Perekonomian dan Perbankan Agustus 2017 Equity Tower Lt 20, 21 & 39 Sudirman Central Business District (SCBD) Jl. Jend Sudirman Kav 52-53 1 Jakarta 12190
Ringkasan Laporan
The Fed diperkirakan masih akan menunda kenaikan policy rate. Berdasarkan pergerakan futures terkini, Fed rate akan bergerak naik paling cepat pada Maret 2018. Kebijakan moneter AS yang kembali melunak disebabkan oleh rendahnya capaian inflasi yang diperkirakan dapat bertahan hingga beberapa waktu ke depan. Ekonomi Indonesia tumbuh 5,01% y/y pada kuartal II 2017, tidak berubah dibandingkan dengan pertumbuhan di kuartal sebelumnya. Neraca pembayaran mengalami surplus sebesar US$ 739 juta pada kuartal II 2017. Defisit neraca berjalan mencapai US$ 4,96 miliar atau 1,96% PDB. Bank Indonesia menurunkan BI 7-day reverse repo rate sebesar 25 bps menjadi 4,5% Di tengah prospek pengetatan moneter oleh sejumlah bank sentral, pasar keuangan global masih dibayangi ketidakpastian di bulan Agustus 2017. Penurunan bunga acuan Bank Indonesia diperkirakan akan memberikan sentimen positif pada pasar keuangan Indonesia. Kinerja sektor perbankan masih belum memperlihatkan perbaikan yang solid. Kredit perbankan tercatat sebesar Rp4.491 triliun di Juni 2017 pertumbuhannya menurun 97 bps dibanding pertumbuhan tahunan bulan sebelumnya menjadi 7,75% year on year. Rasio kredit bermasalah (NPL ratio) periode Juni 2017 sebesar 2,96% turun 11 bps dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara pertumbuhan nominal NPL di Juni 2017 sebesar 19,93% (yoy) dalam tren pertumbuhan yang relatif menurun selama satu tahun terakhir. Secara umum harga CPO sepanjang 2H-17 masih akan dibayangi risiko kelebihan pasokan (oversupply) akibat perbaikan produksi dan gejolak permintaan yang disebabkan kebijakan proteksi terhadap CPO di beberapa negara Efek kenaikan bea masuk yang diberlakukan India terhadap produk CPO diperkirakan hanya akan berdampak jangka pendek mengingat India hanya dapat memenuhi kebutuhan CPO melalui impor. Risiko industri perbankan Indonesia masih berada dalam kondisi normal. Berdasarkan update data perbankan bulan Juni 2017 dan data pasar bulan Juli 2017, angka BSI pada bulan Juli 2017 mengalami sedikit peningkatan sebesar 3 bps bila dibandingkan dengan angka BSI pada bulan Juni 2017, yaitu dari 99,55 menjadi 99,58
1
Ekonomi Makro
Inflasi dan Prospek Suku Bunga AS Seto Wardono Menurut pelaku pasar, the Fed diperkirakan masih akan menunda kenaikan policy rate. Berdasarkan pergerakan futures terkini, Fed rate akan dinaikkan paling cepat pada Maret 2018. Kebijakan moneter AS yang kembali melunak disebabkan oleh rendahnya capaian inflasi yang diperkirakan dapat bertahan hingga beberapa saat ke depan. Pelaku pasar keuangan melihat kemungkinan akan terus tertundanya kenaikan Fed funds target rate (Fed rate) dari posisi saat ini di kisaran 1%–1,25%. Berdasarkan Fed funds futures per 25 Agustus 2017, Federal Reserve (the Fed) baru akan menaikkan suku bunga lagi paling cepat pada Maret 2018. Pada saat itu, probabilita Fed rate berada di level yang lebih tinggi dari 1%–1,25% mencapai 52,5%. Jika mengacu pada futures di pertengahan Juli 2017, pelaku pasar melihat kenaikan Fed rate di bulan Januari 2018. Sebelumnya, futures per akhir Juni menunjukkan kenaikan Fed rate pada Desember 2017. Ekspektasi terkini pelaku pasar itu jelas berbeda dengan perkiraan para pembuat kebijakan moneter yang menjadi anggota Federal Open Market Committee (FOMC). Pada Juni lalu, anggota FOMC memprediksi bahwa Fed rate akan dinaikkan pada Desember mendatang. Sep-17
88,0%
12,0%
82,5%
Dec-17
57,9%
Jan-18
42,0%
47,5%
May-18
52,5%
46,5%
Jun-18
53,6%
38,2%
Aug-18
61,8%
38,2%
61,8%
Sep-18
31,3%
68,7%
Nov-18
30,5%
69,6%
Dec-18
24,0% 0%
30-Nov-16
42,0%
57,9%
Mar-18
76,0% 20%
40% 60% Probabilita Fed Rate*
1%–1,25%
Probabilita Fed Rate pada Desember 2017
17,4%
Periode Fed Funds Futures
Jadwal Pertemuan FOMC
Nov-17
80% > 1,25%
100%
30-Dec-16 31-Jan-17 28-Feb-17 31-Mar-17 28-Apr-17
31-May-17 30-Jun-17 31-Jul-17 25-Aug-17
39,4%
45,1%
29,2%
13,7%
46,4%
29,6%
20,7%
44,6%
20,1%
21,4%
43,8%
29,8%
43,3%
50,1%
30,3%
61,1%
48,4% 41,4%
37,2% 44,4%
53,3% 57,9%
0% 20% 0,5%–0,75% 0,75%–1%
40% 1%–1,25%
14,2%
39,7% 36,3%
60% 80% 1,25%–1,5%
100% > 1,5%
Sumber : Bloomberg Gambar 1. Probabilita Fed Rate (Berdasarkan Fed Funds futures per 25 Agustus 2017) Persepsi pelaku pasar mengenai prospek suku bunga Amerika Serikat (AS) yang kini menjadi lebih dovish terutama didasari oleh pergerakan inflasi yang masih belum favorable dan menjauh dari targetnya. Inflasi inti PCE (inflasi indeks harga belanja konsumsi personal di luar pangan dan energi, yakni indikator inflasi AS yang paling diperhatikan the Fed dalam menentukan kebijakan moneternya) terus bergerak turun sejak awal tahun 2017 dan pada bulan Juni lalu mencapai 1,5% y/y. Hal serupa terjadi pada inflasi headline PCE yang mencapai 1,4% y/y pada bulan Juni. Pada bulan Juli pun, inflasi indeks harga konsumen (IHK) inti (di luar pangan dan energi) bergerak turun dan mencapai 1,7% y/y, yang terendah sejak Februari 2015, sedangkan inflasi IHK headline juga dibukukan di level 1,7%. Pelemahan tekanan inflasi AS tersebut terutama didorong oleh penurunan harga barang tahan lama (durable goods) serta penurunan tarif komunikasi.
3
Inflasi IHK dan PCE AS 6 % y/y
Inflasi IHK Headline Inflasi PCE Headline
5
Inflasi IHK AS 12 % y/y
Inflasi IHK Inti Inflasi PCE Inti
Barang Tahan Lama Barang Tidak Tahan Lama
9
Jasa-Jasa
4
6
3
3
2 0
1
Jul-17
Jul-16
Jul-15
Jul-14
Jul-13
Jul-12
Jul-11
Jul-10
Jul-09
Jul-08
Jul-17
Jul-16
Jul-15
Jul-14
Jul-13
Jul-12
Jul-11
Jul-10
-9
Jul-09
-2
Jul-08
-6
Jul-07
-1
Jul-07
-3
0
Sumber: CEIC, LPS Gambar 2. Inflasi AS Uniknya, pelemahan inflasi di AS terjadi ketika aktivitas ekonomi dan pasar tenaga kerja di negara itu menguat. Ekonomi AS tumbuh 2,1% y/y pada kuartal II 2017, yang tertinggi selama tujuh kuartal. Tingkat pengangguran mencapai 4,3% pada Juli 2017, yang terendah sejak Maret 2001. Upah pekerja juga naik dalam tingkatan yang relatif besar. Rata-rata upah per minggu pekerja di sektor swasta naik 2,8% pada Juni 2017, yang tertinggi selama hampir enam tahun. Respons inflasi AS yang lambat di tengah penguatan aktivitas ekonomi dan pasar tenaga kerja menjadi perhatian para pembuat kebijakan di the Fed. Risalah rapat FOMC pada 25–26 Juli 2017 menunjukkan perdebatan di antara para pembuat kebijakan mengenai penyebab melemahnya inflasi AS belakangan ini. Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab melemahnya inflasi tersebut antara lain melemahnya respons tingkat harga terhadap pemanfaatan sumber daya, penurunan tingkat pengangguran alami (natural rate of unemployment), adanya selang waktu antara pengetatan pasar tenaga kerja dengan pertumbuhan upah nominal dan inflasi, serta tekanan terhadap pricing power yang berasal dari perkembangan pasar global dan inovasi pada model bisnis akibat kemajuan teknologi. Risalah rapat tersebut juga mengungkapkan pandangan banyak anggota FOMC bahwa inflasi AS masih akan tertekan di semester II 2017. Meski demikian, inflasi diyakini akan meningkat dalam beberapa tahun ke depan dan stabil di sekitar 2% dalam jangka menengah. Di sisi lain, beberapa partisipan rapat itu melihat kemungkinan bahwa inflasi dapat berada di bawah 2% dalam jangka waktu yang lebih lama dari perkiraan sebelumnya. Beberapa partisipan juga mengindikasikan bahwa risiko inflasi AS dapat mengarah ke bawah.
