PENGARUH LAMA FERMENTASI TERHADAP KUALITAS BIOETANOL PADA KULIT

Download Abstrak. Kulit buah nangka (Artocarpus heterophyllus) merupakan salah satu bagian dari buah nangka yang memiliki kandungan karbohidrat yang...

0 downloads 443 Views 462KB Size
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran, Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kualitas Bioetanol Pada Kulit Nangka (Artocarpus heterophyllus) Fitriani, Mulyadi, Sri Purwati Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman Email: [email protected] Abstrak Kulit buah nangka (Artocarpus heterophyllus) merupakan salah satu bagian dari buah nangka yang memiliki kandungan karbohidrat yang dapat dimanfaatkan menjadi bioetanol melalui proses fermentasi dengan bantuan ragi merek Fermipan (Saccharomyces cerevisiae). Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi terhadap kualitas bioetanol pada kulit nangka (Artocarpus heterophyllus). Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih empat bulan. Data yang didapatkan dianalisis menggunakan perhitungan anava dengan 5 perlakuan yang terdiri dari: P1 (0 jam) sebagai kontrol, P2 (48 jam), P3 (56 jam), P4 (64 jam), dan P5 (72 jam). Setiap perlakuan memiliki 4 ulangan. Parameter kualitas bioetanol yang diamati adalah pH, berat jenis (densitas), tampakan, dan kemampuan menyala. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama fermentasi berbeda sangat nyata terhadap berat jenis (densitas) bioetanol kulit nangka, akan tetapi tidak berbeda nyata pada kemampuan menyala. PH sampel yang didapatkan relatif sama yaitu 5 pada kontrol dan 4 pada P2, P3, P4, dan P5. Semua sampel juga memiliki tampakan yang sama, yaitu: jernih, terang, dan tidak ada endapan. Kata Kunci: lama fermentasi, kualitas bioetanol, kulit nangka (Artocarpus heterophyllus)

PENDAHULUAN Kebutuhan dan konsumsi masyarakat akan bahan bakar minyak (BBM) yang semakin meningkat dari tahun ke tahun berbanding terbalik dengan ketersediaannya. Kebutuhan bahan bakar semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah populasi dan aktivitas manusia. Hingga Maret 2008, tingkat kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia mencapai 1,3 juta barel perhari, padahal produksi BBM nasional hanya sebesar 900 ribu barel per hari. Oleh karena itu dibutuhkan sumber energi pengganti, dimana bahan dasarnya banyak terdapat di Indonesia dan belum termanfaatkan. Hal ini secara tidak langsung membantu perekonomian masyarakat dengan memproduksi bioetanol sebagai sumber mata pencaharian tambahan. Pemanfaatan tumbuhan menjadi bahan baku pembuatan bahan bakar merupakan salah satu upaya untuk menghemat sumber daya alam minyak yang tidak dapat diperbaharui dan juga untuk mengatasi kelangkaan minyak (Sulfahri dkk, 2010). Salah satu upaya untuk mengurangi konsumsi masyarakat terhadap BBM adalah dengan memanfaatkan energi alternatif terbarukan seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional, adalah melalui pengembangan energi terbarukan berbasis nabati atau sering disebut Bahan Bakar Nabati (BBN). Tidak hanya mengeluarkan Perpres no. 5 Tahun 2006, tetapi pemerintah juga menargetkan pada tahun 2016 pemanfaatan BBN bisa mencapai angka 5%. Salah satu contoh bahan bakar berbasis nabati adalah bioetanol (Azizah dkk, 2012). Total produksi bioetanol Indonesia hingga 30 Juni 2008 hanya 160.000 kiloliter (Portal Nasional RI, 2008). Oleh karena itu, Indonesia masih memerlukan sumber bahan bakar bioetanol yang lebih efektif. Indonesia telah dikenal luas sebagai negara yang memiliki wilayah dan tanaman yang sangat yang luas. Produksi nangka di Indonesia terbilang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena nangka merupakan tanaman yang sangat cocok bila dibudidayakan Indonesia yang memiliki karakteristik “Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21” 279

Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran, Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

