Pengaruh Hukum Pasar terhadap Pergeseran Tradisi Pesantren

Tipologi dikotomis, tradisional dan modern, sebagaimana yang selama ini digunakanuntuk memetakanpesantrenternyata mendapatkangugat an,...

5 downloads 481 Views 159KB Size
Pengaruh Hukum Pasar terhadap Pergeseran Tradisi Pesantren Ali Anwar ∗ Abstrak Hukum pasar yang mendasarkan relasi antarorang pada prinsip cost dan benefit ternyata juga telah mengubah tradisi ilmu keagamaan yang selama ini mendominasi pesantren dengan lambat tetapi pasti tergeser oleh ilmu-ilmu profan yang banyak dibutuhkan dunia kerja. Sistem nilai keikhlasan yang selama ini dikembangkan termasuk di dalamnya dalam manajemen pesantren ternyata juga tergeserkan dengan keuangan. Fasilitas pesantren yang semakin lengkap, memungkinkan santri dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi dunia kerja ke depan semakin mahal pembayaran pesantren tersebut. Dikarenakan keikhlasan sudah tergeser dengan ukuran keuangan, maka kharisma kyai juga ikut tereduksi. Apabila selama ini santri senantiasa memberikan ketaatannya secara mutlak kepada kyainya, sekarang hal ini ditentukan juga oleh cost dan benefit yang diterima. Di samping itu, kharisma kyai juga ditentukan oleh persepsi santri tentang kesesuaian norma yang diajarkan dengan realita empiris yang dilakukan kyai. Semakin lebar kesenjangan antara norma dengan empiris mengakibatkan semakian rendah ketaatan santri terhadap kyainya. Walaupun, hal yang terakhir terkadang hanya dilakukan dengan hidden transcript. Kata kunci: profanisasi, orientasi, materialisasi, estetisasi, delegitimasi, kyai. A. Pendahuluan Pesantren, sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam yang pernah dikritik Soekarno, Presiden RI pertama, sebagai lembaga yang ketinggalan zaman dan menutup diri,1 ternyata juga mempunyai kecenderungan sebagaimana trends masyarakat yang mengalami pergeseran dan menjadikannya terintegrasi ke dalam tatanan yang lebih luas. Dengan terjadinya mobilitas fisik, sosial, intelektual yang jauh lebih intensif, dan media komunikasi yang semakin canggih telah menyebabkan hukum pasar yang banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat secara umum telah membentuk tradisi-tradisi baru di pesantren. Sebagai bukti telah terjadinya pergesaran tradisi itu, sekarang ini banyak pengamat yang ∗

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri, Jawa Timur Habibullah Asy`ari, Moralitas Pendidikan Pesantren, (Yogjakarta: PT. Kurnia Alam Semesta, 1996), p. 41. dan Marwan Saridjo dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesi, (Jakarta: Darma Bhakti, 1983), p. 50. 1Zubaidi

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

692

Ali Anwar: Pengaruh Hukum Pasar terhadap Pergeseran Tradisi Pesantren...

mendapatkan kesulitan untuk membuat tipologi pesantren. Tipologi dikotomis, tradisional dan modern, sebagaimana yang selama ini digunakan untuk memetakan pesantren ternyata mendapatkan gugatan, dikarenakan pesantren yang selama ini dimasukkan dalam tipe tradisional ternyata mempunyai beberapa karakter yang sering digunakan sebagai indikator pesantren modern dan demikian juga sebaliknya. Hukum pasar yang telah menjadi norma bagi kebanyakan masyarakat modern di atas, menurut Irwan Abdullah, ternyata telah mengubah kehidupan menjadi suatu proses transaksi di mana orang menghitung cost dan benefit dari setiap hubungan sosial. Etos kerja yang berorientasi pada pencarian “kehidupan yang lebih baik” merupakan contoh dari ekspansi pasar. Dalam masyarakat yang berorientasi pada pasar, cara pandang pada dunia mengalami pergeseran. Agama yang selama ini diyakini sebagai sumber nilai dalam kehidupan dijadikan sebagai instrumen bagi penentuan identitas kehidupan.2 Selama ini, pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan yang mampu mentransmisikan sistem nilai keikhlasan kepada pada santrinya. Lembaga ini dalam waktu lama mengarahkan santrinya untuk belajar dalam rangka mencari ridha Allah s.w.t. tanpa menambahi niatan untuk mendapatkan pekerjaan. Keikhalasan tersebut senantiasa diyakini akan mendatangkan barakah dari kyai. Keyakinan yang terakhir ini pada gilirannya menimbulkan sikap kataatan dan ketawadu’an secara total kepada kyai. Ketika hukum pasar memasuki dunia pesantren, maka berbagai keyakinan itu mendapatkan gugatan. Berangkat dari latar belakang di atas, maka fokus utama dari tulisan ini adalah bagaimana hukum pasar memberi pengaruh dalam pembentukan tradisi pesantren untuk di Pesantren Lirboyo Kediri. Tiga pertanyaan yang dijawab dalam tulisan ini: pertama, bagaimana hukum pasar mempengaruhi pergeseran orientasi keilmuan yang dikaji di pesantren Lirboyo; kedua, bagaimana pola manajemen organisasi dan kelembagaan pesantren Lirboyo kini; dan ketiga, bagaimana relasi kyai santri sebagai implikasi pergeseran tradisi tersebut di pesantren Lirboyo. Sebelum memaparkan pergeseran tradisi pesantren sebagai akibat dari hukum pasar, maka akan dijelaskan tentang kehidupan sehari-hari santri dan pola kehidupan kyai di Pesantren Lirboyo sebelum adanya pengaruh hukum pasar dan perkembangannya kini. Di samping itu, paparan berikut juga akan menjelaskan respons Pesantren Lirboyo terhadap ekspansi lembaga pendidikan modern. 2Irwan

Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006), pp. 112-113. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

Ali Anwar: Pengaruh Hukum Pasar terhadap Pergeseran Tradisi Pesantren...

693

B. Pesantren Lirboyo Dulu dan Kini Secara geografis, Pesantren Lirboyo mempunyai letak yang relatif strategis. Ia terletak di sebelah timur jalan raya yang dilalui kendaraan penumpang umum dengan route Blitar, Tulung Agung atau Trenggalek yang menuju ke Nganjuk, Surabaya, atau Malang. Kota Kediri merupakan tujuan peserta didik dari berbagai daerah lain untuk belajar, baik di sekolah maupun pesantren. Pesantren Lirboyo, baik induk maupun unit-unitnya, mempunyai daya tarik paling tinggi bila dibandingkan dengan pesantren lainnya di Kediri. Sebelah kiri dan kanan Jalan menuju ke lokasi pesantren yang dahulunya banyak ditanami tebu-tebu, sekarang sudah hampir habis digunakan perumahan dan gedung Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Kesan yang ditangkap dari lokasi pesantren adalah keberadaan pesantren tersebut ibarat sebuah rumah tangga tersendiri di antara rumah tanggarumah tangga dalam satu desa Lirboyo. Kesan ini didukung oleh seperangkat aturan yang membatasi santri untuk berhubungan secara leluasa dengan masyarakat di sekitarnya. Setidaknya sampai dengan tahun 1985, santri Lirboyo terbiasa menyelesaikan kebutuhan pribadinya secara mandiri, seperti mencuci dan memasak dan pada waktu-waktu tertentu bahkan diadakan kerja bakti, yang sering disebut dengan ro`an. Setelah hukum pasar menjadi norma di masyarakat, termasuk di dalamnya masyarakat Pesantren Lirboyo, beberapa tradisi dan prinsip yang dahulu dianut dalam sistem pendidikan pesantren Lirboyo mulai bergeser dan melunturnya. Dengan banyaknya aktivitas yang harus diikuti untuk mendalami ilmu pengetahuan, internalisasi sistem nilai, dan melatih ketrampilan yang dibutuhkan pasar kerja, santri kehabisan waktu untuk dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dapat melatih hidup sederhana, mandiri, dan kesetiakawanan. Saat ini, Berbagai aktivitas yang melatih kemandirian ini sudah jarang dilakukan di berbagai pesantren besar, termasuk santri Pesantren Lirboyo, bahkan untuk makanpun sudah banyak yang dikelola oleh pesantren. Hal terakhir ini setidaknya disebabkan oleh semakin padatnya jadwal kegiatan yang harus dilakukan oleh santri sebagaimana dijelaskan di atas, dan kebanyakan pengelolaan makan santri dapat mendatangkan keuntungan yang relatif tinggi. Selain itu, hukum pasar juga memunculkan pola hidup dan orientasi belajar yang pragmatis. Belajar atau nyantri dengan target-target praktis tertentu, seperti orientasi ekonomi dan kedudukan sosial. Maka dengan hal tersebut, prinsip keikhlasan dan pengabdian dalam sistem pendidikan pesantren mulai bergeser dari posisinya yang semula demikian kukuh.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

694

Ali Anwar: Pengaruh Hukum Pasar terhadap Pergeseran Tradisi Pesantren...

