PENGARUH TRANSFORMASI LAHAN PERTANIAN MENJADI

Download kesejahteraan petani yang melakukan transformasi lahan pertanian menjadi ... alih fungsi lahan sawah ke non pertanian (63%) lebih tinggi di...

0 downloads 397 Views 211KB Size
PENGARUH TRANSFORMASI LAHAN PERTANIAN MENJADI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN PETANI DI KECAMATAN BABULU KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Adhi Yudha Bhaskara, Drs. Marhadi Slamet Kistiyanto, M. Si, Ir. Juarti, M. P. Universitas Negeri Malang

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan luas lahan pertanian sebelum dan sesudah transformasi lahan, faktor yang mempengaruhi alasan petani melakukan transformasi lahan, bagaimana karakteristik tingkat kesejahteraan petani yang melakukan transformasi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Babulu. Penelitian ini merupakan penelitian ex post facto dan pengambilan sampel meliputi sampel area yang dilakukan dengan purposive sampling serta didapatkan area penelitian yaitu Desa Gunung Intan, Desa Sebakung Jaya, Desa Babulu Darat dan Desa Labangka. sampel responden secara proporsional random sampling sebanyak 100 KK. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner, observasi, wawancara dan dokumentasi. Sebelumnya dilakukan uji coba instrumen, diukur validitas dan reliabilitasnya. Teknik analisis data menggunakan paired t-test untuk mengetahui perbedaan tingkat kesejahteraan petani sebelum dan sesudah transformasi lahan serta analisis deskriptif untuk mengetahui perubahan luas lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi alasan petani melakukan transformasi lahan. Kata kunci: Transformasi Lahan, Tingkat Kesejahteraan.

Indonesia merupakan negara agraris, sebagian besar penduduk Indonesia berdomisili di daerah pedesaan dan memiliki mata pencaharian disektor pertanian. Sampai saat ini, sektor pertanian merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama dalam sumbangan terhadap PDB, penyedia lapangan kerja, dan penyediaan pangan dalam negeri. Kesadaran terhadap peran tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat masih tetap memelihara kegiatan pertanian mereka. ”Berbagai data menunjukkan bahwa di beberapa negara yang sedang berkembang lebih 75% dari penduduk berada di sektor pertanian dan lebih 50% dari pendapatan nasional dihasilkan dari sektor pertanian serta hampir seluruh ekspornya merupakan bahan pertanian” (Ario, 2010).

Usaha di bidang pertanian terutama tanaman padi seharusnya memberikan pemasukan yang sangat besar, karena komoditi padi merupakan bahan pokok yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Akan tetapi kenyataan yang ada banyak petani mengalami kerugian jika menanam padi karena modal yang dikeluarkan (bibit, pupuk, tenaga kerja) tidak sebanding dengan penghasilan yang didapat. Hal ini berakibat banyak petani yang memilih untuk beralih ke komoditi lain selain padi. Luas areal panen merupakan salah satu determinan utama peningkatan produksi padi nasional di samping tingkat produktifitas tanaman. Pertumbuhan luas areal menjadi masalah yang sangat serius karena bersaing dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, indusrialisasi dan pembanguan infrastruktur publik. Hal ini yang telah mendorong terjadinya konversi lahan pertanian ke non pertanian. Faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi,faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada. Penelitian Syafa’at et al. (2001) pada sentra produksi padi utama di Jawa dan luar Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian adalah : (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat. Sementara penelitian Sumaryanto, Hermanto, dan Pasandaran (dalam Witjaksono, 1996) di Jawa menunjukkan bahwa alih fungsi lahan sawah ke non pertanian (63%) lebih tinggi dibandingkan ke pertanian non sawah (37%). Dari 63 persen tersebut, 33 persen untuk pemukiman, 6 persen untuk industri, 11 persen untuk prasarana dan 13 persen untuk lainnya. Selain faktor ekonomi, faktor sosial juga mempengaruhi koversi lahan. Menurut Witjaksono (1996) ada lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu: perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Konversi lahan pertanian merupakan ancaman yang serius terhadap ketahanan pangan nasional karena dampaknya bersifat permanen. Lahan pertanian yang telah dikonversi ke penggunaan lain di luar pertanian sangat kecil peluangnya untuk berubah kembali menjadi lahan pertanian. Keberadaan lahan pertanian memberikan manfaat yang sangat luas secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Oleh karena itu hilangnya lahan pertanian akibat dikonversi ke perkebunan atau non pertanian dapat menimbulkan dampak negatif terhadap berbagai aspek pembangunan. Salah satu

