PERAN PENALARAN MORAL PADA AKUNTABILITAS LINGKUNGAN

Download Masalah dalam penulisan artikel ini adalah masih lemahnya dukungan pada akuntabilitas lingkungan oleh pemerintah dan pembisnis, dan ini dii...

0 downloads 369 Views 42KB Size
PERAN PENALARAN MORAL PADA AKUNTABILITAS LINGKUNGAN Sutono Dosen STIE Dharmaputra Semarang

Abstraksi Masalah dalam penulisan artikel ini adalah masih lemahnya dukungan pada akuntabilitas lingkungan oleh pemerintah dan pembisnis, dan ini diindikasikan berkaitan dengan perkembangan moral mereka. Penelitian ini bertujuan menganalisis peran penalaran moral pada akuntabilitas lingkungan. Artikel ini mengemukakan bahwa untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, maka digunakan tiga pola, metode atau sistem yang jelas yang disebutnya sebagai struktur, tiap struktur dapat dibagi ke dalam dua sub struktur yang berbeda dan ketiga (keenam) struktur ini dapat dikarakterisasi sebagai tiga tingkat (level) atau enam tahap (stages), yang dapat disamakan dengan tiga tingkat (enam tahap) perkembangan kedewasaan moral individu atau masyarakat. Dengan penalaran moral tersebut maka hal ini dapat mendukung akuntabilitas lingkungan yang diharapkan.

Kata kunci: Akuntabilitas Lingkungan, Penalaran Moral

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sampai saat ini akuntabilitas (accountability) lingkungan merupakan topik yang masih hangat untuk diperbincangkan baik di kalangan masyarakat yang merasakan dan menyaksikan dampaknya secara langsung maupun bagi para pengusaha sebagai penyumbang utama masalah lingkungan. Akuntabilitas lingkungan adalah salah satu cara untuk mengurangi kerusakan lingkungan yang harus di dorong perwujudannya, dan kerusakan lingkungan ini perlu dikurangi dengan akuntabilitas lingkungan. Sehingga akuntabilitas lingkungan ini diyakini sebagai salah satu faktor yang bisa mempengaruhi pelestarian lingkungan (Afdal, 2011). Menurut hasil temuan Blackman et al. (2004) yang meneliti terhadap PROPER di Indonesia, dan Powers et al. (2008) yang melakukan penelitian terhadap GREEN RATING PROJECT menyatakan bahwa akuntabilitas

* Dosen STIE Dharmaputra

lingkungan dapat menurunkan tingkat polusi yang terjadi. Hal ini telah dibuktikan dengan banyak pelaporan lingkungan oleh perusahaan, baik melalui laporan tahunan, laporan lingkungan tersendiri maupun melalui webside perusahaan. Pelaporan lingkungan sebagai bentuk akuntabilitas ini ada yang bersifat perintahan (mandatory) dan bersifat sukarela. Perilaku perusahaan yang mencerminkan para eksekutif bisnisnya berbeda-beda dalam dua kondisi tersebut. Dengan adanya regulasi mengenai pelaporan lingkungan yang mengakibatkan pelaporan sifatnya perintahan, maka kualitas pelaporan menjadi lebih baik apabila dilihat dari peningkatan jumlah informasi yang negatif (Gadene dan Ladewig, 2007; Jimenez et al., 2008). Namun sebaliknya, dalam akuntabilitas lingkungan yang sifatnya sukarela tanpa didasari regulasi mengenai isu lingkungan, maka perusahaan cenderung hanya mengungkapkan informasi lingkungan yang menguntungkan image perusahaan (Deegan dan Gordon, 1996;Deegan dan Rankin, 1996 dikutip oleh Afdal, 2011). Beberapa penelitian di bidang bisnis dan pemasaran telah banyak dilakukan untuk menangkap hal yang mendasari keprihatinan lingkungan, namun demikian banyak yang gagal (Kilbourne et al., 2002). Hal ini dibuktikan dengan beberapa kali pemerintah telah melaksanakan Program Penilaian Peringkat Kinerja

(PROPER)

yang

penilaiannya

mengacu

kepada

prinsip-prinsip

akuntabilitas, keadilan, dan transparansi. Namun, setiap kali hasil PROPER diluncurkan, maka perusahaan yang berperingkat emas dan hijau hanya minoritas. Sebagai contoh hasil PROPER periode 2010-2011 menunjukkan bahwa hanya lima (5) perusahaan yang memperoleh peringkat emas. Kurangnya jumlah ini dapat dikatakan bahwa masih lemahnya dukungan terhadap pengelolaan lingkungan termasuk akuntabilitas lingkungan oleh perusahaan-perusahaan dan para pembisnisnya. Selain itu, pemerintah juga lemah dalam mendukung akuntabilitas lingkungan perusahaan meskipun sudah melaksanakan PROPER. Hal ini dapat dilihat dengan tidak adanya standar yang disusun atau diadopsi untuk akuntabilitas perusahaan atas dampak lingkungan yang diakibatkannya (Afdal, 2011).

