PENGARUH KENAIKAN PERMUKAAN AIR LAUT PADA INTRUSI AIR

Download dengan laut. Proses intrusi air laut diselidiki dengan mengamati pergerakan batas interface air tawar - air laut. ..... mempelajari buku, j...

1 downloads 566 Views 804KB Size
Pengaruh Kenaikan Permukaan Air Laut pada Intrusi Air Laut di Akuifer Pantai (Studi Kasus : Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau) 1)

2)

2)

Arfena Deah Lestari , Kriyo Sambodho , Suntoyo Mahasiswa Jurusan Teknik Kelautan, FTK – ITS, Surabaya 2) Staf Pengajar Jurusan Teknik Kelautan, FTK – ITS, Surabaya 1)

Abstrak Tugas akhir ini membahas tentang pengaruh kenaikan permukaan air laut pada intrusi air laut di akuifer pantai yang unconfined. Akuifer pantai yang unconfined itu berada di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau yang dipilih sebagai lokasi penelitian. pemilihan lokasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa air tanah masih dapat diambil di dalam sumur yang dangkal di daerah penelitian dan masih dimanfaatkan untuk air minum atau keperluan pertanian, meskipun sumur terletak sangat dekat dengan laut. Proses intrusi air laut diselidiki dengan mengamati pergerakan batas interface air tawar - air laut. Diasumsikan bahwa interface yang tajam memisahkan air tawar dan air laut. Pendekatan dengan asumsi keseimbangan hidrodinamis antara air tawar dan air laut (Glover, 1959, Haipheng Guo dan Jiu.J.Jiao, 2009) digunakan untuk menganalisa. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk jarak 20 meter dari garis pantai, letak interface air tawar - air laut. Bervariasi di bawah 4 meter hingga 20 meter relatif terhadap MSL. Hal ini mendukung fakta bahwa ketersedian air tawar dalam unconfined akuifer. Selain itu juga ditemukan bahwa pengaruh kenaikan pemukaan laut tidak signifikan karena jumlah debit air tanahnya besar. Kata kunci: Intrusi, akuifer, unconfined, interface 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penelitian yaitu Pulau Bintan merupakan salah satu pulau yang berada di Provinsi Kepulauan Riau yang terdiri dari Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan dengan 2 luas wilayah 2000 km dan dikelilingi oleh lautan. Daerah disekitar pantainya memiliki kualitas air tawar yang sangat baik dengan kedalaman sumur yang relatif rendah dan dipergunakan masyarakat untuk konsumsi sehari-hari. Dari data yang didapatkan, jumlah penduduk pada tahun 2007 sekitar 200.640 jiwa dengan asumsi pertambahan penduduk 3% per tahun. Dalam perkembangannya kedepan dengan adanya pertambahan jumlah penduduk sebanyak 3% pertahun dan isu yang lagi beredar saat ini yaitu kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh global warming maka dikhawatirkan akan terjadinya perubahan sistem hidrogeologi akibat dari penggunaan airtanah yang berlebihan dan kenaikan muka air laut yang akan mengakibatkan kekurangan air bersih untuk konsumsi masyarakat. Belum adanya penelitian yang dilakukan didaerah ini terutama yang berhubungan dengan pengaruh naiknya permukaan air laut pada intrusi air laut menjadikan daerah ini menarik dan perlu untuk diteliti.

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari tugas akhir ini adalah : a. Menggambarkan model hidrologi Pulau Bintan yakni sistem airtanah dan airlaut serta keseimbangannya. b. Memperkirakan besar debit aliran air tawar dalam hubungannya dengan posisi muka air laut dan curah hujan. c. Mengetahui pengaruh kenaikan permukaan air laut terhadap air tanah di daerah penelitian. Penulisan tugas akhir ini diharapkan dapat Mengetahui gambaran model hidrologi Pulau Bintan yakni sistem airtanah dan airlaut serta keseimbangannya. Dapat mengetahui besar debit aliran air tawar dalam hubungannya dengan posisi muka air laut dan curah hujan. Dan dapat memberikan pengetahuan tentang pengaruh kenaikan permukaan air laut terhadap air tanah di daerah penelitian. 2. DASAR TEORI 2.1 Siklus Hidrologi Lebih dari 75% permukaan bumi tertutupi oleh air, dan penggunaan air begitu vital untuk kehidupan terutama untuk konsumsi. Dari sekian banyaknya total air yang ada di bumi hanya sedikit yang dapat dipergunakan oleh manusia sebagai air bersih. Dengan adanya mekanisme siklus hidrologi tetap mempertahankan keseimbangan kebutuhan akan air oleh makhluk hidup. Siklus hidrologi merupakan siklus yang tidak memiliki awal

dan akhir, namun karena jumlah air yang berada di lautan merupakan sumber terbesar maka dapat dinyatakan siklus hidrologi dimulai dari lautan. Siklus Hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju (sleet), hujan gerimis atau kabut. Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda: Evaporasi / transpirasi: Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb. kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es. Infiltrasi / Perkolasi ke dalam tanah: Air bergerak ke dalam tanah melalui celahcelah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan. Air Permukaan : Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut. Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut.

