Penatalaksanaan Mual Muntah Pascabedah di Layanan

Mual muntah pascabedah masih menjadi masalah baik bagi dokter anestesi maupun bagi dokter ... observasi di ruang pemulihan dan bila observasi selesai ...

50 downloads 574 Views 376KB Size
CONTINUING MEDICAL EDUCATION CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Akreditasi PB IDI–2 SKP

Penatalaksanaan Mual Muntah Pascabedah di Layanan Kesehatan Primer Bona Akhmad Fithrah Direktur Medik Ambulans Pro Emergency/Departemen Anestesiologi Sub Regional Anestesi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK Mual muntah pascabedah masih menjadi masalah baik bagi dokter anestesi maupun bagi dokter umum yang bertugas di ruang rawat inap dan ruang gawat darurat. Pemahaman yang baik tentang patofisiologi dan pendekatan multimodal membuat tata laksana mual muntah pascabedah menjadi lebih baik dan cepat. Kata kunci: Mual muntah pascabedah, patofisiologi, pendekatan multimodal

ABSTRACT Postoperative nausea and vomiting is still being a problem for anesthesiologist and mostly for general practitioner who work in wards and emergency room. Better understanding in pathophysiology and multimodal approach results in faster and better treatment for postoperative nausea and vomiting. Bona Akhmad Fithrah. Management of Postoperative Nausea and Vomiting in Primary Care. Key words: Postoperative nausea and vomiting, pathophysiology, multimodal approach

PENDAHULUAN Sampai saat ini, mual muntah pascabedah masih menjadi perhatian utama pada pasien yang menjalani pembedahan. Di samping itu, tata laksana mual muntah ini masih belum terlalu jelas. Di Amerika Serikat, 71 juta orang menjalani pembedahan rawat jalan dan rawat inap per tahunnya. Angka kejadian mual muntah pascabedah sekitar 20-30% pada pasien yang menjalani pembedahan umum dan 70-80% pada pasien yang tergolong risiko tinggi. Penyulit akibat mual muntah pascabedah sangat bervariasi, mulai dari ketidaknyamanan pasien hingga morbiditas. Mual muntah pascabedah pada pasien rawat jalan meningkatkan biaya kesehatan sekitar 0,1-0,2% karena kejadian rawat kembali ke rumah sakit yang tidak diduga (readmisi). Angka ini sangat bermakna bagi Amerika Serikat karena 31 juta orang menjalani bedah rawat jalan setiap tahunnya.1 Di Indonesia, angka mual muntah pascabedah belum tercatat jelas. Angka kejadian mual muntah pascabedah Alamat korespondensi

pasien yang menjalani pembedahan laparatomi ginekologi sekitar 31,25%.2 Pada pasien yang menjalani pembedahan mastektomi angka kejadian mual muntah pascabedahnya sekitar 31,4%.3 Mengingat tingginya angka kejadian mual muntah pascabedah ini, dokter umum yang bertugas di garda terdepan pelayanan kesehatan akan sering menemukan masalah ini, baik saat bertugas di ruang rawat inap maupun di ruang gawat darurat (biasanya karena readmisi pascabedah rawat jalan). Pemahaman yang baik akan pengelolaan mual muntah pascabedah akan meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Artikel ini akan menjelaskan patofisiologi mual muntah pascabedah, penatalaksanaan mual muntah pascabedah saat ini. Diharapkan dengan pemahaman yang baik, dokter umum dapat mengelola dengan baik kasus mual muntah pascabedah.

PATOFISIOLOGI MUAL MUNTAH PASCABEDAH Refleks muntah terjadi akibat koordinasi banyak jalur sensorik dan reseptor di perifer dan di sistem saraf pusat. Impuls sensorik disampaikan oleh saraf aferen menuju pusat muntah (Central Vomiting Center, CVC). Di CVC, impuls tersebut diintegrasikan dan dihantarkan ke jalur motorik dan autonom untuk mencetuskan rasa mual, retching, ataupun muntah.4 Mual (nausea) adalah suatu perasaan yang tidak nyaman di daerah epigastrik. Kejadian ini biasanya disertai dengan menurunnya tonus otot lambung, kontraksi, sekresi, meningkatnya aliran darah ke mukosa intestinal, hipersalivasi, keringat dingin, detak jantung meningkat dan perubahan ritme pernapasan. Refluks duodenogastrik dapat terjadi selama periode nausea yang disertai peristaltik retrograd dari duodenum ke arah antrum lambung atau terjadi kontraksi secara bersamaan pada antrum dan duodenum.4

email: [email protected]

