HIKMAH, Vol. VI, No. 01 Januari 2012, 129-140 130
Penerapan Teori Difusi Inovasi dalam Perubahan Sosial Budaya Oleh: Fahrul Rizal1 Abstract Innovative diffusion is a new word comes from two joined words. The diffusion means a process of how innovation is communicated through a particular medium for members of social culture. It is a typical communication which its massage is a new idea. Moreover, it is a social culture changes type which means changes process of structure and social culture system function. Finally, diffusion means innovation which its process function is having innovation for social culture system. Kata Kunci: Difusi, Inovasi dan Sosial Budaya. Fahrul Rizal adalah Dosen Jurusan Dakwah IAIN Sumatera Utara alumni S-2 Pascasarjana IAIN Sumatera Utara. 1
131 Penerapan Teori… (Fahrul Rizal)
Pengertian dan Latar Belakang Teori Difusi inovasi merupakan gabungan dua kata yang kemudian membentuk satu arti baru. Difusi diartikan dengan suatu proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem sosial budaya. Difusi dapat dikatakan juga sebagai suatu tipe komunikasi khusus dimana pesannya adalah ide baru. Disamping itu, difusi juga dapat diangap sebagai suatu jenis perubahan sosial budaya yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial budaya. Jelas disini bahwa istilah difusi tidak terlepas dari kata inovasi. Karena tujuan utama proses difusi adalah diadopsinya suatu inovasi oleh anggota sistem sosial budaya tertentu. Anggota sistem sosial budaya dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi dan atau sub sistem. Everett Rogers (1964) mendefinisikan difusi sebagai proses dimana sebuah inovasi dikomunikasikan melalui berbagai saluran dan jangka waktu tertentu dalam sebuah sistem sosial budaya. (en.wikipedia.org/wiki/Everett_Rogers). Inovasi merupakan ide, praktek, atau objek yang dianggap baru oleh manusia atau unit adopsi lainnya. Teori ini meyakini bahwa sebuah inovasi terdifusi ke seluruh masyarakat dalam pola yang bisa diprediksi. Beberapa kelompok orang akan mengadopsi sebuah inovasi segera setelah mereka mendengar inovasi tersebut. Sedangkan beberapa kelompok masyarakat lainnya membutuhkan waktu lama untuk kemudian mengadopsi inovasi tersebut. Ketika sebuah inovasi banyak diadopsi oleh sejumlah orang, hal itu dikatakan exploded atau meledak. Jennings Bryant dan Susan Thompson mendefinisikan inovasi sama dengan teknologi, yaitu suatu desain yang digunakan untuk tindakan instrumental dalam rangka mengurangi ketidakteraturan suatu hubungan sebab akibat dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi, inovasi dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk mencapai tujuan tertentu (2002: 113). Teori Difusi Inovasi mulai muncul pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu. (en.wikipedia.org/wiki/Everett_Rogers). Pendapat lain menyebutkan bahwa titik awal munculnya teori Difusi Inovasi pada tahun 1944 ketika Paul Lazarfeld, Bernard Berelson dan H. Guadet menulis artikel berjudul “The People’s Choice”. Pada teori itu disebutkan bahwa komunikator yang mendapatkan pesan dari media massa sangat kuat untuk mempengaruhi orangorang (Nuruddin, 2007: 188). Teori ini kemudian menjadi populer dan sangat luas setelah lahirnya sebuah buku berjudul Diffusion of Innovation (1961) yang ditulis oleh Everett M. Rogers. Kemudian Roger dianggap sebagai tokoh sentral teori ini (Burhan, 2008: 279). Pada awalnya teori ini menjadi kajian pada bidang ilmu sosiologi saja, karena difusi inovasi merupakan bagian dari perubahan sosial. Namun kemudian difusi inovasi juga menjadi kajian penting pada ilmu komunikasi, karena satu unsur penting dari difusi inovasi adalah saluran komunikasi. Artinya difusi inovasi menjadi lancar jika saluran komunikasinya tidak mengalami hambatan.
