Dasar-Dasar Perencanaan Pendidikan 25
Judul dan nomor urut dalam seri ini adalah 1. Apakall Perencanaan Philip H. Coombs
Pendidikan
itu ?
2. Hubungan Rencana Pendidikan dtngan Henearía Ekonomi R. Poignant 3. Perencanaan Pendidikan dan Sumber Day a Manusia F. Harbison A. Perencanaan C E . Beeby
dan Administrator
dan
Sostai
Pendidikan
5. Konteks Sosial Perencanaan C A . Anderson
Pendidikan
6. Maya Rencana Pendidikan J. Vaizey, J.D. Chesswas 7. M as alali Pendidikan V.L. Griffiths
di Daerah
Pedesaan
8. Perencanaan Pendidikan : Peranan Penasihat Adam Curie 9. Aspek-aspek Demografis pada Perencanaan Pendidikan Ta Ngoc Châu 10. Analisis Maya dan Pengeluaran untnk Pendidikan J. Hallak 11. Identilas Profesional Perencana Adam Curie
Pendidikan
12. Kondisi untuk Keberhasilan Perencanaan Pendidikan G.C. Ruscoe 13. Analisii Biaya dan Manfaat pada Perencanaan Pendidiknn Maureen Woodhall 14. Rencana Pendidikan dan Peinuda tanpa Archibald Callaway 15. Politik Perencanaan C D . Rowley
Pendidikan
di Negara
Pekerjaan lieikembang
16. Perencanaan Pendidikan untuk Masyarakat Atajemuk Chai Hon-Chan 17. Perencanaan Kurikulutn Sekolah Dasar di Negata Heikembang II.W.R. Hawes 18. Delajar di Luar Negeri dan Perkembangan William D. Carter ' 19. Perencanaan Pendidikan K.R. McKinnon
yang
20. Merencanakan Pendidikan Pedesaan G.M. Coverdale
Pendidikan
Realistik Sehubungan
11
dengan
Pembangunan
Daerah
21. Pilihan dan Keputusan John D. Montgomery 22. Meiencanakan Arieh Lewy
Kurikulum
dalam Perencanaan Sekolah
23. Faktor Biaya dalam Perencanaan Dean T. Jamison 24. Perencanaan dan Pierre Furter
Pendidikan
Pendidikan
Teknologi Seumur
Pendidikan
yang Bersistem
Hidup
25. Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang Kritis Martin Carnoy 26. Merencanakan Kebutuhan akan Tenaga Pengajar dan Penyediaantiya Peter William 27. Perencanaan Pemeliharaan dan Pendidikan Anak Usia Balita di Negara Berkembang Alastair Heron 23. Media Komunikasi di Bidang Pendidikan Rendan : Implikasi untuk Perencanaan Emile G. McAnany dan John K. Mayo 29. Perencanaan Pendidikan Non-Formal David R. Evans 30. Pendidikan, Latihan dan Sektor Tradisional Jacques Hallak dan Françoise Caillods
iii
untuk
Negara
Berpenghasilan
CAR 32. International Institute for Educational Planning
PENDIDIKAN DAN PENEMPATAN TENAGA KERJA Sebuah Penilaian Yang Kritis
Oleh Martin Carnoy
Penerjemah Soeheba Kramadibrata
I.I.E.P.- 1.1.P.E. Ttut E.Oelocroin 7S016 PftRIS
-9.AVR.1987 C E N T R E DE DOCUMENTATION
1986 PENERBIT BHRATARA KARYA AKSARA — JAKARTA dan UNESCO : PARIS v
Education and employment : a critical appraisal Published in 1977 by the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, 7, Place de Fontenoy, 75700, Paris © Unesco 1977 Indonesian translation published in 1986 This translation © PT Bhratara Karya Aksara Hak penerbitan edisi bahasa Indonesia 1986 pada PT Bhratara Karya Aksara — Jakarta
ISBN 979 — 410 — 004 — 8
Dilarang memperbanyak dan atau menyebarluaskan buku ini seluruh atau sebagian dengan cara menjiplak, mencetak, memfotokopi dan membajak atau dengan cara lain tanpa izin tertulis dari Penerbit Bhratara Karya Aksara. Bagi yang melakukan pelanggaran ini akan di kenakan hukuman sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
VI
DAFTAR
ISI
DASAR-DASAR PERENCANAAN PENDIDIKAN KATA PENGANTAR 1
PENDAHULUAN 1.1 Apakah pengangguran itu masalah penting ? 5 1.2 Pengangguran dan setengah pengangguran 9 1.3 Penyebaran pengangguran 12 1.4 Apakah peran perencana pendidikan dalam memecahkan masalah pengangguran dan setengah pengangguran? 15
2 BEBERAPA TEORI MENGENAI PASARAN TENAGA KERJA DAN PENGANGGURAN 2.1 Teori ortodoks 19 2.2 Beberapa teori dualistik pasaran tenaga kerja 29 2.3 Beberapa teori radikal tentang produksi dan perpangsaan pasaran tenaga kerja 33 3
MASALAH PENEMPATAN TENAGA KERJA DI NEGARA-NEGARA NONINDUSTRI : SEBUAH INTERPRETASI 3.1 Perkembangan kapitalisme di negara-negara berpenghasilan rendah 43 3.2 Pendidikan untuk pembangunan 50 3.3 Perluasan pendidikan dalam suatu perekonomian yang ditandai oleh pengangguran 57 3.4 Masalah penempatan tenaga kerja dalam perekonomian yang menempatkan tenaga kerja penuh 62 VÜ
ix xi 1
19
43
4
BERBAGAI TINDAKAN KEBIJAKAN BAGI PARA PERENCANA 4.1 Suatu pendekatan alternatif 78 4.2 Tindakan-tindakan disarankan 83 4.2.1 Suatu kebijakan umum untuk meningkatkan penempatan tenaga kerja 83 4.2.3 Menciptakan kesempatan kerja 88 4.2.4 Pendidikan dan penempatan tenaga kerja 93 4.2.5 Perihal pendidikan dan pekerjaan 96
KEPUSTAKAAN
69
103
viii
DASAR-DASAR PERENCANAAN PENDIDIKAN Rangkaian buku kecil ini terutama ditujukan kepada dua kelompok orang : pertama, mereka yang bertugas — atau yang sedang menyiapkan diri untuk itu — dalam perencanaan dan administras! pendidikan, khususnya di negara-negara berkembang. Selanjutnya, ia juga ditujukan kepada mereka yang walau kurang mendalami bidang tersebut, seperti pejabat senior pemerintah atau pemimpin rakyat, namun menghendaki pengertian yang lebih umum perihal perencanaan pendidikan, dan ingin mengetahui bagaimana perencanaan pendidikan dapat menunjang pembangunan nasional pada umumnya. Ia disusun baik untuk belajar sendiri maupun untuk dimasukkan dalam suatu program pendidikan formal. Sejak rangkaian buku kecil ini diperkenalkan pada tahun 1967, baik dalam praktek maupun konsep perencanaan pendidikan mengalami banyak perubahan yang mendasar. Banyak dari pandangan yang mendasari usaha-usaha awal dengan menempatkannya secara masuk akal dalam proses pengembangan pendidikan telah lama ditinggalkan atau setidak-tidaknya dikecam. Sementara itu, cakupan perencanaan pendidikan itu sendiri telah diperluas. Selain itu, sekarang sistem pendidikan formal pada sekolah-sekolah meliputi usaha pendidikan penting lainnya yang diberikan dalam sistem pendidikan nonformal di kalangan orang-orang dewasa, Perhatian yang dicurahkan terhadap pertumbuhan dan perluasan sistem pendidikan diberikan dengan melengkapi atau bahkan menggantinya sama sekali, antara lain memberi kesempatan dan keuntungan kepada berbagai wilayah, kelompok-kelompok sosia!, etnik, dan kelompok pria dan wanita untuk mengikuti pendidikan. Perencanaan, implementasi, dan evaluasi penemuan dan pembaruan isi dan substansi pendidikan paling tidak menjadi sama penix DPP-25 (2)
tingnya — sebagai bahan renungan para perencana dan administrator pendidikan — dengan ramalan, ukuran, sistem pendidikan, dan hasilnya. Selanjutnya, proses perencanaan pendidikan itu sendiri mengalami perubahan dengan lebih mencurahkan perhatian pada implementasi dan evaluasi rencana dan rancangannya, serta menyelidiki kemungkinan-kemungkinan seperti perencanaan terpadu, partisipasi, dan perencanaan mikro. Salah satu tujuan buku kecil ini ialah untuk menjelaskan keragaman pandangan bcrbagai pengarang, yang mempunyai latar belakang dan disiplin ilmu yang berbeda, dan untuk mengkomunikasikan pengalaman rnereka itu melalui berbagai aspek, teori, dan praktek yang berubah-ubah dalam perencanaan pendidikan. Sungguhpun rangkaian buku kecil ini telah direncanakan berdasarkan suatu pola tertentu, namun tidak dilakukan usaha untuk menghindari perbedaan, bahkan pertentangan di antara berbagai sudut pandangan para pengarangnya. Lembaga Internasional untuk Perencanaan Pendidikan (International Institute for Educational Planning) ini sendiri tidak ingin menggariskan suatu doktrin resmi apa pun kepada para perencana. Dengan demikian, walaupun pandangan para pengarang menjadi tanggung jawab masingmasing, yang senantiasa tidak sama dengan pandangan Unesco atau Lembaga Internasional untuk Perencanaan Pendidikan, ia menjamin bahwa akan banyak menarik perhatian di dalam pasaran gagasan (perencanaan pendidikan) internasional. Dengan mengingat latar belakang sidang pembaca yang sangat berbeda, maka kepada pengarang diletakkan beban yang berat untuk memperkenalkan subjek masing-masing mulai dari awal, di samping harus menjelaskan istilah-istilah teknis yang telah biasa bagi scbagian sidang pembaca namun masih asing bagi yang lain. Dalam pada itu, para pengarang tetap menaati standar ilmiah dan dengan pengecualian dalam beberapa bidang spesialisasi tertentu, demi para pembaca, pengarang berusaha melakukan penyederhanaan dalam penulisannya tanpa sedikit pun mengorbankan kadarnya. Gara pendekatan ini mempunyai keuntungan bahwa dengan demikian rancangan buku kecil ini dapat dicernakan oleh pembaca umum.
x
KATA PENGANTAR Hubungan antara pendidikan dan penempatan tenaga kerja (employment) telah lama menjadi perhatian dan kegiatan utama perencanaan pendidikan. Sesungguhnya salah satu sebab penting mengapa perencanaan pendidikan dalam satu atau lain bentuk diterapkan di banyak negara ialah adanya keinginan untuk memperoleh suatu jenjang yang lebih serasi antara lulusan pelbagai tingkat dan berbagai sektor sistem pendidikan di satu pihak dan kebutuhan serta kemampuan (menyerap) pasaran tenaga kerja di pihak Iain. Perkiraan kebutuhan akan tenaga kerja dijadikan dasar bagi sejumlah besar rencana pendidikan selama dua puluh tahun belakangan ini, dan masih saja memainkan peranan penting dalam perencanaan pendidikan. Berbarengan dengan itu, hubungan antara pendidikan dan penempatan tenaga kerja tetap menghadapi berbagai masalah: ekspansi sistem pendidikan lebih laju perkembangannya daripada daya serap pasaran tenaga kerja; perkembangan pendidikan membangkitkan harapan-harapan pada pihak anak didik dan keluarganya, yang tidak dapat ditampung oleh suatu ekonomi yang pertumbuhannya lebih lamban; terdapat perbedaan yang menyolok antara lulusan sekolah dengan kesempatan kerja di berbagai daerah di sebuah negara, demikian juga dalam jenis pekerjaan, jenis sekolah, dan sebagainya. Akibatnya ialah timbulnya pengangguran (unemployment) atau setengah pengangguran (underemployment) di antara para lulusan sekolah — sejak lulusan sekolah dasar sampai dengan lulusan perguruan tinggi — yang menjadi pemikiran dan keprihatinan yang semakin besar, bahkan bisa merupakan gangguan politik yang potensial di banyak negara. Keadaannya mengkhawatirkan sehingga patutlah dipermasalahkan, apakah para perencana pendidikan masih mempunyai — demikian pun apabila mereka mempunyainya — pengertian yang memadai perihal seluruh rangkaian dinamika dunia ketenagakerjaan pada umumnya, dan khususnya serba rumitnya pasaran tenaga kerja. Akhir-akhir ini oleh sejumlah xi
ahli ckonomi telah banyak dilakukan upaya untuk memperoleh lebih banyak pengertian pcrihal masalah pengangguran dalam rangka masalah pembangunan dan keterbelakangan (underdevelopment). Berkaitan dengan ini, kami di International Institute for Educational Planning (Lembaga Internasional untuk Perencanaan Pendidikan) berpendapat bahwa sudah waktunyalah sekarang untuk berbagi dengan sidang pembaca Dasar-dasar Perencanaan Pendidikan suatu penilaian kritis perihal perkembangan mutakhir dalam bidang pengetahuan ini. Martin Carnoy, seorang ahli ekonomi pembangunan yang terkenal dan sekarang mengajar di Stanford University, dengan menarik dari pengalaman risetnya yang lúas di Amerika Latin dan Afrika serta berdasarkan renungan teoretisnya mengenai hubungan antara masalah pembangunan dan penempatan tenaga kerja memberikan penilaian yang kritis. Pembahasan yang dilakukannya jauh melampaui hal-hal yang berkaitan dengan yang bersifat teknis dan metodologis yang menjadi ciri khas dari berbagai model ketenagakerjaan dalam perencanaan pendidikan, yang telah dikenal sampai kini; ia menempatkan masalah-masalah pengangguran dan setengah pengangguran dalam kerangka yang lebih luas, yaitu dalam kaitan dengan keadaan sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi oleh negara-negara berkembang. Dari análisis ini timbullah beberapa pemasalahan yang ditujukan kepada para perencana pendidikan yang mungkin dapat membangkitkan diskusi dan pemikiran lebih lanjut mengenai peran perencana pendidikan dalam memahami, dan dengan demikian diharapkan dapat memecahkan masalah pengangguran dan setengah pengangguran. Kami sangat menghargai, sebagaimana kami pun yakin para pembaca buku kecil ini akan menghargainya pula, cara yang serba terbuka dan terus terang yang digunakan oleh Carnoy dalam membahas masalah-masalah yang sangat penting ini. Demikian juga dengan caranya menunjukkan kepada kita betapa hubungan antara pendidikan dan penempatan tenaga kerja adalah sedemikian rupa hingga tidak mungkin masalahnya akan terpecahkan hanya dengan penyelesaian teknis belaka, melainkan harus ditinjau secara menyeluruh dalam kerangka politik ekonomi pembangunan. Hans N. Weiler Direktur HEP xii
1. PENDAHULUAN Sepuluh tahun yang lalu para ahli ekonomi di negara industri merasa cemas akan terjadi kemacetan dalam pertumbuhan ekonomi di negara-negara nonindustri. Hal ini disebabkan negara-negara itu tidak memiliki tenaga kerja golongan menengah dan atas. Perencanaan tenaga kerja dimaksudkan sebagai salah satu pemecahan masalah ini. Akan tetapi, belum sampai sepuluh tahun sejak masa itu, ternyata bahwa negara-negara nonindustri itu menghadapi kenyataan adanya kelebihan tenaga kerja berpendidikan tinggi; tingkat rata-rata pendidikan di kalangan tenaga kerja telah meningkat dan demikian pula tingkat rata-rata pendidikan di kalangan tenaga kerja yang menganggur. Ditambah lagi, pengangguran tidak menunjukkan tanda-tanda berkurang, walaupun para penganggur itu — secara pukul rata — teoretis lebih memadai untuk berperan serta dalam pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh dari masalah ini, Tabel 1 memperlihatkan pertumbuhan pengangguran terbuka yang makin meningkat di Amerika Latin antara tahun 1950 dan tahun 1965. The Organization of American States (Organisasi negara-negara Amerika) (1971 : 1) melukiskan keadaan ini sebagai berikut. Situasi umum penempatan tenaga kerja di seluruh Amerika Latin merupakan suatu ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan struktur perekonomian yang ada di belahan benua itu. Pertumbuhan penduduk yang meningkat di kawasan itu, perpindahan penduduk dari pedesaan ke daerah perkotaan yang meningkat, serta laju pertumbuhan tenaga kerja yang pesat merupakan bagian dari situasi sosial-ekonomis yang banyak menimbulkan permasalahan. Hal ini secara singkat dapat dikatakan sebagai suatu krisis penempatan tenaga kerja (employment) yang terlihat relatif besar, terutama di daerah-daerah perkotaan serta raeluasnya keadaan para pekerja yang bekerja tidak sepenuhnya (undtremployment) dan peran serta mereka yang rendah tingkatnya.
Ï
Tabel 1. Penduduk, angkatan kerja dan penempatan tenaga kerja di Amerika Latin tahun 1950 — 1965 1950 Jumlah penduduk (dalam ribuan) Tingkat kesehatan (persentase dari jumlah penduduk) Angkatan kerja (dalam ribuan) Pekerja (dalam ribuan) Penganggur (dalam ribuan) Tingkat pengangguran (persentase dari angkatan kerja)
1955
1960
1965
151.116
173.104
199.307
229.691
34,85
34,80
34,70
34,60
52.664
60.240
69.160
79.473
49.739
56.077
62.866
70.651
2.925
4.163
6.294
1.882
5,60
6,90
9,10
11,10
Sumber : Organisasi negara-negara Amerika, 1971 : him. 2
Di Asia, mungkin keadaannya lebih parah (Mehta, 1968 : 24- 25) Rencana pengembangan industri yang terlebih dahulu dari negaranegara ECAFE tidak membuat dampak yang besar pada situasi penempatan tenaga kerja (employment) dalam keseluruhannya, dan kesempatan kerja selalu ketinggalan oleh pertumbuhan tenaga kerja. Di beberapa negara seperti India, Pakistan, dan Srilangka jumlah penganggur dan setengah penganggur (under-employed) pada akhir masa rencana di atas, tampaknya lebih banyak daripada jumlah mereka yang diperhitungkan pada permulaan rencana. Ini menunjukkan bahwa kesempatan mendapatkan lapangan kerja - baru akan selalu tertinggal oleh laju pertumbuhan tenaga kerja. Data yang demikian ini menimbulkan kesan bahwa masalah penempatan tenaga kerja menjadi sangat serius. Di Republik Korea, meskipun diadakan usaha industrialisas!, jumlah penganggur dalam tahun 1963 mencapai 703.000 orang, dan jumlah orang-orang yang setengah menganggur mencapai 2.200.000 orang. Biarpun industri-industri berkembang pesat, jumlah penganggur di Filipina meningkat dari 540.000 orang dalam tahun 1959, menjadi 577.000 orang dalam tahun 1960, 618.000 orang dalam tahun 1961, 662.000 orang dalam tahun 1962. Di India diperkirakan ada sekitar 5 juta orang penganggur pada awal kurun waktu Rencana Kedua, dan jumlah ini diperkirakan telah membengkak menjadi 9 juta orang pada awal kurun waktu Rencana Ketiga. Pada awal kurun waktu Rencana Keempat jumlah penganggur itu diperkirakan menjadi antara 9 — 10 juta orang. Di negara-negara lain seperti Indonesia, Burma, atau Republik Vietnam rencana pembangunannya praktis tidak dilaksanakan karena ketidakstabilan politik dan ekonomi, juga karena sangat kurangnya sumber-sumber luar dan dalam negeri. Oleh karena itu, dampak
2
rencana pembangunan Iebih tidak berarti.
dalam menyediakan
lapangan
pekerjaan
jauh
Sejak awal tahun 1960-an pengangguran di antara para lulusan sekolah dasar di Afrika Barat parah sekali (Callaway, 1961). Setelah merdeka dengan makin berkembangnya sekolah, masalah pengangguran meluas ke golongan tenaga kerja lulusan sekolah lanjutan dan perguruan tinggi, walaupun tingkat pengetahuan para lulusannya cukup memadai (Thias dan Carnoy, 1969). Turnham (1971) melaporkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Columbia dalam akhir tahun 1960-an mencapai 13,6%, untuk Venezuela angka ini berjumlah 7,9%, Malaysia 9,8% Filipina 11,6%, Srilangka 15%, Ghanall,6%, dan Kenya 14,9%. Dalam kurun waktu yang sama, angka ini untuk Chili sekitar 8% (Calvo at al., 1975) dan pada tahun 1976 angka ini hampir mencapai 20% (Frank, 1975). Tingkat pengangguran di Puerto Rico dalam tahun-tahun 1940-an, 1950-an, dan permulaan tahun 1960 berjumlah sekitar 12 — 14% (Carnoy, 1972), walaupun laju emigrasi massalnya sangat pesat. Penelitian terakhir di beberapa daerah perkotaan Mexico (Secretaria de Industrias y Comercio, 1975) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka resmi, yakni sebanyak 8% di Mexico City, Monterey, dan Guadalajara. Tentunya angka-angka ini dilaporkan untuk suatu masa (akhir tahun 1960-an) ketika kondisi ekonomi di negara-negara industri sedang relatif baik, dan oleh karena itu permintaan atas (dan harga) barang-barang pokok dari Dunia Ketiga (selain minyak dan gula) relatif tinggi dibandingkan dengan situasi dalam tahun 1974 — 1975. Banyak alasan dikemukakan para ahli ekonomi mengenai tingginya tingkat pengangguran itu: umumnya, karena berkaitan dengan tidak tersedianya modal di negara-negara berpenghasilan rendali dan kesukaran menciptakan lapangan pekerjaan yang cukup jumlahnya bagi tenaga kerja yang melimpah. Lebih lanjut dikatakan bahwa kesulitan itu menjadi lebih parah karena pesatnya pertumbuhan penduduk serta rendahnya tingkat pendidikan (keterampilan) golongan usia angkatan kerja (hai ini mempersulit penempatan tenaga kerja serta penarikan modal asing). Sehubungan dengan análisis ini, pemecahan masalah pengangguran dapat diatasi dengan cara memperluas pembentukan modal fisik dan memperluas bidang pendidikan. Dengan bertambahnya modal 3
akan tercipta banyak lapangan pekerjaan, dan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan menurunkan angka kelahiran (wanita-wanita yang terdidik akan memiliki lebih sedikit anak-anak), dan dengan demikian penduduk lebih memperoleh lapangan pekerjaan. Walaupun ada beberapa bukti bahwa dengan lebih terdidiknya kaum wanita dapat menurunkan angka kelahiran (Holsinger, 1975; Todaro, 1977), namun mengurangnya laju pertumbuhan penduduk ternyata sangat lamban. Bahkan sama sekali tidak berkurang di negara-negara berpenghasilan rendah yang sedang menuju industrialisasi, meskipun ada kenaikan dalam tingkat ratarata pendidikan di antara para wanitanya. Jadi, efek pendidikan terhadap penyediaan tenaga kerja, paling untung pun, bersifat jangka panjang. Selanjutnya, kenaikan modal setiap tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi yang meninggi tidak menekan jumlah pengangguran. Selain itu, tersedianya para tenaga kerja yang berpendidikan tinggi rupanya tidak banyak menolong dalam memecahkan masalah pengangguran, kecuali mempertinggi tingat ratarata pendidikan di antara para penganggur.1) Kegagalan strategi pembangunan untuk menekan tingkat pengangguran yang tinggi menimbulkan persoalan yang serius. Dalam hai ini potensi kebijakan pendidikan dalam usahanya menempatkan tenaga kerja penuh di dalam masyarakat berpenghasilan rendah di bawah organisasi produksi kapitalis perlu dipermasalahkan. Dalam strategi pembangunan pada tahun 1950-an dan 1960an, tentunya pendidikan dan para perencananya memegang peran utama dalam usaha memajukan pembangunan dan menciptakan kondisi untuk penempatan tenaga kerja penuh. Akan tetapi, bila pendidikan itu tidak mempunyai pengaruh yang berarti dalam menurunkan pengangguran, maka peran perencanaan pendidikan dalam menciptakan kondisi itu sangat terbatas. Hal inilah yang akan disoroti dan diteliti di dalam buku ini. Kita akan menganalisis, apakah kiranya ada suatu program pendidikan khusus yang diciptakan di dalam perekonomian kapitalis, yang ternyata tidak banyak pengaruhnya terhadap masalah penempatan tenaga kerja dalam dua dasa warsa terakhir ini. Jika memang demikian halnya, maka 1. Untuk ringkasan segi-segi umum ini mengenai pengangguran di negaranegara berpenghasilan rendah lihat Bamett, di dalam Edwards, 1974.
4
dengan memperbaiki kekurangan-kekurangan program itu, kebijakan pendidikan dapat menjadi alat yang efektif untuk menekan tingkat pengangguran. Kepustakaan yang mutakhir (lihat misalnya, Blaug, 1973 ; Faure et al; 1972) secara tidak langsung menyatakan bahwa beberapa masalah pengangguran, terutama pengangguran di antara orang-orang berpendidikan dapat ditekan dengan memperbaiki sistem pendidikan. Misalnya, dengan cara memberikan peran lebih besar terhadap bidang pertanian di sekolah-sekolah yang berada di pedesaan (pendidikan di luar sekolah), menyesuaikan kurikulum sekolah lanjutan pcrtama dengan lapangan pekerjaan yang tersedia, dan seterusnya. Di samping itu, ada kemungkinan sebab-sebab struktural yang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan perekonomian kapitalis, hai ini mungkin menyebabkan rencana pendidikan agak tidak relevan dengan persoalan penempatan tenaga kerja. Mungkin pula pengangguran orang berpendidikan itu merupakan suatu kondisi yang sangat disukai kaum majikan di kawasan perkotaan (suatu hasil yang diinginkan dari investasi prasarana yang dilakukan Negara demi kepentingan kaum majikan itu, kendatipun ada kemungkinan-kemungkinan politik yang tidak dikehendaki). Dengan kata lain, pengangguran yang terus-menerus berlangsung di mana-mana dan munculnya pengangguran orang-orang berpendidikan, bisa saja merupakan hai yang efisien dari suatu sistem yang dalam segisegi lainnya cukup rasional. Akan tetapi, dapat juga merupakan akibat logis dan yang justru diinginkan untuk menghindari kekurangan tenaga kerja pada semua tingkat keterampilan dan untuk menekan besarnya upah serta untuk meningkatkan produktivitas. Sebelum melangkah ke penelitian mengenai hubungan yang mungkin ada antara pendidikan, penempatan tenaga kerja, dan teori-teori ekonomi yang melatarbelakanginya, kiranya perlu dijawab pertanyaan berikut ini. Apakah pengangguran itu betul-betul merupakan masalah penting dan apakah pengangguran orang-orang berpendidikan itu harus ditangani secara terpisah dari pengangguran orang yang tidak berpendidikan? 1.1 Apakah pengangguran itu masalah penting? Walaupun pertanyaan ini tampaknya merupakan pertanyaan retoris, yang tidak memerlukan jawaban, akan tetapi ada gunanya untuk 5
dibicarakan. Blaug (1973), misalnya, mengemukakan bahwa maksud sebenarnya Program Penempatan Tenaga Kerja Sedunia (World Employment Programme) dari Organisasi Buruh Intemasional ( I L O ) ialah untuk membantu negara-negara berpenghasilan rendah dengan memusatkan kebijakan ekonominya pada penyediaan lapangan kerja. Akan tetapi, setelah permasalahannya diteliti oleh I L O maksud ini diubah menjadi suatu "usaha untuk mencari penekanan bahwa kemiskinan sebagai masalah penting pembangunan ekonomi" (him. 2). Dalam laporan ILO Columbia (1971), masalah penempatan tenaga kerja didefinisikan ulang sebagai "pertama masalah penghasilan yang tidak mencukupi dan yang kedua kurang adanya kesempatan kerja". Dengan demikian, sasaran akhir kebijakan itu bukan semata-mata memberikan lebih banyak pekerjaan, akan tetapi menciptakan banyak pekerjaan yang sifatnya memberikan cukup penghasilan untuk mempertahankan standar hidup yang layak (Blaug, 1973 : 2 — 3 ) . Selanjutnya Blaug mengatakan bahwa cara pendekatan berdasarkan penghasilan guna mengukur tingkat pengangguran adalah lebih luas daripada cara (definisi) tradisional mengenai pengangguran terbuka ditambah setengah pengangguran sebagaimana yang akan kita bahas berikut ini. Selanjutnya jika sekali menerapkan hai ini sebagai cara pendekatan yang menyeluruh terhadap masalah tenaga kerja, maka análisis dari masalahnya menjadi análisis atas pertanyaan, "Mengapa negara-negara tertentu miskin, dan mengapa jumlah penempatan tenaga kerja di negara-negara miskin itu rendah sekali" (him. 5 ) . Alasan untuk membenarkan pernyataan mereka bahwa masalah pengangguran itu sesungguhnya merupakan masalah kemiskinan tidak bisa dipungkiri. Pada umumnya mereka yang cenderung menjadi penganggur ialah orang-orang yang paling cocok untuk menjadi orang miskin. Pengangguran yang terus-menerus berlangsung, menurut definisi itu, akan berakibat timbulnya kemiskinan. Namun, pengangguran harus dibedakan dari pengertian berpenghasilan rendah yang keduanya merupakan dua komponen kemiskinan yang dapat diperbandingkan ; jika seorang buruh menerima penghasilan rendah, dan dijamin bahwa penghasilannya yang rendah itu dapat diperoleh tiap minggu dan tiap tahun selama ia hidup (disesuaikan dengan perubahan harga barangbarang), maka dia mempunyai kepastian bahwa dia beserta ke-
6
luarganya bisa mengatasi kelaparan. Suatu unsur kemiskinan, yakni ketidakpastian dan ketakutan telah disingkirkan. Memang unsur ketidakpastian yang menyertai tingkat pengangguran yang tinggi, bahkan pada waktu-waktu tertentu makin meningkat tidak terbatas pada mereka yang miskin. Seperti pekerja-pekerja profesional di negara-negara berpenghasilan tinggi akhirnya mengetahui adanya ancaman tidak akan memperoleh penghasilan, dan efek psikologis dari kondisi demikian dirasakan oleh sebagian besar penduduk di semua perekonomian kapitalis, meskipun dengan sedikit pengecualian. Jadi, kita bisa mengemukakan alasan bahwa penghapusan pengangguran (atau pemberian jaminan adanya lapangan pekerjaan bagi mereka yang mau bekerja) dengan sendirinya merupakan masalah yang penting di dalam pembangunan, meskipun di dalam perekonomian pekerjaan yang dijamin seperti itu memberikan upah rendah. Pekerjaan yang terjamin — tidak adanya pengangguran terbuka — bukan saja merupakan masalah yang bisa dipisahkan dari soal penghasilan rendah, akan tetapi tampaknya jauh lebih mudah untuk menekan tingkat pengangguran dengan cepat daripada menaikkan penghasilan per capita yang dilakukan dalam kurun waktu yang panjang. Beberapa pemerintahan sosialis, seperti di Bulgaria, Cina, Cuba, Polandia, Rumania, Rusia, dan Yugoslavia — semuanya negara-negara berpenghasilan rendah pada saat revolusi mereka — relatif cepat telah berhasil menekan jumlah pengangguran, begitu mereka melembagakan suatu kebijakan pekerjaan terjamin. Sebaliknya, usaha meningkatkan penghasilan per capita di negara negara tersebut temyata merupakan suatu tugas yang lebih sukar. Jika penganggur itu kaum yang berpendidikan, mungkin ada biaya tambahan yang menjadi tanggungan masyarakat di samping keresahan psikologis yang timbul dalam diri si penganggur : pendidikan betul-betul memakan biaya dari sumber-sumber perekonomian; sebagian biaya itu ditanggung oleh mereka yang mengikuti pendidikan secara langsung, dan sebagian lagi umumnya oleh pembayar pajak. (Masalah yang terakhir ini pernah diteliti oleh Jallade (1974) dari sistem perpajakan Columbia menunjukkan bahwa pajak-pajak dan pengeluaran negara Columbia itu regresif, cenderung menurun, sehingga kita bisa menduga bahwa orangorang yang relatif miskin di negara-negara berpenghasilan rendah, memberikan subsidi terhadap pendidikan orang-orang yang relatif 7
berada). Selanjutnya, dalam tulisan Coombs (1968) World educational crisis disinggung bahwa penganggur berpendidikan bisa merupakan suatu ancaman politik terhadap orde yang sedang berkuasa, hai itu tidak akan terjadi pada penganggur yang tidak berpendidikan. Kedua faktor tersebut (biaya dan ancaman politik) menimbulkan keprihatinan karena gagalnya usaha memberikan lapangan kerja kepada orang-orang berpendidikan dalam bidangbidang yang sesuai dengan keahlian mereka. Meskipun ada rasa prihatin itu kita harus bertanya, apakah tersedianya cadangan penganggur berpendidikan tidak berfungsi sama sekali? Ataukah hai ini merupakan suatu penghamburan sumber-sumber daya, meskipun di suatu negara berpenghasilan rendah ternyata masih kekurangan tenaga kerja yang berpendidikan? Dalam satu hai, adanya penganggur berpendidikan itu berarti mendorong orang-orang berpendidikan yang bekerja untuk bekerja lebih keras, karena mereka yang telah bekerja itu takut akan menjadi penganggur (diganti oleh orang yang lebih muda dan lebih terdidik). Penganggur berpendidikan itu juga menekan upah pekerja berpendidikan dan dapat menahan kenaikan upah. Kenaikan upah bisa terjadi jika jumlah lulusan pendidikan bisa berkurang. Dari segi mana pun orang melihat masalahnya bahwa semakin banyak jumlah lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi — juga jika mereka semua tidak berhasil mendapat pekerjaan — bisa bermanfaat lagi kenaikan tingkat pengembalian modal fisik atau paling tidak menahan jatuhnya pengembalian modal itu. Jadi, dapat juga dikatakan bahwa para kapitalis dan para pemimpin perusahaan raksasa tidak menaruh perhatian khusus terhadap tindakan-tindakan yang dapat memecahkan masalah pengangguran orang-orang yang tidak berpendidikan dan berpendidikan. Kelebihan tenaga kerja yang berpendidikan mempunyai nilai yang berarti bagi kaum kapitalis itu. Tentunya harus kita sadari bahwa melimpahnya tenaga kerja berpendidikan tinggi, berarti tersedianya tenaga kerja terampil dalam jumlah banyak yang diperlukan oleh majikan. Namun, para majikan sering mengeluh karena keterampilan para lulusan pendidikan tinggi ini tidak cocok dengan keterampilan yang mereka butuhkan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa pengangguran orangorang yang tidak berpendidikan dan yang berpendidikan merupakan masalah penting yang tidak dapat dipisahkan dari masalah
8
kemiskinan. Bahkan tidak bisa lepas dari pertumbuhan ekonomi karena masalahnya mempunyai kaitan psikologis dan distribusi jangkauannya berbeda di luar masalah efisiensi ekonomi. Jika hanya dilihat dari satu segi, penganggur berpendidikan seyogianya diperlakukan lain dari pengangguran total. Dengan demikian, kita dapat mempengaruhi pihak penyedia tenaga kerja berpendidikan dengan kebijakan pengeluaran belanja pemerintah secara langsung (kebijakan yang mempengaruhi suplai seluruh tenaga kerja bersifat jangka panjang). Ditambah pula, para penganggur berpendidikan telah banyak memakan biaya dari sumber daya masyarakat dibandingkan dengan penganggur yang tidak berpendidikan. Penganggur berpendidikan mungkin juga merupakan ancaman terhadap stabilitas politik di dalam masyarakat, sedangkan penganggur yang tidak berpendidikan tidak mempunyai kemungkinan itu. Sebaliknya, ada análisis lain yang mengatakan bahwa penganggur berpendidikan merupakan suatu kelanjutan logis dari suatu kebijakan ekonomi yang berorientasi memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memungkiri kemungkinan kebenaran dari perbedaan biaya-biaya sosial antara penganggur berpendidikan dan yang tidak berpendidikan. Usaha mencapai ongkos atau biaya yang sebesar-besarnya itu, meliputi pula kelebihan suplai pekerjaan yang lebih terampil maupun yang kurang terampil. Dalam arti demikian, implikasinya ialah penganggur yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan merupakan bagian dari masalah yang sama, yakni mereka menciptakan kelebihan tenaga kerja. Olch karena itu, masalah pengangguran orang-orang yang berpendidikan dan pemecahan masalahnya dalam análisis itu tidak bisa dipisahkan dari masalah pengangguran total. 1.2 Pengangguran dan setengah pengangguran Cara tradisional yang digunakan oleh kebanyakan negara untuk mengukur tingkat pengangguran ialah dengan cara menghitung tiap orang tanpa pekerjaan dan mereka yang sedang mencari pekerjaan, dan bersedia menerima upah yang berlaku saat itu sesuai dengan survei penempatan tenaga kerja. InÜah yang disebut dengan pengangguran terbuka. Akan tetapi, dalam keadaan tingkat pengangguran terbuka yang tinggi itu, banyak orang mencari pekerjaan di pasaran tenaga kerja yang sempit menjadi putus asa untuk melaksanakan keinginannya. Dalam hai ini tidak ditemukan jalan untuk mengetahui jumlah mereka yang segan mencari pekerjaan. 9
Lebih lanjut kita hanya dapat mengukur tingkat kesertaan tenaga kerja dalam suatu waktu: dalam masa-masa yang relatif banyak pengangguran, maka tingkat kesertaan tenaga kerja dapat pula menurun, dan dengan demikian menunjukkan jumlah orang-orang yang tidak berani memasuki pasaran tenaga kerja (Lihat Tabel 1. untuk turunnya tingkat kesertaan tenaga kerja di Amerika Latin). Di lain pihak hasil penghitungan pengangguran terbuka dapat menyesatkan: pertama, tingkat persentase pengangguran menunjukkan persentase orang-orang yang sedang mencari pekerjaan dan yang sedang menganggur dalam suatu minggu tertentu. Mcmang ini merupakan petunjuk persentase jumlah penganggur dalam satu minggu — minggu yang mana tidak menjadi soal — dari tahun yang sedang berjalan. Akan tetapi, tingkat persentase ini tidak termasuk tenaga kerja (buruh) yang menganggur pada suatu saat di dalam setahun. Jadi, tingkat persentase pengangguran itu tidak menunjukkan persentase penduduk yang menderita keresahan karena tidak mempunyai pekerjaan selama beberapa kurun waktu dalam setahun. Misalnya, dalam suatu masa, lama waktu seseorang di USA menganggur dalam setahun sekitar 15 minggu: dalam tahun 1974 ketika jumlah rata-rata penganggur kira-kira 5 juta orang, di antara mereka itu sejumlah 18,3 juta orang tidak bekcrja pada suatu kurun waktu di dalam tahun itu (Dollars and sense, 1976: 10). Mereka ini kira-kira 2 2 % dari seluruh jumlah tenaga kerja. Dengan kata lain angka pengangguran terbuka tidak memberikan petunjuk yang pasti, berapa persenkah dari jumlah tenaga kerja yang bekerja untuk sebagian waktu dalam setahun. Angkaangka pada tahun 1974 untuk USA meliputi — tanpa dikatakan dengan jelas — kurang dari 8 0 % dari penduduk yang tingkat ekonominya tinggi bekerja penuh dalam setahun. Kedua, angka tersebut belakangan ini pun tidak sepenuhnya menjangkau masalah "setengah pengangguran yang terlihat dan yang tidak terlihat". Tidak saja pada sebagian besar tenaga kerja di negara-negara berpenghasilan rendah yang dalam setahun mungkin hanya bekerja beberapa minggu saja, meskipun mereka itu ingin bekerja lebih lama. Akan tetapi, banyak dari mereka itu bekerja dalam tiap minggunya kurang dari jumlah jam kerja penuh. Dalam hasil survei mengenai penempatan tenaga kerja dilaporkan bahwa seseorang bekerja dalam minggu yang tertentu biasanya 10
tidak diperinci jumlah jam kerja dalam seminggunya. Orang bisa saja hanya bekerja 10 jam dalam satu minggu, namun orang itu tercatat sebagai orang yang bekerja. Hal ini kebetulan tidak terbatas pada negara-negara berpenghasilan rendah. Di USA dalam pertengahan tahun 1960-an kurang lebih 45% dari tenaga kerja bekerja sambilan (kurang dari 40 jam dalam seminggu) atau selama sebagian waktu saja dari setahunnya (kurang dari 50 minggu dalam setahun). Sekarang di dalam suatu negara berpenghasilan tinggi, sebagian besar tenaga kerja yang bekerja sambilan atau yang bekerja sebagian waktu dari setahun itu mungkin memilih bekerja yang kurang dari waktu penuh (full-time). Tanpa suatu pola percobaan, sukar untuk mengatakan jumlah setengah pengangguran yang terdiri atas orang-orang yang melakukannya dengan sukarela dan orang-orang yang terpaksa untuk melakukannya. Makin rendah penghasilan rata-rata keluarga di suatu negara, maka lebih besar kemungkinannya mereka bekerja penggal waktu karena terpaksa. Hal ini disebabkan adanya asumsi bahwa kurva suplai (tenaga kerja) terjal menegak, sehingga baik laki-laki maupun perempuan berkecenderungan untuk bekerja lebih lama dan minggu yang lebih banyak, jika mereka itu miskin tetapi tidak demikian mereka yang sudah berada dalam tingkat konsumsi tinggi. Ketiga, definisi setengah pengangguran mengandung pengertian lebih luas, yakni orang-orang yang bekerja dalam mingguminggu dan jam-jam yang lebih sedikit daripada waktu bekerja yang mereka inginkan, karena tidak tersedianya pekerjaan penuh waktu. Mereka bekerja dalam tugas-tugas yang tidak sepenuhnya memanfaatkan keterampilan mereka, atau mereka sebetulnya dapat berproduksi lebih banyak jika tugasnya diorganisasi secara lain. Sebagaimana dicatat oleh Blaug (1973 : 4) definisi ini merupakan definisi produktivitas dari pekerjaan tidak penuh waktu dan ia mengemukakan bahwa pekerjaan itu produktivitasnya lebih rendah daripada yang dapat mereka hasilkan, bilamana mereka dipekerjakan lebih efektif. Bagian yang paling menarik perhatian dari pemikiran di atas ialah dampaknya yang tidak langsung terhadap kemampuan manusia di dalam pekerjaannya. Sehu'bungan dengan hai di atas Jensen (1972) menunjukkan (dengan menggunakan data Inkeles-Smith: Inkeles and Smith; 1974) adanya pertambahan tingkat kecerdasan para pekerja yang bekerja di pabrik, sedangkan tenaga kerja yang bekerja di bidang pertanian atau di daerah perkotaan (bukan pabrik) tidak memperoleh penambahan tingkat kell
cerdasan. Jika penelitian Jensen itu betul, berarti sebagian besar penduduk di negara berpenghasilan rendah bukan saja bekerja tidak penuh waktu, juga mereka itu tidak mencapai tingkat kualitas tertentu karena jenis pekerjaannya tidak memerlukan pemikian yang relatif berat jika dibandingkan dengan kemampuannya. Keempat, sifat pengangguran mungkin berlainan bagi yang berpendidikan dan bagi yang tidak berpendidikan. Mungkin kita mengetahui bahwa penganggur berpendidikan rata-rata lebih muda daripada mereka yang tidak berpendidikan. Pengangguran di antara yang berpendidikan mungkin timbul, terutama pada waktu setelah wisuda sekolah dan merupakan masa ''pencarían" pekerjaan yang sesuai dengan harapan para lulusan pendidikan. Hal ini dapat merupakan keputusan rasional dari pihak pencari pekerjaan, apalagi jika pekerjaan yang mereka kehendaki itu merupakan penentu bagi masa depannya. Jelaslah, bahwa kita harus membedakan pengangguran karena tengah menunggu pekerjaan yang sesuai, dan pengangguran sebagai akibat diberhentikan dari pekerjaan, yang sebetulnya masih diinginkan terus dipegang oleh pekerja yang bersangkutan. 1.3 Penyebaran pengangguran Meskipun tingkat pengangguran di dalam masyarakat nonindustri demikian tinggi dan meliputi mereka yang berpendidikan, namun tampaknya pengangguran terbuka lebih rendah di tingkat golongan berpendidikan tinggi daripada di tingkat golongan yang berpendidikan lebih rendah. Tidak mustahil hai ini terjadi, jika kita menganalisis tingkat-tingkat pengangguran di dalam kelompokkelompok usia atau angkatan kerja (Blaug, 1973:9- 11 : Blaug et al., 1969). Di sini tampak bahwa permintaan tenaga kerja berpendidikan tinggi tumbuh lebih cepat daripada permintaan tenaga kerja yang kurang berpendidikan; para majikan menempatkan pekerja yang lebih tinggi pendidikannya sebagai pengganti rekan-rekannya yang kurang pendidikannya dalam perbandingan yang menurun antara tenaga kerja dan modal1). 1. Carnoy dan Marenbach, 1975. Kami telah menunjukkan bahwa di USA angka kematian orang-orang yang kembali ke sekolah dasar menurun, walaupun ada penurunan jumlah orang berpendidikan sekolah dasar di dalam angkatan kerja; secara kuantitas orang-orang yang kembali ke universitas tetap stabil dan orang-orang yang kembali ke pelajaran tingkat sarjana naik, demikian pula jumlah tenaga kerja berpendidikan tinggi cepat naiknya. (Kami hanya mempunyai data angka untuk kurun waktu 1959—1965 tentang penghasilan para lulusan pendidikan sarjana di dalam angkatan kerja .