dampak konversi lahan yang sering mendapat sorotan masyarakat adalah terganggunya ketahanan pangan yang merupakan salah satu tujuan pembangunan nasional (Irawan, 2005). Pembangunan sektor perkebunan di Kalimantan Timur khususnya komoditas tanaman kelapa sawit merupakan suatu bagian integral dari pembangunan nasional, yang bertujuan mewujudkan peningkatan pendapatan petani serta meningkatkan devisa negara, selanjutnya usaha pembangunan perkebunan diarahkan pada pemerataan pembangunan. Pembangunan sektor perkebunan terkait dengan upaya membuka kesempatan kerja, peningkatan ekspor, pemenuhan industri dalam negeri, pertumbuhan pembangunan, dan penciptaan pusat pertumbuhan wilayah ekonomi baru (Devung, 1992:13). Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan timur secara resmi baru berdiri pada tanggal 10 April 2002 berdasarkan Undang-Undang R.I. Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Penajam Paser Utara di Provinsi Kalimantan Timur. Kecamatan Babulu merupakan salah satu dari empat kecamatan yang ada di Kabupaten Penajam Paser Utara. Kecamatan Babulu memiliki luas sekitar 39.945 km2 atau 11,98%. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Penajam Paser Utara, sektor yang dinilai cukup potensial untuk dikembangkan di Kecamatan Babulu adalah sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan sektor andalan dalam membentuk perekonomian di Kecamatan Babulu. Sektor ini memberikan peranan yang sangat besar dalam pembentukan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), kini peranannya semakin berkurang disebabkan karena menyusutnya lahan pertanian. Dalam kurun waktu tahun 2007-2011 terjadi penyusutan lahan sawah 40,42%, penyusutan luas lahan pertanian berbanding terbalik dengan peningkatan luas lahan sektor perkebunan yang meningkat 27,37%. Transformasi lahan ini berdampak pada perubahan tingkat kesejahteraan petani yang melakukan transformasi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit. Adanya perkebunan kelapa sawit yang terdapat di Kecamatan Babulu ternyata mengakibatkan sebagian petani mengalihfungsikan lahan pertanian yang mereka miliki. Dalam penelitian ini diduga ada beberapa alasan petani melakukan alih fungsi lahan, antara lain: kebijaksanaan pemerintah daerah, latar belakang pendidikan, pendapatan rendah, menyempitnya luas areal, biaya produksi,

dan nilai jual. Selain itu, tingkat pendapatan antara petani padi dan petani kelapa sawit di Kecamatan Babulu relatif berbeda. Beralihnya mata pencaharian masyarakat dari yang semula petani padi menjadi petani kelapa sawit merubah pola kehidupan para petani. Salah satu contoh yang ada pada masyarakat petani di kecamatan Babulu yaitu meningkatnya gaya hidup para petani. Data yang diperoleh dari BPS Kabupaten Penajam Paser Utara pada tahun 2011, yaitu: jumlah kepala keluarga mengalami peningkatan dari tahun 2009 sebesar 7.097 KK menjadi 7.312 KK pada tahun 2010 atau bertambah 3,03%. Sedangkan pada tahun 2011 meningkat 3,43%

menjadi 7.563 KK. Peningkatan

jumlah petani tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah keluarga sejahtera (KS), justru sebaliknya mengalami penurunan. Pada Pra KS, pada tahun 2009 berjumlah 1.108 KK mengalami peningkatan pada tahun 2010 menjadi 1.204 KK atau bertambah 8,7% dan meningkat 9,05% pada tahun 2011 menjadi 1.313 KK. Terkait dengan adanya perubahan mata pencaharian dari petani padi menjadi petani kelapa sawit menyebabkan pendapatan masyarakat menjadi ikut berubah, akan tetapi perubahan pendapatan yang diperoleh tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan keluarga petani.

METODE Rancangan penelitian adalah kerangka dasar dalam penelitian agar data yang dikumpulkan secara efisien, efektif dan dapat diolah serta dapat dianalisis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Rancangan penelitian ini dapat digolongkan ke dalam penelitian ex post facto. Dikatakan sebagai penelitian ex post facto karena penelitian ini berusaha memperoleh informasi tentang peristiwa yang telah terjadi dan kemudian merunut ke belakang melalui data tersebut untuk menemukan faktor-faktor yang mendahului/menemukan sebab yang mungkin atas peristiwa yang terjadi (Nazir, 2005:216). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan luas lahan pertanian sebelum dan sesudah transformasi lahan, mengetahui faktor-faktor yang mendorong masyarakat melakukan transformasi lahan dan menganalisa perbedaan tingkat kesejahteraan petani sebelum dan sesudah transformasi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Babulu.

Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitiannya. Pengambilan sampel dalam penelitian ini meliputi sampel area dan sampel responden. Penentuan sampel area dalam penelitian ini dilakukan dengan purposive sampling yaitu dengan tujuan menentukan desa yang mayoritas petaninya melakukan transformasi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit, dari 12 desa yang ada di Kecamatan Babulu dipilih 4 desa yang sesuai dengan karakteristik penelitian. Pengambilan sampel area empat desa yaitu Desa Gunung Intan, Desa Sebakung Jaya, Desa Babulu Darat dan Desa Labangka dikarenakan wilayahnya memiliki jumlah petani yang melakukan transformasi lahan terbanyak. Serta empat desa tersebut memiliki kondisi geografis yang sangat berbeda seperti keterjangkauan Desa Gunung Intan, Desa Sebakung Jaya, Desa Babulu Darat dan Desa Labangka, jarak dengan pusat kecamatan dan pusat kabupaten berbeda. serta sampel responden menggunakan proporsional random sampling, untuk memperoleh sampel yang representatif, pengambilan subyek dari setiap wilayah ditentukan seimbang atau sebanding dengan banyaknya subyek masing-masing wilayah. Pada

setiap kedua desa diambil

sampelnya untuk memenuhi quota 100 orang. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif sehingga analisis data yang digunakan untuk mengolah data dalam penelitian menggunakan metode statistik. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial parametrik. Analisis statistik deskriftif digunakan untuk mendeskripsikan atau memberikan gambaran data dalam bentuk tabel, grafik, dan histogram dari nilai rata-rata agar dengan mudah memperoleh gambaran mengenai sifat (karakteristik) obyek dari data tersebut. Sedangkan analisis inferensial parametrik untuk pengujian hipotesis. Untuk menguji hipotesis penelitian yaitu dengan menggunakan uji-t berpasangan (Paired T-Test). Kemudian analisis data ini dapat diselesaikan dengan bantuan program SPSS 16.0 for Windows. Sebelum melakukan analisis data dengan uji paired t-test dilakukan uji apakah kedua data menyebar normal atau tidak, statistik uji yang digunakan adalah Lilliefors (Kolmogorof-Smirnov) normality test, jika data menyebar normal maka analisis data uji paired t-test dapat diterapkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan hasil penelitian mengenai Pengaruh Transformasi Lahan Pertanian menjadi Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Kecamatan Babulu Kabupaten Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur. Penyajian data penelitian ini dijabarkan berdasarkan data yang terkumpul dari penelitian di lapangan. Hasil penelitian ini meliputi perubahan luas lahan responden sebelum dan sesudah transformasi lahan, faktor yang mempengaruhi alasan petani beralih dari petani padi menjadi petani kelapa sawit, serta pengaruh transformasi lahan terhadap tingkat kesejahteraan petani di Kecamatan Babulu Kabupaten Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur.

Perubahan Luas Lahan Pertanian Luas lahan yang dimiliki responden merupakan salah satu indikator ekonomi bagi penduduk yang bekerja di daerah pedesaan. Data mengenai luas lahan yang dimiliki oleh responden dapat dilihat pada tabel 1 berikut: Tabel 1. Luas Lahan Responden Tahun 2006-2011 Luas Lahan (m2) < 2500 2500 - < 5000 5000 - < 7500 7500 - < 10.000 ≥ 10.000 Jumlah Mean/Rata-rata

f 23 30 27 11 9 100

% 23 30 27 11 9 100

Sebelum x 1.250 3.750 6.250 8.750 15.000

Fx 28.750 112.500 168.750 96.250 135.000 541.250 5412,5

f 10 16 31 24 19 100

Sesudah % x 10 1.250 16 3.750 31 6.250 24 8.750 19 26.250 100

fx 12.500 60.000 193.750 210.000 498.750 975.000 9750

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa luas lahan pertanian responden mengalami peningkatan, hal ini terbukti setelah transformasi lahan responden yang memiliki lahan kurang dari 2500 m2 dari 23% menjadi 10% serta setelah transformasi lahan sebagian besar responden memiliki luas lahan antara 5000 m2 - < 7500 m2 sebesar 31% meningkat dari awalnya sebesar 27% sebelum adanya transformasi lahan, selain itu juga terjadi peningkatan rata-rata luas lahan yang dimiliki yaitu dari rata-rata 5412,5 m2 meningkat menjadi 9750 m2. Sejalan dengan temuan dari Baiq (2008:65) yang menemukan bahwa setelah alih fungsi lahan hutan, responden yang tidak memiliki lahan dari 62% turun menjadi 6%.

