PENGARUH SUKU BUNGA DEPOSITO DAN INFLASI

Download Pengaruh Suku Bunga Deposito dan Inflasi Terhadap. Jumlah Deposito Berjangka pada Bank Umum di Indonesia Tahun 2004-2010. (dibimbing oleh ...

0 downloads 511 Views 1MB Size
PENGARUH SUKU BUNGA DEPOSITO DAN INFLASI TERHADAP JUMLAH DEPOSITO BERJANGKA PADA BANK UMUM DI INDONESIA TAHUN 2004 - 2010

OLEH : WAHYU PURNAMAHADI H14114019

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

PENGARUH SUKU BUNGA DEPOSITO DAN INFLASI TERHADAP JUMLAH DEPOSITO BERJANGKA PADA BANK UMUM DI INDONESIA TAHUN 2004 - 2010

OLEH : WAHYU PURNAMAHADI H14114019

Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ii

RINGKASAN WAHYU PURNAMAHADI. Pengaruh Suku Bunga Deposito dan Inflasi Terhadap Jumlah Deposito Berjangka pada Bank Umum di Indonesia Tahun 2004-2010 (dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI) Tabungan dan investasi memiliki peran yang penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu bentuk tabungan sekaligus investasi yang banyak diminati masyarakat adalah tabungan deposito. Inflasi merupakan salah satu faktor penghambat penting tumbuhnya minat masyarakat terhadap tabungan deposito berjangka, sedangkan suku bunga merupakan salah satu faktor pendorong tumbuhnya deposito berjangka. Dalam skema kebijakan Inflation Targeting, kenaikan inflasi biasanya langsung disikapi oleh pemerintah dengan kebijakan pengetatan moneter melalui peningkatan suku bunga BI Rate. Dengan kebijakan ini diharapkan akan direspon oleh dunia perbankan dengan menyesuaikan suku bunga bank, seperti suku bunga kredit, tabungan, dan deposito. Namun seringkali terdapat kesenjangan antara respon perbankan dengan harapan pemerintah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan antara pemerintah dan dunia perbankan dalam menyikapi fenomena inflasi dan pengaruhnya terhadap akumulasi modal yang tersimpan dalam bentuk tabungan dan deposito. Untuk itu dibutuhkan suatu penelitian yang komprehensif berdasarkan data empiris yang ada mengenai seberapa besar pengaruh inflasi dan suku bunga deposito terhadap perkembangan jumlah deposito berjangka. Penelitian ini bertujuan menganalisis perkembangan deposito serta pengaruh suku bunga deposito dan inflasi terhadap jumlah deposito yang terhimpun, periode Januari 2004 sampai Desember 2010. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan model Generalized AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH). Metode ini tidak memandang heteroskedastisitas sebagai suatu masalah, tetapi justru memanfaatkan kondisi tersebut untuk membuat model, bahkan dengan memanfaatkan heteroskedastisitas dalam error yang tepat, maka akan diperoleh estimator yang lebih efisien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah deposito berjangka cenderung mengalami kenaikan. Pada bulan Januari 2004 tercatat sebesar 426,42 triliun rupiah, kemudian berfluktuasi tetapi cenderung naik hingga pada bulan Desember 2010 jumlah deposito berada pada nilai 1.069,81 triliun rupiah. Jumlah deposito secara signifikan dipengaruhi oleh inflasi dan suku bunga deposito, baik secara simultan maupun parsial. Model yang terbentuk dari metode GARCH (1,1) menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap deposito sedangkan suku bunga deposito berpengaruh positif. Nilai koefisien inflasi sebesar -0,342, menunjukkan pengaruh yang relatif kecil sebagai faktor pengurang bagi tumbuhnya deposito. Sedangkan suku bunga deposito memiliki koefisien 13,793, yang artinya kenaikan suku bunga deposito akan direspon oleh masyarakat dengan meningkatkan simpanan depositonya dalam jumlah yang cukup berarti.Variabel inflasi dan suku bunga deposito mampu menjelaskan 31,25 persen atas perubahan dalam jumlah deposito yang terhimpun. Kecilnya pengaruh variabel inflasi dan suku bunga deposito tersebut disebabkan banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan masyarakat dalam berinvestasi dalam bentuk deposito, seperti situasi keamanan dan politik dalam negeri, kredibilitas sektor perbankan, situasi perekonomian internasional, dan lain iii

sebagainya. Nilai R2 pada penelitian ini sejalan dengan hasil yang diperoleh pada penelitian sebelumnya yang hanya menghasilkan nilai R2 yang juga relatif kecil. Tuti (2006), menghasilkan nilai R2 sebesar 33,15 persen, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih (1999) menghasilkan nilai R2 sebesar 36,33 persen. Dalam rangka meningkatkan minat masyarakat untuk berinvestasi dalam bentuk deposito, pemerintah dalam hal ini otoritas moneter, diharapkan lebih jeli menangkap keinginan pasar, terutama dalam hal penetapan BI rate.

iv

Judul Skripsi : PENGARUH SUKU BUNGA DEPOSITO DAN INFLASI TERHADAP JUMLAH DEPOSITO BERJANGKA PADA BANK UMUM DI INDONESIA TAHUN 2004 - 2010 Nama : Wahyu Purnamahadi NIM : H14114019

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Yeti Lis Purnamadewi, MSc NIP. 19641018 199103 2 002

Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003

Tanggal Kelulusan :

v

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA TULIS ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, November 2011

Wahyu Purnamahadi H14114019

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Wahyu Purnamahadi lahir di Jakarta pada tanggal 18 Mei 1980. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari Bapak Uha Wiria Atmadja dan Ibu Kartini. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Duren 7 Bekasi Timur pada tahun 1991, kemudian melanjutkan ke SMP PGRI 1 Bekasi dan lulus pada tahun 1994. Kemudian melanjutkan ke SMU Negeri 3 Bekasi dan tamat pada tahun 1997. Setelah tamat SMU, pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, program Diploma IV dan tamat pada tahun 2001 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Selama menempuh pendidikan di STIS Jakarta penulis mengambil konsentrasi Statistika Ekonomi. Setelah lulus dari STIS Tahun 2001, penulis langsung ditugaskan di BPS Kabupaten Bolaang Mongondow, Propinsi Sulawesi Utara. Pada tahun 2010 penulis pindah tugas ke BPS Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pada tahun 2011, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang S-2 di Institut Pertanian Bogor. Saat ini sedang menjalani program Alih Jenis S1 Ilmu Ekonomi sebagai persyaratan untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Mayor Eknomi di Instuitut Pertanian Bogor.

vii

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur yang tiada henti hanya terlimpah-curah kehadirat Allah Azza wa Jalla atas segala rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Suku Bunga Deposito dan Inflasi Terhadap Jumlah Deposito Berjangka Pada Bank Umum di Indonesia Tahun 2004-2010” ini dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian penyusunan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, November 2011

Wahyu Purnamahadi H14114019

viii

UCAPAN TERIMA KASIH Puja dan puji syukur yang tiada henti hanya terlimpah-curah kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi ini. Penulis berkewajiban mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moral-spritual dan material kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada: 1.

Yohhanes Bambang Kristianto, M.A, sebagai Kepala Pusdiklat BPS beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis guna melanjutkan studi ke IPB.

2.

Drs. Lukman Ismail, MA, sebagai Kepala BPS Propinsi Jawa Barat beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan dukungan yang sangat berharga kepada penulis melanjutkan studi ke IPB.

3.

Dr. Yeti Lis Purnamadewi, M.Si, dosen manajemen Sekolah Paska Sarjana Ilmu Ekonomi IPB yang juga bertindak sebagai dosen pembimbing, atas kesediaan dan kesabaran dalam berdiskusi dan memberikan arahan penulis menyusun skripsi ini.

4.

Kedua orang tuaku tercinta yang selalu mendo’akan untuk kebaikan penulis dan anak-cucunya. Restumu adalah kunci surga bagiku.

5.

Yang penuh kesabaran, ketabahan dan kesetiaan selalu memberi motivasi dan menyemangatiku, Desi Nuraini Sitorus istriku tercinta, Belqis Salshabila Purnamahadi buah hatiku, semoga Allah SWT senantiasa melindungi kalian. Bersama kalian hidupku semakin berarti.

6.

Seluruh dosen program alih jenis S1 yang telah menyampaikan berbagai masukan dan materi berharga selama proses perkuliahan dan penulisan skripsi ini.

7.

Seluruh rekan seperjuangan kelas BPS Batch IV, atas motivasi, kritik dan saran, ide, gagasan, serta kebersamaan dalam penulisan skripsi ini.

ix

DAFTAR ISI

I.

DAFTAR TABEL………………………………………….…………..

xii

DAFTAR GAMBAR……………………………………….………….

xiii

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………..

xiv

PENDAHULUAN ………………………………………..……………

1

……….………………………………………..

1

……………………………………………..

5

………………………………………………..

7

………………………….………………….

7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ………………………………………..

8

……………………………………………..

10

…………………….………….………………..

10

2.1.1 Teori Tabungan dan Investasi Menurut Aliran Klasik …...

10

2.1.2 Teori Tabungan dan Investasi Menurut Aliran Keynes ......

13

2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Bunga

...………….

16

……………………. ……………………..

18

……………………………..……

23

2.3 Pengertian Deposito

…………..……………………………….

25

2.4 Penelitian Terdahulu

…………………………………………….

26

2.5 Kerangka Pemikiran

……………………………………………

30

………………………………………………………..

32

………………………………………

33

1.1 Latar Belakang

1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori

2.1.4 Teori Inflasi

2.2 Pengertian dan Fungsi Bank

2.6 Hipotesis

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data ……..………………………………………. 33 3.2 Metode Analisis …………………………………………………

33

………………………………………..

33

3.2.2 Model AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH) dan Genealized AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH) ……………………………

34

……….

36

3.2.2.2 Kelebihan dan Keterbatasan Model ARCH-GARCH

37

3.2.1 Analisis Deskriptif

3.2.2.1 Prosedur Estimasi Model ARCH-GARCH

x

……………………..

38

……………………………….

39

3.2.3 Uji Akar-akar Unit (Unit Root Test) 3.2.4 Pengujian Asumsi Klasik

3.2.4.1 Normalitas ………………………………………….…. 39 …………………………

40

3.2.4.3 Homoskedastisitas

…………………………….

41

3.2.4.4 Nonotokorelasi

……………………………

42

……………………….

43

3.2.4.2 Non Multikolinieritas

3.2.5 Pengujian Kelayakan Model

2

3.2.5.1 Pengujian Koefesien Determinasi (R )

……..….

43

3.2.5.2 Pengujian Koefesien Regresi Simutan

…………

44

……………

44

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………….

46

4.1 Analisis Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka, Suku Bunga Deposito dan Inflasi ………………………………………….

46

……………....

46

4.1.2 Perkembangan Suku Bunga Deposito Satu Bulan ……….…

50

………………………..……………

52

4.2 Pengaruh Suku Bunga Deposito dan Inflasi Terhadap Jumlah Deposito Berjangka …………………………………………

54

3.2.5.3 Pengujian Koefesien Regresi Parsial

4.1.1 Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka

4.1.3 Perkembangan Inflasi

4.2.1 Pengujian Model

…………………………………

54

………………………….

54

4.2.1.1 Pengujian Asumsi Klasik

……………………… 57 4.2.2 Hasil Estimasi Pengaruh Suku Bunga Deposito dan Inflasi Terhadap Jumlah Deposito Berjangka ………………….. 58 V. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………. 61 4.2.1.2 Pengujian Kelayakan Model

5.1 Kesimpulan …………………………………………………………

61

5.2 Saran… ……………………………………………………………..

62

………………………………………………….

63

……………………………………………………………

65

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

xi

DAFTAR TABEL

Nomor

Hal

4.1

Koefisien Korelasi Antara Variabel Bebas ...........................................

55

4.2

White Heteroscedasticity Test ...............................................................

56

4.3

Tabel Output GARCH (1,1)

58

................................................................

xii

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Hal

1.

Perkembangan Dana Pihak Ketiga pada Bank Umum di Indonesia Tahun 2004-2010………………………………………………… 4

2.

Kurva Investasi dan Tabungan .......………………………………… 12

3.

Kerangka Pemikiran

4.

Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka di Indonesia Tahun 2004 ......……….................................................................... 46

5.

Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka di Indonesia Tahun 2005-2006 ...……..................................................................... 48

6.

Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka di Indonesia Tahun 2007-2008 ...…….............................................................. 49

7.

Perkembangan Suku Bunga Deposito di Indonesia Tahun 2004-2010 ................................................................................ 51

8.

Perkembangan Inflasi di Indonesia Tahun 2004-2010............................................ 53

……………………………………………… 31

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor 1.

Hal Jumlah Deposito, Suku Bunga Deposito, dan Inflasi di Indonesia Tahun 2004 – 2010 ………………………………

69

71 ……………………………………..............

2.

Uji Akar Unit pada Level

3.

Uji Akar Unit pada Pembeda ke-1

4.

77 Pengujian OLS dan Heteroskedastisitas ..................................................

5.

78 Pengujian Efek GARCH ............................................................................

6.

79 Model Estimasi GARCH (1,1) ............………………………………….

7.

Korelogram

8.

81 Pemeriksaan Normalitas dan Multikolinieritas ...……………....………

9.

82 Grafik Data Empiris dan Model Estimasi ................................................

74 …………………………..……..

80 .............................................................................................

xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi membutuhkan modal dasar sebagai alat untuk menggerakkan perekonomian. Modal dasar pembangunan dapat berupa kekayaan alam, sumberdaya manusia, teknologi, dan lain sebagainya. Diantara modal pembangunan tersebut, faktor yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan finansial suatu bangsa untuk membiayai proses pembangunannya dalam bentuk investasi. Proses pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi mutlak membutuhkan investasi. Tingkat investasi bahkan acapkali dijadikan tolok ukur dalam memprediksi tingkat pertumbuhan ekonomi yang akan dicapai. Semakin besar investasi, semakin besar pula pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dan pada akhirnya akan mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam model pertumbuhan Solow, dikatakan bahwa tingkat investasi sama dengan tingkat tabungan. Sedangkan tingkat tabungan merupakan bagian pendapatan yang tidak dibelanjakan. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula kemungkinan seseorang untuk menabung. Semakin banyak tabungan masyarakat yang terkumpul, akumulasi modal semakin besar sehingga semakin banyak investasi yang dapat dilaksanakan. Oleh karenanya, tingkat tabungan sangat menentukan kemajuan suatu bangsa.

