PENGANTAR HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM ISLAM

Sejarah mencatat bahwa perang merupakan fenomena yang paling banyak mempengaruhi nilai-nilai kemanusiaan, ... − Pengertian Hukum Internasional Umum da...

12 downloads 588 Views 475KB Size
PENGANTAR HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM ISLAM

Prof. Dr. Zayyid bin Abdel Karim al-Zayyid Guru Besar Perbandingan Hukum Islam Direktur Institut Peradilan Universitas Islam Imam Muhammad Sa’ud Riyadh

Alih Bahasa Dr. Masri Elmahsyar Bidin Abdullah Syamsul Arifin, MHI

Editor Usman Syihab, Ph.D

DAFTAR ISI ™ Kata Sambutan .......................................................................2 ™ Kata Pengantar .......................................................................5 ™ Pendahuluan ..........................................................................8 ¾ Perang dalam perspektif Islam .................................................9 ¾ Pengertian Hukum Internasiol Umum dalam Islam ........................ 12 ¾ Terminologi Hukum Humaniter Internasional dalam Islam ............... 21 ™ Pasal 1 : Ruang lingkup Hukum Humaniter Internasional dalam Islam .... 29 ¾ Perlindungan terhadap Hak-hak orang luka dan korban .................. 30 ¾ Hak-hak Tawanan ............................................................... 32 ¾ Hak-hak orang hilang dan korban tewas .................................... 42 ¾ Hak-hak Penduduk Sipil ........................................................ 46 ™ Pasal 2 : Implementasi Hukum Humaniter Internasional dalam Islam (Perang Badar sebagai contoh) .................................. 53 ¾ Aspek Kemanusiaan pada Tindakan Rasulullah Saw terhadap para prajurit ......................................................... 56 ¾ Aspek Kemanusiaan pada Tindakan Rasulullah Saw terhadap para tawanan ........................................................ 59 ™ Penutup ............................................................................. 67 ™ Daftar Rujukan ..................................................................... 73 ™ Daftar Isi ............................................................................ 79

PENGANTAR HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM ISLAM

Prof. Dr. Zayyid bin Abdel Karim al-Zayyid Guru Besar Perbandingan Hukum Islam Direktur Institut Peradilan Universitas Islam Imam Muhammad Sa’ud Riyadh

Alih Bahasa Dr. Masri Elmahsyar Bidin Abdullah Syamsul Arifin, MHI

Editor Usman Syihab, Ph.D

International Committee of the Red Cross Komite Internasional Palang Merah (ICRC) Delegasi Regional Indonesia 2008 1

KATA SAMBUTAN Sungguh merupakan suatu kehormatan bagi saya, diberi kesempatan menulis kata sambutan untuk karya yang diterbitkan oleh Kantor Regional Komite Internasional Palang Merah di Semenanjung Jazirah Arab. Karya tersebut berjudul “Pengantar Hukum Humaniter Internasional dalam Islam”. Hukum Humaniter Internasional mempunyai perjalanan panjang yang dimulai dari Konvensi Jenewa pertama tahun 1864 tentang perbaikan kondisi korban luka-luka dari personil tentara di medan perang. Perjalanan itu telah berlangsung kurang lebih 130 tahun sejak terbitnya sejumlah kesepakatan yang melahirkan kaidah-kaidah untuk melindungi korban konflik bersenjata dan membatasi metode dan alat perang sampai berdirinya Mahkamah Kejahatan Internasional yang permanen sesuai dengan kesepakatan Roma tahun 1998. Semua kesepakatan tersebut bertujuan untuk mengurangi dampak perang atas individu dan objek. Meskipun dengan Hukum Internasional Hak-hak Asasi Manusia mempunyai tujuan yang sama, yaitu melindungi kehormatan manusia, namun Hukum Humaniter Internasional hanya diterapkan pada kondisi konflik bersenjata tingkat internasional dan non internasional. Nilai-nilai agung yang terdapat dalam Hukum Humaniter Internasional sejalan dengan nilai-nilai yang dibawa agama Samawi sebelumnya yang diturunkan sebagai rahmat bagi umat manusia dan untuk memuliakan manusia, perbaikan moral diri dan terciptanya perdamaian yang adil bagi semua pihak. Karya yang saya diberi kehormatan untuk menulis sambutannya, merefleksikan berakarnya prinsip-prinsip kemanusiaan dalam ketentuan Syari’at Islam. Tugas ini dilakukan secara sukarela oleh Prof.Dr. Zayyid bin Abdel Karim al-Zayyid, Guru Besar Perbandingan Hukum Islam, Direktur Institut Peradilan, Universitas Islam Imam Muhammad Sa’ud Riyadh. Tulisan beliau ini membahas tentang Ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter Internasional dalam perspektif Islam. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih atas upaya-upaya ini sehingga tulisan ini dapat diterbitkan dengan harapan akan 2

menjadi pemandu awal dalam kajian ini. Sesuai dengan misi Komite Internasional Palang Merah, sejak berdirinya pada awal paruh kedua abad 19, untuk pengembangan Hukum Humaniter Internasional dan penyebarluasan kontennya, maka ICRC sangat gembira dengan karya beliau ini dan berinisiatif untuk mensosialisasinya dengan harapan dapat berpartisipasi dalam mendukung misi ICRC tadi untuk menyebarluaskan ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter Internasional. Representatif ICRC sebagai Kantor Regional di Semenanjung Jazirah Arab adalah organisasi netral dan independen yang mendapat mandat dari peserta Konvensi Jenewa tahun 1949 yang berjumlah 191 negara dan protokol tambahan tahun 1977 dengan tugas pokok memberikan perlindungan dan bantuan bagi korban konflik bersenjata. Sejak awal, pendiri Komite Internasional Palang Merah memahami kebutuhan lambang internasional agar mudah dikenal oleh semua pihak. Lambang tersebut tidak saja dimaksudkan sekedar memberikan perlindungan korban luka-luka dalam medan pertempuran, tapi juga perlindungan bagi para tenaga medis yang memberikan pertolongan. Di samping perlindungan kepada semua unit pelayanan kesehatan, termasuk unit-unit pihak musuh. Begitu melihat lambang tersebut, para kombatan secara spontan menghentikan tembakan dan menghormati lambang internasional tersebut. Konferensi Internasional tahun 1863, di mana ICRC dibuat lambang Palang Merah atas lokasi netral (Bendera Negara Swis yang terbalik), mengukuhkan lambang tersebut sebagai lambang khusus bagi organisasi-organisasi yang menolong para prajurit yang terluka. Setelah setahun, Konferensi Diplomasi Palang Merah memberikan pengakuan lambang tersebut sebagai simbol pelayanan kesehatan dalam militer. Pengakuan ini kemudian dipertegaskan dalam Hukum Humaniter Internasional dengan pengesahan Konvensi Jenewa tahun 1864, namun Dinasti Usmaniyah memutuskan untuk memakai Bulan Sabit Merah (Bendera Dinasti Usmani yang terbalik) sebagai pengganti Palang Merah. Selanjutnya Bulan Sabit Merah juga diakui secara resmi sebagai lambang internasional. Dengan demikian, terdapat dua lambang, yaitu Bulan Sabit Merah dan Palang Merah, sebagai lambang kerja kemanusiaan pada waktu sekarang tanpa ada kaitannya dengan agama. 3

Pada penghujung kata pengantar ini, ingin saya mengulangi ucapan terima kasih kepada Prof.Dr. Zayyid bin Abdel Karim al-Zayyid atas upaya dan inisiatifnya untuk menyebarluaskan buku ini bekerja sama dengan Komite Internasional Palang Merah.

Kuwait, 8 Zulhijjah 1425 bertepatan dengan 20 Desember 2004. Mitchel Miyer ICRC Delegasi Regional di Kuwait

4

KATA PENGANTAR Masalah Hak-hak Asasi Manusia saat konflik bersenjata merupakan topik utama masa kini yang menjadi perhatian para ahli dan intelektual, karena banyaknya terjadi pelanggaran hukum, penganiayaan dan perang yang menambah penderitaan umat manusia. Dalam era masyarakat berbudaya (civil society), masalah ini menjadi sangat penting. Tragedi Hiroshima dan Nagasaki di Jepang; Shabra dan Shatila di Lebanon; Halbajah di Irak; di Bosnia, di Kosova; Kashmir; Chesnia; dan Janin di Palestina, kemudian malapetaka Irak dan tragedi Rafah di Palestina dan tragedi-tragedi lain yang cukup banyak. Semua tragedi tadi membuat manusia bertanya-tanya, di mana Hak-hak Asasi Manusia? Peranglah yang membuat manusia lupa terhadap peri kemanusiaan, prinsip dan moral. Sejarah mencatat bahwa perang merupakan fenomena yang paling banyak mempengaruhi nilai-nilai kemanusiaan, karena selama perang sering terjadi pelanggaran hak-hak minimal individu dan masyarakat. Akhirnya manusia yang mulia itu menjadi tidak bernilai. Semuanya ini mendorong para ahli pikir dan pengambil keputusan untuk serius menghadapi fenomena ini dan berupaya semaksimal mungkin untuk mengontrolnya dalam bentuk dapat menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang kekal. Tulisan pendek ini difokuskan untuk mengetahui perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam saat konflik bersenjata atau Hukum Humaniter Internasional dalam Islam yang bersumber kepada teks agama (Al Qur’an dan Hadis), karya para ulama, hasil penelitian komtemporer. Harapan penulis, semoga tulisan yang merupakan pendahuluan ini dapat dikembangkan lebih lanjut. Patut dicatat di sini bahwa istilah Hukum Humaniter Internasional dalam Islam adalah terminologi baru, meskipun tema dan ruang lingkupnya sudah lama dikenal. Dalam studi Islam, pembahasan hukum internasional diistilahkan para ulama dengan nama “As-Siyar dan al-Maghazi” yang latar belakang penamaannya menurut al-Sarkhasy dalam bukunya “al-Mabsuth” adalah sebagai berikut: “As-Siyar, yaitu nama buku ini, adalah bentuk plural dari kata ‘’l-Sirah” (perjalanan atau biografi), karena menjelaskan perjalanan umat 5

Islam dalam mengadakan hubungan dengan kaum musyrik, seperti kombatan (tentara), Ahl ‘l-‘Ahd (pihak terikat perjanjian), al-Musta’minin (pihak yang minta perlindungan kepada pemerintah Islam) dan Ahl ‘l-Dzimmah (pihak yang berada di bawah proteksi Islam). Selanjutnya dinamakan ‘al-Maghazi’, karena kaidah-kaidah umumnya berdasarkan kepada peperangan Rasulullah Saw1. Dengan judul ‘As-Siyar’, Imam Muhammad bin Hasan ‘l-Syaibani, menulis karyanya dengan komentar penjelasan oleh ‘l-Sarakhsy, dalam lima jilid, yang substansinya sama dengan apa yang dikenal sekarang dengan “Hukum Humaniter Internasional dalam Islam”. Di kalangan ahli hukum, pembahasan dalam bidang ini dikenal dengan istilah “Hukum Perang” atau “Hukum Konflik Bersenjata”. Tapi istilah ini cepat tersebar dan dikenal dalam berbagai karya ilmiah masa kini serta sering dipakai dalam makalah, paper dan edaran pada seminar-seminar internasional, regional dan nasional, sehingga menjadi sangat populer. Meskipun tulisan ini bersifat pengantar bagi Hukum Humaniter Internasional dalam Islam, namun penulis tetap menggunakan metode analisis agar dapat memberikan gambaran umum mengenai tema ini atau kaidah-kaidah umum yang dapat dijadikan dasar atau setidaknya sebagai pendahuluan yang nantinya dapat lebih diperdalam. Ada dua aspek pembahasan yang difokuskan dalam tulisan ini, yaitu aspek waktu dan aspek tematis. Pertama apek waktu, yaitu mempelajari hukumhukum yang berlaku pada saat konflik bersenjata. Kedua aspek tematis, yaitu hukum-hukum yang melindungi individu, objek dan kekayaan yang tidak ada hubungannya dengan medan perang. Kerangka pembahasan terdiri dari: 1. Kata Pengantar yang berisi : − Pengertian Hukum Internasional Umum dalam Islam − Terminologi Hukum Humaniter Internasional dalam Islam 2. Pasal satu mengenai ruang lingkup Hukum Humaniter Internasional dalam Islam 1

6

Lihat Al-Sarakhsy, “Al-Mabsuth”, t.c.(Beirut, Dar ‘l-Ma’rifah, 1406H), 10/2

3. Pasal dua tentang implementasi Hukum Humaniter Internasional dalam Islam (Perang Badar sebagai contoh). 4. Penutup. Pada penghujung tulisan ini, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Dr. Muth’ib bin Saleh al-‘Isyawi, Guru Besar Madya Hukum Internasional, pada Institut Diplomat Departemen Luar Negeri dan juga terima kasih kepada yang mulia Mr. Syarif ‘Atlam, Koordinator Regional, Bagian Pelayanan Konsultasi di Timur Tengah dan Afrika Utara, Komite Internasional Palang Merah (ICRC), atas kesedian mereka membaca tulisan ini dan memberikan sejumlah catatan penting yang sangat penulis hargai. Penulis memohon pertolongan dari Allah Swt dengan harapan kesuksesan dan salawat berserta salam kepada nabi Muhammad Saw.

Riyadh, 12-6-1425

Prof.Dr. Zayyid bin Abdel Karim al-Zayyid Guru Besar Perbandingan Hukum Islam Direktur Institut Peradilan Universitas Islam Imam Muhammad Sa’ud Riyadh Email : [email protected]

7

PENDAHULUAN Terdiri dari :

8

Pertama

: Perang dalam Islam

Kedua

: Pengertian Hukum Internasional dalam Islam

Ketiga

: Terminologi Hukum Humaniter Internasional dalam Islam.

Pertama : Perang dalam Perspektif Islam Prinsip utama dalam hubungan umat Islam dengan bangsa lain adalah perdamaian2. Firman Tuhan:

‫ﺴ ْﻠ ِﻢ ﻛَﺎ ﱠﻓ ًﺔ‬ ‫ﺧﻠُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟ ﱢ‬ ُ ‫ﻦ َﺁ َﻣﻨُﻮﺍ ﺍ ْﺩ‬ َ ‫ﻳﱡﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya”3. Namun ada orang yang tidak bermanfaat bagi dirinya pendidikan dan tidak dapat dicegah dengan kekuatan hukum. Ada pula bangsa yang terpedaya oleh kekuatannya dan kelemahan bangsa tetangganya, melakukan penyerangan dan penjajahan. Dalam hal ini, dianggap layak untuk melegalkan penggunaan kekuatan untuk menghentikan agresi, menciptakan perdamaian dan mengamankan kemerdekaan dan keadilan. Legalisasi perang dalam Islam muncul dari konsep di atas. Tujuan utama perang dalam Islam adalah untuk melindungi hak-hak asasi manusia seperti terdapat dalam firman Tuhan:

‫ﻦ ُﻛﻠﱡ ُﻪ ِﻟﱠﻠ ِﻪ‬ ُ ‫ﻥ ﺍﻟﺪﱢﻳ‬ َ ‫ﻥ ِﻓ ْﺘ َﻨ ٌﺔ َﻭ َﻳﻜُﻮ‬ َ ‫ﺣﺘﱠﻰ ﻻ َﺗﻜُﻮ‬ َ ‫ﺎ ِﺗﻠُﻮ ُﻫ ْﻢ‬ “… perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah”4. Bila pihak musuh menghentikan agresi dan pelanggaran keadilan dan tidak menjadi ancaman bagi keyakinan masyarakat, maka perang tidak dibenarkan5, sesuai dengan firman Allah:

‫ﻦ‬ َ ‫ﻋﻠَﻰ ﺍﻟﻈﱠﺎ ِﻟﻤِﻴ‬ َ ‫ﻥ ِﺇﻻ‬ َ ‫ﻋ ْﺪﻭَﺍ‬ ُ ‫ﻥ ﺍ ْﻧ َﺘ َﻬﻮْﺍ َﻓﻼ‬ ِ ‫ِﺈ‬ “Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”6. Atas dasar itu, perang dalam perspektif Islam tidak akan terjadi, 2 3

4 5 6

Lihat Wahbah al-Zuhaili, “Atsar ‘l-Harb fi ‘l-Fiqh ‘l-Islami”, cetakan ke tiga (Damaskus, Dar ‘l-Fikr, 1419 H) hal. 132 dan Mustafa ‘l-Siba’I, “Nizam ‘l-Silm wa ‘l-Harb fi ‘l-Islam”, hal. 29 Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 208. Selain arti ini, ahli tafsir juga berpendapat bahwa makna ‫ﺍﻟﺴﻠﻢ‬ 

dalam ayat adalah .‫ﺍﺩﺧﻠﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻠﺢ ﻭﺍﻟﻤﺴﺎﻭﻣﺔ ﻭﺗ ﺮﻙ ﺍﻟﺤ ﺮﺏ ﻭﺇﻋﻄ ﺎء ﺍﻟﺠﺰﻳ ﺔ‬,  “masuklah dalam perdamaian, perundingan, hindari perang dan berikan ‘l-jiziyah”. Lihat Tafsir ‘l-Thabari, hal. 4/253 (penterjemah). Al Qur’an surat Al-Anfal ayat 39 Lihat Mustafa ‘l-Siba’I, “Nizam ‘l-Silm wa ‘l-Harb fi ‘l-Islam”, cetakan kedua (Riyadh, Maktabah ‘lWaraq 1419H) hal. 36 Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 193.

9

‫‪kecuali untuk menghentikan serangan yang dimulai oleh pihak musuh atau‬‬ ‫‪mempertahankan kebenaran permanen sesuai perjanjian yang dilanggar pihak‬‬ ‫‪musuh atau untuk pengamanan jalannya kebebasan beragama dan memberi‬‬ ‫‪peluang bagi yang ingin memeluk agama tanpa ada yang menghalangi dan‬‬ ‫‪mencegahnya. Bila ada teks Qur’an yang secara umum berkenaan dengan‬‬ ‫‪memerangi seluruh orang kafir, teks itu harus dikaitkan dengan konteks‬‬ ‫‪ayat. Kalau dipahami ayat-ayat Al Qur’an secara konprehensif, akan jelas‬‬ ‫‪pengertian tadi, yaitu orang yang mempunyai sifat-sifat seperti itu terdapat‬‬ ‫‪pada kumpulan ayat-ayat yang disebutkan dalam konteks ini7.‬‬ ‫‪Namun demikian, kemuliaan jalurnya tetap dipertahankan dan pintu‬‬ ‫‪nilai-nilai moral tetap terjaga. Dalam hadis yang diriwayatkan Sulaiman bin‬‬ ‫‪Buraidah dari bapaknya berkata:‬‬

‫ﺳ ِﺮ ﱠﻳ ٍﺔ َﺃ ْﻭﺻَﺎ ُﻩ ﻓِﻰ‬ ‫ﺶ َﺃ ْﻭ َ‬ ‫ﺟ ْﻴ ٍ‬ ‫ﻋﻠَﻰ َ‬ ‫ﻥ َﺭﺳُﻮ ُﻝ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ‪-‬ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‪ِ -‬ﺇﺫَﺍ َﺃ ﱠﻣ َﺮ َﺃﻣِﻴﺮًﺍ َ‬ ‫ﻛَﺎ َ‬ ‫ﻦ َ‬ ‫ﺴ ِﻠﻤِﻴ َ‬ ‫ﻦ ﺍ ْﻟ ُﻤ ْ‬ ‫ﻦ َﻣ َﻌ ُﻪ ِﻣ َ‬ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ‬ ‫ﺳ ِﻢ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ﻓِﻰ َ‬ ‫ﻏﺰُﻭﺍ ﺑِﺎ ْ‬ ‫ﺧ ْﻴﺮًﺍ ُﺛﻢﱠ ﻗَﺎ َﻝ » ﺍ ْ‬ ‫ﺻ ِﺘ ِﻪ ِﺑ َﺘ ْﻘﻮَﻯ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ َﻭ َﻣ ْ‬ ‫ﺧَﺎ ﱠ‬ ‫ﺖ‬ ‫ﻏﺰُﻭﺍ َﻭ َﻻ َﺗ ُﻐﻠﱡﻮﺍ َﻭ َﻻ َﺗ ْﻐ ِﺪﺭُﻭﺍ َﻭ َﻻ َﺗ ْﻤ ُﺜﻠُﻮﺍ َﻭ َﻻ َﺗ ْﻘ ُﺘﻠُﻮﺍ َﻭﻟِﻴﺪًﺍ‪َ . .‬ﻭِﺇﺫَﺍ َﻟﻘِﻴ َ‬ ‫ﻦ َﻛ َﻔ َﺮ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ ﺍ ْ‬ ‫ﻗَﺎ ِﺗﻠُﻮﺍ َﻣ ْ‬ ‫ﻙ ﻓَﺎ ْﻗ َﺒ ْﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ‬ ‫ﻼ ٍﻝ ‪َ -‬ﻓ َﺄﻳﱠ ُﺘ ُﻬﻦﱠ ﻣَﺎ َﺃﺟَﺎﺑُﻮ َ‬ ‫ﺧَ‬ ‫ﺧﺼَﺎ ٍﻝ ‪َ -‬ﺃ ْﻭ ِ‬ ‫ﺙ ِ‬ ‫ﻼ ِ‬ ‫ﻋ ُﻬ ْﻢ ِﺇﻟَﻰ َﺛ َ‬ ‫ﻦ ﻓَﺎ ْﺩ ُ‬ ‫ﺸ ِﺮﻛِﻴ َ‬ ‫ﻦ ﺍ ْﻟ ُﻤ ْ‬ ‫ﻙ ِﻣ َ‬ ‫ﻋ ُﺪ ﱠﻭ َ‬ ‫َ‬ ‫ﻋ ُﻬ ْﻢ ِﺇﻟَﻰ‬ ‫ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ ُﺛﻢﱠ ﺍ ْﺩ ُ‬ ‫ﻙ ﻓَﺎ ْﻗ َﺒ ْﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َﻭ ُﻛﻒﱠ َ‬ ‫ﺟﺎﺑُﻮ َ‬ ‫ﻥ َﺃ َ‬ ‫ﻼ ِﻡ َﻓ ِﺈ ْ‬ ‫ﺳَ‬ ‫ﻋ ُﻬ ْﻢ ِﺇﻟَﻰ ﺍ ِﻹ ْ‬ ‫ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ ُﺛﻢﱠ ﺍ ْﺩ ُ‬ ‫َﻭ ُﻛﻒﱠ َ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺟﺮِﻳ َ‬ ‫ﻚ َﻓَﻠ ُﻬ ْﻢ ﻣَﺎ ِﻟ ْﻠ ُﻤﻬَﺎ ِ‬ ‫ﻥ َﻓ َﻌﻠُﻮﺍ َﺫ ِﻟ َ‬ ‫ﺧ ِﺒ ْﺮ ُﻫ ْﻢ َﺃ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ ِﺇ ْ‬ ‫ﺟﺮِﻳﻦَ َﻭَﺃ ْ‬ ‫ﻦ ﺩَﺍ ِﺭ ِﻫ ْﻢ ِﺇﻟَﻰ ﺩَﺍ ِﺭ ﺍ ْﻟ ُﻤﻬَﺎ ِ‬ ‫ﺤ ﱡﻮ ِﻝ ِﻣ ْ‬ ‫ﺍﻟ ﱠﺘ َ‬ ‫ﺏ‬ ‫ﻋﺮَﺍ ِ‬ ‫ﻥ َﻛَﺄ ْ‬ ‫ﺧ ِﺒ ْﺮ ُﻫ ْﻢ َﺃ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ َﻳﻜُﻮﻧُﻮ َ‬ ‫ﺤ ﱠﻮﻟُﻮﺍ ِﻣ ْﻨﻬَﺎ َﻓ َﺄ ْ‬ ‫ﻥ َﻳ َﺘ َ‬ ‫ﻥ َﺃ َﺑﻮْﺍ َﺃ ْ‬ ‫ﻦ َﻓ ِﺈ ْ‬ ‫ﺟﺮِﻳ َ‬ ‫ﻋﻠَﻰ ﺍ ْﻟ ُﻤﻬَﺎ ِ‬ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ﻣَﺎ َ‬ ‫َﻭ َ‬ ‫ﻥ َﻟ ُﻬ ْﻢ ﻓِﻰ ﺍ ْﻟ َﻐﻨِﻴ َﻤ ِﺔ‬ ‫ﻦ َﻭ َﻻ َﻳﻜُﻮ ُ‬ ‫ﻋﻠَﻰ ﺍ ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨِﻴ َ‬ ‫ﺠﺮِﻯ َ‬ ‫ﺣ ْﻜ ُﻢ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ﺍ ﱠﻟﺬِﻯ َﻳ ْ‬ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ُ‬ ‫ﺠﺮِﻯ َ‬ ‫ﻦ َﻳ ْ‬ ‫ﺴ ِﻠﻤِﻴ َ‬ ‫ﺍ ْﻟ ُﻤ ْ‬ ‫ﻙ‬ ‫ﻥ ُﻫ ْﻢ َﺃﺟَﺎﺑُﻮ َ‬ ‫ﺠ ْﺰ َﻳ َﺔ َﻓ ِﺈ ْ‬ ‫ﺴ ْﻠ ُﻬ ُﻢ ﺍ ْﻟ ِ‬ ‫ﻥ ُﻫ ْﻢ َﺃ َﺑﻮْﺍ َﻓ َ‬ ‫ﻦ َﻓ ِﺈ ْ‬ ‫ﺴ ِﻠﻤِﻴ َ‬ ‫ﻥ ُﻳﺠَﺎ ِﻫﺪُﻭﺍ َﻣ َﻊ ﺍ ْﻟ ُﻤ ْ‬ ‫ﻰ ٌء ِﺇ ﱠﻻ َﺃ ْ‬ ‫ﺷْ‬ ‫ﻰ ِء َ‬ ‫ﻭَﺍ ْﻟ َﻔ ْ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺼٍ‬ ‫ﺣ ْ‬ ‫ﺕ َﺃ ْﻫ َﻞ ِ‬ ‫ﺻ ْﺮ َ‬ ‫ﻦ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ َﻭﻗَﺎ ِﺗ ْﻠ ُﻬ ْﻢ‪َ .‬ﻭِﺇﺫَﺍ ﺣَﺎ َ‬ ‫ﺳ َﺘ ِﻌ ْ‬ ‫ﻥ ُﻫ ْﻢ َﺃ َﺑﻮْﺍ ﻓَﺎ ْ‬ ‫ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َﻓ ِﺈ ْ‬ ‫ﻓَﺎ ْﻗ َﺒ ْﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َﻭ ُﻛﻒﱠ َ‬ ‫ﺟ َﻌ ْﻞ‬ ‫ﻦﺍْ‬ ‫ﺠ َﻌ ْﻞ َﻟ ُﻬ ْﻢ ِﺫ ﱠﻣ َﺔ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ َﻭ َﻻ ِﺫ ﱠﻣ َﺔ َﻧ ِﺒ ﱢﻴ ِﻪ َﻭ َﻟ ِﻜ ِ‬ ‫ﻼ َﺗ ْ‬ ‫ﺠ َﻌ َﻞ َﻟ ُﻬ ْﻢ ِﺫ ﱠﻣ َﺔ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ َﻭ ِﺫ ﱠﻣ َﺔ َﻧ ِﺒ ﱢﻴ ِﻪ َﻓ َ‬ ‫ﻥ َﺗ ْ‬ ‫ﻙ َﺃ ْ‬ ‫َﻓ َﺄﺭَﺍﺩُﻭ َ‬ ‫ﺨ ِﻔﺮُﻭﺍ ِﺫ ﱠﻣ َﺔ‬ ‫ﻥ ُﺗ ْ‬ ‫ﻦ َﺃ ْ‬ ‫ﻥ ِﻣ ْ‬ ‫ﺻﺤَﺎ ِﺑ ُﻜ ْﻢ َﺃ ْﻫ َﻮ ُ‬ ‫ﺨ ِﻔﺮُﻭﺍ ِﺫ َﻣ َﻤ ُﻜ ْﻢ َﻭ ِﺫ َﻣ َﻢ َﺃ ْ‬ ‫ﻥ ُﺗ ْ‬ ‫ﻚ َﻓ ِﺈ ﱠﻧ ُﻜ ْﻢ َﺃ ْ‬ ‫ﺻﺤَﺎ ِﺑ َ‬ ‫ﻚ َﻭ ِﺫ ﱠﻣ َﺔ َﺃ ْ‬ ‫َﻟ ُﻬ ْﻢ ِﺫ ﱠﻣ َﺘ َ‬ ‫ﻼ ُﺗ ْﻨ ِﺰ ْﻟ ُﻬ ْﻢ‬ ‫ﺣ ْﻜ ِﻢ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ َﻓ َ‬ ‫ﻋﻠَﻰ ُ‬ ‫ﻥ ُﺗ ْﻨ ِﺰ َﻟ ُﻬ ْﻢ َ‬ ‫ﻙ َﺃ ْ‬ ‫ﻦ َﻓ َﺄﺭَﺍﺩُﻭ َ‬ ‫ﺼٍ‬ ‫ﺣ ْ‬ ‫ﺕ َﺃ ْﻫ َﻞ ِ‬ ‫ﺻ ْﺮ َ‬ ‫ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ َﻭ ِﺫ ﱠﻣ َﺔ َﺭﺳُﻮ ِﻟ ِﻪ‪َ .‬ﻭِﺇﺫَﺍ ﺣَﺎ َ‬ ‫ﺣ ْﻜ َﻢ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ﻓِﻴ ِﻬ ْﻢ َﺃ ْﻡ َﻻ «‪.‬‬ ‫ﺐ ُ‬ ‫ﻚ َﻻ َﺗ ْﺪﺭِﻯ َﺃ ُﺗﺼِﻴ ُ‬ ‫ﻚ َﻓ ِﺈ ﱠﻧ َ‬ ‫ﺣ ْﻜ ِﻤ َ‬ ‫ﻦ َﺃ ْﻧ ِﺰ ْﻟ ُﻬ ْﻢ ﻋَﻠَﻰ ُ‬ ‫ﺣ ْﻜ ِﻢ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ َﻭ َﻟ ِﻜ ْ‬ ‫ﻋﻠَﻰ ُ‬ ‫َ‬

‫‪Sa’id Ismail Shini, “Haqiqah ‘l-‘Alaqah baina ‘l-Muslimin wa qhair ‘l-Muslimin”, cetakan pertama‬‬ ‫‪(Beirut, Muassah ‘l-Risalah 1420 H) hal. 42 dan sesudahnya.‬‬

‫‪7‬‬

‫‪10‬‬

“Rasulullah dalam perintahnya kepada komandan seseorang militer agar bertaqwa kepada Allah Swt dan jangan melanggar batas. Sabda beliau: “Bertempurlah atas nama Allah dan pada Sabilillah dan perangilah orang yang tidak beriman. Bertempurlah, tapi jangan melampaui batas, merusak organ mayat dan melakukan kelicikan serta jangan membunuh anak-anak”. Apabila kalian bertemu dengan musuh, yaitu orang-orang musyrik, himbau mereka dengan tiga pilihan dan yang manapun pilihan mereka, terimalah dan berhentilah (memerangi) mereka. Selanjutnya, ajak mereka masuk Islam, bila memperkenankannya, maka terimalah mereka dan hentikan memerangi mereka, minta mereka pindah dari rumah mereka ke tempat kediaman kaum Muhajirin. Bila permintaan ini dikabulkan mereka, beritahukan bahwa hak dan kewajiban mereka sama dengan kaum Muhajirin. Bila mereka menolaknya, beritahukan bahwa mereka disamakan dengan bangsa Arab muslim, di mana hak dan kewajiban mereka sama dengan umat Islam secara keseluruhan dan tidak berhak atas pampasan perang, kecuali bila ikut berjuang bersama umat Islam. Jika mereka menolak, beritahukan bahwa mereka dikenakan jiziyah (pajak), kalau mereka terima, sambutlah mereka dan berhenti memerangi mereka. Apabila mereka juga menolak, maka minta pertolongan kepada Allah Swt dan perangilah mereka. Kalau orang dalam benteng terkepung dan mereka menuntut agar berada di bawah perlindungan Tuhan dan Nabi, jangan dikabulkan, tapi jadikanlah di bawah proteksimu dan kawan-kawanmu. Merasa malu terhadap proteksi kamu dan kawan-kawan lebih mudah dari malu terhadap perlindungan Tuhan dan Nabi. Apabila orang dalam benteng terkepung dan ingin diselesaikan menurut ketentuan Tuhan, jangan dikabulkan, tapi selesaikan dengan ketentuan kalian. Karena engkau tidak mengetahui apakah benar atau tidak dalam ketentuan Tuhan8.

