PENGANTAR HUKUM PERSAINGAN USAHA INDONESIA

Download Nomor 5 / 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha .... Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” Jurnal Hukum Bisnis(...

0 downloads 620 Views 340KB Size
Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesia 

Manfaat Persaingan Henry Clay (1832) pernah mengungkapkan dalam suatu kalimat: “Off all human powers operating on the affairs of mankind, none is greater than that of competition,” untuk menggambarkan mengenai arti penting dari persaingan bagi umat manusia. Bahkan mungkin sejak dimulainya peradaban dan selama masih akan ada peradaban rasanya persaingan tidak akan pernah bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.

Bayangkan seandainya di dalam kehidupan ini tidak ada persaingan, mungkin perkembangan teknologi tidak akan semaju seperti sekarang ini, dan pergi ke luar angkasa serta menginjakan kaki di bulan hanya akan menjadi sebuah mimpi belaka. Dengan adanya persaingan jelas memberikan manfaat kepada peningkatan kualitas kehidupan manusia. Namun di samping segi positifnya persaingan juga terkadang membawa segi negatif, terutama bagi pihak yang kalah dalam persaingan. Namun secara umum persaingan diakui ataupun tidak, lebih banyak membawa segi positif dibandingkan segi negatifnya. Jadi keinginan untuk meniadakan persaingan adalah suatu keinginan yang jelas justru akan membawa kehidupan umat manusia kearah kemunduran.



Ditha Wiradiputra, S.H. (Staf Pengajar FHUI, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha FHUI), Modul untuk Retooling Program under Employee Graduates at Priority Disiciplines under TPSDP (Technology and Profesional Skills Development Sector Project) DIKTI. Tanggal 14 September 2004, Jakarta.

1

Mengapa sebagian besar kebutuhannya

sehari-hari

orang dalam biasanya

lebih

berbelanja sesuatu untuk

memenuhi

memilih

di

pergi

berbelanja

pasar,

dibandingkan harus membeli dari toko atau warung yang terdapat di sekitar tempat tinggal, walaupun toko atau warung tersebut juga menjual barang-barang yang terdapat di pasar? Hal tersebut terjadi, dikarenakan pada umumnya harga barang-barang yang dijual oleh penjual di pasar biasanya jauh lebih murah dibandingkan dengan harga barang-barang yang dijual ditoko atau warung di sekitar tempat tinggal, harga di pasar bisa lebih murah dibandingkan harga di toko di sekitar tempat tinggal, dikarenakan di pasar terdapat banyak sekali penjual yang juga menjual produk yang terkadang hampir sama, sehingga penjual-penjual yang ada di pasar biasanya tidak berani mengambil keuntungan terlalu besar atas barang dagangannya, karena pembeli pasti dengan mudah pindah ke penjual lain di pasar tersebut juga, yang menawarkan harga yang lebih murah, oleh karena itu harga-harga barang yang di jual di pasar biasanya menjadi lebih murah.

Lebih mahalnya harga barang-barang yang dijual di toko atau warung di sekitar tempat tinggal, merupakan akibat dari toko atau warung tersebut mengambil keuntungan yang terlalu besar atau berlebihan, dimana mereka mengetahui mengenai posisinya yang tidak memiliki banyak pesaing dalam menjual produknya, sehingga membuat mereka bebas memainkan harga sekehendak hatinya saja. Namun walaupun harga barangbarang di toko atau warung di sekitar tempat tinggal jauh lebih mahal, biasanya tetap dibeli juga oleh penduduk sekitar karena mereka tidak memiliki pilihan lain lagi.

Dari ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya persaingan jelas memberikan manfaat yang tidak sedikit bagi kehidupan kita, namun untuk menghindari sisi negatif dari persaingan perlu dibuat suatu aturan main yang jelas, sehingga persaingan dapat berjalan dengan baik atau dengan kata lain tercipta suatu level playing field, yang membuat pelaku-pelaku usaha kecil tetap dapat menjalankan usaha disamping pelaku-pelaku usaha besar tetap dapat menjalankan usahanya juga.

2

Sejarah Undang-undang No.5/1999 Setelah sekian lama dinantikan akhirnya Indonesia pada tanggal 5 Maret 1999 memiliki juga undang-undang yang mengatur mengenai persaingan usaha yaitu Undang-undang Nomor 5 / 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau juga dapat disebut dengan nama Undang-undang Persaingan Usaha ataupun Undang-undang Anti Monopoli. Undang-undang No.5/1999 ini juga memiliki makna dan sejarah tersendiri, karena Undang-undang No.5 / 1999 merupakan Undang-undang hasil inisiatif DPR RI yang pertama sejak negara Republik Indonesia merdeka.

Sebenarnya sebelum diberlakukan Undang-undang Persaingan Usaha, Indonesia telah memilik peraturan perundang-undangan yang yang mengatur mengenai praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, walupun masih tercecer, bersifat parsial dan kurang komprehensif, 1 seperti terdapat beberapa pasal di dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT), Undang -undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, Undang -undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.2

Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 / 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat, perangkat hukum yang mengatur mengenai praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat jauh lebih baik dari yang diatur oleh peraturan perundang-undangan sebelumnya.

Lahirnya Undang-undang Persaingan Usaha sebenarnya tidak lepas dari krisis moneter yang kemudian berlanjut kepada krisis ekonomi yang melanda Indonesia di pertengahan

1

Normis S. Pakpahan, “Rangkuman Seminar ELIPS: Penemuan Hukum Persaingan: Suatu Layanan Analitik Komparatif,” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 4, 1998), hal.23. 2

Faisal Basri, “Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia,” (Jakarta: Erlangga,2002), hal.355-364.

3

tahun 1997, dimana pemerintah disadarkan bahwa sebenarnya fundamental ekonomi Indonesia pada waktu itu ternyata begitu lemah, lemahnya fundamental ekonomi Indonesia terjadi karena berbagai kebijakan pemerintah di berbagai sektor ekonomi yang kurang tepat yang menyebabkan pasar menjadi terdistorsi.3 Terdistrosinya pasar membuat harga yang terbentuk di pasar tidak lagi merefleksikan hukum permintaan dan hukum penawaran yang rill, proses pembentukan harga dilakukan secara sepihak (oleh pengusaha atau produsen)

4

tanpa memperhatikan kualitas produk yang mereka

tawarkan terhadap konsumen.

Di dalam penjelasan umum atas Undang-undang Persaingan Usaha dikatakan bahwa kebijakan pemerintah diberbagai sektor ekonomi yang dibuat selama tiga dasawarsa terakhir ternyata belum membuat seluruh masyarakat mampu berpartisipasi, hanya sebagian kecil golongan masyarakat saja yang dapat menikmati kebijakan yang dibuat oleh

pemerintah

tersebut,

sehingga

berdampak

kepada

semakin

meluasnya

kesenjangan sosial. 5

Di sisi lain perkembangan usaha swasta pada kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.6 Kedudukan monopoli yang ada lahir karena adanya fasilitas yang diberikan oleh pemerintah 7 (antara lain melalui tata niaga) serta ditempuh melalui praktek bisnis yang tidak sehat (unfair business practices) seperti persekongkolan untuk menetapkan harga (price fixing) melalui kartel8,

3

Penjelasan UU

4

Sjahdeini, loc. cit., hal.14 .

5

penjelasan UU

6

Penjelasan Undang-Undang Bagian Umum UU No.5/1999.

7

Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Anti Monopoli, cet.1.(Jakarta: Raya Grafindo Persada,

1999).hal.7. 8

Kartel adalah Persekutuan antara perusahaan industri yang menghasilkan komoditas yang sama (swasta atau BUMN), untuk mengatur pembelian, produksi atau pemasaran komoditas bersangkutan. Sering disertai dengan penetapan kuota produksi dan investasi. Jika persekutuan tersebut menghasilkan kekuatan monopoli, maka ia akan berusaha menaikan harga dan membatasi pasokan untuk memperoleh laba maksimal. Dikutip dari harian KOMPAS, tanggal 23 Agustus 1997, hal 17.

4

menetapkan mekanisme yang yang menghalangi terbentuknya kompetisi, menciptakan barrier to entry,9 dan terbentuknya integrasi baik horisontal 10 dan vertikal.11

Perusahaan-perusahaan swasta yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan berbagai kemudahan berlebihan 12 dengan alasan klasik melindungi “industri bayi” 13 dan demi stabilisasi harga. 14 Munculnya konglomerasi15 dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati, yang berus aha didasarkan pada hutang dan tanpa adanya inovasi kreatifitas 16 yang mendukung kinerja pengusaha merupakan faktor yang mengakibatkan fundamental ekonomi Indonesia 17

lemah dan tidak mampu bersaing.

18

9

Barrier to entry adalah hambatan yang dibuat untuk mencegah masuknya pesaing potensial, barrier toentry ini biasa dilakukan melalui perizinan usaha dari pemerintah. 10

Integrasi horizontal adalah penggabungan beberapa pelaku usaha yang masing-masing pelaku usaha memproduksi suatu produk yang bersaing dipasar. Istilah integrasi horizontal ini didefinisikan oleh penulis berdasarkan definsi atas istilah merger yang bersifat horizontal. Dikutip dari tulisan R.B. Suhartono, loc. cit., hal.7. 11

Sunarsip, loc. cit., hal. 2C.

12

hal ini terjadi menurut karena adanya prilaku individu ataupun perusahaan tertentu (oknum) yang mempengaruhi kebijakan pemerintah, untuk kepentingan sendiri atau juga dapat dikatakan sebagai rent seeking behavior, dikutip dari A Tony Prasetiantono, Agenda Ekonomi Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal.305. 13

Industri bayi disini maksudnya adalah industri yang masih baru ada atau dikembangkan di Indonesia. Perlindungan ini diberikan oleh pemerintah kepada industri yang bersangkutan agar insvestor mau menanamkan modalnya pada industri tersebut, lihat Sutan Remy Sjahdeini, “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 10, 2000) : 4. 14

Banu Astono, “Gejolak Rupiah Menyingkap Keropos industri Nasional,” KOMPAS (22 Agustus

1997) : 17. 15

Lebih jelas lagi mengenai prilaku konglomerasi dapat membaca buku Kwik Kian Gie, Saya Bermimpi Jadi Konglomerat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995). 16

Djisman S. Simanjuntak, “Bisnis Indonesia 2020: Terbuka dan Kompetitif” dalam Indonesia 2020: Wawasan Ekonomi, Sosial Budaya, dan Politik. Hadi Soesastro dan Iwan P. Hutajulu, ed.,(Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1996). 17

Lihat A. Tony Prasetiantono, Keluar dari Krisis: Analisis Ekonomi Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal.179. mengatakan: “yang lebih fundamental dari pada “fundamental ekonomi” adalah beberapa isu dan indicator makro yang bersifat kualitatif. Misalnya, soal struktur pasar, tata niaga, monopoli, korupsi dan kolusi. Semua isu fundamental ini praktis sudah lama kita inventarisasikan, kita paksa substansinya, dan kita agendakan.” 18

Penjelasan Undang-Undang Bagian Umum UU No.5/1999.

5

Dalam pembuatan kebijakan, pemerintah seharusnya mendorong iklim usaha yang sehat,19 efesien, dan kompetitif. Sehingga tercipta kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi, pemasaran barang dan jasa, 20 tetapi yang terjadi sebaliknya, Pemerintah malah mendorong terjadinya iklim usaha yang tidak sehat, tidak efesien dan tidak kompetitif. Melalui pembuatan kebijakan yang hanya menguntungkan orang dan kelompok tertentu saja, yang mengakibatkan timbulnya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Beberapa fakta menunjukan pemerintah memainkan peran cukup dominan dalam tindakan yang mendorong praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat seperti : a.

Penunjukan perusahaan swasta sebagai produsen dan importir tunggal untuk mengolahbiji gandum menjadi tepung terigu dan mengijinkan perusahaan tersebut untuk masuk pada industri hilir, contohnya penunjukan PT Bogasari oleh BULOG.

b.

Pemeritah tampaknya tidak hanya mengijinkan tapi tampaknya juga mendorong berkembangnya asosiasi-asosiasi produsen yang berfungsi sebagai kartel diamdiam yang mampu mediktekan harga barang dan jumlah pasokan barang di pasar, contohnya adalah ORGANDA (Organisasi Angkutan Darat),21 Asosiasi Produsen Semen,22 Apkindo (Asosiasi Panel Kayu Indonesia), APKI (Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia). 23

19

Lihat Sjahrir, Meramal Ekonomi Indonesia di Tengah Ketidakpastian (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal.256. 20

Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1998 Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, Bagian Kebijaksanaan Pembangunan Lima Tahun Ketujuh, Bidang Ekonomi Perihal Perdagangan. 21

Lihat Business News, “KPPU Tanyakan Kenaikan Tarif Taksi, Indikasikan Ada Kartel Dalam ORGANDA,” (22 Januari 2001). Lihat juga Partnership for Business Competition bekerjasama dengan Georgetown University Law Centre, serta Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHKI), “Reaksi Pelaku Usaha Atas Berlakunya UU No 5/1999 dan Keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha: Ringkasan Pokok Laporan Penelitian,”( Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Partnership for Business Competition, Jakarta, Juli, 2000), hal. 37. 22

Sjahrir, Spektrum Ekonomi Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 1994).hal.302-

306. 23

Lihat Robintan Sulaiman, Persaingan Curang Dalam Perdagangan Global (Tinjauan Yuridis) (Jakarta: Pusat studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, 2000), hal.41.

6

c.

Pemerintah dengan sengaja telah membiarkan satu perusahaan menguasai pangsa pasar di atas 50% atas suatu produk, contonya adalah PT Indofood yang mengusasi pangsa pasar mie instan di Indoesia lebih dari 50%. 24

d.

Pemerintah telah dengan sengaja membuat entry barrier bagi pemain baru di bidang industri tertentu, contohnya adalah kebijakan Mobil Nasional. 25

e.

Pemerintah memberikan perlindungan kepada industri hulu yang memproduksi barang tertentu dengan cara menaikan bea masuk barang yang sama yang diimpor dari luar negeri, contohnya adalah prokteksi terhadap PT Chandra Asri.26

Kondisi di atas, terjadi dikarenakan orientasi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih memprioritaskan kepada pertumbuhan ekonomi, sehingga menyebabkan seluruh kebijakan ekonomi yang dibuat diupayakan mendukung semua aktivitas yang diharapkan dapat memacu tingkat pertumbuhan tersebut.

Perusahaan-perusahaan baik milik pemerintah maupun swasta diberikan keleluasaan dalam mengembangkan usahanya melalui hutang, baik yang berasal dari lembaga keuangan domestik maupun dari luar negeri tanpa batas dan kontrol dari pemerintah. Akibatnya pada saat terjadinya krisis moneter yang menyebabkan terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama US$, akhirnya membuka tabir kebobrok an dunia usaha di Indonesia.

Sehingga pada akhirnya menuntut pemerintah untuk menata kembali kegitan usaha di Indonesia yang keliru dimasa lalu, agar dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan benar sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan dan kelompok tertentu,

24

Partnership for Business Competition, “Persaingan Usaha: Potret Beberapa Pasar di Indonesia,” (Laporan penelitian disampaikan pada seminar sehari Partnership for Business Competition, Jakarta, Juli, 2000), hal.18-19. Lihat Bisnis Indonesia, “ 8 Perusahaan diduga lakukan monopoli,” (20 Desember 2000). 25

Yose Rizal dan Pande Radja Silalahi, “Industri Mobil Indonesia: Suatu Tinjauan” dalam Transformasi Industri Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas, cet.1. Marie Pangestu, Raymon Atje dan Julius Mulyadi, ed., (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1996), hal.200-203. 26

Abdul Hakim G. Nusantara dan Benny K. Harman, Analisa dan Perbandingan Undang-Undang Antimonopoli: Undang-Undang larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Jakarta : Elex Media komputindo, 1999) , hal.19-20

7

antara lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial, dengan segera membuat Undang-undang Persaingan Usaha

Ditambah juga adanya tekanan dari pihak luar, terutama IMF yang memaksa Indonesia harus segera memiliki Undang-undang Persaingan Usaha, dalam rangka persetujuan Indonesia dengan IMF pada tanggal 15 januari 1998, dimana telah disepakati bahwa pemerintah Indonesia akan melaksanakan berbagai pembaruan struktural, termasuk deregulasi kegiatan domestik, yang bertujuan untuk mengubah ekonomi biaya tinggi Indonesia menjadi suatu ekonomi yang lebih terbuka, kompetitif dan efesien, apabila ingin mendapatkan bantuan dari IMF untuk menanggulangi krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia. Sehingga ketika awal diberlakukan Undang-undang ini beberapa kalangan berpendapat miring bahwa sebenarnya Undang-undang Nomor 5 / 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak lebih hanya merupakan pesanan IMF semata.

Pendapat di atas sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena jauh hari sebelum Indonesia dilanda krisis ekonomi, sudah banyak kalangan menyuarakan akan pentingnya memiliki Undang-undang Persaingan Usaha, bahkan pada tahun 1993 Fakultas Hukum Universitas Indonesia berkerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan Republik Indonesia telah menghasilkan Rancangan Akademik Undang-undang tentang Persaingan di Bidang Perdagangan, namun karena kondisi pada waktu lalu belum memungkinkan Undangundang Persaingan Usaha untuk diberlakukan, maka pemberlakuan Undang -undang Persaingan Usaha baru dapat terwujud pada tahun 1999.

Prof. Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan beberapa alasan yang menyebabkan Undang-undang Persaingan Usaha untuk lahir pada masa Orde Baru, yaitu antara lain: Pertama, adalah karena pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu ditumbuhkan untuk berfungsi menjadi lokomotif pembangunan apabila perusahaan-perusahaan tersebut diberikan perlakuan khusus. Perlakuan khusus itu ada dalam bentuk proteksi yang dapat menghalangi perusahaan lain dalam bidang usaha tersebut atau dengan kata lain memberikan posisi monopoli. Kedua, adalah pemberian

8

fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah bersedia menjadi pioner di sektor yang bersangkutan. Tampa fasilitas monopoli dan proteksi, sulit bagi pemerintah untuk mendapatkan kesedian insvestor menanamkan modal disektor tersebut. Ketiga, adalah untuk menjaga berlangsungnya praktek KKN demi kepentingan kroni-kroni mantan presiden Suharto dan pejabat-pejabat yang berkuasa pada waktu itu.27

Kedudukan Hukum Persaingan Usaha dalam Sistem Hukum Indonesia Memperhatikan ruang lingkup kajian yang dilakukan oleh Hukum Persaingan Usaha, maka Hukum Persaingan Usaha dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari Hukum Ekonomi. Dan bahkan apabila kita memperhatikan materi dari Undang-undang Persaingan Usaha rasanya tidak cukup hanya dengan belajar dari ilmu hukum saja untuk memahami Undang-undang tersebut, tetapi juga penting mempelajari ilmu ekonomi khususnya ilmu ekonomi industri untuk dapat memahami secara baik hukum persaingan usaha.

Ahli hukum yang menguasai Undang-undang Persaingan Usaha tanpa memiliki pemahaman yang baik terhadap ilmu ekonomi industri akan membuat kajian-kajian yang dihasilkannya kering atau timpang. Jadi diperlukan kajian secara interdisipliner (terutama hukum ekonomi dan ilmu ekonomi industri) untuk dapat memahami hukum persaingan usaha secara lebih komprehensif. Jadi disarankan jika yang ingin mempelajari hukum persaingan usaha secara lebih baik tidak ada salahnya untuk membaca literatur -literatur dari ilmu ekonomi khususnya ekonomi industri.

Hukum persaingan usaha dapat dikatakan merupakan species atau bagian dari genus hukum ekonomi, yang menurut Sunaryati Hartono hukum ekonomi itu sendiri memerlukan metode penelitian dan penyajian yang interdisipliner dan transnasional. Interdisipliner, karena: (1) hukum ekonomi Indonesia tidak hanya bersifat perdata, tetapi juga berkaitan erat dengan Hukum Administrasi Negara, Hukum Antar wewenang, hukum pidana, bahkan juga tidak mengabaikan hukum publik Internasional dan hukum perdata internasional;

dan hukum internasional ekonomi Indonesia memerlukan

9

landasan pemikiran bidang-bidang non hukum, seperti filsafat, ekonomi, sosiologi, administrasi pembangunan, ilmu wilayah, ilmu lingkungan, dan bahkan juga futurologi. 28

Materi

yang

terkandung

di

dalam

Undang-undang

No.5/1999

secara

umum

mengandung 6 (enam) bagian pengaturan, yang terdiri dari: 1. perjanjian yang dilarang; 2. kegiatan yang dilarang; 3. posisi dominan; 4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha; 5. penegakan hukum; 6. ketentuan lain-lain.

Asas dan Tujuan Undang-undang Persaingan Usaha

Asas yang digunakan sebagai landasan dalam pembentukan Undang-undang No.5/1999 bila dilihat dari Pasal 2 Undang-undang No.5 / 1999, yang berbunyi : “pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum,” sebenarnya adalah demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi yang dimaksud oleh Undang-undang No.5/1999 dapat dilihat pada bagian menimbang Undang-undang No.5/1999 yaitu menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi atau pemasaran barang atau jasa.

Sedangkan hubungan antara demokrasi ekonomi dengan sistem ekonomi Pancasila bila menurut Tirta Hidayat dalam makalah pengantar diskusi pada “seminar intern Bappenas, tanggal 14 Agustus 1997, adalah demokrasi ekonomi itu sendiri merupakan inti dari sistem ekonomi Pancasila. Lebih lanjut Gunawan Sumodiningrat mena mbahkan, Ekonomi pancasila itu sendiri sebenarnya dapat disamakan dengan sistem ekonomi

10

campuran. Sistem ekonomi campuran adalah campuran dari sistem ekonomi liberalkapitalistik dan sistem ekonomi sosialis-komunistik. Dalam sistem ekonomi liberalkapitalistik semua kegiatan ekonomi dilakukan oleh individu-individu atau swasta, bukan oleh pemerintah. Sebaliknya, dalam sistem ekonomi sosialis-komunistik, tidak dikenal atau tidak ada sektor swasta, sebab semua kegiatan ekonomi direncanakan, dilakukan dan dikuasai oleh pemerintah atau negara.

Namun dalam sistem ekonomi campuran kedua sektor, pemerintah dan swasta hidup berdampingan. Dengan demikian terdapat kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh swasta dan sebagian dilaksanakan oleh pemerintah, khususnya yang menyangkut hajat dan kepentingan orang banyak. Dalam sistem ini sebagian interaksi pelaku ekonomi terjadi di pasar, tetapi terdapat berbagai pula campur tangan pemerintah melalui berbagai kebijaksanaan. Pada akhirnya ciri yang paling menonjol dari sistem ekonomi campuran adalah adanya intevensi pemerintah dalam perekonomian yang terintegrasi di pasar.

Intervensi pemerintah melalui perencanaan pembangunan adalah untuk bisa mengatur pengalokasian sumber-sumber produktif secara lebih terarah, efektif dan efesien, sehingga dapat dicapai suatu perubahan struktural yang lebih menjamin kepentingan masyarakat secara keseluruhan berdasarkan nilai-nilai keadilan sosial.

Hakikat dari demokrasi ekonomi bila menurut Emil Salim adalah tersebarnya (dispersi) kekuatan ekonomi di masyarakat, dan tidak tersentralisasi di pusat atau terkumpul di beberapa tangan anggota masyarakat (monopoli dan oligopoli). Jadi dapat dikatakan Undang-undang Persaingan Usaha merupakan salah satu wujud intervensi pemerintah dalam usaha menciptakan demokrasi ekonomi.

Penjabaran lebih lanjut dari asas demokrasi ekonomi pada Undang-undang No.5/1999 dapat dilihat pada Pasal 3 Undang-undang No.5/1999, yang memuat mengenai Tujuan pembentukan dari Undang-undang No.5/1999, yaitu: 1. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efesiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

11

2. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; 3. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan 4. terciptanya efektivitas dan efesiensi dalam kegiatan usaha.

Prinsip-prinsip Umum dalam Hukum Persaingan Usaha

1. Rule of Reason dan Per se Secara garis besar perumusan pasal-pasal yang terdapat di dalam Undang-undang No.5/1999 adalah menggunakan perumusan Rule of Reason dan Per Se. Yang dimaksudkan dengan Rule of

Reason adalah untuk menyatakan bahwa suatu

perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan, penegak hukum harus mempertimbangkan keadaan disekitar kasus untuk menentukan apakah perbuatan itu membatasi persaingan secara tidak patut, dan untuk itu disyaratkan bahwa penegak hukum harus dapat menunjukan akibat-akibat anti persaingan, atau kerugian yang secara nyata terhadap persaingan.29 Dengan demikian dapat dikatakan, Rule of Reason lebih memfokuskan kepada melihat akibat yang dimunculkan dari suatu perbuatan barulah pasal yang menggunakan rumusan secara Rule of Reason ini dapat diterapkan. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Merupakan salah satu pasal yang menggunakan perumusan Rule of Reason.

29

Daniel V., et.all., comprehensive business law: principles and cases., Kent publishing Company., 1987., hal 1042. yang dikutif dari hukum persaingan usaha elips

12

Sedangkan yang dimaksud dengan Per Se adalah rumusan pasal mengenai perbuatan tertentu yang dilarang untuk dilakukan, dimana perbuatan tersebut sudah dapat terbukti dilakukan dan dapat di proses secara hukum tanpa harus menunjukan akibat-akibat atau kerugian yang secara nyata terhadap persaingan. 30

Pasal 6 Undang-undang No.5/1999 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjianyang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang sama.” Merupakan salah satu pasal yang mempergunakan perumusan Per Se. Sehingga ketika pelaku usaha melakukan perbuatan yang dilarang oleh pasal tersebut, pelaku usaha tersebut sudah dapat diproses secara hukum tampa harus menunggu adanya bukti-bukti bahwa perbuatan yang dilakukannya tersebut tanpa harus menunjukan akibat-akibat atau kerugian yang secara nyata terhadap persaingan.

2.

