PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN PADA

Download standar ini menghubungkan antara konsentrasi formaldehid sebagai sumbu. X dengan nilai absorbansinya sebagai sumbu Y. D. BORAKS. 1. Sifat K...

0 downloads 487 Views 962KB Size
SKRIPSI

PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG FORMALDEHID DAN BORAKS

Oleh MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038

2005 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

54

Martantri Dwi Nugrahani. F24101038. Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Basah Matang yang Mengandung Formaldehid dan Boraks. Di bawah bimbingan Nuri Andarwulan dan Dahrul Syah. 2005. RINGKASAN Penggunaan bahan tambahan ilegal seperti formalin dan boraks dalam pembuatan mie basah banyak terjadi, khususnya di daerah Jabotabek. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan umur simpan mie basah. Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri), Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan tambahan ilegal (formalin atau boraks). Perinciannya adalah 13 industri (76.47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94.12%) menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 industri (70.59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23.53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5.88%) yang menggunakan formalin saja (Indrawan, 2005). Kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di pasar tradisional Jabotabek adalah 106.00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 914.36 mg/kg (mie basah matang). Mie yang dijual oleh pedagang produk olahan mie daerah Jabotabek rata-rata mengandung formalin 72.93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3 423.51 mg/kg (mie basah matang). Sementara itu, mie yang dijual di supermarket Jabotabek mengandung formalin 113.45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 941.82 mg/kg (mie basah matang) (Gracecia, 2005; Priyatna, 2005). Formaldehid dan boraks yang ditambahkan ke dalam bahan pangan merupakan salah satu bahaya terhadap keamanan pangan. Formalin adalah nama umum yang dipakai untuk larutan 37% gas formaldehid dalam air. Senyawa ini mudah terbakar, berbau tajam, tidak berwarna, mudah dipolimerisasi pada suhu ruang, dan berfungsi sebagai desinfektan atau pengawet (Hart, 1983). Sodium tetraborat dekahidrat dikenal juga dengan nama boraks, yang mempunyai rumus kimia Na2B4O7.10H2O dengan berat molekul 381.44. Boraks biasanya digunakan untuk deterjen, perekat, kosmetik, obat-obatan, desinfektan, insektisida, serta sebagai pelarut gum, dekstrin, dan kasein. Penelitian terhadap mie basah mentah yang dilakukan oleh Oktaviani (2005) menunjukkan bahwa formaldehid akan menurunkan kelarutan protein. Boraks juga dapat menurunkan kelarutan protein dalam jumlah yang lebih rendah daripada formaldehid. Kombinasi kedua aditif tersebut semakin menurunkan kelarutan protein. Selain itu, daya cerna protein in vitro menurun secara signifikan pada mie mentah yang ditambah formaldehid. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik dan kualitas protein pada mie basah matang yang mengandung formaldehid dan boraks berdasarkan parameter fisik dan kimia, kadar formaldehid dan boraks dalam produk akhir, perubahan sifat kelarutan protein dalam larutan garam, asam, dan basa, perubahan daya cerna protein in vitro, serta pola elektroforesis SDS-PAGE dan nativePAGE. Sampel yang diteliti berupa mie basah matang yang dibuat dengan penambahan formaldehid, boraks, kombinasi keduanya, dan tanpa penambahan kedua bahan tersebut.