8

Imam Muslim, “Sahih Muslim”, hal. 3/1357

11

Penjelasan-penjelasan tadi memberikan gambaran umum tentang prinsip Islam bila terjadi peperangan. Juga menjelaskan posisi moral dalam pelaksanaan hubungan dengan pihak musuh pada awal letusan sebagai pertanda dimulainya perang. Inilah tujuan dari topik ini.

Kedua : Pengertian Hukum Internasional Umum dalam Islam Difinisi Hukum Internasional Umum adalah kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan pihak-pihak hukum internasional, baik dalam keadaan damai maupun perang. Sumber utama Hukum Internasional Umum, sejak dahulu, adalah perjanjian internasional, hukum kebiasaan, prinsip-prinsip umum hukum yang ditetapkan antar negara, misalnya prinsip tanggung jawab pelaku kerusakan (ganti rugi) dan prinsip menghormati kontrak9. Demikian secara umum dan dalam Islam diketahui bahwa Rasulullah Saw mendirikan awal negara dalam Islam dan melakukan koresponden, berinteraksi dengan negara-negara tetangga. Selanjutnya terdapat hubungan antara negara Islam dengan negara-negara tadi. Hubungan antar negara ini tentu mempunyai kaidah-kaidah yang mengaturnya. Kaidah-kaidah inilah yang menjadi Hukum Internasional Umum dalam perspektif Islam10. Atas dasar itu, dapat disimpulkan bahwa difinisi Hukum Internasional Umum dalam Islam adalah kumpulan kaidah dan ketentuan dalam syari’at Islam yang wajib dilaksanakan negara Islam dalam hubungannya dengan berbagai negara dan organisasi-organisasi intenasional lainnya. Kaidah-kaidah terpenting yang mendasari Hukum Internasional Umum dalam Islam adalah sebagai berikut: 1.

Kesatuan umat manusia. Syari’at Islam memandang umat manusia sebagai satu bangsa yang dipertemukan oleh aspek kemanusiaan. Perbedaan antara bangsa dan suku hanya dimaksudkan untuk saling mengenal dan kerjasama.

9 10

12

Lihat Abdul Karim Zaidan, “Nazarat fi ‘l-Syari’ah”, jal. 119-120 Abdul Karim Zaidan, “Nazarat fi ‘l-Syari’ah”, hal. 130

Persaingan antar bangsa dan suku itu diukur dengan standar lain, yaitu sampai di mana konsistensinya terhadap perintah Allah Swt seperti dalam firman Tuhan dalam Al Qur’an:

‫ﺷﻌُﻮﺑًﺎ َﻭ َﻗﺒَﺎ ِﺋ َﻞ ِﻟ َﺘﻌَﺎ َﺭﻓُﻮﺍ ِﺇ ﱠﻥ َﺃ ْﻛ َﺮ َﻣ ُﻜ ْﻢ ِﻋ ْﻨ َﺪ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ َﺃ ْﺗﻘَﺎ ُﻛ ْﻢ‬ ُ ‫ﺱ ِﺇﻧﱠﺎ َﺧَﻠ ْﻘﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ ِﻣ ْﻦ َﺫ َﻛ ٍﺮ ﻭَُﺃ ْﻧﺜَﻰ َﻭ َﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ‬ ُ ‫ﻳَﺎ َﺃ ﱡﻳﻬَﺎ ﺍﻟﻨﱠﺎ‬ “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu”11. 2.

Kerjasama. Kerjasama atas kebaikan adalah prinsip yang mempunyai posisi tinggi dalam Islam sesuai dengan firman Tuhan:

‫ﻥ‬ ِ ‫ﻋﻠَﻰ ﺍ ْﻟ ِﺈ ْﺛ ِﻢ ﻭَﺍ ْﻟ ُﻌ ْﺪﻭَﺍ‬ َ ‫ﻋﻠَﻰ ﺍ ْﻟ ِﺒ ﱢﺮ ﻭَﺍﻟ ﱠﺘ ْﻘﻮَﻯ َﻭﻻ َﺗﻌَﺎ َﻭﻧُﻮﺍ‬ َ ‫َﻭ َﺗﻌَﺎ َﻭﻧُﻮﺍ‬ “… tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran12. 3.

Toleransi Syari’at Islam menghimbau agar bersikap toleransi kepada umat manusia seperti dalam perintah Tuhan: (‫ﺻ َﻔﺤُﻮﺍ‬ ْ ‫ﻋﻔُﻮﺍ ﻭَﺍ‬ ْ ‫) ﻓَﺎ‬ “Maka ma`afkanlah dan biarkanlah mereka”13 dan firman Tuhan: ِ ‫ﻦ ﺍﻟﻨﱠﺎ‬ ِ‫ﻋ‬ َ ‫ﻦ‬ َ ‫) ﻭَﺍ ْﻟﻌَﺎﻓِﻴ‬. “orang-orang yang menahan ( ‫ﻆ‬ َ ‫ﻦ ﺍ ْﻟ َﻐ ْﻴ‬ َ ‫ﻇﻤِﻴ‬ ِ ‫ﺱ ﻭَﺍ ْﻟﻜَﺎ‬ amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang”14, serta firman Allah: َ ‫ﻲ‬ ‫ﻋﺪَﺍ َﻭ ٌﺓ َﻛ َﺄ ﱠﻧ ُﻪ َﻭ ِﻟ ﱞ‬ َ ‫“ ) َﻭ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻪ‬Tolaklah ( ‫ﻚ‬ َ ‫ﻦ َﻓ ِﺈﺫَﺍ ﺍﱠﻟﺬِﻱ َﺑ ْﻴ َﻨ‬ ُ‫ﺴ‬ َ ‫ﺣ‬ ْ ‫ﻲ َﺃ‬ َ ‫ﺣﻤِﻴ ٌﻢ ﺍ ْﺩ َﻓ ْﻊ ﺑِﺎﱠﻟﺘِﻲ ِﻫ‬ (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”15.

11 12 13 14 15

Al Al Al Al Al

Qur’an Qur’an Qur’an Qur’an Qur’an

surat al-Hujarat ayat 13 surat Al-Maidah ayat 2 surat Al-Baqarah ayat 109 surat Ali Imran ayat 134 surat Fushilat ayat 34

13

4.

Kebebasan berkeyakinan (akidah) Syari’at Islam berlandaskan kebebasan berakidah atau berkeyakinan dan melarang pemaksaan dalam agama seperti dalam firman Tuhan: ( ‫ﻦ‬ ِ ‫) ﻻ ِﺇ ْﻛﺮَﺍ َﻩ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪﱢﻳ‬, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”. Bahkan negara Islam melindungi non muslim yang hidup di bawah naungannya dan mencegah siapa saja yang memaksa mereka untuk meninggalkan agamanya.

5.

Keadilan Syari’at Islam menetapkan keadilan dan mengambil keputusan atas dasar keadilan dalam keadaan damai atau keadaan perang. Di samping mewajibkan para pemeluknya agar berbuat adil terhadap siapapun sesuai dengan perintah Allah Swt dalam Al Qur’an :

‫ﺴ ُﻜ ْﻢ‬ ِ ‫ﻋﻠَﻰ َﺃ ْﻧ ُﻔ‬ َ ‫ﺷ َﻬﺪَﺍ َء ِﻟﱠﻠ ِﻪ َﻭ َﻟ ْﻮ‬ ُ ‫ﻂ‬ ِ‫ﺴ‬ ْ ‫ﻦ ﺑِﺎ ْﻟ ِﻘ‬ َ ‫ﻦ َﺁ َﻣﻨُﻮﺍ ﻛُﻮﻧُﻮﺍ َﻗﻮﱠﺍﻣِﻴ‬ َ ‫ﻳَﺎ َﺃ ﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benarbenar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri”16. Dan firman Tuhan:

‫ﺏ ﻟِﻠ ﱠﺘ ْﻘﻮَﻯ‬ ُ ‫ﻋ ِﺪﻟُﻮﺍ ُﻫ َﻮ َﺃ ْﻗ َﺮ‬ ْ ‫ﻋﻠَﻰ َﺃﻻ َﺗ ْﻌ ِﺪﻟُﻮﺍ ﺍ‬ َ ‫ﻥ َﻗ ْﻮ ٍﻡ‬ ُ ‫ﺷ َﻨ َﺂ‬ َ ‫ﺠ ِﺮ َﻣ ﱠﻨ ُﻜ ْﻢ‬ ْ ‫َﻭﻻ َﻳ‬ “…janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”17. 6.

Resiprokal Syari’at Islam mengakui prinsip resiprokal yang berbasis kaidah moral. Bilamana prinsip resiprokal dijadikan alat untuk keluar dari kaidah keadilan atau merusak nilai-nilai, harus dihentikan pelaksanaannya. Kalau pihak musuh menetapkan pajak yang tidak fair terhadap pengusaha

16 17

14

Al Qur’an surat an-Nisak ayat 135 Al Qur’an surat al-Maidah ayat 8

muslim untuk menguras kekayaan mereka atau merusak kehormatan sebagian umat Islam, pihak Islam tidak dibenarkan melaksanakan prinsip resiprokal tersebut. Begitu juga, umat Islam dilarang berbohong kepada orang yang membohonginya atau mengkhianati orang yang mengkhianatinya18. Argumen para ahli hukum Islam dalam kasus ini (tidak melaksanakan prinsip resiprokal dalam kondisi tersebut di atas) bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran mereka (negara non muslim) terhadap perjanjian (berkhianat) yang kita umat Islam tidak boleh melakukan yang sama. Tindakan tidak adil seperti itu dilarang meneladaninya. Kita tidak boleh berakhlak bejat, meskipun pihak musuh berakhlak bejat seperti itu19. Sumber kaidah-kaidah umum ini adalah Al-Qur’an, Sunah dan Kebiasaan (‘l-‘Urf) yang legal. Sumber dari teks agama (Al Qur’an dan Sunnah) yang berkaitan dengan hubungan negara Islam dengan negara lain adalah sebagai berikut: ¾

Firman Allah Swt:

‫ﻦ َﺁ َﻣﻨُﻮﺍ َﺃ ْﻭﻓُﻮﺍ ﺑِﺎ ْﻟ ُﻌﻘُﻮ ِﺩ‬ َ ‫ﻳَﺎ َﺃ ﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (perjanjian). Ayat ini termasuk yang berlaku umum, yaitu perintah untuk melaksanakan segala bentuk perjanjian. Perjanjian yang disepakati antar negara dianggap termasuk perjanjian yang diakui syariah Islamiyah. Dari itu, negara Islam berkewajiban melaksanakan perjanjian yang ditanda-tanganinya dengan pihak negara lain. ¾

Sebaliknya, terdapat teks yang mengingatkan agar jangan sampai berkhianat (tidak konsisten dengan perjanjian), yaitu firman Tuhan:

‫ﻦ‬ َ ‫ﺤﺐﱡ ﺍ ْﻟﺨَﺎ ِﺋﻨِﻴ‬ ِ ‫ﻥ ﺍﻟﱠﻠ َﻪ ﻻ ُﻳ‬ ‫ِﺇ ﱠ‬ “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat”. 18 19

Lihat ‘l-Sa’di, “Tafsir ‘l-Sa’di”, hal. 1/452 Lihat ‘l-Sarakhsy, “’l-Mabsuth”, hal. 10/2 dan Umar ‘l-Asyqar, “Tarikh ‘l-Fiqh ‘l-Islami”, cetakan ketiga (Kuwait, Matbabah ‘l-Falah 1413 H) hal. 27-29 dan Abdul Karim Zaydan, “Nazarat fi ‘l-Syari’ah ‘lIslamiyah”, hal. 149-150

15

Dan firman Allah:

‫ﺧﻮﱠﺍﻧًﺎ َﺃﺛِﻴﻤًﺎ‬ َ ‫ﻥ‬ َ ‫ﻦ ﻛَﺎ‬ ْ ‫ﺤﺐﱡ َﻣ‬ ِ ‫ﻥ ﺍﻟﱠﻠ َﻪ ﻻ ُﻳ‬ ‫ِﺇ ﱠ‬ “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa”. Apapun bentuk khianat tidak disukai, baik antar individu maupun antar negara. Bahkan khianat antar negara lebih tidak disukai, karena skopnya lebih besar dan lebih umum. ¾

Begitu juga dalam sabda Rasulullah Saw:

‫ﺏ‬ َ ‫ﺙ َﻛ َﺬ‬ َ ‫ﺙ ِﺇﺫَﺍ َﺣ ﱠﺪ‬ ٌ‫ﻼ‬ َ ‫ﻖ َﺛ‬ ِ ‫ َﻗ ﺎ َﻝ » ﺁ َﻳ ُﺔ ﺍ ْﻟ ُﻤ َﻨ ﺎ ِﻓ‬-‫ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ ﻭﺳ ﻠﻢ‬- ‫ﻥ َﺭﺳُﻮ َﻝ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ‬ ‫َﺃ ﱠ‬ َ ‫ﻦ ﺧَﺎ‬ َ ‫ﻒ َﻭِﺇﺫَﺍ ﺍ ْﺋ ُﺘ ِﻤ‬ َ ‫ﻋ َﺪ َﺃ ْﺧَﻠ‬ َ ‫َﻭِﺇﺫَﺍ َﻭ‬ .« ‫ﻥ‬ “Ada tiga kriteria orang munafik, yaitu bila berbicara, berdusta; bila berjanji, tidak konsisten dan bila dipercaya, berkhianat”20. Teks agama dalam konteks ini cukup banyak. Semuanya berlaku umum dan mencakup hubungan antar personal atau hubungan antara negara Islam dengan negara lain. Pemahaman ini dipertegas oleh praktek Rasulullah Saw di lapangan dan perjanjian-perjanjian beliau dengan pihak Yahudi di Medinah atau dengan kaum kafir Qureisy di Mekkah dan dengan kaum Nashrani Najran, termasuk pesan-pesan beliau kepada para panglima tentara Islam yang dikirim menuju medan perang. Selain teks agama tadi, juga terdapat sumber hukum kebiasaan (al-‘urf) yang menjadi prinsip hubungan internasional antara negara Islam dengan negara lain. Kebiasaan dianggap sumber hukum diakui agama dan menduduki posisi penting dalam teks seperti antara lain: 1.

Firman Tuhan: (ِ‫ﺮﻑ‬ ْ ‫ﺧ ِﺬ ﺍ ْﻟ َﻌ ْﻔ َﻮ َﻭ ْﺃ ُﻣ ْﺮ ِﺑ ﺎ ْﻟ ُﻌ‬ ُ ) “Jadilah engkau pema`af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma`ruf (kebiasaan)”. Menurut Hakim Agung, Ibnu ‘Athiyah bahwa kebiasaan (ma’ruf) adalah semua yang sudah dikenal orang dan tidak bertentangan Syari’at Islam”21. Syatibi

20 21

Imam Muslim, “Sahih Muslim”, hal. 1/78 Ibnu Athiyah, “’l-Muharrir ‘l-Wajiz”, hal. 6/187

16

berpendapat: “Kebiasaan yang berlaku diakui sebagai sumber hukum secara syari’ah”22. Pengertian ini didukung oleh pendapat Syeikh ‘lSa’di: “Kebiasaan adalah sumber hukum yang kaya dan dapat dijadikan referensi bagi persyaratan dan hak-hak yang tidak terdapat dalam teks dan Syari’at Islam23. 2.

Firman Tuhan berikut juga mengisyaratkan pentingnya kebiasaan:

‫ﺝ‬ ٍ ‫ﺣ َﺮ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻦ ِﻣ‬ ِ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪﱢﻳ‬ َ ‫ﺟ َﻌ َﻞ‬ َ ‫َﻭﻣَﺎ‬ “…Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”24. Artinya mencegah masyarakat dari kebiasaan yang selalu dilakukan merupakan kesulitan bagi mereka. Al-Sarakhsi berkata: “menjauhkan kebiasaan yang kongkrit adalah kesulitan yang nyata”25. Dari itu, pengakuan terhadap kebiasaan yang berlaku antar individu secara otomatis membawa kepada pengakuan terhadap kebiasaan yang berlaku antar negara dalam berbagai kondisi dan keadaan, selama tidak bertentangan dengan teks agama yang akurat. Atas dasar itu, penulis berpendapat bahwa Hukum Kebiasaan Internasional merupakan sumber hukum yang wajib dita’ati oleh negara Islam dan melaksanakannya selama tidak berseberangan dengan teks agama, baik dalam Hukum Internasional Umum maupun dalam salah satu cabangnya seperti Hukum Humaniter Internasional yang menjadi topik pembahasan dalam buku ini. Di samping sumber-sumber Hukum Internasional yang diakui Islam, terdapat pula aspek yang sangat penting dalam pelaksanaan Hukum Internasional, yaitu menjunjung tinggi moral atau akhlak. Urgensi akhlak dalam Hukum Internasional Umum dalam Islam cukup jelas dan tingkat urgensi yang sama juga terdapat dalam hubungan legal antar individu. Dengan demikian, keharusan menjaga nilai moral dalam hubungan tingkat individu dan menjauh sebaliknya, juga menjadi suatu keharusan dalam hubungan antar negara. Ada wacana yang tidak biasa diterima 22 23 24 25

‘l-Syatibi, “’l-Muwafiqat fi Ushul ‘l-Syari’ah”, komentar Abdullah Daraz, cetakan kedua (Mesir, ‘lMaktabah ‘l-Tijariyah 1395) hal. 2/286 Al-Sa’di, “Al-Mukhtarat ‘l-Jaliyah min ‘l-Masail ‘l-Fiqhiyah”, cetakan kedua (Riyadh, ‘l-Riasah ‘l‘Ammah li ‘l-Buhust ‘l-‘Ilmiyah wa ‘l-Iftak, 1405) hal. 127. Al Qur’an surat Al-Hajj ayat 78 Lihat ‘l-Sarakhsy, “’l-Mabsuth”, hal. 13/14-15 dan hal. 1/87 serta hal. 15/120

17

oleh Syari’at Islam, yaitu suatu sifat atau tindakan dalam hubungan antar individu dianggap keji dan terlarang dalam Islam, kemudian sifat dan tindakan yang sama dianggap mulia dan sah dalam hubungan negara Islam dengan negara lain. Karena itu, prinsip sejati Hukum Internasional dalam Islam adalah menjunjung tinggi akhlak atau moral dan negara Islam harus mematuhinya secara seksama dalam segala kondisi dan dalam hubungannya dengan semua negara, termasuk dengan penduduk negaranegara tersebut meskipun untuk konsistensi ini, harus berkorban banyak dan hilangnya sejumlah kepentingan. Karena konsistensi terhadap akhlak dalam perspektif Islam sangat berharga sekali dan tak ternilai. Apapun upaya dan pengorbanan demi terwujudnya dianggap sepele dan kecil. Tidak konsisten dalam hal ini dianggap sangat buruk yang keburukannya tidak dapat dihilangkan26. Dari sini, titik tolak perbaikan dalam masalah hak-hak asasi manusia khususnya dan masalah lainnya secara umum, menurut Islam adalah nilai-nilai moral, di samping titik tolak hukum, namun sisi moral lebih dalam. Hal ini didukung sabda Rasulullah Saw:

‫ﻕ‬ ِ ‫ﺧﻼ‬ ْ ‫ﻦ ﺍ ْﻟ َﺄ‬ َ‫ﺴ‬ ْ ‫ﺣ‬ ُ ‫ﺖ ِﻟُﺄ َﺗ ﱢﻤ َﻢ‬ ُ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َﻝ ُﺑ ِﻌ ْﺜ‬ َ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َﻭ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ‬ َ ‫ﻥ َﺭﺳُﻮ َﻝ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ‬ ‫َﺃ ﱠ‬ “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”27. Hadis yang menarik perhatian dan memfokuskan pada risalah Nabi Muhammad Saw kepada tujuan akhlak ini, jelas menunjukkan tingginya posisi akhlak dalam agama Islam. Islam melihat akhlak sebagai terkait erat dengan keimanan seperti terlihat dalam sabda Rasulullah Saw:

‫ﺧُﻠﻘًﺎ‬ ُ ‫ﺴ ُﻨ ُﻬ ْﻢ‬ َ ‫ﺣ‬ ْ ‫ﻦ ﺇِﻳﻤَﺎﻧًﺎ َﺃ‬ َ ‫ » َﺃ ْﻛ َﻤ ُﻞ ﺍ ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨِﻴ‬-‫ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫ﻗَﺎ َﻝ َﺭﺳُﻮ ُﻝ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ‬ “Orang-orang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya”28. 26 27 28

18

Lihat Abdul Karim Zaidan, “Nazarat fi ‘l-Syari’ah”, cetakan pertama (Beirut, Muassah ‘l-Risalah 1421H) hal. 145 Imam Malik, “Al-Mautha’,” cetakan ke tujuh (Beirut, Dar ‘l-Nafais, 1404 H) hal. 651, hadis nomor 1634 Al-Turmudzi, “Sunan ‘l-Turmudzi”, hadis nomor 928. Ahli Hadis Al-Bani bependapat hadis itu termasuk kategori hasan.

Ketinggian posisi akhlak juga meninggikan posisi orang yang berakhlak dan dekat posisinya dengan majelis Rasulullah Saw seperti disebut dalam sabda beliau:

‫َﺃ ﱠ‬ ‫ﻰ َﻭَﺃ ْﻗ َﺮ ِﺑ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ﱢﻨ ﻰ‬ ‫ﺣ ﱢﺒ ُﻜ ْﻢ ِﺇ َﻟ ﱠ‬ َ ‫ﻦ َﺃ‬ ْ ‫ﻥ ِﻣ‬ ‫ َﻗ ﺎ َﻝ » ِﺇ ﱠ‬-‫ﺻ ﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ ﻭﺳ ﻠﻢ‬- ‫ﻥ َﺭﺳُﻮ َﻝ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ‬ .‫ﻼﻗًﺎ‬ َ‫ﺧ‬ ْ ‫ﺳ َﻨ ُﻜ ْﻢ َﺃ‬ ِ ‫ﺠ ِﻠﺴًﺎ َﻳ ْﻮ َﻡ ﺍ ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ َﺃﺣَﺎ‬ ْ ‫َﻣ‬ “Sesungguhnya yang paling cinta dan dekat kepada majelisku di hari kiamat nanti adalah yang paling baik akhlaknya”29. Orang yang paling dekat dengan majelis Rasulullah Saw di hari Kiamat nanti adalah mereka yang memiliki akhlak yang mulia. Semakin bertambah tinggi akhlak seorang muslim, semakin dekat dengan majelis Rasulullah. Posisi akhlak lebih terdepan dari sejumlah amal saleh seperti terlihat dalam sabda Rasulullah berikut:

.« ‫ﺟ َﺔ ﺍﻟﺼﱠﺎ ِﺋ ِﻢ ﺍ ْﻟﻘَﺎ ِﺋ ِﻢ‬ َ ‫ﺧُﻠ ِﻘ ِﻪ َﺩ َﺭ‬ ُ ‫ﻦ‬ ِ‫ﺴ‬ ْ ‫ﺤ‬ ُ ‫ﻙ ِﺑ‬ ُ ‫ﻦ َﻟ ُﻴ ْﺪ ِﺭ‬ َ ‫ﻥ ﺍ ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ‬ ‫َﻳﻘُﻮ ُﻝ » ِﺇ ﱠ‬ “Orang mukmin dengan kemuliaan akhlaknya menyusul tingkat orang yang melaksanakan puasa”30. Karakteristik moral terpenting dalam Hukum Internasional Umum dan Hukum Humaniter Internasional dalam Islam secara khusus adalah konsisten dengan keadilan dalam kondisi apapun dan bagaimanapun sikap pihak musuh seperti dalam petunjuk Allah Swt:

‫ﻥ‬ ‫ﺏ ﻟِﻠ ﱠﺘ ْﻘ ﻮَﻯ ﻭَﺍ ﱠﺗ ُﻘ ﻮﺍ ﺍﻟﱠﻠ َﻪ ِﺇ ﱠ‬ ُ ‫ﻋ ِﺪﻟُﻮﺍ ُﻫ َﻮ َﺃ ْﻗ َﺮ‬ ْ ‫ﻋﻠَﻰ َﺃﻻ ﺗَ ْﻌ ِﺪﻟُﻮﺍ ﺍ‬ َ ‫ﻥ َﻗ ْﻮ ٍﻡ‬ ُ ‫ﺷ َﻨ َﺂ‬ َ ‫ﺠ ِﺮ َﻣ ﱠﻨ ُﻜ ْﻢ‬ ْ ‫َﻭﻻ َﻳ‬ .‫ﻥ‬ َ ‫ﺧﺒِﻴ ٌﺮ ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ‬ َ ‫ﺍﻟﱠﻠ َﻪ‬ “…janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

29 30

Al-Turmudzi, “Sunan ‘l-Turmudzi”, hadis nomor 928. Ahli Hadis Al-Bani bependapat hadis itu termasuk kategori sahih. Abu Daud, “Sunan Abi Daud”, hadis nomor 4013 Ahli Hadis Al-Bani bependapat hadis itu termasuk kategori sahih.

