PENERAPAN SANKSI ADAT OLEH DESA PAKRAMAN DALAM PENGELOLAAM LEMBAGA PERKREDITAN DESA (LPD) Oleh I Nyoman Surata Abstrak: Keberadaan Lembaga Perkreditan Desa di Desa Pakraman di Bali telah menunjukan manfaatnya. Tetapi dalam pengelolaannya, sering ditemukan masalah di antaranya masalah tidak lancarnya pengembalian pinjaman. Salah satu upaya yang diterapkan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menerapkan sanksi adat. Sebagai pemilik Lembaga Perkreditan Desa, desa pakraman dapat saja melakukannya, tetapi yang seharusnya lebih penting adalah mengimplementasikan prinsip kehati-hatian sesuai Surat Keputusan Gubernur Bali. Penerapan sanksi adat sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan nilai keadilan dan kewajaran, dalam konteks pembinaan. Sanksi adat yang diterapkan harus menghargai hak asasi manusia. Kata kunci: Lembaga Perkreditan Desa dan sanksi adat. Pendahuluan Sejak diintrodusir di Bali secara formal melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 1988 tentang Lembaga Perkreditan Desa, telah memberikan manfaat sosial, ekonomi, dan budaya kepada warga desa pakraman. Dalam perkembangannya kemudian, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 1988 telah diganti dengan Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002, dan terakhir diatur dalam Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007. Lembaga Perkreditan Desa (LPD) memiliki beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut. Pertama, mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui tabungan yang terarah serta penyaluran modal yang efektif. Kedua, memberantas sistem ijon, gadai gelap, dan lain-lain yang bisa disamakan dengan itu di daerah pedesaan. Ketiga, menciptakan pemerataan dan kesempatan kerja bagi warga pedesaan. Keempat, menciptakan daya beli dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan pertukaran di desa (Ramantha, 2003). Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2007 dinyatakan bahwa tujuan dari usaha-usaha LPD adalah: 1. mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui kegiatan menghimpun tanbungan dan deposito dari krama desa; 58 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
2.
memberantas ijon, gadai gelap, dan lain-lain yang dapat dipersamakan dengan itu; 3. menciptakan pemerataan kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja krama desa; dan 4. meningkatkan daya beli dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan peredaran uang di desa. Salah satu kendala yang dapat dihadapi oleh Lembaga Perkreditan Desa adalah kemungkinan tidak lancarnya pengembalian pinjaman. Holloh melakukan studi di Jatim, Bali dan NTB, menemukan bahwa rendahnya tingkat penyaluran kredit oleh lembaga-lembaga sejenis Lembaga Perkreditan Desa disebabkan oleh beberapa hal yaitu: penagihan yang tidak lancar, SDM dan kredit macet, yang semuanya disebabkan oleh faktor eksternal dan internal seperti kondisi ekonomi, karakter dan analisis kredit yang kurang memadai. Rendahnya kualitas portofolio hutang, nilai collateral yang rendah serta minimnya provisi terhadap kemungkinan kerugian pinjaman juga merupakan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kemampuan lembaga ini dalam menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat. Lebih lanjut, Holloh juga menyatakan bahwa ada dua alasan mengapa penyaluran kredit rendah yaitu: tidak adanya supervisi atas kredit yang disalurkan dan tingginya tingkat bunga kredit dibandingkan dengan lembaga keuangan seperti Bank Umum. Dalam praktiknya untuk ”pemaksa” peminjam yang tidak memenuhi kewajibannya kepada LPD melakukan pembayaran, diterapkanlah sanksi adat. Dalam Hukum Adat memang tidak ada pembedaan antara konteks pidana dengan perdata. Sering, penerapan sanksi adat ini memang efektif untuk menegakkan aturan pengelolaan LPD. Tetapi banyak kalangan yang menganggap penerapan sanksi ini hanya merupakan pil pahit, yang ditenggarai akan menimbulkan dampak lanjutan selain sering dianggap tidak manusiawi dan tidak sejalan dengan tujuan pembentukan LPD. Prinsip Kehati-hatian Dalam Pengelolaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Dalam Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2007 tentang Lembaga Perkreditan Desa dinyatakan bahwa syarat-syarat untuk mendirikan Lembaga Perkreditan Desa adalah: a. telah memiliki awig-awig tertulis; dan b. ditinjau dari segi sosial ekonomi, desa tersebut cukup potensial untuk berkembang. Dalam Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2007 dinyatakan bahwa lapangan usaha Lembaga Perkreditan Desa mencakup:
59 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
a.