CDK-217/ vol. 41 no. 6, th. 2014

407

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Muntah didefinisikan sebagai keluarnya isi lambung melalui mulut. Hal ini dapat terjadi sebagai refleks protektif untuk mengeluarkan bahan toksik dari dalam tubuh atau untuk mengurangi tekanan dalam organ intestinal yang bagian distalnya mengalami obstruksi. Kejadian ini biasanya didahului nausea dan retching.4 Pada sistem saraf pusat, terdapat tiga struktur yang dianggap sebagai pusat koordinasi refleks muntah, yaitu chemoreceptor trigger zone (CTZ), pusat muntah, dan nukleus traktus solitarius. Ketiga struktur tersebut terletak pada daerah batang otak. Ada dua daerah anatomis di medula yang berperan dalam refleks muntah, yaitu CTZ dan central vomiting centre (CVC). CTZ terletak di area postrema pada dasar ujung kaudal ventrikel IV di luar sawar darah otak. Reseptor di daerah ini diaktifkan oleh zat-zat proemetik di dalam sirkulasi darah atau di cairan serebrospinal (cerebrospinal fluid, CSF). Sinyal eferen dari CTZ dikirim ke CVC dan selanjutnya melalui nervus vagus sebagai jalur eferen, terjadilah serangkaian reaksi simpatisparasimpatis yang diakhiri dengan refleks muntah. CVC terletak dekat nukleus traktus solitarius dan di sekitar formasio retikularis medula tepat di bawah CTZ. Chemoreceptor trigger zone mengandung reseptor-reseptor untuk bermacam-macam senyawa neuroaktif yang dapat menyebabkan refleks muntah.5,6 Rangsang refleks muntah berasal dari gastrointestinal, vestibulo-okular, aferen kortikal yang lebih tinggi yang menuju CVC, kemudian dimulai gejala nausea, retching, serta ekspulsi isi lambung (muntah). Gejala gastrointestinal meliputi hiperperistaltik,

408

salivasi, takipnea dan takikardi.7 Refleks muntah berasal dari sistem gastrointestinal dapat terjadi akibat adanya bahan iritan yang masuk ke saluran cerna, akibat radiasi abdomen, ataupun akibat dilatasi saluran cerna. Refleks tersebut muncul akibat pelepasan mediator inflamasi lokal dari mukosa yang rusak sehingga memicu signal aferen vagal. Selain itu, terjadi pula pelepasan serotonin dari sel enterokromafin mukosa. Pada mabuk perjalanan (motion sickness), signal aferen ke pusat muntah berasal dari organ vestibular, visual korteks, dan pusat kortikal yang lebih tinggi.5

serta dilatasi pupil. Sedangkan reaksi parasimpatis termasuk hipersalivasi, motilitas meningkat pada kerongkongan, lambung, dan duodenum, serta relaksasi sfingter esofagus. Isi duodenum dapat didorong paksa ke dalam lambung oleh gerakan antiperistaltik. Selama pengosongan isi lambung, kita akan mengambil napas panjang, pilorus ditutup, glotis tertutup sehingga berhenti respirasi, dan perut diperas antara diafragma dan otototot perut, menyebabkan pengosongan yang cepat.7

Pusat muntah tampaknya bukan merupakan struktur anatomi tunggal, tetapi merupakan jalur akhir bersama dari refleks yang diprogram secara sentral melalui interneuron medular di nukleus traktus solitarius dan berbagai macam tempat di sekitar formasio retikularis. Interneuron tersebut menerima input kortikal, vagal, vestibular, dan input lain terutama dari area postrema. Area postrema diidentifikasi sebagai sumber krusial untuk input yang menyebabkan refleks muntah, terutama respons terhadap obat atau toksin.5