19

Maksudnya jangan sampai kebencian suatu bangsa, sikap permusuhan dan tindakan kekerangan mereka terhadapmu, membuat kalian melakukan tindakan pelanggaran terhadap mereka. Seorang muslim wajib mematuhi perintah Allah Swt dan menempuh jalan keadilan, meskinpun dizalimi dan dijahati. Ia tidak boleh berdusta kepada orang yang pernah mendustainya dan tidak boleh mengkhianati orang yang pernah mengkhianatinya31. Salah satu cabang dari prinsip keadilan yang dimaksud adalah pertanggung jawaban hanya bagi pelaku saja dan selain dia tidak ada orang lain yang akan bertanggung jawab atas kesalahannya. Firman Tuhan:

.‫ﺧﺮَﻯ‬ ْ ‫َﻭﻻ َﺗ ِﺰ ُﺭ ﻭَﺍ ِﺯ َﺭ ٌﺓ ِﻭ ْﺯ َﺭ ُﺃ‬ “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”32. Maksudnya, masing-masing pribadi bertanggung-jawab atas kesalahannya33. Betapa seringnya prinsip ini terlupakan dalam peperangan dan konflik. Suatu bangsa secara utuh harus memikul kesalahan yang diperbuat oleh segelintir mereka. Terjadinya perang, pembunuhan massal (genocide) dan pembersihan etnik (ethnic cleansing) karena masyarakat tertindas memikul kesalahan bangsa lain. Praktek yang dilakukan Rasulullah Saw dalam kasus pelanggaran sebagian kelompok atas perjanjian yang telah disepakati bahwa pelanggaran tersebut hanya dipikul kepada kelompok itu saja, termasuk pihak yang mendukung pelanggaran tersebut. Siapa yang tidak melakukan pelanggaran dan tidak mendukung pelanggaran tersebut, Rasulullah Saw tetap konsisten dengan perjanjian yang disepakati dengan mereka34. Pendapat para ahli hukum Islam memperkuat pengertian di atas. Ibnu Qudamah, misalnya, dalam buku “al-Mughni” berpendapat: “Bila seseorang mengingkari telah memberi dukungan kepada pelanggar perjanjian, baik pengingkaran tersebut bersifat lisan, perbuatan dan 31 32 33 34

20

Lihat ‘l-Sa’di, “Tafsir ‘l-Sa’di”, hal. 1/452 Al Qur’an surat Fathir ayat 18 Lihat Al-Maraghi, “Tafsir ‘l-Maraghi”, cetakan kedua (Beirut, Dar ‘l-Kutub ‘l-Arabiyah, 1985) hal. 22/119 Lihat Ibnu Qayyim, “Zad ‘l-Mi’ad fi Huna Khair ‘l-‘Ibad”, cetakan kedua (Bairut, Muassah ‘l-Risalah 1405H) hal. 3/136-137

pemisahan diri maupun mengirim pernyataan pengingkaran tersebut kepada imam (pemerintah, maka statusnya dianggap tetap dalam perjanjian. Imam memerintahkan yang bersangkutan memisahkan diri untuk menangkap pelanggar. Kalau ia menolak memisahkan diri atau menyerahkan pelanggar, maka ia menjadi pelanggar, karena mencegah penangkapan pelanggar berarti statusnya sama-sama pelanggar35. Hal ini menunjukkan betapa konsistennya Islam dalam pelaksanaan perjanjian dan penegakan keadilan secara maksimal serta berpegang pada prinsip. Kaidah-kaidah Islam dalam Hukum Internasional Umum semakin kokoh dan membuatnya tambah berbeda dengan kaidah-kaidah lainnya dan semakin cermat penerapannya, yaitu prinsip kontrol diri yang tertanam dalam diri seorang muslim. Prinsip kontrol diri ini akan menambah semangatnya untuk melaksanakan kaidah-kaidah tadi, karena ada sumber Ilahinya, di mana membuatnya semakin senang dalam penerapan dengan harapan dapat memperoleh pahala-Nya dan terjauh dari siksaan-Nya di akhirat nanti selain siksaan di atas dunia, jika melanggarnya. Faktor utama dalam taat hukum adalah takut mendapat sanksi duniawi dan bukan untuk menghormati kaidah-kaidahnya. Dalam hal ini berkata Dr. Abdulhayy Hijazi: “Penghormatan individu terhadap hukum secara sukarela dan didorong rasa cinta untuk mentaatinya tidak lebih dari cita-cita yang terpuji. Namun realitanya, dalam taat hukum, rasa cinta untuk mematuhinya tidak sebanding dengan rasa takut kepada sanksinya. Rasa takut kepada hukum semakin sirna seiring dengan sirnanya sikap menghormati dalam diri”36.

Tiga: Terminologi Hukum Humaniter Internasional dalam Islam Meski epidemik perang sulit untuk dihilangkan sama sekali, namun terdapat upaya serius untuk mengurangi dampak negatifnya, dan semaksimal mungkin kerugian hanya terbatas pada pihak-pihak yang terlibat konflik dan 35 36

Ibnu Qudamah, “’l-Mughni”, (Riyadh, maktabah ‘l-Riyadh ‘l-Haditsah, t.t.) hal. 8/462 Abdul Hayy Hijazi, “Al-Madkhal li Dirasat ‘l-‘Ulum ‘l-Qanuniyah” (‘l-Qanun), t.c.(Kuwait, Jami’at ‘lKuwait 1972H) hal. 1/107-108

21

tidak merembet ke luar dari kawasan perang. Ini adalah dasar konsep Hukum Humaniter Internasional.37 Hukum yang bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi saat konflik bersenjata itu disebut Hukum Humaniter Internasional yang ditambahkan karakteristik kemanusiaan kepada kaedah-kaedahnya38. Selanjutnya, asal usul munculnya Hukum Humaniter Internasional adalah sensitivitas kemanusiaan (humanity sentiment) untuk melindungi manusia dari agresi penyerangan saat konflik. Karena itu, Hukum Humaniter Internasional merupakan bagian khusus atau salah satu cabang dari Hukum Internasional Umum. Tapi Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Internasional Hak Asasi Manusia adalah dua cabang Hukum Internasional yang berdiri sendiri. Masing-masing mempunyai ruang lingkup dan waktu pelaksanaan yang terpisah. Hukum Humaniter Internasional, misalnya, berlaku pada masa perang, sedangkan Hukum Internasional Hak Asasi Manusia berlaku pada masa damai. Keduanya bertemu dalam prinsip yang sama, yaitu melindungi individu dan hak-haknya, tapi berbeda dalam implementasi. Fokus Hukum Humaniter Internasional adalah untuk melindungi individu-individu musuh saat konflik bersenjata, sementara fokus Hukum Internasional Hak Asasi Manusia untuk melindungi individu dari kesewenangan dan pelanggaran yang dilakukan negara yang bersangkutan.39 Atas dasar klasifikasi ini, difinisi Hukum Humaniter Internasional dalam Islam adalah kumpulan kaidah-kaidah hukum Islam yang bertujuan untuk melindungi manusia dan hak-haknya saat konflik bersenjata. Sesuai dengan pengertian bahwa perang dalam perspektif Islam bersifat darurat yang dinilai secara proposional dan berpegang kepada difinisi Hukum Humaniter Internasional dalam Islam yang disinggung di atas, dapat ditarik dua kaidah penting dalam hukum tersebut. Pertama, perang, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, harus terbatas pada sifat darurat saja.

37 38 39

22

Lihat John Backtieh , “Prinsip Hukum Humaniter Internasional” dalam “Kuliah-kuliah Hukum Humaniter Internasional, editor Syarif Atlim, cetakan ke tiga, (Beirut, Pen. Darul Mustaqbal Arabi, 2003) hal. 52. Lihat Abdul Ghani Abdul Hamid Mahmud, “Perlindungan korban konflik bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional dan Syariat Islam” (Cairo, ICRC 2000) hal. 6 Lihat Abul Khair Ahmad Athiah, “Perlindungan Warga Sipil dan Objek sipil dalam konflik bersenjata” (Konparatif Studi dengan Syari’at Islam) (Cairo, Darul Nahdhah 1998) hal. 18

Kedua, apapun yang terjadi dalam perang itu, harus bersifat kemanusiaan atau menghormati aspek kemanusiaan pihak-pihak yang terlibat. Kedua kaidah tersebut merupakan prinsip Islam dalam soal perang. Pertama, prinsip darurat, di mana dalam Syari’at Islam ditetapkan bahwa darurat diukur secara proposional.40 Selama perang itu bersifat darurat, maka harus tidak melewati batas darurat itu. Melewati batas ini dianggap sebagai pelanggaran dan penyerangan terhadap pihak lain. Kedua, kaidah kemanusiaan. Prinsipnya adalah memuliakan manusia sesuai dengan firman Tuhan:

‫َﻭ َﻟ َﻘ ْﺪ َﻛ ﱠﺮ ْﻣﻨَﺎ َﺑﻨِﻲ َﺁ َﺩ َﻡ‬ “…sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam (manusia)”41, dan larangan melakukan kezaliman (tindakan tidak adil) terhadap manusia. Firman Tuhan:

‫ﻋﺬَﺍﺑًﺎ َﻛﺒِﻴﺮًﺍ‬ َ ‫ﻈ ِﻠ ْﻢ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ُﻧ ِﺬ ْﻗ ُﻪ‬ ْ ‫ﻦ َﻳ‬ ْ ‫َﻭ َﻣ‬ “..barangsiapa di antara kamu yang berbuat zalim, niscaya Kami rasakan kepadanya azab yang besar”42. Ayat ini merupakan peringatan atas siksaan berat bagi setiap orang yang berbuat zalim (tidak fair), termasuk perbuatan zalim saat peperangan. Sejalan dengan kaidah tadi, Islam menghimbau agar memasuki medan perang dengan nafas kemanusiaan43. Seorang muslim tidak dibenar pergi berperang, kecuali karena alasan yang dibenarkan Syari’at Islam.

. ‫ﻥ‬ َ ‫ﻖ َﺫ ِﻟ ُﻜ ْﻢ َﻭﺻﱠﺎ ُﻛ ْﻢ ِﺑ ِﻪ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ ْﻌ ِﻘﻠُﻮ‬ ‫ﺤ ﱢ‬ َ ‫ﺣ ﱠﺮ َﻡ ﺍﻟﻠﱠ ُﻪ ِﺇﻻ ﺑِﺎ ْﻟ‬ َ ‫ﺲ ﺍﱠﻟﺘِﻲ‬ َ ‫َﻭﻻ َﺗ ْﻘ ُﺘﻠُﻮﺍ ﺍﻟﻨﱠ ْﻔ‬ “..janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya)44. Apabila alasan agama terpenuhi, aksi membunuh harus terlaksana 40 41 42 43 44

Lihat Az Zarkasyi (Badruddin Muhammad bin Bahadir asy-Syafi’i), “Al Mantsur fi Al-Qawa’id”, studi realissi Al Qur’an surat al-Israk, ayat 70 Al Qur’an surat al-Furqan, ayat 19 Lihat Ihsan al-Hindi, “al Islam wa al Qanun ‘l Dauli” cetakan pertama (Damaskus Daru Thalas lil Dirasat wa ‘l terjemah wa ‘l Nasyr 1989) hal. 137 Al Qur’an surat al-An’am, ayat 151

23

dengan cara terbaik dari sudut kemanusiaan dan sejalan dengan ketentuan Nabi dalam hadis yang diriwayatkan Syadad bi Aus ra bahwa Rasulullah Saw berkata:

‫ﺴﻨُﻮﺍ ﺍﻟ ﱢﺬ ْﺑ َﺤ َﺔ‬ ِ ‫ﺴﻨُﻮﺍ ﺍ ْﻟ ِﻘ ْﺘَﻠ َﺔ َﻭِﺇﺫَﺍ َﺫ َﺑ ْﺤ ُﺘ ْﻢ َﻓَﺄ ْﺣ‬ ِ ‫ﻰ ٍء َﻓِﺈﺫَﺍ َﻗ َﺘ ْﻠ ُﺘﻢْ َﻓَﺄ ْﺣ‬ ْ‫ﺷ‬ َ ‫ﺐ ﺍ ِﻹ ْﺣﺴَﺎ َﻥ َﻋَﻠﻰ ُﻛﻞﱢ‬ َ ‫ِﺇ ﱠﻥ ﺍﻟﱠﻠ َﻪ َﻛ َﺘ‬ “Allah Swt telah menakdirkan aspek baik bagi segala sesuatunya. Apabila kamu membunuh, maka lakukanlah yang terbaik. Apabila kamu menyembelih hewan, maka sembelihlah sebaik-baiknya”45. Rasulullah Saw mensinergikan antara keadaan perang dengan dua prinsip tadi dalam hadis berikut (‫)ﺃﻧﺎ ﻧﻴﻰ ﺍﻟﺮﺣﻤﺔ ﻭﻧﺒﻰ ﺍﻟﻤﻠﺤﻤﺔ‬, “Aku adalah nabi pembawa rahmat dan nabi ikut perang”46. Perang berdampingan dengan rahmat dan rahmat didahulukan dari perang sampai tertanam dalam jiwa seorang pejuang muslim bahwa dia adalah tangan keadilan dan bukan pedang kekejian47. Betapapun berkecamuknya peperangan karena darurat, namun jangan dilupakan moral dan saling belas kasihan. Bilamana tema moral dalam Hukum Internasional menurut konsep Islam menduduki posisi penting dalam perundang-undangan, termasuk dalam implementasinya. Namun ada kondisi tertentu (pengecualian), di mana seseorang tidak mampu mengontrol diri karena faktor-faktor di luar dugaan yang mempengaruhinya dan akhirnya terdorong melakukan pelanggaran dan lupa terhadap nilai-nilai moral seperti keadaan perang yang membuat orang tidak bisa mengontrol tindakan, perbuatan dan keseimbangannya. Untuk kondisi seperti ini, Islam mempunyai pertimbangan lain. Bagi kondisi tersebut, Islam satu sisi kembali menegaskan faktor akhlak dan nilai dengan himbauan agar mengontrol pengaruh-pengaruh jahat. Dalam hal ini terdapat sejumlah teks agama yang mengingatkannya. Berikut beberapa contoh kondisi di luar dugaan yang dapat diterima dengan mengangkat posisi moral dan akhlak. 45 46

47

24

At-Turmuzi, “Sunan ‘l Turmuzi”, realisasi Ahmad Muhammad Syakir dkk (Beirut, Dar Ihya ‘l Turast ‘l’Arabi, tt) hal. 4/23. Diriwayatkan Ibnu Sa’ad, “’l-Tabaqat ‘l-Kubra” (Beirut, Dar Shadir) hal.1/105 (melalui Abi Hushain dari Mujahid). Muhammad bin Habban, “Sahih Habban”, realisasi Syuaib al-Arnauth, cetakan kedua (Beirut, Muassah ‘l Risalah 1414 H) hal. 14/220 nomor 631. Ibnu Jarir ‘l-Thabari, “Tafsir ‘l-Thabari”, realisasi Abdullah ‘l-Turki, cetakan pertama (Cairo, Da Hijr 1422 H) hal. 14/107. Abu ‘l-Khair Athiyah, “Perlindungan terhadap penduduk sipil dan objek sipil”, hal.16

1.

Firman Tuhan terkait dengan sanjungan.

‫ﺱ ﻭَﺍﻟﱠﻠ ُﻪ‬ ِ ‫ﻦ ﺍﻟﻨﱠﺎ‬ ِ‫ﻋ‬ َ ‫ﻦ‬ َ ‫ﻆ ﻭَﺍ ْﻟﻌَﺎﻓِﻴ‬ َ ‫ﻦ ﺍ ْﻟ َﻐ ْﻴ‬ َ ‫ﻇﻤِﻴ‬ ِ ‫ﻀﺮﱠﺍ ِء ﻭَﺍ ْﻟﻜَﺎ‬ ‫ﺴﺮﱠﺍ ِء ﻭَﺍﻟ ﱠ‬ ‫ﻥ ﻓِﻲ ﺍﻟ ﱠ‬ َ ‫ﻦ ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ‬ َ ‫ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ .‫ﻦ‬ َ ‫ﺴﻨِﻴ‬ ِ ‫ﺤ‬ ْ ‫ﺤﺐﱡ ﺍ ْﻟ ُﻤ‬ ِ ‫ُﻳ‬ “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”48. Ini pujian bagi orang yang menang karena menahan marahnya. Jadi, ada marah, mema’afkan dan berbuat baik. 2.

Firman Tuhan.

‫ﻚ َﻭ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻪ‬ َ ‫ﻦ َﻓ ِﺈﺫَﺍ ﺍﱠﻟﺬِﻱ َﺑ ْﻴ َﻨ‬ ُ‫ﺴ‬ َ ‫ﺣ‬ ْ ‫ﻲ َﺃ‬ َ ‫ﺴ ﱢﻴ َﺌ ُﺔ ﺍ ْﺩ َﻓ ْﻊ ﺑِﺎﱠﻟﺘِﻲ ِﻫ‬ ‫ﺴ َﻨ ُﺔ َﻭﻻ ﺍﻟ ﱠ‬ َ ‫ﺤ‬ َ ‫ﺴ َﺘﻮِﻱ ﺍ ْﻟ‬ ْ ‫َﻭﻻ َﺗ‬ ‫ﻋﻈِﻴ ٍﻢ‬ َ ‫ﻆ‬ ‫ﺣﱟ‬ َ ‫ﺻ َﺒﺮُﻭﺍ َﻭﻣَﺎ ُﻳ َﻠﻘﱠﺎﻫَﺎ ِﺇﻻ ﺫُﻭ‬ َ ‫ﻦ‬ َ ‫ َﻭﻣَﺎ ُﻳ َﻠﻘﱠﺎﻫَﺎ ِﺇﻻ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬.‫ﺣﻤِﻴ ٌﻢ‬ َ ‫ﻲ‬ ‫ﻋﺪَﺍ َﻭ ٌﺓ َﻛ َﺄ ﱠﻧ ُﻪ َﻭ ِﻟ ﱞ‬ َ “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”. Ayat ini mengingatkan agar jangan lupa nilai-nilai moral dalam berhadapan dengan musuh. Tingkat ini tidak bisa dicapai oleh semua orang, kecuali orang mempunyai keistimewaan dalam kesabaran dan keberuntungan besar. 3.

Hadis dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda: “

‫ ﻗَﺎ َﻝ‬- ‫ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫ﻥ َﺭﺳُﻮ َﻝ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ‬ ‫ َﺃ ﱠ‬- ‫ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ‬- ‫ﻦ َﺃﺑِﻰ ُﻫ َﺮ ْﻳ َﺮ َﺓ‬ ْ‫ﻋ‬ َ «‫ﺐ‬ ِ ‫ﻀ‬ َ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ ﺍ ْﻟ َﻐ‬ ِ ‫ﺴ ُﻪ‬ َ ‫ﻚ َﻧ ْﻔ‬ ُ ‫ﺸﺪِﻳ ُﺪ ﺍﱠﻟﺬِﻯ َﻳ ْﻤ ِﻠ‬ ‫ ِﺇ ﱠﻧﻤَﺎ ﺍﻟ ﱠ‬، ‫ﻋ ِﺔ‬ َ ‫ﺼ َﺮ‬ ‫ﺸﺪِﻳ ُﺪ ﺑِﺎﻟ ﱡ‬ ‫ﺲ ﺍﻟ ﱠ‬ َ ‫» َﻟ ْﻴ‬ “Orang kuat bukan karena kuat berperang, tapi dapat mengontrol dirinya di saat marah”49. Jadi berhasil mengontrol diri dalam keadaan normal, 48 49

Al Qur’an surat Ali Imran ayat 134 Hadis Muttafaq alaihi, yaitu Imam Bukhari, “Sahih Bukhari”, hal.5/2267 dan Imam Muslim, “Sahih Muslim”, hal. 4/2014.

25

tidak dianggap suatu keistimewaan. Tapi istimewa bila dapat mengontrol diri di saat marah. 4.

Sabda Rasulullah Saw.

‫ﻋﻠَﻰ‬ َ ‫ﺟ ﱠﻞ‬ َ ‫ﻋ ﱠﺰ َﻭ‬ َ ‫ َﺩﻋَﺎ ُﻩ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ‬- ‫ﻥ ُﻳ ْﻨ ِﻔ َﺬ ُﻩ‬ ْ ‫ﻋﻠَﻰ َﺃ‬ َ ‫ َﻭ ُﻫ َﻮ ﻗَﺎ ِﺩ ٌﺭ‬- ‫ﻏ ْﻴﻈًﺎ‬ َ ‫ﻈ َﻢ‬ َ ‫ﻦ َﻛ‬ ْ ‫ﻗَﺎ َﻝ » َﻣ‬ « ‫ﻦ ﺍ ْﻟﺤُﻮ ِﺭ َﻣﺎ ﺷَﺎ َء‬ َ ‫ﺨ ﱢﻴ َﺮ ُﻩ ﺍﻟﻠﱠ ُﻪ ِﻣ‬ َ ‫ﺣﺘﱠﻰ ُﻳ‬ َ ‫ﻖ َﻳ ْﻮ َﻡ ﺍ ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ‬ ِ ‫ﻼ ِﺋ‬ َ‫ﺨ‬ َ ‫ﺱ ﺍ ْﻟ‬ ِ ‫ُﺭءُﻭ‬ “Siapa yang mampu menahan marahnya, padahal ia sanggup memperturutinya, Allah Swt nanti di hari Kiamat memanggilnya di depan makhluk waktu itu sampai ia disuruh Tuhan memilik bidadari sesuai keinginannya”50. Semuanya adalah terkait dengan keadaan tidak normal yang dihadapi Islam dengan mengingatkan kepada moral dan kedudukan tinggi bagi orang yang konsisten dan tidak terpedaya oleh faktor jahat, sehingga melakukan tindakan yang salah. Tujuan Islam adalah agar ketinggian posisi akhlak, penegasan pentingnya dan pahala di dunia dan di akhirat dapat mendorong ke arah lebih efektifnya moral, sehingga lebih berpengaruh dalam tingkah laku manusia, baik pemimpin maupun individu. Hal ini berdasarkan bahwa semakin tinggi ukuran akhlak di kalangan masyarakat, semakin kecil kebutuhan terhadap ketentuan hukum. Sebaliknya, ketika aspek moral menjadi lemah dalam diri seseorang, maka kebutuhan bangsa-bangsa terhadap perlindungan semakin signifikan. Selanjutnya, muncul kebutuhan terhadap undang-undang yang lebih tegas yang bertujuan untuk menjaga kondisi yang stabil. Namun undang-undang seperti ini akan sering dilanggar, bahkan asasnya akan sirna. Ketika pemerintahan Komunis yang pada prinsipnya atheis dan relatif percaya kepada moral, mewajibkan bersikap tegas dalam merevisi undang-undang dan pelaksanaannya. Meskipun begitu, undang-undang tersebut tidak dapat berbuat banyak. Sebaliknya pendidikan moral memberikan perlindungan bagi manusia secara keseluruhan.

50

26

Abu Daud, “Sunan Abi Daud”, hal. 4/248

Dari perhatian Islam terhadap akhlak ini, penulis memahami sebab kenapa perundang-undangan Islam dalam berbagai bidangnya mengandalkan prinsip-prinsip umum dengan memfokuskan kepada penguatan aspek moral dalam diri manusia, di mana dianggap sebagai cara terbaik bagi reformasi kepentingan sosial. Bila moral terjaga, terpelihara pula kualitas akhlak yang pada gilirannya melindungi hak-hak manusia, baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang. Umat manusia akan hidup aman dan tenteram. Dari sini jelas bahwa Islam menjunjung tinggi posisi akhlak dalam kondisi biasa, yaitu keadaan damai. Kemudian menegaskan kembali posisi itu dalam sejumlah kondisi pengecualian (terutama dalam perang). Semuanya itu adalah untuk melindungi hak-hak manusia yang jarang ada peperangan yang tidak melanggarnya. Hal ini juga menjelaskan bagaimana Islam memperhatikan motif moral dalam jiwa di semua kondisi. Setiap kali manusia mendapat tekanan, Islam selalu mengingatkannya dengan nilai-nilai moral. Semuanya dimaksudkan agar manusia menghormati saudaranya sesama manusia, baik dalam keadaan marah atau tidak, apakah dia sebagai musuh ataupun teman. Prinsip umum yang diupayakan Islam agar tertanam dalam jiwa adalah pelindungan dari manusia untuk manusia dalam kondisi sangat berbahaya sekalipun, yaitu kondisi perang yang biasanya terjadi tindakan kesewenangan dan pelanggaran. Ini adalah gambaran umum tentang orientasi Hukum Humaniter Internasional dalam Islam yang bertujuan untuk memperkuat moral dan mempertegas eksistensinya dalam bidang perundang-undangan secara khusus.

27

28

Pasal Satu RUANG LINGKUP IMPLEMENTASI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM ISLAM

29

Ruang lingkup implementasi Hukum Humaniter Internasional Islam Islam adalah agama perdamaian seperti disebutkan dalam firman Tuhan

‫ﺴ ْﻠ ِﻢ ﻛَﺎ ﱠﻓ ًﺔ‬ ‫ﺧﻠُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟ ﱢ‬ ُ ‫ﻦ َﺁ َﻣﻨُﻮﺍ ﺍ ْﺩ‬ َ ‫ﻳَﺎ َﺃ ﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya”51. Islam mempunyai persyaratan ketat bagi plaksanaan perang. Bila terjadi karena kondisi yang di luar kemauannya, maka Islam meletakkan sejumlah prinsip yang bertujuan untuk membatasi dampak negatifnya pada kombatan saja dan tidak merembet kepada penduduk sipil dan lainnya yang tidak ikut terlibat dalam peperangan. Begitu juga, agar tidak meluas, sehingga para tawanan menjadi korban perang. Untuk memberikan ilustrasi tentang prinsip ini, penulis akan mengemukakan beberapa hak-hak yang ditetapkan Islam sebagai perlindungan terhadap pihak korban perang dan konflik bersenjata, antara lain.

Satu : Perlindungan terhadap hak-hak orang luka dan korban Para korban luka dan cidera dari pihak musuh, bila mereka tidak mampu memikul senjata untuk memerangi orang Islam, harus segera diamankan dari segala bentuk tindakan pelanggaran. Bahkan mereka harus dilindungi dan diperlakukan secara kemanusiaan. Hal ini merupakan implementasi prinsip utama Islam bahwa perang bersifat darurat yang dinilai secara proposional. Bila prajurit ini tidak mampu lagi berperang harus dihentikan apapun bentuk perlawanan terhadapnya. Tidak dibenarkan melakukan siksaan terhadap korban luka, karena tindakan ini sama sekali bukan peperangan yang baik. Jika potensi korban terluka tidak mungkin mengadakan perlawanan lagi, maka ia harus diberlakukan sebagai tawanan sebagai menghormati kemanusiaannya. Karena tujuan perang hanya untuk melumpuhkan perlawanan musuh, maka

51

30

j g AL Qur’an surat Al Baqarah ayaty 208. Selain arti ini, ahli tafsir juga berpendapat bahwa makna ‫ﺍﻟﺴﻠﻢ‬  dalam ayat adalah .‫ﺍﺩﺧﻠﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻠﺢ ﻭﺍﻟﻤﺴﺎﻭﻣﺔ ﻭﺗﺮﻙ ﺍﻟﺤ ﺮﺏ ﻭﺇﻋﻄ ﺎء ﺍﻟﺠﺰﻳ ﺔ‬,  “masuklah dalam perdamaian, perundingan, hindari perang dan berikan ‘l-jiziyah”. Lihat Tafsir ‘l-Thabari, hal. 4/253 (penterjemah).

tidak dibenarkan berlanjut menjadi pelanggaran52. Diriwayatkan oleh Abi Ubaid al Qasim bin Salam dalam bukunya “al-Amwal” bahwa Rasulullah Saw memerintahkan petugas penyiaran pada hari penaklukan Mekkah agar disampaikan kepada masyarakat.

، ‫ ﺃﻻ ﻻ ﻳﺠﻬﺰﻥ ﻋﻠﻰ ﺟﺮﻳﺢ‬: ‫ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻮﻡ ﻓﺘﺢ ﻣﻜﺔ‬ .‫ ﻭﻣﻦ ﺃﻏﻠﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﺎﺑﻪ ﻓﻬﻮ ﺁﻣﻦ‬، ‫ ﻭﻻ ﻳﻘﺘﻠﻦ ﺃﺳﻴﺮ‬، ‫ﻭﻻ ﻳﺘﺒﻌﻦ ﻣﺪﺑﺮ‬ “Jangan sakiti korban luka, jangan dikejar yang lari dan jangan dibunuh tawanan dan siapa yang menutup pintunya berarti ia aman”53. Wahbah alZuhaili berpendapat bahwa teks ini tidak khusus bagi penduduk Mekkah saja dan kalimatnya bersifat umum, maka sifat umumnya harus dipertahankan54. Bila umat Islam sudah merasa yakin dengan kemenangan, langsung berupaya memperlakukan korban luka-luka dari pihak musuh secara kemanusiaan. Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam dan menyatakan bahwa apa yang dituntut rahmat itu adalah kondisi korban sakit dan luka-luka. Dari itu, hak korban luka adalah memperoleh pengobatan atas lukanya, karena perintah untuk melakukan kebaikan kepada tawanan mencakup mengobatinya55. Diriwayatkan oleh al-Thabrani bahwa Rasulullah Saw berkata:

‫ﺧ ْﻴﺮًﺍ‬ َ ‫ﺳ َﺘ ْﻮﺻُﻮﺍ ﺑِﺎ َﻷﺳَﺎﺭَﻯ‬ ْ ‫ﺍ‬ “Agar tawanan diperlakukan dengan baik”56. Membiarkan tawanan luka tanpa pengobatan jelas bertentangan dengan perintah berbuat baik tersebut, bahkan termasuk siksaan yang dilarang agama seperti dalam firman Tuhan:

‫ﻦ‬ َ ‫ﺤﺐﱡ ﺍ ْﻟ ُﻤ ْﻌ َﺘﺪِﻳ‬ ِ ‫ﻥ ﺍﻟﱠﻠ َﻪ ﻻ ُﻳ‬ ‫َﻭﻻ َﺗ ْﻌ َﺘﺪُﻭﺍ ِﺇ ﱠ‬ “…janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak

52 53 54 55 56

Lihat Muhammad Abu zahrah, “Nazhariyah ‘l-Harb fi ‘l-Islam”, (Mesir, ‘l-Majelis ‘l-A’la li ‘l-Syu’un ‘lIslamiyah, Wizarat ‘l-Awqaf 1380 H) hal. 61. Abi Ubaid al Qasim bin Salam, “Al Amwal”, realisasi Muhammad Khalil Harras (Cairo maktabah ‘lKuliyyat ‘l-Azhariyah 1396 H) hal. 141. Wahbah al-Zuhaili, “Atsar ‘l-Harb fi ‘l-Fiqh ‘l-Islami”, hal. 477 Lihat Wahbah al-Zuhaili, “Atsar ‘l-Harb fi ‘l-Fiqh ‘l-Islami”, hal. 476 Hadis diriwayatkan ‘l-Thabrani dalam “’l-Shaghir wa ‘l-Kabir”. Lihat Sulaiman ‘l-Thabrani, “’l-Mu’jam ‘l-Shaghir”, realisasi Muhammad Syakur ‘l-Hajj, cetakan pertama (Beirut, ‘l-Maktab ‘l-Islami 1405H) hal.1/250 dan Sulaiman ‘l-Thabrani, “’l-Mu’jam ‘l-Kabir”, realisasi Hamdi bin Abd ‘l-Majid ‘l-Salafi, cetakan kedua (Maushol, Maktabah ‘l-‘Ulum wa ‘l-Hukm 1404 H) hal. 22/393. Menurut ‘l-Haitsami bahwa Isnad hadis diriwayatkan ‘l-Thabrani dalam “’l-Shaghir wa ‘l-Kabir” adalah hasan. Ali ‘lHaitsami, “Majma’ ‘l-Zawaid wa manba ‘l-Fawaid” (Beirut, Dar ‘l-Kitab ‘l-‘Arabi 1407H) hal. 6/86.