Pendekatan Struktur Pasar dan Tingkah Laku

Pendekatan dalam penyusunan Undang-undang Persaingan Usaha secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pendekatan struktur pasar dan pendekatan perilaku. Dalam

pendekatan struktur penguasaan pasar oleh pelaku usaha menjadi bahan

analisis utama apakah pelaku usaha melakukan pelanggaran hukum persaingan dengan menilai struktur pasar setiap produk oleh suatu pelaku usaha. Sedangkan pendekatan perilaku adalah pelaku usaha tidak dilarang menjadi “besar” sepanjang posisinya tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

3.

Definisi

Dalam

penyusunan

suatu

peraturan

perundangan,

perumusan

suatu

defenisi

merupakan suatu hal yang sangat penting, karena setiap kata terkadang memiliki banyak defenisi. Terlebih penyusunan peraturan perundangan yang sebagian besar ketentuannya merupakan hasil adopsi dari ketentuan hukum asing, dimana kebanyakan istilah-istilah yang ada menggunakan bahasa asing, yang terkadang untuk pengaturan tertentu dalam bahasa asing sulit untuk dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Dan hal ini sangat dirasakan dalam penyusunan pengaturan persaingan usaha dimana sebagian ketentuannya mengadopsi dari ketentuan hukum asing. 30

ibid

13

Meskipun harus diakui bahwa ketidak jelasan akan selalu ada pada setiap peraturan perundangan, namun dengan berusaha memberikan defenisi yang jelas dan tidak mempunyai arti ganda akan memperkecil kemungkinan perbedaan pendapat yang tidak perlu. Selain itu harus dihindarkan sedemikian rupa untuk menunjuk arti suatu kata pada rumusan ketentuan lain. Sebagaimana kit a ketahui, bahwa para penegak hukum, apalagi masyarakat tidak menguasai semua bidang, mereka hanya menguasai satu atau lebih bidang tertentu, namun mereka harus memutus atau menangani perkara yang dihadapinya. Dengan perumusan yang jelas dan mudah dimengerti akan memudahkan penerapan hukum secara efektif.

31

Mengenai penempatan definisi ini dalam suatu perundang-undangan ada beberapa kemungkinan. Pertama ditempatkan dibagian ketentuan umum yaitu pada bagian awal dari suatu ketentuan. Kemungkinan kedua diletakkan dibagian belakang dari suatu peraturan dan kemungkinan ketiga diletakkan sebagai satu kesatuan didalam pasalpasal mengenai materi dari peraturan tersebut. Dimana diletakkan ketentuan definisi ini tergantung pada pertimbangan para pembuat undang-undang, dimana tempat yang dianggap efektif untuk menuntun masyarakat termasuk para penegak hukum dapat memahami arti dari suatu ketentuan.32

Di dalam Model Law on Competition yang disusun UNCTAD ditetapkan beberapa definisi istilah-istilah yang berkaitan langsung dengan hukum persaingan usaha seperti definisi (pengertian) pelaku usaha, posisi dominan, merger dan akuisisi dan pasar bersangkutan (relevant market). Dahulu definisi istilah-istilah tersebut hanya ditemukan di literature-literatur. Tetapi di dalam perkembangannya pengertian-pengertian istilah tersebut dapat banyak ditemukan di dalam hukum persaingan usaha beberapa negara, paling tidak dijelaskan di dalam suatu pedoman tertentu, misalnya di dalam pedoman merger dan akuisisi tertentu, ditetapkan definisi pasar bersangkutan (relevant market). 33

31

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, “Draft Best Practice Undang-undang No.5/1999”, Tahun 2003. hal 11 32 Ibid.hal 12. 33 Ibid.

14

Demikian juga di dalam UU No. 5/1999 ditetapkan definisi istilah-istilah

hukum

persaingan usaha di dalam ketentuan umum pasal 1. Di dalam pasal 1 tersebut terdapat 17 (tujuh belas) istilah yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha. Apabila kita teliti, maka terdapat beberapa definisi yang tidak jelas dan saling bertentangan, antara lain: 1. Penggunaan beberapa istilah yang hampir sama, namun tidak jelas apa artinya: seperti kata pelaku usaha, pelaku usaha lain, pelaku usaha pesaing dan pihak lain, seperti terdapat dalam Pasal 4, 5, 15 ayat 2. 2. Pengetian Monopoli Pasal 1 angka 1: kurang jelas, karena monopoli berhubungan dengan posisi dominan dan besarnya pangsa pasar yaitu satu pelaku usaha menguasai lebih dari 50 %( monopoli ) dan dua atau lebih pelaku usaha menguasai lebih dari 75 % ( oligopoli ). 3. Pasal 1 angka 5 merumuskan pelaku usaha sebagai setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi, dengan rumusan seperti ini, dianggap belum memasukan mengenai subyek hukum badan usaha milik negara, sehingga apabila badan usaha mulik negara melakukan pelanggaran terhadap UU Persaingan usaha dapat tidak terkena hukuman. 4. Pasal 1 angka 6 merumuskan mengenai persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan secara tidak jujur, padahal tidak ada pasal yang merumuskan hal tersebut pada bagian substansi. 5. Pasal 1 angka 7; yang merumuskan perjanjian sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis, mungkin dapat diperbaiki menjadi perjanjian adalah suatu bentuk perbuatan dari dua atau lebih pelaku usaha untuk saling mengikatkan diri dengan nama apapun baik tertulis maupun tidak tertulis. 6. Pasal 1 angka 8; persekongkolan tidak harus mempunyai tujuan menguasai pasar bersangkutan. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 22 yang hanya mengatur mengenai tender.

15

7. Pasal 1 angka 14: harga pasar didefenisikan sebagai harga yang dibayar dalam transaksi barang dan/atau jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan, padahal kesepakatan harga dilarang oleh undang-undang. 8. Perlu ditambahkan beberapa definisi, misalnya apa yang dimaksud dengan penelitian dalam Pasal 36 b, kata keberatan dalam Pasal 44 ayat 2, dan arti perbuatan dalam Pasal 50 a serta peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 50 a. 9. Pasal 2 perlu ditegaskan apa yang dimaksud dengan kepentingan umum. 10. Pasal 3; Praktek monopoli tidak selalu jahat, karenanya perlu ditambahkan bentuk dan praktek monopoli yang dilarang. 11. Pasal 4 tidak jelas apa yang dimaksud dengan pelaku usaha lain; 12. Pasl 5 juga tidak jelas apa yang dimaksud dengan pelaku usaha pesaingnya. 13. Pasal 6 tidak jelas dengan siapa pelaku usaha mengadakan perjanjian. 14. Pasal 11 Pengertian kartel terlampau sempit karena hanya menyangkut perjanjian untuk menguasai jumlah produksi atau pemasaran barang atau jasa. 15. Pasal 15 tidak jelas apa yang dimaksud dengan pihak lain, 16. Pasal 22; harus diperjelas siapa yang dimaksud dengan pihak lain. 34

Dari ketujuh belas definisi tersebut diatas, definisi persaingan usaha tidak sehat perlu mendapatkan perhatian utama, karena definisi tersebut menjelaskan bagaimana suatu pasar dapat dinyatakan tidak sehat, dan sekaligus definisi tersebut menjelaskan tujuan UU No. 5/1999 seperti disebutkan di atas sebelumnya. Sementara definisi persaingan usaha tidak sehat tidak kita temukan di berbagai hukum persaingan usaha negara lain, bahkan di dalam literature pun tidak ditemukan. Yang dapat ditemukan adalah pengertian persaingan usaha, itupun para ahli hukum kartel tidak ada kesatuan pendapat mengenai definisi tersebut. Karena jika disepekati pembuatan suatu definisi persaingan usaha akan mempersulit penerapan hukum persaingan usaha, karena berbicara mengenai persaingan usaha mempun yai fenomena yang beragam. Fenomena tersebut berinteraksi antara struktur pasar, perilaku pasar dan menjadi hasil pasar. Di dalam proses interaksi tersebut terdapat kebebasan. Kebebasan merupakan syarat utama bagi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usahanya, baik untuk masuk ke pasar atau mengakses suatu barang atau jasa tertentu. Oleh karena itu, apabila 34

Ibid.

16

kebebasan pelaku usaha tersebut terhambat, itu berarti pasar terdistorsi. Terdistorsinya suatu pasar disebabkan oleh banyak hal. Oleh karena sulitnya menetapkan suatu definisi persaingan usaha, maka ditetapkan ketentuan-ketentuan normatif di dalam hukum persaingan usaha untuk membatasi perilaku atau tindakan pelaku usaha yang mendistorsi pasar tersebut. Jadi, secara sederhana suatu pasar dapat dinyatakan tidak sehat, apabila pasar bersangkutan terdistorsi. 35

Pasal 1 angka 6 menetapkan, bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Dari ketentuan pasal 1 no. 6 tersebut dapat

disimpulkan, bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah hubungan antara pelaku usaha yang satu dengan yang lain, yang dilakukan secara tidak jujur, melawan hukum atau dengan menghambat persaingan usaha.

Hanya saja definisi ketentuan pasal 1

angka 6 mencampur adukkan persaingan yang tidak sehat yang dilakukan secara tidak jujur dengan melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Seperti sudah disebut di atas, sementara ketentuan persaingan usaha yang dilakukan dengan cara tidak jujur tidak diatur di dalam UU Antimonopoli. 36

Perbuatan tidak jujur adalah suatu tindakan penipuan yang subjektif, yang dapat dilakukan oleh suatu pelaku usaha dalam bentuk apa saja, mungkin dalam proses produksi suatu barang, atau dalam memasarkan barang tertentu. Misalnya kualitas barang dan mereknya tidak sesuai dengan harganya, kualitas barang tidak sesuai dengan yang diiklankan, atau harga barang yang dibayar tidak sesuai dengan harga yang tertera pada barang tersebut. Oleh karena itu suatu tindakan penipuan yang dilakukan secara tidak jujur, yang pembuktiannya mensyaratkan pembuktian yang subjektif. Akibat dari perbuatan tersebut dirasakan langsung oleh konsumen, dan secara tidak langsung oleh pesaingnya. Hal-hal seperti ini diatur di dalam pasal 382 bis KUHP, pasal 1365 KUHPerdata dan UU No. 8/1999 tentang perlindungan konsumen. Jadi, hal

35

Ibid. hal.13.

36

Ibid. hal.14.

17

ini tidak berhubungan dengan persaingan usaha antara pelaku usaha yang sat u dengan pelaku usaha pesaingnya.37

Persaingan usaha yang melawan hukum adalah segala kegiatan usaha yang melanggar larangan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan larangan undang-undang adalah yang melarang perilaku tertentu dan secara imperatif. Larangan imperatif biasanya diikuti dengan kata-kata „dilarang atau tidak boleh“ di dalam suatu ketentuan perundangundangan. Contohnya ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, jika ketentuan-ketentuan tersebut dilanggar langsung dijatuhkan hukuman tertentu. Misalnya seseorang dijatuhi hukuman penjara lima tahun, karena mencuri barang milik orang lain.38

Di dalam ketentuan UU Antimonopoli ada juga ketentuan-ketentuan yang menggunakan kata-kata „dilarang“ tetapi ini tidak bararti suatu

pelaku usaha otomatis dijatuhkan

hukuman, - perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha yang langsung dijatuhi hukuman atau denda adalah yang melanggar ketentuan-ketentuan yang bersifat per se. Misalnya kalau pelaku usaha dengan pesaingnya mengadakan perjanjian harga (price fixing) atas suatu barang tertentu. Selain itu ada ketentuan UU Antimonopoli dalam penerapananya dengan pendekatan rule of reason, yang penerapannya mempertimbangkan dari aspek keuntungan ekonomisnya baik bagi pelaku usaha maupun bagi masyarakat. Jadi, ketentuan UU Antimonopoli lebih banyak mengatur hubungan perilaku

antara pelaku usaha dalam menjalankan usahanya di

wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian definisi persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan dengan tidak jujur sebaiknya dihilangkan saja.

39

Sehingga defenisi dari

persaingan usaha tidak sehat menjadi persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang an atau jasa yang dilakukan dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan.

37

Ibid. Ibid 39 Ibid. 38

18

Perjanjian yang Dilarang Pada bagian ini secara khusus akan dibahas mengenai pengaturan perjanjian yang dilarang menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-undang No.5/1999, perjanjian didefinisikan sebagai: “Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.” Sedangkan menurut Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Perjanjian hanya didefinisikan : “Suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.”

Dengan adanya definisi perjanjian yang dirumuskan oleh Undang -undang No.5/1999, dapat diartikan bahwa perjanjian yang tidak tertulispun dapat diakui atau digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, dimana sebelumnya perjanjian tidak tertulis umumnya sulit untuk diterima sebagai alat bukti di pengadilan, karena biasanya pengadilan hanya mau menerima suatu perjanjian sebagai alat bukti jika perjanjian tersebut dibuat secara tertulis saja. Seandainya pengadilan hanya mau menerima perjanjian tertulis saja sebagai alat bukti yang dapat dipergunakan di pengadilan, mungkin perkara-perkara pelanggaran terhadap Undang-Undang Persaingan Usaha sulit untuk ditindak karena biasanya sangat sulit untuk menemukan bukti tertulis mengenai suatu perjanjian yang dikategorikan melanggar Undang-Undang Persaingan Usaha. Undang-undang Nomor 5/1999 mengatur beberapa perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu: 1) Oligopoli (Pasal 4 UU No.5/1999); 2) Penetapan harga a.

price fixing (Pasal 5 UU No.5/1999);

b.

Diskriminasi harga / price discrimination (Pasal 6 UU No.5/1999);

c.

Predatory Pricing (Pasal 7 UU No.5/1999);

d.

Resale Price Maintenance (Pasal 8 UU No.5/1999);

3) Pembagian wilayah / market division (Pasal 9 UU No.5/1999); 4) Pemboikotan (Pasal 10 UU No.5/1999);

19

5) Kartel (Pasal 11 UU No.5/1999); 6) Trust (Pasal 12 UU No.5/1999); 7) Oligopsoni (Pasal 13 UU No.5/1999) ; 8) Integrasi vertikal (Pasal 14 UU No.5/1999); 9) Perjanjian Tertutup a.

exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1) UU No.5/1999);

b.

tying agreement (Pasal 15 ayat (2) UU No.5/1999);

c.

vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3) UU No.5/1999);

10) Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri. 1)

Oligopoli

Oligopoli menurut ilmu ekonomi merupakan salah satu bentuk struktur pasar, dimana di dalam pasar tersebut hanya terdiri dari sedikit perusahaan. Sedikitnya jumlah perusahaan yang beroperasi di pasar disebabkan oleh adanya barrier to entry yang mampu menghalangi pemain baru untuk masuk ke dalam pasar. Sedikitnya jumlah pemain ini juga menyebabkan adanya saling ketergantungan (mutual interdependence) antar pelaku usaha dan faktor inilah yang membedakan struktur pasar oligopoli deng an struktur pasar yang lain. Ada beberapa model strategi ketergantungan antar pelaku usaha oligopoli yaitu kolusi (collusion), kepemimpinan harga (price leadership), dan kurva permintaan patah (kinked demand curve).

Dalam pasar yang berstruktur oligopoli sangat mungkin terjadi perusahaan-perusahaan yang ada akan saling mempengaruhi untuk menentukan harga pasar, yang kemudian dapat mempengaruhi perusahaan lainnya, baik yang sudah ada ( existing firms) maupun yang masih diluar pasar (potential firms). Praktek oligopoli umumnya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk kedalam pasar, dan juga perusahaan-perusahaan melakukan praktek oligopoli sebagai salah satu usaha untuk menikmati laba super normal di bawah tingkat maksimum dengan menetapkan harga jual terbatas ( limiting prices), sehingga menyebabkan kompetisi harga diantara pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli menjadi tidak ada.

20

Apabila perusahaan yang dominan di dalam pasar oligopoli melakukan kolusi maka mereka akan bekerja seperti satu perusahaan yang bergabung untuk memaksimalkan laba dengan cara berlaku secara kolektif seperti layaknya perusahaan monopoli. Tetapi kemungkinan gabungan perusahaan yang melakukan kolusi akan mengalami kesulitan tetap ada, karena masing-masing perusahaan memiliki struktur biaya yang berbeda, sedangkan mereka harus menetapkan tingkat harga yang sama. Selain itu, semakin banyak perusahaan yang masuk dalam kolusi maka kemampuan untuk mencapai kesepakatan akan semakin sulit, dan masing-masing anggota akan memiliki kecenderungan untuk berlaku curang. Cheating atau kecurangan yang dilakukan oleh anggota kartel akan semakin tinggi apabila laba yang dijanjikan oleh kegiatan kolusi lebih kecil dibandingkan laba yang akan mereka dapatkan, misalnya dengan menjual di bawah harga kesepakatan sehingga pasar mereka akan semakin luas.

Hal tersebut di atas menyebabkan pembahasan mengenai struktur pasar oligopoli merupakan salah satu pembahasan yang cukup penting dalam hukum persaingan usaha, karena sebagian besar pelaku usaha yang memiliki kedudukan sebagai penguasa di dalam pasar tersebut akan dapat memanfaatkan posisi dominannya untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal seperti layaknya pelaku usaha yang memiliki kedudukan monopoli.

Struktur pasar oligopoli sebenarnya memiliki kesamaan dengan struktur pasar monopoli dalam hal kurva permintaan dan kurva penerimaan marjinalnya yang berslope negatif. Hanya saja jika dalam pasar monopoli hanya ada satu perusahaan, sedangkan dalam pasar oligopoli ada beberapa pelaku pasar yang memiliki posisi yang dominan. Misalnya dalam UU No. 5 Tahun 1999, disebutkan bahwa pasar oligopoli adalah pasar yang dua atau tiga pelakunya memiliki share 75% atau lebih. Beberapa perusahaan tersebut dipandang memiliki kemampuan untuk mengendalikan harga atau memiliki market power. Salah satu cara untuk dapat mengendalikan harga adalah melalui kebijakan diferensiasi produk dimana perusahaan menciptakan produk yang berbeda dengan produk kompetitornya sehingga struktur permintaan produk menjadi lebih inelastis.

Dalam kenyataannya, struktur pasar oligopoli umumnya terbentuk pada industri-industri yang memiliki capital intensive yang tinggi, seperti industri mobil, semen, kertas dan

21

peralatan mesin, dimana di dalam proses produksinya baru akan tercapai tingkat efisiensi (biaya rata-rata minimum) jika diproduksi dalam skala besar; kekuatan pasar pelaku usaha di dalam pasar oligopoli kurang lebih sebanding; dan barang atau jasa yang ditawarkan dalam pasar oligopoli barang atau jasa yang homogen. Namun tidak tertutup kemungkinan dalam pasar yang heterogenpun dapat timbul oligopoli.

Dalam UU No. 5/1999, Oligopoli dikelompokkan ke dalam kategori perjanjian yang dilarang, padahal umumnya oligopoli terjadi melalui keterkaitan re aksi, khususnya pada barang-barang yang bersifat homogen atau identik. Apabila oligopoli dimasukkan ke dalam kelompok perjanjian maka hal ini identik dengan kartel, sehingga ketentuan yang mengatur mengenai oligopoli ini akan lebih baik jika digabungkan saja dengan pengaturan mengenai kartel.

Pasal 4 ayat (2) UU No.5/1999 juga memberikan petunjuk bahwa ketentuan tersebut hanya memperhatikan oligopoli sempit yang hanya melibatkan sejumlah kecil pesaing yang mempunyai posisi yang kuat di pasar, dalam hal ini 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai lebih dari 75% pangsa pasar untuk satu jenis barang atau jasa tertentu. Padahal menurut pengertian umum, jumlah pelaku usaha dalam praktek oligopoli sebenarnya dapat lebih banyak. Namun memang semakin besar jumlah pelaku usaha, terkadang semakin berkurang keterkaitan reaksi pelaku usaha di dalam pasar yang oligopoli.

Kemudian, besaran pasar yang ditentukan pada Pasal 4 ayat (2) UU No.5/1999 yang merupakan ukuran struktural, dalam prakteknya dapat menyulitkan dalam menindak praktek oligopoli, karena adakalanya penguasaan pasar di bawah 50% dapat mengatur pelaku usaha lainnya di dalam pasar bersangkutan, sehingga sebaiknya Pasal 4 ayat (2) UU No.5/1999 dihilangkan saja.

2) Penetapan Harga Perjanjian penetapan harga yang dilarang oleh Undang-undang No.5/1999 diatur di dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 Undang-undang No.5/1999, yaitu: 1. Perjanjian penetapan harga / Price Fixing Agreement; 2. Diskriminasi harga / Price Discrimination;

22

3. Harga pemangsa / Predatory Pricing; 4. Resale Price Maintenance.

ad. 1 Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing Agreement) Perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) merupakan salah satu strategi yang dilakukan di antara pelaku usaha yang tujuannya adalah untuk menghasilkan laba yang setingi-tingginya, dimana dengan adanya penetapan harga yang dilakukan di antara pelaku usaha (produsen atau penjual) telah meniadakan persaingan dari segi harga terhadap produk yang mereka jual atau pasarkan, yang kemudian dapat berakibat kepada consumer’s surplus yang dimiliki oleh konsumen dipaksa beralih ke produsen atau penjual.

Dengan adanya perjanjian penetapan harga, pelaku -pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian penetapan harga kemungkinan dapat mendiktekan at au memaksakan harga yang diinginkan secara sepihak kepada konsumen, dimana biasanya harga yang didiktekan kepada konsumen merupakan harga yang berada di atas kewajaran. Bila hal tersebut dilakukan oleh setiap pelaku usaha yang berada di dalam pasar yang bersangkutan, hal ini dapat membuat konsumen tidak memiliki alternatif yang lain kecuali harus menerima harga yang ditawarkan oleh pelaku usaha yang telah melakukan perjanjian penetapan harga tersebut.

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 berbunyi bahwa: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.” Apabila dilihat dari rumusnya, pasal yang mengatur mengenai price fixing ini dirumuskan secara Per Se, sehingga penegak hukum dapat langsung menerapkan pasal ini kepada pelaku usaha yang melakukan perjanjian price fixing tanpa harus menunggu munculnya akibat dari perbuatan tersebut.

Tetapi jika dibandingkan dengan Model Law on Competition yang disusun oleh UNCTAD terlihat bahwa perumusan yang dilakukan oleh Pasal 5 ayat (1) Undang -Undang No.5/1999 berbeda dengan perumusan yang dilakukan oleh UNCTAD, dimana didalam Model Law perjanjian penetapan harga ini tidak hanya mengatur dari sisi penjual atau

23

pemasok tetapi juga dari sisi konsumen. 40 Meskipun pengaturan perjanjian penetapan harga yang dilakukan konsumen juga di atur dalam Undang-undang No.5/1999 meskipun dalam pasal yang berbeda .

Sebenarnya apabila mengikuti ketentuan yang ada dalam Model Law UNCTAD, khususnya pengaturan mengenai penetapan harga ini, dapat membuat pasal-pasal yang ada dalam undang-undang persaingan kita tidak terlalu memiliki banyak pasal dan lebih efesien.

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 sebenarnya kurang memberikan penjelasan mengenai seperti apa penetapan harga yang dimaksudkan oleh undang-undang, apakah penetapan harga maksimum atau penetapan harga minimum? Atau termasuk syarat-syarat

pembayaran

yang

lain?

Karena

yang

biasanya

yang

menjadi

permasalahan dalam praktek usaha sehari-hari adalah penetapan harga minimum. Karena terkadang penetapan harga maksimum, yang biasanya sering dilakukan pemerintah, tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, bukan bertujuan untuk menghindari persaingan diantara pelaku usaha.

Kemudian bagaimana seandainya apabila dalam proses tender terjadi perjanjian penetapan harga yang dilakukan oleh para peserta tender, apakah Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 dapat dikenakan untuk praktek tersebut, karena di dalam undang-undang No.5/1999 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 Undang-undang No.5/1999 ketentuan yang mengatur mengenai tender hanya mengatur mengenai penentuan pemenang tender, tidak mengatur mengani perjanjian penetapan harga dalam proses tender.

Lebih lanjut menurut Pasal 5 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 sebenarnya tidak semua price fixing agreement dilarang, untuk suatu perjanjian price fixing yang dibuat dalam suatu usaha patungan dan yang didasarkan kepada undang-undang yang berlaku, price fixing tidak dilarang.

40

lihat penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf (a) Model Law on Competition UNCTAD.

24

Mengenai pengecualian pemberlakuan ketentuan penetapan harga terhadap suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku tidak menjadi permasalahan karena sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa ketentuan dari suatu undangundang dapat mengecualikan pemberlakuan undang-undang persaingan usaha, tetapi yang jadi permsalahan adalah pengecualian pemberlakuan ketentuan mengenai penetapan harga terhadap suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan.

Di dalam ketentuan yang ada pada beberapa negara seperti ketentuan pada Masyarakat Economi Eropa (The EC Treaty) memang dimungkinkan untuk mengijinkan praktek penetapan harga dilakukan oleh suatu usaha patungan ( joint venture) asalkan berperan besar mendorong perkembangan ekonomi dan teknologi. Dan apabila peruhsaan joint venture tersebut tidak berperan besar dalam mendorong perkembangan ekonomi dan teknologi maka perusahaan joint venture tersebut mendapatkan perlakuan yang sama dengan penggabungan usaha biasa.

Apakah maksud pengecualian pemberlakuan perjanjian penetapan harga terhadap suatu usaha patungan dalam Undang -undang No.5/1999 senada dengan pengaturan yang diberikan pada The EC Treaty, dalam penjelasan Undang-undang tidak sedikitpun diberikan penjelasan mengenai hal tersebut. Sehingga apabila ketentuan ini dipertahankan dan tanpa ada penjelasan yang cukup jelas ketentuan ini dapat menghambat penegakkan undang-undang persaingan usaha.

Mengenai perumusan aturan price fixing di dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.5/1999 yang dirumuskan secara Per se dapat dikatakan sudah tepat, karena memang hampir sebagian besar Undang-Undang Persaingan Usaha di beberapa negara merumuskan price fixing secara Per se, namun walaupun begitu terkadang hak im dalam menggunakan ketentuan ini pun menerapkan secara rule of reason.

ad. 2 Perjanjian diskriminasi harga (price discrimantion agreement) Perjanjian diskriminasi harga adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya dimana untuk suatu produk yang sama dijual kepada setiap konsumen dengan harga yang berbeda-beda. Dimana tujuan yang ingin dicapai dari perjanjian ini sebenarnya juga sama dengan price fixing yaitu mempunyai motif untuk

25

meningkatkan laba pelaku usaha (produsen atau penjual) setinggi-tingginya dengan mengeksploitasi surplus konsumen.