Peningkatan yang terjadi dikarenakan setelah transformasi lahan responden memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada menjadi petani padi karena besar kecilnya pendapatan tergantung dari luas lahan yang mereka miliki. Selain itu, mereka yang berpendapatan tinggi memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan hidupnya lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang berpendapatan rendah dan uang yang diperoleh

dipergunakan

untuk

memperluas

lahan

yang

dimiliki,

sehingga

meningkatkan produksi yang dihasilkan dan memperoleh pendapatan lebih besar lagi. Luas lahan memang sangat mempengaruhi besarnya pendapatan bagi petani karena tanah merupakan salah satu faktor produksi pertanian. Jika petani mempunyai lahan yang luas maka akan lebih besar pendapatannya daripada yang memiliki lahan yang sempit karena disela-sela untuk menunggu panen para petani mempunyai waktu luang untuk mengerjakan pekerjaan di luar sektor pertanian atau banyaknya kesempatan untuk mengerjakan pekerjaan yang lain. Alasan Petani Melakukan Transformasi Lahan Transformasi lahan pertanian, seperti transformasi lahan pertanian menjadi areal perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Babulu diperkirakan ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut disebabkan oleh adanya pengetahuan (pendidikan petani) yang rendah, mata pencaharian, tingkat pendapatan yang dapat dilihat dari pendapatan utama dan pendapatan sampingan. a. Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi seseorang dalam menjalani hidup ini. Tinggi rendahnya pendidikan petani berpengaruh pada keputusan dalam pengalihfungsian lahan, semakin tinggi tingkat pendidikan petani semakin kritis dalam mengambil keputusan. Sebaliknya semakin rendah pendidikannya berarti semakin mudah petani tersebut untuk terpengaruh orang lain. Pada penelitian ini tingkat pendidikan diukur berdasarkan pendidikan formal yang ditempuh oleh responden, yang digolongkan menjadi tujuh bagian yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMP, tamat SMP, tidak tamat SMA, dan tamat SMA. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi seseorang dalam menjalani hidup ini. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin matang pula ia dalam berpikir dan bertindak, yang pada akhirnya akan meningkatkan

produktivitas kerja. Rendahnya produktivitas seseorang dapat diakibatkan rendahnya pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. Disamping itu pendidikan memiliki peran yang penting bagi seseorang yang hendak melakukan pekerjaan. Perlu dipahami bahwa tingkat pendidikan mempunyai korelasi dengan pekerjaan. Semakin tinggi pendidikan seseorang makin besar kemungkinan untuk memperoleh kesempatan kerja. Kecenderungan tersebut lebih berlaku pada pendidikan formal. Untuk lebih jelasnya tentang jenjang pendidikan yang dimiliki oleh responden dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Jenjang Pendidikan Yang Pernah Ditempuh Jenjang Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tidak tamat SMP Tamat SMP Tidak tamat SMA Tamat SMA Jumlah

Frekuensi (f) 38 21 32 2 3 1 3 100

Persentase (%) 38 21 32 2 3 1 3 100

Berdasarkan data yang ada pada tabel 2, diketahui bahwa mayoritas responden tidak pernah bersekolah yaitu sebesar 38% (38 responden), serta responden yang tamat SD sebesar 32% (32 responden) dan tidak tamat SD sebesar 21% (21 responden). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pendidikan yang rendah. Banyaknya responden yang tidak sekolah dan tamat atau tidak tamat SD berpengaruh terhadap pengmbilan keputusan untuk beralih lahan dari petani padi menjadi petani kelapa sawit, seperti yang diungkapkan Sasmito (2000) yaitu tinggi rendahnya tingkat pendidikan petani mempengaruhi keputusan dalam pengalihfungsian lahan. Jika pendidikan petani itu rendah, tidak menutup kemungkinan petani tersebut akan mudah terpengaruh orang lain. Pengaruh tersebut bisa datang dari tetangga disekitarnya atau dari aparat desa yang bersangkutan. Sebaliknya jika pendidikan petani itu tinggi maka dia dapat berpikir lebih rasional dalam mengambil keputusan untuk mengalihfungsikan lahan yang dia miliki.

b. Mata Pencaharian Transformasi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit

telah

menyebabkan sebagian petani kehilangan mata pencahariannya, sebelum alih fungsi lahan status mereka merupakan petani pemilik lahan sekarang berubah menjadi buruh

tani dan bahkan ada yang beralih ke luar sektor pertanian seperti perdagangan, jasa, pengangkutan dan pekerjaan lain yang dapat mereka jangkau. Mata pencaharian baru responden rata-rata memiliki level lebih rendah dari pekerjaan sebelumnya, akibatnya pendapatan yang mereka peroleh juga mengalami penurunan. Menurunnya pendapatan petani ini berdampak pada pemenuhan kebutuhan mereka sehari-hari yang juga mengalami penurunan, hal seperti ini mendorong bagi masyarakat untuk mencari pekerjaan sampingan supaya memperoleh tambahan penghasilan. Perubahan mata pencaharian dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Mata Pencaharian utama responden Tahun 2006-2011 Utama Buruh tani Petani Tukang ojek Pedagang Lain-lain Jumlah

