkan rhonki basah halus pada kedua lapang paru, tidak didapatkan wheezing pada kedua lapang paru. Jantung, batas kanan jantung pada linea sternalis kanan, batas jantung kiri tepat pada linea midclavicula, ICS V, bunyi jantung I dan II murni reguler, tidak ada bunyi jantung tambahan, kesan jantung normal. Abdomen, supel, tidak terdapat organomegali ataupun ascites, kesan dalam batas normal. Status neurologis didapatkan refleks fisiologis normal, reflek patologis (‐). Rangsang raba normal. Kekuatan otot 5/5 / 5/5. Pemeriksaan laboratorium pada pemeriksaan BTA SPS didapatkan BTA +++. Pembahasan Pembinaan dengan pelayanan kedokteran keluarga ini dilakukan pada Nn. S dengan usia 30 tahun yang berarti pasien masih diusia produktif.8 Pasien datang ke Puskesmas Panjang dengan keluhan batuk berdahak sejak satu bulan yang lalu. Tujuan yang dilakukan adalah untuk pendekatan dan perkenalan terhadap pasien serta menerangkan maksud dan tujuan kedatangan, diikuti dengan anamnesis tentang keluarga, dan perihal penyakit yang telah diderita. Dari hasil kunjungan tersebut, sesuai konsep mandala of health, dari segi perilaku kesehatan pasien masih mengutamakan kuratif daripada preventif dan memiliki pengetahuan yang kurang tentang penyakit‐ penyakit yang ia derita. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tersebut dapat diketahui bahwa pasien tersebut mengalami tuberkulosis paru.7,11 Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis).9 Umumnya penularan melalui droplet infection. Sebagian
J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|71
Raissa dan Diah | Penatalaksanaan Kasus Baru Tuberkulosis Paru pada Wanita Usia 30 Tahun
besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.1,4 Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964 diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosae dalam sputum atau jaringan paru secara biakan.2,10 Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yaitu riwayat mengenai gejala respiratorik seperti batuk > 3 minggu, batuk darah, sesak apas, dan nyeri dada, sedangkan pada gejala sistemik ditemukan adanya demam, keringat malam, penurunan berat badan, malaise, dan anoreksia.1,3 Pada pasien, Nn. S, ditegakkan diagnosis kasus baru TB paru karena berdasarkan anamnesis, pasien mengalami batuk berdahak selama satu bulan, adanya demam, penurunan berat badan, serta belum pernah mengonsumsi OAT. Teman sekerja pasien mengalami keluhan yang sama. Tempat tinggal pasien yang kurang bersih, halaman berupa tanah dan pasir, serta atap kamar belum di plavon yang membuat debu di lantai merupakan pemicu terjadinya batuk. Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya retraksi intercostal dan terdengar bunyi ronchi basah halus. Pada pasien dilakukan pemeriksaan sputum BTA SPS dan mendapatkan hasil +++. Pada pasien dengan dugaan sakit TB dapat dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang, antara lain: radiologi (foto toraks) dan pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquoer cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses, dan jaringan biopsi. Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan biakan kuman dan pemeriksaan penunjang lain seperti analisis cairan pleura, pemeriksaan histopatologi jaringan, dan pemeriksaan darah.1‐3 Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan pasien didapatkan hasil BTA SPS +++, dimana diagnosis TB paru BTA positif adalah bila : 1. Dua atau lebih hasil pemeriksaan dahak BTA positif, atau 2. Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan didukung hasil pemeriksaan foto thoraks sesuai dengan gambaraan TB yang ditetapkan oleh klinisi, atau 3. Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil kultur M. tuberculosis positif. J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|72