Diskriminasi harga ini biasanya dapat terjadi karena produsen atau penjual telah dapat memastikan bahwa setiap konsumen yang ada mau untuk membayar dengan harga yang berbeda terhadap produk yang sama, misalnya seperti harga karcis bioskop Grup 21 (Twenty One) untuk film yang sama dan pada waktu yang sama di Cilandak Town Square sekitar Rp 35.000,00 sedangkan harga karcis bioskop Grup 21 juga di Plaza Indonesia Rp 60.000,00. Hal di atas dapat terjadi karena si penjual, dalam hal ini pengelola bioskop telah dapat memastikan bahwa konsumen yang akan menonton bioskop di Plaza Indonesia mau membayar dengan harga yang lebih mahal dengan dibandingkan apabila menonton di bioskop Cilandak Town Square.

Dasar diskriminasi harga yang banyak diterapkan oleh pelaku usaha adalah dengan cara melihat kepada siapa konsumennya (elastisitas permintaannya). Permintaan yang lebih elastis akan dibebankan harga yang lebih rendah dibandingkan permintaan yang inelastis, contohnya untuk barang-barang yang sama, bila di jual di Plaza Indonesia akan lebih mahal dibandingkan yang dijual di Plaza Depok, karena permintaan barang yang dijual di Plaza Indonesia lebih inelastis dibandingkan permintaan barang yang dijual di Plaza Depok. Atau dengan kata lain, diskriminasi harga dapat terjadi bila sifat permintaan dan elastisitas permintaan di masing-masing pasar haruslah sangat berbeda.

Diskriminasi harga juga dapat terjadi bila: (1) barang tidak dapat dipindahkan dari s atu pasar ke pasar lain, (2) sifat barang atau jasa tersebut memungkinkan dilakukan pembedaan harga, (3) praktek diskriminasi harga tidak memakan ongkos yang melebihi keuntungan dari kebijkan tersebut, (4) pelaku usaha dapat mengeksploitasi beberapa sikap tidak rasional konsumen.

Pasal 6 Undang-Undang No.5/1999 melarang setiap perjanjian diskriminasi harga tanpa memperhatikan tingkatan yang ada pada diskriminasi harga, dimana bunyi dari pasal tersebut antara lain: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan

26

pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.”

Dengan adanya praktek yang seperti disebutkan Pasal 6 Undang-undang No.5/1999 dapat menyebabkan pembeli tertentu (dimana pembeli tersebut merupakan pelaku usaha juga) yang terkena kewajiban harus membayar dengan harga yang lebih mahal dibandingkan pembeli lain (yang juga merupakan pelaku usaha) yang sama-sama berada dalam pasar yang sama, dapat menyebabkan pembeli yang mengalami diskrimisasi tersebut tersingkir dari pasar. Memasukkannya ketentuan mengenai diskriminasi harga ke dalam kelompok perjanjian sulit dicarikan dasar argumentasinya, bahkan dalam praktek pun ketentuan ini jarang terjadi, karena biasanya tindakan diskriminasi harga merupakan tindakan yang sepihak dari seorang pelaku usaha (penjual), dan sangat jarang dilakukan berdasarkan atau melalui suatu perjanjian. dan hal ini dapat menjadi kendala bagi penegak hukum untuk menegakkan ketentuan diskriminasi harga ini karena sebagian besar praktek diskriminasi harga yang terjadi tidak berdasarkan perjanjian. Jadi lebih mudah apabila ketentuan ini tidak dimasukan dalam kelompok perjanjian yang dilarang.

Bila melihat kepada rumusan Pasal 6 Undang-Undang No.5/1999, ketentuan yang mengatur mengenai diskriminasi harga ini, diatur secara Per Se, sehingga berakibat pelaku usaha yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh Pasal 6 tersebut dapat dijatuhi sanksi hukum oleh penegak hukum tanpa terlebih dahulu melihat bahwa yang dilakukan tersebut menimbulkan akibat tertentu atau tidak. Dalam praktek, Pasal 6 UU No.5/1999 tidak mudah untuk dibuktikan, karena menurut teori, diskriminasi harga selalu dimungkinkan jika ada perbedaan volume pembelian, waktu, dan jarak antara penjual dengan pembeli. Dan di dalam pasal tersebut juga tidak di jelaskan dengan siapa pelaku usaha membuat perjanjian, apakah dengan sesama pelaku usaha ataukah dengan pembeli?.

ad. 3 Harga Pemangsa / Predatory Pricing Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah, yang tujuan utamanya untuk

27

menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama, segera setelah berhasil mengusir pelaku usaha pesaing dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan keuntungan yang mungkin didapatkan.

Literatur ekonomi mengenai alasan dan keampuhan strategi predatory pricing masih menjadi kontroversi. Banyak ahli ekonomi yang mempertanyakan strategi predatory pricing atas dasar bahwa: itu bisa sama mahalnya bagi si pelaku usaha yang melakukan predatory pricing dan bagi korbannya; sasaran predatory pricing tidak akan mudah diusir, dengan asumsi pasar relatif efisien; dan masuknya pendatang baru atau masuknya kembali principles dengan tidak adanya rintangan akan mengurangi kesempatan pemangsa untuk mendapatkan kembali kerugian yang terjadi selama pelaku usaha tersebut melakukan praktek predatory pricing.

Untuk sementara waktu atau jangka pendek praktek predatory pricing memang menguntungkan bagi konsumen karena harga produk yang dijual oleh pelaku usaha menjadi jauh lebih murah, tetapi belum tentu di masa depan, ketika pelaku usaha sukses dalam menjalankan strategi predatory pricing dan menyebabkan dia tidak memiliki pesaing yang berarti lagi, pelaku usaha tersebut akan menaikan harga kembali bahkan mungkin setinggi-tingginya untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya agar pengorbanan yang pernah dikeluarkan selama pelaku usaha tersebut melakukan praktek predatory pricing terbayarkan.

Menurut R. Shyam Khemani dalam a framework for the design and implementation of competition law and policy yang diterbitkan oleh World Bank dan OECD sebenarnya Predatory pricing biasanya dilarang bukan dikarenakan menetapkan harga yang terlalu rendah terhadap produk yang dijualnya sekarang, tetapi dikarenakan di masa yang akan datang pelaku usaha akan berusaha untuk mengurangi produksinya dan menaikan harga. Oleh karena itu bila pelaku usaha yang melakukan praktek predatory pricing di masa depan dia tidak akan mengurangi produksinya dan juga tidak menaikan harga, mungkin predatory pricing tidak dilarang.

28

Praktek predatory pricing sebagai salah satu strategi yang diterapkan oleh pelaku usaha untuk mengusir pesaing-pesaingnya dari pasar yang sama sebenarnya sangat sulit untuk dilakukan pada ekonomi pasar yang sehat ( healty market economy), dimana tidak ada hambatan untuk masuk (entry barrier) ke pasar bagi pelaku usaha, sehingga pada awalnya (jika berhasil) predatory pricing memang akan mengusir pelaku usaha pesaingnya dari pasar, namun ketika si pelaku usaha yang menjalankan strategi predatory pricing-nya berhenti dan kemudian menaikan harga lagi untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, maka pada saat itulah pelaku-pelaku usaha pesaingnya akan berusaha masuk kembali ke pasar. jadi kesimpulannya si pelaku usaha yang melakukan predatory pricing tidak akan mempunyai cukup waktu untuk mengembalikan pengorbannannya selama dia melakukan praktek predatory pricing tersebut, karena pelaku usaha pesaingnya mungkin sudah kembali ke pasar dan bila si pelaku usaha tersebut tetap ongtot terus menaikan harga, konsekwensi yang mungkin didapatkan adalah produk dia tidak akan laku di pasar dan akan menderita kerugian yang lebih besar.

Namun terkadang bagi pelaku usaha, terutama yang baru masuk ke dalam pasar dan ingin mendapatkan tempat di pasar, dan kemudian merebut simpati konsumen agar konsumen mau mencoba produknya, pelaku usaha biasanya mengenakan harga yang sangat rendah untuk produknya tersebut, bahkan terkadang untuk sementara waktu mereka rela rugi agar konsumen mau mencoba produk mereka. Sebagai contoh warnet (warung internet) M-WEB di kampus Universitas Indonesia ketika pertama kali berdiri, mereka mengratiskan biaya sewa internet agar konsumen mau mencoba warnet mereka, sehingga sempat mengundang kontroversi terutama dari pengelol a warnet di sekitar kampus UI yang merasa dirugikan atas strategi usaha yang dilakukan oleh warnet M-WEB tersebut. Untunglah M-WEB menerapkan strategi dagangnya tidak terlalu lama (ketika itu hanya seminggu) sehingga pengaruhnya tidak terlalu besar bagi warnet-warnet yang terdapat disekitar lingkungan kampus UI.

Pasal 7 Undang-undang No.5/1999 melarang sesama pelaku usaha untuk membuat perjanjian di antara pelaku usaha untuk menetapkan harga di bawah harga pasar (predatory pricing) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Namun di dalam pasal tersebut defenisi harga pasar akan sangat kabur bila diterapkan,

29

karena harga pasar bukanlah merupakan sesuatu yang pasti dalam nilai, juga bervariasi dalam waktu yang berbeda.

Kemudian jika pelaku usaha melakukan perjanjian penetapan harga, dalam hal ini menetapkan harga di bawah harga pasar, Pasal 5 sudah menegaskan hal tersebut adalah per se illegal. Keberadaan Pasal 7 UU No.5/1999 dapat menimbulkan interprestasi yang berbeda dengan Pasal 5 UU No.5/1999, dimana keduanya mengandung substansi penetapan harga, Jadi untuk menghindari ketumpang-tindihan, dimana substansi dari Pasal 7 sebenarnya sudah diatur oleh Pasal 5, maka lebih baik substansi pengaturan dari Pasal 7 UU No.5/1999 digabungkan saja dengan pengaturan yang ada pada pasal 5.

Sedangkan apabila Pasal 7 Undang-undang No.5/1999 dihubungkan dengan ketentuan yang ada pada Pasal 20 Undang-undang No.5/1999 adalah Pasal 7 mengatur mengenai predatory pricing yang didasarkan kepada perjanjian sedangkan Pasal 20 mengatur mengenai predatory pricing yang didasarkan kepada tindakan sepihak dari pelaku usaha.

ad. 4 Resale Price Maintenance Pasal 8 Undang-undang No.5/1999 menyatakan bahwa: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Prof. Lawrence Anthony Sullivan dalam bukunya Handbook of the Law Antitrust menyebutkan bahwa dengan adanya perjanjian di antara pelaku usaha, umumnya perusahaan manufaktur dengan para perusahaan penyalurnya, yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang diperjanjikan (resale price maintenance), sehingga membuat persaingan di tingkat perusahaan penyalur menjadi hilang.

30

Adanya perjanjian resale price maintenance yang telah dibuat sebelumnya oleh perusahaan manufaktur dengan perusahaan penyalurnya mengakibatkan perusahaan penyaluran tidak lagi memiliki kebebasan untuk menjual produk yang disalurkannya tersebut dengan harga yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan perusahaan penyalur lainnya. Karena biasanya bila tidak ada perjanjian resale price maintenance, perusahaan penyaluran dalam usaha agar lebih disukai oleh konsumen biasanya dalam menjual produk yang disalurkannya akan selalu menetapkan harga yang lebih murah dibandingkan harga yang ditawarkan oleh perusahaan penyalur lainnya, karena harga merupakan salah satu faktor penting yang di pertimbangkan dan memiliki daya tarik tersendiri bagi konsumen ketika mereka hendak membeli suatu produk tertentu.

Bila para perusahaan penyaluran dibiarkan menentukan sendiri harga produk yang mereka salurkan, tidak ditentukan sebelumnya oleh perusahaan manufakturnya, biasanya akan melahirkan persaingan diantara perusahaan penyaluran dimana mereka akan berlomba-lomba untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya, dengan cara menerapkan harga produk yang mereka salurkan semurah-murahnya (mungkin dengan menekan marjin keuntungan) dan peningkatan kualitas pelayanan yang setinggitingginya.

Dengan adanya perjanjian Resale Price Maintenance juga dapat membatasi marjin dan harga konsumen. Sedangkan ditingkat pedagang akibatnya seperti kartel harga, dan mengakibatkan hilangnya persaingan harga. Maka oleh karena itu dalam ketentuan hukum persaingan usaha Internasional, perjanjian Resale Price Maintenance termasuk kedalam perjanjian yang dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.

Ketentuan yang mengatur mengenai Resale Price Maintenance oleh Undang-undang No.5/1999 dirumuskan secara Rule of Reason, sehingga dapat diartikan pelaku usaha diperbolehkan membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima produk tidak akan menjual atau memasok kembali produk yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

31

Padahal

apabila

diperhatikan

dalam

UU

No.5/1999,

ketentuan

Resale

Price

Maintenance sebenarnya dapat dimasukan ke dalam Pasal 5 ayat (1) yang mana sudah melarang perjanjian penetapan harga diantara pelaku usaha. Karena larangan yang disebutkan oleh Pasal 5 ayat (1) juga seharusnya sudah mencakup mengenai larangan menentukan harga jual yang dibayar penjual kembali, maupun penetapan harga minimum yang boleh diminta oleh penjual kembali. Maka sesungguhnya pasal 8 ini dapat dikatakan tidak diperlukan lagi. Karena Pasal 5 ayat (1) bisa di tafsirkan atau dianggap perjanjian yang diatur tersebut merupakan perjanjian

horizontal ataupun

vertikal. Meskipun memang interprestasi dari Pasal 8 UU No.5/1999 sebagai larangan perjanjian vertikal telah sesuai dengan standar hukum persaingan usaha internasional (Pasal 5 ayat (1) dan (2) angka 2 Rancangan International Antitrust Code UNTACD tahun 1994) yang mana menetapkan harga penjualan kembali atau tingkat harga tertentu adalah dilarang.

Bila memperhatikan bunyi Pasal 8 UU No.5/1999, pihak -pihak yang dimaksudkan oleh Pasal 8 haruslah pelaku usaha, dan membuat suatu perjanjian. pihak-pihak yang terlibat juga harus berada ditingkat pasar yang berlainan. Pasal 8 ditujukan bagi kepada perjanjian yang dibuat oleh pemasok dengan perantara, sedangkan perjanjian harga yang dibuat pelaku usaha dengan konsumen akhir tidak dapat dikenak an oleh pasal 8 UU No.5/1999.

Perumusan pasal mengenai Resale Price Maintenance dalam Pasal 8 UU No.5/1999 yang dirumuskan secara Rule of Reason dapat dikatakan menyimpang dari standar Internasional yang ada. Baik menurut sistem hukum Eropa maupaun Pasal 5 ayat (1) dan (2) angka 2 Rancangan International Antitrust Code menggolongkan semua perjanjian Resale Price Maintenance sebagai hambatan terhadap persaingan usaha yang sehat. Dibandingkan dengan Pasal 5 ayat (1) UU No.5/1999, maka pembatasan di Pasal 8 UU No.5/1999 patut diragukan. Apabila ingin ditekankan perlindungan tambahan terhadap penetapan harga seperti yang dirumuskan oleh Pasal 8, maka alangkah lebih baik apabila perjanjian penetapan harga yang dalam hal ini secara vertikal dilarang secara mutlak (per-se).

32

Kemudian Pasal 8 Undang-undang No.5/1999 sebenarnya juga telah membatasi pemberlakuan ketentuan Resale Price Maintenance hanya kepada penerapan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan saja, bagaimana seandainya Resale Price Maintenance dengan kondisi pelaku usaha membuat perjanjian RPM dengan ketentuan tidak boleh menerapkan harga lebih tinggi daripada harga yang diperjanjikan?. Apakah Pasal 8 masih dapat diterapkan? 3) Pembagian Wilayah / market division Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar merupakan salah satu strategi yang dilakukan untuk menghindari terjadinya persaingan di antara mereka, sehingga pelaku usaha dapat menguasai wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang menjadi bagiannya tanpa harus melalui persaingan.

Menurut Stephen F. Ross dalam bukunya Principles of Antitrust Law menyatakan bahwa hilangnya persaingan di antara sesama pelaku usaha dengan cara melakukan pembagian

wilayah

bisa

membuat

pelaku

usaha

untuk

melakukan

tindakan

pengurangan produksi ke tingkat yang tidak efesien, kemudian mereka juga dapat melakukan eksploitasi terhadap konsumen dengan menaikan harga produk, dan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk bertindak sewenan g-wenang terhadap konsumen yang sudah teralokasi sebelumnya. 41

Namun pembagian pasar tidak dapat berjalan secara efektif bila konsumen mempunyai kemampuan yang cukup untuk berpindah dari pasar yang satu ke pasar yang lain untuk membeli kebutuhannya. Misalkan pemilik Departemen store Matahari dan Ramayana bersepakat untuk melakukan pembagian pasar di antara mereka, Departemen store Ramayana hanya beroperasi dan menjalankan usahanya di wilayah Depok saja, sedangkan Departemen store Matahari akan beroperasi melayani wilayah Ibu kota Jakarta, andaikan konsumen di wilayah Depok ketika berbelanja di Ramayana merasa tidak puas, kemudian konsumen masih memiliki kemampuan untuk berbelanja di Departemen store Matahari Jakarta, meskipun lebih jauh dari tempat tinggalnya.

41

Stephen F. Rose. Principles of Antitrust Law”. Westbury New York: The Foundation Press, Inc., 1993. p.147

33

Perjanjian pembagian pasar dalam perkembangannya bisa terjadi melalui bentuk pelaku usaha diwajibkan untuk memasok hanya dengan kuantitas atau kualitas barang atau jasa tertentu, tidak mengiklankan produknya secara gencar, atau tidak melakukan ekspansi usaha yang berlebihan di wilayah pelaku usaha pesaingnya.

Dengan adanya perjanjian pembagian pasar ini, jelas dapat membuat pelaku usaha yang terlibat di dalam praktek ini akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan aktifitas usahanya. Tetapi hal ini dikompensasi dengan cara melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap konsumen. Tetapi di dalam ketentuan persaingan usaha di Amerika Serikat disebutkan bahwa sesungguhnya kerjasama antara pelaku usaha yang bersaing untuk melakukan perjanjian pembagian wilayah sebenarnya tidak hanya merugikan konsumen tetapi juga sesungguhnya dapat merugikan bagi pelaku usaha itu sendiri dimana mereka akan dibatasi dalam mengembangkan usaha mereka dan hilangnya kesempatan mereka untuk meningkatkan kekuatan pasar yang dimilikinya. 42

Secara garis besar perjanjian diantara pelaku usaha untuk membagi wilayah pemasaran pemasaran diantara mereka akan berakibat kepada eksploitasi terhadap konsumen sehingga Undang-undang No.5/1999 Pasal 9 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”

Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian pembagian wilayah oleh oleh Undangundang No.5/1999 khususnya Pasal 9 dirumuskan secara Rule of Reason, sehingga sebelum mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, pelaku usaha belum bisa dijatuhi hukuman berdasarkan pasal ini. Berbeda dengan pengaturan di banyak negara, dimana kegiatan perjanjian pembagian wilayah dikatagorikan sebagai tindakan yang pasti menghambat persaingan usaha dirumuskan secara per see. Seperti Hukum Persaingan Usaha di Amerika Serikat menyebutkan bahwa: “suatu jenis perjanjian yang selalu atau hampir memiliki kecenderungan untuk menaikan harga atau menurunkan jumlah produksi merupakan per see illegal (secara 42

FTC/DOJ, Collaboration Guidelines, Sections 1.2, 2.2, 3.1, 3.3, 3.31, 3.31(a).

34

mutlak dilarang) seperti perjanjian diantara pelaku usaha yang bertujuan untuk saling membagi atau mengalokasi pasar melalui alokasi pembali, pemasok, daerah atau sektor perdagangan”. 43 4) Pemboikotan Perjanjian pemboikotan merupakan salah satu bentuk strategi yang dilakukan di antara pelaku usaha untuk mengusir pelaku usaha lain dari pasar yang sama, atau juga untuk mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama, yang kemudian pasar tersebut dapat terjaga hanya untuk kepentingan pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan tersebut.

44

Dengan terusirnya pelaku usaha pesaing dan tidak bisa masuknya pelaku usaha yang berpotensial menjadi pesaing ke dalam pasar yang sama, berakibat terhadap semakin menurunnya tingkat persaingan, dan kemudian membuat pelaku usaha yang ada di dalam pasar melakukan praktek-praktek yang anti persaingan seperti melakukan praktek price fixing, pembagian wilayah, kartel dan sebagainya.

Agar praktek pemboikotan yang dilakukan para pelaku usaha yang berada di pasar dapat berjalan sukses, diperlukan partisipasi yang seluas mungkin dari pelaku usaha yang ada di dalam pasar yang bersangkutan, karena apabila tidak adanya dukungan atau keterlibatan secara luas para pelaku usaha yang ada di dalam pasar biasanya pemboikotan akan sulit untuk berhasil.

Dengan adanya perjanjian pemboikotan yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang ada di dalam pasar membuat jumlah pelaku usaha yang ada di pasar tidak dapat bertambah, apabila di dalam suatu pasar hanya terdapat sedikit pelaku usaha yang menjalankan usahanya dapat berdampak terhadap berkurangnya pilihan konsumen untuk memilih pelaku usaha yang kemungkinan dapat memberikan kepuasan terbesar kepada konsumen.

43

FTC/DOJ, Collaboration Guidelines Section 3.2; cf. also UNTACD, Objective and Provisions,

44

Loc. Cit. Rose., p.190.

p.11.

35

Perwujudan dari perjanjian pemboikotan biasanya pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan diharuskan untuk menolak menjual setiap barang atau jasa dari pelaku usaha lain yang menjadi korban dari perjanjian pemboikotan, sehingga pelaku usaha yang menjadi korban dari perjanjian pemboikotan tersebut akan mengalami kesulitan dalam menjual atau membeli setiap barang atau jasa di pasar yang bersangkutan.

Namun pemboikotan dapat juga dilakukan secara tidak langsung, misalkan dengan cara para pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan meminta kepada pelaku usaha yang menjadi pemasok dari produk mereka untuk tidak memasok produk yang sama kepada pelaku usaha yang menjadi target dari perjanjian pemboikotan, sehingga apabila si perusahaan pemasok tidak mengindahkan larangan tersebut, maka para pelaku usaha yang melakukan pemboikotan akan memutuskan hubungan dengan perusahaan pemasok tersebut dan akan mencari perusahaan pemasok lain.

Memperhatikan dampaknya yang sangat besar terhadap persaingan, maka dalam berbagai hukum pemboikotan

persaingan usaha persaingan di banyak

dianggap

sebagai

hambatan

terhadap

negara,

persaingan

perjanjian

usaha

yang

mendapatkan perhatian yang serius. Karena dengan terjadinya praktek perjanjian pemboikotan telah menghilangkan salah satu prasyarat persaingan yang sangat penting yaitu menghalangi pelaku usaha untuk masuk ke dalam pasar. Bahkan pasal 3 huruf e dan f UNTACD Model Law menegaskan bahwa “menolak secara kolektif untuk membeli atau memasok, atau mengancam untuk melakukannya, adalah termasuk cara yang paling sering dipakai untuk memaksa pihak yang tid ak menjadi anggota kelompok tertentu untuk mengikuti kegiatan yang ditentukan kelompok tersebut. 45

Karena tujuan utama dari perjanjian pemboikotan adalah untuk membatasi persaingan, maka Undang-undang No.5/1999 mengkatagorikan perjanjian pemboikotan sebagai salah satu perjanjian yang dilarang, dimana di atur di dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-undang No.5/1999, Pasal 10 ayat (1) berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk malakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri 45

UNTACD, Draft Commentaries, p.24.

36

maupun pasar luar negeri.” Dan Pasal 10 ayat (2) nya, berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut: (a). Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain: atau; (2) membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/atau jasa dari pasar bersangkutan.”

Begitu buruknya dampak yang dapat ditimbulkan oleh suatu perjanjian pemboikotan, maka Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang -undang No.5/1999 yang mengatur mengenai perjanjian pemboikotan ini dirumuskan secara Per Se oleh pembuat undang-undang, sehingga ketika ada pelaku usaha yang melakukan perbuatan disebutkan oleh pasal tersebut tanpa harus memperhatikan akibat yang muncul dari perbuatan tersebut, pelaku usaha sudah dapat dijatuhi sanksi hukuman.

5) Kartel Dalam suatu struktur pasar yang kompetitif, dimana pelaku usaha yang berusaha di dalam pasar tersebut jumlahnya banyak, serta tidak ada hambatan bagi pelaku usaha untuk masuk kedalam pasar, membuat setiap pelaku usaha yang ada di dalam pasar tidak akan mampu untuk menyetir harga sesuai dengan keinginannya, mereka hanya menerima harga yang sudah ditentukan oleh pasar dan akan berusaha untuk berproduksi secara maksimal agar dapat mencapai suatu tingkat yang efesien dalam berproduksi. Namun sebaliknya dalam pasar yang berstruktur oligopoli, dimana di dalam pasar tersebut hanya terdapat beberapa pelaku usaha saja, kemungkinan pelaku usaha berkerjasama untuk menentukan harga produk dan jumlah produksi dari masing-masing pelaku usaha menjadi lebih besar. Oleh karena itu biasanya praktek kartel dapat tumbuh dan berkembang pada pasar yang berstruktur oligopoli.

Pratek kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantara pelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi mereka. Mereka berasumsi jika produksi mereka di dalam pasar dikurangi sedang kan permintaan terhadap produk mereka di dalam pasar tetap, akan berakibat kepada terkereknya harga ke tingkat yang lebih tinggi. Dan sebaliknya, jika di dalam pasar produk mereka

37

melimpah, sudah barang tentu akan berdampak terhadap penurunan harga produk mereka di pasar.