12
Berdasarkan keadaan dcmikian, kita dapat membuat hipótesis bahwa pengangguran terbuka lebih banyak timbul di beberapa golongan daripada di dalam galongan tertentu, seperti tersebut di atas dan penghapusan pengangguran itu mempunyai dampak yang bersifat menyebar (distributional consequences). Pertama, latar belakang tingkat sosial merupakan suatu faktor penting yang menentukan seseorang memperoleh pendidikan. Bila latar belakangnya miskin, ia cenderung mendapatkan pendidikan lebih rendali, dan sebaliknya bila berasal dari kaum berada, ia akan memperoleh pendidikan lebih tinggi. Pengangguran terbuka dirasakan lebih parah oleh golongan miskin daripada oleh kaum berada. Tingkat pengangguran umumnya lebih rendah di antara mereka yang berpendidikan tinggi daripada mereka yang berpcndidikan rendah. Kedua, pengaruh pengangguran terbuka berbeda bagi orangorang yang berlainan tingkat sosialnya, meskipun pendidikan mereka itu sama tingginya. Mereka yang berasal dari tingkat sosial lebih rendah lebih banyak menjadi penganggur daripada mereka yang berasal dari tingkat sosial lebih tinggi, meskipun tingkat pendidikannya sama (Carnoy, Sack dan Thias, 1976). Sebagian efck ini berasal dari jenis-jenis pendidikan yang diperoleh pelbagai kelas sosial; anak-anak dari keluarga berada masuk sekolah khusus atau sekolah-sekolah dan perguruan tinggi pemerintah yang lebih baik (di kota atau di pinggiran kota yang biayanya tinggi), sedangkan anak-anak dari keluarga miskin bersekolah di daerah pedesaan (Mwaniki, 1973). Para majikan mungkin lebih suka menerima tenaga kerja yang berasal dari kalangan berada daripada anakanak yang berasal dari kalangan rakyat biasa. Sebagian disebabkan pula oleh hubungan niaga yang kurang berkembang di antara keluarga-keluarga miskin. Penyebab lain yang menjadikan tersebarnya pengangguran terbuka seperti temyata di atas ialah orang-orang yang kurang berpendidikan dan berasal dari kelas-kelas sosial lebih rendah, jam kerja dalam setiap minggunya lebih pendek, dan juga mereka dalam setahun bekerja lebih sedikit jumlah minggunya daripada mereka yang lebih baik pendidikannya (Eckaus, 1973). Bahkan pada tingkat perguruan tinggi, dalam hubungan pekerjaan biasanya para mahasiswa yang berasal dari kelas menengah bawah, se13 DPP-25
(3)
perd mahasiswa pendidikan dan ilmu-ilmu kemanusiaan dalam setiap tahunnya bekerja lebih sedikit jumlah minggunya daripada mahasiswa fakultas teknik dan kedokteran (Carnoy, 1975). Mereka yang memperoleh lebih banyak pendidikan dan pendidikan yang lebih bergengsi, memperoleh pekerjaan yang bukan saja memberikan upah lebih tinggi untuk tiap jam kerjanya, tetapi juga memungkinkan bekerja lebih lama dalam setiap tahunnya. Jadi, mereka yang memperoleh pendidikan lebih baik itu, di samping lebih besar kemungkinannya untuk memperoleh pekerjaan, juga pintu lebih terbuka untuk pekerjaan-pekerjaan yang memberikan kemungkinan untuk mendapat penghasilan lebih tinggi dan lebih banyak waktu bekerja. Akhirnya, kita harus mengakui bahwa pengangguran di antara penduduk berusia muda (usia antara 15 — 24 tahun) persentasenya cukup tinggi. Hai ini sangat mempengaruhi perkiraan-perkiraan kita mengenai hubungan antara pendidikan dan pengangguran, oleh karena mereka itu lebih banyak mengenyam pendidikan daripada para tenaga kerja yang lebih tua (Blaug, 1973). Memang betul bahwa mereka lebih sedikit tanggungan keluarganya, dan dengan demikian sedikit alasannya untuk merasa resah karena menganggur. Jadi, para percncana pendidikan itu bisa mengemukakan bahwa biaya sosial pengangguran jauh lebih rendah daripada pengangguran yang terbagi-bagi merata mehputi semua kelompok umur. Dalam arti ini, maka sistem ekonomi tampaknya menjadi rasional dengan rnembebaskan risiko terbesar dari pengangguran itu kepada kelompok yang paling sedikit merasakan derita akibat pengangguran. Akan tetapi, pola pengangguran semacarn ini melibatkan berbagai aspek penting dalam perencanaan pendidikan seperti dapat kita lihat: adanya tingkat pengangguran penuh dan setengah pengangguran yang tinggi di kalangan pemuda berarti biaya untuk pendidikan tambahan menjadi lebih rendah dan lebih menekankan pada pengembangan sekolah sambil meningkatkan pendidikan rata-rata para penganggur dan memperbanyak jumlah tenaga kerja terampil (yang bekerja penggal waktu). Dengan adanya pikiran-pikiran mengenai pengangguran ini, setengah pengangguran dan penyebaran pengangguran menghantui análisis kita, maka dalam diri perencana kebijakan dapat timbul pertanyaan, apakah kiranya yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah pengangguran. Kami menyarankan, agar perencana 14
tetap memperhatikan biaya sosia! dari pengangguran itu dengan melihatnya dari sudut pandangan ini: Kebijakan ekonomi manakah yang dapat menolong semua orang di dalam masyarakat berpenghasilan rendah tertentu untuk menikmati penghasilan secara terusmenerus dari pekerjaan mereka serta menolongnya untuk bisa bekerja penuh waktu jika mereka menghendakinya. Tampaknya hai ini tidak memecahkan masalah penghasilan rendah dan kepuasan pekerja, karena mungkin saja upah yang diberikan untuk pekerjaan penuh waktu itu sangat rendah dan jenis pekerjaannya sukar serta tidak disukai. Selain itu, juga tidak memecahkan masalah konsumsi rendah per capita karena — seperti halnya di Cuba — pekerjaan itu bisa saja ada dan penghasilannya cukup tinggi, namun tidak banyak barang untuk dibeli. Meskipun demikian, kami tetap berpendapat bahwa penempatan tenaga kerja penuh (full employment) merupakan unsur penting untuk mengurangi keresahan para pekerja, dan mungkin juga tingkat produktivitasnya menurun. Hal ini selalu melekat pada pengangguran di pasaran tenaga kerja (kami beranggapan bahwa bekerja penuh dapat menurunkan tingkat perpindahan kerja, sedikitnya menekan keresahan yang menyertai kepindahan kerja, jika waktu mencari pekerjaan menjadi lebih lama dalam keadaan menganggur). Suatu kebijakan penempatan tenaga kerja penuh mungkin saja menurunkan produktivitas ratarata, namun ada jalan lain yang lebih manusiawi untuk meningkatkan produktivitas tanpa para pekerja terancam kehilangan pekerjaan. Sama dengan hai itu masalah kondisi kerja dan kepuasan pekerja dapat ditangani, terlepas dari masalah pengangguran. 1.4 Apakah peran perencana pendidikan dalam memecahkan masalah pengangguran dan setengah pengangguran? Dengan memperhatikan masalah di atas dan merenungkannya, timbuUah pertanyaan, apakah yang dapat dilakukan perencana pendidikan untuk memperbaiki keadaan pengangguran di dalam masyarakat berpenghasilan rendah? Kami ingin mempertahankan pendapat kami bahwa jawaban atas pertanyaan ini untuk sebagian besar terletak pada pandangan si perencana itu terhadap cara kerja perekonomian dan sifat hasil pasaran tenaga kerja. Di satu pihak kita dapat beranggapan bahwa perkembangan kapitalistis membawa banyak keuntungan yang secara teknis menentukan semua orang yang bekerja dan hidup di dalam ekonomi itu. 15
Kemudian kita beranggapan bahwa penyimpangan-penyimpangan, dalam perekonomian dan pasaran tenaga kerja merupakan sebab utama timbulnya pengangguran, dan ketidakefisienan investasi umum pemerintah merupakan satu hai yang menentukan adanya pengangguran atau setengah pengangguran di antara orang-orang yang berpendidikan. Berdasarkan asumsi ini, perencanaan pendidikan menyebabkan terciptanya pengangguran dalam hal-hal sebagai berikut. (a) Mempercepat perpindahan penduduk dari pedesaan ke kota, oleh karena pendidikan umum yang disediakan di pedesaan tidak berguna untuk memperbanyak produksi pertanian, namun mereka tetap menaruh harapan memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang ternyata tidak bisa dipenuhi oleh daerah pedesaan. (b) Memberikan pendidikan terlampau banyak kepada masyarakat bila dibandingkan dengan pekerjaan yang dapat mereka peroleh, sehingga mereka lebih menyukai tidak bekerja selama waktu yang lama daripada menerima pekerjaan yang lebih rendah dan tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. (c) Pemberian pendidikan yang tidak tepat kepada mereka, sehingga mereka tidak memperoleh pekerjaan yang cocok dengan keterampilan yang diperolehnya di sekolah. Sebaliknya si perencana pendidikan dapat membantu mengurangi pengangguran orang-orang berpendidikan dengan : 1. membuat pendidikan dengan biaya lebih murah dan cocok dengan pekerjaan-pekerjaan rendah yang sangat banyak jumlahnya di dalam kehidupan perekonomian (terutama pekerjaan di daerah pedesaan), dan dengan demikian mengurangi atau mengubah harapan-harapan para lulusan sekolah. 2. mengurangi jumlah lulusan sekolah yang meninggalkan lembaga-lembaga pendidikan. 3. melaksanakan kecocokan yang lebih baik antara keterampilan-keterampilan yang tingkatnya lebih tinggi dan dibutuhkan oleh perekonomian dan keterampilan yang diajarkan di sekolah-sekolah (Blaug, 1973; Emmerij, 1972) 16
Akan tetapi, di bawah asumsi "rasionalitas" perekonomian kapitalistis, muncul pertanyaan serius, apakah perencanaan pendidikan harus disalahkan karena banyaknya pengangguran di antara orang-orang berpendidikan. Seperti dikatakan oleh Blaug, pengangguran di antara orang-orang berpendidikan mungkin lebih merupakan suatu masalah pengangguran orang-orang muda daripada kenyataan bahwa pekerja itu "terlalu terdidik" atau "salah didik". Pertanyaan mengenai peran sang perencana, karena itu akan tergeser ke masalah memecahkan pengangguran orang-orang muda. Berdasarkan sejumlah asumsi yang berlainan satu sama lain mengenai perkembanggan perekonomian kapitalis dan struktur pasaran tenaga kerja yang dihasilkannya, proses produksi diorganisasi terutama untuk menguntungkan pemilik modal, para manajer dan kawan-kawannya di birokrasi. Sebagian besar peran serta pekerja dalam proses produksi itu dimanfaatkan untuk mencapai sasaran kelompok-kelompok elite tersebut. Beberapa asumsi itu menunjukkan bahwa pengangguran itu bukan hasil, bukan akibat dari distorsi dalam sistem produksi yang sebetulnya sehat dan lasional, akan tetapi mcrupakan akibat upaya kaum elite kapitalis atau birokrat yang berubah mencapai keuntungan semaksimal mungkin bagi dirinya sendiri. Program-program investasi umum pemerintah di bidang pendidikan, yang tampaknya tidak efisien dinilai dari sudut pandang orang-orang yang miskin dan masyarakat pedesaan, biasanya cukup rasional menurut ukuran sasaran para kapitalis atau birokrat. Berdasarkan asumsi ini, untuk melemparkan kesalahan kepada perluasan bidang pendidikan yang menyebabkan terjadinya pengangguran di antara orang-orang berpendidikan, tidaklah tepat. Dalam hai ini perhatian harus dialihkan untuk mencari penyebab-penyebab timbulnya pengangguran itu yang terletak dalam sifat produksi kapitalistis. Terutama disebabkan hubungan yang tidak harmonis antara para kapitalis atau pengelola dengan pekerja dan tekanan yang dilakukan para kapitalis agar kebijakan negara dapat membangkitkan surplus tenaga kerja dan tenaga kerja terampil. Mempertinggi pendidikan tenaga kerja dalam análisis ini tidak meningkatkan atau mengurangi pengangguran dalam jumlah yang berarti: usaha itu hanya menaikkan tingkat pendidikan rata-rata di antara tenaga kerja yang bekerja maupun di antara mereka yang menganggur. Peningkatan pendidikan itu dapat juga mengubah sifat setengah pengangguran: setengah pe-
17
ngangguran di daerah pedesaan (dalam arti kata jumlah jam kerja dalam setahun) bergeser menjadi pengangguran terbuka di daerah perkotaan dan para pekerja menjadi makin terdidik (dalam hubungan dengan harapan-harapannya) jika dikaitkan dengan pekerjaan yang mereka pegang, dan kemudian menambah "setengah pengangguran di daerah perkotaan. Dalam tulisan ini, kita akan meneliti teori-teori pasaran tenaga kerja yang mendasari pandangan-pandangan yang saling berbeda mengenai pendidikan dan pengangguran serta aneka ragam strategi yang timbul dari teori-teori itu.
18
2.
BEBERAPA TEORI MENGENAI PASARAN TENAGA KERJA DAN PENGANGGURAN
Peran pendidikan dalam usaha memecahkan masalah pengangguran akhirnya tergantung pada cara kita menilai berlangsungnya perekonomian dan pasaran tenaga kerjanya. Agar kita bisa mengerti keterangan yang diberikan ahli ekonomi mengenai pengangguran dan strategi-strateginya, pertama-tama kita harus mengenai model yang mendasarinya. Di sini akan diketengahkan tiga macam teori itu : teori ortodoks mengenai pasaran tenaga kerja yang berkesinam«bungan, teori dualistik pasaran tenaga kerja, dan teori Marxis atau radikal, terutama mengenai pasaran tenaga kerja yang terbagi menjadi pangsa-pangsa, dan angkatan cadangan penganggur. 2.1 Teori ortodoks Perkembangan teori ortodoks (orthodox theory of development) atau disebut juga teori neo klasik, berakar pada ideologi kapitalis, Teori ini bertalian erat dengan suatu organisasi produksi kapitalistis yang diidam-idamkan pengikutnya sebagai sesuatu yang ideal, kendatipun banyak orang menekankan pada pendekatan empirisnya yang mampu memecahkan segala persoalan. Oleh karena itu, banyak ahli ekonomi ortodoks mendekati masalah pembangunan itu sebagai masalah mengorganisasi perekonomian dengan suatu cara yang sangat mirip dengan sistem bebas berusaha (free-enterprise) yang "terkendali". Selain itu, juga memberikan ciri khas kepada mereka yang bekerja di dalam sistem itu seperti pekerja-pekerja, para manajer, dan para pengusaha di dalam perekonomian industri. Tentunya banyak ahli ekonomi ortodoks mengakui adanya perbedaan antara masalah pembangunan negara-negara nonindustri yang sekarang sedang berkembang dan pola-pola perkembangan negara-
is
negara industri pada masa seratus tahun yang silam. Kendatipun demikian, di dalam teori ortodoks itu terdapat garis lurus dan kesinambungan perubahan: perkembangan adalah suatu proses yang garisnya lurus dan berlanjut serta jalannya naik terus. Ini berarti pula suatu pendekatan historis terhadap perubahan ekonomi dan melihat masalah-masalah yang timbul di negara-negara berpenghasilan rendah pada masa kini sebagai suatu kekurangan dan ketcrtinggalan yang membuat negara-negara berpenghasilan tinggi semakin kaya. Selanjutnya, proses produksi dalam teori ini merupakan suatu proses, yakni tiap pribadi berpartisipasi dalam kedudukan yang sama derajatnya dan tiap pribadi itu mempunyai pilihan bebas, meskipun ada beberapa yang lebih pandai dan mempunyai motivasi lebih besar daripada yang lainnya. Pada dasarnya teori ortodoks itu bebas dari pertentangan antara golongan yang menyatu dengannya karena kepentingan-kepentingan dan kemungkinan-kemungkinan pribadi orang-orang itu menguasai yang lebih besar pengaruhnya daripada hubungan kelompok. Sama pula halnya pandangan teori ini mengenai hubungan ekonomi di antara negaranegara kapitalis, lepas dari hubungan politik. Negara kaya dan miskin berniaga di dalam pasaran internasional sebagai rekan yang sama derajatnya dan pasaran itu dikuasai oleh harga barang dan jasa yang ditentukan secara objektif. Dalam konteks ini pandangan teori ortodoks mengenai penempatan tenaga kerja (employment) dan pengangguran bersumber pada konsepsi keseimbangan yang bersaingan dan produktivitas marginal: dalam keseimbangan persaingan, seorang buruh memperoleh upah yang sama dengan sumbangan marginalnya (marginal contribution) kepada produksi. Jika terjadi campur tangán dalam keseimbangan persaingan itu, baik dalam pasaran produknya maupun dalam pasaran tenaga kerjanya sendiri, sehingga mengubah harga faktor-faktor yang dimasukkan produksi, maka sebagai hafil campur tangán itu terjadilah pengangguran. Dengan kata lain, mereka yang ingin bekerja lebih banyak daripada lapangan pekerjaan yang tersedia dengan upah yang berlaku, karena upah lebih tinggi daripada produk marginal mereka yang menganggur. Dalam pola-pola perkembangan ortodoks yang mula-mula, para pekerja diperlakukan sebagai satu kesatuan hidup serba sama atau homogen. Oleh karena itu, para ahli ekonomi menganggap produk marginal seorang pekerja itu seolah-olah sama saja dengan
20
hasil kerja seseorang yang bekerja selama berjam-jam. Akan tetapi, dalam dua puluh tahun belakangan ini, perekonomian neo klasik telah memasukkan perbedaan keterampilan ke dalam gagasan kaum pekerja melalui teori modal manusia (human capital theory). Dalam teori modal manusia apa yang dibutuhkan dan disediakan dalam pasaran tenaga kerja, bukanlah tenaga kerja homogen alian tetapi karakteristik tenaga kerja. Teori modal manusia berpendapat bahwa kemampuan produksi para pekerja atau nilai pekerjaannya dalam struktur produksi ditentukan oleh jumlah yang mereka '"tanamkan" di dalam investasi-investasi modal manusia yang menghasilkan pendapatan. Di antara yang ditanamkan itu antara lain kesehatan yang lebih baik serta pendidikan dan pelatihan. Dengan demikian, konsepsinya terdapat pada keputusan dan pilihan yang dilakukan oleh setiap pekerja dalam hai penanaman kapasitas produksi. Selain itu, juga tergantung pada keputusan masing-masing majikan untuk memberi upah tertentu kepada mereka yang mempunyai kemampuan berbeda, yang digabungkan lagi dengan masukan lain dalam produksi dan harga-harga yang berlaku bagi berbagai kemampuan produksi. Dalam penjelasan dan cara memecahkan masalah pengangguran, perekonomian ortodoks menggunakan konsepsi kerja menurut jam-jam kerja serta modal manusia (karakteristik pekerja). Dalam hai keduanya, yakni pemakaian jam kerja dan modal manusia, teori itu berpendapat bahwa ada hukum-hukum umum yang berlaku sama bagi semua pribadi di dalam pasaran tenaga kerja, Jadi, apakah itu merupakan jam kerja (man-hour) atau pendidikan dalam setahun, mekanisme pasaran memperlakukan masukanmasukan itu secara sama di seluruh pasaran tenaga kerja di dalam ekonomi itu: telah menjadi asumsi bahwa dalam satu keseimbangan persaingan, maka pasaran untuk jam kerja (man-hours of work) atau bagi berbagai investasi dalam keterampilan akan menjadi "cerah"; jika tidak demikian paling tidak dapat dikatakan bahwa pasaran itu tidak dalam keadaan keseimbangan persaingan, pada distorsi-distorsi. Jika berbagai distorsi itu dapat düenyapkan, maka dapat dicapai penempatan tenaga kerja penuh (full-employment). Beberapa implikasi teori ortodoks untuk strategi penempatan tenaga kerja penuh akan menjadi jelas: pengangguran disebabkan adanya distorsi-distorsi di dalam perekonomian; lenyapkanlah dis21
torsi itu dan capailah penempatan tenaga kerja penuh. Kaitan antara pendidikan dan pengangguran menurut teori ortodoks dalam bentuk yang murni menyalahkan masalah pengangguran itu kepada orang-orang yang menganggur. Dalam hai ini, pengangguran yang terdapat dalam suatu perekonomian yang mengalami distorsi di dalam pasaran. Pengangguran itu, misalnya, disebabkan oleh campur tangán negara yang tidak wajar ke dalam sistem perekonomian, atau oleh adanya monopoli dalam produksi, yang semuanya di luar kemampuan masing-masing pekerja. Oleh sebab itu, tiap pegawai yang mempunyai kesanggupan akan dihadapkan pada suatu rentetan keputusan investasi modal manusia. Bila orangorang itu mengambil keputusan untuk investasi yang tepat, mereka akan masuk ke dalam barisan yang bekerja. Sebaliknya bilamana keputusan mereka itu salah, mereka akan masuk ke dalam barisan penganggur. Jadi, mereka yang tidak bekerja adalah yang tidak diinvestasikan dalam pasangan karakteristik yang "tepat". Dalam hai ini termasuk jumlah atau jenis pendidikan yang tepat, yang dapat memberikan kemungkinan besar untuk bekerja dengan upah yang berlaku, yang tentunya telah terkena akibat distorsi itu. Tentu saja model itu tidak mëmperlakukan sasaran pekerja semata-mata dalam ukuran kemungkinan dipekerjakan, karena orang-orang itu juga tidak semata-mata mementingkan memperoleh pekerjaan, akan tetapi juga memperhatikan kepastian bekerja dan penghasilan (upah) yang bisa diharapkan. Ada orang-orang yang mungkin lebih menyukai bekerja di bidang kesenian, misalnya sandiwara, meskipun kemungkinan adanya pengangguran sangat besar. Akan tetapi, pekerjaan semacam ini mempunyai harapan besar untuk memperoleh penghasilan tinggi. Selain itu, ada pula pekerjaan berpenghasilan rendah yang disukai orang, karena besar kemungkinannya untuk bekerja secara terus-menerus (misalnya mengajar di sekolah-sekolah dasar). Walaupun demikian, dalam model ortodoks orang-orang yang kurang berpendidikan lebih banyak menganggur jika dibandingkan dengan orang-orang yang lebih berpendidikan, karena mereka tidak mempunyai pasangan karakteristik yang cocok untuk bekerja dalam kondisi-kondisi perekonomian tertentu. Cara pemecahan masalah ini ialah dengan memperbaiki distorsi-distorsi dalam perekonomian yang telah mengakibatkan terciptanya pengangguran. Selain itu, dengan membekali buruh dengan pasangan karakteristik, termasuk kuantitas dan jenis
22
pendidikan, dapat memperbesar kemungkinan mereka memperoleh pekerjaan, atau dengan menerapkan kedua cara perbaikan tersebut secara bersama-sama. Kami memperoleh sebagian besar pemikiran ini dari beberapa laporan (yang baru-baru ini) mengenai pengangguran. Diawali dengan karya War on Poverty (Perang Melawan Kemiskinan) di USA sepuluh tahun yang lalu, dalam usaha mengumpulkan sejumlah uang untuk biaya pendidikan dan pelatihan bagi para penganggur muda (Levin, 1976, analisisnya yang sangat baik mengenai kegagalan teori ortodoks untuk mengurangi pengangguran dalam kurun waktu itu), dan sekarang mencapai puncaknya dalam serentetan laporan dari ILO. Adapun pemecahan masalah dari "jenis" ini telah disarankan, misalnya (Blaug, 1973: 5 - 6 yang meringkaskan laporan ILO Columbia): ... nilai tukar uang yang terlalu tinggi, dikaitkan dengan suatu sistem jatah impor dan tingkat bunga yang disubsidi, telah menurunkan harga modal. Sedangkan suatu perundang-undangan perburuhan yang rumit telah menaikkan upah buruh sebenarnya bagi majikan. Serupa dengan itu ... kemampuan pertanian untuk menyerap lagi tambahan orangorang untuk dipekerjakan telah tertahan oleh kegagalan usaha dalam mendobrak pemilikan tanah secara besar-besaran dan memajukan pertanian keluarga. Akhirnya yang sangat kontroversial ialah pernyataan tegas laporan ILO Columbia yang ternyata sangat diragukan bahwa ada hubungan langsung antara masalah penempatan tenaga kerja (employment problem) dan penyebaran penghasilan yang sangat tidak merata yang menandai karakteristik negara Columbia yang hampir sama dengan semua negara berkembang.