menerima/menghimpun dana dari krama desa dalam bentuk tabungan dan deposito; b. memberikan pinjaman hanya kepada krama desa; c. menerima pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan maksimum sebesar 100% dari jumlah modal, termasuk cadangan, dan laba ditahan, kecuali batasan lain dalam jumlah pinjaman atau dukungan/bantuan dana; dan d. menyimpan kelebihan likuiditasnya pada Bank Pembanguan Daerah dengan imbalan bunga bersaing dan pelayanan yang memadai. Dinyatakan pula bahwa untuk melakukan kegiatannya, Lembaga Perkreditan Desa wajib menaati Keputusan Gubernur tentang prinsip kehati-hatian pengelolaan Lembaga Perkreditan Desa. Prinsip kehati-hatian ini diwujudkan dengan mematuhi ketentuan-ketentuan tentang: a. kecukupan modal; b. batas pinjaman yang diberikan atau batas maksimum pemberian kredit (BMPK); c. sistem klasifikasi pinjaman; d. tersedianya cadangan penghapusan kredit macet yang cupu; e. manajemen likuiditas; f. ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pelaporan lembaga prekreditan desa; g. sanksi-sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi serta penerapannya; h. restrukturisasi, penutupan, dan likuiditas lembaga perkreditan desa. Dalam Keputusan Gubernur Bali Nomor 12 Tahun 2003 tentang Prinsip Kehatihatian Dalam Pengelolaan Lembaga Perkreditan Desa, Dalam Pasal 2 ditegaskan bahwa: 1. LPD wajib memerhatikan kecukupan modal untuk menjamin kecukupan modal. 2. Kecukupan modal ditentukan berdasarkan perbandingan antara modal LPD dengan Aktiva Pertimbangan Menurut Resiko (ATMR). 3. Kecukupan modal harus menunjukkan kapasitas modal dalam menanggulangi risiko. Dalam Keputusan Gubernur Bali Nomor 12 Tahun 2003 diatur pula tentang batas maksimum pemberian kredit (BMPK), klasifikasi pinjaman, pembuatan cadangan penghapusan kredit macet, manajemen liquiditas, dan sebagainya. Secara tidak langsung ada beberapa Keputusan Gubernur Bali yang berhubungan dengan penjaminan keamanan agar LPD dapat dikelola dengan baik. Di antaranya Keputusan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2003 tentang Penyetoran dan Penggunaan Keuntungan Bersih Lembaga Perkreditan Desa, Keputusan Gubernur Bali Nomor 7 60 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
Tahun 2003 tentang Dana Perlindungan Lembaga Perkreditan Desa, Keputusan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pembentukan Badan Pembina Lembaga Perkreditan Desa Provinsi Bali. Ketentuan-ketentuan ini mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan LPD, prinsipprinsip umum tentang pemberian pinjaman harus diperhatikan, agar pinjaman yang diberikan tidak menjadi bumerang bagi warga desa dan pada akhirnya merugikan desa secara keseluruhan. Sanksi Adat Menurut Bushar Muhamad (2000), delik adat adalah adalah suatu perbuatan sepihak dari seseorang atau kumpulan perorangan, mengancam atau menyinggung atau menggaggu keseimbangan dan persekutuan bersifat material atau immaterial, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian akan mengakibatkan suatu reaksi adat yang dipercayainya dapat memulihkan keseimbangan yang terganggu, antara lain dengan berbagai jalan dan cara, dengan pembayaran adat berupa barang, uang, mengadakan selamatan, memotong hewan besar atau kecil dan lain-lain. R. Soepomo (1986) tidak mengemukakan istilah delik adat, tetapi dijelaskan bahwa di dalam sistem hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan ilegal dan hukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum (rechtshersel ) jika hukum itu diperkosa. Dalam Hukum Adat dikenal beberapa delik, di antaranya berupa hal-hal sebagai berikut. 1. Penghianatan adalah golongan delik yang paling berat yaitu segala pelanggaran yang menganggu keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib serta segala pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat. Misalnya: pengkhianatan, memperkosa keselamatan masyarakat seluruhnya, menentang dasar hidup bersama, sehinga perbuatan itu merupakan delik yang paling berat. 