2

Indonesia

sebagai

negara

berkembang

masih

memiliki

tingkat

kesejahteraan penduduk yang relatif rendah. Oleh karena itu kebutuhan akan pembangunan nasional sangatlah diperlukan untuk mengejar ketertinggalan dibidang ekonomi dari negara-negara industri maju. Masih lemahnya kemampuan partisipasi swasta dalam pembangunan ekonomi, mengharuskan pemerintah untuk mengambil peran sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi. Menurut Mckinnon dan Shaw (1973), elemen terpenting dalam pembangunan ekonomi adalah liberalisasi pasar keuangan. Dengan adanya liberalisasi sektor keuangan akan menghilangkan distorsi yang terjadi di pasar uang dan meningkatkan kemampuan sistem keuangan. Sistem keuangan yang maju akan memperlancar pertumbuhan ekonomi. Untuk itu kebijakan pemerintah haruslah secara langsung mendorong pertumbuhan sistem keuangan (Kuncoro, 1993). Di banyak negara berkembang, sektor keuangan belum menunjukkan kinerja yang optimal. Optimalisasi lembaga-lembaga keuangan diukur melalui rasio antara jumlah kekayaan yang dinyatakan dengan uang (financial assets) dengan Produk Domestik Bruto (Nasution, 1991). Bila rasio penggunaan uang dalam suatu negara tinggi menunjukkan semakin besar serta semakin luas kegiatan lembaga-lembaga keuangan maupun pasar uang. Hal tersebut juga tercermin dari semakin beragamnya produk keuangan yang dihasilkan dan digunakan dalam masyarakat. Lembaga perbankan mempunyai peranan yang penting, bukan hanya sebagai perantara finansial tetapi juga sebagai pihak yang membatasi, menilai dan

3

mendistribusikan resiko yang berkaitan dengan berbagai kegiatan finansial. Pada mekanisme pasar, peranan ini memungkinkan terjadinya keseimbangan antara keuntungan yang diperoleh dengan resiko yang dihadapi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak. Definisi tersebut menjelaskan salah satu fungsi bank sebagai financial intermediery. Modal pembangunan yang berasal dari dalam negeri biasanya dihimpun dari dana masyarakat dalam bentuk tabungan dan investasi. Lembaga perbankan merupakan lembaga yang mempunyai potensi untuk menghimpun dana masyarakat. Dana yang dihimpun dari masyarakat disebut dana pihak ketiga, yang terdiri atas tabungan, giro, dan deposito. Setelah dikeluarkannya kebijakan deregulasi sektor perbankan, banyak bank berdiri dan diberikan kebebasan dalam menetapkan suku bunga deposito, bunga pinjaman, dan pengelolaan lainnya. Hal tersebut mendorong pesatnya pertumbuhan dana pihak ketiga yang terhimpun dari masyarakat. Dilihat dari perkembangannya, dana pihak ketiga mengalami peningkatan yang cukup berarti, khususnya dalam waktu tujuh tahun terakhir, seiring dengan tumbuhnya perekonomian. Pada januari 2004 dana pihak ketiga yang terhimpun sebesar 886,459 triliun rupiah, dan meningkat menjadi 2.338,824 triliun rupiah pada desember tahun 2010. Artinya, dalam periode tersebut terjadi kenaikan sebesar 163,84 persen.

4

DPK (Triliun Rupiah) 2500

2000

1500 Tabungan Giro 1000

Deposito

500

Periode

0 Des'04

Des'05

Des'06

Des'07

Des'08

Des'09

Des'10

Sumber : Bank Indonesia (2011)

Gambar 1. Perkembangan Dana Pihak Ketiga pada Bank Umum di Indonesia Tahun 2004-2010

Dari jumlah dana pihak ketiga yang terkumpul, hampir separuhnya berasal dari deposito, sedangkan sisanya bersumber dari tabungan dan giro. Deposito merupakan simpanan yang pencairannya hanya dapat dilakukan pada jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah dengan bank. Dilihat dari komposisinya, dana pihak ketiga bank umum yang terhimpun pada desember 2010, terdiri dari deposito 45,74 persen, tabungan 31,35 persen, dan giro sebesar 22,91 persen. Maka dapat dikatakan bahwa deposito masih merupakan produk yang digemari masyarakat yang ingin berinvestasi dengan resiko rendah. Selain itu, salah satu daya tarik bagi masyarakat yang ingin menanamkan modalnya dalam bentuk simpanan deposito adalah suku bunga deposito yang ditawarkan. Suku bunga deposito menawarkan tingkat pengembalian dari dana yang disimpan dalam periode tertentu. Dalam upaya menarik minat masyarakat,

5

bank-bank bersaing untuk menghimpun dana dari masyarakat melalui berbagai cara, diantaranya adalah dengan menawarkan suku bunga deposito yang lebih tinggi, peningkatan pelayanan melalui fasilitas on-line, mengeluarkan produkproduk berhadiah, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah untuk menghimpun dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat untuk disimpan di banknya. Disamping tingkat suku bunga yang ditawarkan, inflasi juga memegang peran penting dalam mempengaruhi perilaku masyarakat untuk menabung. Inflasi merupakan kenaikan harga barang dan jasa secara menyeluruh. Inflasi yang tinggi akan mengurangi nilai riil dari uang yang disimpan. Oleh karenanya, tingkat inflasi yang lebih tinggi dibandingkan suku bunga akan mengakibatkan nilai riil uang dimasa depan akan menurun, dan pada gilirannya akan membuat masyarakat enggan menyimpan dananya di bank. Selain itu, tingkat inflasi yang tinggi juga akan meningkatkan kecenderungan masyarakat memegang uang sebagai motif berjaga-jaga (precaution motive). Disinilah dibutuhkan kejelian dari pemerintah melalui lembaga yang terkait untuk mengendalikan inflasi sehingga dapat berdampak positif terhadap perekonomian. 1.2 Perumusan Masalah Menurut Kwik Kian Gie (2004), Perekonomian Indonesia tidak pernah tidak ditekan inflasi. Inflasi diatas level 7 persen per tahun merupakan fenomena yang lazim terjadi di Indonesia, walaupun bagi sebagian negara maju level tersebut sudah dikatakan tinggi. Namun inflasi yang terlampau rendah juga belum tentu baik karena hal itu dapat berarti kurang bergairahnya perekonomian.

6

Sejak diberlakukannya kebijakan Inflation Targeting Framework pada Juli 2005, BI-rate resmi digunakan sebagai suku bunga acuan. Pemerintah melalui Bank

Indonesia

menetapkan

target

inflasi

yang

diharapkan

dan

mengumumkannya ke masyarakat setiap bulan atau setiap selesai dilaksanakannya rapat dewan gubernur BI. Penetapan target inflasi dibarengi dengan penetapan BIrate yang diharapkan segera direspon oleh dunia usaha khususnya kalangan perbankan. Perkembangan inflasi kerap menjadi alasan BI menaikkan atau menurunkan BI-rate. Ketika inflasi tinggi, Bank Indonesia segera mengumumkan kenaikan BI-rate, dan begitupun sebaliknya. Namun seringkali terjadi gap antara pemerintah dan dunia usaha, dimana perubahan BI Rate tidak serta-merta direspon oleh kalangan perbankan dengan merubah suku bunganya. Seperti yang terjadi pada tahun 2005 dan 2008, ditengah kekhawatiran pemerintah akan pelarian modal ke luar negeri pada saat inflasi tinggi sedangkan suku bunga deposito lebih rendah dari inflasi, kalangan perbankan justru memiliki pendapat berbeda. Kalangan perbankan berpendapat bahwa walaupun tingkat inflasi lebih tinggi dari suku bunga deposito, pelarian modal tidak otomatis terjadi selama stabilitas keamanan dan politik tetap stabil. Inflasi memang bisa menjadi referensi bagi deposan, tetapi belum tentu hal itu membuat deposan menarik seluruh dananya, yang dibutuhkan adalah penyesuaian tingkat suku bunga terhadap inflasi (Manurung, 2004).

7

Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perkembangan jumlah deposito yang terhimpun pada bank umum di Indonesia? 2. Apakah tingkat inflasi dan suku bunga deposito berpengaruh terhadap jumlah deposito pada bank umum di Indonesia, baik masing-masing maupun secara bersama-sama? 3. Sampai sejauh mana pengaruh tingkat inflasi dan

suku bunga deposito

terhadap jumlah deposito pada bank umum di Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengkaji perkembangan jumlah deposito pada bank umum di Indonesia. 2. Menganalisis pengaruh inflasi dan suku bunga deposito terhadap jumlah deposito berjangka pada bank umum di Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa : 1.

Memberikan dasar bagi pengambil kebjakan dalam penyusunan rencana dan strategi yang baik dan terarah untuk digunakan sebagai referensi bagi peneliti lain yang berkaitan dengan hubungan suku bunga deposito, inflasi dan jumlah deposito.

2.

Bagi penulis merupakan tambahan khasanah pengetahuan dan wawasan berharga yang disinkronkan dengan pengetahuan teoritis yang diperoleh dari materi perkuliahan.

8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada jumlah deposito berjangka yang terhimpun pada bank umum di Indonesia, tidak mencakup yang terhimpun pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Periode penelitian digunakan data bulanan mulai bulan Januari tahun 2004 hingga bulan Desember 2010. Sumber data yang digunakan diperoleh dari publikasi bulanan Bank Indonesia dan publikasi indikator ekonomi semesteran Badan Pusat Statistik. Periode tahun penelitian diambil berdasarkan pertimbangan untuk meminimalisir pengaruh variabel nonekonomi terhadap gejolak variabel inflasi dan suku bunga. Dimana periode tahun 2004 – 2010, diharapkan berada dibawah satu rezim pemerintahan dengan kestabilan ekonomi dan politik yang cukup terjaga. Dengan alasan tersebut diharapkan fluktuasi yang terjadi atas variabel moneter seperti suku bunga dan inflasi merupakan fenomena ekonomi yang dapat dijelaskan oleh teori-teori yang ada. Suku bunga deposito yang digunakan adalah suku bunga berjangka satu bulan yang diharapkan sudah dapat mewakili fluktuasi suku bunga deposito berjangka lainnya. Selain itu, karena data series yang digunakan adalah data bulanan, maka suku bunga deposito satu bulan diharapkan lebih cepat merespon perubahan suku bunga BI Rate. Sedangkan untuk data inflasi, yang digunakan adalah data inflasi bulanan (month to month) yang dihitung dan diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik setiap bulan. Data ini diharapkan dapat menggambarkan fluktuasi harga barang dan jasa secara lebih cepat dan dapat menjelaskan fenomena ekonomi dari sisi harga relatif.

9

Pemilihan variabel bebas, yakni inflasi dan suku bunga deposito didasarkan kepada pertimbangan bahwa kedua variabel tersebut pada batas-batas tertentu dapat diintervensi oleh kebijakan Bank Indonesia selaku otoritas moneter. Variabel-variabel moneter dan makroekonomi lain seperti PDB, nilai tukar, dan suku bunga luar negeri tidak dimasukkan kedalam model, atas pertimbangan bahwa variabel tersebut berada diluar jangkauan otoritas moneter untuk mengendalikan. Sehingga penelitian hanya dikhususkan untuk meneliti pengaruh dari variabel suku bunga deposito dan inflasi terhadap jumlah deposito yang terhimpun pada bank umum di Indonesia.

10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 2.1.1

Tinjauan Teori Teori Tabungan dan Investasi Menurut Aliran Klasik Menurut teori klasik, tabungan merupakan fungsi dari tingkat bunga

dimana pergerakan tingkat bunga pada perekonomian akan mempengaruhi tabungan, secara matematis dapat ditulis S = f(i). Artinya, keinginan masyarakat untuk menabung sangat bergantung pada tingkat bunga. Makin tinggi tingkat bunga, semakin besar keinginan masyarakat untuk menabung atau masyarakat akan terdorong untuk mengorbankan pengeluarannya untuk menambah besarnya tabungan. Jadi tingkat bunga menurut pendapat klasik adalah balas jasa yang diterima seseorang karena menabung/menyimpan uangnya atau hadiah yang diterima seseorang karena menunda konsumsinya. Investasi juga merupakan fungsi dari tingkat bunga. Semakin tinggi tingkat bunga, semakin kecil keinginan masyarakat untuk melakukan investasi. Hal tersebut dikarenakan keuntungan yang diharapkan dari investasi akan relatif kecil terhadap tingkat bunga. Sebaliknya, apabila tingkat bunga rendah maka keuntungan relatif dari investasi terhadap tingkat bunga yang dibayarkan akan besar sehingga investasi akan meningkat. Karena tingkat bunga merupakan biaya pinjaman dan pengembalian akibat meminjamkan dana ke pasar keuangan, maka untuk memahami lebih baik tentang tingkat bunga dalam perekonomian dapat dituliskan dalam persamaan berikut ini:

11

Y=C+I+G

(2.1)

Y–C–G=I

(2.2)

Y – C – G adalah output yang tersisa setelah permintaan konsumen dan pemerintah terpenuhi; inilah yang disebut tabungan nasional (national saving) atau ringkasnya tabungan (S). Dalam bentuk ini, identitas pos pendapatan nasional manunjukkan bahwa tabungan sama dengan investasi. Untuk memahami identitas ini secara lebih lengkap, kita bisa memacah tabungan nasional menjadi dua bagian. Satu bagian menunjukkan tabungan sektor swasta dan bagian lain menunjukkan tabungan pemerintah: S = (Y – T – C) + (T – G) = I

(2.3)

Untuk melihat bagaimana tingkat bunga menyeimbangkan pasar keuangan, substitusikan fungsi konsumsi dan fungsi investasi kedalam pos pendapatan nasional: Y – C(Y – T) – G = I(r)

(2.4)

Selanjutnya, nyatakan bahwa G dan T ditetapkan oleh kebijakan serta Y ditetapkan oleh faktor-faktor produksi dan fungsi produksi. (2.5) (2.6) Gambar 2 menunjukan tingkat keseimbangan suku bunga di pasar keuangan. Ketika suku bunga berada pada level i1 (dibawah suku bunga keseimbangan), masyarakat akan menabung lebih sedikit dan lebih banyak membelanjakan uangnya. Pada kondisi ini tingkat tabungan berada pada S1 sedangkan tingkat investasi yang diinginkan sebesar I1. Artinya, terdapat

12

kelebihan permintaan untuk investasi sedangkan dana yang tersedia dalam bentuk tabungan tidak mencukupi. Keadaan ini mendorong pelaku usaha bersedia untuk membayar lebih atas dana yang dipinjamnya. Hal ini akan memberikan tekanan pada naiknya suku bunga dan pada gilirannya akan meningkatkan tabungan. Proses ini berlanjut terus hingga jumlah tabungan yang tersedia setara dengan investasi yang diinginkan, yakni pada tingkat suku bunga i2, dimana jumlah tabungan (S2) sama dengan Investasi (I2). Pada tingkat bunga ekuilibrium, hasrat rumah tangga untuk menabung seimbang dengan hasrat perusahaan untuk menanamkan modal dan jumlah dana pinjaman yang ditawarkan sama dengan jumlah yang diminta.

i (interest rate)

S(r)

A

i2 i1 I(r)

S1

I2=S2

I1

Investasi, Tabungan, I, S

Sumber : Mankiw (2005)