* Dosen STIE Dharmaputra

Dukungan terhadap akuntabilitas lingkungan yang masih lemah atau masih jauh dari harapan ini menimbulkan pertanyaan: Dalam tingkat apa berbagai pemangku kepentingan mendukung akuntabilitas lingkungan perusahaan? Hal ini membutuhkan penjelasan mengenai karakteristik pemangku kepentingan yang memiliki keprihatinan terhadap lingkungan dan memberi dukungan terhadap akuntabilitas lingkungan. Kemudian, Kilbourne et al. (2002) sebagaimana dikutip oleh Afdal (2011) mengusulkan Dominant Social Paradigm (DSP) untuk menjelaskan perilaku lingkungan. Penelitian mereka mengenai Dominant Social Paradigm (DSP) berfokus pada sesuatu yang sifatnya dibangun oleh masyarakat yang berakar pada tingkat perkembangan individu anggota masyarakat. Bansal dan Gao (2006) menjelaskan bahwa isu lingkungan memiliki beberapa elemen diantaranya adalah elemen emosi, kognitif, dan nilai yang berhubungan dengan individu, dan perkembangan individu ini dapat dilihat dari perkembangan moralnya yang memiliki kaitan dengan aspek kognisinya. Teori perkembangan moral menjelaskan bahwa kerangka yang mendasari pengambilan keputusan individu adalah moral, dalam konteks dilema etika. Tujuan teori ini adalah memahami proses penalaran kognitif seorang individu dalam mengatasi dilema etika, bukan untuk menilai benar atau salah. Menurut Kohlberg (1973) bahwa tingkatan moral merupakan struktur pertimbangan moral atau penalaran moral. Sehingga penalaran moral pada tingkatan yang tinggi dapat dilihat dari penekanan universalitas yang sesuai dengan nilai yang mendukung perilaku lingkungan yaitu nilai universal (Schultz & Zelezny, 1999 dikutip oleh Afdal, 2011). Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas maka penting kiranya dijelaskan lebih lanjut mengenai peran penting penalaran moral pada akuntabilitas lingkungan.

B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam artikel ini adalah masih lemahnya dukungan terhadap akuntabilitas lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan beberapa penelitian bahwa masih banyak sekali perusahaan-perusahaan yang gagal dalam pengelolaan

* Dosen STIE Dharmaputra

lingkungan, dan ini menunjukkan lemahnya jumlah dukungan terhadap pengelolaan lingkungan termasuk akuntabilitas lingkungan. Disamping itu, pemerintah juga masih lemah dalam mendukung akuntabilitas lingkungan, dan ini diindikasikan berkaitan dengan perkembangan moral dari pemangku kepentingan dan pembisnis. Dalam tingkatan perkembangan moral, para pemangku kepentingan dan pembisnis belum mendukung sepenuhnya pada akuntabilitas lingkungan. Dari uraian rumusan masalah tersebut maka pertanyaan dalam artikel ini adalah bagaimana peran penalaran moral pada akuntabilitas lingkungan?

C. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk menguraikan ataupun membahas mengenai peran penalaran moral pada akuntabilitas lingkungan.

TINJAUAN PUSTAKA A. Akuntabilitas Lingkungan Praktik akuntansi adalah sebagai pioner dalam mewujudkan akuntabilitas. Sekarang ini telah dilaporkan tidak lebih dari sekedar akun simpulan dari aktivitas ekonomi entitas pelaporan. Laporan keuangan disusun atas basis ekonomi dan nilai uang. Akun laba atau rugi sebagai laporan kinerja menyediakan gambaran laba atau rugi keuangan yang dihasilkan oleh entitas. Necara sebagai laporan posisi keuangan menyediakan simpulan posisi keuangan entitas pada akhir periode akuntansi. Kedua laporan tersebut belum mampu merefleksikan aktivitas entitas secara menyeluruh, mungkin memang tidak akan mampu. Namun demikian, akuntansi harus selalu berkembang hingga mampu menangkap dimensi ’gambar’ entitas yang lebih menyeluruh, dalam studi ini terfokus pada aspek lingkungan. Sehingga pengambil keputusan, dan seluruh pemangku kepentingan terwadahi semua dan memiliki dasar yang lebih menyeluruh dalam mengambil keputusan. Akuntabilitas lingkungan, sebagaimana telah dijelaskan di atas, merupakan salah satu cara untuk mengurangi kerusakan lingkungan yang harus didorong