2. Pembakaran kampung, perbuatan yang menbakar, memusnahkan seluruh kampung juga menentang keselamatan seluruh masyarakat. Orang yang berkhianat atau membakar itu dianggap mengeluarkan diri dari persekutuan. Ia dapat dibunuh atau dibuang seumur hidup dari persekutuan. 3. Delik terhadap diri pribadi kepala adat, delik ini mengenai masyarakat seluruhnya, karena kepala adat adalah penjelmaan manifestasi, personifikasi masyarakat. Orang yang melawan perintah kepala adat melakukan delik yang disebut ‘dago’ (Minangkabau) ‘tidak memenuhi perintah kepala’ (Batak). Di seluruh Indonesia 61 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
segala perbuatan yang tidak sopan kepada kepala adat itu melanggar hukum. Reaksi adat terhadap delik itu tergantung terhadap berat ringannya pelanggaran yang dilakukan. Dalam hal pelanggaran kesopanan terhadap kepala adat, umumnya si pelanggar harus meminta maaf dengan melakukan upacara yang ditentukan oleh adat. 4. Sihir, tenung. Delik ini tidak terdapat dalam KUHP sebaliknya di dalam sistem hukum adat ia termasuk golongan perbuatan yang menentang keselamatan masyarakat seluruhnya. Orang yang terkenal sebagai ahli sihir, yang biasa menggunakan kekuatan gaib (magic hitam) untuk menganggu kehidupan orang lain dapat dibunuh. 5. Penggangu kekuatan bathin masyarakat. Segala perbuatan atau kejadian yang menganggu kekuatan bathin masyarakat yang mencemarkan suasana bathin, yang menentang kesucian masyarakat merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya, misalnya melahirkan anak di sawah atau di ladang; melahirkan anak kembar yang satu laki dan yang satu perempuan, kalau di Bali disebut ‘buncing’ (manak salah); orang mencemarkan tempat suci seperti surau, gereja, mata air, pura dsb. Sebagai upaya pertahanan (reaksi atau koreksi) dari para petugas hukum terhadap kejadian-kejadian itu diadakan upacara pembersihan masyarakat, supaya kesucian suatu bathin masyarakat tersebut dapat dipulihkan. 6. Incest (sumbang), yaitu delik yang merusak dasar susunan rakyat, adapun yang dapat dikatagorikan sebagai incest yaitu: a. hubungan kelamin antara orang-orang yang menurut hukum adat dilarang kawin, dan b. hubungan kelamin antara seorang wanita dari golongan bangsawan dengan seorang pria dari golongan rakyat biasa. 7. Hamil tanpa nikah, delik yang menentang kepentingan hukum masyarakat atau suatu golongan krabat ialah masalah hamil di luar perkawinan. 8. Melarikan gadis, membawa lari seorang wanita merupakan delik yang sangat berat. 9. Zina, merupakan delik yang terutama melanggar kehormatan golongan kerabat dan melanggar kepentingan hukum seseorang selaku suami. 10. Pembunuhan, merupakan perbuatan yang memperkosa nyawa orang. Hukum kriminal barat yang berdasarkan liberalisme mengemukakan perlindungan nyawa manusia selaku individu sebagai salah satu pokok dasarnya. Hukum tersebut menganggap individu sebagai delik yang seberat-beratnya sehingga delik itu diancam dengan pidana yang seberat-beratnya. Sebaliknya sistem hukum adat tidak
62 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
berdasarkan atas individualisme, dan arti tiap-tiap orang bergantung pada kedudukannya di dalam masyarakat. 11. Perbuatan melukai. Delik yang bersasaran badan seseorang ialah perbuatan melukai. Perbuatan ini tidak langsung memperkosa kepentingan masyarakat seluruhnya, melainkan hanya orang yang dilukai serta golongan kerabatnya. 12. Pencurian. Delik-delik yang mengenai harta benda misalnya pencurian tidak langsung memperkosa kepentingan hukum masyarakat seluruhnya, melainkan hanya kepentingan orang seorang atau golongan yang mempunyai barang yang bersangkutan. Berat ringannya pencurian bergantung pada sifat barang yang dicuri (Lestawi, 1999). Jenis-jenis sanksi adat yang pernah ada di Bali, di antaranya sebagai berikut (Asiti, 1976). 