4
Perkembangan PDB, Neraca Pembayaran, dan Kebijakan Moneter Seto Wardono Ekonomi Indonesia tumbuh 5,01% y/y pada kuartal II 2017, tidak berubah dibandingkan dengan pertumbuhan di kuartal sebelumnya. Neraca pembayaran mengalami surplus sebesar US$ 739 juta pada kuartal II 2017. Defisit neraca berjalan mencapai US$ 4,96 miliar atau 1,96% PDB. Bank Indonesia menurunkan BI 7-day reverse repo rate sebesar 25 bps menjadi 4,5%. Perbaikan konsumsi swasta dan investasi yang terjadi di tengah pelemahan ekspor membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berubah pada kuartal II 2017 dari posisi di kuartal sebelumnya. Produk domestik bruto (PDB) tumbuh 5,01% y/y (+4% q/q) pada kuartal II, sama dengan pertumbuhan di kuartal I (-0,34% q/q). Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I 2017 juga mencapai 5,01% y/y, lebih tinggi dari pertumbuhan pada semester II 2016 sebesar 4,98%. PDB Menurut Jenis Pengeluaran
PDB Indonesia 7,0
%
q/q (Kanan)
%
y/y
5
2Q17
1Q17
4Q16
-3
3Q16
3,0
2Q16
-2
1Q16
3,5
4Q15
-1
3Q15
4,0
2Q15
0
1Q15
4,5
4Q14
1
3Q14
5,0
2Q14
2
1Q14
5,5
4Q13
3
3Q13
4
6,0
2Q13
6,5
9
% y/y
6 3 0 -3
4Q16
1Q17
2Q17
-6 Konsumsi Konsumsi Swasta* Pemerintah
PMTB
Ekspor
Impor
PDB
Sumber: CEIC, LPS Gambar 3. Pertumbuhan PDB dan Komponen Pengeluaran (Mencakup konsumsi rumah tangga dan lembaga non-profit rumah tangga) Pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan pada kuartal II 2017 terutama akibat pemulihan konsumsi swasta dan investasi. Konsumsi swasta (mencakup konsumsi rumah tangga dan konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga) tumbuh 5,02% y/y pada kuartal II lalu, naik dari 5% pada kuartal sebelumnya. Perbaikan konsumsi ini terjadi di segmen produk makanan dan minuman non-restoran, sandang, serta hotel dan restoran. Sementara, pertumbuhan investasi pada aset tetap (pembentukan modal tetap bruto atau PMTB) meningkat dari 4,78% pada kuartal I menjadi 5,35% y/y pada kuartal II, yang tertinggi selama enam kuartal terakhir. Perbaikan investasi ini terutama didukung oleh menguatnya kegiatan konstruksi. Berbeda dengan konsumsi swasta dan investasi yang mengalami percepatan pertumbuhan, konsumsi pemerintah malah menyusut pada kuartal II 2017 dari posisi tahun sebelumnya. Konsumsi pemerintah terkoreksi -1,93% y/y pada kuartal itu setelah mengalami pertumbuhan sebesar 2,68% di kuartal I. Koreksi pada konsumsi pemerintah ini merupakan cerminan dari penurunan belanja
5
pegawai dan belanja barang pemerintah pusat. Belanja pegawai tercatat turun 0,6% y/y, sedangkan belanja barang terpangkas 6,57%. Ekspor barang dan jasa mengalami perlambatan pertumbuhan pada kuartal II 2017 dan menjadi salah satu kendala bagi perekonomian Indonesia untuk tumbuh lebih tinggi. Ekspor tumbuh 3,36% y/y pada kuartal lalu, melambat dari 8,21% pada kuartal I. Pada periode yang sama, pertumbuhan impor juga melambat dari 5,12% menjadi 0,55%. Akibatnya, kontribusi ekspor neto terhadap pertumbuhan y/y PDB mengalami penurunan dari 0,75 poin persentase (ppts) menjadi 0,6 ppts. Pelemahan ekspor dan impor pada kuartal II 2017 terjadi akibat penurunan harga komoditas serta waktu yang lebih sedikit untuk melakukan aktivitas bongkar-muat barang. Data Dana Moneter Internasional (IMF) mengungkapkan penurunan rata-rata indeks harga komoditas sebesar 5,55% pada kuartal II 2017 dari posisi kuartal sebelumnya. Penurunan harga terjadi pada berbagai komoditas ekspor utama Indonesia, seperti minyak mentah, batu bara, kakao, kopi, gas alam, nikel, minyak sawit, dan karet. Sementara, adanya libur panjang Idul Fitri memangkas jumlah hari kerja pada kuartal II lalu menjadi 52 hari, lebih sedikit dari 62 hari pada kuartal I 2017 dan 63 hari pada kuartal II 2016. Selain itu, juga terdapat larangan melintas bagi angkutan barang atau truk pada periode tujuh hari sebelum hingga tujuh hari sesudah Idul Fitri yang ikut membatasi kegiatan ekspor dan impor barang. Andil Jenis Pengeluaran terhadap Pertumbuhan y/y PDB 8 ppts
PDB Menurut Lapangan Usaha Pertanian
4
4Q16
Pertambangan
1Q17
Manufaktur
2Q17
Konstruksi Perdagangan
0
Transportasi
Informasi
2Q17
1Q17
4Q16
3Q16
2Q16
Konsumsi Pemerintah Perubahan Inventori Diskrepansi Statistik
4Q15
3Q15
2Q15
1Q15
4Q14
2Q14
1Q14
4Q13
3Q13
2Q13
-8
3Q14
Konsumsi Swasta* PMTB Ekspor Neto
1Q16
-4
Jasa Keuangan Sektor Lainnya PDB
% y/y -2
0
2
4
6
8
10
Sumber: BPS, CEIC, LPS Gambar 4. Andil Jenis Pengeluaran terhadap Pertumbuhan PDB dan PDB Menurut Lapangan Usaha Di sisi produksi, sembilan dari 17 sektor ekonomi mengalami perlambatan pertumbuhan pada kuartal II 2017. Termasuk ke dalam sembilan sektor ini adalah sektor-sektor kunci seperti pertanian, manufaktur, dan perdagangan. Di sektor pertanian, pelemahan aktivitas sub sektor di luar hortikultura dan peternakan menyebabkan pertumbuhan nilai tambah di sektor ini turun dari 7,12% y/y pada kuartal I ke 3,33% pada kuartal II. Di saat yang sama, pertumbuhan nilai tambah sektor manufaktur melambat dari 4,24% menjadi 3,54%. Dua sub sektor dengan porsi output terbesar di sektor ini, yaitu sub sektor batu bara dan penyulingan minyak serta sub sektor makanan dan minuman, mengalami pelemahan pada kuartal II lalu. Sementara, pertumbuhan sektor perdagangan melambat dari 4,96% pada kuartal I menjadi 3,78% y/y pada kuartal II. Di sisi lain, beberapa sektor masih dapat mengalami perbaikan kinerja. Pertumbuhan y/y nilai tambah di sektor pertambangan,
6
konstruksi, transportasi, dan informasi, misalnya, mengalami peningkatan pada kuartal II sehingga dapat menghindarkan PDB dari perlambatan. Data hingga Juli 2017 mengindikasikan pemulihan permintaan domestik pada kuartal III. Setelah anjlok 26,87% dan 27,45% y/y di bulan Juni, penjualan sepeda motor dan mobil melonjak sebesar 76,36% dan 37,18% di bulan Juli lalu. Pada periode yang sama, indeks keyakinan konsumen juga naik dari 122,4 menjadi 123,4 yang terutama didukung oleh perbaikan persepsi konsumen mengenai kondisi perekonomian pada enam bulan yang akan datang. Sementara, peningkatan penjualan semen dan impor barang modal mengindikasikan pemulihan investasi. Pada Juli lalu, penjualan semen dan impor barang modal masing-masing tumbuh 56% dan 61,46% y/y, dibandingkan kontraksi sebesar 27,04% dan 27,24% di bulan sebelumnya. Permintaan domestik pada kuartal III dan kuartal IV 2017 juga akan didukung oleh pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia (BI). Sementara perkembangan di sisi eksternal hingga Juli 2017 mengindikasikan adanya tekanan bagi aktivitas ekonomi di kuartal III. Pada Juli lalu, terjadi defisit neraca perdagangan sebesar US$ 271,2 juta. Ini adalah defisit bulanan pertama sejak awal 2016. Nilai ekspor tumbuh 41,12% y/y, lebih rendah dari pertumbuhan impor yang sebesar 54,02%. Pada bulan Juni, ekspor dan impor turun masing-masing sebesar 11,74% dan 17,39%. 3M Sum, % y/y
60
75
3M Sum, % y/y
Milliar US$
Penjualan Sepeda Motor
0,0
-50
-3,0
Jul-17
-1,5
Jan-17
-25
Jul-16
Jul-17
Jul-16
Jan-17
Jul-15
Jan-16
Jul-14
Jan-15
Jul-13
Jan-14
Jul-12
Jan-13
Jul-11
-30
Jan-12
-60
Jul-10
-15
Jan-11
-30
0
Jan-16
0
1,5
Jul-15
0
25
Jul-14
15
Jan-14
30
Jul-13
30
3,0
Impor
Jan-13
Impor Barang Modal (Kanan)
60
Ekspor
50
Jul-12
45
Konsumsi Semen (Kanan)
Jan-12
Penjualan Mobil
90
4,5
Neraca Perdagangan - Kanan
Jan-15
120
Sumber: CEIC, LPS Gambar 5. Indikator Bulanan Konsumsi dan Investasi serta Perkembangan Ekspor-Impor
Neraca pembayaran Indonesia mengalami surplus sebanyak US$ 739 juta pada kuartal II 2017, jauh di bawah surplus kuartal sebelumnya yang sebesar US$ 4,51 miliar. Penurunan surplus ini terjadi seiring dengan melonjaknya defisit di neraca berjalan dan turunnya surplus di neraca finansial. Defisit neraca berjalan membengkak dari US$ 2,36 miliar (0,98% PDB) pada kuartal I menjadi US$ 4,96 miliar (1,96% PDB) pada kuartal II. Pada saat yang sama, surplus neraca finansial turun dari US$ 7,97 miliar menjadi US$ 5,86 miliar. Sejalan dengan turunnya surplus neraca pembayaran, basic balance (neraca berjalan dan investasi langsung) juga berubah dari surplus US$ 392 juta menjadi defisit US$ 388 juta. Kenaikan defisit di neraca jasa dan penurunan surplus di neraca perdagangan barang menjadi faktor utama yang menyebabkan defisit neraca berjalan melebar pada kuartal II lalu. Sejalan dengan
7
melemahnya ekspor dan impor, surplus di neraca perdagangan barang menurun dari US$ 5,65 miliar pada kuartal I menjadi US$ 4,79 miliar pada kuartal II. Sementara, defisit di neraca jasa membesar dari US$ 1,26 miliar menjadi US$ 2,31 miliar. Menurut Bank Indonesia (BI), pelebaran defisit ini terutama disebabkan oleh turunnya surplus di neraca jasa perjalanan yang mengikuti pola musimannya. Neraca Pembayaran 16
Dekomposisi Neraca Berjalan
Miliar US$
12
Barang Pendapatan Primer Neraca Berjalan
Miliar US$
12 8
Jasa Pendapatan Sekunder
6
4
0
0
-4 -8
2Q17
4Q16
2Q16
4Q15
2Q15
4Q14
2Q14
4Q13
2Q13
4Q12
-12
2Q17
4Q16
2Q16
4Q15
Neraca Finansial
2Q15
Neraca Berjalan
4Q14
Neraca Pembayaran
2Q14
4Q13
2Q13
4Q12
2Q12
-16
Basic Balance
2Q12
-6
-12
Sumber: BI, CEIC Gambar 6. Neraca Pembayaran dan Dekomposisi Neraca Berjalan
Di neraca finansial, surplus menurun akibat penempatan simpanan warga Indonesia dari dalam ke luar negeri, pemberian utang ke entitas luar negeri, serta pembayaran utang luar negeri (ULN) pemerintah. Data BI menunjukkan aliran keluar dana simpanan milik residen ke luar negeri sebanyak US$ 2,81 miliar pada kuartal II 2017, dibandingkan outflow senilai US$ 393 juta di kuartal sebelumnya. Sementara, pemberian pinjaman dari kreditor dalam negeri ke debitor luar negeri mencapai US$ 1,24 miliar pada kuartal II lalu. Di kuartal yang sama, pemerintah melakukan pelunasan ULN sebanyak US$ 1,72 miliar, lebih besar dari pembayaran ULN di kuartal sebelumnya yang mencapai US$ 706 juta. Dengan perkembangan ini, saldo di neraca investasi lainnya mengalami defisit sebesar US$ 6,16 miliar, jauh di atas defisit US$ 1,29 miliar pada kuartal I 2017. Di sisi lain, investasi langsung dan investasi portofolio masih membukukan kinerja yang positif. Saldo investasi langsung meningkat dari US$ 2,76 miliar pada kuartal I menjadi US$ 4,58 miliar pada kuartal II. Perbaikan kinerja investasi langsung ini didukung oleh naiknya penanaman modal asing (PMA) dari US$ 3,03 miliar menjadi US$ 5,79 miliar. Menurut BI, perbaikan investasi langsung ini didukung oleh beberapa transaksi akuisisi perusahaan domestik oleh investor asing dan penerbitan obligasi global oleh beberapa perusahaan melalui special purpose vehicle (SPV) di luar negeri. Sementara, saldo investasi portofolio juga meningkat, yaitu dari US$ 6,57 miliar pada kuartal I menjadi US$ 7,42 miliar pada kuartal II. Kondisi ini didukung oleh maraknya pembelian surat utang korporasi oleh investor asing. Defisit neraca berjalan diperkirakan masih akan mengikuti pola musimannya pada kuartal III 2017 dengan mengalami sedikit penurunan. Akan tetapi, munculnya defisit perdagangan sebesar US$ 271,2 juta pada bulan Juli (defisit bulanan yang pertama sejak awal 2016) mengindikasikan bahwa kinerja neraca barang pada kuartal III mungkin tidak akan sebaik pada