Sebelum f 27 43 4 19 7 100

Sesudah % 27 43 4 19 7 100

f 10 42 2 23 23 100

% 10 42 2 23 23 100

Perubahan - 17 -1 -2 4 16

Tabel 3 memuat tentang mata pencaharian/pekerjaan responden baik sebelum maupun sesudah alih fungsi lahan, dimana sebelum alih fungsi lahan sebagian besar responden bermata pencaharian sebagai petani yaitu sebesar 43% dan setelah transformasi lahan terjadi penurunan menjadi 42%. Hal ini berbanding terbalik dengan dengan responden yang bermata pencaharian sebagai pedagang yang awalnya sebesar 19% meningkat menjadi 23% setelah transformasi lahan. Tabel 4. Mata pencaharian sampingan responden Tahun 2006-2011

Sampingan Buruh tani Petani Tukang ojek Pedagang Lain-lain Tidak ada kerja sampingan Jumlah

Sebelum

Sesudah

f 16 7 15 26

% 16 7 15 26

f 15 14 10 2 15

% 15 14 10 2 15

36

36

44

44

100

100

100

100

Perubahan -1 7 -5 2 -11 8

Perubahan yang terjadi pada mata pencaharian utama, juga terjadi pada pekerjaan sampingan responden. Sebelum adanya transformasi lahan sebagian besar responden bekerja di sektor lain-lain seperti buruh bangunan, peternak, dan lain sebagainya yaitu sebesar 26%. Akan tetapi setelah transformasi lahan sebagian besar

responden tidak lagi memiliki pekerjaan sampingan yaitu meningkat menjadi 44% dari sebelumya 36% sebelum transformasi lahan. Diketahui bahwa sesudah alih fungsi lahan terjadi penurunan pekerjaan sebagai petani yaitu dari 43% turun menjadi 42%. Hal ini dikarenakan lahan yang responden dimiliki dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, jadi banyak responden yang beralih ke pekerjaan lain karena pengelolaan perkebunan kelapa sawit tidak banyak memakan waktu, selain itu perawatan kelapa sawit lebih mudah di banding tanaman padi, sehingga menyebababkan responden beralih ke sektor perdagangan (23%) dan sektor lainnya (23%). Hal yang sama juga terjadi pada pekerjaan sampingan, ternyata sesudah alih fungsi lahan prosentase orang yang tidak mempunyai pekerjaan sampingan naik dari 36% menjadi 44%. Hal ini dikarenakan banyak petani yang melakukan alih fungsi lahan memiliki penghidupan yang lebih layak sehingga tidak memerlukan usaha sampingan lagi karena alasan utama responden untuk memiliki pekerjaan sampingan adalah untuk mendapatkan penghasilan tambahan selain dari pekerjaan pokok mereka. Hal ini dikarenakan banyak petani yang melakukan transformasi lahan memiliki penghidupan yang lebih layak sehingga tidak memerlukan usaha sampingan lagi. Temuan ini sejalan dengan penlitian yang dilakukan oleh Inggriastuti (2008:78) yang menemukan bahwa sesudah alih fungsi lahan terjadi penurunan pekerjaan sebagai petani yaitu dari 92,86% turun menjadi 35,72% yang dikarenakan lahan yang responden miliki ada yang semuanya dialihfungsikan.

c. Tingkat Pendapatan Pendapatan antara responden satu dengan responden lainnya umumnya tidak sama, besar kecilnya pendapatan responden ditentukan oleh jenis pekerjaan yang mereka miliki. Kalau dia bekerja sebagai petani, pendapatan mereka berasal dari hasil panen. Besar kecilnya pendapatan tergantung dari luas lahan yang mereka miliki. Selain itu, mereka yang berpendapatan tinggi memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan hidupnya lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang berpendapatan rendah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5. Pendapatan utama responden sebelum dan sesudah transformasi lahan pertanian Tahun 2006-2011 Utama < Rp 250.000,00 Rp 250.000,00 - < Rp 500.000,00 Rp 500.000,00 - < Rp 750.000,00 Rp 750.000,00 - < Rp 1.000.000,00 ≥ Rp 1.000.000,00 Jumlah Mean/Rata-rata