31

menyukai orang-orang yang melampaui batas”57. Dalam hadis dari Hisyam bin Hakim bin Hazam, ia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:

« ‫ﺱ ﻓِﻰ ﺍﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ‬ َ ‫ﻥ ﺍﻟﻨﱠﺎ‬ َ ‫ﻦ ُﻳ َﻌ ﱢﺬﺑُﻮ‬ َ ‫ﺏ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ُ ‫ﻥ ﺍﻟﱠﻠ َﻪ ُﻳ َﻌﺬﱢ‬ ‫َﻳﻘُﻮ ُﻝ » ِﺇ ﱠ‬ “Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di atas dunia”58. Penyiksaan adalah tindakan yang bertentangan dengan akhlak yang sangat diupayakan Islam untuk ditanamkan dalam jiwa.

Kedua : Hak-hak Tawanan Yang dimaksud dengan tawanan di sini adalah musuh yang secara kongkrit melakukan penyerangan dan peperangan terhadap Islam, lalu tertangkap di tangan umat Islam. Sejarah tidak mengenal perlakuan santun seorang prajurit terhadap tawanan seperti yang dilakukan umat Islam pertama yang patuh kepada perintah agama, antara lain firman Tuhan:

‫ﺟ ِﻪ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ﻻ‬ ْ ‫ﻄ ِﻌ ُﻤ ُﻜ ْﻢ ِﻟ َﻮ‬ ْ ‫ ِﺇ ﱠﻧﻤَﺎ ُﻧ‬.‫ﺴﻜِﻴﻨًﺎ َﻭ َﻳﺘِﻴﻤًﺎ َﻭَﺃﺳِﻴﺮًﺍ‬ ْ ‫ﺣ ﱢﺒ ِﻪ ِﻣ‬ ُ ‫ﻋﻠَﻰ‬ َ ‫ﻄﻌَﺎ َﻡ‬ ‫ﻥ ﺍﻟ ﱠ‬ َ ‫ﻄ ِﻌﻤُﻮ‬ ْ ‫َﻭ ُﻳ‬ .‫ﺷﻜُﻮﺭًﺍ‬ ُ ‫ﺟﺰَﺍ ًء َﻭﻻ‬ َ ‫ُﻧﺮِﻳ ُﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ‬ “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”59. Islam memberikan perhatian istimewa bagi tawanan, di mana kehormatan dan hak-haknya terjaga dan terhindar dari segala bentuk tindakan pelanggaran terhadapnya. Di sini penulis akan membicarakan secara ringkas tentang perlakuan tawanan dalam Islam, sebagai berikut:

57 58 59

32

Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 190 Imam Muslim, “Sahih Muslim”, realisasi Muhammad Fuad Abdul Baqi (Cairo, Dar Ihya ‘l-Kutub ‘l‘Arabiyah) hal. 4/2017, nomor 2613. Muhammad bin Habban, “Sahih Habban”, realisasi Syuaib alArnauth, cetakan kedua (Beirut, Muassah ‘l Risalah 1414 H) hal. 12/429. Al Qur’an surat al-Insan ayat 8-9

1.

Firman Tuhan dalam surat al-Anfal

‫ﺧ ْﻴﺮًﺍ ُﻳ ْﺆ ِﺗ ُﻜ ْﻢ‬ َ ‫ﻥ َﻳ ْﻌ َﻠ ِﻢ ﺍﻟﻠﱠ ُﻪ ﻓِﻲ ُﻗﻠُﻮ ِﺑ ُﻜ ْﻢ‬ ْ ‫ﺳﺮَﻯ ِﺇ‬ ْ ‫ﻦ ﺍ ْﻟ َﺄ‬ َ ‫ﻦ ﻓِﻲ َﺃ ْﻳﺪِﻳ ُﻜ ْﻢ ِﻣ‬ ْ ‫ﻲ ُﻗ ْﻞ ِﻟ َﻤ‬ ‫ﻳَﺎ َﺃ ﱡﻳﻬَﺎ ﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬ . ‫ﻏﻔُﻮ ٌﺭ َﺭﺣِﻴ ٌﻢ‬ َ ‫ﺧ َﺬ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َﻭ َﻳ ْﻐ ِﻔ ْﺮ َﻟ ُﻜ ْﻢ ﻭَﺍﻟﱠﻠ ُﻪ‬ ِ ‫ﺧَ ْﻴﺮًﺍ ِﻣﻤﱠﺎ ُﺃ‬ “Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu: “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu”. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”60. Bila Allah Swt memberikan bagi tawanan ampunan, maka berdasar ini umat Islam harus memperlakukan secara maksimal para tawanan dengan penuh kasih sayang dan kemanusiaan. 2.

Islam juga menetapkan kewajiban untuk memperlakukan tawanan secara baik, melarang menghina atau merendahkannya yang dapat merusak nilai-nilai kemanusiaanya. Diriwayatkan oleh al-Thabrani bahwa Rasulullah Saw berkata:

‫ﺧ ْﻴﺮًﺍ‬ َ ‫ﺳ َﺘ ْﻮﺻُﻮﺍ ﺑِﺎ َﻷﺳَﺎﺭَﻯ‬ ْ ‫ﺍ‬ “Agar tawanan diberlakukan dengan baik”61 Dalam peperangan Bani Quraizah, pihak Yahudi melanggar perjanjiannya dengan Rasulullah Saw dalam kondisi genting dan membuat nyawa umat Islam menjadi terancam. Perjanjian itu berbunyi bahwa pihak Yahudi tidak akan membantu kaum musyrik melawan umat Islam. Ketika pihak Yahudi melanggar perjanjian ini dan berkhianat kepada Rasulullah Saw, mereka dikepung Rasulullah. Tatkala umat Islam berhasil mengalahkan mereka, pihak Yahudi menjadi tawanan di bawah kekuasaan Rasulullah Saw. Waktu itu, beliau berpesan kepada para sahabatnya:

60 61

Al Qur’an surat al-Insan ayat 8 Hadis diriwayatkan ‘l-Thabrani dalam “’l-Shaghir wa ‘l-Kabir”. Lihat Sulaiman ‘l-Thabrani, “’l-Mu’jam ‘l-Shaghir”, realisasi Muhammad Syakur ‘l-Hajj, cetakan pertama (Beirut, ‘l-Maktab ‘l-Islami 1405H) hal.1/250 dan Sulaiman ‘l-Thabrani, “’l-Mu’jam ‘l-Kabir”, realisasi Hamdi bin Abd ‘l-Majid ‘l-Salafi, cetakan kedua (Maushol, Maktabah ‘l-‘Ulum wa ‘l-Hukm 1404 H) hal. 22/393. Menurut ‘l-Haitsami bahwa Isnad hadis diriwayatkan ‘l-Thabrani dalam “’l-Shaghir wa ‘l-Kabir” adalah hasan. Ali ‘lHaitsami, “Majma’ ‘l-Zawaid wa manba ‘l-Fawaid” (Beirut, Dar ‘l-Kitab ‘l-‘Arabi 1407H) hal. 6/86.

33

‫ﺳﻘُﻮ ُﻫ ْﻢ‬ ْ ‫ﺴﻨُﻮﺍ ﺇﺳَﺎ َﺭ ُﻫ ْﻢ َﻭ َﻗ ّﻴﻠُﻮ ُﻫ ْﻢ َﻭَﺃ‬ ِ ‫ﺣ‬ ْ ‫ َﺃ‬- ‫ﺳّﻠ َﻢ‬ َ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َﻭ‬ َ ‫ﺻﻠّﻰ ﺍﻟّﻠ ُﻪ‬ َ - ‫ﻗَﺎ َﻝ َﺭﺳُﻮ ُﻝ ﺍﻟّﻠ ِﻪ‬ ‫ﺣﺘّﻰ ُﻳ ْﺒ ِﺮﺩُﻭﺍ‬ َ “Perlakukan dengan baik para tawanan, bawa mereka ke tempat yang teduh untuk istirahat dan tidur di siang hari dan beri mereka minum sampai mereka merasa sejuk”62. Imam Malik pernah ditanya: apakah tawanan boleh disiksa dengan harapan dapat menunjukkan kelemahan musuh? Imam menjawab: “Saya tidak pernah mendengar hal itu”63. Pendapat ini mempunyai arti tersendiri dan dalam topik ini terdapat sejumlah pendapat. 3.

Sesuai dengan prinsip toleransinya, Islam menegaskan kewajiban umat Islam untuk memenuhi kebutuhan pangan tawaran sebagai pelaksanaan perintah Allah Swt, di mana memberi makan tawanan diklasifikasikan Tuhan sebagai orang yang saleh, yaitu orang yang mempunyai derjat yang tinggi di kalangan orang beriman. Sifat mereka digambarkan Tuhan:

. ‫ﺴﻜِﻴﻨًﺎ َﻭ َﻳﺘِﻴﻤًﺎ َﻭَﺃﺳِﻴﺮًﺍ‬ ْ ‫ﺣ ﱢﺒ ِﻪ ِﻣ‬ ُ ‫ﻋﻠَﻰ‬ َ ‫ﻄﻌَﺎ َﻡ‬ ‫ﻥ ﺍﻟ ﱠ‬ َ ‫ﻄ ِﻌﻤُﻮ‬ ْ ‫َﻭ ُﻳ‬ “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”64. Artinya memberikan makanan yang didorong oleh kasih sayang dan belas kasihan, karena menderita kelaparan berat. Dalam hal ini dimulai dengan kelompok yang paling lemah, yaitu fakir miskin, yatim piatu dan tawanan. Tidak hanya sekedar memberi makanan, tapi yang dimaksud adalah melakukan segala bentuk kebajikan. Di sini diungkapkan dengan sebutan makanan, namun maksudnya mencakup semua jenis yang bermanfaat dan kebajikan65. Sebutan makanan karena dianggap sebagai bentuk kebajikan yang paling mulia dan sebagai simbol keutamaan. Seseorang tidak akan terpengaruh oleh makanan yang diberikan orang lain, meskipun membutuhkannya, 62

63 64 65

34

Muhammad bin ‘l-Hasan ‘l-Syaibani, “’l-Siyar ‘l-Kabir”, komentator ‘l-Sarkhasi, realisasi Muhammad Hasan Muhammad ‘l-Syafi’I, cetakan pertama (Beirut, Dar ‘l-Kutub ‘l-Ilmiyah 1417 H) hal. 3/127. Muhammad bin Yusuf ‘l-Shalihi, “Subulu ‘l-Huda wa ‘l-Rasyad fi sirah khair ‘l-Ibad”, realisasi Fahim Muhammad Syaltut dkk (Cairo, ‘l-Majelis ‘l-A’la li ‘l-Syu’un ‘l-Islamiyah, 1413 H) hal. 5/24. Wahbah al-Zuhaili, “Atsar ‘l-Harb fi ‘l-Fiqh ‘l-Islami”, hal. 415 Al Qur’an surat al-Baqarah ayat 190 Lihat ‘l-Maraghi, “Tafsir ‘l-Maraghi”, cetakan kedua (Beirut, Dar Ihya ‘l-Turast ‘l-‘Arabi 1985 M), hal 29/165

kecuali karena nilai-nilai moral mempunyai posisi penting dalam dirinya. Karena itu, tidak dianggap aneh, kalau para sahabat Rasulullah Saw memberikan bagi tawanan makanan terbaik dari makanan yang biasa mereka hidangkan. Hal ini seperti kesaksian seorang tawanan perang, yaitu Abu Aziz bin Umair berkata: “Ketika tiba dari Badar, saya tinggal bersama sanak kerabat kaum alAnshar. Saya dihidangkan makanan khusus mereka, bahkan saya diberi roti, mereka hanya makan korma. Perlakuan ini sesuai dengan pesan Rasulullah kepada mereka untuk kami. Bila di antara mereka ada sekeping roti, langsung diberikan kepadaku. Karena malu, aku berikan kepada salah seorang mereka, tapi memberikan kembali kepadaku, sehingga tidak seorangpun yang menyentuh roti itu”66. Abu Yusuf berpendapat bahwa tawanan kaum musyrik harus diberi makanan dan diperlakukan secara baik sampai keluar keputusannya67. Tidak dianggap suatu kebajikan sama sekali, kalau tawanan dibiarkan tanpa makanan dan pakaian yang layak. Para Panglima Muslim dahulu sangat konsisten dengan prinsip ini dalam peperangan yang dilakukannya, di mana mereka menghormati tawanan dan tidak membiarkannya kelaparan. Dalam hal ini, sejarah menicatat sikap Salahuddin ‘l-Ayoubi, ketika meletusnya perang Salib, di mana tertangkapnya jumlah besar tawanan tentara musuh dan dia tidak mempunyai makanan yang cukup untuk para tawanan, lalu ia membebaskan mereka semua. Namun setelah dibebaskan, mereka bersepakat untuk menyusun barisan tentara untuk kembali memerangi Salahuddin. Salahuddin menyambut baik tindakan mereka dan berpendapat bahwa lebih baik berperang dengan mereka sebagai kombatan daripada membunuh mereka sebagai tawanan yang kelaparan68. 4.

66 67 68

Termasuk perlakuan baik terhadap tawanan yang perlu diperhatikan adalah memberi pakaian yang baik. Pakaian tawanan harus baik dan layak yang menjaganya dari panasnya musim panas dan dinginnya musim Lihat Tarekh al-Thabary vol. 2 hal. 39 dan al-Sirah al-Nabawiyah vol. 3 hal. 195 atau Al-Bidayah wa alNihayah karangan Ibnu Katsir vol. 3 hal. 306-307. (Penterjemah) Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim, “’l-Kharaj”, cetakan ke enam (Cairo, ‘l-Matba’ah ‘l-Salafiyah 1397 H) hal. 161. Lihat Muhammad Abu Zahrah, “Nazhariyah ‘l-Harb fi ‘l-Islam”, hal. 56-57

35

dingin. Diriwayatkan Jabir bahwa pada masa perang Badar, Rasulullah membawa seorang tawanan, lalu dibawa kepada Abbas, tapi ia tidak mempunyai pakaian yang layak. Akhir bertemu dengan Abdullah bin Ubay bin al-Harits, ternyata mempunyai pakaian layak dan diberikan kepada tawanan.69 Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah memberikan pakaian pribadinya kepada tawanan. 5.

Perlakuan signifikan terhadap tawanan yang ditetapkan Islam adalah memberikan haknya untuk melaksanakan ritual agamanya selama menjadi tawanan70. Islam memberikan hak tersebut kepada tawanan. Hal ini terkait dengan prinsip tidak mencampuri urusan agamanya atau berupaya memaksanya untuk masuk Islam. Firman Tuhan dalam Al Qur’an:

‫ﻲ‬ ‫ﻦ ﺍ ْﻟ َﻐ ﱢ‬ َ ‫ﺷ ُﺪ ِﻣ‬ ْ ‫ﻦ ﺍﻟﺮﱡ‬ َ ‫ﻦ َﻗ ْﺪ َﺗ َﺒ ﱠﻴ‬ ِ ‫ﻻ ِﺇ ْﻛﺮَﺍ َﻩ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪﱢﻳ‬ “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”71. 6.

Islam melarang mengkhianati tawanan dan sandera, meskipun musuh melakukannya terhadap sandera dan tawanan muslim, sesuai dengan firman Allah Swt:

‫ﺧﺮَﻯ‬ ْ ‫َﻭﻻ َﺗ ِﺰ ُﺭ ﻭَﺍ ِﺯ َﺭ ٌﺓ ِﻭ ْﺯ َﺭ ُﺃ‬ “..orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”72. Juga berdasarkan Hadis yang sudah penulis singgung sebelumnya, yaitu:

‫ﺴ ِﻢ‬ ْ ‫ﺧ ُﺮﺟُﻮﺍ ِﺑ‬ ْ ‫ﺷ ُﻪ ﻗَﺎ َﻝ » ﺍ‬ َ ‫ﺟﻴُﻮ‬ ُ ‫ﺚ‬ َ ‫ ِﺇﺫَﺍ َﺑ َﻌ‬-‫ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫ﻥ َﺭﺳُﻮ ُﻝ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ‬ َ ‫ﻗَﺎ َﻝ ﻛَﺎ‬ ‫ﻦ َﻛ َﻔ َﺮ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ َﻻ َﺗ ْﻐ ِﺪﺭُﻭﺍ َﻭ َﻻ َﺗ ُﻐﻠﱡﻮﺍ َﻭ َﻻ ُﺗ َﻤﺜﱢﻠُﻮﺍ َﻭ َﻻ‬ ْ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ َﻣ‬ َ ‫ﻥ ﻓِﻰ‬ َ ‫ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ُﺗﻘَﺎ ِﺗﻠُﻮ‬ .« ‫ﺼﻮَﺍ ِﻣ ِﻊ‬ ‫ﺏ ﺍﻟ ﱠ‬ َ ‫ﺻﺤَﺎ‬ ْ ‫ﻥ َﻭ َﻻ َﺃ‬ َ ‫َﺗ ْﻘ ُﺘﻠُﻮﺍ ﺍ ْﻟ ِﻮ ْﻟﺪَﺍ‬ 69 70 71 72

36

Bukhari, “Sahih Bukhari”, dicetak sebagai bagian ‘Fath ‘l-Bari’ karangan Ibnu Hajr (Riyadh, tauzi’ ‘l-Ri’asah ‘-‘Ammah li ‘l-Ifta wa ‘l-Buuts ‘l-Ilmiyah) kitab ‘l-Jihad, bab ‘l-Kiswah li –Usari, hal. 6/144 nomor 3008. Lihat Ihsan ‘l-Hindi, “Ahkam ‘l-Harb wa ‘l-Salam fi daulat ‘l-Islam”, cetakan pertama (Damaskus t.p. 1993) hal. 205. Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 256 Al Qur’an surat Fathir ayat 18

“Ketika mengirim tentaranya, Rasulullah Saw berpesan: “Keluarlah dengan “Bismillah” (Atas nama Allah) dan perangilah pada jalan Allah orang-orang kafir dengan-NYa, tapi jangan melampaui batas dan melakukan kelicikan serta jangan membunuh anak-anak dan tidak pula para penghuni rumah ibadat”73. Dalam buku Sejarah para Rasul dan Raja, Ibnu Jarir ‘l-Thabari mengatakan bahwa khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan terpaksa membuat perjanjian dengan pihak Romawi yang intinya ia mengambil sandera sebagai jaminan agar mereka tidak berkhianat, tetapi ternyata mereka berkhianat, lalu ia mengembalikan sandera dan berkata: “Membalas pengkhianatan dengan menepati janji lebih baik dari membalas pengkhianatan dengan pengkhianatan”. 7.

Di antara perlakuan mulia terhadap tawanan adalah tidak memisahkannya dari anggota keluarganya yang sama-sama jadi tawanan. Diriwayatkan dari Abi Ayoub bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda:

‫ﻦ‬ َ ‫ﻕ َﺑ ْﻴ‬ َ ‫ﻦ َﻓ ﱠﺮ‬ ْ ‫ َﻳﻘُﻮ ُﻝ َﻣ‬-‫ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫ﺖ َﺭﺳُﻮ َﻝ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ‬ ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌ‬ َ ‫ﺏ ﻗَﺎ َﻝ‬ َ ‫ﻦ َﺃﺑِﻰ َﺃﻳﱡﻮ‬ ْ‫ﻋ‬ َ “« ‫ﺣ ﱠﺒ ِﺘ ِﻪ َﻳ ْﻮ َﻡ ﺍ ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ‬ ِ ‫ﻦ َﺃ‬ َ ‫ﻕ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻪ َﻭ َﺑ ْﻴ‬ َ ‫ﺍ ْﻟﻮَﺍ ِﻟ َﺪ ِﺓ َﻭ َﻭ َﻟ ِﺪﻫَﺎ َﻓ ﱠﺮ‬ “Siapa yang telah memisahkan ibu dari anaknya, maka Allah Swt akan memisahkannya dari yang dicintainya nanti di hari Kiamat”74. Turmuzi berkata bahwa ini yang berlaku di kalangan ulama dari sahabat Rasulullah Saw dan lainnya, di mana mereka membenci memisahkan para tawanan dalam satu keluarga; yaitu memisahkan ibu dengan anaknya, anak dengan bapaknya dan di antara saudara-saudaranya75. Menurut Ibnu Qudamah terdapat kesepakatan ulama bahwa memisahkan ibu dengan anaknya tidak dibenarkan76. Begitu juga, tidak dibenarkan memisahkan bapak dengan anaknya, atau antara saudara lelaki atau antara saudara 73 74 75 76

Imam Ahmad, “Masnad ‘l-Imam Ahmad”, realisasi Dr. Abdullah ‘l-Turki dkk, cetakan pertama (Beirut, Muassah ‘l-Risalah 1417H) hal. 4/461, nomor 2728. Menurut realisator, hadis ini adalah hasan li ghairihi. Imam Ahmad, “Masnad ‘l-Imam Ahmad”, (Mesir, Muassah Qurtubah) hal. 5/412, dan At-Turmuzi, “Sunan ‘l Turmuzi”, realisasi Ahmad Muhammad Syakir dkk (Beirut, Dar Ihya ‘l Turast ‘l’Arabi, tt) hal. 4/134 ‘l-Turmuzi, ibid hal. 4/134 dan Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim ‘l-Mubarkapuri, “Tuhfah ‘lAhwazi bi Syarh Jami’ ‘l-Turmuzi (Beirut, Dar ‘l-Kutub ‘l-Ilmiyah) hal.5/154 Ibnu Qudamah, “’l-Mughni”, (Riyadh, maktabah ‘l-Riyadh ‘l-Haditsah, t.t.) hal. 8/422

37

perempuan. Bahkan ada ahli Hukum Islam berpendapat bahwa juga dilarang memisahkan antara anggota keluarga yang tergolong muhrim seperti antara paman dengan ponakannya dan bibi dengan ponakan perempuannya.77 Disebutkan bahwa khalifah ‘l-Mu’tashim Billah berhasil menaklukan benteng Armenia setelah pertempuran sengit, lalu memerintahkan agar jangan memisahkan anggota satu keluarga yang menjadi tawanan78. 8.

Islam melarang tindakan spontan yang kadang terjadi pada sebagian prajurit sebagai dampak psikologis perang. Prajurit dilarang membunuh tawanan yang ditangkapnya, baik individu maupun kolektif. Bisa saja terjadi sebagian prajurit melakukan tindakan pelanggaran saat ditangkapnya tawanan untuk meredam kemarahan dirinya, namun hal ini tidak terdengar dalam Islam. Semuanya harus menunggu sampai komandan tentara mengambil keputusan yang jelas setelah melakukan verifikasi dan evaluasi yang benar. Ini tentunya akan terjauh dari tindakan emonsional dan dapat melindungi harga diri tawanan dan aspek kemanusiaannya. Pendapat kolektif di kalangan ahli hukum Islam menetapkan bahwa masalah tawanan harus menunggu keputusan pemerintah yang akan melakukan yang terbaik bagi para tawanan79. Ibnu Qudamah berpendapat: “Siapa yang menangkap tawanan, ia tidak boleh membunuhnya, hingga datang pemerintah untuk mengambil keputusan, karena ia telah berstatus sebagai tawanan, maka altenatif dalam hal ini berada di tangan Imam (pemerintah)”80. Larangan ini melindungi tawanan dari aksi kemarahan dan kegembiraan kemenangan yang dapat menciderai tawanan disaat tertangkap, di mana perbuatan kejahatan kemanusiaan sering terjadi terhadap tentara di saat kekalahan dan tertangkap oleh tentara pihak lawan. Tapi ketika ada larangan bagi prajurit untuk melakukan tindakan waktu itu, akan dapat melindungi tawanan secara baik. Di samping akan lebih menjamin para tawanan untuk dievalusi masalah nasibnya secara seksama dan teliti yang pada gilirannya dapat menjaga harga diri dan kemanusiaan tawanan serta

77 78 79 80

Lihat Ibnu Qudamah, “’l-Mughni”, hal. 8/423-424 Lihat Adam Mitz, “’l-Hadharah ‘l-‘Arabiyah fi ‘l-Qarn ‘l-Rabi’ ‘l-Hijri”. Lihat Ibnu Hajr, “Fath ‘l-Bari”, hal. 6/151 dan ‘l-Mawardi, “’l-Ahkam ‘l-Sultaniyah”, hal. 104 Ibnu Qudamah, “’l-Mughni”, hal. 8/377

38

terjauh dari aksi luapan kemenangan atau murka peperangan. Termasuk juga dalam hal ini, larangan prajurit saat perang untuk melakukan pelanggaran terhadap tawanan yang ditangkap oleh prajurit lain. Kalau seorang prajurit berkesempatan melihat tawanan di tangan prajurit lain, ia tidak bolek beraksi untuk menghabisinya. Dasarnya adalah Hadis riwayat Samrah bahwa Rasulullah Saw bersabda:

‫ﻋﻦ ﺳﻤﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻻ ﻳﻌﺘﺮﺽ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺍﺳﻴﺮ‬ ‫ﺻﺎﺣﺒﻪ ﻓﻴﺄﺧﺬﻩ ﻓﻴﻘﺘﻠﻪ‬ “Jangan ada di antara kalian yang menghadang tawanan kawannya, lalu mengambilnya untuk dibunuh”81. 9.