55

Mie basah matang relatif lebih tahan terhadap reaksi pencoklatan enzimatis dibandingkan mie basah mentah. Hal ini disebabkan enzim polifenol oksidase (PPO) telah diinaktifkan selama perebusan. Penambahan formaldehid menyebabkan warna kuning mie semakin pudar, namun tingkat kecerahannya semakin tinggi. Dua sampel yang memiliki konsentrasi formaldehid tertinggi (penambahan sebanyak 3680 mg/kg air perebus) mempunyai warna yang berbeda nyata dengan keempatbelas sampel lainnya (p<0.05). Pigmen karotenoid dari minyak nabati tidak cukup meningkatkan warna kuning kedua sampel tersebut. Sementara itu, karakteristik fisik berupa gaya putus dan elongasi, serta karakteristik kimia berupa Aw, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat seluruh sampel tidak berbeda nyata (p>0.05). Jumlah absolut formaldehid yang terukur dalam produk akhir selalu lebih kecil dibandingkan jumlah absolut formaldehid di dalam air perebus. Keduanya berbanding lurus secara linier dengan R2 lebih besar dari 0.9 dan koefisien X jauh lebih kecil dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa mie memiliki keterbatasan dalam menyerap formaldehid, dan semakin tinggi kadar formaldehid dalam air perebus, kemampuan mie menyerap formaldehid justru semakin menurun. Obat mie pasar diketahui mengandung boraks sebanyak 38.64 mg/g, sehingga mie yang dibuat dengan menggunakan obat mie akan selalu mengandung boraks dalam jumlah lebih besar dibandingkan mie yang dibuat dengan menggunakan kansui. Daya cerna mie basah matang justru meningkat dengan semakin tingginya kandungan formaldehid. Penurunan daya cerna baru terjadi apabila formaldehid dikombinasikan dengan boraks. Pengaruh boraks dalam menurunkan solubilitas protein lebih besar pada mie yang menggunakan obat mie dibandingkan pada mie yang menggunakan kansui. Sebaliknya, pengaruh penambahan formaldehid justru lebih besar pada mie yang menggunakan kansui dibandingkan mie yang menggunakan obat mie. Kombinasi formaldehid dan boraks sekaligus umumnya menghasilkan solubilitas protein yang lebih rendah dibandingkan sampel yang hanya mengalami penambahan salah satu aditif. Sampel dengan kadar boraks rendah, mempunyai solubilitas maksimum pada pH basa, sedangkan sampel dengan kadar boraks tinggi mempunyai solubilitas maksimum pada pH asam. Pada mie yang ditambah formaldehid, solubilitas maksimum umumnya tercapai di pH basa. Solubilitas sampel yang mengalami penambahan formaldehid sekaligus boraks umumnya menurun dengan meningkatnya konsentrasi garam. Elektroforegram SDS-PAGE menunjukkan bahwa sampel tanpa penambahan aditif dan sampel yang ditambah boraks diperkirakan mengandung subunit protein ω-5-gliadin, ω-1,2-gliadin, α-gliadin, γ-gliadin, dan LMW subunit glutenin. Sementara itu, sampel dengan penambahan formaldehid dan kombinasi formaldehid-boraks diduga mengandung ω-1,2-gliadin, α-gliadin, γ-gliadin, dan LMW subunit glutenin. BM protein di dalam native-PAGE jauh lebih besar daripada BM protein di dalam SDS-PAGE. Protein di dalam native-PAGE juga tidak terpisah menjadi beberapa subunit. Untuk sampel tanpa penambahan formaldehid dan boraks, BM subunit proteinnya dapat diduga sebagai HMW subunit glutenin. BM protein sampel lainnya, baik yang hanya mengalami penambahan formaldehid atau boraks saja, maupun keduanya, mempunyai nilai yang jauh lebih besar daripada BM sampel yang dihasilkan dalam SDS-PAGE.

56

PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG FORMALDEHID DAN BORAKS

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038

2005 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

57

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG FORMALDEHID DAN BORAKS SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038 Dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1983 Di Bogor Tanggal Lulus: 9 Desember 2005 Menyetujui, Bogor,

Desember 2005

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen ITP

58

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama lengkap Martantri Dwi Nugrahani dilahirkan di Bogor pada hari Kamis, 3 Maret 1983. Sebagai anak kedua dari dua bersaudara, penulis dibesarkan dalam keluarga yang bahagia, dengan ayah bernama Suripto dan ibu bernama Sri Yuli Absari. Bangku sekolah dijalani oleh penulis di kota hujan, dimulai dari TK Tunas Rimba 2 Bogor, SDN Panaragan 1 Bogor, SMPN 4 Bogor, dan SMUN 5 Bogor. Selepas SMU, penulis diterima menjadi mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) di divisi kesekretariatan, anggota paduan suara Fateta, asisten praktikum Teknologi Pengolahan Bumbu dan Rempah (2005), dan asisten praktikum Kimia untuk mahasiswa tingkat 1 (2003–2005). Penulis juga berpartisipasi dalam kepanitiaan berbagai acara di lingkungan Fateta, seperti Lepas Landas Sarjana, Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan, dan BAUR. Pada tahun 2002, penulis mendapat beasiswa Gudang Garam, kemudian pada tahun 2003, penulis berhasil memperoleh beasiswa BCA. Pertengahan tahun 2004, penulis mengikuti Praktek Lapangan selama 2 bulan dengan tema “Penerapan GMP (Good Manufacturing Practices) dalam Produksi Susu Chilled, Susu Prepack, dan Susu Cup di Milk Treatment KPBS Pangalengan Bandung”. Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis melakukan penelitian mengenai “Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Basah Matang yang Mengandung Formaldehid dan Boraks” di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, Msi. dan Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.

