PENGARUH TINGKAT STRES TERHADAP KADAR GULA DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT ANUTAPURA PALU
PROPOSAL
NI MADE AYU HERLINA N 201 13 101
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KSEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2017
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DAFTAR ISI .................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... v DAFTAR ARTI SIMBOL/SINGKATAN ........................................ ...............vi BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 7 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 7 1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Masalah Penyakit Diabetes mellitus (DM) .... 9 2.2 Tinjauan Atas Variabel yang Diteliti .......................................... 16 2.3 Kerangka Teori............................................................................ 35 BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti ..................................... 38 3.2 Kerangka Konsep ........................................................................ 38 3.3 Definisi Oprasional dan Kriteria Objektif ................................... 39 3.4 Hipotesis Penelitian..................................................................... 42 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian......................................................................... 43 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 43 4.3 Populasi dan Sampel ................................................................... 35 4.4 Pengumpulan Data ...................................................................... 37
4.5 Analisis Data ............................................................................... 46 4.6 Penyajian Data ............................................................................ 46
DAFTAR TABEL Judul Tabel Tabel 2.1 Tabel Sintesa Penelitian ............................................................... 42
DAFTAR GAMBAR Judul Gambar Gambar 2.1 Kerangka Teori ....................................................................... 35 Gambar 3.1 Kerangka Konsep ................................................................... 38
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Kuesioner
Lampiran 2
Jadwal Penelitian
Lampiran 3
Persetujuan menjadi Responden Penelitian
DAFTAR ARTI SIMBOL dan SINGKATAN Simbol/Singkatan
Arti Simbol/Singkatan
≥
Lebih dari sama dengan
CAT
Katalase
CMV
Citomegalo Virus
DASS 42
Depression Anxienty Stress Scale 42
DM
Diabetes Melitus
GPx
Glutathione Peroxidase
ICA
Islet Cell Antibody
IDF
International Diabetes Federation
MDA
Malondialdehida
SOD
Superoxide Dismutase
TTGO
Tes Toleransi Glukosa Oral
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang dihasilkan dari cacat dalam sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. kekurangan insulin pada
gilirannya
menyebabkan
hiperglikemia
kronik
dengan
gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. DM sebagai penyakit tidak menular memiliki kepentingan kesehatan masyarakat dan prevalensinya meningkat pesat di seluruh dunia pada tingkat yang mengkhawatirkan (Megerssa, 2013). World Health Organization (WHO) pada Maret 2013, Angka kejadian diabetes mellitus di dunia mencapai 347 juta orang, diperkirakan 3,4 juta orang meninggal akibat penyakit ini dan lebih dari 80% kematian diabetes terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. WHO memprediksikan bahwa diabetes akan menjadi penyebab utama kematian ke-7 di Dunia pada tahun 2030 (Ludiana, 2017). Diabetes menyerang sekitar 246 juta orang diseluruh dunia 6% dari populasi dewasa. Sekitar 90% dari penyakit ini merupakan Diabetes Melitus tipe 2. Diabetes sudah dianggap sebagai suatu epidemik dan pada tahun 2025, diperkirakan sekitar 380 juta orang atau 7,3% dari populasi dewasa di dunia akan terserang penyakit
ini.
International Diabetes Federation
(IDF)
2013
mencantumkan bahwa perkiraan penduduk Indonesia diatas 20-79 tahun sebesar 7,6 juta jiwa dan asumsi prevalensi Diabetes melitus sebesar 5,14% (Susanti.E,
2013). Penderita Diabetes Mellitus di Indonesia masuk dalam urutan ketujuh negara dengan penderita diabetes terbanyak. Posisi pertama adalah Cina dengan 92,3 juta penderita, India sebanyak 63 juta jiwa, Amerika Serikat 24,1 juta jiwa, Brasil 13,4 juta jiwa, Rusia 12,7 juta jiwa, Meksiko 10,6 juta jiwa, dan Indonesia dengan jumlah penderita diabetes sebanyak 7,6 juta orang (Ludiana, 2017). Terdapat 347 juta orang menderita diabetes yang 80% hidup di negaranegara berpenghasilan rendah dan menengah. Peningkatan terbesar (92%) telah diproyeksikan untuk negara-negara dalam kelompok penghasilan terendah. Proyek-proyek Organisasi Kesehatan Dunia bahwa diabetes akan menjadi 7 penyebab kematian terkemuka di tahun 2030 (Coronel et al, 2015). Terdapat sekitar 16 juta kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosa 600.000 kasus baru. Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetic (Price, 2014). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur 3,3 persen. Prevalensi hipertiroid tertinggi di Yogyakarta dan DKI Jakarta (masing-masing 0,7%), Jawa Timur (0,6%), dan Jawa Barat (0,5%) (Riskesda, 2013).
Tujuh puluh lima persen penderita diabetes meninggal karena penyakit vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal dan stroke adalah komplikasi yang paling utama. Selain itu, kematian fetus intrauterus pada ibu-ibu yang menderita diabetes yang tidak terkontrol juga meningkat. Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihat berakibat pada biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan, selain konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vascular (Price, 2014). Jumlah kasus diabetes melitus meningkat pada tahun 2015 dibandingkan tahun 2014 yaitu 16.330 kasus pada tahun 2014 meningkat menjadi 16.456. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kasus lama yaitu 9.660 tahun 2014 menjadi 10.851 tahun 2015 (Dinkes Kota Palu, 2015). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Anutapura kota Palu pada tahun 2016 dengan melihat data Rekam medis, terdapat 3481 kasus penderita DM pada periode bulan Januari-Desember. Hal ini menunjukan bahwa penyakit Diabetes Melitus masih menjadi salah satu masalah kesakitan dan kematian,
maka dari itu masalah kejadian penyakit Diabetes
Melitus perlu mendapatkan perhatian dan penanganan yang baik mengingat prevalensi yang cukup tinggi (Unit Rekam Medis Anutapura palu, 2016). Mortalitas akibat DM pada pria relatif lebih rendah dibandingkan mortalitas pada pasien wanita. Wanita dengan diabetes memiliki kontrol kadar gula darah, tekanan darah dan kolesterol darah yang lebih buruk daripada
penderita DM pria. Oleh karena itu, risiko komplikasi hingga kematian akibat DM pada wanita lebih tinggi dari pada pria (Harista et al, 2015). Stress adalah respon tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan tubuh yang terganggu, suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat di hindari, setiap orang mengalaminya, Stress dapat memberi dampak secara total pada individu yaitu terhadap fisik, psikologis, intelektual, sosial dan spiritual, stress dapat mengancam keseimbangan fisiologis. (Derek et al, 2017). Penyandang diabetes melitus yang berada dalam keadaan stres sering pula menjadi kurang memprioritaskan kesehatan dan pengendalian diabetes yang harus dijalankannya dan menyebabkan kontrol glikemik menjadi buruk. Kondisi hiperglikemia ini berdampak buruk terhadap luaran klinis karena dapat menyebabkan gangguan fungsi imun, lebih rentan terkena infeksi, perburukan sistem kardiovaskular, trombosis, peningkatan inflamasi, disfungsi endotel dan kerusakan otak (Subiyanto, 2013). Stress dan Diabetes Melitus memiliki hubungan yang sangat erat terutama pada penduduk perkotaan. Tekanan kehidupan dan gaya hidup tidak sehat sangat berpengaruh, ditambah dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat dan berbagai penyakit yang sedang di derita menyebabkan penurunan kondisi seseorang sehingga memicu terjadinya stress (Septian, 2010). Depresi adalah gangguan mental yang umum, ditandai oleh kesedihan, kehilangan minat atau kesenangan perasaan bersalah atau rendah diri, terganggu
tidur atau nafsu makan, perasaan lelah dan konsentrasi yang buruk. Ini bisa berlangsung lama atau berulang, sangat mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi di tempat kerja atau sekolah, atau mengatasi kehidupan seharihari (Tan et al. 2015). Depresi pada penderita Diabetes akan mempengaruhi pengobatan dan sulitnya mengubah pola hidup. Hal ini dikarenakan pasien Diabetes yang mengalami depresi akan cenderung mengalami kesedihan, tubuh menjadi lemah, berkurangnya nafsu makan dan minat dalam segala hal. Akibatnya akan mengalami kemajuan pengobatan yang lambat. Dalam hal ini, penderita Diabetes Melitus yang memiliki kepribadian tertutup cenderung lebih mudah mengalami depresi. Hal ini dikarenakan pasien tersebut menyimpan masalah dan kesedihannya sendiri. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut maka akan memicu depresi. Di samping itu, seseorang dengan ciri kepribadian yang cenderung dependen akan lebih mudah mengalami depresi.