PENDEKATAN MULTIMODAL TATA LAKSANA MUAL MUNTAH PASCABEDAH Sampai saat ini, refleks muntah masih diyakini diatur oleh pusat muntah di otak, yang menerima beberapa input aferen. Nervus vagus mendapat asupan dari usus dapat mengaktivasi pusat muntah dan juga aksi aferen dari CTZ. Chemoreceptor trigger zone sendiri berada di luar sawar darah otak dan memiliki beberapa reseptor berbeda yang dapat mengaktivasinya. Sebagian besar obat antiemetik bekerja secara langsung maupun tak langsung pada reseptor-reseptor ini.8,9

Terdapat serangkaian reaksi simpatis dan parasimpatis saat refleks muntah terjadi. Reaksi simpatik meliputi berkeringat, pucat, pernapasan dan denyut jantung meningkat,

Beberapa reseptor dapat memicu terjadinya muntah maka wajar jika diperlukan kombinasi obat yang dapat bekerja pada beberapa reseptor dibandingkan hanya

C TZ d an Pusat M untah 5-HT3RAs

Prometazine

Atropine

Droperidol

NK-1 RA

5-HT3

Histamine

Muscarinic

Dopamine (D2)

Substance P

Nitrogen mustard Area postrema

Retching adalah upaya kuat dan involunter untuk muntah, tampak sebagai gejala awal sebelum muntah. Upaya ini terdiri dari kontraksi spasmodik otot diafragma dan dinding perut serta dalam waktu yang sama terjadi relaksasi LES (lower esophageal sphincter). Sfingter ini juga tertarik ke atas oleh kontraksi otot longitudinal dari bagian atas esofagus. Selama retching, isi lambung didorong masuk ke esofagus oleh tekanan intraabdominal dan adanya peningkatan tekanan negatif intratorakal, bahan muntahan di esofagus akan kembali lagi ke lambung karena adanya peristaltik esofagus.4

Parvicellular reticular formation

Cisplatin Digoxin glycoside

Chemoreceptor trigger zone (CTZ)

Opioid, analgesics Vertibular portion of 8th nerve Mediastinum

Pusat Muntah

N2O

? Vagu s

GI tract distension Higher centres (vision, taste) Pharynx

Gambar 1 Pusat muntah dan reseptor-reseptor yang bekerja pada CTZ12

CDK-217/ vol. 41 no. 6, th. 2014

CONTINUING MEDICAL EDUCATION satu obat yang bekerja pada satu reseptor. Meningkatkan dosis satu obat tidak akan menurunkan angka kejadian mual muntah pascabedah terutama pada pasien-pasien risiko tinggi.8,9 Juga harus diingat bahwa efek samping meningkat dengan penambahan dosis.10 Karena itulah pendekatan multimodal menawarkan banyak keuntungan dan menurunkan terjadinya efek samping akibat penambahan dosis, namun ada risiko efek interaksi obat.11 Secara intuitif, terapi multimodal harusnya bersifat sinergis karena masing-masing modalitas bekerja dengan jalur dan intervensi yang berbeda. Hal ini didukung dengan data, yang masih menunjukkan bahwa efek terapi multimodal ini bersifat aditif.12,13

Secara garis besar pendekatan multimodal mencakup pendekatan farmakologis dan nonfarmakologis, yang telah dimulai sejak tahap prabedah hingga pascabedah. Pada saat prabedah hal pertama yang paling penting adalah mengurangi anxietas pasien. Intervensi lain untuk mengurangi anxietas adalah dengan memberikan informasi yang baik dan lengkap dan penyampaian informasi dengan cara yang bersahabat.16 Penggunaan agen ansiolitik dapat mencegah mual muntah pascabedah.14,15 Premedikasi deksametason dapat mengurangi angka kejadian mual muntah pascabedah. Aprepitant (antagonis reseptor neurokinin-1) yang diberikan sebelum pembiusan efektif mengurangi mual muntah hingga 48 jam