HIKMAH, Vol. VI, No. 01 Januari 2012, 129-140 132
Sejarah Teori Salah satu tokoh utama teori difusi inovasi adalah Everett M. Rogers. Ia lahir tanggal 6 Maret 1931 dan wafat tanggal 21 Oktober 2004. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga pemilik Pinehurst Farm. Awalnya Rogers tidak memiliki ide untuk mengambil kuliah hingga gurunya mengarahkannya beserta beberapa temanteman sekelasnya untuk mengambil Agriculture untuk S1 dan S2-nya di Iowa State University. Selanjutnya ia sempat menjadi suka relawan di perang Korea selama 2 tahun. Sepulangnya dari perang itu Rogers kembali lagi ke Iowa State University untuk mendapatkan gelar Ph.D di bidang sosiologi dan statistik pada tahun 1957. (http://Riztikhairinnisa.com) Sebenarnya teori Difusi Inovasi ini sudah ada sejak tahun 1903 ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu (Byant dan Thompson, 2002: 113). Teori ini kemudian menjadi populer dan berkembang sejak Roger menulis bukunya berjudul Diffusion of Innovation (1961). Ide buku ini berawal karena banyak sekali inovasi pertanian yang dihasilkan seperti benih jagung hybrid, pupuk kimiawi, dan semprotan untuk rumput liar. Namun tidak semua petani mengadopsi beberapa inovasi tersebut, hanya ada beberapa petani saja yang mengadopsinya setelah inovasi tersebut berhasil dilakukan oleh beberapa petani barulah inovasi tersebut menyebar secara perlahan-lahan. Hal inilah yang menjadi pertanyaan besar bagi Rogers hingga akhirnya menjadi inti dari disertasi Rogers di Iowa State University. Disertasinya berupa penyebaran atau difusi weed spray, ia juga melakukan wawancara langsung terhadap 200 petani tentang keputusannya untuk keputusan mereka mengadopsi inovasi tersebut. Selain itu Rogers juga mempelajari bagaimana difusi inovasi dari bidang-bidang lain, misalnya pada bidang pendidikan, marketing, dan obat-obatan. Ia menemukan banyak kesamaan dalam beberapa bidang tersebut. Hasilnya merujuk kepada S-shaped Diffusion Curve yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog Prancis bernama Gabriel Tarde pada awal abad ke-20. Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekelompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu. Rogers (1983) mengatakan, “Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current importance because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian sosiologi, khususnya komunikasi. (http://Riztikhairinnisa.com). Menurut Bandura, difusi inovasi dipandang sebagai model simbolik, persuasi, dorongan sosial dan motivasi. Tiga peristiwa penting menentukan proses difusi: (a) ketika seseorang belajar mengenai inovasi, (b) ketika seseorang menerima inovasi dan (c) ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain dalam suatu jaringan sosial (Braynt dan Thompson, 1996: 113).
133 Penerapan Teori… (Fahrul Rizal)
Esensi Teori Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial budaya. Hal tersebut sejalan dengan pengertian difusi dari Rogers (1961), yaitu “as the process by which an innovation is communicated through certain channels over time among the members of a social system.” Lebih jauh dijelaskan bahwa difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesanpesan yang berupa gagasan baru, atau dalam istilah Rogers (1961) difusi menyangkut “which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.” (http://wsmulyana.wordpress.com/). Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu: 1. Inovasi Yaitu gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali. Rogers (1983, 165) mengemukakan lima karakteristik inovasi meliputi: a) keunggulan relatif (relative advantage) Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik/unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi, seperti segi ekonomi, prestise sosial, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi. Contoh: dalam pembelian handphone, pengguna handphone akan mencari handphone yang lebih baik dari yang ia gunakan sebelumnya. Misalnya dari penggunaan Nokia N97 berganti ke Blackberry. b) kompatibilitas (compatibility) Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible). Contoh: dalam suku Badui terdapat aturan untuk tidak menggunakan teknologi dari luar, sehingga bentuk inovasi seperti alat-elektronik tidak mereka adopsi karena tidak sesuai dengan norma sosial budaya yang mereka miliki. c) kerumitan (complexity) Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi.