Hal ini dikarenakan pasien
selalu bergantung kepada orang lain dan kesulitan melakukan aktvitas bila dilakukan sendiri. Dengan demikian kegiatan proses pengobatan sendiri. Selain itu ia akan kesulitan memotivasi dirinya untuk sembuh (Bintang L.S & Laksana L.H 2017). Kecemasan merupakan sebuah emosi dan pengalaman subjektif dari seseorang. Pengertian lain cemas adalah suatu keadaan yang membuat seseorang tidak nyaman dan terbagi dalam beberapa tingkatan. Jadi, cemas berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya (Ludiana, 2017),
Penelitian yang dilakukan sebelumnya tentang Pengaruh Kecemasan Terhadap Kadar Glukosa Darah Pada Penderita Diabetes Melitus di Wilayah Puskesmas Banyuanyar Surakarta menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara kecemasan terhadap kadar glukosa darah pada penderita Diabetes Melitus (Murdiningsih et al, 2013). Dari uraian dan data tersebut diatas menunjukkan adanya peningkatan jumlah penderita Diabetes Melitus baik secara global, nasional maupun di daerah khususnya di Rumah Sakit Umum Anutapura palu dari tahun ketahun, maka yang menjadi alasan peneliti untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Umum Anutapura palu karena Rumah Sakit Umum Anutapura Palu merupakan rumah sakit daerah yang memiliki pasien penderi diabetes melitus tertinggi setiap tahunnya oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh tingkat Stres, Kecemasan dan Depresi terhadap Kadar Gula Darah pada penderita Diabetes Melitus di RSU Anutapura Palu.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka peneliti merumuskan masalah “Apakah ada pengaruh antara tingkat Stress, kecemasan dan Depresi terhadap kadar gula darah pada penderita Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan umum Untuk mengetahui hubungan tingkat Stress, Kecemasan dan Depresi terhadap kadar gula darah pada penderita Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu.
1.3.2
Tujuan khusus a. Untuk mengetahui pengaruh tingkat Stres terhadap kadar gula darah pada pasien Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. b. Untuk mengetahui pengaruh tingkat Kecemasan terhadap kadar gula darah pada penderita Diabetes melitus di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. c. Untuk mengetahui pengaruh tingkat Depresi terhadap kadar gula darah pada penderita Diabetes melitus di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu.
1.4 Manfaat 1.4.1
Manfaat Institusi Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada intitusi pemerintah dalam hal ini rumah sakit untuk selalu meningkatkan pelayanan kesehatan guna mengurangi atau mencegah dan merawat masyarakat yang mengalami Diabetes Melitus.
1.4.2
Manfaat Praktisi Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan referensi bagi para tenaga kesehatan dalam meningkatkan pengetahuan tentang penyakit Diabetes Melitus.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tinjauan Tentang Masalah Penyakit Diabetes mellitus (DM) 2.1.1
Definisi Diabetes Melitus Diabetes mellitus merupakan penyakit gangguan metabolisme kronis yang ditandai peningkatan glukosa darah (Hiperglikemia), disebabkan karena ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan insulin. Insulin dalam tubuh dibutuhkan untuk memfasilitasi masuknya glukosa dalam sel agar dapat digunakan untuk metabolisme dan pertumbuhan sel. Berkurang atau tidak adanya insulin menjadikan glukosa tertahan di dalam darah dan kekurangan glukosa yang sangat dibutuhkan dalam kelangsungan dan fungsi sel (Ludiana, 2017). Kelebihan gula yang kronis di dalam darah (hiperglikemia) ini justru menjadi racun bagi tubuh. Sebagai glukosa yang tertahan di dalam darah itu melimpah ke sistem urine untuk dibuang melalui urine atau air kencing. Karena itu, air kencing penderita Diabetes Melitus benar-benar manis sehingga sering menarik bagi semut. Bermula dari itulah istilah kencing manis diberikan bagi penderita Diabetes melitus (Irianto, 2014). Penderita Diabetes mellitus tipe 2 semakin lama semakin bertambah karena pola hidup yang tidak sehat. Banyak penderita diabetes mellitus yang belum menyadari bahwa mereka mengalami Diabetes
melitus
sehingga
penderita
tersebut
terlambat
untuk
mengendalikan kadar gula darah mereka dan akhirnya mereka mengalami komplikasi atau bahkan mereka menyadari bahwa mereka mengalami diabetes namun mereka menganggap bahwa diabetes melitus penyakit yang bisa langsung sembuh dalam satu kali pemeriksaan. Apabila hal tersebut tidak segera ditangani maka akan timbul komplikasi Diabetes melitus (Alfiah, 2014). Komplikas-komplikasi Diabetes Melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasikomplikasi vaskuler jangka panjang (Price, 2014). Menurut Irianto (2014), menyatakan bahwa Komplikasi akut yang sering terjadi yaitu: 1. Hipoglikemia, yaitu keadaan penurunan kadar glukosa darah dengan gejala berupa gelisah, tekanan darah turun, lapar, mual, lemah, lesu, keringat dingin, gangguan menghitung sederhana, bibir dan tangan gemetar, sampai terjadi koma. Kondisi ini harus segera diatasi, dengan diberi gula murni, minum sirup, permen atau makanan yang mengandung karbohidrat seperti roti. 2. Hiperglikemia, yaitu keadaan kelebihan gula darah yang biasanya disebabkan oleh makan secara berlebihan, stress emosional, penghentian obat DM secara mendadak. penurunan kesadaran serta kekurangan cairan.
Gejalanya berupa
3. Ketoasidosis diabetik, yaitu keadaan peningkatan senyawa keton yang bersifat asam dalam darah yang berasal dari asam lemak bebas hasil dari pemecahan sel-sel lemak jaringan. Komplikasi kronis vaskuler dan non vaskuler adalah sebagai berikut: 1. Rasa tebal, pada lidah 2. Gangguan pendengaran, Rasa berdenging pada telinga 3. Gangguan saraf, berupa rasa tebal pada kaki, kesemutan dan krampada betis. 4. Gangguan pembuluh darah 5. Gangguan seksual 6. Kelainan kulit, bekas luka berwarna merah 2.1.2
Diagnosis Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal (Fatimah, 2015).
Menurut Sutedjo, (2010) adapun Kriteria pengendalian DM yaitu kadar gula darah pada keadaan 2 jam setelah makan yaitu 80-144 (baik), 145-179 (sedang) dan ≥180 (buruk). 2.1.3
Klasifikasi Ada dua jenis utama diabetes, insulin-dependent (tipe 1) diabetes dan non insulin dependent (tipe 2) diabetes. Meskipun sebutan mereka, klasifikasi ini tidak semata-mata tergantung pada kebutuhan insulin eksogen karena kadang-kadang juga diperlukan oleh pasien diabetes tipe 2 (Bonds et al, 2016). Menurut American Diabetes Association (2010) dalam Ndraha (2014), menyatakan bahwa Klasifikasi etiologis DM dibagi dalam 4 jenis yaitu: 1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus/IDDM DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein cpeptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis. 2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Melitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena
terjadi resistensi
insulin
yang
merupakan turunnya
kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahanlahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi. 3. Diabetes Melitus Tipe Lain DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain. 4. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan. Penderita DM tipe 2 harus mengalami banyak perubahan dalam hidupnya, mulai dari olah raga, kontrol gula darah, minum obat, dan pembatasan diet yang harus dilakukan secara rutin sepanjang hidupnya. Perubahan hidup yang mendadak membuat penderita DM menunjukkan beberapa reaksi psikologis yang negatif seperti marah, merasa tidak berguna, kecemasan yang meningkat, dan stress (Sholihatul, 2013). 2.1.4
Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 1 dan Tipe 2 Diabetes melitus tipe 1 terjadi karena gangguan produksi insulin akibat kerusakan sel β pankreas. Patofisiologinya yakni adanya reaksi autoimun akibat peradangan pada sel β. Hal ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel β yang disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel β) dengan antibodi ICA yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel β. Selain karena autoimun, diabetes tipe 1 juga bisa disebabkan virus cocksakie, rubella, Citomegalo Virus (CMV), herpes dan lain-lain. Pada penderita diabetes
tipe 1 umumnya terdiagnosa pada usia muda. Diabetes tipe 2 terjadi oleh karena kerusakan molekul insulin atau gangguan reseptor insulin yang mengakibatkan kegagalan fungsi insulin untuk mengubah glukosa menjadi energi. Pada dasarnya diabetes tipe 2 jumlah insulin dalam tubuh adalah normal bahkan jumlahnya bisa meningkat, namun karena jumlah reseptor insulin pada permukaan sel berkurang menyebabkan glukosa yang masuk kedalam sel lebih sedikit. Hal tersebut akan terjadi kekurangan jumlah glukosa dan kadar glukosa menjadi tinggi didalam pembuluh darah (Ermawati, 2012). 2.1.5
Pencegahan Upaya untuk mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Dalam pengelolaan
pasien DM, sejak awal sudah harus
diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Menghilangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya DM. Oleh karena sangat penting dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat menjaga badan agar tidak terlalu gemuk dan risiko merokok bagi kesehatan (Fatimah, 2015).
2.2 Tinjauan Atas Variabel yang Diteliti 2.2.1
Kadar Gula Darah Gula darah adalah gula yang terdapat dalam darah yang terbentuk dari karbohidrat dalam darah yang terbentuk dari karbohidrat dalam makanan dan disimpan sebagai glikogen di hati dan otot rangka.. Di dalam darah kita didapati zat gula. Gula ini gunanya untuk dibakar agar mendapatkan kalori atau energi. Sebagian gula yang ada dalam darah adalah hasil penyerapan dari usus dan sebagian lagi dari hasil pemecahan simpanan energi dalam jaringan. Gula yang ada di usus bisa berasal dari gula yang kita makan atau bisa juga hasil pemecahan zat tepung yang kita makan dari nasi, ubi, jagung, kentang, roti, dan lain-lain (Pratiwi et al, 2009). Kadar glukosa darah merupakan faktor yang sangat penting untuk kelancaran kerja tubuh. Karena pengaruh berbagai faktor dan hormon insulin yang dihasilkan kelenjar pankreas, sehingga hati dapat mengatur kadar glukosa dalam darah (Ekawati E, 2012). Kadar glukosa yang tinggi merangsang pembentukan glikogen dari glukosa, sintesis asam lemak dan kolesterol dari glukosa. Kadar glukosa darah yang tinggi dapat mempercepat pembentukan trigliserida dalam hati. Trigliserida merupakan salah satu bagian komposisi lemak yang ada dalam tubuh. Dimana jika kadar trigliserida dalam batas normal
mempunyai fungsi yang normal dalam tubuh, semisal sebagai sumber energy (Ekawati E, 2012). Stress dapat meningkatkan kandungan glukosa darah karena stress menstimulus organ endokrin
untuk mengeluarkan ephinefrin,
ephinefrin mempunyai efek yang sangat kuat dalam menyebabkan timbulnya proses glikoneogenesis di dalam hati sehingga akan melepaskan sejumlah besar glukosa ke dalam darah dalam beberapa menit (Guyton & Hall, 2007). Glukosa merupakan karbohidrat terpenting yang kebanyakan diserap ke dalam aliran darah sebagai glukosa dan gula lain diubah menjadi glukosa di hati. Glukosa adalah bahan bakar utama dalam jaringan tubuh serta berfungsi untuk menghasilkan energi. Kadar glukosa darah sangat erat kaitannya dengan penyakit DM. Peningkatan kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL yang disertai dengan gejala poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM (Amir et al, 2015). Glukosa darah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor resiko atau faktor pencetus misalnya, adanya infeksi virus, kegemukan, perilaku makan yang salah, obat - obatan, proses menua, stress dan lain - lain. Diet tetap merupakan pengobatan yang utama pada
penatalaksanaan diabetes, terutama pada DM tipe 2. Peran diet dapat mengontrol kadar glukosa darah pasien (Syauqy, 2015).
2.2.2
Stres Stres oksidatif didefinisikan sebagai keadaan ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan yang mendukung oksidan yang berpotensi menyebabkan kerusakan sel. Stres oksidatif pada patogenesis diabetes disarankan, tidak hanya oleh generasi radikal bebas oksigen, tetapi juga karena glikosilasi protein yang tidak enzimatik, perubahan enzim antioksidan. Selain GSH, ada mekanisme pertahanan lainnya melawan radikal bebas seperti enzim Superoxide Dismutase (SOD), Glutathione Peroxidase (GPx) dan Katalase (CAT) yang aktivitasnya berkontribusi untuk menghilangkan superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil (Malam et al, 2016). Stres oksidatif didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara produksi spesies oksigen reaktif (ROS) atau radikal bebas dan pertahanan antioksidan yang dapat menyebabkan cedera jaringan. Pada diabetes, stres oksidatif disebabkan oleh peningkatan pembentukan radikal bebas plasma dan
pengurangan
hiperglikemia
dapat
pertahanan
antioksidan.
meningkatkan
produksi
Hiperinsulinemia radikal
bebas
dan dan
menginduksi stres oksidatif yang juga dapat menyebabkan peningkatan risiko penyakit arteri koroner pada diabetes (Bikkad et al, 2014).
Stres adalah stimulus atau situasi yang menimbulkan distres dan menciptakan tuntutan fisik dan psikis pada seseorang. Stres membutuhkan koping dan adaptasi. Sindrom adaptasi umum atau teori Selye, menggambarkan stres sebagai kerusakan yang terjadi pada tubuh tanpa mempedulikan apakah penyebab stres tersebut positif atau negatif. Respons tubuh dapat diprediksi tanpa memerhatikan stresor atau penyebab tertentu (Isaacs, 2004). Stres merupakan suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap orang. Stres memberikan dampak secara total pada individu seperti dampak: fisik, sosial, intelektual, psikologis dan spiritual (Mardiana & Zelfino, 2014). Menurut
Hawari (2001)
Kondisi stres
seseorang dapat
dikelompokkan menjadi dua macam yaitu: 1. Kondisi eustres (tidak stres): seseorang yang dapat mengatasi stres dan tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh. 2. Kondisi distress (stres): pada saat seseorang menghadapi stres terjadi gangguan pada 1 atau lebih organ tubuh sehingga orang tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Tipe
kepribadian
yang
rentan
terkena
stress
dikelompokkan menjadi beberapa bagian yaitu: 1. Ambisius, agresif dan kompetitif (suka akan persaingan).
dapat
2. Kurang sabar, mudah tegang, mudah tersinggung dan marah (emosional). 3. Kewaspadaan berlebihan, kontrol diri kuat, percaya diri berlebihan (over confidence). 4. Cara bicara cepat, bertindak serba cepat, hiperaktif, tidak dapat diam. 5. Bekerja tidak mengenal waktu (workaholic). 6. Pandai berorganisasi, memimpin dan memerintah (otoriter). 7. Lebih suka bekerja sendirian bila, ada tantangan. 8. Kaku terhadap waktu, tidak dapat tenang (tidak rileks), serba tergesagesa. 9. Mudah bergaul (ramah), pandai menimbulkan perasaan empati dan bila, tidak tercapai maksudnya mudah besikap bermusuhan. 10. Tidak mudah dipengaruh, kaku (tidak fleksibel). 11. Bila berlibur pikirannya ke pekerjaannya, tidak dapat santai. 12. Berusaha keras untuk dapat segala sesuatunya terkendali. Gejala-gejala stres pada diri seseorang seringkali tidak disadari karena, perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat, dan baru dirasakan bilamana tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fiungsi kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di tempat kerja ataupun pergaulan lingkungan sosialnya. Dr. Robert Amberg (1979) dalam penelitiannya terdapat, dalam Hawari (2001) membagi tahapan-tahapan stres sebagai berikut :
1. Stres tahap I Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut. a. Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting). b. Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya. c. Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, namun tanpa disadari cadangan energi semakin menipis. 2. Stres tahap II Dalam tahapan ini dampak stres yang semula menyenangkan sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi yang tidak lagi cukup sepanjang hari, karena, tidak cukup waktu untuk beristirahat. Istirahat yang dimaksud antara, lain dengan tidur yang cukup, bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan energi yang mengalami defisit. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang yang berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut: a. Merasa letih sewaktu bangun pagi yang seharusnya merasa segar. b. Merasa mudah lelah sesudah makan siang. c. Lekas merasa capai menjelang sore hari. d. Sering mengeluh lainbung/penit tidak nyaman (bowel discomfort). e. Detakan jantung lebih kerns dari biasanya (berdebar-debar).
f. Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang; g. Tidak bisa santai. 3. Stres tahap III Apabila
seseorang
tetap
mernaksakan
diri
dalam
pekerjaannya tanpa menghiraukan keluhan-keluhan pada stres tahap II, maka akan menunjukkan keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu, yaitu: a. Gangguan lambung dan usus semakin nyata; misalnya keluhan maag (gastritis), buang air besar tidak teratur (diare). b. Ketegangan otot-otot semakin terasa. c. Perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat. d. Gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar untuk mulai masuk tidur (early insomnia), atau terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur (middle insomnia), atau bangun terlalu pagi atau dini hari dan tidak dapat kembali tidur (Late insomnia). e. Koordinasi tubuh terganggu (badan terasa oyong dan serasa mau pingsan). Pada tahapan ini seseorang sudah harus, atau bisa jugs beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh memperoleh kesempatan untuk beristirahat guns menambah suplai energi yang mengalami defisit. 4. Stres, tahap IV
Gejala stres tahap IV, akan muncul: a. Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit. b. Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit. c. Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespons secara memadai (adekuat) d. Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari. e. Gangguan pola
tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang
menegangkan. f. Seringkali menolak ajakan (negativism) karena tadak ada semangat dan kegairahan. g. Daya konsentrasi dan daya ingat menurun. h. Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya. 5. Stres tahap V Bila keadaan berlanjut, maka seseorang akan jatuh dalam stres tahap V, yang ditandai dengan hal-hal sebagai berikut: a. Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam. (physical dan psychological exhaustion). b. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari¬-hari yang ringan dan sederhana.
c. Gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastro-intestinal disorder). d. Timbul perasaan ketakutan, kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik. 6. Stres tahap VI Tahapan
ini
merupakan,
tahapan
klimaks,
seseorang
mengalami serangan panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang mengalami stres tahap VI ini dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ICCU, meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stres; tahap VI ini adalah sebagai berikut: a. Debaran jantung teramat keras, b. Susah bernapas (sesak dan megap-megap) c. Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran d. Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan e. Pingsan atau kolaps (collapse). Bila dikaji maka keluhan atau gejala sebagaimana digambarkan di atas lebih didominasi oleh keluhan-keluhan fisik yang disebabkan oleh gangguan faal (fungsional) organ tubuh, sebagai akibat stresor psikososial yang melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasinya. Ada Beberapa Reaksi Fisiologis Terhadap Stres adalah sebagai berikut:
Situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatik berespons terhadap impuls saraf dan hipotalamus yaitu : 1. Mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang berada di bawah pengendaliannya. 2. Sebagai contohnya, meningkatkan kecepatan denyut jantung dan mendilatasi pupil. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medulla adrenal. 3. Untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. 4. Sistem korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan CRF, suatu zat kimia yang bekerja pada kelenjar hipofisis yang terletak tepat di bawah hipotalamus. 5. Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan hormon ACTH yang dibawa melalui aliran darah ke korteks adrenal. 6. Dimana, ia menstimulasi pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol yang meregulasi kadar gala darah. 7. ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk melepaskan sekitar 30 hormon. Efek kombinasi berbagai hormon stres yang dibawa melalui aliran darah ditambah aktivitas neural
cabang simpatik dari sistem saraf otonomik berperan dalarn respons fight or flight. Menurut Suzanne & Brenda (2008) dalam Mardiana & Zelfino (2014) Mengatakan bahwa Tingkat Stres dapat di bagi menjadi beberapa bagian yaitu: 1. Stres Ringan Pada fase ini seseorang mengalami peningkatan kesadaran dan lapang persepsinya. 2. Stres Sedang Fase ini ditandai dengan kewaspadaan dalam batas toleransi dan mampu mengatasi situasi yang dapat mempengaruhi dirinya. 3. Stres berat Menurut Wiebe & Williams (1992) dalam Mardiana & Zelfino (2014) menyatakan bahwa Stress kronis terjadi beberapa minggu sampai tahun. Semakin sering dan lama situasi stress, semakin tinggi resiko kesehatan yang ditimbulkan. Respon stres manusia berasal dari reaksi tubuh terhadap rangsangan fisik, biotik dan atau sosial budaya yang mengakibatkan perlu menilai activity adaptif. Stres kontemporer Penelitian berasal dari Hans Selye, yang diakui stres yang memiliki efek baik adaptif dan merusak dan diusulkan untuk mengukur stres dengan hormon yang mempertahankan atau mengganggu homeostasis fisiologis. Stres
termasuk baik internal (Ketegangan saraf) dan faktor eksternal (menular) dan bisa menyebabkan kedua spesifik (mempengaruhi sistem tubuh tertentu) dan non-spesifik (seluruh tubuh) responses. Stres bisa buruk (distress) yang dapat menyebabkan kelelahan dan sakit atau baik (eustress) yang menyediakan tingkat yang sehat dari ketegangan (Ely et al, 2011). Stres yang terjadi pada penderita Diabetes Mellitus dapat meningkatkan
kadar
gula
darah
melalui
penigkatan
stimulus
simpatodermal. Stres juga dapat meningkatkan selera makan dan membuat penderita sangat lapar, khusunya pada makanan yang kaya akan karbohidrat dan lemak, sehingga stres dapat menjadi musuh yang paling berbahaya bagi penderita Diabetes Mellitus karena dapat menyebabkan gula darah menjadi tidak terkontrol (Zainuddin et al, 2015). Stres yang tinggi dapat memicu kadar gula darah dalam tubuh yang semakin meningkat sehingga semakin tinggi stres yang di alami oleh penderita diabetes melitus maka diabetes melitus yang di derita akan semakin tambah buruk (Derek et al, 2017). Stres sangat berpengaruh terhadap penyakit Diabetes Melitus karena hal itu akan berpengaruh terhadap pengendalian dan tingkat kadar glukosa darah. Situasi yang menimbulkan stres maka respon stres dapat berupa peningkatan hormone adrenalin yang akhirnya dapat
mengubah cadangan glikogen dalam hati menjadi glukosa. Kadar glukosa darah yang tinggi secara terus menerus dapat menyebabkan komplikasi Diabetes Melitus, sedangkan komplikasi akut yang paling berbahaya pada pasien Diabetes Melitus adalah terjadinya hipoglikemia (kadar gula darah sangat rendah), karena dapat mengakibatkan koma (tidak sadar) bahkan kematian bila tidak cepat ditolong (Sukarja et al, 2014). Stress menyebabkan produksi berlebih pada kortisol, yang berfungsi melawan efek insulin dan menyebabkan kadar glukosa darah tinggi, jika seorang mengalami stress berat yang dihasilkan dalam tubuhnya maka kortisol yang dihasilkan akan semakin banyak dan dapat mengurangi sensifitas tubuh terhadap insulin. Kortisol merupakan penghambat dari fungsi insulin sehingga membuat glukosa lebih sulit untuk memasuki sel dan meningkatkan glukosa darah (Pratiwi et al, 2009). Stres secara psikologis maupun fisik memberikan dampak negatif terhadap pengendalian diabetes karena peningkatan hormon “stres” akan meningkatkan kadar glukosa darah, khususnya bila asupan makanan dan pemberian insulin yang tidak terkontrol. Disamping itu, pada saat terjadi stres psikologis, penderita diabetes dapat mengubah pola makan, latihan dan penggunaan obat yang biasanya dipatuhi menjadi diabaikan oleh penderita. Keadaan ini akan menimbulkan
hiperglikemia atau bahkan hipoglikemia. Sehingga apabila penderita diabetes mellitus mengalami stres, maka akan berpengaruh terhadap kadar gula darahnya. Semakin tinggi tingkat stres yang dialami penderita diabetes mellitus maka semakin tinggi pula kenaikan kadar gula darahnya (Irfan & Wibowo, 2015). Ada hubungan yang baik antara diabetes, depresi, kegelisahan dan stres dan bukti menunjukkan bahwa penyakit kronis biasanya memiliki gangguan kesehatan mental yang tidak disadari. Meskipun depresi, kegelisahan, ketegangan dan stres paling sering tidak terdiagnosis atau meremehkan di kalangan pasien DM (Bener et al, 2017). Stres dapat dicegah ataupun dikurangi melalui pengelolaan yang baik. Menurut teori Self care dari Orem, Self care defisit merupakan bagian penting dalam perawatan secara umum di mana segala perencanaan keperawatan diberikan pada saat perawatan dibutuhkan. (Sholihatul, 2013). Menurut Lovibond & Lovibond (1995) dalam Iswanto (2014) menyatakan bahwa tingkatan stres dapat diukur dengan menggunakan Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42). DASS adalah seperangkat skala subyektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres.