Propofol Dexa-

Anesthesia

Regional

methasome

Anesthesia

5-HT3

Droperidol

antagonist

or Haloperidol Portfolio of prophylaxis and

Non-pharmacological

Promethazine Prochlorpenzine Perphenazine

treatment

Acupuncture

Propofol in

Scopolamine

PACU (rescue only) Ephedrine

Gambar 2 Algoritma pengelolaan mual muntah pascabedah1

CDK-217/ vol. 41 no. 6, th. 2014

Dimenhydrinate

pascabedah.17 Hidrasi prabedah juga menjadi bagian dari pendekatan multimodal. Saat ini, telah tersedia berbagai jenis cairan yang telah diteliti manfaatnya terhadap penatalaksanaan mual muntah pascabedah. Pendekatan multimodal intraoperatif dimulai dengan mengurangi faktor penyebab. Karena itu pilihan jenis anestesi sangat penting. Penggunaan anestesi gas, nitrogen dioksida akan meningkatkan risiko mual muntah pascabedah dan teknik anestesi regional akan mengurangi risiko mual muntah pascabedah dibandingkan dengan anestesi umum.18 Anestesi regional ideal untuk pasien risiko tinggi mual muntah pascabedah, namun sayangnya tidak selalu sesuai dengan jenis operasi yang akan dilakukan.18 Total intravenous anesthesia (TIVA) menurunkan risiko mual muntah pascabedah, jika dibandingkan dengan penggunaan gas anestesi. Lebih spesifik, penggunaan propofol sebagai zat induksi dan rumatan pada anestesi juga menurunkan angka kejadian mual muntah pascabedah.19 Analgesia adalah komponen kunci anestesia dengan opioid masih sebagai obat utamanya. Di sisi lain, penggunaan opiod intraoperatif dan pascabedah akan meningkatkan risiko mual muntah pascabedah.20 Penggunaan opioid kerja pendek tidak akan meningkatkan risiko mual muntah pascabedah jika digunakan sebagai bagian dari TIVA dan tidak memberikan analgesia pascabedah.19 Nyeri pascabedah sendiri dapat menyebabkan mual muntah pascabedah. Karena itu, tujuan pengelolaan mual muntah pascabedah adalah mencapai kondisi keseimbangan; tidak terjadi mual muntah dan pasien tidak merasa nyeri. Analgesik/antiinflamasi nonsteroid menjadi obat pilihan karena menurunkan kejadian mual muntah pascabedah lebih baik daripada opioid.21 Reversal dari blokade pelumpuh otot biasanya diperlukan pada beberapa operasi. Beberapa peneliti menyatakan penggunaan neostigmin jumlah besar akan meningkatkan terjadinya mual muntah pascabedah, tetapi sebuah meta-analisis terakhir menyatakan penggunaan neostigmin tidak akan meningkatkan risiko mual muntah pascabedah.22 Terapi antiemetik intraoperatif membentuk

409

CONTINUING MEDICAL EDUCATION fondasi terapi mual muntah pascabedah. Sebuah studi menunjukkan bahwa penggunaan satu atau lebih antiemetik akan menurunkan angka kejadian mual muntah pascabedah.13 Data terbaru menunjukkan penggunaan aprepitant dalam kombinasi tiga antiemetik akan menurunkan kejadian mual muntah pascabedah.23 Beberapa jurnal menyebutkan penggunaan dua jenis antiemetik sudah secara signifikan menurunkan angka kejadian mual muntah pascabedah.24 Saat ini, sebagian besar terapi mual muntah pascabedah menggunakan obat-obat antiemetik, tetapi obat-obat ini tidak bebas efek samping dan interaksi obat. Pernah dilaporkan kasus gejala ekstrapiramidal pada pasien yang mendapat ondansetron dan metoklopramid. Metoklopramid sudah diketahui dapat menyebabkan gejala ekstrapiramidal dengan angka kejadian 0,2%.24 Ondansetron juga tidak dapat disingkirkan sebagai penyebab karena ada beberapa laporan gejala ekstrapiramidal pada pasienpasien yang mendapat ondansetron.24-26 Penelitian meta-analisis terhadap penggunaan antiemetik sebagai profilaksis mual muntah pascabedah payudara mendapatkan bahwa antagonis reseptor 5-HT3 lebih superior dibandingkan obat-obat antiemetik lain.27 Penelitian lain mendapatkan bahwa deksametason 8 mg sebagai profilaksis menurunkan angka kejadian mual muntah pasien pascabedah mastektomi.15