Padahal, selama ini keikhlasan dianggap sebagai faktor yang menentukan keberhasilan santri. Pesantren menekankan kepada keikhlasan niat yang mendatangkan barakah, pengamalan, dan penghayatan penuh terhadap ajaran Islam, do`a dan kepasarahan total terhadap Allah s.w.t.3 Pesantren Lirboyo pada tahun 1986 mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA)4 dan pada tahun 1995 mendirikan Sekolah Dasar (SD) kemudian diikuti dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk merespon orientasi masyarakat dalam menuntut ilmu yang semakin pragmatis,.5 Reformasi pendidikan di pesantren ini berimplikasi terhadap meningkatnya jumlah santri. Ketika jumlah santri semakin meningkat, berbagai proses pembelajaran dan pendidikan lebih banyak ditangani oleh guru, yang dalam istilah Pesantren Lirboyo disebut mustahiq dan munawwib, daripada dikelola oleh kyai. Etos kerja dan disiplin yang dilaksanakan oleh mustahiq dan munawwib dalam mengajar ternyata cukup tinggi walau mereka hanya mendapatkan honor yang kecil. Hal yang disebutkan terakhir ini mengakibatkan ketaatan dan ketundukan santri kepada mustahiq menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan kyainya. Di samping itu, dengan semakin meningkatnya strata ekonomi kyai karena meningkatnya berbagai pembayaraan, baik untuk pendidikan, kebutuhan sehari-hari, maupun yang atas nama jariyah wajib mengakibatkan posisi kharismatik kyai dipermasahkan. Hal yang terakhir ini disebabkan terjadinya sesuatu yang kontradiktif antara sistem nilai kesederhanaan yang sering diajarkan dengan realita kehidupan. C. Bergesernya Orientasi Ilmu: Profanisasi Orientasi Studi Pesantren yang didirikan pada tahun 1910 ini, pada mulanya hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan dengan menggunakan metode bandongan dan sorogan untuk mendidik santri-santrinya. Pada waktu itu, hampir semua pengajian yang ada langsung ditangani oleh Kyai Manab selaku pengasuh Pesantren. Ketika santri Pesantren Lirboyo semakin bertambah banyak dan sebagian dari mereka ternyata belum dapat membaca dan menulis, maka dua sistem pengajaran tersebut dianggap tidak mumpuni, karena sistem bandongan membutuhkan ketrampilan menulis dan dasar gramatika Bahasa Arab untuk dapat mengikutinya, sementara sistem sorogan mengharuskan jumlah santri yang sedikit untuk 3Narjohn Najich Afnany, Le Azm, (Kediri: Tamatan Madrasah Aliyah MHM, 1994), pp. xii-xiii. 4Untuk elaborasi tentang sejarah madrasah ini baca Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri, (Kediri: iaitpress, 2008), pp. 84-88. 5Ibid., pp. 88-93.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

Ali Anwar: Pengaruh Hukum Pasar terhadap Pergeseran Tradisi Pesantren...

695

setiap gurunya. Untuk mengatasi hal ini, maka mulai permulaan tahun 1920-an, Pesantren Lirboyo mengupayakan penggunaan sistem kasikal yang berbentuk madrasah.6 Madrasah yang diberi nama Hidayatul Mubtadi’in (HM) ini bertahan hingga kini dan mempunyai 5.720 siswa . Orientasi para alumni Pesantren Lirboyo terhadap pesantren berubah ketika masyarakat mengaitkan sekolah dengan ijazah yang dapat digunakan untuk studi lanjut dan mendapatkan pekerjaan yang dianggap formal. Mereka mengharapkan agar Pesantren Lirboyo mendirikan lembaga pendidikan yang ijazahnya mempunyai civil effect untuk studi lanjut dan mendapatkan kerja pada sektor formal. Dengan latar belakang itulah, KH. Imam Yahya Mahrus, pada tahun 1986, mendirikan MTs dan MA yang berkurikulum Departemen Agama yang menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 dan 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah disebut sekolah umum yang berciri khas Islam. Harapan alumni di atas disinyalir sebagai dampak dari kebijakan pemerintah mengembangkan pendidikan umum seluas-luasnya dan memberikan fasilitas bagi bangsa Indonesia yang terdidik pada pendidikan umum untuk menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan.7 Oleh karenanya, jumlah generasi muda yang tertarik memasuki pesantren semakin menurun. Hal ini mengakibatkan kebanyakan pesantren kecil pada masa 1950-an mati. Pesantren yang berkeinginan untuk bertahan biasanya memadukan lembaga pendidikan umum dalam lingkungan pesantren.8 Keberadaan MTs dan MA HM Tribakti yang didirikan oleh KH. Imam Yahya Mahrus tersebut ternyata belum memuaskan zuriyah lainnya. Ketika KH. Ma`ruf Zainuddin dan Hj. Aina 'Ainaul Mardliyyah berhasil mendirikan Pesantren ar-Risalah dan mendirikan pendidikan formal, yang didirikan adalah SD, SMP, dan SMA. Keputusan Pesantren ar-Risalah memilih mendirikan SD, SMP, dan SMA dan tidak MI, MTs, dan MA karena manganggap lulusan lembaga-lembaga pendidikan MTs dan MA HM Tribakti kalah kalau meneruskan ke sekolah atau perguruan tinggi umum dan akan kalah kalau meneruskan ke sekolah/perguruan tinggi agama dengan lulusan diniyah. Sebagaimana diketahui bahwa komposisi kurikulum madrasah berdasarkan Surat Keputusan Bersama 3 Menteri tertanggal 24 Maret 1975 adalah 70 persen untuk mata pelajaran umum dan 30 persen mata pelajaran agama. Dengan didirikannya MTs dan MA HM Tribakti oleh Pesantren HM al-Mahrusiyah dan SD, SMP, dan SMA ar-Risalah memperlihatkan 6 Moh. Aliyah Zen, 3/4 Abad Pesantren Lirboyo, (Kediri: Siswa Kelas III Aliyah MHM Lirboyo 1984-1985, 1985), p. 119. 7 Asy`ari, Moralitas Pendidikan Pesantren, p. 41. 8 Saridjo dkk, Sejarah Pondok Pesantren, p. 50.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