2.2.3
Kecemasan Kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respons autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu), perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi yang berbahaya. Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman (Nanda, 2010). Kecemasan adalah keadaan individu atau kelompok yang mengalami perasaan gelisah dan aktifasi sistem saraf autonom dalam berespons terhadap suatu ancaman (Carpenito & Lynda J, 2006). Banyak hal yang harus dicemaskan misalnya, kesehatan kita, relasi sosial, ujian, karier, relasi internasional dan kondisi lingkungan adalah beberapa hal yang dapat menjadi sumber kekhawatiran (Murdiningsih et al, 2013). Menurut Carpenito & Lynda J ( 2006), menyatakan bahwa Gejala-gejala Kecemasan Secara fisiologis dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu Peningkatan frekuensi jantung, Peningkatan tekanan darah, Peningkatan frekuensi pernafasan, Gelisah, Gemetar, Berdebar-debar, Sering berkemih, Insomnia, Keletihan dan kelemahan, Pucat atau kemerahan, Mulut kering, mual dan muntah, Sakit dan nyeri tubuh, Pusing / mau pingsan, Ruam panas atau dingin dan Anoreksia. Dampak kecemasan terhadap sistem saraf sebagai neuro transmitter terjadi peningkatan sekresi kelenjar norepinefrin, sero tonin,
dan gama aminobuyric acid sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan yang pertama yaitu fisik (fisiologis), antara lain perubahan denyut jantung, suhu tubuh, pernafasan, mual, muntah, diare, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, berat badan menurun ekstrim, kelelahan yang luar biasa, yang kedua gejala gangguan tingkah laku, antara lain aktivitas psikomotorik bertambah atau berkurang, sikap menolak, berbicara kasar, sukar tidur, gerakan yang aneh-aneh dan gejala gangguan mental, antara lain kurang konsentrasi, pikiran meloncat-loncat, kehilangan kemampuan persepsi, kehilangan ingatan, phobia, ilusi dan halusinasi (Murdiningsih et al, 2013). Kecemasan juga dapat menyebabkan peningkatan hormon glukokortikoid
(kortisol),
ketokolamin
(epinefrin)
dan
hormon
pertumbuhan. Kecemasan melibatkan perasaan, perilaku dan respon fisiologis. Respon fisiologis terhadap cemas dapat mempengaruhi aksi hipotalamus hipofisis, sehingga dapat mempengaruhi fungsi endokrin seperti meningkatnya kadar kortisol yang ternyata memberikan dampak antagonis
terhadap
fungsi
insulin,
serta
dapat
merangsang
glukoneogenesis dan menghambat penyerapan glukosa sehingga akan terjadi peningkatan glukosa darah (Ludiana, 2017). Menurut Ernawati & Nasution Mahnum L (2010) menyatakan bahwa tingkat kecemasan dapat digolongkan dalam empat tingkat, yaitu :
a. Kecemasan ringan, pada kecemasan ringan ini ketegangan yang dialami sehari-hari dan menyebabkan pasien menjadi waspada dan lapangan persepsi meningkat. Pada tingkat kecemasan ringan ini dapat motivasi dan menghasilkan kreativitas. b. Kecemasan sedang, Gejala fisik yang timbul pada kecemasan sedang berupa sering mengalami nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, diare, konstipasi, dan gejala psikologis yang timbul seperti persepsi menyempit, tidak mampu menerima rangsangan, berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya, gerakan tersentak, meremasi tangan, bicara banyak dan cepat, insomnia, perasaan tak aman dan gelisah. c. Kecemasan berat yang timbul berupa nafas pendek, tekanan darah dan nadi naik, berkeringat, sakit kepala, penglihatan kabur dan ketegangan, sedangan gejala psikologis yang timbul lapangan persepsi sangat sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah, perasaan terancam, verbalisasi cepat. Penyakit diabetes melitus dipersepsikan sebagai ancaman dalam kehidupan karena kebutuhan untuk bertahan yang tidak terpenuhi. d. Panik pada tahap ini lapangan persepsi sudah terganggu, sehingga individu tidak mampu mengendalikan diri dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi tuntunan. Manifestasi fisiologis yang muncul berupa : nafas pendek, rasa tercekik, palpitasi dan sakit dada,
pucat, hipertensi dan kordinasi motorik rendah. Manifestasi kognitif berupa lapangan pandang persepsi menyempit dan tidak berfikir logis. Sedangkan manifestasi perilaku dan emosi yang muncul adalah mengamuk, marah, ketakutan, berteriak, dan kehilangan kendali Kecemasan yang terjadi pada penderita diabetes mellitus merupakan salah satu faktor yang dapat memicu pelepasan hormon epineprin dan noradrenalin. Hormone epinefrin dan norepinefrin memiliki peranan penting dalam peningkatan kadar glukosa dalam darah. Epinefrin, juga dikenal sebagai adrenalin, bekerja sebagai neurotransmitter. Transfer sinyal antara neuron dan sel-sel tubuh diatur oleh epinefrin. Adrenalin dilepaskan oleh kelenjar adrenal selama situasi stres yang ekstrim atau kegembiraan. Norepinefrin dilepaskan oleh neuron noradrenergik dan bertindak sebagai neurotransmitter dalam sistem saraf pusat dan simpatik. Peningkatan kadar norepinefrin berhubungan dengan kecemasan, stres, tekanan darah tinggi dan hiperaktif. Pelepasan adrenalin dan noradrenalin meningkatkan denyut jantung dan pernapasan. Hal ini menyebabkan penghambatan ekskresi insulin sehingga menyebabkan peningkatan kadar glukosa dan asam lemak dalam darah (Ludiana 2017). 2.2.4
Depresi Depresi adalah gangguan mental yang umum yang muncul dengan suasana hati yang tertekan, kehilangan minat atau kesenangan, penurunan energi, perasaan bersalah atau harga diri rendah, gangguan
tidur atau nafsu makan, dan konsentrasi yang buruk. Apalagi depresi sering disertai gejala kegelisahan (Based et al, 2017). Depresi pada penderita Diabetes akan mempengaruhi pengobatan dan sulitnya mengubah pola hidup. Hal ini dikarenakan pasien Diabetes yang mengalami depresi akan cenderung mengalami kesedihan, tubuh menjadi lemah, berkurangnya nafsu makan dan minat dalam segala hal. Akibatnya akan mengalami kemajuan pengobatan yang lambat. Dalam hal ini, penderita Diabetes Melitus yang memiliki kepribadian tertutup cenderung lebih mudah mengalami depresi. Hal ini dikarenakan pasien tersebut menyimpan masalah dan kesedihannya sendiri. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut maka akan memicu depresi (Bintang L & Hidajat L, 2017). Depresi pada penderita DM akan memicu hormon dalam tubuh terutama hormon kortisol, sementara hormone kortisol mempunyai efek meningkatkan gula darah, sehingga kadar gula darah penderita akan meningkat, peningkatan gula darah yang fluktuatif akan menyebabkan penderita DM mengalami putus asa terhadap pengobatan. Kondisi ini jika tidak diketahui secara dini dapat menurunkan kepatuhan terhadap pengobatan DM (Andika et al, 2014).
2.3 Kerangka teori
Diabetes Melitus
Stres
- Meningkatkan Asupan Makanan - Produksi berlebih pada kortisol
Insulin Tidak Terkontrol
Kecemasan
Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
Depresi
Memicu Hormon Kortisol
Denyut jantung dan Pernapasan
Kadar Gula Darah Meningkat
Sumber: Zainuddin et al (2015), Pratiwi et al (2009), Sukarja et al (2014), Irfan & Wibowo (2015), Ludiana (2017), Andika et al (2014).
Tabel 2.1 Sintesa Penelitian No
1
Peneliti (Tahun)
2
3
Mochamad Irfan, Heri Wibowo (2015)
Hubungan Tingkat Stres dengan Kadar Gula Darah Pada Penderita DM Dipuskesmas Peterongan Kabupaten Jombang
2.
Meivy I. Derek Julia V. Rottie Vandri Kallo (2017)
Hubungan Tingkat Stres Dengan Kadar Gula Darah Pada Pasien DM Tipe II Di Rumah Sakit Pancaran Kasih Gmim Manado
3.
I made Sukarja, I Wayan Sukawana, Oka Suyasa
Stres berpengaruh terhadap Gula Darah pasien yang mengalami kegawatan DM
1.
Karakteristi k
Judul Subjek
Instrumen
4
5
Populasi penderita (DM) sebanyak 224 orang.
sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti
Semua penderita DM dengan 32
Kuesioner
Temuan Metode/D esain 6
Metode deskriptif Analitik
7 Peningkatan hormon “stres” akan meningkatkan kadar glukosa darah, bila asupan makanan dan pemberian insulin tidak terkontrol. Pada saat terjadi stres penderita diabetes dapat mengubah pola makan dan penggunaan obat yang biasanya dipatuhi menjadi diabaikan oleh penderita. Keadaan ini akan menimbulkan hiperglikemia atau bahkan hipoglikemia. Sehingga apabila penderita DM mengalami stres, maka akan berpengaruh terhadap kadar gula darahnya
kuesioner
Observasi onal Analitik
Peningkatan hormon stres diproduksi dapat menyebabkan kadar gula darah menjadi meningkat. Pengaruh stres terhadap peningkatan kadar gula darah terkait dengan sistem neuroendokrin yaitu melalui jalur Hipotalamus-Pituitary-Adrenal
Psychometri c Properties of the Depression
deskriptif observasio nal, mengguna
Terdapat hubungan yang signifikan antara stres dengan kadar gula darah sewaktu pada pasien yang mengalami kegawatan DM. Situasi yang menimbulkan stres dapat berupa
(2014)
responden
4.
Abdulbari Bener, Mustafa Ozturk and Erol Yildirim (2017)
Association between Depression, Anxiety and Stress Symptoms and Glycemic Control in DM Patients
Pasien diabetes periode Februari 2016Januari 2017
5.
Mahendra D. Bikkad, Sachin D. Somwanshi, Sandeep H. Ghuge, N. S. Nagane (2014)
Oxidative Stress in Type II Diabetes Mellitus
Jumlah subjek sebanyak 80
6.
Prakash P. Malam, Anand J. Amin, Ashish C. Zala1, Vipul M. Navadiya, Dhruv Patel, Dharna A. Patel
Study of Oxidative Stress Parameters In Type-Ii DM and their Correlation with Blood Glucose Level
Anxiety Stress Scale 42 dan tes gula
kan studi cross sectional.
kuesioner
Desain penelitian crosssectional
kuesioner
Desain penelitian crosssectional
30 penderita DM tipe II yang berusia kuesioner antara 4565 tahun.
