PERSENTASE KARKAS SAPI BALI PADA BERBAGAI BERAT BADAN DAN LAMA

Download adalah: (a) untuk memperoleh bobot tubuh kosong yaitu bobot tubuh setelah dikurangi isi saluran pencernaan, isi kandung kemih dan isi salur...

0 downloads 389 Views 166KB Size
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

PERSENTASE KARKAS SAPI BALI PADA BERBAGAI BERAT BADAN DAN LAMA PEMUASAAN SEBELUM PEMOTONGAN (The Percentage of Carcass in Different Body Weight and Fasting Period Prior to Slaughtering of Bali Cattle) HARAPIN HAFID dan N. RUGAYAH Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Kampus Bumi Tadulako, Tondo Palu 94118

ABSTRACT The purpose of this study was to determine the reduction of body weight carcass and parts of carcass percentage as a result of different fasting period and to determine an appropriate fasting period. This study used 24 male Bali cattle, slaughtered at the Animal Slaughtering House, Kendari. The cattle were examine for health status (ante mortem) and slaughtered property following the Animal Slaughtering House procedure. A direct observation was applied to obtain information of sex, age, breed, body weight, physical characteristics and weights of carcass and its parts. The study was designed according to Group Randomize Design with two replication. The animals were divided according to body weight: K1 = 200 – 220 kg; K2 = 221 – 240 kg; and K3 = 241 – 625 kg. Treatment included fasting period prior to slaughtering but drinking water was provided ad libitum. Fasting periods were PO = control without fasting; P1 = 12 hours fasting; P2 = 18 hours fasting; and P3 = 24 hours fasting. The results showed that (1) Fasting had affected body weight gain of Bali cattle. The longer period of fasting, more reduction in body weight gain; (2) Fasting for 24 hours prior to slaughtering was not affected significantly an the percentage of carcass and its parts; and (3) The average percentage of carcass was 53 – 56% with 21 – 22% front legs and 33 – 37% hind legs; and 40 – 52% chuck, sternum and back with 4% abdominal. The animal slaughtering house is suggested to applied a standard procedure to fast the animal for 24 hours before slaughtering since carcass were not affected. Key Words: Carcass Percentage, Bali Cattle, Body Weight, Fasting Time, Slaughtering ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar persentase penyusutan bobot hidup, persentase karkas dan persentase bagian-bagian karkas sapi Bali akibat perlakuan lama waktu pemuasaan sebelum pemotongan yang berbeda serta lama pemuasaan yang paling efektif. Pada penelitian ini digunakan ternak sapi Bali yang dipotong (disembelih) di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Kendari sebanyak 24 ekor sapi sebagai sampel yang telah menjalani pemeriksaan kesehatan ternak (antemortem) dan layak untuk dipotong. Pengamatan langsung dilakukan untuk mengetahui umur ternak, bobot badan, ciri-ciri fisik ternak, bobot karkas dan bagian-bagiannya. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan dua kali ulangan. Pengelompokan bobot hidup adalah bobot hidup 200 – 220 kg (K1), Bobot hidup 221 – 240 kg (K2) dan Bobot hidup 241 – 265 kg (K3). Perlakuan yang diterapkan adalah penerapan lama pemuasaan sebelum sapi dipotong namun tetap diberikan minum secara ad libitum. Periode pemuasaan sapi sebelum pemotongan terdiri atas: kontrol tanpa pemuasaan (P0), lama pemuasaan 12 jam (P1), lama pemuasaan 18 jam (P2) dan lama pemuasaan 24 jam (P3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Perlakuan lama pemuasaan mempengaruhi besarnya penurunan bobot hidup sapi Bali. Semakin lama sapi Bali dipuasakan maka penurunan bobot hidupnya juga semakin besar, (2) Perlakuan lama pemuasaan sampai 24 jam tidak mempengaruhi besarnya persentase karkas dan persentase bagian karkas sapi Bali secara nyata, (3) Rata-rata persentase karkas sapi Bali adalah 53-56% dengan bagian kaki depan 21 – 22%, kaki belakang 33 – 37%, bagian leher, dada dan punggung 40 – 41% dengan perut 4%. Untuk aplikasi di lapangan pihak

