PENGUNGKAPAN DIRI PADA REMAJA YANG ORANG TUANYA BERCERAI Ruth Permatasari Novianna Fakultas Psikologi Univesitas Gunadarma Abstract Gejolak usia remaja merupakan usia paling rentan terhadap perceraian orang tua. Dampak yang bisa terjadi pada anak-anak dari pasangan bercerai biasanya dari segi psikis internal. Pada usia remaja, anak dalam masa pencarian jati diri dan belum paham terhadap dirinya. Proses perkembangan jati diri dikenal sebagai “membuka diri” atau dengan kata lain “pengungkapan diri”. Pengungkapan diri dikenal dengan istilah self disclosure. Menurut Papu (2002), self disclosure adalah pemberian informasi tentang diri sendiri kepada orang lain. Informasi ini dapat mencakup berbagai hal seperti pengalaman hidup, perasaan, emosi, pendapat, dan cita-cita, dan sebagainya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran self disclosure remaja yang orang tuanya bercerai, faktor-faktor yang menyebabkan self disclosure pada subjek, serta melihat bagaimana cara subjek melakukan self disclosure. Hasil penelitian secara umum memperlihatkan bahwa subjek memiliki keterbukaan diri yang rendah, tidak dengan sembarang orang, subjek mau terbuka. Subjek memiliki keterbukaan diri yang rendah karena subjek memiliki tipe kepribadian introvert, subjek cenderung tidak terbuka dalam menceritakan tentang diri pribadi kepada orang lain. Subjek akan menggambarkan diri atau mengekspresikan perasaannya kepada orang yang dianggapnya dekat dan dapat mengerti dirinya, subjek akan menceritakan kisah hidupnya lebih dalam jika lawan bicara membe rikan reaksi atau respon positif atas apa yang diceritakannya.
Kata Kunci : Pengungkapan Diri, Remaja, Orang Tua Bercerai. A. Pendahuluan Suasana atau iklim keluarga sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Jika seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis dan agamis, dalam arti orang tua memberikan curahan kasih sayang, perhatian, serta bimbingan dalam kehidupan berkeluarga, maka perkembangan kepribadian anak tersebut cenderung positif (Dahlan dalam
Gunarsa, 1991). Namun jika dalam keluarga tersebut sudah tidak ada keharmonisan lagi dan terjadi perceraian maka akan berdampak tidak baik pada anak, anak menjadi terpukul dan mungkin tidak menerima keadaan tersebut. Perceraian sering kali berakhir menyakitkan bagi pihak yang terlibat, termasuk didalamnya adalah anak-anak. Perceraian tersebut dapat menimbulkan stress, tekanan, dapat menimbulkan perubahan fisik dan mental dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan orang lain terutama lawan jenis (Tasmi, 2002). Gejolak usia remaja merupakan usia paling rentan terhadap perceraian orang tua, dampak yang bisa terjadi pada anak-anak dari pasangan bercerai, biasanya dari segi psikis internal. Seperti perasaan malu, sensitif, rendah diri, hingga menarik diri dari lingkungan (Endang dalam Asih, 2007). Pada usia remaja, anak dalam masa pencarian jati diri dan belum paham terhadap dirinya. Proses perkembangan jati diri, dikenal sebagai “membuka diri” (coming out”) atau dengan kata lain “pengungkapan diri” (Oetomo, 2002). Pengungkapan diri dikenal dengan istilah self disclosure. Self disclosure oleh Papu (2002) diartikan sebagai pemberian informasi tentang diri sendiri kepada orang lain. Informasi yang diberikan dapat mencakup berbagai hal seperti pengalaman hidup, perasaan, emosi, pendapat, cita-cita dan sebagainya. Menurut Pearson (1983), self disclosure merupakan metode yang paling dapat dikontrol dalam menjelaskan diri sendiri kepada orang lain. Individu dapat mempresentasikan dirinya sebagai orang bijak atau orang bodoh tergantung dari caranya mengungkapkan perasaan, tingkah laku, dan kebiasaannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Johnson (dalam Gainau, 2009), menunjukkan bahwa individu yang mampu dalam membuka diri (self disclosure) akan dapat mengungkapkan diri dengan tepat; terbukti mampu menyesuaikan diri (adaptive), lebih percaya diri, lebih kompeten, dapat diandalkan, lebih mampu bersikap positif, percaya terhadap orang lain, lebih objektif, dan terbuka. Sebaliknya individu yang kurang mampu dalam keterbukaan diri (self disclosure) terbukti tidak mampu menyesuaikan diri, kurang percaya diri, timbul perasaan takut, cemas, merasa rendah diri, dan tertutup. Pengungkapan diri memiliki manfaat bagi masing-masing individu maupun bagi hubungan antara kedua pihak. Endang (dalam Asih, 2007), mengungkapkan manfaat keterbukaan diri (self disclosure) bagi remaja yang orang tuanya bercerai, antara lain; meringankan beban persoalan yang dihadapi, mengurangi tegangan dan stress, memahami dunia
secara lebih realistis, lebih percaya diri, percaya dan dapat mempererat hubungan dengan orang lain. Dari uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah remaja yang orang tuanya bercerai dapat melakukan pengungkapan diri atau membuka diri secara tepat terhadap lingkungan sosialnya.
