PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM DAN KITAB

PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM PERDATA telah diujikan...

19 downloads 859 Views 650KB Size
PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Yatmi Wulan Sari NIM : 100044219402

Dibawah Bimbingan Pembimbing Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009

PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Yatmi Wulan Sari NIM : 100044219402

Dibawah Bimbingan Pembimbing Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008

PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM PERDATA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas syariah dan Hukum Univesitas Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pada 13 Mei 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada program studi Al - ahwal Al - syakhsiyah (Adminitrasi Keperdataan Islam). Jakarta, 13 Mei 2009 Mengesahkan,

PANITIA UJIAN 1. Ketua

: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 150 169 102

2.

Sekretaris

: Kamarusdiana, S.Ag, MH NIP. 150 285 972

3.

Pembimbing I

: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. NIP. 150 169 102

4.

Penguji I

: DR. KH. A. Djuaini Sukry, LC, MA. NIP. 150 256 969

5.

Penguji II

: Prof. DR. H. A. Sutarmadi. NIP. 150 031 177

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 Oktober 2008

Yatmi Wulan Sari

KATA PENGANTAR

   

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat illahi Rabbi atas segala rahmat dan hidayahnya, sholawat tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta para sahabatnya. Penulis bertolak dari satu keyakinan bahwa, atas izin dan petunjuknya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisannya skripsi ini masih banyak kekurangan-kekurangan. Karenanya penulis sangat menghargai semua pihak yang dapat memberikan masukan hingga penulisan skripsi ini menjadi lebih baik. Karena itu sudah sepatutnya penulis mengucapkan rasa hormat dan terimakasih, kepada semua pihak yang telah memberikan , dorongan doa dan pengorbanan moril, materil, pada penulis dalam penyelesaian skripsi ini Akhirnya izinkan penulis untuk menyampaikan rasa terimakasih sebesar besarnya kepada: 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum. Prof. Dr. H Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H, MA. Sebagai Dosen Pembimbing Skripsi dan Drs. Kama Rusdiana Selaku Ketua Dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum. 3. Dr. KH. A. Djuaini Sukry, LC, MA. Selaku Penguji I dan Prof. Dr. H. A. Sutamardi Selaku Penguji II 4. Kepada Orang Tua Tercinta, Ayahanda, dan Bunda Yang Telah Memberikan Motivasi Dan Do'a Untuk Penulis Dapat Menyelesaikan Skripsi Ini. 5. Kakak-Kakakku Dan Adik-Adikku, Dan Yang Tersayang Yang Selalu Memberi Semangat Penulis Dalam Mengerjakan Skripsi Ini. 6. Untuk Teman-Temanku dan Semua Pihak Yang Telah Memberikan Semangat Baik Moril Maupun Materi. Akhirnya Skripsi Ini Kupersembahkan Kepada Insan Akademik Almamater Dan Para Pencari Ilmu, Harapan Penulis Semoga Karya Ilmiah Ini Bermanfaat Dan Dapat Menambah Khazanah Pengetahuan.

Jakarta,

Mei

2009

Penulis

Yatmi Wulan Sari

DAFTAR ISI LEMBARAN PERNYATAAN

i

KATA PENGANTAR

ii

DAFTAR ISI

iv

BAB I

BAB II

BAB III

PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah

1

B.

Perumusan Masalah

7

C.

Metode Pembahasan

8

D.

Sistem Penyusunan

9

BEBERAPA PENGERTIAN-PENGERTIAN A.

Pengertian Hukum Islam

11

B.

Pengertian Hukum Perdata

18

C.

Pengertian Kewarisan

21

KONSEP KEWARISAN HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM PERDATA A.

Dasar Hukum Kewarisan Menurut Hukum Islam Dan Kitab Undang - Undang Hukum Perdata

B.

Sebab - Sebab Mewaris Menurut Hukum Islam Dan Kitab Undang - Undang Hukum Perdata

C.

24

Bagian - Bagian Waris Menurut Hukum Islam Dan Kitab

37

Undang - Undang Hukum Perdata

BAB IV

BAB V

45

PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS A.

Penolakan Menjadi Ahli Waris Menurut Hukum Islam

B.

Penolakan Ahli waris Menurut Kitab Undang - Undang

57

Hukum Perdata

68

C.

Persamaan dan perbedaan penolakan menjadi waris

73

D.

Analisis

78

PENUTUP A.

kesimpulan

84

B.

Saran

86

DAFTAR PUSTAKA

87

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Proses perjalanan kehidupan manusia, diawali dengan kelahiran, hidup dan diakhiri dengan kematian, ketiga peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang tidak dapat dielakkan, apakah melalui prosedur yang sah/tidak, maupun karena perkawinan. Peristiwa kelahiran seseorang, tentunya akan menimbulkan akibat hukum seperti hubungan hukum dengan orang tua, saudaranya, keluarga, pada umumnya, dan juga timbulnya hak dan kewajiban pada dirinya, peristiwa perkawinan juga menimbulkan akibat hukum yang kemudian diatur dalam hukum perkawinan. Sehingga timbul hubungan hukum berupa hak dan kewajiban antar suami istri, terhadap anak-anak dan pihak-pihak lainnya. Demikian juga peristiwa kematian (meninggal dunia) juga merupakan peristiwa yang menimbulkan akibat hukum terhadap orang lain terutama pada keluarganya dan pihak-pihak tertentu. Pada saat kematian akan timbul persoalan tentang bagaimana harus dilakukan terhadap harta yang ditinggalkan.1

1

Suparman Usman , Ikhtisar hukum waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Serang , Darul Ulum Press, 1993), Cet. Kedua, h. 49-50.

Dengan meninggalnya seseorang, segala kewajiban pada prinsipnya tidak beralih kepada pihak lain. Adapun mengenai harta kekayaan beralih kepada pihak lain yang masih hidup yakni orang yang telah ditetapkan sebagai pihak penerima.2 Proses beralihnya kekayaan dari yang meninggal kepada orang yang masih hidup, inilah yang diatur hukum waris.3 Dalam hukum islam, ilmu tersebut dikenal dengan nama hukum waris, Fiqih Mawaris atau Ilmu Faraid.4 Di Indonesia selain waris yang berasal dari syari’at islam dan yang telah di formilkan yakni KHI dikenal juga hukum waris adat dan hukum waris dari kitab undang-undang hukum perdata (Burgelijk wetboek), yang terdapat dalam buku II. Berdasarkan ketiga hukum itu hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat.5 Apabila memperhatikan pengaturan dan kedudukan waris yang bersumber pada ketentuan hukum yang berlainan itu, maka akan dapat diketahui baik dari segi perbedaan maupun segi persamaannya dan selanjutnya akan dapat diketahui pula. Bagaimana bagian masing-masing pada ketentuan hukum waris itu mengatur kedudukan harta benda warisan, ahli waris yang menerima dan menolak bagian dan permasalahan waris lainnya.

2

Suparman Usman & yusuf somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), Cet. Pertama, h. 13 3

Usman, Ikhtisar Hukum Waris, h.49-50

4

Usman & Somawinata, Fiqh Mawaris, h.13

5

Usman, Ikhtisar Hukum Waris, h.49-50

Dalam literatur hukum waris Islam mengatur adanya kelompok atau golongan ahli waris menurut garis keturunannya, masing-masing yang dihubungkan kepada pewaris, seperti ahli waris menurut garis keturunannya masing-masing yang berhubungan dengan pewaris, seperti ahli waris ashabul furudh (ٌ‫ )اََْ بُ اُُوض‬dan golongan dzawil arham (ٌَ‫)ذَ ِوي اَرْﺡَ م‬, serta golongan terakhir yaitu waris ‘asshabah (َََُ). Sedangkan dalam sistem kewarisan menurut hukum perdata, para ahli waris dapat menentukan salah satu sikap diantara tiga kemungkinan, yaitu : 1. Menerima harta warisan secara penuh dan murni (Zuivere aanvaarding) 2. Menerima harta warisan dengan syarat (Beneficiare aanvaarding) 3. Menolak harta warsan (Verwerpen) Namun pada kenyataannya. tidak menutup kemungkinan terjadi sikap penolakan atas bagian harta kekayaan itu. Maka penulis mengadakan penilitian yang bertujuan untuk mengetahui perbedan dan persamaan waris menurut hukum Islam dan kitab undang-undang hukum perdata. Dalam hukum Islam waris dijelaskan takharuj atau pengunduran diri adalah kesepakatan para ahli waris tentang pengunduran salah seorang atau beberapa orang diantara mereka dari penerimaan warisan setelah menerima prestasi atau imbalan dari salah seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya, baik imbalan tersebut berasal dari harta perseorangan maupun dari harta peninggalan itu sendiri.6

6

Ibid, h. 153

Sedangkan dalam pengertian pengunduruan diri memiliki arti perjanjian atau perdamaian para hali waris untuk mengeluarkan atau mengundurkan sebagiannya dari pewarisan, dengan mendapatkan suatu prestasi atau imbalan yang ditentukan. 7 Dalam pasal 1057 kitab undang-undang hukum perdata (Burgelijk wetboek) yaitu “Menolak suatu warisan harus terjadi dengan tegas, dan harus dilakukan dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu”.8 Dari pasal tersebut, dapat ditarik suatu pengertian bahwa para ahli waris dapat menentukan sikap untuk menolak bagian warisan dari si pewaris dalam bentuk suatu pernyataan kepada kepaniteraan pengadilan negeri setempat dimana warisan itu telah terbuka. Konsekwensinya ahli waris yang menolak bagian waris tersebut dinyatakan tidak pernah menjadi ahli waris. Hal ini sebagaimana yang telah dinyatakan dalam pasal kitab undang-undang hukum perdata pasal 1058.9 Adapun yang dimaksud dengan penolakan itu sendiri adalah melepaskan suatu hak sebagaimana halnya dengan setiap pelepasan hak lainnya. Mulai berlaku dengan menyatakan kehendaknya pada yang bersangkutan, dalam hal ini ahli waris. 10

7

Ibid, h. 152

8

R. Subekti dan R Tjitosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), (Jakarta: PT. Pradanya Paramita, 2001), Cet. Ke 30 h. 273. 9

Ibid, Pasal 1058 berbunyi “Si Waris” yang menolak warisannya, dianggap tidak pernah telah menjadi waris.

Bagian warisan ahli waris yang menolak jatuh kepada ahli waris lain yang sedianya berhak atas bagian itu seandainya orang yang menolak itu tidak hidup pada waktu meninggalnya si pewaris dan juga tidak menyebabkan adanya pergantian tempat kepada keturunannya, jika yang menolak itu satu-satunya ahli waris dalam derajatnya atau semua ahli waris menolak, maka semua keturunan dari ahli waris yang menolak itu tampil sebagai ahli waris atas dasar kedudukan mereka sendiri (Vitegen Hoofde) dan mewaris untuk bagian yang sama. 11 Berkenaan dengan penolakan yang terjadi ahli waris tersebut diatas, bila dikolerasikan dengan penjabaran atau objek pembahasan hokum waris Islam, baik menurut persepsi ulama, dan atau menurut ketentuan perundang-undangan yang mengatur perihal kewarisan, terdapat titik-titik perbedaan yang sangat essensial antara keduanya. Dalam hukum Islam (Fiqih) dijelaskan bahwa pengunduran diri seorang waris dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagiannya secara syar’i. Dalam hal ini dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari salah seorang ahli waris lainnya atau dari harta peninggalan yang ada.12 Dan dalam hukum perdata menurut pasal 1057 penolakan menjadi ahli waris harus terjadi dengan tegas

10

A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda. (Jakarta :Penerbit Intermasa, 1986) Cet. Kedua, h.41. 11

12

Usman, Ikhtisar HUkum Waris Islam, h. 127

Muhammad Ali Ash-Shabuni penerjemah A.M. Basmalah, “Pembagian waris menurut Islam”. Gema Insani Press, 1995 diakses pada 1 September 2008 http://media.isnet.org/islam/waris/Takharuj.html

dan dilakukan dengan bentuk pernyataan seperti apa yang harus melalui kepeniteraan pengadilan negeri. Selain itu, perbedaan lainnya terdapat pada segi pengertiannya dalam penolakan memiliki arti melepaskan suatu hak13 Penolakan tidak mempengaruhi legitim (bagian warisan) dari ahli waris lainnya. 14 Dan bagian legietieme portienyapun akan hilang15 sedangkan dalam pengertian pengunduran diri memiliki arti perjanjian atau perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan atau mengundurkan sebagiannya dari pewarisan, dengan mendapatkan suatu prestasi atau imbalan ditentukan.16 Dari kesimpulan perbedaan tentang pengertian penolakan menurut hukum Islam dan hukum perdata. Terdapat perbedaan dalam pemberian imbalan. Dalam kewarisan Islam pengunduran diri mendapatkan suatu prestasi atau imbalan yang sudah ditentukan, sedangkan dalam hukum perdata (Burgeljik Wetboek) tidak diatur adanya pemberian imbalan atau prestasi kepada ahli waris yang menolak bagian warisan yang mengundurkan diri untuk menerima bagian warisan, Itulah beberapa permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih jauh, karena kewarisan yang dalam sistem kewarisan perdata (Burgelijk wetboek) dengan kewarisan yang dalam hukum

13

A.Pitlo, Hukum Waris, Jakarta, h.41

14

Ibid, h. 42

15

Efendi Perangin, Hukum waris, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. Keempat, h. 12

16

Usman dan Somawinata, Fiqih Mawaris, h. 151

Islam terdapat beberapa prinsip dan pembahasan yang bertolak belakang diantara keduanya. Melihat hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA”

B. Pembatasan & Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasinya hanya pada pembahasan tentang penolakan menjadi ahli waris menurut hukum islam dan kitab undang-undang hukum perdata 2. Perumusan Masalah Masalah bahasan dalam skripsi ini penulis rumuskan sebagai berikut : “Baik

dalam

hukum

islam

maupun

dalam

kitab

undang-undang

hukum perdata masing-masing berhak menerima bagian waris dari keluarganya yang mati. Dalam kenyataannya terdapat ahli waris yang menolak. Mendapat hak waris untuk hal inlahi yang ingin penulis telusuri dalam skripsi ini. Baik sebab-sebab yang bersangkutan mengundurkan diri maupun statusnya sebagai ahli waris.” Rumusan Masalah diatas dapat penulis rinci dalam bentuk pernyataan sebagai berikut :

1.

Apakah sebab-sebab seseorang menolak menjadi ahli waris menurut hukum Islam ?

2. Bagaimana status seseorang ahli waris yang menolak menjadi ahli waris, apa saja sebab penolakan menjadi ahli waris menurut hukum kitab undang-undang hukum perdata? 3. Apa persamaan dan perbedaan tentang penolakan menjadi ahli waris menurut kedua hukum tersebut ?

C. Metode Pembahasan Metode yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah asas pendekatan deskripsi, yuridis dan komparatif dengan metode kepustakaan (library research). Metode deskripsi, yaitu pertama penulis menggali bahan-bahan dari bukubuku, naskah dan data-data yang berkaitan dengan pembahasan. Metode yuridis setelah bahan tersebut terkumpul dan di analisis dan di kaji perspektif hukumnya menurut hukum perdata barat. Baru kemudian dilakukan pendekatan komparatif (perbandingan) hukum mungkin di terapkan dengan memakai unsur-unsur system hukum sebagai titik tolak pembanding : a. Struktur hukum, yaitu lembaga hukum b. Subtansi, yaitu perangkat kaidah-kaidah hukum dan

c. Budaya hukum perangkat nilai yang dianut17 Namun disini penulis hanya membandingkannya dari subtansi hukumnya saja, karena fungsi perbandingan pada hakekatnya menjelaskan persamaan-persamaan terhadap objek diselidiki yang kesemuanya dijelaskan dalam perbandingan sebagai suatu metode baik deskripsi, analisis maupun secara teori yang kemudian dievaluir.18 Adapun teknik penulisan skripsi ini penulis menggunakan buku pedoman skripsi ini penulis menggunakan buku pedoman skripsi, tesis dan disertai UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Sistematika Penyusunan Supaya lebih sistematis, skripsi ini disusun dalam (lima) bab pokok pembahasan dengan perincian sebagai berikut : 1). Bab I adalah pendahuluan,berisi latar belakang pemikiran dari judul skripsi, Pembatasan masalah dan perumusan masalah, metode penyusunan skripsi. 2). Bab II berisi penjelasan secara umum pengertian tentang kewarisan, meliputi pengertian hukum islam, pengertian hukum perdata, pengertian kewarisan. 3). Bab III memberikan penjelasan dasar hukum kewarisan, sebab-sebab mewaris dan bagian-bagian ahli waris menurut hukum islam dan kitab undang-undang hukum perdata barat (Burgelijk Wetboek).

17

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normative. (Jakarta : Rajawali, 1980) Cet. Kedua, h101 18

Syachran Basah. Hukum Tata Negara Perbandingan. (Bandung :Alumni, 1976),h.13.

