PENDEKATAN FILOSOFIS DALAM STUDI ISLAM

Download Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 21. Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015 a. Memahami konsep dasar filsafat ya...

0 downloads 502 Views 229KB Size
Muhamad Nur

PENDEKATAN FILOSOFIS DALAM STUDI ISLAM Muhamad Nur

STIT Muh. Kendal  [email protected] Abstrak: Filsafat dan agama, dua hal yang berbeda tetapi tidak harus dipertentangkan. Pemahaman terhadap agama memerlukan perangkat ilmu bantu agar pesan agama dapat dipahami secara kontekstual. Salah satu perangkat tersebut adalah filsafat. Banyak orang menyalahpahami posisi filsafat dari aspek sejarah bukan pada subtansinya. Filsafat, ketika mendapat perhatian dari kaum intelegensia dan keberadaannya tidak dipermasalahkan, dunia Islam mengalami masa kejayaan. Setelah filsafat dikuya-kuya dan diharamkan, kejayaan itu menjadi sirna, berpindah tangan ke Barat yang antusias mengkaji filsafat. Kata Kunci: Pendekatan Filosofis, Studi Islam. Pendahuluan Karen Armstrong, seorang Nasrani dan komentator terkemuka dunia tentang masalah agama menyimpulkan di antara pendekatan studi agama, pendekatan filosofis yang banyak menimbulkan persoalan. Orang secara umum memandang filsafat dan agama sebagai dua hal yang bertentangan.1 Masing-masing, agama dan filsafat, berbicara kebenaran tetapi sumbernya berbeda. Kebenaran agama bersumber dari Tuhan yang dimanifestasikan dalam kitab suci melalui utusan-Nya. Dasar pembenaran agama adalah keyakinan. Sementara itu kebenaran filsafat bersumber dari manusia melalui akal, sehingga ukuran benar-salah tergantung pada akal. Perbedaan tersebut akhirnya menimbulkan konflik antara agama dan filsafat.2 1

Karen Amstrong, A History of God: 4.000 Year Quest of Judaism, Christianity and Islam terj. Zaimul Am Sejarah Tuhan, Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agamaagama Manusia, (Bandung: Mizan, 2012), hlm. 266 2 Murtadha Muthahhari menggambarkan konflik tersebut dengan refelksi berikut: Apakah ada penafsiran yang akan meningkatkan keimanan dan ideal-ideal seseorang, dan pada saat yang sama bersifat logis ? Adakah semua pemikiran yang diilhami oleh sains dan

16 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

Agama yang kebenarannya dari Tuhan harus diterima secara mutlak. Mempertanyakan kebenaran agama bisa dianggap sebagai penyelewengan seseorang terhadap agama yang dianutnya, karena bisa dianggap ragu terhadap keyakinan agama apabila kebenaran agama itu dianggap tidak sesuai akal. Akibat selanjutnya keimanan bisa goyah. Inilah yang dikhawatirkan para agamawan. Itulah sebabnya filsafat ditolak karena salah satu watak filsafat selalu mempertanyakan eksistensi Tuhan. Hal ini dianggap membahayakan keimanan seseorang, karena bagaimanapun para teolog berasumsi akal manusia tidak akan mampu memikirkan dzat Tuhan.3 Berbicara tentang agama dan filsafat berarti berbicara mengenai wahyu dan akal karena memang itulah sumber dari masing-masing. Sejarah telah mencatat pertikaian antara keduanya baik agama Kristen maupun Islam. Kebenaran wahyu sudah dianggap cukup sehingga tidak diperlukan lagi filsafat. Sebab itu filsafat harus ditolak. Anggapan ini disuarakan para apologist dengan alasan menjaga kemurnian agama dari kesesatan filsafat yang dihasilkan akal. Sehingga banyak orang mencurigai dan menjaga jarak terhadap filsafat karena alasan agama, keyakinan, dan iman.4 Ternyata dalam tataran praktis penggunaan filsafat tidak dapat dihindari. Bagaimanapun untuk memahami maksud dan teks wahyu diperlukan alat bantu agar bisa dipahami secara logis. Berdasarkan konsep ini kemudian muncul istilah tafsir, ta`wil, qiyas, dan sebagainya yang kalau ditelusuri bersumber dari filsafat. Filsafat diperlukan untuk memahami agama sehingga ada usaha kompromi antara agama dan filsafat. Bahkan ada yang menganggap pentingnya filsafat untuk memahami agama sehingga wajib hukumnya mempelajari filsafat atau setidaknya sangat dianjurkan.5 filsafat bertentangan dengan keimanan, harapan dan optimisme ?. Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 72. 3 Catatan Weber, tentang keterasingan Islam dari etika rasional penting dikaji ketika muncul inovasi kepercayaan berbeda dari “asli” Islam murni tentang kebenaran agama, dan kebebasan elite menafsir Islam sesuai kepentingannya bersama ketidakmurnian ide dasar dan metodologi permurnian akidah fillsafat Islam. Lihat Abdul Munir Mulkhan, Islam Sejati K.H. Ahmad Dahlan dan Petani Muhammadiyah, (Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 109. 4 W. Poespoprodjo, Logika Sientifika Pengantar Dialektika dan Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1985), hlm. 47 5 Persoalan pentingnya filsafat dalam memahami agama menjadi sesuatu yang repot sekali, padahal seringkali sangat mendasar dalam bangunan suatu teologi agama-agama. Sebagai jalan keluar soal filosofis/teologis sepanjang zaman ini, berkembanglah diskusi tentang hal ini hubungannya antara relasi agama dan filsafat, salah satu buku membahas secara mendalam soal ini, Ibnu Rusd, Fashl al-Maqal fi ma bayn al-Hikmah (Falsafah) wa alSyari`ah min al-Ittishal, lihat juga Abu al-Hasan al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 17 Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Muhamad Nur

Pendekatan filosofis dalam studi Islam sebagai issu sentral makalah ini, dilihat dari berbagai kacamata pemikiran atau paradigma kultural. Sasaran penting kajian ini menguak aspirasi dan dilema masyarakat muslim terhadap eksisitensi filsafat sebagai paradigma pendekatan studi Islam. Gerakan pembaruan pemikir Islam yang akomodatif dikaji seksama, seberapa dampaknya terhadap perubahan budaya, pemikiran, dan komitmen Islam. Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Islam Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah.6 Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani, mengatakan filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, akan tetapi cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya al-Syaibani menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalamanpengalaman manusia.7 Ahmad Tafsir mengemukakan teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom).8 Senada dengan pengertian di atas Abuddin Nata menyimpulkan bahwa kata Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.9 Hanafi, dikutip Supena, berpendapat bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang pertama menggunakan (Cairo: Al-Matba`ah al-Amiroh, 1955), Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia, (Jakarta: Sadhra Press, 2010), Budhi Munawar Rahman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, (Bandung: Mizan, 2007), Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, Teologi, Filsafat, dan Gnosis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). 6 Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, Ilmu Alamiah Dasar dan Ilmu Sosial Dasar (Semarang: Anugerah Ilmu, 2005), hlm. 47. 7 Muhammad Athaumy Asy-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al Ma`arif, 1992), hlm. 5. 8 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 17 9 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2007), hlm. 12

18 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

perkataan tersebut.10 Berdasarkan beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dari segi kebahasaan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Menurut Ilyas Supena, kebijaksanaan yang dimaksud adalah mempunyai insight, atau pengertian yang mendalam mengenai sesuatu yang mencakup seluruh aspeknya dan seluruh dunia dengan segala lapangannya serta hubungan antar keseluruhannya.11 Selanjutnya Ilyas Supena menambahkan bahwa untuk mencapai predikat kebijaksanaan, maka syarat yang harus ditempuh adalah: a. Orang harus membiasakan diri untuk bersikap kritis terhadap kepercayaan dan sikap yang selama ini sangat dijunjung tinggi b. Memadukan temuan sains dengan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam semesta dan isinya. c. Mencermati jalan pemikiran para filsuf dan menempatkannya sebagai pisau analisis untuk memecahkan masalah kehidupan. d. Mempelajai butir-butir hikmah atau pengetahuan yang terkandung dalam ajaran agama.12 Menurut pandangan para filosof muslim, filsafat tetap sebagaimana makna dasarnya yaitu cinta kearifan. Ia bertujuan mencari hakikat segala yang ada (wujud), tanpa harus dibatasi pada usaha rasional, tetapi lebih menekankan pada penggunaan segala sumber pengetahuan secara integratif, mulai dari potensi rasional, intuisi dan wahyu. Corak filosof muslim sangatlah beragam, seperti figur utama Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd yang menganut madzhab Peripetatik, figur Suhrawardi dengan madzhab Iluminasionistik (Israqi), figur Mulla Sadra dengan Hikmah al-Muta`aliyah-nya, Ibnu Arabi dengan Wahdat al-Wujud-nya, Al-Ghazali dengan corak religiusortodok yang bermuara ke sufistik, Seyyed Husein Nasr dengan Filsafat Perenialnya, Ismail Razi al-Faruqi dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Muhammad Abid al-Jabiry dengan Nalar Burhani, Ibnu Taimiyah dengan pemurnian (revivalis) Islamnya, Fazlurahman dengan gugusan pemikiran neo-modernisme, Harun Nasution dengan teologi Islam rasionalnya, Nurcholish Madjid dengan sekularisasinya, Abdurrahman Wahid dengan Islam pribuminya, dan sebagainya. 10