Membanjirnya pasokan dari suatu produk tertentu di dalam suatu pasar, dapat membuat harga dari produk tersebut di pasar menjadi lebih murah, dimana kondisi ini akan menguntungkan bagi konsumen, tetapi tidak sebaliknya bagi pelaku usaha (produsen atau penjual), semakin murahnya harga produk mereka di pasar, membuat keuntungan yang akan diperoleh oleh pelaku usaha tersebut menjadi berkurang, atau bahkan rugi jika produk mereka tidak terserap oleh pasar. Agar harga produk di pasar tidak jatuh dan harga produk dapat memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha, pelaku usaha biasanya membuat perjanjian di antara mereka untuk mengatur mengenai jumlah produksi sehingga jumlah produksi mereka di pasar tidak berlebih, dan tujuannya agar tidak membuat harga produk mereka di pasar menjadi lebih murah. Namun terkadang praktek kartel tidak hanya bertujuan untuk menjaga stablitas harga produk mereka di pasar, tetapi juga untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengurangi produk mereka secara signifikan di pasar, sehingga menyebabkan di dalam pasar mengalami kelangkaan, yang mengakibatkan konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk dapat membeli produk pelaku usaha tersebut di pasar, atau dapat dikatakan tujuan utama dari praktek kartel adalah untuk mengeruk sebanyak mungkin surplus konsumen ke produsen.

Praktek kartel dapat berjalan sukses apabila pelaku usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel tersebut haruslah mayoritas dari pelaku usaha yang berkecimpung di dalam pasar tersebut. Karena bila hanya sebagian kecil saja pelaku usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel biasanya perjanjian kartel tidak akan efektif dalam mempengaruhi pasokan produk di pasar, karena kekurangan pasokan di dalam pasar akan ditutupi oleh pasokan dari pelaku usaha yang tidak terlibat di dalam perjanjian kartel.

Praktek kartel terselubung di Indonesia diduga di motori atau melalui asosiasi-asosiasi pelaku usaha yang ada seperti APKINDO, INACA, ORGANDA. sebagai contoh: ORGANDA (Organisasi Angkutan Darat) beberapa waktu lalu pernah memaksakan

38

kepada Pemerintah Daerah Ibu Kota Jakarta untuk memberlakukan tarif taksi di JABOTABEK seragam, yang besarnya sudah ditentukan terlebih dahulu oleh ORGANDA, tanpa memperhatikan kualitas pelayanan yang diberikan.

Undang-undang No.5/1999 mengkatagorikan kartel sebagai salah satu bentuk perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha. Dimana Pasal 11 Undang-undang No.5/1999 berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan p elaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Perumusan kartel secara Rule of Reason oleh pembentuk undang-undang No.5/1999 dapat diartikan pelaku usaha dapat membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa asalkan tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Mungkin pembentuk undang-undang persaingan usaha melihat bahwa sebenarnya tidak semua perjanjian kartel dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, seperti misalnya perjanjian kartel dalam bentuk mengisyaratkan untuk produk-produk tertentu harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bertujuan untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak layak atau dapat membahayakan keselamatan konsumen dan tujuannnya tidak menghambat persaingan, pembuat undang-undang persaingan usaha mentolerir perjanjian kartel seperti itu.

Seperti pada prinsip hukum persaingan usaha Amerika Serikat, dimana kolaborasi pelaku usaha dapat mencakup perjanjian produksi secara bersama-sama produk yang dijual kepada pihak yang lain, atau digunakan oleh pelaku usaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Perjanjian semacam ini sering bersifat pro persaingan. Para pihak dapat mengkombinasikan teknologi penunjang, “know-how”, atau aset-aset lainnya, yang memungkinkan pihak-pihak yang berkerjasama untuk memproduksi suatu produk yang tidak dapat diproduksi secara sendiri oleh salah satu pihak yang bekerjasama..kolaborasi antara para pesaing usaha dapat mencakup perjanjian

39

penjualan, distribusi, atau promosi bersama barang atau jasa yang diproduksi bersamasama atau oleh masing-masing pelaku usaha. Perjanjian tersebut dapat dikatakan pro persaingan, misalnya kalau suatu kombinasi aset-aset komplementer memungkinkan produk mencapai pasar secara lebih cepat dan lebih efesien.46

Tetapi sebenarnya Kartel yang diatur didalam Pasal 11 UU No.5/1999 terlalu sempit karena hanya mengatur mengenai kartel produksi dan pemasaran. Sehingga bentukbentuk kartel yang lain kemungkian tidak dapat dijerat oleh ketentuan ini. Dengan demikian perlu ada defenisi yang lebih luas dan jelas mengani Kartel ini, agar ketentuan tersebut dapat berdaya guna dan efektif. 6) Trust Untuk dapat mengontrol produksi atau pemasaran produk di pasar ternyata para pelaku usaha (dalam hal ini perusahaan) tidak hanya cukup dengan membuat perjanjian kartel diantara mereka, tetapi mereka juga terkadang membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar (trust), dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya.

Menurut R.B. Suhartono, trust merupakan wadah antar perusahaan yang didisain untuk membatasi persaingan dalam bidang usaha atau industri tertentu. Gabungan antara beberapa perusahaan dalam bentuk trust dimaksudkan untuk secara kolektif mengendalikan pasokan, dengan melibatkan trustee sebagai koordinator penentu harga. Dengan menempatkan saham-saham dari berbagai badan usaha dalam suatu trust maka dapat di jamin tidak hanya kesatuan langkah kolektif tetapi juga pembagian keuntungan bersama yang lebih besar dibandingkan tiadanya trust. 47

Sehingga oleh Undang-undang No.5/1999, trust merupakan salah satu perjanjian yang dilarang untuk dilakukan. Dimana hal ini diatur di dalam Pasal 12 Undang -undang No.5/1999 yang berbunyi: “pelaku usaha dila rang membuat perjanjian dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau 46

FTC/DOJ, Collaboration Guidelines, section 3.31 (a). R.B. Suhartono., “Konglomerasi dan Relavansi UU Antitrust/ UU Antimonopoli di Indonesia,”Jurnal Hukum Bisnis (Volume 4, 1998) hal.6. 47

40

perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.”

Namun memang di Indonesia untuk sekarang ini, Trust belum dapat ditemui dalam praktek keseharian, sehingga beberapa kalangan berpendapat alangkah lebih baik jika hal yang di atur dalam Pasal 12 ini direvisi saja, untuk menyesuaikan dengan keadaan yang terjadi di Indonesia dan lagi ketentuan yang di atur oleh Pasal 12 ini bisa dicover dengan pasal lainnya. 7) Oligopsoni Oligopsoni adalah struktur pasar yang di dominasi oleh sejumlah konsumen yang memiliki kontrol atas pembelian. Struktur pasar ini memiliki kesamaan dengan struktur pasar oligopoli hanya saja struktur pasar ini terpusat di pasar input. Dengan demikian distorsi yang ditimbulkan oleh kolusi antar pelaku pasar akan mendistorsi pasar input.

Oligopsoni merupakan salah satu bentuk praktek anti persaingan yang cukup unik, karena dalam praktek oligopsoni yang menjadi korban adalah produsen atau penjual, dimana biasanya untuk bentuk-bentuk praktek anti persaingan lain (seperti price fixing, price discrimination, kartel, dll) yang menjadi korban umumnya konsumen. Dalam oligopsoni, konsumen membuat kesepakan dengan konsumen lain dengan tujuan agar mereka secara bersama-sama dapat menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, dan pada akhirnya dapat mengendalikan harga atas barang atau jasa pada pasar yang bersangkutan.

Dengan adanya praktek oligopsoni produsen atau penjual tidak memiliki alternatif lain untuk menjual produk mereka selain kepada pihak pelaku usaha yang telah melakukan perjanjian oligopsoni. Tidak adanya pilihan lain bagi pelaku usaha untuk menjual produk mereka selain kepada pelaku usaha yang melakukan praktek oligopsoni, mengakibatkan mereka hanya dapat menerima saja harga yang sudah ditentukan oleh pelaku usaha yang melakukan praktek oligopsoni.

41

Undang-undang No.5/1999 memasukan perjanjian oligopsoni kedalam salah satu perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha. Pasal 13 ayat (1) Undangundang No.5/1999 menyebutkan bahwa:“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.” Sedangkan Pasal 13 ayat (2) menambahkan bahwa: “pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”

Oligopsoni oleh Pasal 13 UU No.5/1999 dirumuskan secara Rule of Reason, itu berarti sebenarnya oligopsoni tidak secara mutlak dilarang. Apabila merujuk pada putusan kasus mengenai oligopsoni di Amerika Serikat, diputuskan perjanjian pembelian bersama dianggap tidak mengganggu persaingan apabila memenuhi dua kondisi. Pertama, pembelian bersama tersebut berjumlah kurang dari 35% dari total pembelian di pasar tersebut, dan kedua, apabila biaya dari pembelian produk tersebut kurang dari 20% dari total penerimaan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam joint purchasing. Apabila kedua kondisi di atas tidak terpenuhi maka persaingan dalam pasar bisa terganggu karena pelaku yang tergabung dalam joint purchasing memiliki kemampuan untuk mendorong harga produk yang dibeli lebih rendah dari harga pada level kompetitif.

Dalam oligopsoni ada beberapa hal yang perlu diperhatikan anatara lain kemungkinan kemungkinan perjanjian tersebut memfasilitasi kolusi penetapan harga sehingga menimbulkan efek anti persaingan. Perjanjian tersebut tidak akan memfasilitasi kolusi harga apabila pembelian produk yang dilakukan dengan perjanjian ini hanya berjumlah relatif kecil terhadap total pembelian di pasar tersebut. selain itu, apabila perjanjian tidak menghalangi anggotanya untuk melakukan pembelian pada pihak lain secara independen, maka joint purchasing tersebut tidak merugikan persaingan

42

Namun sebenarnya secara teori, oligopsoni adalah kegiatan yang wajar dimana jumlah pembeli yang ada begitu terbatas, dan ketentuan ini juga sebenarnya dapat dimasukan ke dalam pengaturan mengenai Kartel. Karena kegiatan oligopsoni dapat digolongkan sebagai kartel. Akan tetapi sifat pengaturannya tetap dipertahankan untuk melindungi kegiatan UKM untuk memperoleh pasokan harga yang wajar. 8)

Integrasi Vertikal

Ketika suatu pelaku usaha ingin agar pangsa pasar yang dimilikinya menjadi lebih besar, pertumbuhan perusahaan dan perolehan laba yang semakin meningkat, tingkat efesiensi yang semakin tinggi dan juga untuk mengurangi ketidak pastian akan pasokan bahan baku yang dibutuhkan dalam berproduksi dan pemasaran hasil produksi, biasanya perusahaan akan menempuh jalan untuk melakukan penggabungan dengan pelaku-pelaku usaha lain yang mempunyai kelanjutan proses produksi (integrasi vertikal).

Kalau pelaku usaha ingin meningkatkan penghasilan (revenue), biasanya yang umum dilakukan adalah dengan cara meningkatkan produksi. Namun bagi perusahaan yang sudah berproduksi dalam kapasitas penuh, rasanya sangat sulit untuk dapat meningkatkan penghasilan yang lebih tinggi lagi, kecuali pelaku usaha terse but meningkatkan skala perusahaannya, dengan harapan apabila terjadi peningkatan dalam skala perusahaan akan memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi yang pada akhirnya dapat mengerek keuntungan yang lebih tinggi lagi dibandingkan sebelum pelaku usaha tersebut meningkatkan skala perusahaannya. Salah satu jalan yang dilakukan pelaku usaha untuk meningkatkan skala perusahaan adalah melalui penggabungan / integrasi dengan perusahaan lain.

Namun perkembangannya ternyata penggabungan perusahaan tidak s elalu menunjukan adanya hubungan yang kuat antara terjadinya penggabungan dengan tingkat keuntungan yang akan diperoleh seperti yang tergambar di atas, tetapi setidaknya dengan adanya penggabungan akan ada bagian-bagian perhitungan ongkos yang akan

43

hilang atau menurun, misalnya: dalam hal ongkos-ongkos transaksi, iklan, pemanfaatan informasi bersama, dan administrasi. 48

Integrasi antar pelaku usaha juga dengan sendirinya dapat juga dikaitkan dengan pengurangan resiko dalam bisnis. Dengan terjadinya integrasi vertikal (ke bagian hulu), maka resiko akan kekurangan bahan baku tentunya menurun. Dan dari segi pengelolaan, jika sebelumnya dikelola secara terpisah, maka setelah integrasi dapat menjadi manajemen tunggal. Dimana dengan pengelolaan dibawah manajemen tunggal, maka pengembangan pemasaran mungkin dapat dilakukan lebih baik, sehingga dengan terjadinya integrasi antar pelaku usaha, perusahaan pelaku usaha tersebut dapat meningkatkan efesiensinya, yang kemudian pada akhirnya dapat menghasilkan produk yang memiliki daya saing yang tinggi.49

Integrasi antar pelaku usaha dapat dilakukan untuk saling menutupi kelemahan dari masing masing pelaku usaha yang melakukan integrasi, karena sudah pasti setiap pelaku usaha memiliki kelemahan-kelemahan tersendiri, misalkan satu perusahaan memiliki kelemahan dalam pengelolaan sumber daya manusia, tetapi unggul dalam berproduksi dapat bergabung dengan pelaku usaha lain yang mungkin memiliki kelebihan dalam pengelolaan sumber daya manusia tetapi kurang dalam proses produksi, dimana kemudian diharapkan dengan terjadinya integrasi kelemahankelemahan yang ada dapat ditutupi atau bahkan dihilangkan. 50

Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang integrasi vertikal juga dapat menimbulkan efek-efek negatif bagi persaingan di antar pelaku usaha, seperti: 1) Integrasi vertikal ke arah hulu (upstream) dapat mengurangi kompetisi di antara penjual

ditingkat

hulu

(upstream

level),

contohnya:

seandainya

pelaku

usaha/perusahaan perakitan kendaraan dihadapkan pada suatu keadaan dimana pelaku usaha tersebut harus membeli bahan baku dari pelaku usaha pemasok bahan baku (perusahaan pembuat besi baja) dengan harga oligopoli (umumnya pada industri pembuatan besi baja hanya terdapat beberapa perusahaan besar 48

Nurimansjah Hasibuan, Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli,dan Regulasi, Cet.1.- Jakarta: LP3ES, 1993. hal.92. 49 Ibid. 93. 50 Ibid. 93.

44

saja), dalam keadaan seperti ini perusahaan perakitan kendaraan akan lebih menguntungkan jika melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan pembuat besi baja, sehingga perusahaan perakitan kendaraan memiliki perusahaan pembuat besi baja sendiri, yang kemudian perusahaan perakitan mobil tidak lagi menjadi korban dari perilaku oligopoli (yang biasanya menerapkan harga di atas kewajaran) dari perusahaan pembuat besi baja, tetapi kemungkinan nantinya perusahaan pembuat besi baja yang melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan perakitan kendaraan tidak bisa lagi menjual produknya ke perusahaan perakitan kendaraan lain. Akibatnya harga besi baja untuk perusahaan perakitan dapat menjadi lebih mahal lagi, karena semakin berkurangnya pemasok besi baja bagi perusahaan-perusahaan perakitan kendaraan. Dan ini juga dapat menjadi insentif bagi perusahaan perakitan kendaraan untuk melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan pembuat besi baja, yang pada akhirnya semakin berkuranglah persaingan di antara perusahaan pembuat besi baja yang memasok untuk industri perakitan kendaraan;51 2) Memfasilitasi kolusi di antara pelaku usaha di tingkat hulu ( upstream level), dimana dengan semakin meluasnya integrasi vertikal dapat memfasilitasi kolusi diantara perusahaan manufaktur karena pemotongan harga terlalu mudah dideteksi. (alasan yang digunakan untuk kasus ini sama dengan yang digunakan untuk menolak resale price maintenance); 52 3) Integrasi vertikal kearah hulu (downstream integration) dapat memfasilitasi diskriminasi harga, dimana integrasi sampai di tingkat ritailer dapat memungkinkan perusahaan

manufaktur

mempraktekan

diskriminasi

harga

tanpa

harus

mengkhawatirkan terhadap tindakan dari perusahaan ritailer lainnya. contohnya sebuah perusahaan manufaktur yang menjual produknya di boutique dan di toko diskon, harga yang diterapkan oleh boutique terhadap produknya biasanya lebih mahal dibandingkan dengan harga yang diterapkan oleh toko diskon, hal tersebut terjadi karena pemilik boutique melakukan mark-up yang setinggi-tingginya terhadap pruduk yang dijual digerainya untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyakbanyaknya. Memperhatikan perilaku dari boutique ini terkadang membuat tidak jarang perusahaan manufaktur juga membuat sendiri boutique yang akan menjual

51 52

Op. Cit., Ross., hal.383. Ibid.384.

45

produk mereka dengan harga yang jauh lebih tinggi, sehingga dapat menikmati juga keuntungan sebagai pemilik boutique; 53 4) Meningkatnya hambatan masuk (entry barriers) dimana pelaku usaha yang harus melalui dua tahap jika ingin masuk ke dalam pasar, dengan semakin meluasnya praktek integrasi vertikal, kemudian membuat perusahaan manufaktur yang ingin masuk kedalam suatu industri, harus memiliki perusahaan pemasok sendiri yang menjamin pasokannya karena perusahaan pemasok yang ada sudah terintegrasi dengan perusahaan manufaktur yang lain, atau perusahaan manufaktur untuk memasarkan produknya terpaksa harus memiliki perusahaan ritel tersendiri karena perusahaan ritel yang ada juga sudah terintegrasi dengan perusahaan manufaktur yang lain.54

Oleh karena terdapat dampak negatif yang mungkin muncul dari suatu integrasi vertikal, maka Undang-undang No.5/1999 memasukan integrasi vertikal sebagai salah satu perjanjian yang dilarang. Pasal 14 Undang-undang No.5/1999 menyebutkan bahwa: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat.”

Dirumuskannya Pasal 14 Undang-undang No.5/1999 secara Rule of Reason, dapat diartikan pelaku usaha sebenarnya tidak dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung sepanjang tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat atau merugikan kepentingan masyarakat.

9)

Perjanjian Tertutup

53 54

Ibid.384. Ibid.384.

46

a.

Exclusive Distribution Agreement

Exclusive distribution agreements yang dimaksud disini adalah pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk tersebut kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu saja, atau dengan kata lain pihak distributor dipaksa hanya boleh memasok produk kepada pihak tertentu dan tempat tertentu saja oleh pelaku usaha manufaktur.

Biasanya exclusive distribution agreement dibuat oleh pelaku usaha manufaktur yang memiliki beberapa perusahaan yang mendistribusikan hasil produksinya, yang tidak menghendaki terjadinya persaingan di tingkat distributor, yang kemudian dapat berpengaruh terhadap harga produk yang mereka pasok ke dalam pasar, dan agar harga produk mereka tetap stabil, maka pihak manufaktur membuat perjanjian dengan distributor-distributornya untuk membagi konsumen dan wilayah pasokan agar tidak terjadi bentrokan di sesama distributor.

Dengah berkurangnya atau bahkan hilangnya persaingan pada tingkat distributor membawa implikasi kepada harga produk yang didistribusikan menjadi lebih mahal, sehingga konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih dari biasanya untuk mendapatkan produk yang didistribusikan oleh distributor tersebut.

Karena dibatasinya distribusi hanya untuk pihak dan tempat tertentu saja dapat juga mengakibatkan pihak

distributor menyalahgunakan kedudukan eksklusive yang

dimilikinya untuk mungkin mengenakan harga yang tinggi terhadap produk yang didistribusikannya kepada konsumen pihak dan wilayah tertentu yang menjadi bagiannya tersebut.

Oleh karena itu Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 melarang pelaku usaha untuk membuat exclusive distribution agreement dengan pelaku usaha lain. Adapun bunyi dari Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 sebagai berikut, bahwa: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak

47

memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu.”

Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 dirumuskan secara Per Se, sehingga ketika pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu, tanpa harus menunggu munculnya akibat dari perbuatan tersebut, pelaku usaha yang membuat perjanjian tersebut sudah langsung dapat dikenakan pasal ini. b.

Tying Agreement

Undang-undang No.5/1999 bersikap cukup keras terhadap praktek tying agreement, hal itu dapat dilihat dari perumusan pasal yang mengatur mengenai tying agreement dirumuskan secara Per Se, yang artinya bagi pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan suatu praktek tying agreement tanpa harus melihat akibat dari praktek tersebut muncul, pasal ini sudah secara sempurna dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggarnya.

Pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 menyatakan bahwa: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.” Dari pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 juga dapat dilihat defenisi dari tying agreement yaitu perjanjian yang dibuat di antara pelaku usaha yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

Tying Agreement merupakan salah satu katagori perjanjian yang dilarang menurut Undang-undang No.5/1999, karena dengan praktek tying agreement, pelaku usaha dapat melakukan perluasan kekuatan monopoli yang dimiliki pada tying Product (barang atau jasa yang pertama kali dijual) ke tyied product (barang atau jasa yang dipaksa harus dibeli juga oleh konsumen). Sebagai contoh, Indofood memiliki kekuatan monopoli untuk produk mie instant, tetapi dia ingin memanfaatkan kekuatan monopolinya tersebut

48

agar dapat memiliki kekuatan monopoli untuk produk lain, misalkan saus tomat, sehingga dia memaksa konsumen yang membeli mie instan harus membeli saus tomat juga, sehingga kemungkinan dia akan dapat memperluas kekuatan monopolinya tidak hanya pada mie instan tetapi juga pada saos tomat.

Dengan memiliki kekuatan monopoli untuk kedua produk sekaligus (tying product dan tyied product) oleh pelaku usaha, dapat menciptakan hambatan bagi calon pelaku usaha pesaing untuk masuk ke dalam pasar, maka mau tidak mau pelaku usaha harus melakukan hal yang sama yaitu melakukan praktek tying agreement juga. Bagi konsumen yang tidak paham mengenai praktek tying agreement, mungkin ketika dia membeli suatu produk dan kemudian mendapatkan tambahan produk lain, dianggap sebagai suatu hadiah. Padahal sesungguhnya harga yang dia bayarkan merupakan harga dari kedua produk yang dia terima tersebut. Praktek tying agreement juga dapat membuat konsumen kesulitan dalam menentukan harga sebenarnya dari produk yang dia beli, dimana sebelumnya dia hanya ingin membeli satu produk, tetapi karena dipaksa harus membeli produk yang lain sehingga membuat konsumen menjadi bingung berapa harga dari masing-masing produk.

Tying agreement juga telah membuat konsumen harus membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan, salah satu contoh misalkan: suatu ketika konsumen harus membeli pasta gigi Pepsodent, namun di dalam kotak atau bungkus dari pasta gigi tersebut terdapat satu sachet shampo merk Sunsilk, sedangkan konsumen tersebut biasa memakai shampo merk Pantene, karena satu sachet shampo merk Sunsilk tersebut berada di dalam kotak pasta gigi Pepsodent maka mau tidak mau, suka tidak suka dia harus membeli juga satu sachet shampo Sunsilk yang terdapat di dalam kotak pasta gigi Pepsodent tersebut yang mungkin tidak akan dia pakai.

Oleh karena itu dapat disimpulkan ada dua alasan yang menyebabkan praktek tying agreement tersebut dilarang, yaitu: (1) pelaku usaha yang melakukan praktek tying agreement tidak menghendaki pelaku usaha lain memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing secara fair dengan dia terutama pada tied product dan (2) pelaku usaha yang melakukan praktek tying agreement juga telah menghilangkan hak konsumen untuk memilih secara merdeka barang yang ingin mereka beli. Maka tepatlah Undang-undang

49

No.5/1999 mengkatagorikan tying agreement menjadi salah satu perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha.

c.

Vertical agreement on Discount

Pasal 15 ayat (3) Undang-undang No.5/1999 menyatakan bahwa: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari usaha pemasok: a. harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau b. tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.” Atau dengan kata lain jika pelaku usaha ingin mendapatkan harga diskon untuk produk tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku usaha harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing.

Akibat yang mungkin muncul dari perjanjian di atas, khususnya mengenai adanya kewajiban bagi pelaku usaha yang menerima produk dengan harga diskon, yang kemudian diharuskan untuk membeli produk lain dari pelaku usaha pemasok sebenarnya sama dengan akibat yang ditimbulkan oleh tying agreement, yaitu menghilangkan hak pelaku usaha untuk secara bebas memilih produk yang ingin mereka beli, dan membuat pelaku usaha harus membeli produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh pelaku usaha tersebut

Sedangkan adanya kewajiban bagi pelaku usaha yang menerima produk dengan harga diskon untuk tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok dapat mengakibatkan pelaku usaha pesaing akan mengalami kesulitan dalam menjual produknya yang sejenis dengan pelaku usaha yang sebelumnya telah membuat vertical agreement on discount terhadap penerima produknya di pasar.

Pasal 15 ayat (3) Undang-undang No.5/1999 dirumuskan secara Per Se, sehingga ketika ada pelaku usaha membuat perjanjian yang digambarkan oleh Pasal 15 ayat (3)

50

Undang-undang No.5/1999, tanpa harus menunggu sampai munculnya akibat dari perjanjian tersebut, pelaku usaha sudah dapat dijatuhkan sanksi hukum atas perjajian yang telah dibuatnya tersebut oleh penegak hukum. 10)

Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri

Pasal 16 UU No.5/1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dapat dikatakan pasal ini mengatur suatu keadaan khusus apabila pelaku usaha di dalam negeri melakukan perjanjian dengan pihak pelaku usaha di luar negeri. Karena Pasal 1 angka 5 UU No.5/1999 tidak menjangkau pelaku usaha yang berkantor pusat diluar negeri dan tidak melakukan aktifitas usahanya di Indonesia, walaupun aktifitas usahanya menimbulkan dampak di pasar Indonesia.

Permasalahan yang muncul dari rumusan Pasal 16 UU No.5/1999, keharusan adanya suatu perjanjian yang dibuat antar pelaku usaha di dalam negeri dengan pelaku usaha yang ada di luar negeri, sehingga apabila tidak ada perjanjian di antara pelaku usaha tersebut, maka pelaku usaha yang melakukan praktek persaingan usaha tidak sehat kemungkinan tidak dapat diproses menggunakan pasal ini.