Setelah Blaug mengeritik konsepsi laporan ILO tentang "ketidakcocokan" antara harapan para lulusan sekolah yang dihasilkan oleh sistem pendidikan tradisional di satu pihak dan kesempatan kerja yang disediakan oleh pasaran tenaga kerja. Blaug berpendapat bahwa masalah pengangguran orang-orang berpendidikan sebenarnya terletak pada struktur upah di dalam perekonomian : upah orang-orang yang berpendidikan ditetapkan terlalu tinggi oleh birokrasi pemerintahan (hai ini disebabkan mereka tidak menjadi bagian dari perekonomian pertukaran yang berusaha memperoleh keuntungan semaksimal mungkin, sehingga tidak menentukan upah yang sama dengan produk marginal). Suatu "struktur upah yang terkena distorsi "secara serentak mengakibatkan" investasi terlalu banyak" di dalam pendidikan dan pengangguran orang-orang yang berpendidikan. 23
Derivan demikian, distorsi-distorsi itu menciptakan pengangguran. Sehubungan dengan hai ini, ada kesepakatan. Di samping itu, tampaknya ada perbedaan yang sangat besar dalam teori ortodoks, mengenai alasan-alasan yang mendorong setiap pribadi mengambil cara-cara investasi yang mungkin mempertahankan atau lebih mempertinggi kemungkinan mereka untuk bekerja. Di satu pihak, laporan I L O itu menunjukkan bahwa ada Iembagalembaga yang menyebabkan distorsi (sekolah-sekolah negeri) yang mcmbuat suatu produk tidak cocok sebagai masukan dalam suatu proses produksi kapitalis modern. Di lain pihak, Blaug berpendapat bahwa pribadi-pribadi itu di dalam investasinya tidak tersesat (memang mereka membayangkan upah yang mereka harapkan itu semaksimal mungkin), namun dengan upah yang berlaku, sistem itu tidak mempekerjakan semua orang yang menginginkan pekerjaan dengan upah tinggi. Alasan lain yang diberikan sebagai penyebab kesalahan investasi adalah sebagai berikut. (a) Sistem informasi yang tidak efisien menyebabkan para anak didik tidak mengetahui jenis pekerjaan yang tersedia, sehingga mereka mudah melakukan kesalahan investasi dalam keterampilan ; (b) Ketidakseimbangan atau penyesuaian di dalam perekonomian, karena adanya jenis-jenis baru di bidang teknologi menyebabkan sekelompok besar pekerja meninggalkan pekerjaannya karena mereka tidak terlatih untuk melakukan jenis pekerjaan baru itu. Kedua penyebab tersebut dikatakan positif, walaupun tanpa bukti memoiokkan para anak didik ke dalam posisi penilaian tidak betul atas kemampuan atau keterampilan tertentu yang mereka miliki. Begitu melakukan investasi itu, si anak didik merasa tidak mempunyai pekerjaan, atau dalam hai kedua, dia mendapatkan pekerjaan, akan tetapi beberapa tahun kemudian diberhentikan dari pekerjaannya. Hai ini disebabkan jenis pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya telah menjadi usang 1 ). 1. Dalam masa Revolusi Industri di Inggris, misalnya, pekerjaan pertukangan digeser setiap sepuluh tahun dan untuk memenuhi permintaan tumbuhlah dengan pesat kelas-kelas buruh terampil baru, misalnya tukang-tukang mesin. Keterampilan ini kemudian menurun sebagai pertukangan dan pada gilirannya diganti oleh buruh dengan keterampilan yang lebih baru lagi (Thompson, 1963).
24
fierdasarkan análisis im sebab-sebab terjadinya pengangguran dan menurut asumsi teori ekonomi ortodoks mengenai pasaran tenaga kerja yang berkesinambungan, bertambahnya suplai tenaga kerja yang berpendidikan akan diserap oleh pasaran tenaga kerja itu, jika upah buruh berpendidikan jatuh dibandingkan dengan upah buruh yang kurang berpendidikan. Jadi, kebijakan yang diambil untuk menekan jumlah penganggur berpendidikan ialah dengan menurunkan upah buruh yang berpendidikan, terutama di sektor umum dan sektor pemerintahan yang selama ini upahnya tinggi. Jika hai ini tidak dapat memperbaiki masalah penempatan tenaga kerja karena "kekakuan-kekakuan" di dalam pasaran tenaga kerja, maka efek jangka panjangnya dari penurunan upah akan menyebabkan turunnya suplai tenaga kerja berpendidikan karena hasil investasi dalam pendidikan menurun2). Sama halnya jika meninggikan biaya pendidikan seseorang dengan membebaninya a tau Keluarganya sebagian biaya dari keseluruhan biaya pendidikan yang dinaikkan. Hai ini cenderung untuk menurunkan suplai tenaga kerja berpendidikan dibandingkan dengan permintaannya. Namun, bagaimanakah halnya dengan hubungan antara penambahan pendidikan dan pengangguran dalam keseluruhannya? Apakah teori ortodoks membcrikan petunjuk tentang adanya kaitan antara peningkatan pendidikan kalangan tenaga kerja di satu pihak dan penempatan tenaga kerja (employment) di lain pihak? Teori ortodoks hanya memberikan sedikit adanya rekomendasi kebijakan itu. Di satu pihak mereka yang berpendidikan tampaknya mempunyai kemungkinan lebih besar untuk memperoleh pekerjaan daripada mereka yang kurang berpendidikan, terutama jika orangorang yang bekerja di daerah pedesaan dikecualikan dari análisis ini. Namun, hai ini tidak perlu diartikan (walaupun banyak perencana menginterpretasikan data-datanya (demikian) bahwa dengan meningkatnya tingkat rata-rata pendidikan akan mengurangi angka pengangguran menjadi lebih rendah. Dengan meningkatnya jumlah orang-orang yang lebih baik pendidikannya dibandingkan dengan pekerjaan tingkat tinggi yang tersedia, maka nilai pendidikan yang lebih tinggi itu dalam kaitannya dengan penempatan tenaga kerja penuh (full-employment) akan menurun; teori ortodoks 2. Tampaknya hai ini telah terjadi di Turki dalam tahun-tahun 1930-an dan 1940-an pada waktu pemerintah menurunkan gaji mereka yang berpendidikan lebih tinggi (Ozelli, 1968).
25
meramalkan hasil macam itu. Kendatipun terjadi penurunan nilai pendidikan, namun teori ini mcngatakan bahwa investasi yang diperbanyak di bidang pendidikan akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan seterusnya meningkatkan jumlah pekerjaan yang tersedia bagi tiap orang 1 ). Walaupun tanpa bukti, penggabungan antara penurunan tingkat kelahiran dan meningkatnya pendidikan rata-rata kaum wanita merupakan alasan satu-satunya dari teori ortodoks yang menunjang meningkatnya penempatan tenaga kerja dalam keseluruhannya (overall employment) sebagai hasil pendidikan di kalangan tenaga kerja yang ditingkatkan. Ironisnya dalam alasan itu, pengangguran orang-orang berpendidikan mungkin akan bertambah, sedangkan tingkat pengangguran dalam keseluruhannya menurun. Hal ini banyak tergantung pada pola investasi di dalam pendidikan. Jika tingkat rata-rata pendidikan di kalangan tenaga kerja ditingkatkan dengan investasi yang hebat di dalam pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dtngan tingkat lainnya, maka análisis ortodoks akan meramalkan bahwa pengangguran di antara orang-orang berpendidikan tinggi cenderung terjadi daripada bila tingkat pendidikan dasar dan menengah ditingkatkan dengan investasi yang relatif besar. Semua ini tampaknya menunjukkan adanya hubungan positif antara pendidikan yang ditingkatkan dan penempatan tenaga kerja dalam keseluruhannya. Namun, peningkatan pendidikan menurut teori ortodoks mungkin memproduksi suatu kenaikan dalam tingkat penempatan tenaga kerja (karena efek pertumbuhan dan tingkat kelahiran) dengan menambah pengangguran terbuka: Peningkatan pendidikan di lingkungan pedesaan mungkin meningkatkan perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan. (Todaro menerjemahkan setengah pengangguran di lingkungan pedesaan menjadi pengangguran terbuka di daerah perkotaan). Sekali lagi, pemecahan masalah yang disarankan oleh teori ortodoks berada dalam usaha melenyapkan "distorsi-distorsi" yang membuat perbedaan upah terus-menerus di antara para pekerja di daerah perkotaan dan pedesaan (pinggiran?) dan para pegawai pemerintah. Dengan membetulkan nilai tukar uang, menurunkan tarif-tarif pelindung industri, menarik kembali persetujuan-persetujuan kolektif dari serikat-serikat pekerja, maka tingkat upah di daerah perkotaan akan menurun dibandingkan dengan upah di lingkungan 1. Lihat Carnoy, 1977 dan Hallak, 1974 untuk ringkasan alasan-alasan tersebut.
26
pedesaan (pertanian). Dan hai ini selanjutnya dapat menahan arus perpindahan penduduk ke kota dan menurunkan tingkat peangguran terbuka. Dengan meninjau kembali ramalan-ramalan teori ortodoks dan pemecahan masalah yang disarankannya, maka hanya timbul sedikit keraguan, bahwa análisis teori itu mengandung kebenaran. Misalnya, mungkin saja dengan bertambahnya jumlah lulusan pendidikan tinggi akan menekan upah mereka dan akan meningkatkan kemungkinan mereka menjadi penganggur: menurunkan upah pegawai pemerintah yang berpendidikan tinggi, seperti yang dikemukakan oleh Blaug, mungkin akan mengurangi tekanan terhadap beberapa perguruan tinggi dan cenderung untuk mengurangi pcngangguran lulusannya: memberikan penyuluhan yang lebih baik di sekolah-sekolah mungkin saja dapat mengurangi waktu menunggu untuk mendapatkan pekerjaan, jika anak didik itu meninggalkan sekolah; dan menurunkan upah buruh akan dapat memperbesar kemungkinan orang memperoleh pekerjaan. Mengurangi subsidi kepada modal (tingkat bunga rendah, tarif-tarif pelindung, nilai tukar uang yang pro-modal dapat juga memperlambat penggunaan teknologi yang intensif modal dan sebaliknya dapat meningkatkan perkembangan tenaga kerja, dan kemudian teknologi yang menciptakan lapangan kerja (ILO, 1971). Sekalipun semuanya itu secara análisis betul dan kebijakankebijakan yang disarankan itu membantu menurunkan pengangguran, namun ada dua kesulitan dalam anjuran teori ortodoks itu. Pertama, muncul pertanyaan, apakah pemecahan masalah yang disarankan itu, seperti mengusahakan adanya keserasian yang lebih baik antara kurikulum dan kesempatan kerja dapat berbuat lebih, tidak hanya menurunkan pengangguran dan pengangguran orangorang terdidik yang relatif sedikit, tetapi juga dalam jangka panjang ; dengan menghabiskan energi dan sumber-sumber daya dalam melaksanakan pemecahan masalah tersebut bisa jadi menjadi jalan yang penuh kekecewaan yang hams ditempuh oleh para perencana. Kedua, yang lebih penting, kesemua konsepsi itu untuk menghilangkan distorsi-distorsi di dalam perekonomian dan pasaran tenaga kerja sebagai dasar untuk memecahkan masalah pengangguran serta menghindari masalah yang lebih besar, yaitu mengapa ada yang disebut distorsi? Mengetengahkan — seperti dilakukan dalam laporan ILO — suatu penyebaran penghasilan yang lebih merata 27
mungkin dapat meningkatkan penempatan tenaga kerja (employment), yaitu dengan cara mengubah pola konsumsi ke arah penggunaan tenaga kerja (Blaug, 1973 : 6) atau dengan mengubah pola daftar harga (semua tarif), nilai tukar uang ataupun undangundang perburuhan, akan meningkatkan penempatan tenaga kerja. Selain itu, suatu kebijakan menurunkan gaji para birokrat pemerintahan yang berpendidikan tinggi (universitas) akan mengurangi rangsangan untuk mengikuti pendidikan universitas, dan sebagainya, yang tidak berarti memecahkan masalah pengangguran dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan tersebut. Perekonomian ortodoks itu memang tampaknya menghindari implikasi-implikasi politik dari "distorsi-distorsi" itu, namun di samping itu perekonomian ortodoks mempunyai pandangan istimewa mengenai peran negara dalam perkembangan kapitalis : pandangan ini yang dikembangkan oleh Sohumpeter (1951), mengatakan bahwa birokrasi pemerintahan bertindak hampir semuanya untuk maksud-maksud sendiri (birokrasi), yang dengan efisien menghambat jalannya sistem bebas berusaha yang netral secara politis. Tariftarif, nilai tukar uang, perundang-undangan perburuhan, dan sebagainya muncul dari suatu birokrasi pemerintahan. Sebagai birokrasi, pemerintah ikut campur tangán sesuai dengan interpretasinya sendiri yang otonom mengenai keperluan-keperluan sosial yang dirasakan sesuai dan perlu oleh pimpinannya agar dapat lolos dalam kehidupan politis. Jadi, korelasi berbagai distorsi itu ada di tangán para perencana dan para politikus yang berpikiran jauh ke depan; atau di dalam model yang paling ortodoks adalah penghapusan campur tangán pemerintah dari pasaran. Oleh karena itu, berbagai distorsi itu merupakan kesalahan yang dapat dibetulkan jika pemerintah cepat tanggap dan cepat mengambil keputusan untuk melakukan perbaikan. Pengangguran dan pengangguran orang-orang berpendidikan merupakan akibat dari kesalahan-kesalahan itu; selanjutnya setiap jenis pengangguran dinilai sebagai suatu hai yang tidak efisien, yang disebabkan oleh campur tangán pemerintah yang tidak efisien di dalam perekonomian bebas berusaha yang sebetulnya efisien. Di samping itu, perekonomian ortodoks berasumsi bahwa adanya distorsi karena tiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendekati negara; para buruh dan majikan di dalam perekonomian kapitalis merupakan unsur-unsur yang sederajat peran sertanya dalam proses politik dan ekonomi. Itulah sebabnya konsep sumber harga murni dari perubahan tek28
nologi dan pengangguran, serta asumsi penting bahwa nilai modal dan pekerja akan sama dengan suatu keseimbangan harga yang netral. Keseimbangan harga ini didasarkan pada peringkat masukan produktivitas marginal yang objektif, dan masukan itu sendiri berdasarkan barga barang. 2.2 Beberapa teori dualistik pasaran tenaga kerja Salah satu di antara sekian banyak teori yang menentang pendapat teori neo klasik mengenai masalah pembangunan ialah konsepsi ekonomi dualistik (Boeke, 1953; Higgins, 1959; Myint, 1964). Aliran Dualistik mengemukakan bahwa hambatan yang terdapat di dalam pembangunan menyebabkan adanya hal-hal yang tidak lurus (non-linear). Ada bagian-bagian ekonomi yang dikembangkan dan ada yang tidak, dan hai ini bukan semata-mata karena adanya sumber-sumber daya di satu sektor dan tidak adanya faktor ini di bagian lain. Hal ini terutama disebabkan oleh sifat tenaga kerja atau sifat yang mengorganisasi produksi di suatu sektor memang berlainan dengan yang melakukan itu di bagian lain. Akibatnya, perubahan sektor yang ketinggalan menjadi lebih sukar daripada yang dikatakan oleh teori neo klasik. Pada mulanya dualisme itu dilihat sebagai masalah kebudayaan: di dalam sektor produksi "modern" atau yang berada di bawah kekuasaan produksi Eropa, responsi para pekerja terhadap rangsangan-rangsangan upah sama seperti halnya di negara-negara industri. Demudan pula pasaran tenaga kerjanya seperti halnya pasaran tenaga kerja Eropa. Akan tetapi, di dalam sektor "tradisional" para individu tidak dijejali dengan etik kapitalis dalam hai penimbunan dan persaingan. Oleh karena itu, mereka bekerja hanya untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan ekonominya. Upah yang lebih tinggi di sektor tradisional, menurut teori ini hanya mengakibatkan berkurangnya pekerjaan orang-orang pribumi. Adanya setengah pengangguran (underemployment) di daerahdaerah pedesaan adalah akibat dari tiap-tiap orang tidak bekerja lebih keras. Hai ini bisa dimengerti karena mereka telah memperoleh semua yang dibutuhkan dalam pola budaya kehidupan, sehingga bekerja penggal waktu pun bukan lagi masalah bagi mereka. Dalam hai ini, pengangguran terbuka merupakan rekacipta sektor-sektor kapitalis modern, karena dalam masyarakat pedesaan tradisional pekerjaan yang tersedia dipikul oleh semua anggota 29 DPP-25 (4)
masyarakat itu, scdangkan yang tidak bisa bekerja diurus oleh mereka yang ikut serta bekerja. Masalah yang perlu dibahas sampai ke hal-hal yang paling kecil mengenai sebab-sebab pengangguran dan perbedaan-perbedaan upah di daerah perkotaan dan pedesaan adalah versi teknik perekonomian dualistik itu. Sektor modern dalam versi itu memberikan upah yang relatif tinggi dan menggunakan teknologi modern. Akan tetapi, yang dipekerjakan di sektor modern hanya sebagian atau sejumlah kecü dari seluruh tenaga kerja. Kebanyakan dari tenaga kerja yang ada adalah di sektor pertanian atau di bidang produksi jasa yang upahnya rendah, dengan upah yang sekedar cukup untuk menyambung hidup. Pada sektor ini masih digunakan teknologi yang sederhana serta banyak menyerap tenaga kerja. Adapun inti teknologi dualistik (teknologi yang berdwirangkap) terletak pada teknologi yang digunakan dalam kedua sektor itu: teknologi intensif modal (yang diimpor dari Eropa) di sektor modern yang memperkerjakan buruh dalam jumlah relatif sedikit dibanding dengan modal yang ditanam, dan teknologi intensif tenaga kerja di sektor tradisional. Tenaga kerja tradisional yang bisa masuk ke dalam sektor modern sangat terbatas: investasi yang ditinggikan di sektor modern, sedikit sekali membuka kesempatan kerja baru. Bersamaan dengan itu, investasi dan tabungan di sektor tradisional terhalangi, karena keadaan tenaga kerja di sektor ini bersifat sekedar untuk menyambung hidup dan pertumbuhan penduduknya berjalan menurut teori Maldius. Teknologi yang dualistis secara tidak langsung telah mengakibatkan satu model "persaingan pekerjaan" pasaran tenaga kerja (Thurow dan Lucas, 1972). Menurut model itu "produktivitas" adalah suatu lambang pekerjaan, dan bukan merupakan lambang orang. Berbagai pekerjaan yang dilakukan oleh para pekerja dengan menggunakan peralatan modern mendatangkan hasil yang sangat produktif, dan orang-orang antre untuk mendapatkan pekerjaan yang demikian. Sekali buruh itu dipekerjakan, keterampilan kognitif yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitasnya sampai ke tingkat produktivitas pekerjaan, diperolehnya melalui program pendidikan formal dan nonformal. Patokan yang digunakan majikan dalam memilih pegawai baru ialah dengan menguji calon-calon pegawai itu, dapat dilatih atau tidak. Calon pegawai yang mempunyai ciri-ciri latar belakang, seperti kebangsaan, jenis 30
kelamin, pendidikan, usia, test psikologi, dan pengalaman yang menurut sang majikan meringankan biaya-biaya latihan akan diterima di antara para pencan pekerjaan dan mendapat pekerjaan yang "paling baik". Teknologi yang dualistis dan model persaingan pekerjaan mengemukakan bahwa upah itu tidak merupakan suatu fungsi suplai tenaga kerja; adanya antrean pencari pekerjaan itu tidak menyebabkan jatuhnya upah, karena upah itu merupakan fungsi pekerjaan dan fungsi orang-orang. Sedangkan sifat dan bakat pekerjaan itu bukan fungsi teknologi yang berkaitan dengan pekerjaan itu. Pengangguran merupakan suatu fungsi pula dari investasi dalam modal fisik dan intensitas modal dari modal itu. Jadi, setengah pengangguran (underemployment) dan pengangguran sangat bergantung pada kemampuan sektor modem untuk menyerap tenaga kerja ke dalam pekerjaan modern yang penuh waktu (full time). Dalam model ini, pendidikan memainkan peran ganda. Pada satu pihak tenaga kerja terdidik lebih bisa dilatih, dan karena itu berada di tingkat paling depan dari antrean pencari pekerjaan untuk memperoleh pekerjaan tetap yang ada hubungannya dengan sektor modern intensif modal. Di lain pihak, kenaikan tingkat rata-rata pendidikan sedikit pengaruhnya terhadap jumlah lapangan pekerjaan macam tersebut di atas, juga terhadap produktivitas pekerja dalam pekerjaan-pekerjaan modern (modern jobs). Hal ini disebabkan lowongan kerja atau kemampuan penempatan tenaga kerja dalam sektor modern banyak bergantung pada investasi modal dan teknologi yang kebanyakan dari luar negeri. Bukan sebaliknya, yakni dari pendidikan tenaga kerja yang dipekerjakan. Demikian pula, produktivitas itu adalah suatu fungsi dari pekerjaan itu dan bukan dari sifat-sifat pekerja. Kemudian, pendidikan itu mempunyai akibat yang bersifat berpencar dan terbagi-bagi (siapa saja yang akan memperoleh pekerjaan dan siapa yang tidak). Namun, pendidikan tidak menaikkan pertumbuhan (terkecuali dengan menurunkan biaya pendidikan, yang hai ini masih merupakan kemungkinan) ataupun memperbesar kemungkinan untuk mendapat pekerjaan di sektor modern. Variabel-variabel itu ditentukan öleh hal-hal di luar pendidikan, biasanya oleh teknologi asing dan investasi dari luar negeri. Selanjutnya, dalam model persaingan pekerjaan itu penambahan jumlah tenaga kerja berpendidikan tidak mempengaruhi 31
tingkat upah para pekerja berpendidikan. Dalam teori ortodoks upah-upah yang kaku dan pengangguran (kegagalan pasaran untuk menekan upah dan membersihkan pasaran bagi tenaga kerja) hams diterangkan dalam hubungan campur tangán pihak pemerintah yang membuat perundang-undangan perburuhan untuk menetapkan upah paling rendah dan mengesahkan serikat pekerja yang mempunyai hak tawar-menawar kolektif (colletive bargaining rights). Hal ini dianggap sebagai distorsi-distorsi eksternal di dalam pasaran tenaga kerja. Akan tetapi, model persaingan pekerjaan itu memandang upah yang kaku itu sebagai satu cara para kapitalis mengelola pasaran tenaga kerja: mereka mengaitkan upah tertentu dengan teknologi tertentu atau ciri-ciri pekerjaan, sehingga sang majikan terikat untuk membayar sejumlah upah agar suatu pekerjaan diselesaikan dan untuk menentukan jumlah orang yang liendak dipekerjakan. Pada gilirannya, teknologi yang dipilih untuk membuat suatu produk khas, terutama ditentukan oleh teknologi yang digunakan negara-negara industri maju, karena teknologi itulah yang dikenal para kapitalis dan para teknisinya. Oleh karena itu, pengangguran merupakan suatu fungsi dari keputusan para kapitalis, dan bukan fungsi keputusan pemerintah yang dipengaruhi pekerja. Selain itu, perubahan ciri-ciri keterampilan tenaga kerja tidak akan dapat berbuat banyak untuk mengubah struktur upah atau untuk mengubah jumlah orang yang dipekerjakan di sektor modern. Adanya birokrasi yang besar di samping sektor kapitalis modern kecil di kebanyakan negara berpenghasilan rendah — birokrasi yang mempekerjakan sebagian besar tenaga kerja berpendidikan -— membuat model persaingan pekerjaan atau kedwirangkapan menjadi rumit: bagaimanakah cara menentukan struktur upah di dalam birokrasi itu? Apakah pernah ada "teknologi" birokrasi yang diimpor yang dapat mencegah jatuhnya upah di sektor pemerintahan? Sedikitnya ada kebenaran bahwa struktur upah di dalam dan teknologi birokrasi pemerintahan di banyak negara diwarisi dari penguasa-penguasa kolonial dan dengan demikian merupakan sektor modern yang diimpor. Jadi, di samping kemungkinan pendapat Blaug itu benar bahwa struktur upah yang demikian itu di sektor pemerintahan untuk sebagian besar harus dicari kesalahannya pada suplai tenaga kerja terdidik yang terlalu banyak; kemungkinan lain bahwa struktur upah macam itu tidak bebas dari suatu organisasi tertentu yang memproduksi barang-barang dan jasa-jasa; merekomendasi perubahan upah yang berbeda-beda di sektor pemerintah32
an mungkin mengikutsertakan perubahan teknologi yang digunakan untuk memproduksi jasa-jasa pemerintahan, dan juga untuk memproduksi barang-barang industri. 2.3 Beberapa tcori radikal ten tang produksi dan perpangsaan pasaran tenaga kerja Berlainan dengan teori ortodoks dan teori ekonomi dualistik, teori ekonomi radikal berasumsi bahwa hubungan sosial dasar dengan produksi di bawah sistem kapitalisme bukan merupakan mekanisme harga ataupun teknologi, akan tetapi merupakan hubungan sang kapitalis dengan si pekerja, yang di dalam kondisi-kondisi modern terjelma dalam hubungan antara si pekerja dan si pengelola. Di samping adanya kepentingan sang pengelola untuk memelihara hubungan ini dalam bentuk kerja sama agar pekerja itu yakin dan mau berbuat sesuai dengan sasaran sang pengelola, maka menurut teori radikal hubungan antara pekerja dan si pengelola itu pada dasarnya berlawanan satu sama lain dan berpangkal pada pertentangan antara majikan dan pekerja mengenai surplus produksi. Kebalikan dari teori ekonomi ortodoks, maka teori radikal ini mempunyai riwayat jelas dan memusatkan perhatiannya pada sifat historis dari perjuangan kaum pekerja melawan pemilik dan pengelola modal. Selain itu, jika pemilik dan pengelola modal itu bukan orang-orang pri'bumi, tetapi orang-orang asing, maka teori radikal itu meliputi sejarah perjuangan antara modal asing (yang didukung oleh berbagai organisasi militer) buruh, dan petani. Jadi, perkembangan itu adalah suatu proses sejarah yang tidak bergaris lurus (non-linear), yang dialektik dan berakar pada pertikaian kelas dan berusaha mengubah sifat lembaga-Iembaga ekonomi dan sosial yang menganakemaskan satu kelas di atas kelas lainnya. Model perpangsaan pasaran tenaga kerja yang membatasi radikal ialah suatu model kekuatan sistematis yang membatasi pilihanpilihan yang tersedia bagi berbagai gugusan di barisan tenaga kerja. Unit utama dari análisis tidak merupakan pribadi dan bebas memilih, akan tetapi lebih merupakan golongan atau kelas-kelas yang menghadapi berbagai situasi pasaran tenaga kerja secara objektif, yang mematangkan selera golongan atau kelas-kelas itu secara sistematis. Selain itu, juga membatasi ruang lingkup pilihan mereka yang efektif. Perilaku golongan atau kelas-kelas ini kemudian mematangkan perkembangan teknologi dan struktur pekerjaän yang 33
berikutnya. Teori ortodoks memerincikan parameter-parameter kelembagaan dan kemudian menganalisis keseimbangan yang dihasilkan dari berbagai pilihan tiap-tiap orang. Mereka berusaha memperoleh penghasilan semaksimal mungkin dalam parameter-parameter tersebut. Berbagai teori perpangsaan mencoba menerangkan perkembangan lembaga sebagai hasil interaksi tiap-tiap pribadi, yang secara objektif mempunyai kepentingan berlainan; kepentingankepentingan yang ditentukan oleh perkembangan lembaga-lembaga yang terlebih dulu berlangsung. Oleh karena itu, teori perpangsaan pasaran tenaga kerja mencoba menyangkal beberapa asumsi teori ortodoks bàhwa majikan yang senantiasa berusaha memperoleh keuntungan semaksimal mungkin itu menilai para pekerjanya menurut karakternya. Di samping itu, semua pekerja mempunyai jangkauan luas dalam pilihannya di antara sekian banyak pekerjaan dan di antara aneka ragam bentuk pendidikan. Teori perpangsaan pasaran tenaga kerja mengatakan bahwa pasaran tenaga kerja itu terpecah menjadi kelompok-kelompok yang keras hati, gigih, yang bisa dikenal dari karakter kelompok yang agak permanen. Mereka yang termasuk dalam salah satu kelompok itu mempunyai pola-pola kehidupan kerja yang berlainan, yang timbul bukan dari pilihan pribadi atau dari evaluasi pribadi majikan, akan tetapi sebagian besar dari struktur pasaran tenaga kerja untuk seperangkat pekerjaan tertentu. Jika di dalam pasaran tenaga kerja itu ada ciri-ciri khas perpangsaan, yang setiap pangsa, pada gilirannya memperoleh imbalan yang berlainan (baik mengenai upah ataupun kepastian bekerja) bukan karena perbedaan produktivitas marginal, tetapi karena dasar-dasar politile dan sosial, maka pola penempatan tenaga kerja (employment) tidak akan terpengaruh, oleh perubahan-perubahan dalam struktur ekonomi atau perubahan dalam penyebaran dan tingkat pendidikan serta oleh karateristik pribadi. Misalnya, perkembangan sektor modern dibanding dengan sektor tradisional. Terkecuali jika perubahan perubahan itu mempengaruhi kekuasaan politik dari berbagai pangsa, terutama kesanggupan pekerja dalam tiap pangsa tersebut untuk meningkatkan kepastian kerja selama hidupnya dibandingkan dengan para pekerja dalam pangsa lainnya. Karena itu masalah penempatan tenaga kerja — pengangguran setengah pengangguran — menurut teori radikal, mula-mula bukanlah masalah teknologi (pertumbuhan ekonomi) dan bukanlah
34
masalah ciri khas manusia dari pekerja, meskipun hai itu merupakan variabel-variabel penting. Hal itu terutama merupakan masalah politik yang bergantung pada kekuasaan politik yang dimiliki organisasi-organisasi pekerja yang berhubungan dengan para pemilik modal dan para manajer. Model perpangsaan pasaran tenaga kerja mengemukakan bahwa suatu kebijakan untuk mencapai kondisi, yakni semua orang dapat memperoleh pekerjaan memerlukan syarat sebagai berikut. Semua pekerja harus memenangkan kekuasaan politik dengan mengorbankan para pemilik modal. Hal ini dilakukan agar mereka dapat mengubah praktek-praktek menerima orang menjadi pekerja dan mengubah hak-hak istimewa pimpinan perusahaan dalam soal melepas dan menerima pegawai serta dalam masalah penerapan jenis-jenis teknologi untuk memproduksi barang-barang. Demikianlah análisis historis teori-teori perpangsaan mengemukakan bahwa perpangsaan itu adalah hasil dari makin terbaginya tenaga kerja (memisahkan satu kelompok dari kelompok lainnya), sehingga para pekerja itu akan bersaing satu sama lain untuk memperoleh kepastian bekerja dan untuk mendapatkan sebagaian dari kue upah itu. Mereka bukannya bersatu padu dengan rekan-rekan lainnya untuk mencapai suatu kebijakan yang menginginkan semua pekerja dapat bekerja dan untuk meningkatkan upah yang berkaitan dengan hasil modal1). Teori perpangsaan juga tidak sependapat secara mutlak dengan model persaingan pekerjaan mengenai masalah suplai tenaga kerja yang mempengaruhi tingkat upah dan produktivitas. Menurut análisis radikal, upah buruh yang tetap rendah serta dapat meningkatnya produktivitas, disebabkan adanya berisan cadangan penganggur (suatu antrean). Adanya pengangguran di dalam perekonomian pada semua tingkat keterampilan merupakan kepentingan para kapitalis dan para manajernya, supaya dapat mengendalikan tuntutan-tuntutan buruh dan mengadudomba berbagai golongan pekerja dalam perjuangannya untuk mendapatkan kepastian. bekerja dan pembagian upah. Pengangguran orang-orang ber1. Kiranya contoh terbaik dalam masa yang baru lalu dari proses demikian adalah yang ditanggulangi oleh pekerja yang terorganisasi di Swedia; di situ pekerja terorganisasi mengendalikan kekuasaan perundang-undangan dan lambat laun terus maju mempersempit hak-hak istimewa yang dipegang manajer dalam kaitannya dengan keputusan-keputusan mempekerjakan orang. Di samping itu, Swedia merupakan negara yang penganggurannya paling rendah di antara negara-negara industri kapitalis.
