PERGULATAN WACANA ADMINISTRASI NEGARA Oleh: Hamka Hendra Noer *)
ABSTRAK Konsepsi administrasi negara atau administrasi publik bukan kajian baru di Indonesia, bahkan kajian ini berkembang pesat sejalan dengan perkembangan praktek tata pemerintahan. Perkembangan administrasi negara membawa pengaruh besar dalam keilmuwan administrasi negara di berbagai belahan dunia. Tidak saja di negara asalnya dan di negara maju lainnya, di negara-negara berkembang terutama Indonesia, wacana keilmuwan administrasi negara berkembang cepat dan begitu dinamis. Secara konseptual telah terjadi perkembangan yang sangat signifikan dalam teori dan paradigma administrasi negara di Indonesia. Perkembangan ini tentu saja dipelopori oleh kalangan akademisi kampus yang menggeluti administrasi negara maupun masyarakat luas yang memiliki kepedulian terhadap administrasi negara. Fakta ini dapat di lihat dari dinamika keilmuwan yang berkembang di berbagai perguruan tinggi negeri, swasta dan perguruan tinggi kedinasan yang menyelenggarakan program administrasi negara. Begitu dinamisnya perkembangan administrasi negara, satu hal prinsipil yang perlu menjadi acuan adalah, administrasi negara dibentuk untuk mengabdi kepada publik dan tidak boleh memihak kepada salah satu kepentingan politik apapun, dengan alasan apapun. Administrasi negara harus netral dan tidak partisan agar pelayanan kepada publik dapat dilakukan dengan adil tanpa membedabedakan satus sosial, jabatan dan preferensi politik seseorang ataupun kelompok tertentu. Kata Kunci: Paradigma Administrasi Negara, Governance Administrasi negara atau administrasi publik bukan kajian baru di Indonesia, bahkan kajian ini sempat berkembang pesat sejalan dengan perkembangan praktik tata pemerintahan. Kondisi inilah yang mengidentikkan administrasi negara dengan administrasi publik (public administration) yang sebagian besar pandangannya berfokus pada negara (state centris). Reformasi administrasi negara sebagai salah satu bidang kajian administrasi selalu menarik untuk dikritisi. Secara teoritis, lahirnya gejala ini sebagai konsekuensi-logis dari adanya kecenderungan pergeseran perkembangan ilmu administrasi negara yang beralih dari normative science ke pendekatan behavioral-ekologis.
Sejak Wilson „menggegerkan‟ publik Amerika Serikat melalui tulisannya yang fundamentatif berjudul; “The Study of Administration” (1887) dalam jurnal Political Science Quarterly, maka administrasi negara mulai berkembang sampai ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sejak dekade 1990-an, administrasi negara telah berkembang pesat dibandingkan zamannya Wilson. Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan ilmu administrasi negara begitu masif terjadi di negara asalnya Amerika Serikat dan negara-negara AngloSaxon lainnya seperti Inggris, Kanada, Australia dan Selandia Baru. Sedangkan di negara-negara berkembang, dinamika administrasi negara tidak begitu intens karena
*) Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Azzahra
masih kuatnya kontrol politik, birokrasi dan budaya. Dinamika ini membawa pengaruh besar dalam keilmuwan administrasi negara di berbagai belahan dunia. Tidak saja di negara asalnya dan di negara maju lainnya, di negara-negara sedang berkembang, terutama Indonesia, wacana keilmuwan administrasi negara berkembang cepat dan begitu dinamis. Secara konseptual telah terjadi perkembangan yang sangat signifikan dalam teori dan paradigma administrasi negara di Indonesia. Perkembangan ini tentu saja dipelopori oleh kalangan akademisi kampus yang menggeluti administrasi negara maupun masyarakat luas yang memiliki kepedulian terhadap administrasi negara. Fakta ini dapat di lihat dari dinamika keilmuwan yang berkembang di berbagai perguruan tinggi negeri, swasta dan perguruan tinggi kedinasan yang menyelenggarakan program administrasi Negara. Setiap tempat yang menyelenggarakan pendidikan administrasi negara memiliki kekhasan tersendiri dan berbeda satu sama lain. Dinamika ini lebih disebabkan karena interpretasi yang berbeda tentang teori, konsep dan paradigma administrasi negara yang berkembang dalam keilmuwan administrasi negara. Keilmuwan administrasi negara di Indonesia berlangsung dalam kondisi yang dinamis sudah terasa sejak terjadinya reformasi politik di Indonesia yang ditandai dengan lengsernya Orde Baru tahun 1998 hingga saat ini, dialektika keilmuwan administrasi terjadi begitu dinamis. Masing-masing jurusan/departemen /program studi yang menawarkan pendidikan administrasi negara diberbagai perguruan tinggi di Indonesia memiliki cakrawala keilmuwan yang berbeda satu sama lain. Lebih jauh, hal ini menimbulkan