B. Tinjauan Pustaka Sifat keterbukaan adalah suatu hal yang mempengaruhi kondisi mental individu dalam mengungkapkan perasaannya tentang berbagai macam emosi yang dia rasakan dalam hidupnya. Self Disclosure atau keterbukaan diri atau yang dikenal dengan pengungkapan diri adalah suatu perilaku dimana seseorang dengan rela dan sangat berkeinginan untuk memberitahukan informasi yang akurat mengenai dirinya pada orang lain, di mana orang lain itu tidak mungkin mengetahui atau mendapatkannya dari orang lain (Pearson, 1983). Sedangkan Collin & Miller (dalam Pearson, 1983), mengemukakan bahwa self disclosure melibatkan tindakan atau perilaku dari pengungkapan informasi pribadi mengenai diri sendiri terhadap orang lain. Menurut Johnson (dalam Supratiknya, 1995), mendefinisikan keterbukaan diri atau self disclosure sebagai usaha untuk mengungkapkan reaksi atau tanggapan individu terhadap situasi yang sedang dihadapi individu serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau infomasi yang berguna untuk memahami tanggapannya dimasa kini. Hal ini didukung oleh pendapat dari Supratiknya (1995), bahwa orang lain mengenal dirinya tidak dengan menyelidiki masa lalu, melainkan dengan mengetahui cara diri sendiri bereaksi. Membuka diri berarti membagikan kepada orang lain perasaan diri sendiri terhadap sesuatu yang telah dikatakan atau dilakukannya. Sedangkan menurut Rice (2002), self disclosure adalah suatu bentuk komunikasi yang menawarkan informasi mengenai diri sendiri kepada orang lain. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Papu (2002), menurutnya self disclosure adalah pemberian informasi tentang diri sendiri kepada orang lain. Informasi ini dapat mencakup berbagai hal seperti pengalaman hidup, perasaan, emosi, pendapat, cita-cita dan sebagainya. Dari banyaknya pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengungkapan diri atau self disclosure adalah suatu tindakan pemberian informasi yang akurat mengenai dirinya kepada orang lain, di mana orang lain tidak mungkin mengetahui atau
mendapatkannya dari orang selain dirinya, dan informasi tersebut dapat berupa pengalaman hidup, perasaan, emosi, pendapat, cita-cita, dan sebagainya. Pearson (1983), mengemukakan komponen self disclosure, yaitu: (a) Jumlah informasi yang diungkapkan, (b) Sifat dasar yang positif atau negatif, (c) Dalamnya suatu pengungkapan diri, (d) Waktu pengungkapan diri, (e) Lawan bicara. Sedangkan Derlega (1993), mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi self disclosure, yaitu: (a) Definisi tentang hubungan (relational definition), (b) Rasa suka (liking), (c) Norma berbalasan (norms of reciprocity), (d) Kepribadian (personality), (e) Jenis Kelamin (gender). Ada beberapa isi dari self disclosure yang dikemukakan oleh Derlega dkk (1993), yaitu: a. Descriptive self disclosure Pengungkapan secara deskriptif ini terdiri dari informasi dan kenyataan tentang diri sendiri berupa penggambaran tentang karakteristik pribadi individu baik secara personal maupun umum, misalnya : “saya mempunyai kebiasaan minum the setiap pagi”. b. Evaluate self disclosure Pengungkapan diri yang bersifat evaluasi ini berisi ekspresi akan perasaan yang bersifat personal atau pribadi, penilaian dan pendapat, misalnya : “saya suka kamu menggunakan itu…”
C. Pengungkapan Diri pada Remaja yang Orangtuanya Bercerai Terkadang perceraian adalah satu-satunya jalan bagi orang tua untuk dapat terus menjalani kehidupan sesuai yang mereka inginkan. Namun apapun alasannya, perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak. Meskipun dalam kasus tertentu dianggap alternatif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk. Hal-hal yang biasanya dirasakan oleh anak ketika orangtuanya bercerai adalah tidak aman, tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya yang pergi, sedih dan kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab orangtua bercerai. Perasaan-perasaan tersebut, oleh anak dapat termanifestasi dalam bentuk perilaku beragam seperti suka mengamuk, menjadi kasar, dan tindakan agresif lainnya. Sebaliknya, anak dapat berubah drastis menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka bergaul karena merasa berbeda