1. Danda, adalah sejumlah uang yang dikenakan kepada seseorang yang melanggar suatu ketentuan atau awig-awig di banjar atau desa. 2. Dosa, adalah sejumlah uang tertentu yang dikenakan kepada krama desa atau banjar apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya. 3. Karampag, ialah bila seseorang krama desa atau banjar yang mempunyai hutang kepada banjar atau desa sampai berlipat ganda tidak dapat membayar, maka segala harta miliknya diambil atau dijual oleh banjar atau desa untuk membayar hutang itu. 4. Kasepekang, adalah tidak diajak bicara oleh krama atau warga banjar atau desa karena terlalu sering melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik atau melanggar peraturan-peraturan di banjar atau desa. 5. Kataban, misalnya adanya ketentuan bahwa kalau sawah sudah ditanami padi dilarang mengembalakan itik di sawah itu. Apabila ternyata ada itik berkeliaran di sawah, dan merusak tanaman padi, maka itik tersebut ditahan (kataban) atau bila sudah ada ketentuan di banjar bahwa tidak ada boleh babi berkeliaran di jalan, kalau ada babi yang berkeliaran, maka babi tersebut ditahan (kataban). 6. Maprayascita, ialah suatu upacara adat untuk membersihkan desa atau tempat tertentu apabila terjadi suatu peristiwa atau perbuatan tertentu yang dianggap mengganggu keseimbangan magis dalam kehidupan masyarakat (mengotori desa). 7. Matirtha gamana, ialah hukuman bagi seorang pendeta yang melakukan kesalahan yang disebut atataji, yaitu seperti meracuni orang, merusak kehormatan orang, dan lain-lain. 8. Selong, ialah sejenis hukuman di mana seseorang dibuang ke tempat lain untuk beberapa lama karena melangar suatu ketentuan adat atau agama.
63 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
Sanksi adat yang juga dikenal dalam masyarakat desa pakraman di Bali adalah (Widnyana, 1992): 1. Mangaksama atau ngalaku pelih, adalah suatu hukuman di mana seseorang melakukan permohonan maaf atau minta maaf kepada orang yang telah disakitinya. 2. Mararung atau mapulang kapasih, ialah suatu hukuman di mana seseorang ditenggelamkan ke laut oleh warga desa atau banjar sampai meninggal dunia 3. Mablagbag, adalah suatu hukuman yang diberikan kepada seseorang yang berupa pengikatan terhadap anggota tubuhnya karena orang tersebut dianggap dapat mengganggu ketentraman, kedamaian dan keamanan desa 4. Katundung, adalah suatu hukuman di mana seseorang dikeluarkan dengan jalan diusir dari persekutuan. Windia (2004) juga menyebutkan adanya sanksi adat yang lain yaitu kaople, adalah suatu sanksi adat yang diberikan kepada seseorang yang melanggar awigawig desa, berupa dipermalukan di depan umum dengan cara menelanjangi pakaiannya. Mengingat sanksi adat umumnya diputus melalui paruman atau melalui kebijaksanaan pemuka adat yang telah diakui kemampuan, kredibilitasnya, serta dukungannya oleh masyarakat, maka sanksi adat yang dijatuhkan kepada krama desa tertentu umumnya didukung oleh seluruh krama desa. Apalagi sering ditemukan bahwa, krama yang tidak mendukung sanksi yang dijatuhkan justru akan menerima sanksi. Misalnya, jika ada krama desa yang tidak mengindahkan sanksi kesepekang terhadap krama desa tertentu, maka krama yang bersangkutan juga akan ikut kesepekang. Sanksi adat kemudian secara fisik dan psikis seringkali dirasa lebih berat dari sanski hukum yang bersifat formal. Penerapan Sanksi Adat Dalam Pengelolaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Dinyatakan secara eksplisit dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007 bahwa desa pakraman merupakan pemilik dari lembaga perkreditan desa. Dalam aktivitas usahanya lembaga prekreditan desa dikelola oleh pengurus, yang terdiri dari kepala, tata usaha, dan kasir. Pengurus dalam melakukan pengelolaan secara internal diawasi oleh pengawas, yang ketuanya dijabat oleh bendesa/klian desa pakraman. Secara ekternal diawasi oleh Gubernur Bali, yang kemudian dilimpahkan kepada Bank Pembangunan Daerah Bali (Keputusan Gubernur Bali Nomor 95/01C/HK/2003). Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, tugas dan wewenang desa pakraman diatur pada Pasal 5 dan Pasal 6. Dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa tugas desa pakraman adalah sebagai berikut. 64 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
1. 2. 3. 4.