HIKMAH, Vol. VI, No. 01 Januari 2012, 129-140 134
Contoh: masyarakat pengguna PC atau notebook terbiasa dengan penggunaan Windows yang lebih mudah dibandingkan Linux, walaupun Linux memiliki kelebihan dibandingkan Windows tetapi karena penggunaannya lebih rumit masih sedikit orang yang menggunakan Linux. d) kemampuan diuji cobakan (trialability) Kemampuan untuk diujicobakan adalah derajat dimana suatu inovasi dapat diuji-coba batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat diujicobakan dalam seting sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat dengan cepat diadopsi, suatu inovasi sebaiknya harus mampu menunjukan (mendemonstrasikan) keunggulannya. Contoh: produk Molto Ultra Sekali Bilas cepat diterima masyarakat karena secara langsung dapat dibandingkan dengan produk-produk sejenis lainnya. e) kemampuan diamati (observability). Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut mengadopsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif; kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi. 2. Saluran komunikasi Tujuan komunikasi adalah tercapainya suatu pemahaman bersama (mutual understanding) antara dua atau lebih partisipan komunikasi terhadap suatu pesan (dalam hal ini adalah ide baru) melalui saluran komunikasi tertentu. Dengan demikian diadopsinya suatu ide baru (inovasi) dipengaruhi oleh: a) partisipan komunikasi Dari sisi partisipan komunikasi, Rogers mengungkapkan bahwa derajat kesamaan atribut (seperti kepercayaan, pendidikan, status sosial budaya, dan lain-lain) antara individu yang berinteraksi (partisipan) berpengaruh terhadap proses difusi. Semakin besar derajat kesamaan atribut partisipan komunikasi (homophily), semakin efektif komuniksi terjadi. Begitu pula sebaliknya. Semakin besar derajat perbedaan atribut partisipan (heterophily), semakin tidak efektif komunikasi terjadi. Oleh karenanya, dalam proses difusi inovasi, penting sekali untuk memahami betul karakteristik adopter potensialnya untuk memperkecil “heterophily”. b) saluran komunikasi Saluran komunikasi juga perlu diperhatikan. Dalam tahap-tahap tertentu dari proses pengambilan keputusan inovasi, suatu jenis saluran komunikasi tertentu memainkan peranan lebih penting dibandingkan dengan jenis saluran komunikasi lain. Hasil penelitian berkaitan dengan saluran komunikasi menunjukan beberapa prinsip sebagai berikut: 1) saluran komunikasi masa relatif lebih penting pada tahap pengetahuan dan saluran antar pribadi (interpersonal) relatif lebih penting pada tahap persuasi; 2) saluran kosmopolit lebih penting pada tahap pengetahuan dan saluran lokal relatif lebih penting pada tahap persuasi.