4). Bab IV memberikan penjelasan tentang penolakan menjadi ahli waris, di dalamnya menjelaskan penolakan menjadi ahli waris menurut hukum islam, penolakan ahli waris menurut kitab undang-undang hukum perdata, serta persamaan dan perbedaan penolakan. 5). Bab V merupakan penutup yang meliputi kesimpulan semua pembahasan skripsi dan saran-saran.

BAB II BEBERAPA PENGERTIAN-PENGERTIAN

A. Pengertian Hukum Islam Untuk dapat memahami pengertian hukum Islam maka terlebih dahulu kita pahami pengertian tentang kata hukum, jika berbicara tentang hukum. Secara sederhana terlintas dalam pikiran kita adalah peraturan-peraturan atau seperangkat norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. 19 Dalam konsepsi hukum Islam, dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah swt. Tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain (hablum minannas) dan benda dalam masyarakat. Akan tetapi hubungan dengan yang lainnya, yaitu hubungan antara manusia dengan tuhan (hablum minallah).20

19

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu dan Tata Hukum Islam diIndonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. Kedelapan, h. 38 20

Ibid

Hukum menurut Ahmad Rofiq ialah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan untuk seluruh anggotanya.21 Sedangkan menurut L.J Van Apeldoorn dalam bukunya pengantar Ilmu Hukum, bahwa adalah seluruh peraturan tingkah laku yang ditetapkan oleh pemerintah.22 Kata hukum yang dipergunakan sekarang dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Hukum (tanpa U antara huruf K dan M). Dalam bahasa Arab artinya norma atau kaidah yakni ukuran. Tolak ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia atau benda. Dari beberapa pengertian dan penjelasan tentang hukum diatas, maka dapat dsimpulkan bahwa hukum adalah norma atau seperangkat peraturan yang mengatur tungkah laku hubungan manusia dalam masyarakat yang bersifat mengikat dan berlaku bagi masyarakat pada umumnya. Setelah kita pahami setelah kita pahami arti dari kata hukum, berikutnya kata hukum tersebut di sandarkan kepada kata Islam jika kita telusuri Al-Qur’an dan literature hukum dalam Islam, kata hukum Islam tidak di temukan didalamnya, Islam hanya mengenal kata Syari’ah, Fiqih dan kompilasi hukum Islam.23

21

Ahmad Rafiq. Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. keempat, h. 7 22 L.j. Van Apeldorn. Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : PT. Pradnya Paramit, 1996), Cet. Ke26, h. 3 23

Faturrahman Djamil. Filsafah Hukum Islam. (Jakarta : Logos, publishing house, 1996),Cet. Pertama,, h. 12

Namun ketiga kata tersebut yaitu syari’ah, fiqih, dan kompilasi hukum Islam seringkali di gunakan untuk menunjukan satu arti yaitu hukum Islam, meskipun antara ketiganya mempunyai perbedaan masing-masing24 Untuk lebih jelasnya perlu diuraikan kata-kata tersebut satu per satu yaitu : a. Syari’ah Dilihat dari sudut pandang kebahasaan, kata syari’ah mempunyai arti jalan tempat keluarnya air minum. Kemudian bangsa arab menggunakan kata ini untuk konotasi jalan lurus. Maka dalam pembahasan mengenai hukum menjadi bermakna segala sesuatu yang diisyaratkan Allah SWT kepada hambahambanya sebagai jalan lurus untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan diakhirat.25 Ulama lain memberi pengertian, syari’ah ialah hukum-hukum yang bersumber dari Allah SWT untuk hamba-hambanya yang oleh seorang rasul baik hukum yang berkaitan dengan cara berperilaku yang dihimpun dalam ilmu fiqih maupun yang berkaitan dengan cara mengadakan kepercayaan yang dihimpun dalam ilmu kalam. Syari’ah juga terkadang disebut dengan pengertian agama.26

24

Umar Syihab, Hukum Islam dan Transpormasi Pemikiran (Semarang : Dina Utama, Semarang, 1996), Cet. Pertama, h. 11 25

Dede Rosyida. Hukum Islam dan pramata Sosial, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Persada, 1993), Cet Pertama, h. 3 26

Ahmad Hanafi, Pengantar dan sejarah Islam, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1991), Cet. Keenam, h. 9

Syari’at memuat ketetapan-ketetapan Allah SWT dan ketentuan rasulnya baik berupa larangan maupun perintah meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.27 b. Fiqih Secara bahasa kata fiqih bermakna sesuatu dan memahaminya dengan baik. Sedangkan menurut istilah adalah mengetahui hukum-hukum syara yang bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalil secara spesifik.28. secara garis besar isi kitab fiqih meliputi empat bidang, yaitu ibadah, munakahat, muamalah dan jinayah.29 Fiqih di ibaratkan dengan ilmu, karena fiqih itu semacam ilmu pengetahuan, memang fiqih itu tidak sama dengan ilmu secara fiqih itu bersifat zany, karena ia adalah hasil apa yang dapat dicapai melalui ijtihadnya para mujtahid sedangkan ilmu itu mengandung arti suatu yang pasti qath’iy.30 Pada pokoknya perbedaan antara syari’at dan fiqih adalah sebagai berikut : 1. Syari’at adalah wahyu dari Allah SWT, sedangkan fiqih adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syari’at dan hasil dari pemahaman tersebut.

27

Ali, Hukum Islam, h. 41

28

Djamil, Filsafat Hukum Islam.

29

Cik Hasan Bisri. Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. Ketiga, h. 67 30

Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, kencana, 2003, Cet. Pertama, hal. 5

2. Syari’at bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang luas. Fiqih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia yang biasanya di sebut sebagai perbuatan hukum. 3. Syari’at adalah ketetapan Allah dan ketentuan rasulnya karena berlaku abadi. Sedangkan fiqih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi dan dapat berubah dari waktu ke waktu. 4. Syari’at hanya satu pemahaman, sedangkan fiqih mungkin lebih dari satu pemahaman seperti terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazhab atau mazahib. 5. Syari’at menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fiqih menunjukkan keragamannya.31 c. Nash “Dan lapangan ijtihad terhadap Nash itu ada yang qath’y ada yang Dzanni, dari segi wurud Qur’an itu Qath’y. sedangkan hadits itu dzanni. Sekalipun Qur’an itu qath’y namun dilalahnya belum tentu qath’y yakin ada yang qath’y dan ada yang dzami. Dalam hal yang qath’y dilalah ada yang masuk kategori ta’abudi yakni yang tidak boleh ditanya tentang apa sebab demikian dank arena apa demikian. Ta’abudi disebut juga dengan istilah ghairu AlMa’qul. Sedangkan yang ta’aquli, yakni yang boleh ditanya apa sebab dank arena apa, istilah ta’aquli ini juga disebut dengan ma’qul yakni yang dapat dirasioalkan. Sekalipun ta’abudi disebut ghairu ma’qul atau tidak bias dimasuki ijtihad, kalau dilihat dari perjalanan sejarah islam, hal ini banyak sekali dilakukan syaidina umar yang tampaknya semuanya yang bersifat tatbiki, penerapan atau aplikasinya.

31

Ali.Hukum Islam, h. 45

Dari yang tersebut diatas berarti yang tidak bias dimasuku ijtihad hanyalah yang qath’y dilalah yang bersifat ta’abudi. Namun ada juga pendapat yang tidak begitu popular yakni pendapat Al-Naim dimana dengan teori nasikh masuknya yang terbalik, yang ta’abudi inipun masih bias dimasuki ijtihad.32 d. Kompilasi Hukum Islam Beberapa pengertian tentang kompilasi hukum islam adalah sebagai berikut : a. Adalah himpunan bahan-bahan hukum dalam islam suatu buku, atau lebih tepat yaitu himpunan kaidah-kaidah hukum islam yang disusun secara sistematik selengkapnya mungkin dengan berpedoman pada rumusan kalimat atau pasal yang lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan. 33 b. Adalah rangkaian dari berbagai pendapat hukum yang dimbil dari berbagai kitab, yang ditulis oleh para ulama fiqih yang bias digunakan untuk referensi pada pengedilan agama untuk dan dikembangkan serta dihimpun kedalam satu himpunan.34 Berdasarkan uraian dan penjelasan tentang pengertian diatas, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kompilasi Hukum Islam adalah sekumpulan materi hukum islam yang ditulis pasal demi pasal yang berjumlah 229 pasal dari 3 kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 Pasal), dan hukum perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal

32

H.A.Basiq Djalil. Pernikahan Lintas Agama (dalam persfektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta, penerbit Qulbun Salim, thn 2005 Cet Pertama. h.180-181 33

Tahir Azhari. Kompilasi Hukum Islam sebagai Alternatif :suatu Analisa Sumber-sumber hukum islam, dalam Mimbar Hukum (Jakarta : Al-Hikmah dan DITBINBAPERA, 1991), h.15 34

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta Akademika Pressindo, 1995), Cet Kedua, h.10

ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut.35 Ketiga materi hukum tersebut diperlakukan sebagai bahan rujukan dan pedoman bagi para hukum di lingkungan peradilan Agama di Indonesia dalam memutuskan perkaraperkara yang dihadapinya. Setelah melihat beberapa pembahasan diatas tentang Syari’ah,Fiqih,KHI dan Nash, maka dapat dibedakan pengertian antara,Ssyari’ah,Fiqih, KHI dan Nash sebagai berikut : 1.

Pengertian syariah adalah hukum yang bersumber dari Allah SWT berupa ketetapan Allah dan ketetapan rasul, baik berupa larangan maupun perintah meliputi seluruh aspek kehidupan manusia

2.

Pengertian Fiqih adalah pemahaman manusia yang merupakan beragam aliranaliran hukum yang memenuhi syarat tentang syariat yang ruang lingkupnya terbatas dan dapat berubah dari waktu-kewaktu.

3.

Kompilasi hukum islam adalah himpunan bahan-bahan hukum islam yang dirangkai dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari beberapa kitab yang ditulis oleh ulama fiqih yang digunakan untuk referensi pengadilan kitab yang dikembangkan serta dihimpun kedalam suatu humpunan berupa pasal-pasal yang digunakan dalam perundang-undangan.

4.

Nash dari segi wurud Qur’an itu qath’y sedangkan hadits itu dzani qath’y itu dilalahnya ada yang qath’y dan ada yang dzanni dan dzanni itu dilalahnya juga 35

Wahyu Widiana, Aktualitas Kompilasi Hukum Islam di Peradilan Agama Paper. Disamping dalam seminar sehari dengan tema “Refleksi Sebelas Tahun”, Kompilasi Hukum Islam : “Ekstensi KHI dulu, dan yang akan datang”, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 7 Mei 2002 M/1423 H)

ada yang qath’y dan dzanni dan nash yang qath’y dilalahnya itu ada yang bersifat ta’abudi dan ada yang bersifat ta’aquli.

B. Pengertian Hukum Perdata Pada dasarnya hukum dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu hukum public dan hukum privat (hukum perdata). Hukum Public merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kepentingan umum, sedangkan hukum perdata mengatur kepentingan yang bersifat keperdataan. Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Djojodiguno sebagai terjamahan dari Burgerlijkrecht pada masa penduduk jepang. Disamping istilah itu, sinonim hukum perdata adalah Civielrecht dan privatrecht.36 Hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan yang mengatur kepentingan antara warga Negara perseorangan yang satu dengan warga Negara perseorangan yang lain.37 Kaidah hukum perdata dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perdata tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi,

36

Dune dalam Salim Hs. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (Burgelijk Wetboek), Cet. Kedua,

h. 5 37

Srisoe Dewi Majehone Sofwan. Hukum Perdata Hukum Belanda (Yogyakarta : Penerbit Liberty), 1981, Cet. Keempat, h. 1

sedangkan kaidah hukum perdata tidak tertulis adalah kaidah hukum perdata yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan). 38 Subjek hukum dibedakan menjadi dua macam yaitu manusia dan badan hukum. Manusia sama dengan orang karena manusia mempunyai hak-hak subjektif dan kewenangan hukum. Sedangkan badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban. 39 Hukum perdata menurut ilmu hukum dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu : a. Hukum tentang diri seseorang b. Hukum kekeluargaan c. Hukum Kekayaan d. Hukum Warisan 1)

Hukum tentang diri seseorang, memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subjek hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hakhaknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.

2)

Hukum keluarga,

mengatur

perihal hubungan kekeluargaan,

yaitu

perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami-istri, hubungan antara orang tua dan anak, perkawinan dan curatele.

38

Salim Hs. Pengantar hukum Perdata Tertulis, h. 6

39

Ibid., 7.

3)

Hukum kekayaan, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Kekayaan seseorang yang dimakudkan ialah jumlah segala hak dan kewajiban orang itu dinilai dengan uang. Hak-hak kekayaan terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang dan karenanya dinamakan hak mutlak dan hak-hak yang hanya berlaku terhadap seseorang atau suatu pihak yang tertentu saja dinamakan hak perseorangan. Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atau suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan.

4)

Hukum waris, mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seorang jikalau ia meninggal atau hukum yang mengatur akibat-akibat hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.40

Dari berbagai rumusan diatas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam definisi hukum perdata, yaitu : 1. Adanya kaidah hukum (tertulis atau tidak tertulis) 2. Mengatur hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain. 3. Bidang hukum yang diatur dalam hukum perdata meliputi hukum orang hukum keluarga, hukum kekayaan dan hukum warisan. 41

40

Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta : PT. Intermasa, 1987), Cet ke-21, h. 16-17

41

Ibid., 6.

C. Pengertian Kewarisan a. Pengertan Kewarisan Menurut Hukum Islam Menurut kamus bahasa Arab kata waris merupakan bentuk masdar dari kata yang mempunyai arti mewarisi (harta) bapaknya42 atau mewarisi (harta) dari bapaknya. Sedangkan mewarisi menurut istilah, yaitu menurut T.M Hasby AshShiddieqy ialah harta peninggalan orang yang telah meninggal, yang diwarisi oleh para ahli warisnya.43 Dalam rumusan kompilasi hukum Islam (pasal 171 huruf a) tentang hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggaln (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Sedangkan (pasal 171 huruf c) tentang ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris beragama islam yang tidak terhalang karena hukum menjadi ahli waris.44 Faraid (ِ‫ )ََا‬adalah jamak dari faraidah ( َََُِ)), yang berlaku satu bagian tertentu, jadi faraid berarti beberapa bagian tertentu

42

Ahmad Warson Al-Munawir. Kamus Arab Indonesia Al-Munawir (Yogyakarta : 1984), h.

43

Tm Hasby Ash-Shiddiqey. Fiqih Al-Mawaris (Semarang : PT. Rizki putra,2001), Cet .ketiga,

1655

h. 17 44

Direktorat Pembinaan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Diektorat Pembinaan peradilan agama, 2002), h. 81

Didalam faraid dibahas hal-hal yang berkenaan dengan warisan (harta peninggalan),

ahli

waris,

ketentuan

bagian

ahli

waris

dan

pelaksanaan

pembagiannya. 45 Didalam Al-Qur’an Allah berfirman, dalam surat An-Nisa ayat 7 :

⌧)"*+ $☺&'  !"#   ,- " ./

5 6&74 "-01"/23 4 ⌧)"*+ $☺&'  !"# ,- " ./

0<' :;* $☺' 8901"/23 4 ) ?7⌧@ 44= ( ٧: ٤/‫" ء‬#‫ا‬ Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan ( An-Nissa /4 : 7)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ilmu Faraid adalah ketentuanketentuan bagian ahli waris yang diatur secara rinci di dalam Al-Qur’an.46 Sementara H.Abdullah Siddik Menjelaskan bahwa Ilmu Faraid adalah suatu Ilmu pembagian pusaka seseorang yang meninggal dunia dengan kata lain Ilmu Faraid merupakan suatu Ilmu yang menerangkan ketentuan-ketentuan pusaka yang menjadi ahli waris. 47

45

M.Ali Hasan, Hukum Dalam Islam, Jakarta, PT.Bulan Bintang, 1996, Cet. Keenam,, h. 10

46

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1995), Cet. Kedua,, h. 1

47

Abdullah Siddik. Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di seluruh Dunia Islam (Jakarta : PT. Intermassa, 1990),Cet Pertama, h. 42

b. Pengertian Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) Pengertian kewarisan menurut hukum perdata barat (Burgelijk Wetboek) seperti yang dikemukakan oleh Apitlo. “Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh orang meninggal dunia dan akibat dari pemindahan ini, bagi orang-orang yang memperolehnya baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.48 Soediman Kartohadiprojo berpendapat bahwa : “Hukum kewarisan barat adalah bagian kesemuanya kaedah hukum yang mengatur nasib kekayaan seseorang setelah meninggal dunia dan menentukan siapa yang mendapat warisan”49

Dari pengertian diatas dapatlah diartikan bahwa pengertian kewarisan mempunyai arti yang cukup luas meliputi unsur-unsur : 1. Adanya orang yang meninggal dunia yaitu orang yang meninggalkan harta warisan. 2. Adanya orang yang masih hidup yaitu orang yang menurut Undang-Undang atau statement untuk berhak mendapatkan warisan dari orang yang meninggal dunia. 3. Adanya benda yang ditinggalkan oleh pewaris yang pada saat dia meninggal dunia yang disebut harta warisan atau warisan.50 48