dengan anak lain yang mempunyai orangtua lengkap, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga prestasi di sekolah cenderung menurun. Gejolak usia remaja merupakan usia paling rentan terhadap perceraian orang tua, dampak yang bisa terjadi pada anak-anak dari pasangan bercerai, biasanya dari segi psikis internal. Seperti perasaan malu, sensitif, rendah diri, hingga menarik diri dari lingkungan (Endang dalam Asih, 2007). Pada usia remaja, anak dalam masa pencarian jati diri dan belum paham terhadap dirinya. Proses perkembangan jati diri, dikenal sebagai “membuka diri” (coming out”) atau dengan kata lain “pengungkapan diri” (Oetomo, 2002). Pengungkapan diri dikenal dengan istilah self disclosure. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Johnson (dalam Gainau, 2009), menunjukkan bahwa individu yang mampu dalam keterbukaan diri (self disclosure) akan dapat mengungkapkan diri dengan tepat; terbukti mampu menyesuaikan diri (adaptive), lebih percaya diri, lebih kompeten, dapat diandalkan, lebih mampu bersikap positif, percaya terhadap orang lain, lebih objektif, dan terbuka. Sebaliknya individu yang kurang mampu dalam keterbukaan diri (self disclosure) terbukti tidak mampu menyesuaikan diri, kurang percaya diri, timbul perasaan takut, cemas, merasa rendah diri, dan tertutup. Jadi seorang anak yang orang tuanya bercerai, jika ia menerima perceraian orang tuanya dan mampu melakukan keterbukaan diri (self disclosure) terhadap lingkungan, maka ia lebih percaya diri, lebih mampu bersikap positif, dan terbuka pada orang lain. Sebaliknya jika anak tidak menerima perceraian orang tuanya dan kurang mampu dalam melakukan keterbukaan diri (self disclosure), maka ia kurang percaya diri, merasa rendah diri, dan tertutup.
D. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan penelitian kualitatif yang berbentuk studi kasus. Menurut Punch (dalam Poerwandari, 1998) studi kasus adalah fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi, meski batas-batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Subjek penelitian ini adalah seorang remaja berusia 14 tahun yang orang tuanya telah bercerai. Dengan satu orang subjek ini peneliti berusaha memperoleh gambaran yang mendalam tentang subjek. Penelitian ini menggunakan tipe wawancara berstruktur. Hal ini memungkinkan peneliti memiliki panduan dalam mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan hal yang
diteliti, dan menggunakan teknik observasi non partisipan. Pada teknik observasi non partisipan dimana peneliti ambil bagian dalam penelitian namun tidak terlibat secara keseluruhan dalam lingkungan tempat dimana penelitian dilakukan.
E. Hasil dan Pembahasan 1. Gambaran pengungkapan diri pada remaja yang orang tuanya bercerai. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, diketahui bahwa subjek memiliki keterbukaan diri yang rendah karena subjek merupakan orang yang tertutup, subjek tidak terbuka dalam menceritakan tentang diri pribadi kepada orang lain. Orang lain tidak mengetahui semua tentang subjek karena subjek mempunyai batasan dalam mengungkapkan diri, subjek cenderung menceritakan hal-hal umum mengenai dirinya. Hal ini diperjelas dengan isi dari self disclosure menurut Derlega dkk (1993), yaitu descriptive self disclosure yang berarti pengungkapan diri dengan penggambaran secara pribadi atau umum tentang karekteristik diri individu. Pengungkapan diri subjek bersifat ringan (dangkal) karena subjek cenderung menceritakan hal-hal umum saja, subjek tidak menceritakan keinginan atau cita-citanya kepada orang lain. Hal ini didukung dengan komponen self disclosure menurut Pearson (1983), bahwa pengungkapan diri dapat bersifat dalam (hangat) atau ringan (dangkal). Komunikasi mengenai aspek-aspek tentang diri pribadi individu yang sifatnya unik, termasuk juga tujuan spesifik individu dan kehidupan pribadinya, maka komunikasi tersebut masuk kedalam jenis komunikasi yang dalam (hangat). Pengungkapan yang bersifat ringan (dangkal) dan tidak intim, adalah ungkapan-ungkapan seperti hobi yang disukai atau sesuatu yang bersifat dangkal.