35
pendîdikan menurut teori ini, merupakan perpanjangan atau perluasan porsi pekerja di belakang meja yang sedang tumbuh pesât, metode yang digunakan oleh para majikan untuk mengendalikan angkatan kerja tidak terampil yang murah. Begitu para pekerja kantor dan teknisi mulai merasakan bahwa mereka itu bisa menuntut kondisi kerja yang berlainan dengan kondisi pekerja tidak terampil dan karyawan pabrik, maka jumlah lulusan pendidikan yang dilatih untuk melakukan pekerjaan kantor makin diperbanyak dibanding lapangan pekerjaan yang tersedia. Oleh karena itu, para teknisi dan calon birokrat tidak lagi mempunyai kepastian untuk, mendapatkan pekerjaan, bahkan mungkin tidak lagi mempunyaïl harapan untuk mendapatkan pekerjaan. Dalam keadaan demikian, kiranya tuntutan-tuntutan golongan pekerja itu dan kekuatan politiknya akan berkurang (Braverman, 1975, bab 15). Tanpa membahas bagian-bagian kecil dari model perpangsaan pasaran tenaga kerja, yang ditempat lain telah dipaparkan dalam garis besamya (Carter dan Carnoy, 1974) dapat diutarakan secara ringkas beberapa segi dari model-model tersebut. Pertama, semua bentuk yang berlainan dari perpangsaan itu mengakibatkan munculnya hipótesis yang perlu dibuktikan. Seperti diketahui dalam pasaran tenaga kerja itu ada beberapa jenis pekerjaan, yang masing-masing mempunyai kriteria yang jelas dalam prosedur penempatan tenaga kerja, misalnya dalam hai kenaikan pangkat pegawai, pengawasan pegawai dan tentang kondisi-kondisi pekerjaan, serta tingkat upah. Tiap tingkat upah itu berkaitan dengan golongan-golongan yang saling berbeda, biasanya dalam arti kata siapa saja yang dapat memegang pekerjaan tertcntu. Pangsa yang berbeda-beda itu dahulu disebut sebagai "pangsa yang terutama tidak tergantung pada siapa pun jua, yang merdeka" dan termasuk pekerjaan yang memerlukan tindakan kreatif serta prakarsa dari pihak pekerja yang disebut sebagai "pangsa lebih rendah pertama" termasuk pekerjaan yang memerlukan keseragaman terhadap norma-norma yang disyaratkan oleh pihak luar (kebalikan dari internalisasi norma-norma yang disyaratkan oleh pekerjaan yang bebas dari siapa pun jua) dan yang disebut sebagai "pangsa kedua" meliputi pekerjaan yang paling sedikit memerlukan pelatihan di tempat kerja, ditambah keterampilan yang dapat melayani perintah-perintah langsung yang sederliana. 36
Keterangan teoretìs yang utama dan perpangsaan ini ialah apa yang disebut sebagai bentuk "kontrol sosial". Rumusan yang paling jelas dari teori ini diberikan oleh Cordon, Reich dan Edwards (1973 dan 1975). Perbcdaan-perbedaan di antara pendapat mereka mengenai segmentasi dengan pendapat Piore (1973) kebanyakan berasal dari penolakan mereka terhadap asumsi Piore bahwa "produktivitas" itu pada pokoknya merupakan suatu hubungan teknis, yang ditentukan oleh jumlah dan jenis-jenis mesin yang tersedia. Menurut Gordon, Reich, dan Edwards "produktivitas" terutama berakar pada hubungan-hubungan sosial, bukan pada hubungan teknologi. Pada kenyataannya, perkembangan teknologi sendiri dipaksakan oleh kebutuhan untuk memproduksi ulang hubungan sosial produksi yang telah ada. Mereka yang penghasilan dan kedudukan sosialnya bergantung pada bisa atau tidaknya mempertahankan kekuasaan atas proses produksi, hanya akan berminat pada perundang-undangan teknologi yang dapat memperkuat penguasaan mereka atas produksi. Dalam versi radikal model perpangsaan pasaran tenaga kerja, identitas penghasilan produktivitas sebagian besar ditinggalkan, walaupun dalam pasaran tenaga kerja sekunder upah itu dinilai lebih erat bertalian dengan suplai dan permintaan atas tenaga kerja. Struktur upah dalam teori ini dijelaskan oleh adanya faktorfaktor yang berlainan, tergantung pada versi mana dari teori itu yang digunakan. Akan tetapi, di dalam semua versi, struktur upah itu dipengaruhi dan terutama dikuasai oleh beberapa faktor yang berubah-ubah dan tumbuh di dalam diri setiap individu: masalah seks, rasisme, adad istiadat, "metode memecah belah dan menaklukkan" yang dilakukan oleh majikan dalam organisasi produksinya, kekuasaan monopoli, sifat pasaran perusahaan bagi barang-barangnya, pertimbangan-pertimbangan status, dan pertahanan struktur kelas dalam menghadapi aturan yang mengutamakan hal-hal yang pantas dihargai. Semua itu adalah faktor-faktor tidak produktif, dan tidak manusiawi yang mempengaruhi struktur upah, balk yang berada di antara pangsa-pangsa pasaran tenaga kerja maupun di dalam pangsa-pangsa itu sendiri. Oleh karena itu, masalah struktur penempatan tenaga kerja di dalam teori perpangsaan pasaran tenaga kerja, berpindah dari faktor penganalisis yang mempengaruhi produktivitas ke análisis struktur institusional, dari upah dan penempatan tenaga kerja itu 37
sendiri, serta kekuatan sosial politik ekonomi yang mempengaruhi perubahan-perubahan dalam struktur itu. Teori ini secara tersirat menyatakan bahwa struktur penempatan tenaga kerja itu tidak ditentukan, apalagi harus terikat oleh distribusi produktivitas. Karena itu, korelasi pendidikan dan pengalaman dengan penempatan tenaga kerja tidak membuat pendidikan dan pengalaman menjadi suatu sumbangan bagi kemungkinan produktivitas yang lebih tinggi serta kemungkinan memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik. Kemudian pertalian antara ciri khas pekerja dan penempatan tenaga kerja tidak bersifat ekonomis (dalam arti menaikkan produksi), akan tetapi bersifat sosial-institusional. Teori perpangsaan maju selangkah lagi dengan mengatakan bahwa di dalam bagian-bagian pasaran tenaga kerja, seperti yang terdapat di bagian sekunder sifat pasarannya menyebabkan pengangguran lebih tinggi daripada yang terdapat di dalam pangsa primer yang lebih rendah tingkatnya dan pangsa primer yang bebas (primary subordinate and primary independent segments) (Harrison, 1972). Dengan kata lain, baik majikan maupun para pekerja sudah memperkirakan terlebih dahulu akan adanya pemberhentian pekerjaan secara besar-besaran yang sering terjadi dan akan ada sejumlah pekerjaan yang tidak ada kepastian kesinambungannya. Kemudian organisasi produksi dilaksanakan oleh para majikan dengan mengingatkan kemungkinan-kemungkinan itu. Begitu polapola macam ini melembaga, maka pekerja mulai menerima pengangguran sewaktu-waktu (periodic unemployment) sebagai pola hidupnya dan hai ini ikut menurunkan tuntutan-tuntutan politik mereka atas sistem itu. Tambahan lagi, hubungan antara pendidikan dan pengalaman di satu pihak dengan penempatan tenaga kerja di lain pihak (jumlah minggu kerja dalam setahun dan jumlah jam kerja dalam seminggu) mungkin bisa menjadi kurang penting di dalam pasaran tenaga kerja sekunder daripada di dalam pasaran tenaga kerja primer, meskipun pendidikan dan pengalaman bisa menentukan orang memperoleh pekerjaan penuh waktu (full time). Selanjutnya, implikasi análisis radikal untuk kebijakan penempatan tenaga kerja dalam beberapa segi berlawanan dengan teori ortodoks, yaitu sebagai berikut. 1. Menurut teori ortodoks pengangguran tenaga kerja tidak terampil merupakan akibat kurangnya pendidikan dan pelatihan (kurang persiapan untuk dipekerjakan) ; teori perpangsaan menya38
takan bahwa pengangguran tenaga kerja tidak terampil itu lebih banyak merupakan akibat pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan oleh mereka yang tidak terampil itu; pekerjaan-pekerjaan demikian melekat, sifatnya tidak stabil untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para kapitalis atau manajer. Jadi, meskipun dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan kepada mereka akan menambah kemungkinan mereka yang tidak terampil memperoleh kesempatan kerja. 2. Adanya pengangguran tenaga kerja tidak terampil dalam jumlah yang disebabkan urbanisasi (perpindahan penduduk dari pedesaan ke perkotaan) dan terbatasnya kemampuan daerah perkotaan untuk menyerap mereka, menurut teori perpangsaan, bukanlah hasil distorsi-distorsi di dalam sistem pasaran bebas, akan tetapi merupakan akibat dari kebijakan negara yang selaras dengan tekanan kaum kapitalis agar upah tetap rendah. Jadi, setiap usaha mengalihkan kebijakan agar semua pekerja memperoleh pekerjaan akan menemui perlawanan gigih dari pihak pemilik modal atau pengusaha, terkecuali dengan cara menekan upah pekerja sekunder ataupun pekerja yang memegang pekerjaan lebih rendah "statusnya" (primary subordinate workers). 3. Meskipun misalnya upah itu ditekan serendah-rendahnya, penempatan tenaga kerja penuh (full employment) menurut teori pasaran tenaga kerja radikal tidak akan tercapai sepenuhnya; teknologi yang berkembang pesat di sektor modern dan yang diimpor dari negara-negara industri berakibat para pekerja khawatir akan kehilangan pekerjaan. Memang para kapitalis lebih menyukai teknologi yang dapat mengurangi jumlah tenaga kerja, karena pekerja itu merupakan faktor tetap dalam persengketaan kelas dan mereka selalu bertentangan dengan tujuan kaum kapitalis. Jadi, meskipun upah itu sangat rendah, para penanam modal akan lebih menyukai teknologi yang mempekerjakan sedikit mungkin pekerja untuk tiap dolar yang ia tanamkan. Dengan demikian, kebijakan penempatan tenaga kerja menurut teori perpangsaan ini menitikberatkan pada sifat pasaran-pasaran tenaga kerja, bukan pada sifat khas pekerja di dalam pasaran itu. Jika orang-orang yang berpendidikan itu menganggur, misalnya, maka teori perpangsaan akan memusatkan perhatian pada menganalisis sifat pekerjaan yang berubah-ubah yang dikerjakan para 39
lulusan universitär dan lulusan sekolah menengah, bukan pada sifat pendidikan mereka atau pada ketidakcocokan antara pendidikan dan pekerjaan. Jika tingkat pengangguran di antara orang yang kurang pendidikannya lebíh tinggi daripada mereka yang lebih berpendidikan, maka análisis perpangsaan akan mengkaji perbedaanperbedaan sifat khas pekerjaan bagi tenaga kerja daripada sifat khas pekerja di dalam pekerjaan tersebut. Suatu kebijakan mengenai penempatan tenaga kerja penuh bagi tiap golongan ini akan menghadapi perubahan di dalam ciri khas pekerjaan (the employment characteristics of the jobs) dalam tiap pangsa, yang tiap-tiap pangsa ditandai oleh pengangguran yang sangat tinggi. Ditinjau dari sudut teori radikal, hai ini senantiasa terpusat pada pandangan negara dan kebijakannya dalam menempatkan tenaga kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hai ini bukan karena negara ikut mencampuri berlangsungnya sistem bebas berusaha, sebagaimana dikemukakan teori ortodoks, akan tetapi negara merupakan sumber kekuatan dalam memberikan tunjangan kepada kaum kapitalis dalam usaha mempertahankan keuntungannya ketika menghadapi kegelisahan dan tuntutan pekerja untuk memperoleh sebagian besar surplusnya. Pada saat yang sama, aparat negara itu menj adi arena utama dari persengketaan antara kelas petani dan pekerja di satu pihak melawan kaum borjuis industri atau manajer, borjuis niaga, dan tuan-tuan tanah di lain pihak (di banyak negara kaum borjuis industri dan borjuis niaga telah menjadi pemilik tanah-tanah pertanian). Maka melalui aparat negaralah dipamerkan kekuasaan politik atas penghasilan dan kepastian bekerja yang dimiliki para pekerja dan kaum pekerja dalam keseluruhannya. Dikemukakan pula bahwa campur tangán negara melalui kebijakan langsung atau tidak langsung dapat mengubah upah serta kondisi kerja dari berbagai golongan pekerja yang berbeda-beda dengan lebih cepat dan lebih mempunyai arti daripada yang dapat dicapai oleh perubahan sifat pribadi para pekerja. Kita pun tidak perlu menganggap struktur pekerjaan itu seolaholah ditentukan oleh jenis keluaran (output) yang diproduksi, terutama jika kita menganut versi Gordon-Reich-Edwards mengenai teori perpangsaan ; dalam versi itu yang menentukan produksi bukanlah efisiensi produksi, akan tetapi usaha memperoleh keuntungan semaksimal mungkin yang dilakukan oleh para kapitalis; ikut pula menentukan organisasi produksi, pembagian tugas pekerja the division 40
of labour), struktur penempatan tenaga kerja, setengah penganguran, dan pengangguran (the employment underemployment/unemployment structure). Jadi, kekhususan pekerjaan dan jenis orang yang melaksanakan pekerjaan itu, pada akhirnya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kekhususan pekerjaan angkatan kerja (the employment characteristics of jobs) serta pendidikan di berbagai pekerjaan yang berlainan menurut Gordon-Reich-Edwards (GRE) lebih beranekaragam daripada modal manusia (dan majikan) yang kita perkirakan. Namun, perubahan-perubahan dalam pola investasi ke dalam pendidikan dan pelatihan, serta perubahan-perubahan pola organisas! pendidikan dan pelatihan dapat dikaitkan dengan perubahan pola penempatan tenaga kerja dan dengan tingkat pengangguran a tau setengah pengangguran, jika kekuatan-kekuatan yang mengubah pendidikan dan penempatan tenaga kerja melakukan perubahan-perubahan itu dalam kurun waktu yang sama dan dengan cara yang sama. Kita bisa membayangkan bahwa suatu pemerintahan "progresif" akan mengubah pola perbelanjaannya untuk pendidikan, dan pada saat yang sama melaksanakan suatu kebijakan yang tepat menempatkan tenaga kerja penuh. Sampai saat ini tidak ada satu pun pembahasan dalam bidang ini yang menyinggung potensi pendidikan dalam ikut memantapkan struktur penempatan tenaga kerja, juga dalam hai mengubah kebiasaan penentuan bagi mereka yang mendapatkan pekerjaan stabil dan yang tidak stabil. Teori perpangsaan versi GRE merupakan teori yang berlandaskan kelas, yang bukan saja membicarakan karakteristik pekerjaan pada angkatan kerja, ia juga menentukan golongan masyarakat dengan pekerjaan yang sesuai. Ada kemungkinan, meskipun hai itu tidak akan terwujud, bahwa negara akan ikut mencampuri sistem pendidikan tanpa ikut campur dalam masalah struktur pekerjaan dalam rangka mengubah sifat kelas atau kebangsaan dari sistem pendidikan dan pelatihan. Jadi, suatu kebijakan dapat dilembagakan, yakni bahwa para petani dan orang-orang dari kelas pekerja diperbolehkan mengikuti pendidikan lebih tinggi dan dalam jumlah yang lebih banyak daripada persentase jumlah golongan mereka ini, dalam kaitan dengan seluruh jumlah penduduk. Jika praktek penerimaan tenaga kerja tidak berubah — pendidikan bertahun-tahun masih digunakan sebagai faktor penentu yang penting untuk memasuki berbagai pangsa pasaran tenaga kerja — maka perubahan ketentuan untuk mengikuti pendidikan 41
bagi kelas-kelas sosial yang berlainan dapat mengubah mobilitas antargcnerasi. Perubahan ini berlangsung di antara pekerjaan yang lebih dan kurang stabil, tanpa mengubah pola antargenerasi dari pekerjaan yang diduduki. Tentunya tidak mudah untuk membayangkan suatu kebijakan demikian itu, jika tidak ada perubahan dalam cara produksi, atau sedikitnya tidak ada perubahan yang radikal dalam pengendalian kekuasaan politik atau militer. Akan tetapi, ada kemungkinan dan secara teoretis bermanfaat untuk membedakan perubahan mobilitas antargenerasi dan perubahan dalam penyebaran tenaga kerja (dengan memakai ukuran waktu bekerja dalam setahun) dengan peran pendidikan di tiap-tiap bidang itu. Jika pendidikan tetap merupakan suatu kriteria penting dalam menyeleksi orang untuk dipekerjakan, maka peran pendidikan itu dalam perubahan mobilitas menjadi lebih masuk akal daripada perannya dalam perubahan tingkat pengangguran atau dalam distribusi pekerjaan-pekerjaan yang stabil atau tidak stabil di dalam suatu organisasi pekerjaan tertentu.
42
3. MASALAH PENEMPATAN TENAGA KERJA DI NEGARA-NEGARA NONINDUSTRI: SEBUAH INTERPRETASI Setelah kita menelusuri berbagai asumsi mengenai pembangunan dan pasaran tenaga kerja, sekarang kita dapat menunjukkan interpretasi yang lebih kita "utamakan" tentang masalah penempatan tenaga kerja dan peran pendidikan di dalam masalah yang dihadapi negara-negara kapitalis nonindustri. Dalam bab ini kita bahas juga masalah pengangguran di negara-negara sosialis. Dalam bab berikutnya kita akan menganalisis berbagai kemungkinan untuk memecahkan masalah pengangguran di dalam perekonomian kapitalis dalam hubungan dengan pembicaraan ini. 3.1 Perkembangan kapitalisme dì negara-negara berpenghasilaii rendah Kebanyakan negara berpenghasilan rendah LICS memproduksi barang dengan organisasi produksi kapitalis. Adapun yang diutamakan dalam pembahasan ini ialah adanya kemungkinan untuk meningkatkan keluaran material dengan cepat di bawah sistem kapitalisme, meskipun sistem ini begitu rumit dan luas ruang lingkupnya. Misalnya masalah pembangunan yang demikian luas — apa saja yang diproduksi, siapa yang mendapat bagian untuk memproduksi hasil itu, dan siapa saja yang mendapat bagian mengkonsumsinya — justru timbul dari cara-cara sistem kapitalisme yang memproduksi hasil material yang meninggi itu. Ciri-ciri perkembangan kapitalisme di negara-negara berpenghasilan rendah, sangat berbeda pada satu negara dengan negara lainnya, akan tetapi dapat dikemukakan beberapa kenyataan umum yang membantu kita untuk mengetahui problem dasarnya. Pertama, perkembangan kapitalisme berlandaskan pemilikan barang secara pribadi, termasuk di dalamnya alat-alat produksi, dan berdasarkan hak pribadi untuk memperoleh perlindungan bagi barangnya dan terhadap pelanggaran miliknya. Menurut teori, se43
tiap orang dalam perekonomian kapitalisme bisa memiliki modal dan menggunakannya untuk berproduksi; akan tetapi dalam praktek, distribusi modal untuk produksi sangat terpusatkan. Hanya sekelompok kecil orang dalam suatu perekonomian kapitalisme yang membuat keputusan tentang jenis barang yang harus diproduksi dan tentang cara produksi itu dilaksanakan. Selanjutnya oleh karena para pemilik modal itu minatnya terutama ditujukan untuk memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya dari modalnya, maka mereka itu cenderung untuk memanfaatkan segala macam cara dan upaya yang dapat dilakukan, termasuk pula — jika mungkin —> aparat negara, untuk meningkatkan pengembalian modalnya dan mempertahankan kekuasaannya atas pengendalian alat-alat produksi. Kedua, tidak mengherankan di bawah kondisi demudan teknologi yang dikembangkan oleh para pemilik modal itu, ditujukan kepada penurunan ongkos-ongkos para pekerja (to lowering labour cost), dengan jalan mengendalikan organisasi pekerja dan mengesampingkan sejauh mungkin komponen tenaga kerja terampil dari tiap proses produksi (Braverman, 1975). Di negara-negara berpenghasilan rendah teknologi yang digunakan untuk memproduksi barang-barang pabrik, biasanya diimpor dari luar negeri dan tentu saja memproduksi ulang produksi di negara-negara berpenghasilan tinggi. Dasar alasan yang biasa dikemukakan oleh para ahli ekonomi ialah bahwa hai ini merupakan salah-alokasi sumber-sumber daya. Hal ini disebabkan pengimporan teknologi dari negara-negara berpenghasilan tinggi mengakibatkan suatu proses produksi yang lebih berlandaskan pada tingkat upah pekerja yang berlaku di negara-negara itu daripada berasaskan pada tingkat upah pekerja yang lebih rendah yang biasa dibayarkan di negara-negara berpenghasilan rendah. Kita mempunyai anggapan bahwa teknologi itu dikembangkan di negara-negara berpenghasilan tinggi terutama untuk memecahkan masalah buruh di dalam produksi, yang tidak ada sangkut-pautnya dengan tingkat upah dalam keseluruhannya. Di samping itu, kita juga beranggapan bahwa masalah pekerja di negara-negara berpenghasilan rendah dalam industri-industri pabrik sangat mirip dengan masalah yang dijumpai di negara-negara berpenghasilan tinggi — yaitu mengesampingkan komponen tenaga kerja terampil dan penguasaan pengendalian dalam pengelolaan pekerja. Dengan demikian, impor teknologi dari luar negeri oleh kaum borjuis dalam negeri tidak mengakibatkan salah-alokasi sum44r
ber-sumber daya, dalam arti kata kepentingan-kepentingan kelas, karena teknologi yang diimpor itu telah membuktikan ketepatgunaannya dalam mencapai kedua sasaran itu. Setidak-tidaknya impor teknologi itu, membuat duplikat proses produksi di negara-negara berpenghasilan tinggi di sektor "modern" dan hanya secara berangsur-angsur dapat menembus ke dalam produksi agraris dan marginal. Ketiga, dengan demikian organisasi kerja di negara-negara berpenghasilan rendali yang berdasarkan kapitalisme, dilakukan sebagai kelanjutan lembaga-lembaga kapitalisme di negara-negara berpenghasilan tinggi. Di sini termasuk pula unsur-unsur pembagian tenaga kerja di negara-negara berpenghasilan tinggi itu, serta keputusan manajemen yang diambii di dalam perusahaan-perusahaan besar asing, untuk lebih meningkatkan kesejahteraan umumnya semaksimal mungkin daripada mengurus dan memperhatikan kesejahteraan cabangnya di negara-negara berpenghasilan rendah. Keputusan-keputusan manajemen yang diambil oleh perusahaanperusahaan asing itu, meliputi kemungkinan untuk menurunkan pertumbuhan cabangnya di negara-negara berpenghasilan rendah (Chase, Dunn, 1975), pengambilan sumber-sumber daya yang berharga dengan harga lebih rendah untuk negara berpenghasilan tinggi, pengendalian keputusan-keputusan keuangan dan pemasaranpemasaran utama, dan seterusnya. (Bernet dan Müller, 1975). Walaupun perusahaan-perusahaan multinasional itu merupakan suatu segi penting untuk memahami produksi dan distribusi di negaranegara berpenghaslian rendah, penting juga untuk memahami bahwa organisasi kerja di lembaga perekonomian lainnya juga merupakan suatu kelanjutan dari kebutuhan negara-negara berpenghasilan tinggi. Gontohnya, barang-barang ekspor utama melibatkan sebagian besar pekerja sektor pertanian di negara-negara berpenghasilan rendah untuk memproduksi barang-barang konsumsi di negaranegara yang telah terkena industrialisasi. Upah pekerja di sektor ekspor utama dan organisasi pekerja untuk memproduksi barangbarang ekspor ini sangat dipengaruhi oleh harga perekonomian internasional dan oleh jenis-jenis barang utama yang diminta negaranegara industri.1) 1. Masalah perbudakan boleh jadi bukan merupakan cara produksi kapitalisti», akan tetapi berkaitan erat dengan kebutuhan produksi kapitalistis di Eropa dan Amerika Serikat. Oleh karena itu pernah orang mengetengahkan bahwa perbudakan itu merupakan suatu kelanjutan dari produksi kapitalistis yang
45 DPP-25
(5)
Keempat, pembagian teknologi dalam dua bagian dan pembagian pekerja menjadi sektor "tradisional" dan sektor "modern" bisa dimengerti dengan menganalisis peran tiap sektor dalam proses perkembangan negara-negara kapitalis yang berpenghasilan rendah. Di dalam sektor modern yang dinamis, sektor ini lebih memprioritaskan memproduksi barang konsumsi yang diperuntukkan bagi negara-negara kapitalis di luar negeri dan golongan berpenghasilan tinggi, serta di konsumsi oleh industri-industri dinamis di dalam negeri (barang-barang modal), di atas kebutuhan penduduk dalam negeri sendiri. Dengan kata lain, sektor-sektor dinamis di negaranegara berpenghasilan rendah yang berlandaskan kapitalisme, adalah sektor ekspor dan sektor barang modal. Sektor-sektor inilah yang menjadi tempat peralihan surplus negara kapitalis yang sedang dalam proses modernisasi, yang dilayani oleh lembaga-lembaga keuangan dan yang didukung oleh negara dengan berbagai subsidi tidak langsung. Di samping itu, sektor "tradisional" memproduksi "barang-barang upah" — barang-barang yang dikonsunisi oleh penerima-penerima upah domestik. H a l ini meliputi berbagai tekstil yang bermutu rendah, alat-alat rumah tangga murah, dan barang-barang kebutuhan pokok yang dikonsumsi di daerah pedesaan dan daerah pinggiran kota. Selanjutnya dapat kita lihat bahwa sektor modern ditandai oleh monopoli produksi. Beberapa perusahaan besar yang menghasilkan produksi dengan persentase tinggi dan yang mempekerjakan pekerja dalam persentase tinggi di dalam sektor industri. Sedangkan sektor tradisional mempunyai ciri khas: kondisi persaingan seru, banyak perusahaan kecil saling bersaing dalam pasar barang. Jadi, suatu kelompok kapitalis — baik asing maupun domestik — di negara-negara berpenghasilan rendah sedang dengan cepat memperluas produksi barang-barang yang diproduksi pada kondisi-kondisi monopoli kapitalis di pasaran domestik, sambii mungkin bersaing untuk memperoleh pasaran ekspor di luar negeri, dalam kondisi-kondisi yang lebih bersaing. Suatu kelompok lain, terdiri atas "kapitalis-kapitalis yang tidak maju" (petani-petani yang hidup di bawah garis kehidupan yang layak, tidak termasuk yang melayani kebutuhan mereka sendiri), hanya melayani kebutuhan dalam neberhubungan dengan kondisi-kondisi khusus dalam pertanian perkebunan (Genovese, 1965).
46
gerì dan beroperasi di dalam pasaran ini di bawah kondisi-kondisi persaingan. Meskipun kedua sektor tersebut berbeda dalam tipe organisasi kapitalis dalam produksi (hukum monopoli lawan hukum persaingan) 1 ), keduanya berproduksi untuk memperbesar keuntungan semaksimal mungkin dan mendistribusikan barang-barang kepada yang membayar dengan harga yang paling tinggi dan bukannya kepada orang-orang yang membutuhkan barang-barang. Selanjutnya, di tiap-tiap sektor, barang-barang diproduksi sedemikian agar memperoleh keuntungan semaksimal mungkin jika itu berarti merabantu menurunkan upah maka demikianlah yang dilakukan; bila usaha itu berarti menambah pengangguran, maka itulah yang dilaksanakan; demikian pula usaha itu berarti memperhebat penguasaan atas proses kerja oleh para kapitalis atau manajer, berarti membahayakan kesehatan dan keamanan para pekerja. Kelima, dalam prakteknya hai tersebut mengakibatkan dualisme di dalam sektor-sektor produksi; dengan upah yang lebih tinggi, teknologi "moderen" mengalami pembagian tenaga kerja yang rumit. Termasuk di dalamnya perpangsaan pasaran tenaga kerja, di bagian sektor pabrik yang memproduksi barang-barang untuk mereka yang berpenghasilan tinggi dan untuk konsumsi luar negeri. Selain, itu, memproduksi barang modal yang awet untuk pabrik dan jenis-jenis jasa untuk negara-negara yang berpenghasilan tinggi. Pada sektor tradisional upah lebih rendah serta pembagian tenaga kerja kurang merata. Oleh karena sektor modem itu menggunakan metode-metode produksi yang diimpor langsung dari negara-negara berpenghasilan tinggi, serta sektor modem itu berusaha untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin, maka sasaran utama dari sektor modem itu bukanlah penyerapan tenaga kerja dari sektor-sektor produksi pertanian dan tradisional di daerah perkotaan yang hidupnya di bawah garis penghidupan yang layak. Pada saat yang sama untuk pertumbuhan sektor "modem" selan1. Tanpa pembahasan yang mendetail, di sini kita bisa mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan monopoli menghadapi pasaran yang lebih stabil daripada yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan yang saling bersaingan. Oleh karena itu, ada kernungkinan bahwa perusahaan-perusahaan monopoli akan mencoba menstabilisasikar: tenaga kerja dan pasaran mereka dengan rangkaian mekanisme pengendalian dan hierarki manajemennya, suatu hai yang tidak bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang sa-. ling bersaingan (Gordon, Reich dan Edwards, 1973).
47
jutnya tergantung pada dana penanaman modal dan surplus yang dihasilkan oleh sektor tradisional, termasuk ekspor pertanian. J adi, di satu pihak, sektor modern menyerap surplus dari sektor tradisional, dan demikian menciptakan kesukaran-kesukaran bagi pekerja untuk memperolch penghidupan di sektor tradisional itu. Sedangkan di pihak lain pada saat yang bersamaan sektor modem secara kontinu memasukkan teknologi dan praktek-praktek manajemen, sehingga mengurangi jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk tambahan modal fisik. Hal ini menekan tenaga kerja dalam jumlah banyak meninggalkan sektor tradisional meskipun di sektor modern menimbulkan kesulitan untuk menyerap tenaga kerja. Sebagai akibatnya, kita melihat di negara-negara berpenghasilan rendah, negara kapitalis yang sedang menuju industrialisasi timbul fenomena umum, yaitu meningkatnya pengangguran dan pertumbuhan urban "marginal" dalam jumlah besar. Mereka sibuk dengan kegiatan yang mendapat penghasilan sedikit di sektor perindustrian atau usaha-usaha jasa "tradisional" di daerah perkotaan dan yang berada di daerah pinggiran seperti sektor pabrik atau jasajasa modern. Sebagian besar dari ketimpangan pemerataan penghasilan yang senantiasa bertambah, tentunya disebabkan oleh pengangguran yang meningkat dan oleh perbedaan yang makin besar antara upah di sektor modern dan upah di sektor tradisional. Lebih-lebih dengan timbulnya para manajer, suatu kelas orang-orang profesional, yang terlibat dalam pengendahan produksi, distribusi dan masalah-masalah perburuhan yang dijumpai dalam perusahaanperusahaan besar di sektor modern, dan dalam birokrasi negara, yang mengutamakan pelayanan kepada sektor modem itu. Akhirnya, bisa dikatakan bahwa tiada kesangsian tentang adanya kemungkinan untuk meningkatkan produk nasional kotor 'GNP) per capita yang disertai laju perkembangan jenis ini yang sangat pesat. Akan tetapi, jelaslah kiranya, keikutsertaan rakyat dalam peningkatan GNP ini terbatas pada golongan kecil yang bisa masuk ke dalam sektor ekonomi yang sedang bertumbuh dan bersedia membayar upah tinggi kepada orang-orang untuk melakukan fungsi kontrol atas pekerja-pekerjanya dan kepada mereka yang masuk ke dalam birokrasi negara dan dibayar untuk membantu dan bekerja sama dengan sektor-sektor dinamis. Memang banyak bukti yang menunjukkan adanya ketimpangan penghasilan yang miskin hebat di dalam perekonomian berpenghasilan rendah dalam pertumbuhan industrialisasinya" (Adelman dan Mor48
ris, 1973; Barkin, 1971; Langoni, 1973). Ada pula bukti — dibahas dalam seksi 1 — bahwa pengangguran bertambah dalam proses pertumbuhan. Jadi, di samping mengakui bahwa pertumbuhan kapitalisme menghasilkan suatu kueh yang lebih besar, kita hams menerima bahwa mayoritas penduduk negara-negara kapitalis berpenghasilan rendah tidak pernah ikut serta dalam proses pertumbuhan itu dan di tahun-tahun kemudian pun tidak akan ikut serta sama sekali. Memang, sebagaimana telah kita kemukakan, jika sektor modern itu — untuk dana-dana investasinya — berçantung pada surplus perekonomian yang dihasilkan oleh sektor tradisional dan pada penanaman modal asing, maka tidak ada alasan untuk mengharapkan bahwa proses perkembanean ini akan mampu memecahkan masalah-masalah distribusi pendapatan dan pengangguran yang ditimbulkan olehnya. Model ini juga mengatakan bahwa pengangguran itu bukanlah merupakan suatu distorsi, suatu penyimpangan dalam perkembangan kapitalisme — hasil campur tangán di luar mekanisme pasaran — akan tetapi, merupakan bagian dan bingkisan dari perkembangan kapitalisme di negara-negara berpenghasilan rendah (hai ini untuk sebagian besar merupakan ciri khas di negara-negara kapitalisme berpenghasilan tinggi). Kita mengemukakan bahwa yang menciptakan kondisi adanya pengangguran adalah para kapitalis dan negara, yang mendukung para kapitalis dalam menentukan pilihan barang-barang yang akan mereka buat, dan dalam hai teknologi yang mereka pergunakan. Kedua pilihan ini telah diambil secara historis, demikian yang kita kemukakan, dan bukan atas dasar alasan efisiensi (produksi semaksimal mungkin), akan tetapi atas dasar pertimbangan memperoleh keuntungan semaksimal mungkin, dan hai ini bukan saja berlandaskan atas nilai produksi, juga berdasarkan atas distribusi surplus porduksi antara modal dan tenaga kerja. Jadi, pengangguran itu, terutama disebabkan oleh keputusan-keputusan investasi dan produksi, yang cenderung menentang penggunaan jumlah tenaga kerja sebanyak-banyaknya dalam pekerjaan penuh waktu yang memberikan upah layak. 1 ) 1. Contohnya, investasi pemerintah dalam produksi pertanian mungkin mempunyai implikasi-implikasi penting untuk mengurangi pengangguran dan mengurangi mengalirnya pekerja-pekerja dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan serta menambah suplai makanan. Namun, investasi tersebut akan menurunnya tingkat keuntungan para industrialis di daerah perkotaan karena meningginya upah tenaga kerja tidak terampil di daerah perkotaan dan
49
3.2 Pendidikan untuk pembangunan Secara panjang lebar telah diutarakan beberapa ciri khas perkembangan perekonomian kapitalistis di negara-negara berpenghasilan rendah, karena hai ini merupakan pokok persoalan untuk memperoleh pengertian tentang perkembangannya, agar kita dapat memahami sistem pendidikan dan perubahan pendidikan di negaranegara berpenghasilan rendah. Jenis sistem pendidikan apakah yang dapat kita harapkan untuk disajikan oleh negara dalam jenis situasi pembangunan itu? Apakah kita dapat mengharapkan bahwa semua orang akan memperoleh pendidikan yang dapat membantu mereka berperan serta dalam proses pertumbuhan perekonomian dan dalam membuat keputusan untuk produksi? Ataukah kita ini lebih mengharapkan anak-anak kita dididik di lembaga-lembaga sekolah formal agar cocok dengan kebutuhan ketenagakerjaan kapitalisme (yang meliputi beberapa orang pekerja dengan upah tinggi dan juga jumlah penganggur yang banyak) dan agar percaya kepada ideologi yang membenarkan ketimpangan sistem produksi kapitalisme? Bagaimanakah kiranya sistem pendidikan itu mendistribusikan pendidikan di dalam suatu masyarakat, yang kenyataannya hasil produksi serta kesempatan kerja tidak pernah merata. Untuk menjawab semua pertanyaan itu kita harus menjelaskan dahulu bahwa penyebaran pendidikan Barat ke negara-negara Dunia Ketiga, dilaksanakan dalam rangka impérialisme dan kolonialisme (dan penyebaran merkantilisme dan kapitalisme) dan dalam bentuk dan tujuannya sekarang tidak bisa dipisahkan dari konteks ini. Jadi, walaupun pendidikan yang berasal dari metropol itu mempromosikan perubahan dari hierarki satu ke hierarki lain — dari hierarki tradisional dalam kebudayaan yang menjadi koloni ke suatu bentuk hierarki dalam merkantilisme Eropa atau kapitalisme — namun, perubahan itu telah ditentukan dengan saksama sebelumnya. Sistem pendidikan, karena datangnya dari metropol, untuk sebagian besar berlandaskan atas kebutuhan penanam modal, pedagang, dan budayawan dari metropol. Dalam konteks pemerintahan kolonial, misalnya, sekolah-sekolah Barat di India dan Afrika, membantu perkembangan kaum elite pribumi, yang akhirnya bejuga karena mengurangnya investasi pemerlntah dalam infrastruktur di daerah perkotaan yang mensubsidi pertumbuhan industri.
