Damianus Journal of Medicine; Vol.9 No.1 Februari 2010: hlm. 12–22
DAMIANUS Journal of Medicine
TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap peningkatan gangguan kesehatan Sudarso ABSTRACT Global warming has become a hot issue in 21st century. This potentially destroyer of the earth has caused not only certain “natural” phenomenon like floods, erosion, dryness, increasing temperature of earth, but also climate change; and most specially decreasing the health quality of human being. Climate change is expected to have considerable impacts on human health; and the most important diseases are included vector-, water- and food-borne, and injuries. World Health Organization (WHO) has predicted that global warming and climate change will kill the average of 150.000 within 5 million cases.
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma, Jl. Dukuh Kupang XXV/54, Surabaya Korespondensi: Semampir Tengah 2A / 4A, Sukolilo, Surabaya. Email:
[email protected]
Key words: global warming, health impact, environmental quality
PENDAHULUAN Pemanasan global terjadi sangat cepat. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), yakni sebuah pertemuan panel antar pemerintah atau negara dunia dalam membahas perubahan iklim pernah mengatakan bahwa pemanasan global karena gas emisi yang berada di rumah kaca (green house) akan memengaruhi kehidupan manusia.1 Salah satu konsekuensi dari pemanasan global adalah terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim sendiri memiliki dampak yang sangat besar bagi kesehatan manusia, misalnya peningkatan kejadian penyakit yang ditu-larkan melalui vektor (vector-borne diseases), melalui air (water-borne diseases), maupun melalui makanan (foodborne diseases). 2,3 Sebagai organisasi kesehat-an sedunia, WHO sejak 11 Juni 2009 menetapkan Flu Babi (Swine Flu) sebagai pandemi, karena sudah pada level enam dan telah menyebar di berbagai ne-gara dengan jumlah penderita mencapai lebih dari 200.000 jiwa. Apakah keganasan penyebaran virus H1N1 disebabkan oleh perubahan iklim, tentu perlu kajian lebih lanjut. Isu perubahan iklim di Indonesia sangat nyata. Pada bulan Juni 2009 di seluruh wilayah Indonesia masih
12
terjadi hujan dengan intensitas yang cukup tinggi, padahal pada bulan tersebut wilayah Indonesia sudah seharus-nya memasuki musim kemarau. Fenomena ini me-nunjukkan adanya perubahan iklim. Meskipun demi-kian, sejauh ini belum ada penelitian di Indonesia yang menghubungkan perubahan iklim dengan berbagai jenis gangguan kesehatan yang terjadi di masyarakat. Menurut catatan meteorologi, perubahan iklim di dunia dalam beberapa dekade terakhir menyebabkan terjadinya suatu emisi gas yang mempengaruhi manusia. Ini nyata sebagaimana ditunjukkan oleh IPCC, di mana di akhir abad ini suhu bumi meningkat tajam dari 1,40C menjadi 5,80C. Menurut WHO, perubahan iklim yang terjadi akan memengaruhi kesehatan manusia dengan pola dan mekanisme yang berbeda. Gangguan kesehatan ini dapat berupa DALY”s (Disability-adjusted live years). Indikasi lain menunjukkan bahwa kematian yang disebabkan oleh berbagai faktor akan meningkat 3% setiap kali suhu udara bumi mengalami kenaikan sebesar 10C. Ini terutama terjadi di wilayah dengan suhu tinggi rata-rata di atas 300C.3 Di sisi lain studi tentang angka kematian secara historis dari tahun 1976–1996 dengan analisis time-series di London >97 persentil
Vol. 9, No.1, Februari 2010
Perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap peningkatan gangguan kesehatan
pada setiap suhu udara naik 10 C, maka angka kematian naik 3,34%. Demikian pula akan terjadi kenaikan sebesar 2,47% bila dalam periode lama. Sementara itu angka kematian akan naik sebesar 4,23% bila suhu udara relatif tinggi, yakni di atas 300C.4 Sudah saatnya upaya pencegahan segera dilakukan. Berdasarkan pertimbangan inilah beberapa negara mengeluarkan biaya dengan berbagai upaya dalam bentuk yang bervariasi mencegah atau melindungi masyarakat dari dampak kesehatan.5 PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM Pertumbuhan penduduk yang terjadi secara eksponensial, industrialisasi yang cukup pesat, meningkatnya urbanisasi, dan kemajuan transportasi yang cepat selalu membutuhkan energi, terutama bahan bakar dari fosil. Pemakaian energi secara berlebihan menyebabkan terjadinya peningkatan gas emisi, terutama gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oxide (NOX).1 Kondisi udara akibat pemanasan bumi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan iklim, bahkan merupakan masalah lingkungan yang dominan di abad ke 21.6 Pemanasan global karena perubahan iklim dapat pula menaikkan permukaan air laut yang berpotensi menenggelamkan daerah yang lebih rendah. Bangladesh, misalnya, diperkirakan kehilangan lahan dalam jumlah yang sangat besar sampai 20%, sementara lahan produksi pertaniannya mengalami pengurangan sampai 33% karena kenaikan permukaan air laut sebesar 1 meter.7 Selain karena beban gas CO2, CH4, dan NOx, perubahan iklim yang disebabkan oleh gas emisi juga semakin menambah pemanasan bumi. Ini karena terjadi peningkatan gas karbon hitam (komponen dari semacam jelaga) dan juga gas ozon yang berada di lapisan troposfer, yakni lapisan udara 0–12 km di atas permukaan bumi. Sebagai sebuah partikel, karbon dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna dari bahan kayu, pembakaran mesin diesel, serta pembakaran biomassa di mana bahan bakar minyak dari fosil berperan penting menambah pemanasan bumi. Selain karbon hitam, pemanasan bumi juga disebabkan oleh radiasi
bumi itu sendiri.8 Gas emisi yang ada di udara sebagai penyebab terjadinya pemanasan bumi dan perubahan iklim bisa bersifat lokal atau global. Sebagai contoh, walaupun sifatnya pencemaran udara lokal, ada suatu peningkatan kualitas udara menyeberang benua. Gas ozon (O3) di Asia Timur dapat dideteksi di Amerika Barat Daya dalam waktu 6 hari, dengan konsentrasi ratarata di atas 10% dari konsentrasi O3 di daerah California.9 Kondisi yang sama juga terjadi secara substansial di Eropa di mana konsentrasi gas ozon (O3) mendapat emisi dari Asia dan Amerika Utara.10 Berbeda dengan periode-periode sebelumnya, perubahan iklim abad ke20 terjadi secara sangat cepat.11 Fenomena bencana alam seperti badai El Nino/Southern Oscillation (ENSO) yang terjadi karena perubahan iklim tidak hanya berdampak luar biasa selama dekade 1980–2001, tetapi juga meningkatkan penderita kolera, terutama di Bangladesh.12 Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan iklim pada akhirnya merupakan masalah lingkungan serius yang harus dihadapi. Ini belum termasuk pencemaran daerah pantai karena tumpahan minyak atau berkurangnya tanah produktif untuk pertanian di daerah pantai karena badai pasir serta debu.13 PERUBAHAN IKLIM SEBAGAI VARIABEL PERANCU Gangguan kesehatan akibat perubahan iklim merupakan variabel dependen atau tergantung. Agen merupakan v ariabel independen atau bebas. Berdasarkan pertimbangan tersebut, gangguan kesehatan berupa kumpulan penyakit, misalnya vector-borne diseases, antara lain penyakit demam berdarah, sebagai variabel dependen (tergantung), sementara variabel bebasnya adalah virus Dengue. Perubahan iklim termasuk variabel perancu (confounding variabel), sebab dapat berhubungan dengan variabel independen dan variabel dependen.14 Perubahan iklim dapat memengaruhi kehidupan virus Dengue, dan pula perubahan iklim dapat berhubungan dengan kejadian penyakit demam berdarah, misal sebagai faktor dalam menurunkan imunitas, sehingga kekuatan serangan virus semakin potensial. Di beberapa negara dunia,
Vol. 9, No.1, Februari 2010
13
DAMIANUS Journal of Medicine
kejadian perubahan iklim sudah dinyatakan sebagai variabel atau faktor perancu dalam aspek tinjauan epidemiologi maupun entomologi.15 Jelas sekali bahwa perubahan iklim sebagai variabel perancu memiliki peran yang sangat signifikan dalam menentukan terjadinya gangguan kesehatan. Dengan mengetahui bahwa perubahan iklim sebagai variabel perancu, segala upaya bisa dilakukan, sehingga bisa mengantisipasi dan mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh perubahan iklim tersebut. BEBERAPA PENYAKIT DAN DALY's YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERU-BAHAN IKLIM Perubahan iklim seperti kenaikan suhu bumi yang berdampak pada tingkat curah hujan dan kelembaban ternyata memengaruhi terjangkitnya beberapa penyakit. Berbagai penyakit akibat perubahan iklim dapat menyebar antara lain melalui diseminasi dan transportasi dari beberapa agen mik-roba karena air hujan dan limpasan air. Hal terakhir ini menyebabkan tumbuh suburnya agen mikroba karena faktor suhu air.14 Secara empiris, perubahan iklim berdampak pada kesehatan yang sangat luas, baik menyangkut peningkatan angka kesakitan maupun kematian. Dampakdampak ini umumnya dihubungkan dengan tingginya suhu udara, pencemaran udara, cuaca yang ekstrim, malnutrisi, water-borne diseses (diare, kolera, tifus), food-borne diseases (keberadaan salmonella), serta vector-borne diseases (malaria dan demam berdarah).16 Perubahan iklim dan cuaca yang bervariasi di beberapa wilayah dan negara me-nyebabkan terjadinya penyebarluasan penyakit yang ditularkan vektor (vector-borne diseases) secara cukup ber-makna, seperti penyakit malaria, demam berdarah, leishmaniasis, lyme disease, tick-borne encephalitis.2,3 Adanya kekhususan serta berbagai variabilitas terkait beberapa risiko terganggunya kesehatan akibat bakteri patogen dengan kejadian Water-Borne Diseases dan Food-Borne Diseases, seperti terlihat pada Tabel 1.18,19 Sebagai contoh, periode tahun 1993-1994 di Amerika
14
Serikat penduduk yang sakit akibat minum air yang terkontaminasi, sebagian besar terjadi di Milwaukee, Wisconsin. 20 Dalam kejadian tersebut ditemukan bahwa sebagian besar penyebabnya adalah sejenis parasit protozoa yang disebut Cryptosporodium pavum.21 Parasit Cryptosporodium yang hidup dalam pencernaan mamalia ini berkembang sangat banyak dalam bentuk kista (oocyst). Parasit ini disebar melalui kotoran (feces), bisanya karena bahan baku air minum terkontaminasi oleh banjir atau limpasan hujan di mana sistem pengolahan air minum tak mam-pu membunuh kista.22 Beberapa kejadian luar biasa akibat parasit di dunia disebabkan oleh limpasan hujan dan banjir.12 Beberapa jenis kuman dan virus merupakan agen atau penyebab terjadinya gangguan kesehatan, yang dimediasi oleh makanan dan air. Sebagaimana ditunjukkan Tabel 1, jenis gangguan sangat bervariasi, dengan potensi keberadaan kuman patogen serta tipe patogennya. Water-borne diseases Water-Borne diseases adalah penyakit pada individu atau kelompok penduduk yang peka, disebabkan oleh kuman patogen yang berada di media air dengan pola penularan melalui saluran pencernaan, pernapasan, absorbsi kulit dari mikroba atau alga yang beracun. Semuanya disebabkan oleh buruknya kualitas air. Variabilitas iklim di suatu daerah mengakibatkan adanya variasi suhu udara, kelembaban, curah hujan, serta limpasan air. Hal ini berpotensi sebagai media perkembangan kehidupan agen-agen mikrobial, antara lain bakteri patogen, virus, dan protozoa.25-27 Paparan waterborne diseases relatif sama dengan foodborne diseases, dapat terjadi melalui air minum (terutama yang tercemar kotoran manusia), ikan laut (kontaminasi toksin, mikroba, atau karena buangan air kotor), atau dari sumber air olahan (bahan baku air irigasi dan air yang ter-cemar).23 Khusus untuk waterborne diseases, adanya pengaruh variabilitas iklim dapat menyebabkan limpasan air hujan, beban air kotor kota, rembesan septic tank, sistem olahan air kotor (kombinasi antara saluran irigasi dan saluran air hujan) menjadi berat, berpotensi sebagai media mikroba. Di
Vol. 9, No.1, Februari 2010
Perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap peningkatan gangguan kesehatan
Tabel 1. Beberapa Risiko Gangguan Kesehatan Akibat berbagai Patogen dengan Air dan Makanan sebagai Media Penularan.19,23,24 Gangguan Kesehatan
Tipe Patogen
Peritonitis akut
Anisakis simplex
Arthritis
Ditemukan di Air Kotor
Penularan Melalui Air
Penularan Melalui Makanan
–
+ tempat rekreasi
+
Giardia Salmonella, Campylobacter
+
+
+
Aseptic meningitis
Echoviruses, Coxsackie viruses
+
+
+
Kanker, pectic ulcer
Helibacter pylori
+
+
Kholera
V. cholerae
+/– (diduga dalam feses) –
+
+
Diare dan gastroenteritis
Beberapa enteric viruses
+
+
+
Norwalk virus
+
+
+
Giardia, Cryptosporodium
+
+
–
Salmonella, E.Coli
+
+
+
Shigella species, Salmonella
+
+
+
Calciviruses
+
+
+
Rotaviruses (infantile Gastroenteritis viruses)
+
+
+
Astroviruses, enteroviruses
–
–
–
Granuloma
Mycobacterium marinum
–
+
–
Penyakit jantung
Coxsackie B virus
+
+
+
Diabetes
Coxsackie B virus
+
+
+
Ketergantungan insulin
(Yoon JW et al. 79)
Gagal ginjal
E.Coli 0517:H7
+
+
+
Microsporidia
+
+
+/–
V.vulnificus
–
–
+
Hepatitis A virus
+
+
+
Hepatitis E virus
–
+
–
Luka infeksi
V.alginolytus
–
+
–
Luka inkeksi, Gastroenteritis
V.parahaemolyticus
–
+
+
Kerusakan liver/hati
sisi lain gelombang laut dapat membawa sampah, termasuk hewan mati, kotoran manusia dan juga air kotor yang tak terolah, sehingga memperburuk kondisi sanitasi.28
Sumber kontaminasi dan pola water-borne diseases Alur masuknya sumber pencemaran ke dalam media air sangat banyak. Sebagai contoh, agen patogen masuk melalui air minum yang tercemar,
Vol. 9, No.1, Februari 2010
15
DAMIANUS Journal of Medicine
mengkonsumsi ikan laut yang diternak di air yang tercemar, air irigasi, dan air tercemar yang sudah diproses. Sumber pencemar bisa juga masuk melalui kontak dengan air tercemar dari usaha komersil, seperti dalam usaha tempat pancing, tempat rekreasi, atau kolam renang.29 Kualitas air sangat tergantung pada pengelolaan air dan tanah, baik dari bahan baku air yang ada maupun dari air laut yang secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh titik masuknya zat pencemar, seperti industri, aktivitas kota, pertanian.28 Beban ekologis air semakin berat oleh adanya variabilitas iklim, selain berpengaruh terhadap kehidupan hewan liar, melimpahnya mikroba secara alamiah dan melimpahnya air laut karena sistem yang ada, sangat memengaruhi kesehatan manusia.18,30 Salah satu penyakit yang merupakan kombinasi dari water borne diseases dan food borne diseases yang mempunyai insiden tinggi dan hampir menyebar ke seluruh dunia, terutama di negara dengan kondisi sanitasi yang tidak memenuhi syarat adalah penyakit kolera.31 Penyakit kolera Banyak peneliti menyatakan bahwa keberadaan Vibrio cholerae sangat didukung oleh kehidupan zooplankton di laut, yaitu pada pelagic plankton, khususnya pada copepod zooplankters. Daerah wabah sangat ber-hubungan dengan berkembangnya phytoplankton tersebut.36,37 Keberadaan Vibrio cholerae di air laut berkembang pesat oleh adanya limpasan air akibat banjir.33 Di akhir tahun 2008 lebih dari 1.111 orang tewas dan 20.581 lainnya terinfeksi bakteri kolera di Zimbabwe.38 Di Indonesia, kasus diare kolera hampir merata di beberapa provinsi. Pada awal April sampai awal Agustus 2008 di Provinsi Papua, terutama kabupaten Nabire dan kabupaten Panilai, kasus ini menelan korban 105 jiwa.32 Di Indonesia penyebaran Vibrio cholera dari biotipe El Tor, yang termasuk serogrup O1. Potensi terjadinya kejadian luar bisa di Indonesia memang cukup tinggi. Hal ini didasarkan pada kondisi sanitasi yang belum memadai. Kejadian penyakit ini di propinsi Jawa Barat pada tahun 2008 tercatat sekitar 1.000.000 penderita.32
16
Di sisi lain, perubahan iklim yang sudah global tersebut secara langsung berpengaruh di Indonesia. Khusus di Jakarta suhu udara cenderung lebih tinggi 0,70 C 0,90 C, demikian pula kelembaban udara lebih rendah 3%-7% dibanding daerah lain. Rendahnya kelembaban dan meningkatnya suhu udara berpotensi menyebabkan penurunan imunitas seseorang. Kondisi inilah yang akan memicu terjadinya peningkatan kejadian penyakit diare kolera. Foodborne-diseases Food borne diseases (penyakit yang ditularkan melalui makanan) tidak hanya terjadi di negara yang sedang berkembang, tetapi juga di negara maju. Penyakit ini menjangkiti 76 juta penduduk di Amerika Serikat. Dari keseluruhan kasus tersebut, 325.000 kasus diantaranya memerlukan rawat inap dan 5.000 orang meninggal per tahun.39 Food borne diseases sangat signifikan dalam permasalahan kesehatan masyarakat, bukan saja karena jumlah kasus yang banyak, tetapi juga terkait dengan biaya ekonomi yang tinggi, dan banyak ditemukan organisme tipe baru, seperti bakteri E. coli O157:H7.40 Penyebaran kuman ini secara potensial dimediasi oleh makanan karena kurang sempurnanya dalam memasak, khususnya pada daging. Permasalahan ini terjadi di Amerika Serikat terjadi sejak tahun 1980-an.41,42 Di Amerika Serikat, food borne diseases terutama terjadi akibat mengkonsumsi makanan laut (ikan dan kerang) yang tercemar. 43,44 Salah satu kuman penyebabnya adalah V.cholerae yang juga sebagai penyebab water borne diseases. Kuman ini adalah kuman patogen penyebab wabah di dunia. Kuman ini sangat banyak ditemukan di plankton dan air pantai di daerah pandemi.45 Terdapat korelasi antara salinitas dan konsentasi bakteri pada makanan. Dalam monitoring di Florida, Amerika Serikat, ditemukan adanya korelasi tingkat penyebaran dengan suhu, serta curah hujan.44 Kejadian food borne diseases ternyata sangat dipengaruhi oleh kondisi air dan makanan, terutama oleh adanya perubahan dan variabilitas iklim, utamanya oleh karena faktor suhu udara.
Vol. 9, No.1, Februari 2010
Perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap peningkatan gangguan kesehatan
Vector borne-diseases Vector borne-diseases merupakan salah satu kontributor terbanyak dalam menyebabkan beban penyakit pada masa global saat ini karena sangat peka dengan kondisi iklim. 46 Kondisi ini akan secara langsung memengaruhi kehidupan vektor dan secara tidak langsung juga terhadap kasus kejadian vector borne-diseases. Adanya dampak secara biologik dari vektor akibat perubahan iklim dikatagorikan dalam ke dalam empat pola, yakni (1) efek fisiologik, yakni adanya laju perkembangan atau metabolik dari hewan, mapun proses di tumbuhan; (2) efek dalam distribusi, yakni adanya respon dari kondisi rata-rata suhu dan curah hujan; (3) efek fenologik, yakni adanya waktu kejadian siklus hudup seperti penempatan telur; dan (4) adaptasi, di mana beberapa spesies dengan generasi yang pendek dan laju pertumbuhan yang cepat mengalami beberapa mikro evolusi.49 Beberapa vektor berpotensi merespon terhadap perubahan iklim (tabel 2).15 Dalam tabel 2 tersebut tampak bahwa nyamuk merupakan vektor yang banyak mengakibatkan penyakit di Indonesia, terutama malaria, filariasis, dan dengue fever (spe-sifiknya Dengue Hemorrhagic Fever atau demam berdarah). Memang secara geografis, sosial ekonomi dan budaya, sangat memungkinkan beberapa pe-nyakit tersebut berada di Indonesia. Penyakit Malaria Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit vector-borne diseases dengan vektor nyamuk Anopheles. Kualitas air menentukan perkembangbiakan larva maupun nyamuknya. Meningkatnya suhu udara berpotensi meningkatkan risiko terjangkit malaria. Hal ini sesuai dengan temuan di wilayah Uni Emirat Arab dan Yaman, ter-utama di daerah endemis.50 Penduduk yang terekspos oleh kondisi lingkungan akibat perubahan iklim, dengan dimungkinkannya larva dan nyamuk untuk berkembang, akan sangat memudahkan penularan.2 Fakta yang menarik dalam penyelidikan epidemiologi penyakit malaria adalah difokuskannya pola penularan/transmisi di daerah dataran tinggi. 51,52
Korelasi yang signifikan adalah ketinggian daerah, ditambah dengan tingginya curah hujan merupakan faktor pendukung terjadinya kejadian luar biasa malaria.53 Kejadian El Nino di Afrika Timur yang berdampak pada terjadinya epidemi malaria, sangat dipengaruhi oleh tingginya curah hujan dan suhu yang relatif tinggi.36 Di Indonesia ada kecenderungan menurunnya angka kesakitan malaria sejak tahun 2000 sebesar 51 per 1000 penduduk menjadi sekitar 19 pada tahun 2006.54 Dengan adanya perubahan iklim dan situasi geografis, maka di Indonesia sangat diperlukan pemantauan dalam menemukan penderita, terutama di daerah endemis. Penebangan hutan, dapat meningkatan suhu l 3–40C dan berpotensi meningkatkan pembenihan vektor malaria.55 Sekitar 60% hutan dataran rendah di tiga pulau utama di Indonesia (Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan) telah ditebang dalam kurun waktu tahun 1985 sampai l997. Dengan demikian sangat potensial meningkatkan pembenihan vektor malaria. Penyakit filariasis Filariasis adalah penyakit menular (penyakit kaki gajah) yang disebabkan oleh cacing Filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Di Indonesia hingga saat ini ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres. Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif, yakni nyamuk yang mengandung larva stadium III (L3). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil (mikrofilaria) sewaktu menghisap darah penderita atau binatang reservoir yang me-ngandung mikrofilaria Siklus penularan penyakit kaki gajah ini melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk (vektor) dan tahap kedua perkembangan dalam tubuh manusia dan reservoir. Meningkatnya suhu rata-rata bumi sampai dengan tahun 2100 mempunyai konsekuensi terhadap meningkatnya transmisi vector-borne diseases termasuk pada nyamuk vektor filariasis.56 Kasus kronis Filariasis di Indonesia mempunyai kecenderungan meningkat, yaitu 8.243 kasus pada tahun 2005 menjadi 11.473 kasus pada tahun 2007.57
Vol. 9, No.1, Februari 2010
17
DAMIANUS Journal of Medicine
Tabel 2. Beberapa Vektor yang Mempunyai Responsitas Tinggi terhadap Perubahan Iklim Vektor
Jenis Penyakit
Penyebaran Aktif
Penyebaran Pasif
Nyamuk
Malaria, filariasis, dengue fever, yellow fever
Dapat meyebar luas dan bereproduksi relatif cepat terutama daerah baru yang cocok.
Bisa meluas, dan sering melalui transportasi manusia, termasuk antar benua, seperti Aedes albopictus yang dapat melalui roda karet dalam mobil
Lalat pasir (sandflies)
Leishmaniasis
Jarak terbang terbatas
Bertelur, istirahat, dan pergi dari habitat manusia
Tritomines
Penyakit Chagas
Dapat terbang dengan jarak tertentu
Biasa menyebar luas, sering melalui bagasi yang dibawa manusia
Kutu Isodes
Penyakit Lyme, encephalitis karena tick-borne
Kekuatan penyebaran aktif terbatas
Bisa meluas, dengan waktu lama karena menempel di burung dan mamalia besar
Lalat tse tse
Tripanosomiasis orang Afrika
Dapat terbang dengan jarak tertentu
Jarang menyebar pasif, terjadi pada lalat dewasa yang terbawa pada suatu barang/vehicle
Lalat hitam (blackflies)
Onchocerciasis
Dapat menempuh perjalanan jauh ratusan kilometer terbawa angin; habitas baru dikolonisasi oleh blackflies ini
Bertelur, istirahat, dan pergi dari habitat manusia
Di samping dampak pemanasan global, faktor dominan di negara Indonesia seperti faktor geografis, sosial, budaya, dan ekonomi menyebabkan kasus vector-borne diseases termasuk filariasis perlu mendapat perhatian. Penyakit demam berdarah Iklim yang berubah secara cepat menimbulkan suatu masalah yang baru pada perkembangan vektor. Salah satu-nya adalah perkembangan nyamuk Aedes aegypti yang dikenal sebagai penular virus penyebab demam dengue, yang sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Penularan penyakit ini adalah melalui gigitan nyamuk yang infektif, terutama Aedes aegypti. Gigitan nyamuk ini terjadi pada siang hari, dengan peningkatan aktivitas menggigit sekitar 2 jam sesudah matahari terbit dan beberapa jam sebelum matahari tenggelam. Aedes aegypti maupun Aedes albopictus ditemukan terutama di daerah perkotaan.57
18
Keberadaan nyamuk Aedes aegypti, seperti hal-nya vektor lain sangat dipengaruhi juga oleh perubah-an iklim, terutama oleh suhu dan hujan yang tidak menentu, karena hal tersebut berpotensi sebagai perindukan larva Aedes Aegypti. Dampak suhu yang ekstrim yang berpengaruh pada cuaca, memengaruhi kejadian kesakitan atau kematian pada penyakit di antaranya vectorborne-diseases (malaria, dengue).32 Di Indonesia penderita DBD sangat fluktuatif. Tahun 2000 lebih dari 20 per 100.000 penduduk, tahun 2006 adalah 71,76 per 100.000 penduduk, dan tahun 2008, 60,02 per 100.000 penduduk.32 Kejadian yang fluktuatif ini sangat dimungkinkan oleh kondisi iklim terutama oleh hujan. Dalam hal perubahan iklim dihubungkan dengan penyakit infeksi, perlu memperhatikan be-berapa kriteria.15 (1) adanya riset lapangan dan laboratorium untuk vektor dan penyebab kuman/ virus patogen. (2) pengukuran yang tepat dalam wilayah tertentu,
Vol. 9, No.1, Februari 2010
Perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap peningkatan gangguan kesehatan
khususnya tentang kondisi meteorologi. (3) memperhitungkan adanya faktor perancu/confounding yang potensial, khususnya dalam tinjauan aspek epidemiologi dan entomologi. DALY's DALY's (Disability Adjusted Limited Year's) adalah waktu hidup yang hilang akibat kematian prematur dan atau kehidupan dengan ketidakmampuan yang disebabkan oleh perubahan iklim melalui beberapa pola kejadian gangguan kesehatan. WHO memperkirakan lebih dari 150.000 kematian pada 5 juta merupakan DALY's dalam 3 dekade terakhir.58 Secara empiris, gangguan kesehatan yang ada saat ini menyebabkan ketidakmampuan seseorang dalam menjalani kehidupannya. DALY's disebut secara spesifik karena gangguan kesehatan akibat perubahan iklim, mulai waterborne-diseases, vectorborne-diseases, foodborne diseases, sampai akibat adanya peningkatan gangguan kardio vaskular, penyakit saluran pernapasan, gangguan pernapasan lainnya, dehidrasi sampai terjadi heat cramps adalah berhubungan dengan suhu udara yang ekstrim. Secara tidak langsung akibat perubahan iklim adalah terjadinya udara panas dan kelembaban yang rendah pada daerah kota yang tercemar yang secara simultan dapat meningkatkan angka kesakitan penduduk.16 Peningkatan suhu bumi, yang merupakan konsekuensi dari pemanasan global, secara signifikan juga meningkatan angka morbiditas dan mortalitas beberapa penyakit, di antaranya potensi kejadian pra gejala penyakit saluran pernapasan dan penyakit jantung.59 Kombinasi antara pemanasan bumi, perubahan iklim, dan pencemaran udara yang menghasilkan emisi gas, berpotensi pula menimbulkan gangguan pada manusia. WHO memperkirakan 1,6 juta penduduk dunia akan mati karena risiko kesehatan akibat kualitas udara. Faktor tersebut termasuk salah satu faktor yang menimbulkan risiko terhadap kesehatan dan memberikan beban penyakit sebesar 2,7% di dunia.60 WHO mengkategorikan daerah teluk, terbentang di
wilayah Timur Tengah, sebagai the Eastern Mediterranean Region (EMRO). Wilayah ini terdiri dari Bahrain, Oman, Qatar, Republik Emirat Arab, dan Yaman. Pengkatagorian teresebut untuk memprediksi kematian akibat DALY's, dengan berbasis pembagian wilayah, jenis kelamin, perkembangan sosio-ekonomi, dan hubungan tentang laju penyebab kematian spesifik atau cause-spesific mortality rates. Menurut WHO, DALYs serta kematian menun-jukkan kenaikan yang signifikan pada daerah studi EMRO. Kasus DALY's per 100.000 penduduk di Bahrain tahun 2002 adalah 11.726, dan tahun 2100 diproyeksi menjadi 18.440 (meningkat 57,25%). Kasus DALY’s di Oman tahun 2002 adalah13.121 dan diproyeksikan menjadi 144.805 (meningkat 1000%) pada tahun 2100. Demikian juga di Qatar tahun 2002 11.742 kasus, diproyeksikan menjadi 20.397 (meningkat 73,70 %) pada tahun 2100. Di Uni Emirat Arab tahun 2002 sejumlah 14.067 kasus diproyeksikan menjadi 21.744 (meningkat 54,57%) tahun 2100. Di Yaman tahun 2002 kasus DALY's 35.932 diproyeksikan menjadi 271.133 (meningkat 650%) tahun 2100. Dari proyeksi tersebut terlihat bahwa kenaikan cukup besar. Meskipun kejadian ini baru akan terjadi dalam kurun waktu yang lama, bila tidak segera diambil langkah yang nyata, maka akan menjadi gangguan kesehatan global yang signifikan. Oleh sebab itu salah satu dari sasaran MDG's adalah upaya mencegah adanya pemanasan global dan perubahan iklim. KESIMPULAN Tidak bisa dihindari lagi, faktor lingkungan mempunyai peran yang berarti terhadap kejadian fenomena alam, terutama dalam gangguan terhadap kesehatan. Permasalahan lingkungan adalah permasalahan global. Kondisi lingkungan dalam dekade akhir ini, sangat berubah secara bermakna, khususnya perubahan iklim. Sudah waktunya dunia menyadari, termasuk negara Indonesia, untuk meningkatkan pemahaman akan kejadian tersebut, dengan keterlibatan berbagai sektor. Bagi sektor kesehatan, harus mulai menyeimbangkan antara upaya kuratif yang saat ini dikembangkan dengan upaya preventif, dan promotif.
Vol. 9, No.1, Februari 2010
19
DAMIANUS Journal of Medicine
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Husain T, Juanidi Raffi Chaudhary. Human Health Risk due to Global Warming - A Case Study of the Gulf Countries. Canada. Int. J. Environ. Res. Public Health 2008;5:204-212 Martens W.J.M, Jetten TH, Rotmans J. et al. 1995. Climate Change and vector-borne diseases: A global modellung perspective. Global Environ. Change 19 95;5:195-209. McMichael, AJ, Campbell-Lendrum D, Kovats S et al. 2004. Global Change. In Comparative of Health Risks: Global and Regional Burden Disease due to Selected Major Risk Factors; Ezzati M, Lopez A, Rodgers A, Murray C. Eds. World Health Organization: Geneva, Switzerland 2004;1543–1649. Hajat S; Kovats RS; Atkinson RW et al. Impact of Hot Temperatures on Death in London: A Time Series Approach. J. Epidemiol Community Health 2002;56: 367-372. European Environment Agency EEA. Climate Change; the Cost of Inaction and the Cost of Adaptation; 2007, EEA Technical Reports No. 13/ 2007. ISSN 17252237, EEA: Copenhagen K, Denmark, 2007. Moore Frances C. Climate change and Air Pollution: Exploring the Synergies and Potential for Mi-tigation in Industrializing Countries. St New Haven, USA, Sustainability 2009;I:43-54. Watson RJ, Mc Michael AJ. Global Climate Change the Latest assessment: Does global war-ming warrant a health warning? Global Change & Human Health 2001;2: 64-75.
8.
Ramanathan V, Carmichael G. Global and Regio-nal changes due to black carbon. Natural Geosci 2008;1:221-227.
9.
Hudman RC, Jacob DJ, Cooper OR. et al. 2004. Ozone Production in Transpacific Asian Pollution Plumes and Implications for Ozone Air Quality in California. J.Geophys. Res. 2004; 109:D23S10.
10. Derwent RG, Stevenson DS, Collins, WJ et al. Intercontinental Transport and the Origins of the Ozone Observed at Surface Sites in Europe. Atmos. Environ 2004;38:1891-1901. 11. Easterling DR, Briony Horton, Philips D Jones et.al. Maximun and Minimum Temperature Trends for Globe. Science 1997; 277:364-367. 12. Rose J.B. Environmental ecology of Cryptospori-dium and public health implications. Annu Rev Public Health 1997;18:135-161.
20
13. CIA, World Factbook (cited 2009 April 14). Available from URL http://www. cia.gov/library/publication/theworldfact book/index.html (Accessed: 14 Apr. 09). 14. Sastroasmoro S, Asril Aminullah, Yusuf Rukman, dkk. Variabel dan hubungan antar variabel dalam Dasardasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke 2. Sastroasmoro Sudigdo, Sofyan Ismael. 2002. CV. Sagung Seto, Jakarta, 2002. 15. Kovats RS, Campbell - Lendrum DH, McMichael AJ. et al. Early effects of climate change: Do they include changes in vector-borne dieses? Philos Trans R Soc. London B 2001;356:1057-1068. 16. Markandya A, Aline Chiabai. 2009. Valuing Climate Change Impacts on Human Health: Empirical Evidence From the Literature. Spain. Int. J. Environ. Res. Public Health 2009;6:759-786 17. UNFCC. Climate Change: Impact, Vulnerabilitiues and Adaptation in Developing Countries. Climate Change Secretariat: Bonn, Germany, 2007 18. NRC. Managing Troubled Waters, The Role of Marine Environmental Monitoring. Washington DC; National Acade-my Press, 1990. 19. Howard BJ, Keiser JF, Smith TF, Weissfeld AS, Tilton RC. Clinical and Pathogenic Microbiology. St. Louis, MO: Mosby, 1994 20. Ford TE. Microbiological safety of drinking water. Environ Health Perspect 107:191-206 Frost FJ; Craun GF; Calderon RL. 1996. W aterborne diseases surveillance. J. Am Water Works Assoc 1999;88:66-75 21. Hoxie NJ, Davis JP, Vergeront JM. et al. Cryptosporidiosis-associated mortality following a massive waterborne outbreak in Milwaukee, Wisconsin. Am J Public Health 1997; 87:2032-2035. 22. MacKenzie WR, Hoxie NJ, Proctor ME, et al. A massive outbreak in Milwaukee of Cryptospori-dium infection transmitted through the public water supply. N Engl J Med 1994;331:161-167. 23. Rose JB, Paul R. Epstein. Erin K, Lipp et al. 2001. Climate variability and Change in the United States: Potential Impacts on Water and Food-borne Diseseas Caused by Microbial Agents. Environmental Health Perpectives 2001; Volume 109, Supplement 2, May: 1-6. 24. NRC. From Monsoons to Microbes: Understanding the Ocean's Role in Human Health. W ashington, DC: Natio-nal Academy Press, 1999. 25. Feachem R, Garelick H, Slade J. Enteroviruses in the environment. Trop Dis Bull 1981;78:185-230.
Vol. 9, No.1, Februari 2010
Perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap peningkatan gangguan kesehatan
26. Bitton G, Farrah SR, Montague CL et al. 1986 Viruses in drinking water. Environ Sci Technol 1986;20:216222.
40. Mortajemi Y, Kaferstein FK. Global estimation of foodborne diseases. World health Stat Q 1997;50:511.
27. Mara D, Feachem RGA. Water-and excreta-related diseases: unitary environmental classification. N Environ Engineer 1999;125:334-339.
41. Riley LW, Remis RS, Helgerson SD, et al. Hemorrhagic colitis associated with a rare Escherichia coli serotype. N.Engl J Med 1983;308:681-685.
28. Craun GF. Waterborne Diseases in the United States. Boca Raton: CRC Press, 1991
42. Centers for Disease Control and Prevention (CDCP). Incidence of foodborne illnesses: Preliminary data from the Foodborne diseases Active Surveillance Network (FoodNet)-United States, 1998. Mor Morbit Wkly Rep 1999; 48: 189-194.
29. American Society for Microbiology (ASM), Office of Public Affairs. Microbial Pollutants in Our Na-tion's W ater. Environmental and Public Health Issues. Washington, DC: American Society for Microbiology, 1998 30. Epstein PR, Sherman BH, Siegfried ES et al. Ma-rine Ecosystems: Emerging diseases as indicators of change. Health Ecological and Economic Dimensions of Global Change (HEED) program. Boston: Center for Health and the Global Environment, Harvard Medical School. 1998;85-87. 31. Epstein PR. Algal blomms in the spread and persistence of cholerae. Biosystems 1993; 31: 209-221.
43. Centers for Disease Control and Prevention (CDCP). Update: Outbreaks of Cyclospora caye-tanensis infection-United States and Canada. Mor Mortal Wkly Rep 1996;45:611-612. 44. Lipp EK, Rose JB. The role of seafood in food-borne diseases in the United States of America. Rev Sci Tech 1997; 16:620-640 45. Colwell RR. Global climate and infectious diseases: the cholera paradigm. Science 1996; 274:20252031
32. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL) Departemen Kesehatan RI, 2008.
46. W orld Health Organization, W orld Health Report 2000. Health systems: improving performance. Geneva, Swit-zerland: W orld Health Organization, 2000.
33. Mouriño-Pérez Rosa R, Alexandra Z. Worden, and Farooq Azam. Growth of Vibrio cholerae O1 in Red Tide Waters off California. Applied and Environmental Microbiology, Nov. 2003; Vol.69,11:6923-6931
47. IPCC. Summary for policy makers climate change 2001: The scientific basis. Cambridge University (in Press) 2001.
34. NRC. Managing Troubled Waters, The Role of Marine Environmental Monitoring. Washington, DC: National Acade-my Press, 1990
48. Smit B, Burton I, Klein RJT et al. An anatomy of adaptation to climate change and climate variability. Climate Change (in press), 2001.
35. Epstein PR. Emerging diseases and ecosystems instability: New threats to public health. Am. J. Public Health 1995;85:168-172
49. Hughes L. Biological consequences of global warming: Is the signal already here? Trends Ecol. Evol 2000;15:56-61.
36. Lobitz B, L Beck, A Huq B. et al. Climate and infectious disease: Use of remote sensing for detection of Vibrio cholerae by indirect measurements. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 2000;97: 1438-1443.
50. Harasawa H, Matsuoka Y, Takahashi K. et al. Climate Policy Assesment: Asia-Pasific Integrated Modeling; Kaimuna, M; Matsuoka Y; Morita T, Eds.; Springer 2002; 37-54.
37. Lipp Erin K, Anwar Huq, and Rita Cowell. Clinical Microbiology Reviews, October 2002; Vol.15, No.4:757770.
51. Epstein PR, Diaz HF, Elias S, et al. Biological and physical signs of climate change: Focus on mosquitoborne diseases. Bull. Am. Meteorol. Soc. 1997;78: 409-417.
38. Penderita Kolera Zimbawe 2008 (cited 2009 April 12). Available from URL: http://cpddokter.com/home/ in dex.p hp? opt ion =c om_ con ten t& task= view&id=835&Itemid=78.
52. Reiter P. Climate change and mosquito-borne disease. Environ. Hlth. Perspect 2001;109 (Suppl.1):141-161.
39. Mead PS, Slutsker LA, Griffin PM, Tauxe RV. Food related illness and death in the United States reply to Dr. Hedberg. Emerg Infec Dis 1999;5:841-842
53. Lindsay SW, Bodker R, Malima R. et al. The effect of 1997-98 El Nino on highland malaria in Tanzania. The Lancet 2000;355:989-990.
Vol. 9, No.1, Februari 2010
21
DAMIANUS Journal of Medicine
54. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL). Profil 2007 Departemen Kesehatan RI, 2007. 55. Hamilton A.C. The climate of East Usambaras. In: Hamilton AC, Bensted-Smith R, eds. Forest conservation in the East Usambaras. Gland, Switzerland, International Union for Conservation of Nature 1989;79-102. 56. Watson RT. Climate change 1995; Impacts, adaptations and mitigation of climate change: scientific-technical ana-lysis. Contribution of Working Group II to the Second Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge, Cambridge Univer-sity Press, 1995. 57. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL). Manual Pemberantasan Penyakit Menular Departemen Kesehatan R I, 2005. 58. Patz JA, Lendrum DC, Holloway T, Foley JA. Impact of regional climate change on human health. Nature 2005;438:310-317. 59. Confalonierie U, Menne B. Akhar R et al. Human Health. in Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vunerability. Contribution of Working Group II to Fourth Assessment Report of the Intergovermental Panel on Climate Change. 2007 (cited 2009 April 29) Available from URL: http://www.grp89. dial.pipex.com/ chpt.htm. 60. World Health Organization, Indoor air Pollution and Health. WHO: Geneva, Switzerland. 2005.
22
Vol. 9, No.1, Februari 2010