696

Ali Anwar: Pengaruh Hukum Pasar terhadap Pergeseran Tradisi Pesantren...

bahwa Pesantren Lirboyo berusaha menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, dan perkembangan masyarakat. Pesantren ini tidak hanya mengorientasikan santrinya untuk mengaji dalam rangka mencari ridla Allah semata, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk hidup layak ketika mereka kembali ke masyarakat. Profanisasi orientasi ilmu di pesantren ini mempunyai relevansi dengan tuntutan perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi, perkembangan masyarakat, dan yang terpenting relevans dengan tuntutan dunia kerja. Pergeseran ini menguatkan pendapat Abdullah bahwa etos kerja kapitalistik di mana orang berorientasi kepada pencarian “kehidupan yang lebih baik” dalam berbagai bentuk dan tingkat merupakan contoh nyata dari ekspansi pasar. Seluruh kelompok dalam masyarakat menggunakan berbagai sumber daya untuk mencapai suatu kehidupan yang lebih baik tersebut.9 Bergesernya orientasi ilmu juga dipicu oleh perbedaan latar belakang pendidikan pengasuh pesantren. KH. Abdul Karim, pendiri pesantren ini, menghabiskan waktu sekitar 38 tahun untuk mengaji di berbagai pesantren. Dari data yang diperoleh, bahwa sistem pengajian yang diikuti di seluruh pesantren tersebut adalah sorogan dan bandongan, dan tidak didapatkan data bahwa Manab, nama KH. Abdul Karim sebelum haji, pernah belajar secara klasikal. Hanya saja, Manab pernah mengaji dan membantu mengajar di Pesantren Tebuireng selama lebih kurang 5 tahun. Pesantren tempat belajar Manab terakhir kali ini memperkenalkan sistem klasikal pada tahun 1916 dengan mendirikan Madrasah Salafiyah. Berangkat dari data ini dapat disimpulkan bahwa apresiasi Manab terhadap sistem klasikal dengan merestui pendirian madrasah di Pesantren Lirboyo dipengaruhi oleh Pesantren Tebuireng ini. KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Mahrus Aly, generasi kedua pengasuh pesantren ini, juga belajar di pesantren-pesantren salaf. Beda KH. Mahrus dengan KH. Marzuqi dan juga dengan KH. Abdul Karim adalah dia mempunyai pendapat yang relatif maju untuk zamannya yang tidak lazim di dunia pesantren. Salah satu contoh pemikirannya yang dianggap maju adalah cara mempelajari kitab fiqih. Menurut KH. Mahrus, dalam mempelajari kitab fiqh, cukup memperdalam salah satu kitab saja. Suatu bab yang ada dalam sebuah kitab, juga selalu ada dalam kitab yang lain, hanya beda redaksional saja. Asal paham salah satu kitab, insya Allah dapat memahami kitab yang lain.10 Hal ini bertentangan dengan 9Irwan 10BPK

Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, p. 112. P2L, Tiga Tokoh Lirboyo, (Kediri: BPK P2L, 2006), p. 68.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

Ali Anwar: Pengaruh Hukum Pasar terhadap Pergeseran Tradisi Pesantren...

697

kecenderungan komunitas pesantren yang menganggap kalau mempelajari salah satu kitab tanpa guru, maka gurunya syetan. Di samping itu, di dalam rangka mendapatkan kepastian keotentikan pemahaman, maka sanad menjadi sesuatu yang dipegang teguh oleh kebanyakan komunitas pesantren. KH. Imam Yahya Mahrus, pendiri MI, MTs, dan MA al-Mahrusiyah Tribakti, putra kelima KH. Mahrus Aly, kuliah di UIT Kediri dan Ummul Qura Mekah, Sementara Aina Ainul Mardliyyah, pendiri pesantren salafiy terpadu ar-Risalah yang menyelenggarakan pendidikan SD, SMP, dan SMA, cucu KH. Mahrus Aly, telah menamatkan diri dari Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Kediri dan melanjutkan pendidikan di Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta namun menyelesaikan pendidikan sajrjananya di IAIT Kediri. Mereka membuka lembaga pendidikan formal karena mempunyai pengalaman pendidikan formal. Tidak hanya itu, Pesantren Lirboyo juga mengalami perubahan dalam mengkaji agama. Selama ini, ajaran-ajaran agama dipahami sebatas konsep yang diperkenalkan dan diajarkan oleh para imam mazhab, sehingga secara umum para pengikutnya tidak terangsang untuk mempelajari al-Qur’ān dan al-Hadīs. Kitab-kitab karya ulama klasik dijadikan pedoman utama dalam pengajaran Agama Islam, sedangkan kitab-kitab yang mencoba memahami secara langsung al-Qur’an dan Hadis diabaikan. Lebih dari itu, bidang-bidang studi non keagamaan yang memang tidak tersedia dalam kitab kuning tidak diajarkan sama sekali. Sampai akhir awal tahun 90-an kenyataan ini masih sangat dominan mewarnai pendidikan di pesantren tradisional, sehingga dalam praktiknya pendidikan Islam itu agaknya identik dengan pengajian kitab-kitab ahli madzhab, yang kemudian dikenal dengan al-kutub al-mu`tabarah.11 Sekarang ini beberapa karya yang dihasilkan oleh santri Pesantren Lirboyo sudah menggunakan al-Qur’an dan al-Hadis sebagai referensi utamanya. Sebagai contoh, pada tahun 2003 dan 2004, siswa Madrasah Aliyah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo Kediri menerbitkan 3 buku yaitu berjudul Paradigma Fiqh Masail: Kontektulisasi Hasil Bahtsul Masail yang mempunyai sistematika pemecahan setiap masalah yang disajikan senantiasa diawali dengan perspektif al-Qur’an dan Hadis diteruskan pendapat para imam mazhhab menyelesaikan masalah tersebut dengan menyertakan prosedur ditetapkannya pendapat itu; Esensi Pemikiran Mujtahid: Dekonstruksi dan Rekonstruksi Khasanah Islam yang menjelaskan berbagai masalah dengan mendasarkan kepada al-Qur’an dan Hadis dengan memberikan ruang kemungkinan terjadinya khilafiyah disebabkan perbedaan sudut pandang di 11Maksum,

Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), p. 82.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

698

Ali Anwar: Pengaruh Hukum Pasar terhadap Pergeseran Tradisi Pesantren...

dalam memahami al-Qur’an dan Hadis; dan Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. yang memperkenalkan turatsul ulama’ yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah baru yang relatif belum tertampung secara memadai oleh kitab-kitab fiqh klasik. Perubahan tersebut setidak-tidaknya disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, semakin banyaknya alumni yang studi lanjut ke pendidikan tinggi. Setelah mereka mengkaji berbagai disiplin ilmu keislaman dengan pendekatan kritis dan analitis, mereka berusaha mengaktualisasikan ilmunya dengan cara pembelajaran maupun tulisan. Pendekatan yang digunakan alumni pesantren tersebut kebanyakan diapresiasi oleh santri. Kedua, semakin banyaknya permintaan masyarakat kepada pesantren untuk memberi jawaban terhadap berbagai masalah hukum tidak hanya mendasari jawaban-jawabannya dengan hanya dari pendapat ulama, tetapi juga dari al-Qur’an dan Hadis. Ketiga, memasukkan perpustakaan kitab kuning dalam bentuk virtual. Ketiga faktor tersebut merupakan kelanjutan dari tuntutan masyarakat dan ekspansi pasar. D. Materialisasi Pesantren Sebagaimana dijelaskan bahwa hukum pasar telah menjadi norma bagi kebanyakan masyarakat, termasuk masyarakat pesantren. Ia telah mengubah kehidupan menjadi suatu proses transaksi di mana orang menghitung cost dan benefit dari setiap hubungan sosial. Bagi orang tua yang berorientasi kepada pasar, cara pandang kepada pesantren mengalami pergeseran. Pemilihan pesantren bukan hanya ditentukan oleh kemampuan pesantren tersebut dalam mengantarkan putra-putrinya untuk menjadi manusia yang memahami dan mengamalkan agama, tetapi ditentukan juga oleh strata pesantren dalam rangka identifikasi diri orang tua tersebut. Secara historis, sebelum mengalami persentuhan dengan modernisasi, pondok pesantren sebagaimana digambarkan Hurgronje yang dikutip oleh Abu Bakar Atjeh, merupakan bangunan berbentuk persegi terbuat dari bambu atau kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya. Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan besar yang didiami bersama. Terdapat juga pondok yang agak sempurna di mana didapati sebuah gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu kamar santri yang pintunya sempit.12 Tempat belajar mengaji para santri juga sekedar ruangan besar yang tidak ada bangku dan 12Abu

Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Peringatan Almarhum KH. A. Wahid Hasyim, 1957), p. 173. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

Ali Anwar: Pengaruh Hukum Pasar terhadap Pergeseran Tradisi Pesantren...