Gambar 2.1 Siklus Hidrologi 2.2 Pasang Surut Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda – benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Meskipun massa bulan jauh lebih kecil dari massa matahari, tetapi karena jaraknya terhadap bumi jauh lebih dekat, maka pengaruh gaya tarik bulan terhadap bumi lebih besar daripada pengaruh gaya tarik matahari. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut adalah 2,2 kali lebih besar daripada gaya tarik matahari. Tinggi pasang surut adalah jarak vertikal antara air tertinggi (puncak air pasang) dan air terendah (lembah air surut) yang berurutan. Periode pasang surut adalah waktu yang diperlukan dari posisi muka air pada 12 jam 25 menit atau 24 jam 50 menit, yang tergantung pada tipe pasang surut . periode dimana muka air naik disebut pasang, sedangkan pada saat air turun disebut surut. Menurut Dronkers (1964), ada tiga tipe pasut yang dapat diketahui, yaitu : 1. Pasang Surut Diurnal Yaitu bila dalam sehari terjadi satu satu kali pasang dan satu kali surut. Biasanya terjadi di laut sekitar katulistiwa. 2. Pasang Surut Semi Diurnal Yaitu bila dalam sehari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang hampir sama tingginya. 3. Pasang Surut Campuran Yaitu gabungan dari tipe 1 dan tipe 2, bila bulan melintasi khatulistiwa (deklinasi kecil), pasutnya bertipe semi diurnal, dan jika deklinasi bulan mendekati maksimum, terbentuk pasut diurnal. Menurut Wyrtki (1961), pasang surut di Indonesia dibagi menjadi 4 yaitu : 1. Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide) Merupakan pasut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, ini terdapat di Selat Karimata 2. Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide)

Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir sama dalam satu hari, ini terdapat di Selat Malaka hingga Laut Andaman. 3. Pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing Diurnal) Merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu, ini terdapat di Pantai Selatan Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat. 4. Pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal) Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu yang berbeda, ini terdapat di Pantai Selatan Jawa dan Indonesia Bagian Timur. Selain dengan melihat data pasang surut yang diplot dalam bentuk grafik, tipe pasang surut juga dapat ditentukan berdasarkan bilangan Formzal (F) yang dinyatakan dalam bentuk:

F

AO1 AK1 AM 2 AS 2

Dengan ketentuan: F ≤ 0.25 = 0.25 < F ≤ 1.5 = semidiurnal tides 1.5 < F ≤ 3.0 = tides F > 3.0 =

(1) Semidiurnal tides Mixed mainly Mixed mainly diurnal Diurnal tides

Karena sifat pasang surut yang periodic, maka ia dapat diramalkan. Untuk meramalkan pasang surut, diperlukan data amplitude dan beda fase dari masing – masing komponen pembangkit pasang surut. Komponen – komponen utama pasang surut terdiri dari komponen tengah harian dan harian. Namun demikian, karena interaksinya dengan morfologi pantai dan superposisi antar gelombang pasang surut komponen utama, akan terbentuklah komponen – komponen pasang surut yang baru. Mengingat elevasi muka air laut selalu berubah – ubah setiap saat, maka diperlukan suatu elevasi yang ditetapkan berdasar data pasang surut, yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan. Beberapa elevasi tersebut adalah sebagai berikut;