Jadi pengelompokan pasal-pasal kedalam kelompok perjanjian dan kelompok kegiatan sekali lagi dapat menjadi celah dalam penegakkan undang-undang persaingan usaha di Indonesia, sehingga ke depannya pengelompokan pasal ke dalam kelompok perjanjian dan kegiatan sebaiknya tidak dilakukan lagi.

Kegiatan yang Dilarang

Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 Undang-undang No.5/1999 mengatur mengenai kegiatan-kegiatan yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha ketika mereka menjalankan usahanya. Oleh Undang-undang kegiatan yang dilarang tersebut dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

51

1. Monopoli, 2. Monopsoni, 3. Penguasaan Pasar, dan 4. Persekongkolan. 1.

Monopoli

Monopoli merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dalam setiap pembahasan pembentukan hukum persaingan usaha. Monopoli itu sendiri merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu monos polein yang artinya penjual sendiri. Namun istilah

tersebut

dalam

kenyataannya

sudah

tidak

relevan

lagi,

berdasarkan

perkembangannya meskipun di dalam suatu pasar atau industri terdapat beberapa pelaku usaha, tetapi jika ada satu pelaku usaha yang memiliki perilaku seperti monopoli maka dapat dikatakan perusahaan tersebut monopoli.

Berdasarkan teori, monopoli dapat dibedakan menjadi dua yaitu: monopoli yang alamiah (natural monopoly) dan monopoli yang diperoleh melalui peraturan perundangundangan. Monopoli yang alamiah adalah monopoli yang terjadi karena pelaku usaha tersebut memiliki kemampuan teknis tertentu seperti: (1) pelaku usaha tersebut memiliki kemampuan atau pengetahuan khusus (special knowledge) yang memungkinkan berproduksi sangat efesien; (2) skala ekonomi, dimana semakin besar skala produksi maka biaya marjinal semakin menurun, sehingga biaya produksi perunit (average cost) makin rendah; (3) pelaku usaha memiliki kemampuan kontrol sumber faktor produksi, baik berupa sumber daya alam, sumber daya manusia maupun lokasi produksi.

Sedangkan monopoli yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan adalah: (1) hak atas kekayaan intelektual, yaitu dimana negara memberikan hak monopoli kepada pelaku usaha untuk memproduksi atau memasarkan hasil dari suatu inovasinya tersebut; (2) hak usaha eksklusif, yaitu hak yang diberikan oleh pemerintah kepada pelaku usaha tertentu yang tidak didapatkan oleh pelaku usaha yang lain, misalkan agen tunggal, importir tunggal, pembeli tunggal, dan lain sebagainya.

Dimasukannya monopoli ke dalam katagori salah satu kegiatan yang dilarang oleh undang-undang persaingan usaha, bukan berarti bahwa sama sekali kegiatan monopoli

52

tidak dapat dilakukan di Indonesia, karena monopoli yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan, seperti yang monopoli yang berkaitan dengan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara masih diperbolehkan, asalkan diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh BUMN atau badan/lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah, masih dapat ditoleransi oleh Undang-undang No.5/1999.

Kekhawatiran akan dampak negatif yang ditimbulkan dari monopoli, membuat monopoli menjadi suatu kegiatan yang perlu diatur oleh undang -undang. Menurut Machlup terdapat beberapa dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari suatu kegiatan monopoli, antara lain: 1)

mengakibatkan penggunaan sumber daya yang tidak ekonomis;

2)

melakukan eksploitasi terhadap konsumen dengan tingkat harga, melalui produksi yang lebih rendah;

3)

membuka kesempatan untuk memberikan upah yang rendah pada tenaga kerja, dalam kondisi kerja yang buruk;

4)

menekan persaingan dan menyebabkan pengelolaan tidak efesien;

5)

mengurangi arus investasi, dapat pula meniadakan rangsangan inovasi;

6)

dalam berproduksi menghindari kapasitas penuh;

7)

memperlambat penyesuaian dalam perubahan ekonomi, misalnya ada ke tegaran harga dan merangsang adanya ketidak stabilan;

8)

memperlambat perbaikan tingkat kehidupan;

9)

memperburuk distribusi pendapatan melalui penentuan laba yang tinggi, dan konsentrasi kekayaan.

Pelaku usaha tidak dapat melakukan tindakan yang mengakibatkan munculnya permasalahan-permasalahan di atas, tanpa pelaku usaha tersebut memiliki kekuatan monopoli (monopoly power). Tanpa monopoly power pelaku usaha tidak akan mempunyai kemampuan untuk menaikan harga semaunya, mengurangi produksi ataupun kualitas produk seenaknya saja. Tanpa monopoly power juga pelaku usaha tidak dapat bisa keliru dalam mengalokasikan sumber daya, menyerap surplus

53

konsumen ke produsen, menolak adanya kesempatan berusaha yang sama bagi setiap pelaku usaha, atau sentralisasi dan menyalahgunakan kekuatan yang dimilikinya.

Lebih lanjut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 mendefenisikan Monopoli sebagai penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Monopoli oleh Undang-undang No.5/1999 dikatagorikan sebagai salah satu kegiatan yang dilarang untuk dilakukan, Pasal 17 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 menyebutkan bahwa: “pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan barang dan/atau jasa yang da pat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.” Sedangkan Pasal 17 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 lebih lanjut menyebutkan bahwa: “pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila: a. barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama; atau c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Parameter yang digunakan oleh Undang-undang No.5/1999 untuk mengetahui pelaku usaha melakukan monopoli atau tidak, yang terdapat pada Pasal 17 ayat (2) Undangundang No.5/1999, dalam implementasinya akan menimbulkan ketidak pastian, terutama dalam hal pencatuman kata “atau” sebagai kata penghubung pada setiap kondisi yang dianggap sebagai ukuran dari monop oli, sehingga membawa konsekwensi dengan digunakannya salah satu ukuran yang ada (seperti mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama) pelaku usaha dapat dianggap melakukan monopoli, padahal pelaku usaha tersebut mungkin tidak menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Pengaturan mengenai monopoli pada Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 yang dirumuskan secara Rule of Reason, juga dapat ditafsirkan bahwa pelaku usaha (baik itu

54

satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha) sebenarnya tidak dilarang untuk melakukan penguasaan barang dan/atau jasa hingga lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar, asalkan terdapat substitusi terhadap barang atau jasa yang bersangkutan, tidak mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama dan tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Pemberian judul Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 dengan judul monopoli, ditafsirkan oleh masyarakat luas bahwa monopoli merupakan suatu yang dilarang. Padahal sesungguhnya apabila dibaca isi dari pasal 17 Undang-undang No.5/1999 sama sekali tidak melarang monopoli, tetapi yang dilarang adalah penyalahgunaan posisi monopoli yang dimiliki oleh pelaku usaha untuk melakukan tindakan -tindakan anti persaingan tersebut.

Apabila merujuk kepada Model Law on Competition UNCTAD, Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 sebenarnya tidak memiliki padanannya secara langsung, namun ketentuan yang ada pada Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 memiliki kemiripan substansi dengan Pasal 4 Model Law on Competition UNCTAD mengatur mengenai perilaku yang dianggap sebagai penyalah gunaan posisi dominan.

2.

Monopsoni

Secara teori ekonomi, monopsoni adalah sebuah pasar dimana hanya terdapat seorang pembeli. Biasanya pembeli tunggal ini akan menjual dengan cara monopoli. Pada kondisi inilah potensi kerugian masyarakat akan timbul dan juga ada potensi yang tidak sehat, karenanya Undang-Undang no 5 tahun 1999 mengatur secara khusus dalam pasal 18. Secara hukum, pasal ini melarang pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan /atau jasa dalam pasar yang bersangkutan. Dan pada ayat dua, pasal ini menyatakan seseorang atau sekelompok pelaku usaha dianggap melakukan monopsoni manakala menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pada satu jenis barang atau jasa tertentu.

Meskipun kasus monopsoni sangat jarang terjadi, akan tetapi dalam satu waktu atau suatu daerah tertentu hal ini bisa terjadi. Contoh klasik pada literatur ekonomi adalah

55

kasus penguasaan pasar tenaga kerja oleh pihak produsen pada daerah pertambangan, dimana pemuda atau angkatan kerja tidak punya banyak pilihan untuk bekerja. Misalkan pada

suatu

daerah

yang

kaya

minyak

tertentu

hanya

terdapat

sebuah

perusahaan/industri pertambangan dan perusahaan tersebut sangat besar. Maka, meskipun pemerintah daerah setempat menyediakan alternatif tempat bekerja yang lain pada retail dan jasa, akan tetapi hampir bisa dipastikan industri yang sendiri tadi akan sangat bisa menguasai pasar tenaga kerja di kota tersebut. Dan industri tersebut bisa dipastikan akan menyedot tenaga kerja, yang konsekuensinya adalah pengaturan harga dari tenaga kerja tersebut. Pada kondisi inilah kemudian kita menyaksikan ada salahsatu pihak yang dirugikan, karenanya hukum harus mengatur dengan tegas kondisi yang menyebabkan turunnya kesejahteraan secara agregat.

Kasus penguasaan tenaga kerja juga dapat terjadi jika ada serikat pekerja yang mereka sangat solid sehingga mereka memiliki nilai tawar yang sangat tinggi. Solid disini terukur dengan kemampuan organisasi serikat tenaga kerja yang dapat meliputi dan mewakili sebagian besar atau seluruh tenaga kerja dalam sebuah industri. Dalam kondisi tertentu mereka bahkan bisa merugikan perusahaan dengan : 1.

Menuntut upah yang lebih tinggi dari yang dicapai pada keseimbangan penawaran dan permintaan pasar tenaga kerja. Dengan ancaman mogok yang sangt merugikan perusahaan dan lain sebagainya, mereka menjadi punya kekuatan untuk merubah.

2.

Membatasi penawaran tenaga kerja. Ketika buruh bisa melakukan pembatasan tenaga kerja. Pembatasan penawaran juga akan berimplikasi pada tuntutan peninggian upah.

Untuk kasus Indonesia, kita juga melihat beberapa kasus yang terjadi pada tenaga kerja. Akan tetapi pada beberapa tahun belakangan ini, kita juga melihhat ada kasus monopsoni yang terjadi pada beberap pasar. Diantaranya pada pasar cengkeh, dimana BPPC dibawah koordinasi Tomy Suharto memaksa semua petani untuk menjual cengkeh mereka pada Badan tersebut dengan berbagai alasan yang dipaksakan. Monopsoni juga terjadi pada kasus penambangan pasir laut bagi kepentingan reklamasi di Singapura. Tentunya Singapura dalam hal ini menjadi pembeli tunggal yang kita sebut dengan monopsoni juga. .Keadaan ini membuat Singapura memiliki kemampuan untuk

56

mendikte harga pasir di pasar. Otomatis harga dapat bergerak turun-naik menurut kehendak pembeli, dan Singapura telah mampu menekan harga pasir se cara drastis di kurun waktu tahun 1999-2002. Lepas dari Singapura kemudian punya kemampuan memaksakan harga atau tidak, pada kondisi tertentu pasar dengan struktur seperti ini sangat rentan menimbulkan pasar gelap (black market), semisal penyelundupan dan lain-lain. Dalam kasus ini Singapura bisa menempuh jalan kasar kalau pemerintah tidak mau menuruti kemauan harga yang diinginkan mereka, yakni dengan penyelundupan, dan sudah terjadi. Tentunya, dalam jangka pendek dan panjang , hal ini sangat merugikan bangsa ini. Kasus lain yang cukup mengusik kita adalah kasus penguasaan beras di beberapa daerah yang mesti dijual kepada KUD (Koperasi Unit Desa), DOLOG dan lain-lain. Juga peternak sapi perah di Pengalengan dan Cikajang yang dengan banyak alasan harus menjual susunya pada Koperasi (KPBS), dengan harga yang tentunya sudah diatur sedemikian rupa.

Penegakkan Pasal 18 Undang-undang No.5/1999 dalam prakteknya bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena berdasarkan pengalaman praktek ini merupakan praktek yang jarang terjadi dan konsekwensi hukum yang akan timbul dari ketentuan ini tetap tidak jelas. Dan apabila melihat kepada Model Law on Competition Law UNCTAD padanan untuk pasal 18 ini sulit untuk ditemukan.

Pemberian judul monopsoni pada pasal 18 undang-undang No.5/1999, dapat ditafsirkan dan dibaca oleh masyarakat bahwa monoposoni itu merupkan suatu hal yang dilarang padahal dalam kenyataannya monopsoni bukan sesuatu yang terlarang, maka lebih baik judul monopsoni dalam pasal 18 dihilangkan saja atau ketentuan ini tidak perlu diberikan judul.

3.

Penguasaan Pasar

Penguasaan pasar atau dengan kata lain menjadi penguasa di pasar merupakan keinginan dari sebagian besar pelaku usaha, karena penguasaan pasar yang cukup besar memiliki korelasi yang positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa diperoleh oleh pelaku usaha. Segala cara dilakukan -dari yang halal sampai yang

57

haram- oleh pelaku usaha agar mereka dapat menjadi penguasa di pasar. Penguasaan pasar oleh pelaku usaha dapat memungkinkan pelaku usaha tersebut melakukan segala tindakan yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Penguasaan pasar yang cukup besar oleh pelaku usaha biasanya selalu menjadi perhatian bagi penegak hukum persaingan usaha untuk mengawasi perilaku pelaku usaha tersebut di dalam pasar, karena penguasaan pasar yang besar oleh pelaku usaha tertentu biasanya dimanfaatkan untuk melakukan tindakan-tindakan yang anti persaingan yang tujuannya agar dia dapat tetap menjadi penguasa pasar. Bagian ketiga dari Bab IV (mengenai Kegiatan yang Dilarang) Undang-undang No.5/1999 memasukan beberapa tindakan yang mungkin dilakukan oleh pelaku usaha ketika memiliki penguasaan yang cukup besar di dalam pasar, yaitu: 1) menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; 2) menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaing; 3) membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar yang bersangkutan; 4) melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu; 5) melakukan pemasokan barang dan/atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan; 6) melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan/atau jasa.

Kegiatan nomor satu sampai nomor empat di atas diatur di dalam Pasal 19 Undangundang No.5/1999, dimana Pasal 19 Undang-undang No.5/1999 berbunyi: “pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berupa: a. menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau

58

b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau c. membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan; atau d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.”

Sebenarnya Pasal 19 Undang-undang No.5/1999, ini lebih baik pengaturannya disinergikan saja dengan pengaturan mengenai monopoli yang diatur di dalam Pasal 17 Undang-undang No.5/1999, pengaturan mengenai oligopoli yang diatur di dalam Pasal 4 Undang-undang No.5/1999 dan pengaturan mengenai posisi dominan dalam Pasal 25 Undang-undang No.5/1999 karena ketentuan Pasal 19 tersebut memiliki kesamaan satu sama lain dengan Pasal-pasal yang telah disebutkan tersebut.

Sadangkan Pasal 20 dan 21 Undang-undang No.5/1999, apabila membaca Model Law on Competition UNCTAD memiliki padanannya yaitu pada Pasal 4 Romawi II huruf (a). Sedangkan dalam hal pembuktian mengenai masalah seperti yang diatur oleh Pasal 20 dan 21 Undang-undang No.5/1999, hukum persaingan Jerman menerapkan pembuktian terbalik, sehingga pelaku usaha yang dituduhkan melakukan praktek yang dilarang tersebut memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa pelaku uhsa tersebut tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

4. Persekongkolan Persaingan bagi sebagian pelaku usaha bukan merupakan sesuatu hal yang menyenangkan, karena dengan adanya persaingan biasanya bagi perusahaan yang tidak efesien, tidak inovatif, atau berusaha dengan keras meningkatkan kinerja perusahaan agar dapat menghasilkan produk dengan harga yang semurah mungkin dengan kualitas yang terbaik tentulah akan tersingkir dari pasar. Maka oleh karena i tu bagi pelaku usaha yang alergi terhadap persaingan usaha yang terbaik yang mungkin mereka lakukan untuk tetap bertahan di dalam pasar adalah dengan melakukan persekongkolan.

Persekongkolan atau juga dapat disebut sebagai konspirasi usaha didefenisikan oleh Pasal 1 ayat (8) Undang-undang No.5/1999 adalah sebagai bentuk kerjasama yang

59

dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Maka oleh Undang-undang No.5/1999 Persekongkolan (conspiracy) merupakan salah satu

kegiatan

yang

dilarang.

Undang-undang

No.5/1999

kemudian

membagi

persekongkolan menjadi tiga bentuk, yaitu: 1) Persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender (Pasal 22 UU No.5/1999); 2) Persekongkolan untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang dapat diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan (Pasal 23 UU No.5/1999); 3) Persekongkolan untuk menghambat produksi atau pemasaran barang atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi kurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan (Pasal 24 UU No.5/1999).

Persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender (bid rigging) menurut a framework for design and implementation of competition law and policy yang dibuat oleh Bank Dunia dan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) adalah sebuah perjanjian yang dibuat diantara para pihak peserta tender yang akan menentukan siapa yang akan memenangkan tender tersebut (yang biasanya tender tersebut berasal dari lembaga pemerintahan). 55

Di Indonesia, persekongkolan tender (bid rigging) dapat dikatakan sebagai hal yang lumrah terjadi. Kolusi yang terjadi antara penyelenggara dan peserta tender juga merupakan hal yang biasa sehingga dapat dikatakan Tender yang diselenggarakan hanyalah sekedar formalitas belaka.56 Di dalam a framework for design and implementation of competition law and policy juga disebutkan beberapa variasi persekongkolan yang biasa dilakukan dalam proses tender. Tiga diantaranya: bid suppression, complementary bidding, dan bid rotation. Bid suppression adalah bentuk persekongkolan yang dilakukan diantara peserta tender untuk memenangkan salah s atu di antara mereka dengan cara memaksa peserta tender yang lain untuk menahan diri 55

R. Syam Khemani, Loc. Cit. hal 23

56

Ditha Wiradiputra, Fenomena Persekongkolan, Tabloid Mingguan KONTAN (No.26 Tahun VI, 1 April 2002.

60

dalam mengajukan penawaran, atau bahkan meminta peserta tender yang lain untuk menarik diri dari proses tender. Complementary bidding adalah salah satu bentuk persekongkolan tender yang mempunyai maksud yang sama yaitu untuk memenangkan salah satu diantara mereka dimana pihak yang diharapkan akan memenangkan tender akan memberikan penawaran harga yang terbaik dan para peserta tender yang lain juga memberikan

penawaran

yang

kompetitif

tetapi

dengan

klausul-klausul

yang

kemungkinan tidak dapat diterima penyelenggara tender. Sedangkan Bid rotation adalah bentuk persekongkolan tender dimana para peserta tender akan secara bergiliran memenangkan tender. Para peserta tender akan berusaha membagi giliran tender secara merata kepada setiap peserta persekongkolan tender. Penggiliran pemenang tender dalam suatu kelompok pelaku usaha tertentu dapat dijadikan petunjuk bahwa diantara mereka terjadi suatu kolusi. 57

Dengan adanya persekongkolan tender (bid rigging) telah membuat tujuan dari penyelenggaraan tender menjadi tidak tercapai, yaitu untuk mendapatkan penawaran terbaik atas suatu pemborongan suatu pekerjaan, mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan jasa. Persekongkolan tender telah membuat penyelenggaraan tender tidak mendapatkan penawaran yang terbaik atas suatu pemborongan perkerjaan, pengadaan barang atau menyediakan jasa.

Pasal 22 undang-undang No.5/1999 yang berbunyi bahwa: “pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Dirumuskan secara Rule of Reason, sehingga konsekwensinya pelaku usaha diperbolehkan bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur atau menentukan pemenang tender asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Karena misalkan dalam suatu proses tender, bagi pelaku usaha yang memiliki kualifikasi tertentu saja yang dapat mengikuti proses tender, sehingga pelaku usaha yang berminat ingin mengikuti tender tetapi tidak memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan mungkin akan saling berkerjasama agar mereka dapat mengikuti tender tersebut, maka kemungkinan praktek yang seperti ini tidak dapat dikatakan sebagai persekongkolan tender yang tidak mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat. 57

R. Syam Khemani, Loc. Cit. hal 23

61

Namun yang menjadi permasalahan dalam penerapan Pasal 22 Undang-undang No.5/1999 adalah ketika dilapangan banyak ditemukan bahwa yang terlibat dalam praktek pesekongkolan tender itu tidak hanya para peserta tender saja tetapi juga pihak yang menyelenggarakan tender terlibat dalam persekongkolan tersebut. Pertanyaannya adalah apakah dimungkinkan pihak penyelenggara tender dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 22.

Kemudian apakah Pasal 22 Undang-undang No.5/1999 tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pihal lain, apakah pihak lain itu diartikan sebagai sesama peserta tender ataukah seluruh pihak yang terlibat dalam suatu tender seperti konsultan jasa penilai, konsultan hukum atau akuntan misalnya.

Sedangkan penjelasan Pasal 22 memberikan penjelasan mengeni tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan jasa. Sehingga penjelasan tersebut telah mempersempit defenisi dari tender, karena suatu tender diadakan biasanya tidak hanya untuk keperluan seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 22 tetapi juga ada dalam praktek sehari-harinya tender dilakukan dalam rangka melakukan suatu penjualan.

Sedangkan bentuk persekongkolan yang lain yang dilarang untuk dilakukan oleh Undang-undang No.5/1999 adalah persekongkolan untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan, ketentuan ini bertujuan memberikan perlindungan kepada pelaku usaha yang eksistensi atau keberadaan mereka di dalam pasar bergantung sekali kepada rahasia perusahaan yang dimiliki, seperti perusahaan Coca Cola jika resep mereka dalam meracik minuman sampai jatuh ketangan pelaku usaha lain yang kemungkinan akan memproduksi produk yang sama sudah barang tentu kedudukan Coca Cola di dalam pasar akan terancam, atau juga perusahaan farmasi yang melakukan riset dengan waktu dan biaya tidak sedikit yang kemudian berhasil menghasilkan suatu resep obat yang sangat ampuh untuk menyembuhkan suatu penyakit tertentu, tetapi karena ada persekongkolan jahat, sehingga mengakibatkan resep obat yang dimiliki perusahaan tersebut bisa jatuh

62

ketangan pelaku usaha lain yang menjadi pesaingnya, sehingga pelaku usaha pesaingnya tersebut dapat memproduksi obat yang sama tanpa harus melakukan riset dan mengeluarkan biaya yang besar terlebih dahulu, bisa memperoleh keuntungan yang sangat besar. yang mungkin berlaku sebaliknya bagi pelaku usaha yang resepnya telah dicuri. Namun jika rahasia perusahaan dapat dipersamakan dengan rahasia dagang yaitu informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiannya oleh pemilik rahasia dagang,58 maka tidak hanya Undang-undang No.5/1999 yang memberikan perlindungan terhadap rahasia perusahaan tersebut tetapi ada juga undang-undang yang mengatur secara spesifik mengenai rahasia dagang yaitu Undang-undang No.30 Tahun 2000.

Ketentuan yang mengatur mengenai persekongkolan untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasisifikasikan sebagai rahasia perusahaan oleh Undang-undang No.5/1999 - khususnya oleh Pasal 23 yang berbunyi bahwa: “pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” - diatur secara Rule of Reason sehingga membawa konsekwensi pelaku usaha tidak dilarang bersekongkol dengan pihak

lain

untuk

mendapatkan

informasi

kegiatan

usaha

pesaingnya

yang

diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Bentuk persekongkolan yang terakhir yang diatur oleh Undang-undang No.5/1999 adalah persekongkolan untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan. Dimana bentuk persekongkolan seperti ini telah menghilangkan salah satu prasyarat persaingan yang paling penting yaitu kebebasan untuk masuk ke dalam pasar.

58

UU No.30 Tahun 2000 pasal 1 ayat 1 LN No 242 tahun 2000 TLN 4044

63

Persekongkolan untuk menghambat produksi atau pemasaran barang atau jasa pelaku usaha pesaing sebenarnya hampir sama tujuan dengan praktek pemboikotan yaitu mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk kedalam pasar yang sama, yang kemudian pasar tersebut terjaga hanya untuk kepentingan pelaku usaha yang melakukan praktek pemboikotan. Atau juga ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya salah satu praktek pemboikotan adalah bersekongkol untuk menghambat produksi atau pemasaran barang atau jasa pelaku usaha pesaing.

Memperhatikan dampak buruk yang dapat ditimbulkan dari praktek persekongkolan seperti di atas, maka sudah seharusnya persekongkolanseperti di atas oleh pasal 24 Undang-undang No.5/1999

dirumuskan secara Per-Se, yaitu ketika pelaku usaha

melakukan tindakan yang disebutkan di dalam pasal tersebut sudah dikatakan bahwa pelaku usaha tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap pasal tersebut tanpa harus melihat atau menunggu sampai munculnya akibat yang ditimbulkan dari tindakan tersebut.

Adapun Pasal 24 Undang-undang No.5/1999 berbunyi sebagai berikut: “pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.”

Posisi Dominan Posisi dominan didefenisikan oleh Pasal 1 ayat (4) Undang-undang No.5/1999 sebagai suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

64

Bila dibandingkan dengan monopoli, secara konseptual posisi dominan itu seperti jembatan di antara struktur pasar monopoli dan struktur pasar oligopolistik (pasar yang dikuasai oleh beberapa perusahaan sejenis yang mempunyai kemampuan yang sama). Pada pasar yang berstruktur monopoli, pelaku usaha yang ingin masuk ke dalam pasar akan mendapatkan rintangan yang cukup besar dari si pelaku usaha yang memiliki kedudukan monopoli, tetapi untuk pasar yang terdapat pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan di dalamnya, hambatan yang dibuat untuk menceg ah pelaku usaha lain yang hendak masuk ke dalam pasar oleh pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan tidak sebesar yang dibuat oleh pelaku usaha yang memiliki kedudukan monopoli, atau dengan kata lain rintangan yang diciptakan oleh pelaku usaha dominan untuk mencegah pelaku usaha lain untuk masuk kedalam pasar yang sama tidak sebesar rintangan yang diciptakan oleh pelaku usaha yang memiliki kedudukan monopoli, sehingga dapat dikatakan bahwa si posisi dominan masih memberikan sedikit ruang bagi pelaku usaha lain untuk berpartisipasi di dalam pasar.

