PERLINDUNGAN KONSUMEN ASURANSI PASCA TERBENTUKNYA UNDANG

Download pasca terbentuknya UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka akan dideskripsikan hal- hal yang berkaitan dengan perlindungan...

0 downloads 349 Views 301KB Size
PERLINDUNGAN KONSUMEN ASURANSI PASCA TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN Rovita Ayuningtyas Email : [email protected] Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Abstract Insurance thrive rapid now. Growth of insurance customer increase every year. This case push government to established Otoritas Jasa Keuangan to supervise operation of insurance bussines. This research aims to determine the condition of the protection of insurance customers before and after establishment of law no.21 of 2011 about Financial Service Authority, it will be decribed matters relating to consumer protection insuranve,

Key Words: Insurance Consumer Protection, Financial Services Authority. Abstrak Asuransi berkembang pesat saat ini. Pertumbuhan nasabah asuransi tiap tahun semakin meningkat. Hal ini mendorong pemerintah membentuk Otoritas Jasa Keuangan untuk mengawasi jalannya bisnis asuransi. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi perlindungan terhadap konsumen asuransi sebelum dan pasca terbentuknya UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka akan dideskripsikan halhal yang berkaitan dengan perlindungan konsumen asuransi, Otoritas Jasa Keuangan sangat bergerak aktif, meski bertahap, dalam melindungi konsumen dalam industri keuangan, baik itu perbankan ataupun sektor keuangan non-bank, seperti asuransi. Kata Kunci: perlindungan konsumen asuransi, Otoritas Jasa Keuangan.

A. Pendahuluan Asuransi adalah salah satu bentuk pengendalian resiko yang dilakukan dengan cara mengalihkan atau transfer resiko dari satu pihak ke pihak lain dalam hal ini perusahaan asuransi. Asuransi memiliki manfaat yang di klasifikasikan menjadi 3 yaitu; 1. Manfaat Primer, yaitu pengalihan resiko, pengumpulan dana dan premi yang seimbang. 2. Manf aat Sekunder, yaitu merangsang pertumbuhan usaha, mencegah kerugian, pengendalian kerugian, memiliki manfaat sosial dan sebagai tabungan. 3. Manfaat Tambahan, yaitu sebagai investasi dana dan invisible earnings. Pihak yang mengalihkan resiko disebut konsumen. Konsumen membayar sejumlah uang yang disebut premi dan mendapatkan jaminan dari segi keekonomian apabila terjadi resiko. Pihak penjamin disebut Perusahaan Asuransi. Konsumen bisa mengajukan klaim apabila terjadi musibah

kepada Perusahaan Asuransi. Seiring meningkatnya jumlah konsumen asuransi semakin meningkat juga kasus klaim yang terjadi. Klaim ada yang diterima dan ada yang ditolak oleh Perusahaan Asuransi. Kasus klaim yang ditolak menimbulkan ketidakpuasan konsumen dan apabila hal ini terjadi kebanyakan konsumen tidak bisa berbuat banyak. Berdasarkan hal tersebut dibutuhkan sebuah lembaga yang mengatur dan mengawasi praktek bisnis asuransi yang bisa menjembatani apabila terjadi kasus yang melibatkan perusahaan asuransi dan konsumen. Sesuai dengan amanah Pasal 34 UndangUndang No 23 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia telah lahir Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). UU tersebut diberlakukan mulai 1 Januari 2013. Lembaga Independen tersebut akan ditugaskan untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan bank dan non-bank. Lembaga keuangan non-bank

123

Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015

seperti Asuransi, Dana Pensiun, Bursa Effek/ Pasar Modal, Modal Ventura, Perusahaan Anjak Piutang, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Dengan mulai beroperasinya Lembaga tersebut, maka sejak republik ini berdiri baru pertamakalinya lahir Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi lembaga secara terintegrasi yaitu lembaga keuangan bank dan non bank. Lembaga

2011 akan diberlakukan mulai tahun 1 Januari 2013, dengan tugas untuk mengawasi lembaga keuangan baik bank maupun non bank. Lembaga ini didirikan sesuai dengan amanat pasal 34 UU No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sesuai dengan bunyi pasal 34 tersebut bahwa yang dialihkan adalah tugas pengawasan bank, namun dalam perkembangannya malah tugas pengaturan perbankan juga diambilalih, berarti tidak sesuai dengan bunyi pasal tersebut.

independen tersebut akan mengambil alih tugas pengawasan lembaga keuangan bank dan non yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai pengawas Bank dan Bapepam-LK untuk lembaga keuangan non bank sebagaimana disebutkan di atas.