Islam bersikap kasih sayang dalam perlakuannya terhadap tawanan. Membebaskan tawanan merupakan akhlak mulia yang menjadi kebanggaan bangsa Arab seperti terlihat dalam ungkapan penyair:

‫ ﺇﺫﺍ ﺃﺛﻘﻞ ﺍﻷﻋﻨﺎﻕ ﺣﻤﻞ ﺍﻟﻤﻐﺎﺭﻡ‬... ‫ﻭﻻ ﻧﻘﺘﻞ ﺍﻷﺳﺮﻯ ﻭﻟﻜﻦ ﻧﻔﻜﻬﻢ‬ “Kami tidak membunuh tawanan, tapi melepaskannya Bila tengkuk merasa berat, kerugian ditanggung”. Ayat populer yang menjelaskan sikap agama terhadap tawanan adalah firman Tuhan:

‫ﻕ َﻓ ِﺈ ﱠﻣ ﺎ‬ َ ‫ﺸ ﺪﱡﻭﺍ ﺍ ْﻟ َﻮ َﺛ ﺎ‬ ُ ‫ﺨ ْﻨ ُﺘ ُﻤ ﻮ ُﻫ ْﻢ َﻓ‬ َ ‫ﺣ ﱠﺘ ﻰ ِﺇﺫَﺍ َﺃ ْﺛ‬ َ ‫ﺏ‬ ِ ‫ﺏ ﺍﻟ ﱢﺮ َﻗ ﺎ‬ َ ‫ﻀ ْﺮ‬ َ ‫َﻓ ِﺈﺫَﺍ َﻟﻘِﻴ ُﺘ ُﻢ ﺍﱠﻟ ﺬِﻳﻦَ َﻛ َﻔ ﺮُﻭﺍ َﻓ‬ .‫ﺏ َﺃ ْﻭﺯَﺍ َﺭﻫَﺎ‬ ُ ‫ﺤ ْﺮ‬ َ ‫ﻀ َﻊ ﺍ ْﻟ‬ َ ‫ﺣﺘﱠﻰ َﺗ‬ َ ‫ﺎ َﺑ ْﻌ ُﺪ َﻭِﺇﻣﱠﺎ ِﻓﺪَﺍ ًء‬‫َﻣﻨ‬ ”Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti”82. Tawanan yang sudah ditangkap, harus dijaga sampai perang selesai, di 81 82

Abdullah Uday ‘l-Jurjani, “’l-Kamil fi Dhu’afak ‘l-Rijal”, realisasi Yahya Mukhtar Ghizawi, cetakan ketiga (Beirut, Dar ‘l-Fikri 1409 H) hal. 1/336 Al Qur’an surat Muhammad ayat 4

39

mana pemerintah mempunyai beberapa altenatif. Pertama, diberikan grasi dan dibebaskan tanpa tebusan. Keputusan ini yang sering diambil Rasulullah Saw dalam peperangan seperti direkam dalam biografi beliau. Ini tidak aneh, karena dalam firman Tuhan terdapat pilihan, yaitu “sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan”, di mana plihan membebaskan lebih dahulu dari pilihan menerima tebusan. Karena itu, Rasulullah Saw mengambil pilihan pertama (membebaskan tawanan) pada perang Badar83. Dengan demikian, pemberian grasi dan pembebasan merupakan pilihan utama. Setelah perang Badar usai, Rasulullah Saw berkata:

‫ﻥ ﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬ ‫ﻦ‬ ُ ‫ﻄ ِﻌ ُﻢ ْﺑ‬ ْ ‫ﻥ ﺍ ْﻟ ُﻤ‬ َ ‫ﺳ ﺎﺭَﻯ َﺑ ْﺪ ٍﺭ » َﻟ ْﻮ َﻛ ﺎ‬ َ ‫ َﻗ ﺎ َﻝ ِﻓ ﻰ ُﺃ‬- ‫ ﺻ ﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ ﻭﺳ ﻠﻢ‬- ‫ﻰ‬ ‫َﺃ ﱠ‬ « ‫ َﻟ َﺘ َﺮ ْﻛ ُﺘ ُﻬ ْﻢ َﻟ ُﻪ‬، ‫ ُﺛﻢﱠ َﻛﱠﻠ َﻤﻨِﻰ ﻓِﻰ َﻫ ُﺆ َﻻ ِء ﺍﻟ ﱠﻨ ْﺘﻨَﻰ‬، ‫ﺎ‬‫ﺣﻴ‬ َ ‫ﻯ‬ ‫ﻋ ِﺪ ﱟ‬ َ “Kalau al-Muth’im bin Uday (petinggi Kafir Qureisy) hidup dan meminta agar membebaskan tawanan perang Badar, akan aku bebaskan mereka semua demi permintaannya”84. Semuanya ini adalah membuktikan secara kongkrit bahwa pemberian grasi atau pengampunan tawanan mempunyai posisi yang jelas dalam perundang-undangan Islam. Pilihan kedua adalah tebusan bagi tawanan perang. Tawanan dapat menebus sendiri dirinya seperti terjadi pada perang Badar, di mana seorang tawanan Muslim ditebus dari tangan pihak kafir. Rasulullah Saw dalam masalah tebusan ini tidak terbatas pada tebusan dengan harta dan tebusan orang dengan orang semata, tapi tebusan bisa berbentuk pemberikan pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak umat Islam. Ini adalah tugas yang cukup ringan bagi tawanan. Ini jelas menunjukkan bahwa Islam lebih mengutamakan pemberian kebebasan dan pemberantasan kebodohan. Pilihan ketiga adalah membunuh tawanan. Para pendukung pilihan ketiga ini85 mendasari pendapat mereka dari dalil Qur’an dan Hadis. Di antaranya apa yang terdapat dalam biografi nabi Muhammad Saw tentang pembunuhan beberapa orang tawanan. Di sisi lain, Ibnu ‘l-Arabi mengutip ungkapan Ibnu Abbas ra bahwa sampai banyak terbunuhnya orang kafir di 83 84 85

40

Lihat ‘l-Zarqani, “Syarh ‘l-Mawahib ‘l-Laduniyah”, hal. 1/543-544 yang dikutip dari ‘l-Suhaili. Al-Bukhari, “Sahih ‘l-Bukhari”, hal.11/249 atau nomor hadis 3139 Lihat ‘l-Syafi’I, “’l-Umm”, cetakan kedua (Beirut, Dar ‘l-Ma’rifah, 1393 H) hal. 4/260

atas bumi, namun waktu perang Badar jumlah umat Islam minoritas. Tapi ketika umat Islam sudah banyak, Tuhan berfirman: “sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan, maka diberikan alternatif dalam hal tawanan. Ini pendapat sebagian besar Ahli Tafsir sesudah itu86. Ini artinya membunuh tawanan terjadi ketika umat Islam minoritas waktu itu, tapi kemudian diberikan dua alternatif saja, yaitu pembebasan atau tebusan. Ibnu Rusyd, setelah mengutip berbagai pendapat ulama tentang tiga pilihan tersebut, berpendapat bahwa semuanya sepakat untuk melarang membunuh tawanan dan menurut ‘l-Hasan bin Muhammad ‘l-Tamimi, ini merupakan ijma’ para sahabat nabi (konsensus)87. ‘l-His dan ‘Atha berpendapat: “Imam tidak berhak membunuh tawanan”88. Abu Hayan dalam kitab ‘l-Bahr ‘lMuhith’ menafsirkan firman Tuhan dalam surat Muhammad ayat 489 (”Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti) : “Jelas bahwa dharb ‘lriqab dalam ayat (pancunglah batang leher), maksudnya pembunuhan karena kuatnya tekanan rantai pengikat saat terjadinya banyak pembunuhan, sedangkan firman Tuhan yang memberikan alternatif, yaitu “pembebasan” dan “tebusan” adalah sesudah tidak terjadi lagi “kuatnya tekanan rantai pengikat”. Kedua altenatif berlaku pada kondisi normal, yaitu altenatif pertama membebaskan tawanan tanpa tebusan seperti dilakukan Rasulullah Saw terhadap Tsumamah bin Atsal al-Hanafi. Altenatif kedua pembebasan dengan tebusan seperti terdapat dalam riwayat Hadis bahwa dua tawanan 86 87 88

89

Ibnu ‘l-Arabi, “Ahkam ‘l-Qur’an”, realisasi Ali Muhammad ‘l-Bajawi (Beirut, Dar ;l-Fikr t.t.) hal. 2/879. Ibnu Rusyd, “Bidayah ‘l-Mujtahid wa Nihayah ‘l-Muqtashid”, cetakan ke enam (Beirut, Dar ‘l-Ma’rifah 1402H) hal. 1/382. Ibnu ‘l-Arabi, “Ahkam ‘l-Qur’an”, hal. 4/1703. Wahbah ‘l-Zuhaili berpendapat dalam bukunya “Atsar ‘l-Harb fi ‘l-Fiqh ‘l-Islami”, hal. 440; “Membunuh tawanan menurut Islam lebih dekat kepada haram ketimbang dibolehkan. Meski dibolehkan, tapi hanya terbatas pada solusi individual dalam kasus tertentu dan dalam keadaan darurat, namun tidak menjadi solusi bagi masalah yang umum”. Pada hal. 436, ia juga berpendapat: “Kasus pembunuhan tawanan pada masa permulaan Islam termasuk kasus individu karena kondisi tertentu, tapi bukan merupakan perundang-undangan yang berlaku umum dan secara kontinu, kecuali untuk merubah kondisi yang sama seperti dibunuhnya beberapa tawanan karena sikap yang sangat ekstrim memusuhi Islam, mempermalukan umat Islam, memprovokasi sejumlah suku Arab untuk menyerang umat Islam dan selalu menyakiti Rasulullah Saw dengan caci maki”. Lihat Abdulwahid Yusuf ‘l-Far, “Asra ‘l-Harb”, t.c.(Cairo, ‘Alam ‘l-Kitab, 1975) hal. 191-192, di mana penulis mendukung pendapat Wahah ‘l-Zuhaili.

‫ﺣﺘﱠﻰ‬ َ ‫ﺎ َﺑ ْﻌ ُﺪ َﻭِﺇﻣﱠﺎ ِﻓﺪَﺍ ًء‬‫ﻕ َﻓ ِﺈﻣﱠﺎ َﻣﻨ‬ َ ‫ﺸﺪﱡﻭﺍ ﺍ ْﻟ َﻮﺛَﺎ‬ ُ ‫ﺨ ْﻨ ُﺘﻤُﻮ ُﻫﻢْ َﻓ‬ َ ‫ﺣﺘﱠﻰ ِﺇﺫَﺍ َﺃ ْﺛ‬ َ ‫ﺏ‬ ِ ‫ﺏ ﺍﻟ ﱢﺮﻗَﺎ‬ َ ‫ﻀ ْﺮ‬ َ ‫ﻦ َﻛ َﻔﺮُﻭﺍ َﻓ‬ َ ‫َﻓ ِﺈﺫَﺍ َﻟﻘِﻴ ُﺘﻢُ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ ‫ﺏ َﺃ ْﻭﺯَﺍ َﺭﻫَﺎ‬ ُ ‫ﺤ ْﺮ‬ َ ‫ﻀ َﻊ ﺍ ْﻟ‬ َ ‫َﺗ‬

Ayat itu adalah ‫ﻢ‬

41

kafir ditebus dengan satu tawanan muslim90. Ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa perang dalam perpektif Islam tidak bertujuan untuk membasmi musuh, tapi untuk mencegah penyerangan. Bila penyerangan dapat dicegah, tentara musuh menjadi tawanan, di mana mereka bukan penjahat perang atau mempunyai catatan kriminil, maka tidak terdengar mereka itu dibunuh. Posisi hukum kebiasaan (tradisi) sebagai sumber resmi Hukum Humaniter Internasional dalam Islam telah dijelaskan sebelumnya. Atas dasar itu, bila sudah menjadi tradisi atau kebiasaan negara-negara untuk melindungi tawanan dari pembunuhan, maka tradisi tersebut menjadi ketentuan mengikat bagi negara-negara Islam dan menjadi kebiasaan yang harus dilaksanakan kepada semua pihak dan termasuk dalam Hukum Internasional Umum yang berdasarkan perjanjian dan kebiasaan yang mengikat. Meskipun ketentuan ini akan membatasi wewenang pemerintah, tapi disitu terdapat kepentingan bersama. Dalam hal ini, negara-negara Islam sangat konsisten untuk menerapkannya dan bekerja sama dengan pihak lain untuk melaksanakan perjanjian dan kebiasaan tersebut, karena intinya melindungi tawanan, harga diri dan kemuliaannya.

Tiga : Hak orang hilang dan korban tewas. Setelah perang usai, banyak orang hilang yang tidak diketahui kabar beritanya. Tentu saja hal ini menyedihkan dan menyakitkan bagi keluarga yang ditinggalkan yang kadang-kadang berita kehilangannya sudah berlangsung lama. Tidak jarang karena terus menerus mengenang tragedi hilangnya, betapa rindunya beberapa individu untuk mendengar kabar meninggalnya karib kerabat mereka yang hilang, sehingga dapat memberikan ketenangan kepada mereka. Karena itu, sangat diperlukan informasi dari pihak musuh tentang tawanan muslim yang berada di tangan mereka. Dalam hal ini tidak dibenarkan menyembunyikan nama-nama tawanan atau mengingkari keberadaannya, 90

Abu Hayan ‘l-Andalusi, “Tafsir ‘l-Bahr ‘l-Muhith”, cetakan kedua (Beirut Dar ‘l-Fikr li ‘l-Taba’ah wa ‘l-Nasyr wa ‘l-Tauzi’ 1403 H) hal. 8/74. Kemudian, Abu Hayan mengutip sejumlah perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini dan kontrakdiksi kongrit antara ayat ini dengan ayat

‫ﺟ ْﺪ ُﺗﻤُﻮ ُﻫ ْﻢ‬ َ ‫ﺚ َﻭ‬ ُ ‫ﺣ ْﻴ‬ َ ‫ﻦ‬ َ ‫ﺸ ِﺮﻛِﻴ‬ ْ ‫ﻓَﺎ ْﻗ ُﺘﻠُﻮﺍ ﺍ ْﻟ ُﻤ‬ 42

karena merupakan penghinaan bagi tawanan dan pelecehan terhadap hakhaknya. Padahal termasuk melakukan terbaik dalam perlakuan terhadap tawanan yang dituntut agama adalah menghormati pribadi tawanan dan menjunjung tinggi kemuliaannya dan menyampaikan berita yang cukup tentang keadaannya. Yang penting adalah mengetahui berita prajurit setelah terjadi pertempuran, mengumpulkan informasi tentang prajurit yang hilang, termasuk yang meninggal dalam medan pertempuran dan mayatnya tetap di kalangan umat Islam. Islam memuliakan manusia, baik hidup maupun mati, seperti terlihat dalam beberapa teks berikut tentang bagaimana memuliakan orang mati. 1.

Rasulullah Saw melarang merusak organ jasad orang yang meninggal91. Ini berdasarkan hadis riwayat Buraidahbahwa:

‫ﺳ ِﺮ ﱠﻳ ٍﺔ‬ َ ‫ﺶ َﺃ ْﻭ‬ ٍ ‫ﺟ ْﻴ‬ َ ‫ﻋﻠَﻰ‬ َ ‫ ِﺇﺫَﺍ َﺃ ﱠﻣ َﺮ َﺃﻣِﻴﺮًﺍ‬-‫ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫ﻥ َﺭﺳُﻮ ُﻝ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ‬ َ ‫ﻛَﺎ‬ ‫ﻏﺰُﻭﺍ‬ ْ ‫ﺧ ْﻴﺮًﺍ ُﺛﻢﱠ ﻗَﺎ َﻝ » ﺍ‬ َ ‫ﻦ‬ َ ‫ﺴ ِﻠﻤِﻴ‬ ْ ‫ﻦ ﺍ ْﻟ ُﻤ‬ َ ‫ﻦ َﻣ َﻌ ُﻪ ِﻣ‬ ْ ‫ﺻ ِﺘ ِﻪ ِﺑ َﺘ ْﻘﻮَﻯ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ َﻭ َﻣ‬ ‫َﺃ ْﻭﺻَﺎ ُﻩ ﻓِﻰ ﺧَﺎ ﱠ‬ ‫ﻏﺰُﻭﺍ َﻭ َﻻ َﺗ ُﻐﻠﱡﻮﺍ َﻭ َﻻ َﺗ ْﻐ ِﺪﺭُﻭﺍ َﻭ َﻻ‬ ْ ‫ﻦ َﻛ َﻔ َﺮ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ ﺍ‬ ْ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ﻗَﺎ ِﺗﻠُﻮﺍ َﻣ‬ َ ‫ﺳ ِﻢ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ﻓِﻰ‬ ْ ‫ﺑِﺎ‬ .‫َﺗ ْﻤ ُﺜﻠُﻮﺍ َﻭ َﻻ َﺗ ْﻘ ُﺘﻠُﻮﺍ َﻭﻟِﻴﺪًﺍ‬ “Rasulullah dalam perintahnya kepada komandan seseorang militer agar bertaqwa kepada Allah Swt dan jangan melanggar batas. Sabda beliau: “Bertempurlah atas nama Allah dan pada Sabilillah dan perangilah orang yang tidak beriman. Bertempurlah, tapi jangan melampaui batas, merusak organ mayat dan melakukan kelicikan serta jangan membunuh anak-anak”. Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa :

‫ﺼ َﺪ َﻗ ِﺔ َﻭ َﻧﻬَﻰ‬ ‫ﻄ َﺒ ًﺔ ِﺇ ﱠﻻ َﺃ َﻣ َﺮ ﺑِﺎﻟ ﱠ‬ ْ‫ﺧ‬ ُ ‫ﻚ‬ َ ‫ﺐ َﺑ ْﻌ َﺪ َﺫ ِﻟ‬ ْ ‫ﻄ‬ ُ‫ﺨ‬ ْ ‫ َﻟ ْﻢ َﻳ‬-‫ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫ﻰ‬ ‫ﻥ ﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬ ‫َﺃ ﱠ‬ .‫ﻦ ﺍ ْﻟ ُﻤ ْﺜ َﻠ ِﺔ‬ ِ‫ﻋ‬ َ “Satu-satunya khutbah Rasulullah Saw yang tidak seperti khutbah yang lain, yaitu memerintahkan untuk bersedekah dan melarang merusak organ tubuh mayat”92. 91 92

Organ tubuh mayat yang terbunuh seperti telinga, hidung dan lainnya diperlihat-lihatkan dan dipamer kepada orang lain. Lihat ‘l-Shan’ani, “Subul ‘l-Salam Syarh ‘Bulugh ‘l-Maram”, (Riyadh, Jami’ah ‘lImam Muhammad Su’ud ‘l-Islamiyah 1397 H), hal. 4/96 ‘l-Baihaqi, “’l-Sunan ‘l-Kubra”, hal. 9/69

43

Pada perang Uhud, pihak musuh merusak organ tubuh mayat umat Islam, maka Rasulullah Saw bersabda seperti dikutip dalam tafsir ‘l-Thabari:

‫ ] ﻟﺌﻦ ﻇﻬﺮﻧﺎ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻟﻨﻤﺜﻠﻦ ﺑﺜﻼﺛﻴﻦ‬: ‫ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ‬ ‫ ﻭﺍﷲ ﻟﺌﻦ ﻇﻬﺮﻧﺎ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻟﻨﻤﺜﻠﻦ‬: ‫ﺭﺟﻼ ﻣﻨﻬﻢ [ ﻓﻠﻤﺎ ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﺑﺬﻟﻚ ﻗﺎﻟﻮﺍ‬ ‫ﺑﻬﻢ ﻣﺜﻠﺔ ﻟﻢ ﻳﻤﺜﻠﻬﺎ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﺑﺄﺣﺪ ﻗﻂ ﻓﺄﻧﺰﻝ ﺍﷲ } ﻭﺇﻥ ﻋﺎﻗﺒﺘﻢ ﻓﻌﺎﻗﺒﻮﺍ‬ { ‫ﺑﻤﺜﻞ ﻣﺎ ﻋﻮﻗﺒﺘﻢ ﺑﻪ ﻭﻟﺌﻦ ﺻﺒﺮﺗﻢ ﻟﻬﻮ ﺧﻴﺮ ﻟﻠﺼﺎﺑﺮﻳﻦ‬ “Jika kita menang, kita akan lakukan pemotongan organ mayat dari tiga puluh orang mereka. Ketika umat Islam mendengar hal itu, ada yang berkata: “Kalau kita menang atas mereka, kita bisa melakukan perusakan organ mayat seperti mereka lakukan dan belum pernah seorang dari kalangan bangsa Arab yang melakukannya. Lalu turun firman Tuhan: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”93. Al-Tabhari berkata: “Berniat dan memberitahu, tapi tidak melakukan perusakan organ mayat tersebut. Lalu Rasulullah melarang perusakan organ mayat tersebut94. Atas dasar itu, perusakan organ mayat musuh tidak dibenarkan95. Bahkan Al-Shan’ani dalam bukunya ‘Subul ‘l-Salam’ berpendapat bahwa hadis riwayat Buraidah menunjukkan haramnya perusakan organ mayat dan membunuh anak-anak kaum musyrik. Karenanya, hal itu diharamkan secara ijma’ (kesepakatan ulama)96. Menurut al-Zamakhsyari bahwa tidak ada perbedaan pendapat tentang pengharaman perusakan organ mayat dan terdapat sejumlah teks yang melarangnya sampai tentang perusakan anjing menggigit”97. 2.

Di samping melarang perusakan organ mayat, Islam juga melarang membawa kepala mayat dan melempar-lemparkannya. Al-Zuhri berkata bahwa tidak pernah ada kepala mayat dibawa kepada Rasulullah Saw98.

93 94 95

Al Qur’an surat an-Nahl ayat 126 Al-Thabari, “Tafsir ‘l-Thabari”, (Bairut, Dar ‘l-Fikr 1405 H) hal. 14/176 Lihat Ibnu Qudamah, “’l-Kafi”, realisasi Zahir ‘l-Syawisy, cetakan ke lima (Beirut, ‘l-Maktab ‘l-Islami 1408H) hal. 4/272. Lihat ‘l-Shan’ani, “Subul ‘l-Salam”, hal. 4/97 ‘l-Zamakhsyari ,”’l-Kasyaf ‘an Haqaiq ‘l-Tanzil wa ‘Uyun ‘l-Aqawil fi Wujuh ‘l-Ta’wil”, realisasi Muhammad ‘l-Shadiq Qumhawy (Mesir,Matba’ah Mustafa ‘l-Baba ‘l-Halabi 1392H) hal. 2/435. ‘l-Baihaqi, “’l-Sunan ‘l-Kubra”, hal. 9/132-133 dan Ibnu Qudamah, “’l-Mughni”, hal. 8/494. ‘l-Zuhaili berpendapat bahwa hadis tentang dibawanya kepala Abu Jahal yang diduga sahnya oleh sebagian ulama, ternyata dalil yang terkuat adalah tidak sahnya hadis tersebut. “Atsar ‘l-Harb fi ‘l-Fiqh ‘l-Islami”, hal. 484

96 97 98

44

Diriwayatkan oleh Muhammad bin Hasan ‘l-Syaibani bahwa Uqbah bin ‘Amir ‘l-Jahmi membawa kepada khalifah Abi Bakar ‘l-Siddiq kepala seorang musyrik yang terbunuh. Abu Bakar menolak dan mengingkarinya, lalu berpesan kepada petinggi khalifah: “Jangan bawa kepadaku kepala orang, jika kalian tidak dianggap melanggar, tapi cukup sampaikan kepadaku surat atau berita”99. Dalam riwayat lain, khalifah berkata: “Ini adalah tradisi orang asing (non muslim)”100. Artinya ia mengkritisi dan menolak perbuatan seperti itu yang maksudnya tidak dibenarkan. Kalau umpamanya perbuatan ini memang terjadi, tentu mirip dengan kebengisan musuh seperti terlihat jelas pada contoh-contoh yang disebutkan dalam buku sejarah tentang dibawanya kepala orang setelah pertempuran101. Ketika itu, terjadinya dalam skop yang sangat sempit oleh orang-orang tertentu yang sangat bengis melakukan perusakan fisik terhadap umat Islam secara sadis dan kejam. 3.

Sebagai upaya menjaga kehormatan manusia adalah tidak membiarkan mayat dikoyak-koyak dan dimangsa oleh srigala dan burung, bahkan dihindari semaksimal mungkin dari segala bentuk yang tidak layak. Tidak jauh berbeda dengan larangan Islam terhadap perusakan organ mayat oleh prajurit muslim, Islam juga memerintahkan agar menjaga jasad-jasad tersebut agar tidak jadi mainan binatang buas atau dirobek-robek burung pemakan bangkai102. Ada sebagian teks yang menunjukkan Rasulullah Saw menguburkan mayat-mayat orang kafir dan tidak membiarkannya tergeletak begitu saja di atas tanah. Dalam perang Badar, Rasulullah Saw mengeluarkan perintah menarik mayat-mayat orang kafir ke dekat mata air dan menguburkan mayat Ummayah bin Khalaf, karena tidak bisa ditarik ke lokasi mata air, serta tidak membiarkannya menjadi santapan binatang buas dan srigala103. Bila melihat mayat, beliau langsung menyuruh menguburkannya tanpa bertanya tentang agama mayat tsb. Diriwayatkan dari Yu’la bin Murrah berkata: “Aku sering berpergian

99 Lihat ‘l-Syaibani, “’l-Siyar ‘l-Kabir”, hal. 1/79 dan ‘l-Baihaqi, “’l-Sunan ‘l-Kubra”, hal. 9/133 100 ‘l-Baihaqi, “’l-Sunan ‘l-Kubra”, hal. 9/132 101 Lihat Ismail Abu Syari’ah, “Nazariyat ‘l-Harb fi ‘l-Islam”, cetakan pertama (Kuwait, Maktabah ‘l-Falah 1401H) hal. 520. 102 Lihat Abul Khair Ahmad Athiah, “Perlindungan Warga Sipil dan Objek sipil dalam konflik bersenjata”,hal. 107. 103 Lihat Ibnu Hisyam, “’l-Sirah ‘l-Nabawiyah”, realisasi Adil Ahmad Abdul Maujud dkk, cetakan pertama (Riyadh, Maktabah ‘L-Ubaikan 1418H) hal. 1/230.

45

bersama Rasulullah Saw, aku tidak pernah melihat beliau melewatkan saja mayat yang ditemuinya, kecuali menyuruh menguburkannya tanpa menanyakan apakah ia muslim atau kafir104. Dari sejumlah teks ini, dapat dikatakan bahwa Islam berpendapat mayat musuh harus dikuburkan sebagai penghormatan bagi kemanusiaannya. Tanggung-jawab mereka dari sudut keyakinan beragama diserahkan kepada Allah Swt105. Ini adalah fakta aksi kongkrit untuk menghormati manusia baik hidup maupun sudah mati, tanpa melihat perbedaan agama, kepercayaan dan sebagainya yang dapat merusakan kehormatan tersebut.

Ke empat: Hak-hak penduduk sipil106 Sejak 14 abad yang lalu, Islam sudah mengenal prinsip pembedaan antara kombatan dengan warga sipil sejati dan antara objek militer dengan objek sipil. Islam membedakannya berdasarkan teks agama dan implementasinya terhadap kelompok ini dan kelompok itu, di samping mewajibkan pemberian perlindungan terhadap warga sipil dari tindakan agresif dan aksi yang merugikan mereka. Firman Tuhan:

.‫ﻦ‬ َ ‫ﺤﺐﱡ ﺍ ْﻟ ُﻤ ْﻌ َﺘﺪِﻳ‬ ِ ‫ﻥ ﺍﻟﱠﻠ َﻪ ﻻ ُﻳ‬ ‫ﻦ ُﻳﻘَﺎ ِﺗﻠُﻮ َﻧ ُﻜ ْﻢ َﻭﻻ َﺗ ْﻌ َﺘﺪُﻭﺍ ِﺇ ﱠ‬ َ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬ َ ‫َﻭﻗَﺎ ِﺗﻠُﻮﺍ ﻓِﻲ‬ “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.107 Ibnu ‘l-Arabi menafsirkan ayat di atas: “Jangan diperangi kecuali orang yang ikut berperang yang sudah dewasa. Adapun perempuan, anak-anak dan pendeta tidak termasuk orang yang berperang108. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas menafsirkan ayat “janganlah kamu melampaui batas”, bahwa jangan

104 ‘l-Dar ‘l-Quthni, “Sunan ‘l-Dar ‘l-Quthni” yang dicetak bersama ‘l-Ta’liq ‘l-Mughni ‘Ala Sunan ‘l-Dar ‘l-Quthni, hal. 4/116, kitab ‘l-Siyar nomor 41. 105 Lihat Ismail Abu Syari’ah, “Nazariyat ‘l-Harb fi ‘l-Islam”, hal. 514. 106 Pengertian sipil mencakup semua orang dari pihak yang terlibat konflik bersenjata yang tidak mungkin berperang baik dari sudut pertimbangan fisik maupun kebiasaan seperti perempuan, anak-anak, utusan dan lainnya yang tidak hubungannya dengan aktifitas militer atau perang dalam bentuk apapun. Lihat Hasan Abu Ghuddah, “Qadhaya Fiqhiyah fi ‘l-‘Alaqat ‘l-Dauliyah, hal. 269. 107 Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 190. 108 Lihat Ibnu ‘l-Arabi, “Ahkam ‘l-Qur’an”, hal. 1/104

46

dibunuh perempuan, anak-anak dan orang tua renta109, termasuk orang buta, pendeta, petani dan lainnya110. Selanjutnya, pesan Rasulullah Saw kepada para prajurit ketika dikirim ke medan perang melawan musuh, menegaskan pembedaan antara kombatan dan warga sipil. Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Saw bersabda:

‫ﻋﻠَﻰ‬ َ ‫ﺳ ِﻢ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ َﻭﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ َﻭ‬ ْ ‫ﻄ ِﻠﻘُﻮﺍ ﺑِﺎ‬ َ ‫ ﻗَﺎ َﻝ » ﺍ ْﻧ‬-‫ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫ﻥ َﺭﺳُﻮ َﻝ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ‬ ‫َﺃ ﱠ‬ ‫ﺻﻐِﻴﺮًﺍ َﻭ َﻻ ﺍ ْﻣ َﺮَﺃ ًﺓ َﻭ َﻻ َﺗ ُﻐﻠﱡﻮﺍ‬ َ ‫ﻼ َﻭ َﻻ‬ ً ‫ﻃ ْﻔ‬ ِ ‫ﺷ ْﻴﺨًﺎ ﻓَﺎ ِﻧﻴًﺎ َﻭ َﻻ‬ َ ‫ِﻣﱠﻠ ِﺔ َﺭﺳُﻮ ِﻝ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ َﻭ َﻻ َﺗ ْﻘ ُﺘﻠُﻮﺍ‬ « (‫ﻦ‬ َ ‫ﺴﻨِﻴ‬ ِ ‫ﺤ‬ ْ ‫ﺤﺐﱡ ﺍ ْﻟ ُﻤ‬ ِ ‫ﻥ ﺍﻟﱠﻠ َﻪ ُﻳ‬ ‫ﺴﻨُﻮﺍ )ِﺇ ﱠ‬ ِ ‫ﺣ‬ ْ ‫ﺻ ِﻠﺤُﻮﺍ َﻭَﺃ‬ ْ ‫ﻏﻨَﺎ ِﺋ َﻤ ُﻜ ْﻢ َﻭَﺃ‬ َ ‫ﺿﻤﱡﻮﺍ‬ ُ ‫َﻭ‬ “Berangkatlah atas nama Allah, dengan Alla dan atas agama Rasulullah dan jangan membunuh orang tua renta, anak-anak, perempuan, dan jangan melampaui batas, kumpulkan pampasan perangmu dan berbuatlah kebaikan dan lakukanlah kebajikan. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan”111. Dari wasiat Rasulullah Saw tadi, penulis berkesimpulan bahwa tiga kelompok manusia yang tidak boleh dibunuh, yaitu: 1.