perspektif yang berbeda dalam memandang dan menjalankan pendidikan administrasi negara. Dalam konteks kekinian, perkembangan dan dinamika yang sangat menarik untuk disoroti adalah dialektika dan perdebatan tentang administrasi ”negara” dan administrasi ”publik”. Sekilas, persoalan ini terkesan sederhana karena hanya menyangkut masalah nama (label). Namun, lebih dari itu perkembangan dan dinamika ini memiliki akar filosofis dan historikal yang panjang serta layak untuk dianalisis karena berkaitan dengan identitas administrasi negara Indonesia itu sendiri. Tulisan ini pada intinya akan menyoroti perkembangan dan dinamika administrasi negara di Indonesia, termasuk wacana keilmuwannya, yang dimotori dan dikembangkan oleh masing-masing perguruan tinggi di Indonesia, pemikirannya dan utamanya pada pergulatan wacana administrasi negara. Sebelum membahas persoalan pokok, tulisan ini didahului oleh pendahuluan, kemudian sekilas tentang konsepsi administrasi negara, paradigma teori administrasi negara, sedikit tinjauan administrasi negara di negara maju, begitupun bagaimana perkembangan administrasi negara di Indonesia dan diakhiri dengan penutup. Konsepsi Administrasi Negara Membincangkan tentang konsepsi administrasi negara, jauh sebelum lahirnya konsepsi Wilson, administrasi negara sudah ada sejak abad ke-15. Namun, dalam prakteknya administrasi negara sudah ada sejak dikenalnya negara kota di Athena jauh sebelum abad ke-15. Untuk mengurus dan melaksanakan pemerintahan, tentu membutuhkan administrator negara yang andal, administrator inilah yang sekarang
ii
dikenal dengan birokrasi. Perbedaannya adalah permasalahan publik pada masa itu belum sekompleks sekarang sehingga tugas dan fungsi administrasi negara belum terlalu menonjol. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri dan terpisah dari ilmu politik, administrasi negara baru menemukan jati dirinya sebagai sebuah ilmu pada abad ke-19, yaitu ketika Wilson menulis The Study of Administration. Pada zamannya Wilson, administrasi dipahami sebagai pelaksanaan tugas-tugas rutin pemerintah dan sebagai implementasi kebijakan publik. Dengan demikian, administrasi harus dipisahkan dengan politik. Pemikiran inilah yang mendasari munculnya paradigma dikotomi politik dan administrasi. Lebih jauh Wilson (1987) menyatakan: Administration is the most obvious part of government; it is the executive, the operative, the most visible side of government, and is of course as old as government itself. It is government in action, and one might very naturally expect to find that government in action had arrested the attention and provoked the scrutiny of writers of politics very early in the history of systematic thought.
mengabdi kepada publik dan tidak boleh memihak kepada salah satu kepentingan politik apa pun, dengan alasan apa pun. Administrasi negara harus netral dan tidak partisan agar pelayanan kepada publik dapat dilakukan dengan adil tanpa membeda-bedakan status sosial, jabatan dan preferensi politik seseorang (Sylves 2009: 26). Kalau demikian, muncul pertanyaan siapa sebetulnya publik itu? Mengikut defenisi beberapa pakar, bahwa publik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat luas dan untuk kepentingan orang banyak. Publik bisa berarti negara berserta otoritas dan alat kelengkapannya, organisasi masyarakat sipil, organisasi privat, organisasi pendidikan, organisasi keagamaan, bahkan organisasi terkecil seperti RT sekalipun merupakan manifestasi dari publik (Bryner 1987; Cooper 1990; Canton 2009). Jadi adalah salah apabila ada pendapat yang menyatakan bahwa publik itu hanyalah negara, di luar negara bukanlah publik. Konsep publik itu sendiri tidak hanya menjadi monopoli negara, tetapi lebih dari itu publik merupakan domain yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat secara luas.
Dalam pandangan klasik Caiden (1982: 12), administrasi negara dipahami sebagai implementasi kebijakan yang dibuat oleh pejabat publik, penggunaan kekuasaan untuk memaksakan aturan bagi menjamin kebaikan publik dan relasi antara publik dan birokrasi yang telah ditunjuk untuk melaksanakan kepentingan bersama. Oleh itu, administrasi negara dibentuk untuk menyelenggarakan kepentingan publik dan melayani publik. Pada prinsipnya, administrasi negara dibentuk untuk
Paradigma Negara
Teori
Administrasi
Dalam melihat perjalanan panjang teoritisasi administrasi negara perlu cara pandang yang benar. Dalam perspektif ini, paradigma atau model adalah salah satu cara pandang akademisi tentang suatu permasalahan atau fenomena sosial. Mengikut Henry, paradigma digunakan sebagai alat analisis untuk memotret dan memecahkan masalah-masalah sosial. Mengapa harus paradigma?