Gambar 2. Kurva Investasi dan Tabungan

13

Teori Tingkat Bunga Fischer, terdapat dua tingkatan bunga, yaitu bunga nominal dan bunga riil. Tingkat bunga yang dibayar oleh bank adalah tingkat bunga nominal dan kenaikan dalam daya beli masyarakat adalah tingkat bunga riil. Hubungan antara ketiga variabel tersebut dalam dinyatakan dalam persamaan Fischer sebagai berikut:

r=i–π

(2.7)

dimana: r = real interest rate (tingkat bunga riil) i = nominal interest rate (tingkat bunga nominal) π = tingkat inflasi Tingkat bunga riil adalah tingkat bunga nominal dikurangi dengan tingkat inflasi. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa perubahan tingkat bunga dapat terjadi karena adanya perubahan tingkat bunga riil atau perubahan tingkat inflasi. 2.1.2

Teori Tabungan dan Investasi Menurut Aliran Keynes Keynes mengatakan bahwa tingkat bunga adalah balas jasa yang diterima

seseorang karena orang tersebut tidak menimbun uang atau balas jasa yang diterima seseorang karena mengorbankan preferensi likuiditasnya. Menurut teori preferensi likuditas, ada tiga motif yang mendasari seseorang memegang uang: Pertama, motif transaksi. Permintaan uang untuk tujuan melakukan transaksi. Permintaan uang ini sangat tergantung pada tingkat pendapatan seseorang. Jika pendapatan mengalami peningkatan maka uang tunai yang ditahan akan semakin besar, begitupun sebaliknya. Permintaan uang atas dasar motif ini

14

sangat dipengaruhi pula oleh tingkat harga. Bila tingkat harga mengalami kenaikan (inflasi) akan mempengaruhi besarnya permintaan uang tunai untuk tujuan transaksi. Kedua, motif berjaga-jaga, yaitu tindakan seseorang untuk menyimpan sebagian dari pendapatan atau kekayaan dalam bentuk uang tunai, karena banyak pengeluaran yang tidak terduga sebelumnya. Besar kecilnya uang untuk motif ini sangat ditentukan oleh besar kecilnya uang untuk transaksi. Semakin besar nilai transaksi yang dilakukan oleh seseorang, maka semakin banyak uang yang dibutuhkan untuk berjaga-jaga. Ketiga, motif spekulasi. Disamping untuk memperlancar transaksi dan untuk berjaga-jaga, tujuan orang memegang uang tunai juga dimaksudkan untuk tujuan spekulasi. Uang untuk tujuan ini akan dipergunakan untuk membeli suratsurat berharga (obligasi) pada saat harganya murah dan akan menjualnya kembali ketika harganya mahal. Menurut Keynes, semakin besar liquidity prefefence seseorang, semakin besar keinginan orang tersebut untuk menahan uang tunai, maka semakin besar pula tingkat bunga yang diterima orang tersebut bilamana ia meminjamkan uang tersebut kepada orang lain. Pendapat Keynes ini sangat berbeda dengan pendapat aliran klasik, dimana tingkat bunga menurut teori klasik adalah premi yang diterima karena menunda konsumsinya pada masa yang akan datang. Permintaan uang mempunyai hubungan yang negatif dengan tingkat bunga. Hubungan negatif antara permintaan uang dengan tingkat bunga ini dapat diterangkan oleh Keynes. Dia mengatakan bahwa masyarakat mempunyai

15

pendapat tentang adanya tingkat bunga nominal. Bilamana tingkat bunga turun dari tingkat bunga normal, dalam masyarakat ada suatu keyakinan akan naik suku bunga masa yang akan datang. Bila masyarakat memegang obligasi (surat berharga) pada saat suku bunga naik, pemegang obligasi tersebut akan mengalami kerugian. Guna menghindari kerugian ini, tindakan yang dilakukan adalah menjual obligasi yang dengan sendirinya akan mendapatkan uang tunai dan uang tunai ini yang dipegang pada saat suku bunga naik. Hubungan inilah yang disebut motif spekulasi permintaan uang tunai, karena masyarakat akan melakukan spekulasi tentang obligasi di masa yang akan datang. Teori Tingkat Bunga Keynes. Bunga adalah sebuah pembayaran untuk menggunakan uang. Dalam teori preferensi likuiditas, Keynes menjelaskan pandangannya mengenai bagaimana tingkat bunga ditentukan dalam jangka pendek. Teori preferensi likuiditas adalah kerangka kurva LM. Teori ini memiliki asumsi adanya penawaran uang riil tetap dan biasanya tidak tergantung oleh tingkat bunga, yaitu: (M/P)s = M/P

(2.8)

Bunga adalah salah satu determinan dalam memutuskan berapa banyak uang yang ingin dipegang oleh seseorang. Ketika tingkat bunga naik, maka masyarakat cenderung memilih sedikit memegang uang, sehingga: (M/P)d = L(r)

(2.9)

Teori Loanable Funds. Teori loanable funds meramalkan dan menganalisis perubahan suku bunga dengan menggunakan penawaran dan permintaan dana sebagai dasarnya.

16

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Suku Bunga Faktor-faktor utama yang mempengaruhi besar kecilnya penetapan suku bunga, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kebutuhan dana Faktor kebutuhan dana dikhususkan untuk dana simpanan, yaitu seberapa besar kebutuhan dana yang diinginkan. Apabila bank kekurangan dana, sementara permohonan pinjaman meningkat, maka yang dilakukan oleh bank agar dana tersebut cepat terpenuhi adalah dengan meningkatkan suku bunga simpanan. Namun peningkatan suku bunga simpanan akan pula meningkatkan suku bunga pinjaman. Sebaliknya apabila dana yang ada dalam simpanan bank cukup banyak, sementara permohonan pinjaman sedikit maka bunga simpanan akan turun. 2. Target laba yang diinginkan Hal ini disebabkan target laga merupakan salah satu komponen dalam menentukan besar kecilnya suku bunga pinjaman. Jika laba yang diinginkan besar maka bunga pinjaman ikut besar dan demikian pula sebaliknya. Namun untuk menghadapi persaingan, target laba dapat diturunkan seminimal mungkin. 3. Kualitas jaminan Kualitas jaminan juga diperuntukkan untuk suku bunga pinjaman. Semakin mudah jaminan dapat dicairkan, semakin rendah bunga kredit yang dibebankan, dan sebaliknya. 4. Kebijakan pemerintah Dalam menentukan bunga simpanan maupun bunga pinjaman, bank tidak boleh melebihi batasan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Artinya ada

17

batasan maksimal dan minimal untuk suku bunga yang diizinkan. Tujuannya adalah agar bank-bank dapat bersaing secara sehat. 5. Jangka waktu Baik untuk bunga simpanan maupun bunga pinjaman, faktor jangka waktu merupakan faktor yang sangat penting. Semakin panjang jangka waktu pinjaman, maka akan semakin tinggi bunganya. Hal tersebut disebabkan besarnya kemungkinan resiko macet dimasa mendatang. 6. Reputasi perusahaan Reputasi perusahaan juga sangat menentukan suku bunga terutama untuk bunga pinjaman. Perusahaan yang telah memiliki reputasi baik akan mudah memperoleh kredit dengan bunga yang relatif lebih rendah. 7. Produk yang kompetitif Produk yang kompetitif menentukan besar kecilnya suku bunga pinjaman. Kompetitif maksudnya adalah produk yang dibiayai tersebut laku dipasaran. Untuk produk yang kompetitif, bunga kredit yang diberikan relatif rendah jika dibandingkan dengan produk yang kurang kompetitif. Hal ini disebabkan produk yang kompetitif tingkat perputaran produknya tinggi sehingga pembayarannya diharapkan lancar. 8. Hubungan baik Biasanya bunga pinjaman dikaitkan dengan faktor kepercayaan kepada seseorang atau perusahaan. Dalam praktiknya, bank menggolongkan nasabahnya kedalam nasabah utama dan nasabah biasa. Penggolongan ini didasarkan pada keaktifan serta loyalitas nasabah yang bersangkutan terhadap bank. Nasabah

18

utama biasanya mempunyai hubungan baik dengan pihak bank, sehingga dalam penentuan suku bunganya berbeda dengan nasabah biasa. Nasabah yang memiliki hubungan baik dengan bank tentu bunganya lebih rendah. 9. Persaingan Dalam kondisi tidak stabil dan bank kekurangan dana, sementara tingkat persaingan dalam memperebutkan dana masyarakat cukup ketat, maka bank-bank harus berupaya untuk menarik minat masyarakat menyimpan dana di banknya. Dalam kondisi ini dibutuhkan kejelian untuk menangkap informasi tentang suku bunga yang diberikan oleh bank pesaing. Oleh karena itu dalam kondisi persaingan, maka bank harus rela memangkas margin laba yang biasa diperolehnya demi memperoleh nasabah. 2.1.4

Teori Inflasi Inflasi adalah kecendrungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan

terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Diartikan juga sebagai naiknya terus menerus tingkat harga pada suatu perekonomian akibat kenaikan permintaan agregat/penurunan penawaran agregat. Indeks harga konsumen adalah ukuran tingkat harga sebagai indikator inflasi. IHK dihitung setiap bulan berdasar perkembangan harga barang dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga seluruh ibu kota propinsi di Indonesia (Soebagiyo dan Prasetyawati, 2002). Nopirin (1996), inflasi dapat digolongkan ke dalam tiga macam penggolongan :

19

1.

Inflasi berdasarkan sifatnya laju inflasi berbeda-beda antara negara satu dengan negara lainnya atau dalam satu negara untuk kurun waktu yang berbeda. Atas dasar perkembangannya, inflasi dapat dibedakan kedalam tiga kategori yaitu: a. Creeping inflation (inflasi merayap), adalah inflasi tahap awal dengan kenaikan harga secara lambat atau juga sering disebut dengan inflasi lunak. Biasanya creefing inflation ditandai dengan inflasi yang rendah (<10%/tahun). Kenaikan harga berjalan secara lambat dengan prosentase yang kecil dalam jangka waktu yang relatif lama. b. Galloping inflation, adalah inflasi menengah yang ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar dan kadang-kadang berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta memiliki akselerasi, artinya harga-harga minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan lalu dan seterusnya. c. Hyper inflation, adalah kondisi inflasi yang paling parah akibatnya terhadap perekonomian, harga-harga naik sampai lima atau enam kali. Hyper inflation merupakan hal yang sering terjadi akibat tindakan pemerintah untuk menutup defisit anggarang belanja dengan jalan mencetak uang baru, sehingga jumlah uang beredar dimasyarakat tinggi dan mengakibatkan laju inflasi bertambah tinggi. Sedangkan menurut Boediono (1985), Ada berbagai cara untuk menggolongkan macam inflasi berdasarkan tingkat keparahannya, yakni : a. Inflasi ringan (dibawah 10% setahun) b. Inflasi sedang (antara 10-30% setahun)

20

c. Inflasi tinggi (antara 30-100% setahun) d. Hiperinflasi ( diatas 100% setahun) 2.

Inflasi berdasarkan asalnya Inflasi dapat dibedakan menjadi inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) dan inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation). Inflasi yang berasal dari dalam negeri adalah inflasi yang sumber penyebabnya berasal dari keadaan perekonomian dalam negeri sendiri. Timbulnya inflasi ini karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan percetakan uang yang baru, panen yang gagal dan sebagainya. Inflasi yang berasal dari luar negeri adalah inflasi yang timbul karena kenaikan hargaharga di luar negeri, sehingga akan mempengaruhi barang-barang yang di impor.

3.

Inflasi berdasarkan penyebabnya Sebelum kebijaksanaan untuk mengatasi inflasi diambil, terlebih dahulu diketahui faktor-faktor yang menyebabkan inflasi. Atas dasar ini kita bedakan menjadi : a. Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat. Sehingga antara jumlah barang dengan jumlah permintaan berjalan tidak seimbang, akibatnya harga barang menjadi lebih tinggi atau naik inflasi semacan ini disebut demand pull inflation. b. Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Sehingga membawa dampak bagi produsen dimana akan mengurangi keinginan mereka untuk menjual hasil produksinya pada tingkat harga yang berlaku sebelumnya.

21

Berkurangnya penawaran yang tidak diikuti dengan pengurangan permintaan yang sama besarnya akan menyebabkan kenaikan harga. Ini disebut cost push inflation. Akibat atau efek dari terjadinya inflasi bagi ekonomi adalah : 1.

Efek terhadap pendapatan (Equity Effect) Efek inflasi terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada pula yang diuntungkan dengan adanya inflasi. Pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya inflasi : - Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap. - Seseorang yang menumpukkan kekayaan dalam bentuk uang kas. - Seseorang yang memberikan pinjaman uang dengan bunga lebih rendah dari laju inflasi.

2.

Efek terhadap output (Output Effect) Inflasi yang mengakibatkan perubahan pada alokasi faktor produksi melalui : -

Kenaikan output. Dengan alasan bahwa dengan adanya inflasi dalam tingkat yang rendah, maka permintaan akan barang cenderung naik sehingga mendorong pengusaha untuk meningkatkan produksinya, dan akibatnya harga barang tidak melonjak tinggi.

-

Penurunan output. Apabila inflasi mengalami kenaikan dan cenderung kearah hiperinflasi maka kondisi perekonomian akan mengalami kelesuhan karena harga barang cenderung naik sehingga terjadi penurunan

22

permintaan yang pada akhinya membawa dampak bagi produsen dalam pengurangan jumlah produksinya. 3.

Efek terhadap efisiensi (Efficiency Effect). Inflasi dapat membawa efek bagi perubahan alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai macam barang yang kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu. Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan adanya inflasi dapat mengakibatkan alokasi faktor produksi menjadi tidak efisien. Secara garis besar inflasi adalah perubahan dalam pola distribusi kekayaan dan pendapatan. Ada efek inflasi yang kurang nyata yaitu bahwa umumnya orang-orang yang memegang asset liquid seperti uang tunai dan deposito akan rugi karena penurunan daya beli asset tersebut. Sedangkan orang yang mempunyai asset fisik seperti tanah akan menerima manfaat. Dari sudut produksi, terdapat perbedaan yang penting antara efek inflasi kecil dan efek inflasi besar. Umumnya para ekonom sependapat bahwa inflasi kecil lebih baik daripada deflasi. Kesimpulan ini diperoleh dari beberapa faktor. Salah satunya adalah untuk mencapai laju inflasi sama dengan nol atau negatif, permintaan agregat harus dikurangi sampai sistemnya mengalami pengangguran, atau untuk mencapai tingkat kegiatan ekonomi yang sesuai dengan pekerjaan penuh (full employment). Kita mengalami inflasi karena sumber-sumber yang harus dipakai dengan tenaga kerja, akan cenderung lebih sedikit.

23

2.2

Pengertian dan Fungsi Bank Bank komersial adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Berdasarkan jenisnya, bank hanya dibedakan menjadi dua, yaitu bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (pasal 1 UU No. 10 tahun 1998). Perbedaan antara bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat meliputi beberapa aspek, diantaranya; kegiatan usaha, permodalan, alokasi kredit, badan hukum, kepemilikan, dan double principle. Secara umum, fungsi bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai financial intermediary. Secara lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai agent of trust, agent of development, dan agent of services a. Agent of trust Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Masyarakat akan mau menitipkan dananya di bank apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan.