* Dosen STIE Dharmaputra

perwujudannya. Perwujudannya ini diharapkan terwadahi oleh akuntansi, namun kenyataannya akuntansi konvensional belum mampu memikul harapan tersebut. Akuntansi konvensional dapat berkontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menciptakan atau menghambat kerusakan lingkungan (Mauders dan Burritt, 1991). Melihat kecenderungannya sekarang, akuntansi konvensional lebih dekat pada kontribusi negatif. Namun demikian, sumber utama permasalahan ini menurut Maunder dan Burrit adalah berasal dari faktor sosiokultural termasuk antroposentrisme, egoisme dan ideologi yang mendorong perilaku yang menginginkan pertumbuhan ekonomi, efisiensi dan kepemilikan pribadi. Akuntabilitas lingkungan menjadi tanggung jawab semua pemangku kepentingan, eksekutif bisnis, pemerintah, masyarakat, profesi akuntansi termasuk mahasiswa akuntansi. Namun masih menjadi pertanyaan, pada tingkat apa atau pemangku kepentingan yang seperti apa yang mendorong hal tersebut.

B. Penalaran Moral Teori perkembangan moral menjelaskan bahwa kerangka yang mendasari pengambilan keputusan individu adalah moral, dalam konteks dilema etika. Tujuan teori ini adalah memahami proses penalaran kognitif seorang individu dalam mengatasi dilema etika, bukan untuk menilai benar atau salah. Kohlberg (1973) bermaksud untuk menemukan secara empiris bagaimana orang-orang memperoleh moralitasnya dan diyakini cara terbaik melakukannya adalah dengan menguji bagaimana orang-orang mengatasi masalahnya. Oleh karena itu, Kohlberg memberikan cerita kepada orang-orang yang memiliki umur berbeda dan budaya yang menempatkan seseorang dalam posisi serta situasi tertentu yang dikonfrontasikan dengan masalah moral standar tertentu. Kohlberg kemudian menanyai orang-orang ini bagaimana mereka akan mengatasi masalah ini dengan dan memberikan alasan atas solusinya. Temuannya yang paling mengejutkan adalah bahwa untuk mengatasi masalah-masalah yang disajikan, orang-orang menggunakan tiga pola, metode atau sistem yang jelas yang disebutnya sebagai struktur, tiap struktur dapat dibagi ke dalam dua sub struktur yang berbeda dan ketiga (keenam) struktur ini dapat dikarakterisasi sebagai tiga tingkat (level) atau

* Dosen STIE Dharmaputra

enam tahap (stages), yang dapat disamakan dengan tiga tingkat (enam tahap) perkembangan kedewasaan moral individu atau masyarakat. Tingkat pertama prakonvensional (pre-conventional) terdiri dari dua tahap, yaitu: (1) orientasi hukuman dan ketaatan (the punishment and obedience orientation) dan (2) pandangan individualistik (the intrumental- relativist orientation). Tingkat kedua, konvensional (conventional) terdiri dari dua tahap juga, yaitu: (3) orientasi kesesuaian interpersonal (the interpersonal concordance or ”good boy or nice girl” orientation). Tingkat ketiga, pascakonvensional (posyconventional) terdiri dari dua tahap pula, yaitu: (5) orientasi kontraksosial dan ligalistik (the social-contrac, legalistic orientation) (6) orientasi prinsip etis universal (the universal ethical principle orientation). Kohlberg (1973) menjelaskan bahwa tingkatan moral merupakan struktul pertimbangan moral atau penalaran moral. Penalaran moral pada tingkatan yang tinggi dapat dilihat menekankan pada universitas sesuai dengan mendukung perilaku lingkungan yaitu nilai universal (Schultz & Zelezny, 1999).