Desain penelitian crosssectional
peningkatan hormone adrenalin yang dapat mengubah cadangan glikogen dalam hati menjadi glukosa. Kadar glukosa yang tinggi secara terus menerus dapat menyebabkan komplikasi DM. Ada hubungan yang baik antara diabetes, depresi, kegelisahan dan stres, sebab gejala depresi, kecemasan dan stres sangat mempengaruhi kontrol HbA1c glikemik pada pasien DM. Faktanya, gejala kejiwaan tersebut ternyata merupakan faktor risiko independen untuk diabetes Peningkatan kadar lipid secara signifikan pada pasien yg berisiko penyakit arteri koroner. Peningkatan lipid peroksida ini disebabkan oleh meningkatnya pembentukan radikal bebas dan pengurangan pertahanan antioksidan. Hiperglikemia dapat meningkatkan produksi radikal bebas dan menginduksi stres oksidatif yang juga dapat menyebabkan peningkatan risiko penyakit arteri koroner pada diabetes Pembangkitan radikal bebas meningkat secara proporsional dengan kenaikan kadar glukosa darah di atas normal. Temuan ini menunjukkan fakta bahwa tingkat keparahan stres oksidatif sejajar dengan kenaikan glukosa darah pada pasien DM tipe-II.
BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti Variabel yang diteliti adalah variabel independen yaitu tingkat Stres dan Kadar Gula Darah sedangkan variabel dependen yaitu penderita Diabetes Melitus. Kadar gula penderita Diabetes Melitus dapat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti obat diabetes, diet, aktivitas fisik, penyuluhan yang berdampak pada pengetahuan tentang Diabetes Melitus, dan cangkok pankreas. Serta salah satu kebiasaan pemicu terjadinya Diabetes adalah Stress. Sebagai penyakit kronis, Diabetes Melitus sering menimbulkan perasaan tidak berdaya pada diri penderitanya. Stresor akibat penyakit kronis ini merupakan tantangan terhadap kemampuan klien untuk tetap mempertahankan keseimbangan emosi dan kepuasan diri. Gangguan pada keseimbangan ini menyebabkan stres. Stres akan mempercepat seseorang mendapatkan Diabetes Melitus. Diabetes Melitus dapat muncul setelah seseorang sakit atau mengalami pengalaman yang penuh dengan Stres (Irfan & Wibowo, 2015). 3.2 Kerangka Konsep -Tingkat stress -Kecemasan -Depresi
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Kadar Gula Darah
3.3 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif 3.3.1
Kadar Gula Darah 1. Defenisi Oprasional Kadar gula darah pasien jika 80-144 mg/dl (baik), 145-179 mg/dl (sedang) dan ≥180 mg/dl (Buruk) yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan dan dibuktikan dari hasil pemeriksaan laboratorium dengan catatan rekam medic (Sutedjo, 2010). 2. Kriteria Objektif -
Baik
:
Apabila hasil pemeriksaan responden menunjukkan kadar gula darah 80-144 mg/dl seperti yang tercatat dalam rekam medik pasien
-
Sedang :
Apabila hasil pemeriksaan responden menunjukkan kadar gula darah 145-179 mg/dl seperti yang tercatat dalam rekam medik.
-
Buruk
:
Apabila hasil pemeriksaan responden menunjukkan kadar gula darah ≥180 mg/dl seperti yang tercatat dalam rekam medik.
Skala Pengukuran 3.3.2
: Skala Rasio
Stress 1. Definisi Oprasional Stres yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pernah atau tidaknya mengalami stres, sesudah responden mengalami Diabetes
Melitus. Tingkat ini diukur dengan menggunakan Depression Anxienty Stress Scale 42 (DASS 42) terdiri dari 42 item. DASS adalah seperangkat skala subyektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatife dari depresi dari kecemasan dan stress (Iswanto, 2014). 2. Kriteria objektif
3.3.3
Alat Ukur
: Kuesioner
Hasil ukur
: Normal
(0-14),
Stres Ringan
(0-18)
Stres Sedang
(19-25)
Stres Parah
(26-33)
Sangat Parah
(>34)
Kecemasan 1. Definisi Oprasional Kecemasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pernah atau tidaknya mengalami Kecemasan, sesudah responden mengalami Diabetes Melitus. Tingkat kecemasan dikukur dengan menggunakan kuisioner Depression Anxiety And Stress Scale (DASS) yang secara keseluruhan terdiri dari 42 pertanyaan. Kuisioner untuk keadaan emosional kecemasan memiliki 14 pertanyaan. Semua jawaban dijumlahkan dan dikategorikan berdasarkan keparahannya masing-masing (Amelia et al, 2013).
2. Kriteria Objektif
3.3.4
Alat Ukur
: Kuesioner
Hasil Ukur
: Normal
(0-7),
Ringan
(8-9)
Sedang
(10-14)
Parah
(15-19)
Sangat parah
(>20)
Depresi 1. Definisi Oprasional Depresi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pernah atau tidaknya mengalami Depresi, sesudah responden mengalami Diabetes Melitus. Tingkat Depresi dikukur dengan menggunakan kuisioner Depression Anxiety and Stress Scale (DASS) yang secara keseluruhan terdiri dari 42 pertanyaan. Kuesioner untuk keadaan emosional Depresi memiliki 14 pertanyaan. Semua jawaban dijumlahkan dan dikategorikan berdasarkan keparahannya masing-masing (Amelia et al, 2013) 2. Kriteria Objektif Alat Ukur
: Kuesioner
Hasil Ukur
: Normal
(0-9),
Ringan
(10-13)
Sedang
(14-20)
3.4
Parah
(21-27)
Sangat parah
(>28)
Hipotesis penelitian Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara penelitian, patokan, dugaan atau dalil sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2005) hipotesis kerja dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1
Terdapat pengaruh tingkat Stres terhadap peningkatan Kadar Gula Darah pada penderita Diabetes melitus.
2
Terdapat pengaruh tingkat Kecemasan terhadap peningkatan Kadar Gula Darah pada Penderita Diabetes Melitus
3
Terdapat pengaruh tingkat Depresi terhadap peningkatan Kadar Gula Darah pada penderita Diabetes Melitus.
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian Desain penelitian
merupakan rencana
penelitian yang disusun
sedemikian rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Desain penelitian mengacu pada jenis atau macam penelitian yang dapat dipilih untuk mencapai tujuan penelitian, serta berperan sebagai alat dan pedoman untuk mencapai tujuan tersebut. Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang hendak dicapai, maka penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan Analitik. Penelitian ini menyoroti hubungan antara variabel dan menganalisa atau menguji hipotesa yang dirumuskan. Metode yang digunakan adalah metode Observasi Analitik dimana peneliti berusaha menggambarkan kenyataan yang ada tentang suatu keadaan yang di jumpai secara obyektif . 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian akan dilaksanakan di RSUD Anutapura di ruang rawat Jalan pada bulan Desember 2017 4.3 Populasi dan Sampel 4.2.1 Populasi Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita Diabetes
Melitus yang berobat di RSU Anutapura Palu. Jumlah populasi yang berkunjung adalah sebanyak 3481 orang. 4.2.2
Sampel a. Jumlah sampel Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang mewakili suatu populasi. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 110 penderita Diabetes Melitus di RSU Anutapura Palu. Pengambilan sampel dilakukan secara besar sampel dalam penelitian ditentukan dengan menggunakan Rumus Standley Lameshow. Rumus: n=
𝑁 Ζ2 𝑝(1−𝑝) 𝑑2 (𝑁−1)+Ζ2𝑝(1−𝑝)
Keterangan: n = Perkiraan besar sampel N = Perkiraan besar populasi z = Nilai standar distribusi normal (1,96) p = Perkiraan proporsi kejadian variabel yang diteliti (0,08) d = Tingkat ketelitian yang digunakan (0,5) peny: n=
𝑁 Ζ2 𝑝(1−𝑝) 𝑑2 (𝑁−1)+Ζ2𝑝(1−𝑝) (3481) (1,96)2 (0,08) (1−0,08)
n = (0,5)2 (3481−1) + (1,96)2 0.08 (1−0,08)
(3481) (3,84) (0,08) (0,92)
n = 0,0025 (3480) + (3,84) 0,08 (0,92) n=
983,814
8,7+ 0,282
=
983,814 8,982
= = 110 Responden
b. Metode Pengambilan Sampel Teknik sampling yang digunakan adalah accidental sampling dimana penentuan sampel, berdasarkan kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel (Lusiana, 2015). 4.4 Pengumpulan Data Ada 2 jenis pengumpulan data yaitu: 4.4.1
Data Primer Data primer dalam penelitian ini yaitu berupa data yang pengumpulannya diperoleh melalui wawancara langsung dengan respond enmenggunakan kuesioner terstruktur. Kuesioner
berupa pertanyaan
tertulis yang digunakan untuk memperoleh data atau informasi terkait variabel yang diteliti. 4.4.2
Data sekunder Selain mengumpulkan data primer peneliti juga melaksanakan pengumpulan data sekunder yang meliputi antara lain: data awal dari Rumah Sakit Umum Anutapura Palu.