Orang tua renta

2.

Anak-anak

3.

Perempuan.

Sabda Rasulullah “jangan membunuh orang tua renta, anak-anak, perempuan” artinya mereka ini tidak diperkirakan akan ikut serta dalam operasi militer. Perang dalam Islam bukan bertujuan untuk membasmi musuh, tapi untuk menghentikan agresi penyerangan. Dari itu, perang tidak boleh melewati motif tersebut. Jika sudah diketahui alasan tidak dibolehkannya membunuh orang-orang tersebut di atas, karena diperkirakan tidak akan 109 Ibnu Qudamah, “’l-Mughni”,hal. 8/477 110 Ibnu Qudamah, “’l-Mughni”,hal. 8/477. Larangan ini berlaku kepada mereka selama tidak berperang. Jika ikut berperang, maka mereka bukan sipil lagi, tapi termasuk tentara dan berlaku bagi mereka ketentuan sebagai kombatan. Muhammad bin ‘l-Hasan ‘l-Syaibani, “’l-Siyar ‘l-Kabir”, komentator ‘lSarkhasi, hal. 4/187 dan Ibnu Qudamah, “’l-Mughni”, hal. 8/478 111 Abu Daud, “Sunan Abi Daud”, realisasi Muhammad Mahyuddin Abdul Hamid, (Beirut Dar ‘l-Fikri t.t.) hal. 3/37 dan ‘l-Baihagi, “’l-Sunan ‘l-Kabir”, realisasi Muhammad Abdul Kadir ‘Atha, (Mekkah, Dar ‘lBaz 1414 H) hal. 9/90.

47

berpartisipasi dalam peperangan, maka orang yang tidak ikut serta dalam peperangan dalam bentuk apapun, dianggap sebagai warga sipil yang tercakup dalam pengertian ini. Inti pesan Rasulullah ini terlihat kembali dalam petunjuk beliau terhadap para panglima yang pergi ke medan perang. Beliau selalu memerintahkan mereka agar tidak membunuh perempuan, anak-anak dan tokoh agama. Di antaranya hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas:

‫ﷲ‬ ِ ‫ﺴ ِﻢ ﺍ‬ ْ ‫ﺧ ُﺮﺟُﻮﺍ ِﺑ‬ ْ ‫ ﺍ‬: ‫ﺷ ُﻪ ﻗَﺎ َﻝ‬ َ ‫ﺟﻴُﻮ‬ ُ ‫ﺚ‬ َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ِﺇﺫَﺍ َﺑ َﻌ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﻭ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ‬ َ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻛَﺎﻥَ َﺭﺳُﻮ ُﻝ ﺍ‬ ‫ ﻭَﻻ‬، ‫ ﻭَﻻ ُﺗ َﻤﺜﱢﻠُﻮﺍ‬، ‫ ﻭَﻻ َﺗ ُﻐﻠﱡﻮﺍ‬، ‫ َﻻ َﺗ ْﻐ ِﺪﺭُﻭﺍ‬، ‫ﻦ َﻛ َﻔ َﺮ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ‬ ْ ‫ﷲ َﻣ‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍ‬ َ ‫ﻥ ﻓِﻲ‬ َ ‫ُﺗﻘَﺎ ِﺗﻠُﻮ‬ .‫ﺼﻮَﺍ ِﻣ ِﻊ‬ ‫ﺏ ﺍﻟ ﱠ‬ َ ‫ﺻﺤَﺎ‬ ْ ‫ ﻭَﻻ َﺃ‬، ‫ﻥ‬ َ ‫َﺗ ْﻘ ُﺘﻠُﻮﺍ ﺍ ْﻟ ِﻮ ْﻟﺪَﺍ‬ “Jika Rasulullah mengirim tentara, beliau berpesan: “Keluarlah dengan nama Allah dan berperanglah pada jalan Allah melawan orang-orang kafir kepada Allah, jangan berkhianat, melampaui batas, merusak organ mayat dan jangan membunuh anak dan tidak pula para penghuni rumah ibadat”112. Dari Ibnu Ka’ab bin Malik dari pamannya meriwayatkan:

‫ َﻧﻬَﻰ ﻋَﻦ‬، ‫ﺨ ْﻴ َﺒ َﺮ‬ َ ‫ﻖ ِﺑ‬ ِ ‫ﺤ َﻘ ْﻴ‬ ُ ‫ﻦ َﺃﺑِﻲ ﺍ ْﻟ‬ ِ ‫ﺚ ِﺇﻟَﻰ ﺍ ْﺑ‬ َ ‫ﻦ َﺑ َﻌ‬ َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﺣِﻴ‬ َ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َﻭ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ‬ َ ‫ﻲ‬ ‫ﻥ ﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬ ‫َﺃ ﱠ‬ .‫ﻥ‬ ِ ‫ﺼ ْﺒﻴَﺎ‬ ‫َﻗ ْﺘ ِﻞ ﺍﻟ ﱢﻨﺴَﺎ ِء ﻭَﺍﻟ ﱢ‬ “Ketika Rasulullah Saw mengutus kepada putra Abu ‘l-Huqaiq di Khaibar, beliau melarang membunuh perempuan dan anak-anak”113. Dari Ibnu Umar meriwayatkan bahwa:

‫ َﻣ ْﻘﺘُﻮ َﻟ ًﺔ‬-‫ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫ﺾ َﻣﻐَﺎﺯِﻯ َﺭﺳُﻮ ِﻝ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ‬ ِ ‫ﺕ ﻓِﻰ َﺑ ْﻌ‬ ْ ‫ﺟ َﺪ‬ ِ ‫ﻥ ﺍ ْﻣ َﺮَﺃ ًﺓ ُﻭ‬ ‫َﺃ ﱠ‬ .‫ﻥ‬ ِ ‫ﺼ ْﺒﻴَﺎ‬ ‫ َﻗ ْﺘ َﻞ ﺍﻟ ﱢﻨﺴَﺎ ِء ﻭَﺍﻟ ﱢ‬-‫ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫َﻓ َﺄ ْﻧ َﻜ َﺮ َﺭﺳُﻮ ُﻝ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ‬ “Dalam beberapa peperangan Rasulullah Saw, ditemui mayat seorang perempuan yang mati terbunuh, beliau memprotes terbunuhnya perempuan dan anak-anak”114. 112 Imam Ahmad, “Masnad ‘l-Imam Ahmad”, realisasi Dr. Abdullah ‘l-Turki dkk, cetakan pertama (Beirut, Muassah ‘l-Risalah 1417H) hal. 4/461, nomor 2728. Menurut realisator, hadis ini adalah hasan li ghairihi. 113 Imam Ahmad, “Masnad ‘l-Imam Ahmad”, hal. 39/506 nomor 24009 dan hal. 4/461 nomor 2728. Menurut realisator, hadis ini adalah hasan li ghairihi. 114 Imam Muslim, “Sahih Muslim”, hal. 3/1364 nomor 1744

48

Dalam riwayat Ahmad, Rasulullah Saw berkata: “Perempuan ini tidak mungkin sebagai kombatan (tentara)”, lalu beliau melarang membunuh perempuan dan anak-anak”115. Hadis ini menjelaskan alasan dilarangnya membunuh perempuan, karena ia bukan tentara yang ikut perang (kombatan). Siapa yang tidak berperang, tidak boleh terbunuh. Dalam pesan beliau kepada Khalid bin Walid, Rasulullah Saw bersabda: (‫)ﻻ ﺗﻘﺘﻞ ﺫﺭﻳﺔ ﻭﻻ ﻋﺴﻴﻔﺎ‬. “Jangan membunuh anak-anak dan petani”116. Pesan-pesan Rasulullah ini menegaskan agar jangan sampai terbunuhnya warga sipil seperti perempuan, anak-anak, orang tua renta, dan lainnya yang tidak ikut serta dalam peperangan. Selain itu, tercatat pula kelompok manusia lain yang disebutkan Rasulullah dalam sabdanya “jangan berkhianat, melampaui batas, merusak organ mayat dan jangan membunuh anak dan tidak pula para penghuni rumah ibadat”117. Penulis maksudkan sebagai kelompok tambahan itu adalah para penghuni rumah ibadat seperti para pendeta yang menghabiskan waktu mereka dalam gereja dan rumah ibadat lainnya. Dalam hal ini, juga terdapat pesan Abu Bakar ‘l-Siddik: (ً‫ﻬ ِﺪﻣُﻮﺍ ﺑِﻴ َﻌﺔ‬ ْ ‫) َﻭ َﻻ َﺗ‬. “Jangan meruntuh rumah ibadat”. Pesan ini mengandung dua hal; pertama Islam menghormati kelompok ini, yaitu para penghuni rumah ibadat dan dilarang jangan sampai mereka mendapat perlakuan yang tidak baik. Mereka adalah orang-orang penghuni rumah ibadah yang tidak ikut serta dalam peperangan. Kedua, hal ini secara otomatis melindungi tempat-tempat ibadah ini yang tidak boleh menjadi sasaran perang selama tidak digunakan sebagai objek militer. Dalam hal ini, menurut penulis, juga mencakup objek kebudayaan seperti perpustakaan, institusi pendidikan, sekolah, perguruan tinggi dan lainnya yang bisa dikategorikan sebagai fungsi ibadah atau diberlakukan ketentuan rumah ibadat, karena terdapat alasan hukum yang sama, dari sudut tujuannya maupun spesifikasinya.

115 Imam Ahmad, “Masnad ‘l-Imam Ahmad”, hal. 10/173 nomor 5959. 116 Ibnu Hiban, “Sahih Ibnu Hiban”, hal. 11/112 dan ‘l-Hakim, “;l-Mustadrik ‘Ala ‘l-Sahihaini”, hal. 2/133 117 Imam Ahmad, “Masnad ‘l-Imam Ahmad”, realisasi Dr. Abdullah ‘l-Turki dkk, cetakan pertama (Beirut, Muassah ‘l-Risalah 1417H) hal. 4/461, nomor 2728. Menurut realisator, hadis ini adalah hasan li ghairihi.

49

Dengan pesan ini, khalifah Abu Bakar ‘l-Siddik memberi perintah kepada Yazid bin Abi Sufyan, ketika dikirim ke Syam, agar tidak membunuh perempuan, anak-anak dan pendeta, kecuali mereka melakukan serangan fisik118. Maksud yang sama juga didapati dalam pesan khalifah berikut:

‫ﺴ ُﻬ ْﻢ َﻟ ُﻪ‬ َ ‫ﺣ َﺒﺴُﻮﺍ َﺃ ْﻧ ُﻔ‬ َ ‫ﺼﻮَﺍ ِﻣ ِﻊ َﻓ َﺪﻋُﻮ ُﻫ ْﻢ َﻭﻣَﺎ‬ ‫ﺴ ُﻬ ْﻢ ﻓِﻰ ﺍﻟ ﱠ‬ َ ‫ﺣ َﺒﺴُﻮﺍ َﺃﻧْ ُﻔ‬ َ ‫ﻥ َﺃ ْﻗﻮَﺍﻣًﺎ‬ َ ‫ﺠﺪُﻭ‬ ِ ‫ﺳ َﺘ‬ َ ‫َﻭ‬ “Kalian akan menemukan kelompok orang yang mengurung diri dalam rumah ibadat mereka. Maka biarkanlah mereka dengan kondisi itu dan dengan apa yang menjadi tujuan mereka berkurung diri”119. Perlu diketahui bahwa Syam waktu itu terdapat sinagog Yahudi, gereja para pastor dan rumah ibadat yang menjadi tempat ritual dan ibadat bagi mereka. Pesan Abu Bakar kepada panglima adalah benar, karena kelompok ini tidak punya urusan dengan perang, baik secara lisan maupun secara tindakan. Atas dasar itu, pembunuhan pastor dan penghuni rumah ibadat termasuk tindakan kejahatan yang dilarang seperti disinggung Ibnu Katsir dalam tafsirnya120. Pesan khalifah Abu Bakar kepada Yazid bin Abi Sufyan ketika diutus ke Syam, juga mencakup hal-hal sebagai berikut:

‫ﻄﻌُﻮﺍ ُﻣ ْﺜ ِﻤﺮًﺍ َﻭ َﻻ‬ َ ‫ﺷ ْﻴﺨًﺎ َﻛﺒِﻴﺮًﺍ َﻭ َﻻ َﻣﺮِﻳﻀًﺎ َﻭ َﻻ ﺭَﺍ ِﻫﺒًﺎ َﻭ َﻻ َﺗ ْﻘ‬ َ ‫ﺎ َﻭ َﻻ ﺍ ْﻣ َﺮَﺃ ًﺓ َﻭ َﻻ‬‫ﺻ ِﺒﻴ‬ َ ‫َﻻ َﺗ ْﻘ ُﺘﻠُﻮﺍ‬ .‫ﺤ ِﺮﻗُﻮ ُﻩ‬ ْ ‫ﻼ َﻭ َﻻ ُﺗ‬ ً‫ﺤ‬ ْ ‫ﺨﺮﱢﺑُﻮﺍ ﻋَﺎ ِﻣﺮًﺍ َﻭ َﻻ َﺗ ْﺬ َﺑﺤُﻮﺍ َﺑﻌِﻴﺮًﺍ َﻭ َﻻ َﺑ َﻘ َﺮ ًﺓ ِﺇ ﱠﻻ ِﻟ َﻤ ْﺄ َﻛ ٍﻞ َﻭ َﻻ ُﺗ ْﻐ ِﺮﻗُﻮﺍ َﻧ‬ َ ‫ُﺗ‬ “Jangan anak-anak sampai terbunuh, tidak perempuan, orang tua renta, orang sakit, pendeta dan jangan merusak pohon yang berbuah dan jangan merusak bangunan dan menyembelih keledai dan lembu kecuali sekedar untuk makan dan jangan menenggelamkan pohon kurma dan jangan pula membakarnya”121.

118 119 120 121

50

Lihat Ibnu ‘l-Arabi, “Ahkam ‘l-Qur’an”, hal. 1/104 ‘l-Baihaqi, “’l-Sunan ‘l-Baihaqi”, (Beirut, Dar ‘l-Fikr, t.t.), hal. 9/85 Lihat Ibnu Katsir, “Tafsir Ibnu Katsir”, t.p. (Beirut, Dar ‘l-Fikr 1401H) hal. 1/227 ‘l-Baihaqi, “’l-Sunan ‘l-Baihaqi”, hal. 9/90

Dari pesan khalifah Abu Bakar tadi, terlihat larangan mencakup membabat pohon yang berbuah, merusak bangunan, memotong hewan ternak bukan tujuan konsumtif dan juga menenggelamkan pohon kurma122. Perlu dicatat bahwa pesan ini menunjukkan perhatian kepada apa yang disebutkan sekarang dengan objek sipil atau fasilitas sipil dan menghancurkan kekayaan musuh yang tidak digunakan dalam perang yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum Islam123. Ibnu Qudamah mengklasifikasikan tanaman dan pertanian kepada tiga bagian; pertama yang berfungsi sebagai perlindungan dan benteng pertahanan musuh dan sebagainya yang keberadaannya berguna secara militer bagi musuh, maka sepakat ulama bahwa bagian ini boleh dibabat, karena dipakai untuk tujuan perang. Kedua, bagian tanaman yang berguna bagi umat Islam yang biasanya tidak dipotong, maka bagian ini tidak boleh dibabat. Ketiga, selain dari dua bagian tadi yang tidak ada faedahnya dibabat, kecuali untuk memancing kebencian orang kafir. Dalam hal ini terdapat dua riwayat124. Ini salah satu pendapat dalam hal ini. Ada pula yang membedakan kekayaan musuh antara benda padat dengan hewan ternak. Jenis pertama (benda padat) boleh dihancurkan. Ada pula yang berpendapat membolehkan menghancurkan kekayaan musuh yang tidak digunakan dalam peperangan untuk melemahkan kekuatannya dan memancing kemarahannya125. Inti dari penjelasan ini adalah terdapatnya pembedaan antara sipil dan kombatan; antara objek militer dengan objek sipil seperti terlihat dalam pesan khalifah Abu Bakar yang melarang membabat pohon berbuah, merusak bangunan, menenggelam kurma atau membumi-hanguskannya. Atas dasar ini, jelas Islam tidak membolehkan menodongkan senjata jenis apapun untuk membunuh warga sipil. Sesuai dengan pendapat sejumlah ulama, juga dilarang merusak fasilitas sipil atau objek sipil selain yang disebutkan Ibnu Qudamah sebelumnya. Siapa yang melanggar hal-hal tersebut dianggap termasuk pelaku kejahatan yang disebut Tuhan pada penghujung ayat, yaitu “…janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-

122 123 124 125

Dalam riwayat lain, kata ‘l-nakhlah sebagai ganti dari kata ‘l-nahlah. Lihat Hasan Abu Ghuddah, “Qadhaya Fiqhiyah fi ‘l-‘Alaqat ‘l-Dauliyah, hal. 25 Ibnu Qudamah, “’l-Mughni”, hal. 8/453-454 Lihat Hasan Abu Ghuddah, “Qadhaya Fiqhiyah fi ‘l-‘Alaqat ‘l-Dauliyah, hal. 73

51

orang yang melampaui batas”. Jadi termasuk pelanggaran adalah tindakan membakar pohon dan membunuh hewan ternak tanpa kepentingan yang jelas126. Selain itu, tindakan tersebut juga jauh dari keadilan yang diperintah Allah Swt dalam firmanNya: (“ِ‫ﺴﻂ‬ ْ ‫) ُﻗ ْﻞ َﺃ َﻣ َﺮ َﺭﺑﱢﻲ ﺑِﺎ ْﻟ ِﻘ‬, “Katakanlah: “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan”. Jelas tidak dianggap adil, aksi serangan militer ditujukan kepada warga sipil, meskipun warga sipil tersebut kafir, karena kekufuran adalah masalah hamba dengan Tuhannya yang sanksinya ditangan Tuhan nanti di hari Kiamat127. Tujuan peperangan adalah untuk menghentikan ancaman perang. Tujuan ini tidak terdapat pada orang yang tidak memerangi orang tua renta atau pendeta atau wanita atau anak-anak dan sebagainya128. Sejalan dengan sejumlah teks dan pesan tadi, jelas tidak dibenarkan membunuh wanita, anak-anak, pendeta dan orang tua renta129. Semua orang yang tidak ikut perang, meskipun mampu, karena larangan mencakup pendeta dan wanita yang di antara mereka ada yang mampu berperang, tapi tidak mau ikut berpartisipasi, baik bersifat fikiran maupun dukungan, mereka termasuk penduduk sipil yang dilindungi Islam hak-hak mereka di saat peperangan. Panglima muslim atau tentaranya tidak dibenarkan menggiring penduduk sipil pihak musuh untuk bergabung dalam peperangan. Larangan juga mencakup rumah ibadat, pusat kebudayaan, sekolah dan sebagainya. Hal ini terlihat implementasinya dalam peperangan para sahabat nabi ketika menaklukan Syam, di mana gereja dan tempat ibadat lainnya diserahkan kepada umat yang terkait. Umat Islam tidak melakukan tindakan yang merugikan mereka, baik saat terjadinya konflik bersenjata maupun sesudahnya.

126 Lihat Ibnu Katsir, “Tafsir Ibnu Katsir”, t.p. (Beirut, Dar ‘l-Fikr 1401H) hal. 1/227. Penjelasan ayat ini dikutip dari Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, Maqatil dan lainnya. 127 Lihat ‘l-Sarkhas “Syarh ‘l-Siyar ‘l-Kabir”, hal. 4/186 128 Lihat ‘l-Sarkhas “Syarh ‘l-Siyar ‘l-Kabir”, hal. 4/186 129 Lihat Imam Malik, “’l-Mudawwanah”, realisasi ‘l-Sayyid Ali bin ‘l-Sayyid Abdurrahman ‘l-Hasyim (diterbitkan atas beban ‘l-Syeikh Zayed, Presiden Persatuan Arab Uni, 1422) hal. 3/13

52

Pasal Dua IMPLEMENTASI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM ISLAM (Perang Badar sebagai contoh)

53

Pasal Dua IMPLEMENTASI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM ISLAM (Perang Badar sebagai contoh) Membuat ketentuan yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dalam kondisi damai atau perang, bukan masalah sulit, tapi kesulitan yang sebenarnya terletak pada implementasi prinsipnya di lapangan. Begitu juga menjadikan konten dan teksnya sebagai prilaku perwira dan aksi kekuasaan, terutama dalam masalah perang. Karena segala perundang-undangan yang indah, nilai dan mulia akan cepat terlupakan, lalu hukum rimba yang berlaku, di mana pihak yang kalah menjadi sasaran empuk bagi pihak yang menang. Atas dasar itu, penulis berpendapat tidak cukup berbicara tentang teori semata, tapi juga diberikan contoh implementasi terhadap Hukum Humaniter Internasional dalam Islam yang penulis sampaikan pada pendahuluan. Hal ini dengan melihat peristiwa militer di lapangan, di mana umat Islam menghadapi musuh dalam peperangan yang berkecamuk yang berakhir dengan kemenangan mereka dan kekalahan musuh setelah terjadinya pertempuran sengit. Tentu timbul pertanyaan, apa contoh penerapan kongkrit atas teori tadi ? Jawaban atas pertanyaan yang diajukan itu, penulis biarkan dijawab oleh contoh kongkrit dan bentuk nyata yang secara sporadis dari tindakan Rasulullah Saw dalam peperangan. Jawaban ini terkait dengan tingkat implementasi Hukum Humaniter Internasional dalam Islam atau penampilan bagaimana Rasulullah Saw menerapkan Hak-hak Asasi Manusia dalam peperangan melalui perang Badar sebagai contohnya. Namun sebelum berbicara tentang perang Badar dan peristiwanya itu, izinkan penulis bertanya kepada diri sendiri yang tadinya diperkirakan datangnya dari pembaca, lalu penulis menjawabnya. Pertanyaan itu, kenapa penulis memilih topik perang Badar?

54

Latar belakang penulis memilih perang Badar adalah sebagai berikut: 1.

Perang Badar merupakan konflik militer pertama antara Rasulullah Saw dengan kaum kafir Qureisy. Artinya awal ujian kongkrit bagi Hukum Humaniter Internasional dalam Islam, yaitu pertama kali berhadapan dengan bidang implementasi setelah sekian lama terpendam dalam teori.

2.

Perang Badar terjadi setelah konflik berat antara Rasulullah Saw dengan kaum kafir Qureisy, termasuk tindakan kekerasan mereka terhadap diri nabi dan para sahabatnya. Biasanya diperkirakan akan meningkatkan tingkat balas dendam dan pelampiasannya di pihak tentara yang menang, di mana sebelumnya tertindas, terpukul dan dilanggar hak-haknya.

3.

Dalam perang ini, Rasulullah Saw meraih kemenangan yang gemilang atas musuhnya.

4.

Setelah kemenangan itu, Rasulullah Saw membawa sejumlah besar tawanan. Penampilan ilustrasi pertempuran yang terjadi tersebut, agaknya akan lebih memperjelas persepsi tentang topik ini, yaitu sebagai berikut:

DI Mekkah Rasulullah Saw diutus untuk menghimbau guna mengesakan Allah Swt dan melarang syirik (mempersekutukan Tuhan), perbuatan tercela dan moral yang buruk. Himbauan beliau ditanggapi oleh sebagian besar petinggi Qureisy dengan ungkapan yang menyakitkan hati dan tindakan anarkhis terhadap Nabi. Kemudian sebagai respon, mereka juga melakukan penyiksaan terhadap para sahabat yang menerima himbauan, sehingga di antaranya ada yang meninggal dunia. Sebagian sahabat terpaksa hijrah ke Ethiopia (Habsyah) untuk mencari kebebasan beragama agar dapat melaksanakan ritual agama dengan aman. Karena penyiksaan terus berlangsung, kelompok sahabat lain juga ikut menyusul hijrah ke Habsyah. Siksaan silih berganti atas Rasulullah dan para sahabatnya, beliau memberi izin kepada mereka untuk berhijrah ke Medinah yang kemudian beliau sendiri yang hijrah ke sana. Mereka menetap di Medinah dengan meninggalkan tanah dan kekayaan yang kemudian menjadi sasaran penjarahan kaum kafir.

55

Ketika kaum kafir mengetahui hijrahnya Rasul, mereka memburunya, di samping mengumumkan hadiah berharga bagi siapa saja yang dapat membawanya dalam keadaan hidup atau mati. Ketika mereka mengetahui tibanya beliau di Medinah dengan selamat, mereka tidak tinggal diam, tetapi melakukan penyerangan terhadap beliau, sehingga terjadi beberapa insiden militer yang berakhir dengan pecahnya perang Badar, dua tahun setelah hijrah, yang diperkirakan di kawasan antara Mekkah dan Medinah. Jumlah kaum kafir kira-kira mencapai 1000 orang dan umat Islam berjumlah 314 orang saja, berakhir dengan kekalahan kaum kafir dengan korban mati 70 orang di pihak mereka dan 70 orang menjadi tawanan. Sikap kemanusiaan dalam perang Badar. Setelah selayang pandang tentang perang Badar, penulis ingin berhenti pada dua aspek kemanusiaan yang dianggap sebagai intinya dibanding aspek kemanusiaan lainnya. Aspek pertama terkait dengan tindakan Rasulullah Saw terhadap para prajurit. Aspek kedua bagaimana tindakan beliau terhadap para tawanan, sedangkan aspek-aspek kemanusiaan lainnya sengaja penulis tidak kemukakan di sini agar tidak membosankan pembaca, di samping contoh-contoh nantinya cukup menjadi bukti atas aspek kemanusiaan secara keseluruhan.

Pertama : Aspek kemanusiaan terkait dengan aksi Rasulullah Saw dalam memperlakukan para prajuritnya. 1.

Rasulullah Saw memperlakukan tentaranya sebagai salah seorang dari mereka tanpa perbedaan dan pemisah. Hal ini terlihat dalam perang ini. Beliau berangkat ke medan perang bersama tentara yang jumlahnya kurang dari 310 orang yang hanya diperkuat dua tentara berkuda dan tujuh puluh tentara penunggang keledai. Mereka menunggangnya secara bergantian, karena kekurangan hewan yang dapat dipergunakan untuk itu. Rasulullah Saw, Ali bin Abi Thalib dan Murtsid bin Abi Murtsid bergantian menunggang keledai yang sama130. Kedua sahabat tadi menawarkan gilirannya kepada Rasulullah untuk jalan kaki, beliau menjawab:

130 Ibnu ‘l-Qayyim, “Zad ‘l-Mi’ad”, hal. 3/171

56

( ‫“ )ﻣﺎ ﺃﻧﺘﻤﺎ ﺑﺎﻗﻮﻯ ﻣﻨﻲ ﻭ ﻣﺎ ﺃﻧﺎ ﺑﺄﻏﻨﻰ ﻋﻨﻲ ﺍﻷﺟﺮ ﻣﻨﻜﻢ‬Tidaklah kalian lebih kuat dariku dan tidak pula aku lebih banyak pahala dari kalian”131. Padahal waktu itu, umur Rasulullah 55 tahun, sedangkan Ali bin Abi Thalib berumur 25 tahun. Meskipun begitu kedua-duanya berjalan di belakang keledai yang sama. Titik tolak menghormati hak-hak asasi manusia bagi komandan adalah sikap rendah hati dengan para prajurit dan titik tolak pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi Manusia tersebut adalah sikap tinggi hati, arogan dan merasa super terhadap prajuritnya yang merasakan sikap komandannya yang tidak fair dan kurang menghormati. Perasaan tidak diperlakukan secara fair dan zalim ini nanti dicari kompensasinya dengan melampiaskannya kepada tawanan musuh yang berada ditangannya. Bilamana komandan bersikap rendah hati, maka ia telah memenuhi prinsip menghormati Hak-hak Asasi Manusia. Komandan yang memperlakukan prajuritnya dengan sikap rendah diri dan menghargai hak orang. Sikap ini akan tertanam dalam diri prajurit yang nantinya tampak refleksinya di saat prajurit tadi memperlakukan manusia lain yang menjadi lawannya dalam peperangan. 2.

Dalam perang Badar terlihat jelas prinsip musyawarah dan menghormati pendapat orang lain ketika Rasulullah Saw meminta pendapat para sahabat: (‫ﺱ‬ ُ ‫ﻰ ﻳَﺎ َﺃﻳﱡﻬَﺎ ﺍﻟﻨﱠﺎ‬ ‫ﻋ َﻠ ﱠ‬ َ ‫)ﻗَﺎ َﻝ َﺃﺷِﻴﺮُﻭﺍ‬, “Berilah aku pendapat, wahai sahabat-sahabatku”. Beberapa orang dari kaum Anshar, Aus dan Khajraj memberi pendapat, begitu juga Al-Hibab bin ‘l-Munzdir memberi pendapat, dan banyak yang lainnya. Rasulullah Saw merevisi kebijaksaan militernya sesuai dengan usulan para prajuritnya. Siapapun bersama beliau. merasa dihormati dan dihargai pendapatnya. Beliau mengajak prajurit agar jangan merasa rendah diri dan masing-masing mempunyai peranan tertentu dalam kekuatan militer, baik dengan kekuatan aktual maupun intelektual. Hal ini jarang sekarang terlihat perannya dalam militer masa kini.