Tugas pengaturan perbankan yang diambilalih dari Bank Indonesia, dapat mengakibatkan pelaksanaan tugas pengelolaan moneter dapat terganggu karena ketika timbul masalah dengan perbankan, Bank Indonesia sudah tidak berhak mengatur perbankan, padahal pengelolaan moneter tidak lepas dari kinerja perbankan nasional karena sebagaimana disebutkan di atas, perbankan adalah lembaga yang menguasai sekitar 80% sistem keuangan nasional. Sekalipun terdapat pasal-pasal yang memungkinkan OJK dapat berkoordinasi dengan Bank Indonesia apabila perekonomian dalam kondisi krisis, namun pekerjaan koordinasi di negeri ini masih relatif “mahal”, padahal dalam kondisi krisis penanganan harus dilakukan secara cepat. OJK mempunyai wewenang sebagaimana ditetapkan dalam pasal 9 UU No 21 tahun 2011 adalah sebagai berikut : 1. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan; 2. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif; 3. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; 4. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau Pihak tertentu; 5. Melakukan penunjukan pengelola statuter; 6. Menetapkan penggunaan pengelola statuter; 7. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan 8. Memberikan dan/atau mencabut: a. izin usaha; b. izin orang perseorangan; c. efektifnya pernyataan pendaftaran; d. surat tanda terdaftar; e. persetujuan melakukan kegiatan usaha; f. pengesahan;

OJK, adalah institusi yang bukan hanya menyandang independen, berdiri sendiri, namun wewenangnya juga berbeda dengan wewenang lembaga sebelumnya yakni Bank Indonesia yang selama ini tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan, namun OJK memiliknya. Selain hal tersebut, OJK juga memiliki kewenangan untuk memungut fee dari lembaga keuangan yang diawasinya. Fee tersebut akan digunakan sebagai biaya operasional lembaga yang baru lahir tersebut. Sungguh suatu hal yang menarik, sebuah lembaga yang dikatakan independen menarik fee (iuran) dari lembaga yang diawasinya. Selama ini pengawasan perbankan dilakukan oleh Bank Indonesia dengan anggaran untuk keperluan tersebut seluruhnya atas beban Bank Indonesia tanpa memungut dari lembaga perbankan dan juga tidak dialokasikan dari APBN. Sehubungan dengan sistem baru kinerja institusi keuangan di Indonesia yang nota bene adalah salah satu pilar sistem keuangan dan perekonomian bangsa yang harus dijaga dan tegak berdiri agar tidak menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa secara keseluruhan. Halhal yang perlu dicermati terkait dengan lahirnya lembaga baru tersebut khususnya pada masa transisi penyerahan tugas-tugas tersebut antara lain terkait : wewenang penyidikan, pungutan(fee), sarana dan prasarana, acuan sistem kerja (best practise) lembaga tersebut dengan lembaga-lembaga yang ada di negara lain. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi kinerja misalnya masalah fee (pungutan) akan berpengaruh secara “psikologis” bagi lembaga yang diawasinya(baca: mengurangi ketegaran independensinya). Lembaga Otoritas Jasa Keungan (OJK) telah didirikan dengan Undang-Undang No 21 tahun 124

Rovita Ayuningtyas. Perlindungan Konsumen Asuransi Pasca Terbentuknya Undang-Undang...

g. h.