699

kursinya, bahkan kadang tidak ada juga papan tulisnya. Karena memang sistem pendidikan di pesantren adalah mengkaji kitab kuning dengan sistem pembacaan oleh kyai dan santri mendengarkannya. Dewasa ini, keberadaan pondok pesantren sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa hingga berbagai fasilitasnya semakin lama semakin bertambah dan dilengkapi termasuk dengan berbagai laboratorium canggih. Kelengkapan fasilitas tersebut berbeda-beda di antara pesantren yang satu dengan yang lain. Ada pesantren yang memiliki sejumlah besar fasilitas, dan ada pesantren yang hanya memiliki fasilitas dalam jumlah yang kecil dan tidak lengkap. Biasanya, kelengkapan fasilitas tersebut berkorelasi positif dengan jumlah pembayaran yang harus ditanggung oleh santri. Hal ini juga terjadi di Lirboyo. Pesantren induk, sebagai pesantren yang paling sederhana fasilitas pendidikannya, mewajibkan pembayarannya santrinya paling rendah bila dibandingkan dengan dengan pesantren unit lain yang fasilitasnya lebih lengkap. Semakin mahalnya pembayaran, komersialisasi pengelolaan pesantren di Lirboyo juga ditandai dengan tiga ciri lainnya. Pertama, di Pesantren al-Makhrusiyah dan ar-Risalah, yang menyelenggarakan MTs, MA, SD, SMP, dan SMA, berbagai aktivitas yang dapat melatih kemandirian santri seperti memasak makanan, mencuci pakaian, dan menyeterikannya sudah tidak dilakukan oleh santri, melainkan dikelola oleh Pesantren. Hal terakhir ini di samping disebabkan oleh semakin padatnya jadwal kegiatan yang harus dilakukan oleh santri, juga diduga disebabkan kebanyakan pengelolaan makan, mencuci, dan menyeterikakan pakaian santri dapat mendatangkan keuntungan yang relatif tinggi. Kedua, karena adanya larangan dari Pesantren untuk bertransaksi jual beli dengan penduduk sekitar pesantren.13 Ketiga, meningkatnya keterlibatan sebagian kyai pesantren dalam politik praktis, terutama dalam memberikan dukungan calon presiden, gubernur, dan wali kota. Umat sering mempertanyakan tentang motivasi kyai dalam memberikan dukungan tersebut. Walaupun disampaikan melalui selebaran tausiyah bahwa dukungan yang diberikan itu didasarkan atas hasil istikharah tetapi mayoritas umat sulit untuk mempercayai itu. Umat menduga bahwa dukungan tersebut diberikan karena adanya bantuan keuangan yang diterima, baik atas nama pesantren atau pribadi kyai yang bersangkutan.

13

Ketetapan Badan Pembina Kesejahteraan Pesantren Lirboyo Nomor: 11/BPKP2L/III/IX/2002 tentang: Tata Tertib Pesantren Lirboyo Kota Kediri Jawa Timur Bab III ayat (2), (3), (4), dan (5). SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

700

Ali Anwar: Pengaruh Hukum Pasar terhadap Pergeseran Tradisi Pesantren...

E. Memudarnya Kharisma Kyai Para aktor pengendali manajemen dalam sebuah pesantren, seperti para ustāz dan pengurus, semuanya tergantung pada kekuasaan mutlak seorang kyai.14 Karena seorang kyai adalah orang yang sangat dipercaya, baik karena ilmu dan kedalaman agamanya, maupun karena keramahannya. Ia menjadi kyai bukan karena penetapan surat keputusan penguasa, akan tetapi karena masyarakat butuh bimbingannya, terutama dalam bidang keagamaan. Para santri datang sendiri, bukan karena diundang atau promosi. Mereka memang benar-benar datang dengan sepenuhnya menyerahkan diri untuk dibimbing oleh seorang kyai. Dari murid-murid yang telah mampu dan telah dianggap senior, maka diberilah mereka tugas sebagai pengurus. Di samping mereka masih tetap mendapat bimbingan dari kyai tentang ilmu yang lebih tinggi, biasanya ilmu tasawuf.15 Para kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam ilmu keislaman, seringkali dianggap sebagai seorang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam sehingga mereka dianggap memiliki kedudukan yang agung dan tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal, kyai menunjukkan kekhususan mereka dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan simbol kealiman yaitu kopiah dan surban. Mereka tidak saja merupakan pimpinan pesantren tetapi juga memiliki kekuatan di tengah-tengah masyarakat, bahkan memiliki prestise di kalangan masyarakat. Di pesantren, kyai memiliki otoritas, wewenang yang tinggi dan mampu menentukan semua aspek kegiatan pendidikan dan kehidupan agama atas tanggung jawabnya sendiri. Bahkan pandangan tradisional tentang kyai menganggap ia memiliki otonomi dalam keputusankeputusan serta hanya tunduk kepada hukum Allah s.w.t. Menurut Dhofier kebanyakan kyai di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil, di mana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren16 kecuali terhadap kyai lain yang lebih besar pengaruhnya. Posisi kyai yang demikian sentral dan kuat itulah, yang menjadikan keberadaan kyai sangat kharismatik dan ditaati.

14Mastuhu,

Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), p. 66. Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1983), p. 56. 16 Dhofier, Tradisi Pesantren, p. 56. 15Zamakhsari

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

Ali Anwar: Pengaruh Hukum Pasar terhadap Pergeseran Tradisi Pesantren...