PENGELOLAAN MUAL MUNTAH PASCABEDAH DI RUANG PEMULIHAN DAN RUANG RAWAT Setelah selesai operasi pasien akan diobservasi di ruang pemulihan dan bila observasi selesai (skor Aldrette lebih dari 8) akan segera dikirim ke ruang rawat. Saat di ruang pemulihan dan ruang rawat pasien akan lebih rentan mengalami mual muntah pascabedah.1 Mual muntah pascabedah saat pasien di ruang pemulihan maupun di ruang rawat sangat erat dengan pemberian obat-obat antiemetik sebelumnya. Dokter harus membuka berkas laporan anestesi, terapi antiemetik profilaksis yang telah didapat atau mungkin pasien tidak mendapat antiemetik profilaksis.1 Bila pasien mendapat profilaksis berarti telah gagal. Bila pasien tidak mendapat profilaksis sebelumnya berarti akan diberikan antiemetik terapeutik, bukan lagi sebagai profilaksis.1 Obat paling populer dan direkomendasikan untuk antiemetik terapi adalah golongan antagonis reseptor 5-HT3, satu-satunya golongan antiemetik yang telah diteliti secara luas, khususnya untuk mual muntah pascabedah. Dosis terapi lebih kecil daripada dosis profilaksis, untuk ondansetron adalah 1 mg, dolasetron 12,5 mg, granisetron 0,1 mg, dan untuk tropisetron sebesar 0,5 mg.1 Alternatif lain adalah deksametason 2-4 mg

intravena; droperidol 0,625 mg intravena; atau prometazin 6,25-12,5 mg intravena. Propofol 20 mg dapat digunakan bila pasien masih di ruang pemulihan; namun tidak dianjurkan untuk digunakan di ruang rawat. Hal yang harus dipertimbangkan adalah durasi kerja propofol yang pendek.1 Sepertiga pasien yang mendapat terapi opioid pascabedah akan mengalami mual muntah pascabedah. Pada kelompok ini, pemberian droperidol 2,5 mg untuk setiap dosis 100 mg morfin cukup efektif mencegah mual muntah pascabedah. Ondansetron 8 mg lebih efektif dibandingkan metoklopramid dalam mencegah mual muntah akibat penggunaan opioid sebagai analgesik pascabedah.1 Dosis kedua golongan antagonis reseptor 5-HT3 dapat diberikan setelah enam jam karena pemberian ulang sebelum enam jam tidak bermanfaat. Penambahan deksametason atau skopolamin transdermal juga tidak memberikan manfaat yang berarti.1 SIMPULAN Mual muntah pascabedah adalah salah satu pengalaman tidak menyenangkan bagi pasien yang menjalani operasi. Patofisiologi mual muntah pascabedah belum seluruhnya dimengerti, tetapi pendekatan multimodal saat ini dapat diandalkan, khususnya bagi dokter umum yang bertugas di layanan kesehatan primer.

DAFTAR PUSTAKA 1.

Gan TJ, Meyer TA, Apfel CC, Chung F, Davis PJ, Habib AS et al. Society for Ambulatory Anesthesia guidelines for the management of postoperative nausea and vomiting. Anesth Analg 2007;105(6):1615-28.

2.

Dewanti P. Pencegahan muntah pasca laparotomi rendah ginekologi pada anestesi inhalasi: perbandingan antara droperidol dengan metoclopramide [Tesis]. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Intensive Care, Universitas Indonesia; 2013.

3.

Fithrah BA. Efektifitas pemberian cairan praoperatif Ringer lactate 2 cc/kgbb/jam puasa untuk mencegah terjadinya mual muntah pascabedah pada pasien yang menjalani operasi mastektomi [Tesis]. Jakarta, Indonesia: Bagian Anestesiologi dan Intensive Care, Universitas Indonesia; 2013.

4.

Wood J, Chapman K, Eilers J. Tools for assessing nausea, vomiting and retching: a literature review. Cancer Nursing 2011;34(1):E14-E24.

5.

Smith T, Pinnock C, Lin T. Fundamentals of Anaesthesia, 3rd ed. Cambridge (UK): Cambridge University Press; 2009.

6.

Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. Stuttgart (Germany): Thieme; 2000.P.134-75.

7.

Fee JPH, Bovill JG, eds. Physiology for Anaesthesiologists. CRC Press; 2004.

8.

Habib AS, Gan TJ. Combination therapy for postoperative nausea and vomiting - a more effective prophylaxis? Ambul Surg 2001;9(2):59-71.

9.

Eberhart LH, Geldner G, Kranke P, Morin AM, Schäuffelen A, Treiber H et al. The development and validation of a risk score to predict the probability of postoperative vomiting in pediatric patients. Anesth Analg 2004; 99(6):1630-7.