59

KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, atas rahmat dan karunia Allah SWT, tugas akhir mengenai perubahan karakteristik dan kualitas protein pada mie basah matang yang mengandung formaldehid dan boraks ini dapat diselesaikan. Di dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam penyelesaian tugas akhir ini, di antaranya adalah: 1. Mama dan Bapak, kata dan perbuatan tidak akan pernah cukup untuk membalas semua kerja keras, kasih sayang, doa, semangat, serta dukungan moril dan materiil yang telah kalian berikan. 2. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi., selaku dosen pembimbing, yang telah memberi nasihat, motivasi, saran, dan kritik yang membangun. 3. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc., yang telah memberi saran dan masukan selama penelitian ini. 4. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc., atas kesediaannya menjadi dosen penguji. 5. Australian Wheat Board, atas dukungan dana untuk penelitian ini. 6. Keli, kakakku tersayang, Puji sepupuku, dan keluarga besar Rd. Suryo Hadi Sapoetro, lingkungan penuh kasih sayang tempat penulis dibesarkan. 7. Loemoeders (Sanjung, Via, Maya, Vica, dan Ari), sahabat-sahabat yang membuat masa kuliah di TPG menjadi lebih indah. 8. Laboran-laboran (Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Rojak, Pak Yahya, Pak Sidiq, Pak Gatot, Bu Rubiah, Teh Ida, dan Mbak Darsi). 9. Okta, rekan penelitian yang selalu siap membantu, selalu memberi semangat, dan selalu menjadi inspirasi bagi penulis. 10. Teman-teman TPG 38, khususnya golongan B yang kompak, seru, dan penuh kekeluargaan, Ari Junaedi, Gesit, kelompok B1 (Hans, Inne, Armi, dan Chamdani), teman-teman sebimbingan (Daniel, Pahrudin, dan Anwar), serta adik-adik kelasku TPG 39 (Yulizar, Ully, dkk). 11. Nia, yang telah membantu dalam perubahan skripsi ini dari bentuk disket menjadi tulisan di atas kertas.

60

12. Rekan-rekan di laboratorium, khususnya Lina, Meli, Wulan, Derry, Astri, Aya, Putri, Christina, Mimi, Umi, Vivin, Sigit, Riyadi, Inggrid, Gilang, Stella, Hendry, Ale, Sidarta, Amanda, dan Novi. Penulis telah berusaha menyusun skripsi ini sebaik mungkin, namun tidak ada karya manusia yang sempurna. Semoga dengan kekurangan yang masih ada, skripsi ini tetap dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Desember 2005 Penulis

61

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR…………………………………………………………

iii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………...

v

DAFTAR TABEL……………………………………………………………... viii DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………..

ix

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………...

xi

I.

PENDAHULUAN………………………………………………………...

1

A. LATAR BELAKANG………………………………………………..

1

B. TUJUAN PENELITIAN……………………………………………...

3

C. MANFAAT PENELITIAN…………………………………………..

3

II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………..