A. Pitlo. Hukum Waris Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. Terjemahan (Jakarta, Intermassa, 1990) , Cet. Pertama, h. 1 49

Soediman Kartohadiprojo. Pengantar Tata Hukum di Indonesia (Jakarta : PT. Pembangunan, 1967), Cet. Kelima, h. 16

BAB III KONSEP KEWARISAN ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Dasar Kewarisan Menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 1. Dasar Kewarisan Menurut Hukum Islam Bagi umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syari’at yang ditunjuk oleh nash-nash yang sharih meski dalam soal pembagian harta pusaka sekalipun adalah suatu keharusan selama peraturan tersebut tidak ditunjuk oleh dalil nash yang lain yang menunjukkan ketidakwajibannya. Padahal tidak ada nash yang demikian itu bahkan didalam surat An-Nisaa ayat 13 dan 14, “Tuhan akan menempatkan surga selama-lamanya orang-orang yang mentaati ketentuan (pembagian harta pusaka) dan memasukan ke neraka untuk selama-lamanya orang-orang yang tidak mengindahkannya. 51 Waris adalah bagian dari syari’at Islam, oleh karenanya Islam mengatur secara sempurna masalah-masalah yang berkaitan dengan waris. Al-Qur’an menegaskan secara terperinci ketentuan bagian ahli waris yang disebut dengan

50

Suparman Usman. Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (Burgelijk Wetboek ) Daud ulum press, 1993), Cet. Kedua, h. 55 51 Faturrahman. Ilmu Waris, Bandung, PT. Al-Maarif, 1975, Cet. Keempat, H. 34

Furudul Muqadarah (bagian yang ditentukan) atau bagian ashabah serta orang-orang yang tidak termasuk ahli waris.52 Pokok-pokok hukum waris tercakup dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW, tentang siapa yang berhak untuk saling mewarisi, serta ketetapan berapa besar bagian untuk masing-masing ahli waris dalam menerima harta waris. a. Al-Qur’an Dalam Al-Qur’an pembicaraan mengenai pembagian warisan53 yaitu : ayat tentang hak kewarisan laki-laki dan wanita dari orang tuanya dan kerabatnya seperti dalam Surat An-Nisa ayat 7, yang berbunyi :

⌧)"*+ $☺&'  !"#   ,- " ./

5 6&74 "-01"/23 4 ⌧)"*+ $☺&'  !"# ,- " ./

0<' :;* $☺' 8901"/23 4 ) ?7⌧@ 44= ( ٧: ٤/‫" ء‬#‫ا‬ Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan. ( An-Nissa /4 : 7) a) Ayat tentang perolehan anak dengan tiga garis hukum, perolehan Ibu/Bapak dengan tiga garis hukum, tentang wasiat dan hutang.

52

53

Hasbiyallah, Belajar Ilmu Waris, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2007, Cet. Pertama, H. 6

Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta : PT. Sinar Grafika, 2004), Cet. Kedelapan h. 6-33

Penjelasan ayat 11 A. Ayat perolehan anak dengan tiga garis hukum : a. Allah menentukan mengenai pembagian harta warisan untuk anak-anakmu ialah untuk seorang anak laki-laki sebanyak bagian dua orang anak perempuan. b. Jika anak-anak kamu itu hanya anak perempuan saja dan jumlahnya ada dua orang atau lebih mereka mendapat dua pertiga bagian harta peninggalan. c. Dan jika anak perempuan itu hanya seorang saja maka baginya seperdua harta peninggalan. B. Ayat perolehan Ibu/Bapak dengan tiga garis hukum a. Dan bagi dua orang Ibu/Bapak, masing-masingnya mendapat seperenam dari harta peninggalan kalau si pewaris meninggalkan anak. b. Maka jika si pewaris tidak meninggalkan anak dan mewarisinya Ibu/Bapaknya maka bagi ibunya sepertiga jika tidak ada baginya saudara. c. Maka jika si pewaris tidak meninggalkan anak tetapi ada baginya saudara dan mewarisinya Ibu/Bapaknya maka bagi ibunya seperenam. d. Pelaksanaan pembagian harta warisan termasuk dalam garis hukum a sampai dengan f itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang si pewaris. Seperti firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 11 yang berbunyi :

NOPQR *44= KLM J F5GHI VW ;U' ⌧@T  S

☯5 6^ $ 5@ -[*\ A ,MXY*U#Z3

*U?? $ cd*\ ,MX"`"a/ *_N*\ fg"#⌧@ -e4 S ⌧)"*+ "' A  !&< cd*\
( ١١: Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nissa /4: 11) b) Ayat tentang perolehan duda, janda dan saudara dalam hal kalalah54 dengan dua garis hukum.

54

Kalalah adalah seseorang pewaris yang meninggal dunia dan si pewaris tersebut tidak mempunyai anak maka saudaranya tampl mewaris  Tiga Garis Hukum adalah Bahwa ada tiga garis hukum yg disebutkan dalam ayat-ayat kewraisan itu.

Penjelasan ayat 12 : A. Ayat perolehan duda dengan dua garis hukum a) Duda karena suami yang kematian istri mendapat seperdua harta peninggalan istrinya kalau si istri meninggalkan anak. b) Duda karena suami yang kematian istri mendapat seperempat harta peninggalan istrinya kalau si istri meninggalkan anak. c) Pelaksanaan pembagian harta warisan termasuk dalam garis hukum a dan b diatas itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang si pewaris. B. Ayat tentang perolehan janda dengan dua garis hukum d.) Janda karena istri yang kematian suami mendapat seperempat harta peninggalan suami tidak meninggalkan anak. e.) Janda karena istri yang kematian suami mendapat seperdelapan harta peninggalan suaminya kalau si suami tidak meninggalkan anak. f.) Pelaksana pembagian harta warisan termasuk dalam garis hukum d dan e diatas itu sesudah dibayarkan wasiat atau hutang si pewaris.

C. Ayat tentang perolehan kalalah : g.) Jika ada seorang laki-laki atau seorang perempuan diwarisi secara punah (kalalah) sedangkan baginya ada seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka setiap mereka itu memperoleh seperenam.

 Dua garis hukum adalah bahwa ada dua garis hukum yg disebutkan dalam ayat-ayat kewarisan itu.

h.) Jika ada seorang laki-laki atau seorang perempuan di warisi secara penuh (kalalah) sedangkan baginya ada saudara-saudara yang jumlahnya lebih dari dua orang maka mereka bersekutu untuk a sepertiga. i.) Pelaksanaan pembagian harta warisan tersebut dalam garis hukum g & h diatas itu sesudah dibayarkan wasiat atau hutang si pewaris

Seperti dalam surat An-Nisa ayat 12 yang berbunyi :

⌧)"*+ "'  !# NOP‚*4 [ $ cT 5G"I T -e NOP‚ƒ.4/„4= p *4 …c* "- zQ -[*\ A p *4 A v ˆQ"*+ $☺' †01‡ OP‚d*\ 8‰XHI BwYH4 R?"1 @ ' …c*4 A =‰/y 44=  c1 -e 02/@"*+ $☺' †01‡

"- zQ -[*\ A pR*4 NO5GT P‚"I NOT  ☺tU $ cd*\ p *4 NOP‚* R?"1 @ &' A i5ŠˆQ"*+ $☺' 44=  c1 89H?+ BwYH4 arI u;ƒr 89⌧@ -e4 G =M/y Eo=*4 uh4="/' 44= ‹*

dzQ BRd.4 ,V;5G*\ ugvŽ= 44= Œ4= -[*\ A m:Rn

☺c7&' B.* ' >*7ˆQ4= S K0#zQ A l?tZ LM m5zQ>P fgc*\ Ap6 I BwYH4 R?"1 @ ' r z' >N⌧Œ M/y 44=  wkx J 4 G  v &'
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benarbenar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (An-Nissa /4 : 12) j.) Ayat tentang seseorang yang mendapatkan harta peninggalan dari Ibu/Bapaknya, kerabatnya dan handai taulan seperjanjiannya, seperti dalam surat An-Nisa ayat:33

L“."' h7\?ƒ V;P‚4 ,- " ./

⌧)"*+ $☺' "MyT 4 A 8901"/23 4 NO?”?+ "*\ NOP‚< ☺I4= fOR*e" ALd+" "-zQ T :-e A NOjkv•n !"# (٣٣ : ٤/‫" ء‬#‫– )ا‬RYc⌧T =5p⌧ ,V;PQ Artinya : Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang yang kamu Telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.(An-Nissa /4 : 33) k.) Ayat tentang arti kalalah, juga mengenai perolehan saudara-saudara dalam kalalah, seperti dalam surat An-Nisa ayat 176 yang berbunyi :

J

,;? B"#02/E"`h— ,-e A ‹*

d*G/ LM NOP‚Y2/EI o0* š/* Bd” S Œ"m˜N™

cd*\ ugvŽ= Eo=*4 p *4 ?”4 A ⌧)"*+ "'  !#

h›œ 5G"I NOT -e  c?"I "2"#⌧@ -[*\ A p *4 ☺cd*\ ,MX"2
-e4 A ⌧)"*+ EC ,- *U?tU

<{ r
VW J 4 G S Ÿ *+ -4= NOP‚* J

(١٧٦: ٤/‫" ء‬#‫ ) ا‬B"’ ~5p⌧ ,V;5G1 Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (An-Nissa /4 : 176) b. Al-Hadits 1. Hadits riwayat muslim

ِ4ْ‫ُ ِ ﺏ‬5ْ26‫ٍ وَا‬3ْ8َ9ُ‫ُ ﺡ‬4ْ‫ُ ﺏ‬3ََْ‫ٍ و‬:ِ‫ُ رَا‬4ْ‫ُ ﺏ‬329َُ;َ‫<َ و‬8ِ‫ُ إِﺏَْاه‬4ْ‫َ إِﺱْ َقُ ﺏ‬#َ132 َ‫ﺡ‬ َ‫ََْﻥ‬Aَ‫اقِ أ‬2‫ز‬2‫ُ ا‬3َْ َ‫ََْﻥ‬Aَ‫ أ‬:ِ‫ََان‬ABْ‫َ وَ?َ لَ ا‬#َ123َ‫ ﺡ‬:ُ‫ٍ ?َ لَ إِﺱْ َق‬:ِ‫رَا‬ ِG26‫لُ ا‬Jُ‫ ?َ لَ رَﺱ‬:‫ سٍ ?َ ل‬2َ ِ4ْ‫ِ اﺏ‬4َ ِG8ِ‫ْ أَﺏ‬4َ ٍ‫َ وُس‬H ِ4ْ‫ِْ ﺏ‬4َ ٌَ9ْIَ; ِG26‫َ بِ ا‬Lِ‫ آ‬Kَ6َ ِِ‫ِ اََْا‬Nْ‫َ أَه‬4ْ8َ‫َ لَ ﺏ‬9ْ‫ا ا‬Jُ9ِ"ْ?‫<َ ا‬26َ‫ِ وَﺱ‬Gْ8َ6َ ُG26‫ ا‬K26َ ٥(<6"; S‫ٍ ذَآٍَ )روا‬NُOَ‫ ر‬Kَْ‫َو‬Pِ6َ ُِ‫ِ اََْا‬Qَ‫َ ﺕََآ‬9َ Telah menceritakan kepada kami ishaq bin ibrahim dan Muhammad bin rofi’ dan abd bin humaid dan adapun lafadznya dari ibnu rofi’ ishak berkata : telah diceritakan kepada kami dan berkata pula yang lain : kami di beri kabar oleh abdurrozak dan ma’mar dari ibnu towus, dari bapaknya, dari ibnu abbas r.a

berkata : bersabda Rosulallah SAW bersabda: bagikanlah harta warisan kepada ahli waris ( Ashabul Furudh ) sesuai dengan ketetapan kitabullah, sisanya kepada keluarga laki-laki yang terdekat ( Ashabah ).55( Riwayat Muslim )5 2. Hadits riwayat muslim :

ِ4ْ‫ِ اﺏ‬4َ ٌUْ8َ‫َ وُه‬#َ123َ‫ ﺡ‬VWِ‫ْﺱ‬2#‫َ ا‬Jُ‫ دٍ وَه‬29َ‫ُ ﺡ‬4ْ‫ ﺏ‬Kَ6َْPْ‫ُ ا‬3َْ َ#َ132 َ‫ﺡ‬ :َ‫ سٍ ?َ ل‬2َ ِ4ْ‫ِ اﺏ‬4َ ِG8ِ‫ْ أَﺏ‬4َ ٍ‫َ وُس‬H َWِYَ‫َ ﺏ‬9َ َZِ6ْ‫َه‬Pِ‫ اََِِْ ﺏ‬JُYَِْ‫ أ‬: َ<26َ‫ِ وَﺱ‬Gْ8َ6َ ُG26‫ ا‬K26َ ِG26‫لُ ا‬Jُ‫?َ لَ رَﺱ‬ ٦ ( <6"; S‫ٍ ذَآٍَ ) روا‬NُOَِ‫ ر‬Kَْ‫َ[َو‬JُZَ Telah menceritakan kepada kami Abdul A’la bin Hamid dan dia dari bangsa "Narsiy" telah bercerita pula kepada kami Wuhaib dari ibnu thowus dari bapaknya, dari ibnu abbas r.a berkata, Rosulallah SAW bersabda : Bagikanlah harta warisan kepada ahli waris ( yang berhak, dzawil Furudh ), Sedang sisanya kepada keluarga laki-laki yang terdekat ( Ashabah ). ( Riwayat Muslim ) 56 c. Ijma dan Ijtihad Ijma dan Ijtihad para sahabat, imam-imam mazhab dan mujtahid-mujtahid kenamaan mempunyai peranan yang tidak kecil terhadap pemecah-pemecah masalah waris yang belum dijelaskan oleh nash-nash yang sharih seperti pembagian muqasamah (bagi sama) dalam masalah Al Jaddu wal-ikhwah (kakek bersama dengan saudara-saudara) kemudian masalah wasiat wajibah, masalah pengangguran dan penambahan bagian ahli waris (auld an rad) masalah garawin dan lainnya. 57 2. Dasar hukum kewarisan menurut kitab undang-undang hukum perdata 55

Abi Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy Al- Naisabury, Shahih Muslim, ( BairutLebanon : ‘Dar ‘Al-Kitab Al-Arabi ) Hadits 4143, h. 671. 56

Abi Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy Al- Naisabury, Shahih Muslim, ( BairutLebanon : ‘Dar ‘Al-Kitab Al-Arabi ) Hadits 4143, h. 671. 57

Usman dan Somawinata, Fiqih Mawaris, h. 21

Bahwa cikal bakal kitab undang-undang hukum perdata (Burgelijk Wetboek) pada mulanya berasal dari bangsa romawi. Sejak lebih kurang 50 sebelum masehi, pada waktu itu seorang Raja Romawi Julius Caesar berkuasa di Eropa barat, hukum romawi sudah diperlakukan disana terutama di Prancis dalam perkembangan selanjutnya telah berkuasa terus menyusun hukum nasionalnya, untuk mencapai kesatuan Hukum Perdata (Huku Sipil) mereka. Hal ini telah dirintis sejak Raja Lodewijk XV yang membawa code justianus (Corpus Jueris Cilivis) ke Prancis yang pada waktu itu Corpus Juris Civilis ini. Dianggap sebagai suatu hukum yang paling sempurna. 58 Pada waktu Napoleon Bonaparte kemudian dapat menguasai Romawi, Corpus Juris Civilis ini kemudian diasimilasi dengan hukum Islam yang digodok Napoleon Bonaparte di Mesir dengan bantuan seorang syekh Sayukat Al-Azhar dengan mempergunakan Kitab Fiqih Abdullah Asy-Syargawi (1737-1812), dibantu oleh tim khusus Perancis yang ditunjuk oleh Napoleon Bonaparte, yaitu Portalis Fronchets Biqot de preamencu, maka tidak salah kiranya Hasbullah Bakri mengatakan bahwa Bueelijk Wetboek (Kitab Undang-undang hukum perdata) barat yang dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda ke Indonesia berdasarkan asas Konkordasi itu suatu

58

Usman, Iktisar Hukum Waris, h. 2

penjiplakan dari hukum fiqih Islam yang berdasaran Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. 59 Perkembangan selanjutnya dalam tahun 1810, Negara Belanda dikuasai oleh Perancis di bawah Napoleon Bonaparte, dan pada tahun 1811 Code Civil Prancis seperti halnya juga Code de Penal dan Code du Commerce (Hukum Pidana dan Hukum Dagang Prancis) diperlukan pula di negeri Belanda.60 Berdasarkan asas konkordasi akhirnya diberlakukan pula di Indonesia.61 Meresmikan

diberlakukannya

di

Hindia

Belanda

(Indonesia)

itu

dikeluarkanlah pengumuman Pemerintah Hindia Belanda tanggal 30 April 1847, Nomor 23 yang baru mulai berlaku pada tanggal 1 mei 1848.62 Adapun kitab Undang-undang hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terutama pasal 528, tentang hak mewarisi diidentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan ketentuan dari pasal 584 KUHPdt, menyangkut hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan. 63 Oleh karenanya ditempatkan dalam buku ke