iii
Karena paradigma lebih berhasil memecahkan persoalan-persoalan yang sulit dibandingkan dengan metode lain yang digunakan oleh para praktisi (Henry 1995: 22). Konsep paradigma sendiri sebenarnya berasal dari ilmu-ilmu alam yang kemudian diadopsi oleh pakar ilmu sosial guna memecahkan masalah-masalah sosial yang semakin rumit (Cook 1990: 26). Di sisi lain, administrasi negara juga memiliki paradigma atau cara pandang yang dapat dibagi berdasarkan konteks waktu kemunculannya. Henry membagi paradigma administrasi negara atas lima paradigma secara diakronis. Menurut Henry (1995: 23-24) paradigma dalam administrasi negara terdiri atas lima model, yaitu: (1) dikotomi politik-administrasi (19001926), (2) prinsip-prinsip administrasi (1927-1937), (3) administrasi sebagai ilmu politik (1950-1970), (4) administrasi negara sebagai manajemen (1956-1970), dan (5) administrasi negara sebagai administrasi negara (1970). Apabila mencermati pendapat Henry di atas, maka akan terlihat ada keterputusan ide pada paradigma kelima karena Henry hanya menyebutkan bahwa paradigma kelima dimulai pada tahun 1970, tetapi tidak pasti akan berakhir sampai kapan. Bahkan terakhir revisi yang keenam terhadap bukunya, Henry belum berani mengungkapkan apakah paradigma administrasi negara sebagai administrasi negara masih relevan sampai saat ini. Padahal dinamika administrasi negara berlangsung sangat cepat karena perkembangan zaman yang semakin dinamis. Pertanyaan kemudian yang perlu diajukan adalah, apakah administrasi negara masih berada pada paradigma kelima? Atau apakah
paradigma kelima masih relevan atau tidak untuk situasi saat ini? Untuk menjawab pertanyaan di atas, tulisan Denhardt & Denhardt (2009) dalam bukunya: “The New Public Service: Serving, Not Steering”, dapat dijadikan sebagai rujukan. Denhardt & Denhardt membagi paradigma administrasi negara tersebut atas tiga paradigma yaitu, Old Public Administration (OPA), New Public Management (NPM) dan New Public Service (NPS). Paradigma OPA tidak bisa dilepaskan dari paradigmaparadigma klasik dalam administrasi negara yang dikemukakan oleh Henry, sedangkan gagasan mengenai NPM dicover dari pemikiran-pemikiran entrepreneur governmentnya Osborne & Gaebler. Paradigma yang paling mutakhir dalam administrasi negara menurut Denhardt & Denhardt adalah NPS. Kerangka pikir NPS menentang paradigma sebelumnya dari OPA dan NPM. Dasar teoritik paradigma NPS ini dikembangkan dari teori tentang demokrasi, dengan lebih menghargai perbedaan, partisipasi dan hak asasi warga negara. Dalam NPS konsep kepentingan publik merupakan hasil dialog berbagai nilai yang ada di tengah masyarakat. Nilainilai seperti keadilan, transparansi dan akuntabilitas merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam pelayanan publik. Pergeseran paradigma ini dapat di lihat dalam tabel 1.
iv
Tabel 1. Pergeseran paradigma administrasi negara Aspek
Old Public Administration Teori politik
New Public Management Teori ekonomi
New Public Service Teori demokrasi
Kepentingan publik secara politis dijelaskan dan diekspresikan dalam aturan hukum Clients dan constituent Rowing Hierarki administratif dengan jenjang yang tegas
Kepentingan publik mewakili agregasi kepentingan individu
Kepentingan publik adalah hasil dialog berbagai nilai
Customer
Citizen‟s
Steering Bekerja sesuai dengan kehendak pasar (keinginan pelanggan)
Struktur organisasi
Birokratik yang ditandai dengan otoritas top-down
Desentralisasi organisasi dengan kontrol utama berada pada para agen
Asumsi terhadap motivasi pegawai dan administrator
Gaji dan keuntungan, proteksi
Semangat entrepreneur
Serving Multiaspek: akuntabilitas hukum, nilai-nilai, komunitas, norma politik, standar profesional Struktur kolaboratif dengan kepemilikan yang berbagi secara internal dan eksternal Pelayanan publik dengan keinginan melayani masyarakat
Dasar teoritis dan fondasi epistimologi Konsep kepentingan publik
Responsivitas birokrasi publik Peran pemerintah Akuntabilitas
Sumber: Denhardt & Denhardt (2009:28-29).