50
kerja sebagai administrator-administrator tingkat menengah. Sclain itu, mereka juga bekerja sebagai perantara dari pedagang-pedagang metropol dengan para pekerja perkebunan serta petani-petani kecil yang memproduksi barang untuk diekspor. Jadi, orang-orang India dan Afrika yang berpendidikan secara sadar dan tidak sadar — karena mereka merupakan bagian dari sistem perekonomian yang mengutamakan keuntungan semaksimal mungkin dari modal para kapitalis metropol — bertindak melibatkan orang-orang pribumi ke dalam produksi barang-barang yang dibutuhkah oleh pasaran metropol. Mereka yang berpendidikan itu, membantu mengubah struktur sosial agar sesuai dengan konsepsi Eropa mengenai bekerja dan hubungan antarmanusia (untuk contoh-contoh yang lebih terperinci, lihat Carnoy, 1974). Tujuan pendidikan Barat baik yang jelas maupun yang tersembunyi sebagaimana yang telah melembaga di dunia dilaksanakan oleh para utusan pekabar Injil (Afrika jajahan Inggris), administrator-administrator asing (Afrika jajahan Perancis, India jajahan Inggris) dan oleh pemerintah setempat yang bergantung pada penanaman modal, perdagangan dan bantuan militer asing (Amerika Latin), pendidikan itu membuat orang-orang pribumi berguna dalam hierarki baru, bukan sebaliknya untuk membantu mengembangkan hubungan antarsosial yang membawa mereka jauh melampaui struktur sosial itu, mencapai struktur-struktur sosial lainnya. Jadi, pendidikan di negara-negara berpenghasilan rendah tidak membantu orang-orang mencapai tingkat yang melewati hierarki kapitalis atau asing ataupun hierarki kelas terkendali, akan tetapi hierarki kapitalis atau asing itu, tanpa menghiraukan apakah pendidikan itu berguna atau tidak lagi bagi orang-orang pribumi itu. Walaupun model pendidikan baru itu keadaannya telah bergeser dari model yang mempunyai ciri khas India dan Afrika pada permulaan abad ini, yang berkaitan dengan Amerika Latin, sampai sekarang masih diterapkan di negara-negara berpenghasilan rendah. Kita namakan itu sebagai aspek kolonisasi dari pendidikan. Perubahan bentuk hierarki tradisional menjadi hierarki kapitalis terjadi, sctidaknya di sektor-sektor tertentu, akan tetapi alat-alat untuk mengubahnya tidak diberikan di sekolah-sekolah. Sekolah merupakan suatu lembaga kolonial, pegawai-pegawainya — melalui peran mereka di dalam sistemnya — akhirnya berusaha (walaupun tidak selalu berhasil, lihat di bawah) membuat anak didik sesuai dengan cetakan, berusaha membentuk anak-anak didik menjadi orang-orang M
yang memainkan peran yang telah ditentukan terlebih dahulu dan untuk melakukan tugas-tugas yang didasarkan atas kelas sosial mereka. Baik anak-anak maupun orang-orang dewasa (termasuk guru-guru) tidak diarahkan ke pengertian tentang hubungan mereka dengan lembaga-lembaga (termasuk sekolah-sekolah mereka) dan tentang kemungkinan mereka untuk bisa mengubah lembaga-lembaga itu agar cocok dengan kebutuhan mereka. Struktur dan isi pendidikan ditentukan oleh birokrasi negara, yang mewakili kepentingan kelas-kelas tertentu dan kepentingan ini justru dijaga dan dipertahankan oleh sekolah-sekolah. Pendirian dan pembuka¿n sekolah itu sendiri merupakan suatu jenis perubahan. Akan tetapi, dengan didirikan dan dibukanya sekolah itu, organisasinya dibuat sedemikian rapa agar anak-anak didik itu diarahkan ke suatu tingkat kesadaran sosial dan tidak lebih dari itu. Negara di dalam perekonomian kapitalisme yang berpenghasilan rendah, merupakan suatu hai penting yang menentukan peran sekolah-sekolah dalam proses "pembangunan". Negara di Dunia Ketiga sekarang ini, bertindak sebagai "pembina" pembangunan melalui jalan tertentu; di dalam perekonomian yang berpenghasilan rendah negara berfunggsi sebagai perantara bagi penanam modal asing, pemerintah asing, borjuis domestik, kaum ningrat yang telah sampai ke posisi berada, dan kelas-kelas menengah (peripheral classes) di masyarakat berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, negara menyajikan suatu ideologi pembangunan melalui sistem sekolah dan lembaga-lembaganya, yang mencerminkan dominasi kelompok-kelompok tertentu di masyarakat, yang berhasil mengendalikan alat-alat negara selama kurun waktu tertentu. Kebanyakan pemerintah negara-negara dari Dunia Ketiga yang berpenghasilan rendah menunjang jenis perkembangan kapitalisme yang diuraikan di atas, mendorong suatu ideologi yang bukan saja dipersiapkan cocok untuk kebutuhan-kebutuhan borjuis domestik dan unsur oligarki tradisional di dalam masyarakatnya, akan tetapi juga memuaskan kebutuhan-kebutuhan ideologi para penanam modal asing dan pemerintah asing, dengan menggunakan pengaruhnya yang kuat ke dalam masyarakat itu. Jadi, suksesnya perekonomian borjuis domestik dan mungkin juga birokrasi pemerintah domestik secara berkesinambungan tergantung pada bantuan negara-negara industri dan para penanam modal asing, yang kemungkinan besar mereka akan mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan demudan rupa, sehingga sesuai dengan kebutuhan kekuasaan asing
52
itu. Sistem sekolah yang diterapkan mencerminkan ancangan kondisi awal perkembangan ini; yang bukan saja dalam hai mensosialisasikan anak-anak sekolah agar mereka cocok dengan berbagai bagian dari suatu hierarki yang berdasarkan kelas, yang disusun untuk memproduksi barang-barang di bawah proses pembangunan ini — dengan cara pemberian jenis pelajaran tertentu dan dalam jumlah tertentu pula — juga dalam hai usaha untuk menggugah rasa suka dan memelihara rasa ini terhadap kebudayaan yang diprapersiapkan oleh peran perantara negara di dalam pikiran anak-anak sekolah. Contohnya, penggunaan bahasa Prancis dan Inggris di banyak negara Afrika dan Asia sebagai bahasa yang dominan sesuai dengan cara budaya ini. Seperti yang dipaparkan oleh Frantz Fanon dan Albert Memmi (Fanon, 1968; Memmi, 1965), pengajaran bahasa asing mengubah kepribadian anale. Pelajaran ini menimbulkan identifikasi yang terbagi-bagi dalam jiwa anak-anak, yang menyebabkan anak-anak itu menemukan kesulitan untuk mengenal diri dalam menentukan masuk budaya manakah mereka itu atau untuk menentukan keinginannya masuk budaya manakah. Di satu pihak anak-anak itu menganggap budaya tradisional sebagai berada di bawah norma dan di lain pihak mereka itu tidak bisa menjadi anggota penuh dari kebudayaan asing yang disajikan kepada mereka sebagai suatu hai yang menggiurkan dan hebat. Jadi, negara itu dalam pelayanannya kepada modal asing dan kepada perantara-perantara domestik (apakah itu perantara-perantara kapitalis ataupun perantara-perantara birokrasi) dengan melalui sekolah-sekolah untuk perkembangan pribadi menjauhkan dan mempersulit pencapaian kebutuhan manusiawi di dalam masyarakat, yang berasaskan sumber-sumber daya dan kemampuan mandili. Oleh karena itu, pendidikan formal yang diberikan negara, untuk sebagian besar atau seluruhnya diorganisasi untuk memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok yang menguasai aparat negara. Dalam hai negara kapitalis berpenghasilan rendah yang terdapat borjuis "modern" domestik yang mengendalikan atau mempengaruhi kekuasaan negara, kita melihat bahwa negara itu digunakan sebagai mekanisme penunjang bagi kebutuhan akan tenaga kerja dan bagi posisi ideologi borjuis itu dalam penafsirannya mengenai cara sebaik-baiknya untuk pembangunan. Sebagaimana telah dibahas, posisi itu pada pokoknya membawa perekonomian domestik ke ambang dunia "modern" melalui impor teknologi, memelihara ber53
langsungnya produksi barang-barang untuk konsumsi orang-orang asing dan sedikit penduduk di dalam negeri sendiri. Selain itu, juga melalui rasionalisasi lembaga-lembaga domestik lainnya, termasuk birokrasi negara dan sekolah-sekolah, agar sesuai dengan sektorsektor produksi modern. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa proses modernisasi ini menghasilkan kedwirangkapan, bahkan di sektor industri. Kebutuhan akan tenaga buruh bagi perekonomian sektor industri modern dan bagi perekonomian sektor tradisional, sangat berbeda. Perbedaan ini mungkin tidak disebabkan oleh perbedaan teknologi yang digunakan di dalam sektor tersebut, akan tetapi lebih disebabkan hierarki yang dikembangkan di sektor produksi modern berlainan dengan apa yang dikembangkan di sektor produksi tradisional (Stone, 1974). Selain itu, surplus sektor tradisional dikuras dan digunakan untuk membayar pertumbuhan sektor modern. Hal ini berakibat nilai tambahan pendidikan di sektor tradisional sangat berkurang, jika dibandingkan dengan pertumbuhan perekonomian yang pesat. Dì bawah kondisi demikian, tidak jarang terjadi bahwa pendidikan di daerah pedesaan lebih diabaikan oleh para kapitalis daripada pendidikan di daerah perkotaan; hai ini dilakukan pula oleh para teknokrat atau manajer yang menguasai perekonomian negara berpenghasilan rendah yang sedang dalam proses modernisasi dan industrialisasi. Meskipun demikikan, para kapitalis dan para manajer ini merasa bertanggung jawab terhadap pembentukan cadangan kelompok besar pekerja terampil dan setengah terampil di daerahdaerah perkotaan, sehingga mereka berhasil menekan upah buruh terampil. Dengan demikian, perluasan industri dan pengumpulan modal (keuntungan) lebih cepat. Mereka itu juga menaruh perhatian terhadap usaha memasyarakatkan anak-anak yang berasal dari golongan penduduk yang hidupnya pas-pasan (marginal populations), agar mau menerima nasib yang ada yaitu di tangga bawah dari struktur kelas di daerah perkotaan. Negara yang sedang menuju modernisasi dapat memperluas sekolah-sekolah dasar dan sekolah-sekolah lanjutan pertama di daerah perkotaan secara besarbesaran, agar terbentuk suatu cadangan besar tenaga kerja terdidik dan untuk menunjang pengabsahan ketimpangan-ketimpangan proses pembangunan (Carnoy, 1974). 54
Selanjutnya dapat kita amati bahwa sistem pendidikan di ncgara-negara kapitalis berpenghasilan rendah yang sedang dalam proses industrialisasi, ditandai oleh disparitas (perbedaan) yang sangat besar antara sistem pendidikan di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan, bahkan di tingkat pendidikan dasar. Perlengkapan sekolah-sekolah di pedesaan serba kurang; pelajaran-pelajaran bagi beberapa tingkat kelas, diberikan di sekolah-sekolah yang hanya mempunyai satu ruang kelas, dan hai ini terjadi di banyak tempat; dan biasanya, oleh karena kekurangan ruang kelas atau kurang motivasi, anak-anak didik di daerah pedesaan harus menyelesaikan sekolahnya dalam beberapa tahun saja. Selanjutnya kurikulum bagi sekolah-sekolah di pedesaan sama saja dengan kurikuklum bagi sekolah di daerah perkotaan atau yang dikembangkan di daerah perkotaan, bahkan sama dengan yang diperuntukkan di ibukota negara-negara asing yang sudan melakukan industrialisasi. Di daerah perkotaan, jumlah dan mutu sekolah, sangat beraneka ragam, tergantung pada aneka ragam kelas-kelas sosial yang ada di daerah perkotaan. Di banyak negara yang sedang "melaksanakan modernisasi" terdapat bagian penting dari pendidikan lanjutan yang disediakan, yang merupakan sekolah lanjutan "pribadi". Sekolah ini menerapkan sistem "penyaringan" yang efektif untuk menghalangi anak-anak dari keluarga miskin masuk ke pendidikan universitas yang disediakan negara. Anak-anak dari keluarga kelas pekerja, yang mencapai sekolah lanjutan biasanya disalurkan ke pendidikan kejuruan, bukan ke pendidikan persiapan akademis yang mutlak diperlukan agar memenuhi persyaratan masuk ke pendidikan universitas. Akhirnya, jika tingkat universitas meluas sebagai responsi terhadap keperluan perusahaan-perusahaan dan birokrasi negara, maka ada perbedaan besar dalam upah mereka. Penghasilan yang berkaitan dengan keahlian bagi anak-anak yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah akan berbeda dengan mereka yang memerlukan belajar penuh waktu — seperti bidang kedokteran dan bidang teknik, sehingga sukar untuk menuntut ilmu-ilmu ini sambii bekerja — yang pelajarannya terutama diikuti oleh pemuda atau pemudi yang berasal dari keluarga berpenghasilan tinggi. Seluruh sistem pendidikan bertingkat-tingkat menurut kelas sosial, dan kebanyakan sumber daya negara mengalir untuk menunjang jenis-jenis pendidikan guna mempersiapkan anak-anak didik agar dapat bekerja di sektor "modern" dan untuk menunjang pendidikan tingkat manajer dan bidang teknik yang dibutuhkan sektor 55
itu. 1 ) Sebaliknya, anak-anak yang besar kemungkinannya bekerja di sektor itu, sangat sedikit menerima iatah sumber-sumber daya negara yans: difninakan baei pendidikan.2) Tambahan lagi, kurikulum di berbagai tinsrkat pendidikan diprogramkan untuk mempersiapkan tenaga ken'a di sektor modern. Jika anak-anak didik itu memperoleh pekeriaan di sektor itu, maka pendidikan mereka itu tidak bisa diçunakan dalam berbaçai kegiatan di sektor perekonomian pertanian atau sektor perekonomian marginal di daerah perkotaan, karena memaner mereka tidak dipersiapkan untuk pekerjaan itu. Walaupun demikian, pendidikan memainkan peran pentins: dalam menanamkan kepercayaan kepada anak-anak didik itu bahwa ketidakberhasilan mereka itu bukanlah merupakan kegaçralan sistem pendidikannya, akan tetapi merupakan kegaeralan mereka sendiri karena tidak sukses di sekolah, dan dengan demikian tidak dapat memperoleh pekeriaan yang memberikan upah tinggi. Inilah fungsi "Pengaibsahan" utama dari pendidikkan umum vans; diselenggarakan pemerintah. Walaupun sistem pendidikan itu berkembansr pesât dan tingkat rata-rata pendidikan meninarkat, {umlah pekerjaan yang tersedia di sektor modern tidak bertambah secenat itu, sehinsfsra kita merasakan bahwa sukses di bidang pendidikan belum meniadi jaminan untuk mendapat pekerjaan di sektor itu bagi banyak orang. Bahkan, meskipun mereka itu memperoleh lebih banvak pendidikan, mereka masih saia belum siap untuk melaksanakan tugas-tugas secara efektif yang diperlukan di sektor tradisional.
1. Foster mengemukakan bahwa beberapa sistem sekolah di Afrika terbuka bagi anak-anak kelas sosial rendah. Akan tetapi di Kenya misalnya, ada bukti bahwa jenis sekolah lanjutan — yang biayanya rendah atau tinggi — yang dimasuki oleh para lulusan sekolah dasar, sangat ketat menilai kelas sosial calon-calon muridnya dan dalam pasaran tenaga kerja yang banyak penganggurnya, jenis sekolah lanjutan tempat anak didik itu belajar, menjadi unsur penentu suksesnya ekonomi di kemudian hari (Mwaniki, 1973). 2. Persentase sumber-sumber daya negara yang digunakan bagi pendidikan tingkat univeritas, jika dibandingkan dengan yang digunakan untuk sekolah-sekolah dasar, hampir di semua negara berpenghasilan rendah dan yang tergantung p a d a luar negeri, menyolok sekali. Banyak di antara negaranegara tersebut menyisihkan 2 5 % sampai 3 0 % dari seluruh biaya pendidikan untuk tingkat universitas, sedangkan pelajar-pelajar yang masuk università« kurang dari 2 — 3 % . Negara yang relatif progresif seperti Mexico dalam tahun 1963 telah menyisihkan lebih dari 10%, dana pemerintah bagi universitas, yang hanya menampung 1% dari seluruh jumlah anak-anak didik (Carnoy, 1964).
56
Oemikìanlah, yang terjadi dalam situasi "pembangunan" seperti yang kita jumpai di negara-negara kapitalis yang dalam proses industrialisas^ kebanyakan orang memperoleh pendidikan yang tidak menolong mereka mendapatkan pekerjaan di sektor modern dengan upah tinggi atau upah kelas menengah, dan juga tidak menolong mereka untuk ikut serta memodernisasikan sektor tradisional. Hai ini bukan merupakan hai yang kebetulan, juga bukan merupakan hasil "ketidakefisienan" sistem pendidikan, akan tetapi lebih bersifat perencanaan pendidikan yang lahir dari proses sejarah dan diciptakan agar berfungsi sedemikian rupa, sehingga masyarakat dibiarkan tidak mampu berperan aktif dalam pembangunan eosial dan ekonomi. Hai ini dilatarbelakangi oleh organisasi perekonomian yang lebih mengutamakan memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya bagi sekelompok kecil orang daripada untuk masyarakat banyak. Pendidikan bahkan lebih jauh melangkahnya: pendidikan ini berusaha menanamkan keyakinan kepada anak-anak didik dan sekelurganya bahwa tingkat kemampuan rendah yang dicapai oleh anak-anak didik setelah selesai sekolahnya merupakan kemampuan maksimum yang bisa mereka capai. Jadi, sistem pendidikan itu bukan saja gagal menolong pribadi-pribadi untuk memanfaatkan produktivitas ekonomi dan sosial mereka semaksimal mungkin, akan tetapi dalam perkembangan macam ini, timbul keharusan untuk meyakinkan orang-orang yang bekerja di bawah potensi produktivitas mereka, bahwa mereka itu berada dalam posisi yang paling baik yang dapat mereka peroleh dan cocok dengan kemampuannya. Selain itu, juga untuk meyakinkan bahwa mereka itu sebetulnya telali ditolong oleh sistem itu sehingga mencapai posisi yang "paling baik". 3.3 Perluasan pendidikan dalam suatu perekonomian yang ditandai oleh pengangguran Menurut pengamatan kita, negara di dalam perekonomian kapitalis memperluas pendidikan untuk sebagian besar sesuai dengan yang dibutuhkan modal industri, walaupun ada pula kemungkinan bahwa negara modem menanggapi desakan dari kaum pekerja dan kelas menengah untuk memperbesar investasi dalam pendidikan (pendidikan lanjutan untuk anak-anak kaum pekerja dan pendidikan universitas bagi kelas menengah), jika saja investasi itu tidak berlawanan dengan kebutuhan para kapitalis. Adanya pengangguran cenderung memperbanyak permintaan akan pendidikan yang 57
diajukan oleh anak-anak yang berumur layak sekolah. Hal ini dapat merupakan sumber pertentangan dalam perkembangan perekonomian kapitalis. Bagaimanakah caranya pengangguran dapat memberikan sumbangan untuk perluasan pendidikan? Sebagaimana telah di kemukakan, bahwa pengangguran itu lebih terkonsentrasi di kalangan tenaga kerja muda usia daripada di dalam kelompok pekerja-pekerja tua. Pada permulaan perluasan pendidikan di dalam suatu masyarakat perekonomian, hampir semuanya dari mereka yang telah menyelesaikan sekolah dasar, memperoleh pekerjaan penuh dalam sektor-sektor yang upahnya lebih tinggi. Akan tetapi, kita melihat bahwa sektor modern itu dalam hai penyerapan orangorang yang berpendidikan (dalam hai ini, lulusan sekolah dasar) lajunya tidak secepat perluasan pendidikan. Memang demikianlah halnya bahwa persyaratan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik di waktu lampau yang memerlukan pendidikan penuh di sekolah dasar, telah mendesak pemerintah untuk memperluas sekolahsekolah dasar. Hal ini cocok dengan kebutuhan para kapitalis akan pekerja yang disosialisasikan. Akan tetapi, begitu dirasakan lebih sulit oleh mereka — lulusan sekolah dasar — untuk memperoleh pekerjaan-pekerjaan yang lebih baik, maka mulailah muncul desakan yang dipusatkan pada perluasan sekolah lanjutan, hai ini diterima sebagai alasan baik oleh para majikan unuk mensyaratkan lulusan sekolah lanjutan bagi pekerjaan yang dahulunya diisi oleh lulusan sekolah dasar. Keseganan masuk sekolah lanjutan karena pertimbangan-pertimbangan biaya telah banyak berkurang, karena sulitnya memperoleh pekerjaan sangat dirasakan oleh para lulusan sekolah dasar. Dengan kata lain, pengangguran yang meningkat di antara lulusan sekolah dasar memperkecil penghasilan yang tidak dapat dinikmati oleh mereka yang ragu-ragu, apakah masuk atau tidak masuk ke sekolah lanjutan. Oleh karena biaya pengadaan dan pengelolaan sekolah lanjutan itu — seperti gaji guru-guru dan biaya untuk barang-barang modal di sekolah-sekolah itu — dibiayai oleh dana pemerintah, maka penghasilan yang tidak dapat dinikmati dan yang terus menurun itu, dengan sangat menyolok meningkatkan keuntungan pihak swasta dalam hubungannya dengan biaya bagi mereka yang ingin masuk ke sekolah lanjutan. Akhirnya, dengan pesatnya perluasan pendidikan lanjutan itu, terjadilah akibat yang sama pada tingkat ini, yaitu lulusan sekolah lanjutan itu makin terkena oleh lajunya pengangguran. Pada gilirannya biaya bagi se58
seorang untuk menuntut ilmu di universitär turun jika dibandingkan dengan keuntungan yang bisa diperoleh untuk kepentingannya. Bagaimana pun juga yang paling merasakan akibat pengangguran itu adalah golongan anak-anak muda. Penghasilan para lulusan sekolah lanjutan dalam tahun-tahun pertama setelah lulus sekolah, lebih menurun karena ledakan pengangguran daripada penghasilan rakan-rekan mereka yang lebih tua dan penghasilan para lulusan universitas. Kemudian biaya-biaya pribadi menurun dibandingkan dengan keuntungan-keuntungan yang di kemudian hari diharapkan dari pendidikkan tingkat universitas dan dorongan untuk menuntut ilmu di universitas bertambah di kalangan lulusan sekolah lanjutan (lihat Blaug et al., 1969; Carnoy 1972; Thias dan Carnoy, 1969). Dalam model perluasan pendidikan ini, kita telah menggunakan perangkat yang digunakan teori neo-klasik yang terdiri atas tingkat-tingkat hasil, sebagai suatu kunci untuk memaparkan perilaku individu dan perilaku kelompok. Akan tetapi, kita tidak perlu secara mutlak mempercayai perangkat ini, agar memperoleh análisis yang sama tentang perluasan pendidikan: dengan meluasnya pendidikan yang dilakukan oleh negara- untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja murah dan yang disosialisasikan di sektor modern, maka tingkat rata-rata para penganggur meningkat. Kelompok-kelompok pekerja yang berada di posisi yang agak diistimewakan, akan merasakan bahwa anak-anaknya akan mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menjadi penganggur atau memperoleh pekerjaan yang kurang memberikan kepastian kerja, jika anak-anaknya itu memperoleh pendidikan yang sama seperti yang didapatkan oleh orang tuanya. Disamping tekanan sektor "modern" para orang tua maupun para anak didik berkeinginan agar dirinya memperoleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi untuk mengimbangi laju pembangunan yang terus meningkat. Tekanan dari sektor kapitalis untuk memperbanyak suplai pekerja terampil, bahkan di tingkat keterampilan tinggi (agar mereka bisa menekan biaya-biaya dari keterampilan ini) menciptakan berbagai suplai keterampilan di tingkat-tingkat lebih rendah dan membangkitkan tekanan dari pihak anak-anak didik sendiri yang menginginkan lebih banyak pendidikan. Memang betul bahwa sampai sekarang para kapitalis industri tidak pernah bersikap melawan terhadap ledakan dunia pendidikan, namun meluasnya pendidikan yang pesat di antara para pekerja 59
dan periganggur yang berpendidikan, bisa menimbulkan kontradiksi-kontradiksi di dalam perkembangan kapitalis. Fertama, tampaknya ada rasa takut yang semakin mencekam di kalangan dunia internasional "progresií" bahwa pengangguran di antara orang-orang yang berpendidikan yang makin meningkat, akan menjadi suatu aiicaman yang sangat berarti tcrhadap stabilitas politik negara yang pro berusaha bebas (proprivate enterprise) daripada ancaman semacam itu dari pihak golongan penganggur yang kurang berpendidikan. Jadi, perluasan pendidikan yang dibutuhkan oleh kaum kapitalis untuk mempertinggi keuntungan mereka, dapat membahayakan perluasan kapitalis secara kontinu, jika aspek politik dari pengangguran berpendidikan itu benar. Tentunya kontradiksi utama ini disebabkan oleh ketidakmampuan atau ketidakmauan pihak kapitalis untuk menyerap tenaga kerja yang tersedia di bagian pekerjaan waktu penuh. Kontradiksi ini mengandung benih bagi kemungkinan timbulnya kontradiksi kedua di antara penganggur berpendidikan yang lebih terkena pengaruh politik. Kedua, bertambahnya tingkat rata-rata pendidikan di kalangan tenaga kerja yang pesat dan terutama pertumbuhan lulusan pendidikan yang lebih tinggi tingkatnya yang jauh melampaui kapasitas mereka yang bisa ditampung di dalam jenis-jenis pekerjaan yang mereka harapkan, menimbulkan kesenjangan antara harapan para lulusan pendidikan di semua tingkat dan pekerjaan yang akhirnya mereka dapatkan. Pertumbuhan kesempatan kerja di sektor modern lebih lamban daripada pertumbuhan lulusan pendidikan. Pekerjaan-pekerjaan senantiasa ditingkatkan, dalam arti kata pendidikan para pekerja, akan tetapi siiat pekerjaannya sendiri tidak banyak berubah. Dapat dikatakan bahwa secara psikologis akan tumbuh perasaan asing terhadap peningkatan itu, kecuali jika para lulusan sekolah itu tidak diberi harapan yang muluk-muluk (expectations of graduates are lowered) sebelum mereka mulai bekerja (Coleman et. al., 1973). Oleh karena itu, perasaan tidak puas di dalam pekerjaan akan bertambah walaupun banyak tenaga kerja menganggur siap sedia untuk mengambil alih pekerjaan tersebut. Orang-orang yang tidak bekerja keras dan merasa tidak puas itu, nampaknya tidak menurunkan produktivitas. Hal ini berarti bahwa rasa takut kehilangan pekerjaan — dan bukannya rasa mendapat kepuasan dalam pekerjaan — makin menjadi alat untuk menguasai tenaga kerja. 60
Ketiga, ada pula suatu kontradiksi dalam hai pemanfaatan sumber-sumber daya di dalam perekonomian bcrpenghasilan rendali. Biasanya perekonomian ini "miskin dalam hai sumber daya manusia dan sumber daya fisik", akan tetapi lebih banyak modal manusia diinvestasikan daripada yang bisa digunakan sepenuhnya. Dengan kata lain, tersedia sumber daya modal manusia yang tidak dimanfaatkan jika perekonomian justru kekurangan modal dalam arti umum. Dalam pengamatan (in out mode) hai ini adaiah akibat keinginan untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin dari para kapitalis dan para manajer: kebijakan pemerintah lebih ditujukan pada pertumbuhan memperoleh keuntungan daripada ke arah pertumbuhan kesempatan bekerja. Hal ini menjurus ke "penghamburan" sumber-sumber daya manusia yang "langka" (dilihat dari sudut sosial). Kontradiksi ini timbul jika penghamburan itu sedemikian besarnya, sehingga mempunyai efek penting terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Walaupun tingkat-tingkat keuntungan bisa saja tetap tinggi, bahkan juga dengan laju pertumbuhan ekonomi yang rendah, suatu perekonomian statis bisa menjurus ke kckacauan dan ketidakstabilan politik. Pada gilirannya hai ini bisa mengganggu perluasan kapitalis dan reproduksi sistem produksi kapitalis. Selanjutnya perluasan pendidikan di samping hierarki reproduksi dan perluasan kapitalis yang menentukan (Bowles dan Gintis, 1974; Carnoy, 1974), menyangkut kontradiksi-kontradiksi bagi perluasan berikutnya, terutama oleh karena meluasnya pekerja yang menganggur yang berlangsung terus-menerus dalam perekonomian kapitalis, walaupun ada pertumbuhan perekonomian yang pesat. Namun, kita harus mengerti bahwa adanya sekelompok besar tenaga kerja yang menganggur, juga merupakan tekanan yang terus-menerus bagi pekerja sendiri — baik yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan — untuk selalu berlaku sesuai dengan normanorma produksi dan dengan perilaku pekerja yang baik. Demikian pula, perluasan pendidikan berarti pemasyarakatan pekerja yang meningkat di tempat kerjanya (Inkeles, 1974). Jadi, di samping berbagai kontradiksi yang ditimbulkan oleh pengangguran dan pendidikan dalam perluasan kapitalis, pengangguran dan pendidikan itu merupakan komponen-komponen yang menentukan bagi perluasan kapitalis itu. Seperti yang akan kita bahas dalam bagian berikut, peme61 DPP-25 (6)
cahan masalah pengangguran orang-orang yang berpendidikan yang disarankan oleh para ahli ckonomi ortodoks, berakar pada usaha mcnengahi kontradiksi-kontradiksi yang ditimbulkan oleh perluasan pendidikan. Usaha menengahi ini tergantung pada penurunan secara langsung jumlah relatif orang-orang yang berpendidikan tinggi serta penurunan harapan para lulusan perguruan tinggi terhadap pekerjaan yang bisa mereka peroleh. Jadi, walaupun hai ini bukanlah maksud dari pemecahan masalah yang disarankan, akan tetapi penerapannya justru memungkinkan untuk membiarkan pengangguran terus berlangsung, sebagai suatu alat untuk mengendalikan pekerja, dan dcngan demikian menurunkan upah tenaga kerja yang dapat menguntungkan para kapitalis. Sebaliknya, alternatif yang kita sarankan, memusatkan perhatian pada pemanfaatan yang lebih baik dari tenaga kerja terdidik dan beralih ke arah kebijakan penempatan tenaga kerja penuh dengan cara penciutan pengangguran orang-orang berpendidikan; dengan demikian mengurangi hak-hak istimewa para kapitalis dan manajer dalam hai mengambil keputusan. 3.4 Masalah penempatan tenaga kerja dalam perekonomian yany menempatkan tenaga kerja penuh Analisis kita mcngenai masalah penempatan tenaga kerja dalam perekonomian kapitalis, menyarankan agar kita meninggalkan sikap percaya diri terhadap perluasan kapitalis dalam memecahkan masalah pengangguran dan setengah pengangguran. Telah di kemukakan bahwa sistem pendidikan di negara-negara berpenghasilan rendah tidak dengan sendirinya berarti "terbelakang" atau terlalu "tradisional", akan tetapi lebih cocok dihubungkan dengan bidang produksi yang timbul dari ketergantungan kepada kondisi-kondisi sosial dan ekonomi yang ada di dalam masyarakat itu. Jadi, perubahan dalam struktur organisasi produksi sekarang dan dalam sistem pendidikan yang menunjangnya bisa saja memperbaiki situasi penempatan tenaga kerja. Bahkan bisa meiiekan tingkat pengangguran orang-orang berpendidikan (membiarkan semua tingkat pekerja dipekerjakan tidak akan berubah) jika hai ini didukung oleh kebijakan politik yang berupa pembatasan siswa untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi. Namun, perubahan ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam menghilangkan tingkat pengangguran terbuka yang tinggi yang ada di negara-negara berpenghasilan rendah. 62
Oleh karena itu, kesimpulan kita jika suatu negara bcrpcnghasilan rendah memang serius hendak membangkitkan suatu pcrekonomian yang mampu menempatkan seluruh tenaga kerja, negara itu harus mempertimbangkan alternatif-alternatif lain di samping produksi kapitalis. Kita mengemukakan bahwa sektor umum, pemerintah akhimya harus memikul beban tanggung jawab terhadap adanya kesempatan kerja bagi semua tenaga kerja, baik dengan cara menyediakan kredit bagi serikat-serikat pekerja atau dengan cara langsung memberikan pekerjaan pada pekerja. Walaupun demikian, kita menyadari bahwa kebijakan macam itu, jika dilaksanakan akan menimbulkakn masalah tersendiri: pada saat itu telah ada beberapa jenis perekonomian sosialis yang berlainan satu sama lain, yang beroperasi dengan mempekerjakan tenaga kerja yang tersedia, serta menghadapi kesulitan-kesulitan jenis baru. Pada dasarnya, jika suatu perekonomian sudah beralih ke situasi penempatan semua tenaga kerja atau semua tenaga kerja mendapat pekerjaan yang terjamin kesinambungannya, maka bahaya pengangguran — yang digunakan secara efektif oleh para majikan dalam produksi kapitalis untuk meningkatkan produktivitas pekerja — dapat disingkirkan. Unsur ketidaktenteraman batin pekerja yang melekat sebagai hai yang tidak dapat dipisahkan dari kemiskinan dijiwai oleh bahaya pengangguran. Unsur ini yang dihapus oleh kebijakan untuk menciptakan kondisi penempatan tenaga kerja yang tersedia, tidak bisa diandalkan lebih lama lagi untuk membelenggu para pekerja agar mereka bekerja keras. Masalah produktivitas dalam perekonomian sosialis tentunya makin runiit karena perbedaan upah yang makin kecil antara pekerja berpenghasilan paling tinggi dan yang berpenghasilan paling rendah. Hal ini rupanya pada batas-batas tertentu mengurangi perangsang untuk naik pangkat, dan tidak tersedianya barang-barang kebutuhan sehari-hari juga menurunkan gairah untuk memperoleh penghasilan lebih banyak. Meskipun demikian, di berbagai negara sosialis itu insentif upah (wage incentive) masih cukup memberikan motivasi kepada pekerja untuk meningkatkan produksi, dan berbagai insentif lainnya. Pertama, kita harus menyadari bahwa pekerja yang merasakan hasil kerjanya menghasilkan keuntungan bagi mereka dalam suatu bentuk, baik dalam investasi yang dilakukan negara untuk kehi63
dupan yang lebih baik di kemudian hari, maupun dalam perluasan suatu perusahaan yang dikelola oleh para pekerja seadiri (yang memungkinkan mereka untuk memperbaiki konsumsinya) dan tidak memberi keuntungan bagi seorang majikan yang berusaha untuk diri pribadinya, akan berproduksi lebih efisien (Carnoy dan Levin, 1976; Melmen, 1956). Kedua, dalam kondisi demikian kelompok-kelompok pekerja bisa dirangsang untuk bersaing dengan kelompok-kelompok pekerja lainnya, semata-mata demi produksi yang lebih tinggi, jika mereka itu menyesuaikan diri dengan sasaran-sasaran politik negara. Ketiga, biasanya kedudukan perorangan di dalam unit-unit produksi berkaitan dengan produktivitas perseorangan yang berkepentingan atau dengan produktivitas kelompok dan juga dengan "kesadaran" politik dan kepemimpinannya. Selanjutnya ada pergcseran dari pemanfaatan rasa takut menjadi penganggur dan dari insentií upan semata-mata ke insentii upah yang ditambah dengan sistem insentii rumit yang tidak berupa upah, dan berasal dari rasa kesatuan yang lebih mendalam dengan sasaran-sasaran politik negara. (Percampuran insentii-insentii yang disebut terdahulu, tergantung pada pangsa pasaran tenaga kerja; pangsa yang lebih tinggi atau keterampilan yang langka mendapat insentií upah, dan peKerja yang berada dalam pasaran tenaga kerja sekunder mendapat insentií pengangguran). Dalam sistem insentií semacam itu, jumlah hasil kerja untuk sebagian besar tergantung pada kepercayaan para pekerja. Hasil kerja mereka itu akan membawanya ke arah keuntungan di kemudian hari bagi mereka pribadi atau bagi mereka sebagai kelompok, sebagai hasil perbaikan ekonomi nasional dan bahkan sebagai akibat dari perubahan politik di Dunia Ketiga. Di samping adanya dorongan untuk memproduksi lebih banyak demi maksud-maksud politik nasional dan ekonomi dalam perekonomian kapitalis, sarana utama di dalam perekonomian itu untuk meningkatkan hasil produksi, dipusatkan pada keuntungan dan kerugian perorangan sebagai akibat dari produktivitas yang lebih tinggi atau lebih rendah; di dalam perekonomian sosialis, proyek sosialis itu sendiri menjadi suatu insentii utama untuk meningkatkan hasil produksi. Kepercayaan yang lebih mendalam atas insentií yang tidak berupa upah, dan penangguhan yang dipaksakan untuk memperoleh imbalan bagi peningkatan produktivitas yang dilakukan oleh pekerja perorangan, tidak selamanya mendatangkan sukses. Sekali64
pun doronsran itu berhasil, namun ada sebagian pekeria yang mungkin tidak memberikan responsi terhadap kondisi produksi sosialis yang dipaksakan itu. Pada tingkat penghapusan pengangguran terbuka dan pengurangan perbedaan upah yang menurunkan rangsangan untuk bekerja, pengangguran terbuka itu diganti oleh setengah pengangguran yang lebih parah, terutama di daerah-daerah perkotaan. Dengan kata Iain, oleh karena berbagai sebab, orangorang bisa saja bekerja lebih sedikit, walupun mereka itu mempunyai pekerjaan penuh waktu (full time). Misalnya di Kuba, pada akhir tahun 1960-an, timbul suatu masalah yang gawat, baik di pedesaan maupun di daerah perkotaan, yaitu pekeria hanva bekeria empat iam, bukan delapan jam seharinva. Hal ini tidak disebabkan tidak ada dorongan untuk bekerja lebih eiat, bahkan jika ada pun, barang-barang keperluan hidup yang tidak dibari merata demikian langkanya, sehingga tambahan penghasilan tidak bisa digunakan untuk tambahan konsumsi. Tambahan lagi dengan adanva sebagian besar kelompok orang-orang berumur belasan tahun tidak bersekolah, atau tidak bekerja, meskinun ada pekerjaan yang belum diisi (Carnoy dan Wertheim, 1975).1) Masalah setengah pengangguran yang sama jenisnya, baik dahulu maupun sekarang sampai batas-batas tertentu terdapat di dalam perekonomian sosialis. Perhatikanlah bahwa kita tidak membicarakan setengah pengangguran yang disebabkan oleh tidak efisiennya proses perencanaan atau sistem distribusi. Setengah pengangguran itu merupakan akibat dari tidak adanya pemasukan bahan pada saat dan tempat yang tepat, yang membiarkan pekerja tidak bekerja kendatipun produktivitasnya tinggi. Walaupun jelas bahwa setengah pengangguran semacam itu merupakan masalah di dalam rencana perekonomian sosialis (sering ìuga di dalam perekonomian kapitalis), sebagian besar dari negara-negara berpenghasilan rendah, khususnya di daerah pedesaan yang memproduksi bahan makanan pokok dan hasil pertanian untuk ekspor, rupanya kurang peka terhadap hai itu. Mereka lebih mengetahui setengah pengangguran sebagai orang-orang yang bekerjanya jauh lebih se1. Kedua masalah tersebut telah dipecahkan atau dalam proses pemecahan, pada masa pertengahan tahun 1970-an: Kuba kembali ke insentif upah dan ke pengadaan barang-barang kebutuhan hidup yang bemilai tinçgi, seperti pesawat televisi; anak-anak belasan tahun langsung dipekerjakan sebagai angkatan bersenjata, di proyek-proyek bangunan, dan disekolahkan di sekolah-sekolah kejuruan.