A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), hlm. 3. Ilyas Supena, Pendekatan Filosofis dalam Dakwah Islamiyah, dalam materi kuliah Ilmu Filsafat Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo, (Semarang, Maret 2011). 12 Ilyas Supena, Pendekatan Filosofis dalam Dakwah Islamiyah, dalam materi kuliah Ilmu Filsafat Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo, (Semarang, Maret 2011) 11

JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 19 Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Muhamad Nur

Konsep tersebut menujukkan bahwa filsafat merupakan suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebijasanaan sebagai sasaran utamanya. Filsafat juga memilki pengertian dari segi istilah atau kesepakatan yang lazim digunakan oleh para ahli, atau pengertian dari segi praktis. Secara terminologis arti informal dari filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah sebuah proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Filsafat berusaha memadukan temuan sains dengan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam semesta dan isinya. Filsafat merupakan usaha menafsirkan segala sesuatu berdasarkan akal pikiran (rasionalisme) dan seluruh alam semesta (empirisme) secara sistematis, mendalam, radikal dan komprehensif.13 Adapun ciri-ciri berpikir filsafat adalah: 1) Radikal; sampai ke akar persoalan; 2) Kritis; tanggap terhadap persoalan yang berkembang; 3) Rasional; sejauh dapat dijangkau akal manusia; 4) Reflektif; mencerminkan pengalaman pribadi; 5) Konseptual; hasil konstruksi pemikiran; 6) Koheren; runtut, berurutan; 7) Konsisten; berpikir lurus/tidak berlawanan; 8) Sistematis; saling berkaitan; 9) Metodis; ada cara memperoleh kebenaran; 10) Komprehensif; menyeluruh; dan 11) Bebas dan bertanggungjawab.14 Berdasarkan pengertian filsafat menurut para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa: a. Filsafat seringkali dihubungan dengan alam pikiran, sebab filsafat dan pikiran merupakan dua hal yang saling terkait. b. Berfilsafat adalah berpikir, meskipun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. c. Filsuf ialah orang yang memikirkan hakikat sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. d. Filsafat merupakan hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Adapun manfaat yang diperoleh pada kajian ilmu–ilmu keislaman melalui pendekatan filsafat ini diharapkan seseorang memiliki kompetisi: 13

Andi Hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains, (Bogor: Litera Antar Nusa, 1999), hlm. 31. 14 Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 12.

20 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

a. Memahami konsep dasar filsafat yang berkaitan dengan arti istilah dan rumusan filsafat, obyek studi dan pembidangan filsafat, metode-metode filsafat, bidang-bidang kajian filsafat, aliran-aliran filsafat serta relasi fungsional antara filsafat dan agama. Pemahaman konsep dasar ini dapat dijadikan landasan pemikiran, perencanaan dan pengembangan ilmuilmu keislaman (islamic stuides) secara akademik dan profesional. b. Mampu mengembangkan diri sebagai ilmuwan Islam yang dapat membangun kerangka berpikir kritis dan sistematik serta dapat mengaplikasikannya dalam konteks penggunaan alternatif metodologi penelitian, baik pendekatan kuantitatif dan kualitatif maupun perpaduan kedua-duanya dalam konsentrasi bidang ilmu-ilmu keislaman (islamic stuides) yang menjadi minat utamanya.15 Secara spesifik manfaat pendekatan filsafat bagi mahasiswa sebagai berikut: a. Membiasakan diri untuk bersikap kritis. b. Membiasakan diri untuk bersikap logis-rasional, opini dan argumentasi. c. Mengembangkan semangat toleransi dan pluralitas dalam perbedaan pandangan. d. Mengajarkan cara berpikir yang cermat dan tidak kenal lelah.16 Ruang lingkup filsafat Islam, sebagaimana digambarkan Suparman Syukur, telah mengalamai perkembangan pesat meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti logika, fisika, matematika, astronomi, geografi, kedokteran, mistisisme, kesenian, dan metafisika yang berada pada masa puncaknya (Golden Age of Islam).17 Seorang filosof tidak dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh cabangcabang filosofis yang luas ini. Ketika Abu Hasan al-Mawardi menulis karya besarnya di bidang etika yakni kitab Adab al-Dunya wa al-Din, dilengkapi dengan karya besarnya yang lain di bidang tata negara yakni kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah di bidang fiqhiyyah tertuang dalam kitab al-Hawi al-Kabir, karyanya di bidang tafsir ialah al-Nukat wa al-`Uyun dan karya lainnya adalah Tahsil al-Nazar wa Ta`jil alZafar. Ketika Ibn Sina menulis al-Syifa’, yang dipandang sebagai karya 15

Harun Nasution, Falsafah Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), hlm. 10. Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 17. 17 Suparman Syukur, Etika Religius, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 7. 16

JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 21 Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Muhamad Nur

utama filsafatnya, Ibn Sina tidak hanya menulis tentang metafisika, tetapi juga logika, matematika dan fisika. Ibn Sina menulisnya lengkap pada setiap bidang tersebut, sehingga kita umat Islam memiliki beberapa jilid tentang logika, meliputi pengantar, kategori, analitika priora, analitika posteriora, topika, dialektika, retorika, sopistika dan poetika. Sedangkan untuk matematika, Ibnu Sina menulis beberapa jilid meliputi, aritmatika, geometri, astronomi dan musik. Untuk fisika, ia juga menulis beberapa jilid yang meliputi bidang kosmologi, seperti tentang langit, meteorologi, kejadian dan kehancuran yang menandai semua benda fisik, tentang batu-batuan (minerologi), tumbuhtumbuhan (botani), hewan (zoologi), anatomi, farmakologi, kedokteran dan psikologi. Puncaknya Ibnu Sina, menulis tentang metafisika meliputi bidang ketuhanan, Malaikat dan akal-akal, dan hubungannya dengan dunia fisik yang dibahas dalam bidang fisika.18 Memahami padangan seorang filosof seperti contoh Ibnu Sina dengan cakupan yang luas di atas, tidak lepas dari dinamika perjalan hidupnya, Hal ini terjadi karena pikiran manusia tidak muncul dari ruang yang hampa. Ia pasti terkait situasi dan kondisi tertentu yang melingkupinya,19 demikian juga Ibnu Sina. Pembicaraan tentang lingkup filsafat Islam ini perlu dikemukakan, berhubung banyaknya kesalahpahaman terhadapnya, sehingga filsafat Islam dipahami hanya sejauh meliputi bidang-bidang metafisik. Menurut Amin Abdullah Filsafat Islam perlu dikembalikan ke sumbernya, yakni wilayah khusus yang melibatkan persoalanpersoalan metafisik, epistemologi, maupun etik.20 Kebanyakan kita hanya tahu Ibn Sina sebagai filosof, dan hanya mempelajari doktrin dan metode filsafatnya. Sedangkan Ibn Sina sebagai ahli kedokteran, ahli fisika, atau dengan kata lain sebagai saintis dan metode-metode ilmiah yang digunakanaanaya sama sekali luput dari perhatian kita. Jarang sekali, kalau tidak dikatakan tidak ada, sarjana filsafat Islam di negeri ini yang pernah meneliti teori-teorinya tentang fisika, psikologi, atau geometri, astronomi dan musiknya. Tidak juga kedokterannya yang sangat dikenal di dunia Barat berkat karya agungnya al-Qanun fi al-Thibb. Menurut Mulyadi Kertanegara, hal ini terjadi, karena selama ini filsafat hanya dipahami sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hal18

Mulyadi Kertanegara, Masa Depan Filsafat Islam antara Cita dan Fakta, (Jakarta: Paramadina, 2006), hlm. 2 19 Muhyar Fanani, Membumikan Hukum Langit, Nasionalisasi Hukum Islam dan Islamisasi Hukum Nasional Pasca Reformasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hlm. 171 20 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan IntegratifInterkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 13

22 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

hal yang bersifat metafisik, sehingga fisika, matematika, seolah dipandang bukan sebagai disiplin ilmu-ilmu filsafat.21 Satu hal lagi yang perlu didiskusikan dalam mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya yang bersifat integral-holistik. Integrasi ini, terjadi pada berbagai bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di bidang metodologi dan penjelasan ilmiah. Filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi (pengamatan), sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitas-entitas yang bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan (musyahadah) secara langsung entitas-entitas ruhani, yang hanya bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah metode untuk memahami teks-teks suci, seperti al-Quran dan Hadits. Filsafat Islam mengakui keabsahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu (dalil naqli) sebagai sumbersumber yang sah dan penting bagi ilmu pengetahuan.22 Alasan ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna, atau ada juga yang telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf bersifat irrasional, atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap tak penting filsafat dan sains. Menurut pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apalagi ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi. Namun, jika seseorang tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya orang tersebut tidak perlu menolak keabsahan dari masing-masing bidang filsafat tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga unsur tersebut 21

Mulyadi Kertanegara, Gerbang Kearifan, (Jakarta: Paramadina, 2006), hlm. 9 Mulyadi Kertanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Jakarta: Paramadia, 2005), hlm. 10 dan seterusnya. 22

JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 23 Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Muhamad Nur

dipandang sama realnya. Menanggapi masalah ini, Suparman Syukur, melalui penelitian Disertasinya mengungkapkan bahwa pembahasan dalam wacana keislaman, bagaimanapun masih berada dalam lingkaran epistemologi bayani yang tetap terikat dengan kerangka epistemologis, yang berupa agama, bahasa, ilmu-ilmu Islam seperti fiqh, adab, kalam, hadits. Jadi perlu dijadikan pemikiran bahwa tidak ada para sarjana muslim yang telah memasuki wilayah epsitemologi burhani secara murni. Namun patut mendapatkan penghargaan di kalangan sarjana muslim yang berani mengangkat otorita akal (berfilsafat) sebagai sumber kedua selain wahyu.23 Analisis Konseptual Kant, filosof Jerman itu, dalam salah satu pernyataannya yang terkenal dan dipahatkan dalam batu nisannya, berkata: “Ada dua hal yang memenuhi pikiran manusia dengan keajaiban yang senantiasa bertambah dan semakin sering menarik pikiran ke arahnya: langit yang bertabur bintang di atasku dan hukum moral dalam diriku”. Pernyataan tersebut menunjukkan manusia secara fitrah senang berpikir filosofis tentang alam semesta dan mencintai ilmu pengetahuan untuk mencari kebenaran yang memuaskan dahaganya, yang menurut istilah Nurcholish Madjid disebut kosmologi haqqiyah dan al-hanifiyah al-samhah. Berpikir filsafat, diandaikan seseorang menjadi manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Berfilsafat menggunakan pengertian yang berasal dari berbagai bidang ilmu pengetahuan untuk mengembangkan wawasan pemikiran dan kepekaan mengkaji masalah manusia, kebudayaan, dan agama. Nampaknya masalah ini hanya berarti bagi para filosof saja, tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian, setiap orang yang memperhatikan hidup ini dengan serius, setiap orang yang tidak mau kehilangan makna dari setiap amal dan aktivitasnya, setidak-tidaknya setiap orang yang tidak rela menjadi “skrup” bagi mesin kehidupan. Setidak-tidaknya ketika seseorang atau manusia didera oleh beban hidup dan rumitnya liku-liku kehidupan, segera akan hadir didepannya pernyataan-pernyataan yang bersifat filsafat. Jawaban seseorang atau manusia terhadap pernyataan di atas, membawa konsekuensi praktis bagi yang bersangkutan dalam menangani masalah-masalah segera dan mendesak yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang atau manusia yang telah sampai pada keyakinan Tuhan itu ada, 23

Suparman Syukur, Etika Religius, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 4.

24 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

tentunya berbeda tingkah lakunya dengan orang lain yang tidak percaya adanya Tuhan. Seseorang yang berpandangan hidup untuk hidup, tentu lain sikap dan cara hidupnya dari yang berpandangan hidup untuk mati, demikian seterusnya. Secara commosense, dengan membawakan pengertian filsafat, dapat mewujudkan tujuan memperluas wawasan berpikir, karena filsafat mendorong seseorang untuk: a) Berusaha mengetahui apa yang diketahui dan apa yang belum diketahui; b) Berendah hati bahwa tidak semuanya akan diketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini; c) Mengoreksi diri, berani melihat sejauh mana kebenaran yang dicari telah dijangkaunya; d) Tidak apatis terhadap orang lain, lingkungan dan nilai yang hidup dalam masyarakat; dan e) Selalu memberikan makna bagi setiap amal kehidupannya. Konteks keislaman, sumber pemikiran dalam Islam adalah alQuran. Al-Quran menganjurkan perenungan, selain mengingatkan terhadap penyelewengan pemikiran, menyuguhkan pula sumbersumber pemikiran. Hal ini dimaksudkan al-Quran menunjukkan masalah-masalah yang perlu diteliti dan dipikirkan secara filosofis oleh manusia dan digunakan sebagai sumber pengetahuannya. Islam secara umum menentang penyia-nyiaan energi mental untuk berbagai masalah yang tidak menghasilkan apa pun kecuali kepenatan mental, yakni segala sesuatu yang manusia tidak mampu menyelidikinya, sesuatu yang tidak berharga baginya. Nabi Muhammad saw. menjelaskan bahwa jenis pengetahuan yang eksistensi atau non-eksistensinya tidak membuat perbedaan terhadap kehidupan manusia adalah sis-sia belaka. Tetapi, Nabi mendorong manusia untuk mencari semua pengetahuan yang berguna bagi manusia. Murtadha Muthahhari menjelaskan al-Quran memaparkan tiga subjek pendekatan filosofis dalam studi Islam yang perlu dipikirkan manusia. Pertama, alam, sepanjang kandungan al-Quran, terdapat banyak ayat yang menyebut alam seperti bumi, langit, tumbuhan, hewan, dan ruang lingkupnya. Kedua, Sejarah, terdapat banyak sejarah dalam al-Quran untuk dipelajari. Sejarah manusia berevolusi menurut serangkaian hukum dan prinsip. Keagungan, kesukaran, keberhasilan, kegagalan, kegembiranaan, dan kemalangan yang pernah terjadi dalam sejarah memiliki aturan yang sistematis dan seksama. Mengetahui aturan itu dalam konteks sejarah akan bermanfaat untuk memperbaiki kehidupan manusia di masa sekarang dan akan datang. Ketiga, jiwa manusia, al-Quran menyebutkan jiwa manusia sebagai

JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 25 Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Muhamad Nur

sumber khas pengetahuan. Menurut al-Quran seluruh alam raya merupakan manifestasi dari Allah, di dalamnya terdapat tanda-tanda serta bukti untuk mencapai kebenaran. Al-Quran mendefinisikan dunia eksternal sebagai al-ayat dan internal sebagai jiwa, cara ini mengingatkan pentingnya jiwa manusia.24 Berbeda dengan Muthahhari, Harun Nasution lebih menekankan luasnya cakrawala pemikiran Islam. Harun sering menekankan kalimat “Islam dengan pengertian yang sebenarnya”. Seolah-olah Harun ingin mengatakan bahwa pengertian Islam yang dipahami selama ini bukan menurut arti yang sebenar-benarnya. Kerangka pemikirannya, ajaran Islam dibagi menjadi dua. Pertama, ajaran Islam yang bersifat mendasar dan absolut, sedangkan kedua, ajaran Islam yang bersifat pengembangan. Ajaran Islam kategori pertama hanya sedikit, yakni hanya empat hal saja yang tidak boleh disimpulkan dalam pemikiran Islam yaitu: a) Tidak boleh ada dalam pemikiran Islam bahwa Allah tidak ada; b) Tidak boleh ada simpulan dalam pemikiran Islam bahwa al-Quran bukan wahyu; c) Tidak boleh ada simpulan dalam pemikiran Islam bahwa Muhammad bukan rasul Allah, dan d) Tidak boleh ada simpulan pemikiran Islam bahwa hari akhir tidak ada. Selain empat point di atas, masih diperdebatkan dalam pemikiran Islam seperti halnya malaikat, takdir dan ikhtiar manusia dan sebagainya masih menjadi masalah dalam sejarah pemikiran Islam. Pemikiran Islam yang hasil simpulannya menyimpang dari keempat hal tersebut, hal itu bukan pemikiran Islam lagi. Pemikiran Islam menurut Harun Nasution harus dikembangkan, karena sebenarnya al-Quran tidak menjelaskan segala-galanya (demikian juga al-Hadits-pen).25 Islam mengajarkan bahwa perbedaan pandangan adalah rahmah, demikian juga disiplin filsafat. Berbedaan tersebut terletak hanya pada penekanan dari beberapa aspek agama Islam. Masingmasing aspek tersebut turut memperkaya dan melengkapi pandangan tentang agama Islam. Pergumulan Agama dan Filsafat dalam Lintas Sejarah Agama dan filsafat dari perspektif epistemologi merupakan dua disiplin yang berbeda. Agama bersumber dari Tuhan. melalui wahyu sedangkan filsafat berasal dari manusia melalui akal. Berdasarkan dari 24

Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 114. 25 M. Yunan Yusuf, Teologi Islam Rasional, Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution, (Jakarta: Ciputat Press, 2001), hlm. 65.

26 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

dua sumber yang berbeda itu lalu muncul pertentangan dan penolakan masing-masing dalam panggung sejarah peradaban manusia. Filsafat dalam perspektif agama dianggap sebagai bid`ah sehingga keberadaan pemikiran filsafat bisa mengusik kemapanan agama. Hal ini mengingat salah satu watak filsafat selalu mempertanyakan sesala sesuatu termasuk keyakinan agama secara terus-menerus. Seakan-akan filsafat tidak puas dengan segala sesuatu keyakinan yang sudah mapan. Akibatnya agama merasa tidak nyaman dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang bertubi-tubi. Apalagi kemudian ternyata ada dogma atau pandangan agama yang tidak sesuai atau dianggap tidak sesuai dengan pandangan filosofis yang notabene bersifat rasional. Konteks historis, pada awal kehadiran filsafat di dunia Islam tidak banyak menimbulkan masalah. Bahkan pada waktu itu, Khalifat al-Ma`mun memerintahkan kepada para intelegensia menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab secara besar-besaran. Berkat dukungan yang besar dari khalifah tersebut, perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan filsafat pada khususnya mengalami kemajuan yang pesat. Bagdad yang pada waktu itu menjadi pusat pemerintahan Islam menjadi mercusuar ilmu pengetahuan di kawasan timur. Di sinilah kemudian dibangun pusat kajian dan penerjemahan yang diberi nama Bait al-Hikmah.26 Seiring dengan perjalanan waktu filsafat mengalami nasib yang menyedihkan. Filsafat dituduh mengaburkan dan menggoyahkan keimanan orang-orang Islam yang sudah mapan. Karena sifatnya yang selalu ingin mencari kebenaran lewat pemikirannya yang mendalam, filsafat tidak puas dengan pandangan-pandangan doktrinal. Filsafat selalu menanyakan tentang hakikat kebenaran, hakikat Tuhan, qadimnya alam dan sebagainya yang berimplikasi pada kepuasan psikologis seseorang.27 Pada akhirnya filsafat mendapat pukulan telak dengan munculnya buku Tahafut al-Falasifah karya imam al-Ghazali. Dengan menggunakan logika al-Ghazali mengecam para filosof dan pendapat-pendapat mereka. Sebagian dianggap kafir dan sebagian dianggap bid`ah.