customer yang perlu dilayani dengan standar tertentu saja, tetapi lebih dari itu, mereka adalah pemilik (owner) pemerintah yang memberikan pelayanan tersebut. Perkembangan paradigma teori pada gilirannya memberikan pengaruh pada perkembangan teori administrasi negara. Perkembangan teori administrasi negara dapat dilacak dari aliran atau paradigma yang berkembang dalam ilmu administrasi negara. Moeljarto Tjokrowinoto (1996:169-170) coba mendiskripsikan dengan jelas tentang aliran yang
Menurut Erwan Agus Purwanto (2005: 187), paradigma NPS berpandangan bahwa responsivitas (tanggung jawab) birokrasi lebih diarahkan kepada warga negara (citizen‟s) bukan clients, konstituen (constituent) dan bukan pula pelanggan (customer). Pemerintah dituntut untuk memandang masyarakatnya sebagai warga negara yang membayar pajak. Dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi, sebenarnya warga negara tidak hanya dipandang sebagai
v
berkembang dalam ilmu administrasi negara yang memengaruhi teori-teori administrasi negara ke dalam beberapa pandangan para ahli. Dalam perkembangan teori administrasi negara yang ada saat ini tidak sendirinya muncul begitu saja, tetapi teori tersebut lahir karena perkembangan dialektika paradigma, pemikiran dan aliran dalam administrasi negara. Dari perkembangan paradigma dan aliran akan muncul banyak teori dalam administrasi negara. Namun, dewasa ini hanya beberapa teori saja yang menjadi mainstream dalam administrasi negara. Teori-teori tersebut adalah teori kebijakan publik, teori manajemen publik dan teori governance (Dunn 1999:101). Dari paparan teori-teori tersebut, timbul pertanyaan subtantif adalah bagaimanakah korelasi antara administrasi negara dengan kebijakan publik? Tetapi sebelum mengkaji lebih dalam, maka perlu didefenisikan apa itu kebijakan publik? Mengikut Dye (1975:1) kebijakan publik sering didefinisikan sebagai apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan. Dalam artian, diamnya pemerintah juga merupakan bagian dari kebijakan, yaitu tidak mengambil tindakan apa-apa (status quo). Misalnya, kasus kemacetan parah yang terjadi setiap hari di Jakarta atau banjir yang setiap tahun menjadi langganan warga Jakarta tetapi tidak kunjung diperbaiki oleh pemerintah. Tindakan pemerintah yang tidak mencari solusi kemacetan dan banjir tersebut merupakan bagian dari „kebijakan pemerintah‟. Berkaitan dengan kasus tersebut, pemerintah dapat tidak melakukan apa-apa karena beberapa faktor. Pertama, pemerintah tidak mengambil kebijakan merupakan pilihan yang paling efektif untuk menyelesaikan suatu masalah, contoh
lambatnya tindakan konkret pemerintah dalam menyelesaikan masalah pembubaran Ahmadiyah. Kedua, minimnya anggaran sehingga pemerintah tidak memungkinkan untuk mengambil sebuah kebijakan, misalnya lambatnya kebijakan pemerintah dalam pengangkatan guru honorer karena alasan minimnya anggaran. Ketiga, terkait dengan risiko politik yang akan diterima ketika pemerintah mengambil suatu kebijakan, contohnya abstainnya pemerintah Indonesia dalam pengambilan suara di PBB bagi penjatuhan sanksi terhadap Iran yang dituduh membuat senjata nuklir, pemerintah khawatir diembargo oleh Amerika Serikat apabila mendukung Iran. Keempat, pemerintah diam dan tidak mengambil suatu kebijakan karena desakan publik, contoh kebijakan pembangunan gedung baru DPR yang terpaksa ditangguhkan karena desakan dari berbagai kalangan. Oleh itu, dalam mengambil kebijakan publik perlu metode ilmiah untuk memecahkan masalah publik tersebut. Pertanyaan kemudian adalah, apakah tanggung jawab signifikan administrasi negara terhadap kebijakan publik? Tanggung jawab administrasi negara adalah memformulasikan kebijakan publik yang mampu menguntungkan publik secara luas. Kuatnya tuntutan agar administrasi negara bisa menghasilkan kebijakan yang berkualitas telah mimicu lahirnya kajian analisis kebijakan publik. Terkadang pekerjaan sebagai analis kebijakan adalah pekerjaan yang sulit sekaligus penting. Sulit karena para analis kebijakan harus mencari dan menentukan identitas masalah kebijakan itu dengan hati-hati, baru kemudian dapat merumuskan kebijakan dengan benar. Sebuah masalah harus didefinisikan,
vi
distrukturisasi dan diletakkan dalam batas-batas tertentu dan diberi nama (Parsons 2006: 90). Selanjutnya, agar bisa membuat kesimpulan tentang ‟kebaikan‟ suatu kebijakan, diperlukan seorang analis untuk melakukan penelitian dengan kualitas yang memadai di sekitar masalah kebijakan yang dikajinya (Riant Nugroho 2009: 157). Tetapi dalam realitanya, seringkali analis kebijakan berhadapan dengan logika kekuasaan, kepentingan kelompok dan pressure dalam merumuskan alternatif kebijakan. Benturan ini sering terjadi karena kurangnya pemahaman pemerintah terhadap arti penting analis kebijakan. Apa yang dapat kita dilihat hari ini, banyak anggota DPR dan DPRD yang belum dilengkapi dengan staf ahli yang memadai sehingga mereka kesulitan dalam merancang kebijakan publik yang ilmiah dan menguntungkan masyarakat. Ironisnya, di pemerintah daerah kondisinya lebih memprihatinkan, dimana posisi atau jabatan sebagai staf ahli kepala daerah baik provinsi, kabupaten maupun kota dianggap sebagai jabatan ”buangan” dan kurang populer. Kepala daerah cenderung menempatkan orang-orang yang sudah tidak produktif, nonjob dan akan segera pensiun sebagai staf ahli. Akibatnya, kinerja staf ahli di daerah sering dipertanyakan karena tidak menunjukkan kinerja yang berarti. Inilah realita empirik yang terjadi di negeri kita hari ini.