daerah yang sesuai dengan pertumbuhan pohon nangka. Selain itu tanaman nangka juga selalu menghasilkan buah hampir sepanjang tahun (Amalia, 2013). Selama ini kulit buah nangka umumnya tidak dimanfaatkan sehingga menjadi limbah lingkungan, padahal kulit buah nangka dapat dimanfaatkan menjadi bioetanol karena kulit nangka memiliki kandungan karbohidrat. Oleh karena itu penulis mencoba mengangkat penelitian kulit nangka sebagai sumber Bahan Bakar Nabati (BBN) penghasil bioetanol. Lama fermentasi pada proses produksi bioetanol sangat mempengaruhi kadar bioetanol yang dihasilkan. Semakin lama waktu fermentasi maka semakin tinggi bioetanol yang dihasilkan. Jika bioetanol yang terkandung didalam substrat tinggi maka hal ini justru akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae. Karena pada kadar alcohol 2,5% pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae akan terhambat. Hanya Saccharomyces cerevisiae strai tertentu saja yang dapat bertahan pada kadar alkohol 2,5-5%. Oleh karena itu dibutuhkan lama fermentasi yang tepat untuk proses fermentasi bioetanol agar didapatkan kualitas bioetanol yang baik yaitu kadar etanol dalam jumlah tinggi, nilai pH rendah, tampakan bioetanol, serta kemampuan menyala yang baik (Azizah dkk 2012). METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Menurut Rianto (1996) dalam Sunarti (2014), penelitian eksperimen merupakan penelitian yang sistematis, logis, dan teliti dalam melakukan kontrol terhadap kondisi. Penelitian eksperimen bertujuan untuk menyelidiki hubungan sebab akibat (cause and effect relationship). Penelitian ini adalah penelitian eksperimen untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi terhadap kualitas bioetanol pada kulit nangka (Artocarpus heterophyllus). Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan yaitu pada bulan SeptemberDesember 2015 di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Faperta Unmul, Laboratorium Kimia Organik FMIPA Unmul, dan Laboratorium Pendidikan Biologi FKIP Unmul. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan, neraca analitik, blender, pisau, beaker glass, sendok, thermometer, pipet tetes, kompor gas, panci, toples, aluminium foil, kapas, alat destilasi, piknometer, refraktometer, gelas ukur, labu destilasi, erlenmeyer, indikator universal, bunsen, tabung reaksi, autoklaf, corong kaca, batang pengaduk, inkubator, laminar air flow, jarum ose, pipet volume, rak tabung, suntikan, cawan petri, dan korek. Sedangkan bahan yang digunakan untuk penelitian ini antara lain kulit nangka (Artocarpus heterophyllus), Aspergillus niger, Saccharomyces cerevisiae, akuades, NPK, Urea, HCl 1M, NaOH 1M, NaCl, dan medium PDA. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari: persiapan bahan, mengukur kadar pati, pembuatan biakkan dan starter Aspergillus niger, hidrolisis, fermentasi, destilasi, pengukuran pH, pengukuran berat jenis (densitas), uji tampakan, dan uji kemampuan menyala. Data dari hasil penelitian yang kemudian diolah dengan menggunakan perhitungan statistik analisis varian (anava). HASIL PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi tehadap kualitas bioetanol pada kulit nangka (Artocarpus heterophyllus). Kulit Nangka diberi “Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21” 280

Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran, Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

beberapa perlakuan dengan lama fermentasi yang berbeda-beda, yaitu 0 jam sebagai kontrol (P1), kemudian 48 jam (P2), 56 jam (P3), 64 jam (P4), dan 72 jam (P5). Masing-masing perlakuan dilakukan 4 kali pengulangan sehingga diperoleh 20 sampel. Dari hasil destilasi fermentasi didapatkan cairan bioetanol yang disajikan dalam tabel 6. Tabel 6. Volume Hasil Destilasi Bioetanol Pada Kulit Nangka (ml) Pengulangan 0 Jam 48 jam 56 Jam 64 Jam 72 jam Jumlah 1 1,6 17,6 18,2 15,0 13,0 65,4 2 0,8 12,6 14,5 14,5 10,0 52,4 3 1,2 11,5 12,6 13,2 15,5 54,0 4 1,6 11,2 14,0 10,0 15 51,8 Jumlah 5,2 52,9 59,3 52,7 53,5 223,6 Rata-Rata 1,3 13,225 14,825 13,175 13,375 11,18 Sumber: Hasil Penelitian (2015) Cairan bioetanol yang didapatkan tersebut kemudian di analisis kualitasnya. Adapun yang menjadi parameter kualitas bioetanol pada kulit nangka ini adalah pH, berat jenis, tampakan, dan kemampuan menyala bioetanol yang dihasilkan. 1. Nilai pH Bioetanol Nilai pH adalah salah satu parameter untuk menentukan kualitas bioetanol dalam penelitian ini. Nilai pH diperoleh dari 20 sampel bioetanol kulit nangka yang diukur menggunakan kertas indikator universal. Hasil pengukuran nilai pH dengan berbagai lama fermentasi kulit nangka disajikan dalam tabel 7. Tabel 7. Nilai pH Bioetanol Kulit Nangka Pengulangan Lama Fermentasi P1 P2 P3 P4 P5 1 5 4 4 4 4 2 5 4 4 4 4 3 5 4 4 4 7 4 5 4 4 4 4 Sumber: Hasil Penelitian (2015) Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai pH bioetanol kulit nangka dengan lama fermentasi yang berbeda-beda relatif sama yaitu 5 pada P1 dan 4 pada P2, P3, P4, dan P5, akan tetapi terdapat satu perlakuan yang memiliki pH berbeda yaitu 7 pada perlakuan 72 jam ulangan ketiga. 2. Berat Jenis (Densitas) Bioetanol Berat jenis atau densitas merupakan parameter kedua untuk menentukan kualitas bioetanol dalam penelitian ini. Berat jenis didapatkan dari berat destilat bioetanol yang ditimbang menggunakan piknometer dan neraca analitik dengan berat piknometer berisi akuades sebagai pembanding. Tabel 8. Berat Jenis Bioetanol Kulit Nangka (gr/cm³) P P1 P2 P3 P4 P5 Jumlah U U1 0 0,9579 0,9649 0,9530 0,8664 3,7422 U2 0 0,8331 0,9299 0,9384 0,9797 3,6811 U3 0 0,9629 0,9125 0,9700 0,9641 3,8095 U4 0 0,9613 0,9752 0,9699 0,9666 3,8730 Jumlah 0 3,7152 3,7852 3,8313 3,7768 15,1058 Rata-Rata 0 0,9288 0,9456 0,9578 0,9422 0,7549 Sumber: Hasil Penelitian (2015) Hasil pengukuran berat jenis atau densitas bioetanol dengan lama fermentasi 0 jam, 48 jam, 56 jam, 64 jam, dan 72 jam yang disajikan dalam tabel 8 menunjukkan “Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21” 281

Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran, Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

bahwa rata-rata berat jenis bioetanol kulit nangka secara berturut-turut dengan perlakuan P1, P2, P3, P4, dan P5 adalah 0 gr/cm³, 0,9288 gr/cm³, 0,9456 gr/cm³, 0,9578 gr/cm³, dan 0,9422 gr/cm³. Hasil rata-rata berat jenis bioetanol yang tertinggi adalah pada P2 yaitu sebesar 0,9288 gr/cm³ dan hasil terendah pada P1 sebesar 0 gr/cm³. Hasil penelitian data pada tabel 8 yang telah didapatkan dari perhitungan berat jenis (densitas) bioetanol selanjutnya dianalisis menggunakan analisis varian satu arah (anava). Tabel 9. Analisis Sidik Ragam Berat Jenis Bioetanol Kulit Nangka SK Db JK KT Fhit Ftabel 5% 1% Perlakuan 4 2,85 0,71 355** 3,06 4,89 Galat 15 0,03 0,002 Total 19 2,88 Keterangan: * = berbeda nyata ( Ft 1% > F hit > Ft 5% ) ** = berbeda sangat nyata ( Fhit > Ft 1% > Ft 5% ) tn = tidak berbeda nyata ( Fhit < Ft 1% < Ft 5% ) Berdasarkan data tersebut diperoleh bahwa F hitung (355) lebih besar dari F tabel taraf signifikan 1% yaitu 4,89 dan lebih besar dari F tabel taraf signifikan 5% yaitu 3,06. Dengan demikian dapat diketahui bahwa berbagai variasi lama fermentasi berbeda sangat nyata terhadap kualitas bioetanol pada kulit nangka khususnya pada berat jenis (densitas). Selanjutnya dilakukan uji Least Significant Difference (LSD) untuk mengetahui tingkat perbedaan yang nyata dari masing-masing perlakuan (P1, P2, P3 , P4, dan P5) dan hasil perhitungan sebagai berikut. Tabel 10. Uji Lanjut LSD dengan Perlakuan Lama Fermentasi 0 Jam, 48 Jam, 56 Jam, 64 Jam, dan 72 Jam terhadap Berat Jenis Bioetanol. P Rata-Rata P1 P2 P3 P4 P5 Notasi 0 0,9288 0,9456 0,9578 0,9442 P1 0 0 a P2 0,9288 0,9288** 0 b P3 0,9456 0,9456** 0,0168 0 b P4 0,9578 0,9578** 0,029 0,0122 0 b P5 0,9442 0,9442** 0,0154 -0,0014 -0,0156 0 b

Keterangan: **berbeda sangat nyata Tabel di atas menunjukkan bahwa perbedaan yang sangat nyata hanya terjadi pada lama fermentasi 0 jam (P1/kontrol) terhadap lama fermentasi 48 jam (P2), 56 jam (P3), 64 jam (P4), dan 72 jam (P5). Sedangkan untuk perlakuan lama fermentasi 48 jam (P2), 56 jam (P3), 64 jam (P4), dan 72 jam (P5) tidak berbeda nyata terhadap perlakuan yang lainnya. 3.

Tampakan Bioetanol Pengujian tampakan bioetanol dilakukan secara visual tanpa menggunakan

alat. Tabel 11. Tampakan Bioetanol Kulit Nangka Pengulangan Lama Fermentasi 0 Jam 48 Jam 56 Jam 64 Jam 1 Jernih, Jernih, Jernih, Jernih, terang, dan terang, dan terang, dan terang, dan tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada endapan endapan endapan endapan 2 Jernih, Jernih, Jernih, Jernih,

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21” 282

72 Jam Jernih, terang, dan tidak ada endapan Jernih,

Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran, Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Pengulangan