Sebelum f % 27 27 31 31 20 20 14 14 8 8 100 100 Rp 487.500,-

Sesudah f % 11 11 15 15 23 23 32 32 19 19 100 100 Rp 707.500,-

Peubahan -16 -16 3 18 11

Berdasarkan Tabel 5.8 dapat diketahui bahwa sebelum alih fungsi lahan, sebagian besar responden memiliki penghasilan antara Rp 250.000,00 - < Rp 500.000,00 adalah sebesar 31% dan responden yang memiliki penghasilan kurang dari Rp 250.000,00 adalah 27%, serta responden yang memiliki penghasilan lebih dari atau sama dengan Rp 1.000.000,00 adalah sebesar 8%. Sedangkan setelah transformasi lahan sebagian besar responden memiliki penghasilan antara Rp 750.000,00 – Rp 1.000.000,00 sebesar 32% dan penghasilan kurang dari Rp 250.000 menurun menjadi sebesar 11% serta responden yang memiliki penghasilan lebih dari atau sama dengan Rp 1.000.000,00 meningkat menjadi 19%. Jika dirata-rata penghasilan utama responden setelah transformasi lahan meningkat menjadi Rp 707.500,00 dari awalnya Rp 487.500,00 sebelum adanya transformasi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit. Selain pada penghasilan utama, penghasilan sampingan pun mengalami perubahan, seperti yang terlihat pada tebel dibawah ini. Tabel 6. Pendapatan sampingan responden sebelum dan sesudah transformasi lahan pertanian Tahun 2006-2011 Sampingan < Rp 250.000,00 Rp 250.000,00 - < Rp 500.000,00 Rp 500.000,00 - < Rp 750.000,00 Rp 750.000,00 - < Rp 1.000.000,00 ≥ Rp 1.000.000,00 Tidak ada kerjaan sampingan Jumlah Mean/Rata-rata

Sebelum f % 45 45 15 15 2 2 1 1 1 1 36 36 100 100 Rp 202.562,-

Sesudah f % 32 32 6 6 3 3 10 10 5 5 44 44 100 100 Rp 401.785,-

Perubahan -13 -9 1 9 4 8

Tabel 6 memuat pendapatan sampingan responden sebelum dan sesudah transformasi lahan, dimana sebelum adanya transformasi lahan sebagian besar responden memiliki penghasilan dari pekerjaan sampingan kurang dari Rp 250.000,00 yaitu sebesar 45% sedangkan setelah transformasi lahan petani yang memiliki penghasilan kurang dari Rp 250.000,00 menurun menjadi 32%, hal ini berbanding

terbalik dengan responden yang memiliki penghasilan antara Rp 750.000,00 - < Rp 1.000.000,00 meningkat menjadi 10% dari awalnya 1% sebelum adanya transformasi lahan. Jika dirata-rata setelah adanya transformasi lahan terjadi peningkatan penghasilan sampingan responden dari awalnya Rp 202.562 sebelum transformasi lahan meningkat menjadi Rp 401.785 setelah adanya transformasi lahan. Tingkat pendapatan yang rendah inilah yang mendorong petani padi untuk beralih menjadi petani kelapa sawit. Sejalan dengan penelitian Usman (dalam Cahyaningtyas, 2008:24) tingkat pendapatan ditentukan oleh pendidikan yang baik, dengan pendidikan yang baik akan diperoleh hasil pekerjaan, selanjutnya akan mendapat peluang untuk mendapatkan pendapatan yang baik pula. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Inggriastuti (2008:80-81) yang menyimpulkan bahwa sesudah alih fungsi lahan ternyata terjadi penurunan pendapatan. Hal ini terbukti dari pendapatan responden sesudah alih fungsi lahan sebesar
Tingkat Kesejahteraan Petani Kriteria suatu keluarga dikaji melalui 12 variabel, dan setiap variabelnya masih dibagi-bagi

lagi

ke

dalam

indikator-indikator

tertentu.

Klasifikasi

tingkat

kesejahteraan keluarga dikelompokkan menjadi lima tahapan, yaitu Keluarga Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, Keluarga Sejahtera III, Keluarga Sejahtera III Plus. Untuk lebih jelasnya tentang klasifikasi Tingkat Kesejahteraan yang dimiliki oleh responden dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Klasifikasi Tingkat Kesejahteraan Tahun 2006-2011 Tingkat Kesejahteraan Pra Keluarga Sejahtera Keluarga Sejahtera I Keluarga Sejahtera II Keluarga Sejahtera III Keluarga Sejahtera III+ Jumlah