perkembangan yang sangat cepat, baik dari segi teoritis maupun praktis. Kebanyakan, teori-teori tentang kebijakan publik, manajemen publik, governance, manajemen pembangunan berasal dari negaranegara tersebut. Indonesia pada tahap ini masih sebatas follower dari teori-teori ”asing” tersebut. Kemajuan administrasi negara di negara maju tersebut dipelopori oleh perguruan tinggi yang ada di negara tersebut, terutama yang menyelenggarakan pendidikan administrasi negara, baik di tingkat bacheloriat, Master dan Ph.D. Ilmuwan-ilmuwan administrasi negara dari perguruan tinggi inilah yang melahirkan gagasan dan karya-karya besar sehingga digunakan oleh negara lain. Sebut saja teori tentang analisis kebijakan publik yang dicetuskan oleh Dunn misalnya, merupakan teori yang lahir dari kampus Graduate School of Public and International Affairs (GSPIA) Pittsburgh University di Amerika Serikat. Oleh itu, sistem pendidikan administrasi negara di negara-negara maju juga telah menunjukkan perkembangan yang signifikan sebagai upaya untuk merespon perubahan zaman. Saat ini, sering di jumpai program-program baru yang merupakan cabang-cabang ilmu administrasi sebagai program studi tersendiri, seperti program Master of Public Policy (MPP) di John F. Kennedy School of Government di Universitas Harvard atau program studi Master of Public Management (MPM) di Lee Kuan Yew School of Public Policy National University of Singapore dan program studi Master of Public Management (MPM) di College of Law, Government and International Studies di Universi Utara Malaysia. Namun, tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, tampaknya di
Tinjauan Administrasi Negara Di Negara Maju Administrasi negara di negaranegara maju seperti di Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda dan Singapura telah menunjukkan
vii
negara-negara maju belum memiliki standar yang sama dalam memberikan gelar kepada alumni program master mereka. Di John F. Kennedy School of Government di Universitas Harvard, lulusan pascasarjana public policy diberi gelar Master of Public Policy (MPP), tetapi di Belanda lulusan pada jurusan public policy diberikan gelar Master of Arts (MA) (Hill & Hupe 2006: 17-18). Dari segi penawaran mata kuliah pun, perguruan tinggi di negara maju sudah mulai fokus pada kajiankajian tertentu dan lebih fleksibel dari perguruan tinggi di Indonesia. Mereka selalu kooperatif terhadap bidang kajian tertentu yang menyangkut domain publik. Misalnya, mata kuliah social policy yang ditawarkan di beberapa program pascasarjana administrasi negara di beberapa perguruan tinggi di Australia menandakan bahwa mereka sangat concern terhadap isu-isu dan kebijakan sosial yang berkembang saat ini. Sedangkan di Indonesia, mata kuliah ini merupakan monopoli mereka yang di jurusan kesejahteraan sosial atau pembangunan sosial dan kesejahteraan.
administrasi publik. Jauh sebelum itu, sebenarnya telah terjadi perbedaan perspektif di kalangan teoritisi administrasi negara Indonesia dalam menerjemahkan kata ”public” dalam kata public administration. Ada yang menyamakan istilah publik ini dengan negara, masyarakat dan pemerintah. Namun, banyak pula yang menganggap bahwa publik itu adalah publik yang bermakna luas, tidak hanya pemerintah, tetapi juga swasta dan organisasi masyarakat sipil. Dampak dari perbedaan cara pandang tersebut telah menimbulkan dinamika dalam penamaan jurusan dan pemberian gelar terhadap alumninya. Universitas Indonesia misalnya lebih senang menggunakan nama Ilmu Administrasi dan gelar Sarjana Ilmu Politik (S.IP), tetapi Universitas Gadjah Mada dan Universitas Padjajaran menggunakan istilah administrasi negara dan alumninya diberikan gelar Sarjana Ilmu Politik (S.IP). Sedangkan Universitas Brawijaya sejak lama telah menggunakan nama administrasi publik dengan gelar akademik Sarjana Administrasi Publik (S.AP). Baru-baru ini, Universitas Diponegoro dan Universitas Jenderal Soedirman yang sebelumnya bernama administrasi negara, juga ikut-ikutan menggunakan nama administrasi publik. Akibatnya, sering timbul kebingungan di kalangan calon mahasiswa dan mahasiswa yang sedang menempuh studi administrasi negara. Menurut hemat penulis, perubahan nama tersebut tidak akan bermakna apa-apa jika tidak terjadi transformasi di dalam institusi pendidikan administrasi negara di Indonesia. Artinya, perubahan nama seharusnya diikuti dengan perubahan kurikulum, sistem perkuliahan, metode pembelajaran dan mekanisme. Jika tidak terjadi perubahan yang mendasar terhadap pendidikan
Bagaimana Administrasi Negara Di Indonesia Keilmuwan administrasi negara di Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada perdebatan wacana administrasi “negara” versus administrasi “publik”. Banyak pihak yang mendukung perubahan terminologi dari administrasi negara ke administrasi publik, namun tidak sedikit pula yang menentangnya. Akibatnya, terdapat dua kutub ekstrim dalam administrasi negara saat ini yakni mereka yang mempertahankan status quo dan mereka yang menginginkan perubahan menjadi
viii
administrasi negara secara komprehensif, maka perubahan tersebut hanyalah pekerjaan yang siasia. Selain itu, perubahan yang dilakukan harus memiliki landasan berpikir yang logis, rasional dan bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah (scientifically acceptable), bukan hanya karena faktor pesanan dan ego sesaat. Untuk lebih jelas mengenai Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan administrasi negara, dapat di lihat pada tabel 2.