65
dikit darípada kemampuannya, karena mereka itu tidak mempunyai motivasi untuk bekerja giat dan tidak mempunyai rasa takut akan kehilangan pekerjaan atau tidak akan mendapat makan. Apakah yang bisa dikatakan tentang setengah pengangguran dari orang-orang berpendidikan di dalam perekonomian sosialls? Salah satu sasaran kebijakan yang paling penting di semua rencana perekonomian ialah meningkatkan persiapan pendidikan formal semua pekerja dalam perekonomian itu agar mereka itu percaya bahwa persiapan pendidikan formal itu akan meningkatkan produktivitas. Seperti halnya dalam perekonomian kapitalis, dalam arti bahwa pendidikan formal memberikan pengalaman nonkognitif bersama disertai informasi kognitif bersama, maka produktivitas para pekerja yang bekerja bersama-sama dengan pekerja-pekerja lainnya bisa saja ditingkatkan, terutama jika pekerjaan yang diberikan kepada mereka itu memberikan peluang untuk memperoleh pengalaman berdasarkan atas pendidikan formalnya. Akan tetapi, seperti di dalam perekonomian kapitalis masyarakat sosialis itu hams berhadapan dengan kesulitan dalam membuat orang mau menerima pendidikan kejuruan, jika pendidikan kejuruan itu dianggap lebih rendah tingkatnya daripada pendidikan akademis, untuk mencapai kedudukan. Selanjutnya ada tekanan yang makin keras mengenai waktu untuk memperluas pendidikan universitas dan sistern sekolah sampai tingkat yang cukup tinggi dan berfungsi sebagai unsur penguat bagi struktur "kelas" teknokrat sosialis baru, walaupun tekanan itu tidak begitu keras seperti halnya di masyarakat kapitalis. Beberapa negara sosialis, seperti Cina, berjuang terus menerus untuk menghindarkan timbulnya suatu hierarki baru yang permanen, dengan cara misalnya saja, membatasi pendidikan universitas. Eropa Timur dan Republik Soviet Rusia, kendatipun banyak mekanisme perbaikan yang diterapkan dalam hai pembagian tempat-tempat di universitas agar anak-anak petani dan pekerja mendapatkan peluang yang lebih besar untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi, memperbolehkan perkembangan hierarki-hierarki baru (Tomaia, Kwiecinski dan Borowicz, 1976). Namun, di dalam masyarakat sosialis tidak ada pengangguran orang-orang berpendidikan. Satu hai yang jelas, oleh karena kaum pekerja dan petani merupakan tiang utama politik pemerintahan sosialis, maka persentase anggaran pendidikan yang dimanfaatkan bagi sekolah dasar, sekolah lanjutan, dan latihan-latihan bagi orang
66
dewasa lebih besar daripada yang digunakan bagi universitas-universitas. Perluasan pendidikan universitas di Eropa Timur misalnya, dalam tahun-tahun belakangan ini memang cepat, akan tetapi perluasan ini baru berlangsung setelah selama lebih dari dua puluh tahun melakukan investasi pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih rendah dan dalam perluasan industri. Kuba tidak pernah memulai perluasan pendidikan universitas hingga tahun 1967, lebih dari tujuh tahun sesudah revolusi tahun 1959 baru ada perluasan itu yang terbatas pada fakultas teknik tertentu. Sebagaimana telah dikatakan, Cina telah melakukan pembatasan pendidikan universitas, terutama setelah Revolusi Kebudayaannya. Jadi, setengah pengangguran orang-orang yang berpendidikan sebagian besar dibatasi oleh perluasan pendidikan tingkat tinggi yang berlangsung relatif lebih lamban di masyarakat sosialis. Pembatasan ini dimungkinkan karena adanya perbedaan dasar politik antara pemerintahan sosialis dan pemerintahan kapitalis, dan karena tidak adanya kekosongan bagi orang-orang yang berpendidikan lebih rendah tingkatnya. Tambahan lagi, setengah pengangguran dari orang-orang berpendidikan dibatasi oleh pengawasan yang ketat terhadap subjek studi yang bisa dituntut oleh para pemuda atau pemudi ketika mereka memasuki pendidikan universitas. Contohnya sebagaimana halnya terjadi di dalam perekonomian kapitalis, ilmu kedokteran di dalam perekonomian sosialis merupakan cabang ilmu pengetahuan yang sangat disukai, terutama oleh karena gengsi yang diperoleh bila masuk ke fakultas kedokteran. Demikianlah, di beberapa negara sosialis, seorang dokter mempunyai kesempatan lebih banyak dári para ahli lainnya untuk mendapatkan penghasilan lain di samping gaji tetapnya dengan cara menangani pasien-pasien luar. Sejak lama kebanyakan masyarakat sosialis merasakan adanya surplus dokter, jika dibandingkan dengan ahli-ahli lainnya. Tindakan yang diambil Kuba untuk menangani masalah ini ialah dengan cara mempersulit memasuki fakultas kedokteran sambil menyalurkan pelajar-pelajar yang cerdas untuk karir-karir yang lebih teknis sifatnya (Camoy dan Wertheim, 1975). Polandia meninggikan angka-angka prestasi sebagai syarat untuk memasuki fakultas-fakultas lainnya, agar gengsinya naik dan dapat menyamai gengsi fakultas kedokteran (Tomaia, Kwiecinski dan Borowics, 1976). Rusia telah lama berusaha agar profesi kedokteran itu lebih banyak diduduki kaum wanita dan menurunkan gaji dokter, dan dengan demikian 67
secara efektif menyebabkan para pria menuntut ilmu-ilmu lainnya. Demikian pula, pilihan karir di dalam rencana perekonomian dipengaruhi oleh tindakan-tindakan langsung (penghapusan fakultasfakultas tertentu atau memperkec.il jumlah fakultas) atau tindakan tidak langsung dengan cara menjanjikan insentif-insentif bukan berupa upah jika memasuki fakultas itu. Semua perubahan jumlah lulusan perguruan tinggi ini dikaitkan dengan perencanaan tenaga kerja bagi perluasan industri atau perluasan pertanian. Di samping itu, walaupun rencana macam ini mempunyai nama tidak baik di negara kapitalis berpenghasilan rendali (Blaug, 1970), rencana pendidikan bagi orang-orang profesional di dunia sosialis bisa lebih erat kaitannya dengan rencana perekonomian. Selanjutnya, pendidikan tingkat tinggi dihubungkan dengan kenyataan adanya pekerjaan; hai ini dilakukan di sejumlah besar negara dengan mensyaratkan bahwa orang-orang yang mengikuti pendidikan tinggi itu harus direkomendasikan dari suatu situasi pekerjaan agar memperoleh pendidikan yang lebih tinggi (Cina), atau harus bekerja di suatu pekerjaan tertentu, sebagai bagian dari pendidikan universitasnya (Kuba dan kebanyakan negara Eropa Timur). Perkaitan yang erat antara pendidikan dan pekerjaan — mereka yang memperoleh pendidikan yang lebih tinggi harus bekerja agar bisa meneruskan pendidikannya — mengurangi kemungkinan memberikan pendidikan kepada orang-orang untuk pekerjaan yang memang tidak ada. Jadi, di negara-negara sosialis berpenghasilan rendah, paradoks sumber-sumber daya manusia yang "langka" dan setengah penganggur atau penganggur •— yang berpendidikan tinggi — sangat dikurangi oleh tindakan pembatasan dan pengawasan, yang sulit dicapai di dalam masyarakat yang kelas menengah dan borjuisnya mempunyai kepentingan tetap dalam universitas yang diperlukan dan disubsidi, serta pula merupakan sarana efektif untuk mengabsahkan struktur kelas-kelas yang telah ada. Apakah nantinya universitas itu sampai pada fungsi yang sama untuk digunakan oleh kelas teknokrat dan kemudian juga menjurus ke perluasan yang berlebihan (overexpansion) dan ke pendidikan yang berlebihan (overeducation) dari kaum pekerja di dalam perekonomian sosialis? Hal itu merupakan soal yang harus dijawab di kemudian hari.
68
4.
BERBAGAI TINDAKAN PERENCANA
KEBIJAKAN
BAGI
PARA
Sebelum kita mulai pembicaraan mengenai saran pemecahan masalah pengangguran atau setengah pengangguran, dan peran pendidikan terlebih dahulu akan diulas kembali pemecahan masalahnya yang disebut Gorz (1967) sebagai perbaikan reformis (reformist reforms). Menurut Gorz, perbaikan ini mempunyai pembatas utama: pemeliharaan kelangsungan orde sosial kapitalis dan sistem produksinya. Oleh karena itu, pembaharuan atau perbaikan yang dian jurkan untuk memecahkan masalah pengangguran harus dilaksanakan dengan menentang masalah berdasarkan asumsi bahwa sistem produksi sendiri tidak bisa dan hendaknya juga jangan diubah, sebab sistem itu efisien dan wajar, kendatipun di dalamnya mengandung banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Ajuran dari para pendukung pembaharuan muncul dalam laporan ILO; konferensi-konferensi badan dan lembaga international,1) dan laporan khusus mengenai pendidikan (Coombs, 1968; Coombs dan Ahmed, 1974; Faure at al., 1972; Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan, 1973). Blaug (1973) meringkaskan semua anjuran itu dalam dua perangkat pemecahan masalah bagi pengangguran orang-orang berpendidikan — "tradisional" dan "radikal" — akan tetapi yang tampil dari kedua perangkat pemecahan masalah itu ialah keragu-raguannya dalam menangani masalah penempatan tenaga kerja sebagai bagian dan 1. Lihat Edwards, 1974, mengenai kumpulan esai tentang pengangguran di negara-negara yang kurang berkembang, yang dipersiapkan untuk lembaga itu; terutama Edwards dan Todaro (1973).
69
bingkisan dari suatu sistem kapitalis mcngenai produksi. Tenagatenaga yang berkaitan dengan sistem produksi itu (misalnya pertentangan kelas) dijauhi meskipun hai ini ikut menentukan dalam menerangkan pengangguran. Seperti yang sekarang kita bahas, bahkan pemecahan masalah disebut 'radikal" pun — yang berakar pada análisis ortodoks dan dualistis (dualist) dan pasaran tenaga kerja di negara-negara berpenghasilan rendah — lebih merupakan usaha menengahi kontradiksi-konstradiksi yang mutlak ada dalam pendidikan yang sedang meluas di dalam perekonomian kapitalis yang banyak menempatkan tenaga kerja. Ringkasan yang dibuat Blaug dari pemecahan masalah yang dianjurkan adalah sebagai berikut. Pertama, pengontrolan secara kuantitatif anak-anak didik yang hendak masuk ke universitas merupakan jawaban satu-satunya yang paling penting terhadap masalah pengangguran orang-orang berpendidikan. Jelaslah jika terlalu banyak lulusan universitas yang hams ditampung di dalam lapangan pekerjaan akan mengurangi scjumlah lulusan bara untuk memasuki pasaran tenaga kerja. Dengan demikian, pengurangan lulusan bara ini cenderung untuk mengurangi pengangguran lulusan universitas, yang pada gilirannya dapat menghemat sumber-sumber daya yang digunakan untuk pendidikan dan (mudah-mudahan) menurunkan harapan muluk para pemuda atau pemudi — mengenai pekerjaan yang diharapkan bisa diperoleh — yang memasuki dunia pekerjaan. Selain itu, karena estimasi keuntungan sosial (social rate) dari keuntungan pendidikan tinggi bagi sejumlah negara nampaknya lebih rendah daripada penilaian sosial terhadap pendidikan dasar dan pendidikan Ianjutan1) maka hai ini menandai pembatasan nilai (the value of restricting) untuk memberikan pendidikan yang lebih tinggi dan memanfaatkan sumber-sumber daya untuk menciptakan lebih banyak pekerjaan atau kesempatan bekerja. Dengan melakukan hai itu, negara dapat "memperbaiki struktur pengangguran orang-orang berpendidikan — sambil menghindari penggunaan sumber-sumber daya mahal untuk mencetak lulusan universitas yang tidak bisa dipeker1. Psacharopoulus (1972) mengemukakan bahwa penilaian sosial terhadap pendidikan yang lebih tinggi memang lebih rendah, sedangkan Carnoy (1972) mengatakan bahwa tampaknya saja lebih rendah, oleh karena kelas sosial tidak diperhitungkan dalam usaha menjelaskan adanya perbedaan penghasilan lulusan dari tingkat-tingkat sekolah yang berlainan.
70
jakan — walaupun tidak dikemukakan bahwa pembatasan pemberian pendidikan yang lebih tinggi itu akan dengan sendirinya meredakan pengangguran terbuka dan setengah pengangguran (Blaug, 1973 : 42). Pengontrolan secara kuantitatif dapat dicapai dengan cara yang berikut ini. (a) Langsung, dengan menurunkan jumlah tempat yang disediakan dan mensyaratkan angka-angka lebih tinggi bagi yang ikut serta dalam ujian masuk atau membuat ujian lebih sukar; (b) Memindahkan beban biaya pendidikan yang lebih tinggi dari pemerintah kepada para orang tua murid; dikombinasikan dengan beasiswa atau pinjaman kepada anak-anak didik yang membutuhkannya, dengan peraturan harus membayar biaya pendidikan bagi universitas dan pendidikan lanjutan, (menurut Blaug) akan memungkinkan bentuk kombinasi sosial yang lain yang diinginkan anak-anak didik. (c) Seleksi, dengan pemberian jatah pada tingkat pendidikan yang langsung berada di bawah tingkat universitas (sekolah lanjutan atas), sebagai suatu jenis pengontrolan kuantitatif bisa pula ada manfaatnya untuk mempengaruhi distribusi menurut daerah atau menurut suku dan anak-anak yang dikontrol secara kuantitatif; (d) Penangguhan masuk ke universitas selama dua atau tiga tahun sesudah menyelesaikan pendidikan lanjutan atas; selama tahun-tahun penangguhan itu, para lulusan sekolah lanjutan itu berkecimpung di lapangan pekerjaan dan mereka bisa mendapat gambaran lebih jelas tentang kenyataan-kenyataan bekerja dan tentang kesempatan yang tersedia. Selain itu, penangguhan masuk ke universitas itu juga akan mengakibatkan pengurangan jumlah orang yang mengikuti kuliah di universitas, setidaktidaknya selama kurun waktu permulaan (pada saat kelompok yang ditangguhkan masuknya ke universitas mulai masuk ke universitas, maka jumlah anak-anak didik yang diterima akan meningkat lagi, terkecuali jika pembatasan kuantitatif lainnya diberlakukan). Kedua, sarana lainnya yang juga penting untuk mengurangi permintaan akan pendidikan universitas dalam sistem ekonomi or71
todoks, ialah mencampuri segi pcrbedaan upah di pasaran tenaga keria. Oleh karena pendidikan universitas disubsidi pemerintah, maka — demikianlah dikatakan orang — keuntungan rata-rata sosial dapat saja rendan. Akan tetapi, keuntungan perorangan dapat jauh lebih tinggi dan dapat digunakan sebagai perangsang ímtuk meneruskan pendidikannya, meskipun mendatangkan sedikit keuntungan bagi masyarakat jika yang bersangkutan melakukannva. Di sini dapat kita lihat keuntungan yang sepadan dengan biaya yang dikeluarkan, atau penejhasilan vang dilepaskan sepadan dengan biaya-biava langsung untuk pendidikan yang dikeluarkan oleh seseorang. Oleh karena pemerintah di kebanvakan negara yang berpenghasilan rendah itu bukan saia memberikan pendidikan semata-mata, akan tetapi berperan pula sebagai majikan utama yang mempekeriakan tenaga kerja berpendidikan, maka kemungkinan campur tanfrannya dapat mengubah struktur upah di dalam pemerintahan. Dengan demikian, dapat menurunkan keuntungan perorangan terhadap pendidikan dan besfitu ju<*a menurunkan permintaan akan pendidikan yang lebih tinggi. Di samping dikemukakan bahwa tenaga kerja berpendidikan mendapat upah "sangat tinerçi" di linHcungan pemerintahan, juea dikatakan bahwa skala upahnya dikaitkan secara kaku denean latar belakang pendidikan dan umur, sehingga sanerai menurunkan insentif untuk melaksanakan tupas dencran baik: becitu seseorang telah menjadi angçota birokrasi pemerintahan, ia telah teriamin mendapat upah tinggi dan kenaikan upah semata-mata didasarkan atas berlakunya waktu. Seperti telah diteeaskan sebelumnya, di dalam tahun-tahun 1930-an dan 1940-an Turki telah menurunkan perbedaan gaii pegawai-pegawai pemerintah lulusan universitas, sehingga tindakan ini akhirnya berakibat menurunnya permintaan akan pendidikan universitas di negara itu (Ozeli, 1968). Akan tetapi, dalam tahun 1950-an ketika Turki mulai dengan modernisasinva, ne?ara ini merasakan sangat kekurangan insinyur dan ahli-ahli teknik. Di samping itu, kita tidak mempunyai data berapa orang Turki yang perd ke luar negeri untuk belajar dan bekerja. Kebiiakan macam ini bisa saja menurunkan pengangsfuran orang-orang berpendidikan di dalam negeri, dan dengan demikian berarti ada kecenderungan hilangnya sumber daya manusia karena emigrasi ini. Ketiga, kurikulum pendidikan diubah menjadi kurikulum kejuruan. Alasan pengubahan ini karena ada anggapan bahwa peker72
jaan-pekerjaan yang tersedia "tidak cocok" dcngaii pendidikan akademis tradisional. Oleh karena itu, banyak anggota pembaharu mengemukakan bahwa masalah pengangguran bisa diredakan dengan cara mempersiapkan anak didik dapat melakukan pekerjaan yang tersedia di pasaran tenaga kerja. Selanjutnya, anggota-anggota pembaharu itu menyatakan bahwa perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke kawasan kota didorong oleh peadidikan di sekolah-sekolah dasar di pedesaan yang berorientasi ke daerah perkotaan: oleh karena anak-anak muda itu tidak diberikan pelajaran keterampilan dalam bidang pertanian, mereka itu cenderung untuk meninggalkan daerahnya untuk memperoleh pekerjaan di kota-kota. Selain memecahkan masalah perpindahan tersebut, perubahan kurikulum sekolah yang berorientasi ke daerah pedesaan, dinilai oleh beberapa anggota pembaharu sebagai sarana utama untuk memecahkan masalah setengah pengangguran di daerah pedesaan dan masalah pembangunan (Coombs dan Ahmed, 1974). Meskipun kita sependapat dengan Blaug bahwa pengubahan kurikulum sekolah menjadi kurikulum kejuruan, termasuk pcncantuman pengalaman kerja di dalam kurikulum sekolah temyata hai ini tidak membuat anak-anak didik menjadi lebih siap menghadapi pasaran pekerjaan. Kenyataannya riwayat pendidikan kejuruan dalam usaha mencapai sasaran tersebut di negara-negara seperti Amerika Serikat (Grubb dan Lazerson, 1975) dan di Ghana (Foster, 1965) agak menyedihkan. Jadi, prasangka praktis terhadap kurikulum sekolah mungkin saja merupakan sesuatu yang baik, karena bisa membuat sekolah itu tidak begitu membosankan dan mungkin bisa membuat anak-anak didik dari kaum menengah tidak menganggap rendali pekerjaan fisik dan membuat mereka mempunyai "kcpercayaan diri" (Blaug, 1973 : 53) ... kita tidak boleh berpikir mengenai gagasan pengalaman kerja sebagai suatu pemberian obat — terutama untuk jangka pendek — terhadap pengangguran orang-orang berpendidikan atau pengangguran terbuka, ataupun terhadap kemiskinan.
Mengenai masalah perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan dikatakan, Apapun yang mungkin dipikirkan orang luar, kebanyakan dari para pendidik akan mengakui bahwa pemberian pelajaran pertanian di sekolah tidak bisa mengekang orang-orang Afrika untuk tetap bermukim di daerah pedesaan; hai ini hanya bisa tercapai dengan membuat daerah pedesaan lebih nyaman untuk hidup dan bertempat tinggal .... Yang dikatakan ini bukan bermaksud untuk memungkiri keharusan
73
agar beiusaha menyajikan beberapa asas sederhana mengenai penggunaan tanah dan pemcliharaan ternak yang lebih baik kepada anakanak didik di sekolah dasar dan pada umumnya mengajarkan ilmu hitung, ilmu pengetahuan dan bahkan bahasa Inggris dan hal-hal yang berkaitan dengan pertanian. Akan tetapi mengajarkan "mencintai pertanian:' akan memerlukan bukan saja perubahan kurikulum, akan tetapi juga suatu perubahan besar dalam pendidikan guru-gurunya, yang hanya bisa sukses dengan suatu gerakan nasional untuk mengembangkan kemajuan daerah pedesaan. (him. 51)
Sejalan dengan itu dianjurkan untuk mengalihkan harapan anak-anak didik mengenai pekerjaan yang akan mereka peroleh, sebelum mereka terjun ke dalam pasaran tenaga kerja sebagai jalan agar mereka yang berpendidikan lebih tinggi mau mengisi lowongan kerja yang lebih erat hubungannya dengan pendidikan sekolah lanjutan. Ada beberapa buah karya ilmiah yang belum lama terbit di Institut Internasional untuk Perencanaan Pendidikan, menganjurkan agar mendamaikan sikap dan harapan anak-anak didik lulusan perguruan tinggi serta para majikan untuk mengetahui bisa tidaknya para lulusan pendidikan dipekerjakan dengan sistem informasi pendidikan atau tenaga kerja yang perlu dimanfaatkan oleh anak-anak didik, lulusan pendidikan dan para pembuat keputusan tingkat nasional (Sanyal dan Yacoub, 1975). Ada kemungkinan cerah bahwa jenis sistem informasi itu akhirnya akan membuat para lulusan universitas mau menerima pekerjaan yang statusnya lebih rendah, sambii menghibur diri mereka dengan devaluasi pendidikan universitas (the devaluation of university training). Akan tetapi, sistem informasi tersebut hanya akan memecahkan masalah pengangguran orang-orang yang berpendidikan saja, kalau memang bisa memecahkan masalah itu. jika para lulusan universitas itu mulai mau menerima pekerjaan yang statusnya lebih rendah, maka para lulusan sekolah lanjutan akan menemui kesukaran lebih parah untuk mendapatkan pekerjaan. Jika mereka yang disebut belakangan ini pada gilirannya menerima devaluasi pendidikan sekolah lanjutan, mereka akan lebih mendesak agar universitas diperluas atau agar mereka itu menggantikan tempat para lulusan sekolah dasar dan demikian seterusnya. Proses informasi macam itu sama sekali tidak ada manfaatnya dalam hai menciptakan kesempatan kerja; proses ini hanya membuat orang geser-menggeser satu sama lain tanpa ujung pangkal. Keempat, pendidikan untuk bekerja sendiri (self-employment) dinilai sebagai suatu pemecahan masalah penempatan tenaga ker-
74
ja yang bisa dipertimbangkan, asal saja pendidikan formal itu bisa menanamkan "motivasi untuk berhasil" di dalam diri anak-anak didiknya, suatu motivasi yang bisa membawa mereka kepada posisi "bekerja sendiri" dan "menciptakan kesempatan kerja", bukan saja bagi mereka sendiri akan tetapi juga bagi orang-orang lain. Namun Blaug tidak memberikan harapan banyak bagi perkembangan nilai-nilai demikian di dalam masyarakat yang sedang berkembang, yang lebih berorientasi pada perencanaan terpusat dan pada mempekerjakan (wage employment) orang-orang yang diberi upah di sektor umum daripada ke wiraswastaan di sektor tanpa organisas!. Blaug selanjutnya menekankan bahwa proses pembangunan nampaknya lebih berkaitan dengan menurunnya orang yang bekerja sendiri (self-employment) daripada dengan peningkatannya. Kelima, pendidikan luar sekolah, pendidikan nonformal, program-program pemberantasan buta huruf, dan sistem pendidikan yang meniadakan sifat sekolah. Nampaknya mengumpulkan berbagai saran untuk pemecahan masalah pengangguran ini di bawah satu kategori tidak pada tempatnya, akan tetapi masing-masing anjuran ini merupakan variasi-variasi dari gagasan yang sama: sekolah memakan banyak biaya, banyak anak-anak usia sekolah tidak tertampung di bangku sekolah (terutama di daerah pedesaan). SeIain itu, pendidikan sekolah tidak cukup berorientasi kepada pekerjaan atau kepada kebutuhan masyarakat, dan bahkan dalam kaitannya dengan pendidikan yang meniadakan sifat sekolah, sekolahsekolah itu menghalangi belajar. Fleksibilitas dari alternatif pendidikan yang disodorkan itu ialah biaya lebih rendah dan segi-segi belajar yang relevan dengan kemungkinan pendidikan di luar sekolah yang bisa didapatkan banyak negara, merupakan hai yang menarik, baik bagi para pendidik maupun bagi para ahli ilmu sosial (lihat Labelle, 1975, mengenai suatu pembahasan "teori" pendidikan nonformal). Akan tetapi memang ada campuran berbagai sebab yang cukup banyak mengapa sampai golongan tersebut tertarik kepada gagasan itu, dari keinginan yang tidak dikeluarkan untuk menengahi kontradiksi-kontradiksi dalam perkembangan kapitalis (Coombs dan Ahmed, 1975; Faure et al., 1972) sampai dengan motivasi yang agak jelas untuk memanfaatkan pendidikan nonformal (termasuk pendidikan melek huruf) sebagai sarana untuk mengubah struktur masyarakat kapitalis (Freiré, 1971; IIlich, 1971; Reimer, 1971). Apa pun motivasinya dalam konteks 75
perkembangan kapitalis justru alasan yang sama yang dipakai oleh Blaug sehubungan dengan perubahan kurikulum pendidikan menjadi kurikulum kejuruan di sekolah-sekolah, bisa diterapkan pada setiap jenis pendidikan nonformal: sumber utama dari kontradiksi dalam perkembangan kapitalis, termasuk pengangguran, adalah sistem produksinya sendiri. Pendidikan nonformal memang lebih murali biayanya daripada pendidikan formal dan anak-anak didik yang mengikuti pendidikan nonformal mungkin lebih bermotivasi. Akan tetapi, dalam kenyataannya hasil yang didapatkan (jalan masuk ke pekerjaan yang memberikan upah lebih tinggi dan lebih bergengsi) dari pendidikan di luar sekolah, walaupun mungkin cukup tinggi bila dibandingkan dengan seluruh biaya, yang dikeluarkan, mungkin jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil relatif (yang dirasakan oleh tiap-tiap orang) ataupun dengan hasil mutlak dari pendidikan formal. Oleh karena itu, orang-orang yang mengikuti pendidikan nonformal, besar kemungkinannya termasuk golongan orang-orang yang tidak bisa masuk dalam proses pemberian diploma pendidikan formal yang hasilnya tinggi, dan di dalam masyarakat kapitalis mereka itu adalah dari kelas sosial paling rendah. Memang kita melihat bahwa di dalam sektor umum yang terlibat program-program pendidikan nonformal, maka "kesempatan-kesempatan" pendidikan yang murah biayanya hasilnya rendah, disisihkan khusus bagi penduduk daerah pedesaan dan penduduk perkotaan yang hidupnya setengah-setengah atau tidak pasti (the rural urban marginal populations) tanpa kemungkinan dapat memasuki pendidikan formal (Coombs dan Ahmed, 1975; Papagiannis, dalam proses penerbitan). Berdasarkan alasan ini argumentasi Foster mengenai pendidikan kejuruan yang dianggapnya sebagai buah pikiran yang keliru, temyata dapat digunakan di dalam pendidikan luar sekolah: dengan adanya struktur imbalan-imbalan (the structure oj rewards) di dalam masyarakat kapitalis yang berpenghasilan rendah, maka pendidikan nonformal merupakan suatu komoditi yang tidak akan laku bagi siapa pun, kecuali jika alternatif yang nilainya lebih tinggi. Yang cukup menarik perhatian ialah argumentasi Illich mengenai pendidikan luar sekolah yang digunakan untuk menunjang pendidikan nonformal yang diperuntukkan bagi kaum miskin. Di sini ia tidak menyebut-nyebut soal sistem pendidikan yang sangat bertingkat-tingkat ataupun menyebut efeknya terhadap antargenerasi dari pendidikan yang sifat sekolahnya ditiadakan lagi bagi 76
suatu kelompok masyarakat, di samping pendidikan formal bagi kelompok Iain. Tentunya, strategi macam itu tídak bisa dinilai scbagai sesuatu yang dapat menurunkan pengangguran, walaupun strategi itu bisa saja menurunkan harapan orang-orang yang berpendidikan lebih rendah terhadap pekerjaan yang bisa diperolehnya. Kita mengatakan "bisa saja" oleh karcna tiada bukti, bahwa mereka yang mengikuti pendidikan luar sekolah, harapannya mengenai pekerjaan yang bakal diperolehnya betul-betul lebih rendah. Bahkan mungkin pula keluarga-keluarga dari kelas lebih bavvah akan sangat merasa tertekan karena tidak diperbolehkan memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah formal. Pada umumnya, kita cenderung untuk mengeritik pemecahan masalah tersebut sebagai sesuatu yang tidak sungguh-sungguh dalam menghadapi masalah pengangguran. Memang benar bahwa pengangguran orang-orang berpendidikan bisa diredakan dengan mengurangi jumlah orang yang masuk ke sekolah, terutama ke sekolah yang lebih tinggi tingkatnya. Pengurangan ini bisa dilakukan dengan cara pengontrolan kuantitatif (quantitative controls), dengan cara mengubah struktur upah, atau (untuk waktu tidak lama) dengan cara penangguhan masuk ke perguruan tinggi setelah menyelesaikan sekolah lanjutan atas. Usaha ini bisa mengheniat sumber-sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan kesempatan kerja dan untuk kemudian dapat memberikan masukan bagi pemecahan masalah pengangguran dalam keseluruhannya, meskipun jumlah persentase sumber-sumber daya yang banyak digunakan dalam pendidikan tinggi itu diperuntukkan gaji guru-guru (yang tentunya menjadi pengangguran jika dilakukan pengurangan pendidikan yang lebih tinggi). Daya tarik utama dari pengurangan pendidikan yang lebih tinggi itu, nampaknya bukan saja tidak memecahkan masalah pengangguran dalam keseluruhannya, akan tetapi lebih merupakan kekhawatiran bahwa pengangguran orang-orang berpendidikan sedikit banyak dalam segi politik lebih berbahaya daripada pengangguran orang-orang yang tidak berpendidikan dan mereka yang agak miskin. Kasus Srilangka merupakan suatu contoh baik dalam bal penempatan tenaga kerja, dalam hai prestasi sarán untuk memecahkan masalah pengangguran dan kemiskinan di dalam masyarakat kapitalis yang menuju industrialisas! (yang mempunyai jauh lebih banyak sumber-sumber daya). Program pembuatan kuriku-
77 DPP-25 (7)
ium kejuruan dan program-program pelatihan dan pendidikan khusus bagi 'mereka yang sukar dipekerjakan" tidak berjalan (Levin, 1976). Akhirnya, seperti yang dikemukakan oleh Blaug, jawabanjawaban "kuantitatif dan kualitatif" yang berdasarkan pendidikan terhadap pemecahan masalah pengangguran, menjauhi dasar politik, sosial, ekonomi sistem pendidikan. Apakah sistem itu berdiri sendiri atau terpisah dari struktur sosial dan struktur produksi? Apakah keputusan pendidikan itu bebas dari hubungan kekuatan di dalam masyarakat? Dari berbagai saran pemecahan masalah pengangguran yang banyak ini, kita mendapat kesan bahwa kita ini teknokrat dan perencana, bisa membuat saran kita di terima baik oleh struktur kekuatan politik dengan cara memperlihatkan hasil "rational" dari saran-saran kita itu. Contohnya, mengurangi pendidikan lebih tinggi merupakan jawaban terus terang terhadap pengangguran orang-orang berpendidikan, akan tetapi apakah menuntun kita untuk mempercayai bahwa pemerintah akan mau mengambil keputusan politik ini? Mungkin, kendatipun adanya pengangguran orang-orang berpendidikan, mobilitas kaum urban kelas menengah yang sedang muncul (yang bisa jadi merupakan suatu bagian penting dari asas politik bagi pemerintahan yang mendukung bebas berusaha) cukup diperkuat oleh pendidikan universitas yang diperluas; berlanggsungnya perluasan itu merupakan soal politik yang menentukan bagi kelompok itu ( Schief elbein, 1975). mungkin juga ada penempatan tenaga kerja berpendidikan, perusahaan-perusahaan besar menganggap hai itu menguntungkan kepentingannya, jika upah tenaga kerja yang berpendidikan lebih tinggi jatuh dengan berlalunya waktu (memang di negara seperti India, pengangguran orang-orang yang berpendidikan akhirnya mengakibatkan penurunan yang terus menerus dalam penghasilan yang sebenarnya, yang ada hubungannya dengan syarat-syarat pendidikan - Blaug, 1973: 62). Dengan adanya dua desakan ini agar dilaksanakan perluasan pendidikan universitas, pemerintah manakah yang mendukung perkembangan kapitalis yang akan berhasil menghentikan perluasan itu? 4.1 Suatu pendekatan alternatif. Menurut pendapat penulis mengenai masalah pengangguran, pemusatan perhatian pada ''distorsi'' di dalam sistem pasaran "bebas 78
berusaha" untuk meredakan pengangguran, tidak ada manfaatnya. Yang lebih diperlukan ialah kita harus mempertimbangkan strategi penempatan tenaga kerja dalam segi-segi (a) konteks politiknya, (b) sifat pengangguran di berbagai pangsa pasaran tenaga kerja yang saling berlainan. Berurusan dengan pengangguran "secara politis" berarti kita harus membicarakan pengangguran itu sebagai bagian pertentangan antara modal dan pekerja mengenai penggunaan sumber-sumber daya. Sebagaimana telah kita ketahui, tidak ada bukti bahwa para industrialis dan pemilik tanah merasa mempunyai tanggung jawab untuk memecahkan masalah pengangguran yang parah di negaranegara berpenghasilan rendan. Memang dilihat dari sudut keuntungannya yang maksimal, melaksanakan tanggung jawab itu bukan merupakan suatu kepentingan bagi mereka. Pengangguran untuk sebagian besar merupakan masalah ketenagakerjaan dan hanya berlangsung di dalam masyarakat kapitalis. Di sana pekerja yang memegang dan menggunakan kekuatan politik cukup besar, dapat menekan pengangguran sampai pada tingkat yang rendah.1) Tentunya, konsepsi yang dijalankan organisasi pekerja dalam menggunakan kekuatan politik yang menjadi basis strategi penempatan tenaga kerja penuh bertentangan dengan strategi ekonomi neoklasik: pada akhirnya organisasi-organisasi pekerja itu merupakan suatu sumber distorsi dalam operasi sistem pasaran bebas karena ia mendorong penyebab terjadinya pengangguran dengan meningkatnya upah di atas produktivitas marginal pekerja. Karena kita tidak sependapat dengan asumsi bahwa produktivitas marginal itu menyamai upah dan menentukan penempatan tenaga kerja sebagai suatu hai yang melekat pada modal neoklasik, maka kita 1. Hal ini menimbulkan masalah pen ting mengenai peran serikat-serikat pekerja (atau disebut sindikat pekerja) dalam hai menjaga tetap adanya pekerjaan. Seperti kita ketahui, sindikat-sindikat pekerja di dalam perekonomian kapitalis banyak ragamnya dalam hai kekuatan politiknya. Dalam waktu-waktu perekonomian sedang sulit atau dalam situasi ketika kekuatan pekerja pada keseluruhannya sedang rendah, sindikat-sindikat itu sering berfunggsi untuk meningkatkan kondisi ekonomi anggota-anggotanya, dengan mengesampingkan orang-orang bukan anggota sindikat. Akan tetapi, jika dikatakan bahwa mengesampingkan mereka merupakan tindakan dari sindikat buruh, maka hai ini merupakan omong kosong belaka, sebaliknya, suatu perserikatan pekerja yang kuat akan berusaha memperbanyak anggotanya dan memperoleh keuntungan ekonomi yang lebih tinggi untuk tenaga kerja dengan mengorbankan kepentingan modal.