701

Ketika materialisasi dan estetisasi17 kehidupan memasuki kehidupan pesantren mengakibatkan relasi santri kyai mengalami pergeseran. Dalam sebuah seminar tentang pesantren pada tanggal 29 Februari 2004, penulis diminta untuk mempresentasikan topik tentang posisi santri dalam era globalisasi. Ketika sessi tanya jawab, ada peserta yang mengajukan pertanyaan, ”Masihkan kyai sekarang barokahi, mengingat kyai mengajarkan kesederhanaan tetapi realitanya rata-rata kyai berkehidupan mewah.” Keraguan santri terhadap kyai ini disebabkan terjadinya perbedaan dalam hal nilai antara santri dan kyai tentang zuhud dan kederhanaan. Hal ini disebabkan antara kyai dan santri memiliki relativitasnya sendiri sehingga perbedaan penilaian dan alat ukur terhadap berbagai dimensi kehidupan dapat terjadi dalam ruang dan waktu yang sama. Pertanyaan santri tersebut dilatarbelakangi kemewanaan kehidupan kebanyakan kyai. Temuan di atas sesuai dengan pendapat Abdul Aziz yang mengatakan bahwa delegitimasi elit agama disebabkan akumulasi kekecewaan umat beragama terhadap elit agama yang secara terusmenerus mempertontonkan inkonsistensi antara ucapan, normativitas agama dengan sikap praksisnya.18 Sementara Endang Turmudi berpendapat bahwa legitimasi kyai akan mendapatkan tantangan ketika muncul generasi santri yang berkarakter modern yang mempunyai kemampuan dan kebebasan untuk mengevaluasi sikap kyai.19 Ketika berbagai pembayaraan di pesantren semakin mahal, baik untuk pendidikan, kebutuhan sehari-hari, maupun yang atas nama jariyah wajib, mengakibatkan strata sosial ekonomi kyai meningkat tajam. Hal ini tentu bertolak belakang dengan keadaan kehidupan santrinya sehari-hari. Ketidakpatuhan santri secara penuh kepada kyainya juga terjadi ketika pesantren di atas membuat aturan bagi santri untuk majek makan di beberapa pesantren di Jawa Timur, ternyata sering disambut dengan protes. Isu yang sering diusung dalam protes itu adalah ketidaktepatan waktu dan rendahnya menu yang disediakan. Sebuah gugatan dari santri terhadap kyai ini hampir tidak pernah diketemukan pada era sebelumnya. 17Estetisasi menurut Mudji Sutrisno adalah kerja yang memperindah tampilan dan pertunjukan diri. Namun, tampilan mengada-ada itu selubung menyembunyikan fakta sebenarnya. Baca Mudji Sutrisno SJ, ”Estetisasi dan Politisasi”, dalam diakses http://cabiklunik.blogspot.com/2008/07/esai-estetisasi-dan-politisasi.html, tanggal 24 Nopember 2008. 18Abdul Aziz Aru Bone, “Delegitimasi Elit agama, http://buyaku.blogspot.com/2007/08/ delegitimasi-elit-agama.html, diakses tanggal 24 Nopember 2008. 19Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Terjemahan Supriyanto Abdi dari Struggling for the Umma: Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang, East Java, (Yogjakarta: LKiS, 2004), p. 3.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

702

Ali Anwar: Pengaruh Hukum Pasar terhadap Pergeseran Tradisi Pesantren...

Setidaknya sampai akhir tahun 80-an ketika Mastuhu mengadakan penelitian di enam pesantren di Jawa dan Madura, dia tidak menemukan perilaku yang kurang tawadlu yang dilakukan oleh santri pesantren salaf kepada kyainya.20 Data ini menunjukkan bahwa hukum pasar juga terjadi di pesantren yang menimbulkan proses transaksi di mana orang menghitung cost dan benefit dari setiap hubungan sosial termasuk relasi santri kepada kyainya. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara cost dengan benefit, maka akan terjadi ketegangan dalam relasi itu. Sebagai implikasi berikutnya adalah mulai timbulnya perasaan kurang percaya dari alumni pesantren terhadap kyainya. Sebagai contoh, ketika terjadi pemilihan kepala daerah, beberapa kyai Pesantren Lirboyo mendukung salah satu pasangan calon. Dalam rangka memperkuat dukungannya, sampai-sampai salah satu dari kyai itu memberikan tausiyah kalau tidak mengikuti kyai maka ilmunya akan tidak barokah. Menanggapi tausiyah tersebut, ternyata alumni pesantren tersebut terpecah menjadi dua yang salah satunya mempertanyakan mengapa kyai memberikan tausiyah tersebut. Hal ini dibuktikan ketika ada pengajian dan salah satu dari kyai itu mengarahkan umat untuk memilih calon yang didukungnya, ternyata salah satu anggota pengajian itu bertanya, ”Lha enggih Yai, njenengan angsal nopo-nopo, lha kulo angsal nopo?” Pertanyaan yang bernada mencurigai kalau kyainya menerima sesuatu dari calon itu mengakibatkan berkurangnya ketaatan umat, termasuk di dalamnya alumni pesantren, terhadap kyainya. Dan itu terbukti ketika terjadinya pemilihan kepala daerah dilaksanakan ternyata suara calon yang didukung kyai pesantren tersebut tidak menang, termasuk di daerah banyak alumni pesantren tinggal. Suara calon yang didukung pada kyai itu hanya menang mutlak di dalam pesantren saja. Di samping itu, ketika kharisma kyai dan barokah sudah dipertanyakan oleh umat sebagai komunitas pendukungnya akan mengakibatkan kepercayaan mereka terhadap pesantren tersebut sebagai lembaga untuk mendidik generasi berikutnya mendapatkan hambatan. Hal ini dapat dilihat semakian menurunnya animo santri baru setiap tahunnya. F. Penutup Tulisan ini telah berusaha menjelaskan bagaimana pasar membentuk tradisi pesantren. Artikel ini menemukan bahwa anggapan Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, bahwa pesantren sebagai lembaga yang menutup diri ternyata tidak dapat dibenarkan. Melalui proses interiosasi pesantren menyerap berbagai perkembangan yang yang terjadi di masyarakat. Di samping itu, tulisan ini juga menemukan bahwa tingkat 20Mastuhu,

Dinamika Sistem, pp. 115 dan 131.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

Ali Anwar: Pengaruh Hukum Pasar terhadap Pergeseran Tradisi Pesantren...