Tabel 2. Daftar Perguruan Tinggi penyelenggara pendidikan administrasi Negara di Indonesia No
Perguruan Tinggi
2
Universitas Gadjah Mada Universitas Indonesia
3
Universitas Brawijaya
4
Universitas Padjajaran
1
Fakultas ISIPOL ISIP Ilmu Administrasi ISIP
Jurusan/Program Studi/Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Ilmu Administrasi
Jenjang (Strata) S1, S2, S3 S1, S2, S3
Administrasi Publik
S1, S2, S3
Administrasi Negara
S1, S2, S3
Sumber: dari berbagai sumber
administrasi publik. Hal ini dapat dibuktikan dari tulisan dan pemikiran akademisi-akademisi administrasi publik Universitas Brawijaya. Sebaliknya, akademisi di Universitas Gadjah Mada begitu gencar dalam mempromosikan administrasi publik. Banyak literatur administrasi negara yang ditulis oleh beberapa akademisi dari Universitas Gadjah Mada menggunakan konsep administrasi publik. Salah satu pakar UGM yang bisa disebut sebagai sebagai pelopor perubahan administrasi negara menjadi administrasi publik adalah Prof. Agus Dwiyanto, karena melalui tulisannya konsep administrasi publik, terutama administrasi publik yang
Dewasa ini mainstream yang sedang berkembang adalah kuatnya dukungan terhadap administrasi publik dari pada administrasi negara. Ini terjadi karena agitasi yang sangat kuat dari beberapa akademisi di perguruan tinggi ternama di Indonesia. Universitas Brawiya dan Universitas Gadjah Mada termasuk dalam perguruan tinggi yang proaktif dalam mengganti administrasi negara menjadi administrasi publik. Universitas Brawijaya memang sudah sejak lama menggunakan konsep administrasi publik daripada Universitas Gadjah Mada, tetapi Universitas Brawijaya tidak terlalu bersemangat dalam mempromosikan ix
berorientasi governance, mendapatkan justifikasi secara akademis. Dwiyanto berpendapat bahwa administrasi publik perlu menambah orientasinya menjadi ilmu yang tidak hanya mengkaji birokrasi, pemerintahan, kebijakan, manajemen publik, tetapi juga concern terhadap masalah-masalah publik. Artinya administrasi publik perlu dipahami sebagai ilmu yang dinamis yang sangat responsif terhadap persoalanpersoalan yang tidak hanya berhubungan dengan pemerintah, tetapi juga menyangkut civil society, mekanisme pasar dan sektor privat asalkan mereka menyediakan kebutuhan publik dan bertindak untuk kepentingan publik serta berorientasi kepada publik. Lebih tegas Agus Dwiyanto menyatakan:
menjadi bagian dari kepentingan publik, maka institusi itu seharusnya menjadi subjek dari studi administrasi publik. …Dengan mendefinisikan ilmu administrasi publik sebagai studi tentang governance, maka ilmu administrasi publik menjadi sangat powerfull dalam menjelaskan masalah-masalah kontemporer dalam administrasi publik (Agus Dwiyanto 2004: 17-18). Sebetulnya dari bahasan Agus Dwiyanto di atas merupakan kelanjutan dari apa yang pernah diungkapkan oleh Denhardt & Denhardt (2009). Denhardt & Denhardt menyatakan bahwa agar administrasi negara bisa eksis di dunia praktikal, maka administrasi negara harus memiliki wawasan berorientasi publik karena bidang administrasi negara berbeda dengan sektor privat dan sektor nirlaba. Seorang administrator publik seharusnya efektif dan responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan publik. Lebih tegas dapat dilihat dari tulisan Denhardt & Denhardt yang menguraikan tentang soal efektif dan reponsif tersebut merupakan inti dari ajaran governance. Denhardt & Denhardt (2009:17-18) menyatakan: The features in turn all derive from the simple fact that the public or nonprofit manager is pursuing public purposes. In terms of the actions and experiences of the public administrator, therefore, we may say that it is the “publicness’ of the work of the public or nonprofit manager that distinguishes public administration from other similar activities. The view of the administrator’s role suggests that, as a public or nonprofit manager, you must operate with one eye toward managerial effectiveness and the
Di dalam studi governance, administrasi publik didefinisikan sebagai proses penggunaan kekuasaan administratif, politik dan ekonomi untuk menyelesaikan masalah-masalah publik. Kelembagaan administrasi publik tidak lagi terbatas pada lembagalembaga lainnya, seperti mekanisme pasar dan organisasi masyarakat sipil. Semua lembaga, baik pemerintah maupun non pemerintah, menjadi subjek dari studi administrasi publik sejauh mereka beroperasi untuk merespons masalah dan kepentingan publik. Dengan kata lain, kriteria untuk membedakan apakah suatu institusi itu menjadi lokus dari ilmu administrasi publik tidak ditentukan oleh kepemilikan dan statusnya, apakah mereka pemerintah, pasar atau asosiasi sukarela, tetapi ditentukan oleh perilaku dan orientasinya. Jika institusi itu menyelenggarakan public goods dan beroperasi untuk mencapai tujuan-tujuan yang