persetujuan atau penetapan pembubaran; penetapan lain,

Hal yang baru dalam UU OJK ini adalah bahwa OJK berwenang untuk melakukan penyidikan. Wewenang ini tidak dimiliki oleh Bank Indonesia sebagai pengawas bank selama ini. Wewenang yang lebih luas dalam konteks pemeriksaan ini seperti wewenang aparat penegak hukum. OJK dapat bertindak lebih tegas lagi apabila menemukan pelanggaran/penyelewengan dari hasil pemeriksaannya. Namun perlu diingat bahwa sebagaimana diuraikan di atas, industry perbankan adalah industri kepercayaan yang bersifat sistemik. Bagi institusi pengawas/ pemeriksa perbankan punya tugas dilihat dari dua sisi.Sisi penegakan hukum/ketentuan dan sisi lain yakni agar perbankan nasional terus tumbuh dengan sehat, sehingga harus punya strategi agar apabila menemukan pelanggaran ibarat menangkap ikan, jangan sampai airnya keruh. Hal ini agak berbeda dengan aparat penegak hukum lainnya. Perkembangan ekonomi Indonesia melalui perusahaan asuransi adalah seiring dengan munculnya pemikiran dalam masyarakat mengenai suatu ketidakpastian mengenai aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Kesadaran akan resiko yang akan terjadi itulah yang membawa masyarakat untuk terlibat dalam asuransi. Perkembangan usaha perasuransian di suatu negara mengikuti p er ke m ba n g an ek on o m i m a s ya ra k at n y a. Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita masyarakat, makin mampu masyarakat memiliki harta kekayaaan dan makin dibutuhkan pula perlindungan keselamatannya dari ancaman bahaya. Karena pendapatan masyarakat meningkat, maka kemampuan membayar premi asuransi semakin meningkat, dengan demikian, usaha perasuransian juga berkembang. Kasus terbaru yang menggambarkan sulitnya penyelesaian klaim asuransi terjadi pada bulan Mei 2013 pada Asuransi Multi Artha Guna (MAG) Kantor Cabang Yogyakarta dimana penyelesaiannya bisa dikatakan tidak sesuai dengan pertanggungan resiko yang disepakati dalam polis asuransi. Pihak nasabah dalam hal ini merasa tidak menerima nilai pertanggungan sesuai yang dijanjikan karena pihak asuransi memberikan ganti rugi yang tidak sesuai dengan akad perjanjian. Sampai saat ini penyelesaian kasus ini masih belum ada berita dan titik temu yang

dapat diterima pihak nasabah. Asuransi harusnya berperan lebih baik akan perjanjian pertanggungan. Hal itu semua sudah diatur dalam dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian beserta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1992 jo Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Dari deretan peraturan yang mengatur perasuransian dibutuhkan sebuah lembaga independen yang mengawasi industri keuangan yang terjadi di Indonesia, termasuk asuransi itu sendiri. Lembaga itu adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Saat Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian yang berisi sanksi terhadap perusahaan perasuransian kurang diindahkan dalam perjalanannya, maka pembentukan lembaga OJK yang bersifat independen ini dianggap tepat. Dalam Pasal 6 huruf (c) UU No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan disebutkan bahwa melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Perusahaan perasuransian diatur dan diawasi menjadi sangat lebih ketat, sementara konsumen mendapat perhatian yang utama pasca dibentuknya Lembaga OJK ini.

B. Perlindungan Konsumen Konsumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen didefenisikan sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala kebutuhan konsumen.

125

Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015

Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari ”benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkab atas hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen. Di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi.Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasayang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsum Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat kentungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat 126

potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan diatas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945. Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsume ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti: 1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang-undang; 2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene; 3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; 4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; 5. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;

Rovita Ayuningtyas. Perlindungan Konsumen Asuransi Pasca Terbentuknya Undang-Undang...

6.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; 7. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan; 8. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri; 9. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 10. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World Tujuan perlindungan konsumen Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen; 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; 6. Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. 1.

Hak dan Kewajiban Konsumen a. Hak-Hak Konsumen Sebagai pemaka i barang/ jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hakhaknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.