3

4

0 Jam terang, dan tidak ada endapan Jernih, terang, dan tidak ada endapan Jernih, terang, dan tidak ada endapan

48 Jam terang, dan tidak ada endapan Jernih, terang, dan tidak ada endapan Jernih, terang, dan tidak ada endapan

Lama Fermentasi 56 Jam 64 Jam terang, dan terang, dan tidak ada tidak ada endapan endapan Jernih, Jernih, terang, dan terang, dan tidak ada tidak ada endapan endapan Jernih, Jernih, terang, dan terang, dan tidak ada tidak ada endapan endapan

72 Jam terang, dan tidak ada endapan Jernih, terang, dan tidak ada endapan Jernih, terang, dan tidak ada endapan

Tabel tersebut menunjukkan bahwa semua perlakuan memiliki tampakan yang sama, yaitu jernih, terang, dan tidak ada endapan. 4. Kemampuan Menyala Setelah didapatkan hasil destilasi, di ukur berat jenis, ph, dan tampakan, selanjutnya diuji kemampuan menyala bioetanol dari setiap perlakuan dan didapatkan data sebagai berikut: Tabel 12. Kemampuan Menyala Bioetanol Kulit Nangka (detik) P P1 P2 P3 P4 U U1 0 14 3 18 U2 0 25 22 17 U3 0 16 9 0 U4 0 16 0 0 Jumlah 0 71 34 35 Rata-Rata 0 17,75 8,5 8,75

P5

Jumlah

22 0 13 3 38 9,5

57 64 38 19 178 8,9

Berdasarkan data tersebut dapat dilihat rata-rata kemampuan menyala P1, P2, P3, P4, dan P5 yaitu sebesar 0 detik, 17,75 detik, 8,5 detik, 8,75 detik, dan 9,5 detik. Hasil kemampuan menyala yang tertinggi adalah pada P2 sebesar 17,75 detik dan terendah pada P1 sebesar 0 detik. Hasil penelitian yang tertera pada tabel 12 kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis varian satu arah (anava). Tabel 13. Analisis Sidik Ragam Kemampuan Menyala Bioetanol Kulit Nangka SK Db JK KT Fhit 5% Perlakuan 4 632,3 158,08 3,06 Galat 15 965,5 64,37 Total 19 1597,8

Ftabel 1% 4,89

Keterangan: * = berbeda nyata ( Ft 1% > F hit > Ft 5% ) ** = berbeda sangat nyata ( Fhit > Ft 1% > Ft 5% ) tn = tidak berbeda nyata ( Fhit < Ft 1% < Ft 5% ) Hasil analisis sidik ragam di atas menunjukkan bahwa variasi lama fermentasi setiap perlakuan tidak berbeda nyata terhadap kualitas bioetanol khususnya pada kemampuan menyala bioetanol kulit nangka tersebut. Hal ini dikarenakan F hitung (2,46) lebih kecil dari pada F tabel taraf signifikan 1% yaitu 4,89 dan lebih kecil dari F tabel taraf signifikan 5%, yaitu 3,06. PEMBAHASAN 1. Nilai pH Bioetanol Nilai pH merupakan salah satu faktor penting yang perlu untuk diperhatikan pada saat proses fermentasi. PH mempengaruhi pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae. Oleh karena itu, pada awal pelaksanaan penelitian, substrat yang akan “Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21” 283

Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran, Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