24

Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan disalahgunakan oleh bank, uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut dan pada saat yang telah dijanjikan simpanan tersebut dapat ditarik kembali dari bank. Pihak bank sendiri akan mau menempatkan atau menyalurkan dananya pada debitur atau masyarakat apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Pihak bank percaya bahwa pihak debitur tidak akan menyalagunakan pinjamannya, debitur akan mengelola dana pinjamannya dengan baik, debitur akan mempunyai kemampuan untuk membayar pada saat jatuh tempo, dan debitur mempunyai niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya pada saat jatuh tempo. b. Agent of development Kegiatan perekonomian masyarakat di sektor moneter dan sektor riil tidak dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut selalu berinteraksi dan saling mempengaruhi. Sektor riil tidak akan dapat berkinerja dengan baik apabila sektor moneter tidak bekerja dengan baik. Kegiatan bank berupa berupa penghimpunan dan penyaluran dana sangat diperlukan bagi lancarnya kerugian perekonomian di sektor rill. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi-distribusi-konsumsi ini tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang. Kelancaran kegiatan investasi-distribusi-konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian.

25

c. Agent of servies Disamping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara umum. Jasa ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank, dan penyelesaian tagihan. Ketiga fungsi bank diatas diharapkan dapat memberikan gambaran yang menyeluruh dan lengkap mengenai funsi bank dalam perekonomian, sehingga bank tidak hanya dapat diartikan sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary institution). 2.3

Pengertian Deposito Simpanan deposito dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

dinyatakan sebagai simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. Berbeda dengan tabungan dan giro, simpanan deposito mengandung unsur jangka waktu (jatuh tempo) yang lebih panjang dan dapat ditarik atau dicairkan hanya setelah jatuh tempo. Begitu pula dengan suku bunga yang diberikan relatif lebih tinggi dibanding dengan tabungan dan giro. Bunga disesuaikan dengan perkembangan pasar dan biasa diberikan setiap bulan sesuai dengan tanggal jatuh temponya. Tabungan deposito juga dapat berfungsi sebagai alat investasi jangka panjang maupun jangka pendek. Dengan menginvestasikan uang dalam deposito berjangka, nasabah mempunyai pilihan jatuh tempo dalam waktu satu, tiga, enam,

26

dua belas bulan atau dua puluh empat bulan. Nasabah akan dikenakan denda (penalty) dengan tidak mendapat hasil apapun apabila mencairkan dana deposito sebelum jatuh tempo. Dengan demikian, bila nasabah berniat menggunakan uang tersebut dalam jangka pendek sebaiknya membuka tabungan. Karena dengan membuka tabungan, dana sewaktu-waktu dapat diambil tanpa harus dikenakan denda. Namun, perlu ketahui bahwa suku bunga tabungan yang diberikan biasanya lebih kecil dari suku bunga deposito bank. Uang yang simpan di bank dan memenuhi persyaratan tertentu, seratus persen dijamin pemerintah dari resiko kegagalan bayar. Skema garansi tersebut masih diberlakukan oleh pemerintah untuk jangka waktu yang belum dapat ditentukan. Nasabah tidak perlu khawatir akan kehilangan uang yang disimpan apabila bank tersebut ditutup atau diambil alih. Pemerintah akan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa uang nasabah akan dibayarkan kembali sesuai dengan jumlah yang disimpan. Deposito berjangka juga tersedia dalam mata uang asing, seperti dolar AS. Dalam situasi ekonomi yang tidak pasti, seorang nasabah dapat memilih untuk tidak menyimpan uang seluruhnya dalam bentuk tabungan deposito rupiah melainkan juga dalam dollar AS. Hal ini didasarkan pada pertimbangan kemungkinan anjloknya nilai mata uang rupiah dimasa depan disebabkan iklim ekonomi dunia yang kian tidak pasti. 2.4

Penelitian Terdahulu Wahyu Setyaningsih (1999). Berjudul “Analisis faktor-faktor yang

Mempengaruhi Deposito Berjangka Rupiah sesudah Deregulasi Perbankan 1 juni

27

1983 di Indonesia kurun waktu 1984-1998”. Penelitian ini menggunakan data tahunan dari tahun 1984-1998. Variabel dependen yang digunakan adalah jumlah deposito berjangka rupiah sedangkan variabel independennya adalah PDB riil perkapita, suku bunga deposito berjangka, nilai tukar valas (Dollar AS terhadap rupiah). Untuk pengujian yang digunakan model pendekatan PAM (Partial Adjusment Model). Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah PDB riil perkapita dan suku bunga deposito berjangka rupiah sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan. Sedangkan kurs valuta dolar AS terhadap rupiah tidak berpengaruh terhadap deposito berjangka rupiah. Dalam analisis hubungan antara variabel dependen dan variabel independen pada penelitian ini membuktikan penggunaan model regresi berganda non linier adalah tepat. Hasil uji asumsi klasik terdapat model regresi yang menunjukkan tidak terdapat gejala multikolinearitas, heteroskedatisitas, dan autokorelasi. Hasil estimasi PAM diperoleh bahwa elastisitas jangka panjang lebih besar dari elastisitas jangka pendek. Artinya dalam elastisitas jangka panjang sudah tidak dipengaruhi lagi oleh tingkat deposito berjangka rupiah periode sebelumnya. Siti Fatimah Nurhayati (2002). Berjudul “Analisis Permintaan Deposito Dalam Valuta Asing Pada Bank Swasta Nasional Di Indonesia” dari tahun 19852001. Variabel dependen yang digunakan adalah Permintaan Deposito dalam Valuta Asing sedangkan variabel independennya adalah PDB, Suku Bunga Deposito, kurs valuta asing (Rupiah terhadap Dollar AS) dan Libor.

28

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah bahwa pengujian t menunjukkan ada 3 variabel yang berpengaruh terhadap simpanan valuta asing di Indonesia yaitu variabel suku bunga deposito Rupiah berpengaruh negatif pada jangka pendek dan positif dalam jangka panjang, suku bunga internasional LIBOR berpengaruh positif dalam jangka panjang, sedangkan variabel pendapatan perkapita riil dan kurs tidak berpengaruh. Romauli Putri M. Marbun (2005). Berjudul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka Pada Bank Pemerintah di Sumatera Utara” dari tahun 1993 – 2003. Variabel dependen yang digunakan adalah jumlah deposito pada bank-bank pemerintah di Propinsi Sumatera Utara, sedangkan yang menjadi variabel independen adalah pendapatan perkapita dan tingkat suku bunga deposito. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa pendapatan perkapita memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan jumlah deposito berjangka. Begitu pula dengan tingkat suku bunga berpengaruh positif terhadap jumlah deposito berjangka. Pengujian dilakukan dengan model regresi linier berganda dengan koefisien determinasi sebesar 0,976. Tuti (2006). Berjudul “Analisis Permintaan Deposito Berjangka Dalam Negeri Pada Bank Umum di Indonesia” , periode tahun 1990 sampai 2004. Data yang digunakan adalah data triwulanan. Penelitian ini ingin melihat hubungan antara tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dan suku bunga deposito terhadap permintaan deposito dalam negeri pada bank umum di Indonesia.

29

Model persamaan awal yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi dengan Partial Adjusment Model (PAM). Namun, karena pada model regresi PAM itu tidak menghasilkan signifikansi pada variabel Y(-1), sehingga model PAM ini tidak bisa dipakai selanjutnya untuk melakukan pegujian statistik dan pengujian asumsi klasik. Untuk itu digunakan metode OLS dengan fungsi dan persamaan regresi linier. Dari pengujian-pengujian yang dilakukan, ternyata hasil estimasi masih menyimpang asumsi klasik yaitu mengandung heteroskedastisitas, namun setelah diobati ternyata model regresi ini telah dinyatakan sehat dan memenuhi asumsi klasik kembali. Kesimpulan yang diperoleh adalah inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan deposito dalam negeri, sedangkan perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan deposito. Variabel independen lainnya, yakni suku bunga deposito, menunjukan pengaruh yang tidak signifikan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, yang pertama adalah periode penelitian yang digunakan. Pada penelitian sebelumnya belum didapai penelitian tentang jumlah deposito berjangka untuk periode tahun 2004 2010. Kedua, data series yang digunakan, pada penelitian sebelumnya menggunakan

data

tahunan

dan

triwulanan,

sedangkan

penelitian

ini

menggunakan data bulanan. Ketiga, dalam hal variabel independen yang digunakan. Penelitian sebelumnya, Wahyu Setyaniningsih (1999) menggunakan PDB riil perkapita, suku bunga, dan kurs rupiah sebagai variabel independen, sedangkan penelitian Siti Fatimah (2002) variabel independennya adalah PDB,

30

suku bunga, Kurs rupiah, dan suku bunga Libor. Keempat, perbedaannya terletak pada metode pembentukan model yang digunakan. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, model estimasi yang digunakan adalah regresi linier berganda dengan metode OLS dan Partial Adjustment Model (PAM), sedangkan penelitian ini menggunakan regresi linier berganda dengan Metode Garch (1,1). 2.5

Kerangka Pemikiran Inflasi dan suku bunga deposito diduga memiliki pengaruh terhadap

perkembangan jumlah deposito yang terhimpun, selain itu terdapat pula pengaruh dari faktor lain seperti stabilitas keamanan dan politik dan tingkat suku bunga di luar negeri. Tingkat inflasi itu sendiri merupakan fenomena yang terjadi sebagai akibat dari kondisi makro ekonomi yang dipengaruhi oleh jumlah uang beredar, nilai tukar, situasi ekonomi internasional dan lain-lain. Sedangkan suku bunga deposito merupakan produk perbankan yang menjadi kewenangan masing-masing bank untuk menetapkan berdasarkan perhitungan beban operasional, margin keuntungan, tingkat kompetisi, dan lain-lain. Pada saat Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan melalui instrumen moneter yang dimilikinya, kebijakan tersebut akan mempengaruhi perekonomian melalui berbagai jalur transmisi. Kebijakan OPT akan berimbas pada jumlah uang beredar dan nilai tukar, sedangkan kebijakan BI Rate akan menjadi acuan perbankan dalam menetapkan suku bunga tabungan maupun pinjaman. Dalam kerangka kebijakan Inflation Targeting, dimana sasaran akhirnya adalah inflasi, kebijakan moneter tersebut diharapkan akan direspon oleh dunia usaha, sehingga dapat menghasilkan target inflasi yang diinginkan.

31

BANK INDONESIA

OPT

BI Rate Instrumen Moneter

Respon Perbankan & Dunia Usaha

Kondisi Makro: 1. JUB 2. Nilai tukar 3. Situasi eko internasional 4. dll

SUKU BUNGA DEPOSITO

INFLASI

Respon Bank: 1. Beban Ops 2. Margin laba 3. Faktor resiko 4. Kompetisi 5. dll

JUMLAH TABUNGAN DEPOSITO DEPOSITO Stabilitas keamanan dan politik

Keterangan : Didalam ruang lingkup penelitian Diluar ruang lingkup penelitian

Suku bunga Luar Negeri INVESTASI

PERTUMBUHAN EKONOMI

Gambar 3. Kerangka Pemikiran

32

Dengan tingkat inflasi dan suku bunga yang terkendali maka diharapkan terjadi akumulasi tabungan masyarakat, salah satunya dalam bentuk deposito. Tabungan masyarakat ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber dana bagi investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. 2.6

Hipotesis

Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah: a.

H0 :

Suku bunga deposito tidak berpengaruh positif terhadap jumlah deposito berjangka.

Ha :

Suku

bunga deposito berpengaruh positif

terhadap jumlah

deposito berjangka. b.

H0 :

Inflasi tidak berpengaruh negatif terhadap terhadap jumlah deposito berjangka.

Ha :

Kurs rupiah berpengaruh negatif terhadap jumlah deposito berjangka.

c.

H0 :

Suku

bunga

deposito dan inflasi secara simultan

tidak

berpengaruh terhadap jumlah deposito berjangka. Ha :

Suku bunga deposito dan inflasi secara simultan berpengaruh terhadap jumlah deposito berjangka.

Keterangan : H0 : Hipotesis Awal Ha : Hipotesis Alternatif

33

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini dilakukan berdasarkan data series bulan yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS), diantaranya adalah Publikasi Tinjauan Kebijakan Moneter dan Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan bulanan. Selain itu terdapat pula data yang diperoleh dari Publikasi Indokator Ekonomi yang diterbitkan oleh BPS. Jenis data yang dikumpulkan meliputi : -

Jumlah deposito pada bank Umum (bulanan)

-

Data inflasi m-t-m (bulanan)

-

Data suku bunga deposito 1 bulan (bulanan)

3.2 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk mendukung dan mencapai tujuan penelitian adalah analisis deskriptif dan model AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity

(ARCH)

dan

Generalized

AutoRegressive

Conditional

Heteroscedasticity (GARCH). 3.2.1 Analisis Deskriptif Metode analisis deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran tentang perilaku data setiap variabel yang akan diteliti. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah jumlah deposito, tingkat suku bunga deposito satu bulan, dan inflasi month to month selama periode Januari 2004 sampai Desember 2010.

34

3.2.2 Model AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH) dan Generalized AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH) Metode dalam penelitian ini menggunakan Conditional

Heteroscedasticity

(ARCH)

dan

model AutoRegressive

Generalized

AutoRegressive

Conditional Heteroscedasticity (GARCH), yaitu suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui pengaruh satu atau beberapa variabel independen terhadap suatu variabel dependen. Salah satu asumsi yang mendasari estimasi regresi linier berganda dengan metode OLS adalah residual harus bersifat konstan dari waktu ke waktu. Apabila residual tidak bersifat konstan, maka terkandung masalah heteroskedastisitas. Pada penelitian

ini

data

runtut

waktu

yang

diolah

menghasilkan

masalah

heteroskedastisitas. Oleh karena itu metode estimasi dengan menggunakan OLS tidak dapat dilakukan, karena koefisien yang dihasilkan tidak bersifat BLUE (best linier unbiased estimator). Sebagai jalan keluar, kini telah ada model yang khusus digunakan untuk menghadapi kondisi seperti ini. Model tersebut dikenal dengan ARCH (AutoRegresive Conditional Heteroscedasticity). Kelebihan model ini dibandingkan dengan analisis regresi linear berganda adalah model ini tidak memandang heteroskedastisitas sebagai suatu permasalahan, tetapi justru memanfaatkan kondisi tersebut untuk membuat model, bahkan dengan memanfaatkan heteroskedastisitas dalam error yang tepat, maka akan diperoleh estimator yang lebih efisien (Nachrowi dan Usman, 2006). Model ini dikembangkan oleh Robert Engle (1982) dan dimodifikasi oleh Mills (1999). Dalam perkembangannya muncul variasi dari model ini, yang dikenal dengan

nama

GARCH

(Generalized

AutoRegresive

Conditional

35

Heteroscedasticity), yang dikembangkan oleh tim Bollerslev (1986 dan 1994). Dalam model ARCH, varian residual data runtut waktu tidak hanya dipengaruhi oleh variabel independen, tetapi juga dipengaruhi oleh nilai residual data itu sendiri. Model ARCH menggunakan dua persamaan berikut ini: Yt = β0 + β1X1t + β2X2t + εt

(3.1) (3.2)

Dengan Y adalah variabel dependen, X variabel independen (bisa ditambah sesuai keperluan), ε adalah pengganggu atau residual,

adalah varian residual, dan

disebut sebagai komponen ARCH. Ada berbagai bentuk ARCH dan GARCH, antara lain: 1. GARCH (1,1) 2. ARCH in Mean (M-ARCH) 3. Treshold ARCH (TARCH) 4. Eksponential ARCH/GARCH (E-(G)ARCH) 5. Simple asymmetric ARCH (SAARCH) 6. dan lain-lain. Namun yang akan digunakan dalam penelitian ini dan menjadi model yang baik untuk memprediksi variabel deposito adalah model GARCH (1,1). Persamaan dari model ini adalah, sebagai berikut: Yt = β0 + β1X1t + β2X2t + εt

(3.3) (3.4)

dimana :

36

Yt = variabel dependen pada akhir bulan ke-t Xit = variabel independen i pada akhir bulan ke-t (i = 1,2,3, ...) βi = koefesien regresi berganda

εt

= error term ke-t

Sedangkan varian bersyarat ω

, memiliki tiga bagian, yaitu

= rata-rata (mean) = Volatilitas periode sebelumnya (disebut komponen ARCH) = Varian periode sebelumnya (disebut komponen GARCH) Hal yang menarik dalam persamaan ini tidak hanya peramalan dari Yt saja,

tapi juga peramalan varians

. Perubahan dalam varians sangat penting misalnya

dalam memahami pasar saham atau pasar keuangan. 3.2.2.1 Prosedur Estimasi Model ARCH-GARCH Dalam mengaplikasikan model ARCH dan GARCH, langkah-langkah yang dilakukan adalah, sebagai berikut: 1. Identifikasi efek ARCH Dalam pemodelan ARCH-GARCH didahului dengan identifikasi apakah data mengandung heteroskedastisitas. Dilanjutkan dengan melihat apakah terdapat efek ARCH pada residunya. 2. Estimasi Model Pada tahapan ini dilakukan simulasi beberapa model ragam dengan menggunakan model rataan yang telah didapatkan. Kemudian dilanjutkan dengan pendugaan parameter model untuk memilih model terbaik. 3. Evaluasi Model

37

Evaluasi model dilakukan dengan memperhatikan beberapa indikator, yaitu apakah error sudah terdistribusi normal, dan apakah terdapat masalah otokorelasi pada error-nya 4. Peramalan Peramalan dilakukan dengan memasukkan parameter kedalam persamaan yang diperoleh. 3.2.2.2 Kelebihan dan Keterbatasan Model ARCH-GARCH Kelebihan model ARCH-GARCH dibandingkan dengan metode OLS adalah, sebagai berikut : 1. Model ini tidak memandang heteroskedastisitas sebagai suatu masalah, namun justru memanfaatkannya untuk membuat model. 2. Model ini tidak hanya menghasilkan peramalan dari Y, tapi juga peramalan dari varians. Perubahan dalam varians sangat penting misalnya untuk memahami pasar saham dan pasar keuangan. Sedangkan keterbatasan model ini diantaranya adalah: 1. Model ARCH-GARCH digunakan dengan asumsi data harus mengandung heteroskedastisitas pada varians-nya. 2. Model ini tidak mampu melihat transisi atau perubahan perilaku antara volatilitas rendah dengan volatilitas tinggi. 3. Model ini mengasumsikan volatilitas dari error bersifat simetri, yaitu pengaruh shock terhadap volatilitas sama besar ketika terjadi shock positif maupun negatif.

38

3.2.3

Uji Akar-akar Unit (Unit Roots Test) Sebelum mengestimasi data runtun waktu maka terlebih dahulu dilakukan

pengujian stasionaritas data untuk masing-masing variabel. Estimasi dengan data yang tidak stasioner akan menimbulkan regresi palsu/spurious

regression

(Nachrowi dan Usman, 2006). Sekumpulan data dinyatakan stasioner jika nilai rata-rata dan variannya tidak mengalami perubahan secara sistematik sepanjang waktu, atau rata-rata dan variannya konstan. Dalam uji akar unit, hipotesis yang dibentuk adalah Ho : ρ* = 0

(data mengandung akar unit/tidak stasioner)

Ha : ρ* < 0

(data tidak mengandung akar unit/stasioner)

Statistik ADF dihitung dengan: ADF =

ρ*

(3.5)

SE (ρ*)

Data akan dikatakan menolak Ho artinya tidak mengandung akar unit atau sudah stasioner jika nilai statistik uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) lebih besar negatif dari nilai kritis tabel Mackinnon atau nilai probability ADF-nya lebih kecil dari nilai α = 0,05 pada tingkat kepercayaan 95 persen. Jika pengujian akar unit pada level belum stasioner maka dilanjutkan pada pengujian pembeda ke-1 (1st differencing) yaitu meregresikan bentuk pembeda untuk setiap variabel dimana asumsi model dimodifikasi dengan nilai lag dependen variabel ∆Y. Yt = ψ1 Yt-1 + ψ2 Yt-2 + ... + ψp Yt-p + μt

(3.6)

39

atau ∆Yt = ψ* Yt-1 + ψ1 ∆Yt-1 + ψ2 ∆Yt-2 + ... + ψp-1 ∆Yt-p + μt

(3.7)

dimana : ψ* = ψ1+ ψ2+ ... + ψp-1

= nilai koefesien

Penentuan besarnya k berdasarkan perkiraan banyaknya lag yang diperlukan untuk membuat μt tidak berkorelasi satu sama lain atau sampai data sudah stasioner. Hipotesis untuk pengujian pembeda adalah: Ho : ψ* = 0

(data mengandung akar unit/tidak stasioner)

Ha : ψ* < 0

(data tidak mengandung akar unit/stasioner)

Data akan dikatakan menolak Ho artinya tidak mengandung akar unit atau sudah stasioner jika nilai statistik uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) lebih besar negatif dari nilai kritis tabel Mackinnon atau nilai probability ADF-nya lebih kecil dari nilai α = 0,05 pada tingkat kepercayaan 95 persen. 3.2.4 Pengujian Asumsi Klasik Suatu model regresi dapat dikatakan sebagai model regresi terbaik apabila memenuhi asumsi-asumsi regresi berikut: 3.2.4.1. Normalitas Analisis regresi linier klasik mengasumsikan bahwa setiap error berdistribusi normal. Pengujian dilakukan dengan hipotesis, sebagai berikut : H0 : Error terdistribusi normal H1 : Error tidak terdistribusi normal Pengujian asumsi normalitas ini dilakukan dengan melihat nilai Jarque-

40

Berra-nya yang dibandingkan dengan nilai tabel Chi-Square

2

( χ ) dengan

besarnya “v” adalah sesuai dengan jumlah lag-nya. Jika nilai Jarque Berra-nya lebih kecil dari nilai kritis tabelnya atau nilai probability lebih besar dari nilai α yang ditetapkan, maka kesimpulan diperoleh adalah terima H0, yang artinya data terdistribusi normal. 3.2.4.2 Nonmultikolinieritas Multikolinieritas adalah kondisi adanya hubungan linier antar variabel independen. Kondisi multikolinieritas ditunjukkan dengan berbagai informasi, sebagai berikut: 1. Nilai R2 tinggi, tetapi variabel independen banyak yang tidak signifikan. 2. Dengan menghitung koefisien korelasi antar variabel independen. Apabila koefisiennya rendah, maka tidak terdapat multikolinieritas. 3. Dengan

melakukan

regresi

auxiliary.

Regresi

ini

dilakukan

dengan

memperlakukan masing-masing variabel independen sebagai variabel dependen. Apabila model kita memiliki multikolinieritas, akan memunculkan akibatakibat berikut ini: 1.

Estimator masih bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator), tetapi memiliki varian dan kovarian yang besar, sehingga sulit dipakai sebagai alat estimasi.

2.

Interval estimasi cenderung lebar dan nilai statistik uji t akan kecil, sehingga menyebabkan variabel independen tidak signifikan secara statistik dalam mempengaruhi variabel indepen. Uji multikolinieritas adalah pengujian bahwa tidak ada hubungan yang

41

eksak/linier antar variabel independen. Metode yang digunakan untuk mendeteksi multikolinieritas adalah dengan melihat nilai R2 otokorelasi (AC) tidak melebihi 0,5 baik + atau -. 3.2.4.3 Asumsi Homoskedastisitas Salah satu asumsi regresi linier yang harus dipenuhi adalah homogenitas variansi dari error. Homoskedastisitas berarti bahwa variansi dari erro bersifat konstan, kebalikannya adalah kasus heteroskedastisitas, yaitu jika kondisi variansi errornya tidak konstan. Heteroskedastisitas sering muncul pada data keuangan yang bersifat runtut waktu. -

Pada kondisi homoskedastisitas Var (Yi) = Var (εi) = σ2 ; i = 1,2,……,n

-

(3.8)

Pada kondisi heteroskedastisitas Var (Yi) = Var (εi) = σ2i ; i = 1,2,……,n

(3.9)

Pada model regresi kuadrat terkecil, jika asumsi homoskedastisitas tidak terpenuhi, akibatnya adalah : 1.

Estimator metode kuadrat terkecil tidak memiliki varian yang minimum (tidak lagi best), sehingga hanya memenuhi karakteristik LUE (linier unbiased estimator). Meskipun demikian, estimator metode kuadrat terkecil masih bersifat linier dan tidak bias.

2.

Perhitungan standard error tidak dapat lagi dipercaya kebenarannya, karena varian tidak minimum. Varian yang tidak minimum mengakibatkan estimasi regresi tidak efisien.

3.

Uji hipotesis yang didasarkan pada uji t dan uji F tidak dapat lagi dipercaya.

42

Pada penelitian ini pengujian kondisi heteroskedastisitas dideteksi dengan Uji White Heteroscedasticity. Hipotesis yang diujikan adalah : H0

: Residu bersifat homoskedastis

Ha

: Residu tidak bersifat homoskedastis

Hasil yang diperhatikan dari uji ini adalah nilai Obs*R-squared dan nilai Obs*R-squared lebih kecil dari χ2 atau jika nilai

probabilitasnya. Jika nilai

probabilitasnya lebih besar dari α = 0,05, maka terima H0 atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Demikian pula sebaliknya. 3.2.4.4 Asumsi Nonotokorelasi Otokorelasi dalam konsep regresi linier berarti komponen error berkorelasi berdasarkan urutan waktu atau korelasi pada dirinya sendiri. Model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa otokorelasi tidak boleh terjadi, artinya covarian antara εi dan εj sama dengan nol, atau secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: Cov (εi εj) = E{[ εi – E(εi)][ εj – E(εj)]} = E(εi εj) = 0

(3.10)

;i≠0

Dengan asumsi bahwa E(εi) = E(εj) = 0 Artinya, komponen error εi yang berkaitan dengan data pengamatan ke-i tidak dipengaruhi oleh εj yang berkaitan dengan pengamatan ke-j. dengan kata lain, regresi klasik mensyaratkan bahwa pengamatan sang satu (yi) dengan pengamatan yang lain (yj) saling bebas (independen). Uji otokorelasi dapat diketahui dari nilai Durbin-Watson (DW). Jika nilai DW hitung lebih besar dari nilai dU pada tabel DW, maka dapat disimpulkan tidak terjadi otokorelasi. Hipotesis yang diuji adalah H0 = “Tidak terdapat otokorelasi

43

dalam model”. Daerah penolakan H0 dapat dijelaskan sebagai berikut : I

II

III

IV

V

Tolak H0, Otokorelasi Positif

Tidak dapat diputuskan

Terima H0, tidak ada otokorelasi

Tidak dapat diputuskan

Tolak H0, Otokorelasi negatif

0

dl

du

4-du

4-dl

4

-

Apabila nilai DW hitung terletak di daerah III, maka tidak ada otokorelasi.

-

Bila DW hitung terletak di daerah I, artinya ada otokorelasi positif.

-

Bila DW hitung terletak di daerah V, maka ada otokorelasi negatif.

-

Bila DW hitung terletak di daerah II dan IV, artinya tidak dapat diputuskan (daerah ragu-ragu)

3.2.5

Pengujian Kelayakan Model

3.2.5.1 Pengujian Nilai Koefesien Determinasi ( R2 ) Koefesien determinasi adalah rasio dari jumlah kuadrat regresi dengan jumlah kuadrat total. Kelayakan suatu model regresi dapat dilihat dari koefesien determinasi (R2) yang menunjukkan proporsi variasi dalam variabel dependen yang dijelaskan oleh variabel-variabel independen secara bersam-sama. R2 sangat dipengaruhi

oleh

penambahan

jumlah

variabel

penjelas,

maka

untuk

menyesuaikannya digunakan adjusted R2 (R2adj), yang dirumuskan sebagai berikut: (3.11) atau (3.12) (3.13) dimana :

44

0 < R2, R2adj < 1 2

Residual Sum of Square = RSS = ∑ei = ∑( ŷi Explained Sum of Square = ESS = ∑( yi Total Sum of Square = TSS = ∑ yi

– ў)2

– ŷi)2

2

3.2.5.2 Pengujian Koefesien Regresi Secara Simultan Pengujian

koefesien

regresi

secara

simultan

dilakukan

dengan

menggunakan tabel ANOVA atau tabel Estimate Equation pada Eviews dengan hipotesis sebagai berikut : Ho : bi = 0, untuk semua i Ha : sekurang-kurangnya satu bi ≠ 0 , i = banyak parameter Statistiki uji F yang digunakan dalam pengujian koefesien regresi secara simultan adalah :

(3.14)

Ho ditolak jika Fobs > Fα;(p-1)(n-p) yang berarti ada pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen yaitu indeks harga saham gabungan. 3.2.5.3 Pengujian Koefesien Regresi Secara Parsial Pengujian koefesien regresi secara parsial menggunakan statistik uji t, dengan hipotesis sebagai berikut: Ho : bi = 0, (tidak ada pengaruh variabel X terhadap variabel Y) Ha : bi ≠ 0, (ada pengaruh variabel X terhadap variabel Y)

45

Statistik uji : (3.15) Ho ditolak jika tobs > tα/2;(n-p) yang berarti ada pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen yaitu indeks harga saham gabungan

46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1

Analisis Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka, Suku Bunga Deposito dan Inflasi

4.1.1 Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka Pada periode pengamatan, yaitu Januari 2004 hingga Desember 2010, jumlah deposito berjangka yang terhimpun cenderung mengalami kenaikan. Pada bulan Januari 2004 tercatat sebesar 426,42 triliun rupiah, kemudian berfluktuasi tetapi cenderung naik hingga pada bulan Desember 2010 jumlah deposito berada pada nilai 1.069,81 triliun rupiah. Jumlah Deposito (Triliun Rupiah)

450

425

400

375 Periode 350

Sumber : Bank Indonesia (2005) Gambar 4. Perkembangan jumlah deposito berjangka tahun 2004