79
tidak bisa menerima hubungan kausal antara serikat-serikat pekerja, aksi-aksi mengenai upah, dan pengangguran secara keseluruhannya. Bukanlah merupakan kepentingan scrikat pekerja, jika ada angkatan cadangan yang terdiri atas penganggur-penganggur; dengan makin sempitnya pasaran tenaga kerja, makin besar pula pengaruh ekonomi yang dikuasai serikat-serikat pekerja. Akan te-, tapi, para industrialis — baik asing maupun domestik •— secara finansial memperoleh keuntungan dari adanya angkatan cadangan itu: cadangan itu terus-menerus menekan upah pekerja. Hanya kekhawatiran terhadap kemungkinan adanya reaksi politis dari pengangguran yang parah — yang akhimya menyebabkan produksi kapitalis tidak stabil — dan rasa takut dari pihak industrialis yang progresif, bahwa efek sampingan sosial dari perkembangan kapitalis yang merugikan itu akan menghapuskan keabsahan sistem itu, yang membuat kaum borjuis, kelas menengah, dan birokrasi yang bersekutu siap untuk mengurangi pengangguran. Kita harus realistis mengenai tidak adanya kesanggupan golongan-golongan yang disebut belakangan ini dalam hai memecahkan masalah pengangguran, jika terdapat sarana-sarana lain, termasuk penahanan langsung (direct repression) dan pemasyarakatan pendidikan yang dapat menjadi tempat berpaling dan bisa dilaksanakan. Dengan demikian, strategi kita untuk memecahkan masalah itu bergantung pada pembentukan kekuatan politik di antara para pekerja yang menganggur dan yang bekerja serta para petani. Hal ini tidak berarti bahwa para perencana dan politikus harus mengabaikan pendidikan para kapitalis, manajer, dan pemilik tanah ke jurusan perlunya implementasi kebijakan untuk mcredakan pengangguran. Akan tetapi, pendidikan itu bisa dipercepat jika kaum pekerja dan petani merupakan faktor politik yang penting. Strategi kita tidak pula berarti bahwa semua serikat pekerja itu sama efektifnya. Mengingat pasaran tenaga kerja yang berpangsa-pangsa akan ada dorongan bagi sindikat-sindikat pekerja dalam perkembangan kapitalis yang berusaha melindungi para pekerja mereka sendiri yang mendatangkan keuntungan ekonomi bagi mereka. Ternyata serikat-serikat pekerja tidak ikut berperan dalam gcrakan kolektif yang mendorong kenaikan upah pada umumnya dan memperoleh kesempatan kerja penuh, dengan mengorbankan keuntungan kaum kapitalis. Para kapitalis yang berkepentingan, menurut análisis kita, berupaya memecah-belah berbagai kelompok pekerja satu sama lain dengan membuat kelompok-kelompok itu saling bersaingan dalam usaha
80
mereka mempenoleh upah lebih besar. Suatu serikat pekerja yang menyadari perpangsaan ini dan mengetahui peranan kebersamaan yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi penempatan tenaga kerja penuh, jelas akan lebih efektif sebagai landasan politik daripada sindikat pekerja yang semata-mata memperhatikan upah para anggotanya. Selanjutnya, jika perpangsaan dianggap sebagai suatu bagian yang penting dari pasaran tenaga kerja, maka strategi g o longan pekerja atau strategi pemerintah yang mendukung pekerja untuk meredakan pengangguran harus beraneka ragam sesuai der ngan pangsa tenaga kerja yang ditangani. Pendeknya, kita harus mulai dari kondisi tiap-tiap pangsa pasaran tenaga kerja sebagaimana adanya. Kemudian, berdasarkan asumsi adanya pemerintahan yang mendukung pekerja atau adanya gerakan pekerja yang kuat dalam suatu masyarakat kapitalis, jenis-jenis kebijakan manakah yang bisa dilaksanakan untuk meredakan pengangguran? Dan peran apakah yang bisa dimainkan oleh pendidikan dalam kebijakan-kebijakan itu? Kita dapat membagi para penganggur itu dalam beberapa golongan besar yaitu sebagai berikut. (1) Sejumlah besar penganggur yang marginal adalah tenaga kcr* ja dari daerah perkotaan (urban). Angkatan muda, pekerja kelas sosial rendah, termasuk generasi pendatang yang perta^ ma dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan dan banyak wanita tergolong dalam kategori ini. (2) Penganggur terampil dalam usia kerja yang paling baik. Golongan ini akhirnya menghadapi ancaman ketinggalan zaman oleh karena hadirnya mesin-mesin baru atau reorganisasi industri, karena perusahaan-perusahaan itu dijualbelikan. (3) Penganggur-penganggur muda yang terdidik baik. Di beberapa negara penganggur muda terdidik, karena lebih lama berusaha untuk memperoleh pekerjaan yang mereka inginkan, sehingga menjadi makin langkanya pekerjaan itu untuk sejumlah lulusan pendidikan; harapan mereka tidak cukup kuat, cepat menurun kembali. Akan tetapi, di negara-negara lain anakanak muda terdidik sama keadaannya dengan penganggur* penganggur yang pendidikannya lebih rendah: mereka itu merupakan golongan marginal baru di dalam tenaga kerja inti, 81
dan seperti halnya dengan kelompok-kelompok pemuda marginal lainnya mereka itu mungkin harus beberapa tahun mengisi pekerjaan yang bersifat sementara, atau pekerjaan yang tidak ada harapan untuk mencapai kemajuan, sebelum mereka itu memperoleh pekerjaan tetap. Jika kita menyarankan beberapa kebijakan untuk meredakan pengangguran, kita harus berhadapan dengan sifat-sifat yang ber« lainan dari pengangguran di tiap kelompok itu dan harus menyatakan dengan jelas, efek apakah yang akan menimpa tiap golongan dari kebijakan yang disarankan itu. Misalnya saja, muncul keraguraguan tentang apa saja gunanya pendidikan yang tinggi dan lebih banyak latihan bagi golongan tenaga kerja marginal, jika tingkat rata-rata pendidikan di dalam tenaga kerja itu juga sedang meningkat. Seperti halnya telah ditekankan, hai ini akan meningkatkan pendidikan rata-rata si penganggur, akan tetapi tidak akan menciptakan pekerjaan. Di lain pihak, memberikan latihan ulang kepada penganggur dalam usia kerja yang paling baik, mungkin bisa mengatasi kesulitan dalam menemukan pekerjaan baru, jika pekerjaan yang sekarang telah ketinggalan zaman. Pekerja terampil yang mempunyai pekerjaan juga berada dalam suatu posisi yang memungkinkan ia untuk berorganisasi agar ada perlindungan pekerjaan: suatu strategi untuk melindungi pekerjaan akan melibatkan suatu perjuangan agar pekerjaan mereka terpelihara jika terjadi penutupan pabrik dan jika terjadi pemecatan pekerja secara massai, serta suatu perjuangan agar kebijakan mengenai penerimaan pekerja baru dan pekerja yang diberhentikan, dimasukkan pula ke dalam kesepakatan kerja antara pekerja dan majikan atas dasar kesepakatan bersama. Jadi, strategi bagi buruh yang telah bekerja dan yang terampil serta pernah bekerja lama dalam tenaga kerja inti di daerah perkotaan, berlainan dengan strategi mereka yang menemui kesukaran untuk memasuki pekerjaan-pekerjaan inti di daerah perkotaan (core urban jobs). Perhatikanlah lagi bahwa strategi yang disarankan di sini dibuat dalam suatu konteks politik khusus (in a particular political context): kita beranggapan bahwa pekerja dan petani mempunyai cukup kekuatan politik untuk menekan para kapitalis agar mereka membuat perubahan-perubahan yang berlawanan dengan kepentingan-kepentingannya dan bahwa pemerintahnya cukup bersifat majemuk atau mempunyai cukup kepentingan birokrasi untuk 82
mempertahankan stabilitas politik agar bisa mèluluskan beberapa tuntutan pekcrja. Spektrum dari kemungkinan-kemungkinan politik yang disajikan oleh beberapa asumsi ini sungguh luas, dan tentunya kita tidak beranggapan bahwa ada situasi yang statis. Sebaliknya, strategi-strategi yang disarankan, direncanakan untuk memecahkan masalah pengangguran dengan pengambilalihan kekuasaan politik dan ekonomi yang senantiasa makin bertambah oleh kaum buruh secara dinamis (lihat Gorz, 1967). 4.2 Tindakan-tindakan disarankan 4.2.1 Suatu kebijakan umum untuk meningkatkan penempatan tenaga kerja Organisasi Buruh Internasional (lihat laporan ILO Ceuntry Report) dan organisasi-organisasi lainnya menyarankan bahwa penempatan tenaga kerja dapat ditingkatkan dengan cara mengembangkan dan menggunakan teknologi yang menerapkan padat tenaga kerja dan dengan membuat produksi pertanian (yang menyerap banyak tenaga kerja) yang lebih banyak hasilnya. Kita berpendapat sama bahwa kebijakan umum ini dapat berjalan dan dapat menciptakan lebih banyak penempatan tenaga kerja, walaupun mungkin dengan pengorbanan keuntungan. Namun, implikasi politik dari kebijakan ini di negara-negara berpenghasilan rendah dan menganut perekonomian pasaran bebas akan menjadi jelas; menurut pandangan kita bukanlah suatu kebetulan atau rencana buruk yang menyebabkan adanya teknologi padat modal atau adanya penanaman modal yang berorientasi ke daerah perkotaan, nama lebih merupakan kebijakan yang berorientasi khusus untuk mensubsidi dan menciptakan iklim baik bagi teknologi dan investasi jenis itu. Satu-satunya jalan untuk meningkatkan intensitas kerja (selama sektor swasta membuat keputusan-keputusan investasi modal dan perkembangan teknologi) ialah dengan cara memberikan subsidi kepada penggunaan tenaga kerja, dan bukan sebaliknya kepada penggunaan modal. Satu-satunya jalan untuk membuat kehidupan di daerah pedesaan lebih berhasil — lebih menguntungkan melakukan penanaman modal di bidang pertanian kecil-kecilan — ialah dengan cara mengubah struktur harga sedemikian rupa, sehingga lebih memberikan peluang bagus bagi produksi pertanian, terutama produksi bahan-bahan pokok yang dikonsumsi di dalam negeri.1) 1. Dalam
suatu
makalahnya
baru-baru
ini,
T.W.
Schultz
mengemukakan
83
Dalam pemerintahan yang tidak mau menasionalisasikan produksi atau mengintensifkan penggunaan tenaga kerja secara langsung dengan cara campur tangán negara dalam proses produksi, maka pemerintah itu masih harus berhadapan dengan kekuatan politik dari borjuis dan kaum menengah di daerah perkotaan, dalam hai membuat perubahan yang akan mengutamakan petanipetani pedesaan dan pekerja di daerah perkotaan. Jika harga bahan-bahan pokok diperbolehkan naik, (memanjakan petanipetani kecil), maka upah pekeria yang sebenarnya di daerah perkotaan akan menurun, terkecuali jika upah nominal mereka dinaikkan. Pada gilirannya, hai ini akan menurunkan keuntungan, t«*rutama di kalangan industri yang bersaingan atau di antara industriindustri yang mengekspor hasilnya ke pasaran dunia yang bersaingan. Selanjutnya, penggantian subsidi-subsidi modal dengan subsidi-subsidi pekerja atau dengan promosi teknologi yang menerapkan tenaga kerja secara intensif juga akan memberikan angin lebih baik bagi pekerja daripada bagi modal. Hanya suatu pemerintahan yang cukup kekuatan politiknya untuk menahan tekanan para pemilik modal di daerah perkotaan dapat menghilangkan subsidi-subsidi modal yang diberikan dan menggantikan subsidi itu dengan subsidi pekerja. Selain itu, dapat membiarkan harga hasil pertanian lebih meningkat walaupun banyak perusahaan mungkin membiarkan adanya subsidi modal dan pekerja itu, oleh karena besar kecilnya keuntungannya tidak terpengaruh oleh perubahan pemberian subsidi itu. Pada saat yang bersamaan, lambannya tenaga kerja yang mengalir dari daerah pedesaan membuat daerah itu menjadi lebih menguntungkan untuk hidup, oleh karena lebih banyak tersedia kredit berbunga rendah bagi petani-petani kecil, pembaharuanpembaharuan dalam pemilikan tanah, harga hasil-hasil pertanian yang tinggi, dan sebagainya dapat mendorong meningkatkan upah pekerja di daerah pertanian jika suplai tenaga kerja murah dipengaruhi oleh kebijakan tersebut. Sebagaimana telah kita kemukakan di atas, perpindahan pekerja secara massai dari pedesaan ke kotakota telah menyebabkan timbulnya kampung-kampung yang kotor di daerah perkotaan, atau bahkan juga akan sangat menguntungkan pemilik-pemilik modal di daerah perkotaan yang justru mencari bahwa harga-harga barang pertanian, terutama harus mencerminkan ni'.ai pasaran dunianya untuk membuat penghidupan di daerah pedesaan lebih produktif (Schultz, 1976).
84
tenaga kerja murah. Jadi, semua kebijakan termaksud di atas, jika dilaksanakan mempunyai implikasi penting bagi perubahan-perubahan dalam distribusi produk-produk di antara penduduk pekerja, dan tidak ayal lagi akan ditentang hebat oleh kelompokkelompok yang akan menderita kerugian akibat perubahan dalam kebijakan itu. Para perencana hendaknya jangan naif terhadap implikasi politik dari kebijakan penempatan tenaga kerja penuh. Selanjutnya, agar dapat menanggulangi efek atas tumbuhnya pelarían yang mungkin terjadi dari modal asing dan modal domestik karena ketakutan, sebagai akibat dari kebijakan yang menyokong pekerja, maka menanamkan dana-dana pemerintah (public funds) langsung ke dalam produksi dan meningkatkan produktivitas pekerja akan meniadi keharusan. Dengan metode-metode produksi yang menggunakan pekerja secara intensif, sarana-sarana utama yang tersedia bagi sektor pemerintah atau publik untuk mencapai hasil yang lebih tinggi bagi setiap pekerja diselesaikan dengan cara mobilisasi massa dan motivasi politik. Oleh karena itu, strategi penempatan tenaga kerja penuh mempunyai arti bukan saja melaksanakan kebijakan yang berlawanan dengan kepentingan para kapitalis dan para manajer, akan tetapi juga mempersiapkan diri bagi kemungkinan timbulnya reaksi dari pihak sektor-sektor produksi swasta sebagai responsinya terhadap tindakan pemerintah yang mendukung pekerja. Berbagai kebijakan mobilisasi massa biasanya bersifat bertentangan dengan kepentingan modal swasta, oleh karena modal swasta itu memerlukan pengembangan kesadaran berusaha bersama atau kesadaran "percaya kepada diri sendiri", yang berlawanan dengan konsepsi bahwa modal swasta seharusnya membuat keputusan untuk massa pekerja dan petani di dalam masyarakat. 4.2.2 Pertindungan pekerjaan Orang-orang yang sekarang bekerja dalam berbagai jenis pekerjaan, yang secara tradisional tidak banyak pengangguran, seperti tenaga-tenaga operasi yang terampil, karyawan di bidang pemasaran, berkenaan dengan pekerjaan juru tulis, tenaga-tenaga ahli, dan sebagainya, harus ingat bahwa sektor-sektor dinamis dari sistern berusaha sendiri (the private-enterprise) yang memberikan upah tinggi, senantiasa mencari jalan untuk mengganti mereka dengan pekerja-pekerja yang upahnya lebih murah. Misalnya penggantian pekerja pria oleh pekerja wanita, pekerja terampil oleh 85
orang yang kurang terampil dengan menggunakan teknologi yang berlainan, dan pekerja domestik oleh tenaga asing yang murah. Atau memperluas suplai pekerja melalui pendidikan dan pelatihan yang dibiayai pemerintah, sehingga pekerja-pekerja tersebut ditekan dengan cara menurunkan upah mereka. Jadi, bagi pekerja-pekerja itu, suatu gerakan untuk melindungi pekerjaannya, harus menjadi unsur kunci bagi strategi penempatan tenaga kerja penuh. Sebagaimana telah dibahas di atas, perlindungan pekerjaan berarti suatu perjuangan untuk memelihara atau menjaga tetap bisa bekerja, jika pekerja menghadapi penutupan perusahaan dan pemberhentian pekerja secara massai, yaitu melalui perjuangan untuk dapat memasukkan kebijakan dalam hai mempekerjakan dan memecat orang dalam persetujuan kerja bersama, baik jaminan pendidikanulang serta penempatan-ulang, dalam kasus produksi yang tidak menjamin kelangsungan hidup perusahaan (in the case of non viability of existing production). Hal perlindungan pekerjaan itu sifatnya lebih merupakan suatu masalah yang timbul dalam masa pertumbuhan ekonomi yang lamban, daripada dalam période perluasan perekonomian yang pesât. Namun, dalam jangka panjang, jaminan terhadap tenaga kerja terampil atas beberapa jenis pekerjaan — bahkan pekerjaan yang memerlukan pendidikan ulang — mengikuti perputaran perekonomian. Pengalaman pekerja pabrik sepeda motor Triumph di Inggris membuktikan bahwa keahlian-keahlian pekerja di pabrik tersebut dalam jangka panjang bisa dengan sukses melindungi mereka dari pekerjaannya dan bahwa masalah penutupan pabrik dan pemecatan pekerja secara massai bisa dicegah oleh tindakan-tindakan pekerja (Garnoy dan Levin, 1976). Selanjutnya hai ini menambah adanya indikasi bahwa peran serta pekerja dalam pengambilan keputusan mempekerjakan dan memberhentikan pekerja, bisa menjanjikan orang bisa bekerja tenis secara pasti. Perlindungan pekerjaan juga mempunyai implikasi-implikasi bagi perencanaan pendidikan. Dalam situasi sekarang, pekerjapekerja terampil di satu pihak bisa berpendirian menentukan perluasan pendidikan, karena ada kemungkinan seorang pekerja muda yang lebih berpendidikan bisa mengancam dan bersikap menuntut pekerjaan mereka itu. Namun, di lain pihak mereka itu setuju dengan perluasan pendidikan, karena dengan demikian anak-anaknya dapat diharapkan mempunyai kesempatan memperoleh pekerjaan 86
yang lebih baik. Bagi yang mendukung pembatasan perluasan universitas dengan cara penjatahan atau dengan cara pemungutan biaya yang tinggi kepada setiap anak didik mungkin atas dasar perlindungan dari para profesional yang baru dipekerjakan. Juga ada kemungkinan bahwa mereka itu menentang pembatasan perluasan universitas berdasarkan anggapan anak-anaknya tidak dapat diterima di universitas. Lamanya waktu kerja mempunyai tempat pula dalam bayangan mereka tentang kepastian bekerja. Oleh karena itu, para pekerja yang lebih tua dan para profesional pada umumnya mendukung kebijakan perluasan pendidikan, karena karir anak-anaknya menjadi variabel yang lebih penting daripada ketidakpastian pekerjaannya. Jika organisasi-organisasi pekerja dapat menjamin para pekerja atas kelangsungan pekerjaannya dan berbagai jaminan melalui proses politik, tekanan yang meningkat untuk perluasan pendidikan nampaknya merupakan efek sektor pendidikan. Oleh karena itu, para pekerja terampil tidak lagi khawatir akan kehilangan pekerjaan mereka, berpindah kepada lulusan yang tinggi pendidikannya, maka perlawanan dari berbagai kelompok pekerja terhadap perluasan pendidikan juga akan lenyap. Akan tetapi, efek lainnya dari perlindungan pekerjaan, mungkin akan menutupi efek yang satu itu. Misalnya, perlindungan pekerjaan yang efektif, mungkin akan mengurangi tekanan pihak majikan terhadap perluasan pendidikan, oleh karena ancaman kuat dari angkatan cadangan pemuda pengangguran yang lebih tinggi pendidikannya, akan dibuat sangat menurun: seorang pekerja terampil tidak bisa ditakut-takuti oleh adanya pengangguran orang-orang yang terampil, jika — misalnya saja — organisasi pekerjaan mempunyai hak veto dalam keputusan mempekerjakan pekerja dan atau memecat pekerja di pabrik atau di perusahaan pertanian yang bersifat komersial. Kemudian, setiap lanjutan perlindungan pekerjaan yang menjadi program pekerjaan dengan jaminan (dibahas di bawah ini) mungkin akan meningkatkan penghasilan, yang dengan rela telah ditinggalkan oleh para pemuda dan pemudi yang meneruskan sekolahnya. Dengan kata lain, pengangguran pemuda dan pemudi yang menurun akan meningkatkan biaya sekolah setiap orang. Tidak lagi menjadi keharusan mengikuti pendidikan yang lebih tinggi untuk mendapatkan pekerjaan. Pada hakikatnya perlindungan pekerjaan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan perluasan pendidikan, jika perlindungan pekerjaan itu tidak hanya terbatas pada kelompok kecil yang terdiri 87
atas pekerja-pekerja "pilihan". Sebagaimana halnya dengaii keadaan sckarang di banyak negara yang berpenghasilan rendah, tekanan untuk memperoleh pendidikan agar bisa mendapatkan pekerjaan-pekerjaan terpilih itu makin meningkaí. 4.2.3 Menciptakan
kesempatan
kerja
Sekarang tinggal kelompok penganggur yang cukup besar jumlahnya ftenaga kerja marginal) dan kelompok penganggur yang jauh lebih kecil, yaitu lulusan universitas yang muda usia. Masalah penemp;itan tenaga kerja yang paling sulit ialah penempatan golongan ya.ng pertama di atas. Sebagian dari penganggur golongan ini bisa diserap oleh industri swasta dengan cara memberikan subsidi kepada industri ini (dan sebagian dalam jangka panjang dengan laju pertumbuhan penduduk yang lebih rendah). Bentuk subsidisubsidi itu adalah sebagai berikut. Pertama, subsidi langsung kepada perusahaan untuk pekerja yang dipekerjakan. Jika subsidi ini berupa subsidi bagi upah pekerja (suatu keringanan pajak yang didasarkan atas jumlah upah yang dibayarkan), maka akan ada prasangka pemanjaan terhadap angkatan kerja yang lebih terdidik dan yang diberi upah lebih tinggi, yang untuk kemudian dapat menekan angkatan kerja marginal. Jadi, kita lebih cenderung untuk menyarankan — bila diterapkan subsidi berupa keringanan pajak pekerja atau bentuk subsidi lainnya — subsidi yang didasarkan atas jumlah pekerja yang dipekerjakan atau atas dasar jumlah rekening upah (yang disebut belakangan ini untuk menghindari daftar pekerja fiktif (mythical workers), untuk memperoleh keringanan pajak). Dengan kata lain, rumus subsidi itu harus memberikan peningkatan penempatan tenaga kerja dengan lebih banyak upah yang dibayar. Kedua, di kebanyakan negara (negara-negara yang berpenghasilan rendah dan negara-negara industri), sistem keamanan sosial diorganisasi sedemikian rupa, sehingga upah para pekerja yang berpenghasilan rendah lebih berat dikenakan pajak daripada upah pekerja yang berpenghasilan tinggi; majikan yang menggunakan teknik yang lebih intensif memanfaatkan tenaga kerja dikenakan pajak (majikan itu dikenakan pajak untuk tiap pekerja tambahan yang ia pekerjakan secara permanen), dan di dalam banyak kasus, majikan itu menurut perbandingan lebih berat terkena pajak untuk karyawannya yang berupah rendah daripada 88
yang berupah tinggi. Misalnya, di Amerika Serikat, hanya sejumlah US$ 15.000 dari penghasilan pertama seorang pekerja, yang dikenakan pajak untuk maksud-maksud keamanan sosial (baik uang sumbangan dari majikan maupun uang sumbangan dari pekerja sendiri). Jadi, dilihat dari sudut majikan ada sedikit prasangka terhadap sedikitnya pekerja yang berupah agak tinggi, dibandingkan dengan pekerja yang berupah lebih rendah. Kita cenderung menganjurkan perubahan asas pajak keamanan sosial, yaitu suatu pajak daftar upah (a payroll tax) menjadi suatu pajak langsung yang progresif atas penghasilan, baik penghasilan pribadi ataupun penghasilan perusahaan. Dengan demikian, sistem perpajakan akan menjadi lebih progresif dan akan menghapus efek anti mempekerjakan karyawan dari pajaknya (the anti - labour hiring effect of the tax). Suatu rencana peralihan yang mungkin diterapkan untuk menggeser bagian pajak-pajak keamanan sosial menjadi pajak penghasilan pribadi dan perseroan-perseroan yang langsung dan progresif ialah dengan cara menghilangkan atau mengucilkan pajak keamanan sosial (baik sumbangan majikan maupun sumbangan pekerja), jumlah upah yang paling sedikit dibayarkan dijadikan sasaran pajak penghasilan langsung yang progresif, sambil tetap menerapkan rencana pajak keamanan sosial atas upah yang lebih tinggi. Hak demikian ini akan mempunyai efek mendorong para majikan untuk mempekerjakan buruh yang kurang terampil dan lebih rendah upahnya. Di satu pihak berhasil anjuran itu mungkin ada efeknya atas meningkatnya jumlah pekerja, terutama orang-orang tidak terampil, yang paling cenderung untuk menjadi penganggur. Di lain pihak pada kenyataannya banyak orang yang mencari pekerjaan di negara-negara yang sedang berkembang tidak dipekerjakan ( atau untuk hai yang sama di negara-negara industri maju), tanpa campur tangán langsung dari pihak pemerintah dalam pasaran-pasaran tenaga kerja, suatu campur tangán yang jangkauannya lebih jauh daripada pemberian subsidi pekerja kepada sektor swasta dan dukungan perlindungan pekerjaan oleh kelompok-kelompok pekerja. Dengan kata lain, tiada bukti bahwa suatu sistem pasaran bebas akan "menghilangkan" pengangguran di negara-negara berkembang pada tingkat upah yang tinggi dan yang hanya memungkinkan orang hidup kurang layak, terutama karena pemerintahnya sudah menjadi majikan penting. Dalam membahas penempatan tenaga kerja, soal utamanya ialah bagaimana caranya agar pemerintah dapat mem89
pekerjakan orang-orang termaksud di atas. Pembahasannya berkisar di sekitar tiga konsepsi utama yang berikut ini. (1) Penempatan tenaga kerja secara langsung oleh pemerintah di proyek-proyek pemerintah, seperti pembuatan jalan, bendungan, sistem saluran pembuangan air kotor, irigasi, pembangunan gedung sekolah, dan sebagainya. Mempekerjakan orang secara langsung demikian ini ìalah menciptakan kesempatan kerja dengan cepat; yang kurang menguntungkan ialah elek perkalian penempatan tenaga kerja begitu kecil dan proyek-proyek besar pemerintah terseout mempunyai kecenderungan menyebabkan inflasi, oleh karena lama waktu yang diperlukan dari kebanyakan proyek mempunyai efek pada produksi barang.i) Di pihak lain pemerintah bisa saja langsung menuju ke produksi barang-barang konsumsi, produk-produk pertanian, dengan mempekerjakan banyak penganggur dalam produksi itu dan sambil memusatkan perhatian atas proyek-proyek yang membutuhkan investasi modal yang kecil. Alasan yang dilontarkan sebagai lawan dari campur tangán langsung pihak pemerintah dalam menempatkan tenaga kerja dari jenis belakangan ini ialah bahwa sektor pemenntah itu merupakan produsen yang tidak efisien dibandingkan dengan perusahaan swasta. Akan tetapi, jika sasaran produksi itu bukan saja harga rendah, tetapi juga meliputi usaha menempatkan tenaga kerja penuh, maka sektor pemerintah bisa betul-betul efisien dari pada sektor swasta. (2) Kita perkirakan bahwa ada lagi hai yang merugikan kalau pemerintah secara langgsung menciptakan kesempatan bekerja: jika hanya ada seorang majikan yang didesentralisasi dan tidak ada pengontrolan oleh buruh dan manajer lokal dalam hai menangani produksi, maka ada bahaya besar timbulnya norma-norma birokratis yang menguasai norma-norma produksi dan norma-norma penempatan tenaga kerja, juga adanya kemungkinan mematikan perangsang untuk meningkatkan 1. Segi positifnya ialah bahwa penghasilan yang diperoleh oleh para pekerja dari proyek-proyek itu mungkin hampir seluruhnya dihabiskan untuk mencukupi kebutuhan makanan dan pakaian sederhana dan barang-barang pokok lainnya, yang semuanya diproduksi oleh metode-metode yang relatif padat tenaga kerja. Hal ini mungkin mempunyai efek majemuk pada penempatan tenaga kerja, asal pemerintah mengizinkan harga barangbarang tersebut naik, sedikilnya dalam jangka pendek.