4

A. MIE…………………………………………………………………...

4

1. Pembuatan Mie Basah Matang…………………………………….

5

2. Warna Mie…………………………………………………………

8

3. Tekstur Mie………………………………………………………..

9

B. PROTEIN…………………………………………………………….. 11 1. Protein Gandum…………………………………………………... 11 2. Sifat-sifat Protein…………………………………………………. 14 C. FORMALDEHID……………………………………………………. 20 1. Sifat Kimia dan Fisik Formaldehid……………………………….. 20 2. Studi Keamanan Formaldehid…………………………………….. 23 3. Analisis Formaldehid (AOAC, 1995)…………………………….. 28 D. BORAKS…………………………………………………………….. 28 1. Sifat Kimia dan Fisik Boraks……………………………………... 28 2. Studi Keamanan Boraks…………………………………………... 31 3. Analisis Boraks (SNI, 1991)……………………………………… 33 E. ELEKTROFORESIS………………………………………………… 35 1. SDS-PAGE………………………………………………………... 37 2. Native-PAGE……………………………………………………… 38

62

III. BAHAN DAN METODE………………………………………………… 39 A. BAHAN DAN ALAT………………………………………………... 39 B. METODE PENELITIAN…………………………………………….. 40 1. Pembuatan Mie Basah Matang……………………………………. 40 2. Analisis Sifat Fisik………………………………………………... 42 a. Warna (Metode Hunter)……………………………………….. 42 b. Tekstur (Gaya Putus dan Elongasi)…………………………… 43 3. Analisis Sifat Kimia………………………………………………. 44 a. Aktivitas Air (Aw)……………………………………………... 44 b. Kadar Air (AOAC, 1995)……………………………………… 44 c. Kadar Abu (AOAC, 1995)…………………………………….. 45 d. Kadar Protein (Metode Mikro Kjeldahl)………………………. 45 e. Kadar Lemak (Metode Soxhlet)……………………………….. 46 f. Kadar Karbohidrat (by difference)……………………………... 46 g. Kadar Formaldehid (AOAC, 1995)……………………………. 47 h. Kadar Boraks (SNI, 1991)………………………………........... 47 4. Daya Cerna Protein In Vitro (Teknik Multi Enzim)……………… 49 5. Analisis Solubilitas Protein……………………………………….. 49 a. Persiapan Sampel untuk Solubilitas (Sathe, 1994)…………….. 49 b. Pengukuran Solubilitas Protein (Metode Bradford)…………… 49 c. Perubahan Solubilitas Protein akibat Perubahan pH…………... 50 d. Perubahan Solubilitas Protein di dalam Larutan Garam………. 51 6. Elektroforesis……………………………………………………... 51 a. Persiapan Sampel untuk Elektroforesis………………………... 51 b. SDS-PAGE dan Native-PAGE………………………………… 51 7. Analisis Data……………………………………………………… 52 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………… 53 A. KARAKTERISTIK FISIK MIE BASAH MATANG……………….. 53 1. Warna……………………………………………………………... 53 2. Tekstur……………………………………………………………. 55 B. KARAKTERISTIK KIMIA MIE BASAH MATANG…………….... 57 1. Aktivitas Air (Aw)………………………………………………... 57

63

2. Kadar Air………………………………………………………….. 59 3. Kadar Abu………………………………………………………… 60 4. Kadar Protein……………………………………………………... 62 5. Kadar Lemak……………………………………………………… 63 6. Kadar Karbohidrat………………………………………………… 65 7. Kadar Formaldehid………………………………………………... 67 8. Kadar Boraks……………………………………………………… 70 C. DAYA CERNA PROTEIN………………………………………….. 74 D. SOLUBILITAS………………………………………………………. 76 1. Solubilitas Protein dalam Berbagai pH…………………………… 80 2. Solubilitas Protein dalam Berbagai Konsentrasi Larutan Garam…. 83 E. ELEKTROFORESIS………………………………………………… 86 1. SDS-PAGE………………………………………………………... 86 2. Native-PAGE……………………………………………………… 93 V. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………… 99 A. KESIMPULAN………………………………………………………. 99 B. SARAN………………………………………………………………. 101 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 102 LAMPIRAN…………………………………………………………………… 108

64

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Syarat mutu mie basah (SNI 01-2987-1992)………………………..