703

legitimasi kyai yang ditandai ketawadlu`an dan ketaatan santri terhadap kyai ternyata ditentukan oleh anggapan santri tentang tingkat keikhlasan kyai. Semakin tinggi tingkat kepercayaan santri terhadap keikhlasan kyai semakin tinggi pula ketawadluan dan ketaatan santri terhadap kyai dan demikian pula sebaliknya. Temuan ini dapat digunakan untuk memahami tentang rendahnya pengaruh kyai dalam proses pemenangan pemilihan kepala daerah di Kediri khususnya, Jawa Timur, dan di daerah-daerah lain akhir-akhir ini. Calon-calon yang didukung oleh kyai ternyata sering mengalami kekalahan. Pasar telah mengubah tradisi ilmu keagaamaan yang selama ini mendominasi pesantren dengan lambat tetapi pasti tergeser oleh ilmu-ilmu profan yang banyak dibutuhkan dunia kerja. Jiwa keikhlasan yang selama ini dikembangkan termasuk di dalamnya dalam manajemen pesantren ternyata juga tergeser oleh faktor keuangan. Semakin lengkap fasilitas pesantren yang memungkinkan santri dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi dunia kerja ke depan semakin mahal pembayaran pesantren tersebut. Dikarenakan keikhlasan sudah tergeser dengan ukuran keuangan, maka kharisma kyai juga ikut tereduksi. Apabila selama ini santri senantiasa memberikan ketaatannya secara mutlak kepada kyainya, sekarang hal ini ditentukan juga oleh cost dan benefit yang diterima. Walau hal yang terakhir terkadang hanya dilakukan dengan silent transcript. Kajian dari tulisan ini menguatkan pendapat Irwan Abdullah tentang dampak dari ekspansi pasar yaitu terjadinya relasi antar orang yang mendasarkan cost dan benefit, etos kerja yang berorientasi pada pencarian “kehidupan yang lebih baik” merupakan contoh dari ekspansi pasar. Dalam masyarakat yang berorientasi pada pasar, agama banyak dijadikan sebagai instrumen bagi penentuan identitas kehidupan. Terkait dengan delegitimasi kyai juga sejalan dengan kajian Abd Aziz di atas. Ketika terjadi kontradiksi antara ajaran normatif dan amalan praktis tentu mengakibatkan adanya gugatan. Gugatan yang banyak dilakukan oleh santri terhadap kyainya mengakibatkan memudarnya kharisma kyai tersebut dan dipertanyakan kebarokahannya. Hal ini tidak hanya mengancam legitimasi kyai, tetapi juga mengancam keberlangsungan pesantren sebagai lembaga yang selama ini digunakan kyai untuk mentransmisikan sistem nilai kepada santri dan umatnya.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010

704

Ali Anwar: Pengaruh Hukum Pasar terhadap Pergeseran Tradisi Pesantren...

Daftar Pustaka Abdullah, Irwan, “Market, Consumption, and Lifestyle Management,” makalah yang disampaikan dalam International Seminar on Social and Cultural Dimension of Market Expansion, Batam, 3-5 Oktober, 1994. __________, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Afnany, Narjohn Najich, Le Azm, Kediri: Tamatan Madrasah Aliyah MHM, 1994. Anwar, Ali, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri, Kediri: iaitpress, 2008. Asy`ari, Zubaidi Habibullah, Moralitas Pendidikan Pesantren, Yogjakarta: PT. Kurnia Alam Semesta, 1996. Atjeh, Abu Bakar, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, Jakarta: Panitia Peringatan Almarhum KH. A. Wahid Hasyim, 1957. BPK P2L, Tiga Tokoh Lirboyo, Kediri: BPK P2L, 2006. Bone,

Abdul Aziz Aru, “Delegitimasi Elit agama, http://buyaku.blogspot.com/ 2007/08/delegitimasi-elit-agama.html, diakses tanggal 24 Nopember 2008.

Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1983. Geertz, Clifford, Interpretation of Cultures, New York: Basic Books, 1973. Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos, 1999. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994. Saridjo, Marwan, dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Darma Bhakti, 1983. Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik (Ed.), Kota Kediri dalam Angka 2005/2006, Kediri: BPS Kota Kediri, 2006. Sutrisno, Mudji SJ, ”Estetisasi dan Politisasi”, dalam http://cabiklunik.blogspot.com/ 2008/07/esai-estetisasi-dan-politisasi.html, diakses tanggal 24 Nopember 2008. Turmudi, Endang, Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan, Terjemahan Supriyanto Abdi dari Struggling for the Umma: Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang, East Java, Yogjakarta: LKiS, 2004. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010