PEMBAHASAN Peran Penalaran Moral Pada Akuntabilitas Lingkungan Banyak penelitian yang telah menguji sikap terhadap isu lingkungan namun masih kurang penelitian yang menguji determinan sikap para pemangku kepentingan (stakeholder) terhadap isu lingkungan (Shafer, 2006). Kilboume et al. (2002) berargumen bahwa Dominant Social Paradigm (DSP) memainkan peranan penting dalam menentukan keyakinan dan sikap terhadap isu lingkungan. Shafer (2006) menambahkan juga bahwa NEP bisa pula menjelaskan akuntabilitas lingkungan. Penelitian lain yang berusaha memahami faktor yang mendorong pertanggungjawaban terhadap lingkungan berfokus pada tingkatan insititusi, seperti industri (Aragon-Correa dan Sharma, 2003), legitimasi (Deegan, Rankin, dan Tobin, 2002; Wilmshurst dan Frost, 2000) pemangku kepentingan, dan tekanan peraturan (Robert, 1992; Buysse dan Verbeke, 2003; Henriques, Irene dan Sadossky, 1999; Murillo-Luna et al., 2008), institusi lingkungan (Hoffman, 1999; Liu et al., 2010), dan aktivitas terkait strategi (Aragon-Correa, 1998). Penelitian-

* Dosen STIE Dharmaputra

penelitian tersebut memperluas pemahaman kita pada aspek-aspek yang berhubungan dengan isu lingkungan berkaitan dengan hubungan antara manusia. Ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Bansal dan Gao (2006) bahwa kebanyakan penelitian menekankan pada teori berdasarkan ekonomika dan sosiologi sementara pendekatan psikologi masih jarang sehingga penelitian pada tingkatan individu masih jarang. Pada tingkatan individu, Rothman (1976) menunjukkan bahwa perilaku seseorang bergantung pada perkembangan penalaran moral yang dimilikinya. Rothman menunjukkan adanya perbedaan perilaku yang dipilih pada dua tingkatan perkembangan moral yang berbeda. Apabila dikaitkan dengan isu lingkungan, Schultz dan Zelezny (1999) dan Schultz et al, (2005) memiliki penjelasan bahwa penalaran moral yang tinggi berorientasi pada nilai universal dan keadilan sosial. (Kohlberg, 1973) mengemukakan bahwa penalaran moral memiliki hubungan positif dengan keprihatinan lingkungan dan perilaku lingkungan. Selain itu, Karpiak dan Baril (2008) juga menunjukkan adanya hubungan negatif penalaran moral yang tinggi dengan sikap apatis terhadap isu lingkungan. Akuntabilitas lingkungan sebagai manifestasi kepribadian dan perilaku lingkungan juga memiliki kesesuaian dengan karakteristik penalaran moral yang tinggi. Akuntabilitas lingkungan menunjukkan bentuk tanggung jawab terhadap aspek lebih luas, lebih universal dan bukti bahwa tindakannya tidak asosial. Sehingga dukungan akuntabilitas lingkungan akan semakin tinggi pada individu yang memiliki penalaran moral yang tinggi. Selain alasan tersebut, akuntabilitas yang sifatnya sukarela, tanpa adanya regulasi dari pemegang otoritas, akan tetap terdukung karena penalaran moral yang tinggi tidak mendasarkan prinsip dan nilai moral pada aturan yang berlaku tapi jauh melebihi aturan (Afdal, 2011). Berdasarkan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa penalaran moral memiliki peran penting pada akuntabilitas lingkungan. Semakin penalaran moral tinggi maka semakin bisa mendukung akuntabilitas lingkungan.

* Dosen STIE Dharmaputra

KESIMPULAN Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa penalaran moral memiliki peran penting pada akuntabilitas lingkungan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa penalaran moral mampu menjadi determinan terhadap dukungan pada akuntabilitas lingkungan. Panalaran moral pada tingkat tinggi akan menekankan prinsip universal dan keadilan sosial yang memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai yang mendasari akuntabilitas lingkungan. Sebagai faktor internal individu, prinsip yang dijunjung oleh penalaran moral yang tinggi akan mendorong individu tersebut dalam mendukung akuntabilitas lingkungan. Hubungan teoritis tersebut juga didukung oleh penelitian-penelitian para ahli bahwa terdapat hubungan antara penalaran moral terhadap dukungan akuntabilitas lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Aragon-Carrea, J.A., 1998. Strategic Proactivity and Firm approach to the Natural Environment. Academy of Management Journal. 41 : 556567. Aragon-Correa, J.A, Sharma, S, 2003. A Contingent Resource-Based View of Proactive Corporation Environmental Strategy. Academy of Management Review, 28: 71-88. Bansal, P., Gao, J., 2006. Building the Future by Looking to the Past: Examining Research Published on Organizations and Environment. Organization & Environment, 19: 458-478. Blackman, Allen, Shakeb Afsah dan Damayanti Ratunanda. 2004. How Do Public Disclosure Pollution Control Programs Work? Evidence from Indonesia. Human Ecology Review, 11 No. 3. Buysse, dan K. Verbeke, A., 2003. Proactivi Environmental Strategies; a Stakeholder Management Perspective. Strategic Management Journal, 24: 453-470. Deegan, Craig dan Ben Gordon. 1996. A Study of the Environment Disclosure Practices of Australian Corporation. Accounting and Business Research, 26 No. 3:187-199.