77

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

RPH sebaiknya menerapkan prosedur standar pemuasaan sampai 24 jam sebelum pemotongan sebab tidak berdampak negatif terhadap karkas yang dihasilkan. Kata Kunci:Persentase Karkas, Sapi Bali, Bobot Badan, Lama Pemuasaan, Pemotongan

PENDAHULUAN Pembangunan peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya. Dalam usaha pembangunan tersebut diperlukan perencanaan yang matang sehingga tujuan dan pelaksanaannya dapat dicapai secara optimal. Pembangunan sub sektor peternakan diprioritaskan untuk meningkatkan populasi ternak dan daging guna mencapai swasembada pangan asal protein hewani, penyediaan bahan bahan baku industri dan ekspor serta meningkatkan taraf hidup petani peternak. Daging merupakan salah satu produk utama ternak di samping telur dan susu yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Selain penganekaragaman sumber pangan, daging dapat menimbulkan kepuasaan atau kenikmatan tersendiri bagi yang memakannya karena kandungan gizinya lengkap sehingga keseimbangan gizi untuk kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi. Permintaan akan daging meningkat seiring dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang baik dan meningkatnya pendapatan masyarakat baik di negara yang sedang berkembang maupun di negara-negara maju. Salah satu jenis ternak di Indonesia yang cukup populer untuk menghasilkan daging adalah sapi Bali. Jenis sapi ini sudah banyak dikembangkan oleh masyarakat untuk digemukkan (penghasil daging), sebagai sumber pupuk, tenaga kerja, tambahan pendapatan, tabungan dan penyediaan lapangan kerja (HAFID dan PRIYANTO, 2005; HAFID, 2008). Karkas merupakan produk utama yang dihasilkan setelah ternak disembelih. Kualitas dan kuantitas karkas yang dihasilkan dari seekor ternak selain ditentukan oleh faktor on farm seperti : penggunaan bibit ternak dan teknologi pakan, juga dipengaruhi oleh faktor off farm terutama penanganan ternak pasca panen. Penanganan ternak pasca panen antara lain meliputi transportasi, penyediaan pakan dan minum selama transportasi dan sebelum pemotongan ternak, pengistirahatan ternak dan

78

penanganan ternak sebelum pemotongan. Penanganan ternak pasca panen yang tidak baik merupakan faktor penyebab stress yang potensial bagi ternak yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas dan kuantitas karkas yang dihasilkan (PRIYANTO dan HAFID, 2005; HAFID, 2004). Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penyembelihan ternak adalah ternak harus sehat, ternak yang sudah tidak produktif lagi dan ternak yang disembelih dalam keadaan darurat. Selain itu, ternak harus tidak dalam keadaan lelah atau habis dipekerjakan sehingga harus diistirahatkan. Tujuan ternak diistirahatkan sebelum disembelih adalah agar ternak tidak mengalami stress, agar pada saat disembelih darah dapat keluar sedapat mungkin. Selain itu agar cukup tersedia energi, sehingga proses kekakuan karkas (rigormortis) berlangsung secara sempurna (ANONIMUS, 2001; HAFID 2006). Pada dasarnya ada dua cara untuk mengistirahatkan ternak sebelum disembelih, yaitu dengan dipuasakan dan tanpa dipuasakan. Maksud pemuasaan ternak sebelum disembelih adalah: (a) untuk memperoleh bobot tubuh kosong yaitu bobot tubuh setelah dikurangi isi saluran pencernaan, isi kandung kemih dan isi saluran kencing, (b) untuk mempermudah proses penyembelihan terutama ternak yang agresif atau liar, karena dengan dipuasakan ternak menjadi lebih tenang (PAYNE, 1993). Waktu yang dibutuhkan dalam mengistirahatkan ternak sebelum pemotongan tergantung dari iklim, jarak antara asal ternak dengan rumah potong, perlakuan selama transportasi, jenis transportasi, kondisi kesehatan dan daya tahan ternak (CHAMBERS dan GRADIN, 2001; SOEPARNO, 1998). Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilaksanakan penelitian tentang pengaruh lama pemuasaan sebelum pemotongan terhadap berat dan persentase karkas sapi Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar persentase penyusutan bobot hidup, persentase karkas dan persentase bagian-bagian karkas sapi Bali oleh akibat adanya perlakuan lama waktu pemuasaan