dipakai diuji terlebih dahulu pH nya. Berdasarkan hasil uji pH, sampel kulit nangka (Artocarpus heterophyllus) sebelum mengalami proses fermentasi adalah 5. Menurut Roukas (1994) dalam Utama, dkk (2013), bahwa kisaran pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae adalah pada pH 3,5-6,5. Pada kondisi basa, Saccharomyces cerevisiae tidak dapat tumbuh. Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa pH bioetanol mengalami perubahan berdasarkan lama perbedaan lama fermentasi. P1 (0 jam) yang merupakan kontrol dalam penelitian ini mempunyai nilai pH sebesar 5. Nilai pH ini tidak berbeda dengan nilai pH media fermentasi sebelum proses fermentasi. Kemudian nilai pH mulai mengalami penurunan pada P2 (48 jam), P3 (56 jam), P4 (64 jam), dan P5 (72 jam), dimana P2, P3, P4, dan P5 mempunyai nilai pH yang relatif sama dengan nilai pH 4. Adanya perbedaan penurunan nilai pH awal fermentasi menunjukkan bahwa selama proses fermentasi selain terbentuk senyawa alkohol juga membentuk senyawasenyawa asam. Semakin lama waktu fermentasi maka semakin turun nilai pH. Perubahan pH dalam fermentasi disebabkan karena dalam aktivitasnya sel khamir selain menghasilkan etanol sebagai metabolit primer juga menghasilkan asam-asam organik seperti asam malat, asam tarterat, asam sitrat, asam laktat, asam asetat, asam butirat, dan asam propionate sebagai hasil sampingan. Asam-asam ini menurunkan pH medium (Retno, 2009). Hal ini sesuai dengan pendapat Yuniarsih (2009) bahwa hasil dari proses fermentasi secara anaerob adalah asam piruvat yang kemudian akan diubah menjadi asam asetat, etanol, dan CO2. Nilai pH yang didapatkan dari keseluruhan sampel pada penelitian ini tidak memenuhi standar kualitas bioetanol yang baik. Hal ini dikarenakan pH sampel hanya berkisar pada 4-5, sedangkan menurut Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (2008) standar kualitas bioetanol yang baik berada pada rentang pH 6,5-9,0. Menurut Prihandana dkk (2008), apabila pH bahan bakar etanol kurang dari 6,5 maka dapat terjadi aus pada injektor bahan bakar, silinder mesin, dan pompa bahan bakar gagal bekerja . 2. Berat jenis (Densitas) Bioetanol Berat jenis (densitas) adalah salah satu parameter yang menentukan kualitas bioetanol. Pengukuran berat jenis bioetanol dilakukan dengan menggunakan piknometer 10 ml, yaitu dengan membandingkan berat hasil destilat dengan berat akuades yang diukur pada volume dan suhu yang sama (Fitriyani, 2011). Hayani (2005) dalam Utama, dkk (2013) mengatakan bahwa dari perbandingan keduanya akan menentukan berat jenis alkohol dan dari berat jenis tersebut dapat diketahui pula kadar etanolnya. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada tabel 9, perlakuan lama fermentasi (P1, P2, P3, P4, dan P5) berbeda sangat nyata terhadap berat jenis bioetanol pada kulit nangka (Artocarpus heterophyllus). Hal ini dikarenakan F hitung (355) > F tabel (4,89) taraf 1% > F tabel (3,06) taraf 5%. Kemudian dianalisis lebih lanjut menggunakan Uji LSD (Least Significance Different) menunjukkan bahwa perbedaan yang sangat nyata hanya terjadi pada perlakuan lama fermentasi 0 jam (P1) terhadap lama fermentasi 48 jam (P2), 56 jam (P3), 64 jam (P4), dan 72 jam (P5). Sedangkan untuk perlakuan lama fermentasi 48 jam (P2), 56 jam (P3), 64 jam (P4), dan 72 jam (P5) tidak berbeda nyata terhadap perlakuan yang lainnya. Semakin lama waktu fermentasi akan meningkatkan jumlah etanol yang dihasilkan, akan tetapi setelah kondisi optimum tercapai, kadar bioetanol yang “Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21” 284

Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran, Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

diperoleh menurun, dan apabila proses fermentasi tetapi dilanjutkan maka bioetanol yang dihasilkan cenderung mengalami penurunan. Berat jenis bioetanol berbanding terbalik dengan kadar etanol, semakin rendah berat jenis etanol tersebut maka semakin tinggi pula kadar etanolnya. Pada perlakuan lama fermentasi 48 jam, dihasilkan rata-rata berat jenis 0,9228 gr/cm³ yang menunjukkan bahwa kadar etanol tertinggi dihasilkan pada perlakuan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pada rentang waktu 0-48 jam, Saccharomyces cerevisiae berada pada fase log atau pertumbuhan eksponensial dimana pada fase ini Saccharomyces cerevisiae membelah dengan cepat. Setiap sel dalam populasi membelah menjadi dua sel. Di dalam fase ini terjadi pemecahan gula secara besar-besaran guna memenuhi kebutuhan pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae. Sedangkan kadar etanol terendah dihasilkan pada lama fermentasi 64 jam dengan nilai rata-rata berat jenis sebesar 0,9578 gr/cm³. Pada waktu 64 jam, kadar etanol yang dihasilkan mengalami penurunan. Penurunan kadar etanol ini menandakan bahwa Saccharomyces cerevisiae mulai memasuki fase kematian, sehingga jumlah sel yang tumbuh semakin lambat, jumlah sel yang mati lebih banyak daripada jumlah sel yang hidup. Hasil penelitian pada parameter berat jenis (densitas) bioetanol kulit nangka ini tidak memenuhi standar kualitas bioetanol yang baik, seluruh sampel pada penelitian ini hanya memiliki rata-rata berat jenis (densitas) sebesar 0 g/cm³, 0,9288 g/cm³, 0,9456 g/cm³, 0,9578 g/cm³, dan 0,9422 g/cm³. Sedangkan menurut standar Departemen ESDM RI Dirjen Migas (2008), bioetanol yang berkualitas baik harus memiliki berat jenis (densitas) pada rentang 0,7871-0,7896 g/cm³. Lama fermentasi merupakan faktor penting dalam produksi bioetanol. Hal ini karena Saccharomyces cerevisiae harus membutuhkan waktu yang cukup untuk dapat menghidrolisis gula menjadi etanol. Pada saat fermentasi, Saccharomyces cerevisiae terlebih dulu mengalami masa pertumbuhan sebelum siap menghidrolisis gula menjadi alkohol. Pertumbuhan awal ditandai dengan pembesaran volume dan berat sel, kemudian sel-sel membelah sangat cepat hingga populasinya besar dan siap untuk menghidrolisis alkohol. Pertumbuhan ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan medium yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Kunaepah (2008) bahwa semakin lama waktu fermentasi, Saccharomyces cerevisiae berkembang biak dan jumlahnya bertambah sehingga kemampuan untuk memecah substrat/glukosa yang ada menjadi alcohol semakin besar. Menurut Astawan dan Mita (1991) lama fermentasi yang dibutuhkan adalah 2-3 hari atau 48-72 jam. Bioetanol diperoleh dari proses fermentasi anaerob melalui proses glikolisis. Glikolisis adalah pendahuluan 2 asam sitrat dan rantai transport elektron, yang bersama-sama membebaskan sebagian besar energi yang tersimpan dalam glukosa. Pada kondisi aerob, piruvat masuk ke mitrokondia, tempat Saccharomyces cerevisiae menghidrolisis gula menjadi air (H2O) dan CO2. Jika persediaan O2 tidak mencukupi, seperti pada otot yang sedang aktif berkontraksi, piruvat dikonversi menjadi laktat pada keadaan anaerob, Saccharomyces cerevisiae mentransformasi piruvat menjadi etanol dan CO2 (Nuryani, 2015). 3. Tampakan Bioetanol Pengujian tampakan bioetanol dilakukan secara visual tanpa menggunakan alat. Dari hasil destilasi fermentasi dapat dilihat bahwa semua sampel bioetanol yang dihasilkan dari kulit nangka (Artocarpus heterophyllus) terlihat jernih, terang, dan tanpa endapan. Hal ini sesuai dengan standar bioetanol untuk gasohol yang telah ditetapkan “Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21” 285

Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran, Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

oleh pemerintah yaitu bahan bakar bioetanol harus bebas dari endapan dan zat-zat terlarut secara visual sehingga terlihat jernih dan terang. Hal ini dikarenakan jika bahan bakar bioetanol memiliki endapan maka akan mengotori mesin yang dapat menyebabkan mesin cepat menjadi rusak (Prihandana dkk, 2008). 4. Kemampuan Menyala Bioetanol Selain pH, berat jenis (densitas), dan tampakan, kemampuan menyala juga merupakan salah satu parameter kualitas bioetanol. Pada penelitian ini, berdasarkan hasil perhitungan analisis sidik ragam yang disajikan pada tabel 13 menyatakan bahwa F hitung (2,46) < F tabel (4,89) taraf 1% < F tabel (3,06) taraf 5%. Hal ini menunjukkan bahwa lama fermentasi tidak berbeda nyata terhadap kualitas bioetanol pada kulit nangka (Artocarpus heterophyllus). Berdasarkan data uji kemampuan menyala, diketahui rata-rata kemampuan menyala secara berturut-turut dengan perlakuan P1, P2, P3, P4, dan P5 adalah 0 detik, 17,75 detik, 8,5 detik, 8,75 detik, dan 9,5 detik. Dari data-data tersebut dapat dilihat bahwa kemampuan menyala tertinggi ada pada P2 yaitu dengan lama fermentasi 48 jam yang menghasilkan 17,75 detik. Sedangkan kemampuan menyala terendah pada lama fermentasi 0 jam yang menghasilkan 0 detik. Hasil nyala api bioetanol tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kemampuan menyala alkohol yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dari penelitian dengan kadar etanol yang sama besarnya menunjukkan bahwa alkohol pada perlakuan P1, P2, P3, P4, dan P5 mampu menghasilkan rata-rata kemampuan menyala sebesar 0 detik, 23 detik, 17,5 detik,10,5 detik, dan 11 detik. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan menyala alkohol masih jauh lebih unggul jika dibandingkan dengan kemampuan menyala bioetanol kulit nangka. Kemampuan menyala biotanol dipengaruhi oleh densitas bioetanol tersebut. Densitas yang besar akan menghasilkan nilai kalor yang kecil sehingga menyebabkan kualitasnya rendah (Irawan, 2007). Rendahnya kemampuan menyala yang dihasilkan oleh bioetanol kulit nangka ini dikarenakan tingginya berat jenis (densitas) bioetanol. Menurut Fembriyono (2003), densitas yang lebih tinggi akan menyebabkan bahan bakar sulit menyala, sehingga kualitas dari bahan bakar tersebut rendah.

PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan uraian pada hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Lama fermentasi berbeda sangat nyata terhadap kualitas bioetanol kulit nangka (Artocarpus heterophyllus) khususnya pada berat jenis (densitas) bioetanol, akan tetapi lama fermentasi tidak berbeda nyata terhadap kualitas kulit nangka khususnya pada kemampuan menyala bioetanol tersebut. 2. pH bioetanol yang didapatkan relatif sama yaitu sebesar 5 pada lama fermentasi 0 jam, sedangkan pada lama fermentasi 48 jam, 56 jam, 64 jam dan 72 jam didapatkan pH sebesar 4. 3. Semua sampel memiliki tampakan yang sama yaitu jernih, terang, dan tidak ada endapan. 4. Didapatkan berat jenis (densitas) dan kemampuan menyala tertinggi pada lama fermentasi yang sama, yaitu pada lama fermentasi 48 jam, sedangkan berat jenis (densitas) dan kemampuan menyala terendah yaitu pada 0 jam. “Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21” 286

Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran, Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

5.