4.5 Analisis Data Pengolahan data di lakukan dengan menggunakan bantuan komputerisasi. Sedangkan analisis data menggunakan statistik inferensial sebagai berikut: a. Analisis Univariat Analisis Univariat digunakan untuk mengetahui distribusi dan persentase dari tiap variabel bebas (Stress, Kecemasan dan Depresi) dengan variabel terikat (Kadar Gula Darah). b. Analisis Bivari Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel dependen dan independen. Setelah data diolah kemudian dianalisa dengan menggunakan bantuan komputer. Analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan dependen dengan menggunakan beberapa uji yaitu: 1. Uji Korelasi Analisis Korelasi bertujuan untuk mengukur kekuatan asosiasi (hubungan) linear antara dua variabel. Korelasi tidak menunjukkan hubungan fungsional atau dengan kata lain analisis korelasi tidak membedakan antara variabel dependen dengan variabel independen. Uji korelasi bertujuan untuk mengetahui arah dan kekuatan hubungan antara variabel numerik dan numerik. Untuk mengetahui korelasi pada uji parametrik digunakan Koefisien Korelasi Pearson (r), dengan rumus sebagai berikut:
Dimana:
n = Banyaknya sampel X = Variabel independen Y = Variabel dependen Nilai “r” berkisar antara 0.0 yang berarti tidak ada kolerasi,
sampai dengan 1.0 yang berarti adanya korelasi yang sempurna. Semakin kecil nilai “r” semakin lemah korelasi, sebaliknya semakin besar nilai “r” semakin kuat kolerasi. Berikut pembagian kekuatan korelasi menurut colton: r = 0,00-0,25 tidakada hubungan/hubungan lemah r = 0,26-0,50 hubungan sedang r = 0,51-0,75 hubungan kuat r = 0,76-1,00 hubungan sangat kuat/sempurna 2. Uji regresi linear Model regresi linear sederhana adalah model probabilitas yang menyatakan hubungan linear antara dua variabel dimana salah satu Y= a + b (X) variabel dianggap memengaruhi variabel yang lain. Variabel yang memengaruhi dinamakan variabel independen dan variabel yang dipengaruhi dinamakan variabel dependen. Adapun Model regresi linear sederhana adalah sebagai berikut
Dimana: a = Konstanta b = Koefisien Regresi Y = Variabel dependen (Variabel tak bebas) X = Variabel Independen (Variabel bebas) Untuk mencari rumus a dan b dapat digunakan metode Least Square sbb:
b=
𝑛 ∑𝑋𝑌−∑𝑋.∑𝑌
a=
𝑛∑𝑋2 −(∑𝑋)2
∑𝑌−𝑏 ∑𝑋 𝑛
3. Uji Anova Anova (analysis of varian) digunakan untuk menguji perbedaan mean (rata-rata) data lebih dari dua kelompok. Uji Anova iniakansama dengan uji t dalam menentukan apakah ada relasi antar variabel bebas dan terikat dalam suatu analisis regresi linear sederhana. Namun uji Anova memiliki memiliki kelebihan dibanding dengan uji t karena uji Anova dapat digunakan pula dalam analisis regresi majemuk (Harinaldi, 2005). Uji
Anova
pada
prinsipnya
adalah
melakukan
analisis
variabilitas data menjadi dua sumber variasi yaitu variasi didalam kelompok (within) dan variasi antar kelompok (between). Bila variasi within dan between sama (nilai perbandingan kedua varian mendekati angka satu), maka berarti tidak ada perbedaan efek dari intervensi yang dilakukan, dengan kata lain nilai mean yang dibandingkan tidak ada perbedaan. Sebaliknya bila variasi antar kelompok lebih besar dari variasi didalam kelompok, artinya intervensi tersebut memberikan efek yang
berbeda dengan kata lain nilai mean yang dibandingkan menunjukkan adanya
perbedaan.
pencarian
nilai
F
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
4.6 Penyajian Data Data yang telah diolah kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan disertai dengan narasi. Penyajian data dalam bentuk tabel dimaksudkan untuk memudahkan dalam melakukan analisis dan interpretasi terhadap data hasil penelitian yang didapatkan dilapangan, sehingga dapat dibuat kesimpulan berdasarkan data yang telah dikumpulkan.
DAFTAR PUSTAKA Alfiah Kusuma Wardani, 2014. Hubungan Dukungan Keluarga dan Pengendalian Kadar Gula Darah dengan Gejala Komplikasi Mikrovaskuler. Jurnal Berkala Epidemiologi, 2(1), pp.1–12. Amelia, J., Polimpung, F. & Pratiwi, R., 2013. Pengaruh Stres , Depresi , dan Kecemasan Terhadap Volume Saliva Pada Mahasiswa Preklinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin. , 2(2089–8134), pp.2–6. Amir, S.M.J., Wungouw, H. & Pangemanan, D., 2015. Kadar Glukosa Darah Sewaktu pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Bahu Kota Manado. Jurnal e-Biomedik, 3(April). Andika, R., 2014. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Depresi Pada Penderita DM TIPE II. Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), VI(2). Based, I., Sectional, C. & Tiki, T., 2017. Journal of Depression and Anxiety Prevalence and Associated Factors of Depression among Type 2 Diabetes Mellitus Patients on Follow up at Ambo General Hospital , Oromia Regional. journal of depression and anxiety, 6(1), pp.1–5. Bener, A., Ozturk, M. & Yildirim, E., 2017. Association between Depression , Anxiety and Stress Symptoms and Glycemic Control in Diabetes Mellitus Patients -. International Journal of Clinical Endocrinology Research, 1(March 2017), pp.1–7. Bikkad, M.D., 2014. Oxidative Stress in Type II Diabetes Mellitus. , 25(1), pp.84–87. Bintang L & Hidajat L, 2017. Faktor yang Berperan Terhadap Depresi,Kecemasa danstres pada penderitaDiabetes Melitus Tipe 2. Ilmiah Psikologi MANASA, 6(1), pp.15–22. Bonds, J.A., 2016. Type 2 Diabetes Mellitus as a Risk Factor for Alzheimer’s Disease. Genes, Environment and Alzheimer’s Disease, 4(2), pp.387–413. Carpenito & Lynda J, 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Jakarta: EGC. Coronel, A., 2015. Diabetes and Clinical Research Prevalence and Risk Factors of Poorly Controlled Diabetes Mellitus in a Clinical Setting in Guayaquil , Ecuador : A Cross-Sectional Study ClinMed. International Journal of Diabetes and Clinical Research, 2(4), pp.1–5. Derek, M.I., Rottie, J. V & Kallo, V., 2017. Darah pada Pasien Diabetes Melitus KASIH GMIM Manado. e-JournalKeperawatan, 5(1), p.2.