59

Hasbullah Bakri dalam Idris Ramulyo. Perbandingan Umum Kewarisan Islam di peradilan agama dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata di peradilan negeri, (Jakarta : Pedoman Ilmu, 1992), h. 157-158 60

M. Idris Ramulyo. Beberapa Masalah Pelakanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat, Jakarta, Sinar Grafika, 1996, cet. Kedua, h. 11 61

Ibid

62

Ibid

63

Usman. Ikhtisar Hukum Waris , h. 13

IIKUHPdt (tentang benda)64. Jadi keseluruhan pokok dasar hukum kewarisan perdata ini tercantum dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berupa pasal-pasal. Menurut statsblad 1952 Nomor 415 jo 447 yang telah diubah, ditambah dan sebagainya terakhir dengan S.1929 No.221 pasal 131 jo. Pasal 163, hukum kewarisan yang diatur dalam KUHPdt tersebut diberlakukan bagi orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Eropa tersebut.65 Dengan Statsblad 1917 No.129 jo. Staatsblad 1928 No.557 hukum kewarisan dalam KUHPdt diberlakukan bagi orang-orang timur asing Tionghoa, dan berdasarkan Staatsblad 1917 No.12 menundukkan diri terhadap Hukum Eropa, maka bagi orang-orang Indonesia mungkin pula menggunakan hukum kewarisan yang terutang dalam KUHPdt dengan demikian maka KUHPdt (Burgelijk Wetboek) diberlakukan kepada : 1. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa misalnya Inggris, Perancis, Amerika dan termasuk orang-orang Jepang. 2. Orang-orang timur Asia Tionghoa. 3. Orang-orang timur asia lainnya, orang-orang pribumi menundukkan diri. 66 Menurut KUHPdt pasat 874, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu: 1. Ahli waris menurut ketentuan Undang-undang; dan 2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testasmen). 64

Ibid., h. 12

65

Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan, h. 30

66

Ibid

Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab intesatto”. Sedangkan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”67 Adapun dasar atau sumber hukum kewarisan perdata, ini tertuang dalam KUHP perdata pasal 830, 831, 34, 832, 841 dan 842 yang berbunyi: 1. Pasal 830 BW : “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. 2. Pasal 831 BW: “Apabila beberapa orang antara mana yang satu adalah untuk menjadi warisan yang lain, karena satu mala petaka yang sama atau pada suatu hari, telah menemui ajalnya dengan tak dapat diketahui siapakah kiranya yang mati terlebih dahulu, maka dianggaplah mereka telah meninggal dunia pada detik yang sama, dan perpindahan warisan dari yang satu kepada yang lain tidaklah berlangsung karenanya”. 3. Pasal 834 BW: “Apabila seorang tampil sebagai ahli waris, mereka berhak menuntut supaya segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si peninggal diserahkan kepadanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Hak penuntut ini menyerupai hak penuntutan seseorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya penuntutan itu ditunjukkan kepada orang yang menguasai satu benda warisan dengan maksud memilikinya”. 4. Pasal 832 BW : 67

Ibid ., h. 31

“Menurut Undang-undang yang berhak menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah baik sah, maupun luar kawin dan si suami atai isteri yang hidup terlama, semua menurut peraturan-peraturan tertera di bawah ini: Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang hidup terlama diantara suami-isteri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal, menjadi milik Negara, yang mana berwajib akan melunasi hutangnya, sekedar harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.”Pasal 841 BW : “Pergantian memberi hak kepada seorang yang mengganti, untuk bertindak sebagai pengganti, dalam derajat dan segala hak orang yang diganti”. 5. Pasal 842 BW : “Pergantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus dengan tiada akhirnya”. Dalam segala hal, pergantian seperti di atas selamanya diperbolehkan, baik dalam. Hal bilamana beebrapa anak dari yang meninggal mewarisi bersama-sama dengan keturunan seorang anak yang telah meninggal lebih dahulu, maupun sekalian keturunan mereka mewarisi bersama-sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya.68

B. Sebab-sebab Mewaris Menurut Hukum` Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 68

R. Subekti, R. Tjitrasidibio, kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW, PT. Pradnya Paramita, 2005, Cet. Ke- 28

1. Sebab-sebab Mewaris menurut Hukum Islam. 69 a. Karena hubungan perkawinan Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan perkawinan antara si mayat dengan seseorang tersebut, yang termasuk dalam klarifikasi ini adalah suami atau si isteri dari si mayat. b. Karena adanya hubungan darah Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan nasab atau hubungan darah/ ini seperti : ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara dan lain-lain. c. Karena memerdekakan si mayat d. Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) dari si mayat disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayat dari perbudakan, dalam hal ini dapat saja seseorang laki-laki atau seorang perempuan. e. Karena sesama muslim Seorang muslim yang meninggal dunia dan ia tidak ada meninggalkan ahli waris sama sekali (punah), maka harta warisannya diserahkan kepada baitul maal dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin. 2. Sebab-sebab mewaris menurut KHI : A. Ahli waris menurut hubungan perkawinan terdiri dari : 1. Janda atau 2. Duda 69

Faturrahman,. Ilmu Waris, h. 80

Apabila ahli waris laki-laki, perempuan secara keseluruhan ada, maka yang berhak mendapatkan warisan hanyalah : 1. Anak (perempuan / laki-laki) 2. Ayah 3. Ibu 4. Janda ata Duda (paal 174 ayat 2 KHI) B. Ahli waris menurut hubungan darah (Nasabiyah) (pasal 174 ayat 1) ahli waris kelompok ini jumlah keseluruhannya ada 39 orang terdiri dari 21 orang laki-laki dan 18 orang perempuan, ahli waris golongan laki-laki terdiri dari-ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki paman dan kakak, adapun ahli waris golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. Halangan untuk menerima atau disebut mawaani’al irts adalah tindakan atau halhal yang dapat menggugurkan hak-hak seseorang untuk mempusakai beserta adanya sebab-sebab dan syarat-syarat mempusakai. Para ahli waris yang kehilangan hak waris karena adanya mawaani’al irts ini disebut mahrim dan halangannya disebut hirman70 Adapun hal-hal yang dapat menghalangi, yang disepakati ulama ada tiga macam, yaitu pembunuhan, berlainan agama dan perbudakan. Sedangkan yang tidak disepakati ulama adalah berlainan Negara.71

70

Faturrahman. Ilmu Waris, Bandung , Al-Ma’arif , 1981, Cet. Kedua, H. 83

71

Rofiq. Hukum Islam di Indonesia, h. 124

a. Perbudakan (Al-Raqqu) Perbuatan menjadi penghalang pusaka-mempusakai para faradiyun. Telah bulat pendapatnya untuk menetapkan perbudakan adalah suatu hal yang menjadi penghalang pusaka mempusakai, berdasarkan adanya petunjuk umum dari suatu nash yang shorih yang menafikan kecakapan bertindak seorang budak dalam segala bidang yaitu firman Allah yang termaktub dalam ayat An-Nahl:75.

7RN‚" €⌧*U"' J

v~>z =5p⌧ ALd+" mrR/e"I ¡{ <@?f☺:' (٧٥ :١٦/ N2#‫)أ‬ “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun....dst” (An-Nahl /16:75) .

Mahfum ayat tersebut menjelaskan bahwa budak yang tidak cakap mengurusi hak milik kebendaan dengan jalan apa saja dalam soal pusaka mempusakai terjadi di satu pihak melepaskan hak milik kebendaan dan disatu pihak yang lain menerma hak milik kebendaan.72 b. Pembunuhan (Al-Qatlu) Jumhur ulama sependapat bahwa pembunuhan pada prinsipnya menghalangi si pembunuh untuk mewarisi harta peninggalan orang yang dibunuh, dengan alasan sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad:

72

Ibid., h. 83.84

ِ ْ‫ِْو ﺏ‬9َ ْ4َ ٍ‫ ج‬2^َ‫ِ ﺡ‬4َ ُS‫ََ أُرَا‬9ُ ُ4ْ‫ُ ﺏ‬N8ِ َ9ْ‫ْ_ِرِ إِﺱ‬#ُ9ْ‫ ا‬Jُ‫َ أَﺏ‬#َ132 َ‫ﺡ‬ 4 ِ4ْ‫ََ ﺏ‬9ُ Kَِ‫َ إ‬:َُِ ‫ًا‬3ْ9َ ُGَ#ْ‫ٌ اﺏ‬NُOَ‫َ ر‬NَLَ?َ ‫ِ ?َ ل‬Sb3َO ْ4َ ِG8ِ‫ْ أَﺏ‬4َ ٍUْ8َIُ` ً2Yِ‫َ ﺡ‬48ِ1 َ6َ1 ِNِ‫ِﺏ‬fْ‫ْ ا‬4ِ; ًَ ِ; ِGْ8َ6َ َNَIَ^َ ُGْ#َ ُG26‫َ ا‬Wِ‫ بِ رَﺽ‬2dَeْ‫ا‬ ُQْIِ9َ‫ ﺱ‬Wb‫َْ أَﻥ‬Jََ‫ُ و‬Nِ‫َ ﺕ‬Yْ‫ً وَ?َ لَ َ یَِثُ ا‬28ِ#َ1 َ48ِIَ‫َ_ًََ وَأَرْﺏ‬O َ48ِ1 َ6َ1َ‫و‬ i َ ُLْ6َLَYَ ِSِ3ََJِ‫ٌ ﺏ‬3ِ‫ُ وَا‬NَLْYُ‫لُ َ ی‬JُYَ‫<َ ی‬26َ‫ِ وَﺱ‬Gْ8َ6َ ُG26‫ ا‬K26َ ِG26‫لَ ا‬Jُ‫رَﺱ‬ ٢٣ (39‫ أﺡ‬3#";) Telah menceritakan Kepada kami Abu Mundzir Ismail Bin Umar Saya melihatnya dari hajjaj dari Umar bin Syu’aib dari bapaknya dan kakeknya dia berkata: seorang laki-laki telah membunuh anaknya dengan sengaja maka dilaporkan kepada umar bin Khatab R.a kemudian beliau memberikannya hukuman dengan membayar seratus unta tiga puluh hiqqah, tiga puluh jadzuah dan empat puluh tsaniyah dan berkata : seorang pembunuh tidak berhak mendapatkan harta warisan ( dari orang yang dibunuhnya ) seandainya saja saya tidak mendengar Rosulallah. SAW bahwa seorang ayah itu tidak boleh dibunuh/qishas disebabkan membunuh anaknya maka pasti saya akan membunuhmu. ( Musnad Ahmad )23 73

c. Berlainan agama (Khilaaf Al-Diin) Berlainan agama yang menjadi penghalang saling mewarisi adalah apabila terjadi perbedaan agama yang menjadi kepercayaan antara pewaris dan ahli waris, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

3ِ 29َُ; Jُ‫ِ وَأَﺏ‬4َ"َْ‫ُ ا‬4ْ‫ُ ﺏ‬3َ9ْ‫ أَﺡ‬: ٍْjَ‫ ﺏ‬Jُ‫ُ وَأَﺏ‬5ِ َْ‫ِ ا‬G26‫ِ ا‬3َْ Jُ‫ََْﻥَ أَﺏ‬Aَ‫أ‬ ِ‫َارِس‬Jَْ‫ ا‬Kِ‫ُ أَﺏ‬4ْ‫ُ ﺏ‬329َُ; : ٍ‫ َ دِق‬Jُ‫ِْئُ وَأَﺏ‬Yُ9ْ‫ٍ ا‬3ِ; َ‫ ﺡ‬Kِ‫ُ أَﺏ‬4ْ‫ﺏ‬ ٍْjَ‫ ﺏ‬Jُ‫َ أَﺏ‬#َ123َ‫بَ ﺡ‬JُYْIَ‫ُ ی‬4ْ‫ُ ﺏ‬329َُ; : ِ‫ س‬2َIْ‫ ا‬Jُ‫َ أَﺏ‬#َ123َ‫ا ﺡ‬Jُ َ? VKِ‫َ[َﻥ‬3ْ82‫ا‬ ِ4َ ٍlْ‫َُی‬O ِ4ْ‫ِ اﺏ‬4َ ٍ<ِ َ Jُ‫ أَﺏ‬Kِ‫ََْﻥ‬Aَ‫ أ‬VKِ‫َ ﻥ‬m2‫ُ إِﺱَْ قَ ا‬4ْ‫ُ ﺏ‬329َُ; : ِ4ْ‫ْ أُﺱَ ;ََ ﺏ‬4َ َ‫َ ن‬9ْnُ ِ4ْ‫ِْو ﺏ‬9َ ْ4َ ٍ4ْ8َ"ُ‫ِ ﺡ‬4ْ‫ ﺏ‬bKِ6َ ْ4َ ٍ‫َ ب‬Zِ` ِ4ْ‫اﺏ‬ ُ<ِ6ْ"ُ9ْ‫ [َ یَِثُ ا‬: - <6‫ وﺱ‬G86 o‫ ا‬K6 - ِG26‫لُ ا‬Jُ‫ٍ ?َ لَ ?َ لَ رَﺱ‬3ْ‫زَی‬ 73

Musnad Ahmad, Bab 1, Musnad Umar bin Khatab Juz 1, h. 332

Kِ‫ْ أَﺏ‬4َ ِq8ِ2‫ ا‬Kِ V‫َ رِي‬eُْ‫ُ ا‬S‫ )رَوَا‬.َ<ِ6ْ"ُ9ْ‫َ ُِ ا‬jْ‫َ ِ َ وَ[َ ا‬jْ‫ا‬ ٢٤(<8  Telah memberitahukan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafidz dan Abu Bakar Ahmad bin Hasan dan abu Muhammad bin Abi Hamid Al-Mughori dan Abu Shodiq Muhammad bin Abi Al-Qawaris As-Shoydalani, mereka berkata : telah menceritakan kepada kami Abu Abbas Muhammad bin Ya’kub telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Ishaq As-Shogoni, telah memberitahukan kepadaku Abu ‘Ashim dari Abu Juhaij dari Ibnu Syihab dari Ali bin Husein dari Amr bin Utsman dari usaman bin Zaid dia berkata : Rosulallah SAW bersabda : “ Orang islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak dapat mewaris harta orang islami ”. ( HR. Bukhori didalam shohih dari Abi ‘ Ashim). 2474

d. Berlainan Negara (Khalifah Al-Darain) Pengertian Negara adalah suatu wilayah yang ditempati oleh pewaris dan ahli waris, baik berbentuk kerajaan, kesultanan maupun republic. Dan Negara dikatakan berlainan menurut Ibnu Abidin (Facthur Rahman, 1994 ; 106) karena ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut : 1. Angkatan perangnya berlainan, artinya masing-masing negawa memiliki angkatan bersenjata sendiri. 2. Memiliki kepala Negara berlainan 3. Tidak memiliki ikatan kekuasaan (Ismah) satu sama lain. Adapun berlainan Negara yang menjadi penghalang saling mewarisi adalah apabila diantara ahli waris dan pewarisnya berdomisili di dua Negara yang berbeda

74

As-Sunah Al-Kubra Imam Baihaqi, Bab orang Islam Tidak dapat Mewarisi Harta Orang Kafir, Juz 6, h. 349

kriterianya. Namun apabila dua Negara yang berlainan tersebut sama-sama muslim para ulama tidak menjadi penghalang saling mewarisi diantara keduanya. 75 Sedangkan Menurut KHI sebagai berikut : Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempuyai kekuatan hukum yang tetap dihukum karena : a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris. b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukumannya yang lebih berat (pasal 173) 2. Sebab-sebab Mewaris Menurut Kitab Undang-undang hukum perdata Seseorang ahli waris mewarisi harta pewaris menurut hukum waris perdata (BW) dengan dua cara, yaitu: 1. Menurut ketentuan Undang-undang 2. Karena ditunjukkan dalam surat wasiat (testament)76 Orang-orang yang berhak mewarisi harta peninggalan seseorang diatur dalam undang-undang. Untuk menetapkan itu, para anggota keluarga si peninggal dibagi dalam berbagai golongan. Jika terdapat orang-orang dari golongan pertama maka itulah yang bersama-sama mewarisi semua harta peninggalah seseorang yang 75

Ibid., h. 10

76

Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata, h. 95

meninggal dunia. Sedangkan anggota keluarga lainnya tidak mendapat bagian apapun. Jika tidak ada anggota dari golongan pertama tadi, barulah mereka yang tergolong kedalam pihak kedua tampil kemuka sebagai ahli waris. Kedua, barulah orang dari golongan / pihak ketiga tampil.77 Tampil kedalam golongan pertama, adalah anak-anak beserta turunannya dalam garis lenceng ke bawah dengan tidak membedakan laki-laki atau perempuan dan dengan tidak membedakan urutan kelahiran mereka itu mengecualikan lain-lain anggota dalam garis lancing ke atas dan garis ke samping, meskipun mungkin diantara anggota-anggota keluarganya yang belakangan ini, ada yang derajatnya lebih dekat dengan si meninggal. Jika tidak ada sama sekali anggota keluarga dari golongan pertama dan kedua, maka harta peninggalan itu dipecah menjadi dua bagian yang sama. Untuk para anggota keluarga pihak ayah dan yang lainnya untuk para anggota keluarga pihak si Ibu meninggal. Dalam masing-masing golongan ini, lalu diadakan pembagian seolahseolah di situ telah terbuka suatu warisan sendiri. Hanya di situ tidak mungkin terjadi satu kali saja. Jika dari pihak salah satu orang tua tidak terdapat ahli waris lagi, maka seluruh warisan jatuh kepada keluarga pihak orang tua yang lain. 78 Disamping

undang-undang

dasar

hukum

seseorang

mewarisi

harta

peninggalan pewaris dapat melalui cara lain, ditunjuk dalam surat wasiat (testament).