* Dosen STIE Dharmaputra

Deegan, Craig dan Michaela Rankin. 1996. Do Australian Companies Report Environmental News Objectively? An Analysis of Environmental Disclosures by Firms Prosecuted Successfully by the Environmental Protection Authority. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 9 No. 2: 50-67. Deegan, Craig, Michaela Rankin dan John Tobin, 2002. An Examination of the Corporate Social and Environmental Disclosure of BHP from 19831997: A Test of Legitimacy Theory. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 15 No. 3:312-343. Gadene, David dan Jonathan LAdewig, 2007. The Influence of Australian Environmental Protection Authority Prosecutions on Corporate Environmental Disclosures. Journal of Environmental Assesment Policy and Management, 9 No. 3: 299-318. Jimenez, Irene Criado et al. 2008. Compliance UIT Mandatory Environmental Reporting in Financing Statement: The Case of Spain (2001-2003). Journal of Business Ethics, 79: 245-262. Henriques, L., dan Sadorsky, P., 1999. The Relationship Between Environmental Commitment and Managerial Perceptions of Stakeholder Importance. Academy of Management Journal, 42: 87-99. Hoffman, A.J., 1999. Institutional Evolution and Change: Environmental and the U.S. Chemical Industry. Academy of Management Journal, 42: 351371. Karpiak. Christie P. dan Galen L. Baril. 2008. Moral Reasoning and Concerní for the Environmental. Journal of Environmental Psychology, 28: 203208. Kilbourne, William E., Suzanne C. Beckman, dan Eva Thelenc, 2002. The Role of the Dominant Social Paradign ub Environmental Attitudes A Multinational Examination. Journal of Business Research, 55: 193204. Kohlberg, Lawrence. 1973. The Claim to Moral Adequacy of a Highest Stage of Moral Judgment. The Journal of Philosophy, 70 No. 18. Liu, X., et al., 2010. An Empirical Study on the Driving Mechanism of Proactive Corporate Environmental Management in China. Journal of Environmental Management, 91: 1707-1717. Maunders, K., T, and R. L. Burritt: 199. Accounting and Ecological Response Crisis. Accounting Auditing and Accountability Journal, 4: 9-24.

* Dosen STIE Dharmaputra

Murillo-Luna, et al., 2008. Why do Patterns of Environmental Respons Differ? A Stakeholder’ Pressure Approach. Strategic Management Journal, 29: 1225-1240 Powers, N., Blackman, A., Lyon, T. P., & Narain, U. 2011. Does Disclosure Reduce Pollution? Evidence From India’s Green Rating Project. Environmental and Resource Economics, 50 (1): 131-155. Roberts, Robin W. 1992. Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure: An Aplication of Stakeholder Theory. Accounting Organizations and Society, 17 No 6: 595-612. Rothman, Golda R. 1976. The Influence of Moral Reasoning on Behavioral Choices. Child Development, 47, No. 2:397-406.

Shafer, William E., 2006. Social Paradigms and Attitudes Towar Environmental Accountability. Journal of Business Ethics, 65: 121-147. Schultz, P. Wesley et al., 2005. Values and Their Relationship to Environmental Concern and Conservation Behavior. Journal of Cross-Cultural Psychology, 36: 457. Schultz, P.Wesley dan Lynnette Zelezny. 1999. Values as Predictors of Environmental Attitudes: Evidence for Consistencyacross 14 Countries. Journal of Environmental Psychology, 19: 255-265. Wilmshurst, Trevor D. dan Geoffrey R. Frost. 2000. Corporate Environmental Reporting A Test of Legitimacy Theory. Accounting Auditing & Accountability Journal, 13 No. 1: 10-26.

* Dosen STIE Dharmaputra