Ekawati E, 2012. Hubungan Kadar Glukosa Darah Terhadap Hypertriglyceridemia Pada Penderita Diabetes Mellitus. , pp.978–979. Ely, J.J., Zavaskis, T. & Wilson, S.L., 2011. Diabetes and Stress: An anthropological review for Study of modernizing populations in the US-Mexico border region. Rural and Remote Health, 11(3), pp.1–17. Ermawati, T., 2012. Periodontitis dan diabetes melitus. , 9(3), pp.152–154. Ernawati & Nasution Mahnum L, 2010. Tingkat kecemasan dan beban keluarga pada penderita diabetes melitus. Fatimah, R.N., 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. , 4, pp.93–101. Guyton & Hall, 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran dan Mekanisme Mekanisme Penyakit, Jakarta: EGC. Harinaldi, 2005. Prinsip-prinsip Statistik untuk Teknik dan Sains, Jakarta: Penerbit Erlangga. Harista, R.A., 2015. Depresi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 Depression in Patients with Type 2 Diabetes Mellitus. Majority, 4(9), pp.73–77. Irfan, M. & Wibowo, H., 2015. Hubungan Tingkat Stres dengan Kadar Gula Darah pada Penderita Diabetes Melitus ( DM ) DI Puskesmas Peterongan Kabupaten Jombang ( The Relationship Between Stress Level With Sugar Blood Level At People With Diabetes Mellitus ( Dm ) In Peterongan Clinic Jom. , (DM). Irianto, K., 2014. Epidemiologi Penyakit Menular & Tidak Menular Panduan Klinis, jakarta: Alfabeta. Iswanto, A., 2014. Hubungan Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Tingkat Stres dalam menyusun tugas akhir pada mahasiswa stikes ngudi waluyo ungaran. , pp.1–11. Ludiana, 2017. Hubungan Kecemasan Dengan Kadar Glukosa darah Penderita Diabetes Melitus Di Wilayah Kerja Puskesmas Sumbersari Bantul. Wacana Kesehatan, 1(1). Lusiana, 2015. Buku Ajar Metodologi Penelitian Kebidanan, Yogyakarta. Malam, P.P., 2016. Study of Oxidative Stress Parameters in Type-II Diabetes Mellitus and their Correlation with Blood Glucose Level. journal impact factor, 8(13), pp.31–34. Mardiana, Y. & Zelfino, 2014. Hubungan Antara Tingkat Stres Lansia dan Kejadian
Hipertensi pada Lansia. Forum Ilmiah, 11(2), pp.261–262. Megerssa, Y.C., 2013. Prevalence of Undiagnosed Diabetes Mellitus and its Risk Factors in Selected Institutions at Bishoftu Town, East Shoa, Ethiopia. Diabetes & Metabolism, pp.1–7. Murdiningsih, D.S., Gun, G. & Ghofur, A., 2013. Pengaruhkecemasan Terhadap Kadar Gula Darah Pada Penderita Diabetes Melitus DiWilayah Puskesmas Banyuanyar Surakarta. Talenta Psikologialenta Psikologi, II(2), pp.180–198. Nanda, 2010. Diagnosis Keperawatan, Jakarta: EGC. Ndraha, S., 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini. Medicinus, 27(2), pp.9–16. Pratiwi, P., Amatiria, G. & Yamin, M., 2009. Pengaruh Stres Terhadap kadar Gula Darah Sewaktu pada Pasien Diabetes Melitus yang Menjalani Hemodialisa. , pp.11–16. Price Sylvia A dan Wilson Lorraine M, 2014. Patofisiologi :Konsep Klinik Prosesproses Penyakit, Jakarta. Sholihatul, M., 2013. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8(2), pp.113–120. Subiyanto, P., 2013. Pengaruh Hipnorelaksasi terhadap Penurunan Tingkat Stres dan Kadar Glukosa Darah pada Pasien DM Tipe 2. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, 9(2), pp.163–174. Sukarja, I.M., Sukawana, I.W. & Suyasa, O., 2014. Stres Berpengaruh Terhadap Gula Darah Pasien yang Mengalami Kegawatan Diabetes Melitus. Available at: http://poltekkes-denpasar.ac.id/files/JURNAL GEMA KEPERAWATAN/DESEMBER 2014/ARTIKEL I Made Sukarja dkk,.pdf. Susanti.E, R., 2013. Pengaruh Latihan Pasrah Diri Terhadap Tingkat Stres dan Kadar Gula Darah pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Muhammadiyah Journal of Nursing, 1(1), pp.78– 91. Available at: http://journal.umy.ac.id/index.php/mjn/article/download/646/801. Sutedjo, 2010. 5 Strategi Penderita Diabetes Melitus Berusia Panjang, Yogyakarta. Syauqy, A., 2015. Perbedaan Kadar Glukosa Darah Puasa Pasien Diabetes Melitus Berdasarkan Pengetahuan Gizi , Sikap dan Tindakan di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Islam Jakarta. Jurnal Gizi Indonesia, 3(2), pp.60–67.
Tan, K., 2015. original article Depression , anxiety and stress among patients with diabetes in primary care : A cross-sectional study Authors : , 10(2), pp.9–21. Zainuddin, Utomo, W. & Herlina, 2015. Hubungan Stres dengan Kualitas Hidup Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. JOM, 2(1), pp.890–898.
LAMPIRAN
Kuesioner Nama Responden
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Pekerjaan
:
Pendidikan terakhir
:
Alamat
:
1. Kadar gula darah pasien saat dirawat di RSU Anutapura palu..........mg/dl a. Baik
80-144 mg/dl
b. Sedang
145-179 mg/dl
c. Buruk
≥ 180 mg/dl
2. Stress Depression Anxiety Stress Scales (DASS 42) Keterangan: 0 : Tidak ada atau tidak pernah 1 : Sesuai dengan yang dialami sampai tingkat tertentu, atau kadangkadang 2 : Sering 3 : Sangat sesuai dengan yang dialami, atau hampir setiap saat No
Aspek Penilaian
1
Menjadi marah karena hal-hal kecil/sepele
2.
Mulut terasa kering
0
1
2
3
3.
Tidak dapat melihat hal yang positif dari suatu kejadian
4.
Merasakan gangguan dalam bernapas (napas cepat, sulit bernapas)
5.
Merasa sepertinya tidak kuat lagi untuk melakukan suatu kegiatan
6.
Cenderung bereaksi berlebihan pada situasi
7.
Kelemahan pada anggota tubuh
8.
Kesulitan untuk relaksasi/bersantai
9.
Cemas yang berlebihan dalam suatu situasi namun bisa lega jika hal/situasi itu berakhir
10. Pesimis/Mudah menyerah 11. Mudah merasa kesal 12. Merasa banyak menghabiskan energi karena cemas 13. Merasa sedih dan depresi 14. Tidak sabaran 15. Kelelahan 16.
Kehilangan minat pada banyak hal (misal: makan, ambulasi, sosialisasi)
17. Merasa diri tidak layak 18. Mudah tersinggung 19.
Berkeringat (misal: tangan berkeringat) tanpa stimulasi oleh cuaca maupun latihan fisik
20. Ketakutan tanpa alasan yang jelas 21. Merasa hidup tidak berharga 22. Sulit untuk beristirahat 23. Kesulitan dalam menelan
24. Tidak dapat menikmati hal-hal yang saya lakukan 25
Perubahan kegiatan jantung dan denyut nadi tanpa stimulasi oleh latihan fisik
26
Merasa hilang harapan dan putus asa
27
Mudah marah
28
Mudah panic
29
Kesulitan untuk tenang setelah sesuatu yang mengganggu
30
Takut diri terhambat oleh tugas-tugas yang tidak biasa dilakukan
31
Sulit untuk antusias pada banyak hal
32
Sulit mentoleransi gangguan-gangguan terhadap hal yang sedang dilakukan
33. Berada pada keadaan tegang 34. Merasa tidak berharga 35.
Tidak dapat memaklumi hal apapun yang menghalangi anda untuk menyelesaikan hal yang sedang anda lakukan
36. Ketakutan 37. Tidak ada harapan untuk masa depan 38.
Merasa hidup tidak berarti
39. Mudah gelisah 40.
Khawatir dengan situasi saat diri anda mungkin menjadi panik dan mempermalukan diri sendiri
41. Gemetar 42. Sulit untuk meningkatkan inisiatif dalam melakukan sesuatu
-Skala depresi
: 3, 5, 10, 13, 16, 17, 21, 24, 26, 31,34, 37, 38, 42.-
-Skala kecemasan
: 2, 4, 7, 9, 15, 19, 20, 23, 25, 28, 30,36, 40, 41.-
-Skala stress
: 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39
Tingkat
Depresi
Kecemasan
Stress
Normal
0-9
0-7
0-14
Ringan
10-13
8-9
16-18
Sedang
14-20
10-14
19-25
Parah
21-27
15-19
26-33
Sangat Parah
>28
>20
>34
JADWAL PENELITIAN Judul
: Pengaruh Tingkat Tingkat Stres Terhadap Kadar Gula Darah Pada Penderita Diabetes Melitus Di Rumah Sakit Anutapura Palu
Nama
: Ni Made Ayu Herlina
Stambuk
: N 201 13 101 Ap
No
Kegiatan
ril
IV 1
Penyusunan Proposal
2
Penyusunan Instrumen
3
Ujian Proposal
4
Perbaikan Proposal
5
Pelaksanaan Penelitian
6
Pengumpulan Data
7
Pengolahan dan Tabulasi Data
8
Ujian Hasil Penelitian
9
Perbaikan
10
Pengumpulan Hasil Penelitian
Mei
II
III
September
IV
II
III
IV
Oktober II
III
November I
II
III
Desember IV
I
II
III
Januari IV
I
II
III
Februari IV
I
II
III
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TADULAKO FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Kampus Bumi Tadulako Tondo Jl. Soekarno Hatta KM. 9 Telp (0451) 422611-422355 Fax : (0451)422844 Palu Sulawesi Tengah 94118
PERSETUJUAN SEBAGAI RESPONDEN PENELITIAN Dengan menandatangani lembar ini, saya: Nama
:
Tempat/ tanggal lahir
:
Alamat
:
No Hp
: Meberikan persetujuan untuk mengisi kuesioner yang diberikan peneliti. Saya
mengerti bahwa saya menjadi bagian dari penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui “Pengaruh Tingkat Stres terhadap Kadar Gula darah pada penderita Diabetes melitus di Rumah Sakit Anutapura Palu”. Saya telah diberitahui peneliti bahwa jawaban dalam kuesioner ini bersifat sukarela dan hanya diperlukan untuk keperluan penelitian. Oleh karena itu dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan dari pihak manapun, saya memutuskan untuk bersedia berpartisipasi menjadi responden dalam penelitian.
Palu,
2017
Responden
(................................)