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

sebelum pemotongan yang berbeda serta lama pemuasaan yang paling efektif. Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai bahan informasi bagi masyarakat mengenai perlakuan efektif berupa lama waktu pemuasaan sebelum pemotongan dalam upaya meningkatkan persentase karkas sapi Bali serta sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya. Disamping itu penelitian ini akan mendeskripsikan seberapa besar persentase karkas dan persentase bagian-bagian karkas sapi Bali yang dipotong secara tradisional. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH) Kecamatan Poasia Kota Kendari yang berlangsung selama 2 bulan yaitu pada bulan Oktober sampai Desember 2007. Pada penelitian ini digunakan ternak sapi Bali jantan yang dipotong (disembelih) di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Kendari sebanyak 24 ekor sapi sebagai sampel yang telah menjalani pemeriksaan kesehatan ternak (antemorten) dan layak untuk dipotong. Alat yang digunakan adalah timbangan sapi, timbangan gantung, pisau jagal, alat tulis menulis, dll. Pengambilan data dilakukan melalui dua tahap yaitu wawancara dengan pemilik sapi dan jagal serta pengamatan langsung proses pemotongan sapi. Wawancara langsung dengan jagal dan pemilik sapi dimaksudkan untuk mengetahui asal ternak, jarak transportasi, pola pemeliharaan asal, jumlah ternak per sekali angkut, waktu tempuh perjalanan, jenis kendaraan yang digunakan, kepadatan dan posisi ternak selama pengangkutan. Sedangkan pengamatan langsung dilakukan untuk mengetahui umur ternak, bobot badan, ciri-ciri fisik ternak, bobot karkas dan bagianbagiannya. Untuk menghindari variasi yang besar karena cara pemisahan bagian-bagian karkas maka ditetapkan untuk mengikuti/mengambil data pada seorang jagal yang sama. Untuk verifikasi data digunakan data sekunder yang diperoleh dari pihak RPH berupa laporan bulanan pemotongan sapi pada dua tahun terakhir. Secara kronologis proses pemotongan hewan dan penerapan perlakuan adalah sebagai berikut:

1.

Pemeriksaan kesehatan ternak sebelum dilakukan perlakuan untuk melihat kelayakan sapi untuk dipotong (pemeriksaan antemortem). 2. Pengacakan sapi yang akan diberi perlakuan. 3. Penimbangan bobot badan awal sapi sebelum perlakuan pemuasaan. 4. Waktu penimbangan bobot badan awal dilakukan pada jam yang ditentukan agar rentang waktu sesaat setelah penimbangan sampai sesaat sebelum pemotongan dapat memenuhi satu perlakuan lama pemuasaan. 5. Pemuasaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ternak tidak diberi makan selama waktu tertentu tetapi tetap diberikan air minum secara ad libitum. 6. Perlakuan lama pemuasaan 12 jam, waktu penimbangan bobot awal dilakukan pada pukul 14.00 siang karena pemotongan akan dilakukan pada pukul 02.00 dini hari. Untuk lama pemuasaan 18 dan 24 jam, penimbangan bobot awal dilakukan masing-masing pada pukul 08.00 pagi dan pukul 02.00 dini hari. Sampel percobaan yang tidak dipuasakan dan tidak diistirahatkan merupakan sampel kontrol yaitu sebanyak 6 ekor. 7. Penimbangan sapi sebelum pemotongan untuk mendapatkan data bobot sapi sebelum dipotong. Penyembelihan sapi dilakukan secara tradisional dengan cara mengikat keempat kaki sapi dan membantingnya. Setelah rebah, selanjutnya disembelih. 8. Proses penyembelihan sapi dilakukan secara halal menurut ajaran agama Islam dengan menggunakan pisau tajam memutuskan vena jugularis, arteri carotis, oesophagus dan trachea. 9. Selanjutnya dilakukan pengulitan, eviscerasi dan pengkarkasan (dressing). 10. Data karkas diperoleh dari penjumlahan bagian-bagian karkas yang terdiri dari paha depan kiri dan kanan (blade dan shank), paha belakang (topside, inside, silverside dan shin), daging punggung (cuberoll, sirloin, fillet dan rump), daging perut (flank), daging dada (brisket), tulang belakang (back bone), rusuk (rib meat, spare rib, back rib dan short rib), leher (chuck) dan tulang leher (neck bone).