77

Ibid., h. 98

78

Ibid., h. 99 - 100

Surat wasiat (testament) adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia.79 Pada asalnya suatu pernyataan yang demikian, adalah keluar dari suatu pihak saja (cenzidjidig) dan setiap waktu dapat ditari kembali oleh yang membuatnya dengan demikian, dapat dimengerti bahwa tidak segala yang dikehendaki oleh seseorang, sebagaimana diletakkan dalam wasiatnya itu, juga diperbolehkan atau dapat dilaksanakan. 80 Pasal 874 BW yang menerangkan tentang arti wasiat atau testament, memang sudah mengandung suatu syarat, bahwa isi pernyataan itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Pembatasan penting, misalnya terletak dalam paal-pasal tentang “litieme portie” yaitu bagian warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak para ahli waris dalam garis lenceng dan tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Pasal 875 kitab undang-undang hukum perdata memberikan definisi wasiat. Pasal itu berbunyi: “Adapun yang dinamakan wasiat atau testament ialah suatu akta yang membuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan menjadi setelah ia meninggal dunia, dan olehnya dapat dicabut kembali lagi.

C.

Bagian-bagian Warisan Menurut Hukum Islam dan Kitab undang-undang Hukum Perdata.

79

Ibid., h. 106

80

Ibid, 106 -107

Bagian-bagian yang dimaksud di sini, adalah yang akan ditetapkan menjadi hak para ahli waris. Ahli waris adalah seorang atau beberapa orang yang berhak mendapat bagian dari harta peninggalan.81 Sedangkan Menurut KHI : Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak terhalang hukum untuk menjadi ahli waris (pasal 171 huruf c KHI). Sedangkan penegrtian ahliw aris menurut Idris Ramulyo; sekumpulan orang atau seseorang atau individu atau kerabat-kerabat yang ada hubungan keluarga si meninggal dunia dan berhak mewarisi atau menerima harta peninggalan yang ditinggal mati oleh seeorang (pewaris)82 1. Bagian-bagian waris menurut Hukum Islam Dalam hukum waris Islam ahli waris yang dinyatakan mendapat harta warisan dapat dibedakan dalam tiga golongan, yaitu: 1). Ahli Waris Dzawil Furudh Ahli waris dzawil furudh adalah ahliw aris yang selalu mendapatkan bagian tertentu tidak berubah seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. 83 Ahli waris dzawil furudh adalah sebagai berikut: a. Suami b. Bapak

81

Eman Suparman. Hukum Waris Indonesia Dalam Persfektif Islam, Adat dan BW, (Bandung :PT. Refika Aditama, 2007), Cet. Kedua, h. 17 82

Idris Ramulyo. Perbandingan pelaksanaan Hukum Kewarisan menurut Hukum Perdata (Jakarta: Sinar grafika, 1994), Cet. Kedua, h. 103 83

Usman dan Somawinata, Fiqh Mawaris, h. 66

c. Kakek dan seterusnya ke atas d. Saudara laki-laki seibu e. Isteri f. Anak perempuan g. Anak perempuan dari anak laki-laki h. Ibu i.

Nenek dari garis ayah

j.

Nenek dari garis ibu

k. Saudara perempuan sekandung l.

Saudara perempuan sebapak

m. Saudara seayah dan sseibu Adapun macam-macam ketentuan (al-furudh al-muqadarah) yang diatur dalam al-Qur’an itu ada enam, yaitu: a. Setengah separuh (1/2=al-nisf) b. Sepertiga

(1/3=al-sulus)

c. Seperempat

(1/4=al-rubu)

d. Seperenam

(1/6=al-sudus)

e. Seperdelapan

(1/8=al-sumum)

f. Dua pertiga

(2/3=al-sulusan)

Ketentuan tersebut pada dasarnya wajib dilaksanakan kecuali apabila dalam kasus-kasus tertentu tidak bisa dilaksanakan, misalnya terjadi kekurangan harta (al‘aul atau kelebihan harta al-radd).84 1) Ahi waris ‘Asabah Yang dimaksud dengan ‘Asabah ialah mereka yang mendapatkan sisa sesudah ‘ashabul furudh mengambil bagian-bagian yang ditentukan bagi mereka. 85 Dengan kata lain. ‘Asabah juga berarti mereka yang ebrhak atas semua peninggalan bila tidak di dapatkan seorangpun diantara ‘Ashabul furudh. 86 Adapun macam-macam ahli waris ‘Asabah ada tiga macam yaitu: A. ‘Asabah bi Nafsih, yaitu ahli waris yang karenadirinya sendiri berhak menerima bagian ‘Asabah (sisa) ahli waris ini semuanya ada 13 orang. Yaitu: a) Anak laki-laki b) Cucu laki-laki garis laki-laki c) Bapak d) Kakek garis bapak e) Saudara laki-laki sekandung f) Saudara laki-laki seayah g) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung h) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah 84

Ahmad Rofiq, Hukum waris, h. 65 - 66

85

Mudzakir As, Fikih Sunnah (terjemah). (Bandung : Al-Ma’arif Jilid 14) , Cet. Kedua, h. 159

86

Ibid

i) Paman sekandung j) Paman seayah k) Anak laki-laki paman sekandung l) Anak laki-laki paman seayah m) Mu’tiq dan mu’tiqah (laki-laki atau perempuan yang memerdekakan hamba sahaya) B ‘Asabah bi Al-Ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersamasama dengan ahli waris lain yang telah menerima bagian sisa. Apabila ahli waris penerima tidak ada, maka ia tetap menerima bagian tertentu (tidak menerima bagian ‘Asabah) mereka adalah: a. Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki b. Cucu perempuan garis laki-laki, bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki c. Saudara perempuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki sekandung d. Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.87 C ‘Asabah Ma’al-Ghair, yaitu saudara perempuan kandung atau sebapak yang menjadi ashabah karena di dampingi oleh keturunan perempuan. ‘Asabah ma’al-Ghair itu adalah: a) Saudara perempuan kandung yang didampingi oleh anak perempuan atau oleh cucu perempuan saja atau mereka bersama-sama dan seterusnya ke bawah.

87

Ahmad Rofiq. Hukum Islam di Indonesia , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet keempat, h. 73-74

b) Saudara perempuan sebapak yang didampingi oleh anak mereka saja atau mereka bersama-sama dan seterusnya ke bawah. 88 2) Ahli waris Dzawil Arham Yakni mencakup seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa orang-orang yang mempunyai kekerabatan dengan si pewaris, selain kedua puluh lima yang telah disebutkan di atas termasuk dzawil arham.89 Orang-orang yang termasuk kelompok dzawil arham tersebut antara lain, adalah: a. Cucu perempuan pancar perempuan dan seterusnya ke bawah. b. Cucu laki-laki pancar perempuan dan seterusnya ke bawah c. Anak perempuan saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke bawah. d. Anak perempuan saudara laki-laki sebapak dan seterusnya. e. Anak laki-laki saudara perempuan sekandung dan seterusnya ke bawah f. Anak perempuan saudara sebapak dan seterusnya ke bawah. g. Anak laki-laki saudara perempuan sebapak dan seterusnya ke bawah h. Kakek dari ihak ibu dan seterusnya ke bawah

88

Sayuti Thalib. Hukum kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), Cet kelima, h. 114-115 89

Usman dan Somawinata. Fiqih Maswaris Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama 1997), Cet. Pertama, h. 21

i.

Dan lain sebagainya.90 Diantara para ahli waris yang ditentukan sebagainya di dalam Al-Qur’an

hanya ahli waris dzul faraidh sehingga bagian mereka selamanya tetap tertentu dan tidak berubah-ubah, berbeda dengan para ahli waris lain yang bukan dzul faraidh, yaitu asabah dan dzul arham, bagian mereka merupakan sisa setelah di keluarkan hak para ahli waris dzu faraidh. Adapun bagian tetap dan dalil-dalil para ahli waris dzul faraidh tersebut adalah91: 1) Ahli waris yang mendapat seperdua a. Anak perempuan tunggal (Annisa ayat 11) b. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki c. Saudara perempuan -

Saudara perempuan tunggal yang sekandung

-

Saudara perempuan tunggal yang sebapak, apabila saudara perempuan yang sekandung tidak ada (an-nisa ayat 175)

d. Suami, suami mendapatkan seperdua, apabila istrinya tidak mempunyai anak atau cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki (an-nisa ayat 12) 2) Ahli waris yang mendapatkan seperempat

90

Ibid., h. 79-80

91

M. Ali Hasan,. Hukum warisan dalam Islam, Jakarta, PT. Bulan Bintang , Cet. Kelima, 1981,

h. 17-26

a. Suami, suami mendapatkan seperempat apabila istrinya ada mempunyai anak, atau cucu anak laki-laki (an-nisa ayat12) b. Istri (seorang atau lebih, mereka mendapatkan seperempat, apa bila suaminya tidak ada mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (an-nisa ayat:12) 3) Ahli waris yang mendapatkan seperdelapan Istri (seorang atau lebih) mereka mendapat seperdelapan apabila suaminya ada mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (an-nisa ayat 12) 4) Ahli waris yang mendapat dua pertiga c. Dua orang anak perempuan atau lebih mereka mendapat dua pertiga apabila tidak ada anak laki-laki (annisa ayat1). d. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak lak-laki mereka mendapat dua pertiga apabila anak perempuan tidak ada. e. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seibu sebapak (sekandung) (annisa ayat 177). f. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak (annisa ayat 177) 5) Ahli waris yang mendapat sepertiga g. Ibu, ibu mendapat sepertiga, apabila anaknya yang meninggal apaabila anaknya meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu (dari anak laki-laki) atau dia tidak mempunyai saudara-saudara (laki-laki atau perempuan yang sekandung), yang sebapak atau seibu (an nisa ayat 11) h. Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan yang seibu) an nisa ayat 12

6) Ahli waris yang mendapat seperenam i.

Ibu, mendapat seperenam, apabila anaknya yang meninggal itu ada mempunyai anak, atau cucu (dari anak laki-laki) atau saudara-saudara (lakilaki atau perempuan) yang sekandung yang sebapak atau yang seibu, an nisa ayat 11)

j.

Bapak, mendapat seperenam, apabila anaknya yang meninggal itu ada mempunyai anak atau cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki an nisa ayat 11

k. Nenek, (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) nenek mendapat seperenam apabila ibu tidak ada. l.

Cucu Perempuan (seorang atau lebih dari anak laki-laki cucu perempuan mendapat seperenam bagian, apabila orang yang meninggal mempunyai anak tunggal akan tetapi apabila anak perempuannya lebih dari seorang maka cucu perempuan tidak mendapatkan apa-apa.

m. Kakek, mendapat seperenam apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki sedang bapaknya tidak ada. n. Seorang saudara (laki-laki atau perempuan yang seibu) an nisa ayat 12. o. Saudara perempuan yang sebapak seorang atau lebih saudara perempuan yang sebapak mendapat seperenam apabila saudaranya yang meninggal mempunyai seorang saudara perempuan sekandung.

2. Bagian-bagian waris Menurut Hukum Perdata

Dengan memperhatikan pasal-pasal yang berhubungan dengan pembagian warisan, pihak yang dapat menuntut pembagian warisan adalah sebagai berikut 1066 dan seterusnya. 1. Para ahli waris 2. Para ahli waris dari ahli waris (dalam hal ini terjadi pergantian) 3. Mereka yang punya tagihan Dengan demikian menurut pasal tersebut di atas, para ahli waris tiap saat dapat menuntut pembagian waris (beedel dheiding) sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Undang-undang tidak menentukan cara yang lebih khusus dalam pembagian itu, apabila semua ahli waris mampu untuk melakukan hukum yang sah (cakap berbuat) dan mereka semuanya ada di tempat atau hadir (pasal 1069). Namun selain itu, para ahli waris yang akan menuntut pembagian warisannya, mereka harus melakukan beberapa ketentuan yang telah diatur dalam pasal 1072, 1073, dan seterusnya. Menurut pasal-pasal tersebut pembagian warisan itu harus dilaksanakan sebagai berikut: a. Pebagian warisan harus dihadiri oleh balai harta (pasal 1072 KUH Perdata) b. Pembagian harus dilakukan dimuka seorang notaries yang dipilih oleh para ahli waris, apabila mereka berbeda pendapat dalam hal ini, notaries itu akan ditunjuk oleh pengadilah negeri. (pasal 1074). Harus ada rincian barang-barang harta warisan. Kalau ada perubahan dari keadaan sejak meninggalnya pewaris, perubahan itu harus dijelaskan yang dikuatkan dengan sumpah di depan notaries oleh mereka yang memegang barang tersebut. (pasal 1073)

c. Harta warisan itu harus dinilai harganya (pasal 1077 KUH Perdata)92 Adapun bagian masing-masing ahli waris menurut KUH Perdata (BW) adalah sebagai berikut: a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka serta suami atau istri yang ditinggalkan yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang hidup paling lama. (Pasal 852) ini diakui sebagai ahli waris baru pada tahun 1936, sedangkan sebelumnya suami / istri saling mewarisi. (pasal 852a). b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak kurang dari seperempat bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewarisi bersamasama saudara pewaris. (pasal 854). c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris. (Pasal 853). d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis kesamping. (pasal 858)93 Dalam KUH Perdata mengenal empat golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta peninggalan. Keempat golongan tersebut sekaligus merupakan

92

93

Suparman Usman. Ikhtisar Hukum Waris, Darul Ulum Press, 1993, Cet. Kedua, h. 133-134

Eman Suparman. Hukum Waris Islam Dalam Persfektif, Adat dan BW, (Bandung : PT, Refika Aditama, 2007), Cet. Kedua, h. 3

urutan tertib penerimanya apabila golongan I ada, maka golongan II, III, dan IV tidak berhak mendapatkan warisan. Jika golongan I tidak ada, maka golongan II tampil sebagai penerima bagian warisan, sedangkan golongan II dan IV tidak memperoleh bagian. Golongan III akan mendapatkan bagian apabila golongan I dan II tidak ada, demikian juga golongan IV akan mendapatkan bagian jika golongan I, II, III tidak ada. Sedangkan apabila semua golongan tersebut tidak ada, maka menurut pasal 832 KUH Perdata bahwa segala harta peninggalan menjadi milik Negara. Dan Negara wajib melunasi segala hutang si pewaris sekedar harta peninggalan mencukupi untuk itu. Apabila harta warisan itu terbuka, namun tidak seorang pun dari seempat golongan ahli waris tersebut yang tampil ke depan sebagai ahli waris atau mereka itu menolak harta warisan, maka harta warisan itu dianggap sebagai harta warisan yang tak terurus. Dalam hal demikian, Balai harta peninggalah atau istiah lain disebut Weekamer tanpa menunggu perintah dari hukum, wajib mengurus warisan yang tidak terurus tersebut. Pekerjaan pengurusan itu harus dilaporkan kepada Kejaksaan Negeri setempat. Jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan itu dianggap terurus atau tidak, maka penentuan ini akan diputuskan oleh hakim. 94

94

Ibid., h. 38

BAB IV PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS

p. Penolakan Ahli Waris Menurut Hukum Islam Takharuj (penolakan ahli waris) di KHI tidak dijelaskan. Dalam pasal 183 KHI hanya menjelaskan bahwa, para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.95 Pembahasan Penolakan ahli waris dalam hukum islam yaitu :. 1. Pengertian Takharuj Takharuj (َ‫ََج‬eَ‫ ) ﺕ‬yang berasal dari kata َ‫ََج‬A (keluar) maksudnya suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris.96

Untuk mengeluarkan salah seorang ahli waris dalam menerima bagian pusaka dengan memberikan suatu prestasi, baik peserta tersebut berasal dari harta milik orang yang pada mengundurkannya maupun berasal dari harta peninggalan yang bakal di bagi-bagikan.97 Apabila ada diatara ahli waris yang melepaskan haknya,

95

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Akademika Pressindo, 2002, Cet. Kedua, h. 86 96

M.Ali Hasan. Hukum Waris Dalam Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996), Cet. Keenam, h.