Interprestasi BTA SPS +++ adalah ditemukaan > 10 BTA dalam satu lapang pandang.1,4,5,11 Di puskesmas pasien diberiksan terapi farmakologis berupa obat paket TB (Fixed Dose Combination Fixed Dose Combination (FDC)) tiga kali sehari dan vit C dua kali sehari. Pemberian terapi tersebut dirasa sudah cukup tepat. FDC merupakan obat yang digunakan dalam pengembangan strategi directly observed treatment short course (DOTS) untuk mengontrol epidemi TB dan sudah merupakan rekomendasi dari WHO. FDC pada fase intensif dengan dosis harian berisi 150 mg rifampisin, 75 mg isoniazid, 400 mg pirazinamid, dan 275 mg etambutol. Dengan berat badan 38‐54 kg, diberikan tiga tablet dalam sehari.1,3,7 Pelaksanaan pembinaan pada pasien ini dilakukan dengan mengintervensi pasien beserta keluarga sebanyak tiga kali, dimana dilakukan kunjungan pertama pada tanggal 22 Januari 2016. Pada kunjungan keluarga pertama dilakukan pendekatan dan perkenalan terhadap pasien serta menerangkan maksud dan tujuan kedatangan, diikuti dengan anamnesis tentang keluarga dan perihal penyakit yang telah diderita. Dari hasil kunjungan tersebut, sesuai konsep Mandala of Health, dari segi perilaku kesehatan pasien masih mengutamakan kuratif daripada preventif dan memiliki pengetahuan yang kurang tentang penyakit‐ penyakit yang ia derita. Human biology, pasien merasakan penyakit TB paru yang dideritanya menimbulkan keluhan‐keluhan yang menggangu aktifitasnya. Pasien tidak tahu kalau penyakit TB harus rutin minum obat serta melakukan kontrol ke pelayanan kesehatan. Akses pasien ke puskesmas tidak terlalu jauh jadi pasien tidak malas untuk menebus obat. Lingkungan psikososial, pasien merasa bahagia dengan keadaan keluarganya saat ini. Hubungan antar anggota keluarga juga terbilang dekat dan jarang mengalami suatu masalah. Ekonomi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga bergantung pada kedua orang tua sebagai tulang punggung keluarga yang berkerja membuka warung makan dengan pendapatan upah minimum regional (UMR). Ibu pasien mengatakan bahwa dengan
Raissa dan Diah | Penatalaksanaan Kasus Baru Tuberkulosis Paru pada Wanita Usia 30 Tahun
pendapatan tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari‐hari dan sulit disisihkan sebagian untuk ditabung guna melakukan perencanaan keluarga. Pasien memiliki asuransi badan penyelenggara jaminan nasional (BPJS) dan pasien sering menggunakannya untuk melakukan pengobatan atas penyakitnya. Dalam hal lingkungan rumah, Ayah pasien merupakan ketua RT sehingga bersosialisasi dengan tetangga sekitar rumah terjalin sangat akrab, orang tua pasien juga mengikuti kegiatan pengajian rutin yang diselenggarakan lingkungan sekitar. Lingkungan fisik, pemukiman sekitar cukup padat penduduk. Lingkungan tampak kurang bersih dan rapih, dimana rumah pasien bersebelahan dengan sungai yang kotor. Pola makan belum sesuai dengan anjuran dokter, pasien belum mengurangi makanan tinggi karbohidrat, dan kurang mengkonsumsi sayur‐ sayuran. Pasien lebih memilih makan apa yang ia mau tanpa memperhatikan kondisi penyakitnya. Perilaku olahraga ringan tiap harinya belum dijalani karena alasan tubuh terasa pegal‐pegal dan nyeri pada persendian kaki. Perilaku hidup merokok juga dijalani oleh pasien. Keadaan rumah sudah ideal, cukup luas, namun kurang bersih dan kurang rapi, memiliki septic tank serta ventilasi, namun ventilasi pada rumah jumlahnya sangat sedikit dan minimal, tetapi pencahayaan baik. Kunjungan kedua dilakukan pada tanggal 26 Februari 2016, dengan tujuan intervensi terhadap pasien. Pada kunjungan kedua ini juga dilakukan pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan fisik thorax, dan makroskopik dahak terhadap pasien. Didapatkan TD 120/80 mmHg, RR 20 x/menit, nadi 88 x/menit, suhu 36,2 oC. Pada pemeriksaan fisik masih terdapat retraksi dinding dada namun, tidak seberat saat pertama kali diperiksa, dan juga bunyi ronki basah halus tidak terdengar seberat saat pertama kali. Pasien diberikan intervensi dengan menggunakan media utama poster dan leaflet. Media‐media ini membahas tentang penyakit TB mulai dari penyebab, gejala klinis, latihan jasmani sesuai dengan kondisi penyakit pasien. Latihan jasmani dibagi menjadi tiga sampai empat kali aktivitas tiap minggu. Edukasi ini disampaikan dengan bantuan media poster dan leaflet.