2. Faktor-faktor yang menyebabkan pengungkapan diri pada remaja yang orang tuanya bercerai. Faktor yang menyebabkan pengungkapan diri pada remaja yang orang tuanya bercerai adalah kepribadian. Subjek tidak terbuka dalam bercerita dengan orang lain, subjek juga tidak mudah terbuka dengan sembarang orang, dengan sang ibu pun tidak. Sehingga orang lain tidak mengetahui semua tentang diri subjek karena subjek tidak mau orang lain mengetahui urusan pribadinya. Derlega (1993) mengatakan bahwa self
disclosure, dapat dipengaruhi oleh kepribadian (personality). Individu yang ekstrovert dan mudah bersosialisasi cenderung lebih banyak membuka diri. Supratiknya (1995) mengatakan bahwa, mereka yang merasa khawatir, gugup dalam berbicara secara umum juga lebih sedikit membuka diri dibandingkan mereka yang merasa tenang dan nyaman dalam berkomunikasi.
3. Cara pengungkapan diri pada remaja yang orang tuanya bercerai. Keterbukaan diri subjek tergantung dari tingkat kedekatan subjek dengan seseorang. Subjek bisa menggambarkan dirinya atau mengekspresikan dirinya kepada orang yang dianggapnya dekat dan dapat mengerti dirinya. Walaupun subjek mempunyai sahabat, namun subjek lebih sering bercerita tentang pribadinya secara bebas kepada kakak sepupu. Pearson (1983) mengatakan salah satu komponen self disclosure adalah lawan bicara. Lawan bicara dalam self disclosure adalah orang yang kita tuju untuk melakukan pengungkapan diri. Seseorang mungkin sering mengadu kepada kakaknya, tetapi mungkin jarang sekali berbagi informasi dengan salah satu orang tuanya. Lawan bicara sangatlah penting dan merupakan ukuran terakhir dari suatu pengungkapan diri yang tidak boleh diabaikan. Jumlah informasi yang diungkapkan subjek tergantung pada reaksi lawan bicara , jika lawan bicara memberikan reaksi atau respon yang positif dan masukkan atas apa yang diceritakannya, subjek akan menceritakan kisah hidup atau masalahnya lebih dalam. Hal ini diperjelas dengan komponen self disclosure menurut Pearson (1983), bahwa self disclosure atau pengungkapan diri harus bersifat timbal balik (reciprocal). Jika individu banyak mengungkapkan diri pada orang lain, mungkin individu itu merasa bebas juga untuk mengungkapkan dirinya. Namun jika seseorang tidak ingin berbagi informasi dengan orang lain maka kemungkinan orang tersebut tidak merasa bebas untuk mengungkapkan mengenai dirinya. Derlega dkk (1993) juga mengatakan salah satu faktor yang mempengaruhi self disclosure adalah norma berbalasan (norms of reciprocity). Self disclosure dilakukan individu sebagai respon atas pengungkapan diri orang lain. Tindakan membalas atau reciprocate berarti memberikan sesuatu kembali yang seimbang, sesuai dengan sesuatu yang diterima. Dalam kaitannya dengan self disclosure, norma berbalasan berarti dikatakan sebagai sesuatu kecenderungan individu
sebagai penerima pesan untuk mencocokkan, menyeimbangkan tingkat keintiman dari self disclosure yang akan mereka ungkapkan kembali dengan tingkat keintiman yang telah mereka terima.
Daftar Pustaka Atwater, E. (1983). Psychology of adjustment. Engelwood Cliff. New York : Pretince Hall. Inc.
Badingah, S. (1993). Agresivitas remaja kaitannya dengan pola asuh, tingkah laku agresif orangtua dan kegemaran menonto film kera. Tesis (tidak diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Bootzin, M.K. (1991). Hand book of development. New York : Mc Graw Hill Company. Conger, J.J. (1991). Adolescence and youth : psychological development in a changing world (4th ed). New York : Harper Collins Publisher.
Dangun, M. (1990). Psikologi keluarga. Jakarta : Rineka Cipta.
Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. (1994). Handbook of qualitative research. London. New Delhi : Sage.
Derlega, V., Metts S., Petronio S & Margulis S.T. (1993). Self disclosure. California : Sage Publication. Inc. Devito, J.A. (1996). Essential of human communication 2nd edition. New York : Harper Collins College Publishers.
Duvall, E.M. & Miller, B.C. (1985). Marriage & family development. New York : Harper & Row Publisher.
Ekawati, S. (2002). Hubungan antara kecemasan dengan self disclosure pada siswa kelas 1 SMU Negeri 90 Jakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Persada YAI.
Gainau, M.B. (2009). Keterbukaan diri (self disclosure) siswa dalam perspektif budaya dan implikasinya
bagi
konseling.
http://www.puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/jiw/artikel/view/17061.
Gunarsa, S.D. (1989). Psikologi olahraga. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia.
Gunarsa, S.D. (1991). Psikologi praktis anak, remaja, dan keluarga. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia.
Hall, C.S. & Lindzey, G. (1993). Psikologi kepribadian I teori-teori psikodinamik (klinis). Yogyakarta : Kanisius.
Heru Basuki, A.M. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta : Universitas Gunadarma Hurlock, E.B. (1973). Adolescent development 4th. Tokyo : McGraw-Hill. Inc. Ltd.
Hurlock, E.B. (1980). Psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Alih bahasa: Sujarwo. Jakarta : Erlangga.
Kartika, M. (1990). Hubungan antara harga diri dan prestasi belajar pada siswa menengah atas. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Levinson, D. (1995). Encylopedia of marriage and family (vol 1-2). New York : Simon, Schuster & Prentice Hall. Inc.
Marshall, C. & Rossman. (1995). Designing qualitative research. London : Sage Publications.
Matlin, M.W. (1987). The psychology of women. Fort Worth : Holt, Rinehart & Winston. Inc.
Matondang, J. (1991). Perasaan kesepian pada wanita dan pria lajang. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Moleong, L.J. (2005). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. (1999). Psikologi perkembangan (pengantar dalam berbagai bagiannya). Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Nakamura, H. (1991). Perceraian orang Jawa. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Newman, B.M., & Newman, P.R. (1991). Development through life (5th ed). California : Brooks/Cole Publishing Company.
Oktaviany, N. (2004). Hubungan antara self disclosure dengan penyesuaian diri pada remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok : Universitas Gunadarma.
Pearson, J.C. (1983). Interpersonal communication. Ohio : Scott Foresman and Company.
Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta : LPSP3 Universitas Indonesia.
Riyanto. (2001). Metodologi penelitian. Surabaya : SIC.
Santrock, J.W. (1991). Adolescence. Amerika Serikat : WM.C.Brown Publisher. Skolnick, S.A, & Skolnick, J.H. (1983). Family in transition 4th ed. Boston : Little Brown.
Soewondo, S. (2001). Bunga rampai psikologi perkembangan pribadi dari bayi sampai lanjut usia. Dalam Munandar, S. C. U. (ed).Jakarta : Universitas Indonesia.
Supratiknya, A. (1995). Komunikasi antar pribadi : tinjauan psikologis. Yogyakarta : Kanisius.
Turner, J.S. & Helms, D.B. (1995). Life span development, perkembangan masa hidup jilid II. Alih bahasa : Juda Damanik. Jakarta : Erlangga.
Yin, R. (2004). Studi kasus desain & metode. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Asih,
E.
(2007).
Bercerai?
Ingatlah
anak-anak.
www.pikiran-
rakyat.com/prprint.php?mib=berita&etika/id=64247. Diakses tanggal 5 September 2009.
Maryadie. (2009). Kasus perceraian di jakarta masih tinggi. http://www.mtropost.co.cc./2009/05/kasus-perceraian-di-jakarta-masih.html. Diakses tanggal 5 September 2009.
Oetomo,
D.
(2002).
Saya
homoseksual.
http://www.telaga.org/ringkasa.php?saya-
homoseksual.htm. Diakses tanggal 20 Juni 2009.
Papu, J. (2002). Pengungkapan diri. http://www.e-psikologi.com/sosial/120702.htm. Diakses tanggal 18 Oktober 2009.
Tasmi,
M.
R.
S.
(2002).
Perceraian
dan
kesiapan
mental
anak.
http://www.e-
psikologi.com/keluarga/180402a.htm-2k/2002/jakarta/agustus. Diakses tanggal 20 Juni 2009.