8
kuartal-kuartal sebelumnya. Di sisi lain, data hingga 24 Agustus 2017 mengkonfirmasi derasnya arus masuk dana asing ke pasar surat berharga negara (SBN). Kepemilikan asing atas SBN rupiah yang tidak dapat diperdagangkan meningkat Rp 12,73 triliun pada periode 3 Juli–24 Agustus 2017. Pada bulan Juli, pemerintah juga menerbitkan obligasi global senilai US$ 2 miliar dan € 1 miliar. Pada penerbitan kali ini, investor asing membeli sekitar 86% dari obligasi berdenominasi dolar dan 90% dari obligasi berdenominasi euro. Perkembangan sebaliknya justru terjadi di pasar saham, di mana pemodal asing membukukan penjualan bersih (net sell) sebanyak Rp 15,13 triliun selama 3 Juli–24 Agustus. Sementara, data cadangan devisa terkini mengindikasikan adanya surplus neraca pembayaran yang cukup besar pada bulan Juli lalu. Cadangan devisa pada akhir Juli mencapai US$ 127,76 miliar atau naik US$ 4,66 miliar dari posisi akhir Juni. Bank Indonesia pada Rapat Dewan Gubernur tanggal 21–22 Agustus 2017 memutuskan untuk memangkas BI 7-day reverse repo rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 7,5%. Pada saat yang sama, bunga deposit facility dan bunga lending facility juga diturunkan sebesar 25 bps menjadi 3,75% dan 5,25%. Menurut BI, kebijakan ini konsisten dengan adanya ruang pelonggaran kebijakan moneter di tengah realisasi dan perkiraan inflasi tahun 2017 dan 2018 yang rendah di dalam kisaran targetnya serta defisit neraca berjalan yang terkendali dalam batas yang aman. Penurunan suku bunga ini ditujukan untuk memperkuat intermediasi perbankan dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. 15
%
Inflasi Indeks Harga Konsumen
Bunga Deposit Facility
10
Bunga Lending Facility 12
% y/y
% y/y
20 16
BI Rate
8
BI 7-Day Reverse Repo Rate
12
9
6
8 4
6
4 0
3
Aug-17
Aug-16
Aug-15
Aug-14
Aug-13
Aug-12
Aug-11
Aug-10
Aug-09
Aug-08
Aug-07
Jul-17
Jul-16
Jan-17
Jul-15
Jan-16
Jul-14
Jan-15
Jul-13
Jan-14
Jul-12
Jan-13
Jan-12
0
Jul-11
Jul-10
-4
Jan-11
2
Inflasi Inti
Inflasi Headline
Inflasi Volatile Food (Kanan)
Inflasi Administered Price (Kanan)
Sumber: BI, BPS Gambar 7. Perkembangan Suku Bunga Kebijakan dan Inflasi
BI menyoroti penurunan risiko eksternal terkait dengan rencana kenaikan suku bunga AS dan normalisasi neraca the Fed. Selain itu, BI juga melihat perbaikan prospek perekonomian China dan Eropa. Dari dalam negeri, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2017 tercatat lebih rendah dari perkiraan semula. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan membaik ke depan, ditopang oleh peningkatan investasi dan konsumsi seiring dengan belanja pemerintah yang lebih ekspansif dan kebijakan moneter yang lebih longgar. Dengan demikian, ekonomi diprediksi akan tumbuh dalam kisaran 5%–5,4% pada tahun 2017 dan 5,1%–5,5% pada tahun 2018.
9
BI melihat tekanan inflasi yang terkendali dan lebih rendah dari perkiraan semula, sehingga mendukung pencapaian target inflasi sebesar 4%±1% pada tahun 2017 dan 3,5%±1% pada tahun 2018. Menurut BI, prospek inflasi yang rendah itu didukung oleh sisi penawaran yang masih cukup dibandingkan dengan sisi permintaan, nilai tukar rupiah yang stabil, tren penurunan inflasi global, serta rendahnya risiko kenaikan administered price. Terkait perbankan, BI masih mempertahankan proyeksi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) tahun ini di posisi 9%–11%. Akan tetapi, proyeksi pertumbuhan kredit diturunkan dari 10%–12% menjadi 8%–10%. Pada tahun 2018, DPK dan kredit diproyeksikan tumbuh 9%–11% dan 10%–12%. Inflasi inti yang rendah (3,05% y/y pada Juli 2017, yang terendah sejak indikator ini muncul pada Januari 2003) menjelaskan minimnya tekanan inflasi yang bersifat fundamental. Selain itu, inflasi volatile food yang terbilang sangat rendah (1,13% y/y, yang terendah selama hampir tiga tahun) juga memberi ruang untuk pelonggaran kebijakan moneter. Sementara, kebutuhan untuk menstimulasi pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi juga menjustifikasi langkah BI untuk menurunkan suku bunga. Ke depan, suku bunga masih dapat diturunkan lagi jika laju kredit dan pertumbuhan ekonomi tidak bergerak sesuai dengan yang diharapkan otoritas. Walau demikian, ruang untuk menurunkan suku bunga dibatasi oleh target inflasi yang lebih rendah pada tahun 2018 serta potensi tekanan inflasi pada tahun depan yang sebenarnya tidak kecil. Pemerintah pada tahun depan akan menerapkan kebijakan subsidi tertutup untuk Elpiji tabung 3 kg. Kebijakan ini akan memaksa masyarakat mampu untuk membayar harga yang lebih tinggi untuk mendapatkan produk tersebut.
10
Pasar Keuangan
Pasar Keuangan Indonesia: Bayang-Bayang Ketidakpastian Dienda Siti Rufaedah Di tengah prospek pengetatan moneter oleh sejumlah bank sentral, pasar keuangan global masih dibayangi ketidakpastian di bulan Agustus 2017. Penurunan bunga acuan Bank Indonesia diperkirakan akan memberikan sentimen positif pada pasar keuangan Indonesia. Pasca prospek pengetatan moneter yang disebut akan dilakukan sejumlah bank sentral, pasar keuangan global masih dibayangi ketidakpastian di bulan Agustus 2017. Berbagai pernyataan kontroversial Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, turut meningkatkan ketidakpastian global. Baru-baru ini, Trump menyatakan akan memulai membangun tembok di perbatasan AS dan Meksiko. Trump juga mengatakan akan menghentikan NAFTA, kesepakatan perdagangan bebas dengan Meksiko dan Kanada. Ketegangan geopolitik di Semenanjung Korea yang melibatkan AS dan Korea Utara yang belum terlihat mereda diperkirakan masih akan menjadi faktor risiko di pasar keuangan global. Selain itu, rencana Trump yang akan memberlakukan bea impor dan melakukan pembatasan perdagangan terhadap barang dari China turut menambah ketegangan perdagangan antara AS dan China. Disahkannya legislasi pengetatan sanksi terhadap Rusia juga dinilai akan meningkatkan gejolak politik antara AS dan Rusia. Jika kita lihat indikator sentimen pasar keuangan global, indeks VIX dan EMBI secara serentak menunjukkan peningkatan. Peningkatan kedua indeks ini mengindikasikan adanya pemburukan persepsi risiko berinvestasi di pasar keuangan global. Pada tanggal 18 Agustus 2017, indeks VIX dan EMBI terpantau meningkat masing-masing sebesar 4 poin mtd dan 2,95 mtd poin ke level 14,26 dan 327,19, pasca penurunan yang terjadi selama bulan Juli 2017 masing-masing sebesar 0,92 poin m/m dan 4 poin m/m ke level 10,26 dan 324,24. Namun demikian, tekanan kembali mereda menyusul keputusan The Fed yang sesuai ekspektasi mempertahankan bunga acuan (Fed rate) di level 1%-1,25% pada rapat FOMC tanggal 2526 Juli 2017. Menurut notulensi rapat, pasar tenaga kerja AS terus menunjukkan perbaikan di tengah penurunan angka inflasi di bawah target bank sentral. Tingkat pengangguran AS pada bulan Juli 2017 mencatatkan rekor terendah sejak bulan Mei 2001 ke level 4,3%. Angka ini juga menurun dibandingkan tingkat pengangguran bulan Juni 2017 yang sebesar 4,4%. Data positif di pasar tenaga kerja AS juga ditunjukkan oleh angka Non Farm Payroll (NFP) yang meskipun mengalami penurunan dalam 1 (satu) bulan terakhir namun terpantau naik signifikan dibandingkan akhir tahun 2016, yakni dari 155 ribu (Desember 2016) menjadi 209 ribu (Juli 2017). Sementara itu, indeks harga konsumen AS pada bulan Juli 2017 meningkat sebesar 1,7% y/y, lebih rendah dibandingkan bulan Desember 2016 yang mencapai 2,1% y/y. Angka ini juga lebih rendah dari ekspektasi yang sebesar 1,8%. Indeks Dolar AS terpantau sedikit menguat terhadap sejumlah mata uang utama. Per tanggal 18 Agustus 2017, indeks Dolar AS terapresiasi sebesar 0,62% mtd ke level 93,43. Jika kita lihat, pergerakan mata uang sejumlah negara maju dan negara berkembang bergerak mixed terhadap Dolar AS. Nilai tukar Yen, Rubel, dan Yuan masing-masing menguat sebesar 0,98%, 1,29%, dan
12
0,84%. Sementara itu, nilai tukar Sterling, Euro, dan Peso masing-masing melemah sebesar 2,61%, 0,68%, dan 2,09%. 600
12
35
540
10
28
480
21
420
14
360
7
300 VIX (L)
EMBI (R)
Jun-17
Aug-17
Feb-17 Apr-17
Oct-16
Dec-16
Jun-16
Aug-16
Feb-16 Apr-16
Oct-15
Dec-15
Jun-15
Aug-15
Feb-15 Apr-15
Oct-14
Dec-14
240
Aug-14
0
Perkembangan Kinerja Sektor Tenaga Kerja Amerika Serikat
400 200
0
8
-200
6 -400
4
-600
2
-800
0
-1,000 Jun-02 Dec-02 Jun-03 Dec-03 Jun-04 Dec-04 Jun-05 Dec-05 Jun-06 Dec-06 Jun-07 Dec-07 Jun-08 Dec-08 Jun-09 Dec-09 Jun-10 Dec-10 Jun-11 Dec-11 Jun-12 Dec-12 Jun-13 Dec-13 Jun-14 Dec-14 Jun-15 Dec-15 Jun-16 Dec-16 Jun-17
Perkembangan Indeks VIX dan EMBI
42
Tingkat Pengangguran (RHS)
Non Farm Payroll (LHS)
Sumber: Bloomberg Gambar 8. Perkembangan Indikator Sentimen Pasar Global dan Kinerja Sektor Tenaga Kerja Amerika Serikat (AS) Berbagai sentimen negatif yang terjadi di AS mendorong penguatan Yen sebagai salah satu aset safe haven. Yen menguat sebesar 0,98% ke level 109,18 per Dolar AS pada perdagangan tanggal 18 Agustus 2017. Dari dalam negeri, membaiknya data perdagangan Jepang turut mendukung penguatan Yen. Pada bulan Juli 2017, neraca perdagangan Jepang mencatatkan surplus sebesar 0,42 triliun Yen, relatif lebih baik dibandingkan awal tahun 2017 yang mencatatkan defisit mencapai 1,09 triliun Yen. Surplus neraca perdagangan Jepang ini juga berada di atas konsensus yang mencapai 0,39 triliun Yen. Mata uang Rubel menguat sebesar 1,29% mtd ke level 59 per Dolar AS, terangkat oleh kenaikan harga minyak dunia. Harga minyak Brent dan WTI naik masing-masing ke level USD51,78 dan USD47,52 per barel. Naiknya harga minyak mentah ini didorong oleh penurunan pasokan minyak secara bertahap, terutama di AS. Persediaan minyak mentah AS turun hampir 13% ke level 466,5 juta barel. Di sisi lain, OPEC dan negara-negara lain di luar OPEC termasuk Rusia akan menahan sekitar 1,8 juta bpd produksi antara Januari 2017 dan Maret 2018 guna menurunkan pasokan sehingga diharapkan harga minyak pun akan naik. Sentimen mengenai proses negosiasi Brexit yang telah memakan waktu 2 (dua) tahun masih membebani kinerja Sterling. Pada tanggal 18 Agustus 2017, Sterling ditutup melemah mencapai 2,61% ke level 1,29 per Dolar AS. Sentimen Brexit menambah ketidakpastian terhadap prospek ekonomi Inggris. Dalam laporan bulan Juli 2017, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Inggris menyusul penurunan kinerja ekonomi Inggris pasca Brexit. Ekonomi Inggris diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 1,7% di tahun 2017, lebih rendah dibandingkan proyeksi bulan April 2017 yang mencapai 2%. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Inggris diproyeksikan tidak mengalami perubahan di level 1,5% di tahun 2018. Mata uang Euro mengalami penurunan sebesar 0,68% mtd ke level 1,18 per Dolar AS pasca menguat sebesar 11,83% ytd di sepanjang tahun 2017. Bank Sentral Eropa (ECB) diperkirakan belum akan merubah kebijakan stimulus dalam waktu dekat. Di sisi lain, pelemahan Euro juga ditopang
13
oleh tingkat inflasi yang bergerak stagnan dalam 2 (dua) bulan terakhir berada di level 1,3% pada bulan Juli 2017. Angka ini sesuai estimasi dan menurun jika dibandingkan awal tahun 2017 yang mencapai 1,8%.
Mata Uang Negara Maju EUR/USD USD/JPY GBP/USD Negara Berkembang USD/IDR USD/BRL USD/RUB USD/INR USD/CNY USD/ZAR USD/MYR USD/THB USD/TRY USD/PHP USD/SGD
FY2016 (%)
YTD (%)
MTD (%)
1M (%, Jul-17)
1W (%)
Posisi Posisi Depre/Apre 2017F*) 31/07/2017 18/08/2017 2017F (%)
(3.18) 2.71 (16.26)
11.83 6.65 4.29
(0.68) 0.98 (2.61)
3.64 1.90 1.46
(0.51) 0.01 (1.11)
1.18 110.26 1.32
1.18 109.18 1.29
1.15 114.00 1.29
9.35 2.53 4.54
2.28 18.01 16.75 (2.68) (6.95) 11.17 (4.51) 0.79 (20.78) (5.43) (2.00)
0.82 3.16 3.70 5.56 3.96 4.24 4.37 7.20 0.14 (3.53) 5.81
(0.28) (0.66) 1.29 0.06 0.84 0.21 (0.20) 0.17 0.02 (2.09) (0.55)
0.02 5.46 (1.41) 0.61 0.80 (0.85) 0.28 2.01 0.04 0.07 1.52
(0.02) 1.46 1.44 (0.02) (0.10) 2.30 0.12 0.05 0.51 (0.99) (0.14)
13,325 3.13 59.77 64.19 6.73 13.19 4.28 33.28 3.52 50.43 1.36
13,362 3.15 59.00 64.15 6.67 13.16 4.29 33.22 3.52 51.49 1.36
13,400 3.30 60.00 65.00 6.88 13.70 4.28 33.90 3.65 51.00 1.39
0.54 (1.54) 2.07 4.31 0.94 0.29 4.60 5.30 (3.59) (2.55) 3.93
Sumber: Bloomberg Tabel 1. Perkembangan Mata Uang Global terhadap Dolar AS
Meningkatnya ketidakpastian global direspon secara beragam oleh pelaku pasar saham di negara maju dan negara berkembang. Bursa saham di negara maju yang kami pantau secara serentak menunjukkan penurunan di rentang 0,65% mtd hingga 2,28% mtd. Hal ini juga terlihat dari pergerakan indeks MSCI negara-negara maju yang mengalami penurunan sebesar 1,04% ke level 1.916,68 pada tanggal 18 Agustus 2017. Sementara itu, kinerja indeks saham utama di negara berkembang bergerak mixed di rentang -3,05% mtd hingga +4,24% mtd. Setelah menguat sebesar 5,48% sepanjang bulan Juli 2017, indeks MSCI negara-negara berkembang terpantau turun sebesar 0,63% ke level 1.059,54 pada tanggal 18 Agustus 2017. Indeks Dow Jones dan S&P 500 ditutup melemah masing-masing sebesar 0,99% mtd dan 1,81% mtd ke level 21.674,51 dan 2.425,55 pada perdagangan tanggal 18 Agustus 2017, tertekan oleh aksi jual investor. Peningkatan risiko geopolitik dan berbagai pernyataan kontroversi Trump direspon negatif oleh Wall Street yang telah bergerak menguat di sepanjang tahun 2017 dan mengakhiri rally selama 9 hari berturut-turut. Di sisi lain, pasar juga melakukan aksi wait and see terhadap potensi penaikan bunga acuan Fed (Fed rate) yang diperkirakan akan naik sebanyak 1 (satu) kali di akhir tahun 2017. Penguatan Yen mendorong penurunan bursa saham Jepang yang sebagian besar merupakan saham-saham eksportir. Pelemahan indeks Nikkei 225 terus berlanjut setelah pada bulan Juli 2017
14
indeks menurun sebesar 0,54% m/m ke level 19.925,18. Per tanggal 18 Agustus 2017, indeks kembali melemah mencapai 2,28% mtd dan ditutup pada level 19.470,41. Penguatan Yen sebagai dampak dari melemahnya nilai tukar Dolar AS berpotensi menekan kinerja indeks yang sepanjang tahun 2017 telah meningkat mencapai 1,86% ytd. Di negara berkembang, indeks Ibovespa mencetak rekor tertinggi dalam 6 (enam) bulan dan ditutup pada level 68.714,66 (naik 4,24% mtd). Membaiknya perekonomian Brasil turut menopang pergerakan indeks dimana sepanjang tahun 2017 telah menguat mencapai 14,09% ytd. Setelah mengalami resesi dalam 2 (dua) tahun, ekonomi Brasil berhasil ekspansi sebesar 1% pada triwulan I 2017. Tingkat inflasi juga terus mengalami penurunan ke level 2,71% pada bulan Juli 2017, lebih rendah dibandingkan inflasi di bulan sebelumnya yang mencapai 3%. Di sisi lain, neraca perdagangan Brasil telah meningkat sebesar USD 3,6 miliar sepanjang tahun 2017, yakni dari USD 2,7 miliar (Januari 2017) menjadi USD 6,3 miliar (Juli 2017). Indeks Saham Negara Maju Dow Jones (USA) S&P 500 (USA) Stoxx Europe 600 (Eropa) Nikkei 225 (Jepang) FTSE 100 (Inggris) Negara Berkembang IHSG (Indonesia) Ibovespa (Brazil) MICEX (Rusia) Sensex (India) Shanghai (China) Shenzhen (China) Hang Seng (China) JALSH (Afrika Selatan) KLCI (Malaysia) SET (Thailand) Borsa Istanbul (Turki) PCOMP (Filipina) FSSTI (Singapura)
FY2016 (%)
YTD (%)
MTD (%)
1M (%, Jul-17)
1W (%)
Posisi Posisi 31/07/2017 18/08/2017
13.42 9.54 (1.20) 0.42 14.43
9.67 8.34 3.54 1.86 2.54
(0.99) (1.81) (0.97) (2.28) (0.65)
2.54 1.93 (0.40) (0.54) 0.81
(0.84) (0.65) 0.55 (0.34) 0.19
21,891.12 2,470.30 377.85 19,925.18 7,372.00
21,674.51 2,425.55 374.20 19,470.41 7,323.98
15.32 38.93 26.76 1.95 (12.31) (14.72) 0.39 (0.08) (3.00) 19.79 8.94 (1.60) (0.07)
11.27 14.09 (13.53) 18.40 5.32 (3.40) 22.94 9.18 8.19 1.53 37.20 17.19 12.89
0.91 4.24 0.58 (3.05) (0.13) 1.23 (1.01) 0.18 0.92 (0.61) (0.31) (0.02) (2.33)
0.19 4.80 2.13 5.15 2.52 (0.98) 6.05 6.97 (0.21) 0.09 7.06 2.23 3.19
2.21 2.01 (0.73) 1.00 1.88 3.24 0.61 0.27 0.52 0.33 0.22 1.11 (0.85)
5,840.94 65,920.36 1,919.53 32,514.94 3,273.03 1,879.10 27,323.99 55,207.41 1,760.03 1,576.08 107,531.40 8,018.05 3,329.52
5,893.84 68,714.66 1,930.71 31,524.68 3,268.72 1,902.25 27,047.57 55,304.23 1,776.22 1,566.53 107,202.40 8,016.73 3,251.99
Sumber: Bloomberg Tabel 2. Perkembangan Indeks Saham Utama Dunia
Di tengah sentimen negatif pada perekonomian AS, pasar obligasi global terpantau mengalami penurunan. Imbal hasil obligasi negara maju menunjukkan penurunan di kisaran 5 bps hingga 14 bps. Sementara itu, imbal hasil obligasi negara berkembang secara mayoritas juga menunjukkan penurunan di kisaran 1 bps hingga 10 bps. Imbal hasil obligasi China, India, dan Brasil bertenor 10 tahun terpantau meningkat masing-masing sebesar 1 bps, 4 bps, dan 12 bps.
15
Berbagai permasalahan geopolitik dan fokus Trump pada beberapa rencana kebijakan baru seperti usulan anggaran untuk pembangunan tembok dengan Meksiko mendorong imbal hasil US Treasury dan obligasi global mengalami penurunan. Hal ini juga diperkirakan dapat mengurangi tekanan terhadap ekspektasi pengetatan lanjutan oleh The Fed. Namun demikian, penurunan imbal hasil ini berpotensi kembali meningkat menyusul ekspektasi inflasi global akibat harga minyak mentah yang meningkat secara gradual. Sovereign Bond Yield 10Yr (LCY) Negara Maju Amerika Serikat Eropa Jepang Inggris Negara Berkembang Indonesia Brazil India China Afrika Selatan Malaysia Thailand
FY2016 (bps)
YTD (bps)
MTD (bps)
1M (bps, Jul-17)
1W (bps)
Posisi Posisi Δ2017F 2017*) 31/07/2017 18/08/2017 (bps)
17 (42) (22) (72)
(25) 21 (1) (15)
(10) (13) (5) (14)
(1) 8 (0) (3)
1 3 (3) 3
2.29 0.54 0.08 1.23
2.19 0.41 0.03 1.09
2.58 0.67 0.06 1.31
29 13 (2) 8
(102) (511) (125) 20 (87) 4 15
(108) (129) (0) 58 (40) (25) (29)
(6) 12 4 1 (10) (1) (7)
12 (55) (4) 6 (15) 6 (4)
(1) (1) 1 0 (12) (1) (2)
6.95 9.99 6.47 3.63 8.63 3.99 2.43
6.89 10.11 6.51 3.64 8.53 3.98 2.36
7.23 10.66 6.48 3.51 8.57 4.22 2.67
28 67 1 (12) (6) 23 24
Sumber: Bloomberg Tabel 3. Perkembangan Obligasi Pemerintah Tenor 10 Tahun
Di dalam negeri, kinerja nilai tukar Rupiah dapat dikatakan stabil. Pada tanggal 18 Agustus 2017, Rupiah sedikit melemah sebesar 0,28% ke level 13.362 per Dolar AS. Kinerja Rupiah berpotensi mendapat sentimen positif menyusul penurunan bunga acuan Bank Indonesia 7-day reverse repo pada tanggal 22 Agustus 2017. Bank Indonesia untuk pertama kalinya menurunkan bunga acuan sejak bulan Oktober 2016 sebesar 25 bps dari 4,75% menjadi 4,50%. Sementara itu, bunga Deposit Facility dan Lending Facility juga turun sebesar 25 bps masing-masing ke level 3,75% dan 5,25%. Mengutip Siaran Pers Bank Indonesia, kebijakan penurunan suku bunga ini konsisten dengan adanya ruang pelonggaran kebijakan moneter dengan rendahnya realisasi dan prakiraan inflasi tahun 2017 dan 2018 dalam kisaran sasaran yang ditetapkan, serta terkendalinya defisit transaksi berjalan dalam batas yang aman. Di sisi lain, risiko eksternal terkait dengan rencana kenaikan Fed Fund Rate (FFR) dan normalisasi neraca bank sentral AS mereda sehingga perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri Indonesia tetap menarik. Penurunan suku bunga kebijakan diharapkan dapat memperkuat intermediasi perbankan sehingga memperkokoh stabilitas sistem keuangan serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Rilis data ekonomi domestik terus menunjukkan perkembangan yang positif. Data pertumbuhan ekonomi yang meskipun stagnan dalam 2 (dua) triwulan berturut-turut namun masih mampu mencatat pertumbuhan yang relatif tinggi di tengah ketidakpastian global. Pada triwulan II
16
2017, ekonomi Indonesia tumbuh di level 5,01% y/y. Di sisi lain, realisasi inflasi pada bulan Juli 2017 mengalami penurunan dari 0,69% m/m (Juni 2017) menjadi 0,22% m/m. Secara tahunan, inflasi juga mengalami penurunan dari 4,37% (Juni 2017) menjadi 3,88% (Juli 2017). Proyeksi P/E Ratio Antar Negara (2017 dan 2018) 2017F
Jul-17
Jul-16
-5.0%
Jul-15
Jul-14
+5.0%
Jul-13
Jul-17
Mar-17
Jul-16
IHSG (eop, RHS)
Jul-12
Net Buy Saham (LHS)
Nov-16
Mar-16
Jul-15
: 5,840.94 : - Rp 10.64 Tn
Nov-15
Jul-14
-15
Mar-15
-10
Nov-14
Jul '17 IHSG (eop) Net Buy Saham
-2.5%
Jul-11
0 -5
+2.5%
Jul-10
5
Z
Jul-09
10
Perkembangan PER Indonesia
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 -1.5 -2.0 -2.5 Jul-08
6,000 5,750 5,500 5,250 5,000 4,750 4,500 4,250 4,000
Perkembangan Net Buy Saham dan IHSG
Jul-07
15
2018F 15.3 14.1
TH MY SA CH IN RU BR ID UK JP EU US
13.1 13.2 12.9
15.5 15.7
17.3
20.4
16.2
5.9 5.5 11.6
13.2 15.8 14.6 15.0 14.4 16.6 15.6 15.4 14.7 17.4 16.5
Sumber: CEIC dan Bloomberg Gambar 9. Perkembangan Net Buy dan Valuasi Saham
Arus dana asing masih terlihat keluar dari pasar saham Indonesia, yang tercermin dari net sell yang terjadi dalam 3 (tiga) bulan berturut-turut. Sepanjang bulan Juli 2017, net sell terpantau mengalami peningkatan dari Rp 4,32 triliun di bulan Juni 2017 menjadi Rp 10,64 triliun. Net sell terus terjadi pada periode observasi 1 Agustus 2017 hingga 18 Agustus 2017 mencapai Rp 3,08 triliun. Salah satu pemicu keluarnya investor asing dari pasar saham Indonesia disinyalir didorong oleh tingginya P/E ratio (PER) yang pada bulan Juli 2017 berada pada level 11,14 kali. Investor asing terus melakukan aksi profit taking menyusul valuasi yang tidak murah di saham Indonesia. Namun demikian, jika kita lihat kinerja IHSG masih berada pada teritori positif dengan ditutup menguat sebesar 0,91% mtd ke level 5.893,84 pada perdagangan tanggal 18 Agustus 2017. IHSG terpantau kembali mencatatkan rekor dalam 2 (dua) bulan terakhir. Jika dilihat secara sektoral, penguatan IHSG ditopang oleh sektor infrastruktur dan properti yang pada periode pengamatan kami tanggal 1 Agustus 2017 hingga 18 Agustus 2017 tumbuh positif sebesar 2,66%.
10%
0% Jul-14 Oct-14 Jan-15 Apr-15 Jul-15 Oct-15 Jan-16 Apr-16 Jul-16 Oct-16 Jan-17 Apr-17 Jul-17
0
Amount Foreign Ownership
% Foreign Ownership
: 13,325 : + Rp 4.99 Tn
Net Buy SBN (LHS)
Nilai Tukar (eop, RHS)
2.5 2.0 1.5
Incoming Bid
Bid Accepted
7M17
200
Jul '17 USDIDR (eop) Net Buy SBN
2016
20%
3.0
7M16
400
3.5
2015
30%
Perkembangan Bid-to-Cover Ratio
600.0 525.0 450.0 375.0 300.0 225.0 150.0 75.0 0.0 2014
600
11,000 11,500 12,000 12,500 13,000 13,500 14,000 14,500 15,000
2013
40%
Perkembangan Net Buy SBN dan Nilai Tukar
2012
800
45 35 25 15 5 -5 -15 -25
2011
50%
2010
Perkembangan Kepemilikan Asing di Surat Berharga Negara
Jul-14 Oct-14 Jan-15 Apr-15 Jul-15 Oct-15 Jan-16 Apr-16 Jul-16 Oct-16 Jan-17 Apr-17 Jul-17
1,000
Bid to Cover Ratio
Sumber: DJPPR dan Bloomberg Gambar 10. Perkembangan Kepemilikan Asing di SBN, Net Buy SBN, dan Bid to Cover Ratio
17
Berbeda dengan kinerja di pasar saham, investor asing masih mencatatkan net buy di pasar obligasi Indonesia. Meskipun kepemilikan asing cenderung menurun di bulan Juli 2017 namun investor asing terpantau melakukan net buy dalam 8 bulan berturut-turut. Pada bulan Juli 2017, kepemilikan obligasi oleh investor asing mencapai Rp 4,99 triliun, lebih rendah dibandingkan kepemilikan asing pada bulan Juni 2017 yang mencapai Rp 14,40 triliun. Namun pasar obligasi berpotensi meningkat seiring penurunan bunga acuan Bank Indonesia. Jika kita lihat kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) pada periode tanggal 1 Agustus 2017 hingga 18 Agustus 2017, dana asing tercatat masuk ke pasar obligasi mencapai Rp 4,93 triliun, dari Rp 775,54 triliun (31 Juli 2017) menjadi Rp 780,47 triliun (18 Agustus 2017). Kepemilikan asing tersebut memiliki porsi sebesar 39,14% terhadap total SBN yang dapat diperdagangkan, turun dibandingkan akhir Juli 2017 yang mencapai 39,35% terhadap total SBN yang dapat diperdagangkan. Sejalan dengan net buy tersebut, yield obligasi pemerintah menunjukkan penurunan mencapai 6 bps mtd ke level 6,89%. Lelang SBN dan SBSN yang diselenggarakan pemerintah selama periode bulan Januari 2017 hingga Juli 2017 masih mencatatkan oversubscribed terlihat dari tingginya total penawaran yang masuk (incoming bid). Pada lelang bulan Januari 2017 hingga Juli 2017, tercatat peningkatan incoming bid mencapai Rp 214,86 triliun dari Rp 536,96 triliun (Januari 2016-Juli 2016) menjadi sebesar Rp 751,82 triliun. Sementara itu, bid accepted pada lelang bulan Januari 2016-Juli 2017 mengalami peningkatan sebesar Rp 54,90 triliun dari Rp 270,29 triliun: bid to cover ratio 1,99 kali menjadi Rp 325,19 triliun: bid to cover ratio 2,31 kali.
18
Perbankan
Perbankan: Masih Membutuhkan Sentimen Positif Seno Agung Kuncoro
Kinerja sektor perbankan masih belum memperlihatkan perbaikan yang solid. Kredit perbankan tercatat sebesar Rp4.491 triliun di Juni 2017 pertumbuhannya menurun 97 bps dibanding pertumbuhan tahunan bulan sebelumnya menjadi 7,75% year on year. Rasio kredit bermasalah (NPL ratio) periode Juni 2017 sebesar 2,96% turun 11 bps dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara pertumbuhan nominal NPL di Juni 2017 sebesar 19,93% (yoy) dalam tren pertumbuhan yang relatif menurun selama satu tahun terakhir.
Penurunan suku bunga acuan BI 7-days repo rate di bulan Agustus menjadi 4,5% ternyata memberikan sentimen positif bagi industri keuangan yang masih dibayangi oleh ketidakpastian kondisi ekonomi global. Dengan penurunan suku bunga acuan, maka perbankan kembali memiliki ruang untuk melakukan penurunan suku bunga simpanan yang bisa berdampak positif bagi ekspansi kredit dan kinerja keuangan bank. Dari data perbankan sampai dengan periode Juni 2017, kinerja sektor perbankan masih belum memperlihatkan perbaikan yang konsisten. Kredit perbankan tercatat sebesar Rp4.491 triliun di Juni 2017 pertumbuhannya menurun 97 bps dibanding pertumbuhan tahunan bulan sebelumnya menjadi 7,75% year on year. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) juga mengalami hal yang sama mengikuti penurunan pertumbuhan kredit sebesar 88 bps dibanding pertumbuhan bulan sebelumnya menjadi sebesar 10,30% (yoy), setelah di bulan sebelumnya mengalami lonjakan pertumbuhan cukup tinggi. Meskipun terus mendapat tekanan dari pasar keuangan domestik dan global, industri perbankan masih dalam pertumbuhan yang positif dan sehat dengan risiko permodalan yang masih mencukupi untuk bertahan dari tekanan risiko yang ada.
Sumber: OJK, diolah Gambar 11. Pertumbuhan Kredit, Dana Pihak Ketiga, dan LDR
20
Pertumbuhan kredit yang masih fluktuatif ini disebabkan oleh masih lemahnya permintaan, sementara dari sisi supply bank masih berhati-hati untuk ekspansi. Bank Indonesia pun mulai realitis dengan memangkas proyeksi kredit pada tahun 2017 menjadi 8% - 10% dari proyeksi awal sebesar 10% - 12%. Hal ini selain dipengaruhi faktor perekonomian domestik dan global, juga diperkirakan karena dampak rencana akan dihentikannya kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada akhir Agustus. Meski selama ini perbankan telah menerapkan prinsip kehati-hatian yang lebih baik, dengan tidak dilanjutkannya kebijakan tersebut dan kembali pada tiga pilar, maka bank harus menambah penilaian kehati-hatian dalam penyaluran kredit karena kondisi perekonomian yang masih melambat. Sehingga dengan berbagai situasi saat ini dan melihat pencapaian pertumbuhan kredit semester 1 tahun 2017, diperkirakan target tingkat pertumbuhan kredit sebesar 8% - 10% menjadi realistis. Walau demikian masih ada sedikit harapan meningkatnya pertumbuhan kredit di tengah melambatnya tingkat pertumbuhan year on year di bulan Juni 2017, dimana bila dilihat pertumbuhan bulanan (month on month) terjadi peningkatan sebesar 60 bps dari 0,89% (mom) di Mei 2017 menjadi 1,49% (mom) di Juni 2017. Kredit modal kerja yang mencapai 47% dari total kredit, dalam 3 bulan terakhir pertumbuhannya melambat relatif dibanding jenis kredit lainnya menjadi sebesar 7,21% (yoy) di Juni 2017. Hal yang sama terjadi pada kredit investasi dengan bagian 26% dari total kredit hanya tumbuh sebesar 6,44% (yoy), sementara kredit konsumsi dengan porsi 28% dari total penyaluran kredit meski lambat tetapi memperlihatkan pertumbuhan yang terus meningkat hingga tumbuh sebesar 9,86% (yoy). Sehingga secara keseluruhan kredit investasi dan kredit konsumsi masih menjadi penopang pertumbuhan kredit perbankan.