79

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan dua kali ulangan (STEEL and TORRIE, 1995). Dasar pengelompokan bobot hidup adalah Bobot hidup 200 – 220 kg (K1), Bobot hidup 221 – 240 kg (K2) dan Bobot hidup 241 – 265 kg (K3). Perlakuan yang diterapkan adalah penerapan lama pemuasaan makan sebelum sapi dipotong namun tetap diberikan minum secara adlibitum. Periode pemuasaan sapi sebelum pemotongan terdiri atas: Kontrol tanpa pemuasaan (P0), Lama pemuasaan 12 jam (P1), Lama pemuasaan 18 jam (P2) dan Lama pemuasaan 24 jam (P3). Model linear dari rancangan yang digunakan dalam pengolahan data adalah sebagai berikut: Yijk = µ + τ i +

β j + Єijk

i = 1, 2, 3, 4

j = 1, 2, 3

Persentase bobot karkas yaitu berat dari karkas yang diperoleh melalui proses penimbangan dibagi bobot hidup dikali 100%. 6. Berat bagian karkas diperoleh dari hasil penimbangan bagian-bagian karkas. 7. Berat paha depan diperoleh dari hasil penimbangan bagian paha depan kiri dan kanan. 8. Berat paha belakang diperoleh dari hasil penimbangan bagian paha belakang kiri dan kanan. 9. Berat leher + dada + punggung diperoleh dari hasil penimbangan bagian leher, dada dan punggung. 10. Berat perut diperoleh dari hasil penimbangan bagian perut. 11. Persentase bagian-bagian karkas diperoleh dari pembagian bobot bagian karkas dengan bobot karkas dikali 100%.

k = 1, 2

dimana: Yijk = Hasil Persentase bobot karkas pada pengamatan ke – k dari kelompok bobot potong ke – j yang mengalami periode pemuasaan ke – i. µ = Nilai tengah umum (rata-rata yang sebenarnya) dari hasil persentase bobot karkas. τ i = Pengaruh perlakuan periode pemuasaan ke –i β j = Pengaruh bobot potong ke-j Єij = Pengaruh galat percobaan dari kelompok bobot potong ke-j yang mengalami periode pemuasaan ke-i

Parameter yang diamati Parameter yang akan diamati pada penelitian ini adalah: 1. Berat awal adalah berat sapi sebelum diberi perlakuan pemuasaan. 2. Berat akhir adalah berat sapi setelah perlakuan pemuasaan sebelum sapi dipotong. 3. Penyusutan berat adalah hasil pengurangan antara berat awal dan berat akhir lalu dibagi berat awal dikali 100%. 4. Berat karkas diperoleh dari hasil penjumlahan timbangan bagian-bagian karkas.

80

5.

Analisis data Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (Analysis of Variances). Perbedaan diantara perlakuan diuji dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) menurut petunjuk STEEL dan TORRIE (1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan bobot hidup sapi Bali Rataan penurunan bobot hidup sapi Bali selama perlakuan pemuasaan dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan lama pemuasaan berpengaruh sangat nyata terhadap bobot hidup sapi Bali (P < 0,01). Hal tersebut berarti bahwa dengan pemuasaan terjadi penurunan bobot hidup pada seluruh kelompok sampel percobaan. Pada penurunan bobot badan pemuasaan 24 jam sebesar 3,18%, nyata lebih besar (P < 0,05) dibandingkan dengan penurunan bobot hidup yang terjadi pada pemuasaan 18 dan 12 jam yaitu masing-masing 2,13 dan 1,32%. Data ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan semakin lama periode pemuasaan yang diterapkan pada seekor ternak maka risiko penurunan bobot hidup yang terjadi juga semakin besar.