Sedangkan hal lainnya yang membedakan pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan dengan pelaku usaha yang memiki kedudukan monopoli adalah Kemampuan pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan (si posisi dominan) dalam mengontrol (menaikan atau menurunkan) harga tidak sekuat yang dimiliki oleh pelaku usaha yang memiliki kedudukan monopoli. Dimana dalam menentukan harga si posisi dominan harus memperhatikan reaksi konsumen atas tindakan yang diambilnya, karena mungkin atas tindakannya tersebut dapat memicu konsumen si posisi dominan berpindah kepada pelaku usaha lain yang lebih kecil yang berusaha menjadi pesaing dari si posisi dominan. Sedangkan bagi pelaku usaha yang memiliki kedudukan monopoli (si monopoli) tidak perlu memperhatikan reaksi konsumen ketika si monopoli harus menaikan harga, karena si monopoli mempunyai keyakinan bahwa konsumen tidak akan berpindah ke pelaku usaha lain meskipun si monopoli nantinya menaikan harga, karena sebelumnya si monopoli telah membuat rintangan-rintangan yang mencegah pelaku usaha lain masuk ke dalam pasar si monopoli, sehingga membuat yang ada di dalam pasar tersebut hanya si monopoli saja yang menjalankan usahanya.

Mencapai posisi dominan di dalam pasar bukanlah perkara yang mudah bagi setiap pelaku usaha, misalkan si pelaku usaha diharuskan meningkatkan kemampuan

65

keuangannya, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu terlebih dahulu, barulah kemudian si pelaku usaha bisa mencapai kedudukan posisi dominan di dalam pasar.

Oleh karena mencapai kedudukan posisi dominan di dalam pasar perlu usaha yang tidak ringan, hal tersebut mendorong si pelaku usaha melakukan segala cara untuk mempertahankan posisi dominannya agar tidak tergoyahkan oleh pelaku usaha lain, bahkan terkadang si posisi dominan melakukan tindakan -tindakan yang terlarang (anti persaingan) dalam mempertahankan posisi dominannya. Hukum persaingan usaha memberikan perhatian yang cukup serius terhadap pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan, karena seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan mempunyai kecendrungan untuk menghalalkan melakukan segala cara dalam mempertahankan posisi dominanya di dalam pasar. Si posisi dominan sangat tidak tentram bila ada pelaku usaha yang yang coba-coba untuk menggoyahkan kedudukannya di dalam pasar, sehingga terkadang si posisi dominan menerapkan strategi-strategi bisnis yang membuat pelaku usaha lain tidak dapat menyainginya, bila si posisi dominan dalam mempertahankan posisi dominannya tidak melalui cara-cara yang anti persaingan, seperti mengembangakan teknologi ataupun peningkatan permodalannya sudah barang tentu bagi hukum persaingan usaha tidak menjadi masalah, tetapi ketika si posisi dominan dalam mempertahankan kedudukannya melalui cara-cara yang anti persaingan maka sudah barang tentu pula hukum persaingan usaha sudah menyiapkan jerat-jerat hukum untuk si posisi dominan.

Sebagai contoh dimana sebelum Perang Dunia II Perusahaan Alumunium America (Alcoa),

merupakan

satu-satunya

perusahaan

nasional

Amerika

Serikat

yang

memproduksi batangan alumunium dari biji alumunium. Alcoa dalam pasar Amerika menghadapi persaingan dari beberapa perusahaan batangan alumunium yang melakukan daur ulang alumunium. Alcoa memiliki posisi dominan yang memproduksi alumunium dengan teknologi yang telah dipatenkan sehingga dengan teknologi tersebut Alcoa dapat memproduksi alumunium dengan biaya yang relatif rendah. Alcoa

66

memegang hak paten dan dengan demikian teknik produksi Alcoa dilindungi oleh hak paten. Namun setelah tahun 1909 hak paten tersebut telah kadaluwarsa dan Alcoa harus mempertahankan posisi tersebut.

Pemerintah mencoba menuntut Alcoa melakukan aksi monopoli terhadap pasar batangan alumunium, karena Alcoa, dituduh, melakukan pembelian bauxit melebihi dari jumlah yang dibutuhkan oleh perusahaannnya sehingga menyebabkan perusahaan lain yang menjadi pesaing potensial tidak bisa mendapatkan bahan dasar yang dibutuhkan untuk memproduksi batangan alumunium. Pemerintah juga menyatakan bahwa Alcoa telah menandatangani kontrak dengan Perusahaan Listrik Publik (PLN Amerika) yang mana kontrak tersebut didesain sedemikian rupa sehingga perusahaan yang bergerak sebagai produsen batangan alumunium, yang menjadi saingan Alcoa, tidak bisa mendapatkan listrik dengan harga yang murah (perlu diketahui bahwa untuk memproduksi batangan alumunium, dibutuhkan listrik yang besar). Dal am pandangan pengadilan, pemerintah dipandang tidak berhasil membuktikan bahwa Alcoa telah berupaya untuk melakukan usaha-usaha untuk melanggengkan monopoli di bidang produksi alumunium batangan. Namun demikian, pengadilan di Amerika Serikat menemukan bahwa Alcoa telah melakukan monopoli alumunium batangan yang dengan demikian telah bertentangan dengan bagian 2 dari Sherman Act. Faktor yang mendukung tuduhan tersebut adalah perluasan kapasitas produksi yang dilakukan oleh Alcoa. Berikut merupakan cuplikan dari pertimbangan keputusan pengadilan:

“It was not inevitable that it should always anticipate increases in demand for ingot and be prepared to supply them. Nothing compelled it to keep doubling and redoubling its capacity before others entered the field. It insist thet it never excluded competitors; but we can think of no more effective exclusion than progressively to embrace each new opportunity as it opened, and to face every newcomer with new capacity already geared into a great organization, having the advantage of experience, trade connections and the elite of personel.”

Pada Undang-undang No.5/1999 khususnya Pasal 25 mengemukakan beberapa tindakan terlarang

yang

umumnya dilakukan oleh si

mempertahankan kedudukannya di dalam pasar, antara lain:

67

posisi dominan dalam

1. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun dari segi kualitas; atau 2. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau 3. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

Hukum persaingan usaha secara umum ataupun Undang-undang No.5/1999 secara khusus sebenarnya tidak mengharamkan bagi pelaku usaha memiliki k edudukan posisi dominan di dalam pasar, asalkan tidak menyalahgunakan posisi yang dimilikinya untuk melakukan hal-hal yang telah di sebutkan di atas, Seperti yang dikemukakan oleh Pasal 25 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 bahwa: “Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: 1.

menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun dari segi kualitas; atau

2.

membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau

3.

menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.”

Pelaku usaha dapat dikatakan memiliki posisi dominan oleh Undang-undang No.5/1999 apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau, dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, dimana hal ini di atur di dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-undang No.5/1999.

Tetapi dengan pemberian judul posisi dominan pada Bab tersebut, seolah-olah posisi dominan dibaca oleh masyarakat sebagi suatu yang dilarang oleh Undang-Undang No. 5/1999. Padahal sebenarnya tidak demikian. Undang-undang ini tidak bertujuan untuk melarang pelaku usaha untuk menjadi besar atau dominan dalam menjalankan bisnisnya. Bahkan sebaliknya, UU No. 5/1999 justru b ertujuan untuk menggairahkan dunia usaha di Indonesia. Pada dasarnya tidak ada larangan bagi pelaku usaha untuk

68

memiliki posisi dominan di dalam pasar yang bersangkutan sepanjang posisi dominan tersebut diperolehnya dengan cara-cara yang jujur dan mengedepankan persaingan yang sehat dalam berbisnis. Dengan demikian penjudulan “Posisi Dominan” sangat tidak tepat sebagai sesuatu yang dilarang, dan lebih tepat apabila judul bab tersebut diganti dengan judul “Penyalahgunaan Posisi Dominan”, karena dianggap penyalahgunaan posisi dominan memiliki konotasi yang negatif sehingga harus menjadi sesuatu hal yang dilarang oleh undang-undang nantinya. Dan apabila melihat substansi yang ada dalam bab tersebut memang nampak lebih tepat bahwa hal-hal yang dilarang di dalam bab tersebut merupakan penyalahgunaan posisi dominan. Sehingga kesimpulannya adalah bahwa pencapaian penguasaan pangsa pasar (posisi dominan) pada dasarnya tidaklah dilarang, yang dilarang adalah penyalahgunaan posisi dominan tersebut. 59

Kemudian isi dari Pasal 25 ayat 1 huruf (a) Undang-undang No.5/1999 mempunyai kesamaan dengan pasal 19 huruf b Undang-undang No.5/1999, walaupun

tidak

sepenuhnya sama. Persyaratan pertama yang harus dipenuhi adalah bahwa pelaku usaha bersangkutan menentukan syarat perdagangan. Rumusan ini bermakna sangat luas dan sepertinya meliputi hampir seluruh perilaku persaingan usaha. 60 Untuk itu perlu semacam pengaturan yang lebih jelas dan bukan merupakan pengulangan dari suatu pasal yang lain. Begitupula dengan pasal 25 ayat 1 huruf (b) di mana hal ini memiliki tujuan mirip dengan tujuan pasal 19 huruf c. Pada pasal 25 ayat 1 huruf (b) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominannya untuk membatasi pasar dan pengembangan teknologi. Mengenai tujuan membatasi pasar, hal ini bermakna sangat luas, sehingga memerlukan interpretasi. Dan istilah “membatasi” dan “pasar” tidak dijabarkan lebih lanjut. 61 Apabila dilakukan interpretasi secara ekstensif, yang sebenarnya tidak sesuai dengan maksud dan tujuan ketentuan ini, maka semua hambatan persaingan sekaligus merupakan pembatasan pasar. 62 59

Udin Silalahi, Harian Umum Sore Sinar Harapan, Rubrik Persaingan Bisnis, Rencana Merger Air France dengan KLM: Peta Persaingan Penerbangan Dunia Akan Berubah, http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/industri/2003/1029/ind4.html 60

Peter W. Heerman, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Jakarta 2002, cet. II, hal. 335 61

Ibid.

62

Ibid, hal. 336.

69

Selanjutnya, di dalam pasal tersebut diatas disebutkan juga bahwa pelaku usaha dilarang

menggunakan

posisi

dominan

yang

dimilikinya

untuk

membatasi

pengembangan teknologi. Tentu saja hak atas kekayaan intelektual sebagai monopoli pribadi cocok sekali untuk membatasi pengembangan teknologi. Namun dari sistematik undang-undang ini nyata bahwa pasal 25 ayat 1 huruf (a) memerlukan reduksi teleologis.

63

Menurut pasal 50 huruf b, perjanjian hak atas kekayaan intelektual

dikecualikan dari jangkauan undang-undang ini. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hambatan persaingan yang diakibatkan adanya hak atas kekayaan intelektual selalu harus dapat diterima. Karenanya, pasal 25 ayat 1 huruf (b) hanya ditujukan bagi pembatasan yang “melampaui” batas, yang telah ditetapkan oleh hak milik kekayaan industri dan hak cipta.

Sedangkan Pasal 25 ayat (1) huruf (c) Undang-undang No.5/1999 menekankan tujuan penyalahgunakan posisi dominan untuk menciptakan hambatan masuk kepada pelaku usaha lain untuk ikut terjun dalam bidang usaha yang sama, sebenarnya pengaturan ini telah diakomodir di dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 5/1999 yang berbunyi sebagai berikut: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Untuk itu maka perlu kedua pengaturan tersebut diakomodir di dalam satu bagian atau pasal tertentu sehingga tidak terjadi pengulangan pengaturan.

Pasal 25 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 berbunyi: Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: (a) satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% ( lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau (b) dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Materi ketentuan pasal 25 ayat 2 huruf a identik dengan ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf (c) Undang-undang No.5/1999 dan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang No.5/1999, sedangkan Pasal 25 ayat (2) huruf (b) sama dengan isi

63

Ibid, hal. 337.

70

pasal 4 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 dan pasal 13 ayat 2 Undang-undang No.5/1999.

Kata-kata yang dipergunakan dalam ketentuan dalam pasal 25 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 berbeda dengan istilah hukum “pasar bersangkutan” yang terdapat dalam Pasal 1 angka (10) Undang-undang No.5/1999, dan dapat mengarah pada interpretasi yang lebih sempit, namun kesamaan bahasa dan konsep UNCTAD mengindikasikan bahwa sesuai dengan standar internasional, dibutuhkan posisi dominan dalam pasar bersangkutan. Karena itu, istilah hukum yang terdapat dalam Pasal 1 angka (10) Undang-undang No.5/1999 juga relevan dalam penerapan pasal 25 ayat (2). dari materinya, ketentuan ini berkaitan dengan definisi posisi dominan sebagaimana dimaksud pasal 1 angka (4) Undang-undang No.5/1999 dan memodifikasi definisi tersebut. Namun dalam menerapkan ketentuan tersebut, pangsa pasar bukan merupakan satu-satunya kriteria untuk menentukan posisi dominan. Perlu dipertanyakan apakah parameter-parameter lainnya yang berperan penting untuk menentukan posisi dominan patut atau dapat diabaikan dalam menerapkan Pasal 25 ayat 2 Undangundang No.5/1999. apabila demikian, maka definisi hukum di satu-satunya ketentuan hukum dalam undang-undang ini yang menggunakan istilah hukum “posisi dominan”, termodifikasi secara menyeluruh. Namun hal ini perlu dihindari demi penerapan istilahistilah hukum secara seragam, paling sedikit di dalam satu undang -undang

Lebih lanjut pada Bab Posisi Dominan Undang-undang No.5/1999 juga memasukan beberapa hal yang memungkinkan pelaku usaha meraih sebagai posisi dominan di dalam pasar, yaitu antara lain: 1. memiliki jabatan baik sebagai direksi ataupun sebagai komisaris dibeberapa perusahaan

yang bergerak di dalam pasar yang sama (Pasal 26 Undang -undang

No.5/1999); 2. memiliki saham secara mayoritas dibeberapa perusahaan yang bergerak di dalam pasar yang sama (Pasal 27 Undang-undang No.5/1999); 3. melakukan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan usaha (Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-undang No.5/1999).

71

Bagi pelaku usaha yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan, kemudian menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain yang berada dalam pasar bersangkutan yang sama juga, kemungkinan besar pelaku usaha tersebut akan mengkoordinasikan kegiatan usaha perusahaan-perusahaan dimana dia menjadi pejabat direksi atau komisarisnya, yang mungkin jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama perusahaan-perusahaan tersebut dapat saling bersaing satu sama lain, namun karena perusahaan-perusahaan tersebut memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama sangat kecil kemungkinannya di antara perusahaan tersebut akan saling bersaing. Memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama di beberapa perusahaan yang bergerak di dalam pasar yang sama, sudah barang tentu akan membuat perilaku dari perusahaan-perusahaan tersebut kemungkinan akan menjadi seragam di dalam pasar, sehingga membuat perusahaan-perusahaan yang memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama tersebut terlihat seperti satu perusahaan saja.

Dengan terjadinya praktek jabatan rangkap dapat mempengaruhi persaingan usaha dalam berbagai cara. Misalnya dapat menimbulkan pengawasan administratif di mana keputusan sehubungan dengan investasi dan produksi dapat melahirkan pembentukan strategi bersama di antara perusahaan sehubungan dengan harga, alokasi pasar dan kegiatan bersama lainnya. Dan ini penting disadari bahwa jabatan rangkap apabila tidak diawasi dengan cara efektif, dapat digunakan sebagai alat untuk menghindarkan perundang-undangan yang susunannya bagus dan diterapkan setepat-tepatnya di daerah praktek usaha yang restriktif.

Meskipun jabatan rangkap terlihat dari penjelasan di atas memberikan dampak yang kurang baik bagi persaingan usaha, bukan berarti seseorang dilarang sama sekali untuk menduduki jabatan rangkap di beberapa perusahaan yang berada di dalam pasar bersangkutan yang sama, karena berdasarkan Pasal 26 Undang-undang No.5/1999, yang berbunyi :“seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain apabila perusahaan-perusahaan tersebut:

72

a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan/atau jenis usaha; atau c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan/atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat,” sehingga dapat dikatakan jabatan rangkap yang dilarang berdasarkan Pasal 26 Undang-undang No.5/1999 adalah jabatan rangkap yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Sedangkan

mungkin

yang

dimaksud

dengan

jabatan

rangkap

yang

dapat

mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat atau yang dilarang oleh Undang-undang No.5/1999 adalah jabatan rangkap, dimana dengan adanya perusahaan-perusahaan yang memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama pada pasar bersangkutan yang sama kemudian menyebabkan beberapa perusahaan yang ada tersebut seperti satu perusahaan saja, yang selanjutnya membuat keberadaan mereka di pasar menjadi dominan, dan berikutnya perusahaan-perusahaan tersebut saling berkolusi untuk melakukan tindakan-tindakan yang anti persaingan.

Namun untuk memberikan pengawasan terhadap jabatan rangkap ini tidak cukup pengaturan mengenai

jabatan rangkap

terhadap

direksi

atau komisaris

saja

sebagaimana yang telah diatur oleh pasal 26 Undang-Undang No. 5/1999. Direksi dan Komisaris merupakan suatu istilah jabatan yang hanya terdapat dalam badan usaha yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, di mana direksi dan komisaris merupakan organ yang terdapat dalam suatu Perseroan Terbatas. Apabila ketentuan pasal 26 Undang-Undang No. 5/1999 tetap dipertahankan demikian, di mana larangan jabatan rangkap tersebut hanya diberlakukan bagi jabatan direksi dan komisaris maka pada akhirnya badan usaha lain selain Perseroan Terbatas seperti firma, CV, Koperasi dan lain-lain tidak akan terkena ketentuan mengenai jabatan rangkap ini sekalipun badan usaha tersebut memenuhi kriteria huruf (a), (b), dan (c) yang justru sebenarnya dapat mempengaruhi kondisi persaingan ke arah yang tidak sehat.

Untuk itu agar ketentuan mengenai jabatan rangkap ini tidak hanya mengarah kepada badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas saja maka penggunaan istilah Direktur dan Komisaris ini diganti menjadi Pengurus dan Pengawas dengan harapan

73

agar undang-undang ini juga dapat diberlakukan bagi bentuk badan usaha lain selain Perseroan Terbatas.

Kedudukan posisi dominan pelaku usaha juga bisa dilakukan dengan cara memiliki saham secara mayoritas di beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, dimana kemudian pangsa pasar perusahaan-perusahaan yang dimilikinya menjadi lebih besar.

Dengan memiliki saham secara mayoritas dibeberapa perusahaan yang sejenis yang bergerak di dalam pasar yang sama, pelaku usaha melalui perusahaan-perusahaanya yang telah berhasil dikuasai dapat juga melakukan tindakan seperti yang dilakukan oleh pelaku usaha yang menduduki jabatan rangkap dibeberapa perusahaan yang berada dalam pasar yang sama, sehingga seharusnya pengaturan mengenai kepemilikan saham secara mayoritas di beberapa perusahaan yang sama disesuaikan dengan pengaturan mengenai penyalahgunaan posisi dominan dan jabatan rangkap.

Namun Pasal 27 Undang-undang No.5/1999 yang mengatur mengenai pemilikan saham secara mayoritas pada perusahaan sejenis yang m elakukan kegiatan usaha pada pasar bersangkutan yang sama - (dimana Pasal 27 secara lengkap berbunyi: “pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan : a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu: b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”) - sepertinya dirumuskan secara keliru, karena Pasal 27 yang merupakan salah satu pasal yang juga menjadi bagian dari Bab V Posisi Dominan, seharusnya perumusannya juga disesuaikan dengan kaidah yang lain, seperti pada pengaturan penyalahgunaan posisi dominan dan jabatan rangkap, yang dikatakan sebelumnya bahwa sesungguhnya posisi dominan itu sendiri tidak dilarang, asalkan tidak melakukan tindakan-tindakan yang disebutkan pada Pasal 25 ayat (1) Undang -undang No.5/1999, dan begitu pula

74

jabatan rangkap yang sebenarnya juga tidak dilarang asalkan tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, karena sesungguhnya dampak yang muncul dengan dimilikinya saham secara mayoritas dibeberapa perusahaan yang sama tidak jauh berbeda dengan dampak yang ditimbulkan ol eh jabatan rangkap pada perusahaan yang bergerak pada pasar yang sama.

Kemudian pmberian judul Pasal 27 Undang-undang No.5/1999 dengan judul Pemilikan Saham. Pemberian titel ini tidak tepat karena terminologi pemilikan saham itu bersifat umum. Dan kembali lagi bahwa apabila Pemilikan Saham menjadi judul salah satu pasal di dalam bab mengenai penyalahgunaan posisi dominan, maka kesan awal yang dapat ditangkap adalah bahwa pemilikan saham khususnya pemilikan saham mayoritas adalah suatu penyalahgunaan posisi dominan. Padahal seharusnya tidak demikian, karena undang-undang ini pada dasarnya tidak melarang sesorang untuk memiliki saham mayoritas dari suatu perusahaan.

Pengaturan di dalam pasal 27 Undang-undang No.5/1999 yang berkaitan dengan masalah kepemilikan saham mayoritas di beberapa perusahaan sangat terkait dengan masalah penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan karena perbuatan hukum penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan biasanya akan berpengaruh terhadap perubahan komposisi kepemilikan saham perusahaan. Sehingga ada baiknya apabila pasal 27 Undang-undang No.5/1999 mengenai pemilikan saham ini digabungkan atau dimasukan

saja

ke

dalam

Pasal

28

Undang-undang

No.5/1999

mengenai

penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.

Persyaratan lebih lanjut, yang berhubungan dengan kepemilikan saham mayoritas, dapat menimbulkan kekhawatiran dalam kasus-kasus tertentu apabila teks ketentuan ini hanya digunakan sebagai standar orientasi. Hal tersebut terjadi apabila bahaya yang diakibatkan oleh kepemilikan saham tersebut secara de facto tidak dapat terjadi, misalnya kalau pemegang saham mayoritas tidak berhak untuk melaksanakan hak memilih yang sesuai. Oleh karena itu rumusan undang-undang tersebut tidak memuat acuan untuk penilaian terperinci, khususnya kar ena pasal 27 Undang-undang No.5/1999 kelihatannya tidak mempunyai elemen-elemen pembatas atau modifikasi apabila hambatan hukum untuk memulai penyelidikan sudah tercapai.

75

Hal lain yang menyebabkan pelaku usaha memiliki kedudukan sebagai posisi dominan di dalam pasar adalah dengan cara pelaku usaha tersebut melakukan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), atau pengambilalihan (akusisi) perusahaan lain. Penggabungan (merger) menurut Black’s Law Dictionary adalah “(T)he absorption of one company by another, latter retaining its own name and identity and acquiring assets, liabilities, franchises, and powers of former, and absorbed company ceasing to exist as separate business entity.” sementara merger menurut Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas adalah “perbuatan hukum yang dilakukan satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar.”

Peleburan (konsolidasi) menurut Black’s Law Dictionary adalah “...when two or more corporations are extinguished, and by the same process a new one is created, taking over the assets and assuming the liabilities of those passing out of existence. A unifying of two or more corporations into a single new corporation having the combined capital, francises, and powers of all its constituents.” Sedangkan menurut PP No.27/1998, Peleburan diartikan sebagai: “perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masingmasing perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar.”

Pranata konsolidasi ini kurang populer dalam praktek dan kurang banyak diminati orang. Konsolidasi perusahaan terjadi jika sebuah perusahaan baru dibentuk untuk mengambil alih net asset dari dua perusahaan lainnya yang telah dikombinasi. Dengan perkataan lain, konsolidasi dari suatu perusahaan berarti suatu proses dimana dua atau lebih perusahaan meleburkan diri, dan dalam proses tersebut juga dibentuk suatu perusahaan baru yang mengambil alih aset-aset dan mengasumsi (mengambil alih) kewajiban dari kedua atau lebih perusahaan yang meleburkan diri tersebut. Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa konsolidasi perusahaan terjadi jika yang di dalamnya itu telah dilebur dua maskapai yang seluruhnya baru, dengan tidak adanya maskapai-maskapai yang semula hidup terus. Istilah ini sering juga sebagai gantinya amalgation.

76

Sedangkan pengambilalihan (akusisi) menurut Black’s Law Dictionary adalah:“(T)he act of becoming the owner of certain property.” Sementara menurut PP No.27/1998 pengambilalihan adalah: “perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau perseorangan untuk mengambilalih seluruh atau sebagian besar saham perseorangan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut.”

Adapun yang dimaksudkan akuisisi dalam hubungannya dengan perusahaan adalah suatu

pengambilalihan

kepentingan

pengontrolan

(controlling

interest)

dalam

perusahaan lain. Secara lebih spesifik, akuisisi perusahaan merupakan tindakan untuk mengambil alih suatu perusahaan oleh perusahaan lain yang biasanya, tetapi tidak selamanya, dicapai dengan membeli saham biasa dari perusahaan lain. Karena dengan kata akuisisi mengandung kata memiliki atau mengambil alih (Take Over), maka untuk dapat

dikatakan

akuisisi

perusahaan

dalam

arti

pengambilalihan

saham,

pengambilalihan mana mestilah paling tidak pengambilalihnya dapat menjadi mayoritas biasa (Simple Majority), yaitu minimal 51% dari seluruh saham perusahaan yang diambil alih.

Berbeda dengan merger, maka pada kasus akuisisi, tidak ada perusahaan yang melebur ke perusahaan lainnya. Jadi setelah terjadi akuisisi, maka kedua perusahaan masih tetap exist, hanya kepemilikannya yang telah berubah.

Sedangkan dalam hal merger (seperti juga dengan akusisi dan konsolidasi) sangat riskan melahirkan perusahaan yang memiliki kedudukan posisi dominan yang dilarang peraturan perundangan yang berlaku. Oleh karena itu Undang-undang Persaingan Usaha sangat cukup mewaspadai setiap merger yang terjadi, dalam artian merger sesungguhnya tidak dilarang, tetapi jangan sampai menimbulkan monopoli. Di Amrika Serikat misalnya, pasal 7 dari Clayton Act kurang lebih menyebutkan bahwa perusahaan yang terlibat dalam bisnis tidak boleh memperoleh seluruh atau sebagian dari saham atau asset dari perusahaan lain yang terlibat dalam Usaha yang sama sehingga dapat mengakibatkan secara substansial dapat memperkecil kompetisi atau cenderung menciptakan monopoli.