131 Riwayat ‘l-Hakim dalam ‘l-Mustadrik”, yang dinilai sahih dan disetujui oleh ‘l-Zahabi, hal. 3/20. Lihat catatan kaki buku “Zad ‘l-Mi’ad”, hal. 3/171

57

Komandan tentara tidak memberi kesempatan berbicara kepada para prajurit, apalagi kalau pembicaraan itu mempunyai pengaruh tertentu. Namun Rasulullah Saw mendengar, meminta berbicara dan menghormati pendapat, lalu merevisi kebijaksanaannya. Ketika itu seseorang akan merasakan pendapatnya didengar, dihormati dan ada faedahnya. Kebebasan berpendapat bukan sekedar dapat berbicara bebas, tapi adalah memperoleh orang yang mendengar pembicaraanmu, menghormati pendapatmu dan saling memberi respon132. Prajurit di medan perang tumbuh dengan sifat ini dan menerima pengajaran ini serta terbiasa konsisten dengan prinsip menghormati opini orang lain dan perbedaan pendapat. Hal ini tentu hanya didapati di kalangan orang yang kuat dan tegar memegang prinsip dan memberikan hak orang lain serta tidak menyerangnya meskipun terdapat perbedaan pendapat dan prinsip dengan yang bersangkutan. 3.

Saat pemeriksaan barisan di perang Badar, terlihat satu sikap lagi yang memperjelas sampai di mana perhatian Rasulullah Saw untuk memberikan kepuasaan prajuritnya, terpenuhi keadilan dan ditegakannya kebenaran meskipun kepada diri sendiri. Selain itu, memberikan peluang kepada prajurit untuk menuntut keadilan dari atasannya sendiri. Rasulullah Saw melihat Sawad bin Ghuziyah berdiri di luar barisannya, lalu memukul perutnya dengan tongkat dan berkata: “Hai, Sawad luruskan barisan”. Sawad menjawab: “Ya Rasulullah, aku kesakitan karena pukulanmu!. Engkau diutus Allah Swt dengan kebenaran, biarkan aku membalasnya kepada dirimu”. Lalu beliau memperlihat perutnya dan berkata kepada Sawad: “Silahkan, Sawad, pukul perutku”. Sawad memeluk Rasulullah dan mencium perutnya. Rasulullah berkata: “Apa yang mendorongmu melakukan itu, ya Sawad”. Sawad menjawab: “Ya Rasulullah, Saya siap menerima perintahmu (untuk mati syahid), namun saya ingin hal tadi merupakan kesempatan terakhir bagiku untuk menyentuhkan kulitku kepada kulitmu”. Rasulullah Saw berdo’a agar Sawad mendapat kebaikan dan berkata kepadanya hal yang baik”133.

132 133

Lihat Muhammad ‘l-Thahir bin ‘Asyur, “Maqashid ‘l-Syari’ah ‘l-Islamiyah”, hal. 127 Ibnu Hisyam, “’l-Sirah ‘l-Nabawiyah”, hal. 2/266-267 dan Ibnu Hajr, “’l-Ishabah”, hal. 3/148

58

4.

Sosok yang mengabulkan permintaan aneh dari seorang prajurit untuk dapat menuntut keadilan dari dirinya, kita tidak pernah menganggapnya suatu ketika sebagai pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi Manusia prajurit atau musuhnya. Prajurit yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana komandannya menjunjung tinggi keadilan dan menerapkannya kepada dirinya sendiri, kita tidak akan membayangkan prajurit ini akan melakukan pelanggaran di saat kemenangan atau mabuk kemenangan dan merasa hebat.

Kedua : Aspek kemanusiaan terkait perlakuan Rasulullah Saw terhadap tawanan. 1.

Rasulullah Saw berhasil menangkap 70 tawanan dalam peperangan. Mereka ini bukan sekedar tawanan, tapi di antara mereka juga adalah penjahat perang menurut istilah masa kini134. Mereka itu mempunyai catatan kriminal dalam melakukan kekerasan fisik, percobaan pembunuhan dan pengusiran terhadap Rasulullah. Di samping penyiksaan kepada para sahabat beliau yang di antaranya tewas akibat penyiksaan. Para sahabat itu adalah orang yang menyambut baik dakwah Rasulullah Saw. Bagaimanapun juga, akhirnya mereka yang telah melakukan kejahatan kepada Rasul dan para sahabatnya tersebut, sekarang berada di bawah kekuasaan Rasulullah dan menjadi tawanan. Tujuh puluh tawanan tersebut tidak dibunuh, kecuali dua orang yang terlibat kasus khusus sebelum peperangan seperti disinggung dalam sejarah.

2.

Rasulullah Saw sangat memperhatikan keadaan para tawanan ini dan menyerahkan mereka kepada para sahabat dengan pesan agar mereka diperlakukan dengan baik. Pesan beliau tentang tawanan merupakan kaidah umum dalam hal ini dan bersifat konprehensif yang terkait dengan segala bentuk kebaikan seperti akomodasi, makanan dan perlakuan. Kekurangan dari salah satunya, dianggap kekurangan dari aspek kebaikan yang dipesankan Rasulullah. Untuk memberikan perhatian maksimal terhadap tawanan, Rasulullah Saw melakukan pendistribusian tawanan kepada para sahabatnya.

134 Lihat ‘l-Ghazali, “Fiqh ‘l-Sirah”, hal. 237

59

‫ﻓﺈﻧﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﻳﺆﺗﻰ ﺑﺎﻷﺳﻴﺮ ﻓﻴﺪﻓﻌﻪ ﺇﻟﻰ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻴﻘﻮﻝ‬ « ‫» ﺃﺣﺴﻦ ﺇﻟﻴﻪ‬ “Rasulullah Saw membawa tawanan dan mendistribusikannya kepada sebagian umat Islam dengan pesan “Perlakukan dia dengan baik”135. Menurut al-Baidhawi, para tawanan itu tinggal bersama para sahabat di rumah kediaman mereka136. Atau bisa saja mesjid dijadikan tempat akomodasi bagi mereka. Sejarah mencatat sejumlah kesaksian dari para tawanan sebagai berikut: Pertama : Abu Aziz bin Umair, salah seorang tawanan berkata: “

‫ﻏﺪَﺍ َء ُﻫ ْﻢ‬ َ ‫ﻦ َﺑ ْﺪ ٍﺭ َﻓﻜَﺎﻧُﻮﺍ ﺇﺫَﺍ َﻗ ّﺪﻣُﻮﺍ‬ ْ ‫ﻦ َﺃ ْﻗ َﺒﻠُﻮﺍ ﺑِﻲ ِﻣ‬ َ ‫ﻦ ﺍ ْﻟ َﺄ ْﻧﺼَﺎ ِﺭ ﺣِﻴ‬ ْ ‫ﻂ ِﻣ‬ ٍ ‫ﺖ ﻓِﻲ َﺭ ْﻫ‬ ُ ‫ﻗَﺎ َﻝ َﻭ ُﻛ ْﻨ‬ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ‬ َ ‫ﺻﻠّﻰ ﺍﻟّﻠ ُﻪ‬ َ ‫ﺻ ّﻴ ِﺔ َﺭﺳُﻮ ِﻝ ﺍﻟّﻠ ِﻪ‬ ِ ‫ﺨﺒْ ِﺰ َﻭَﺃ َﻛﻠُﻮﺍ ﺍﻟ ّﺘ ْﻤ َﺮ ِﻟ َﻮ‬ ُ ‫ﺧﺼّﻮﻧِﻲ ﺑِﺎ ْﻟ‬ َ ‫ﺸﺎ َء ُﻫ ْﻢ‬ َ ‫ﻋ‬ َ ‫َﻭ‬ ‫ ﻗَﺎ َﻝ‬. ‫ﺤﻨِﻲ ِﺑﻬَﺎ‬ َ ‫ﺧ ْﺒ ٍﺰ ﺇﻟّﺎ َﻧ َﻔ‬ ُ ‫ﺴ َﺮ ُﺓ‬ ْ ‫ﺟ ٍﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ ِﻛ‬ ُ ‫ ﻣَﺎ َﺗ َﻘ ُﻊ ﻓِﻲ َﻳ ِﺪ َﺭ‬، ‫ﺳّﻠ َﻢ ﺇﻳّﺎ ُﻫ ْﻢ ِﺑﻨَﺎ‬ َ ‫َﻭ‬ .‫ﺴﻬَﺎ‬ ّ ‫ﻲ ﻣﺎ َﻳ َﻤ‬ ّ ‫ﻋ َﻠ‬ َ ‫ﺣ ِﺪ ِﻫ ْﻢ َﻓ َﻴ ُﺮ ّﺩﻫَﺎ‬ َ ‫ﻋﻠَﻰ َﺃ‬ َ ‫ﻲ َﻓ َﺄ ُﺭ ّﺩﻫَﺎ‬ َ ‫ﺤ ِﻴ‬ ْ ‫ﺳ َﺘ‬ ْ ‫َﻓ َﺄ‬ “Ketika tiba dari Badar, saya tinggal bersama sanak kerabat kaum alAnshar. Saya dihidangkan makanan khusus mereka, bahkan saya diberi roti (makanan terbaik), mereka hanya makan korma. Perlakuan ini sesuai dengan pesan Rasulullah kepada mereka untuk kami. Bila di antara mereka ada sekeping rkan oti, langsung diberikan kepadaku. Karena malu, aku berikan kepada salah seorang mereka, tapi memberikan kembali kepadaku, sehingga tidak seorangpun yang menyentuh roti”137. Kedua : Abu ‘l-‘Ash bin ‘l-Rabi’, salah seorang tawanan berkata: “Abu bersama keluarga al-Anshar, semoga Tuhan membalasnya dengan balasan yang baik, pada waktu malam atau siang, mereka menyodorkan roti kepadaku dan mereka makan kurma. Roti sedikit dan kurma berlebih sampai-sampai seorang memberikan roti di tangannya kepadaku”138. 135 Lihat ‘l-Baidhawi, “Tafsir ‘l-Baidhawi” dicetak bersama Hasyiyah Mahyuddin Zadah, hal. 4/588-589. 136 Lihat ‘l-Syami, “Subul ‘l-Huda wa ‘l-Rasyad”, hal. 4/99-100. Disebutkan bahwa Sawdah Ummul Mukiminin, melihat Suhail bin Amru di rumahnya, ia adalah salah seorang tawanan perang Badar. Lihat ‘l-Waqidi, “’l-Maghazi”, hal. 1/118 137 Lihat Ibnu Hisyam, “’l-Sirah ‘l-Nabawiyah”, hal. 2/288 dan berkata ‘l-Zarqani dalam “Syarh ‘l-Mawahib ‘l-Laduniyah”, hal. 1/538 (Menurut ‘l-Hafizh ‘l-Haitsami, isnadnya hasan). 138 ‘l-Waqidi, “’l-Maghidi”, hal. 1/119

60

Ketiga: al-Walid bin ‘l-Walid bin ‘l-Mughirah juga berkata yang tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya, tapi ada tambahan, yaitu: “Saya menunggang kuda, para sahabat nabi berjalan kaki”139. Di sini penulis ingin sedikit mengomentari kesaksian para tawanan ini. Para sahabat mengutamakan tawanan dengan makanan yang baik. Artinya para sahabat tidak saja setara dengan tawanan dalam soal makanan, tapi juga memberikan makan terbaik bagi tawanan dan yang kurang baik menjadi bagian para sahabat. Tawanan menunggang kuda dan para sahabat berjalan kaki. Hal ini mungkin dianggap tidak benar bagi orang yang membaca sejarah peperangan masa lalu dan masa sekarang. Karena diketahui bahwa bagaimana dalam perang biasa terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia yang paling sederhana, pertumpahan darah dan pelecehan kehormatan. Dalam berbagai perang, segala macam hak menjadi sirna, apalagi untuk memperoleh orang yang akan menawarkan makanan atau akomodasi. Apa mungkin bisa terbayangkan di masa perang akan ada orang mengutamakan tawanan atas dirinya sendiri dengan makanan dan kendaraan yang dipunyainya. 3.

Abdul Razak meriwayatkan dalam bukunya tentang kisah-kisah belas kasihan terhadap tawanan. Ia bercerita: “Ketika Abbas ditawan pada perang Badar, Rasulullah Saw mendengarnya mengerang kesakitan dalam keadaan terbelenggu dan membuat beliau tidak bisa tidur malam itu. Rupanya ada seorang Anshar mengetahuinya dan berkata: “Ya Rasulullah, sejak semalam anda tidak tidur”. Beliau menjawab: “Abbas mengerang kesakitan karena belenggunya dan ini yang membuat saya tidak tidur”. Anshar berkata: “Apakah saya pergi untuk sedikit merenggangkan belenggunya”. Rasulullah berkata: “Jika engkau bersedia, silahkan lakukan atas tanggung jawabku”. Anshar pergi dan merenggangkan ikatan Abbas, lalu ia tenang dan tenteram. Baru Rasulullah Saw bisa tidur”140.

4.

Termasuk salah bentuk perlakuan kemanusiaan dalam peperangan adalah belas kasihan Rasulullah Saw terhadap anak-anak putri tawanan dan memperlakukan mereka secara lemah lembut, sehingga beliau membebaskan tawanan tanpa imbalan apapun sebagai belas kasihan

139 ‘l-Waqidi, loccit 140 Abd ‘l-Razak, “’l-Musannaf”, hal. 5/353

61

beliau terhadap para putri tawanan. Al-Waqidi dengan dukungan fakta historis dari Sa’id bin ‘l-Musayyab berkata: “Pada perang Badar, Rasulullah Saw menangkap seorang tawanan bernama Abu Izzah Amru bin Abdullah bin Umair ‘l-Jumhi, seorang penyair. Lalu ia dibebaskan beliau, ketika bercerita kepada Rasulullah: “Saya mempunyai lima orang putri yang tidak mempunyai apa-apa. Percayalah denganku, ya Muhammad, demi putri-putriku”. Rasulullah melakukannya141. 5.

Suhail bin Amru adalah salah seorang petinggi Qureisy. Ketika mengetahui keluarnya Rasulullah untuk menguasai kafilah Qureisy, ia berbicara di depan umum untuk memprovokasi kaum Qureisy guna memerangi Rasulullah Saw. Lalu kedua tentara bertemu dalam peperangan di Badar dan Suhail tertangkap dan menjadi tawanan. Umar bin Khattab berkata: “Ya Rasulullah, apakah aku cabut saja giginya, sehingga tidak lagi melakukan provokasi kepada orang. Rasulullah Saw menjawab: “Saya tidak akan merusak organ tubuhnya, nanti Allah merusak organ tubuhku. Jika engkau nabi, agaknya akan mengambil sikap tidak akan membencinya”142. Masa kini atau sebelumnya, apakah panglima perang berkata seperti ini? Tindakan pertama yang dilakukan komandan begitu memperoleh kemenangan adalah balas dendam, terutama terhadap orang yang pernah memprovokasi untuk melawannya. Tapi Rasulullah Saw menjelaskan dengan aksi nyata bahwa musuh bagaimanapun kerasnya permusuhan, tetap juga ia adalah manusia yang mempunyai hak. Tidak dibenarkan melampaui batas-batas kemanusiaan seperti melakukan kekerasan fisik dan penyiksaan, tapi menjunjung tinggi kehormatan manusia seperti terdapat pada contoh terdahulu. Meskipun manusia itu termasuk petinggi musuh yang melakukan penghasutan untuk menyerang umat Islam sebelum ia tertangkap menjadi tawanan. Dari itu, untuk menjunjung tinggi kehormatan kemanusiaan ini, ahli hukum Islam melarang merusak organ tubuh seorang musuh143. Zamakhsyari berpendapat sepakat ulama --tanpa ada perbedaan pendapat—untuk melarang pengrusakan organ tubuh manusia sesuai dengan teks yang

141 ‘l-Waqidi, “’l-Maghidi”, hal. 1/110-111 142 ‘l-Waqidi, “’l-Maghidi”, hal. 1/107 dan ‘l-Syami, “Subul ‘l-Huda”, hal. 4/107 143 ‘l-Syafi’I, “’l-‘Umm”, hal. 4/245

62

melarangnya, meskipun terhadap seekor anjing gila144. 6.

Perhatian Rasulullah Saw dan umat Islam tidak terbatas pada masalah kebutuhan pokok semata, tapi juga seperti terlihat bahwa perhatian Rasulullah Saw bahkan sampai ke masalah pakaian. Dalam hadis sahih riwayat Bukhari, dari Jabir as berkata:

‫ﻈ َﺮ‬ َ ‫ َﻓ َﻨ‬، ‫ﺏ‬ ٌ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َﺛ ْﻮ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﺱ َﻭ َﻟ ْﻢ َﻳ ُﻜ‬ ِ ‫ﻰ ﺑِﺎ ْﻟ َﻌﺒﱠﺎ‬ َ ‫ َﻭُﺃ ِﺗ‬، ‫ﻰ ِﺑﺄُﺳَﺎﺭَﻯ‬ َ ‫ﻥ َﻳ ْﻮ َﻡ َﺑ ْﺪ ٍﺭ ُﺃ ِﺗ‬ َ ‫ﻗَﺎ َﻝ َﻟﻤﱠﺎ ﻛَﺎ‬ ‫ﻦ ُﺃ َﺑﻰﱟ َﻳ ْﻘ ُﺪ ُﺭ‬ ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ‬ َ ‫ﺺ‬ َ ‫ﺟﺪُﻭﺍ َﻗﻤِﻴ‬ َ ‫ َﻟ ُﻪ َﻗﻤِﻴﺼًﺎ َﻓ َﻮ‬- ‫ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫ﻰ‬ ‫ﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬ ‫ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ‬- ‫ﻰ‬ ‫ﻉ ﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬ َ ‫ﻚ َﻧ َﺰ‬ َ ‫ َﻓ ِﻠ َﺬ ِﻟ‬، ‫ ِﺇﻳﱠﺎ ُﻩ‬- ‫ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫ﻰ‬ ‫ َﻓ َﻜﺴَﺎ ُﻩ ﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬، ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ‬ َ .‫ﺴ ُﻪ‬ َ ‫ﺼ ُﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻯ َﺃ ْﻟ َﺒ‬ َ ‫ َﻗﻤِﻴ‬- ‫ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬ “Pada masa perang Badar, Rasulullah membawa seorang tawanan, lalu dibawa kepada Abbas, tapi ia tidak mempunyai pakaian yang layak. Akhir bertemu dengan Abdullah bin Ubay bin al-Harits, ternyata mempunyai pakaian layak dan dipasangkan kepada tawanan. Karena itu, Rasulullah membantu melepaskan pakaian tawanan.”145. Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah memberikan pakaian pribadinya kepada tawanan146. 7.

Satu lagi sikap kemanusiaan terhadap tawanan seperti disebutkan sejarahwan al-Waqidi bahwa Khalid bin Hisyam bin ‘l-Mughirah bersama Umayyah bin Abi Huzaifah bin ‘l-Mughirah, keduanya adalah tawanan147, masuk ke dalam rumah Ummu Salamah, yang termasuk kerabat mereka. Ketika mengetahui informasi tentang status mereka, ia pergi mencari Rasulullah Saw, lalu ia menemui beliau di rumah Aisyah dan berkata: “Ya Rasulullah, anak pamanku meminta agar masuk rumahku, menjamu mereka, membersihkan kepala dan merapikan rambut mereka. Saya tidak suka mengerjakannya sampai aku tahu perintahmu. Rasulullah Saw bersabda: “Lakukanlah semuanya itu sebagaimana adanya bagimu”148. Alangkah

mengagumkan

cara

menghormati

tawanan,

sampai

144 ‘l-Zamakhsyari ,”’l-Kasyaf ‘an Haqaiq ‘l-Tanzil wa ‘Uyun ‘l-Aqawil fi Wujuh ‘l-Ta’wil”, realisasi Muhammad ‘l-Shadiq Qumhawy (Mesir,Matba’ah Mustafa ‘l-Baba ‘l-Halabi 1392H) hal. 2/435. 145 Bukhari, “Sahih Bukhari”, dicetak sebagai bagian ‘Fath ‘l-Bari’ karangan Ibnu Hajr, hal. 6/144 nomor 3008. Diriwayatkan pula bahwa untuk itu Rasulullah Saw memasangkan bajunya kepada Abdullah bin Ubai ketika meninggalnya, meskipun ia termasuk gembong kelompok munafik. 146 Lihat Saleh ‘l-Syutsari, “Huquq ‘l-Asra fi ‘l-Islam”, (artikel yang dimuat pada situs Al-Islam al-Yaum di internet) hal. 7 147 ‘l-Syami, “Subul ‘l-Huda wa ‘l-Rasyad”, hal. 4/118 148 ‘l-Waqidi, “’l-Maghidi”, hal. 1/118-119

63

memperlakukannya sebagai tamu, disisirkan dan diberi minyak rambutnya. Apakah ada perlakuan kemanusiaan terhadap tawanan perang seakrab ini?? 8.

Setelah Rasulullah Saw tiba di Medinah bersama beberapa tawanan, kita akan melihat salah satu bentuk lagi dari perlakuan kemanusiaan terhadap musuh yang memeranginya, di mana diperhatikan kemampuan masing-masing tawanan. Siapa yang miskin dan tidak punya kekayaan, dibebaskan tanpa tebusan149. Ada yang dibebaskan sebagai menghormati orang tuanya yang telah masuk Islam150. Ibnu Katsir menyebutkan sejumlah tawanan yang dibebaskan tanpa tebusan seperti antara lain Wahb bin Umair ‘l-Amawi, al-Mutallib bin Hantab ‘l-Makhzumi dan Shaifi bin Abi Rifa’ah151. Di antara tawanan itu, ada yang mempunyai kompetensi membaca dan menulis, maka sebagai tebusan kebebasannya, masing-masing tawanan ditugaskan mengajar membaca dan menulis bagi sepuluh anak-anak umat Islam152. Ini menjadi bukti menghormati tawanan, mengangkat spirit dan menjunjung tinggi kemanusiaannya. Meskipun ia tawanan, namun menjadi guru yang dihormati. Disisi lain, menunjukkan pula bagaimana Islam menghormati ilmu pengetahuan dan upaya penyebar-luasan di kalangan umat Islam. Bilamana tawanan termasuk orang yang berpunya dan mampu, ia diminta memberi tebusan. Dalam hal ini patut dicatat bahwa Rasulullah mengambil tebusan harta dari pamannya Abbas, salah seorang tawanan, lebih banyak jumlah dari yang diambil tawanan lainnya. Jangan sampai ada kesan keberpihakan beliau kepada Abbas karena statusnya sebagai paman. Padahal orang yang menangkap Abbas dan menjadi tawanan, mengusulkan agar Abbas dibebaskan tanpa tebusan. Namun Rasulullah Saw menolaknya dan berkata: “Jangan sisakan satu dirhampun darinya”153. Ini adalah keadilan dan kehormatan bagi manusia tanpa keberpihakan lantaran hubungan kekerabatan atau menzalimi karena tidak kerabat.

149 150 151 152 153

64

‘l-Waqidi, “’l-Maghidi”, hal. 1/129 dan 138 ‘l-Waqidi, “’l-Maghazi”, hal. 1/127 Ibnu Katsir, “’l-Bidayah wa ‘l-Nihayah”, hal. 3/328 Lihat ‘l-Syami, “Subul ‘l-Huda wa ‘l-Rasyad”, hal. 4/104-105 Ibnu Katsir, “’l-Bidayah wa ‘l-Nihayah”, hal. 3/328

Kita telah melihat bagaimana Rasulullah Saw memperlakukan tawanan yang miskin dengan perlakuan penuh nilai kemanusiaan dan belas kasihan, di mana dibebaskan dari segala prosedur dan pembayaran tebusan, tapi meminta jumlah tebusan lebih besar dari pamannya, tawanan, yang kaya raya154. Dengan demikian, Rasulullah Saw memberikan contoh dan teladan dalam masalah keadilan, kasih sayang dan kemanusiaan kepada generasi berikutnya seperti yang dijelaskan dalam firman Tuhan: َ ‫ ِﻟ ْﻠﻌَﺎ َﻟﻤِﻴ‬, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, ‫ﺣ َﻤ ًﺔ‬ ْ ‫ﻙ ِﺇﻻ َﺭ‬ َ ‫ﺳ ْﻠﻨَﺎ‬ َ ‫ﻦ َﻭﻣَﺎ َﺃ ْﺭ‬ melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”155. 9.

Sikap belas kasihan dan kasih sayang yang agung yang ditunjukkan Rasulullah Saw adalah ketika penduduk Mekkah datang untuk menebus tawanan mereka. Zainab putri nabi Muhammad datang untuk menebus suaminya Abi ‘l-‘Ash bin ‘l-Rabi yang menjadi tawanan dengan membawa kalung yang dihadiahkan ibunya Khadijah di malam perkawinannya dengan Abi ‘l-‘Ash. Ketika Rasulullah Saw melihatnya, beliau merasa sangat kasihan sekali dan berkata: “Bagaimana pendapat kalian, apakah kalian akan membebaskan tawanannya dan mengembalikan perhiasan miliknya”. Mereka menjawab: “Benar, ya Rasulullah”. Lalu mereka membebaskannya dan mengembalikan perhiasan miliknya156.

10. Al-Nadhr bin ‘l-Harits adalah orang kafir Qureisy sangat kufur, paling sering melakukan kekerasan fisik dan agresif; dan menghina Islam dan kaum muslimin. Ketika ia tertawan dalam perang Badar, Rasulullah membunuhnya, karena mempunyai sejumlah catatan tindakan kriminal terhadap Islam dan kaum muslimin yang dilakukannya sebelum peperangan. Meskipun begitu, ketika saudara perempuan korban mengetahui tentang terbunuhnya, ia mengungkapkan tentang kematian saudaranya dengan syair. Diriwayatkan bahwa ketika syair itu sampai kepada telinga Rasulullah Saw, beliau berkata: “Kalau hal ini disampaikan kepada saya sebelum terbunuhnya, niscaya saya berikan pengampunan

154 Ibnu Katsir, “’l-Bidayah wa ‘l-Nihayah”, hal. 3/299 155 Al Qur’an surat al-Anbiyak ayat 107 156 Abu Daud, “Sunan Abi Daud”, Kitab ‘l-Jihad, Bab fi Fida ‘l-Asir bi ‘l-Mal, hal. 3/62 nomor 2692. Lihat ‘l-Syami, “Subul ‘l-Huda wa ‘l-Rasyad”, hal. 4/108 dan ‘l-Waqidi, “’l-Maghazi”, hal. 1/130-131

65

baginya dan membebaskannya157. Di samping contoh-contoh belas kasihan ini, terdapat pula sikap belas kasihan yang sama dari Rasulullah Saw yang membuat langit Badar bersinar. Hal ini terlihat ketika Rasulullah melarang membunuh Al-Harits bin ‘Amir bin Naufal, namun al-Harits bertemu dengan seseorang tak dikenalnya yang kemudian membunuhnya. Ketika berita terbunuhnya ini sampai kepada Rasulullah Saw, beliau berkata: “Kalau aku bertemu dengannya sebelum kamu membunuhnya, aku akan bebaskan dia untuk kembali kepada isterinya158. Itulah Nabi yang mulia dan sangat belas kasihan, di mana tidak lupa kondisi isteri-isteri musuhnya, sebagai ungkapan kasih sayang dan belas kasihan terhadap para tawanan tersebut. Di antara mereka ada yang melakukan kekerasan terhadap Rasulullah dan mengangkat pedang melawan beliau. Meskipun demikian, Rasulullah Saw tetap memperhatikan mereka dan memikirkan anak dan isteri mereka. Beliau ingin musuh adalah musuh, tapi tetap menghormati perempuannya seperti terlihat dalam pesan beliau yang melarang membunuh anak-anak dan perempuan kaum musyrik. Bahkan rahmatnya Rasulullah Saw meluas dan sampai mencakup burung di sarangnya. Beliau tidak menerima teraniayanya burung akibat tindakan prajuritnya. Rasulullah Saw pernah melakukan perjalanan bersama sahabatnya, lalu sahabatnya melihat burung bersama anaknya berada di sarang dan mengambil seekor anaknya. Induk burung datang mengipas-ipaskan sayapnya. Maka Rasulullah Saw berkata: “Siapa yang membuat induk burung ini menderita karena kehilangan anaknya. Kembalikan anak kepada induknya”159. Apakah ada kasih sayang lain yang sampai mencakup burung ini, di mana diungkapkan Rasulullah dengan kalimat “Siapa yang membuat induk burung ini menderita”. Menurut Rasullullah, panglima yang agung ini, induk burung menderita, karena anaknya diambil dari sarangnya. Ini dia Panglima yang merasa pedih hatinya karena seeokor burung yang diambil 157 158 159

66

Ibnu Katsir, “’l-Bidayah wa ‘l-Nihayah”, hal. 3/306 ‘l-Waqidi, “’l-Maghazi”, hal. 1/81 Abu Daud, “Sunan Abi Daud”, Kitab ‘l-Jihad, hal. 3/55 nomor 2675

orang anaknya dan memerintahkan agar sahabatnya mengembalikan anak burung kepada induknya. Menurut pembaca, ini belas kasihan seperti apa atau sifat macam apa, bila dibandingkan dengan pekikan seorang wanita kehilangan yang melihat sendiri anaknya terbunuh atau dipenjarakan atau hilang tak tahu rimbanya, tanpa ada orang yang merasa kasihan dan ikut bersedih serta merasakan kegetirannya. Demikian beberapa contoh sikap kemanusiaan yang terlihat pada perang Badar yang dilakukan Rasulullah Saw terhadap prajurit atau musuhnya. Meskipun contoh perlakuan mulia di perang Badar saja yang disampaikan di sini, namun merupakan contoh miniatur dari perlakuan kemanusiaan Rasul dalam seluruh peperangannya. Implementasi kongkrit ini merupakan bukti lebih nyata dari sistem atau hukum itu sendiri, karena hukum adalah sarana, sementara implementasi adalah tujuan. Banyak sekali konten undang-undang yang indah-indah, namun sering dilanggar dan terlupakan dalam kondisi serius atau saat butuh untuk diterapkan. Sebagian contoh nyata dari biografi Rasulullah Saw ini memberikan suatu perspektif yang tidak hanya tentang perlakuan kemanusiaan dalam Islam saat perang saja, tetapi juga perlakuan kemanusian dalam segala macam kondisi. Siapa yang menghormati manusia saat perang dalam posisi sebagai tentara musuh, seyogyanya dia akan lebih menghormati dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan di masa damai dan kerjasama. Allah yang memberi kesuksesan.