Perbedaan keragaman berat jenis (densitas) bioetanol pada kulit nangka yang sangat nyata hanya terjadi pada perlakuan 0 jam (P1) terhadap perlakuan 48 jam (P2), 56 jam (P3), 64 jam (P4), dan 72 jam (P5). Sedangkan pada perlakuan 48 jam (P2), 56 jam (P3), 64 jam (P4), dan 72 jam (P5) tidak berbeda nyata terhadap perlakuan yang lainnya.

Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti menyampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Untuk penelitian lebih lanjut agar memperoleh hasil yang lebih baik diharapkan agar menggunakan sampel kulit nangka dalam berbentuk tepung (kondisi kering) serta melakukan perhitungan total jumlah jamur/khamir sehingga diperoleh data yang lebih spesifik. 2. Untuk penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh lama fermentasi terhadap kulaitas bioetanol dapat menggunakan variasi bahan selain kulit nangka dengan famili yang sama seperti campedak (Artocarpus integer) atau sukun (Artocarpus altilis). 3. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh lama fermentasi terhadap kualitas bioetanol pada kulit nangka dengan menggunakan variasi waktu yang lebih lama dari 72 jam. 4. Prosedur penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pelaksanaan praktikum pada proses pembelajaran mata kuliah bioteknologi dan biokimia. DAFTAR RUJUKAN Ahmad, Riza Zainuddin. 2005. Pemanfaatan Khamir Saccharomyces cerevisiae Untuk Ternak. WARTAZOA Vol. 15 No. 1. Amalia, Aeni. 2013. Penelitian Alkohol dari Biji Nangka. http://www.scribd.com/ doc/141386883/Bab-I-Bab-II-III-IV-V-Penelitian-Alkohol-Dari-Biji-Nangka (Diakses pada tanggal 12 Agustus 2014). Anonim. 2013. Membedah Biokimia Karbohidrat. http://jurnalkarbohidrat.blogspot.com/2013/06/membedah-biokimiakarbohidrat.html#more (Diakses pada tanggal 4 Mei 2014). Apriyanto, Andi. 2010. Morfologi Nangka. http://scribd.com/doc/ 34804729/MORFOLOGI-NANGKA. (Diakses pada tanggal 4 Desember 2014)Jakarta. Astawan, M. dan Mita, W. 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pressindo; Jakarta. Azizah, N. Al-Baari, A.N. Mulyani, S. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, Dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol Dari Whey Dengan Substitusi Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. Vol. 1. No. 2 http://journal.ift.or.id/files/N.%20Azizah-7277.pdf (Diakses pada tanggal 5 Juni 2014). Campbell, N.A. Reece, J.B. Mitchell, L.G. 2002. Biologi Edisi Kelima Jilid 1, Diterjemahkan Oleh R. Lestari dkk. Erlangga: Jakarta. Deky, Seftian, Ferdinand, Antonius, M.Faizal. 2012. Pembuatan Etanol Dari Kulit Pisang Menggunakan Metode Hidrolisis Enzimatik Dan Fermentasi. Universitas Sriwijaya: Palembang. Departemen ESDM RI. 2008. SK standar (spesifikasi) bahan bakar (Biofuel) Jenis Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Lain Yang Dipasarkan Di Dalam Negeri. Direktorat Jenderal Minyak Dan Gas Bumi: Jakarta. Dwijoseputro. 1982. Dasar – Dasar Mikrobiologi. Djambatan: Malang. Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Institut Pertanian Bogor: Bogor. “Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21” 287

Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran, Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Fembriyono, D. 2003. Pembuatan Biodiesel Dari Bahan Baku Minyak Goreng Bekas. Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana; Bali. Fessenden, R.J dan Joan S. Fessenden. 1982. Kimia Organik. Erlangga: Jakarta. Fitriyani. 2011. Pembuatan Bioetanol Dari Singkong (Manihot utilissima) Secara Enzimatis Dengan Penambahan Ragi (Saccharomyces cerevisiae). Universitas Mulawarman: Samarinda. Girindra, A. 1990. Biokimia I. Gramedia: Jakarta. Hardjo, S.N.S. Indrasti, dan B. Tajuddin. 1989. Biokonveksi: Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor: Bogor. Hawab, H.M. 2004. Pengantar Biokimia. Bayumedia: Malang. Herper. 2009. Pengertian Karbohidrat, Klasifikasi Karbohidrat, dan Metabolisme Karbohidrat. http://wanenoor.blogspot.com/2011/06/pengertian-karbohidratklasifikasi.html. (Diakses pada tanggal 4 Mei 2014). Hidayat, N., M.C. Padaga, S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: Andi Offset. Irawan, T. 2007. Pengaruh Rasio Kompresi Dengan Bahan Bakar Etanol 97% Terhadap Performance Sepeda Motor. Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana; Bali. Judoamidjojo, M.D., A.A, dan Sa’id, E.G. 1992. Teknologi fermentasi. Pusat antar Universitas Institut Pertanian Bogor dan lembaga sumberdaya. Informasi Institut Pertanian Bogor: Bogor. Kunaepah, U. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi dan Konsentrasi Glukosa Terhadap Aktivitas Antibakteri, Polifenol Total dan Mutu Kimia Kefir Susu Kacang Merah. Universitas Diponegoro; Semarang (Tesis Magister Gizi Masyarakat). Minarni, N. 2013. Pembuatan Bioetanol dari Glukosa dengan Hasil Hidrolisis Bii Durian (Durio zibethinus) dengan bantuan Saccharomyces cerevisiae. Universitas Brawiaya: Malang. Musanif, Jamil. Tanpa tahun. Bioetanol. http://pphp.deptan.go.id/ xplore/files/PENGOLAHAN-HASIL/BioEnergi-Lingkungan/BioEnergiPerdesaan/BIOFUEL/Bioetanol/Bioethanol.pdf (Diakses pada tanggal 4 Mei 2014). Nuryani. 2015. Pemanfaatan Ampas Tahu Menjadi Bioetanol Melalui Proses Hidrolisa Enzim Dan Fermentasi Menggunakan Saccharomyces cerevisiae Dengan Nutrisi NPK Dan Urea. FMIPA Unmul; Samarinda. Prihandana, R., Kartika, N., Praptaningsih, G.A., Dwi, S., Sigit, S., Hendroko, Roy. 2008. Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan. Agromedia Pustaka: Jakarta. Purwanto, Agung. 2012. Pembuatan Bioetanol Dari Tepung Bii Nangka Dengan Proses Sakarifikasi Fermentasi Aspergillus niger Dilanjutkan Dengan Fermentasi Yeast Saccharomyces cerevisiae. http://eprints.undip.ac.id/ 34646/1/AGUNG_PURWANTO.pdf (Diakses pada tanggal 16 Agustus 2014). Rahmawati, Ani. 2010. Pemanfaatan Limbah Kulit Ubi Kayu (Manihot utilissima Pohl.) dan Kulit Nanas (Ananas comosus L.) Pada Produksi Bioetanol Menggunakan Aspergillus niger. Universitas Sebelas Maret: Surakarta. Retno, D. E., Kriswiyanti, E., Nur, A. 2009. Bioetanol Fuel Grade Dari Talas (Colocasia esculenta). UNS: Palembang. Sari, Ni Ketut. 2009. Kajian Produksi Bioethanol Dari Rumput Gajah. UPU “Veteran”: Jawa Timur. Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan, BAPPENAS. 2000. Nangka. http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/nangka.pdf (Diakses pada tanggal 12 Agustus 2014). Sulfahri. Mushlihah, Siti. Utami, Renia Setyo. Sunarto, Eko. 2010. Pemanfaatan Algae Spirogyra Sebagai Bahan Baku Bioetanol Dengan Penambahan Enzim α“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21” 288

Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran, Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Amilase. http://bio.unsoed.ac.id/sites/default/files/prosiding%20Seminar%20Nasional%2 0Biologi%20Akuatik%20UNSOED%202010.pdf. (Diakses pada tanggal 29 April 2014). Sunarti. 2014. Pengaruh Penambahan Tepung Kepala Udang Dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler (Gallus domesticus). Universitas Mulawarman: Samarinda. Syamsuhidayat, S.S and Hutapea, J.R. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Edisi Kedua. Departemen Kesehatan RI: Jakarta. Utama, A. W., Legowo, A. M., Al-Baari, A. N. 2013. Produksi Alkohol, Nilai pH, Dan Produksi Gas Pada Bioetanol Dari Susu Rusak Dengan Campuran Limbah Cair Tapioka. Indonesian Food Technologist Community. (Vol. 2 No. 2, Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan). Wati, Nur Fajar. 2006. Produksi β-Glukan Dan Saccharomyces cerevisiae Dengan Variasi Sumber Nitrogen. IPB: Bogor. Wibowo, 1990. Dasar-dasar teknologi fermentasi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gajah Mada: Yogyakarta. Widyastuti, Yustina Erna. 1993. Nangka dan Cempedak, Ragam Jenis dan Pembudidayaan. Penebar Swadaya: Jakarta. Wiratmaja, I Gede. Kusuma, I Gusti Bagus Wijaya. Winarya, I Nyoman Suprapta. 2011. Pembuatan Etanol Generasi Kedua Dengan Memanfaatkan Limbah Rumput Laut Euchema cotonii Sebagai Bahan Baku. Jurnal Teknik Mesin Cakra M. Vol. 5 No. 1. Universitas Udayana: Bali. Yuniarsih, F. N. 2009. Pembuatan Bioetanol Dari Dekstrin Dan Sirup Glukosa Sagu (Metroxylen sp.) Menggunakan Saccharomyces cerevisiae var Ellipsoideus. Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Institut Pertanian Bogor; Bogor (Skripsi Sarjana Pertanian).

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21” 289