135 Penerapan Teori… (Fahrul Rizal)
3) saluran media masa relatif lebih penting dibandingkan dengan saluran antar pribadi bagi adopter awal (early adopter) dibandingkan dengan adopter akhir (late adopter); 4) saluran kosmopolit relatif lebih penting dibandingkan denan saluran lokal bagi bagi adopter awal (early adopter) dibandingkan dengan adopter akhir (late adopter). 3. Jangka waktu; Waktu merupakan salah satu unsur penting dalam proses difusi. Dimensi waktu, dalam proses difusi, berpengaruh dalam hal: (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi, (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial (seberapa banyak jumlah anggota suatu sistem mengadopsi suatu inovasi dalam periode waktu tertentu). 4. Sistem sosial budaya Difusi inovasi terjadi dalam suatu sistem sosial budaya. Dalam suatu sistem sosial budaya terdapat struktur sosial budaya, individu atau kelompok individu, dan norma-norma tertentu. Berkaitan dengan hal ini, Rogers (1983) menyebutkan adanya empat faktor yang mempengaruhi proses keputusan inovasi. Keempat faktor tersebut adalah: 1) struktur sosial budaya (social structure); 2) norma sistem (system norms); 3) pemimpin opini (opinion leaders); dan 4) agen perubah (change agent). Struktur sosial adalah susunan suatu unit sistem yang memiliki pola tertentu. Struktur ini memberikan suatu keteraturan dan stabilitas perilaku setiap individu (unit) dalam suatu sistem sosial budaya tertentu. Struktur sosial budaya juga menunjukan hubungan antar anggota dari sistem sosial budaya. Hal ini dapat dicontohkan seperti terlihat pada struktur organisasi suatu perusahaan atau struktur sosial budaya masyarakat suku tertentu. Struktur sosial budaya dapat memfasilitasi atau menghambat difusi inovasi dalam suatu sistem. Katz (1961) seperti dikutip oleh Rogers menyatakan bahwa sangatlah bodoh mendifusikan suatu inovasi tanpa mengetahui struktur sosial budaya dari adopter potensialnya, sama halnya dengan meneliti sirkulasi darah tanpa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang struktur pembuluh nadi dan arteri. Penelitian yang dilakukan oleh Rogers dan Kincaid (1981) di Korea menunjukan bahwa adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh karakteristik individu itu sendiri dan juga sistem sosial dimana individu tersebut berada. Norma adalah suatu pola perilaku yang dapat diterima oleh semua anggota sistem sosial yang berfungsi sebagai panduan atau standar bagi semua anggota sistem sosial. Sistem norma juga dapat menjadi faktor penghambat untuk menerima suatu ide baru. Hal ini sangat berhubungan dengan derajat kesesuaian (compatibility) inovasi dengan nilai atau kepercayaan masyarakat dalam suatu sistem sosial budaya. Jadi, derajat ketidaksesuaian suatu inovasi dengan kepercayaan atau nilai-nilai yang dianut oleh individu (sekelompok masyarakat) dalam suatu sistem sosial berpengaruh terhadap penerimaan suatu inovasi tersebut. “Opinion Leaders” dapat dikatakan sebagai orang-orang berpengaruh, yaitu orang-orang tertentu yang mampu mempengaruhi sikap orang lain secara informal
HIKMAH, Vol. VI, No. 01 Januari 2012, 129-140 136
dalam suatu sistem sosial budaya. Dalam kenyataannya, orang berpengaruh ini dapat menjadi pendukung inovasi atau sebaliknya, menjadi penentang. Ia (mereka) berperan sebagai model dimana perilakunya (baik mendukung atau menentang) diikuti oleh para pengikutnya. Jadi, jelas disini bahwa orang berpengaruh (opinion leaders) memainkan peran dalam proses keputusan inovasi. Agen perubah, adalah bentuk lain dari orang berpengaruh. Mereka samasama orang yang mampu mempengaruhi sikap orang lain untuk menerima suatu inovasi. Tapi, agen perubah lebih bersifat formal yang ditugaskan oleh suatu agen tertentu untuk mempengaruhi kliennya. Agen perubah adalah orang-orang professional yang telah mendapatkan pendidikan dan pelatihan tertentu untuk mempengaruhi kliennya. Dengan demikian, kemampuan dan keterampilan agen perubah berperan besar terhadap diterima atau ditolaknya inovasi tertentu. Sebagai contoh, lemahnya pengetahuan tentang karakteristik struktur sosial budaya, norma dan orang kunci dalam suatu sistem sosial (misal: suatu institusi pendidikan), memungkinkan ditolaknya suatu inovasi walaupun secara ilmiah inovasi tersebut terbukti lebih unggul dibandingkan dengan apa yang sedang berjalan saat itu. Tahapan Proses Inovasi dan Perubahan Sosial budaya Sementara itu tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi mencakup: 1. Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi. 2. Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik. 3. Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi. 4. Tahapan Implementasi (Implementation), ketika sorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi. 5. Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya. (Morissan, 2010:148). Sztompka menggambarkan tahapan tersebarnya inovasi dan perubahan sosial budaya dengan skema tahapan penyebaran inovasi sebagai berikut:
137 Penerapan Teori… (Fahrul Rizal)
Awal Perubahan
Penyaringan Perubahan
Penyebaran Perubahan
Legitimasi Perubahan
Privat
Menerima
Mengimbangi
Atau
Atau
Atau
Publik Menolak Menguatkan Pada tahap awal inovasi masih milik pribadi, belum menjadi milik umum atau dikenal luas. Ketika inovasi mulai dikenal orang banyak, bukan berarti segera menimbulkan dampak sosial budaya. Ada penyaringan terhadap inovasi baru itu, ada penerimaan dan ada juga penolakan. Jika komunitas lebih kuat menerimanya, baru kemudian terjadi penyebaran inovasi. Kemudian diikuti proses sosial budaya penyeimbangan atau penguatan inovasi. Pada tahapan akhir inovasi mendapatkan legitimasi dari komunitas atau masyarakat luas sehingga terjadilah perubahan sosial budaya. (Sztompka, 2006: 300). Apabila inovasi berhasil melewati semua mekanisme penyaringan dan menjangkau masyarakat, maka tahap penyebarannya pun dimulai. Penyebarannya melalui berbagai kemungkinan: 1. Kompensasi. Bila perubahan awal memicu umpan balik negatif ia cenderung mengurangi arti penting inovasi norma dan berakibat dilenyapkannya sama sekali melalui cara perubahan tandingan. 2. Kompensasi berlebihan. Ini terjadi bila perlawanan yang dimobilisasi terhadap inovasi norma sedemikian kuat sehingga menimbulkan mekanisme kompensasi berlebihan yang berakibat tak hanya melestarikan status quo, tetapi akhirnya merubah struktur ke arah yang diharapkan. 3. Isolasi perubahan. Ini terjadi bila inovasi awal tidak mampu menimbulkan reaksi selanjutnya. Inovasi dipertahankan, tetapi terbatas di bidang struktur normatif di tempat semula diperkenalkan, dampaknya tidak meluas. 4. Tersebar. Apabila perubahan awal menyebabkan transformasi serampangan sejumlah komponen struktur norma tertentu. Ini menimbulkan kekacauan terhadap struktur norma yang ada. 5. Memperkuat perubahan berdasarkan umpan balik simpatik. Disinilah perubahan awal memicu perubahan berantai pada komponen lain. (Baumgartner, 1976: 216). Kategori Adopter Anggota sistem sosial budaya dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter (penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam menerima inovasi). Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujuakan adalah
HIKMAH, Vol. VI, No. 01 Januari 2012, 129-140 138
pengelompokan berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers (1961). Gambaran tentang pengelompokan adopter dapat dilihat sebagai berikut: 1. Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi. 2. Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi. 3. Early Majority (Pengikut Dini): 34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi. 4. Late Majority (Pengikut Akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan sosial, terlalu hati-hati. 5. Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas. (Morissan, 2010:143). Penerapan dan Keterkaitan Teori Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan berikutnya, teori Difusi Inovasi senantiasa dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat. Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial budaya, dan perubahan sosial budaya pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial budaya. Perubahan sosial budaya adalah proses dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial budaya. Perubahan sosial budaya terjadi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) Penemuan (invention), (2) difusi (diffusion), dan (3) konsekuensi (consequences). Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru diciptakan atau dikembangkan. Difusi adalah proses dimana ide/gagasan baru dikomunikasikan kepada anggota sistem sosial budaya, sedangkan konsekuensi adalah suatu perubahan dalam sistem sosial budaya sebagai hasil dari adopsi atau penolakan inovasi. Sejak tahun 1960-an, teori difusi inovasi berkembang lebih jauh dimana fokus kajian tidak hanya dikaitkan dengan proses perubahan sosial budaya dalam pengertian sempit. Topik studi atau penelitian difusi inovasi mulai dikaitkan dengan berbagai fenomena kontemporer yang berkembang di masyarakat. Berbagai perpektif pun menjadi dasar dalam pengkajian proses difusi inovasi, seperti perspektif ekonomi, perspektif ‘market and infrastructure’ (Brown, 1981). Salah satu defenisi difusi inovasi dalam taraf perkembangan ini antara lain dikemukakan Parker (1974), yang mendefenisikan difusi sebagai suatu proses yang berperan memberi nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi. Dia juga menyebutkan bahwa difusi merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan teknik (technical change). Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan dimana keuntungan dari suatu inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan melalui pengguna lain hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai bagian dari kegiatan produktif. (http://Riztikhairinnisa.com).