PENUTUP Di penghujung bahas ini, penulis ingin menyimpulkan beberapa butir penting sebagai berikut: 1.

2.

Hukum Humaniter Internasional dianggap sebagai terminologi yang masih baru dibanding dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan dalam Syari’at Islam yang menjamin Hak-hak Asasi Manusia saat konflik bersenjata sejak 1400 tahun yang lalu. Dasar utama hubungan umat Islam dengan bangsa lain adalah perdamaian. Perang dalam perspektif Islam adalah bersifat darurat dan hanya untuk menghentikan penyerangan. Bila peperangan terjadi berdasar prinsip di 67

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

68

atas, maka jalur mulianya harus tetap terjaga dan nilai-nilai moral tetap terpelihara. Kaidah utama yang menjadi dasar bagi Hukum Internasional Umum dalam Islam adalah kesatuan kemanusiaan, kerjasama atas kebaikan, toleransi, kebebasan berkeyakinan, keadilan dan resiprokal berbasis moral. Kaidah tersebut bersumber kepada Al Qur’an dan Sunah serta hukum kebiasaan yang tidak bertentangan teks agama. Moral dalam Hukum Internasional Umum dalam Islam menduduki posisi penting. Bilamana posisi akhlak harus dipertahankan dalam hubung antar individu, maka dalam hubungan antar negara, akhlak harus lebih konsisten lagi. Pengawasan diri juga mempunyai posisi unik dalam Hukum Internasional Umum dalam Islam. Islam menekankan konsistensi negara terhadap pengawasan diri ini dan pengaruhnya terhadap implementasinya bagi Hukum Internasional dan hubungan dengan negara lain. Hukum Humaniter Internasional dalam Islam dapat didifinisikan sebagai kumpulan kaidah-kaidah agama Islam yang bertujuan untuk melindungi Hak-hak Asasi Manusia di saat konflik bersenjata. Ada poin utama dalam Hukum Humaniter Internasional dalam Islam yang dapat disimpulkan; pertama perang harus terbatas pada aspek darurat; kedua bila perang meletus, wajib bernapaskan kemanusiaan atau menjunjung tinggi segala aspek kemanusiaan. Islam menjunjung tinggi akhlak sebagai alat kontrol yang efektif dan sangat berpengaruh dalam pemantapan tingkah laku individu dan kelompok dalam berbagai kondisi, terutama ketika suara senjata semakin nyaring dan suara hukum semakin redup. Bila pasar moral stabil, hakhak akan terjaga, posisi manusia menjadi tinggi di mata manusia lain, dan semakin tinggi tingkat kemanusiaan. Ini adalah prinsip umum Hukum Humaniter Internasional menurut perspektif Islam. Sudah menjadi jelas bahwa perlindungan bagi korban luka dalam perang dan perlakuan kemanusiaan harus terpenuhi. Maka tidak dibenarkan dalam Hukum Humaniter Internasional dalam Islam membunuh dan melakukan penyiksaan bagi korban luka seperti juga tidak dibenarkan membiarkannya menderita tanpa perawatan dan pengobatan.

10. Hak-hak tawanan sudah jelas dalam pesan Rasulullah Saw “Harus memperlakukan tawanan secara baik” yang merupakan pesan umum yang mencakup segala bentuk kebajikan, baik lisan maupun tindakan, moril maupun materil. 11. Seperti dijelaskan tentang hak-hak tawanan dalam melaksanakan ritual agama selama menjadi tawanan dan tidak dibenarkan memaksanya untuk mengganti agamanya. 12. Dijelaskan bahwa Islam tidak boleh mengkhianati tawanan, meskipun pihak musuh telah mengkhianati tawanan muslim. 13. Dijelaskan bahwa tawanan yang berkerabat tidak dibenarkan memisahkan mereka. Tidak boleh dipisahkan ibu dengan anaknya, bapak dengan anaknya, antar bersaudara dan seterusnya. 14. Dalam bidang hak-hak tawanan, Islam melarang prajurit melakukan tindakan spontan di saat menangkap tawanan, yang sering tidak adil, akibat tekanan emosi yang tidak normal, pengaruh mabuk kemenangan, kemaraham akibat perang yang pada gilirannya terjadi tindakan aniaya dan pelanggaran hukum. Dijelaskan bahwa yang dituntut dari para prajurit adalah menyerahkan tindakan terhadap tawanan kepada pemerintah dan bukan kepada prajurit agar terhindar dari apapun bentuk perlakuan tidak manusiawi yang dapat merugikan tawanan. 15. Disebutkan beberapa alternatif bagi pemerintah untuk penyelesaian masalah tawanan, antara lain pengampunan atau tembusan finansial. Kemudian disebutkan alternatif ketiga, di mana terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum Islam dengan menjelaskan argumen masing-masing. Kemudian bila Hukum Kebiasaan Internasional menetapkan tidak boleh membunuh tawanan, maka negara Islam adalah negara pertama yang mendukung penerapannya dan mentaatinya sepanjang menciptakan kepentingan bersama dan menjamin kemuliaan manusia. 16. Selanjutnya disebutkan hak-hak orang mati dalam peperangan dan perhatian Islam terhadap kemuliaan manusia, baik hidup maupun mati. Disinggung juga tentang bentuk-bentuk memuliakan korban terbunuh di medan pertempuran seperti menghormati jasadnya, menjunjung tinggi kehormatannya. Di antara penghormatan itu adalah tidak diboleh merusak organ tubuh (mutilasi) atau membawa kepalanya dari medan perang. 69

17. Dalam upaya untuk menjaga kemuliaan manusia, penulis mengetahui bahwa Hukum Humaniter Internasional dalam Islam memerintahkan untuk menguburkan mayat apapun agamanya dan mendorong agar tidak membiarkan mayat tentara musuh tergeletak di lapangan sebagai kehormatan bagi manusia yang mempunyai kemuliaan. 18. Dalam bidang hak-hak penduduk sipil, dijelaskan bahwa Hukum Humaniter Internasional dalam Islam membedakan antara kombatan dengan sipil seperti juga membedakan antara objek militer dengan objek sipil dan melarang menyerang perempuan, orang tua renta, anak-anak, pendeta, petani dan sebagainya seperti juga dilarang menyerang lokasi mereka dan rumah ibadat dan sejenisnya termasuk pusat kebudayaan, perpustakaan, institusi ilmu pengetahuan dan lainnya. 19. Melalui implementasi yang terdapat dalam perang Badar, jelas perhatian Rasulullah Saw agar dakwah jangan terbatas pada perkataan saja, beliau adalah orang yang paling pertama menerapkan apa yang dikatakan dan dihimbaunya. Disana terdapat teks dan tingkah laku yang saling mendukung untuk menjelaskan prinsip yang diusung tadi. 20. Kerendahan hati Rasulullah Saw terhadap para sahabatnya, seolah beliau adalah bagian dari mereka. Ini adalah permulaan kongkrit bagi perlakuan manusia yang mulia terhadap orang banyak. Kerendahan hati komandan terhadap prajuritnya, keadilan terhadap diri sendiri, menghormati orang lain, bila komandan dapat memberdayakan sikap tadi ke dalam jiwa prajurit, maka ia dapat menanamkan bagi prajuritnya potensi untuk mengontrol emosinya agar tidak berbuat aniaya dan melanggar batas, di mana menghormati orang lain baginya sangat dijunjung tinggi. 21. Bilamana kita mampu menanamkan sikap kasih sayang sesama manusia dalam diri seseorang, berarti suatu kesuksesan besar bagi Hukum Humaniter Internasional yang mungkin saja fokus teorinya tidak kearah itu, apalagi implementasinya dalam kehidupan modern. Hal inilah yang menjadi perhatian Hukum Humaniter Internasional dan konsentrasinya, 22. Dalam perlakuan Rasulullah Saw terhadap tawanan di perang Badar, disebutkan sejumlah sikap kemanusiaan yang menperjelas perlakuan kemanusiaan yang diterima tawanan yang antara lain, pemberian makanan bagi tawanan yang di atas standar makanan para sahabat; tawanan naik

70

23.

24.

25.

26.

160

kendaraan dan sahabat berjalan kaki, perhatian memberikan pakaian layak bagi tawanan, membebaskan tawanan karena diketahui Rasulullah ia mempunyai lima orang putri sebagai ungkapan belas kasihan terhadap mereka. Bahkan memperlakukan tawanan sebagai tamu, sehingga diberi minyak kepala mereka, dirapikan rambut dan akomodasi tawanan di rumah kediaman sahabat. Sebagai kesimpulan umum, penulis dapat mengatakan bahwa gambaran nyata kasih sayang di perang Badar merupakan fenomena menonjol dan berlaku dalam setiap perlakuan terhadap kombatan musuh yang menjadi tawanan yang lemah dan tidak berdaya. Selanjutnya, pembaca dapat berimaginasi secara bebas tentang perlakuan yang baik dan perlindungan yang sempurna. Perlakuan yang kita saksikan pada perang Badar tidak sekedar contoh yang mengantar penulis mengetahui tentang ketinggian posisi perlakuan kemanusiaan dalam perang Rasulullah Saw. Tapi lebih dari itu, yaitu betapa beruntung manusia dengan kemanusiaannya di bawah lindungan kemuliaan agama Islam ini. Siapa yang menghormati manusia di saat menjadi tentara musuh yang membawa senjata untuk menyerangnya, maka lebih layak lagi, ia menghormatinya dalam keadaan damai dan kerjasama. Dijelaskan bahwa kaidah yang mengatur Hak-hak Asasi Manusia dalam peperangan ini adalah ajaran Tuhan dan siapa yang melanggarnya akan diancam dengan dua sanksi. Pertama sanksi duniawi, yaitu hukuman yang ditetapkan undang-undang bagi prajurit yang melanggar ketentuan yang berlaku. Kedua sanksi ukhrawi, hukuman dari Allah Swt di akhirat nanti atau mungkin juga di atas dunia. Tentang hukuman Tuhan di atas dunia, Allah berfirman: (ْ‫ﺖ َﺃ ْﻳﺪِﻳ ُﻜﻢ‬ ْ ‫ﺴ َﺒ‬ َ ‫ﻦ ُﻣﺼِﻴ َﺒ ٍﺔ َﻓ ِﺒﻤَﺎ َﻛ‬ ْ ‫“ ) َﻭﻣَﺎ َﺃﺻَﺎ َﺑ ُﻜ ْﻢ ِﻣ‬Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri”. Dan Sabda Rasulullah Saw: (‫ﻬ ُﻢ ﺍﻟﻠﱠ ُﻪ‬ ُ ‫ﺣ ُﻤ‬ َ ‫ﻥ َﻳ ْﺮ‬ َ ‫ﺣﻤُﻮ‬ ِ ‫) ﺍﻟﺮﱠﺍ‬ “Orang yang penyayang akan disayangi Allah Swt” dan sebaliknya juga begitu (Orang yang jahat, sanksi juga jahat dari Allah)160. Kaidah Hukum Humaniter Internasional dalam Syari’at Islam memberikan perlindungan lebih besar dan jaminan lebih kuat bagi penerapannya, Penjelasan tambahan dalam kurung dari penterjemah

71

karena merupakan syari’at Ilahi yang ditetapkan Allah Swt. Siapa yang melanggarnya, akan mendapat dua hukuman. Hukuman di atas dunia berada tangan pemerintah dan hukuman di akhirat. Ini yang mendorong tentara muslim untuk mematuhi prinsip tersebut. Bisa saja ia dapat lepas dari hukuman duniawi, karena terbatasnya pengawasan atau kelemahan sistem, namun tidak mungkin sama sekali lepas dari hukuman ukhrawi. Salawat dan Salam Allah Swt kepada nabi Muhammad Saw.

72

DAFTAR RUJUKAN Abd ‘l-Razak, “Al-Musannif”, realisasi Habib al-A’zami, cetakan kedua (Beirut, al-Maktab al-Islami 1403H) Abdul Ghani Abdul Hamid Mahmud, “Perlindungan korban konflik bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional dan Syariat Islam” (Cairo, ICRC 2000) Abdul Hayy Hijazi, “Al-Madkhal li Dirasat ‘l-‘Ulum ‘l-Qanuniyah” (‘l-Qanun) (Pengantar Studi Ilmu Hukum), t.c.(Kuwait, Jami’at ‘l-Kuwait 1972H) Abdul Karim Zaidan, “Nazarat fi ‘l-Syari’ah” (Beberapa persepsi dalam Syari’ah), cetakan pertama (Beirut, Muassah ‘l-Risalah 1421H) Abdul Wahid Yusuf ‘l-Far, “Asra ‘l-Harb” (Tawanan Perang), t.c.(Cairo, ‘Alam ‘l-Kitab, 1975) Abdullah al-Turki, “Taujihat ‘l-Sunnah ‘l-Nabawiyah fi Majal ‘l-Tasyri’ ‘lHarbi” (Petunjuk Hadis Nabi dalam bidang Hukum Perang), makalah diterbitkan majalah ‘al-Ashalah’, al-Multaqa ‘l-Sadis ‘Asyara li ‘l-Fikr ‘l-Islami, Talamsan, Aljer 6-13/10/1402 Abdullah Uday ‘l-Jurjani, “Al-Kamil fi Dhu’afak ‘l-Rijal”, realisasi Yahya Mukhtar Ghizawi, cetakan ketiga (Beirut, Dar ‘l-Fikri 1409 H) Abi Ubaid al Qasim bin Salam, “Al Amwal”(Kekayaan), realisasi Muhammad Khalil Harras (Cairo maktabah ‘l-Kuliyyat ‘l-Azhariyah 1396 H) Abu Daud, “Sunan Abi Daud”, realisasi Muhammad Mahyuddin Abdul Hamid, (Beirut Dar ‘l-Fikri t.t.) Abu Hayan ‘l-Andalusi, “Tafsir ‘l-Bahr ‘l-Muhith”, cetakan kedua (Beirut Dar ‘l-Fikr li ‘l-Taba’ah wa ‘l-Nasyr wa ‘l-Tauzi’ 1403 H) Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim, “Al-Kharaj”, cetakan ke enam (Cairo, ‘lMatba’ah ‘l-Salafiyah 1397 H) Abul Khair Ahmad Athiah, “Perlindungan Warga Sipil dan Objek sipil dalam konflik bersenjata” (Konparatif Studi dengan Syari’at Islam) (Cairo, Darul Nahdhah 1998) Al-Baidhawi, “Tafsir ‘l-Baidhawi” dicetak bersama Hasyiyah Mahyuddin Zadah, t.c. (Beirut, Dar al-Fikr t.t.) Al-Baihagi, “Al-Sunan ‘l-Kabir”, realisasi Muhammad Abdul Kadir ‘Atha,

73

(Mekkah, Dar ‘l-Baz 1414 H) Al-Dar ‘l-Quthni, “Sunan ‘l-Dar ‘l-Quthni” bagian ‘l-Ta’liq ‘l-Mughni ‘Ala Sunan ‘l-Dar ‘l-Quthni, Al-Ghazali, “Fiqh ‘l-Sirah” (Fqih Biografi), cetakan pertama (Mesir, alMaktabah ‘l-Tijariyah, 1356H) Al-Hakim, “Al-Mustadrik ‘Ala ‘l-Sahihaini”, (Beirut, Dar al-Makrifah, t.t.) Ali ‘l-Haitsami, “Majma’ ‘l-Zawaid wa manba ‘l-Fawaid” (Beirut, Dar ‘l-Kitab ‘l-‘Arabi 1407H) Al-Maraghi, “Tafsir ‘l-Maraghi”, cetakan kedua (Beirut, Dar Ihya ‘l-Turast ‘l-‘Arabi 1985 M) Al-Mawardi, “Al-Ahkam ‘l-Sultaniyah”, cetakan ketiga (Beirut, Dar ‘lFikri 1409H) Al-Qurtubi, “Tafsir al-Qurtubi”, cetakan kedua (Cairo, Dar ‘l-Sya’ab, 1372H) Al-Quthni, “Sunan ‘l-Dar ‘l-Quthni” yang dicetak bersama ‘l-Ta’liq ‘lMughni ‘Ala Sunan ‘l-Dar ‘l-Quthni, (Lakstan, Ahadits Akademi t.t.) Al-Sa’di, “Al-Mukhtarat ‘l-Jaliyah min ‘l-Masail ‘l-Fiqhiyah” (Beberapa topik pilihandari masalah-masalah Fiqh), cetakan kedua (Riyadh, ‘l-Riasah ‘l-‘Ammah li ‘l-Buhust ‘l-‘Ilmiyah wa ‘l-Iftak, 1405) Al-Sa’di, “Tafsir al-Sa’di”, (Jeddah, Dar al-Madani li ‘l-Nasyr, 1408H) Al-Sarakhsy, “Al-Mabsuth”, t.c.(Beirut, Dar ‘l-Ma’rifah, 1406H) Al-Shan’ani, “Subul ‘l-Salam Syarh ‘Bulugh ‘l-Maram”, (Riyadh, Jami’ah ‘l-Imam Muhammad Su’ud ‘l-Islamiyah 1397 H) Al-Syafi’I, “Al-Umm”, cetakan kedua (Beirut, Dar ‘l-Ma’rifah, 1393 H) Al-Syatibi, “Al-Muwafiqat fi Ushul ‘l-Syari’ah”, komentar Abdullah Daraz, cetakan kedua (Mesir, ‘l-Maktabah ‘l-Tijariyah 1395) Al-Thabari, “Tafsir ‘l-Thabari”, (Bairut, Dar ‘l-Fikr 1405 H) Al-Thabari, “Tafsir ‘l-Thabari”, realisasi Abdullah ‘l-Turki, cetakan pertama (Cairo, Da Hijr 1422 H)

74

Al-Thabrani dalam “Al-Shaghir wa ‘l-Kabir” dan “Al-Mu’jam ‘l-Shaghir”, realisasi Muhammad Syakur ‘l-Hajj, cetakan pertama (Beirut, ‘l-Maktab ‘lIslami 1405H) Al-Waqidi, “’l-Maghazi” (Peperangan Rasul), realisasi Marsden Jonnes, cetakan ketiga (Beirut, Alam ‘l-Kitab 1404) Al-Zamakhsyari ,”Al-Kasyaf ‘an Haqaiq ‘l-Tanzil wa ‘Uyun ‘l-Aqawil fi Wujuh ‘l-Ta’wil”, realisasi Muhammad ‘l-Shadiq Qumhawy (Mesir,Matba’ah Mustafa ‘l-Baba ‘l-Halabi 1392H) As-Syaukani, “Fat al’Barri ‘l-Jami’ Baina Fanni ‘l-Riwayah wa ‘l-Dirayah min Ilm ‘l-Tafsir”, realisasi Abdurrahman Umairah, cetakan kedua (AlManshurah, Dar ‘l-Wafa li ‘l-Taba’ah wa ‘l-Nasyr 1418) At-Turmuzi, “Sunan al- Turmuzi”, realisasi Ahmad Muhammad Syakir dkk (Beirut, Dar Ihya ‘l Turast ‘l’Arabi, tt) Az- Zarkasyi (Badruddin Muhammad bin Bahadir asy-Syafi’i), “Al- Mantsur fi Al-Qawa’id”, realisasi Faiq Ahmad Mahmud, cetakan kopi dari cetakan pertama (Kuwait, Wizarat ‘l-Awqaf wa ‘l-Syuun ‘l-Islamiyah 1402H). Bukhari, “Sahih Bukhari”, dicetak sebagai bagian ‘Fath ‘l-Bari’ karangan Ibnu Hajr (Riyadh, tauzi’ ‘l-Ri’asah ‘-‘Ammah li ‘l-Ifta wa ‘l-Buuts ‘lIlmiyah) Hasan Abu Ghuddah, “Qadhaya Fiqhiyah fi ‘l-‘Alaqat ‘l-Dauliyah” (Isuisu Fiqh dalam Hubungan Internasional), cetakan pertama (Riyadh, Maktabah ‘l-Ubaikan 1420H) Ibnu ‘l-Arabi, “Ahkam ‘l-Qur’an”, realisasi Ali Muhammad ‘l-Bajawi (Beirut, Dar ;l-Fikr t.t.) Ibnu al-Atsir, “Al-Nihayah fi Gharib ‘l-Hadits wa ‘l-Atsr, realisasi Thahir Ahmad ‘l-Zawi dkk (Mekkah, Dar al-Baz, t.t.) Ibnu Athiyah, “Al-Muharrir ‘l-Wajiz fi Tafsir ‘l-Aziz”, realisasi Abdul ‘Al ‘l-Sayyid Ibrahim (Riassah ‘l-Mahakim ‘l-Syar’iyah wa ‘l-Syunun ‘l-Diniyah fi Qatar 1412H) Ibnu Hajr, “Al-Ishabah fi Ma’rifah ‘l-Shahabah”, (Beirut, Dar ‘l-Kutub ‘l-‘Ilmiyah, t.t.) 75

Ibnu Hisyam, “Al-Sirah ‘l-Nabawiyah” (Biografi Nabi), realisasi Adil Ahmad Abdul Maujud dkk, cetakan pertama (Riyadh, Maktabah ‘L-Ubaikan 1418H) Ibnu Jarir ‘l-Thabari, “Tafsir al-Thabari”, realisasi Abdullah ‘l-Turki, cetakan pertama (Cairo, Da Hijr 1422 H) Ibnu Katsir, “Al-Bidayah wa ‘l-Nihayah”, realisasi Abdullah bin ‘l-Muhsin ‘lTurki, cetakan pertama (Cairo, Dar Hijrah 1417). Ibnu Katsir, “Tafsir Ibnu Katsir”, t.c. (Beirut, Dar ‘l-Fikr 1401H) Ibnu Qayyim, “Zad ‘l-Mi’ad fi Huna Khair ‘l-‘Ibad”, cetakan kedua (Bairut, Muassah ‘l-Risalah 1405H). Ibnu Qudamah, “Al-Kafi”, realisasi Zahir ‘l-Syawisy, cetakan ke lima (Beirut, ‘l-Maktab ‘l-Islami 1408H) Ibnu Qudamah, “Al-Mughni”, (Riyadh, maktabah ‘l-Riyadh ‘l-Haditsah, t.t.) Ibnu Rusyd, “Bidayah ‘l-Mujtahid wa Nihayah ‘l-Muqtashid”, cetakan ke enam (Beirut, Dar ‘l-Ma’rifah 1402H) Ibnu Sa’ad, “Al-Tabaqat ‘l-Kubra” (Beirut, Dar Shadir, t.t.) Ihsan ‘l-Hindi, “Ahkam ‘l-Harb wa ‘l-Salam fi daulat ‘l-Islam” (Hukum Perang dan Damai dalam negara Islam), cetakan pertama (Damaskus t.p. 1993) Ihsan al-Hindi, “Al Islam wa al Qanun ‘l Dauli” (Islam dan Hukum Internasional), cetakan pertama (Damaskus Daru Thalas lil Dirasat wa ‘l terjemah wa ‘l Nasyr 1989) Imam Ahmad, “Masnad al-Imam Ahmad”, (Mesir, Muassah Qurtubah) Imam Ahmad, “Masnad al-Imam Ahmad”, realisasi Dr. Abdullah ‘l-Turki dkk, cetakan pertama (Beirut, Muassah ‘l-Risalah 1417H) Imam Malik, “Al-Mudawwanah”, realisasi ‘l-Sayyid Ali bin ‘l-Sayyid Abdurrahman ‘l-Hasyim (diterbitkan atas beban ‘l-Syeikh Zayed, Presiden Persatuan Arab Uni, 1422) Imam Malik, “Al-Mautha’,” cetakan ke tujuh (Beirut, Dar ‘l-Nafais, 1404 H) Imam Muslim, “Sahih Muslim”, realisasi Muhammad Fuad Abdul Baqi (Cairo, Dar Ihya ‘l-Kutub ‘l-‘Arabiyah) Ismail Abu Syari’ah, “Nazariyat ‘l-Harb fi ‘l-Islam” (Konsep Perang dalam Islam), cetakan pertama (Kuwait, Maktabah ‘l-Falah 1401H) John Backtieh , “Prinsip Hukum Humaniter Internasional” dalam “Kuliah76

kuliah Hukum Humaniter Internasional, editor Syarif Atlim, cetakan ke tiga, (Beirut, Pen. Darul Mustaqbal Arabi, 2003) Muhammad ‘l-Thahir bin ‘Asyur, “Maqashid al-Syari’ah ‘l-Islamiyah” (Tujuan Syari’at Islam), cetakan pertama (Jordania, Dar an-Nafais li ‘l-Nasyr wa ‘l-Tauzi’ 1421H) Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim ‘l-Mubarkapuri, “Tuhfah ‘l-Ahwazi bi Syarh Jami’ ‘l-Turmuzi “, (Beirut, Dar ‘l-Kutub ‘l-Ilmiyah) Muhammad Abu zahrah, “Nazhariyah ‘l-Harb fi ‘l-Islam” (Konsep Perang dalam Islam), (Mesir, ‘l-Majelis ‘l-A’la li ‘l-Syu’un ‘l-Islamiyah, Wizarat ‘l-Awqaf 1380 H) Muhammad bin ‘l-Hasan ‘l-Syaibani, “Al-Siyar ‘l-Kabir”, komentator ‘lSarkhasi, realisasi Muhammad Hasan Muhammad ‘l-Syafi’I, cetakan pertama (Beirut, Dar ‘l-Kutub ‘l-Ilmiyah 1417 H) Muhammad bin Hibban, “Sahih Hibban”, realisasi Syuaib al-Arnauth, cetakan kedua (Beirut, Muassah ‘l Risalah 1414 H) Muhammad bin Yusuf ‘l-Shalihi, “Subulu ‘l-Huda wa ‘l-Rasyad fi sirah khair ‘l-Ibad”, realisasi Fahim Muhammad Syaltut dkk (Cairo, ‘l-Majelis ‘l-A’la li ‘l-Syu’un ‘l-Islamiyah, 1413 H) Mustafa ‘l-Siba’I, “Nizam ‘l-Silm wa ‘l-Harb fi ‘l-Islam”, (Sistem Damai dan Perang dalam Islam) cetakan kedua (Riyadh, Maktabah ‘l-Waraq 1419H) hal. 36 Sa’id Ismail Shini, “Haqiqah ‘l-‘Alaqah baina ‘l-Muslimin wa qhair ‘l-Muslimin” (Hakikat Hubungan antara umat Islam dengan Non-muslim), cetakan pertama (Beirut, Muassah ‘l-Risalah 1420 H) Imam Muslim, “Sahih Muslim”, hal. 3/1357 Saleh ‘l-Syutsari, “Huquq ‘l-Asra fi ‘l-Islam” (Hak-hak Tawanan dalam Islam), (artikel yang dimuat pada situs Al-Islam al-Yaum di internet) Sulaiman ‘l-Thabrani, “Al-Mu’jam ‘l-Kabir”, realisasi Hamdi bin Abd ‘l-Majid ‘l-Salafi, cetakan kedua (Maushol, Maktabah ‘l-‘Ulum wa ‘l-Hukm 1404 H) Syarif Atlim (editor) “ Kuliah-kuliah Hukum Humaniter Internasional”, cetakan ke tiga, (Beirut, Pen. Darul Mustaqbal ‘l- Arabi, 2003) Umar ‘l-Asyqar, “Tarikh ‘l-Fiqh ‘l-Islami” (Sejarah Fiqh Islam), cetakan ketiga (Kuwait, Matbabah ‘l-Falah 1413 H)

77

Wahbah al-Zuhaili, “Atsar ‘l-Harb fi ‘l-Fiqh ‘l-Islami” (Pengaruh Perang dalam Fiqh Islam), cetakan ke tiga (Damaskus, Dar ‘l-Fikr, 1419 H) Wizarah al-Awqaf wa ‘l-Syuun al-Islamiyah al-Kuwaitiyah, “Al-Mausu’ah ‘l-Fiqhiyah ‘l-Kuwaitiyah” (Ensiklopedia Fiqh Kuwait) , cetakan ketiga (Beirut, Dar Ihya ‘l-Turats ‘l-‘Arabi 1419H).

78

ICRC Delegasi Regional Indonesia Jl. Iskandarsyah I No. 14 Kebayoran Baru - Jakarta Selatan 12160 Telp : +62 21 7396756, 720 7252 Fax : +62 21 7399512 E-mail : [email protected]