10. Henzi I, Sonderegger J, Tramèr MR. Efficacy, dose-response, and adverse effects of droperidol for prevention of postoperative nausea and vomiting. Can J Anaesth 2000;47(6):537-51. 11. Sinclair DR, Chung F, Mezei G. Can postoperative nausea and vomiting be predicted? Anesthesiology 1999;91(1):109-18. 12. Chandrakantan A, Glass PSA. Multimodal therapies for postoperative nausea and vomiting, and pain. Br J Anaesth 2011;107 (suppl 1):i27-40. 13. Apfel CC, Korttila K, Abdalla M, Kerger H, Turan A, Vedder I et al. A Factorial Trial of Six Interventions for the Prevention of Postoperative Nausea and Vomiting. N Engl J Med 2004;350(24):244151.

410

CDK-217/ vol. 41 no. 6, th. 2014

CONTINUING MEDICAL EDUCATION 14. Jung JS, Park JS, Kim SO, Lim DG, Park SS, Kwak KH et al. Prophylactic antiemetic effect of midazolam after middle ear surgery. Otolaryngol Head Neck Surg 2007;137(5):753-6. 15. Gomez-Hernandez J, Orozco-Alatorre AL, Dominguez-Contreras M, Oceguerra-Villanueva A, Gomez-Romo S, Socorro A et al. Preoperative dexamethasone reduces postoperative pain, nausea and vomiting following mastectomy for breast cancer. BMC Cancer 2010;10:692. 16. Palazzo M, Evans R. Logistic regression analysis of fixed patient factors for postoperative sickness :a model for risk assessment. Br J Anaesth 1993;70:135-40. 17. Gan TJ, Apfel CC, Kovac A, Philip BK, Singla N, Minkowitz H et al. A randomized, double-blind comparison of the NK1 antagonist, aprepitant, versus ondansetron for the prevention of postoperative nausea and vomiting. Anesth Analg. 2007;104(5):1082-9. 18. Borgeat A, Ekatodramis G, Schenker CA. Postoperative nausea and vomiting in regional anesthesia: a review. Anesthesiology 2003;98(2):530-47. 19. Dershwitz M, Michałowski P, Chang Y, Rosow CE, Conlay LA. Postoperative nausea and vomiting after total intravenous anesthesia with propofol and remifentanil or alfentanil: how important is the opioid? J Clin Anesth. 2002;14(4):275-8. 20. Roberts GW, Bekker TB, Carlsen HH, Moffatt CH, Slattery PJ, McClure AF. Postoperative nausea and vomiting are strongly influenced by postoperative opioid use in a dose-related manner. Anesth Analg. 2005;101(5):1343-8. 21. Shende D, Das K. Comparative effects of intravenous ketorolac and pethidine on perioperative analgesia and postoperative nausea and vomiting (PONV) for paediatric strabismus surgery. Acta Anaesthesiol Scand. 1999;43(3):265-9. 22. Cheng CR, Sessler DI, Apfel CC. Does neostigmine administration produce a clinically important increase in postoperative nausea and vomiting? Anesth Analg. 2005;101(5):1349-55. 23. Hache JJ, Vallejo MC, Waters JH, Williams BA. Aprepitant in a multimodal approach for prevention of postoperative nausea and vomiting in high-risk patients: is there such a thing as “too many modalities”? Scientific World Journal 2009;28(9):291-9. 24. Jo YY, Kim YB, Yang MR, Chang YJ. Extrapyramidal side effects after metoclopramide administration in a post-anesthesia care unit: A case report. Korean J Anesthesiol 2012;63(3):274-6. 25. Sprung J, Choudhry FM, Hall BA. Extrapyramidal reactions to ondansetron: cross-reactivity between ondansetron and prochlorperazine? Anesth Analg 2003;96(5):1374-6. 26. Spiegel JE, Kang V, Kunze L, Hess P. Ondansetron-induced extrapyramidal symptoms during cesarean section. Int J Obstet Anesth 2005;14(4):368-9. 27. Singhal AK, Kannan S, Gota VS. 5HT3 antagonists for prophylaxis of postoperative nausea and vomiting in breast surgery: a meta-analysis. J Postgrad Med 2012;58(1):23-31.

CDK-217/ vol. 41 no. 6, th. 2014

411