97

Faturrahman. Ilmu Waris, (Bandung , PT. Al-maarif ), 1981, Cet Kedua, h. 468

114

secara keseluruhan arau sebagiannya, maka hal tersebut tidak menyalahi syati’at bahkan bias dipandang sebagai suatu sikap yang terpuji.98 Takharuj menurut Imam Muchlas artinya sama-sama keluar dari suatu kelompok takharuj, dalam masalah ini artinya adalah suatu musyawarah damai diantara ahli waris yang di dalamnya ada sebagian anggota ahli waris yang mengundurkan diri untuk tidak menginginkan haknya dan tidak mengambil bagian dari warisannya nanti, kemudian bagian atau sebagian dari haknya itu diambil dan tempat kedudukannya digantikan oleh ahli waris lainnya. 99 Mengenai pengunduran diri ini para ulama telah mendefinisikannya sebagaimana diterangkan dibawah ini: “Perjanjian atau perdamaian ahli waris atas keluar/mundurnya sebagaian mereka dalam menerima bagiannya terhadap pewarisan dengan memberikan suatu prestasi atau imbalan tertentu baik (imbalan itu) dari harta peninggalan maupun dari yang lain”.100 Berdasarkan wawancara penulis dengan salah satu ahli waris di daerah Jakarta, mengatakan bahwa dimana sewaktu bapaknya masih hidup, memberikan wasiat berupa tanah kepada semua anaknya didaerah Wonogiri. Kemudian orang tuanya meninggal, akhirnya semua tanah warisan diterima kepada ahli waris sesuai dengan

98

Hasan. Hukum Waris, h. 115

99

Imam Muchlas. Waris Mewaris Dalam Islam (Pasuruan : PT. Garoeda Buana Indah, 1996), Cet. Pertama, h. 63 100

Usman dan Somawinata. Fiqih Mewaris, h. 152

wasiat yang di berikan kepada orang tuanya. Kemudian salah satu anaknya ( ahli waris ) yang tinggal di jakarta setelah menerima warisan menyerahkan kepada kakak perempuannya, setelah dimusyawarahkan dengan keluarga. Adapun alasan dia memberikan semua warisannya : 1. Si pewaris tidak bisa mengurus tanah warisan, yang disebabkan tanah lokasi sangat jauh dari tempat tinggalnya. 2. Kakak perempuan yang menerima warisan, kehidupan ekonominya kurang mencukupi dibanding saudara yang lain. Dari kasus tersebut diatas, dapat dipahami bahwa pengunduran diri atau takharuj adalah kesepakatan para ahli waris tentang pengunduran salah seorang atau beberapa orang di antara mereka dari penerimaan warisan setelah menerima prestasi/imbalan dari salah seorang atau beberapa ahli waris lainnya, hak imbalan tersebut berasal dari harta perseorangan atau maupun dari harta peninggalan itu sendiri.101 Pengeluaran diri ahli waris dari hak mewaris bukan berarti ia (Mutakharaj) digolongkan kepada ahli waris mahjub (terhalang), mamnu (terlarang), dan juga karana ia mempunyai beban hutang kepada pewaris atau para ahli waris lainnya, melainkan ia menyatakan sikap tersebut karena adanya beberapa kemungkinan, yaitu:

101

Ibid., h. 153

1. Atas dasar ridho dan ikhlas (tanpa ada paksaan dari ahli waris lain) dari ahli waris yang diundurkan dengan semata-mata ibadah. 102 2. Kemungkinan lain adalah, seorang ahli waris mengundurkan diri atau diminta mengundurkan diri oleh ahli waris lainnya. Baik dengan imbalan maupun tidak, umpamanya, orang yang mengundurkan diri itu kaya raya.103 Sekalipun demikian, kemungkinan-kemungkinan tersebut diatas mesti adanya kesepakatan hak bagian warisanya dilimpahkan kepada ahli waris lainnya dengan tidak menuntut pretasi/imbalan dengan tujuan untuk kemashlahatan. Sikap pengeluaran diri tersebut menurut hukum syara dibolehkan sepanjang sikap pengeluaran diri itu atas dasar keridhoan/keikhlasan dari ahli waris yang dikeluarkan dan para ahli waris lainnya. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam asas hukum takharuj, yaitu :

‫ روى‬3?‫ و‬1‫ر‬J‫ ا‬4; W‫اﺽ‬L‫ط ا‬t‫ ` ً ﺏ‬u O ‫ رج‬eL‫وا‬ ‫ ? ل‬G‫ أﻥ‬9Z# o‫ ا‬W‫  س رﺽ‬4‫ اﺏ‬4 ً Y86I‫ ري ﺕ‬e‫; م ا‬v‫ا‬ ^‫ ﺡ‬4‫ اﺏ‬5 ‫اث ( و? ل ا‬89‫ ا‬N‫ ن وأه‬j‫ی‬t‫ رج ا‬eL‫) ی‬: qL G‫ `ﺡ‬:; ‫ ري‬e‫ ا‬q8 ). S #I9‫ ﺏ‬8` W‫ أﺏ‬4‫ اﺏ‬G6‫و‬ ١٠ .(‫ا ري‬ Dan takharuj boleh secara hukum syar’i dengan syarat saling meridhoi dari ahli waris dan telah diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari. Penjelasan dari Ibnu Abbas ra, bahwasannya dia berkata : ( saling melepaskan hak milik antara dua pasangan dan 102

Sayid Sabiq. Fiqih Sunnah, Jilid 14 (Bandung : PT. Al Ma’arif, 1995), Cet. Pertama

103

Hasan. Hukum Waris, h. 114

ahli waris ) dan berkata Hafiz Ibnu Hajar dan disambung oleh Ibnu Syaibah yang sema’na dengannya. ( Shohih Bukhari bersama penjelasannya Fathul Bari )10104 2. Status Pengunduran Diri Pengunduran diri merupakan perjanjian dua pihak, satu pihak menyerahkan tertentu sebagai prestasi kepada pihak lain dan pihak lain menyerahkan bagian pusakannya sebagaian tegenprestasi pada pihak pertama.105 Prestasi yang diserahkan pada pihak pertama seolah-olah merupakan harga embelian dan *tegenprestasi yang diserahkan oleh pihak kedua seolah-olah merupakan barang yang dibeli. Maka dengan demikian pengunduran diri atau takharuj ini berstatus sebagai perjanjian jual beli.106 Jika prestasi yang diserahkan itu sebagai alat penukar terhadap tegenprestasi yag baik diterimanya, maka pengunduran diri ini berstatus perjanjian tukar-menukar. Disamping itu jika prestasinya yang diserahkan pada pihak yang diundurkan itu diambil dari harta peninggalan itu sendiri, maka perjanjian pengunduran diri itu berstatus perjanjian pembelian harta pusaka.107

104

Mufthi Syeikh Ahmad Huraidi, Fatwa-Fatwa Al-Azhar , Bab Takharuj, Juz. 2, h. .259, Pada Tanggal 5 Syawal 1389 Bertepatan 17 Desember 1969 M. 105

Faturrahman. Ilmu Waris, h.468- 469

106

Ibid, Tegenprestasi adalah timbal balik dari pihak kedua atas prestasi yang diberikan dari pihak pertama 107

Ibid

3. Dasar Hukum Pengunduran Diri Dalam menerangkan dasar hukum adanya pengunduran diri ini para ulama mengemukakan pendapatnya dengan berdasarkan pada salah satu hadits dari Ibnu Abbas r.a yang menerangkan bahwa :

ٌ ‫َ ;َِی‬Jُ‫َ وَه‬2Lَْ‫ُ ا‬Gَ‫َ ا;َْأَﺕ‬x26َH ٍ‫ْف‬Jَ َ4ْ‫ِ ﺏ‬4َ9ْ‫ﺡ‬2‫َ ا‬3َْ ‫ن‬  2 َ‫أ‬ : VWِIِ 2t‫ ?َ لَ ا‬. َZِ‫ﺕ‬23ِ ِ‫َِ ء‬Yْ‫َ اﻥ‬3ْIَ‫ُ ﺏ‬Gْ#ِ; َ‫ ن‬2َ ُ4ْ‫َ نُ ﺏ‬9ْnُ َZَ12‫َر‬Jَ ِ‫اق‬2‫ز‬2‫ُ ا‬3َْ ُS‫ ) وَرَوَا‬.ٌNِ2Lُ; ِْ8َ‫ﺏ‬Vu‫ِ ا‬4ْ‫ُ اﺏ‬z‫ِی‬3َ‫ وَﺡ‬، ٌ:ِdَYْ#ُ; ‫هَ_َا‬ (ِGِ2#َُ; Wِ َ4ْ‫ِ ﺏ‬G26‫َ ا‬3َْ َ‫َل‬Pَ‫ ﺱ‬Gُ 2‫ََ أَﻥ‬jْ8َ6ُ; Wِ‫ُ أَﺏ‬4ْ‫ اﺏ‬Wِ‫ََْﻥ‬Aَ‫ٍ أ‬lْ‫َُی‬O ِ4ْ‫ْ اﺏ‬4َ ِ|ََْPْ‫َ ا‬Qْ#ِ‫ْفٍ ﺏ‬Jَ ُ4ْ‫ِ ﺏ‬4َ9ْ‫ﺡ‬2‫ُ ا‬3َْ َx26َH " : ُGَ َ‫َ ل‬Yَ ِْ8َ‫ﺏ‬Vu‫ا‬ : َ‫ وَزَاد‬. " َZِ‫ﺕ‬23ِ Wِ ُ‫َ ن‬9ْnُ َZَ12‫َر‬Jَ ، َ‫ ;َ ت‬2<ُ1 ، َZ2Lََ َ28ِْ6َjْ‫ا‬ ُS‫) وَرَوَا‬.ً َ‫ﺕ‬JُLَْ; َ‫َ أَرَى أَنْ ﺕَِث‬6َ َ‫ أَﻥ‬2;َ‫ وَأ‬: ِْ8َ‫ﺏ‬Vu‫ُ ا‬4ْ‫?َ لَ اﺏ‬ (ِ‫َ ﺽ‬9ُ‫ هَ ﺕ‬29َ‫ِ وَﺱ‬Gِ‫ٍ ﺏ‬lْ‫َُی‬O ِ4ْ‫ْ اﺏ‬4َ ، ٍ<ِ6ْ"ُ; ْ4َ VWِIِ 2t‫ا‬ ‫) أن ا;أة‬: ‫ ر‬#‫ دی‬4‫و ﺏ‬9 4‫ و‬.ٌNِ2Lُ; ٌz‫ِی‬3َ‫ هَ_َا ﺡ‬: َ‫وَ?َ ل‬ 1n‫ ﺏ‬49n‫ ا‬z61 4; G6‫ أه‬ZOA‫ف أ‬J 4‫ ﺏ‬49‫ اﺡ‬3 ، 289/8 €#9‫ ا‬W ‫ ازاق‬3 ‫ أ€ دره< )روا‬48‫ ﻥ‬91‫و‬ ١٤ . (65/6 ‫ى‬j‫ ا‬4#"‫ ا‬W SJ#‫ ﺏ‬WYZ8‫ ا‬S‫وروا‬ Sesun‫ل‬guhnya Abdurrahman bin Auf menthalaq istrinya sama sekali ( menjatuhkan thalaq tiga ) dan dia sakit, maka utsman bin affan memberikan hak waris kepadanya setelah habis masa iddahnya. Berkata Syafi’i hadits ini munqoti, dan hadits zubair muttasil (Riwayat Abdurrazzaq di musonnipnya ) Dari Ibnu Jarih telah memberitahukan kami Ibnu Abi Mulaikata bahwa sesungguhnya dia bertanya kepada Abdullah bin Zubair maka dia berkata kepadanya : Abdurrahman bin auf telah mentalaq istrinya binti Al-asba Al-kalbiyah sekali kali ( thalaq tiga ) Kepadanya, kemudian dia meninggal dunia, maka Utsman bin Affan memberikan hak waris kepadanya pada masa iddahnya. Dan ditambahkan : berkata Ibnu Zubair : Dan adapun saya ketika saya lihat bahwa dia diwariskan .( Riwayat Syafi’i dari Muslim,

dari Abi Jarih darinya menamakannya Tumadhir) Ini hadits Muttasil. Dan dari Amru bin dinar : bahwa sesunnguhnya istri Abdurrahman bin Auf diberikan oleh keluarga Abdurrahman bin Auf kepada istrinya 3/8 dari 83.000 dirham.( Diriwayatkan dari Abdurrozzaq di musonif no. 289/8, diriwayatkan Al-baihaqi semisalnya sunan kubro no. 65/6.)14108 Suatu analogi bahwa setiap perjanjian yang bersifat timbale baik, baik berupa perjanjian jual-beli perjanjian tukar menukar maupun perjanjian pembagiannya (harta pusaka) yang ketiga perjanjian ini data diterapkan kepada perjanjian takharuj, selali dibenarkan oleh syari’at sepanjang syarat-syarat ketentuan syari’at itu telah dipenuhinya dan terutama bila para pihak yang mengadakan perjanjian telah saling menyatakan kerelaannya masing-masing.109 Kitab undang-undang hukum warisan Mesir membenarkan takharuj dalam pasal yang terakhir, pasal 48 dari kitab undang-undang tersebut dijelaskan dengan definisinya, bentuk-bentuknya dengan cara-cara membagikan harta pusaka kepada ahli waris, sekiranya dalam pembagian harta pusaka tersebut sebgagian ahli waris yang mengatakan perjanjian takharuj sebagaimana dalam teks selengkapnya adalah sebagai berikut: “Takharuj ialah perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan sebagian mereka dari mempusakai dengan kesesuaian yang sudah maklum apabila salah seorang ahli waris bertakharuj dengan seorang ahli waris lainnya. Maka bagiannya 108

Imam Malik Bin Anas , Kitab "Muwattho", Bab "Tholaqul Mariedh", Terbitan Kementrian Agama Dan Wakaf, Republik Arab Mesir, 1426 H/2005 M, Cet. Kesembilan, Hadist. 575, h. 180; Imam Syafe'i, Kitab Musnad, Bab Thalaq Dan Rujuk, Terbitan Darul Kutub, Ilmiah BeirutLebanon, h. 294. Oleh mufthi syeikh Ahmad Huraidi pada tanggal 5 syawal 1389 bertepatan 17 Desember 1969 M , fatwa-fatwa Al-Azhar bab takhooruj, juz 2, Hadist 31125, h. 259, 109

Faturrahman. Ilmu Waris, h. 470

dibagi antar mereka menurut perbandingan bagian mereka dalam harta peninggalan dan jika sesuatu yang diserahkan itu diambilkan dari harta mereka didalam perjanjian takharuj tidak diterangkan cara membagi bagian orang yang keluar maka bagian tersebut dibagi antar mereka dengan sama rata”.110 4. Bentuk-bentuk pengunduran diri dan Cara membagikannya. Terdapat tiga bentuk pengnduran diri yaitu: A. Seorang ahli waris mengundurkan seorang ahliw aris yang lain dengan memberikan sejumlah uang atau uang yang diambilkan dari miliknya sendiri. Oleh karena ia telah memebrikan suatu prestasi kepada ahli waris yang diundurkan, ia bantuk menerima tegenprestasi yang diberikan oleh orang yang diundurkan, yang berupa bagian dari harta peninggalan yang semestinya akan diterima pihak pertama seolah-olah telah membeli bagian pusaka pihak kedua. Dengan sejumlah uang yang telah ia serahkan jadi pertama disamping mendapat sahamnya sendiri yang harus diterima, sehingga ia memperoleh saham orang yang telah diundurkannya.111 Adapun ketentuan-ketentuan dalam menyelesaikan masalah pembagian harta peninggalan dalam bentuk ketiga ini, ialah: a. Hendaknya dicari dahulu besarnya saham atau penerimaan masing-masing ahli waris termasuk juga saham pihak yang diundurkannya.