Berdasarkan UU Perlindunga n konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut: 1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa. 2) Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan . 3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa. 4) Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan. 5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 6) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. 7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif. 8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Konsumen asuransi adalah Setiap orang yang terikat ke dalam sebuah perjanjian asuransi. Keputusan konsumen saat memilih dan menggunakan produk dalam sektor jasa merupakan pengambilan keputusan oleh konsumen dalam memilih, membeli, memakai serta memanfaatkan produk, jasa, gagasan, atau pengalaman dalam rangka memuaskan kebutuhan dan hasrat konsumen. Tujuan konsumen ada pada Pasal 3 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Melihat tujuan yang ingin dicapai Udang-Undang Perlindungan Konsumen ini adalah ingin memberikan keadilan serta kepastian hukum bagi konsumen serta diharapkan

127

Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015

agar konsumen lebih terlindungi dalam hal pemenuhan barang dan atau jasa ataupun dalam rangka memperoleh ganti kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa, termasuk dalam hal perasuransian. (Undang-undang Perlindungan konsumen 1999:8)

adalah sebagai berikut: 1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Ada beberapa hak –hak tertanggung dan penanggung dalam perjanjian asuransi yang disepakati. 1) 2) 3)

Hak tertanggung adalah: Menuntut agar polis ditandatangani oleh penanggung (Pasal 259 KUHD) Menuntut agar polis segera diserahkan oleh penanggung (Pasal 260 KUHD Meminta ganti kerugian

Hak penanggung adalah: 1) Menuntut pembayaran premi kepada tertanggung sesuai dengan perjanjian. 2) Meminta keterangan yang benar dan lengkap kepada tertanggung yang berkaitan dengan obyek yang diasuransikan kepadanya. 3) M e m i l i k i p r em i d a n b a h k a n menuntutnya dalam hal peristiwa yang diperjanjikan terjadi tetapi disebabkan oleh kesalahan tertanggung sendiri. (KUHD Pasal 276) 4) Memiliki premi yang sudah diterima dalam hal asuransi batal atau gugur yang disebabkan oleh perbuatan curang dari tertanggung. (KUHD Pasal 282) melakukan asuransi kembali kepada penanggung yang lain, dengan maksud untuk membagi risiko yang dihadapinya (KUHD Pasal 271)

b.

Beberapa industri dan lembaga perlindungan konsumen adalah: Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), Dewan Asuransi Indonesia (DAI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kewajiban Konsumen Kewajiban konsumen berdasarkan UU Perlindungan Konsumen Pasal 5,

128

c.

Asuransi Asuransi adalah serapan kata dari assurantie (Belanda), assurance (Inggris). Istilah asli dalam bahasa Belanda yaitu , yang berarti pertanggungan.

Pengertian asuransi menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No.2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian adalah: “Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak Penanggung mengikatkan diri kepada Tertanggung, dengan menerima premi asuransi, memberikan penggantian kepada Tert a ng gu ng ka re n a k eru gia n , kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita Tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seorang yang dipertanggungkan.” 1) 2) 3) 4)

Unsur-unsur asuransi: Unsur Subyek Unsur Obyek Status pihak-pihak Peristiwa asuransi

Dalam hubungannya dengan tujuan asuransi Wirjono Projodikoro menyatakan bahwa perjanjian asuransi mempunyai tujuan yaitu : 1) tujuan ekonomis (economisch-doel) yaitu seseorang akan melakukan perjanjian a suransi apabila ia

Rovita Ayuningtyas. Perlindungan Konsumen Asuransi Pasca Terbentuknya Undang-Undang...

2)

merasa tidak dapat atau tidak mau menanggung sendiri suatu risiko material, dengan demikian terdapat 2 fungsi yaitu pemindahan risiko dan pembagian risiko. Tujuan sosial (sociale-doel) yaitu adanya perhatian terhadap para korban. Dengan adanya asuransi itu diharapkan agar supaya para korban yang termasuk golongan yang tidak mampu tidak berada dalam keadaan terlantar dan tanpa suatu sumber penghasilan. (Wirjono Projodikoro: 2012)

Asas-asas dalam asuransi, yaitu: Asas Indemnitas, Asas Kepentingan (Insubrable Interest), Asas itikad baik (Good Faith), Asas subrogasi pada penanggung.