139 Penerapan Teori… (Fahrul Rizal)
Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut National Center for the Dissemination of Disability Research (NCDDR), 1996, menyebutkan ada 4 (empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu: 1. Dimensi Sumber (SOURCE) diseminasi, yaitu insitusi, organisasi, atau individu yang bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru. 2. Dimensi Isi (CONTENT) yang didiseminasikan, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya. 3. Dimensi Media (MEDIUM) diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau produk tersebut dikemas dan disalurkan. 4. Dimensi Pengguna (USER), yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk dimaksud. (http://Http://Riztikhairinnisa.com). Kritik-kritik Dalam pengaplikasiannya terhadap bidang pertanian ada beberapa kritik mengenai teori difusi inovasi sebagai berikut: Pro-Innovation Bias Maksud dari pro-innovation bias disini adalah adanya prasangka berlebihan terhadap inovasi (pro-innovation). Dalam teori ini semua inovasi dianggap baik tetapi pada kenyataanya tidak selalu seperti itu. Ada kemungkinan konsekuensi negatif sebagai akibat dari inovasi tersebut. Bias in Favor of Larger and Wealthier Farmers Ada bias terhadap petani yang lebih kaya dan besar. Orang-orang tersebut adalah orang-orang yang sangat mau untuk menerima ide baru sehingga semua informasi diarahkan terhadap mereka. Sedangkan yang membutuhkan bantuan diabaikan. Sama dengan pengaplikasian inovasi di bidang lain selain pertanian. Iklan sebuah inovasi biasanya lebih digembar-gemborkan di kalangan masyarakat yang termasuk innovator, early adopter, dan early majority sedangkan yang tergolong sebagai late majority dan laggard tidak mendapatkan perhatian khusus. Individual-Blame Bias Dalam teori ini mereka yang tidak mengadopsi teknologi langsung dicap sebagai “laggard” dan disalahkan karena kurangnya respon mereka terhadap inovasi. Beberapa kritik mengatakan bahwa perusahaan, agensi pengembangan, dan badan riset seharusnya merespon kebutuhan semua petani. Begitu pula saat penerapan di bidang lainnya, seharusnya golongan yang mendapat perhatian lebih dalam penyebaran inovasi adalah golongan yang termasuk kategori late majority dan laggard. Karena bisa saja mereka terlambat mengadopsi atau tidak mengadopsi inovasi karena kurangnya informasi mengenai inovasi tersebut. Issue of equality. Dari teori ini lahir beberapa issue. Akankah inovasi menyebabkan pengangguran atau migrasi warga desa? Akankah yang kaya menjadi lebih kaya dan yang miskin menjadi lebih miskin? Apakah dampak buruk dari inovasi sudah dipertimbangkan? (Http://Riztikhairinnisa.com). Daftar Bacaan Baumgartner, Tom buckley. Metapower and the Structuring of Social Hierarchies”, (Beverly Hills, Sage, 1976)
HIKMAH, Vol. VI, No. 01 Januari 2012, 129-140 140
Bryant Jennings dan Susan Thompson. Fundamentals of Media Effect, McGraw Hill, 2002 Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada, 2008 en.wikipedia.org/wiki/Everett_Rogers http://Riztikhairinnisa.com http://wsmulyana.wordpress.com/ Morissan, et al. Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Ghalia Indonesia Nuruddin, Pengantar Komunikasi Massa, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2007 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial budaya. Jakarta, Prenada Media: 2005