40
Pertumbuhan Jenis Kredit y/y (%)
35
Konsumtif; 9,86 Modal Kerja; 7,21 Investasi; 6,44
30 25 20 15 10 5
Modal Kerja
Investasi
Konsumtif
0
Sumber: CEIC, OJK, diolah Gambar 12. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Jenis dan Sektor
21
Belanja pemerintah pada triwulan 2 tahun 2017 tercatat mengalami kontraksi sebesar 1,93% karena realisasi belanja pegawai maupun belanja barang yang turun dibandingkan periode sama tahun lalu. Ke depan, kontribusi pemerintah melalui belanja modal diharapkan meningkat sebab bisa memberikan dampak positif kepada kinerja investasi dalam jangka panjang dan pada akhirnya bisa mendorong penyaluran kredit modal kerja dan investasi. Adanya potensi pertumbuhan ekonomi yang bisa mendorong pertumbuhan kredit yang lebih baik dapat berasal dari industri pengolahan non migas yang berkontribusi sekitar 18% dari PDB nasional di tahun 2017. Dimana dengan langkah strategis melalui kebijakan pengembangan industri berbasis sumber daya alam melalui hilirisasi bisa mendorong investasi dan penciptaan lapangan kerja baru dan penguatan struktur industri yang selama ini masih banyak berorientasi impor. Kontribusi terbesar sektor industri pengolahan non migas berasal dari cabang industri makanan dan minuman sebesar 34,42%, diikuti industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik dan peralatan listrik sebesar 10,38%, serta industri alat angkutan sebesar 9,95%. Kami melihat keputusan OJK untuk tidak memperpanjang relaksasi restrukturisasi kredit sudah tepat. Dengan kondisi pemulihan ekonomi yang berjalan saat ini, perbankan lebih baik memperbaiki kondisi internal, baik dari sisi sumber daya manusia, proses bisnis, dan peluang bisnis daripada mengejar pertumbuhan kredit yang memang dari sisi permintaan (demand) juga masih lemah. Kami yakin untuk bank yang berada di BUKU 4 dapat tetap menggunakan tiga pilar dalam melakukan restrukturisasi kredit dibandingkan bank yang berada di kelompok BUKU lainnya. Untuk jenis kredit berdasarkan sektor industri, pertumbuhan kredit sektor perdagangan masih menurun hingga Juni 2017 sebesar 31 bps dari pertumbuhan periode bulan sebelumnya menjadi 6,12% (yoy). Sementara kredit sektor rumah tangga dengan porsi 29% dari total kredit, pada periode Juni 2017 tumbuh sebesar 8,77% (yoy) naik 10 bps dari bulan sebelumnya. Berkaca pada fluktuasi pertumbuhan kredit sepanjang tahun 2017, maka target kredit di tahun 2017 tidak lebih dari 10% menjadi rasional. Industri perbankan yang semakin memperketat syarat penyaluran kredit (credit rationing) karena kecemasan terhadap potensi kenaikan jumlah kredit bermasalah dari lambatnya pergerakan roda perekonomian akan mempengaruhi kinerja perbankan secara keseluruhan. Rasio kredit bermasalah (NPL ratio) periode Juni 2017 sebesar 2,96% turun 11 bps dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara pertumbuhan nominal NPL di Juni 2017 sebesar 19,93% (yoy) dalam tren pertumbuhan yang relatif menurun selama satu tahun terakhir. Tren penurunan pertumbuhan nominal NPL, mayoritas disebabkan oleh penurunan signifikan dari pertumbuhan kolektibilitas Diragukan selama setahun terakhir. Begitu pula yang terjadi pada kredit kolektibilitas “Macet” sebesar 3,80% (yoy) dan tercatat sebesar Rp83,9 triliun dalam tren menurun dari akhir tahun 2016. Kami melihat bahwa rasio kredit bermasalah masih akan berkisar di angka 2,8% - 3,0% hingga akhir tahun 2017 mengingat penyaluran kredit baru yang lebih terbatas di tahun 2017 dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu, likuiditas sistem keuangan menjadi salah satu bagian penting dalam mengukur daya tahan ekonomi dan sistem keuangan yang pada bulan Juni 2017 masih cukup longgar ditandai dengan rasio kredit terhadap simpanan atau Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 89,31% bila dibandingkan posisi LDR di akhir tahun 2016 sebesar 90,70%. Menurunnya rasio LDR ini lebih didorong oleh pertumbuhan DPK yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan penyaluran kredit.
22
Sumber: CEIC dan OJK Gambar 13. Rasio dan Pertumbuhan NPL
Data terakhir menunjukkan, tren pertumbuhan uang beredar (M2) kembali mengalami perlambatan. Posisi M2 pada Juni 2017 tercatat sebesar Rp5.278,9 triliun atau tumbuh sebesar 11,4% (yoy), meningkat dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 11,1% (yoy). Meningkatnya pertumbuhan M2 tersebut dipengaruhi oleh komponen M1 (rupiah dan valas) karena peningkatan kebutuhan masyarakat selama bulan puasa dan menjelang hari raya. Walaupun ekspansi keuangan pemerintah meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas belanja pemerintah, tetapi hal tersebut belum dapat mendorong pertumbuhan kredit lebih tinggi yang turut mempengaruhi perlambatan M2. Dana pihak ketiga pada periode Juni 2017 tumbuh 10,30% (yoy) turun 88 bps dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 11,18% (yoy) tertinggi dalam 20 bulan terakhir. Pertumbuhan giro mencatatkan angka relatif tertinggi sebesar 11,31% (yoy) dibandingkan simpanan lainnya. Sementara dari segi komposisi terhadap dana pihak ketiga, deposito masih memiliki porsi terbesar dengan kecenderungan menurun dibanding dengan alternatif pendanaan lainnya yakni sebesar 45% pada posisi Juni 2017. Pertumbuhan simpanan Tabungan pada Juni 2017 kembali menurun sebesar 143 bps menjadi 9,55% (yoy) setelah di bulan sebelumnya meningkat sebesar 71 bps. Menurunnya pertumbuhan tabungan didorong oleh siklus bulan puasa dan hari raya Lebaran yang membuat kebutuhan likuiditas di masyarakat menjadi tinggi. Sementara pertumbuhan deposito naik 27 bps menjadi sebesar 10,30% (yoy) di bulan Juni 2017 dibanding bulan sebelumnya sebesar 10,03%. Masih lambatnya pertumbuhan deposito tersebut kami perkirakan mulai adanya pergeseran horizon investasi dari produk perbankan kepada produk keuangan seperti saham, reksadana, surat utang negara ritel, dan lain sebagainya sehingga dana masyarakat di perbankan pertumbuhannya melambat. Dengan kebijakan bank yang memangkas suku bunga simpanan deposito dari akhir tahun 2015 lalu dan gencarnya pemerintah menerbitkan surat utang ritel, membuat suku bunga riil simpanan masyarakat menjadi tidak menguntungkan dan pada akhirnya masyarakat mengalihkan
23
porsi investasinya. Di sisi lain perlambatan pertumbuhan uang beredar juga dipengaruhi oleh lambatnya pertumbuhan kredit perbankan.
Sumber: BI Gambar 14. Perkembangan Likuiditas Sistem Keuangan
Terjaganya kondisi stabilitas makro dan tingkat inflasi yang rendah menjadi pertimbangan BI dalam menurunkan suku bunga acuannya (BI 7DRR) 25 bps menjadi 4,5%. Disamping itu BI juga sedang mengkaji untuk merubah kebijakan makroprudensial loan to value (LTV) untuk kepemilikan rumah dan kendaraan bermotor berdasarkan zona wilayah guna menopang target pertumbuhan kredit perbankan. Penurunan suku bunga deposito saat ini berdampak pada biaya dana (cost of fund) bank tentunya akan lebih rendah. Meski bank akan lebih efisien dalam menyesuaikan suku bunga kreditnya ke arah yang lebih kompetitif, namun adanya faktor risiko yang meningkat sepertinya akan set off dengan penurunan cost of fund.
Sumber: CEIC dan OJK Gambar 15. Pertumbuhan Komponen Dana Pihak Ketiga
24
Setelah kenaikan peringkat utang Indonesia oleh Standard and Poor's, ditambah dengan tren penurunan suku bunga, pelaku pasar terutama korporasi menjadikan tahun 2017 sebagai momentum yang tepat untuk menerbitkan obligasi. Dimana secara keseluruhan, tingginya minat investor terhadap obligasi saat ini didorong oleh adanya tren penurunan suku bunga serta perbaikan peringkat sovereign rating Indonesia menjadi layak investasi (investment grade) yang dapat mendorong kupon dibayarkan menjadi lebih rendah dibandingkan sebelumnya. Sehingga investor mencari alternatif investasi yang memberikan imbal hasil lebih tinggi dari instrumen simpanan deposito. Dalam hal ini, obligasi korporasi semakin digemari oleh investor yang tengah mencari alternatif instrumen investasi. Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), hingga Juni 2017 realisasi penerbitan obligasi korporasi mencapai sekitar Rp57,03 triliun. Keinginan Pemerintah untuk menurunkan bunga kredit menjadi single digit tahun ini sepertinya tidak bisa secepat yang diharapkan. Permasalahan suku bunga kredit di Indonesia memang sesuatu yang sangat kompleks karena terkait dengan tingkat inflasi, tingkat efisiensi intermediasi perbankan dalam hal ini adalah Net Interest Margin (NIM), serta kondisi defisit neraca berjalan. Diperlukan road map yang jelas untuk mengidentifikasi setiap hambatan dalam upaya penurunan suku bunga kredit. Tren suku bunga bank benchmark untuk deposito rupiah yang dipantau LPS (suku bunga pasar/SBP) secara rata-rata sampai dengan periode akhir Agustus 2017 masih dalam tren menurun yang terbatas. Sementara suku bunga pasar deposito valuta asing yang dipantau memperlihatkan tren kenaikan terbatas dalam 3 bulan terakhir. Kami melihat adanya proyek pembangunan infrastruktur menjadi pemicu tingginya kebutuhan modal kerja atau investasi dalam bentuk impor sehingga kebutuhan valas menjadi tinggi. Meski demikian simpanan valas pertumbuhannya juga mengalami kenaikan, terutama pada tahun lalu saat berakhirnya program tax amnesty, sehingga nilai tukar valas relatif terjaga.