Sebelum F % 27 27 31 31 20 20 14 14 8 8 100 100

Sesudah F 11 15 23 32 19 100

% 11 15 23 32 19 100

Perubahan -16 -16 3 18 11

Tabel 7 memuat tentang klasifikasi tingkat kesejahteraan responden baik sebelum maupun sesudah alih fungsi lahan. Di mana sebelum alih fungsi lahan responden yang termasuk dalam Pra Keluarga Sejahtera sebesar 27%, Keluarga Sejahtera I sebesar 31%, Keluarga Sejahtera II sebesar 20%, Keluarga Sejahtera III sebesar 14% dan 8% responden termasuk ke dalam Keluarga Sejahtera III+. Sedangkan sesudah alih fungsi lahan, responden yang termasuk dalam Pra Keluarga Sejahtera sebesar 11%, Keluarga Sejahtera I sebesar 15%, Keluarga Sejahtera II sebesar 23%, Keluarga Sejahtera III sebesar 32% dan 19% responden termasuk ke dalam Keluarga Sejahtera III+. Dari hasil penjabaran tabel dapat disimpulkan bahwa sesudah alih fungsi lahan terjadi perubahan tingkat kesejahteraan seperti yang terjadi pada Pra Keluarga Sejahtera mengalami penurunan dari 27% menjadi 11% sedangkan Keluarga Sejahtera III+ mengalami peningkatan dari 8% menjadi 19%. Hal ini dikarenakan responden yang melakukan alih fungsi lahan mengalami peningkatan pendapatan. Pendapatan/ penghasilan keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan stabilitas kehidupan suatu rumah tangga. Pendapatan yang tinggi memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan hidupnya lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang berpendapatan rendah. Sebelum melakukan analisis data tingkat kesejahteraan sebelum dan sesudah transformasi lahan dengan uji paired t-test, maka dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas data menggunakan One Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Berdasarkan hasil perhitungan dengan SPSS 16,0 for windows. Uji Normalitas sebaran data kelompok sebelum transformasi lahan dengan sig (2 tailed) sebesar 0,115 (p>0,005), sedangkan sebaran data sesudah transformasi lahan dengan sig (2tailed) sebesar 0,185 (p>0,005). Oleh karena p-value uji normalitas untuk data sebelum dan sesudah transformasi lahan lebih besar dari 0.05, maka dapat dikatakan bahwa kedua data

berasal dari populasi yang menyebar normal. Dengan demikian, uji-t berpasangan dapat diterapkan. Analisis mengenai tingkat kesejahteraan ini dilihat perbedaan skor sebelum dan sesudah alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit menunjukkan bahwa nilai mean yang didapatkan sebelum dan sesudah alih fungsi lahan memiliki perbedaan sebesar 7,61 sedangkan beda standar deviasi sebelum dan sesudah tersebut adalah 0,196. Untuk dapat melihat perubahan dtingkat kesejahteraan sebelum dan sesudah alih fungsi lahan apakah menunjukkan perubahan atau tidak maka dilakukan analisis statistik dengan menggunakan uji paired t-test. Analisis paired t-test ini dilakukan dengan bantuan SPSS dan adapun hipotesis yang digunakan adalah: H0 : tidak terjadi perbedaan tingkat kesejahteraan petani setelah transformasi pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit. H1 : terjadi perbedaan tingkat kesejahteraan petani setelah transformasi pertanian menjadi perkebunan. Menurut Trihendradi (2007:79) kriteria aturan keputusan dalam uji hipotesis ini adalah sebagai berikut. Ho diterima jika Sig (2-tailed) > α Ho ditolak jika Sig (2-tailed) < α Berdasarkan hasil pengujian uji paired t-test maka diketahui nilai Sig (2tailed) (0,000) < α (0,05) maka keputusannya adalah menolak Ho dan menerima Hi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kesejahteraan petani setelah transformasi pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Babulu Kabupaten Penajam Paser Utara. Dari hasil deskripsi data diatas dapat disimpulkan bahwa, alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit mempengaruhi tingkat kesejahteraan petani. Hal ini dapat dilihat dari perubahan tingkat kesejahteraan petani seperti yang terjadi pada Pra Keluarga Sejahtera mengalami penurunan dari 27% menjadi 11% sedangkan Keluarga Sejahtera III+ mengalami peningkatan dari 8% menjadi 19%. Selain itu, perbedaan tingkat kesejahteraan petani juga dibuktikan dengan analisisi statistik, yaitu paired t-test. Berdasarkan hasil pengujian uji paired t-test maka diketahui nilai Sig (2-tailed) (0,000) < α (0,05) maka keputusannya adalah