komplikasi, penatalaksaan hingga pencegahan yang dapat dilakukan. Dalam hal ini ditekankan pada titik gaya hidup sehat berupa diet dan aktifitas fisik yang benar dan baik, serta tidak lupa dalam minum obat pada penyakit TB. Mengingat pasien juga memiliki keluarga yang setiap hari berkontak langsung dengan pasien dan dapat menjadi salah satu faktor resiko terkena penyakit TB. Intervensi ini dilakukan dengan tujuan untuk merubah pola makan pasien yang tidak teratur, aktifitas olahraga yang rutin, dan pola berpikir menganai penyakit TB meskipun untuk merubah hal tersebut bukanlah hal yang dapat dilihat hasilnya dalam kurun waktu yang singkat. Pasien juga diberi motivasi untuk mengikuti program kesehatan lain seperti posyandu. Ada beberapa langkah atau proses sebelum orang mengadopsi perilaku baru. Pertama adalah kesadaran (awareness), dimana orang tersebut menyadari stimulus tersebut. Kemudian dia mulai tertarik (interest). Selanjutnya, orang tersebut akan menimbang‐nimbang baik atau tidaknya stimulus tersebut (evaluation). Setelah itu, dia akan mencoba melakukan apa yang dikehendaki oleh stimulus (trial). Pada tahap akhir adalah adoption, berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya. Ketika intervensi dilakukan, keluarga juga turut serta mendampingi dan mendengarkan apa yang disampaikan pada pasien. Edukasi yang diberikan berupa pola hidup bersih dan sehat, rumah yang bersih, makanan yang sehat, pentingnya minum obat dan dampak bila tidak minum obat, menghindari faktor yang dapat memperberat, cara penularan penyakit, dan selalu memakai alat pelindung diri. Dengan tujuan pasien minum obat secara teratur, mengoreksi status gizi, dan dapat memutus rantai penyebaran TB. Berdasarkan index broca pasien saat ini berada dalam kondisi berat badan yang normal yaitu 48 kg, dan IMT didapatkan normal yaitu 20,9. Edukasi juga memuat tentang gaya hidup yang baik dengan dengan pengolahan Kunjungan ketiga dilakukan pada tanggal enam Maret 2016, saat dilakukan kunjungan pasien sekarang sudah pulang dari membantu orang tua di warung makan dan menggunakan masker, pasien juga berkata
J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|73
Raissa dan Diah | Penatalaksanaan Kasus Baru Tuberkulosis Paru pada Wanita Usia 30 Tahun
bahwa keluhan sesak dan nyeri dada sudah tidak ada. Pasien dan keluarganya juga sudah terlihat mulai menjalani gaya hidup sehat meskipun belum sepenuhnya diterapkan. Pasien mengatakan bahwa ia mulai makan tepat waktu, istirahat cukup, dan membereskan rumah serta membuka pintu rumah saat pagi untuk pertukaran udara. Pasien juga mengatakan bahwa badanya terasa lebih sehat. Orangtua dan adik pasien juga sudah mengetahui cara penularan dari TB sehingga tidak takut lagi untuk berkontak langsung dengan pasien. Selain itu, pasien telah meningkatkan aktifitas latihan jasmaninya sesuai dengan kondisi penyakit pasien. Pasien juga rutin datang ke puskesmas untuk mengambil obat, dan pasien lebih aktif di kegiatan posyandu. Dalam kunjungan kali ini juga tetap dilakukan motivasi kepada pasien dan keluarganya. Hal ini dilakukan agar pasien dan keluarga senantiasa menerapkan gaya hidup sehat yang pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup pasien dan anggota keluarga lainnya. Kesimpulan Diagnosis TB paru pada kasus ini sudah sesuai dengan beberapa teori dan telaah kritis dari penelitian terkini. Penatalaksanaan yang diberikan sudah sesuai dengan guideline WHO dan PDPI 2011. Telah terjadi perubahan prilaku pada Nn. S. Perubahan perilaku pada Nn. S untuk gaya hidup bersih dan sehat terlihat setelah pasien diberikan intervensi, akhirnya pasien mengubah gaya hidupnya dengan pola makan yang sehat, tidak merokok, menggunkaan masker, dan aktifitas latihan jasmani yang baik. Daftar Pustaka 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006.
J Medula Unila|Volume 5|Nomor 2|Agustus 2016|74
2. World Health Organization. Tuberculosis. Geneva: World Health Organization Media centre; 2016. 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Inonesia; 2012. 4. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. TB update VI 2011: TB update revisited; 2011 Mei 7‐8. Surabaya: Inonesia; 2011. 5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. TBC masalah kesehatan dunia [internet]. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2011 [diakses tanggal 20 Mei 2016]. Tersedia dari: http://www.bppsdmk.depkes.go.id. 6. Puskesmas Panjang. Profil Kegiatan Puskesmas Panjang Tahun 2014. Bandarlampung: Puskesmas panjang; 2014. 7. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Strategi nasional pengendalian TB di indonesia 2010‐ 2014. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2011. 8. Reviono, Suradi, Adji M, Sulaeman ES. Hubungan modal sosial dan pencapaian case detection rate tuberkulosis puskesmas kabupaten karanganyar. J Respir Indo. 2015; 35(1):28‐38. 9. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses‐proses penyakit. Edisi ke‐6, volume 2. Jakarta: EGC; 2006. 10. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pengobatan dasar di puskesmas 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2007. 11. Brashers, VL. Aplikasi patofisiologi: pemeriksaan dan manajemen. Edisi ke‐ 2. Jakarta: EGC; 2008.