Muka air tinggi (high water level,HWL), muka air tertinggi yang dicapai pada saat air pasang dalam satu siklus pasang surut. Muka air rendah (low water level, LWL), kedudukan air terendah yang dicapai pada saat air surut dalam satu siklus pasang surut. Muka air tinggi rerata (mean high water level, MHWL), adalah rerata dari muka air tinggi selama periode 19 tahun. Muka air rendah rerata (mean low water level, MLWL), adalah rerata dari muka air rendah selama periode 19 tahun. Muka air laut rerata (mean sea level, MSL), adalah muka air rerata antara muka air rerata dan muka air rendah rerata. Elevasi ini digunakan sebagai referensi untuk elevasi di daratan. Muka air tinggi tertinggi (highest gigh water level, HHWL), adalah air tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati. Air rendah terendah (lowest low water level, LLWL), adalah air terendah pada saat pasang surut purnama atau bulan mati. 2.3 Aliran Air Tanah Aliran air tanah dapat diterapkan dengan Hukum Darcy yang menyatakan bahwa laju aliran melalui media sarang berbanding lurus dengan head loss, luas penampang dan berbanding terbalik dengan panjang aquifer. Air tanah mengalir dari potensial head yang lebih tinggi menuju potensial head yang lebih rendah, dimana kecepatan aliran air tanah dipengaruhi oleh kelulusan media (konduktifitas hidrolik) dan besarnya gradient hidroliknya. Kecepatan aliran adalah suatu vector yang menggambarkan kecepatan aliran air tanah.

Q

KA

dh dl

(2)

Dimana : 3 -1 Q : Fluks kecepatan aliran air (L T ) -1 K : Konduktivitas hidrolik (LT ) 2 A : Luas penampang (L ) dh/dl : Gradien hidrolik Tanda (-) menunjukkan arah aliran berlawanan dengan gradient hidrolik . Air tanah mengalir dari potensial head yang lebih tinggi menuju potensial head yang lebih rendah (berlawanan arah dengan arah gradien hidrolik). Sedangkan kecepatan fluks fluks aliran air tanah selain dipengaruhi oleh faktor kelulusan media geologi tempat air berada

(konduktivitas hidrolik) juga ditentukan oleh besarnya gradien hidrolik (head).

adanya gerakan air. Dengan demikian aquifer ini merupakan peralihan antara aquifer bebas dengan aquifer semi tertekan. 2.5 Intrusi Air Laut

Gambar 2.2 Skema aliran air tanah akibat perbedaan hidrolik 2.4 Akuifer Aquifer merupakan suatu lapisan batuan atau formasi geologi yang jenuh air yang bersifat permeabel, dapat menyimpan dan meneruskan air dalam jumlah yang ekonomis (Fetter, 1988). Berdasarkan kemampuan meluluskan air dari bahan pembatasnya, akuifer dapat dibedakan menjadi : 1.

2.

Akuifer Tertekan (Confined Aquifer) yaitu akuifer yang seluruh jumlahnya air yang dibatasi oleh lapisan kedap air, baik yang di atas maupun di bawah, serta mempunyai tekanan jenuh lebih besar dari pada tekanan atmosfer Akuifer Bebas (Unconfined Aquifer) yaitu lapisan lolos air yang hanya sebagian terisi oleh air dan berada di atas lapisan kedap air. Permukaan tanah pada aquifer ini disebut dengan water table (preatiklevel), yaitu permukaan air yang mempunyai tekanan hidrostatik sama dengan atmosfer.

3.

Akuifer Semi Tertekan (Semi confined Aquifer) yaitu aquifer yang seluruhnya jenuh air, dimana bagian atasnya dibatasi oleh lapisan semi lolos air dibagian bawahnya merupakan lapisan kedap air.

4.

Akuifer Semi Bebas (Semi Unconfined Aquifer) yaitu aquifer yang bagian bawahnya yang merupakan lapisan kedap air, sedangkan bagian atasnya merupakan material berbutir halus, sehingga pada lapisan penutupnya masih memungkinkan

Akuifer di dataran pantai adalah sumber air tanah yang baik, walaupun dengan resiko penyusupan air laut. Air tawar dan air laut adalah dua fluida dengan densitas (berat jenis) yang berbeda. Jika kedua jenis air ini kontak didalam tanah, akan terbentuk suatu zona dengan densitas yang bercampur dan berubah secara bertahap dari air tawar ke air laut. Walaupun begitu, pada kondisi tertentu zona ini relative kecil (misalnya jika dibandingkan dengan tebal akifer) sehingga dapat dianggap sebagai suatu bidang batas yang jelas seperti halnya dengan muka air tanah. Zona kontak antara air tawar dan air laut ini selanjutnya akan dikenal dengan interface. Pada gambar 2.1 dapat dilihat kondisi interface antara zona air tawar dan air laut di daerah pantai. Pada kondisi yang belum terganggu pada daerah akuifer pantai, kesetimbangan dapat dipertahankan, dengan interface yang stabil yang membagi air laut dan air tawar. Jika terjadi pengambilan air yang berlebihan dan tidak terkontrol pada akuifer pantai ini, maka mengakibatkan turunnya muka air tanah. Jika dilakukan pemompaan secara terus menerus dalam kapasitas yang besar, maka suatu saan muka interface air laut akan mencapai akan mencapai sumur. 2.6 Penyelesaian Ghyben - Herzberg Lebih dari beberapa abad lalu Badon – Ghyben (1888) dan kemudian Herzberg (1901) secara mandiri menemukan bahwa air laut muncul di bawah tanah, tidak di permukaan laut seperti yang diharapkan untuk tubuh air yang statis. Tetapi pada kedalaman di bawah permukaan laut sekitar empat puluh kali head air tawar tersebut di atas permukaan laut. Hubungan ini, yang dikenal sebagai hubungan Ghyben - Herzberg, yang telah secara luas digunakan.