Sumber: LPS Gambar 16. Suku Bunga Pasar Rupiah dan Valas
25
Meski global political risk dan kenaikan Fed Fund Rate masih membayangi kondisi perekonomian domestik, keputusan BI untuk menurunkan bunga acuannya diharapkan bisa menopang laju pertumbuhan kredit yang masih lambat. Sentimen positif dari para pelaku ekonomi terhadap hal tersebut akan lebih terasa bila pemerintah juga ikut memacu penyerapan belanja negara yang selama triwulan 2 tercatat melambat untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Bagaimanapun, konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi terbesar terhadap laju pertumbuhan. Kami melihat likuiditas perbankan saat ini masih cukup memadai mengingat masih turunnya suku bunga simpanan disamping turunnya suku bunga acuan, kebijakan giro wajib minimum averaging (GWMA) pada bulan Juli lalu turut berperan dalam menjaga likuiditas bank. Dengan turunnya suku bunga acuan dan memadainya likuiditas perbankan, maka ruang bank untuk menurunkan cost of fund dan suku bunga kredit akan semakin besar. Yang mungkin masih perlu dibenahi adalah komponen risiko kredit dalam perhitungan suku bunga kredit sehingga suku bunga kredit bisa lebih cepat turunnya.
26
Industri
Industri Perkebunan : Beban Produksi dan Regulasi Impor Ahmad Subhan Irani
Secara umum harga CPO sepanjang 2H-17 masih akan dibayangi risiko kelebihan pasokan (oversupply) akibat perbaikan produksi dan gejolak permintaan yang disebabkan kebijakan proteksi terhadap CPO di beberapa negara Efek kenaikan bea masuk yang diberlakukan India terhadap produk CPO diperkirakan hanya akan berdampak jangka pendek mengingat India hanya dapat memenuhi kebutuhan CPO melalui impor.
Pemulihan produksi kelapa sawit dan CPO yang terjadi di Malaysia dan Indonesia mendorong sentimen negatif pada prospek harga CPO di sepanjang 2H-17. Pada penutupan perdagangan Senin (21/8) harga CPO di bursa Malaysia, kontrak teraktif November 2017 masih mengalami kenaikan terbatas sebesar 30 poin atau 1,12% menuju 2.711 ringgit (USD632,20) per ton. Sementara sepanjang tahun berjalan harga CPO cenderung terkoreksi sebesar 16% dengan rata-rata mencapai level 2.600 ringgit (USD 610) per ton. Pada semester I/2017, rata-rata harga masih berkisar di level 2.940 ringgit (USD670) per ton, tetapi cenderung tertekan pada semester II/2017 menjadi 2.430 ringgit (USD570) per ton. Penambahan pasokan diperkirakan akan berlangsung sampai tahun depan, sehingga rata-rata harga CPO pada 2018 diperkirakan akan terkoreksi ke level 2.500 ringgit (USD590) per ton. CPO Spot Price
CPO 3-Month Futures Price
Sumber: Bloomberg Gambar 17. Harga CPO dipasar Spot dan Future
Selain faktor pemulihan produksi tekanan terhadap harga diperkirakan masih akan berlanjut sebagai respon atas perkiraan menyusutnya permintaan dari India yang sepanjang 1H-17 telah tumbuh cukup kuat. Selain itu harga CPO juga terseret oleh pelemahan pada harga minyak kedelai AS, aksi spekulasi di pasar China dan tren penguatan nilai tukar ringgit yang menyebabkan harga CPO
28
mengalami koreksi relatif terhadap USD. Secara umum harga CPO sepanjang 2H-17 masih akan dibayangi risiko kelebihan pasokan (oversupply) yang dapat membuat harga komoditas lebih dalam terkoreksi di 2H-17. Di sisi lain pemulihan kinerja ekspor komoditas CPO sepanjang 2H-17 diperkirakan akan semakin berat menyusul langkah beberapa negara importir utama yang cenderung membatasi masuknya produk CPO dan turunannya dari Indonesia. Kebijakan terbaru yang diperkirakan akan membatasi potensi ekspor CPO adalah kenaikan bea masuk ekspor yang diterapkan India sebesar 1525%. Angka ini meningkat 100% dari bea masuk sebelumnya yang diterapkan oleh India untuk ekspor CPO dari Indonesia sebesar 7,5-15%. Kalangan pengusaha menilai bila aturan tersebut diterapkan penuh maka akan berdampak besar pada pelaku industri. Dampak yang ditimbulkan adalah harga CPO dari Indonesia akan lebih mahal dibandingkan minyak nabati lainnya. Sebagai salah satu negara tujuan ekspor produk CPO dari Indonesia, kebijakan pemerintah India tersebut tentu dapat mempengaruhi permintaan dan pasokan yang akhirnya akan berdampak pada harga jual CPO di Indonesia. Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) berpendapat, penetapan kebijakan ini mungkin akan mempengaruhi pasar ekspor CPO Indonesia. Meski demikian dampaknya baru akan terasa jika konsumen India memilih mengurangi impor sementara mereka pun sebenarnya membutuhkan CPO Indonesia. Oleh karena itu hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah spread harga CPO dengan minyak kedelai yang harus tetap dijaga, sebab jika spread harga terlalu rendah maka mereka akan memilih minyak kedelai. Menurutnya untuk saat ini harga CPO idealnya harus lebih rendah sekitar USD 70 dolar per ton dari harga minyak kedelai.
Sumber: Bloomberg Gambar 18. Spread Harga CPO dan Minyak Kedelai
29
Lebih lanjut efek kenaikan bea masuk yang diberlakukan India diperkirakan hanya akan berdampak dalam jangka pendek namun tidak dalam jangka panjang, hal ini mengingat India hanya dapat memenuhi kebutuhan CPO melalui impor disamping kebutuhan CPO India masih tinggi dan terus meningkat. Langkah yang ditempuh pemerintah India terkait bea impor CPO kerap dilakukan sejak tahun 2013, hal ini ditujukan untuk menjaga keseimbangan harga dan pasokan bagi industri domestik CPO serta industri minyak nabati lainnya. Berdasarkan data Oil World pada musim 20162017 (September 2016—Oktober 2017) India akan mengkonsumsi sekitar 9,35 juta ton CPO atau sekitar 15,17% dari total penyerapan global sejumlah 61,62 juta ton. Menurut CARE Ratings, satusatunya minyak nabati yang saat ini tidak dapat diproduksi di India secara langsung adalah CPO. Sehingga pemenuhan kebutuhan CPO hanya bisa dilakukan melalui impor. Pada musim 2015-2016, impor minyak nabati India mencapai 14,5 juta ton. Dari jumlah tersebut, pengapalan masuk CPO berkontribusi sekitar 57,72%.
Sumber: BCG (From USDA, 2010) Gambar 19. Jalur Utama Perdagangan CPO Dunia
Selain India hambatan ekspor CPO Indonesia juga terjadi di Eropa dan Amerika Serikat (AS), bahkan secara terbuka parlemen Eropa telah mengesahkan Resolusi Sawit yang tertuang dalam Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests. Resolusi tersebut berisi tentang catatan negatif atas sawit, di antaranya menyebutkan bahwa sawit adalah persoalan besar yang dikaitkan dengan isu korupsi, pekerja anak, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), penghilangan hak masyarakat adat, serta sebagai pemicu deforestasi dan kerusakan habitat. Resolusi tersebut juga merekomendasikan perlunya investasi dari komoditas sawit ke sunflower oil dan rapeseed oil.
30
Upaya untuk membatasi produk sawit dan CPO oleh Eropa dilakukan pula melalui skema sertifikasi tunggal bagi CPO yang masuk ke Uni Eropa. Kemudian, secara bertahap Uni Eropa bakal menghapuskan penggunaan minyak nabati pemicu deforestasi mulai tahun 2020. Sejauh ini resolusi yang dihasilkan parlemen Eropa ini memang belum bersifat final karena masih harus diratifikasi oleh negara-negara anggota dan Komisi Eropa. Sementara disisi lain AS berencana mengenakan pungutan besar terhadap produk biodiesel dan CPO sebab menilai Indonesia melakukan dumping terhadap produk biodiesel. Khusus untuk kasus biodiesel di AS berdasarkan catatan APROBI, pada 2016 Indonesia mengekspor sekitar 400 ribu KL biodiesel ke AS dan merupakan pasar ekspor terbesar biodiesel di luar Eropa. Terlepas dari berbagai hambatan ekspor tersebut, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), kinerja ekspor minyak sawit Indonesia tumbuh positif dari segi volume sepanjang 1H-17. Volume ekpsor minyak sawit Indonesia (CPO, PKO dan turunannya termasuk oleochemical dan biodiesel) tercatat mencapai 16,6 juta ton atau naik 25% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang hanya mencapai 12,5 juta ton. Sementara itu produksi CPO Indonesia pada semester pertama 2017 telah mencapai 18,15 juta ton. Angka ini menunjukkan pertumbuhan 18,6% dibandingkan dengan produksi tahun lalu pada periode yang sama 15,30 juta ton. Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa stok fisik minyak CPO perusahaan cukup banyak sehingga perlu diadakan penyesuaian data stok. Pada semester satu 2017, stok CPO Indonesia mencapai 2,325 juta ton yang sudah termasuk angka penyesuaian sebesar 1,5 juta ton. Kinerja ekspor minyak sawit Indonesia ke negara tujuan utama juga tumbuh positif kecuali Pakistan. Ekspor ke Pakistan mengalami penurunan sebesar 5% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu atau dari 1,1 juta ton turun menjadi 1,05 juta ton pada periode yang sama tahun ini. Penurunan juga diikuti oleh negara-negara Timur Tengah yang mencatatkan penurunan sebesar 12%. Sebaliknya, volume ekspor minyak sawit Indonesia ke India pada 1H-17 masih mencatatkan pertumbuhan yang cukup siginifikan yaitu naik sebesar 43% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau dari 2,6 juta ton menjadi 3,8 juta ton. Kinerja ekspor ke Eropa selama 1H-17 mencapai 2,7 juta ton dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu hanya mampu mencapai 1,9 juta ton. Kenaikan kinerja ekspor semester pertama 2017 diikuti oleh negara-negara Afrika sebesar 36,5%, Bangladesh 29%, Amerika Serikat 27% dan China 18%. Ditengah maraknya kebijakan pembatasan impor CPO saat ini dari beberapa negara, kalangan pelaku industri CPO khususnya biodiesel justru melihat peluang China sebagai pasar baru yang potensial berkembang sejalan dengan program biodiesel campuran 5% atau B5 yang mulai diterapkan. Penggunaan biodiesel di China dapat menjadi pasar potensial untuk meningkatkan ekspor produk sawit Indonesia terutama biodiesel. Pemakaian B5 di China akan menciptakan kebutuhan CPO sebesar 9 juta ton yang artinya dapat menggantikan peran pasar Eropa dan AS. Itu sebabnya, pelaku industri di Indonesia mendorong penerapan program B5 di China segera berlaku bahka secara terbuka ingin menawarkan skema kerja sama melalui pendirian pabrik biodiesel di Indonesia.
31
Indeks Stabilitas Perbankan
Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index) Risiko industri perbankan Indonesia masih berada dalam kondisi normal. Berdasarkan update data perbankan bulan Juni 2017 dan data pasar bulan Juli 2017, angka BSI pada bulan Juli 2017 mengalami sedikit peningkatan sebesar 3 bps bila dibandingkan dengan angka BSI pada bulan Juni 2017, yaitu dari 99,55 menjadi 99,58. Angka Banking Stability Index (BSI) untuk periode Juli 2017 mengalami sedikit peningkatan sebesar 3 bps, yaitu dari 99,55 pada Juni 2017 menjadi 99,58. Peningkatan BSI pada bulan Juli didorong oleh peningkatan pada Sub Indeks Market Pressure (MP) dan Sub Indeks Interbank Pressure (IP), sementara Sub Indeks Credit Pressure (CP) mengalami penurunan. Sub Indeks MP meningkat dari 100,06 pada bulan Juni 2017 menjadi 100,19 pada bulan Juli 2017 dan Sub Indeks IP meningkat dari 99,49 pada bulan Mei 2017 menjadi 100,09 pada bulan Juni 2017. Sebaliknya, Sub Indeks CP mengalami penurunan dari 98,91 pada Mei 2017 menjadi 98,85 pada Juni lalu. Angka BSI pada Juli 2017 yang berada pada level 99,58 menunjukkan risiko industri perbankan Indonesia berada pada kondisi “Normal”.