D. Otoritas Jasa Keuangan Di Indonesia, Bank Indonesia (BI) merupakan bank sentral yang melakukan pengawasan industri jasa keuangan. Seiring berjalannya waktu fungsi pengaturan dan pengawasan yang dimiliki BI berpindah pada sebuah lembaga pengawasan industri jasa keuangan yang independen, yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pasal 7 Undang-undang Bank Indonesia ditentukan bahwa Bank Sentral mempunyai tugas utama mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Mata uang rupiah perlu dijaga dan dipelihara karena dampak yang ditimbulkan apabila suatu mata uang tidak stabil sangatlah luas seperti salah satunya adalah inflasi yang memberatkan masyarakat luas. Oleh karena itu, tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah sangatlah penting. Adapun maksud dari kestabilan nilai rupiah adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang dapat diukur dengan atau tercermin dari perkembangan laju inflasi dan kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang asing. Hal ini dapat diukur dengan atau tercermin dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. (Kasmir, 2009:180) Undang-undang Bank Indonesia meletakkan tujuan Bank Indonesia tersebut dalam Pasal 7, dan untuk mencapai tujuan tersebut, Pasal 8 Undangundang Bank Indonesia menetapkan tiga tugas Bank

Indonesia yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan mengawasi system pembayaran, dan mengatur dan mengawasi bank (dialihkan kepada OJK). Setelah pengawasan bank menjadi tugas OJK, Bank Indonesia akan fokus pada otoritas moneter dan system pembayaran. Bank Indonesia diberi kewenangan dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dan lalu lintas pembayaran dengan meggunankan instrument yang dimilikinya.(Anwar Nasution:2013) Bank Indonesia dalam Hukum Perbankan di Indonesia memiliki peranan yang sangat penting. Bank Indonesia sebagai bank sentral berperan dalam menentukan dan memberikan arah perkembangan perbankan karena industri perbankan memiliki fungsi dan peran yang penting dan strategis dalam menggerakkan pembangunan nasional. Kedudukan Bank Indonesia dalam Hukum Perbankan dapat dilihat dari berbagai Peraturan Perundang-undangan di bidang Perbankan antara lain: Undang-undang Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UndangUndang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan sebagai amanat Pasal 34 Undang-undang Bank Indonesia di dasarkan pada prinsip-prinsip reformasi keuangan yaitu Independensi, terintegrasi, dan menghindari benturan kepentingan. (Nurhaida : 2012) Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, OJK berlandaskan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (Good Coorporate Governanofian Efendce). Bank Indonesia memberikan pengertian tentang pemerintahan yang baik adalah sebagai suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara sektor swasta dan masyarakat. (Sofian effendi,1996:47) Asas-asas tersebut adalah independensi, k epa stia n huku m, kep en tin gan um um, keterbukaan, profesionalitas, dan integritas. Tujuan OJK adalah agar keseluruhan kegiatan di dalamindust jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkanindustri keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen. Fungsi OJK adalah untuk menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan

129

Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015

yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam jasa keuangan. OJK diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya sebagai regulator dan pengawas di dunia perbankan, pasar modal, dan perasuransian, dan lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. (Mirza Nasution 2012:4) Tu g a s O J K d a l a m m en g a w a s i b a n k membutuhkan koordinasi dengan Bank Indonesia. Pengawasan bank pada prinsipnya terbagi atas dua jenis, yaitu pengawasan dalam rangka mendorong bank-bank untuk ikut menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter (macroprudential supervision), dan pengawasan yang mendorong bank secara individual tetap sehat serta mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik (micro-prudensial supervison). Untuk pengawasan (macro-prudential supervision) dilakukan oleh Bank Indonesia dan microprudensial supervison dilakukan oleh OJK. (Zulkarnaen Sitompul, 2002:220) Sasaran yang ingin dicapai oleh macroprudential supervision adalah mengarahkan dan mendorong bank serta sekaligus mengawasinya agar dapat ikut berperan dalam program pencapaian sasaran ekonomi makro, baik yang terkait dengan kebijaksanaan umum untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemantapan neraca pembayaran, perluasan lapangan kerja, kestabilan moneter, maupun upaya pemerataan pendapatan dan kesempatan berusaha. Tujuan dari micro-prudential supervision adalah mengupayakan agar setiap bank secara individual sehat dan aman, serta keseluruhan sektor perbankan menjadi sehat dan dapat memelihara kepercayaan masyarakat. Ini berarti setiap bank dari sejak awal harus dijauhkan dari segala kemungkinan risiko yang akan timbul. Dengan demikian bank perlu dipagari dengan berbagai peraturan yang membatasi atau sekurang-kurangnya mengingatkan mengenai perlunya penanganan risiko secara seksama, dan bahkan jika perlu melarang bank melakukan kegiatan tertentu yang mengandung risiko tinggi. (Bismar Nasution :2002) Menurut penjelasan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia, OJK bersifat independen dan dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada diluar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pengertian OJK dalam UU No.21