47

Pada periode sepanjang tahun 2004 hingga kuartal pertama tahun 2005, jumlah deposito berjangka yang berhasil dihimpun oleh bank-bank di Indonesia tidak mengalami peningkatan yang berarti bahkan cenderung mengalami penurunan. Hal tersebut terlihat dari jumlah tabungan deposito pada bulan desember 2004 dan maret 2005, masing-masing sebesar 420,99 triliun rupiah dan 421,66 triliun rupiah, lebih sedikit jika dibandingkan angka bulan januari 2004. Berbagai peristiwa politik, seperti pemilihan umum legislatif dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung cukup menyita perhatian masyarakat yang berimbas pada meningkatnya faktor resiko investasi di dalam negeri. Ditambah lagi masih pada semester kedua 2004, industri perbankan nasional diwarnai dengan terjadinya fraud (kecurangan) yang berakhir dengan penutupan dua buah bank dan pencabutan izin usaha sebuah bank kecil. Hal tersebut cukup membuat industri perbankan nasional menjadi stagnan. Pada paruh kedua tahun 2005, ditengah kekhawatiran pelaku usaha akibat terus meroketnya harga minyak internasional dan kenaikan harga BBM domestik, minat masyarakat terhadap tabungan deposito berjangka justru meningkat mencapai jumlah 565,03 triliun rupiah pada bulan Desember 2005. Jika dibandingkan dengan bulan desember tahun sebelumnya terjadi peningkatan sebesar 34,22 persen. Hal ini sejalan dengan upaya kebijakan yang diterapkan oleh Bank Indonesia melalui penerbitan BI-rate sebagai target operasional dalam pengendalian inflasi sehingga pergerakan suku bunga domestik lebih terarah. Pada akhir bulan Desember 2005 BI melakukan

48

kebijakan pengetatan moneter dengan menaikan suku bunga BI-rate mencapai 12,75 persen. Jumlah Deposito (Triliun Rupiah) 650 625 600 575 550 525 500 475 450 425 400

Periode

Sumber : Bank Indonesia (2007) Gambar 5. Perkembangan jumlah deposito berjangka tahun 2005 – 2006

Perkembangan tabungan deposito berjangka pada bank-bank umum pada periode tahun 2006 sampai 2007 relatif stabil ditengah tekanan perekonomian internasional dan domestik yang terjadi. Pada akhir Desember 2006 jumlah dana pihak ketiga yang berasal dari tabungan deposito sebesar 615,16 triliun rupiah, meningkat 8,87 persen dibandingkan bulan Desember tahun 2005. Sedangkan pada bulan Desember 2007 jumlah deposito yang berhasil dihimpun mencapai 666,71 triliun rupiah atau meningkat sebesar 8,38 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan gradual tingkat suku bunga deposito sebagai respon dari kebijakan BI menurunkan BI rate tidak banyak mempengaruhi likuiditas sektor perbankan.

49

Jumlah Deposito (Triliun Rupiah) 850 825 800 775 750 725 700 675 650 625 600

Periode

Sumber : Bank Indonesia (2009) Gambar 6. Perkembangan jumlah deposito berjangka tahun 2007 - 2008

Periode tahun 2008 masih diwarnai dengan isu harga minyak dunia yang tinggi, hingga mencapai 150 US$/barel. Kondisi tersebut sangat menyulitkan negara-negara pengimpor minyak, termasuk Indonesia. Untuk mengantisipasi defisit APBN, pemerintah kembali mengurangi beban subsidi BBM yang menyebabkan kenaikan harga BBM bersubsidi pada paruh pertama tahun 2008. Pada rentang waktu ini, pertumbuhan jumlah deposito berjangka yang terkumpul cenderung melambat, bahkan beberapa kali mengalami penurunan. Namun pada paruh kedua tahun 2008, penghimpunan dana pihak ketiga, termasuk deposito, mengalami peningkatan yang cukup berarti seiring dengan meningkatnya suku bunga deposito yang mencapai 10,57 persen pada Desember 2008.

50

Faktor lain yang turut mendukung kenaikan DPK adalah kebijakan pemerintah melalui Perppu pada Oktober 2008 untuk meningkatkan cakupan penjaminan simpanan oleh LPS dari sebesar Rp. 100 juta menjadi Rp. 2 miliar per nasabah per bank. Kebijakan tersebut dinilai cukup efektif untuk mempertahankan dan bahkan mendorong peningkatan dana masyarakat di perbankan. Besarnya deposito yang terkumpul oleh sektor perbankan pada akhir tahun 2008 mencapai 824,7 triliun rupiah atau meningkat sebesar 23,7 persen dibandingkan bulan Desember tahun sebelumnya. Pada periode tahun 2009, seiring dengan membaiknya perekonomian domestik, dan mulai kondusifnya situasi perekonomian internasional, perkembangan jumlah deposito mengalami peningkatan yang cukup berarti, tercatat sebesar 899,78 triliun rupiah pada bulan Desember 2009. Jumlah ini terus meningkat pada Desember 2010 menjadi 1.069,81 triliun rupiah atau meningkat 18,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sejalan dengan pemulihan ekonomi di berbagai sektor. 4.1.2 Perkembangan Suku Bunga Deposito Satu Bulan Pada awal periode penelitian, yakni Januari 2004, tingkat suku bunga deposito 1 bulan sebesar 6,27 persen dan berfluktuasi setiap bulannya. Selama periode penelitian 2004 - 2010, tercatat dua kali suku bunga deposito mencapai puncak tertingginya. Yang pertama dimulai pada triwulan keempat tahun 2005, ditandai dengan kenaikan harga BBM bersubsidi, tingkat suku bunga deposito mencapai 10,43 persen dan terus merangkak naik hingga mencapai level 12,01 persen pada Januari 2006. Tingkat suku bunga deposito bertahan diatas level 10

51

persen berlangsung hingga periode bulan Oktober 2006. Selanjutnya pada periode tahun 2007 hingga semester pertama 2008, tingkat suku bunga deposito relatif stabil pada kisaran 6 - 8 persen. Periode puncak yang kedua terjadi pada penghujung tahun 2008, tingkat suku bunga deposito mencapai level 10,75 persen, namun beberapa bulan kemudian berangsur turun kembali. Suku bunga deposito (%) 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 Periode

0.00

Sumber : Bank Indonesia (2011) Gambar 7. Perkembangan suku bunga deposito tahun 2004 – 2010

Perkembangan suku bunga deposito banyak dipengaruhi oleh suku bunga SBI dan BI-rate yang merupakan instrumen kebijakan moneter bank sentral. Pada periode akhir tahun 2005, sebagai imbas dari kenaikan harga BBM, perekenomian mendapat tekanan yang kuat dari inflasi. Guna meredam meningkatnya tekanan inflasi dan sebagai langkah antisipatif mengendalikan tekanan inflasi ke depan, Bank Indonesia melanjutkan kebijakan moneter yang cenderung ketat. Dalam RDG pada awal bulan Desember 2005, BI Rate

52

ditetapkan naik menjadi sebesar 12,75 persen. Kenaikan suku bunga instrumen moneter tersebut direspon oleh kenaikan indikator suku bunga lainnya, seperti suku bunga penjaminan, deposito, simpanan, dan kredit. Kenaikan suku bunga dana tersebut mendorong pesatnya pertumbuhan volume simpanan masyarakat. Pada akhir tahun 2010, suku bunga deposito terus mengalami tren penurunan. Hal tersebut merupakan respon perbankan terhadap penurunan BI rate pada level 6,5 persen. Pada periode ini, sektor perbankan domestik mengalami kelebihan likuiditas yang disebabkan oleh derasnya aliran modal asing yang masuk ke emerging market, termasuk Indonesia. Kelebihan likuiditas yang didominasi oleh peningkatan dana pihak ketiga, seperti tabungan dan deposito, sangat berarti bagi upaya penyehatan sektor perbankan dan pada gilirannya akan berimbas kepada sektor riil melalui peningkatan investasi. 4.1.3 Perkembangan Inflasi Pada awal periode penelitian, yakni bulan januari 2004, inflasi IHK (m-t-m) tercatat sebesar 0,57 persen, dan mengalami tren penurunan pada bulan berikutnya yang mencatat terjadinya deflasi sebesar -0,02 persen pada Februari 2004. deflasi ini terjadi terutama disumbang oleh penurunan harga kelompok bahan makanan, dan kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga. Besaran inflasi bulanan yang tercatat sepanjang periode penelitian (2004m1 : 2010m12) relatif stabil dengan fluktuasi dibawah 1persen perbulan. Nilai inflasi bulanan menembus angka 1 persen hanya pada bulan-bulan tertentu saja, yakni Desember dan Januari, terkait dengan perayaan hari raya dan tahun baru.

53

Inflasi (m-t-m) tertinggi yang terjadi pada periode penelitian, tercatat pada bulan Oktober 2005, sebesar 8,7 persen, yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM. Namun kondisi ini cepat diantisipasi oleh pemerintah melalui berbagai program pengamanan, baik di sektor riil maupun sektor keuangan, seperti peningkatan suku bunga BI-rate dan operasi pasar terbuka. Hasilnya, inflasi kembali ke level yang dapat dikendalikan dan tidak berdampak buruk terhadap perekonomian dalam jangka panjang. Inflasi (%) 10.00 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 Periode

-1.00

Sumber : Bank Indonesia (2011) Gambar 8. Perkembangan Inflasi Tahun 2004 – 2010

Secara umum dapat disimpulkan bahwa fluktuasi harga di dalam negeri sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti harga minyak dunia, dan harga komoditas impor, baik dalam bentuk bahan baku maupun bahan pangan. Penerapan skema inflation targeting yang menjadi perhatian utama BI dirasakan cukup efektif dalam meredam gangguan eksternal yang mengancam perekonomian domestik. Sampai dengan bulan terakhir periode penelitian, yakni Desember 2010, tercatat sebesar 0,92 persen.

54

4.2

Pengaruh Suku Bunga Deposito dan Inflasi Terhadap Jumlah Deposito Berjangka Analisis

deskriptif

di

atas

belum

memperlihatkan bagaimana

sebenarnya pengaruh inflasi dan suku bunga deposito terhadap perubahan jumlah deposito berjangka. Analisis regresi ini digunakan untuk memperjelas dan memperlihatkan bagaimana sebenarnya dan seberapa besar pengaruh variabelvariabel tersebut terhadap jumlah deposito yang terkumpul pada periode Januari 2004 hingga Desember 2010. 4.2.1

Pengujian Model

4.2.1.1 Pengujian Asumsi Klasik a.

Pengujian Stasionaritas Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yang berupa data runtun

waktu maka terlebih dahulu harus dilakukan pengujian stasionaritas data untuk masing-masing variabel. Estimasi dengan data yang tidak stasioner akan menyebabkan superinkonsistensi dan timbulnya regresi

palsu (spurious

regression), sehingga sebenarnya metode inferensia klasik tidak dapat diterapkan. Berdasarkan pengujian stasionaritas dengan metode pengujian akar-akar unit menunjukkan: Variabel deposito dan suku bunga deposito pada pengujian level belum stasioner yang ditunjukkan dengan statistik uji -1,44 dan -3,03 dan nilai probability Augmented Dickey-Fuller (ADF) masing-masing 0,84 dan 0,13 yang lebih besar dari α = 0.05. Pengujian dilanjutkan dengan uji akar-akar unit pada pembeda ke-1 (1st differencing). Pada tahap uji pembeda ke-1 ini variabel deposito dan

55

suku bunga deposito menghasilkan nilai probability ADF masing-masing 0,000 dan 0,019 atau lebih kecil dari α = 0.05, sehingga variabel deposito dan suku bunga deposito dapat dikatakan telah stasioner. Sedangkan variabel inflasi pada pengujian level sudah menghasilkan nilai probability ADF lebih kecil dari nilai α = 0.05 sehingga

memperlihatkan

bahwa

data inflasi

telah

stasioner. (lampiran 2 dan 3) b.

Pengujian Kenormalan Pengujian dilakukan dengan H0 adalah error data terdistribusi normal.

Berdasarkan output dengan menggunakan perangkat lunak Eviews 6 diperoleh nilai Jarque-Berra sebesar 1,3168 dengan probabilitas 0,5177, angka ini lebih besar dari nilai α = 0,05, sehingga kesimpulannya adalah terima H0, artinya pada tingkat ketelitian 5 persen asumsi kenormalan terpenuhi. c.

Pengujian Multikolinieritas Pemeriksaan adanya multikolinieritas pertamakali dilakukan dengan melihat

nilai koefisien korelasi antar variabel bebasnya. Dari hasil output dapat dilihat nilai koefisien korelasi yang rendah antar variabel bebas, yang menandakan bahwa multikolinieritas tidak terjadi. Tabel 4.1. Koefisien Korelasi Antarvariabel Bebas CORRELATION INFLASI

SBDEPO

INFLASI

1.000000

0.041683

SBDEPO

0.041683

1.000000

56

Selain itu, metode lain yang digunakan untuk mendeteksi multikolinieritas adalah dengan melihat nilai r2 otokorelasi (AC) tidak melebihi 0,5 baik (+/-). Pengujian

Collerogram-Q

Statistik

dapat

dibuktikan

bahwa

asumsi

nonmultikolinieritas terpenuhi dimana nilai AC tidak ada yang melebihi nilai +/- 0,5 (lampiran 7) d.

Pengujian Homoskedastisitas Dengan menggunakan H0 adalah residu bersifat homoskedastis. Pengujian

Heteroskedastisitas dengan metode White Heteroscedasticity Test (cross term) diperoleh nilai probabilitas Obs*R-squared = 0,000, atau lebih kecil dari nilai α = 0,05, maka H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa residu tidak bersifat homoskedastik. Dengan kata lain data tersebut mengandung masalah heteroskedastisitas. Tabel 4.2. Hasil Output White Heteroscedasticity Test F-statistic

9.054622

Prob. F(5,78)

0.0000

Obs*R-squared

30.84972

Prob. Chi-Square(5)

0.0000

Scaled explained SS

14.86725

Prob. Chi-Square(5)

0.0109

e.

Pengujian Otokorelasi Pemeriksaan adanya otokorelasi dilakukan dengan statistik uji Durbin-

Watson menunjukkan nilai DW hitung sebesar 1,704. Berdasarkan tabel D-W, pada nilai n = 83 dan k=2, nilai dU=1,6928 dan dL=1,5942. Artinya, nilai DW hitung lebih besar dari dU dan lebih kecil dari (4-dU), sehingga dapat disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah otokorelasi.

57

4.2.1.2 Pengujian Kelayakan Model a.

Pengujian Nilai Koefisien Determinasi Dari output model persamaan regresi menghasilkan R2 sebesar 0,3125 dan

R2adjusted sebesar 0,2614 dengan nilai Log-likelihood -313,8171. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman dalam perkembangan jumlah deposito yang dapat dijelaskan oleh variabel inflasi dan suku bunga deposito adalah sebesar 31,25 persen saja. Kecilnya pengaruh ini karena dalam memutuskan berinvestasi dalam bentuk deposito banyak faktor-faktor lain diluar variabel model yang juga berpengaruh dan dijadikan dasar pertimbangan oleh investor dalam berinvestasi dalam bentuk deposito. Faktor lain tersebut diantaranya adalah situasi keamanan dan politik dalam negeri, kredibilitas sektor perbankan, situasi perekonomian internasional, dan lain sebagainya. Kecilnya nilai R2 sejalan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian penelitian sebelumnya yang juga hanya menghasilkan nilai R2 yang juga relatif kecil. Tuti (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Permintaan Deposito Berjangka Dalam Negeri Pada Bank Umum di Indonesia, menghasilkan nilai R2 sebesar 33,15 persen. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih (1999) menghasilkan nilai R2 sebesar 36,33 persen. b.