Sumber: LPS Gambar 20. Banking Stability Index (BSI) dan Sub Indeks Credit Pressure (CP) Rasio gross NPL pada Juni 2017 mengalami penurunan sebesar 11 bps dari 3,07% di bulan Mei 2017 menjadi 2,96%. Sampai dengan Juni 2017, peningkatan NPL paling tinggi masih terjadi di sektor pertambangan yang mencapai 7,84%. Selain sektor pertambangan, sektor perdagangan juga menunjukkan peningkatan NPL yang cukup tinggi, yakni 4,35%. Sektor-sektor lain yang mencatat NPL di atas 3% adalah sektor transportasi 4,25%, konstruksi 3,92%, dan manufaktur 3,23%. Sedangkan sektor kredit yang menunjukkan NPL yang relatif rendah adalah sektor kelistrikan 1,56%, keuangan dan real estate 1,85%, pertanian 1,97% dan sektor lainnya sebesar 1,73%. Angka NPL pada bulan Juni 2017 ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2016 yang mencapai 3,05%. Di sisi likuiditas, LDR industri mengalami peningkatan sebesar 74 bps dari 88,57% di bulan Mei 2017 menjadi 89,31% di bulan Juni 2017. Pada bulan Juni 2017, terjadi kenaikkan kredit MoM sebesar 1,4% dan DPK MoM sebesar 0,61%. Secara YoY, baik pertumbuhan kredit maupun
33
pertumbuhan DPK mengalami penurunan jika dibandingkan dengan bulan Mei 2017. Pada bulan Juni 2017 kredit YoY mengalami pertumbuhan sebesar 7,37%, sementara di bulan Mei 2017 sebesar 8,42% dan DPK YoY mengalami pertumbuhan sebesar 9,63% turun jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan Mei 2017 yang sebesar 10,57%. Pada Juni 2017, ROE perbankan berada pada level 14,89%, naik dari posisi bulan Mei yang berada pada angka 14,86%. Peningkatan yang terjadi pada ROE di Juni 2017 sejalan dengan turunnya NPL pada periode yang sama serta peningkatan profit perbankan sebesar 1,33%. Meskipun tidak mengalami peningkatan yang signifikan, nilai ROE pada bulan Juni 2017 masih lebih baik jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2016 yang hanya menyentuh level 13,70%. Suku bunga kredit pada bulan Juni 2017 lalu mengalami sedikit penurunan di sisi kredit modal kerja dan kredit konsumsi, sementara suku bunga kredit untuk kredit investasi mengalami sedikit peningkatan. Pada bulan Juni 2017, suku bunga kredit untuk kredit modal kerja mengalami penurunan sebesar 3 bps ke angka 11,2% dan untuk kredit konsumsi turun sebesar 16 bps ke angka 13,21%. Sementara suku bunga kredit untuk kredit investasi mengalami peningkatan sebesar 4 bps ke angka 11%. Data Juni 2017 menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi di sisi penempatan dana antar bank riil, yaitu dari Rp 122,5 triliun pada Mei 2017 lalu menjadi Rp 146,7 triliun. Sementara, JIBOR O/N mengalami penurunan sebesar 5 bps, yaitu dari 4,41% pada bulan Juni 2017 menjadi 4,36% pada bulan Juli 2017.
Sumber: LPS Gambar 21. Sub Indeks Interbank Pressure (IP) dan Market Pressure (MP) Pada akhir bulan Juli 2017, Sub Indeks MP mengalami peningkatan. Peningkatan ini dipicu oleh melemahnya kurs tengah rupiah terhadap dolar AS, dari 13.319 di bulan Juni 2017 menjadi 13.323 di bulan Juli 2017 serta meningkatnya imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun. Sementara Sub Indeks MP lainnya, yaitu indeks harga saham gabungan (IHSG) berada pada trend meningkat sejak September 2015. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun mengalami peningkatan dari 6,83% pada akhir Juni 2017 menjadi 6,95% pada akhir Juli lalu. Tekanan yang terjadi pada pasar obligasi dipicu oleh prospek pengetatan moneter dari berbagai Bank Sentral global, sebagai contoh The Fed yang telah menaikan suku bunganya pada Rapat FOMC bulan Juni 2017. Dari dalam negeri,
34
target defisit anggaran yang ditetapkan pemerintah sebesar 2,9% terhadap PDB diperkirakan turut menekan kinerja pasar obligasi Indonesia. Sementara itu, IHSG pada penutupan di akhir Juli 2017 mencapai 5.840,94 atau meningkat 11,23 poin dari posisi akhir Juni 2017 dan menyentuh angka tertingginya sepanjang sejarah. Pada penutupan bulan Juli lalu, sektor saham hingga perdagangan sore variatif. Tercatat sebesar 17 3 saham menguat, 172 saham melemah, dan 109 saham stagnan. Kenaikan tertinggi dipimpin oleh sektor properti yang naik 1,75% diikuti sektor perdagangan dengan tambahan 1,06%. Sementara, sektor yang melemah terdalam adalah aneka industri yang turun 1,05%.
35
PENGARAH Fauzi Ichsan, Didik Madiyono KOORDINATOR Moch. Doddy Ariefianto, Hendra Syamsir, Seno Agung Kuncoro ANALIS Ahmad Subhan, Seto Wardono, Dienda Siti Rufaedah Laporan Perekonomian dan Perbankan ini dipublikasikan dalam rangka pelaksanaan fungsi Lembaga Penjamin Simpanan untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Tujuan penerbitan laporan ini adalah untuk meningkatkan wawasan dan kewaspadaan publik terhadap berbagai potensi risiko perekonomian dan sistem keuangan ke depan. Laporan Perekonomian dan Perbankan ini memuat hasil monitoring dan analisis Lembaga Penjamin Simpanan mengenai perkembangan ekonomi makro, pasar keuangan, perbankan, industri, dan indeks stabilitas perbankan Pendapat / Saran / Komentar dapat ditujukan kepada : Group Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko Equity Tower lantai 39 Sudirman Central Business District (SCBD) Lot 9 Jalan Jend. Sudirman Kav. 52-53 Jakarta 12190 Telp : +62 21 515 1000 ext 340 Email :
[email protected] Website : www.lps.go.id
36
Lampiran
Proyeksi Besaran Ekonomi Makro dan Perbankan Terpilih Variabel
2013
2014
2015
2016
2017P
2018P
PDB Nominal (Triliun Rp)
9.546
10.570
11.532
12.407
13.800
15.366
PDB Nominal (Miliar US$)
916
890
861
933
1.036
1.144
PDB Riil (% y/y)
5,6
5,0
4,9
5,0
5,1
5,3
Inflasi (akhir periode, % y/y)
8,1
8,4
3,4
3,0
4,4
4,0
Inflasi (rata-rata, % y/y)
6,4
6,4
6,4
3,5
4,1
4,1
USD/IDR (akhir periode)
12.189
12.440
13.795
13.436
13.300
13.450
USD/IDR (rata-rata)
10.452
11.879
13.392
13.307
13.350
13.450
7,50
7,75
-
-
Variabel Kunci
BI Rate (akhir periode) BI 7-Day Reverse Repo Rate (akhir periode) Surplus/Defisit Fiskal (% PDB)
(2,2)
(2,2)
7,50 6,25
4,75
4,75
5,00
(2,5)
(2,5)
(2,5)
(2,5)
Sustainabilitas Eksternal Ekspor Barang (% y/y) Ekspor Barang (Miliar US$) Impor (% y/y)
(2,8)
(3,7)
(14,9)
(3,1)
6,7
7,2
182,1
175,3
149,1
144,4
154,2
165,2
(1,3)
(4,5)
(19,7)
(4,5)
4,9
7,5
Impor (Miliar US$)
176,3
168,3
135,1
129,0
135,3
145,4
Neraca Berjalan (Miliar US$)
(29,1)
(27,5)
(17,5)
(16,9)
(19,3)
(24,2)
Neraca Berjalan (% PDB)
(3,1)
(3,1)
(2,0)
(1,8)
(1,9)
(2,1)
Cadangan Devisa (Miliar US$)
99,4
114,3
105,9
116,4
128,8
138,2
Utang Luar Negeri (% PDB)
29,1
32,9
36,1
34,0
33,5
32,3
Konsumsi Swasta
5,5
5,3
4,8
5,0
5,1
5,2
Konsumsi Pemerintah
6,7
1,2
5,3
(0,1)
6,2
7,0
Pembentukan Modal Tetap Bruto
5,0
4,4
5,0
4,5
5,2
6,0
Ekspor Barang dan Jasa
4,2
1,1
(2,1)
(1,7)
5,6
6,1
Impor Barang dan Jasa
1,9
2,1
(6,4)
(2,3)
3,5
5,1
Sektor Primer
3,5
2,6
0,8
2,4
3,2
3,4
Sektor Sekunder
4,4
4,6
4,3
4,3
4,5
5,0
Sektor Tersier
6,3
6,2
5,5
5,5
5,8
6,3
1 Tahun
5,7
6,9
7,3
6,7
6,1
6,1
3 Tahun
5,9
7,6
7,9
7,4
6,8
7,0
5 Tahun
6,0
7,9
8,1
7,4
6,8
7,2
10 Tahun
6,5
8,2
8,2
7,6
7,1
7,5
20 Tahun
7,3
8,7
8,5
8,0
7,7
8,1
Pinjaman
21,6
11,6
10,4
7,9
9,2
10,0
Dana Pihak Ketiga
13,6
12,3
7,3
9,6
7,2
7,6
Loan to Deposit Ratio (%)
89,9
89,3
92,0
90,5
92,1
94,1
PDB Riil menurut Pengeluaran (% y/y)
PDB Riil menurut Industri (% y/y)
Yield SUN Rupiah (rata-rata, %)
Perbankan (% y/y)
Sumber: LPS
38
Jadwal Rilis Data dan Peristiwa Penting 1 September - 30 September 2017 Negara
Tanggal
Indikator/Peristiwa
Amerika Serikat
1-September-17
Tingkat Pengangguran Agustus 2017
14-September-17
Inflasi Agustus 2017
21-September-17
Rapat FOMC
7-September-17
Suku Bunga Acuan
15-September-17
Neraca Perdagangan Juli 2017
18-September-17
Inflasi Agustus 2017
20-September-17
Neraca Perdagangan Agustus 2017
21-September-17
Suku Bunga Acuan
29-September-17
Inflasi Agustus 2017
1-September-17
PDB 2Q17
1-September-17
Neraca Perdagangan Agustus 2017
29-September-17
Tingkat Pengangguran Agustus 2017
5-September-17
Inflasi Agustus 2017
11-September-17
Neraca Perdagangan Juli 2017
11-September-17
PDB 2Q17
15-September-17
Suku Bunga Acuan
8-September-17
Neraca Perdagangan Agustus 2017
12-September-17
Inflasi Agustus 2017
8-September-17
Neraca Perdagangan Agustus 2017
9-September-17
Inflasi Agustus 2017
5-September-17
PDB 2Q17
20-September-17
Inflasi Agustus 2017
4-September-17
Inflasi Agustus 2017
15-September-17
Neraca Perdagangan Agustus 2017
22-September-17
Suku Bunga Acuan
Zona Euro
Jepang
Brazil
Rusia
India China Afrika Selatan Indonesia
Sumber: LPS
39
www.lps.go.id