perbedaan cinta berdasarkan teori segitiga cinta sternberg antara

perbedaan cinta dan komponen-komponen cinta antara wanita dengan pria masa dewasa awal berdasarkan teori segitiga cinta ... mendominasi dalam suatu hu...

7 downloads 819 Views 837KB Size
PERBEDAAN CINTA BERDASARKAN TEORI SEGITIGA CINTA STERNBERG ANTARA WANITA DENGAN PRIA MASA DEWASA AWAL Rismawati Marasabessy Dosen Pembimbing: Ni Made Taganing K., S.Psi., M.Psi. ABSTRAKSI Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan cinta dan komponen-komponen cinta antara wanita dengan pria masa dewasa awal berdasarkan teori segitiga cinta Sternberg. Menurut Sternberg (1988), suatu hubungan cinta yang ideal akan terwujud apabila dalam hubungan tersebut terdapat keseimbangan dari ketiga komponen cinta yaitu komponen intimacy, passion, dan commitment. Apabila hanya salah satu dari ketiga komponen tersebut saja yang mendominasi dalam suatu hubungan, maka dapat dikatakan bahwa hubungan tersebut akan mengalami ketimpangan. Penelitian dilaksanakan di Universitas Gunadarma, Depok dengan responden (subjek penelitian ) adalah mahasiswa/i Gunadarma sebanyak 60 orang, pria (30 orang) dan wanita (30 orang). Dalam penelitian ini, cinta diukur menggunakan Skala Segitiga Cinta Sternberg (The Sternberg Triangular Love Scale (STLS)) yang dikembangkan berdasarkan komponen-komponen cinta dari Sternberg, dan yang telah diadaptasikan oleh Suriawinata (1997). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik Independent Sample T-test. Berdasarkan analisis T-test diketahui nilai t = -1,439 dengan signifikansi sebesar 0,155 (p>0,05) untuk cinta secara keseluruhan, hal ini menunjukkan bahwa hipotesis ada perbedaan cinta antara pria dengan wanita dalam penelitian ini ditolak yang berarti tidak ada perbedaan cinta secara keseluruhan antara pria dengan wanita. Untuk komponen intimacy didapat nilai t = 0,077 dengan signifikansi sebesar 0,939 (p>0,05). Hal ini menunjukan bahwa hipotesis ada perbedaan intimacy antara pria dengan wanita dalam penelitian ini ditolak yang berarti tidak ada perbedaan intimacy yang signifikan antara pria dengan wanita. Untuk komponen passion didapat nilai t = -2,955 dengan signifikansi sebesar 0,005 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis ada perbedaan passion antara pria dengan wanita dalam penelitian ini diterima yang berarti ada perbedaan passion yang signifikan antara pria dengan wanita. Untuk komponen commitment didapat nilai t = -2.128 dengan signifikansi sebesar 0,038 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis ada perbedaan commitment antara pria dengan wanita dalam penelitian ini diterima yang berarti ada perbedaan commitment yang signifikan antara pria dengan wanita. Kata kunci: Cinta, Komponen Cinta antara Wanita dan Pria Masa Dewasa Awal.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak kecil, manusia sudah diajarkan mengenai cinta, baik cinta terhadap orang tua, teman, diri sendiri, Tuhan, dan sebagainya. Namun seiring perkembangan dan pertumbuhan manusia, baik pria maupun wanita akan mengimplementasikan cinta dengan cara yang berbeda-beda. Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan cinta? Banyak ahli memberikan definisi cinta yang berbeda-beda. Meski ada beragam definisi cinta, tampaknya belum ada satu definisi yang sempurna atau utuh yang dapat mencakup keseluruhan makna cinta itu sendiri. Menurut Sternberg (dalam Sternberg & Barnes, 1988), cinta bukanlah suatu kesatuan tunggal, melainkan gabungan dari berbagai perasaan, hasrat, dan pikiran yang terjadi secara bersamaan sehingga menghasilkan perasaan global yang dinamakan cinta. Sternberg (1988) memiliki teori tentang cinta yang dikenal sebagai teori segitiga cinta (The Triangular Theory of Love). Dalam teori segitiga cintanya tersebut, Sternberg mencirikan cinta terdiri dari tiga komponen, yaitu keakraban atau keintiman (intimacy), gairah (passion), keputusan atau komitmen (decision/commitment). Keakraban atau keintiman adalah perasaan dalam suatu hubungan yang meningkatkan kedekatan, keterikatan, dan keterkaitan (atau dengan kata lain bahwa intimacy mengandung pengertian sebagai elemen afeksi yang mendorong individu untuk selalu melakukan kedekatan emosional dengan orang yang dicintainya). Pasangan yang memiliki intimacy yang tinggi akan sangat memperhatikan kesejahteraan dan

kebahagiaan pihak lain, menghormati dan menghargai satu sama lain, dan memiliki kesalingpengertian. Mereka juga saling berbagi dan merasa saling memiliki, saling memberi dan menerima dukungan emosional dan berkomunikasi secara intim. Sebuah hubungan akan mencapai keintiman emosional manakala kedua pihak saling mengerti, terbuka, saling mendukung, dan merasa bisa berbicara mengenai apa pun juga tanpa merasa takut ditolak. Mereka juga akan berusaha menyelaraskan nilai dan keyakinan tentang hidup, meskipun tentu saja ada perbedaan pendapat dalam beberapa hal. Mereka mampu untuk saling memaafkan dan menerima, khususnya ketika mereka tidak sependapat atau berbuat kesalahan. Gairah meliputi rasa kerinduan yang dalam untuk bersatu dengan orang yang dicintai yang merupakan ekspresi hasrat dan kebutuhan seksual (atau dengan kata lain bahwa passion merupakan elemen fisiologis yang menyebabkan seseorang merasa ingin dekat secara fisik, menikmati atau merasakan sentuhan fisik, ataupun melakukan hubungan seksual dengan pasangan hidupnya). Keputusan atau komitmen adalah suatu ketetapan seseorang untuk bertahan bersama sesuatu atau seseorang sampai akhir. Dengan kata lain, komitmen sering diartikan sebagai keputusan untuk tetap bersama seorang pasangan dalam hidupnya. Komitmen lebih kompleks dari sekedar menyetujui untuk tetap bersama pasangan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan. Komitmen berarti pula mencurahkan perhatian, melakukan sesuatu untuk menjaga suatu hubungan agar tetap langgeng, dan melindungi hubungan itu dari bahaya, dan memperbaikinya bila hubungan itu dalam keadaan kritis.

Kedua pihak saling memperhatikan kebutuhan yang lain dan harus meletakkan kebutuhan pasangan sebagai prioritas utama, termasuk kerelaan untuk berkorban secara pribadi demi terciptanya hubungan yang baik. Bila memutuskan untuk berkomitmen, seseorang harus pula menerima pasangan tanpa syarat, memikirkan pasangan sepanjang waktu, dan melakukan sesuatu demi pasangan (Achmanto, 2005). Menurut Sternberg, kondisi cinta yang ideal akan tercipta apabila ketiga komponen cinta tersebut seimbang sehingga membentuk segitiga sama sisi (yang menandakan bentuk cinta yang ideal sesuai dengan teori segitiga cintanya yaitu The Triangular Theory of Love). Akan tetapi pada kenyataannya di lapangan sering timbul masalah dalam hubungan percintaan antar pasangan yang sedang berpacaran maupun yang sudah menikah sehingga membentuk ketimpangan (dalam artian di dalam hubungan tersebut hanya salah satu dari ketiga komponen tersebut yang berperan sehingga tidak membentuk segitiga sama sisi yang berarti tidak membentuk cinta yang ideal). Pengimplementasian cinta pada setiap individu akan berbeda. Perbedaan ini kemungkinan terjadi diantara wanita dan pria. Perbedaan jenis kelamin kemungkinan ikut menentukan perbedaan cinta, karena jenis kelamin merupakan perbedaan yang paling fundamental, baik secara fisik maupun psikologis. Jenis kelamin ternyata merupakan salah satu kategori dasar dalam kehidupan sosial. Waktu bertemu dengan orang baru, pasti individu akan berusaha mengidentifikasikan individu sebagai pria dan wanita. Kategori jenis

kelamin biasanya terjadi secara otomatis, tanpa perlu banyak dipikir. Jenis kelamin adalah perbedaan yang khas antara pria dan wanita atau antara organisme yang memproduksi sel telur dan sel sperma (Chaplin, 1995). Selain itu, ditambahkan juga bahwa seks atau jenis kelamin adalah sebuah perbedaan yang penting atau berarti antara pria dan wanita pada sifat-sifat jasmaniah dan rohaniah (mentalnya). Menurut Baron dan Byrne (2000), jenis kelamin didefinisikan sebagai istilah biologis yang secara genetik menentukan perbedaan antara pria dan wanita secara anatomi dan fisiologis. Baron dan Byrne juga menjelaskan bahwa jenis kelamin berkaitan dengan peran, tingkah laku, kesukaan, dan atribut-atribut lain yang mendefinisikan pengertian pria dan wanita dalam suatu kebudayaan. Perbedaan antara pria dan wanita dapat dilihat dari ciri-ciri fisik maupun psikis yang dimilikinya. Ciri-ciri fisik pria diantaranya mempunyai lebaran bahu lebih besar dari panggul, payudara tidak berkembang seperti pada wanita, suara keras atau berat, glutea (pantat) sedikit berisi atau tidak sama sekali. Ciri-ciri fisik wanita diantaranya mempunyai lebaran bahu lebih kecil dari panggul, payudara yang berkembang mulai dari masa pubertas hingga dewasa, suara halus atau lembut atau merdu, glutea (pantat) yang lebih berisi (Aidil, 2005). Selain ciri-ciri fisik di atas, terdapat juga ciri-ciri psikis (psikologis) yang membedakan antara pria dan wanita, dimana ciri-ciri tersebut antara lain menunjukkan bahwa pria memiliki sifat yang agresif, tidak emosional, objektif, logis, dominan, ambisius. Wanita memiliki sifat yang lemah lembut, cerewet, bijaksana, peka

terhadap perasaan orang lain, tertarik pada penampilan diri, mengungkapkan perasaan yang lemah lembut, mudah menangis, kebutuhan akan rasa aman yang besar (Rosenkrantz, dkk. dalam Sears, dkk., 1992). Menurut Dagun (1992), pria memiliki sifat yang berbeda dengan wanita, diantaranya sangat bebas, hampir memendamkan emosi, dapat membuat keputusan, mudah memisahkan pikiran dan perasaan, tidak pernah suka penampilan, bebas membicarakan seks dengan teman pria. Wanita memiliki sifat yang tidak bebas, tidak memendamkan emosi, sangat mudah terpengaruh, sangat ketergantungan, segan membicarakan seks dengan teman pria. Semua ciri-ciri fisik dan psikis yang telah disebutkan tersebut menunjukkan kedewasaan individu, terutama apabila dilihat dari ciri-ciri fisiknya. Secara umum, individu yang tergolong dewasa awal (young adulthood) adalah individu yang berusia 20-40 tahun. Ketika seseorang memasuki usia atau masa dewasa awal, maka periode dewasa secara umum adalah umur-umur pemantapan diri terhadap pola hidup baru (berkeluarga). Masa dewasa awal adalah masa pencarian kemantapan dan masa reproduktif, yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreatifitas, dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru (Dariyo, 2003). Hura-hura pada masa remaja sudah lewat, individu harus memikirkan halhal penting lain dalam hidupnya. Mereka mulai serius belajar demi karir di masa yang akan datang, mulai memilih-milih pasangan yang lebih serius. Hal ini

sejalan dengan pernyataan Havighurst (dalam Dariyo, 2003) mengenai tugastugas perkembangan masa dewasa awal dimana salah satu tugas perkembangannya adalah mencari dan menemukan calon pasangan hidup. Mencari dan menemukan calon pasangan hidup biasanya dimulai dengan suatu interaksi yang terjadi antar dua individu dewasa muda yang lambat laun akan menimbulkan suatu kedekatan secara emosional, sehingga puncak pengalaman psikososial tampaknya tercapai pada masa dewasa awal. Pada masa ini, individu mulai mengkristalisasi hubungan dengan seorang individu yang paling dicintai, dipercayai atau dibina sebelumnya yang dikenal dengan istilah pacaran. Hubungan pacaran biasanya diawali dengan adanya daya tarik tertentu. Kemudian lama-kelamaan pacaran memungkinkan berkembangnya rasa cinta, perhatian, kehangatan, serta interaksi yang berarti antara pria dan wanita. Pacaran terdiri dari elemen yang mencakup adanya aktivitas atau peristiwa tertentu yang dialami dan dinikmati bersama oleh sepasang individu yang berbeda jenis (Duvall & Miller, dalam Anindya, 2007). Namun, di dalam menjalin suatu hubungan pacaran tidak selamanya akan berjalan lancar, ada saja masalah yang sering timbul yang biasanya berkaitan dengan salah satu dari ketiga komponen cinta di atas. Masalah yang sering timbul biasanya berkaitan dengan salah satu dari ketiga komponen cinta tersebut. Misalnya dalam hubungan pacaran, masalah yang sering timbul adalah wanita selalu memberikan sekaligus mengharapkan perhatian, pengertian, dukungan emosional, menghargai pasangannya dimana hal ini berkaitan

dengan komponen intimacy, akan tetapi pria kurang menunjukkan hal-hal tersebut. Pria lebih mendominasi suatu hubungan dengan komponen passion misalnya dengan mengekspresikan makna cinta dengan cara melakukan tingkah laku seksual mulai dari berpegangan tangan, berciuman, bahkan sampai melakukan hubungan intim. Bahkan survey yang dilakukan oleh Men’s Health Indonesia (dalam Femina, 2007) menunjukkan bahwa 49% pria Indonesia mengatakan bahwa seks di luar nikah bukanlah hal yang salah. Artinya bahwa pria cenderung lebih mengutamakan komponen passion daripada komponen-komponen yang lainnya dalam mengeksperikan cintanya. Banyak juga timbul masalah yang berkaitan dengan komponen commitment, seperti hubungan sepasang kekasih yang sudah lama berpacaran, namun pada saat ditanya komitmennya untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius, pria akan ‘maju mundur’ mengenai hal teresebut. Menurut buku Why Men Marry Bitches yang ditulis oleh Sherry Argov (dalam Femina, 2007) dikatakan bahwa ide untuk menikah memang menakutkan untuk pria dibandingkan untuk wanita. Hal ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, pria takut terjebak dalam wanita yang salah dan membuat ia tidak bahagia seumur hidupnya. Kedua, pria takut, jika dia kurang berhasil dalam karirnya, istrinya akan berkhianat dengan pria lain yang lebih sukses. Ketiga, pria lebih takut bercerai daripada wanita. Masih ada beberapa contoh kasus atau fenomena yang berkaitan dengan hal tersebut yang dikutip dalam majalah Femina (2007), diantaranya seperti sepasang kekasih yang sudah berpacaran selama 2,5 tahun dan rencananya akan menikah, namun pria memutuskan

hubungan tersebut dengan alasan belum siap menikah dan butuh waktu menyendiri, dan masih banyak masalahmasalah lainnya. Berbedanya perwujudan tingkah laku antara pria dengan wanita terhadap ketiga komponen cinta tersebut dapat menyebabkan ketidakseimbangan pemenuhan tingkah laku dari komponenkomponen cinta. Hal ini apabila tidak ditindaklanjuti oleh kedua pasangan dan tidak dikomunikasikan dengan baik, maka hubungan tersebut dapat berakhir. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa semakin sering munculnya perbedaan dalam perwujudan tingkah laku dari komponen-komponen cinta tersebut, maka semakin besar peluang untuk berakhirnya suatu hubungan (dalam hal ini adalah hubungan pacaran). Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin melihat adakah perbedaan cinta secara keseluruhan dan perbedaan komponen-komponen cinta dalam teori segitiga cinta Sternberg antara wanita dengan pria masa dewasa awal? B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ialah ingin menguji secara empiris perbedaan cinta secara keseluruhan dan perbedaan komponen-komponen cinta dalam teori segitiga cinta Sternberg antara wanita dengan pria masa dewasa awal (young adulthood). C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yaitu: 1. Manfaat Teoritis Manfaat penelitian ini dari segi teoritis, diharapkan dapat menyumbang bagi referensi teoritis dalam bidang studi Psikologi Sosial. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya, khususnya mengenai perbedaan cinta secara

keseluruhan dan perbedaan komponenkomponen cinta dalam teori segitiga cinta Sternberg antara wanita dengan pria masa dewasa awal. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat secara umum dan individu dewasa muda secara khusus. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya pemahaman tentang cinta dan komponen-komponennya terutama untuk dapat dimanfaatkan bagi pihakpihak lain yang terkait dalam penanganan masalah-masalah dalam rubrik-rubrik konsultasi psikologis, proses konseling individu dewasa, terutama dewasa awal, atau hubungan interpersonal lainnya yang berkaitan dengan bidang tersebut. BAB II Pengertian Cinta cinta adalah suatu perasaan emosi yang kuat penuh kasih sayang terhadap seseorang yang bersifat positif serta memiliki pengaruh positif (apabila individu mengimplementasikan cinta sesuai makna yang sebenarnya) bagi individu yang merupakan gabungan dari berbagai perasaan, hasrat, dan pikiran yang terjadi secara bersamaan. Pengertian Jenis Kelamin Jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara pria dan wanita yang berhubungan dengan organ reproduksi dan sangat berkaitan dengan peran, tingkah laku, kesukaan, dan atributatribut lain yang mendefinisikan pengertian pria dan wanita dalam suatu kebudayaan. Teori Segitiga Cinta (The Triangular Theory of Love) Sternberg Sternberg (dalam Sternberg dan Barnes, 1988) mengemukakan teori

segitiga cinta adalah bahwa cinta memiliki tiga bentuk utama (tiga komponen), yaitu: keintiman (intimacy), gairah (passion), dan keputusan atau komitmen (decision/commitment). Berikut ini akan dijelaskan mengenai komponen cinta menurut Sternberg (dalam Sternberg dan Barnes, 1988): a. Keakraban atau keintiman (intimacy) Adalah perasaan dalam suatu hubungan yang meningkatkan kedekatan, keterikatan, dan keterkaitan. Dengan kata lain bahwa intimacy mengandung pengertian sebagai elemen afeksi yang mendorong individu untuk selalu melakukan kedekatan emosional dengan orang yang dicintainya. Hasil penelitian Sternberg dan Grajeg (dalam Sternberg dan Barnes, 1988) menunjukkan keakraban mencakup sekurang-kurangnya sepuluh elemen, yaitu : 1). Keinginan meningkatkan kesejahteraan dari yang dicintai 2). Mengalami kebahagiaan bersama yang dicintai 3). Menghargai orang yang dicintainya setinggi-tingginya 4). Dapat mengandalkan orang yang dicintai dalam waktu yang dibutuhkan 5). Memiliki saling pengertian dengan orang yang dicintai 6). Membagi dirinya dan miliknya dengan orang yang dicintai 7). Menerima dukungan emosional dari orang yang dicintai 8). Memberi dukungan emosional kepada orang yang dicintai 9). Berkomunikasi secara akrab dengan orang yang dicintai 10). Menganggap penting orang yang dicintai dalam hidupnya.

b. Gairah (passion) Meliputi rasa kerinduan yang dalam untuk bersatu dengan orang yang dicintai yang merupakan ekspresi hasrat dan kebutuhan seksual. Atau dengan kata lain bahwa passion merupakan elemen fisiologis yang menyebabkan seseorang merasa ingin dekat secara fisik, menikmati atau merasakan sentuhan fisik, ataupun melakukan hubungan seksual dengan pasangan hidupnya. Komponen passion juga mengacu pada dorongan yang mengarah pada romance, ketertarikan fisik, konsumsi seksual dan perasaan suka dalam suatu hubungan percintaan. Dalam suatu hubungan (relationship), intimacy bisa jadi merupakan suatu fungsi dari seberapa besarnya hubungan itu memenuhi kebutuhan seseorang terhadap passion. Sebaliknya, passion juga dapat ditimbulkan karena intimacy. Dalam beberapa hubungan dekat antara orang-orang yang berlainan jenis, passion berkembang cepat sedangkan intimacy lambat. Passion bisa mendorong seseorang membina hubungan dengan orang lain, sedangkan initmacylah yang mempertahankan kedekatan dengan orang tersebut. Dalam jenis hubungan akrab yang lain, passion yang bersifat ketertarikan fisik (physical attraction) berkembang setelah ada intimacy. Dua orang sahabat karib lain jenis bisa tertarik satu sama lain secara fisik kalau sudah sampai tingkat keintiman tertentu. Terkadang intimacy dan passion berkembang berlawanan, misalnya dalam hubungan dengan wanita tuna susila, passion meningkat dan intimacy rendah.

Namun bisa juga sejalan, misalnya kalau untuk mencapai kedekatan emosional, intimacy dan passion bercampur dan passion menjadi keintiman secara emosional. Pada intinya, walaupun interaksi intimacy dan passion berbeda, namun kedua komponen ini selalu berinteraksi satu dengan yang lainnya di dalam suatu hubungan yang akrab. c. Keputusan atau Komitmen (decision/commitment) Komponen keputusan atau komitmen dari cinta mengandung dua aspek, yang pertama adalah aspek jangka pendek dan yang kedua adalah aspek jangka panjang. Aspek jangka pendek adalah keputusan untuk mencintai seseorang. Sedangkan aspek jangka panjang adalah komitmen untuk menjaga cinta itu. Atau dengan kata lain bahwa komitmen adalah suatu ketetapan seseorang untuk bertahan bersama sesuatu atau seseorang sampai akhir. Kedua aspek tersebut tidak harus terjadi secara bersamaan, dan bukan berarti bila kita memutuskan untuk mencintai seseorang juga berarti kita bersedia untuk memelihara hubungan tersebut, misalnya pada pasangan yang hidup bersama. Atau sebaliknya, bisa saja kita bersedia untuk terikat (komit) namun tidak mencintai seseorang. Komponen ini sangat diperlukan untuk melewati masa-masa sulit. Commitment berinteraksi dengan intimacy dan passion. Untuk sebagian orang, commitment ini adalah merupakan kombinasi dari intimacy dan timbulnya passion. Bisa saja intimacy dan passion timbul setelah adanya komitmen,

misalnya perkawinan yang diatur (perjodohan). Keintiman dan komitmen nampak relatif stabil dalam hubungan dekat, sementara gairah atau nafsu cenderung relatif tidak stabil dan dapat berfluktuasi tanpa dapat diterka. Dalam hubungan romantis jangka pendek, nafsu cenderung lebih berperan. Sebaliknya, dalam hubungan romantis jangka panjang, keintiman dan komitmen harus memainkan peranan yang lebih besar (Sternberg, dalam Strernberg & Barnes, 1988). Ketiga komponen yang telah disebutkan di atas haruslah seimbang untuk dapat menghasilkan hubungan cinta yang memuaskan dan bertahan lama. BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian Dalam penelitian ini beberapa variabel yang akan dikaji adalah: 1. Variabel Dependen : Cinta (Y) 2. Variabel Independen : Jenis kelamin (X) B. Definisi Operasional Variabel Penelitian Secara operasional, variabel dalam penelitian ini masing-masing didefinisikan sebagai berikut: 1. Cinta adalah suatu perasaan emosi yang kuat penuh kasih sayang terhadap seseorang yang bersifat positif serta memiliki pengaruh positif bagi individu yang merupakan gabungan dari berbagai perasaan, hasrat, dan pikiran yang terjadi secara bersamaan. Dalam penelitian ini, cinta diukur dengan menggunakan The Sternberg

Triangular Loving Scale (STLS) yang dikembangkan berdasarkan komponen-komponen cinta dari Sternberg, yaitu komponen intimacy (keintiman atau keakraban), passion (hasrat atau gairah atau nafsu), dan commitment (komitmen atau keputusan) dan yang telah diadaptasikan oleh Suriawinata (1997). 2. Jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara pria dan wanita yang berhubungan dengan organ reproduksi dan sangat berkaitan dengan peran, tingkah laku, kesukaan, dan atribut-atribut lain yang mendefinisikan pengertian pria dan wanita dalam suatu kebudayaan. C. Subjek Penelitian Karakterisitik subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa/i, berjenis kelamin pria dan wanita yang termasuk dalam masa dewasa awal (usia 20-30 tahun) yang sedang menjalani proses berpacaran minimal selama 1 tahun, karena dalam kurun waktu 1 tahun tersebut, masing-masing individu sudah saling mengenal satu sama lain. Penentuan usia dilakukan berdasarkan literatur yang menunjukkan bahwa rentang usia 20-30 tahun termasuk masa dewasa awal (Turner & Helms, 1987). Menurut Erickson (dalam Papalia, 1998), salah satu tugas perkembangan individu pada masa ini adalah membangun hubungan yang intim dengan orang lain. Hubungan pacaran termasuk dalam salah satu jenis hubungan yang intim tersebut. Sementara itu, tingkat pendidikan subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa karena mahasiswa dianggap telah memiliki tingkat intelektual yang tinggi dan pola pikir yang matang, dimana

kedua hal tersebut dapat membantu dalam pengisian kuesioner. D. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini digunakan alat berbentuk kuesioner. Kuesioner adalah suatu daftar yang berisikan suatu rangkaian pertanyaan atau pernyataan mengenai sesuatu hal atau dalam sesuatu bidang (Koentjaraningrat, 1993) dan dijawab dengan menulis atau membuat tanda pada jawaban yang tepat dari jawabanjawaban yang telah disediakan (Craig & Metze, dalam Suriawinata, 1997). Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa pernyataanpernyataan yang diperoleh melalui The Sternberg Triangular Love Scale (STLS). Berikut ini adalah uraian singkat mengenai The Sternberg Triangular Love Scale (Skala Segitiga Cinta Sternberg) : Triangular teori tentang cinta setidaknya memiliki dua aplikasi praktis, yaitu diagnostik dan terapeutik. Dengan diagnostik berarti dapat diketahui bagaimana bentuk segitiga cinta seseorang, apakah seimbang atau tidak seimbang dari suatu hubungan cinta sehingga dapat membantu memahami pasangannya. Sedangkan dengan terapeutik adalah membantu seseorang apabila diperlukan perubahan dari bentuk segitiganya apabila diperlukan dan menyarankan beberapa tingkah laku yang dapat menyebabkan perubahan tersebut. Pada akhirnya pasangan tersebut dapat dekat lagi atau setidaknya dapat memahami dan menghargai perbedaan yang dimiliki pasangannya. Kedua aplikasi tersebut tergantung pada skala untuk mengukur komponenkomponen dari cinta.

Skala segitiga cinta memiliki 45 aitem, dimana 15 aitem mengukur intimacy, 15 aitem untuk mengukur passion dan 15 aitem terakhir untuk mengukur decision. Rating skala mulai dari 1 yang berarti tidak sama sekali sampai dengan 9 yang berarti sangat sesuai, setuju, penting, bahagia dan sebagainya terhadap aitem tersebut. Dalam melakukan penelitian untuk sampai pada alat tersebut, Sternberg menggunakan prosedur sebagaimana disebutkan berikut ini. Sampel yang digunakan adalah sebanyak 101 orang dewasa terdiri dari 50 pria dan 51 wanita. Sampel tersebut didapat dengan cara memasang iklan di surat kabar, sehingga sampel yang akhirnya didapat memang secara sukarela bersedia mengikuti penelitian ini. Kriteria sampelnya adalah usia minimal 18 tahun, heteroseksual, sudah menikah atau pada saat itu mempunyai hubungan dekat dengan seseorang dan belum pernah mengikuti eksperimen yang serupa. Dari keseluruhan sampel tersebut didapat bahwa usianya bervariasi diantara 18-71 tahun, sehingga usia ratarata 31 tahun. Lamanya hubungan 1-42 tahun dengan rata-rata 6.3 tahun. Seluruh sampel diminta untuk mengisi data diagnostik tentang diri mereka setelah itu mengisi kuesioner satisfaction yang berisi bagaimana kepuasan, kebahagiaan, keuntungan, kedekatan, kepentingan, kebaikan, pendorong, intim secara emosional, kegairahan dan keterikatan hubungan yang dijalaninya. Kuesioner tersebut mempunyai skala 19, dimana 1 = tidak sama sekali dan 9 = sangat. Seluruh partisipan mengisi dua kuesioner, yaitu milik Sternberg dan milik Rubin. Partisipan mengisi setiap aitem sebanyak dua kali yang menggambarkan:

(a) karakteristik hubungan yang sedang mereka jalani (hubungan yang nyata) (b) bagaimana sebaiknya menurut pikiran mereka hubungan itu seharusnya (hubungan yang ideal). Hasil yang diperoleh menunjukkan skor rata-rata penilaian terhadap hubungan nyata, 7.39 untuk intimacy, 6.51 untuk passion dan 7.20 untuk commitment. Dimana skor yang tertinggi 8.6 untuk intimacy, 8.2 untuk passion, dan 8.7 untuk commitment. Skor yang terendah masing-masing 6.2, 4.9, dan 5.7 untuk setiap komponen. Cara Sternberg mengukur rata-rata adalah dengan melihat 15 % skor teratas dan 15 % skor terbawah. Rendahnya skor rata-rata untuk passion dibandingkan dengan intimacy dan commitment mungkin disebabkan oleh pengaruh rata-rata lamanya hubungan yaitu 6.3 tahun. Passion adalah komponen yang paling sulit untuk dipertahankan. Walaupun usia rata-rata wanita lebih tinggi daripada pria (32 dan 30 tahun) dan hubungannya lebih lama (6.8 dan 5.7 tahun). Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam perbedaan gender (7.2 : 6.8), namun demikian terlihat wanita cenderung lebih puas dalam membina hubungan. Wanita cenderung menilai hubungan yang nyata lebih tinggi daripada pria. Sedangkan pria, penilaian terhadap hubungan ideallah yang lebih tinggi. Hal lain yang menarik adalah kenyataan bahwa secara keseluruhan perbedaan yang besar antara nyata (real) dan ideal ditemukan pada komponen intimacy (untuk kedua jenis kelamin) kemudian diikuti oleh commitment (hanya untuk pria). Sternberg menggunakan teknik statistik analisa faktor untuk menentukan apakah struktur yang mendasari kuesioner sesuai dengan apa yang diharapkan. Dengan kata lain, walaupun

teori mengindikasikan intimacy, passion, dan commitment sebagai komponen utama dari cinta, tidak berarti penilaian yang diberikan orang sewaktu mengisi kuesioner sesuai dengan struktur yang diberikan teori. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa memang ternyata pernyataan-pernyataan membentuk ketiga komponen seperti yang disebutkan di atas. Hubungan antara skala Sternberg dan skala Rubin serta sejauh mana hubungan kedua skala ini dengan satisfaction akan dijelaskan sebagai berikut. Intimacy, passion, dan commitment secara keseluruhan berhubungan atau berkorelasi baik dengan skala Rubin, dimana hubungan dengan skala Loving lebih tinggi daripada dengan skala Liking. Dalam meramalkan kepuasan dalam hubungan dekat (close relationship), skor intimacy dan passion berkorelasi baik, diikuti oleh commitment kemudian baru skala Liking dan Loving (Rubin). Intimacy secara khusus meramalkan kepuasan dengan baik sehubungan dengan kebahagiaan, kedekatan, keuntungan, dan kebaikan dari suatu hubungan secara umum dapat dikatakan bahwa skala segitiga cinta meramalkan kepuasan lebih baik daripada skala Rubin. Kuesioner ini disusun oleh Sternberg pada tahun 1986. Namun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner yang telah diadaptasikan oleh Suriawinata (1997) karena kuesionernya sudah disesuaikan dengan budaya timur (budaya Indonesia) dalam hal tata bahasa di dalam pernyataannya dan peneliti juga menambahkan beberapa aitem yang bersifat unfavorable. Dalam kuesioner ini terdiri dari lembar identitas yang harus diisi oleh subjek penelitian. Selanjutnya adalah

berupa Skala Segitiga Cinta Sternberg yang telah diadaptasikan yang mengacu pada skala Likert, yaitu teknik skala yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentu nilai skalanya (Azwar, 2004). Metode penskalaan ini terdiri dari sejumlah pernyataan sikap yang ditulis berdasarkan kaidah penulisan item dan didasarkan pada rancangan skala yang telah ditetapkan. Kuesioner ini disusun berdasarkan komponen-komponen cinta menurut Sternberg (1986), yaitu: 1. Komponen Intimacy Adalah perasaan dalam suatu hubungan yang meningkatkan kedekatan, keterikatan, dan keterkaitan. Dengan kata lain bahwa intimacy mengandung pengertian sebagai elemen afeksi yang mendorong individu untuk selalu melakukan kedekatan emosional dengan orang yang dicintainya. Sepuluh elemen dalam komponen ini adalah: 1). Keinginan meningkatkan kesejahteraan orang yang dicintai 2). Mengalami kebahagiaan bersama yang dicintai 3). Menghargai orang yang dicintainya setinggi-tingginya 4). Dapat mengandalkan orang yang dicintai dalam waktu yang dibutuhkan 5). Memiliki saling pengertian dengan orang yang dicintai 6). Membagi dirinya dan miliknya dengan orang yang dicintai 7). Menerima dukungan emosional dari orang yang dicintai 8). Memberi dukungan emosional kepada yang dicintai 9). Berkomunikasi secara akrab dengan orang yang dicintai 10). Menganggap penting orang yang dicintai dalam hidupnya. 2. Komponen Passion

Meliputi rasa kerinduan yang dalam untuk bersatu dengan orang yang dicintai yang merupakan ekspresi hasrat dan kebutuhan seksual. Atau dengan kata lain bahwa passion merupakan elemen fisiologis yang menyebabkan seseorang merasa ingin dekat secara fisik, menikmati atau merasakan sentuhan fisik, ataupun melakukan hubungan seksual dengan pasangan hidupnya. Komponen passion juga mengacu pada dorongan yang mengarah pada romance, ketertarikan fisik, konsumsi seksual dan perasaan suka dalam suatu hubungan percintaan. 3. Komponen Decision/Commitment Komponen keputusan atau komitmen dari cinta mengandung dua aspek, yang pertama adalah aspek jangka pendek dan yang kedua adalah aspek jangka panjang. Aspek jangka pendek adalah keputusan untuk mencintai seseorang. Sedangkan aspek jangka panjang adalah komitmen untuk menjaga cinta itu. Atau dengan kata lain bahwa komitmen adalah suatu ketetapan seseorang untuk bertahan bersama seseorang sampai akhir. Item-item dalam kuesioner terdiri atas pernyataan yang bersifat favorable dan unfavorable. Item disebut berarah favorable bila isinya mendukung, memihak atau menunjukkan ciri adanya atribut yang diukur. Sedangkan item yang isinya tidak mendukung atau tidak menggambarkan ciri atribut yang diukur disebut item unfavorable (Azwar, 2006). Item-item tersebut menggunakan kategori respon tingkat kesesuaian, yang mempunyai variasi jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Adapun penilaian skala yang

digunakan dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini: E. Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data Berhasil tidaknya skala sebagai alat pengumpul data yang akurat, haruslah memiliki dua syarat ilmiah yaitu validitas dan reliabilitas. 1. Uji Validitas Menurut Azwar (1996), alat ukur memiliki validitas yang tinggi apabila alat ukur tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberi hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukan pengukuran. Sedangkan menurut Anastasi dan Urbina (1997), validitas sebuah tes menyangkut apa yang diukur tes dan seberapa baik tes itu bisa mengukur. Validitas alat ukur merupakan indeks dari ketelitian, yaitu sejauhmana ketepatan dan kecermatan alat ukur mengungkap segala yang hendak diukur. Untuk menguji validitas alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, maka digunakan validitas isi (content validity), yaitu pengujian terhadap isi tes dengan analisa rasional atau melalui professional judgement untuk melihat sejauhmana item-item yang mewakili komponen-komponen dalam keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur (aspek relevansi) (Azwar, 2004). Validitas setiap item dilakukan dengan menghitung korelasi (r) skor setiap item dengan skor total jawaban. Jika korelasinya cukup tinggi, berarti item tersebut valid. Teknik korelasi yang digunakan adalah uji korelasi Pearson Product Moment dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 12. 2. Uji Reliabilitas Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauhmana suatu

alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Azwar, 1996). Hasil pengukuran memiliki reliabilitas yang tinggi apabila skor tampak tes itu berkorelasi tinggi dengan skor murninya. Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat apakah skala tersebut cukup konsisten dalam mengukur apa yang ingin diukur. Teknik uji reliabilitas yang akan digunakan adalah Alpha Cronbach pada program SPSS for Windows versi 12. F. Teknik Analisis Data Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan Independent Sample TTest (Uji-T), yaitu untuk menganalisa adanya perbedaan cinta (Y) sebagai variabel terikat dengan jenis kelamin (X) sebagai variabel bebas. Karena dalam penelitian ini peneliti ingin melihat perbedaan cinta secara keseluruhan dan perbedaan masingmasing komponen cinta antara wanita dengan pria, maka teknik analisis datanya dilakukan sebanyak empat kali, yaitu T-Test yang pertama dilakukan untuk melihat perbedaan cinta secara keseluruhan antara wanita dengan pria, T-test yang kedua untuk melihat intimacy antara wanita dengan pria, T-Test yang ketiga dilakukan untuk melihat perbedaan passion antara wanita dengan pria, sedangkan T-Test yang keempat dilakukan untuk melihat perbedaan commitment antara wanita dengan pria. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 12 .

BAB IV Hasil Penelitian 1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Segitiga Cinta a. Uji Validitas Menurut Azwar (2005), koefisien validitas dapat dianggap memuaskan apabila melebihi 0,30. Dari hasil uji coba pada Skala Segitiga Cinta diperoleh hasil bahwa dari 102 item yang diujicobakan terdapat 78 item yang dinyatakan valid dan 24 item yang dinyatakan gugur. Dari 78 item yang valid tersebut memiliki korelasi total item antara 0,306 sampai dengan 0,675. Pada tabel di bawah ini dapat dilihat perincian item yang gugur dan yang valid pada Skala Segitiga Cinta yang digunakan dalam penelitian ini. Uji Reliabilitas Untuk mengetahui konsistensi alat ukur, maka dilakukan uji reliabilitas. Teknik yang digunakan untuk mendapatkan nilai konsistensi dari alat ukur ini adalah dengan teknik Alpha Cronbach. Dari hasil uji reliabilitas alat ukur tersebut diperoleh nilai reliabilitas sebesar 0,944. Hal ini berarti alat ukur yang berupa Skala Segitiga Cinta, reliabel. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Skala Cinta (per Komponen) Dari hasil uji normalitas (per komponen) dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov, pada komponen intimacy diperoleh nilai signifikansi untuk wanita sebesar 0,082 (p>0,05), dan untuk pria sebesar 0,200 (p>0,05). Pada komponen passion diperoleh nilai signifikansi yang sama baik untuk wanita maupun pria yaitu sebesar 0,200 (p>0,05). Pada komponen yang terakhir, yaitu komponen commitment diperoleh nilai signifikansi untuk

wanita sebesar 0,100 (p>0,05), dan untuk pria sebesar 0,200 (p>0,05). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa distribusi skor skala cinta untuk masing-masing komponen pada sampel yang telah diambil adalah normal. Sedangkan untuk uji homogenitas (per komponen) diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,758 (p>0,05) untuk komponen intimacy; 0,231 (p>0,05) untuk komponen passion; dan 0,250 (p>0,05) untuk komponen commitment. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelompok yang diukur mempunyai varians yang sama (homogen). Hasil Uji Hipotesis Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat apakah ada perbedaan cinta antara wanita dengan pria disertai dengan perbedaan komponenkomponen cinta (intimacy, passion, commitment) antara wanita dengan pria, sehingga peneliti melakukan empat kali teknik analisis Independent T-Test. T-Test yang pertama untuk perbedaan cinta secara keseluruhan (ketiga komponen digabung), T-Test yang kedua untuk komponen intimacy, T-Test yang ketiga untuk komponen passion, dan T-Test yang keempat untuk komponen commitment. Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan dengan menggunakan teknik analisis Independent T-Test, untuk komponen cinta secara keseluruhan didapat nilai t = -1,439 dengan signifikansi sebesar 0,155 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis ada perbedaan cinta antara pria dengan wanita dalam penelitian ini ditolak yang berarti tidak ada perbedaan cinta secara keseluruhan antara pria dengan wanita. Hasil T-test yang diperoleh

untuk cinta secara keseluruhan menunjukkan bahwa pria memiliki mean yang lebih tinggi, yaitu 256,53 daripada wanita yaitu 247,83. Untuk komponen intimacy didapat nilai t = 0,077 dengan signifikansi sebesar 0,939 (p>0,05). Hal ini menunjukan bahwa hipotesis ada perbedaan intimacy antara pria dengan wanita dalam penelitian ini ditolak yang berarti tidak ada perbedaan intimacy yang signifikan antara pria dengan wanita. Hasil T-test yang diperoleh untuk komponen intimacy menunjukkan bahwa wanita memiliki mean yang lebih tinggi, yaitu 150,67 daripada pria yaitu 150,40. Untuk komponen passion didapat nilai t = -2,955 dengan signifikansi sebesar 0,005 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis ada perbedaan passion antara pria dengan wanita dalam penelitian ini diterima yang berarti ada perbedaan passion yang signifikan antara pria dengan wanita. Hasil T-test yang diperoleh untuk komponen passion menunjukkan bahwa pria memiliki mean yang lebih tinggi, yaitu 57,37 daripada wanita yaitu 52,33. Untuk komponen commitment didapat nilai t = -2.128 dengan signifikansi sebesar 0,038 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis ada perbedaan commitment antara pria dengan wanita dalam penelitian ini diterima yang berarti ada perbedaan commitment yang signifikan antara pria dengan wanita. Hasil T-test yang diperoleh untuk komponen commitment menunjukkan bahwa pria memiliki mean yang lebih tinggi, yaitu 48,77 daripada wanita yaitu 44,83.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Tidak ada perbedaan cinta (total) secara signifikan antara wanita dengan pria masa dewasa awal. 2. Tidak ada perbedaan intimacy secara signifikan antara wanita dengan pria masa dewasa awal. 3. Ada perbedaan passion secara signifikan antara wanita dengan pria masa dewasa awal. 4. Ada perbedaan commitment secara signifikan antara wanita dengan pria masa dewasa awal. Apabila dilihat dari mean empirik yang diperoleh dari penelitian ini baik untuk wanita maupun pria kesemuanya berada pada kategori atau interval yang sama-sama tinggi untuk cinta secara keseluruhan maupun untuk masing-masing komponen, yaitu intimacy, passion, dan commitment. Sehingga dapat dikatakan bahwa ratarata hubungan pacaran dalam penelitian ini tidak mengalami ketimpangan walaupun untuk komponen passion dan commitment terdapat perbedaan yang signifikan antara wanita dengan pria, yaitu pria memiliki mean empirik yang lebih tinggi dibandingkan wanita untuk kedua komponen yang terakhir ini. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Saran untuk Subjek Disarankan agar masing-masing subjek dapat mempertahankan cinta yang sudah ada karena dari hasil yang

diperoleh menunjukkan bahwa baik wanita maupun pria sama-sama mendapatkan skor yang berada pada level/interval yang tinggi baik untuk cinta secara keseluruhan maupun untuk masing-masing komponen cintanya. 2.Saran untuk Penelitian Selanjutnya Penulis menyarankan untuk peneliti selanjutnya agar dapat mencari atau menggunakan variabel lain yang berhubungan dengan cinta, seperti pacaran jarak jauh, Internet Romance (menjalin suatu hubungan interpersonal melalui media internet), sehingga dapat dilihat bagaimana ketiga komponen ini dapat tercipta dan terjalin melalui hubungan seperti itu. Peneliti juga menyarankan untuk melakukan penelitian pada subjek yang berbeda, seperti suami-istri. DAFTAR PUSTAKA Achmanto. (2005). Mengerti cinta (dari dasar hingga relung-relung). Yogyakarta: Pustaka Belajar Aidil, E. I. M. (2005). Diktat psikologi faal 2. Depok: Universitas Gunadarma. Anastasi, A., & Urbina,S. (2003). Tes psikologi. Alih Bahasa: Robertus H. Imam. Jakarta: PT. Indeks Gramedia Grup. Anindya, E. P. (2007). Dinamika segitiga cinta dalam hubungan pacaran dewasa muda (yang berakhir dan tidak berakhir dengan pernikahan). Skripsi (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Anonim, (2007). Menanti kepastian. Jakarta: Femina, No. 33/XXXV, hlmn: 123.

-----. (2007). Pria maju mundur saat akan menginjak pelaminan?. Jakarta: Femina, No. 23/XXXV, hlmn: 24. Azwar, S. (1996). Tes prestasi: fungsi dan pengembangan pengukuran prestasi belajar. Edisi kedua. Yogyakarta: Pustaka Belajar. -----. (2004). Sikap manusia (teori dan pengukurannya). Edisi ke 2. Yogyakarta: Pustaka Belajar. -----. (2005). Dasar-dasar psikometri. Yogyakarta: Pustaka Belajar. -----.

(2006). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Baron, R. A. & Byrne, D. (2000). Social psychology. Massachusetts: Allyn & Bacon. Basow, S. A. (1992). Gender stereotype and roles. California: Brooks/Cole Publ, Co. Calhoun, J. F. (1990). Psikologi tentang penyesuaian dan hubungan kemanusiaan. Edisi Ketiga. Alih Bahasa: M. Sutanto. Semarang: IKIP Press. Chaplin, J. P. (1995). Kamus lengkap psikologi. Alih Bahasa: Kartini Kartono. Jakarta: Rajawali Pers. Dagun, S. M. (1992). Maskulin dan feminim: perbedaan pria dan wanita dalam fisiologi, psikologi, seksual, karir dan masa depan Dariyo, A. (2003). Psikologi pengembangan dewasa muda.

Jakarta: PT. Grasindo Widia Sarana Indonesia (Grasindo).

Haven & London: Yale University Press.

Deaux, K., Dane, F. C. & Wrigthsman, L. S. (1993). Social psychology in the 90’s. Pacific Grove, California: Brooks/Cole Publishing Company.

Sternberg, R. J. (1986). A triangular theory of love. Psychological Review. Vol. 93, No. 2, 119-135.

Fromm, E. (2002). The art of love. Alih Bahasa: Syafi’ Alielha. Jakarta: Fresh Book. Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Edisi Kelima. Alih Bahasa: Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga. Koentjaraningrat. (1997). Metodemetode penelitian masyarakat. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Miller, P. H. (1983). Theories of developmental psychology. 3rd ed. New York: W. H. Freeman & Company. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human development. 9th ed. New York: McGraw-Hill. Schultz, D. (1991). Psikologi pertumbuhan: Metode-metode kepribadian sehat. Alih Bahasa: Yustinus. Yogyakarta: Kanisius. Sears, D. O., Freedman, J. L., & Peplau, L. A. (1992). Psikologi sosial jilid II. Edisi Kelima. Alih Bahasa: Michael Adryanto. Jakarta: Erlangga. Sternberg, R. J., & Barnes, M. L. (1988). The psychology of love. New

Sternberg, R., J. (1987). The triangle of love: intimacy, passion, commitment. New York: Basic Books, Inc. Suriawinata. (1997). Cinta pada pasangan suami-isteri berdasarkan usia perkawinan. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Surey Men’s Health Indonesia 2004. (2007). 49 % Pria Indonesia mengatakan bahwa seks di luar nikah bukanlah hal yang salah. Jakarta: Femina, No. 28/XXXV, hlmn: 20.