x
other toward the desires and demands of the public. It recognizes that you are likely to experience an inivitable tension between efficiency and responsiveness as you work in governmental or nongovernmental organizations, a tension that will be absolutely central to your work.
bahasa Minangkabau dengan istilah; “petitih pemain andai, gurindam pemain kato” (jadi pemimpin kalau tidak pandai, rusak kampung binasa negara), “bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik” (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat), “panghulu bubuek salah bagalanggang mato urang banyak” (jika pimpinan berbuat salah maka banyak orang yang akan melihat) (Warnis 2012: 40). Dari ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa, masyarakat Minangkabau dari dulu telah menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, responsivitas dalam format yang sederhana, tetapi belum pernah diinstitusionalisasikan. Jadi masih banyak praktik-praktik lain dibelahan bumi nusantara lainnya yang bisa diperkuat karena Indonesia kaya akan nilai-nilai lokal (local wisdom) yang dapat diangkat kepermukaan dan dijadikan basis untuk menyusun teori administrasi negara guna membentuk kemandirian dan identitas sendiri. Dengan demikian, sudah saatnya kita mengubah haluan dari perspektif administrasi negara yang lebih berorientasi outward looking menjadi inward looking.
Apabila dikaji lebih jauh, konsep governance ini lahir di negara Barat. Konsep governance berasumsi bahwa kekuatan negara tidak hanya terpusat pada satu kekuasaan yaitu pemerintah, tetapi sudah mulai terurai kepada kekuasaan-kekuasaan lainnya di luar pemerintah, seperti civil society dan sektor swasta. Civil society dan sektor swasta dapat berkontribusi dalam tata pemerintahan dan kebijakan publik. Governance di sini diartikan sebagai mekanisme, praktik dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalah-masalah publik. Dalam konsep governance, pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi aktor paling menentukan (Hetifah Sj. Soemarto 2004: 1-2). Dalam konteks ini, masyarakat luas, sektor swasta dan sektor-sektor lain di luar pemerintah dapat berperan dalam menentukan dan memecahkan masalah-masalah publik. Konsep governance kemudian diadopsi oleh Bank Dunia (World Bank), United Nation Development Program (UNDP), International Monetary Fund (IMF) dan lembaga-lembaga donor lainnya menjadi good governance. Sebetulnya nilai-nilai transparansi, keadilan, efektivitas dan efisiensi telah sejak lama ada di Indonesia. Sebagai contoh, masyarakat adat di Sumatra Barat, misalnya telah sejak lama mempraktikkan prinsip-prinsip good governance yang dikiaskan dalam
SIMPULAN Dari paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa teori dan konsep administrasi negara telah berkembang dengan pesat. Dari perspektif keilmuwan, wacana keilmuwan administrasi negara di beberapa negara maju dan di Indonesia mengalami dinamika kemajuan yang sangat menggeliat. Namun, kita masih banyak “mengadopsi” teori-teori dari luar untuk membentuk teori. Salah satu teori administrasi negara yang menjadi mainstream adalah teori kebijakan publik. Teori kebijakan
xi
publik mengajarkan cara merumuskan kebijakan publik yang baik dan benar. Dalam merumuskan kebijakan publik, peran analisis kebijakan sangat vital dalam memilih alternatif kebijakan yang memiliki manfaat yang paling tinggi. Sebagai upaya membentuk
kemandirian dan identitas administrasi negara di Indonesia sudah saatnya akademisi administrasi negara menggali nilai-nilai lokal yang berkembang di Indonesia guna merancang teori yang mencerminkan identitas kita sebagai bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Agus
Dwiyanto. 2004. Reorientasi ilmu administrasi publik: dari government ke governance. Pidato pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik UGM. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Argyle, N.J. 1994. Public administration: administrative thought, and the emergence of the nation state. Dlm. Farazmand, A (pnyt.). Handbook of bureaucracy, hlm. 1-16. New York, Basel, Hong Kong: Marcel Dekker. Bailey, M.T. 1992. Do physicists use case studies? thoughts on public administration research. Public Administration Review, (52)1:47-54. Barzelay, M. 1992. Breaking through bureaucracy: a new vision for managing in government. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. Bintoro Tjokroamidjojo. 2000. Reformasi birokrasi pemerintah. Dlm. Selo Soemardjan (pnyt.). Menuju tata Indonesia baru, hlm. 191-208. Jakarta: Gramedia.