Gambar 2.3 Interface air laut air tawar Ghyben dan Herzberg membuat asumsi lebih lanjut bahwa air laut tersebut tidak berubah. Tekanan pada wilayah air laut menjadi hidrostatis, P = -sgz, dengan datum diperlihatkan oleh gambar 2.3, head air asin adalah 0 dan persamaannya diturunkan menjadi: (3) Persamaan di atas kita ketahui sebagai hubungan Ghyben – Herzberg. Prediksi dari lokasi interface hanya membutuhkan level air pada sumur air tawar.

Gambar 2.5 Sistem unconfined akuifer dan interface air laut – air tawar pada massa lahan pantai yang luas Guo dan Jiao (2007) mempresentasikan solusi analitis untuk muka air dan posisi dari interface air laut. Solusi utamanya adalah sebagai berikut: (6) 3. METODOLOGI Start

2.7 Penyelesaian Glover

Studi Literatur

Gambar 2.4 Interpretasi penyelesaian Glover Akuifernya pada gambar di atas unconfined pada atasnya dengan head air tawar diberikan pada persamaan: (4)

Head air tawar pada z = 0 adalah:

Pengumpulan data: Pasang surut 2009 – 2010 Curah hujan 2009 – 2010 Fluktuasi muka ir tanah 2009 – 2010 Boring tanah

Pengolahan data: Formulasi Glover Formulasi Ghyben – Herzberg Formulasi Guo dan Jiao Lease Square Methode (Metode Kuadrat Terkecil)

(5) Cek

2.8 Solusi Ketinggian Air Tanah dan Inteface Air Laut Menurut asumsi Ghyben – Herzberg (Bear dkk, 1999) air laut dan air tawar dipisahkan oleh interface yang lebih tajam dibandingkan dengan zona transisi. Interface air laut dapat dikatakan batas yang tidak permeable di bawah permukaan laut sebesar:

C yae k

Analisa data dan pembahasan Kesimpulan

Finish

tidak

Adapun langkah-langkah penelitian dalam diagram alir dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Studi literatur meliputi mencari serta mempelajari buku, jurnal, ataupun laporan tugas akhir terdahulu yang membahas pokok permasalahan yang sama atau mirip dengan tugas akhir ini. Literatur tersebut digunakan sebagai acuan ataupun referensi tugas akhir ini. 2. Pengumpulan data meliputi pengumpulan data pasang surut, muka air tanah, curah hujan dan boring data. 3. Pengolahan data dengan menggunakan Formulasi Glover, Formulasi Ghyben – Herzberg, Formulasi Guo dan Jiao, dan Lease Square Methode (Metode Kuadrat Terkecil). 4. Analisa data dan pembahasan dilakukan untuk mendapatkan model keseimbangan air tanah dan air laut di daerah tinjauan. 5. Kesimpulan dan saran dari hasil analisa yang telah dilakukan. 4. ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Bintan yang merupakan sebuah pulau di Provinsi Kepulauan Riau. Secara geografis Pulau Bintan terletak di sebelah timur Pulau Batam 2 dengan luas wilayah 2000 km , dengan batas wilayah sebagai berikut : Sebelah utara berbatasan dengan Singapura dan Malaysia Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lingga Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Anambas dan Kalimantan Barat Sebelah barat berbatasan dengan Pulau Batam dan Kabupaten Karimun Pada umumnya daerah di Pulau Bintan beriklim tropis dengan temperatur terendah o o 23.9 celcius dan tertinggi 31.87 celcius dengan kelembaban udara sekitar 85 persen (berdasarkan data tahun 2000 – 2010; Dinas Pekerjaan Umum Kab.Bintan, 2010). Tiga buah sumur dengan kedalaman sekitar 3 meter digunakan sebagai objek penelitian. Masing – masing sumur terletak di desa Toapaya, Gesek, dan Gunung Kijang yang terletak sekitar 7.48 km, 8.16 km, dan 11.22 km dari garis pantai (Gambar 4.1). Anak panah pada gambar tersebut menunjukkan lokasi pengambilan data tanah. Deskripsi lengkap sumur diperlihatkan pada tabel 4.1.