26

Faisal Ismail, Momentum Historis Gerakan Pencerahan Islam, (Jakarta: Mitra Cendekia, 2004), hlm. 145 27 Nampaknya kegersangan jiwa karena haus kebenaran yang dialami Soren Kinkegrad (dan juga sebagian besar filosof eksistensialisme Barat) dan Abdul Wahib, merujuk pada kondisi jiwa seperti di atas. Lihat Fuad Hasan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 35. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 27 Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Muhamad Nur

Kritikan yang dilakukan al-Ghazali mendapat dukungan dari Ibn Taimiyah, yang juga mengecam para filosof. Pelarangan mengajarkan filsafat diberlakukan di beberapa pusat pendidikan Islam pada masa tersebut, salah satunya adalah di Universitas al-Azhar Cairo Mesir pernah mengeluarkan filsafat dari silabus pendidikannya selama dalam abad-abad terakhir, dan baru diajarkan kembali setelah datangnya fajar modernisme menjelang abad 19 melalui usaha Jamaluddin alAfghani dan muridnya Muhammad Abduh.28 Ibnu Rusd seorang filosof Muslim yang golongan rasional, ditakdirkan untuk membela filsafat dari serangan Mutakallimin terutama al-Ghazali. Proyek besar yang diembannya dari penguasa pada waktu itu untuk menyelidiki pemikiran-pemikiran al-Ghazali, dituangkan dalam kitabnya untuk menyanggah serangan al-Ghazali. Kitab yang dimaksud adalah Tahafut al-Tahafut (kekacauan buku kekacauan), suatu judul yang cerdik dan tendensius, kata Nurcholis Madjid.29 Lewat buku Tahafut al-Tahafut ini, Ibnu Rusyd menanggapi semua persoalan yang dilontarkan al-Ghazali dan dibahasnya satu persatu persoalan secara rasional. Pembelaan Ibnu Rusyd terhadap filsafat menurutnya terdapat keselarasan antara agama dan filsafat secara signifikan (meyakinkan). Ibnu Rusyd dalam pembahasannya sebagaimana termaktub pada Tahafut al-Tahafut menggunakan argumen aqliyah dan naqliyah untuk memperkuat tesis mengenai adanya kebenaran keselarasan agama dan filsafat. Hal ini dilakukan mengingat diskursus mengenai pertentangan filsafat dan agama pada masa tersebut begitu tajam dan harus dihentikan. Jangan sampai filsafat diharamkan dan para filosof dicap sebagai pembuat bid`ah dan dianggap kafir. Padahal statement demikian, seperti apa yang pernah dilakukan kaum Khawarij terhadap umat Islam yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban Islam adalah untuk membela idiologi ekslufis mereka yang cenderung apologist merupakan masalah mendasar yang siapapun orangnya tidak ingin menjadi kafir atau dianggap kafir. Sketsa Pemikiran: Konsepsi Manusia tentang Tuhan, Perhatian Utama, dan Cara Mencapai Tujuan Hidup Perkembangan pemikiran Islam yang terserak di masa lalu yang didominasi ahli fiqh, tasawuf (etika/tasawuf), dan filsafat dapat 28 29

Fazlu Rahman, Islam, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 146. Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Paramadina, 1994), hlm.

36.

28 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

diproyeksikan atau dikerucutkan pada konsepsi manusia tentang Tuhan, perhatian utama, dan cara mencapai tujuan hidup. Perbedaan fiqh, tasawuf, dan filsafat pada konsepsi tersebut tidaklah pada keabsahan atau ketidak absahan pandangan masing-masing, tetapi lebih pada aspek yang ditekankan. Fiqh menekankan segi keadilan, tasawuf (etika/tasawuf) segi keindahan, dan filsafat segi pengetahuan dari agama. Perbedaan penekanan tersebut menyebabkan ahli fiqh, ahli tasawuf, dan ahli filsafat berbeda pada cara memandang. Ahli fiqh yang menekankan segi keadilan, memproyeksikan Tuhan sebagai Hakim yang Maha Adil yang keadilan-Nya akan ditunjukkan pada hari kiamat, amal perbuatan manusia akan ditimbang amal perbuatannya dan akan mendapatkan keputusan yang adil sesuai perbuatannya selama di dunia. Pengadilan ini didasarkan pada sejauhmana manusia melakukan perintah Tuhan dan melanggar larangan-Nya. Orang-orang yang shaleh masuk surga, sedangkan para pendosa masuk neraka. Para fuqaha mengarahkan manusia supaya berbuat adil dengan berusaha menentukan kriteria hukum sebagai tolak ukur perbuatan manusia. Timbulah istilah haram, halal, sunah, makruh, dan mubah. Semuanya itu sebagai konsekuensi logis dari penekanan ahli fiqh pada aspek keadilan Tuhan. Sejalan dengan konsep keadilan adalah adanya hukuman dan ganjaran. Keadilan bagi fuqaha biasa ditegakkan bila diikuti dengan sanksi yang tegas dan jelas dari perbuatan manusia. Tanpa saknsi yang jelas dan tegas ini, keadilan tidak bisa dibayangkan. Konsekuensi ini memunculkan konsep surga dan negara. Surga sebagai balasan bagi amal perbuatan yang terpuji, sedangkan neraka sebagai hukuman bagi amal perbuatan yang tercela. Manusia dirangsang untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan jelek dengan janji surga dan ancaman neraka. Tujuan hidup manusia adalah masuk surga dengan cara beribadah kepada Tuhan. Ahli tasawuf (etika Islam/tasawuf) menekankan aspek keindahan dan kasih sayang Tuhan. Tuhan adalah Maha Indah, keindahan yang akan memikat hati manusia untuk jatuh cinta. Konsekuensi kecintaan ini menjadikan Tuhan sebagai teman dekat atau kekasih yang akan ditiru sifat-sifat-Nya agar mencapai kesempurnaan (Insan al-Kamil).30 30

Tasawuf Akhlaqi merupakan ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat. Guna mencapai kebahagiaan yang optimum manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui pensucian jiwa raga, bermula dari pembentukan pribadi bermoral dan berakhlak, yang dalam ilmu tasawuf dikenal sebagai takhalli (pengosongan diri dari sikap tercela). Tahalli (menghias diri dengan sifat yang terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 29 Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Muhamad Nur

Usaha mendekati kesempurnaan tersebut menurut Suparman Syukur adalah dalam rangka menjaga keindahan dan kehormatan diri yang dalam istilah Hasan al-Mawardi disebut muru`ah dan menurut istilah Murtadha Muthahhari disebut kemuliaan diri. Umumnya ahli tasawuf (etika/tasawuf) menganggap bahwa rintangan utama ke arah mendekati Tuhan adalah keakuan atau egoisme. Jalan utama mendekati kesempurnaan tersebut biasa disebut Maqamat dan Ahwal. Jalan utama untuk menuju ke sana adalah cinta yang murni dan pengorbanan yang tulus. Siapapun manusia atau umat Islam boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, apabila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya, yang pada pokoknya sifat-sifat mulia pada dirinya, dan terhindar dari sifat-sifat tercela. Hal inilah yang dikehendaki dalam tasawuf yang sebenarnya. Ahli filosof menekankan segi pengetahuan. Tuhan digambarkan oleh filosof sebagai seorang `alim yang mengetahui segala sesuatu secara hakiki dan absolut. Alam semesta dan jagat raya ini dengan segala tingkat wujudnya, bagi para filosof tidak lain sebagai bukti adanya Agen yang Maha Mengetahui dan Maha Pintar yang merupakan sumber segala pengetahuan manusia dan makhluk lainnya. Ahli filsafat sibuk mencari jalan bagaimana agar manusia bisa sampai pada pengetahuan yang sah dan menyakinkan. Usaha tersebut memunculkan ilmu logika yang mengatur bagaimana cara berpikir yang benar dan sah (valid). Bermacam-macam metode berpikir ditemukan, seperti metode retorik, dialektik, dan demonstratif. Kebahagian sejati para ahli filsafat terjadi jika manusia sudah mencapai tingkat pengetahuan tertinggi melalui pembuktian demonstratif, yaitu apabila manusia sudah bisa menangkap pengetahuan universal yang menerima pengetahuan langsung dari Tuhan. Usaha yang dilakukan para ahli filsafat dalam rangka untuk mencapai kebahagiaan tersebut adalah dengan melatih cara berpikir dan penelitian secara kritis sehingga mampu mengabstraksi dari benda-benda konkret bentuk mereka yang universal. Berdasarkan ketiga paradigma pemikiran di atas, dalam konteks pertentangan penggemar Fiqh, Tasawuf, dan Filsafat dalam sejarah pemikiran Islam, yang biasnya masih terasa sampai saat ini perlu mendapat tekanan masing-masing cabang ilmu tersebut bersifat saling melengkapi dan turut memperkaya dan meluaskan cakrawala cara sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan). Lihat Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, (Semarang: LemBkota, 2002), hlm. 45.