130

Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang OJK. OJK dibentuk untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan didalam ndust jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sektor keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Sementara fungsi dari OJK itu sendiri adalah untuk menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam bidang jasa keuangan. Tugas OJK dalam Pasal 6 UU No 21 Tahun 2011 yaitu melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar Modal, serta Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Ringkasnya OJK saat ini adalah lembaga yang mengawasi seluruh industri keuangan nasional. Secara perlahan OJK akan mulai melakukan pengawasan industri keuangan nasional. Dalam Pasal 55 UU OJK, OJK akan mengambil peran Bapepam sejak 31 Desember 2012, dan akan mengambil wewenang Bank Indonesia pada pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan. Dengan demikian OJK lebih memiliki pengaturan dan pengawasan yang lebih luas dibandingkan dengan Bapepam-LK dan Bank Indonesia, yaitu semua sector keuangan yang ada di Indonesia.

E. Pengawasan Asuransi dan Perlindungan Asuransi Pasca Terbentuknya OJK 1.

Asuransi Sebelum Terbentuknya OJK

Berdasarkan laporan yang telah dipublikasikan hingga 2011 lalu, investasi perusahaan asuransi jiwa sebesar Rp 200,39 triliun atau naik 20 persen industriperiode yang sama tahun 2010. Sementara investasi asuransi umum naik 18 persen menjadi Rp 39,47 triliun. Aset asuransi jiwa juga naik 20 persen menjadi Rp 225,54 triliun dan ndus asuransi umum naik 17 persen menjadi Rp 53,76 triliun.

Rovita Ayuningtyas. Perlindungan Konsumen Asuransi Pasca Terbentuknya Undang-Undang...

Perusahaan asuransi sangat berkembang, hingga mencapai 864 perusahaan asuransi, dan memberikan ndus yang sangat besar. Semakin banyak perusahaan asuransi, maka seharusnya semakin hati-hati pula masyarakat konsumen untuk memlih asuransi yang tepat. 2.

5.

sebagai hal-hal yang menjadi kewajiban pelaku usaha serta hal-hal yang dilarang untuk dilakukan pelaku usaha adalah merupakan bagian dari pada konsep melindungi konsumen dan menjaga hakhak konsumen.

Perlindungan Konsumen Pasca Terbentuknya OJK Dalam rangkaiannya pada Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2011 Tentang OJK, yang wewenangnya diberikan kepada lembaga yang bernama OJK untuk menerapkan fungsi edukasi dan perlindungan konsumen dalam ndust jasa keuangan. Fungsi edukasi dan perlindungan

Kelebihan OJK Keunggulan OJK adalah ndust ini mempunyai koordinasi untuk antisipasi krisis global yang terjadi sekarang. Selain itu adanya perlindungan nasabah atau konsumen yang telah diatur secara lengkap lewat peraturan baru Peraturan OJK Nomor : 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Pengawasan OJK terhadap jasa keuangan melalui koordinasi antara OJK, otoritas moneter, pemerintah dan LPS, yang telah diatur dalam UU OJK, maka diharapkan semakin bertambahnya lembaga keuangan yang sehat, efektif dan melayani nasabah dengan baik. Itu merupakan elemen penting terciptanya daya tahan ndust keuangan dalam mengatasi gejolak ekonomi nasional.\

P e r l i n d u n g a n K o n s u m e n S e b e l um Terbentuknya OJK Posisi konsumen sebelum terbentuknya OJK adalah memiliki hak yang diatur secara umum dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen. Pada pasal tersebut tertulis jelas apa-apa saja yang menjadi hak dari pada konsumen. Namun secara umum dan luas UU Perlindungan Konsumen memberikan hakhak yang secara tidak langsung ditulis pada UU tersebut. Misalnya pada apa yang diatur

4.