Gambar 4.1 Lokasi Penelitian Tabel 4.1 Deskripsi Sumur (Dinas Pertambangan Prov.Kepulauan Riau, 2011) Ketinggian Muka Sumur Koordinat Tanah (m – MSL) o 1 02' 08,34" N A 9 o 104 35' 30,74" E o 1 02' 05,42" N B 11 o 104 34' 34,38" E o 1 02' 10,54" N C 15 o 104 32' 51,47" E Ketinggian muka air tanah dalam tiap sumur dimonitor secara teratur setiap bulannya sepanjang tahun 2009 – 2010. Pengukuran ketinggian muka air tanah di dalam sumur dilakukan setiap tanggal 15 pukul 10.00 WIB setiap bulannya (Dinas Pertambangan Prov.Kepulauan Riau, 2011). Ketinggian muka air tanah di dalam tiap sumur ini nantinya akan dikorelasikan dengan ketinggian muka air laut. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk mengevaluasi perubahan debit aliran air tanah terhadap ketinggian muka air laut. Pada penelitian ini semua elevasi mengacu pada posisi muka air laut rata – rata (titik 0 meter = MSL)

4.1.1 Kondisi Hidrologi Data curah hujan di dapatkan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Tanjungpinang selama 5 tahun yaitu dari tahun 2006 – 2010 diperlihatkan dalam gambar di bawah.

pengambilan data profil tanah dapat dilihat pada gambar 4.4. Dari data profil tanah tersebut didapatkan bahwa kondisi geologi disekitar daerah tinjauan secara umum didominasi oleh pasir dengan spesifikasi yang berbeda – beda yang ditunjukkan oleh gambar di bawah.

Gambar 4.2 Curah hujan tahunan 2006 – 2010 (BMKG Tanjungpinang, 2011) Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa curah hujan maksimum sebesar 3640 mm terjadi pada tahun 2007 dan curah hujan minimum sebesar 2740 mm terjadi pada tahun 2009 dengan rata – rata curah hujan dalam kurun waktu 2006 – 2010 adalah sebesar 3300 mm/tahun.

Gambar 4.3 Curah hujan bulanan 2006 – 2010 (BMKG Tanjungpinang, 2011) Gambar 4.3 menunjukkan curah hujan bulanan yang tercatat dari tahun 2006 – 2010. Dari gambar di tersebut dapat dilihat bahwa curah hujan maksimum terjadi pada Bulan Desember 2006 dan curah hujan minimum terjadi pada Bulan Pebruari 2006. Rata – rata curah hujan dalam kurun waktu 5 tahun sebesar 274 mm/bulan. Apabila kita amati gambar 4.4 secara lebih teliti, didapatkan bahwa lebih dari 60% curah hujan (1850 mm) terjadi pada Bulan Juli hingga Desember setiap tahunnya, kecuali pada tahun 2007. Dimana pada tahun tesebut lebih dari 60% curah hujan (1900 mm) terjadi pada bulan Januari hingga Juni. 4.1.2 Kondisi Geologi Gambaran kondisi geologi bawah tanah di daerah penelitian dari data hasil pembangunan tower telekomunikasi pada tanggal 27 April 2005 (Laporan pembangunan tower excelkomindo, 2005). Lokasi

Gambar 4.4 Lithologi daerah penelitian (Dimodifikasi dari laporan pembangunan tower excelkomindo, 2005) Seperti terlihat pada gambar di atas, pada kedalaman 0 hingga 0.6 meter didominasi oleh tanah hitam berpasir. Pada kedalaman 0.6 hingga 2 meter didominasi oleh pasir kuning padat. Sedangkan tanah yang mendominasi kedalaman 2 hingga 3 meter adalah pasir hitam bercampur tanah. Dan pada kedalaman 3 hingga 6 meter didominasi oleh pasir putih sedang. Pada gambar 4.4 tersebut muka tanah berada pada ketinggian 11 m di atas permukaan laut. 4.1.3 Kondisi Pasang – Surut Data pasang surut didapatkan dari DISHIDROS tahun 2009 – 2010. Dari data yang didapatkan tersebut, dilakukan proses pengolahan data dengan metode Lease Square Method (Metode Kuadrat Terkecil) untuk mendapatkan konstanta pasang surut serta elevasi penting muka air laut (misalnya MSL, HHWL, MHWS, dll). Tipe pasang surut yang didapatkan adalah Mixed Diurnal Tide yang ditandai dengan harga F = 1.65. Secara detil bisa dilihat pada tabel 4.2 dan 4.3. Tabel 4.2 Amplitudo komponen utama pasang surut Konstanta Pasang Surut