Pengujian Koefisien Regresi Secara Simultan Tabel output menunjukkan dengan tingkat kepercayaan 95 persen,

model persamaan linier sudah layak untuk menjelaskan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Nilai F-statistic dari model persamaan regresi sebesar 4,1571 lebih besar dari nilai kritis distribusi F(0,05:2,80) = 3,11.

58

Artinya, secara simultan inflasi dan suku bunga deposito berpengaruh terhadap jumlah deposito yang terhimpun pada bank umum. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh nilai Probabilitas F-statistic = 0,0001 yang lebih kecil dari α = 0,05. c.

Pengaruh Koefisien Regresi Secara Parsial Pada tingkat kepercayaan 95 persen, variabel inflasi berpengaruh

negatif dan signifikan terhadap jumlah deposito, sedangkan suku bunga deposito berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah deposito. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai prob dari variabel inflasi dan suku bunga deposito, berturutturut 0,0178 dan 0,0004 yang lebih kecil dari nilai α=0,05. 4.2.2 Hasil Estimasi Pengaruh Suku Deposito dan Inflasi Terhadap Jumlah Deposito Berjangka Berdasarkan hasil pengolahan menggunakan program E-Views versi 6 dihasilkan output sebagai berikut: Tabel 4.3. Hasil Output GARCH (1,1) Variable

Coefficient

Std. Error

z-Statistic

Prob.

C

6.518249

0.932959

6.986638

0.0000

D(INFLASI)

-0.341740

0.945467

-1.361450

0.0178

D(SBDEPO)

13.79308

3.892986

3.543059

0.0004

R-squared Adjusted R-squared

0.312563 0.261431

Hasil output E-Views 6 menghasilkan nilai koefisien dan probabilitas dari masing-masing variabel serta nilai R-Squared dari model yang terbentuk. Berdasarkan tabel diatas, model persamaan regresi dengan metode GARCH (1,1) yang terbentuk adalah :

59

d(depo) = 6,518 - 0,342*d(inflasi) + 13,793*d(sbdepo) Sedangkan var (et)-nya memiliki persamaan berikut :

Output model GARCH (1,1) menunjukkan bahwa model mempunyai variabel bebas yang secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap perubahan deposito berjangka.

Selain itu dapat dinyatakan bahwa semua variabel bebas

mempunyai pengaruh yang signifikan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tingkat inflasi dan suku bunga deposito mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

perubahan

deposito

berjangka.

Selain

itu,

persamaan

yang

menggambarkan pergerakan varians dari residual model juga menunjukkan bahwa semua koefisien signifikan. Ini menunjukkan bahwa model GARCH (1,1) memang layak digunakan . Interpretasi yang dihasilkan dapat dijabarkan, sebagai berikut: -

Jika kedua variabel independen (inflasi, dan suku bunga deposito) bernilai rendah sekali, maka jumlah deposito akan berubah sebesar 6,518 triliun rupiah.

-

Kenaikan 1 persen pada inflasi akan menyebabkan penurunan pada jumlah deposito sebesar 0,342 triliun dengan asumsi faktor yang lain konstan.

-

Kenaikan 1 persen pada suku bunga deposito akan menyebabkan kenaikan pada jumlah deposito sebesar 13,793 triliun dengan asumsi faktor yang lain konstan. Dari model yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa variabel inflasi

memiliki hubungan yang negatif dengan jumlah deposito. Artinya, kenaikan tingkat inflasi akan menjadi faktor penghambat bagi tumbuhnya dana deposito masyarakat.

60

Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian-penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan jumlah deposito berjangka. Kecilnya pengaruh inflasi terhadap deposito yang tertangkap didalam model disebabkan oleh cepatnya antisipasi suku bunga dalam menyikapi naiknya inflasi. Berdasarkan data empiris yang ada, kenaikan inflasi langsung diimbangi dengan kenaikan pada suku bunga yang menyebabkan deposito tidak mengalami penurunan yang berarti. Selain itu, penelitian sebelumnya (Tuti, 2006) , juga menghasilkan angka koefisien yang relatif kecil, yakni -1,29 untuk variabel inflasi. Artinya variabel inflasi secara relatif memiliki pengaruh yang kecil terhadap jumlah deposito berjangka yang terhimpun. Variabel suku bunga deposito memiliki koefisien yang cukup besar, yakni 13,793, yang artinya kenaikan suku bunga deposito akan direspon oleh masyarakat dengan meningkatkan simpanan depositonya dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jika dilihat secara persentase, nilai tersebut juga relatif kecil, yakni berkisar 0,65 persen, artinya kenaikan satu persen pada suku bunga akan berimbas pada kenaikan jumlah deposito sebesar 0,65 persen. Hal tersebut merupakan fenomena yang umum terjadi, khususnya di negara-negara berkembang yang tingkat pendapatan masyarakatnya masih relatif rendah. Dimana kenaikan atau penurunan suku bunga deposito tidak mempengaruhi keputusan masyarakat berpendapatan rendah untuk menabung dalam bentuk deposito.

61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan sebelumnya baik analisis deskriptif maupun analisis inferensia dapat diambil kesimpulan: 1.

Jumlah deposito bulanan selama periode penelitian mengalami fluktuasi namun

secara

umum mengalami kenaikan. Inflasi berfluktuasi namun

secara umum tetap stabil. Suku bunga deposito selama periode penelitian mengalami fluktuasi. 2.

Perkembangan jumlah deposito secara simultan dipengaruhi oleh tingkat inflasi, dan suku bunga deposito. Tingkat inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah deposito sedangkan suku bunga deposito berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah deposito.

3.

Perubahan dalam jumlah deposito dapat dijelaskan oleh inflasi, kurs dan suku bunga deposito sebesar 31,25 persen. Kecilnya variabel moneter di atas dalam mempengaruhi jumlah deposito karena banyak informasi dan faktor-faktor lain yang juga dijadikan bahan pertimbangan oleh para investor dalam menanamkan investasinya di deposito.

62

5.2 Saran 1. Dalam rangka meningkatkan minat masyarakat untuk berinvestasi dalam bentuk deposito, pemerintah dalam hal ini otoritas moneter, lebih jeli menangkap keinginan pasar, terutama dalam hal penetapan BI rate. 2.

Diharapkan ada penelitian lain dengan metode berbeda dengan tujuan memperkuat dan memperjelas hubungan antara faktor-faktor yang dipakai dalam penelitian ini seperti kausalitas atau metode persamaan simultan.

63

DAFTAR PUSTAKA Ajija, S. R., D. Wulansari, R. H. Setianto, dan M. R. Primanthi. 2010. Cara Cerdas Menguasai Eviews. Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Bank Indonesia. 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Januari 2004. BI, Jakarta. . 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Februari 2004. BI, Jakarta. . 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Maret 2004. BI, Jakarta. . 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi April 2004. BI, Jakarta. . 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Mei 2004. BI, Jakarta. . 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Juni 2004. BI, Jakarta. . 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Juli 2004. BI, Jakarta. . 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Agustus 2004. BI, Jakarta. . 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi September 2004. BI, Jakarta. . 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Oktober 2004. BI, Jakarta. . 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi November 2004. BI, Jakarta. . 2004. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Desember 2004. BI, Jakarta. . 2005. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Januari 2005. BI, Jakarta. . 2005. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Februari 2005. BI, Jakarta. . 2005. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Maret 2005. BI, Jakarta. . 2005. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi April 2005. BI, Jakarta. . 2005. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Mei 2005. BI, Jakarta.

64

. 2005. Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Edisi Juni 2005. BI, Jakarta. . 2005. Laporan Kebijakan Moneter Triwulan II 2005. Edisi Juli 2005. BI, Jakarta. . 2005. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Agustus 2005. BI, Jakarta. . 2005. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi September 2005. BI, Jakarta. . 2005. Laporan Kebijakan Moneter Triwulan III 2005. Edisi Oktober 2005. BI, Jakarta. . 2005. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi November 2005. BI, Jakarta. . 2005. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Desember 2005. BI, Jakarta. . 2006. Laporan Kebijakan Moneter Triwulan IV 2005. Edisi Januari 2005. BI, Jakarta. . 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Februari 2006. BI, Jakarta. . 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Maret 2006. BI, Jakarta. . 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi April 2006. BI, Jakarta. . 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juni 2006. BI, Jakarta. . 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juli 2006. BI, Jakarta. . 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Agustus 2006. BI, Jakarta. . 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi September 2006. BI, Jakarta. . 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Oktober 2006. BI, Jakarta. . 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi November 2006. BI, Jakarta. . 2006. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Desember 2006. BI, Jakarta. . 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Januari 2007. BI, Jakarta. . 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Februari 2007. BI, Jakarta. . 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Maret 2007. BI, Jakarta. . 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi April 2007. BI, Jakarta. . 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Mei 2007. BI, Jakarta. . 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juni 2007. BI, Jakarta. . 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juli 2007. BI, Jakarta. . 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Agustus 2007. BI, Jakarta. . 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi September 2007. BI, Jakarta. . 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Oktober 2007. BI, Jakarta. . 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi November 2007. BI, Jakarta. . 2007. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Desember 2007. BI, Jakarta.

65

. 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Januari 2008. BI, Jakarta. . 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Februari 2008. BI, Jakarta. . 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Maret 2008. BI, Jakarta. . 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi April 2008. BI, Jakarta. . 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Mei 2008. BI, Jakarta. . 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juni 2008. BI, Jakarta. . 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juli 2008. BI, Jakarta. . 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Agustus 2008. BI, Jakarta. . 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi September 2008. BI, Jakarta. . 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Oktober 2008. BI, Jakarta. . 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi November 2008. BI, Jakarta. . 2008. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Desember 2008. BI, Jakarta. . 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Januari 2009. BI, Jakarta. . 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Februari 2009. BI, Jakarta. . 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Maret 2009. BI, Jakarta. . 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi April 2009. BI, Jakarta. . 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Mei 2009. BI, Jakarta. . 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juni 2009. BI, Jakarta. . 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juli 2009. BI, Jakarta. . 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Agustus 2009. BI, Jakarta. . 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi September 2009. BI, Jakarta. . 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Oktober 2009. BI, Jakarta. . 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi November 2009. BI, Jakarta. . 2009. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Desember 2009. BI, Jakarta. . 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Januari 2010. BI, Jakarta. . 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Februari 2010. BI, Jakarta. . 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Maret 2010. BI, Jakarta. . 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi April 2010. BI, Jakarta. . 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Mei 2010. BI, Jakarta. . 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juni 2010. BI, Jakarta. . 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Juli 2010. BI, Jakarta. . 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Agustus 2010. BI, Jakarta.

66

. 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi September 2010. BI, Jakarta. . 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Oktober 2010. BI, Jakarta. . 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi November 2010. BI, Jakarta. . 2010. Tinjauan Kebijakan Moneter. Edisi Desember 2010. BI, Jakarta. . 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Januari 2004. BI, Jakarta. . 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Februari 2004. BI, Jakarta. . 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Maret 2004. BI, Jakarta. . 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi April 2004. BI, Jakarta. . 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Mei 2004. BI, Jakarta. . 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Juni 2004. BI, Jakarta. . 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Juli 2004. BI, Jakarta. . 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Agustus 2004. BI, Jakarta. . 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi September 2004. BI, Jakarta. . 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Oktober 2004. BI, Jakarta. . 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi November 2004. BI, Jakarta. . 2004. Data Perbankan Indonesia. Edisi Desember 2004. BI, Jakarta. . 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.2. BI, Jakarta. . 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.3. BI, Jakarta. . 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.4. BI, Jakarta. . 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.5. BI, Jakarta. . 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.6. BI, Jakarta. . 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.7. BI, Jakarta. . 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.8. BI, Jakarta. . 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.9. BI, Jakarta. . 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.10. BI, Jakarta. . 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.11. BI, Jakarta. . 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 4 No.12. BI, Jakarta. . 2006. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 5 No.1. BI, Jakarta. . 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.2. BI, Jakarta. . 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.3. BI, Jakarta. . 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.6. BI, Jakarta. . 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.5. BI, Jakarta.

67

. 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.6 . BI, Jakarta. . 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.7. BI, Jakarta. . 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.8. BI, Jakarta. . 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.9. BI, Jakarta. . 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.10. BI, Jakarta. . 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.11. BI, Jakarta. . 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 6 No.12. BI, Jakarta. . 2008. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 7 No.1. BI, Jakarta. . 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.2. BI, Jakarta. . 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.3. BI, Jakarta. . 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.4. BI, Jakarta. . 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.5. BI, Jakarta. . 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.6. BI, Jakarta. . 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.7. BI, Jakarta. . 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.8. BI, Jakarta. . 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.9. BI, Jakarta. . 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.10. BI, Jakarta. . 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.11. BI, Jakarta. . 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 8 No.12. BI, Jakarta. . 2010. Statistik Perbankan Indonesia. Vol 9 No.1. BI, Jakarta. BPS. 2005. Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2004. BPS, Jakarta. .2006. Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2005. BPS, Jakarta. .2007. Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2006. BPS, Jakarta. .2008. Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2007. BPS, Jakarta. .2009. Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2008. BPS, Jakarta. .2010. Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2009. BPS, Jakarta. .2011. Indikator Ekonomi Indonesia Tahun 2010. BPS, Jakarta. Blanchard, O. 2006. Macroeconomis (4th edition). Pearson Prentice Hall, Massachusetts. Cohen, B. C. dan G. C. Kaufman. 1963 ”Factors Determining Bank Deposit Growth by State: An Empirical Analysis”. Journal of Finance XVIII, 319:59. Dornbusch, R., S. Fischer., dan R. Startz. 2008. Makroekonomi. Roy Indra Mirazudin [Penerjemah]. PT. Media Global Edukasi, Jakarta.