Efek negative dari merger terhadap suatu Persaingan adalah sebagai berikut:

77

1. terciptanya atau bertambahnya konsentrasi pasar yang dapat menyebabkan harga produk menjadi lebih tinggi; 2. kekuatan pasar (market power) menjadi semakin besar yang dapat mengancam pelaku Usaha kecil.

Suatu konsentrasi pasar dapat dilihat dari dua faktor sebagai berikut : 1. berapa banyak pelaku usaha untuk produk yang bersangkutan; 2. berapa besar pangsa pasar yang dikuasainya.

Dalam mengkaji efek anti persaingan dari suatu merger, konsolidasi, dan akusisi oleh hukum persaingan usaha biasanya di lihat dari: 1. Harga yang berkolusi 2. Skala ekonomi yang tereksploitasi 3. kekuasaan untuk monopoli (monopoly power) 4. Interdependensi yang oligopolistik.

Disamping itu, beberapa faktor tambahan yang seharusnya ikut dipertimbangkan untuk menentukan seberapa jauh suatu merger, konsolidasi dan akusisi dapat dikategorikan sebagai yang dilarang hukum persaingan usaha. Beberapa Faktor-faktor tambahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Arah kecenderungan perubahan kondisi pasar 2. Kondisi finansial dari pelaku pasar 3. Kemudahan untuk dapat masuk ke pasar. Ini kemudian berkembang dalam teori “jalan masuk” (Entrenchment theory) 4. Ketersediaan produk substitusi 5. Sifat dari produk 6. Syarat-syarat penjualan produk 7. Market Performance 8. Dampak efisiensinya

Dalam teori ilmu ekonomi industri, dikenal pula suatu cara menghitung konsentrasi pasar yang terkonsentrasi dengan menghitung semua pelaku pasar bersama pangsa pasar yang dikuasainya. Teori ini dikenal dengan sebutan The Herfindahl-Hirschman Indeks

78

(“HHI”). Misalnya di pasar ada empat pelaku pasar dengan penguasaan pangsa pasar masing-masing sebagai berikut: -

pelaku A = 30%

-

pelaku B = 30% -

pelaku C = 30%

-

pelaku D = 10%

Maka rumusannya adalah sebagai berikut: C = A² + B² + C² + D² = 30² +30² + 30² + 10² = 2800 Keterangan : C = Konsentrasi Pasar

Konsentrasi pasar ini bergerak dari nol (tidak ada konsentrasi) sampai 10000 (monopoli penuh/ 100²) Besarnya tingkat graduasi konsentrasi pasar dikategorikan sebagai berikut: 1) HHI < 1000 = pasar tidak terkonsentrasi HHI < 1800 = pasar agak terkonsentrasi (moderately consentrated) HHI > 1800 = pasar sangat terkonsentrasi (highly concentrated)

Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa dengan merger, konsolidasi atau akusisi konsentrasi pasar menjadi semakin tinggi. Misalkan jika sebelum merger antara A dan B, HHI-nya adalah (A)² + (B)², maka setelah merger, HHI-nya menjadi (A+B)² yang berarti menjadi (A) ² + 2(AB) + (B) ². Jadi dengan demikian terlihat bahwa dampak dari merger yang membawa nilai HHI semakin tinggi.

Menganai merger itu sendiri apabila dilihat dari bentuknya secara umum dapat dikatagorikan menjadi: 1. Merger Horizontal; 2. Merger Vertikal 3. Merger Konglomerat

79

Masing-masing merger tersebut memberi warna tersendiri terhadap monopoli, yaitu sebagai berikut: 1. Merger Horizontal Dalam merger horizontal ini, perusahaan -perusahaan yang merger tersebut menjual produk yang sama. Sehingga apabila merger dilakukan, Persaingan antara perusahaanperusahan tersebut menjadi di tiadakan dan pangsa pasar yang dikuasai tentu akan menjadi lebih besar.

Untuk mengetahui apakah suatu merger horizontal dianggap melanggar prinsip anti monopoli atau Persaingan sehat, hokum harus benar-benar mempertimbangkan factorfaktor sebagai berikut: a. Post merger consentration. Dalam hal ini akan dilihat bagaimana konsentarasi pasar setelah dilakukan merger tersebut. b. Peningkatan konsentarasi pasar karena merger

2. Merger Vertikal Merger vertical (dari hulu ke hilir) ini ada yang upstream atau downstream. Vertical merger tidak membawa pengaruh secara langsung kepada Persaingan pasar. Tidak seperti dalam horizontal merger dimana kemungkinan akan hilangnya kompetisi karena malakukan merger ke dalam perusahaan lain tersebut. Akan tetapi sungguhpun demikian, merger vertical pun dapat membawa akibat tidak baik, karena dapat membuat perusahaan menguasai produksi dari hulu sampai hilir, itu dapat menjadi halangan bagi pendatang baru yang ingin masuk ke dalam bisnis yang sama. Sungguhpun harus diakui pula bahwa merger vertical ini bukannya tidak memiliki segi positif. Antara lain yang paling penting adalah peningkatan efesiensi, baik efesiensi dalam hal penggunaan teknologi ataupun efesiensi dalam hal pendistribusian suatu produk.

Jadi salah satu yang ditakutkan dengan adanya merger vertical ini adalah adanya pengekangan terhadap masuknya pesaing ke pasar (entry barrier). Dalum hokum Persaingan Usaha agar dapat divonis bahwa telah terjadinya entry barrier sebagai akibat adanaya merger vertikal, haruslah terdapat faktor-faktor sebagai berikut:

80

a) Derajat integrasi vertical diantara dua pasar tersebut haruslah sedemikian ekstensif sehingga dengan memasuki ke dalam satu pasar (primary market) berarti juga harus memasuki juga pasar yang lainnya (secondary market); b) Memasuki ke dalam secondary market mensyaratkan harus dimasukinya primary market, dan memasuki primary market jauh lebih sulit dari memasuki secondary market; c) Struktur dan sifat lain dari primary market haruslah sangat kondusif kepada terjadinya hal-hal yang non competitive.

Dengan dimikian, memang ada kemungkinan bahwa merger vertical ini akan mengurangi kompetisi pasar secara substansial atau kecendrungan menimbulkan monopoli di pasar.

3. Merger Konglomerat Merger konglomerat ini dapat terjadi dimana masing-masing perusahaan yang merger tersebut sebelumnya tidak memiliki hubungan bisnis, jadi bukan supplier atau konsumen. Contoh merger konglomerat yang dapat menimbulkan masalah terhadap persainga pasar adalahmerger untuk memperluas pasar. Merger konglomerat juga dapat berpengaruh negative terhadap Persaingan pasar karena itu juga diwanti-wanti oleh hukum persaingan usaha

Bagi hukum Persaingan Usaha, maka akibat negative bagi pesaingan pasar yang sangat

diwanti-wanti

bahwa

adalah

dengan

merger

konglomerat

tersebut

mengakibatkan hilangnya pesaing potensial. Sebab, pihak yang bergabung dengan cara merger konglomerat tersebut, sewaktu merger dilakukan tidak dalam keadaan bersaing secara langsung yang dapat menyebabkan perubahan struktur, konsentarsi atau penguasaan pasar. Yang ada hanyalah hilangnya pesaing “potensial”. Karena itu sering disebutkan bahwa merger konglomerat hanya menimbulkan secondary effect terhadap Persaingan pasar. Tetapi oleh hukum, inipun dianggap berbahaya bagi suatu pasar. Sehingga munculah dalam hukum Persaingan Usaha teori “potential competitor”. Dimana menurut teori ini, agar dapat dikatakan bertentangan dengan hokum Persaingan Usaha, maka merger konglomerat tersebut haruslah dilakukan dengan pihak yang

81

merupakan “potential competitor”, sehingga merger tersebut dapat mengakibatkan terjadinya pengekangan Persaingan pasar.

Oleh karena ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akusisi merupakan bagian dari Bab V Posisi Dominan, maka dalam menerapkan pasal 28 ini juga harus mengacu kepada pasal-pasal sebelumnya yang juga menjadi bagian dari Bab V Posisi Dominan, karena pasal-pasal yang terdapat di dalam bab tersebut sesungguhnya memiliki karakteriktik permasalahan yang sama yaitu dimana atas perbuatan yang dilakukannya menjadikan pelaku usaha tersebut menjadi dominan di dalam pasar, yang kemudian dengan posisi dominannya sangat rentan sekali terhadap penyalahgunaan untuk tindakan-tindakan yang anti persaingan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa merger, konsolidasi dan akusisi dapat mengakibatkan perusahaan menjadi dominan di dalam pasar.

Namun karena ketentuan lebih lanjut mengenai merger, konsolidasi dan akusisi berdasarkan Pasal 28 ayat (3) Undang-undang No.5/1999 akan diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah maksa sudah barang tentunya ketentuan yang lebih jelasnya dapat di lihat pada Peraturan Pemerintah tersebut.

Berdasarkan 29 ayat (1) undang-undang No.5/1999 yang menyatakan bahwa: “penggabungan

atau

peleburan

badan

usaha

atau

pengambilalihan

saham

sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 yang berakibat nilai aset dan/atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tersebut.” dapat diartikan Undang-undang No.5/1999 menganut aftermerger notification yaitu pelaku usaha baru memberitahukan kepada KPPU mengenai merger atau konsolidasi ataupun akusisi yang berakibat nilai aset dan/atau nilai penjualan melebihi jumlah tertentu setelah mereka melakukan merger, konsolidasi atau akusisi.

Namun

mengenai

penetapan

nilai

aset

dan/atau

nilai

penjualan

serta cara

pemberitahuan berdasarkan Pasal 29 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 akan diatur lebih lanjut juga di dalam Peraturan Pemerintah.

82

Dilihat dari judul yang diberikan untuk pasal 28 dan 29 Undang-undang No.5/1999 yakni penggabungan, peleburan dan pengambilalihan, di sini bukan berarti bahwa penggabungan, peleburan dan pengambilalihan sesuatu yang dilarang oleh undangundang. Karena sebagaimana halnya yang telah kita ketahui bahwa salah satu yang mendorong

perusahaan

untuk

melakukan

penggabungan,

peleburan

dan

pengembilalihan adalah bertujuan untuk meningkatkan efisiensi. Maka ada baiknya apabila penjudulan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan diganti menjadi penggabungan,

peleburan dan pengambilalihan yang

dilarang. Karena hanya

penggabungan, peleburan dan pengambilalihan yang menciptakan persaingan tidak sehat saja yang seharusnya dilarang.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, Pasal 28 Undang-undang No.5/1999 sebagai ketentuan yang secara umum mengatur penggabungan, peleburan dan pengambilalihan usaha, telah mencakup isi peraturan pasal 27 Undang-undang No.5/1999. Dengan demikian maka pasal 27 Undang-undang No.5/1999 merupakan lex spesialis terhadap pasal 28 Undang-undang No.5/1999, sehingga persyaratan restriktif ketentuan tersebut (mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat) juga harus berlaku dalam hal terdapatnya peraturan khusus. Akhirnya hanya dengan cara demikian dapat dicapai kesimpulan yang dapat dimengerti dan konsisten dengan sistem.

Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-undang No.5/1999 membahas pengawasan terhadap konsentrasi yang mencakup penggabungan, peleburan dan pengambilalihan. Kedua pasal tersebut tersebut merupakan lex imperfecta. Pasal-pasal tersebut baru dapat diimplementasikan setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang disyaratkan di pasal 28 ayat 3 dan pasal 29 ayat 2. Pasal 28 ayat 1 dan 2 maupun pasal 29 ayat 1, kalau berdiri sendiri tanpa disertai peraturan pelaksanaannya, terlalu kabur untuk dapat diimplementasi. Kedua pasal tersebut secara jelas dimasukkan berdasarkan hasil keputusan untuk melaksanakan pengawasan terhadap konsentrasi dan sebagai alat pengingat dalam undang-undang.

Menurut pasal 29 ayat (1) Undang-undang No.5/1999, penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan yang nilai modal atau penjualannya melebihi batasan tertentu harus

83

dilaporkan

kepada

Komisi

selambat-lambatnya

30

(tiga

puluh)

hari

setelah

dilaksanakannya proses konsentrasi.

Kenyataan bahwa pasal 29 ayat 1 Undang-undang No.5/1999 mensyaratkan kewajiban melapor suatu penggabungan yang sudah terlaksana, namun perlu juga diberikan tambahan aturan bahwa hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi pemeriksaan preventif yang dilakukan secara inisiatif oleh lembaga pengawas (pre-merger control).

Kriteria kewajiban pemberitahuan menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang No.5/1999 adalah nilai modal atau penjualan dari perusahaan yang baru terbentuk. Ketentuan ini sangat sulit dipraktekkan. Nilai modal dan penjualan dapat disembunyikan. Dengan cara demikian, perusahaan dapat menghindari kewajiban pelaporan. Selain itu, nilai penjualan suatu perusahaan publik berubah terus-menerus sesuai nilai sahamnya di bursa. Di dalam undang-undang nasional negara-negara industri besar maupun di dalam ketentuan persaingan Uni Eropa, kriteria yang menentukan adalah nilai penjualan dalam tahun pembukuan sebelumnya. Nilai penjualan adalah kriteria yang umum digunakan untuk mengetahui besarnya perusahaan. Nilai penjualan dilaporkan dalam laporan tahunan perusahaan dan sangat sulit dimanipulasi. Nilai penjualan juga merupakan data terpenting untuk menentukan nilai jual suatu perusahaan.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Dasar Hukum pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah UndangUndang No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sesuai dengan Pasal 30 UU No. 5/1999 bahwa dalam rangka pengawasan pelaksanaan undang-undang ini dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut “Komisi”.

Keberadaan suatu komisi yang bertanggung jawab bagi pelaksaan suatu ketentuan mengenai hukum antimonopoly atau hukum persaingan usaha adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Selama ini yang masih menjadi perdebatan adalah bagaimana letak dari komisi ini dalam kehidupan ketatanegaraan kita. Apabila kita

84

analisa Komisi sejenis pada Negara-negara lain, maka pada dasarnya terdapat empat model yaitu; Pertama adalah baik kewenangan penyelidikan, penuntutan maupun pembuat putusan diserahkan pada lembaga yang sama yang juga merupakan lembaga pembuat kebijakan dalam bidang persaingan usaha. Para pihak dalam hal ini dapat mengajukan banding pada pengadilan. Model pertama ini dipakai oleh Eropa Union. Kedua adalah Kewenangan penyelidikan, penuntutan dan putusan diserahkan pada lembaga independent yang bebas dari intervensi politik. Putusan komisi ini juga dapat diajukan banding. Model ini dipakai oleh German dan Itali. Model ketiga yaitu Putusan dibuat oleh lembaga independent, dimana lembaga ini tidak melakukan tugas penyelidikan dan penuntutan. Model ini dipakai di Belgia dan Spanyol, dimana lembaga yang berwenang memberi putusan adalah competition Council. Model keempat adalah model yang dipakai oleh Amerika Serikat dimana kewenangan penegakan hukum dalam bidang hukum antimonopoly di pegang oleh lembaga yang independent yaitu FTC dan Departement of Justice.

Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha memiliki alasan filosofis dan alasan sosiologis. Alasan Sosiologis yang dapat dijadikan dasar pembentukan KPPU yaitu bahwa dalam mengawasi pelaksanaan suatu aturan hukum diperlukan suatu lembaga yang

mendapat

kewenangan

dari

negara

(pemerintah

dan

rakyat).

Dengan

kewenangannya yang berasal dari negara ini diharapkan lembaga pengawas ini dapat menjalankan tugas dan fungsi dengan sebaik-baiknya serta sedapat mungkin mampu untuk bertindak secara independen.64

Sedangkan alasan sosiologis yang dapat dijadikan dasar pembentukan KPPU adalah menurunnya citra pengadilan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara serta beban perkara pengadilan yang sudah menumpuk. Alasan lain adalah dunia usaha membutuhkan penyelesaian yang cepat dan proses pemeriksaan yang bersifat rahasia. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga khusus yang terdiri dari orang-orang yang

64

Ayudha D. Prayoga, et al., Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya, cet. I, (ELIPS, 1999), hal. 128

85

ahli dalam bidang ekonomi dan hukum sehingga penyelesaian yang cepat dapat terwujud. 65

Pemberian kewenangan khusus kepada suatu Komisi untuk melaksanakan suatu peraturan di bidang persaingan adalah hal yang lazim dilakukan oleh kebanyakan negara. Misalnya, di Amerika Serikat dengan Federal Trade Commission-nya;66 67

Masyarakat Ekonomi Eropah dengan European Community Commission-nya;

Jepang,

Korea dan Taiwan dengan Fair Trade Commission-nya; dan lain-lain. Praktek di beberapa negara ada yang mengatur keberadaan Komisi khusus ini dengan undangundang tersendiri, ada juga yang menggabungkan pengaturannya dalam undangundang persaingan usahanya. Amerika serikat adalah contoh negara yang mengatur keberadaan Komisi khusus dalam undang-undang tersendiri. Sedangkan contoh negara yang menyatukan pengaturan keberadaan Komisi tersebut dalam undang-undang persaingan usahanya adalah Jepang, demikian juga dengan Indonesia.

Khusus di Indonesia, Pengaturan mengenai keanggotaan KPPU, persyaratan, dan pemberhentiannya diatur dalam pasal 31 sampai dengan pasal 33. Dalam pasal 1 butir 18, ditetapkan bahwa KPPU adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.68 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga independen yang terlepas dari pengaruh pemerintah dan pihak lain, serta berwenang melakukan pengawasan dan menjatuhkan sanksi. Sanksi tersebut berupa tindakan administratif, sedangkan sanksi pidana merupakan wewenang

65

Ibid.

66

Di Amerika Serikat terdapat keunikan karena di samping memberikan wewenang pengawasan di bidang persaingan usaha kepada Federal Trade Commission, juga memberikan kewenangan pada Department of Justice khususnya pada Anti Monopoli Division-nya. 67

European Community Commission adalah salah satu dari empat organ yang paling penting dari European Community, di samping the Council of Minister, the Parliament, dan the Court of Justice. Lihat Carolyn Hotchkiss, International Law for Business, (Singapore : McGraw-fbll, 1994), hal. 104-108 dan Ralph H. Folsom dan Michael W. Gordon, International Business Transactions, (St. Paul : West Publishing Co., 1995), hal. 876-898. 68

Indonesia, Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, op.cit., ps. 1 butir 18

86

pengadilan. KPPU adalah lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain (pasal 30 ayat 2), artinya KPPU b erwenang penuh dalam pengawasan dan penerapan pelaksanaan UU No. 5/1999 yang tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah dan pihak lain.

Undang-Undang No. 5/1999 memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong

percepatan

pembangunan

ekonomi

dalam

upaya

meningkatkan

kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa UUD 1945. Dengan perkataan lain, bahwa Undang-undang ini menjamin pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi, de ngan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum (Pasal 2 UU No. 5/1999).

Terdapat beberapa ketentuan dalam Undang-undang ini yang menghendaki peraturan pelaksanaan

lebih

lanjut,

antara

lain:

Peraturan

Pemerintah

(PP)

m engenai

penggabungan, peleburan dan pengambilalihan saham perusahaan lain (Pasal 28 ayat 3), Peraturan Pemerintah (PP) mengenai penetapan nilai aset (Pasal 29 ayat 2), Keputusan Presiden (Keppres) tentang pembentukan KPPU (Pasal 34 ayat 1), dan ketentuan mengenai prosedur beracara (Pasal 44 ayat 4). Namun demikian, dari sekian banyak kebutuhan yang diperlukan guna pelaksanaan UU tersebut, baru Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang KPPU yang telah disahkan.

Tugas KPPU KPPU adalah lembaga nonstruktural yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain, walaupun secara struktural pertanggungjawaban atas kinerjanya KPPU memberikan laporan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat secara berkala.

Tujuan dibentuknya KPPU adalah agar implementasi undang-undang serta peraturan pelaksanaannya dapat berjalan efektif sesuai asas dan tujuannya. Dalam mengawasi dan menerapkan UU No. 5/1999, KPPU mempunyai peranan yang sangat besar dan penting, Antara lain ialah KPPU berperan untuk melakukan advokasi sehingga secara

87

bertahap bidang bisnis yang struktur pasarnya banyak yang masih monopolis atau oligopolis berubah menjadi pasar bersaing, agar sesuai dengan UU No. 5/1999. 69

Di samping itu terhadap bidang yang telah menjalankan mekanisme persaingan, peran KPPU adalah mengupayakan agar persaingan tersebut berjalan sehat. Jangan lagi yang besar menginjak kaki yang lebih kecil, sehingga tidak kuat untuk bertahan, kemudian pelaku yang besar melakukan ekspansi untuk menguasai pasar. Juga jangan lagi pelaku usaha besar menghambat calon pesaing, sehingga hanya yang besarlah yang menguasai pasar dan mampu menentukan harga produk sesuai kehendaknya. 70 Agar peran KPPU tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka KPPU memiliki tugas yang berdasarkan Pasal 35 tugas KPPU adalah sebagai berikut: 

Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;



Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;



Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahguna an posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;



Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 36;



Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;



Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang -Undang ini;



Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja KPPU kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. 69

Disampaikan oleh syamsul Maarif dalam wawancara dengan Bisnis Indonesia tanggal 11 September 2003 70

Ibid.

88

Dengan kata lain, tugas KPPU adalah melakukan penilaian apakah telah terjadi perjanjian-perjanjian yang dilarang dan kegiatan usaha yang dilarang. Jika KPPU menilai telah terjadi perjanjian-perjanjian yang dilarang atau kegiatan usaha yang dilarang, maka KPPU dapat menggunakan wewenangnya untuk memerintahkan penghentian perjanjian-perjanjian yang dilarang dan kegiatan usaha yang dilarang.

Dari seluruh tugas yang diamanatkan oleh UU No. 5/1999 tent ang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Penegakan hukum (law enforcement) adalah tugas utama atau inti dari seluruh tugas yang diberikan kepada KPPU. Tugas tersebut dilaksanakan KPPU melalui tindakan penanganan perkara, penerbitan penetapan-penetapan dan putusan-putusan atas perkara yang ditangani, dan pelaksanaan upaya-upaya lanjutan yang terkait dengan eksistensi dan pelaksanaan penetapan dan putusan atas suatu perkara, yaitu tindakan monitoring putusan dan upaya litigasi. Sebagaimana prinsip penegakan hukum, maka Anggota KPPU wajib melaksanakan tugas dengan berdasar pada asas keadilan dan perlakuan yang sama 71 serta wajib mematuhi tata tertib KPPU.72

Penanganan perkara dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai tugas prioritas KPPU dilaksanakan baik dalam kerangka tindakan yang bersifat responsif terhadap laporan dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dari masyarakat (publik) atau pelaku usaha, maupun sebagai suatu tindakan yang bersifat inisiatif berdasarkan hasil temuan KPPU sendiri, di mana proses penanganan perkara di KPPU dilakukan melalui barbagai tahapan, yaitu: 1. Tahap Klarifikasi kejelasan dan atau kelengkapan laporan yang disampaikan oleh publik (Klarifikasi Laporan); 2. Tahap Pemeriksaan Pendahuluan selama-lamanya 30 (tiga puluh) hari yang dilakukan oleh Tim Pemeriksaan Pendahuluan; 3. Tahap Pemeriksaan Lanjutan selama-lamanya 90 (sembilan puluh) hari yang dilakukan oleh Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha; 71

Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, op.cit., pasal 11

72

Ibid., ayat (2)

ayat (1)

89

4. Tahap Pembuatan Putusan selama-lamanya 30 (tiga puluh) hari yang dilakukan oleh Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha; 5. Pembacaan Putusan oleh Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Sedangkan output dari penanganan perkara tersebut adalah penetapan-penetapan dan putusan-putusan dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap perkara bersangkutan. Pada akhirnya, terhadap seluruh putusan yang telah diterbitkan KPPU diperlukan upaya lanjutan berupa monitoring terhadap pelaksanaan putusan-putusan tersebut dan upaya litigasi jika atas putusan-putusan tersebut terdapat upaya keberatan (challenge) ke Pengadilan Negeri yang dilakukan pelaku usaha terkait. Di KPPU sendiri kasus-kasus yang kini ditangani baik berdasarkan pengaduan publik maupun inisiatif penyelidikan KPPU sebagian besar (kira-kira sembilan puluh persennya) adalah menyangkut praktek tender kolusif. Ada beberapa perkiraan mengenai mengapa kasus-kasus tender kolusif ini yang kemudian dominan ditangani saat ini. Perkiraan tersebut antara lain karena praktek tender kolusif merup akan jenis praktek anti persaingan yang akibatnya langsung dirasakan oleh pelaku usaha korbannya (pesaingnya) yang biasanya pula dalam nilai yang cukup signifikan, lain dengan praktek anti persaingan usaha lainnya. 73

Praktek-praktek tender kolusif ini sudah “membudaya” di Indonesia terutama dalam kasus tender pengadaan barang dan jasa bagi instansi-instansi pemerintah atau publik (termasuk di BUMN dan BUMD) yang dikenal dengan istilah “arisan”. 74

Sebagai salah satu lembaga penegak hukum kedudukan KPPU harus independen agar dalam memberi keputusan, KPPU dapat bersikap obyektif dan netral serta hanya berdasarkan Undang-Undang dan bukan karena petunjuk atau pengaruh pihak lain. Oleh karena itu pula, Komisi dalam pengawasan dan pelaksanaan UU ini secara

73

HMBC Rikrik Rizkiyana, “Perilaku Anti-Persaingan di Indonesia,” (Makalah di sampaikan pada Diskusi panel Memperingati Dua Tahun Diberlakukannya UU. No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan Tema: Evaluasi Penegakan UU No. 5 Tahun 1999 dan Visi ke Depan, Jakarta, 26 Maret 2002), hal. 13 74

Ibid., hal 14

90

struktural-organisatoris tidak berada di bawah lembaga pemerintahan manapun termasuk di bawah Presiden. Meskipun Komisi bertanggung jawab kepada Presiden (Pasal 30 ayat 3), namun dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Komisi tidak dapat dipengaruhi oleh Presiden atau setidak-tidaknya tidak dinyatakan dalam undangundang bahwa Presiden berhak untuk itu. Usaha untuk menjaga independensi dari pihak-pihak lain, setidak-tidaknya juga dapat terlihat dari persyaratan keanggotaan yang diatur dalam pasal 32 UU No. 5/1999, yaitu bahwa anggota KPPU tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha. KPPU bertanggungjawab kepada Presiden adalah hal yang wajar. Karena di sini KPPU melaksanakan sebagian dari tugas-tugas pemerintahan, di mana kekuasaan tertinggi pemerintahan berada di bawah Presiden. Jadi, sudah sewajarnyalah jika Komisi bertanggung jawab kepada Presiden. 75

Wewenang KPPU Berdasarkan Pasal 36, wewenang KPPU adalah: menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh KPPU sebagai hasil dari penelitiannya; menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tent ang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini ; memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; meminta bantuan penyidik untuk meghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan KPPU;

75

Ayudha D. Prayoga et. al., Loc Cit. hal. 130

91

meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini; mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan; memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat ; memberitahukan putusan KPPU kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Di dalam sistem hukum Indonesia kedudukan KPPU adalah sebagai Badan Publik yang menimbulkan kewenangan bersifat judicial administrative act (kewenangan Peradilan bersifat administratif). Kedudukan itu terlihat dari ketentuan UU No. 5/1999 yang secara yuridis mencantumkan tugas KPPU di bidang penegakan hukum persaingan. Dengan tugas dan kewenangan itu, KPPU berwenang menerapkan hukum persaingan usaha melalui proses penyelidikan, penyidikan, dan menjatuhkan putusan. Berjalannya proses pemeriksaan berdasar pengaduan yang diikuti pembuatan putusan yang membebani sanksi administratif bagi pelaku usaha bukan lagi tergolong Keputusan Tata Usaha Negara. Putusan KPPU tidak didasari suatu tuntutan pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat individual, tetapi merupakan putusan yang didasari kepentingan penegakan hukum untuk menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat dan mencegah praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Apabila sanksi administratif telah dijatuhkan maka selanjutnya penerima sanksi seharusnya melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi sanksi yang dijatuhkan KPPU kepadanya. Namun demikian, undang-undang memberikan keleluasaan kepada para pelaku usaha untuk menempuh upaya hukum guna mencari keadilan melalui lembaga pengadilan.76 Selanjutnya putusan KPPU terhadap pelaku usaha yang bersangkutan merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

92

Sebagai perbandingan antara KPPU di Indonesia dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Business Competititon Supervisory Commission) di berbagai negara lain, Sebagaimana layaknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha di negara-negara lain, KPPU juga diberikan kewenangan dan tugas yang sangat luas yang meliputi wilayah eksekutif, yudikatif, legislatif serta konsultatif. Kewenangan-kewenangan di atas menyebabkan KPPU dapat dikatakan memiliki fungsi yang menyerupai lembaga konsultatif, yudikatif, legislatif, maupun eksekutif.