xii
Box,
R. 1999. Running government like a business: implications for public administration theory and practice. The American Review of Public Administration, 29(1):19-43. Bryner, G.C. 1987. Bureaucratic discretion: law and policy in federal regulatory agencies. New York: Pergamon Press. Caiden, G.E. 1982. Public administration. Ed. Ke-2. California: Pacific Palisades, Palisades. Canton, L. 2009. Emergency management: concepts and strategies for effective programs. Hoboken, NJ: John Wiley and Sons. Cook, K.S. (pnyt.). 1990. Social exchange theory. London: Sage Publication. Cooper, P.J. 1990. Public law and public administration: the state of the union. Dlm. Naomi B.L & Wildavsky, A (pnyt.). Public administration: the state of the discipline, hlm. 17-41. Chatham, NJ: Chatham House Publishers. Denhardt, R.B & Denhardt, J.V. 2009. Public administration: an action orientation. Ed. Ke-6. Belmont, California: Thomson Wadsworth.
Dunn, W.N. 1999. Pengantar analisis kebijakan publik. Terj. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Dye, T.R. 1975. Understanding public policy. New Jersey: Englewood Cliffs. Erwan Agus Purwanto. 2005. Pelayanan publik partisipatif. Dlm. Agus Dwiyanto (pnyt.). Mewujudkan good governance melalui pelayanan publik, 187-199. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Fadillah Putra. 2009. Senjakala good governance. Malang: Averroes Press. Frederickson, H.G. 1997. The spirit of public administration. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. Frederickson, H.G. 2000. The repositioning of american public administration. American Political Science Association: APSANET. Harrow, J. 2002. New Public Manajement and social justice: just efficiency or equity as well? Dlm. McLaughlin, K., Osborne, S.P & Ferlie, E (pnyt.). New Public Management, 67-95. London: Routledge. Haque, M.S. 2007. Revisiting New Public Management. Public Administration Review, 67(1): 179 – 182. Henry, N. 1995. Public administration and public affairs. Ed. Ke-6. New Jersey: Englewood Cliffs. Hetifah Sj. Soemarto. 2004. Inovasi dan good
governance: 20 prakarsa inovatif dan partisipatif di Indonesia. Ed. Ke-2. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hill, M & Hupe, P. 2006. Implementing public policy. London: Sage. Kamensky, J. 1996. The role of reinventing government movement in federal management reform. Public Administration Review, 56(3):247-256. Miftah Thoha. 2008. Ilmu administrasi publik kontemporer. Jakarta: Kencana. Moeljarto Tjokrowinoto. 1996. Perkembangan mutakhir ilmu administrasi negara. Dlm. Miriam Budiardjo & Tri Nuke (pnyt.). Teori-teori politik dewasa ini, hlm. 1631. Jakarta: Rajawali Press. Osborne, D. & Gaebler, T. 1992. Reinventing government. Reading MA: Addison Wesley Longman, Inc. Parsons, W. 2006. Public policy: pengantar teori dan praktik analisis kebijakan. Terj. Jakarta: Prenada Media. Pierre, J & Guy, B.P. 2000. Governance, politics and the state. London: Macmillan Press. Pollitt, C. 1995. Justification by works or by faiths? evaluating the New Public Management. Evaluation, 1(2):133-154. Riant Nugroho. 2009. Publi policy. Jakarta: Elex Media Komputindo.
xiii
Rosenbloom, D.H. & Kravchuk, R.S. 2005. Public administration: understanding management, politics and law in the public sector. Ed. Ke-6. Singpore: McGraw Hill. Sylves, R.T. 2009. Disaster policy and politics: emergency management and homeland security. Washington, DC: CQ Press. Warnis. 2012. Pasang surut demokratisasi di Mingkabau. Gagasan 3(3):33-43.
Warsito Utomo. 2006. Administrasi publik baru Indonesia: perubahan paradigma dari administrasi negara ke administrasi publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wilson, W. 1987. The study of administration. Political Science Quarterly 2(2): 209-213. Yeremias T. Keban. 2004. Enam dimensi strategis administrasi publik: konsep teori dan isu. Yogyakarta: Gava Media.
xiv