Otoritas Jasa Keuangan juga menerbitkan Peraturan OJK Nomor : 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Konsumen sangat diutamakan dalam peraturan ini. Ini terlihat bagaimana perumusan mengenai perlindungan konsumen ndust jasa keuangan sangat lengkap.

Asuransi Pasca Terbentuknya OJK OJK melakukan pengawasan ketat seperti apa yang tertulis dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian jo Pasal 9 ayat (1) PP No. 63 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, dimana di dalam pasal tersebut dijelaskan mengenai mendapatkan izin serta syarat untuk mendirikan perusahaan perasuransian. Beberapa perusahaan perbankan dan non perbankan mendapat teguran bahkan pencabutan izin usaha oleh OJK. Perusahaan yang tidak sanggup memenuhi modal awal perusahaan dan tidak melakukan mereger sebagai upaya penyelamatan perusahaan, maka OJK segera mencabut izin usaha.

3.

konsumen menjadi nilai tambah tersendiri bagi OJK karena ini menjadi pilar penting bagi OJK untuk mewujudkan ndust keuangan nasional yang baik.

6.

Kelemahan OJK Terbatasnya cakupan OJK pada bank, bank perkreditan rakyat (BPR), dan lembaga keuangan non-bank (LKNB). OJK juga tidak mencakup pada koperasi simpan pinjam, lembaga keuangan, mikro dan BMPT. Selain itu, microprudential yang dipegang OJK dan macroprudential lender of the last di ndust perbankan yang dipegang oleh Bank Indonesia (BI). Pemisahan seperti ini pernah terjadi di Inggris, dan hasilnya membuat perbankan di Inggris akhirnya harus dibailout.

F. Penutup Beberapa peraturan perundangan yang mengatur mengenai usaha perasuransian dan perlindungan terhadap konsumen menjadi modal utama dan fair dalam industri keuangan 131

Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015

Indonesia. Pada akhirnya Pemerintah melalui OJK akan melakukan pengawasan terhadap usaha perasuransian dan membuka pengaduan masyarakat melalui Pembentukan Sistem Pelayanan Konsumen Keuangan Terintegrasi (Financial Customer Care/ FCC) dan Cetak Biru Program Literasi Keuangan Nasional. Konsumen di Indonesia pada umumnya masih mendapat persoalan mengenai pemenuhan hakhaknya secara penuh. Sifat dari konsumen itu sendiri yang tidak memiliki sifat yang kritis untuk memperjuangkan hak-haknya. SDM yang kurang memadai juga akan berpengaruh dalam penjualan asuransi. Kurangnya keseriusan pemerintah dan penegak hukum untuk melakukan perlindungan terhadap konsumen. Untuk itu, sebaiknya dengan adanya OJK ini, konsumen asuransi bisa memberikan data profil selengkap-lengkapnya dan secara transparan agar tidak terjadi kesinambungan antara pihak Perusahaan asuransi dengan konsumennya, supaya hak dan kewajiban antara dua belah pihak dapat dijalankan sesuai aturan yang telah ditetapkan.

Zulkarnain Sitompul, 2002, Perlindungan Dana Nasabah Bank: Suatu gagasan tentang Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia .

Fakultas Hukum

Peraturan Perundang-undangan: Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang N o m o r 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Otoritas Jasa Keuangan.

Buku: Bismar Nasution, Bahan Kuliah Umum Perbankan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Grafindo

Mirza Nasution, 2012, Independensi Otoritas Jasa Keuangan, Medan.

132

Sofian Efendi, 1996, Membangun Martabat Manusia:Peran Ilmu-ilmu social d a l a m Pembangunan, Yogyakarta : Gajah Mada University.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang

Daftar Pustaka

Kasmir, 2009, , Jakarta : PT. Raja Persada.

Nurhaida, 2012, “Reformasi Pengawasan Sektor Jasa Keuangan melalui Pem ben tuka n Otoritas Jasa Keuangan sebagai Upaya Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional, Jakarta.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Perasuransian. Internet : htt p : // w w w. lfi p .o r g / E ngl i sh / p d f/ b alisem inar? Masalah %20sistem%20 keuang an%20dan%20perbankan%20 %anwar%20nasution,pdf