membuat awig-awig, mengatur krama desa, mengatur pengelolaan harta kekayaan desa, bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan disegala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan, 5. membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya berdasarkan “paras-paros, sagiliksaguluk, salunglung-sabayantaka” (musyawarah-mufakat), 6. mengayomi krama desa. Sedangkan mengenai wewenang desa pakraman diatur dalam Pasal 6, dalam pasal ini dinyatakan wewenang desa pakraman meliputi: 1. menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awigawig dan adat kebiasaan setempat, 2. turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana, 3. melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman. Salah satu usaha yang dilakukan oleh desa pakraman untuk memenuhi tugasnya adalah dengan mendirikan lembaga perkreditan desa. Dalam hal ini, sebagai suatu bentuk usaha, merupakan keharusan lembaga prekreditan desa dikelola dengan manajemen pengelolaan usaha yang baik. Meskipun ditinjau dari sudut tujuan pendiriannya lembaga perkreditan desa lebih menonjolkan tujuan ideal daripada tujuan komersil, tidak berarti pengelolaannya dapat dilakukan secara sepintas lalu. Kesembronoan pengelolaan dapat menjadi sesuatu yang kontra produktif dengan tujuan pendiriannya. Lembaga perkreditan yang dikelola secara sembrono justru akan merugikan krama desa. Rugi karena simpanannya tidak dapat diambil, atau rugi karena kesempatannya untuk memperoleh bantuan modal dalam mengembangkan usaha menjadi terhambat. Lembaga Perkreditan Desa adalah lembaga keuangan milik desa pakraman yang bertempat di desa. Hubungan kepemilikan ini tampak nyata dalam struktur organisasi Lembaga Perkreditan Desa sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2008 tentang Pengurus dan Pengawas Internal Lembaga Perkreditan Desa. Dilihat dari ide dasar maupun kedudukan LPD sebagai milik desa pakraman, memang ada landasan pikir untuk menerapkan sanksi adat. Meskipun ada beberapa pemangku kepentingan (stake holders) di luar desa pakraman berkenaan dengan LPD, 65 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
tetapi pada dasarnya LPD merupakan lembaga yang didirikan dan dikelola secara intern oleh Desa Pakraman. Dalam konteks ini penerapan sanksi adat dapat dilihat sebagai aturan inten yang disepakati bersama-sama oleh krama desa dalam paruman (musyawarah). Penutup Dari uraian di depan dapat dinyatakan bahwa berkenaan dengan penerapan sanksi adat dalam pengelolaan Lembaga Perkreditan Desa dapat dibenarkan jika pengelolaan tersebut ditempatkan sebagai bagian dari otonomi desa pakraman dalam mengurus kepentingannya. Tetapi, ada aturan-aturan ekternal dari lembaga atasan yang harus diperhatikan dan diikuti. Penerapan sanksi adat mestinya ditempatkan sebagai upaya terakhir, jika terdapat indikasi bahwa tidak dipenuhinya kewajiban oleh krama desa berkaitan dengan tidak adanya itikad baik. Jika prinsip kehati-hatian diterapkan secara baik, pinjaman yang tidak terbayar tentu dapat dikurangi. Sanksi adat yang diterapkan juga harus dihubungkan dengan nilai keadilan dan kewajaran, artinya berimbang dengan kewajiban yang tidak semata-mata bersifat penghukuman, tetapi berupa pembinaan dalam rangka penegakan aturan. Sanksi adat yang diterapkan harus sejalan dengan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Daftar Pustaka Astiti. 1976. Inventarisasi Istilah – Istilah Adat Agama Dan Hukum Adat Bali (Laporan Penelitian). Denpasar: FH UNUD. Busar Muhammad. 2000. Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita. Holloh, D. 2001. Microfinance Institutions Study. Jakarta: ProFI. Lestawi, I Nengah. 1999. Hukum Adat. Surabaya: Paramita. Ramantha, I Wayan. 2003. Menuju LPD Sehat. Dalam Buletin Studi Ekonomi Volume 11 Nomor 1 Tahun 2003. Diterbitkan Fakultas Ekonomi UNUD. Soepomo. 1986. Bab – Bab Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita. Widnyana, I Made. 1992. Eksistensi Delik Adat Dalam Pembangunan. Denpasar: Fakultas Hukum Unud.
66 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011