Nilai

So

1.25

M2

0.34

S2

0.12

K1

0.38

O1

0.37

N2

0.05

K2

0.06

P1

0.06

M4

0.00

MS4

0.00

Tabel 4.3 Elevasi penting Muka Air Laut Elevasi Penting Muka Air laut

Tinggi (m)

Hhwl

2.15

Mhws

1.92

Mhwl

1.54

Msl

1.25

Mlwl

0.79

Mlws

0.19

Llwl

0.05

4.2 Analisa 4.2.1 Analisa Hasil Perhitungan Normalized Fresh Groundwater Discharge (Q/K) Normalized Fresh Groundwater Dischage (Q/K) pada dasarnya adalah debit aliran sebagai fungsi konduktivitas hidrolik. Oleh karena tidak dilakukan pengukuran terhadap nilai K dalam penenlitian ini, maka peneliti mencari nilai Q/K dengan merujuk pada persamaan 2.19.

pengukuran dengan menggunakan nilai Q/K yang paling optimal. Dari hasil analisa didapatkan bahwa nilai Q/k akan besar pada saat posisi muka air laut sedang turun dan nilai Q/k akan kecil pada saat posisi muka air laut sedang naik. Nilai Q/K ini juga dipengaruhi oleh jumlah curah hujan seperti yang terjadi pada bulan Maret 2009. Nilai Q/K pada bulan tersebut adalah 0.17 m pada saat posisi air laut berada pada 0.25 meter di bawah MSL. Hal ini disebabkan karena pada bulan tersebut curah hujannya sedikit yaitu sebesar 369.3 mm dengan curah hujan komulatif dari bulan Januari, Februari, dan Maret adalah sebesar 543.3 mm. Dan pada bulan Januari 2010 nilai Q/K 0.24 m pada saat posisi air laut berada pada 0.55 meter di atas MSL. Padahal curah hujan pada bulan ini cenderung rendah yaitu 33.8 mm hal ini terjadi karena air hujan tidak seluruhnya mengalir ke sungai, danau, ataupun laut, tetapi sebagian terserap dalam tanah. Hal ini dapat dijelaskan dalam gambar 4.6.

Dari tiga buah nilai tinggi muka air tanah hasil pengukuran yang dilakukan Dinas Pertambangan Prov. Kepulauan Riau di daerah penelitian, dibuat grafik berupa titik – titik yang menunjukkan tinggi muka air tanah pengukuran kemudian dilakukan fitting dengan menggunakan metode Lease Square Fitting. Proses ini dilakukan dengan bantuan fungsi SOLVER yang merupakan salah satu fitur pengolahan data yang telah ada pada MS.EXCEL untuk mendapatkan nilai Q/K seoptimal mungkin. Proses ini dapat dilihat pada gambar 4.5. Gambar 4.6 (a) Posisi muka air laut, (b) Q/K dan (c) Curah hujan C 4.2.2

Gambar 4.5 Metode Fitting Kurve Gambar 4.5 di atas menunjukkan tiga pengukuran pada tangal 15 januari 2009 pukul 10.00 WIB dimana posisi air laut adalah 0.35 meter di atas MSL dan posisi muka air tanah pada sumur A, B, dan C masing – masing adalah 5.5, 7.95, dan 12.15 meter. Dengan menggunakan persamaan 5 bisa didapatkan sebuah kurva yang mendekati hasil

Pengaruh Curah Hujan Terhadap Debit Aliran Air Tanah (Q) Curah hujan sangat mempengaruhi debit aliran air tanah. Dengan memasukkan nilai K = -2 10 (dalam hal ini pasir) ke dalam persamaan Q/K= X yang mana nilai X didapatkan dengan menggunakan bantuan “SOLVER” maka didapatkan nilai Q yang dapat ditunjukkan pada gambar di bawah.

Mempertimbangkan curah hujan

Gambar 4.8 Model interface air laut air tawar, (a) Maret 2009, dan (b) Februari 2010 Gambar 4.7 (a) Debit aliran air tanah, (b) Posisi muka air laut dan (c) Curah hujan rata rata Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa grafik debit aliran air tanah (Q) dengan mempertimbangkan curah hujan berada di atas grafik debit aliran air tanah (Q) tanpa mempertimbangkan curah hujan. Dari gambar di atas juga dapat dilihat bahwa fluktuasi debit aliran air tanah mengikuti fluktuasi muka air laut dan rata – rata curah hujan. Pada saat rata – rata curah hujannya besar dan air laut sedang pasang. debit aliran air tanahnya juga besar (Q) dan begitu pula sebaliknya. 4.2.3

Analisa Perubahan Posisi Interface Air Laut Air Tawar

Posisi interface air laut laut air tawar tergantung pada naik turunnya permukaan air laut dan posisi muka air tanah (Bear, 2005). Semakin rendah posisi permukaan laut maka semakin landai bentuk interface air laut air tawarnya. Begitu pula sebaliknya seperti yang diperlihatkan pada gambar 4.8.

Dimana 0 meter tersebut bukan merupakan MSL tetapi 0 meter menunjukkan posisi muka air laut pada bulan Maret 2009 (0.25 meter di bawah MSL) pada gambar (a) dan gambar (b) menunjukkan posisi muka air laut pada bulan Februari 2010 dimana air laut pada saat itu berada pada posisi 0.55 meter di atas MSL. 4.3 Pembahasan Pada gambar 4.9 adalah gambar Perumahan Griya Permai. Terlihat bahwa perumahan tersebut berlokasi sangat dekat dengan garis pantai. Pada Perumahan Griya Permai ini terdapat sekitar 200 kepala keluarga yang pada umumnya menggunakan sumur dengan kedalaman relatif rendah (± 3 meter dari muka tanah) untuk memenuhi kebutuhan konsumsi air bersih dengan kualitas yang sangat baik. Hal ini menimbulkan pertanyaan dari peneliti mengapa hal tersebut dapat terjadi?

Gambar 4.9 Lokasi pemukiman penduduk yang dekat dengan garis pantai (Survei, 2011)

Bertolak dari kenyataan di atas, peneliti mengkaitkan analisa yang telah dilakukan secara spesifik dengan mengaplikasikan persamaan 3 pada lokasi studi. Untuk kasus ini diambil jarak sejauh 20 meter dari garis pantai untuk melihat posisi interface air laut air tawar. Hal ini dikarenakan pemukiman penduduk berada ± 20 meter dari garis pantai yang pada umumnya memiliki air sumur dengan kualitas yang masih baik (Survei lokasi, 2011).

Naik turunnya interface air laut – air tawar mengikuti pola naik turunnya permukaan laut. Posisi interface air laut – air tawar akan naik pada saat permukaan air laut naik begitu juga sebaliknya. Kecuali pada periode dimana curah hujan sedang tinggi. Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa fluktuasi naik turunnya interface air laut – air tawar dan naik turunnya muka air laut tidak mempengaruhi kualitas air sumur. 1. KESIMPULAN DAN SARAN

Gambar 4.10 (a) Posisi muka air laut, dan (b) Posisi interface air laut air tawar pada jarak 20 meter dari garis pantai Gambar 4.10 menunjukkan posisi muka air laut (a) dan posisi interface air laut – air tawar pada jarak 20 meter dari garis pantai. Posisi interface air tawar air laut pada jarak 20 meter dari garis pantai berfluktuasi pada kedalaman 15 meter di bawah MSL. Artinya posisi interface tersebut cukup dalam sehingga apabila sumur tersebut memiliki kedalaman 3 meter, airnya masih tawar. Dengan menggunakan persamaan 5 juga dapat di lihat bahwa fluktuasi naik turunnya interface air tawar air laut berada di bawah 4 meter di bawah MSL. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah.

Gambar 4.11 Posisi interface air laut air tawar pada jarak 20 meter dari garis pantai

5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari analisa yang telah dilakukan adalah: 1. Curah hujan maksimum sebesar 3640 mm terjadi pada tahun 2007 dan curah hujan minimum sebesar 2740 mm terjadi pada tahun 2009 dengan rata – rata curah hujan dalam kurun waktu 2006 – 2010 adalah sebesar 3300 mm/tahun. Dan didapatkan bahwa lebih dari 60% curah hujan (1850 mm) terjadi pada Bulan Juli hingga Desember setiap tahunnya, kecuali pada tahun 2007. Dimana pada tahun tesebut lebih dari 60% curah hujan (1900 mm) terjadi pada bulan Januari hingga Juni. 2. Besarnya debit aliran air tanah (Q) dengan mempertimbangkan curah hujan lebih besar dari pada debit aliran air tanah (Q) tanpa mempertimbangkan curah hujan. Rata – rata debit aliran air tanah dengan mempertimbangkan curah hujan dalam 2 kurun waktu dua tahun adalah 0.0195 m /s dengan debit maksimum terjadi pada bulan 2 Januari 2010 sebesar 0.00238 m /s. Sedangkan debit aliran air tanah tanpa mempertimbangkan curah hujan, debit maksimum terjadi pada bulan Juni 2010 2 sebesar 0.00692 m /s dan debit minimum terjadi pada bulan Januari 2010 sebesar 2 0.00272 m /s. 3. Pengaruh kenaikan permukaan air laut tidak signifikan mempengaruhi kualitas air tanah di daerah penelitian. 5.2 Saran Penelitian ini dilakukan dengan mengasumsikan adanya keseimbangan hidrodinamik antara air laut dan air tawar dengan menggunakan model analitis sederhana. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya misalnya menggunakan model intrusi air laut yang lebih kompleks. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih mengenai proses aliran air dalam tanah pada suatu akuifer.

Selain itu diperlukan juga metode pengukuran lapangan secara langsung misalnya dengan menggunakan metode 2D electricsl resistivity survey. Hal ini dimaksudkan untuk melanjutkan verifikasi perhitungan yang telah dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Alfajri, 2008, “Permodelsn Potensi Intrusi air Laut Pada Sistem Air Tanah di Ujunggenteng, Kecamatan Cilacap, Kabupaten Sukabumi”, Intitut Teknologi Bandung: Bandung. Badon – Ghyben, W., 1988, Nota in Verband Met de Voorgenomen Putboring nabij Amsterdam (Note on The Probable Results of Well Drilling Near Amsterdam), Thijdschrift Van Het Koninklijk Instituut Vav Ingebieurs, The Haque, 8-12. Bear, J. dkk., 1999, Sea Water Intrusion in Coastal Aquifers – Consepts, Methods and Practices, Kluwer Academi Publishers: London. Bobba, A.G. 2002. Numerical Modelling of Salt-water Intrusion Due to Human Activities and Sea-Level Change in The Godavari Delta, India. Hydrological Science 47 (S), S67-S80. Daftar Pasang Surut, Dinas Hidrooseanografi, 2009 – 2010. Defant Albert, 1958, The Tides of Earth, Air, and Water, The University of Michigan Press: Michigan. Fetter,C.W., 1972, Position of The Saline Water Interface Beneath Oceanic Islands, Water Resour, 8, 1307 – 1314. Fluktuasi Muka Air Tanah 2009 – 2010, Dinas Pertambangan Provinsi Kepulauan Riau, 2011. Herzberg, A., 1901, Die WasserversorgungbEiniger Nordseebder (The Water Supply of parts of The North Sea Coast in Germany, Z. Gasbeleucht. Wasservesory, 44, 815819, dan 45, 842-844. Hubbert, M.K., 1940, The Theory of Groundwater Motion, J.Geol, 48, 785944 J.J Dronkers, 1964, Tidal Computations in Rivers and Coastal Waters, North – Holland Publishing Company: Amsterdam. King Churchalaine A.M, 1966, An Introduction to Oceanography, McGraw Hill Book Company. Inc: New York, San Francisco. Laporan Pembangunan Tower Exelcomindo, 2005

Lusczynski, N.J., 1961, Head and Flow of Groundwater of Variable Density, J.Geophy. Res., 66, 4247-4256. Mac Millan, 1966, Tides, American Elsevier Publishing Company, Inc, New York. Muskat, M., 1937, The Flow of Homogenous Fluids through Porous Media, McGraw-Hill. Pond Stephent dan George L. Pickard, 1978, Introductory to Dynamic Oceanography. Pergamon Press: Oxford. Priyana Toto, 1994, Studi pola Arus Pasang Surut di Teluk Labuhantereng Lombok Nusa Tenggara Barat, Institut Pertanian Bogor: Bogor. Soemarto, CD. 1999. “Hidrologi Teknik”. Erlangga: Jakarta. Triatmodjo, B., 1999, Teknik Pantai, Beta Offshet: Yogyakarta. Werner, A.D,. dan C.T Simmons. 2009. Impact of Sea-Level Rise on Sea Water Intrusion in Coastal Aquifer. National Ground Water Association. Wyrtki Klause, 1961, Phyical Oceanography of the South East Asian Waters, Institute Oceanography: California.