90
produktivitas dan kreativitas. Oleh karena itu, kita lebih menyukai koperasi atau bekerja sama dalam berproduksi yang dibiayai pemenntah sebagai sarana untuk menciptakan kesempatan bekerja, daripada pemberi pekerjaan secara langsung oleh pemenntah. Koperasi ini bisa merupakan unit-unit produksi yang dikontrol oleh pekerja pemakai barang hasil produksi dan bisa berproduksi sesuai dengan rencana sektor. Koperasi itu bisa mempekerjakan orang-orang muda, orang-orang lebih tua yang dianggap terlalu tua (who are considered too old) oleh para majikan untuk bekerja di sektor swasta, tenaga ahli-tenaga ahli muda yang tidak memperoleh pekerjaan di sektor swasta atau di sektor pemerintahan, dan tenaga kerja marginal yang usia kerjanya paling baik. Koperasi-koperasi itu bisa membentuk jaringan-jaringan perniila dari unit-unit produksi yang didesentralisasi dan diorganisasi untuk memproduksi barang dan bagi masyarakat, untuk produksi nasional dan sasaran-sasaran konsumsi, dan bahkan untuk ekspor. Hal ini bisa meliputi transportasi, bahan makanan, barang-barang yang mudah diproduksi dan praktis, termasuk persaingan dengan produksiproduksi swasta dari barang-barang yang sama. ('ó) Baik pembiayaan koperasi maupun pemberian pekerjaan secara langsung oleh pemenntah kepada para penganggur, bisa dikaitkan dengan program-program latihan. Dalam hai itu bukan program latihan bagi pekerjaan-pekerjaan di sektor swasta, akan tetapi program-program yang akan memberikan keterampilan yang dibutuhkan di koperasi-koperasi penghasil lokal, yakni di pabrik-pabrik yang dikelola oleh pekerja dengan mendapat kredit dati pemerintah dan untuk tenaga kerja di sektor pemerintahan sendiri. Program-program latihan itu disesuaikan dengan usaha mempersiapkan orang-orang bagi pekerjaan-pekerjaan yang telah ada, yang di dalamnya sektor pemerintah akan melakukan pengawasan, sehingga terdapat adanya sedikit kaitan antara latihan-latihan yang diberikan dan pekerjaan-pekerjaan yang bisa didapatkan. Yang merupakan hai penting ialah latihan itu bisa berlangsung sebagai bagian dari pekerjaan, dan akan timbul lebih banyak kesempatan untuk berlangsungnya latihan itu di antara pekerja terampil dan pekerja tidak terampil dan juga dengan cara bekerja bergiliran (Carnoy dan Levin, 1976) 91
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pengurangan pengangguran dengan cara ini, terutama di antara kaum pemuda, akan cenderung menghambat perluasan pendidikan, karena kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan penghasilan terbuka bagi mereka. Kemudian kalau kenaikan pangkat atau pekerjaan Iebih baik di koperasi-koperasi yang dikendalikan pekerja yang kurang berlandaskan pendidikan, akan tetapi lebih menekankan pada baik tidaknya menjalankan tugas (apakah para pekerja kiranya lebih mungkin untuk memberikan penghargaan atas baiknya menjalankan tugas daripada para manajer?), seperti halnya yang dianjurkan oleh Blaug bagi sektor pemerintah, maka hai itu akan berarti kurang menaruh perhatian pada pendidikan sebagai sarana untuk penempatan tenaga kerja dan untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik. Kita katakan bahwa kebijakan penempatan tenaga kerja penuh dengan cara ini akan mengurangi penggunaan pendidikan terutama untuk memperoleh diploma, dan pemanfaatan pendidikan itu akan meningkat dalam memenuhi kebutuhan keterampilan di dalam proses produksi. Semua program ini berorientasi pada pembangunan suatu struktur penempatan tenaga kerja yang paralel dengan sektor swasta, dan bahkan dalam beberapa kasus bersaingan dengan sektor itu. sasaran utama struktur paralel ini lebih ditujukan pada penempatan tenaga kerja daripada upaya memperoleh keuntungan. Walaupun dengan ukuran norma keuntungan struktur ini mungkin saja kurang "efisien" dibandingkan dengan sektor swasta, namun diukur dengan norma-norma pembangunan manusia, struktur ini bisa jauh lebih efisien. Struktur ini juga mungkin bisa memproduksi suatu rangkaian barang dan jasa yang benar-benar ada manfaatnya dalam perekonomian, dan jika direncanakan baik-baik bisa menciptakan unit-unit yang dikontrol oleh pekerja dan pengelolaannya jauh lebih demokratis daripada perusahaan-perusahaan swasta. Dalam strategi ini, masalah pengangguran orang-orang yang berpendidikan diatasi dengan dua cara yang berikut ini. Periamo, anak-anak muda yang baru lulus dari sekolah bisa mendapatkan pekerjaan dalam sektor pemerintah. Selain itu, mereka dapat memanfaatkan ketcrampilan formalnya dalam memberikan latihan kepada pekerja-pekerja lain atau di dalam produksinya sendiri. Mereka itu bisa pula belajar keterampilan-keterampilan baru dalam sektor pcmerintahan untuk kemudian berpindah ke sektor swasta 92
dengan membawa persiapan yang lebih baik untuk bekerja. Kedua, pengangguran orang-orang berpendidikan akan berkurang karena desakan untuk masuk ke universitas sehubungan dengan tersedianya pekerjaan bagi lulusan sekolah lanjutan, bahkan bagi lulusan sekolah dasar dengan adanya kemungkinan meneruskan sekoláh di kemüdian hari. Adapun yang menjadi inti dari strategi yang dianjurkan ini ialah bahwa pemecahan masalah pengangguran dan pengangguran orang-orang yang berpendidikan, juga masalah perpindahan pendudük yang tidak bisa dikendalikan dari daerah pedesaan ke perkampungan-perkampungan kotor di kota-kota, bukannya terletak pada mcrombak dan membangun kembali struktur sistem pendidikan atàupun menciptakan bentuk-bentuk pendidikan baru, akan tetapi terletak pada membongkar dan membangun kembali struktur sistem produksi. Kita peicaya bahwa tidak lama lagi akan muncul pengusana-pengusaha perorangan yang mengorganisasi pembiayaan, pemasaran, dan produksi untuk tenaga kerja baru; walaupun terdapat banyak pengusaha berbakat di negara-negara berpenghasilan rendah, produksi barang dan jasa di bawah organisasi produksi kapitalis tidak akan secara maksimal menciptakan kesempatan bekerja, dan produksi macam ini akan berusaha memperoleh keuntungan semaksimal mungkin (hasil dari inventasi). Selanjutnya, produksi barang-barang di negara-negara berpenghasilan rendah dimonopoli oleh kaum kapitalis, lebih-lebih di pasaran kredit berlangsung gejala monopoli itu. Kemampuan berusaha secara bersama dan secara koperasi merupakan suatu pemecahan masalah yang lebih bisa dan lebih layak dilaksanakan dalam mengatasi masalah pengangguran di negara-negara berpenghasilan rendah. Lebih lanjut jenis pembangunan kembali struktur (restructuring) macam ini, kita percaya akan berhasil jika melibatkan massa pemuda yang menganggur serta tenaga kerja marginal ke dalam produksi dinamis yang dibiayai pemerintah dan dikontrol oleh pekerja, baik di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan. 4.2.4 Pendidikan dan penempatan tenaga kerja Sang perencana dengan mudah mengetengahkan alasan bahwa dalam kebanyakan perekonomian negara-negara berpenghasilan rendah kemungkinan adariya perubahan dalam struktur produksi dan struktur mobilisasi massa demikian jauhnya, sehingga hai itu menjadi 93 DPP-25 (8)
impian belaka. Akan tetapi, anjuran kita hendaknya dinilai sebagai berikut: suatu cita-cita harus dipikirkan dalam membuat perencanaan pendidikan dan program penempatan tenaga kerja. Sebagaimana sang perencana harus berhadapan dengan pembaharuan-pembaharuan pendidikan alternatif, maka ia harus menilai rencana-rencana itu bukan saja mengenai seberapa banyak kekuatan ekonomi relatifnya dari rencana akan dipindahtangankan kcpada para pekerja dan petani. Kita telah mengemukakan bahwa pada umumnya pembaharuan pendidikan tidak memindahkan perékonomian ke arah penempatan tenaga kerja penuh bagi si penganggur: pembaharuan itu hanya berpengaruh pada peralihan keinginan si miskin, yakni berharap agar anak-anaknya mendapat pekerjaan yang lebih baik atau mereka itu dapat mempertinggi produktivitasnya (dan penghasilan) sementara itu, mereka mendapatkan pula sedikit dari mobilitas dan produktivitas itu. Pembaharuan pendidikan yang kita kemukakan hendaknya dinilai oleh perencana atas dasar eko-politik, disertai kesadaran bahwa perubahanperubahan baru dalam pendidikan yang dikombinasikan dengan program penempatan tenaga kerja penuh, betul-betul dalam membuat dan menentukan kondisi yang meningkatkan kekuatan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, pembaharuan pendidikan, terutama dimaksudkan untuk membantu kelompok-kelompok berpenghasilan rendah, hendaknya dikombinasikan dengan programprogram ekonomi bagi si miskin. Jika tidak, pembaharuan pendidikan itu tidak lebih daripada suatu penengah kontradiksi-kontradiksi, suatu penangguhan dalam hai menangani masalah kemiskinan dan partisipasi massa dalam kehidupan ekonomi dan politik negara. Hal ini berarti, misalnya, penerapan pendidikan nonformal di daerah pedesaan atau daerah perkotaan marginal, seharusnya dilakukan bersama-sama dengan program-program ekonomi yang membuat orang-orang di kawasan tersebut mampu memperoleh kekuatan ekonomi, dengan pengorbanan kelompok-kelompok yang lebih kaya di masyarakat. Tanpa program ekonomi itu, pendidikan noniormai hanya menjadi sarana untuk memberikan harapan kepada si miskin, yang hanya sedikit kemungkinannya mendapatkan kemajuan ekonomi. Oleh karena itu, pendidikan di daerah pedesaan itu perlu disertai dengan pemberian kredit kepada petanipetani kecil dan penetapan harga yang lebih tinggi bagi produk yang mereka hasilkan. Selain itu, juga diperlukan pembaharuan 94
dalam hai pemilikan tanah, nasìhat-nasìhat penataan koperasikopcrasi, dan tentang pembelian atau penyewaan mesin atau alat pertanian. Pendidikan demikian itu kiranya yang akan memungkinkan tercapainya produktivitas lebih tinggi dan penempatan tenaga kerja lebih banyak di daerah-daerah pedesaan. Sama halnya dengan program pendidikan kejuruan bagi pekerja di daerah perkotaan, seyogianya dikaitkan dengan penempatan tenaga kerja itu pada akhir proses pendidikan, seperti yang kita paparkan di atas. Namun, sang perencana itu harus berhati-hati dalam memperkirakan — setidaknya agak berhati-hati — orang-orang yang akan dibebani biaya untuk meningkatkan kekuatan ekonomi si miskin. Dalam hai peningkatan kekuatan ekonomi si miskin. Dalam hai ini terutama bagi pekerja pertanian, misalnya, tambahan keuntungan dari bahan makanan hasil pertanian sebagian mungkin akan dipikul oleh pekerja-pekerja di daerah perkotaan dan beban itu tidak akan begitu terasa bagi mereka yang berpenghasilan tinggi dan para pemilik modal (karena golongan yang berpenghasilan rendah di kota, seperti kaum pekerja, sebagian besar penghasilannya dihabiskan untuk membeli bahan makanan, terutama bahan makanan yang diproduksi dalam negeri — lain halnya dengan mereka yang berpenghasilan tinggi). Agar perkiraan ini tidak menjadi kenyataan, para perencana yang merasa bertanggung jawab atas nasib baik golongan berpenghasilan rendah, seyogianya mengembangkan suatu sistem harga dan pengontrolan, sehingga biaya biaya peningkatan penghasilan petani dialihkan menjadi beban me-; reka yang berpenghasilan lebih tinggi, termasuk juga para pemilik modal fisik. Bersamaan dengan itu, mereka juga mengembangkan pendidikan untuk meningkatkan produksi sebagai responsi atas kenaikan penghasilan. Sama halnya dengan uraian di atas ialah upah yang lebih tinggi dan kesempatan kerja yang lebih banyak yang ditawarkan kepada pekerja-pekerja terampil di daerah perkotaan, dapat dibiayai dengan pengambüan surplus si miskin di daerah pedesaan yang lebih besar atau dengan mengusir mereka dari tanah pedesaan serta menekan upah yang dibayarkan kepada pekerja tidak terampil. Metode ini tampaknya bisa diterapkan di kebanyakan negara kapitalis untuk mengadu domba kelas pekerja terampil serta dalam hai peraduan politik antara pekerja terampil di satu pihak dengan pekerja-pekerja tidak terampil di lain pihak (lihat pembahasan 95
perpangsaan di atas). Sang perencana yang berminat dalam peningkatan penempatan tenaga kerja (berikut pemindahan kekuatan ekonomi ke tangán si miskin) bukan saja harus merencanakan rancangan pembaharuan pendidikan untuk menolong si miskin memperoleh keterampilan, akan tetapi juga harus bekerja sama dengan para perencana ekonomi. Mereka ini dapat menyarankan kepada sang perencana mengenai pendistribusian dan penempatan tenaga kerja, yang mungkin bisa diikutsertakan dengan pembaharuan pendidikan agar efektif bagi orang-orang yang hendak ditolong itu. Koordinasi pembaharuan pendidikan dengan perencanaan ekonomi ini untuk penempatan tenaga kerja serta distribusi ulang dari kekuatan ekonomi merupakan kebalikan dari kebanyakan proses perencanaan di negara-negara kapitalis berpenghasilan rendali. Di negara-negara ini keputusan pembaharuan pendidikan berada di bawah perangkat pendidikan dan ekonomi yang objektif yang sebagian besar ditentukan oleh golongan-golongan yang kepentingannya berkaitan dengan pemeliharaan ekonomi yang kelebihan tenaga kerja dan tenaga kerja terampil. Bahkan, berkaitan dengan reproduksi organisasi produksi kapitalis, meskipun dengan pengorbanan terus berlangsungnya kemiskinan dan pengangguran. 4.2.5 Perihal pendidikan dan pekerjaan Walaupun kita tidak banyak melihat peran pendidikan semata (yang tidak dikombinasikan dengan program penurunan tingkat pengangguran yang tinggi dalam beberapa golongan penganggur), ada saja kemungkinan pendidikan itu makin dikaitkan dengan pekerjaan. Hai ini pernah dianjurkan di Amerikan Serikat dan di negara-negara kapitalis lainnya (lihat misalnya Coleman et ai, 1973) sebagai suatu sarana untuk mengubah harapan para pemuda mengenai kesempatan kerja agar dapat meredakan ketegangan poUtik yang ditimbulkan oleh penganggur yang berpendidikan dan setengah pengangguran. Negara-negara seperti Panama telah memulai programnya di daerah-daerah pedesaan, yakni anak-anak didik sekolah menengah tingkat pertama bekerja beberapa jam dalam seminggu di lahan pertanian yang ada kaitannya dengan sekolah (Del Cid, 1976). Penjualan hasil pertanian ini dapat membantu meringankan biaya sekolah. Sedangkan proses mengerjakan lahan pertanian, sebagai bagian dari kurikulum sekolah, bertujuan untuk menyiapkan anak-anak didik menjadi petani yang lcbih produktiv Meksiko telah mengembangkan program pendidikan lan96
jutan yang lebih tinggi (bachillerato) yang anak-anak didiknya bekerja di proyek-proyek sosial yaner merupakan bagian dari pcndidikan mereka (Omelas, 1976). Dalam beberapa segi, program Meksiko ini sama dengan proerram yang dilaksanakan di Antioch ; College, Ohio (Amerika Serikat), yang mengizinkan anak-anak didiknya bekerja selama satu tahun untuk memperoleh kredit kuliah, dan program di Goddard College, Vermont (Anerika Serikat) mengintergrasikan pendidikan universitas dengan pekerjaan. Program-program macam itu menarik perhatian dan merupakan usaha yang bermanfaat untuk membuat pendidikan lebih "relevan" bagi anak-anak didik dalam pelbagai tingkat pendidikan. Sehubungan dengan sekolah di pedesaan Panama juga direncanakan agar sekolah-sekolah lanjutan yang diselenggarakan pemerintah memuneut biaya sekolah serendah munçkin. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan oleh Blaug, ada bahayanya program pendidikan atau pekerjaan semacam itu di dalam perekonomian kapitalis — terutama yang diberikan kepada anak-anak petani dan pekerjapekerja di daerah perkotaan — adanya program itu memäng dapat meningkatkan keterampilan anak-anak itu, namun keterampilan itu dinilai rendah di dalam perekonomian dan besar kemunsrkinannya ketiriggalan zaman atau tidak bisa dipergunakan di dalam pekeriaan, sehingga makin menghukum anak-anak dari kelas-kelas sosial itu. Di sini kita perhatikan, lagi-lagi beban denta itu menimpa' mereka yang berada dalam pangsa tenasra keria yang paling rendah, meskipun pendidikan mereka telah ditingkatkan. Dalam kaitan ini, kita harus membandingkan efek pembaharuan pendidikan atau pekerjaan dan berlangsungnya pembaharuan di negara Cina dan Kuba, sebagai tempat pembaharuan itu berasal. Di negara Cina pendidikan lanjutan dan yang lebih tinggi dikaitkan langsung dengan tempat-tempat bekerja^ baik di daerah pedesaan maupun di kawasan perkotaan. Memang demikianlah halnya, anakanak muda dipilih untuk masuk ke lembaga-lembaga pendidikan yang lebih tinggi oleh teman-teman sekerja mereka, baik atas dasar kemampuannya untuk berprestasi di perguruan tinggi, maupun atas dasar presetasi kerjanya. Bahkan selama mereka masih bersekolah, para anak didik senantiasa menerapkan pengetahuannya dalam situasi-situasi bekerja (lembaga pendidikan lebih tinggi berhubungan dengan unit-unit produksi). Setelah menyelesaikan pendidikannya, anak-anak didik itu kembali ke tempat kerja mereka semula. Kemu97
dian masalah penempatan tcnaga kerja berpcndidikan dan setengah pengangguran pada pokoknya tidak ada, dan biaya untuk pendidikan yang lebih tinggi tingkatnya di dalam syarat-syarat pendapatan yang terdahulu sangat dikurangi (Lembaga Pendidikan, Inggris-Cina, Januari 1974). Di Kuba, masalah kekurangan tenada kerja di bidang pertanian, sebagian besar diakibatkan oleh definisi bahwa pertanian merupakan sektor utama (dalam tahun 1963) dalam pembangunan Kuba. Tanggung jawab terhadap ideologi untuk mengintegrasikan sektor-sektor pedesaan dan perkotaan dan tanggung jawab untuk mengembangkan "manusia bara" yang berorientasi kerja, telah membawa orang Kuba ke pembangunan utama yaitu berdirinya "sekolah-sekolah bagi pedesaan". Dalam perkembangan ini anakanak didik sekolah lanjutan dari daerah perkotaan menghabiskan waktu belajarnya selama 45 hari dalam setahun untuk bekerja dalam produksi pertanian. Di "sekolah-sekolah di pedesaan" itu anak-anak didik sekolah lanjutan dari daerah pedesaan dan perkotaan, hidup bersama-sama dalam asrama sekolah-sekolah pedesaan, sambil bekerja sebagai pekerja pertanian selama duapuluh jam dalam semin^eu. Mereka bekerja di lahan-lahan pertanian yang dikelola sekolah (termasuk pula partisipasi para anak didik) dan hasil kerja mereka dikaitkan dengan rencana pertanian. "Sekolah-sekolah di pedesaan" telah menjadi penamnilan utama dari perluasan pendidikan di Kuba, sejak tahun 1969. Kiranya perlu dite«raskan lagi, mereka yang hidup di asrama sekolah-sekolah itu adalah anak-anak didik dari daerah perkotaan dan pedesaan, dan bukan hanya anak-anak didik sekolah pedesaan saia. Tentu saja sekolah-sekolah kejuruan (menurut model Sekolah Kejuruan Lenin di Havana) sebaorai perkecualian, dan sekolah ini direncanakan akan dibansrun di tiap-tiap provinsi di Kuba yang berjumlah enam belas provinsi. Semua sekolah laniutan yanç ada di daerah pedesaan anak-anak didiknya haras bekerja di lahan pertanian karena merupakan bagian dari kurikulum pelajaran biasa, dalam perputaran waktu belajar yang lamanya empat tahun. Bahkan sekolahsekolah kejuruan di daerah perkotaan murid-muridnya memproduksi barang pabrik. Misalnya, anak-anak didik di Sekolah Kejuruan Lenin membuat semua radio transistor di Kuba, di samping merakit dan memasang komputer-komputer mini ( Carnoy dan Wertheim, 1975). 98
Maksud pembahasan kita bukannya sampai ke detail-detailnya. mengenai sifat pembaharuan pendidikan di Cina dan Kuba, akan tetapi dengan cerita singkat ini hendaknya dapat memperjelas, bahwa temyata sangat banyak yang dapat menjadi pelajaran dari pengalaman-pengalaman ini bagi para perencana pendidikan di negara-negara berpenghasilan rendah. Kedua negara itu telah mehurunkan biaya pengadaan pendidikan sekolah menengah tingkat pertama dan sekolah menengah tingkat atas bagi oranç-orang muda, dan tampaknya tanpa menurunkan kualitas pendidikan di tingkat akademis. Pada kenyataannya ada bukti bahwa bagi Kuba prestasi akademik betul-betul meningkat cukup baik di "sekolah-sekolah di pedesaan", melebihi prestasi bentuk pendidikan tradisional. Produksi pertanian dan industri yang dihasilkan oleh murid-murid sekolah menençah bukan saja menurunkkan biaya pendidikan, tetapi tidalk mustahil juga menghasilkan keuntungan material bersih bagi sektor pendidikan lanjutan, di samping hasil akademik atau hasil kejuruan yang semuanya diangap sebagai produktivitas yang meningkat di waktu yang akan datang bagi anak-anak didik yang terlibat dalam pendidikan itu (Carnoy dan Wertheim, 1975). Pada. saat yang bersamaan, situasi pendidikan atau pekerjaan memenuh^ cita-cita ideologi sosial tentang membangun koperasi dan hai menurunkan perbedaan-perbedaan di antara pengalaman di pedesaan dan di kawasan perkotaan. Program-program macam itu, akan sukar diselipkan dalam konteks perkembangan kapitalis, terutama jika diingat ada maksud untuk mencapai sasaran yang sama. Orang-orang tua dari kelas atas dan kelas menengah rupanya tidak akan menerima persyaratan mengikuti sekolah, yang anak-anaknya harus melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan pertanian atau bahkan di dalam pekerjaan pabrik. Memang, inti pendidikan kapitalis ialah mempersiapkan anak-anak untuk peran-peran kelas yang berlainan. Kendatipun demikian, sesuai dengan pandangan kita, bahwa perencana pendidikan dapat selalu ingat kepada cita-cita "impian", sambil aktif di dalam "politik nyata" dari masyarakat. Dalam hai ini kita dapat menganjurkan bahwa bisa diambii tindakan untuík mengembangkan program-program kerja, terutama pada tingkat-tinsrkat pendidikan yang lebih tinggi di negara-negara berepenghasilan rendah untuk menurunkan atau mengurangi jarak antara pekerja produksi dan tenaga ahli di waktu yang akan datang. Program-program, kerja juga bisa memperkirakan pasaran tenaga kerja untuk peker99
jaan-pekerjaan tertentu. Akan tetapi, hendaknya juga dijelaskan bahwa masih ada kemungkinan besar akan terjadinya pengangguran orang-orang berpendidikan, terkecuali jika seringkali diadakan pengontrolan pasaran tenaga kerja dan jumlah serta jenis orangorang yang sedang mengikuti pendidikan di universitas swasta dan universitas negeri. Apakah yang dapat dikatakan tentang program-program kerja atau belajar pada tinerkat-tin<ïkat pendidikan yang lebih réndah? Di Panama, anak-anak didik di daerah pedesaan bekerja di lahan pertanian yang berhubunggan dengan sekolah. Tentunya belajar atau bekerja itu bermanfaat untuk meningkatkan keterarhpilan bértani dan mungkin dapat meringankan biaya sekolah, jika hasil produksi pertanian itu dijual ke pasaran. Akan tetapi, sekolah-sekolah di pedesaan itu tidak dengan sendirinya meningkatkan kesempataii kerja di kawasan pedesaan dan mungkin saja hasilnya secara ekönomis sangat rendah, terkecuali jika jenis program pendidikan itu dilcombinasikan dengan perubahan-perubahan dalam berbagai kemungkinan perbaikan ekonomi dari penghidupan di pedesaan. Memang, selama program-program itu terus mengajarkan subjek-subjek akademik, yang dapat berguna bagi usaha dalam mencari pekerjaan di kawasan kota, besar kemungkinan program itu tidak dapat membendung arus perpindahan penduduk desa ke kota. Jadi, pembaharuan dari pendidikan produksi itu dapat menekan biaya sekolah anak-anak muda di pedesaan, meskipun adanya pembaharuan macam itu tampaknya tidak dapat diharapkan akan memeçahkan masalah pengangguran. Sebaliknya, sekolah-sekolah produksi di pedesaan yang dikombinasikan dengan pembaharuan struktural, yang rnengutamakan kaum petani, betul-betul dapat diharapkan sumbanorannya ba
Walaupun kernungkinan itu ada, kita tidak bisa mengharapkan bahwa situasi bersekolah atau bekerja baik di pedesaan maupun di daerah perkotaah (dengan pendidikan kejuruan bagi anak-anak pekerja di daeräh kota) dapat membaginya ke dalam dua bagian: pedesaan dän perkotaan ataü menghancurkan struktur kelas di daerah pedesaan dan perkotaan, kecuali jika tiap orang diharuskan mengikuti pendidikan itu. Pembangunan sekolah-sekolah produksi bagi suatu kelas dalam masyarakat, yang dikombinasikan dengan pendidikan akademis akan mengantarkan anak-anak didik ke pendidikan tine:kat universitas terutama bagi anak-anak dari kelas sosiaT yang. lebih tinggi, mungkin bisa menghapuskan pengangguran qrang-orang berpendidikan (menurunkan desakan terhadap perluasan. universitas dengan cara pembatasan masuk ke universitas) tanpa.menyentuh tingkat pengangguran yang tinggi di antara pekerja pedesaan dan para urban yang miskin. Perkembangan pendidikan yang berkaitan dan bekerja sama dengan produksi memberikan kemungkinan yang menarik perhatian, bahkan di dalam masyarakat kapitalis, terutama mengenai segi kemampuannya membiayai kebutuhan sendiri. Akan tetapi, program-program jenis itu — seperti kita harapkan dapat dipaparkan dengan jetas — dalam dirinya tidak mengurangi pengangguran ataupun memberikan kekuatan ekonomi kepada si miskin. Pada kenyataannya, menugaskan anak-anak didik menangani produksi pertanian dan industri, Sementara itu pengangguran tenaga kerja aktif tetap ada, tidak membuat satu sama lain mempunyai banyak arti. Inilah yang menimbulkan situasi dilematis, yakni semua pilihan, masing-masing kesulitan dan keberatan dalam masyarakat kapitalis berpenghasilan rendah yang kekurangan penghasilan per capita, akan tetapi, entah bagaimana tidak mampu mempekerjakan pekerja yang mempunyai kemampuan untuk berproduksi. Banyak anjuran yang di kemukakan dalam rencana tindakan kita memerlukan pengorganisasian kembali dalam memproduksi barang, terutama perubahan pengontrolan atas pembuatan keputusan dalam hai produksi dan pemberian prioritas terhadap penempatan tenaga keria dengan pendapatan keuntungan yang lebih dari cukup. Perubahan-perubahan macam ini tidak akan mudah dibuat di negaranegara berpenghasilan rendah; tentu saja kita bertanya-tanya, apakah perubahan benar-benar dapat dibuat tanpa organisasi secara besar-besaran dari golongan pekerja dan petani. Selain itu, apakah tidak ada pertikaian di antara mereka yang ingin mengembangkan 101
ekonomi dengan cara yang memberikan keuntungan kepada kaum borjuis daerah perkotaan dan kaum menengah di satu pihak, dan mereka yang menghendaki perkembangan melalui struktur politik dan ekonomi berdasarkan kepentingan masyarakat lúas di lain pihak. Pertikaian ini ditekankan pada kepentingan yang besar pengaruhnya di dunia dalam hai pemilihan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, kita mengingatkan agar para perencana itu berhati-hati terhadap anggapan bahwa pembaharuan yang "tidak baru" dapat dibuat dengan mudah. Selain itu, hendaklah sang perencana itu berhati-hati pula terhadap kepastian bahwa masalah pengangguran dan pengangguran orang-orang yang berpendidikan dapat dipecahkan dengan cara membuat perkembangan kapitalis lebih "rasional". Pengangguran dan kelanjutannya dengan pemberian jaminan kerja akan memukul beberapa kekuatan yang mendasar dalam hubungan proses produksi. Jenis anjuran yang telah kita buat hanya dapat dilaksanakan dalam kondisi-kondisi politik tertentu, dan harus merupakan bagian dari keseluruhan strategi untuk mengubah pengontrolan terhadap cara memproduksi barang-barang, dan orang-orang yang mendapat hasil produksi, karena itu memerlukan organisasi massa yang berlatar belakang politik (the organization of a mass political base). Akhirnya, situasi tiap negara adalah khas, dan strategi yang dipakai untuk meningkatkan penempatan tenaga kerja harus muncul dari kebudayaan, ekonomi. dan politik masyarakat khas itu.
102
KEPUSTAKAAN Adelman, I., dan Morris, C.T. Economic growth and social equity in developing countries. Stanford, Calif., Stanford University Press, 1973. Anglo-Chinese Educational Institute. Education in China. London, ECEI, 1974. Barkin, D. "Acceso a la education superior y beneficios que reporta en Mexico", Revista del Centro de Estudios Educativos, 1971. Barnet, R., dan Muller, R. Global Reach. New York, Simon & Schuster, 1975. Blaug, M. An Introduction to the economics of education. London, Allen Lane The Penguin Press, 1970. , Education and the employment problem in developing countries. Geneva, International Labour Office, 1973. , Layard, R., dan Woodhall, M. The causes of graduate unemployment in India. London, Allen Lane The Penguin Press, 1969. Boeke, J.H. Economics and economic policy of dual societies. New York, 1953. Bowles, S., dan Gintis, H. Schooling and Capitalist America. New York, Basic Books, 1974. Braverman, H. Labor and monopoly capital: the degredation of work in the 20th century. New York, Monthly Review Press, 1975. Callaway, A. "School leavers in Nigeria", West Africa, 25 Maret, 1 April, 8 April, dan 15 April, 1961. 103
Calvo, C. et al. Education and reform in Chile, 1964 — 1970. Palo Alto, Calif., Center for Economic Studies, 1975 (mimeo). Carnoy, M. The cost and return to schooling in Mexico. (Unpublished Ph.D. dissertation, University of Chicago Department of Economics, 1964). — — , "Class analysis and investment in human resources", Review of radical political economics, Nos. 3 dan 4, FallWinter 1971. , "The rate of return to school and the increase in human resources in Puerto Rico", Comparative education review, Vol. 61 No. 1, Februari 1972. , Education as cultural imperialism. New York, David McKay, 1974. , "University Education in the economic development of Peru", Consejo Nacional de Universidades Peruanas, Lima, 1975. , Education and economic development: the first generation", Economic development and cultural change, Vol. 25, Suplemen, 1977. , dan Levin, H. The limits of educational reform. New York, David McKay, 1976. , dan Marenbach, D. "The return to schooling in the United States", Journal of human resources, Vol. 10 no. 3, Summer 1975. , Sack,R., dan Thias, H. The payoff to better schooling: a case study of Tunisian secondary school. Washington. World Bank, 1976. , dan Wertheim, J. Economic change and educational reform in Cuba, 1955 - 1974. Washington. World Bank, 1975. Carter, M., dan Carnoy, M. "Theories of labor markets and worker productivity". Palo Alto, Center for Economic Studies, 1974. Chase-Dunn, C. "International economic dependence in the world system". (Unpublished Ph.D. dissertation, Stanford University, 1975). 104
Coleman, J., et al. Youth : the transition to adulthood. Chicago, University of Chicago Press, 1973. Coombs, P.H. The world educational crisis: a system analysis. New York, London, Toronto, Oxford University Press, 1968. —' , dan Ahmed, M. Attacking rural poverty: how nonformal education can help. Baltimore, Johns Hopkins Press, 1974. Del : Cid, C E . "La reforma educativa de Panama en las areas rurales". Stanford University School of Education, Agustus 1976 (mimeo). Dollars and sense. Somerville, Economie Affairs Bureau: No. 17, Mei 1976. Eckaus, R. Estimating the returns to education: a disaggregated approach. Berkeley, The Carnegie Commission, 19/3. Edwards, E.O. (ed.). Employment in developing nations: report on a Ford Foundation Study. New York, Columbia University Press, 1974. , dan Todaro, M. "Educational demand and supply in the context of growing unemployment in less developed countries", World development, Maret-April 1973. Edwards, R., Reich, M., dan Gordon, D. Conference on labor market segregation, Harvard University. Lexington, D.C. Heath, 1975. Emmery, L. "Research priorities of the world employment programme", International labour review, Vol. 105 No. 5, Mei 1972. Fanon, F. The wretched of the earth. New York, Grove Press, 1968. Faure, E., et al. Learning to be: the world of education today and tomorrow. Paris, Unesco, 1972. Foster, P. Education and social change in Ghana. London. Routledge and Kegan Paul, 1965. Freiré, P, Pedagogy of the oppressed. New York, Herder and Herder. 1971. Frank, A.G. "An open letter about Chile to Arnold Harberger and Milton Friedman", Review of radical political economics, Vol. 7 No. 2, Summer 1975. 105
Genovese, E. The political economy of slavery: studies in the economy and sociology of the slave south. New York, Pantheon Books, 1965. Gordon, D., Reich, M., dan Edwards, ,R. "A theory of labor market segmentation". American economic review, Vol. LXIII No. 2. Mei 1973. Gorz, A. Strategy for labor: a radical approach. Boston, Beacon Press, 1967. Grubb, N., dan Lazerson, M. "Rally round the workplace: continuities and fallacies in career education", Harvard educational review, Vol. 45, November 1975. Hallak, J. A qui profite l'école. Paris, Press Universitaries de France, 1974. Harrison, B. "Education and underemployment in the urban ghetto" American economic review, Desember 1972. Higgins, B. Economic development: principles, problems and policies. New York, Norton, 1959. Holsinger, D.B., dan Kasarda, J.D. "Does schooling affect birthrates?", School review, Vol. 84 No. 1, November 1975. Iüich, I. Deschooling society. New York, Harper and Row, 1971. Inkeles, A., dan Smith, D. Becoming modern: individual change in six developing countries. Cambridge, Mass., Harvard University Press, 1974. International Labour Office. The Colombia employment programme. Geneva, International Labour Office, 1971. Jallade, J.P. Public expenditures on education and income distribution in Colombia, Washington, World Bank, 1974. Jensen, A.R. Genetics and education. New York. Harser and Row, 1972. Labelle, T. (ed.) Educational alternatives in Latin America: social change and social stratification. Los Angeles, UCLA Latin American Center Publications, 1975. Langoni, C. La distribucao da renda a desenvolvimento economico do Brasil. Rio de Janeiro, Editora Expressâo e Cultura, 1973. 106
Levin, H. "Educational reform: its meaning", in Carnoy, M. dan Levin, H. (eds.), The limits of educational reform. New York, David McKey, 1976. Mebta, M. Industrialization and employment with special reference to countries of the ECAFE. Bangkok, Asian Institute for Economic Development and Planning, 1968. Melmen, S. Dynamic factors in industrial productivity. Oxford, Basil Blackwell, 1956. Memmi, A. The colonizer and the colonized. Boston. Orion Press, 1965. Mwaniki, D.N. "Education and socio-economic development in Kenya: a study of the distribution of resources for education" (Unpublished Ph. D. dissertation, Stanford University, 1973) Myint, U.H. The economic of developing countries. New York, Praeger, 1964. Organization of American States, General Secretariat. Employment and growth in the strategy of Latin American development: implications for the seventies. VII Annual Meeting of the Inter-American Economic and Social Council (CIES), Panama, September 1971. Órnelas, C. "The politics of the College of Sciences and Humanities (CCH) in Mexico". Stanford University School of Education, 1976 (mimeo). Ozelli, T. "Costs and returns of educational investment in the First Turkish Republic". (Unpublished Ph. D. dissertation, Columbia University, 1968). Papagiannis, G. Nonformal education and national development: a study of the thai mobile training school and its effects on adult participants. Stanford University Ph. D. dissertation, dalam proses penerbitan. Piore, M. "On the technological foundations of economic dualism". Massachusetts Institute of Technology, Working Paper No. 110, Mei 1973. Reimer, E. School is ded: an essay on alternatives in education. New York, Doubleday, 1971. 107
Saiiyal, B.C., dan Yacoub, E.S.A. Higher education and employment in the Sudan. Paris, International Institute for Educational Planning, 1975. Schiefelbein, E. "The politics of national planning: the Chilean case". Educational planning journal of the international planners, Vol. 1 No. 3, Januari 1975. Schultz, T.W. " O n economics, agriculture and the political economy". Paper preapared for the International Conference of Agricultural Economists, Nairobi, 26 Juli — 4 Agustus 1976. Schumpeter, J.A. Imperialism and social classes. New York, Agustus, M. Kelley, 1951. Secretaria de Industrias y Comercio, Dirección General De Estàdistica. Encuesta de Hogres. Mexico, Document ENHP-l, 1975. Stone, K. "The origins of job structure in the steel industry". Radical review of political economics, Vol. 6 No. 2, Summer 1974. Thias, H., dan Carnoy, M. "Cost-benefit analysis of education: a case study on Kenya". Washington, World Bank (Occasional Paper), 1969. Thompson, E.P. Making of the English working class. New York, Vantage Books, 1963. Thurow, L., dan Lucas, R. "The American distribution: a structural problem". (Hearings before the Joint Ekonomic Committee) Washinton, U.S. Government Printing Office, Maret 1972. Todaro, M.P. "Education, migration and fertility". Dalam Simmon, J. (ed.), Investment in education: national strategy options for developing countries. Washington, The World Bank, (dalam proses penerbitah) Tomaia, J., Kwiecinski, Z., dan Borowicz, R. "Access to higher education: reform in Poland". Washington, World Bank Economics Dept., September 1976 (mimeo). Turnham, D. The employment problem in less developed countries: a review of evidence. Paris, O E C D Development Centre, 1971. 108