68

Finger, H. dan H. Hesse. 2009. “Lebanon-Determinants of Commercial Bank Deposits in Regional Financial Center”. IMF Working Paper, WP/09/195. Firdaus, M. 2011. Aplikasi Ekonometrika: Untuk regresi data panel dan time series. IPB Press, Bogor. Gujarati D. 1995. Basic Econometric. McGraw-Hill, New York. Mankiw, N.G. 2007. Makroekonomi. Edisi keenam. Fitria Liza dan Imam Nurmawan (penerjemah). Erlangga, Jakarta. Marbun, R. P. M. 2005. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka pada Bank Pemerintah di Sumatera Utara [Skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Sumatera Utara, Medan. Mishkin, F. 2004. The Economics of Money Banking and Financial Market. Pearson-Addison Wesley, New York. Nachrowi, D. N dan H. Usman. 2007. ”Prediksi IHSG dengan Model GARCH dan ARIMA”. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol VII No.2, 2007. Nurhayati, S.F. 2002. Analisis Permintaan Deposito Dalam Valuta Asing pada Bank Swasta Nasional di Indonesia Tahun 1985-2001 [Skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang. Setiawan dan Kusrini. 2010. Ekonometrika. Andi, Yogyakarta. Setyaningsih, W. 1999. Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Deposito Berjangka Rupiah Sesudah Deregulasi Perbankan 1 Jui 1983 di Indonesia Kurun Waktu 1984 – 1999 [Skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang. Supranto J. 1995. Ekonometrik buku II. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Tambunan, T.T.H. 1998. Perekonomian Indonesia : Beberapa Isu Penting. Ghalia Indonesia, Jakarta. Tuti. 2006. Analisis Permintaan Deposito Berjangka Dalam Negeri Pada Bank Umum di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Winarno, W. W. 2009. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews. UPP STIM YKPN, Yogyakarta.

69

Lampiran 1. Jumlah Deposito, Suku Bunga Deposito, dan Inflasi di Indonesia Tahun 2004 - 2010 Periode Jan-04 Feb-04 Mar-04 Apr-04 Mei-04 Jun-04 Jul-04 Agust-04 Sep-04 Okt-04 Nop-04 Des-04 Jan-05 Feb-05 Mar-05 Apr-05 Mei-05 Jun-05 Jul-05 Agust-05 Sep-05 Okt-05 Nop-05 Des-05 Jan-06 Feb-06 Mar-06 Apr-06 Mei-06 Jun-06 Jul-06 Agust-06 Sep-06 Okt-06 Nop-06 Des-06 Jan-07 Feb-07 Mar-07 Apr-07 Mei-07

sbdepo 6.27 5.99 5.86 5.86 6.16 6.23 6.26 6.28 6.31 6.33 6.36 6.43 6.43 6.46 6.50 6.58 6.58 6.98 7.22 7.55 9.16 10.43 11.46 11.98 12.01 11.85 11.77 11.70 11.63 11.55 11.09 10.80 10.47 10.01 9.50 8.96 8.64 8.43 8.13 7.93 7.59

Inflasi 0.57 -0.02 0.36 0.97 0.88 0.48 0.39 0.09 0.02 0.56 0.89 1.04 1.43 -0.17 1.91 0.34 0.21 0.50 0.78 0.55 0.69 8.70 1.31 -0.04 1.36 0.58 0.03 0.05 0.37 0.45 0.45 0.33 0.38 0.86 0.34 1.21 1.04 0.62 0.24 -0.16 0.10

depo 426.424 409.204 401.686 404.474 404.702 408.047 403.844 407.518 410.933 408.356 404.422 420.990 418.081 412.795 421.661 442.611 445.686 453.798 467.591 478.542 518.808 529.109 539.590 565.033 563.081 572.068 577.540 585.355 587.987 591.642 582.875 588.041 600.316 608.703 617.959 615.163 615.740 615.445 626.199 623.045 624.715

70 Jun-07 Jul-07 Agust-07 Sep-07 Okt-07 Nop-07 Des-07 Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08 Mei-08 Jun-08 Jul-08 Agust-08 Sep-08 Okt-08 Nop-08 Des-08 Jan-09 Feb-09 Mar-09 Apr-09 Mei-09 Jun-09 Jul-09 Agust-09 Sep-09 Okt-09 Nop-09 Des-09 Jan-10 Feb-10 Mar-10 Apr-10 Mei-10 Jun-10 Jul-10 Agust-10 Sep-10 Okt-10 Nop-10 Des-10

7.46 7.26 7.16 7.13 7.16 7.18 7.19 7.07 6.95 6.88 6.86 6.98 7.19 7.51 8.04 9.26 10.14 10.40 10.75 10.52 9.88 9.42 9.04 8.77 8.52 8.31 7.94 7.43 7.38 7.16 6.87 7.09 6.93 6.77 6.89 6.76 6.79 6.79 6.75 6.72 6.81 6.78 6.83

0.23 0.72 0.75 0.80 0.79 0.18 1.10 1.77 0.65 0.95 0.57 1.41 2.46 1.37 0.51 0.97 0.45 0.12 -0.04 -0.07 0.21 0.22 -0.31 0.04 0.11 0.45 0.56 1.05 0.19 -0.03 0.33 0.84 0.30 -0.14 0.15 0.29 0.97 1.57 0.76 0.44 0.06 0.60 0.92

628.419 638.504 640.215 643.443 648.295 654.392 666.708 662.906 670.817 658.537 669.778 672.747 687.118 676.388 691.928 747.664 777.772 796.218 824.704 833.833 858.952 856.741 842.068 854.020 862.101 854.112 860.994 860.663 876.333 878.046 899.783 898.781 906.446 934.929 937.837 950.703 963.069 956.185 963.176 986.243 1016.381 1026.006 1069.811

71

Lampiran 2. Uji Akar Unit pada Level Null Hypothesis: DEPO has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-1.442937 -4.072415 -3.464865 -3.158974

0.8409

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(DEPO) Method: Least Squares Date: 11/08/11 Time: 15:29 Sample (adjusted): 2004M02 2010M12 Included observations: 83 after adjustments Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

DEPO(-1) C @TREND(2004M01)

-0.057915 21.31993 0.586264

0.040137 13.96278 0.308924

-1.442937 1.526912 1.897761

0.1529 0.1307 0.0613

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.103058 0.080635 12.09324 11699.71 -323.1338 4.595984 0.012899

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

7.751651 12.61242 7.858645 7.946073 7.893769 1.546953

72

Null Hypothesis: INFLASI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-7.775854 -3.511262 -2.896779 -2.585626

0.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INFLASI) Method: Least Squares Date: 11/11/11 Time: 00:10 Sample (adjusted): 2004M02 2010M12 Included observations: 83 after adjustments Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

INFLASI(-1) C

-0.855151 0.571296

0.109975 0.134275

-7.775854 4.254665

0.0000 0.0001

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.427416 0.420347 1.027150 85.45798 -118.9830 60.46390 0.000000

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

0.004217 1.349117 2.915254 2.973539 2.938670 1.978853

73

Null Hypothesis: SBDEPO has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-3.030197 -4.073859 -3.465548 -3.159372

0.1305

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SBDEPO) Method: Least Squares Date: 11/08/11 Time: 15:37 Sample (adjusted): 2004M03 2010M12 Included observations: 82 after adjustments Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

SBDEPO(-1) D(SBDEPO(-1)) C @TREND(2004M01)

-0.044797 0.778430 0.403732 -0.000858

0.014784 0.069130 0.130965 0.001128

-3.030197 11.26040 3.082752 -0.760829

0.0033 0.0000 0.0028 0.4491

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.638715 0.624819 0.238360 4.431593 3.283409 45.96534 0.000000

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

0.010244 0.389146 0.017478 0.134879 0.064613 2.031718

74

Lampiran 3. Uji Akar Unit pada Pembeda ke-1 (1st Difference)

Null Hypothesis: D(DEPO) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-7.352281 -4.073859 -3.465548 -3.159372

0.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(DEPO,2) Method: Least Squares Date: 11/08/11 Time: 15:38 Sample (adjusted): 2004M03 2010M12 Included observations: 82 after adjustments Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

D(DEPO(-1)) C @TREND(2004M01)

-0.837485 2.148593 0.111042

0.113908 2.730202 0.057554

-7.352281 0.786972 1.929357

0.0000 0.4337 0.0573

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.406408 0.391381 11.97919 11336.57 -318.4448 27.04406 0.000000

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

0.744207 15.35517 7.840118 7.928169 7.875469 1.971244

75

Null Hypothesis: D(INFLASI) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-11.13578 -4.075340 -3.466248 -3.159780

0.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INFLASI,2) Method: Least Squares Date: 11/11/11 Time: 00:12 Sample (adjusted): 2004M04 2010M12 Included observations: 81 after adjustments Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

D(INFLASI(-1)) D(INFLASI(-1),2) C @TREND(2004M01)

-1.949582 0.397027 0.038987 -0.000706

0.175074 0.104713 0.272722 0.005572

-11.13578 3.791565 0.142955 -0.126642

0.0000 0.0003 0.8867 0.8996

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.745024 0.735089 1.172277 105.8159 -125.7577 74.99621 0.000000

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

-0.000741 2.277616 3.203895 3.322139 3.251336 2.132722

76

Null Hypothesis: D(SBDEPO) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)

Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-3.268472 -3.512290 -2.897223 -2.585861

0.0196

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SBDEPO,2) Method: Least Squares Date: 11/08/11 Time: 15:41 Sample (adjusted): 2004M03 2010M12 Included observations: 82 after adjustments Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

D(SBDEPO(-1)) C

-0.232269 0.005469

0.071064 0.027579

-3.268472 0.198299

0.0016 0.8433

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.117805 0.106778 0.249711 4.988434 -1.569478 10.68291 0.001595

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

0.004024 0.264215 0.087060 0.145761 0.110628 1.869884

77

Lampiran 4. Pengujian OLS dan Heteroskedastisitas Dependent Variable: D(DEPO) Method: Least Squares Date: 11/23/11 Time: 14:06 Sample (adjusted): 2004M02 2010M12 Included observations: 83 after adjustments Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C D(INFLASI) D(SBDEPO)

7.649817 -0.390901 15.33747

1.235561 0.921778 3.204495

6.191373 -0.424073 4.786234

0.0000 0.6727 0.0000

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.223128 0.203706 11.25474 10133.53 -317.1696 11.48851 0.000041

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

7.751651 12.61242 7.714930 7.802358 7.750054 1.704304

Dari tampilan tersebut terlihat bahwa koefisien INFLASI tidak signifikan (probabilitasnya > 0,05). Maka dilakukan uji Homoskedastisitas residunya. H0 Ha

: Residu bersifat homoskedastis : Residu tidak bersifat homoskedastis

Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS

9.054622 30.84972 14.86725

Prob. F(5,78) Prob. Chi-Square(5) Prob. Chi-Square(5)

0.0000 0.0000 0.0109

Karena probabilitas Obs*R-squared = 0,000 (lebih kecil dari α = 0,05), maka H0 ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa data bersifat heteroskedastis. Karena pada teknik OLS belum dapat dipakai sebagai model yang baik untuk memprediksi Jumlah Deposito (DEPO), maka akan dipergunakan GARCH (1,1).

78

Lampiran 5. Pengujian ARCH Effect Pengujian ARCH Effect Heteroskedasticity Test: ARCH F-statistic Obs*R-squared

73.93918 39.60878

Prob. F(1,81) Prob. Chi-Square(1)

0.0000 0.0000

Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 11/08/11 Time: 22:33 Sample (adjusted): 2004M02 2010M12 Included observations: 83 after adjustments Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C RESID^2(-1)

693.0690 0.690822

333.0592 0.080339

2.080918 8.598790

0.0406 0.0000

R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

0.477214 0.470760 2491.778 5.03E+08 -765.8821 73.93918 0.000000

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

2327.330 3425.178 18.50318 18.56147 18.52660 2.090181

H0 : Tidak ada efek ARCH sampai ordo ke-q pada residual H1 : Ada efek ARCH sampai ordo ke-q pada residual Jika Obs*R-squared Prob < 0,05, H0 ditolak Kesimpulan : H0 ditolak, artinya ada efek ARCH pada α=5%

79

Lampiran 6. Model Estimasi GARCH (1,1)

Dependent Variable: D(DEPO) Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution Date: 11/22/11 Time: 18:19 Sample (adjusted): 2004M02 2010M12 Included observations: 83 after adjustments Convergence achieved after 21 iterations Bollerslev-Wooldridge robust standard errors & covariance Presample variance: backcast (parameter = 0.7) GARCH = C(4) + C(5)*RESID(-1)^2 + C(6)*GARCH(-1) Variable

Coefficient

Std. Error

z-Statistic

Prob.

C D(INFLASI) D(SBDEPO)

6.518249 -0.341740 13.79308

0.932959 0.945467 3.892986

6.986638 -1.361450 3.543059

0.0000 0.0178 0.0004

0.701245 1.400002 4.977251

0.4832 0.1615 0.0000

Variance Equation C RESID(-1)^2 GARCH(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)

6.829418 0.224023 0.759790 0.312563 0.261431 11.54963 10271.33 -313.8171 4.157131 0.000140

9.738990 0.160016 0.152653

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat

7.751651 12.61242 7.706436 7.881292 7.776684 1.687408

Estimation Command: ========================= ARCH(H,Z,BACKCAST=0.7,DERIV=AA) D(DEPO) C D(INFLASI) D(SBDEPO) Estimation Equation: ========================= D(DEPO) = C(1) + C(2)*D(INFLASI) + C(3)*D(SBDEPO) GARCH = C(4) + C(5)*RESID(-1)^2 + C(6)*GARCH(-1) Substituted Coefficients: ========================= D(DEPO) = 6.51824881949 - 0.341739559907*D(INFLASI) + 13.7930808742*D(SBDEPO) GARCH = 6.82941797708 + 0.224023452596*RESID(-1)^2 + 0.759789929479*GARCH(-1)

Dari tampilan diatas, terlihat bahwa seluruh variabel penjelas (independen) nilai probabilitasnya lebih kecil dari α 0,05. Artinya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jumlah deposito.

80

Lampiran 7. Korelogram Date: 11/08/11 Time: 21:46 Sample: 2004M02 2010M12 Included observations: 83

Korelogram menunjukan nilai probabilitas yang lebih besar dari 0,05, dan nilai statistik Q yang tidak signifikan pada α=5%. Berarti seluruh variabel sudah tidak mengandung autokorelasi.

81

Lampiran 8. Pengujian Normalitas dan Multikolinieritas Uji Normalitas 12

Series: Standardized Residuals Sample 2004M02 2010M12 Observations 83

10

8

6

4

2

Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis

0.068401 -0.013004 2.734114 -2.455945 1.001369 0.241666 3.383630

Jarque-Bera Probability

1.316874 0.517660

0 -2

-1

0

1

2

Ho : Error term terdistribusi normal H1 : Error term tidak terdistribusi normal Jika p-value < α , H0 ditolak. Oleh karena p-value = 0,51766 > 0,05, maka H0 diterima Kesimpulannya adalah dengan tingkat kepercayaan 95%, dapat dikatakan bahwa error term terdistribusi normal.

Uji Multikolinieritas CORRELATION

INFLASI SBDEPO

INFLASI

SBDEPO

1.000000 0.041683

0.041683 1.000000

82

Lampiran 9. Grafik Data Empiris dan Model Estimasi

Grafik data empiris perkembangan D(DEPO) D(DEPO) dlm Triliun Rupiah 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 -10.00

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76 79 82

Data series ke-i

-20.00 -30.00

Grafik estimator persamaan D(DEPO) = 6,5182 - 0,3417*D( INFLASI) + 13,7931*D(SBDEPO)

D(DEPO) dlm Triliun Rupiah 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76 79 82

-5.00

Data series ke-i