menolak Ho dan menerima Hi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kesejahteraan petani setelah transformasi pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Babulu Kabupaten Penajam Paser Utara. Perubahan tingkat kesejahteraan ini dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan yang diperoleh petani yang beralih fungsi lahan, sejalan dengan pendapat Salim dalam Sasmito (1982) menyatakan bahwa, mereka yang berpendapatan tinggi memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan hidupnya lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang berpendapatan rendah karena pendapatan/penghasilan keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan stabilitas kehidupan suatu rumah tangga. Petani umumnya mampu memenuhi kebutuhan pokoknya seperti, sandang, pangan, dan papan. Bahkan banyak petani yang kehidupannya setelah beralih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit mampu meningkatkan kehidupannya seperti, memiliki tabungan, peningkatan kesehatan, peningkatan pendidikan, interaksi dalam keluarga dan interaksi dalam lingkungannya. Fakta ini memberikan gambaran baru terhadap penelitian mengenai pengaruh alih fungsi lahan terhadap tingkat kesejahteraan petani, dimana pada penelitian yang dilakukan oleh Emma Inggriastuti tahun 2007 mengenai “Karakteristik Dan Perubahan Kondisi Sosial Ekonomi Petani Dan Lingkungan Akibat Alih Fungsi Lahan Di Desa Campurejo Kecamatan Bojonegoro Kabupaten Bojonegoro” hanya mendeskripsikan mengenai perubahan kondisi sosial ekonomi saja. Sehingga penelitian ini merupakan penelitian yang mampu memberikan deskripsi baru tentang masalah pengruh alih fungsi lahan pertanian. Khususnya pengaruh alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit terhadap tingkat kesejahteraan petani di Kecamatan Babulu Kabupaten Penajam Paser Utara.

PENUTUP Kesimpulan Bertolak dari temuan penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa: Transformasi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit berdampak pada peningkatan luas lahan yang dimiliki oleh responden dan faktor-faktor yang menyebabkan transformasi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Babulu disebabkan oleh tingkat pendapatan yang rendah, tingkat

pendidikan yang rendah dan alih mata pencaharian. Serta karakteristik tingkat kesejahteraan petani mengalami peningkatan setelah melakukan transformasi lahan, peningkatan yang terjadi yaitu pemenuhan akan kebutuhan akan sandang, pangan, papan, papan, kesehatan, pendidikan, tabungan, interaksi dalam keluarga, interaksi dalam lingkungan, dan peran dalam masyarakat. Selain itu, mayoritas responden termasuk ke dalam Keluarga Sejahtera III (KS III) yaitu sebesar 32%.

Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka saran/rekomendasi yang dianjurkan dirumuskan sebagai berikut: Perluasan lahan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Babulu hendaknya di atur oleh pemerintah daerah agar tidak terjadi monopoli penguasaan lahan oleh pihak-pihak tertentu yang akhirnya menimbulkan kesenjangan antar masyarakat dan pemerintah hendaknya membuka lapangan kerja baru dan memberikan pelatihan terhadap petani sehingga memperbanyak keterampilan yang dimiliki oleh petani, serta pengaruh dari transformasi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit

terhadap tingkat

kesejahteraan responden sebagian besar meningkat, tetapi pemerintah hendaknya melakukan penyuluhan atau pelatihan untuk intensifikasi dan diversifikasi pertanian lebih tepat untuk menjamin ketahanan pangan.

DAFTAR RUJUKAN Ario Pratama, Wahyu. 2010. Analisis Produksi, Pendapatan Dan Alih Fungsi Lahan Di Kabupaten Labuhan Batu. Online diakses di http//www.wahyuwordpress/05/2010/pfgeehdf.com pada tanggal 22 Juni 2011. Cahyaningtyas, Wahyu. 2008. Dampak Pengembangan Kawasan Wisata Water Park Sumber Udel Di Kota Blitar Terhadap Tingkat Pendapatan Masyarakat Di Daerah Sekitarnya. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Devung, dkk. 1992. Dampak Sosial Budaya Akibat Menyempitnya Lahan Pertanian Daerah Kalimantan Timur. Samarinda: Kanwil Depdikbud Propinsi Kalimantan Timur. Eka, Baiq. 2008. Perbandingan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sebelum Dan Sesudah Alih Fungsi Hutan Menjadi Lahan Pertanian Hortikultura Di Desa Madiredo Kecamatan Pujon Kabupaten Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.

Inggriastuti, Emma. 2007. Karakteristik Dan Perubahan Kondisi Sosial Ekonomi Petani Dan Lingkungan Akibat Alih Fungsi Lahan Di Desa Campurejo Kecamatan Bojonegoro Kabupaten Bojonegoro. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Negeri Malang. Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah Menimbulkan Dampak Negatif Bagi Ketahanan Pangan dan Lingkungan. Bogor. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. http://pustaka.litbang.deptan.go.id diakses 16 Maret 2011. Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Sasmito. 2000. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian Dari Penggunaan Sawah Menjadi Kolam Perikanan Air Tawar Di Desa Sungegeneng Kecamatan Sekaran Kabupaten Dati II Lamongan. Malang: Universitas Negeri Malang. Syafa’at, N., W. Sudana, N. Ilham, H. Supriyadi dan R. Hendayana. 2001. Kajian Penyebab Penurunan Produksi Padi Tahun 2001 di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian: Analisis Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Respon terhadap Issu Aktual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Witjaksono, R. 1996. Alih Fungsi Lahan: Suatu Tinjauan Sosiologis. Dalam Prosiding Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 113 - 120. Hasil Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor