PERBEDAAN SOSIALISASI ANTARA SISWA KELAS

Download yakni tidak ada perbedaan sosialisasi antara siswa kelas akselerasi dan regular. (t = 0,594, ... Humanitas : Indonesian Psychological Journ...

0 downloads 533 Views 164KB Size
PERBEDAAN SOSIALISASI ANTARA SISWA KELAS AKSELERASI DAN KELAS REGULER DALAM LINGKUNGAN PERGAULAN DI SEKOLAH Diah Sekar Ayu Rena Putri, Asmadi Alsa, Herlina Siwi Widiana Fakultas Psikologi UAD, Fakultas Psikologi UGM, Fakultas Psikologi UAD Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sosialisasi antara siswa kelas akselerasi dan kelas regular. Subjek penelitian berjumlah 18 siswa dari kelas akselerasi dan 18 siswa dari kelas regular di Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah II Yogyakarta. Subjek dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental The Pretest-posttest Control Group Design, yaitu desain eksperimen yang dilakukan dengan jalan melakukan pengukuran atau observasi awal sebelum perlakuan diberikan (pretest) dan setelah perlakuan (posttest) pada kelompok eksperimen (siswa kelas akselerasi) dan kelompok kontrol (siswa kelas regular). Pada penelitian ini analisis data yang dilakukan berdasarkan gained score, hal tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa penelitian ini dilakukan pada dua kelompok yang memiliki kondisi awal yang berbeda. Hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan ditolak, yakni tidak ada perbedaan sosialisasi antara siswa kelas akselerasi dan regular. (t = 0,594, p >0,05) Kata kunci : sosialisasi, kelas akselerasi, kelas regular

Abstract The purpose of this research was to know the difference of socialization between student of acceleration program and regular program. Subject of research were 18 students of acceleration program and 18 students of regular program in Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah II (SMP Muhammadiyah II) Yogyakarta. Those subjects were divided into two groups : experiment group and control group. This research used the pretest-posttest control group design. Either experiment group (student of acceleration program) or control group (student of reguler program) were doing pretest and posttest. The data was based on gained score because this research was doing in two group that have difference in their early condition. The result of data analysis show that there were no difference of socialization between student of acceleration program and regular program (t = 0,594, p > 0,05). Key words : socialization. acceleration program, reguler program

\ 28[ [ Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1 Januari 2005 : 28 - 40

Pendahuluan Manusia dalam kehidupan tidak dapat lepas dari kehidupan manusia lain. Sebagai makhluk sosial, sejak lahir manusia sudah mempunyai hasrat atau keinginan pokok, yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain serta dengan suasana alam yang ada di sekelilingnya. Dalam kehidupan sehari-hari individu mengadakan interaksi dan sosialisasi dengan lingkungan di tempat individu tersebut berada. Tanpa interaksi sosial, maka perkembangan jiwa seseorang akan terganggu karena perkembangan jiwa manusia sangat ditentukan oleh hubungannya dengan manusia lain. Di dalam proses interaksi sosial terjadi proses sosialisasi. Sosialisasi tersebut merupakan suatu kegiatan yang bertujuan agar seseorang mematuhi kaidah-kaidah dan nilainilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat. Tujuan pokok sosialisasi adalah agar manusia bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku serta agar yang bersangkutan menghargainya (Soekanto, 1990). Perkembangan individu termasuk di dalamnya perkembangan sosial sangat dipengaruhi oleh lingkungan baik lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Menurut Samuel (dalam Purnamasari dkk, 2004) lingkungan sekolah memberi pengaruh yang tidak kecil dalam perkembangan sosial dan kepribadian anak karena anak mulai mengenal peraturan sekolah, otoritas guru, kedisiplinan, kebiasaan bergaul, cara belajar dan berbagai tuntutan sekolah yang akan memperkaya kepribadian anak dalam proses sosialisasi. Sistem pendidikan di sekolah merupakan institusi utama yang mempengaruhi perkembangan dan proses sosialisasi anak baik dengan guru maupun dengan teman. Gilin dan Gilin (dalam Ahmadi, 1991) menyatakan bahwa fungsi pendidikan sekolah adalah untuk penyesuaian diri anak dan stabilisasi masyarakat.

Selama ini pendidikan di Indonesia kurang memperhatikan pendidikan bagi anakanak atau siswa yang berbakat intelektual, sistem kelas klasikal yang selama ini berlaku mencampurkan siswa yang memiliki potensi yang berbeda-beda sehingga bagi siswa yang memiliki bakat intelektual menjadi tidak berkembang. Upaya awal pemerintah dalam memberikan pelayanan khusus bagi anak yang berbakat intelektual dan berprestasi adalah dengan pemberian beasiswa. Namun menurut Munandar (dalam Hawadi, 2002) pemberian beasiswa tersebut tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi siswa yang berbakat intelektual karena pemberian beasiswa hanya membantu kekurangan finansial untuk melanjutkan pendidikan tetapi tidak memberi mereka pendidikan yang sesuai dengan minat dan kemampuan anak berbakat intelektual. Pendidikan harus dapat mengoptimalkan kemampuan peserta didik, artinya bagi anak-anak yang punya bakat dan kemampuan yang luar biasa harus diberikan layanan yang berbeda dengan peserta didik yang memiliki kemampuan biasa atau normal. Di Indonesia kesadaran ini telah ada dengan ditetapkannya Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV pasal 5 ayat 4 yang menyatakan bahwa “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.” Dan pasal 12 ayat 1 yang menegaskan “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya; serta menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.” Untuk mengupayakan pelayanan yang optimal terhadap anak yang berbakat intelektual, saat ini pemerintah menyelenggarakan program pendidikan yang disebut akselerasi, yaitu suatu program pendidikan

[ Perbedaan Sosialisasi ........ (Diah Sekar Ayu, Asmadi Alsa, Herlina Siwi. W) \ 29[

dengan mempercepat masa studi dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan pendidikan lebih cepat dibandingkan dengan siswa di kelas reguler. Pada dasarnya program akselerasi tidak jauh berbeda dengan program reguler, perbedaannya terletak pada lamanya masa studi. Program akselerasi melaksanakan kegiatan belajar dengan pemadatan jam dan materi pelajaran agar siswa dapat menyelesaikan pendidikannya sesuai dengan waktu yang ditentukan. Pada tahun 1998 Munandar melakukan survei di beberapa propinsi tentang kebijakan pendidikan keterbakatan di Indonesia dengan responden para pakar, kepala sekolah, guru siswa berbakat, guru siswa biasa, orang tua siswa berbakat dan orang tua siswa biasa, ternyata seluruh responden menyetujui dilakukan akselerasi atau percepatan secara fleksibel dalam pendidikan keterbakatan (dalam Munandar, 1999). Sampai saat ini nampaknya program akselerasi masih dalam tahap uji coba dan belum semua sekolah dapat menyelenggarakan program akselerasi. Di Yogyakarta khususnya, sekolah yang telah menyelenggarakan program akselerasi ini salah satunya adalah SMP Muhammadiyah II. Program pendidikan akselerasi merupakan alternatif positif bagi siswa yang berbakat intelektual atau yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata agar mendapatkan pendidikan sesuai dengan kemampuannya sehingga potensi yang dimiliki dapat berkembang dengan optimal. Namun tidak berarti bahwa penyelenggaraan kelas akselerasi terhindar dari persoalan. Dari hasil wawancara dengan guru dan siswa SMP Muhammadiyah II diperoleh kesimpulan bahwa selama menjalani pergaulan di kelas dan di luar kelas beberapa siswa kelas akselerasi merasa dirinya lebih unggul dibandingkan dengan temanteman di kelas reguler. Penempatan kelas akselerasi dan reguler yang dibedakan menimbulkan rasa iri bagi siswa di kelas reguler

dan dapat menimbulkan eksklusifitas pada siswa akselerasi. Waktu belajar yang singkat mengharuskan siswa akselerasi menyelesaikan bahan ajarnya dengan cepat pula dan beberapa anak merasa minder jika harus memahami pelajaran dengan cepat. Tuntutan guru bahwa sebagai siswa akselerasi harus cepat mengerti dan menguasai bahan pelajaran kadang menyebabkan stres bagi siswa, siswa memiliki harapan bahwa guru yang mengajar di kelas akselerasi memiliki komitmen dan dedikasi ting gi, namun selama pelaksanaan yang dirasakan perilaku dan penampilan guru biasabiasa saja bahkan cenderung mengajar tanpa memperhatikan apakah siswa paham atau tidak yang penting dapat menyelesaikan semua bahan ajar sesuai waktu yang telah ditentukan. Dalam kegiatan sekolah siswa akselerasi juga merasa kurang aktif dibandingkan dengan siswa reguler, seperti tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dengan alasan capek, malas, dan lebih memilih tidur di rumah. Hal ini dapat menghambat proses sosialisasi siswa di sekolah terutama dengan teman sebayanya. Hasil diskusi mingguan yang dilaksanakan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada juga menunjukkan sejumlah siswa yang mengikuti kelas akselerasi mengalami tekanan psikologis yang cukup berat (Ngadirin, dalam Kedaulatan Rakyat, 2004). Wajar bila hal itu terjadi sebab siswa yang mengikuti kelas akselerasi merasa kurang memiliki waktu luang untuk kegiatan di luar jam sekolah dengan berbagai alasan, seperti capek, banyak tugas dan lain-lain karena mereka harus mengikuti jadwal dan materi pelajaran yang padat serta mengerjakan tugas dan pekerjaan rumah. Hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya interaksi sosial siswa baik di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal serta serta kurang memiliki waktu berkumpul dengan teman-teman sebaya. Hidayati (1998) lebih lanjut menjelaskan di dalam perkembangan sosial anak yang perlu diketahui yaitu jika perilaku sosial tidak

\ 30[ [ Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1 Januari 2005 : 28 - 40

memenuhi harapan sosial akan membahayakan penerimaan sosial oleh kelompok. Hal itu akan mengakibatkan hilangnya kesempatan anak untuk belajar sosial sehingga sosialisasi mereka jauh lebih rendah dibanding teman seusianya. Bahaya yang lain adalah adanya keterlantaran sosial, yaitu anak tidak mempunyai hubungan dengan orang lain atau kehilangan kesempatan untuk berhubungan dengan anak seusianya. Hal tersebut dapat dilihat pada anak yang dibebani dengan tugas sekolah maupun tugas rumah. Kurangnya kesempatan untuk berhubungan dengan orang lain dapat membahayakan bagi sosialisasi. Selain prestasi sekolah pencapaian kepribadian yang baik yang ditunjukkan dengan kemampuan sosialisasi dengan lingkungan juga merupakan indikator dalam keberhasilan pendidikan.

a

Penyesuaian sosial

b

Penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Menurut Hurlock (2000) penyesuaian sosial memiliki kriteria sebagai berikut : 1) perilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial; 2) penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok; 3) sikap sosial yang menyenangkan; dan 4) kepuasan terhadap kontak sosial dan peran sosial. Ketrampilan sosial

c

Untuk menjadi anggota kelompok sosial yang diterima oleh lingkungan, individu harus menjadi anggota yang kooperatif. Untuk mendapatkan penerimaan kelompok tersebut, diperlukan ketrampilan-ketrampilan sosial tertentu (Hurlock, 2000). Menurut Reisman (dalam Baron dan Byrne, 1991) individu yang memiliki ketrampilan sosial menunjukkan sikap ramah, berpikir positif tentang dirinya sendiri, tidak mudah terpancing amarah dan mampu berkomunikasi dengan orang lain, sedangkan individu yang kurang memiliki ketrampilan sosial nampak dari sikap yang tidak ramah, memiliki gambaran diri negatif, mudah kehilangan kendala dan menemukan kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Penerimaan sosial

Sosialisasi Hurlock (2000) berpendapat bahwa sosialisasi merupakan suatu kemampuan untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan kelompoknya. Menurut Hurlock (2000) sosialisasi meliputi belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial, memainkan peran sosial yang dapat diterima, perkembangan sikap sosial. Dalam kehidupan sosial di sekolah, siswa dituntut dapat menghormati dan menerima kekuasaan yang ada di sekolah, menaruh perhatian dan berpartisipasi terhadap kegiatan di sekolah, mempunyai hubungan yang sehat dan akrab dengan teman sekelas, guru dan pembimbing sekolah, bertanggung jawab dan mentaati peraturan yang ada di sekolah dan membantu mewujudkan tujuan sekolah. Apabila siswa dapat melakukan semua ini dengan baik, maka penyesuaian terhadap kehidupan di sekolah dapat terwujud (Schneiders dalam Asyanti dkk, 2002). Sosialisasi meliputi aspek-aspek sebagai berikut :

Penerimaan sosial menurut Hurlock (2000) berarti dipilih sebagai teman untuk suatu aktivitas dalam kelompok tempat seseorang menjadi anggota. Penerimaan sosial ini merupakan keberhasilan individu untuk berperan dalam kelompok sosialnya dan menunjukkan rasa suka anggota kelompok yang lain untuk bekerja sama dan bermain dengannya. Menurut Poerwanti dan Widodo (2002) seseorang yang berhasil dalam proses sosialisasi

[ Perbedaan Sosialisasi ........ (Diah Sekar Ayu, Asmadi Alsa, Herlina Siwi. W) \ 31[

nampak pada kesediaan seseorang untuk mengikuti kelompok masyarakat tertentu sedangkan kegagalan dalam proses sosialisasi akan menyebabkan seseorang menjadi pemalu, kurang percaya diri, menyendiri, keras kepala dan sering salah tingkah bila berada dalam situasi sosial. Menurut Vembriarto (1990) ada dua dasar proses sosialisasi, yaitu sifat tergantung manusia pada manusia lain dan sifat adaptabilitas. Proses sosialisasi merupakan proses yang berlangsung sepanjang hidup, dalam proses sosialisasi individu mendapatkan pengawasan dan hambatan dari individu lain atau masyarakat tetapi individu juga mendapatkan bimbingan, dorongan, stimulasi dan motivasi dari individu lain atau masyarakat. Vembriarto (1990) juga mengungkapkan beberapa metode yang dapat dipergunakan oleh orang tua atau masyarakat dalam proses sosialisasi anak, yaitu: a. Metode ganjaran dan hukuman Tingkah laku anak yang salah, tidak baik atau tidak diterima oleh masyarakat mendapatkan hukuman sedangkan tingkah laku yang baik mendapatkan ganjaran atau hadiah. Hukuman dapat berupa hukuman badan (pukulan) dan hukuman sosial, seperti diasingkan, dikucilkan dan sebagainya. Ganjaran dapat bersifat material, misalnya uang, mainan, makanan dan lain-lain dan dapat bersifat immaterial, seperti pujian, ciuman dan sebagainya. Hukuman dapat membuat anak menjadi sadar bahwa tingkah lakunya salah, tidak baik dan ditolak oleh masyarakat, sebaliknya ganjaran dapat membuat anak menjadi sadar bahwa tingkah lakunya baik dan diterima oleh orang lain. Melalui proses ganjaran dan hukuman secara perlahan-lahan dalam diri anak akan berkembang kesadaran akan norma-norma sosial.

b. Metode didactic teaching Melalui metode ini anak diajarkan berbagai macam pengetahuan dan ketrampilan melalui pemberian informasi dan penjelasan. Metode didactic teaching ini serupa dengan metode instruksi langsung yang diungkapkan oleh Kail dan Nelson (Mudjiah, 2000) dijelaskan bahwa metode ini menggunakan prinsip penguasaan bahasa dan konsep yang akan disampaikan pada anak sehingga instruksi dapat diingat, dipahami dan kemudian diyakini oleh anak. Orang tua melakukan instruksi langsung dengan cara mengatakan hal-hal yang harus dilakukan, mengapa hal itu dilakukan dan harapan supaya anak bersedia melakukannya. c. Metode pemberian contoh Dalam metode ini terjadi proses imitasi tingkah laku dan sifat-sifat orang dewasa oleh anak-anak. Proses imitasi berhubungan dengan proses identifikasi, dengan identifikasi anak berusaha menjadi seperti orang lain. Keberhasilan proses ini tergantung interpretasi dan pemahaman anak tentang apa yang diamati dari seorang model. Vembriarto (1990) juga mengkategorikan beberapa kelompok sosial yang sangat berpengaruh terhadap sosialisasi antara lain lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan teman sebaya. Program Akselerasi Akselerasi dari asal kata bahasa Inggris acceleration yang berarti percepatan. Dalam program percepatan belajar SD, SMP, SMU yang dicanangkan oleh Pemerintah tahun 2000, akselerasi didefinisikan sebagai salah satu bentuk pelayanan pendidikan yang diberikan bagi siswa yang memiliki kecerdasan dan kemampuan luar biasa untuk dapat menyelesaikan pendidikan lebih awal dari

\ 32[ [Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1 Januari 2005 : 28 - 40

waktu yang ditentukan (Departemen Pendidikan Nasional, dalam Hawadi, 2004). Program percepatan belajar atau yang lebih dikenal dengan akselerasi yang diadakan di Indonesia saat ini masih terbatas pada tipe telescoping curriculum, yaitu siswa menggunakan waktu yang kurang dari biasanya untuk menyelesaikan studi. Menurut Widyastono (2004) sistem percepatan kelas (akselerasi) merupakan strategi alternatif yang relevan bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata-rata, disamping untuk memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan potensi siswa juga mengimbangi kekurangan yang terdapat pada strategi klasikan-massal. Dalam kelas akselerasi ini siswa diberi peluang untuk dapat menyelesaikan studi lebih cepat, misal di SD enam tahun menjadi lima tahun dan sekolah lanjutan tiga tahun menjadi dua tahun tanpa meloncat kelas. Secara umum penyelenggaraan program akselerasi ini memiliki beberapa tujuan, antara lain memberikan pelayanan terhadap peserta didik yang memiliki karakteristik khusus dari aspek kognitif dan afektif, memenuhi hak asasi peserta didik sesuai dengan kebutuhan pendidikan dirinya, memenuhi minat intelektual dan perspektif masa depan peserta didik serta menyiapkan peserta didik menjadi pemimpin masa depan (Hawadi, 2004). Menurut Munandar (dalam Hawadi, 2002) jika pelayanan khusus bagi anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata atau berbakat intelektual tidak diadakan, maka potensi yang tidak disadari itu akan lenyap. Pendidikan yang kurang memadai dengan potensi intelektual yang dimiliki dapat menyebabkan anak menjadi underachiever (Hawadi, 2002). Pengadaan kelas akselerasi merupakan jawaban bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata-rata karena mereka mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan potensi dan kemampuan

sehingga mereka tidak menjadi underachiever dan dapat menyelesaikan masa studinya lebih awal. Pengertian Program Reguler d a l a m kamus Bahasa Indonesia adalah teratur, tetap atau biasa (Daryanto, 1997). Berdasarkan pengertian tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kelas reguler adalah kelas yang secara umum diselenggarakan oleh sekolah-sekolah dengan sistem tetap atau biasa yang memberikan kepada siswa suatu metode pangajaran yang biasa dilaksanakan selama ini yang membutuhkan waktu tempuh pendidikan selama enam tahun di SD dan tiga tahun di SMP/SMU. Menurut Widyastono (2004) kelas reguler diselenggarakan berdasarkan kurikulum nasional yang berlaku. Di dalam kelas reguler semua peserta didik atau siswa diberikan perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan kemampuan mereka. Jika dibandingkan dengan program akselerasi, ada beberapa perbedaan komponen dalam program reguler, antara lain : a) Masukan (input) Jika siswa yang mengikuti program akselerasi harus memenuhi beberapa kualifikasi tertentu dan melalui beberapa tahapan seperti prestasi belajar, yaitu nilai raport dan nilai ujian akhir nasional (UAN); skor psikotes, meliputi IQ minimal 125, kreativitas, tanggung jawab tugas dan emotional quotient; kesehatan jasmani dan persetujuan orang tua, maka siswa program reguler ini tidak terlalu direpotkan dengan seleksi dan tahapan seperti pada kelas akselerasi. Jika ujian akhir nasional (UAN) siswa dari sekolah asal sudah memenuhi standar nilai di sekolah tertentu, maka siswa tersebut dapat mengikuti program reguler. b) Kurikulum Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan

[ Perbedaan Sosialisasi ........ (Diah Sekar Ayu, Asmadi Alsa, Herlina Siwi. W) \ 33[

bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan belajar mengajar (Undang-undang no 20 tahun 1989, dalam Hamali, 2001). Kurikulum program yang dipakai program pembelajaran akselerasi dan program pembelajaran reguler di Indonesia tidak berbeda. Kedua program menggunakan kurikulum nasional yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional ditambah kurikulum lokal yang ditetapkan oleh masing-masing sekolah (Alsa, 2004). Jika kurikulum umum bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan anak pada umumnya, maka untuk melayani kebutuhan pendidikan bagi anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, menurut Ward (dalam Munandar, 1999) perlu diusahakan pendidikan yang berdiferensiasi. Pendidikan berdiferensiasi yaitu pemberian pengalaman pendidikan yang disesuaikan dengan minat dan kemampuan intelektual siswa dengan menggunakan kurikulum yang berdiversifikasi, yaitu kurikulum standar yang diimprovisasi lamanya waktu belajar sesuai dengan kecepatan belajar dan motivasi belajar siswa. Pelayanan pendidikan berdiferensiasi dengan menggunakan kurikulum yang berdiversifikasi dapat diimplementasikan

melalui penyeleng garaan sistem percepatan belajar atau yang sering disebut dengan akselerasi (Widyastono, 2004). Jumlah jam tiap mata pelajaran sama dengan kelas reguler, perbedaannya terletak pada waktu penyelesaian kurikulum tersebut dipercepat daripada kelas reguler. Percepatan tersebut didasarkan pada kemampuan, kecepatan belajar serta motivasi belajar yang tinggi yang dimiliki oleh siswa dan mengefektifkan sistem pembelajaran dengan mengurangi pembahasan materimateri yang tidak esensial. Program akselerasi ini menjadikan kurikulum standar yang biasanya ditempuh siswa SMP/SMU dalam waktu tiga tahun menjadi dua tahun. Jika dalam kelas reguler materi setiap semester ditempuh selama enam bulan, maka dalam kelas akselerasi hanya diselesaikan dalam waktu sekitar empat bulan. Pada tahun pertama siswa kelas akselerasi akan mempelajari materi kelas satu ditambah setengah materi kelas dua dan di tahun kedua siswa akan mempelajari materi kelas dua yang tersisa ditambah dengan seluruh materi kelas tiga. Gambar di bawah ini memberikan gambaran yang lebih jelas tentang perbedaan pelaksanaan program reguler dan program akselerasi.

Gambar 1. Perbedaan pelaksanaan program reguler dan program akselerasi Tahun ke

Program Reguler

Tahun ke

Program Akselerasi Semester 2

I

Semester 1

Semester 2

I

Semester 1

II

Semester 3

Semester 4

II

Semester 4

III

Semester 5

Semester 6

Semester 3 Semester 5 Semester 6

\ 34[ [ Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1 Januari 2005 : 28 - 40

c) Tenaga Kependidikan (guru) Guru yang unggul tidak hanya dibutuhkan oleh siswa akselerasi saja tetapi siswa reguler juga berhak dididik oleh guru yang ung gul juga agar memperoleh pelayanan yang optimal karena guru merupakan salah satu faktor dalam keberhasilan pendidikan. Lubis (dalam Hawadi, 2004) berpendapat bahwa guru yang mengajar program akselerasi adalah guru-guru biasa yang juga mengajar program reguler, hanya saja sebelumnya guru-guru tersebut telah dipersiapkan dalam suatu lokakarya dan workshop sehingga memiliki pemahaman dan ketrampilan untuk memberikan pengajaran bagi siswa akselerasi. Retnowati (2004) juga menjelaskan bahwa guru dalam program akselerasi ini selain harus unggul dalam penguasaan materi dan mengajar serta memiliki komitmen dalam tugas tetapi juga harus mampu mendidik jadi tidak hanya transfer of knowledge tetapi juga character building. Perbedaan antara program akselerasi dan program regular tampak pada tabel berikut :

Input Kurikulum Guru Berdasarkan NEM Kurikulum nasional yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional ditambah kurikulum lokal yang ditetapkan oleh masing-masing sekolah Ung gul dalam penguasaan materi, transfer of knowledge dan character building NEM, skor psikotes (IQ min 125, tang gung jawab terhadap tugas, kreativitas) kesehatan jasmani, persetujuan orang tua.Diversifikasi, yaitu kurikulum standar yang diimprovisasi lamanya waktu belajar sesuai dengan kecepatan belajar dan motivasi siswa sama dengan guru kelas reguler hanya saja sebelumnya gur u-gur u telah dipersiapkan dalam suatu lokakarya dan workshop. Proses belajar mengajar di sekolah bukan hanya untuk mencapai ilmu pengetahuan dan menambah ketajaman intelektual, melainkan juga pembentukan sikap hidup, watak dan kepribadian. Oleh sebab itu dalam proses pendidikan di sekolah dibutuhkan keberlangsungan interaksi sosial sebagai faktor utama dalam kehidupan sosial di sekolah. Di dalam interaksi yang berlangsung di sekolah, akan terjadi hubungan saling

Tabel 1. Perbedan komponen program reguler dan program akselerasi Program Pendidikan Komponen

Reguler

Akselerasi

Input

Berdasarkan NEM

NEM, skor psikotes (IQ min 125, tanggung jawab terhadap tugas, kreativitas) kesehatan jasmani, persetujuan orang tua.

Kurikulum

Kurikulum nasional yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional ditambah kurikulum lokal yang ditetapkan oleh masing-masing sekolah

Diversifikasi, yaitu kurikulum standar yang diimprovisasi lamanya waktu belajar sesuai dengan kecepatan belajar dan motivasi siswa

Guru

Unggul dalam penguasaan materi, transfer of knowledge dan character building

Sama dengan guru kelas reguler hanya saja sebelumnya guru-guru telah dipersiapkan dalam suatu lokakarya dan workshop

[ Perbedaan Sosialisasi ........ (Diah Sekar Ayu, Asmadi Alsa, Herlina Siwi. W) \ 35[

mempengaruhi antara peserta didik, peserta didik dengan pendidik dan dengan lingkungannya. Bila interaksi sosial dinamis, maka kehidupan sosial peserta didik akan terbentuk karena dalam proses sosialisasi tersebut akan terjadi reaksi pembentukan pola sikap dan pola tingkah laku tertentu terhadap berbagai obyek psikologis. Bagi kelas reguler proses sosialisasi akan terlihat lebih luas karena di dalam kelas reguler siswa tidak hanya berkumpul dengan anak-anak yang memiliki kemampuan yang relatif sama sehingga dapat saling mengisi kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, misal bagi siswa yang lebih pandai di dalam kelas dapat membantu teman-temannya yang kurang pandai. Namun tidak selamanya hubungan sosial di dalam kelas reguler dapat berjalan dengan lancar, bila di dalam kelas tersebut anak yang pandai dianggap atau merasa mempunyai kedudukan yang lebih tinggi sehingga anak yang merasa kurang pandai menjadi tidak percaya diri dengan kemampuannya, maka hubungan sosial mereka dapat terganggu dan dapat menghambat proses sosialisasinya. Lain halnya dengan kelas akselerasi, siswa yang dikelompokkan ke dalam kelas akselerasi termasuk siswa yang berbakat akademik. Dalam kelas akselerasi siswa berkumpul dengan siswa lain yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata-rata yang relatif sama sehingga proses sosialisasinya terutama di dalam kelas tidak seluas di kelas reguler. Pada dasarnya kelas akselerasi tidak jauh berbeda dengan kelas reguler, hanya saja pada kelas akselerasi kegiatan belajar dilaksanakan dengan pemadatan materi dan jadwal agar siswa dapat menyelesaikan semua materi pelajaran lebih cepat sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Keadaan tersebut dapat menyebabkan siswa mengalami tekanan karena harus mengikuti jadwal dan materi pelajaran yang padat dan melelahkan sehingga waktu luang untuk melakukan kegiatan lain

berkurang, hal ini dapat menyebabkan proses interaksi sosial khususnya di sekolah menjadi longgar dan timbul kesulitan dalam penyesuaian diri sehingga proses sosialisasi dengan teman sebaya menjadi terhambat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Gunarsa (dalam Munandar, 1999) bahwa sebenarnya terdapat keuntungan dalam pelaksanaan program akselerasi tersebut yaitu mudah dalam mengatur pelaksanannya dan para siswa sendiri merasa ada persaingan dengan temanteman yang seimbang kemampuannya serta kecepatan dalam menyelesaikan mata pelajaran bisa disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan anak. Namun ker ugian yang menyolok ialah terpisahnya dari kelompok anak-anak normal yang sebaya sehingga proses sosialisasi di sekolah menjadi berkurang. Menurut Hadis (dalam Hawadi, 2004) anak-anak berbakat lebih rentan terhadap faktor-faktor sosial dan emosional. Anak berbakat seringkali berupaya untuk menyembunyikan kemampuan mereka dengan harapan agar disukai oleh teman sebayanya. Masalah yang kompleks adalah pengetahuan di atas teman sebaya, isolasi sosial, dan kebosanan. Hal ini dapat menyebabkan anak mengalami ketidakseimbangan. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Koentjoro (dalam www. google .com, 2004) menurutnya siswa yang terpilih pada program tersebut akan berbeda dengan siswa dalam kelas reguler. Waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk belajar dan sangat sedikit waktu bagi mereka untuk bersosialisasi. Akibatnya banyak siswa akselerasi yang kesulitan membagi waktu antara belajar, bergaul, dan bermain. Keberhasilan seorang siswa yang lolos seleksi masuk program akselerasi dapat menimbulkan perasaan sebagai siswa yang unggul dan memiliki kemampuan. Kesan unggul siswa kelas akselerasi yang ditunjukkan oleh guru dan teman, perlakuan istimewa oleh pihak sekolah dan guru serta penguatan kesan sebagai siswa unggul yang sering diterima

\ 36[ [ Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1 Januari 2005 : 28 - 40

dalam bentuk pujian maupun perbandingan dengan siswa reguler dapat mengarahkan individu pada perasaan harga diri yang berlebihan dan dapat menimbulkan rasa iri bagi siswa di kelas reguler, hal ini dapat menyebabkan hubungan sosial mereka kurang baik dan mudah timbul konflik. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan sosialisasi siswa kelas akselerasi dan kelas reguler dalam lingkungan pergaulan di sekolah. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan sosialisasi antara siswa kelas akselerasi dan kelas reguler dalam lingkungan pergaulan di sekolah. Siswa kelas reguler memiliki sosialisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kelas akselerasi. Metode Penelitian Subjek penelitian adalah siswa SMP Muhammadiyah II Yog yakarta, kelas akselerasi dan reguler. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sosialisasi yang disusun berdasarkan teori Hurlock (2000). Rancangan penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental The Pretest-posttest Control Group Design, yaitu desain eksperimen yang dilakukan dengan jalan melakukan pengukuran atau observasi awal sebelum perlakuan diberikan dan setelah perlakuan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (Latipun, 2002). Rancangan penelitian ini terdiri dari satu kelompok eksperimen (KE) dan satu kelompok kontrol (KK) yang masingmasing beranggotakan 18 orang siswa. Masingmasing kelompok diberikan skala sosialisasi untuk menentukan kondisi dasar. Pada kelompok eksperimen dalam hal ini adalah siswa kelas akselerasi diberikan perlakuan oleh sekolah berupa kurikulum akselerasi sesuai dengan ketentuan sekolah tempat penelitian, sedangkan kelompok kontrol yaitu kelas reguler tidak mendapatkan perlakuan.