Beberapa pihak berpendapat bahwa KPPU memiliki wewenang yang tumpang tindih karena bertindak sebagai investigator (investigate function), penyidik, pemeriksa, penuntut (prosecuting function), pemutus (adjudication function), maupun fungsi konsultatif (consultative function). Namun demikian, sementara kalangan setidaknya juga berpendapat bahwa meskipun KPPU bukan lembaga judisial ataupun penyidik, tetapi KPPU adalah lembaga penegak hukum yang tepat untuk menyelesaikan masalah persaingan usaha karena peran multi fungsi serta keahlian yang dimilikinya akan mampu mempercepat proses penanganan perkara.

Anggota KPPU Berdasarkan Pasal 31 ayat 1 anggota KPPU sendiri terdiri dari paling sedikit 7 orang anggota termasuk Ketua dan Wakil Ketua yang juga merangkap sebagai anggota. Anggota KPPU ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 162/2000 dimana Keputusan Presiden tersebut menetapkan 11 (sebelas) profesional yang mempunyai beragam latar belakang disiplin ilmu sebagai anggota KPPU untuk masa jabatan lima tahun untuk periode jabatan tahun 2000 sampai dengan 2005.

Dalam hal pengangkatan maupun pemberhentian, atas dasar usulan pemerintah, anggota KPPU diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat di mana masing-masing anggota dapat diangkat kembali 1 (satu) kali untuk masa jabatan berikutnya. Akan tetapi dalam perjalanannya terjadi sedikit perubahan, di mana saat ini anggota KPPU tinggal berjumlah 10 (sepuluh) orang yang 76

Indonesia, Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, op.cit., ps.44 ayat (2).

93

aktif mengingat salah satu anggotanya yaitu Nabil Makarim menjadi Menteri pada Kementrian Negara Lingkungan Hidup dan sampai saat ini belum ditetapkan penggantinya.

Keanggotaan KPPU berdasarkan UU berakhir karena: 1.

meninggal dunia;

2.

mengundurkan diri atas permintaan sendiri;

3.

bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia;

4.

sakit jasmani atau rohani terus-menerus;

5.

berakhir masa jabatan keanggotaan Komisi; atau

6.

diberhentikan.

KPPU juga mempunyai program pelatihan rutin bagi staff peyelidik di bidang ekonomi (mikroekonomi dan organisasi industri) yang berhubungan dengan hukum persaingan usaha. Sementara itu guna menjamin independensi dan menghindari benturan kepentingan, maka anggota KPPU terikat oleh kode etik internal KPPU atau disebut juga dengan Tata tertib KPPU yang melarang anggota KPPU untuk aktif pada posisi berikut ini: 1.

Anggota dewan komisaris atau pengawas, atau direksi suatu perusahaan;

2.

Anggota pengurus atau badan pemeriksa suatu koperasi;

3.

Pihak yang memberikan layanan jasa kepada suatu perusahaan, seperti konsultan, akuntan publik, dan penilai; dan

4.

Pemilik saham mayoritas suatu perusahaan.

Dalam menjalankan tugasnya Anggota KPPU wajib menjaga kerahasiaan mengenai perkara yang sedang diperiksa. Sejauh mana definisi kerahasiaan yang harus dipegang oleh Anggota KPPU akan didefinisikan oleh KPPU. 42 Sanksi atas pelanggaran ketentuan etik tersebut diambil berdasarkan keputusan rapat pleno KPPU.

Dalam rangka menunjang kelancaran tugas, KPPU dibantu oleh Sekretariat KPPU, dimana fungsi utama dari Sekretariat KPPU adalah membantu kelancaran tugas administrasi dan teknis operasional dari KPPU. Sekretariat KPPU dipimpin oleh seorang Direktur Eksekutif yang diangkat dan diberhentikan oleh KPPU.

94

Sekretariat KPPU adalah bagian dari susunan organisasi KPPU, 77 yang merupakan suatu unit organisasi yang dibentuk untuk mendukung atau membantu pelaksanaan tugas KPPU. 78 Mengenai susunan organisasi, tugas dan fungsi Sekretariat diatur lebih lanjut dengan keputusan KPPU. 79 Dan selanjutnya Sekretariat KPPU berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada KPPU.80

Di dalam Keputusan KPPU No. 41/KEP/KPPU/VI/2003 tentang Sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha disebutkan bahwa Sekretariat KPPU mempunyai tugas pokok memberikan dukungan teknis operasional dan administratif kepada KPPU dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam UU No.5/1999. 81

Dalam

rangka

menyelenggarakan

tugas

pokok

memberikan

dukungan

teknis

operasional dan administratif tersebut di atas, Sekretariat KPPU diberikan beberapa wewenang oleh KPPU, yaitu:82 1.

menetapkan kebijakan teknis operasional yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang KPPU;

2.

menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan rencana dan program kerja Sekretariat KPPU;

3.

menetapkan kebijakan mengenai pedoman dan tata kerja Sekretariat KPPU;

4.

menetapkan kebijakan pembinaan dan pengelolaan sumber daya manusia di lingkungan Sekretariat KPPU;

5.

menetapkan kebijakan teknis operasional pengelolaan keuangan serta sarana dan prasarana yang berlaku di lingkungan Sekretariat KPPU.

77

Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, op.cit., Ps.8.

78

Penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU No.5/1999.

79

Indonesia, Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, op.cit., ps. 34 ayat (4). 80

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Keputusan KPPU Tentang Sekretariat KPPU, Keputusan No. 41/KEP/KPPU/VI/2003, Pasal 1 ayat 3 81

Ibid., Pasal 2.

82

Ibid., Pasal 3.

95

Lebih lanjut di dalam Keputusan KPPU tentang Sekretariat KPPU, disebutkan bahwa Sekretariat KPPU juga menyelenggarakan beberapa fungsi, yaitu:83 1.

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian dan evaluasi seluruh kegiatan teknis operasional dan administratif yan g berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan KPPU, sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 35 dan Pasal 36 UU No. 5/1999.

2.

pembinaan dan pengelolaan sumber daya manusia, keuangan, sarana dan prasarana.

Penegakan Hukum Dalam penanganan perkara pelanggaranan terhadap hukum persaingan usaha terdapat beberapa peraturan yang digunakan menjadi dasar, antara lain: a) Undang-undang No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; b) Keputusan Presiden No.75 / 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU, keputusan, pedoman maupun petunjuk teknis mengenai KPPU; c) keputusan KPPU No.5/2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan adanya Pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999; d) HIR/RBg atau hukum acara perdata, yaitu untuk ketentuan hukum acara perdata jika pelaku usaha menyatakan keberatan atas putusan komisi sesuai dengan pasal 44 ayat (2) UU No.5/1999 atau apabila terdapat gugatan perdata yang didasarkan pada adanya perbuatan melanggar hukum; e) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu ketentuan hukum acara pidana jika perkara tersebut dilimpahkan kepihak penyidik sesuai dengan pasal 44 ayat (4) Undang-undang No.5/1999.

83

Ibid., Pasal 4.

96

Undang-undang No.5/1999 mengatur tidak hanya hukum material, tetapi juga hukum acara yang berlaku dalam menangani kasus-kasus persaingan usaha. Hal ini merupakan suatu yang lazim dalam peraturan perundang-undangan kita, dimana dalam suatu undang-undang diatur baik hukum material maupun hukum formalnya. Pengaturan seperti ini terjadi karena dalam ketentuan yang khusus tersebut terdapat hal-hal yang diatur dalam ketentuan sebelumnya baik mengenai substansi maupun hukum acaranya. Adapun hal-hal baru dalam hukum acara yang diatur dalam undang-undang ini apabila kita bandingkan dengan hukum acar perdata dan hukum acara pidana yang berlaku selama ini, antara lain adalah: 1.

Terdapat ketentuan batas waktu yang cukup ketat bagi komisi dalam menangani perkara-perkara persaingan usaha. Ketentuan mengenai batas waktu ini juga ditiadakan bagi penyelesaian perkara di tingkat pengadilan negeri dan mahkamah agung dalm hal terdapat keberatan terhadap putusan komisi. Namun demikian tidak ada ketentuan apa yang terjadi atau apa sanksinya apabila batas waktu tersebut tidak terpenuhi;

2.

Putusan komisi yang tidak dijalankan oleh pelaku usaha merupakan bukti permulaan yang cukup bagi dilaksanakannya penyidikan oleh pejabat kepolisian negara republik Indonesia. Demikian, melalui undang-undang ini secara langsung dapat kita ketahui bahwa komisi merupakan penyelidik dalam kasus-kasus persaingan usaha, sedangkan menurut KUHAP penyelidik adalah tugas kepolisian. Dalam hal perkara diteruskan ke pihak kepolisian untuk dilakukan penyidikan, maka hukum acara yang berlaku adalah Undang-undang No.8/1981 tentang Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana;

3.

Apabila pelaku usaha mengajukan keberatan atas putusan Pengadilan Negeri, maka upaya hukum yang dilakukan adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan pengaturan

seperti

ini

pembentuk

undang-undang

menghendaki

proses

pemeriksaan perkara-perkara persaingan usaha dapat diselesaikan secara cepat. Hal ini dapat dimengerti karena pemeriksaan yang bertele-tele akan sangat mengganggu

aktifitas

perusahaan

dan

mungkin

perekonomian

nasional.

Selanjutnya dalam undang-undang ini tidak diatur mengenai apakah dimungkinkan dilakukannya upaya hukum hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali. Ketentuan ini berbeda baik dengan hukum acara perdata maupun hukum acara pidana yang berlaku dimana diatur adanya banding, kasasi dan peninjauan kembali;

97

4.

alat-alat bukti yang digunakan oleh komisi pada dasarnya hampir sama dengan yang ada dalam kitab undang-undang hukum acara pidana yaitu berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan atau dokumen, petunjuk dan keterangan

pelaku

usaha.

Perbedaannya

dengan

KUHAP

terletak

pada

ditambahkannya kata, dan/atau dokumen serta keterangan pelaku usaha, sedangkan dalam KUHAP adalah surat dan keterangan terdakwa. Hal ini telah tepat, karena pada pemeriksaan di komisi status pelaku usaha bukanlah sebagai seorang terdakwa.

Dalam undang-undang No.5/1999 memberikan kesempatan kepada setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undangundang No.5/1999 dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU dengan keterangan yang jelas mengenai terjadinya pelanggaran tersebut, 84 jadi tidak hanya pihak yang dirugikan atau menjadi korban secara langsung atas tindakan anti persaingan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha lain yang bisa melaporkan kepada KPPU mengenai adanya dugaan pelanggaran terhadap UU No.5/1999, setiap orang yang mengetahui mengenai adanya terjadinya pelanggaran terhadap UU No.5/1999 dapat melaporkan peristiwa tersebut kepada KPPU.

Setiap orang yang mengetahui telah terjadinya pelanggaran terhadap UU No.5/1999 dan pihak yang dirugikan atas pelanggaran tersebut dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor. Namun berdasarkan pasal 40 ayat (1) Undang-undang No.5/1999, KPPU diberikan hak inisiatif untuk melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan terjadinya pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999, walaupun tanpa adanya laporan dari masyarakat dan pelaku usaha.

Pasal 38 ayat (3) Undang-undang No.5/1999, Identitas setiap orang yang melaporkan mengenai telah terjadinya pelanggaran terhadap Undang -undang No.5/1999, selain pihak yang dirugikan, wajib dirahasiakan oleh KPPU. Kemudian tata cara penyampaian laporan diatur lebih lanjut oleh KPPU. 84

Pasal 38 ayat 1 UU No.5/1999.

98

Setelah menerima laporan mengenai adanya dugaan pelanggaran terhadap UU No.5/1999, KPPU diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan selama 30 hari, dan kemudian KPPU juga wajib menentukan apakah laporan tersebut perlu atau tidak untuk ditindak lanjuti dengan pemeriksaan lanjutan. Dimana di dalam proses pemeriksaan lanjutan KPPU wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan. Dalam tahap pemeriksaan lanjutan tersebut juga, KPPU wajib menjaga kerahasian informasi yang diperoleh dari pelaku usaha.

KPPU wajib menyelesaikan pemeriksaan lanjutan selambat -lambatnya 60 hari sejak dimulainya pemeriksaan lanjutan, dan bilamana diperlukan KPPU masih diberikan kewenangan oleh Undang-undang No.5/1999 untuk memperpanjang paling lama 30 hari jangka waktu pemeriksaan lanjutan. Kemudian dalam jangka waktu 30 hari sejak selesainya pemeriksaan lanjutan, KPPU wajib memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999, yang putusannya tersebut dibacakan

dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera

diberitahukan kepada pelaku usaha.

KPPU berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif, kepada pelaku usaha yang melanggar Undang-undang No.5/1999. Dimana tindakan administratif tersebut dapat berupa: a. Penetapan pembatalan perjanjian; b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal; c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan/atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat; d. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; e. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham; f.

Penetapan pembayaran ganti rugi;

g. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00.

99

Dalam pemeriksaan di KPPU, pelaku usaha dilarang menolak untuk diperiksa atau memberikan informasi yang dibutuhkan atau menyerahan alat bukti yang diperlukan, ataupun menghambat dalam proses penyelidikan dan pemeriksaan, 85 karena dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999 yang kemudian pelanggaran tersebut oleh KPPU akan diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian proses pemeriksaan akan dilanjutkan menjadi perkara pidana dan hukum acaranyapun menggunakan hukum acara pidana. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan dapat memaksa pihak-pihak yang tidak mau berkerja sama dengan komisi dalam rangka proses pemeriksaan perkara persaingan usaha menjadi lebih kooperatif.

Bila proses perkara persaingan usaha diserahkan kepada penyidik, maka proses hukum acaranyapun menggunakan hukum acara pidana, dan kemungkinan pelaku usaha yang melanggar Undang-undang No.5/1999 dapat dijatuhkan sanksi pidana, dimana sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha dapat berupa pidana pokok dan pidana tambahan.

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha menurut pasal 48 Undangundang No.5/1999 berupa: 1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Paal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-undang No.5/1999 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) atau piada kurungan pengganti denda selama -lamanya 6 (enam) bulan. 2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang -undang No.5/1999 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.

85

Pasal 41 (2) Undang-undang No.5/1999

100

3. pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang No.5/1999 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

Sedangkan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha menurut Pasal 49 Undang-undang No.5/1999 berupa: 1. Pencabutan izin usaha; atau 2. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999 untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau 3. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbullnya kerugian pada pihak lain.

Alat-alat bukti yang dipergunakan oleh KPPU dalam melakukan pemeriksaan perkara di KPPU berupa: 1. keterangan saksi; 2. keterangan ahli; 3. surat dan atau dokumen; 4. petunjuk; 5. keterangan pelaku usaha.

Setelah KPPU memutuskan terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran terhadap UU No.5/1999 dan menerima pemberitahuan putusannya, Pelaku usaha dalam jangka waktu 30 hari setelah menerima pemberitahuan putusan wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada KPPU. Namun UndangUndang menyediakan upaya hukum bagi pelaku usaha yang tidak menerima putusan KPPU untuk mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusannya. Jika pelaku usaha dalam jangka waktu 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan KPPU tidak mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri dianggap menerima putusan KPPU, menurut Pasal 46 Undang-undang No.5/1999 putusan KPPU tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap serta dapat dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.

101

Tetapi jika pelaku usaha setelah menerima putusan KPPU, tidak melaksanakan apa yang telah diputuskan dan tidak pula mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri, maka KPPU akan menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, Dan putusan yang telah dijatuhkan oleh KPPU tersebut nantinya menjadi bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

Apabila pelaku usaha mengajukan keberatan terhadap keputusan KPPU kepada Pengadilan Negeri, dalam jangka waktu 14 hari sejak diterimanya keberatan tersebut, Pengadilan Negeri harus sudah memeriksa keberatan tersebut. Kemudian dalam kurun waktu 30 hari sejak dimulainya proses pemeriksaan keberatan tersebut, Pengadilan Negeri harus sudah dapat memberikan putusannya.

Dan jika masih ada pihak yang merasa berkeberatan atas putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri, Undang-undang No.5/1999 memberikan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pihak yang masih merasa berkeberatan tersebut, untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam kurun waktu 14 hari sejak dikeluarkannya putusan dari Pengadilan Negeri. Kemudian Mahkamah Ag ung Republik Indonesia harus memberikan putusan terhadap kasasi dari pihak yang merasa masih berkeberatan atas putusan yang dihasilkan oleh Pengadilan Negeri, dalam kurun waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diterima.

Ketentuan lain-lain Undang-undang

Persaingan

Usaha

bukan

peraturan

yang

diterapkan

tanpa

pengecualian, pengecualian yang ada pada Undang-undang Persaingan Usaha di Amerika Serikat dijelaskan bahwa dalam hal kongres menyatakan secara tegas bahwa undang-undang persaingan usaha tidak berlaku, atau berlaku untuk hal-hal yang sudah dimodifikasi

bagi

perbuatan

tertentu.

Berbagai

peraturan

perundangan

yang

mengecualikan, antara lain, memberikan pengecualian bagi pertanian (agriculture), komunikasi (communication), energi (energy), jasa keuangan (financial services) dan

102

asuransi (insurance). Pengecualian juga diberikan dalam hal kongres menentukan suatu pervasive regulatory scheme bahwa penerapan dari undang-undang persaingan usaha akan merusak, maka dalam hal yang demikian itu pengadilan kadang-kadang memutuskan bahwa kegiatan-kegiatan usaha tersebut diberikan kekebalan terhadap berlakunya undang-undang persaingan usaha tersebut. Di antara pengecualian yang penting adalah pengecualian terhadap serikat buruh dan terhadap collective bargaining agreement yang dibuat serikat buruh dengan pimpinan perusahaan. Serikat buruh yang berusaha memperbaiki upah, jam kerja, dan kondisi kerja dari para pekerja, terutama melakukan monopolisasi dalam pemasokan buruh oleh serikat buruh dan melakukan pengawasan bersama dalam melakukan penolakan berunding dengan pimpinan perusahaan, merupakan hal-hal yang dikecualikan dari berlakunya undang-undang persaingan usaha. Apabila pengecualian yang demikian tidak diberikan, maka undangundang persaingan usaha dapat mengancam eksistensi serikat-serikat buruh.

Undang-undang persaingan usaha di Jepang juga menentukan beberapa pengecualian. Antara lain pengecualian diberikan terhadap perbuatan yang berkaitan dengan produksi, penjualan atau pemasokan oleh seseorang yang melakukan pekerjaannya dibidang perkereta apian (railway), listrik (electric), gas (gas) atau setiap perusahaan yang menurut sifatnya adalah sutau monopoli. Ketentuan undang-undang persaingan usaha di Jepang itu juga tidak berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang merupakan pelaksanaan hak-hak berdasarkan Copy Right Law, Paten Law, Model Utility Law, Design Law dan Trade-Mark Law.

Pengecualian-pengecualian yang disebutkan di atas yang berkaitan dengan Undangundang Persaingan Usaha di Amerika Serikat dan Jepang hanyalah sekedar menyebutkan beberapa pengecualian saja. Banyak lagi pengecualian-pengecualian lain disamping yang telah disebutkan itu.

Di dalam Undang-undang No.5/1999 mengatur mengenai hal-hal yang dikecualikan dari pemberlakuan dari Undang-undang No.5/1999 itu sendiri, yaitu di dalam pasal 50 UU No.5/1999, antara lain: 1. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundangundangan yang berlaku;

103

2. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau 3. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau 4. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau 5. perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatkan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau 6. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia; atau 7. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau 8. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau 9. kegiatan

usaha

koperasi

yang

secara

khusus

bertujuan

untuk

melayani

anggotannya.

Selain pengecualian yang disebutkan dalam Pasal 50 di atas, ada pengecualian lain yang juga diberikan oleh UU No.5/1999. pengeculian yang dimaksud adalah yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (2) UU No.5/1999. dimana menurut Pasal 5 ayat (2) perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), tidak berlaku bagi: a) suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau b) suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.

104

Daftar Pustaka BUKU: Basri, Faisal. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Indonesia. Cet.I. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2002. Biro Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Produk Domestik Regional Bruto Prpoinsi -propinsi di Indonesia menurut penggunaan 1998-2001, halaman x-xi. Bork, Robert H, The Antitrust Paradox: A Policy at War With It Self. Harper Torchbooks Tb 5086: Basic Books Inc., 1978. Fuady, Munir. Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat. Cet. 1. Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1999. Gellhorn, Ernest. Antitrust Law and Economic in a Nutshell. Third edition. St Paul Minn: West Publishing Co, 1986. Hamid, Edy Suandi dan M.B. Hendrie Anto. Ekonomi Indonesia Memasuki Milenium III. Cet.I. Yogyakarta: UII Press, 2000. Hasibuan, Nurimansjah. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi. Cet. 1. Jakarta: LP3ES, 1993. Hill, Hall. “Economy” dalam Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-Economic Transformations. 1 st ed. Edited by Hall Hill St Leonard. NSW 2065 Australia: Allen & Unwin Pty Ltd, 1994. Kartte, Wolfgang et al. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat/Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition/ Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Jakarta: Kerjasama Lembaga Pengkajian Hukum Ekonomi FHUI, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dan gtz (Deutche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit GmbH), 2000. Kaysen, Carl and Donald F. Turner. Antitrust Policy: An Economic and Legal Analysis. Cambride: Harvard University Press, 1971. Khemani, R. Shyam (project director). A Framework for the Design and Implementation of Competition Law and Policy. Washington, D.C: World Bank, OECD, 1998. Mann, Richard. Economic Crisis in Indonesia: The Full Story. Penang gateway Books, 1998. Northam, Ray M. “Urban Geography”. John Wiley & Sons, New York, Chichester, Toronto, 1979.

105

Prasentiantono, A. Tony, ed. Kebijakan Ekonomi Publik di Indonesia: Substansi dan Urgensi: Kumpulan Tulisan DR. Guritno Mangkoesoebroto, Cet.1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994. Prayoga, Ayudha D, ed. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengatur di Indonesia. Jakarta: ELIPS, 1999 Sullivan, Lawrence Anthony. Handbook of The Law of Antitrust. St Paul Minn: West Publishing Co,1977. United Nations Conference on Trade and Development. Model Law on Competition, Geneva, 2003.

JURNAL/MAKALAH:

Shauki, Achmad. “UU No.5/1999 dan tantangan bagi KPPU.” Makalah disampaikan pada Diskusi Panel Memperingati 2 tahun diberlakukannya UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha FHUI, Jakarta, 26 Maret 2002. Sjahdeini, Sutan Remy. “Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” Jurnal Hukum Bisnis Volume 10 (2000): 4 – 25 Usman, Syaikhu. “Deregulasi Perdagangan Regional dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian Daerah.” Makalah di sampaikan pada Lokakarya Nasional PERSEPSI DAERAH, Jakarta, 6 Desember 1999.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. ______, Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5, LN No. 33 Tahun 1999, TLN. No. 3817. ______, Keputusan Presiden Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Keppres No. 75 Tahun 1999. Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Keputusan KPPU Tentang Sekretariat KPPU, Keputusan No. 41 Tahun 2003.

106

107