110

Ibid., h. 471

111

Ibid

b. Pihak yang diundurkan (Mutakharaj) harus dianggap dan diperhitungkan sebagai ahli waris yang maujud yang harus dicari besar kecilnya saham yang seharusnya diterima. c. Kemudian

saham

pihak

yang

diundurkan

tersebut

dikumpulkan

(ditambahkan) kepada saham pihak yang mengundurkannya. d. Besarnya asal masalah dalam pembagian harta pusaka sebelum terjadinya takharuj tetap dipakai sebagai asal masalah dalam pembagian harta pusaka seelah terjadinya perjanjian takharuj. B. Beberapa ahli waris mengundurkan seorang ahli waris dengan memberikan prestasi yang diambilkan dari ahrta peninggalan itu sendiri. Bentuk perjanjian pengunduran diri ke II ini merupakan bentuk yang sangat umum banyak terjadi dalam pembagian harta pusaka dari pada bentuk yang lain. Setelah sempurna perjanjian takharuj ini dipenuhi, maka pihak yang diambil sejumlah tertentu yang diberikan kepada pihak-pihak yang diundurkan dalam jumlah tersebut mereka bagi bersama sesua dengan perbandingan saham mereka masing-masing. Dalam perjanjian takharuj bentuk ke II ini, yakni yang prestasinya diambilkan dari sebagian harta peninggalan itu sendiri, berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a. Sisa harta peninggalan dibagi antar para ahli waris menurut perbandingan saham mereka masing-masing sebelum terjadi perjanjian takharuj. b. Saham-saham mereka kemudian dijumlah untuk dijadikan asal masalah baru, sebagai pengganti asal masalah yang lama harus ditinggalkan.

c. Pihak yang telah diundurkan, walaupun telah menerima sejumlah prestasi tertentu, tetap diperhitungkan bagian para ahli waris yang mengundurkan, sebab kalau demikian maka hasil dari penerimaan para ahli waris akanberlainan dan berlwanan dengan ijma.112 C. Beberapa orang ahli waris mengundurkan ahli waris dengan memebrikan prestasi yang diambilkan dari harta milik masing-masing secara urutan. Dalam hal ini orang yang mengundurkan diri atau diundurkan oleh ahli waris seolah-olah telah menjual haknya terhadap harta peninggalan dengan sejumlah prestasi yang telah diberikan oleh ahli waris yang pada mengundurkannya, dan akibatnya seluruh harta peninggalan untuk mereka semuanya. Besar kecilnya urutan (iuran) yang harus dibayar oleh masing-masing mereka yang mengundurkan, adalah menurut yang telah mereka sepakati.113 Adapun ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pengunduran diri bentuk ke-III ini adalah: a. Takharuj tida mempengaruhi terhadap besarnya asal masalah semua, yakni besarnya asal masalah dalam pembagian harta pusaka sebelum terjadinya takharuj dapat dijadikan asal masalah dalam pembagian harta pusaka, setelah terjadinya takharuj, karena asal masalahnya tidak berubah. b. Ahli waris yang diundurkan dalam pembagian harta pusaka kepada ahli waris yang pada mengundurkannya dianggap tidak ada. 112

Ibid., h. 472

113

Ibid

c. Dalam pembagian harta pusaka kepada mereka yang pada mengundurkannya, mengingat corak-corak cara membayarnya ditentukan sebagai berikut : 1. Dalam pembayaran corak pertama, maka pembagian kepada ahli waris yang pada mengundurkan adalah sebagai pembagian dalam bentuk takharuj ke II, yakni seluruh harta peninggalan dibagi kepada mereka menurut perbandingan saham mereka masing-masing kemudian dalam membagikan bagian orang yang diundurkan demikian hendaknya. 2. Dalam pembayaran corak ke II, maka bagian orang yang diundurkan dibagi sama rata. Demikian juga dalam perjanjia takharuj tersebut diterangkan caracara pembagian orang yang diundurkan, maka pembagiannya harus disama ratakan sebab ketiadaan diterangkan cara-cara tersebut, menunjukan kerelaan masing-masing untuk dibagi secara sama rata, kalau tidak demikian tentunya mereka pada membuat ketntuan-ketentuan baik mengenai jumlah yang harus dibayar maupun bagaimana cara pembagiannya. 3. Dalam pembayaran corak ke III, yakni yang pembayarannya tidak menurut perundingan saham meerka dalam mempusakai atau tidak sama banyak, maka pembagian orang yang diundurkan hendaknya menurut perbandingan jumlah besar kecilnya uang yang telah mereka bayarkan demi untuk melaksanakan keadilan dan menyesuaikan kaidah “Al-Ghurmu bin Ghurmi”, artinya ialah suatu kerugian itu hendaknya ditutup dengan keuntungan (Ghanimah). 114

114

Ibid., h. 473

q. Penolakan Ahli Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam undang-undang menetapkan bahwa harta peninggalan seseorang tidak hanya berbentuk aktiva tapi juga termasuk pasiva, artinya tidak hanya berbentuk benda-benda, hak-hak kebendaan atau piutang yang merupakan tagihan para ahli waris, tetapi termasuk juga harta peninggalan itu semua hutang yang merupakan beban atau kewajiban bagi para ahli warisnya untuk melunasi hutang-hutangnya. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1100 kitab undang-undang hukum perata yang berbunyi “Para ahli waris yang telah menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran hutang hibah wasiat dan beban yang lain, memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan”.115 Berhubungan dengan itu, untuk menghindari beban yang berat bagi ahi waris ada beberapa ketentuan yang akan memberikan kemungkinan kepada para ahli waris untuk mengambil sikap yang menguntungkan. Para ahli waris mempunyai hak berfikir dalam menentukan sikapnya.116 Jangka waktu berfikir adalah empat bulan. Pengadilan negeri mempunyai wewenang atas permintaan untuk memperpajang jangka waktu ini satu atau beberapa kali. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal 1024 KUH Perdata.

115

116

Usman, Ikhtisar Hukum, h. 121 Ibid., h.122

Ahli waris yang hendak berfikir, mestilah mengajukan suatu pernyataan oleh ia sendiri atau melalui perantaraan seorang wakil di kepaniteraan pengadilan negeri. Pernyataan tersebut dapat berbentuk lisan, setelah itu dari pernyataan tersebut dapat dibukukan suatu akta dalam suatu register yang disediakan untuk itu.117 Apabila tenggang waktu yang telah disediakan telah lewat, maka para ahli waris dapat dipaksa untuk megambil sikap menerima warisan, menerima dengan syarat atau menolak warisan.118 Hak berfikir dalam menentukan para ahli waris dicabut oleh ahli waris sebagaimana disebutkan dalam pasal 1043 kitab undang-undang hukum perdata yang berbunyi “ketentuan dengan mana si yang mewariskan telah melarang dipergunakan hak memikir dan hak istimewa untuk menggadaikan pencatatan harta peninggalan, adalah batal dan tidak sah”. Jika ahi waris menyatakan sikap menolak, maka ia tidak dapat lagi menerima harta warisan. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 1058 kitab undang-undang hukum perdata. Orang yang dapat menolak karena hendak membebaskan dirinya dari hutang harta peninggalan, orang dapat menola karena benci kepada pewaris dan anak

117

A.Pitlo. Hukum Waris, h. 41

118

Usman. Ikhtisar Hukum, h. 122-123

cucunya, tetapi juga orang dapat menolak untuk menguntungkan waris serta atau waris dari kelompok berikutnya.119 Dan adapula kemungkinan, bahwa penolakan bisa dihibahkan dan dengan demikian akan diindahkan bagian-bagian legitimnya dan pemasukan hata peninggalan dari orang yang menolak120 Untuk lebih jelasnya, dibawah ini beberapa keterangan yang berkenaan dengan penolakan menjadi ahli waris menurut konsepsi hukum perdata. 1. Pengertian Penolakan Warisan Penolakan adalah melepaskan suatu hak, sebagaimana halnya dengan setiap pelepasan hal lainnya, berlaku mulai sejak menyatakan kehendaknya untuk itu kepada orang yang bersangkutan, dalam hal ini ahli waris.121 Seorang ahli waris dapat menolak warisan yang terbuka baginya, akan tetapi warisan itu dinyatakan dengan tegas memberi suatu ketetapan kepaniteraan pengadilan negeri untuk menyatakan sikap akan menolak warisan yang terbuka itu ( pasal 1057 ).122

119

120

171

A.Pitlo. Hukum Waris, h. 40 Ibid

121

Ibid, h. 41

122

Efendi Perangin. Hukum Waris, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet keempat, h.

Bahwa seorang itu dianggap tidak pernah menjadi ahli waris, jadi penolakan berlaku surut sampai wafatnya si peninggal warisan. 123

2. Dasar Hukum Penolakan Warisan Dalam literature hukum perdata, dasar hukum penolakan warisan diatur dalam pasal 1057 sampai 1065 kitab undang-undang hukum perdata pasal 1057 menyatakan bahwa penolaan harus dilakukan dengan tegas dalam pernyataan yang dibuat dikepanitraan pengadilan negeri didalam wilayah harta warisan itu berada, dan dalam pasal-pasal berikutnya dinyatakan bahwa berkenan dengan penolakan warisan dan bentuk-bentuk penolakan itu sendiri akan disinggung pada pembahasan selanjutnya. 3. Syarat-syarat dan Akibat Hukum Penolakan Warisan Adapun syarat penolakan warisan adalah : a. Syarat dari penolakan adalah harus dilakukan setelah harta warisan terbuka atau harus dilakukan setelah perisiwa kematia, menurut 1334 ayat 2 bahwa tidaklah di perkenankan bentuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka.124 b. Untuk memperolehnya mestilah orang yang masih hidup pada saat pewaris meninggal dunia.125

123

Ibid

124

Anistus Amanat., Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001, Cet kedua, h. 48 125

A. Pitlo. Hukum Waris, h. 14

c. Dilakukan dengan tegas di depan kepanitraan pengedilan negeri hukumnya setelah warisan itu terbuka (Pasal 1057). d. Setelah jangka waktu yang ditetapkan undang-undang berakhir yaitu jangka waktu empat bulan, ahli waris diberikan kesempatan berfikir untuk menentukan sikapnya menolak warisan ( Pasal 1024 dan 1029 ) Setelah syarat-syarat diatas terpenuhi, maka ahli waris sudah dapat dinyatakan menolak warisan yang telah jatuh padanya. Adapun akibat hukum adanya penolakan warisan adalah : a. Seseorang akan kehilangan haknya untuk mewaris, sehingga orang itu di anggap tidak pernah menjadi ahli waris (pasal 1058) & bagian legietieme portienyapun akan hilang.126 b. Si ahli waris yang menolak dinyatakan tidak pernah menjadi ahli waris, dan konsekwensinya orang yang menolak bagian dari warisan (Leqitieme porty), karena berpindah atau jatuh kepada mereka sebagai para ahli waris yang sedianya berhak atas bagian warisan itu seandainya orang yang menolak tidak hidup pada waktu meninggalnya orang yang mewariskan. Hal ini telah ditegaskan dalam pasal 1059 kitab undang-undang hukum perdata. c. Keturunan dari ahli waris yang menolak tidak bisa mewaris karena pengertian tempat (pasal 1060). apabila si ahli waris mempunyai hutang maka ada kemungkinan para berpiutang akan dirugikan dengan penolakan warisan oleh si ahli waris debitur.127 126

Perangin. h.12

Maka untuk menyelesaikan masalah ini mesti merujuk pasal 1061 kitab undang-undang hukum perdata yaitu yang berbunyi. Semua pemegang piutang terhadap orang yang menolak suatu warisan untuk kerugian mereka dapat meminta dikuasakan oleh hakim untuk atas nama si yang berutang itu, sebagai pengganti dari dan untuk orang itu, sebagai pengganti dari dan untuk orang itu. Seseorang waris yang telah menghilangkan atau menyembunyikan bendabenda yang termasuk harta peninggalan, kehilangan haknya untuk menolak , ia tetap menjadi waris murni, meskipun ia menolak. Sedangkan ia tidak dapat menuntut suatu bagian pun dalam harta benda yang telah dihilangkan atau disembunyikan itu menurut pasal 1064, pada pasal 1064, memberikan perlindungan kepada ahli waris dari penggelapan yang dilakukan oleh ahli waris lainnya.128 Pada akhirnya pasal 1065 kitab undang-undang hukum perdata menyatakan bahwa “Tidak seorang dapat seluruhnya dipulihkan kembali dari penolakan suatu warisan, kecuali penolakan itu terjadi karena penipuan paksaan”. Dapat penulisan kemukakan disini, menurut kitab undang-undang hukum perdata (Burgelijk Wetboek) yang berlaku. r. Persamaan Dana Perbedaan Penolakan Menjadi Ahli Waris Perbedaan hasil terhadap suatu masalah adalah hal yang bersifat wajar dalam arti bahwa semua orang boleh memberikan suatu analisa yang mungkin berbeda

127

Wirjono Prodjodikoro. Hukum Kewarisan Di Indonesia, Sumur Bandung, 1980, Cet. Keenam, h. 131 128

Perangin. h. 171

antara satu dengan yang lainnya walaupun demikian pula dalam masalah yang sama namun dalam masalah penolakan menjadi ahli waris menurut hukum Islam dan ktiab undang-undang hukum perdata ini. Dari beberapa keterangan yang berkenaan dengan penolakan menjadi ahli waris yang telah dibahas. Bila dikorelasikan dengan penjabaran atau objek pembahasan hukum waris islam, baik menurut persepsi utama dan atau menurut peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal kewarisan akan terdapat beberapa persamaan dan perbedaan sikap penolakan/pengunduran dari menjadi ahli waris. Adapun perbedaan antara penolakan menjadi ahli waris menurut hukum islam dan kitab undang-undang hukum perdata adalah pada segi pengertiannya. Dalam penolakan menjadi ahli waris menurut kitab undang-undang hukum perdata memiliki arti melepaskan suatu hak.129 Penolakan tidak mempengaruhi legitim (bagian warisan) dari ahli waris lainnya.130 Dan bagian legietieme portienyapun akan hilang.131 Sedangkan penolakan menurut hukum islam adalah pengunduran diri menjadi ahli waris memiliki pengertian pengunduran diri atau takharuj adalah kesepakatan para ahli waris tentang pengunduran salah seorang atau beberapa orang

129

A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta, Penerbit Intermasa, 1986, Cet Kedua, h. 41 130

Ibid., h. 42

131

Perangin. h. 12

di antara mereka dari penerimaan warisan setelah menerima prestasi/imbalan dari salah seorang atau beberapa ahli waris lainnya, baik imbalan tersebut berasal dari harta perseorangan atau maupun dari harta peninggalan itu sendiri. 132 Dalam pasal 1057 kitab undang-undang hukum perdata dinyatakan bahwa menolak suatu harta warisan harus terjadi dengan tegas, dan dilakukan dengan suatu pernyataan yang dibuat kepanitraan pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu. Sedangkan literature hukum Islam dijelaskan bahwa pengunduran diri itu cukup dengan ucapan atau sikap dari ahli waris yang mengundurkan atau mengeluarkan salah satu ahli waris. Selain itu, dalam hukum kewarisan kewarisan perdata seseorang yang menolak bagian yang seharusnya didapat karena hendak membebaskan diri dari hutang-hutang harta peninggalah sehingga dengan tindakkan penolakan tersebut si ahli waris bebas dari segala tanggung jawabnya. Khususnya melunasi beban hutang si waris (orang yang meninggal dunia).133 Sedangkan dalam hukum kewarisan islam, membayar hutang tetap sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh para ahli waris134, walaupun salah satu ahli waris tersebut mengudurkan diri menjadi ahli waris.

132

Usman dan Somawinata. Fiqh Mawaris, h. 153

133

A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta, Penerbit Intermasa, 1986, Cet Kedua, h.40 134

48

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Keempat, h.

Di samping itu pula terdapat beberapa persamaan yang mendasar dari sikap penolakan menjadi ahli waris menurut hukum perdata dengan sikap pengunduran diri menjadi ahli waris menurut hukum islam. Persamaan-persamaan tersebut antara lain adalah setiap orang yang meninggal dunia segala hak dam kewajiban berpindah kepada ahli waris.135selain itu pula dengan adnya sikap penolakan dan pengunduran diri dari kelompok ahli waris akan menguntungkan para ahli waris atau ahli waris dari kelompok berikutnya.136 Dan pengunduran diri menjadi ahli waris bagiannya dan tempat kedudukannya digantikan oleh ahli waris lainnya.137 Jadi secara ringkas persamaan dan perbedaan penolakan ahli waris menurut hukum islam dan kitab undang-undang hukum perdata adalah : a. Perbedaan penolakan ahli waris menurut hukum islam dan kitab undang-undang hukum perdata : No 1

Menurut Hukum Islam

Menurut KUH Perdata

Penolakan memiliki arti kesepakatan / Penolakan memiliki arti melepaskan perjanjian para ahli waris untuk suatu hak dan tidak mempengaruhi mengeluarkan dan mengundurkan diri legitim (bagian warisan) dari ahli sebagai

ahli

waris

lainnya

dari waris

lainnya,

pewaris dengan mendapatkan suatu legietieme

serta

portienya

pun

bagian akan

prestasi atau imbalan yang ditentukan hilang, jadi kesimpulannya dalam

135

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Presfektif Islam, Adat, dan BW, Bandung, PT. Refika Aditama, 2007, Cet Kedua, h.26 136

A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta, Penerbit Intermasa, 1986, Cet Kedua, h. 40 137

Imam Muchlas. Waris Mawaris Dalam Islam, h. 63

hukum perdata tidak diatur adanya

para ahli waris.

pemberian imbalan / prestasi.

2

Pengunduran

diri

cukup

dengan Menolak suatu warisan harus terjadi

ucapan atau sikap dari ahli waris yang dengan

tegas,

dan

dilakukan

mengundurkan diri yang diucapkan dengansuatu pernyataan yang dibuat dihadapan para ahli waris

yang di kepaniteraan pengadilan negeri,

mengundurkan/mengeluarkan

salah yang dalam daerah hukumnya telah

satu

ahli

waris.