Setelah subjek kelompok eksperimen mendapatkan perlakuan kemudian dilakukan pengamatan ulang yaitu dengan memberikan kembali skala sosialisasi pada masing-masing kelompok. Analisis terhadap data hasil penelitian menggunakan Uji-t, skor yang digunakan dalam uji-t adalah gained score, yaitu skor yang diperoleh dari pengurangan skor posttest dan skor pretest untuk kedua kelompok. Hasi Penelitian dan Pembahasan Peneliti menguji perbedaan skor pretest, posttest, dan gained score yang diperoleh kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Berdasarkan hasil analisis data untuk pretest diperoleh t sebesar 1,897 dan p sebesar 0,033 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa ada perbedaan sosialisasi antara siswa kelas akselerasi dan reguler. Hasil analisis data untuk posttest diperoleh t sebesar 2,422 dan p sebesar 0,0105 (p<0,05) hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan sosialisasi antara siswa kelas akselerasi dan reguler. Sedangkan hasil analisis data gained score diperoleh t sebesar 0,594 dan p sebesar 0,278 (p>0,5) hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan sosialisasi antara siswa kelas akselerasi dan regular. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kelompok eksperimen memiliki rerata yang lebih ting gi dibandingkan dengan kelompok kontrol, yaitu untuk pretest kelompok eksperimen memiliki mean sebesar 157,968 sedangkan mean kelompok kontrol sebesar 142,033. Untuk posttest kelompok eksperimen memiliki mean sebesar 159,323 sedangkan kelompok kontrol memiliki mean sebesar 140,677. Dilihat dari hasil analisis pretest tersebut dapat diketahui bahwa sosialisasi awal antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sudah terdapat perbedaan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi awal sosialisasi antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sudah berbeda. Perbedaan hasil pretest

[ Perbedaan Sosialisasi ........ (Diah Sekar Ayu, Asmadi Alsa, Herlina Siwi. W) \ 37[

ini berpengaruh terhadap hasil posttest, hal ini ditunjukkan oleh hasil analisis posttest bahwa rerata kelompok eksperimen mengalami peningkatan dibandingkan dengan rerata pretest. Hal tersebut menunjukkan bahwa antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki kemampuan sosialisasi yang berbeda. Rerata sosialisasi siswa akselerasi yang lebih tinggi daripada siswa reguler tersebut dipengaruhi oleh kemampuan intelektual yang dimiliki oleh siswa akselerasi atau dengan kata lain kemampuan kognitif yang dimilikinya sebagai siswa berbakat memberi kontribusi terhadap kemampuan sosialisasinya. Hal tersebut didukung oleh pendapat Munandar, dkk (2001) yang mengungkapkan bahwa anakanak berbakat mengalami perkembangan fisik, mental dan sosial yang lebih cepat dibandingkan dengan anak normal. Penelitian ini membandingkan antara dua kelompok yang berbeda. Pengelompokan ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berdasarkan kelompok yang memiliki kondisi awal yang berbeda. Kelompok eksperimen yang dimaksud adalah siswa kelas akselerasi, yang mana siswa yang masuk ke dalam kelas akselerasi dan sekaligus sebagai subjek di kelompok eksperimen adalah orangorang pilihan, sebab untuk masuk ke dalam program akselerasi tersebut, siswa harus melalui beberapa tahapan seleksi yang berbeda dari kelas reguler. Berdasarkan asumsi tersebut serta didukung oleh hasil analisis pretest yang menunjukkan bahwa rerata sosialisasi kelompok eksperimen lebih tinggi daripada kelompok kontrol, maka pada penelitian ini pengujian hipotesis tidak berdasarkan hasil analisis data posttest melainkan berdasarkan hasil analisis data gained score. Berdasarkan hasil analisis data gained score diperoleh t sebesar 0,594 dan p sebesar 0,278 (p>0,05) hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan sosialisasi antara siswa kelas akselerasi dan siswa kelas reguler. Secara

teoritis, anak-anak berbakat lebih rentan mengalami masalah-masalah sosial dan emosional dibandingkan dengan anak yang memiliki kemampuan sedang-sedang saja. Anak berbakat seringkali berupaya untuk menyembunyikan kemampuan mereka dengan harapan agar diterima dan disukai oleh teman sebayanya (Hadis, dalam Hawadi, 2004). Koentjoro menambahkan bahwa siswa yang terpilih dalam program akselerasi akan berbeda dengan siswa kelas reguler. Waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk belajar dan sangat sedikit waktu mereka untuk bersosialisasi, akibatnya banyak siswa akselerasi yang kesulitan membagi waktu antara belajar, bergaul dan bermain (dalam www.google.com). Berdasarkan pendapat tersebut, maka peneliti membuat hipotesis bahwa siswa akselerasi memiliki sosialisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa kelas reguler. Namun setelah dilakukan penelitian dan analisis terhadap data gained score diperoleh t sebesar 0,594 dan p sebesar 0,278 (p>0,05) hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan sosialisasi antara siswa kelas akselerasi dan siswa kelas reguler, sehingga hipotesis tersebut ditolak. Sesuai dengan pengamatan peneliti, hal tersebut terjadi karena dalam pelaksanaan program akselerasi di SMP Muhammadiyah II Yogyakarta, pihak sekolah berupaya seoptimal mungkin untuk memberikan perlakuan yang sama antara siswa kelas akselerasi dan reguler. Alokasi jam belajar akselerasi serta jadwal kegiatan ekstrakurikuler di sekolah diatur sesuai dengan alokasi jam belajar reguler, sehingga jam istirahat siswa akselerasi tetap dapat bergabung dengan teman kelas reguler. Hal ini dimaksudkan agar tidak mengarah kepada eksklusifisme dan elitisme serta menjaga agar hubungan sosial yang terjalin antara siswa dengan siswa maupun dengan guru di sekolah dapat berjalan dengan baik.

\ 38[ [Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1 Januari 2005 : 28 - 40

Secara umum penerimaan siswa reguler terhadap siswa akselerasi tampak cukup baik dan tidak membeda-bedakan. Peran serta guru dan pihak sekolah juga memiliki pengaruh yang tidak sedikit dalam membaurkan siswa serta tindakan yang tidak membeda-bedakan sehingga tidak menampakkan perbedaan antara siswa akselerasi dan reguler. Hal ini menyebabkan siswa dapat bergaul dengan wajar dan sosialisasi dapat berkembang dengan baik serta tercapai sosialisasi yang tinggi. Selain faktor di atas, kemampuan kognitif yang dimiliki oleh siswa akselerasi juga berpengar uh serta mendukung dalam sosialisasinya. Hal ini terbukti dari hasil analisis pretest atau kondisi awal yang sudah menunjukkan perbedaan sosialisasi dengan siswa reguler serta rerata sosialisasi yang diperoleh siswa akselerasi lebih tinggi daripada siswa reguler. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data diperoleh nilai t sebesar 0,594 dengan p sebesar 0,278 (p>0,05) sehingga hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan sosialisasi antara siswa kelas akselerasi dan kelas reguler dalam lingkungan pergaulan di sekolah. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan hipotesis tersebut ditolak, antara lain : 1. Kemampuan kognitif yang dimiliki siswa akselerasi sebagai siswa yang memiliki kemampuan diatas rata-rata memberikan pengar uh atau kontribusi terhadap kemampuan sosialisasinya. Hal ini dibuktikan dengan rata-rata skor sosialisasi yang diperoleh siswa akselerasi lebih tinggi dibandingkan siswa regular. 2. Pelaksanaan program akselerasi yang diselenggarakan di SMP Muhammadiyah II Yogyakarta dengan tanpa membedakan kedudukan siswa, sehingga siswa reguler merasa memiliki kedudukan yang sama

serta mencegah eksklusifisme serta perasaan unggul pada siswa akselerasi. 3. Kurang diungkapnya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian, seperti bagaimana latar belakang keluarga subjek, kegiatan subjek sehari-hari dan hubungan antara subjek dengan subjek yang lain. 4. Selang waktu pengambilan data posttest yang terlalu singkat dari waktu pengambilan data pretest, sehing ga kemungkinan pelaksanaan program akselerasi belum berpengaruh besar tehadap subjek. Daftar Pustaka Ahmadi, A. 1991. Psikologi Sosial. Jakarta : Rineka Cipta. Alsa, A. 2004. Program Pendidikan Akselerasi. Makalah dalam Seminar Pro Kontra Program Akselerasi, dapatkah Pendampingan Psikososial Menjembataninya?. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Anonim, 2003. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 (UU RI No 20 Tahun 2003). Jakarta : PT. Sinar Grafika. ________, 2004. Kelas Akselerasi Bisa Perkosa Perkembangan Anak Didik. Internet. Available at http ://www. google.com. 10 Maret 2004. Asyanti, S; Sofiati, M dan Sudjarjo. 2002. Penyesuaian Sosial di Sekolah pada Siswa-siswi SLTP Penderita Asma. Indigenous Jurnal Psikologi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Baron, R.A dan Byrne, D. 1991. Social Psychology Understanding Human Interaction. Sixth Edition. Boston : Allyn dan Bacon. Daryanto, S.S. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya : Apollo. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

[ Perbedaan Sosialisasi ........ (Diah Sekar Ayu, Asmadi Alsa, Herlina Siwi. W) \ 39[

(Utami Munandar). 1999. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta : Rineka Cipta.

Ngadirin. 2004. Menyoal Kelas Akselerasi. Dalam Kedaulatan Rakyat. 12 Maret 2004. Yogyakarta.

Hamali, O. 2001. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara.

Poerwanti, E dan Widodo, N. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Universitas Muhammadiyah Malang.

Hawadi, R.A; Wihardjo, R.S.D; Wiyono, M. 2002. Keberbakatan Intelektual. Jakarta : PT. Grafindo. Hawadi, R.A. 2002. Identifikasi Intelektual Melalui Metode Non Tes dengan Pendekatan Konsep Keterbakatan Renzulli. Jakarta : PT. Grasindo. ___________. 2004. Akselerasi, A – Z Informasi Program Percepatan Belajar dan Anak berbakat Intelektual. Jakarta : PT Grasindo. Hidayati, A. 1998. Televisi dan Perkembangan Sosial Anak. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hurlock, E.B. 2000. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga. Latipun. 2002. Psikologi Eksperimen. Universitas Muhammadiyah Malang. Makmun, A.S. 2003. Psikologi Kependidikan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Mudjiah, A. 2000. Peningkatan Sosialisasi Anak Melalui Pelatihan Permainan Tradisional. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Purnamasari, A; Ekowarni, E; Fadhila, A. 2004. Perbedaan Intensi Prososial Siswa SMUN dan MAN di Yogyakarta. Humanitas Indonesian Psychological Journal. Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Retnowati, S. 2004. Problematika Program Akselerasi. Makalah dalam Seminar Pro Kontra Program Akselerasi, dapatkah Pendampingan Psikososial Menjembataninya?. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Keempat. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Vembriarto, ST. 1990. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta : Andi Offset. Widyastono, H. 2004. Sistem Percepatan Kelas (Akselerasi) Bagi Siswa yang Memiliki Kemampuan dan kecerdasan Luar Biasa. Available at http ://www. d e p d i k n a s. g o. i d / j u r n a l / 2 6 / sistem_percepatan_herry.htm. 18 Maret 2004.

Munandar, U. 1999. Kreativitas dan Keterbakatan, Stategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

\ 40[ [Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1 Januari 2005 : 28 - 40