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

Tabel 1. Rata-rata penurunan bobot badan sapi Bali selama pemuasaan (%) Kelompok bobot hidup (kg)

Lama pemuasaan 12 jam

18 jam

24 jam

-----------------------------%--------------------------200 – 220

0,98

2,01

3,50

(B1)

1,36

2,28

3,30

221 – 240

1,23

2,34

3,28

(B2)

1,30

2,64

2,84

241 – 265

1,56

1,60

2,99

(B3)

1,51

1,91

3,21

a

b

3,18c

Rata-rata

1,32

2,13

Angka yang diikuti superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)

Penurunan bobot hidup sapi Bali pada perlakuan pemuasaan ini diduga hanya disebabkan oleh penurunan bobot isi saluran pencernaan dan kantung kemih dan tidak disebabkan oleh penurunan bobot jaringan tubuh. Menurut PRESTON dan WILLIS (1982) dalam HAFID (2005) bahwa persentase isi saluran pencernaan dapat mencapai 30% dari bobot hidup seekor sapi. Dengan demikian dapat berarti bahwa penurunan bobot hidup dari seekor sapi sebesar 3,18% masih merupakan bobot dari isi saluran pencernaan dan kantung kemih. SHORTHOSE dan WYTHES dalam DEWI (2004) menyebutkan bahwa bobot hidup seekor ternak terdiri atas bobot jaringan tubuh ditambah dengan isi saluran pencernaan dan kantung kemih, sehingga apabila terjadi penyusutan komponen-komponen tersebut dapat mengurangi bobot hidupnya. Susut bobot hidup dipengaruhi oleh lamanya periode pemuasaan (tanpa diberi air minum dan atau tanpa diberi pakan). Adanya kecenderungan bahwa semakin lama periode pemuasaan yang diterapkan maka penurunan bobot hidup juga semakin besar, disebabkan oleh proses urinasi dan defekasi yang lebih banyak yang pada akhirnya berimplikasi pada bobot hidup yang semakin berkurang. MANTRA (1986) dalam DEWI (2004) menyebutkan bahwa pada periode istirahat yang lebih lama, bobot isi saluran pencernaan lebih rendah daripada periode istirahat yang lebih singkat. Artinya bahwa pada periode pemuasaan yang lebih lama akan terjadi urinasi

dan defekasi yang lebih banyak sehingga bobot hidupnya lebih banyak berkurang. Persentase karkas sapi Bali Rataan persentase bobot karkas pada perlakuan periode pemuasaan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2. Persentase bobot karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong dikali 100%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemuasaan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase bobot karkas sapi Bali (P > 0,05). Artinya bahwa periode pemuasaan 12 jam sampai 24 jam yang diterapkan pada sampel percobaan belum menyebabkan terjadinya penurunan persentase bobot karkas sapi Bali secara nyata. Tidak adanya pengaruh yang nyata dari lama pemuasaan terhadap persentase bobot karkas dalam penelitian ini menguatkan dugaan bahwa penurunan bobot hidup sapi Bali yang terjadi hanya disebabkan oleh penurunan bobot isi saluran pencernaan. Menurut SHORTHOSE dan WYTHES (1988) dalam DEWI (2004) bahwa susut bobot hidup dan bobot karkas dipengaruhi oleh lamanya periode pemuasaan (tanpa diberi air minum dan atau pakan). Periode pemuasaan sampai 24 jam memungkinkan ternak untuk masih melakukan proses pencernaan dan retensi makanan. Dalam artian bahwa pemuasaan selama 24 jam belum menyebabkan terjadinya pengrusakan atau perombakan jaringan tubuh secara nyata sehingga tidak menimbulkan penurunan

81

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

Tabel 2. Rata-rata persentase bobot karkas sapi Bali pada periode pemuasaan yang berbeda Kelompok bobot hidup (kg)

Lama pemuasaan Tanpa pemuasaan

12 jam

18 jam

24 jam

---------------------------------%--------------------------------200 – 220

53,73

51,48

48,85

48,84

(B1)

53,20

50,27

47,89

52,54

221 – 240

52,67

57,00

52,35

52,30

(B2)

57,62

52,20

52,86

57,19

241 – 265

57,16

60,31

55,69

60,81

(B3)

57,59

62,30

58,78

57,42

Rata-rata

55,32

55,59

52,72

54,85

Tidak berpengaruh nyata (P > 0,05)

persentase bobot karkas sapi Bali percobaan. Perombakan jaringan tubuh karena adanya desakan kebutuhan energi untuk aktivitas tubuh ternak dapat terjadi apabila energi dari makanan yang dicerna telah habis. Makanan yang dicerna oleh seekor ternak akan dikonversi menjadi zat-zat pembentuk glikogen yang tersimpan di dalam otot dan hati. Glikogen merupakan bentuk simpanan karbohidrat yang utama dalam tubuh ternak yang disintesis dari glukosa dan prekusor lainnya melalui lintasan glikogenesis dan glikoneogenesis. Glukosa itu sendiri merupakan bahan bakar utama yang kaya energi dan dapat dengan cepat diperoleh dari cadangan glikogen jika sel sewaktu-waktu memerlukan energi (TILLMAN et al., 1986). Jika dalam periode waktu tertentu ternak tidak memperoleh asupan makanan maka suplai zat-zat pembentuk glikogen juga akan berkurang atau berhenti. Sementara itu ternak memerlukan energi setiap saat terutama untuk kebutuhan hidup pokoknya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, ternak akan menggunakan sumber energi yang tersimpan dicadangan glikogen yang terdapat di dalam otot dan hati. Artinya bahwa akan terjadi perombakan jaringan tubuh terutama pada otot, bila proses ini terus berlangsung tanpa adanya proses suplai zat pembentuk glikogen atau nutrisi lainnya. Maka akan berakibat pada perombakan jaringan tubuh secara nyata. Hal tersebut dapat diketahui dari penurunan persentase bobot karkas terutama pada persentase otot sapi Bali (HAFID dan NURAINI, 2006; HAFID dan PRIYANTO, 2006a; b).

82

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemuasaan sampai 24 jam belum menyebabkan penurunan persentase bobot karkas secara nyata. Hal tersebut karena dalam waktu 24 jam ternak masih mencerna makanan yang ada di dalam saluran pencernaan yang berfungsi sebagai zat pembentuk glikogen. Artinya bahwa perombakan jaringan tubuh yang terjadi masih diimbangi oleh suplai zat pembentuk glikogen dari makanan yang dicerna. Menurut ABERLE et al. (2001), defesiensi glikogen terjadi apabila ternak yang mengalami stress seperti yang berkaitan dengan kelelahan, latihan, puasa dan gelisah, atau yang langsung dipotong sebelum mendapat istirahat yang cukup untuk memulihkan cadangan glikogen ototnya. Menurut BLAKELY dan BADE (1994) bahwa nutrien pakan dimanfaatkan untuk fungsifungsi tubuh seperti perawatan tubuh dan fungsi produksi. Perawatan tubuh memerlukan nutrien yang digunakan hanya untuk mempertahankan hidup. Perawatan ini meliputi panas untuk mempetahankan suhu tubuh, energi untuk kerja tubuh yang normal serta protein-protein dan mineral untuk penggantian jaringan tubuh yang aus. Rata-rata sepertiga atau separuh nutrien yang ada dalam ransum digunakan untuk mempertahankan atau merawat tubuh. Meskipun pengaruh dari lama pemuasaan terhadap persentase karkas tidak nyata tetapi data yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel percobaan yang dipuasakan selam 12 jam memiliki persentase karkas paling tinggi diantara perlakuan yang lain (55,59%).

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

Sementara persentase karkas paling rendah diperoleh sampel yang dipuasakan selama 18 jam (52,72%). Sampel yang dipuasakan paling lama yaitu 24 jam menghasilkan persentase karkas yang cukup optimal yaitu 54,85%. Selain itu, data yang diperoleh juga menunjukkan bahwa persentase karkas sampel percobaan yang dipuasakan lebih tinggi dibandingkan dengan sampel percobaan yang tidak dipuasakan. Menurut DEVENDRA dan BURNS (1994) dalam HAFID dan SYAM (2002) bahwa metode yang cermat dalam menentukan berat karkas adalah berdasarkan perut kosong, dimana berat isi perut diperhitungkan dari selisih antara berat isi penuh dan perut kosong. Menurut ASGHAR (1982) dalam HAFID dan SYAM (2002) menyatakan bahwa faktor yang turut mempengaruhi persentase karkas adalah volume pakan dan air minum yang mengisi saluran pencernaan. Artinya bahwa semakin sedikit makanan dan air minum dalam alat pencernaan dan kantung kemih maka persentase karkas semakin tinggi. Dalam penelitian ini, pemberian makanan memang dihentikan tetapi pemberian air minum tetap dilakukan secara adlibitum sehingga saluran pencernaan tetap terisi oleh air. Hal tersebut yang kemudian diduga turut mempengaruhi persentase karkas sapi percobaan sehingga pengaruh dari lama pemuasaan selama 24 jam tidak berpengaruh nyata. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemuasaan sapi sampai 24 jam belum menyebabkan terjadinya penurunan persentase karkas. Namun, persentase karkas sapi yang dipuasakan lebih tinggi daripada persentase karkas sapi yang tidak dipuasakan. Hal ini terjadi karena sapi yang tidak dipuasakan tidak mengalami penyusutan bobot hidup sehingga persentase karkas yang dihasilkan lebih rendah.

Menurut BLAKELY dan BADE (1994), HAFID dan NURAINI (2006), bahwa isi perut merupakan bagian dari bobot berat yang dipakai untuk mengurangi bobot hidup hewan guna mendapatkan persentase bersih dan isi perut berupa air dan makanan dapat menambah berat jual hidup, meskipun hasil akhirnya lebih rendah. Persentase bagian karkas sapi Bali Karkas sapi Bali terdiri atas bagian-bagian seperti paha depan, paha belakang, leher, dada, punggung dan perut. Persentase bagian karkas adalah hasil pembagian berat bagian karkas dengan berat karkas kemudian dikali 100%. Rataan persentase bagian-bagian karkas sapi Bali pada lama pemuasaan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan lama pemuasaan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase bagian-bagian karkas sapi Bali (P > 0,05) baik dari bagian paha depan, paha belakang, leher + dada + punggung ataupun perut. Hal tersebut menunjukkan bahwa persentase bagian-bagian karkas sapi relatif sama meskipun diberikan perlakuan lama pemuasaan yang berbeda. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian SAKA et al. (1990) dan HAFID (2005) yang melaporkan tidak adanya perbedaan bobot bagian-bagian karkas sapi Bali jantan meskipun dipuasakan antara 24 sampai dengan 72 jam dengan pemberian air minum ad libitum. Informasi menarik dari hasil penelitian ini adalah bahwa karkas terdistribusi pada paha depan (20 – 22%), paha belakang (33 – 36%), bagian lehar, dada dan punggung (40 – 41%) dan bagian perut (4%). Hal ini tentunya

Tabel 3. Persentase bagian-bagian karkas sapi Bali pada lama pemuasaan yang berbeda Lama pemuasaan Bagian karkas

Tanpa pemuasaan

12 jam

18 jam

24 jam

.......................................%................................. Paha depan

21,78

22,06

22,00

20,95

Paha belakang

36,83

32,71

33,38

33,40

Leher + dada + punggung

40,33

41,31

40,59

41,39

Perut

4,02

4,00

4,00

4,15

Tidak berpengaruh nyata (P > 0,05)

83

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

sangat berpengaruh dalam praktik atau kualitas daging sebab konsumen bisa merencanakan pembelian daging berdasarkan bagian-bagian karkas. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil dan pembahasan adalah sebagai berikut: 1. Perlakuan lama pemuasaan mempengaruhi besarnya penurunan bobot hidup sapi Bali. Semakin lama sapi Bali dipuasakan maka penurunan bobot hidupnya juga semakin besar. 2. Perlakuan lama pemuasaan sampai 24 jam tidak mempengaruhi besarnya persentase karkas dan persentase bagian karkas sapi Bali secara nyata. 3. Rata-rata persentase karkas sapi Bali adalah 53 – 56% dengan bagian paha depan 21 – 22%, paha belakang 33 – 37%, bagian leher, dada dan punggung 40 – 41% dengan perut 4%. 4. Untuk aplikasi di lapangan pihak RPH sebaiknya menerapkan prosedur standar pemuasaan sampai 24 jam sebelum pemotongan sebab tidak berdampak negatif terhadap karkas yang dihasilkan. DAFTAR PUSTAKA ABERLE, D.E., J.C. FORREST, D.E. GERRARD and E.W. MILLS. 2001. Principles of Meat Science. Fourth Edition. W.H. Freeman and Company. San Francisco, United States of America. ANONIMUS. 2001. Pedoman Pengelolaan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Di Sulawesi Tenggara. Bagian Proyek Peningkatan Produksi Peternakan Sulawesi Tenggara. Dinas Pertanian Sulawesi Tenggara, Kendari. BLAKELY, J. dan D.H. BADE. 1994. Ilmu Peternakan Edisi Keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. CHAMBERS, P. dan W. GRADIN. 2001. Petunjuk untuk Penanganan, Pengiriman, dan Pemotongan Hewan yang Manusiawi. RAP Publication 2001/4 Permission of HSI. Yudistira, Bali. DEWI, S.H.C. 2004. Pengaruh Pemberian Gula, Insulin dan Lama Istirahat Sebelum Pemotongan pada Domba Setelah Pengangkutan Terhadap Fasilitas Daging. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

84

HAFID, H, 2006. Penanganan Ternak Sebelum Pemotongan dan Kualitas Daging Sapi. Prosiding Seminar Nasional Peternakan. Forum Kerjasama Delapan Perguruan Tinggi Ditjen Dikti dengan Universitas Nusa Cendana Kupang, NTT. HAFID, H. 2004. Akurasi Penggunaan Bobot Karkas dan Tebal Lemak Rusuk Ke-12 Untuk Menduga Kandungan Daging dan Lemak Karkas pada Sapi ACC dan BX. Majalah Ilmiah Agriplus 14(03). HAFID, H. 2005. Pertumbuhan dan perkembangan potongan komersial karkas sapi brahman cross pada jenis kelamin yang berbeda. Bull. Penelitian Seri Hayati 8(2). HAFID, H. 2005. Potongan komersial karkas sapi Australian Commercial Cross & Brahman Cross dengan sex class yang berbeda. J. Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan VIII(4). HAFID, H. 2006. Nilai perdagingan sapi Australian Commercial Cross dari jenis kelamin yang berbeda Majalah Ilmiah Agriplus 16(01). HAFID, H. 2008, Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Potong di Sulawesi Tenggara dalam Mendukung Pencapaian Swasembada Daging Nasional, Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar, Universitas Haluoelo, Kendari. HAFID, H. dan A. SYAM. 2002. Studi Tentang Karakteristik Karkas Kambing Lokal yang Berasal dari Pola Pemeliharaan Secara Tradisional. Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo Kendari. Kendari. HAFID, H. dan NURAINI. 2006. Karakteristik kualitas daging sapi Peranakan ongole yang berasal dari otot longissimus dorsi dan gastrocnemius J. Ilmiah Imu-Ilmu Peternakan IX(4). HAFID, H. dan R. PRIYANTO, 2006a. Pertumbuhan dan distribusi potongan komersial karkas sapi Australian commercial cross dan Brahman. J. Meida Peternakan 29(2). HAFID, H. dan R. PRIYANTO. 2005. Karakteristik karkas, non karkas dan nilai ekonomi sapi sapi Australian Commercial Cross & Brahman Cross hasil penggemukan. J. Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan VIII(3). HAFID, H. dan R. PRIYANTO. 2006b. Pengaruh konformasi Butt Shape terhadap karakteristik karkas sapi Brahman Cross pada beberapa klasifikasi jenis kelamin. J. Media Peternakan 29(3). PAYNE, W.J.A. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada Universitas Press, Yogyakarta.

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

PRIYANTO, R. dan H. HAFID. 2005. Identifikasi sifatsifat karkas yang dapat digunakan untuk menduga komposisi karkas sapi. J. Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan VIII(1). SAKA, I. K., N. M. TULLOH dan G. K. BUDIANTHO. 1990. Efek lama puasa dan pemberian air minum selama istirahat sebelum pemotongan terhadap hasil dan kualitas karkas sapi bali jantan. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali. Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar.

SOEPARNO, 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. STEEL, R.G.D. dan J.H. TORRIE. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. TILMAN AD., HARTADI H., REKSOHADIPRODJO S, PRAWIROKUSUMO S, LEBDOSOEKOJO S. 1986. Ilmu Makanan ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

DISKUSI Pertanyaan: 1. Mengapa ulangan penelitian menggunakan 2 sapi? 2. Mengapa saran pemuasaan dipakai 24 jam, sedangkan semakin lama pemuasaan semakin menurunkan bobot hidup? Jawaban: 1. Direncanakan ulangan menggunakan 3 ekor sapi Bali, tetapi kesulitan mencari sampel seragam. 2. Saran pemuasaan 24 jam mempertimbangkan proses penyembelihan lebih mudah dan proses rigormortis akan lebih sempurna.

85