Melalui terbuka warisan itu.

perjanjian/kesepakatan. 3

Membayar

hutang

tetap

sebagai Seseorang yang menolak bagian

kewajiban yang harus dipenuhi oleh yang seharusnya didapat karena para ahli waris, walaupun salah satu hendak

membebaskan

ahli waris tersebut mengudurkan diri hutang-hutang menjadi ahli waris.

harta

diri

dari

peninggalan

sehingga dengan tindakan penolakan tersebut si ahli waris bebas dari segala

tanggung

jawabnya

kahususnya melunasi beban hutang pewaris.

b. Persamaan penolakan ahli waris menurut hukum islam dan kitab undangundang hukum perdata. 1. Setiap orang yang meninggal dunia seketika itu juga hak dan kewajiban pewaris atau orang yang meninggal dunia berpindah kepada ahli waris. 2. Sikap penolakan dan pengunduran diri dari kelompok ahli waris akan menguntungkan para ahli waris atau ahli waris dari kelompok berikutnya. Dan

pengunduran diri menjadi ahli waris bagiannya dan tempat kedudukannya digantikan oleh ahli waris lainnya. s. Analisis Dalam hal menolak warisan ini menurut hukum kewarisan islam bahwa seorang ahli waris boleh saja menolak harta warisan atau tidak mau menerimanya bukan dengan alasan ia ingin membebaskan diri dari hutang-hutang pewaris seperti yang dianut dalam kitab undang-undang hukum perdata (Burgelijk Wetboek) melainkan atas kemauannya sendiri saja. Dengan alasan untuk menambah bagian kepada ahli waris lain. Sedangkan dalam hukum kewarisan perdata barat (Burgeljik Wetboek) seorang ahli waris dapat menolak untuk menerima warisan dikarenakan ingin membebaskan diri dari hutang-hutang pewaris. Hal ini dibolehkan, yang berakibat ahli waris tersebut menyerahkan semua benda yang termasuk warisan kepada kekuasaan. Penolakan menjadi ahli waris menurut hukum perdata adalah pelepasan hak dan diatur adanya pemberian imbalan/ prestasi. Dengan menolak menjadi ahli waris, akan terhindar dari segala kewajiban yang seharusnya menjadi tanggung jawab ahli waris, kewajiban itu salah satunya meliputi melunasi utang pewaris jika pewaris meninggalkan utang sewaktu masa hidupnya. Sedangkan aturan hukum kewarisan islam menegaskan bahwa terdapat beberapa hak yang berhubungan dengan harta peninggalan pewaris (orang yang meninggal dunia) yang wajib di tunaikan sebelum warisan dibagi kepada ahli waris.

Adapun hak-hak tersebut adalah : 1. Biaya perawatan jenazah Perawatan jenazah yang dimaksudkan meliputi seluruh biaya memandikan, mengafani, mengantar (mengusung) dan menguburkan.138 2. Pelunasan Hutang Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu tertentu (yang disepakati) sebagai akibat dari imbalan yang telah di terima orang yang utang. Apabila seseorang yang meninggalkan utang pada orang lain belum bayar, maka sudah seharusnya utang tersebut. Dilunasi dari harta peninggalannya, sebelum harta itu di bagikan kepada ahli waris.139 Dasar hukum tentang wajibnya didahulukan pelunasan hutang pewaris dijelaskan dalam firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 11 yang berbunyi :

KLM J

F5GHI ;U' ⌧@T  S NOPQR *44= $ 5@ -[*\ A ,MXY*U#Z3

VW ,MX"`"a/

*_N*\ ☯5 6^ -e4 S ⌧)"*+ "' *U?? $ cd*\ cd*\
☺jkl&' BRd.4 ,V;5G "-⌧@ -e ⌧)"*+ $☺' m:Rn

5G"I T -[*\ A p *4 o0* Eo04r44 p *4 o=T A l?tZ &'s6*\ 0d "14= uhve Eo=* "-⌧@ -[*\ 138

Ahmad Rofiq. Fiqih Mawaris (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1995), Cet Ketiga, h.40

139

Ahmad Rofiq, Hukum Waris, h. 48-49

R?"1 @ ' A m:Rn &'s6*\ M/y 44=  wkx p I BwYH4 NO5@5" "1 5 G "-4mrfR*+ z{ NO5@5" h7N14=4 A 7?/E"# N15G* }~"/4= NOc|I4= T :-e G  8&'
140

Ibid., h. 52-53

Maka sisa itu menjadi hak para ahli waris dan dibagikan sesuai ketentuan syarat sendiri.141 Dengan demikian para ahli waris berkewajiban untuk menyelesaikan beban si pewaris, yakni membayar beban hutang piutangnya. Sedangkan menurut KHI hak-hak harta peninggalan ahli waris adalah sebagai berikut menurut pasal 175 KHI. 1. Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah : a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang. c. Menyelesaikan wasiat pewaris d. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak 2. Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya. Kelompok-kelompok ahli waris menurut pasal 174 KHI : 1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari : a. Menurut hubungan darah •

Golongan laki-laki terdiri dari : Ayah, anak laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.



Golongan perempuan terdiri dari : Ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan 141

TM Hasby Ash-Shidieqy. Fiqih Mawaris, Semarang, PT. Rizki Putra, 1997. Cet .Pertama. h. 21-22

2. Apabila semua ahli waris ada maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda. Pelunasan hutang itu merupakan kewajiban yang utama seabgai pembebasan pertanggung jawaban diakhirat.142 Yang perlu di perhatikan di dalam pembagian warisan ketika pewaris masih hidup adalah keadalan. Betapapun juga ketentuan warisan didalam Al-Qur’an tetap perlu dijadikan acuan karena dengan demikian baik bagi pewaris yang akan menghadap kepada sang khaliq, juga tidak terbebani karena persoalan kebendaan, dan ahli warisnya juga dapat menerima kenyataan dari bagian yang seharusnya diterimanya dengan penuh keikhlasan.143 Menurut hukum Islam penolakan mejadi ahli waris tidak ada ketentuannya yang terdapat dalam aturan waris islam adalah adanya pengunduran diri (takharuj) menjadi ahli waris dan pengunduran diri itu berdasarkan kesepakatan ahli waris dengan salah satu ahli waris lainnya. 144 dan bukan berdasarkan ahli waris melihat hutang-hutang sewaktu hidupnya sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata pasal 1146 yang berbunyi “ Mempunyai hubungan dengan kewajiban para ahli waris untuk melunasi hutang-hutang pewaris. 145

142

Usman dan Somawinata. Fiqih Mawaris, h.52

143

Ahmad Rofiq. Fiqih Mawaris, h.202

144

Usman & Somawinata. Fiqh Mawaris, h. 152

145

Amir martosoedono. Hukum Waris, semarang, penerbit effhar, Cet, ketiga, h. 117

Penolakan menjadi ahli waris dalam hukum perdata dibenarkan dengan tujuan untuk membebaskan diri dari kewajiban membayar hutang.146 walaupun yang membuat keputusan itu adalah pengadilan. Namun segala keputusan itu tidak sesuai dengan aturan Al-Qur’an dan Hadits bahwa seorang ahli waris itu mempunyai kewajiban membayar hutang orang yang meninggalkan harta warisan, karena itu merupakan hak-hak orang yang meninggal, maka menurut hukum islam penolakan menjadi ahli waris dalam kitab undang-undang hukum perdata tidak dibenarkan dan tidak diakui keabsahannya karena tidak sesuai dengan aturan warisan menurut hukum Islam.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 146

A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta, Penerbit Intermasa, 1986, Cet Kedua, h. 40

1. Pengertian takharuj menurut hukum islam adalah suatu perjanjian/kesepakatan yang diadakan oleh para ahli waris salah satu dari mereka yang mengundurkan diri tidak menerima warisan dan kedudukannya digantikan ahli waris lainnya. Sedangkan menurut kitab undang-undang hukum perdata penolakan warisan adalah melepaskan suatu hak yang semestinya didapat. Jika telah terbuka suatu warisan. 2. Dalam hukum islam seseorang yang menolak atau mengundurkan diri menjadi ahli waris ada beberapa sebab yaitu : a. Ada kehendak untuk keluar menjadi ahli waris atau dasar keridhoan (keikhlasan) sendiri. b. Dan ada yang mengundurkan diri oleh ahli waris lainnya baik dengan imbalan maupun tidak, umpamanya orang yang mengundurkan diri itu kaya raya. Namun demikian, kemungkinan-kemungkinan tersebut diatas mesti adanya kesepakatan dari para ahli waris yang mengundurkan dari ahli waris yang diundurkan dengan tujuan kemasalahatan. 3. Dalam hukum perdata seseorang menolak menjadi ahli waris ada beberapa sebab : a) Karena hendak membebaskan dirinya hutang karena benci kepada pewaris dan anak cucunya (hal ini jarang sekali terjadi) b) Seseorang dapat pula menolak untuk menguntungkan waris serta atau waris dari kelompok berikutnya dan ada pula kemungkinan, bahwa

penolakan bisa dihibahkan dan dengan demikian akan diindahkan bagianbagian legitimnya dan pemasukan harta peninggalan dari orang yang menolak. 4. Persamaan penolakan ahli waris menurut hukum islam dan menurut kitab undang-undang hukum perdata adalah: 1) Setiap orang yang meninggal dunia seketika itu juga hak dan kewajiban pewaris berpindah kepada ahli waris dan 2) Sikap penolakan dan pengunduran diri menjadi ahli waris atau ahli waris lain dari kelompok berikutnya.dan pengunduran diri menjadi ahli waris bagiannya itu diambil dan tempat kedudukannya di gantikan oleh ahi waris lainnya. Sedangkan perbedaan menurut hukum islam pengunduran diri adalah : 1) Ucapan atau sikap yang diucapkan dihadapan para ahliwaris lainnya melalui kesepakatan dan perdamaian. 2) Menurut hukum perdata harus terjadi dengan tegas, dan dilakukan dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya telah terbuka warisan itu. Dalam hukum islam seseorang yang mengundurkan diri : 1) Mendapatkan suatu prestasi atau imbalan yang ditentukan ahli waris 2) Menurut hukum perdata tidak diatur adanya pemberian legitim ( bagian ) sedikitpun dari ahli waris.

Dalam hukum islam membayar hutang tetap dipenuhi para ahli waris dengan catatan, maximum sebesar harat yang ditinggalkan (Lihat KHI) Sedangkan dalam hukum perdata seseorang yang menolak bagian warisan karena hendak membebaskan dirinya dari pertanggung jawaban membayar hutang.

B. Saran-Saran 1. Penolakan warisan baik menurut hukum kewarisan islam maupun hukum kewarisan perdata barat (Burgeljik Wetboek). Hendaknya aplikasinya secara konsisten untuk menyelesaikan hal-hal tentang kewarisan, terutama penolakan warisan ( takharuj ). 2. Penyelesaian permasalahan waris yang terjadi,baik melalui jalan musyawarah maupun jalan pengadilan harus didasarkan pada ketentuan hukum. 3. Takharuj perlu dimasukkan dalam Kurikulum Fiqih Aliyah 4. Takharuj perlu dimasukkan melalui Khutbah Jum’at, kurikulum-kurikulum dan Majelis Ta’lim.

DAFTAR PUSTAKA

A Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. Jakarta, Darul Ulum Press, 1993, Cet Ke-2 Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam :Pengantar Ilmu Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia , Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Cet Ke-8 Apeldorn, L.J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 1996, Cet. Ke-26 Azhari, Tahir, Kompilasi Hukum Islam Sebagai Alternatif :Suatu Analisa SumberSumber Hukum Islam, Dalam Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah Dan DITBINBAPERA, 1991. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Akademika Pressindo, 1995, Cet Ke-2. Al-Munawir, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia Al-Munawir, Yogyakarta, 1984. Ash-Shiddiqey, TM Hasby, Fiqih Mawaris, Semarang, PT. Rizki Putra, 2001, Cet Ke-3. Afif, A. Wahab, Hukum Kewarisan Antara Hukum Adat Dan Islam, Seminar Hukum Waris Bagi Umat Islam, Buku Laporan, Proyek Pembinaan Badan Peradilan, Departemen Agama, 1997/1998. Amanat, Anisitus, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet Ke-3 Ash-Shabuni, Muhammad Ali. penerjemah A.M. Basamalah, “pemabagian waris menurut islam”, Gema Insani Press, 1995 diakses pada 1 september 2008 http://media.isnet.org/islam/Waris/Takharuj.htmlin Abi hasan Bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy Al – Naisabury, Shahih Muslim, Bairut –Lebanono, Dar ‘ Alkitab Al-Arabi, Hadits. 4143 Basah, Syachran, Hukum Tata Negara Perbandingan, Bandung, Alumni, 1976.

Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Cet Ke-3. Bakri, Hasbullah Dalam Idris Ramulyo, Perbandingan Umum Kewarisan Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pedoman Ilmu, 1992 Djamil, Faturrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos, Publishing House, 1996, Cet Ke-1 Djalil, A.Basiq, Pernikahan Lintas Agama (Dalam Persfektif Fiqih Dan Kompilasi Hukum Islam), Penerbit Qolbun Salim, 2005, Cet Ke-1. Direktorat Pembinaan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2002. Fachturrahman, Ilmu Waris, Bandung: Al-Maarif, 1994, Cet Ke-3 Hanafi, Ahmad, Pengantar Dan Sejarah Islam, Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1991, Cet Ke-6 Hasan, M.Ali, Hukum Dalam Islam, Jakarta, PT.Bulan Bintang, 1996, Cet Ke-6 Hasbiyallah, Belajar Ilmu Waris, Bandung , PT. Remaja Rosdakarya, 2007, Cet Ke-1 Imam Malik Bin Anas, Kitab “Muwattho” , Bab “ Tholaqul Mariedh”, Terbitan Kemeterian Agama Dan Wakaf, Republik Arab Mesir, 1426 H/2005 M, Cet Ke-9, Hadist. 575, Imam Syafe’i, Kitab Musnad, Bab Thalaq dan Rujuq, Terbitan Darul Kutub, Ilmiah Beirut Lebanon. Kartohadiprojo, Soediman, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, Jakarta, PT. Pembangunan, 1997, Cet Ke-5. Lubis , Suwardi K dan Simanjuntak, Komis, Hukum Waris Islam, Jakarta, PT Pembangunan, 1997, Cet Ke-5. Muchlas, Imam, Waris Mewaris Dalam Islam, Pasuruan, PT. Garoeda Indah,1996, Cet Ke-1. Muzakir, Fiqih Sunah, Jilid 14, Bandung , Pt. Al-Maarif, 1995, Cet Ke-2 Muthfi Syeih Ahmad Huraidi, fatwa-Fatwa al-Azhar , Bab Takharuj, Juz, 2, Pada Tanggal 5 syahwal Bertepatan 17 Desember 1969 M

Perangin, Effendi, Hukum Waris, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet Ke-4 R. Subekti Dan R Tjitosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Jakarta, PT. Pradanya Paramita, 2001, Cet Ke -30 Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Cet.Ke-4 --------------. Fiqh Mawaris. Jakarta, PT Raja Grafindo, 1995, Cet Ke-2. Rosyida, Dede, Hukum Islam Dan Pranata Sosial, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1993, Cet Ke-1 Ramulyo, Idris, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat, Jakarta, Sinar Grafika,1996, Cet Ke- 2 --------------. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Menurut Hukum Perdata. Jakarta: Sinar Grafika,1994, Cet Ke-2. Soekanto, Soejono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normative, Jakarta, Rajawali, 1980, Cet Ke-2 Syihab, Umar, Hukum Islam Dan Transformasi Pemikiran, Semarang, Dina Utama, 1996, Cet Ke-1 Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih , Kencana ,2003 , Cet Ke-1 Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (Burgelijk Wetboek, Cet Ke-2 Sofwan, SrisoeDewi Majehone, Hukum Perdata Hukum Benda, Yogyakarta,Penerbit Liberty, 1981, Cet Ke-4 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata , Jakarta, PT. Intermasa, 1987, Cet Ke-21 Siddik, Abdullah, Hukum Waris Islam Dan Perkembangannya Di Seluruh Duna Islam, Jakarta, PT.Intermasa, 1990, Cet Ke-1 Suparman, Eman, Hukum waris Indonesia dalam Persfektif Islam, Adat dan BW, Bandung, PT. Refika Aditama, 2007, Cet Ke-2 Sunan Imam Baihaqi, Tidak Dapat Warisan Bagi Pembunuh, Jili 2, Hadist. 12604, Abdurrozak Mushnaf, Jilid 9, Hadist 17798

Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta, PT. Bina Aksara, 1987. Cet Ke-3 Usman, Suparman, Ikhtisar Hukum Islam Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Serang, Darul ulum Press, 1993, Cet ke-2 Usman, Suparman dan Somawinata, Yusuf, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1997, Cet. Ke-1 Widiana, Wahyu, Aktualitas Kompilasi Hukum Islam Di Peradilan Agama Paper. Disamping Dalam Seminar Sehari Dengan Tema “Refleksi Sebelas Tahun”, Kompilasi Hukum Islam : “Ekstensi KHI Dulu, Dan Yang Akan Datang”, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 7 Mei 2002 M/1423 H)