30 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

berpikir umat Islam. Manusia yang diberi Tuhan sedikit pengetahuan, mbok yaho mudeng bahwa alangkah piciknya kalau hanya mau menerima satu macam disiplin saja dan menolak lainnya. Pendekatan Filosofis dalam Studi Keislaman Kritik yang sering disampaikan Amin Abdullah terhadap kajian filsafat Islam adalah masih dipandangnya filsafat Islam dari aspek sejarah. Hal itu berakibat lambannya kemajuan kajian filsafat Islam dan kurang signifikannya bagi perkembangan pemikiran Islam. Padahal apa yang ada dalam cakupan filsafat sesungguhnya tidak hanya aspek sejarah tetapi juga subtansinya. Bagian inilah yang sebenarnya harus mendapat perhatian lebih. Bagian ini meliputi bahasan metafisika, etika, estetika, logika, dan epistemologi. Yang dimaksud filsafat dalam hal ini adalah filsafat Islam, bukan sekedar bahasan mengenai aliran pemikiran, apalagi sekedar uraian sejarah perkembangan pemikiran Islam yang lengkap dengan tokoh-tokohnya, tetapi lebih merupakan bahasan tentang proses berpikir. Filsafat adalah metodologi berpikir kritis-analisis dan sistematis. Filsafat lebih mencerminkan proses berpikir, bukan sebagai produk pemikiran.31 Kelesuan berpikir di kalangan umat Islam di era post modern saat ini salah satu faktor utamanya adalah umat Islam tidak mau melihat dan memperhatikan filsafat. Sebaliknya sejak pertengahan abad ke 12 hampir semua khazanah intelektual Islam justeru menyerang dan memojokkan filsafat baik sebagai sebuah pendekatan, metodologi, maupun disiplin keilmuan. Dalam hal ini Suparman Syukur, menawarkan untuk pengembangan dan kajian keilmuan Islam kontemporer orang tidak bisa lagi berpaling dan meninggalkan filsafat. Tanpa sentuhan filsafat, pemikiran dan kekuatan spiritual Islam akan sulit menjelaskan jati dirinya dalam era global.32 Mulyadi Kertanegara dalam bunga rampainya dari Chicago, telah mengklasifikasikan tiga macam metodologi pemikiran dalam khazanah filsafat Islam, yaitu: Metodologi bayani, irfani, dan burhani. Metodologi Bayani merupakan suatu model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Metodologi Irfani merupakan suatu model metodologi berpikir yang didasarkan atas pendekatan pengalaman 31 M. Amin Abdullah, Filsafat Islam Bukan Hanya Sejarah Pemikiran, dalam A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. vii-viii 32 Suparman Syukur, Pergumulan Etika Primordial dengan Etika Global Sebagai Dasar Perilaku Menuju Solidaritas Kemanusiaan, dalam Islam Agama Santun, (Semarang: RaSail, 2011), hlm. 109

JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 31 Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Muhamad Nur

langsung atas realitas spiritual keagamaan. Sedangkan metodologi Burhani merupakan suatu model metodologi berpikir yang tidak didasarkan atas teks dan pengalaman, melainkan atas dasar keruntutan logika.33 Kajian agama di Barat dengan menggunakan pendekatan filosofis sudah banyak dilakukan. Hubungan antara filsafat dan agama, Rob Fisher mengindentifikasi lima posisi: 1) Filsafat sebagai agama; 2) Filsafat sebagai pelayan agama; 3) Filsafat sebagai yang membuat ruang bagi keimanan; 4) Filsafat sebagai satu perangkat analitis bagi agama; dan 5) Filsafat sebagai studi tentang penalaran yang digunakan dalam pemikiran keagamaan.34 Berdasarkan gugusan pemikiran di atas, Inti dari pendekatan filsafat sebagai agama terletak pada ide bahwa dengan merefleksikan realitas watak tertinggi, orang dapat menemukan wawasan yang sesungguhnya mengenai pengalaman manusia di dunia, refleksi memberikan gambaran yang benar tentang bagaimana sesuatu itu. Model pandangan metafisik ini menunjukkan apa yang tertinggi dan ultimate, dan memberikan sistem nilai bagi hidup dan kehidupan sehari-hari. Sebagai ilustrasi misalnya tentang Ide Ibnu Arabi yang menampikkan gagasan hikmah al-masyriqiyyah yang searah dengan hikmah al-israq-nya Suhrawardi. Ibnu Rusyd adalah qadhi al-qudhat, pemegang otoritas keagamaan tertinggi di Andalusia. Apalagi Ibnu Arabi dan Suhrawardi yang memang menekankan kejernihan batin untuk menangkap kebenaran hakiki dan realitas metafisik. Kehidupan praktis para filosof muslim sering lepas dari perhatian, karena hanya terfokus pada ide yang sering ditangkap secara tidak utuh. Berbagai corak filosof muslim menunjukkan kreativitas para filosof dalam menyelesaikan berbagai persoalan mendasar dalam Islam, tetapi tetap berada di bawah satu payung paradigma ketauhidan yang bersumber al-Quran dan hadits. Posisi filsafat bagi pelayan agama intinya adalah memberikan pengetahuan parsial tentang Tuhan atau beberapa bentuk lain dari ultimate spiritual. Ia dapat menunjukkan rasionalitas dari proses meyakini bahwa Tuhan ada dan mendiskusikan sifat-sifat Tuhan. Posisi filsafat sebagai pembuat ruang bagi keimanan paling hanya dapat memperhatikan ketidak memadainya dalam membuat 33

Mulyadi Kertanegara, Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 120-121 34 Rob Fisher, Pendekatan Filosofis dalam Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: LkiS, 2002), hlm. 165

32 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

pertimbangan-pertimbangan tentang agama dengan menunjukkan keterbatasan-keterbatasannya. Posisi ini membuka kemungkinan agama dan menjelaskan ketergantungan manusia pada wahyu yang dengannya orang memperoleh pengetahuan mengenai Tuhan. Posisi filsafat sebagai studi analisis terhadap agama adalah posisi paling akrab karena merupakan cara berfilsafat agama yang paling dominan dalam dunia Barat. Tujuannya adalah menganalisis dan menjelaskan watak dan fungsi bahasa keagamaan, menemukan cara kerjanya, dan makna yang dibawanya. Posisi filsafat sebagai studi penalaran merupakan suatu perkembangan modern dalam pemikiran di bidang keagamaan. Tujuannya melihat secara teliti berbagai konteks dimana orang beriman melangsungkan kehidupannya, mengindentikisi faktor-faktor yang beroperasi dalam konteks itu yang dapat mempengaruhi keyakinan seseorang, dan melihat bagaimana keyakinan itu diekspresikan dalam dokrin dan praktik. Penekanannya adalah pada kebudayaan sebagai faktor formatif dan berpengaruh terhadap keyakinan keagamaan.35 Metodologi Pendekatan Filsafat dalam Studi Islam Berdasarkan pada posisi filsafat dalam studi agama di atas, diperlukan metodologi pendekatan filsafat dalam studi Islam. Penulis, menampilkan tokoh besar bidang filsafat dari Maroko yang saat ini menjadi rujukan beberapa pemikir Islam dalam menentukan metodologi studi Islam yang tepat sekaligus bersentuhan dengan realitas modern. Adalah Mohammad Abied al-Jabiry,36 membuat 35

Rob Fisher, Pendekatan Filosofis dalam Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: LkiS, 2002), hlm. 165-167 36 Nama lengkapnya Mohammad Abied Al-Jabiri, seorang filosof Arab kontemporer (asal Maroko) yang memproyeksikan diri dalam proyek pemikiran yang spesifik selain Hasssan Hanafi (asal Mesir) dan Muhammad Arkoun (asal Aljazair). Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko, tanggal 27 Desember 1935. Pendidikannya dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi lebih banyak ditempuh di tanah kelahirannya di Maroko. Dia pernah setahun menempuh pendidkan filsafat di Universitas Damaskus, Siria (tahun 1958). Setelah itu dia melanjutkan pendidikan diploma Sekolah Tinggi Filsafat Fakultas Sastra Universitas Muhammad V di Rabat, (1967) dan meraih gelar master dengan tesis tentang “Filsafat Sejarah Ibn Khaldun” (Falsafatut Tarikh ‘inda Ibn Khaldun). Doktor bidang Filsafat, dia raih di Fakultas Sastra Universitas Muhammad V, Rabat (1970), dengan disertasi yang masih membahas seputar pemikiran Ibn Khaldun, khususnya tentang Fanatisme Arab. Desertasinya berbicara tentang “Fanatisme dan Negara: Elemen-Elemen Teoritik Khaldunian dalam Sejarah Islam” (Al-‘Ashabiyyah wad Dawlah: Ma’alim Nadzariyyah Khalduiyyah fit Tarikhil Islamii). Lihat Novriantoni Kahar, Al-Jabiri dan Nalar Politik Arab Islam; Sebuah Penajajakan Awal, http://www.aljabriabed.com/ diakses tanggal 8 Pebruari 2014. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 33 Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Muhamad Nur

proyek besar dan ambisius yang disebut Naqd al-`Aql al`Arabi (Kritik Nalar Arab). Tujuan proyek tersebut untuk melihat tema-tema yang sering muncul pada lingkungan bahasa-bahasa Arab dalam kapasitasnya sebagai wadah pemikiran yang menentukan batas-batas pandangan dunia dan cara-cara berpikir filosofis bagi orang yang menggunakannya. Hasilnya, terdapat tiga kecenderungan atau model berpikir filosofis dalam studi Islam, yakni bayani, irfani, dan burhani. Begitu urgennya ketiga model metodologi berpikir ini terhadap produk pemikiran filsafat dalam studi Islam. a. Epistemologi Bayani Epistemologi Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikais oleh akal kebahasaan yang digali lewat referensi (istidlal). Secara langsung artinya seseorang memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa pemikiran; dan secara tidak langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga diperlukan tafsir dan penalaran. Meskipun demikian akal tidak bisa bebas menentukan makna dan maksud, namun tetap harus bersandar pada teks.37 Sebab dalam tradisi bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek eksoterik (syari`at). Oleh karena itu, sumber pengetahuan bayani adalah teks (nash). Dalam ilmu ushul fiqh, yang dimaksud teks (nash) adalah sebagai sumber pengetahuan bayani yakni al-Quran dan Hadits.38 Teks al-Quran meskipun sebagai sumber utama epistemology burhani, namun tidak selalu memberikan keputusan pasti. Dari segi penunjukan hukum ada ayat yang qath`i dan zanni, ada yang nasikh dan mansukh, israiliyyat dan sebagainya. Terhadap ayat-ayat tersebut diperlukan jenis penafsiran dengan metodologi tertentu. Demikian juga pada penafsiran Hadits. Salah satu metode penafsiran terbaru yang mencerminkan pemikiran filsafat adalah tafsir Hermeneutik. Menurut Sahiron Syamsuddin, tokoh yang mengembangkan tafsir ini adalah Abu Hamid al-Ghazali, Fazlur Rahman, Muhammad Abid alJabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohamad Mojtahed Shabestari, Amina 37

Arief Musthofifin, Akal dan Hegemoni Suara Tuhan, Dialektika Akal dan Wahyu dalam Fiqh dan Teologi, (Semarang: Jurnal Justisia, 2005), hlm. 20. 38 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmi, (Bandung: Gema Risalah Press, 1996), hlm. 22.

34 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

Wadud Muhsin, Abdullah Saeed, Muhammad Talbi, Nurcholish Madjid, Khaled M. Abou el-Fadl, Muhammad Syahrur, Syuhudi Ismail, dan Yusuf Qardhawi (dua yang terakhir hanya pada tafsir Hermeneutik Hadits).39 b. Epistemologi Irfani Landasan epistemology irfani adalah berdasarkan pada kasf, tersingkapnya rahasia-rahasia realita oleh Tuhan. Karenanya, pengetahuan irfani tidak diperoleh dari analisis teks tetapi dengan olah ruhani, di mana dengan kesucian hati diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya melalui intuisi (dzauq).40 Dari situ kemudian, dikonsepsikan atau masuk ke dalam pikiran sebelum dikemukakan kepada orang lain. Konsep tersebut seperti diungkapkan Suhrawardi, secara metodologis, pengetahuan ruhani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan, baik dengan lisan maupun tulisan.41 Tahapan pertama, persiapan, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasf), seseorang yang biasa disebut salik (penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan jenjang-jenjang spiritual yang disebut Maqamat dan Ahwal. Imam Taufiq, menjelaskan bahwa terdapat perbedaan para ulama sufi terkait dengan jumlah jenjang yang harus dilalui, mulai dari tingkat terendah sampai tingkatan puncak di mana saat itu qalb telah menjadi netral dan jernih sehingga siap menerima pengetahuan.42 Amin Syukur membagi tujuh tingkatan tersebut dengan tobat, wara`, zuhud, faqir, sabar, tawakkal, dan ridla`.43 Tahap kedua, yaitu penerimaan. Jika seseorang atau salik telah mencapai maqam tertentu dalam jenjang sufisme, seseorang atau salik akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara iluminatif atau neotic. Menyimak pada kajian filsafat Mehdi Yazdi, pada tahap ini seseorang akan memperoleh reslitas kesadaran diri yang 39 Sahiron Syamsuddin, at. All, Hermeneutika al-Quran dan Hadis, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. v. 40 M. Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 25 41 A. Khudori Soleh, M. Abed al-Jabiry; Model Epistemologi Islam, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 241. 42 Imam Taufiq, Maqamat dan Ahwal; Tinjauan Metodologis, dalam M. Amin Syukur, at. All., Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 130. 43 M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 7.

JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 35 Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Muhamad Nur

demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu seseorang akan melihat realitas dalam dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran tersebut, bukan merupakan objek eksternal, keduanya bukan sesuatu yang berbeda melainkan merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihad).44 Tahap ketiga, pengungkapan. Merupakan tahap terakhir dari proses pencapaian irfani, pengalaman mistik yang dialami seseorang diinterprestasikan dan diungkapkan kepada orang lain. Namun karena pengetahuan irfani bukan termasuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan dengan atau kepada orang lain, tidak semua pengalaman ini dapat diungkapkan. Hasil kebenaran metode irfani ini menurut Nurcholish Madjid, sebanding dengan kebersihan hati seseorang muslim (salik) dalam memperoleh kasyf.45 c. Epistemologi Burhani Epistemologi burhani sangat berbeda dengan epistemology bayani dan irfani yang masih mempunyai kaitan dengan teks suci, epistemology burhani tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak peda pengalaman. Epistemology burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio akal yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional.46 Berdasarkan konsep tentang epistemology Burhani tersebut, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan dalam studi Islam, epistemology burhani tidak murni bersumber dari rasio, tetapi bersandarkan juga atas rasio objek-objek eksternal, yang harus melalui tahapan-tahapan sebelum dilakukan silogisme; (1) tahap pengertian 44

A. Khudori Soleh, M. Abed al-Jabiry; Model Epistemologi Islam, Pemikiran Isalam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 244-245. 45 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Allah, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 47. 46 Sumber pengetahuan dalam metode berpikir burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio inilah, yang dengan dalail-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat indera, yang dikenal dalam istilah tasawwur dan tasdiq. Tasawwur adalah proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera, sedangn tasdiq adalah proses pembuktian terhadap konsep tersebut. Lihat Ibnu Rusd, Kaitan Filsafat dengan Syari`at, terj. Muhammad Shadiq Nor, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 56.

36 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

(ma`qulat); 2) tahap pernyataan (ibarat); dan 3) tahap penalaran (tahlilat).47 Ketiga model epistemologi Islam yang telah dibahas di atas yakni epistemologi bayani, irfani, dan burhani sebagaimana telah dipaparkan tersebut masing-masing memiliki kekhasan dalam melakukan pemikiran filosofis dalam pembacaan teks dan realitas. Sehingga hasil interpretasi terhadap nash pun akan sangat berbeda berdasarkan dengan tiga epistemologi bayani, irfani, dan burhani tersebut. Pertarungan sengit antar episteme-episteme Islam ini pun ikut mewarnai dalam sepanjang sejarah peradaban Islam. Namun, jika ditarik dalam dua kutub besar, pertarungan tersebut sebenarnya menampilkan dua kubu yang saling konfrontatif, yakni kubu akal dan wahyu. Dalam beberapa ranah pemikiran fiqh, tasawuf, dan filsafat, ketiga pihak ini selalu bertarung untuk menunjukkan eksistensinya sampai saat ini. Membumikan Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam Pada sub judul ini, penulis tidak akan membahas subtansi pemikiran filsafat, karena secara subtansional, tidak ada yang perlu dibahas dan dipermasalahkan. Kecuali bagi sekelompok orang yang pandangan keagamaannya tidak pernah beranjak dari abad kegelapan. Sejak semester awal duduk di bangku kuliah agama seperti IAIN atau PTAIS, atau universitas Islam (UI) seorang mahasiswa telah diberikan materi kuliah filsafat. Konsekwensi ini menunjukkan bahwa paradigma berpikir rasional atau meminjam istilah Muhyar Fanani, filsafat sebagai cara pandang dalam memahami agama merupakan atribut yang melekat pada diri seorang sarjana Islam sehingga membumikan pemikiran filosofis dalam studi keislaman menjadi keharusan 47

Tahap pengertian adalah proses abstraksi atas objek-objek eksternal yang masuk ke dalam pikiran. Tahap pernyataan adalah proses pembentukan kalimat atau proposisi atas pengertian-pengertian yang ada. Proposisi ini harus memuat unsur subjek dan prediket serta adanya relasi di antara keduanya, dan dari sana hanya lahir satu pengertain serta kebenaran, yakni adanya kesesuaian dengan objek. Untuk mendapatkan suatu pengertian yang tidak diragukan, sebuah proposisi harus mempertimbangkan lima kriteria; yakni spesies, genus, diferensia, propium, dan aksidentia. Tahap penalaran proses pengambilan keputusan berdasarkan hubungan premis-premis yang ada, dan di sinilah terjadinya silogisme. Menurut al-Jabiri dengan mengikuti Aristoteles, penarikan simpulan menggunakan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat ; 1) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis; 2) adanya konsistensi logis antara alasan dan simpulan; 3) simpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak menimbulkan kebenaran atau kepastian lain. Dikutip dari Ahmad Khudori Soleh, Mohamad Abed al-Jabiry; Model Epistemologi Islam, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 249-250 JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 37 Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Muhamad Nur

sebagaimana dikehendaki STIT Muhammadiyah Kendal kampus kebanggan kita ini dalam visi misinya,48 hal tersebut dimaksudkan agar mahasiswa tidak terjerebab hanya dalam ortodoksi sebagai cara pandang agama. Agama-agama yang terjerebab pada ortodoksi hampir selalu mempunyai sejarah kelam berupa kontrol terhadap pikiran kritis yang merupakan ciri umum berpikir filsafat. Dalam agama Kristen, salah satu contohnya adalah pada abad ke-8 ketika kebenaran dimonopoli Gereja, Gallelio harus menerima hukuman mati karena berbeda pendapat dengan gereja. Dalam agama Islam, banyak contoh sejarah yang muncul ke permukaan dibanding agama Kristen dalam menangani kasus mengadili pemikiran filosofis. Hal ini terjadi karena Islam tidak mengenal pusat kebenaran. Otoritas kebenaran dalam Islam lebih longgar berada di tangan ulama. Otoritas itu akan menjadi lebih ketat kalau ulama berkolaborasi dengan penguasa untuk membela paham tertentu. Banyak filosof telah menjadi korban paham ortodoksi Islam. Sederet nama bisa disebutkan seperti: Al-Hallaj, asShuhrawardi al-Maktul, Ahmad ibn Hambal, Siti Jenar, Mahmoud Mohammed Thaha, Nasr Hamid Abu Zaid, Mohammad Syahrur, dan sebagainya. Upaya membumikan49 pemikiran filosofis pada dataran aplikatif dalam ranah sosial-humanities dipandang sebagai ijtihad dalam rangka mengemban visi dan misi pembaruan Islam.50 Menarik apa yang 48

Lihat buku panduan Akademik STIT Muhammadiyah Kendal Periode Tahun Akademik 2014/2015. 49 Beberapa ilmuwan muslim menggunakan istilah ini dalam karyanya, seperti M. Quraish Shihab, dalam karyanya Membumikan al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1997). Syeikh Akhmad ibnu Athaillah, dalam karyanya Membumikan dan Menyelam Samudera Ma`rifat dan Hakekat, terj. Moh Syamsi Hasan dan Aswadi, (Surabaya: Amelia, t.th). dan Muhyar Fanani, dalam karyanya Membumikan Hukum Langit Nasionalisasi Hukum Islam dan Islamisasi Hukum Nasional Pasca Reformasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008). Istilah membumikan dengan term berbeda juga sering digunakan Gusdur dengan Islam Pribumi, Nurcholish Madjid dengan Islam keIndonesiaan, Ismail Raji al-Faruqi dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Murtadha Muthahhari dengan Revolusi Iran, Muhammad ibn Abdul Wahab dengan Gerakan Pemurnian Islam, Ibnu Arabi dengan Wahdat al-Wujud, Mullasadra dengan Empat Perjalanannya, dan sebagainya. 50 Beberapa pemikir Islam telah mengusung proyek besar ini seperti: Al-Ghazali yang mengusung proyek untuk mematahkan perkembangan pemikiran madzab Isma`iliyah, alMawardi yang mengusung proyek dari khalifah untuk mengokohkan kekhalifahan, lihat Suparman Syukur, Etika Religius, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 17. Ibnu Rusd yang mengusung proyek besar dari penguasa untuk mengkaji ulang pemikiran Ibnu Sina dan al-Ghazali sehingga dapat merumuskan pemahaman baru tentang filsafat Islam, lihat Machrus, Pendekatan Studi Islam, dalam Wahana Akademika, (Semarang: Kopertais X Jawa

38 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

diungkapkan Abdul Kadir, bahwa kontribusi filsafat dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia pada khususnya merupakan keharusan sejarah, di mana pun dan kapan pun.51 Apa yang diungkapkan Abdul Kadir tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan, mengingat peran filsafat dalam rangka menginterpretasi ulang terhadap pemahaman dan pemikiran keagamaan lama ke arah yang lebih segar dan relevan. Melalui filsafat, nilai-nilai yang bersifat relatif diperbaharui secara terusmenerus dan bergantung pada kebutuhan hidup manusia. Di dalam hal-hal bersifat relatif inilah, manusia diberi hak berijtihad menggunakan akalnya untuk membumikan pemikirannya agar nilainilai yang subtansional dapat terealisasi dalam tataran empirik. Karena yang relatif merupakan wadah dari yang mutlak serta transenden, yang relatif itu pula harus memantulkan semangat yang subtansional. Dari pembahasan di atas, upaya membumikan pendekatan filosofis dalam studi Islam di Indonesia perlu belajar dari kegagalan dan keberhasilan para pendahulu agar diperoleh dasar filosofis yang tepat dan memenuhi kebutuhan. Berikut ini beberapa penawaran pendekatan filosofis studi Islam yang dikemukakan Abuddin Nata, yang mungkin realistik saat ini diterapkan di Indonesia.52 Pertama-tama, menggunakan pendekatan relativisme. Menurut pandangan relativisme ini pendekatan filsafat dalam studi Islam harus dilihat kebenaran penafsiran keagamaan ialah relatif terhadap perkembangan ruang dan waktu. Melalui pendekatan relativisme ini Tengah, 2008), hlm. 22. Al-Jabiri yang mengusung proyek pengembangan pemikiran Jamaluddin al-Afghani, Lihat Masyhar, Pemikiran al-Jabiri tentang Nalar Burhani, Tesis, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003), hlm. 159. Hasan Hanafi yang mengusung proyek al-Istisyraq untuk menetralkan dan mengimbangi orientalisme, lihat Hasan Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Barat, terj. M. Nadjib Bukhori, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 28. Nurcholish Madjid yang mengusung proyek besar dari penguasa untuk meredam gejolak pendirian negara Islam, dan misi besar untuk mengembangkan pemikiran gurunya Fazlur Rahman di Indonesia. Lihat Muhamad Nur, Latar Belakang Pemikiran dan Sumbangan Neo-Sufisme Nurcholish Madjid bagi Penyegaran Pemikiran dan Kehidupan Tasawuf, Tesis, (Semarang: IAIN Walisongo, 2011), hlm. 68. Bahkan dalam Catatan Fauzan al-Anshari (Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia) Cak Nur bersama-sama dengan Gus Dur, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Ulil Absar Abdalla juga mengemban proyek besar dengan dana unlimited dari The Asia Foundation (TAF) untuk mengembangkan prinsip-prinsip pemikiran Islam Liberal di Indonesia. Lihat Fauzan alAnshari, Agama Islam Beku Akal Terus Berkembang, dalam Ulil Abshar Abdalla, Islam Liberal dan Fundamental Sebuah Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), hlm. 226. 51 Abdul Kadir, Jejak Langkah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 22. 52 Dalam hal ini penulis mendasarkan diri pada tawaran dari Abuddin Nata, dalam bukunya Pendekatan Studi Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008). JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 39 Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Muhamad Nur

studi filosofis selalu diperlukan sebagai reinterprestasi ajaran agama menurut kedisinian dan kekinian. Pandangan ini tentu akan berkonfrontasi dengan paham tradisonalisme yang otoritarian dan berusaha mempertahankan nilai-nilai yang baku. Sikap anti-otoritarian sebagai antisipasi dari akibat konfrontasi tersebut merupakan ciri khas para pembaharu. Pendekatan filosofis yang dilakukan Syahrur dalam merombak tatanan masyarakat dengan menawarkan Fiqh Madani mengikuti pola seperti ini.53 Kedua, menggunakan pendekatan realisme. Menurut pandangan realism ini pendekatan filsafat dalam studi Islam harus didasarkan pada realitas, kenyataan yang ada, dan baru kemudian pada ajaran-ajaran normatif. Menurut paradigma pemikiran realisme ini ajaran-ajaran agama yang normatif dan ideal harus disesuaikan penafsirannya dengan realitas yang ada, dan bukan sebagaimana kaum idealis tadi. Pendekatan filosofis yang dilakukan Jamaluddin al-Afghani dan Mohammad Iqbal, dengan paham Pan-Islamisme, adalah contoh kaum idealis yang rasional dan telah berhasil merumuskan pemikiran filosofisnya secara baik dan menggugah. Tetapi mereka berdua tidak cukup realistis, sehingga gagasan-gagasan filsafatnya dalam studi Islam sulit untuk diterapkan. Ketiga, menggunakan pendekatan kontekstualisme. Menurut pandangan ini pendekatan filsafat dalam studi Islam bisa berjalan baik dan komunikatif kalau dilakukan sesuai konteks aktual. Konteks ini bisa ditempuh dengan konteks budaya/kultural. Pendekatan filosofis dakwah Walisongo menempuh jalur kontekstual budaya/kultur ini. Ijtihad progresif Yasadipuro II di tanah Jawa juga menunjukkan pendekatan filosofis kontektualisme.54 Kasus tidak diwajibkannya Jilbab oleh Nurcholish Madjid dan mengganti salam dengan selamat pagi/siang/sore/malam dalam pemikiran pribumisasi Islam Gusdur nampaknya mewakili pendekatan kontekstual budaya/kultur ini. 53

Penelitian Disertasi Muhyar Fanani pada tahun 2009 terhadap pembaruan Mohammad Syahrur, bahwa Konsep Tajdid Ushul Fiqh yang ditawarkan oleh Syahrur melaui teori hududnya, relevansi teori hudud dalam membentuk elastisitas hukum Islam di masa kontemporer, dan misi yang diusung Syahrur untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif. Lihat Muhyar Fanani, Fiqh Madani: Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta: LKiS, 2009). 54 Sri Suhandjati Sukri memberikan solusi agar memadukan unsur Islam dengan budaya lokal melalui kebudayaan yang bersifat alami dan lentur dengan menampilkan perpaduan budaya Islam yang bersifat universal dengan budaya setempat yang bersifat lokal sehingga diharapkan diperoleh kerangka budaya majemuk yang menyejukkan. Lihat hasil penelitian Disertasi Sri Suhandjati Sukri, Ijtihad Progresif Yasadipura II dalam Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 341

40 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

Keempat, yang tidak kalah pentingnya adalah menggunakan konteks kesejarahan/historis. Menurut pandangan ini pendekatan filosofis dalam studi Islam harus dilakukan menurut konteks historis setempat. Konteks historis yang terjadi secara jeli diamati sebagai bahan pemikiran filosofis untuk menemukan solusi alternatif yang tepat, di samping belajar dari kegagalan dan keberhasilan pemikir pendahulunya. Pembaruan yang dilakukan Nurcholish Madjid, dengan Islam Yes, Partai Islam No, menunjukkan pendekatan konteks historis, di samping dia belajar dari kegagalan Fazlur Rahman di Pakistan.55 Masih terkait konsep belajar dari keberhasilan pendahulunya. Nampaknya sedikit banyak harus belajar dari keberhasilan Nurcholish Madjid, yang notabene sebagai filosof yang konsisten dengan pemikiran-pemikiran studi keislamannya. Cak Nur ini menawarkan konsep kosmologi haqqiyah dan konsep al-hanifiyah al-samhah bagi pemerhati studi keislaman di Indonesia. Konsep kosmologi haqqiyah yang dikemukakan Cak Nur ini menghendaki agar umat Islam hendaknya memandang bahwa dunia yang teratur dan indah ini diciptakan mengandung maksud agar manusia memiliki pandangan positip terhadap alam, dunia merupakan tempat manusia mengerjakan amal sebanyak-banyaknya untuk menciptakan kemakmuran seluas-luasnya di muka bumi demi menggayuh prospek jangka panjang di akhirat dengan Tuhan sebagai tujuan akhirnya. Konsep al-hanifiyah al-samhah menghendaki orang memiliki kemampuan mengembangkan sikap keterbukaan terhadap masuknya budaya dan ilmu pengetahuan asing yang positip dan bermanfaat, diimbangi kemampuan interopeksi terhadap kebutuhan, potensi, dan kelebihan diri sehingga mampu menetralisir terhadap budaya negatip dari luar sebanding dengan kemampuan dalam menggali potensi agama Islam dari sumber aslinya yaitu al-Quran dan hadits dan khazanah historis umat Islam sehingga umat Islam dapat memiliki sikap percaya diri dalam memberikan kontribusi dalam khazanah intektual Islam di kanvas peradaban dunia.56 55

Pernyataan Cak Nur pada tahun 1970-an: “Islam Yes, partai Islam No”, yang pada waktu itu kaum muslimin terkungkung oleh partai Islam, yang justru karenanya Islam kehilangan dinamikanya, memfosil dan absolut. Lihat Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Reformasi, (Jakarta: Paramadina: 1999). Juga kosmopolitanisme dan inklusifisme Islam yang disosialisasikan Cak Nur identik dengan pemikiran Ibn Taimiyah dan Hamka. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2003). 56 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2004), hlm. 57 JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 41 Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Muhamad Nur

Penutup Filsafat dan agama, dua hal yang berbeda tetapi tidak harus dipertentangkan. Pemahaman agama memerlukan perangkat ilmu bantu agar pesan agama dapat dipahami secara kontekstual. Salah satu perangkat ilmu bantu untuk memahami ilmu agama tersebut adalah filsafat. Hanya saja banyak orang menyalahpahami posisi filsafat dari aspek sejarah bukan pada subtansinya. Filsafat, ketika mendapat perhatian serius dari kaum intelegensia dan keberadaannya tidak dapat dipermasalahkan, dunia Islam mengalami masa-masa kejayaannya. Setelah filsafat dikuya-kuya dan diharamkan, kejayaan itu menjadi sirna. Kejayaan berpindah tangan ke Barat yang antusias mengkaji filsafat. Hal itu justeru setelah Barat berkenalan dengan peradaban Islam melalui pengaruh pemikiran filosof muslim yang kemudian membangkitkan paham averriosme yang pada akhirnya memunculkan renaissance. Beberapa penawaran pendekatan filosofis studi Islam yang mungkin realistik pada saat ini. Pendekatan tersebut menurut Abuddin Nata, antara lain: pendekatan relativisme, realisme, kontekstualisme, dan sejarah/historis. Patut direnungkan ucapan Sang Pembaharu Islam yakni Muhammad Abduh yang dikutip Nurcholish Madjid “Barat (Kristen)

maju karena meninggalkan agama, dan Timur (Islam) mundur karena meninggalkan agama”,57 jika ungkapan pemikiran itu direnungkan lebih mendalam, menghasilkan argument bahwa menjadi rasional dalam Islam adalah bagian dari agama itu sendiri, sedangkan pada orang Barat merupakan tantangan terhadap agama. Jika alur logika tersebut diteruskan, argument berikutnya ialah: Menjadi modern dan ilmiah bagi Islam adalah konsisten dengan ajaran agama Islam sendiri, sedangkan pada orang Barat berarti penyimpangan dari agama. Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin, Filsafat Islam Bukan Hanya Sejarah Pemikiran, dalam A.Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. _________________, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. 57

Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 2011),

hlm. 165.

42 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

Amstrong, Karen, A History of God: 4.000 Year Quest of Judaism, Christianity and Islam terj. Zaimul Sejarah Tuhan, Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama Manusia, Bandung: Mizan, 2012. Anshari, Fauzan, Agama Islam Beku Akal Terus Berkembang, dalam Ulil Abshar Abdalla, Islam Liberal dan Fundamental Sebuah Pertarungan Wacana, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007. Asy-Syaibany, M Athaumy, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al Maarif, 1992. Fanani, Muhyar, Fiqh Madani: Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, Yogyakarta: LKiS, 2009. ______________, Membumikan Hukum Langit Nasionalisasi Hukum

Islam

dan

Islamisasi

Hukum

Nasional

Pasca

Reformasi,

Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008. Fisher, Rob, Pendekatan Filosofis dalam Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: LKiS, 2002. Hadiwijoyo, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Kanisius, 2001. Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1998. Hasan, Fuad, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Jakarta: Gramedia, 2002. Hidayat, Asep Ahmad, Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Ibnu Athaillah, Syeikh Akhmad, Membumikan dan Menyelam Samudera Ma`rifat dan Hakekat, Surabaya: Amelia, t.th. Ismail, Faisal, Momentum Historis Gerakan Pencerahan Islam, Jakarta: Mitra Cendekia, 2004. Kadir, Abdul, Jejak Langkah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2004 . Kertanegara, Mulyadi, Gerbang Kearifan, Jakarta: Paramadina, 2006. __________________, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Jakarta: Paramadia, 2006. __________________, Masa Depan Filsafat Islam antara Cita dan Fakta, Jakarta: Paramadina, 2006. ___________________, Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, Jakarta: Paramadina, 2000. Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmi, Bandung: Gema Risalah, 1996.

JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 43 Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Muhamad Nur

Machrus, Pendekatan Filsafat dalam Studi Islam, Semarang: Kopertais X Jawa Tengah, 2008. Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Paramadina, 1994. ________________, Pintu-pintu Menuju Allah, Jakarta: Paramadina, 1998. ________________, Cita-cita Politik Islam Reformasi, Jakarta: Paramadina, 1999. ________________, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina. ________________, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 2011. ________________, Khazanah Intelektual Islam Jakarta: Bulan Bintang, 2004. Masyhar, Pemikiran al-Jabiri tentang Nalar Burhani, Tesis, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003. Mulkhan, Abdul Munir, Islam Sejati K.H. Ahmad Dahlan dan Petani Muhammadiyah, Jakarta: Serambi, 2005 Musthofifin, Arief, Akal dan Hegemoni Suara Tuhan, Dialektika Akal dan Wahyu dalam Fiqh dan Teologi, Semarang: l Justisia, 2005. Muthahhari, Murtadha, Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama, Bandung: Mizan, 1992. ___________________, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah

Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia, Jakarta:

Sadhra Press, 2010. Nasr, Seyyed Hossein, Intelektual Islam, Teologi, Filsafat, dan Gnosis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Nasution, Andi Hakim, Pengantar ke Filsafat Sains, Bogor: Litera Antar Nusa, 1999. Nasution, Harun, Falsafah Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1999. Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 2007. Panduan Akademik STIT Muhammadiyah Kendal Tahun 2014/2015. Poespoprodjo, W., Logika Sientifika Pengantar Dialektika dan Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1985. Quraish, Shihab. M., Membumikan al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1997. Rahman, Budhi Munawar, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Bandung: Mizan, 2007. Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Mizan, 1998.

44 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015

Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

Rusd, Ibnu, Kaitan Filsafat dengan Syariat, terj. Shadiq Nor, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. _________, Fashl al-Maqal fi ma bayn al-Hikmah (Falsafah) wa alSyari`ah min al-Ittishal, t.th. Soleh, Ahmad Khudori, Mohamad Abed al-Jabiry; Model Epistemologi Islam, Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003. Sukri, Sri Suhandjati, Ijtihad Progresif Yasadipura II dalam Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004. Supena, Ilyas, Pendekatan Filosofis dalam Dakwah Islamiyah, dalam Wahana Akademika, Semarang: Kopertais X Jateng, 2011. Syamsuddin, Sahiron, at.all, Hermeneutika al-Quran dan Hadis, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010. Syukur, M. Amin, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. ______________, dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Syukur, Suparman, Etika Religius, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. _______________, Pergumulan Etika Primordial dengan Etika Global Sebagai Dasar Perilaku Menuju Solidaritas Kemanusiaan, dalam Amin Syukur, dkk., Islam Agama Santun, Semarang: RaSail, 2011. Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Mizan, 2008 Taufiq, Imam, Maqamat dan Ahwal; Tinjauan Metodologis, dalam Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Widagdho, Djoko, Ilmu Budaya Dasar, Ilmu Alamiah Dasar dan Ilmu Sosial Dasar Semarang: Anugerah Ilmu, 2005. Yusuf, M. Yunan, Teologi Islam Rasional, Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution, Jakarta: Ciputat Press, 2001.

JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 45 Volume 5 Nomor 1 Pebruari 2015