5

Tabel 2. Karakteristik formaldehid…………………………………………... 20 Tabel 3. Kandungan formaldehid dalam bahan pangan……………………... 22 Tabel 4. Pengaruh formaldehid bagi kesehatan manusia melalui pernapasan.. 25 Tabel 5. Kandungan boron dalam beberapa bahan pangan………………….. 30 Tabel 6. Keterangan jumlah dari bahan tambahan…………………………... 40 Tabel 7. Formulasi bahan tambahan untuk masing-masing sampel…………. 41 Tabel 8. Nilai Aw dan kadar air mie basah………………………………….. 58 Tabel 9. Kadar proksimat tepung terigu Segitiga dan Cakra Kembar.............. 59 Tabel 10. Kadar formaldehid mie basah matang……………………...………. 68 Tabel 11. Kadar boraks mie basah matang……………………………………. 71 Tabel 12. Konsentrasi akrilamid untuk pemisahan protein pada BM tertentu... 87 Tabel 13. Subunit protein mie basah matang dalam SDS-PAGE……………... 90 Tabel 14. Perbandingan berat molekul (BM) subunit protein mie matang dalam native-PAGE dan SDS-PAGE………………………………. 96

65

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Senyawa asam borat……………………………………………... 29 Gambar 2. Reaksi polimerisasi akrilamid…………………………………… 36 Gambar 3. Diagram alir pembuatan mie basah matang……………………... 42 Gambar 4. Kurva hubungan gaya putus dan elongasi……………………….. 43 Gambar 5. Diagram alir tahapan dalam elektroforesis………………………. 52 Gambar 6. Pengaruh penambahan aditif terhadap warna mie.............………. 54 Gambar 7. Pengaruh penambahan aditif terhadap tekstur mie.............……… 56 Gambar 8. Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar abu mie.............…... 61 Gambar 9. Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar protein mie.............. 63 Gambar 10. Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar lemak mie................ 65 Gambar 11. Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar karbohidrat mie…... 66 Gambar 12. Penyerapan formaldehid pada mie basah matang.………………. 68 Gambar 13. Hubungan kadar formaldehid dengan adanya boraks di dalam mie matang..................................................................................... 69 Gambar 14. Hubungan kadar boraks dengan adanya formaldehid di dalam mie matang yang menggunakan obat mie...................................... 72 Gambar 15. Hubungan kadar boraks dengan adanya formaldehid di dalam mie matang yang menggunakan kansui.......................................... 72 Gambar 16. Jumlah boraks yang tertahan di dalam mie basah matang............. 73 Gambar 17. Hubungan formaldehid dengan boraks dalam mie matang……… 73 Gambar 18. Pengaruh penambahan aditif terhadap daya cerna protein mie….. 74 Gambar 19. Solubilitas protein mie basah matang dalam NaOH 0.1 M……… 77 Gambar 20. Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan obat mie dalam berbagai pH................................................................... 81 Gambar 21. Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan kansui dalam berbagai pH.............................................................. 82 Gambar 22. Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan obat mie dalam larutan garam................................................................ 84

66

Gambar 23. Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan kansui dalam larutan garam............................................................ 85 Gambar 24. Elektroforegram I SDS-PAGE pada konsentrasi gel 10%………. 88 Gambar 25. Elektroforegram II SDS-PAGE pada konsentrasi gel 10%……… 89 Gambar 26. Elektroforegram I native-PAGE pada konsentrasi gel 5%………. 94 Gambar 27. Elektroforegram II native-PAGE pada konsentrasi gel 5%……... 95

67

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Karakteristik fisik dan Aw mie basah matang………………..

108

Lampiran 2. Karakteristik kimia mie basah matang……………………….. 110 Lampiran 3. Uji Anova One-Way dan uji Duncan terhadap tingkat kekuningan mie………………………………………………. 112 Lampiran 4. Uji Anova One-Way dan uji Duncan terhadap tingkat kecerahan mie……………........................................................ 113 Lampiran 5. Uji Anova One-Way dan uji Duncan terhadap derajat hue mie……………………………………………………………. 114 Lampiran 6. Uji Anova One-Way terhadap gaya putus mie………………..

115

Lampiran 7. Uji Anova One-Way terhadap persen elongasi mie…………... 115 Lampiran 8. Uji Anova One-Way terhadap aktivitas air mie………………. 115 Lampiran 9. Uji Anova One-Way terhadap kadar air mie………………….

115

Lampiran 10. Uji Anova One-Way terhadap kadar abu mie………………… 116 Lampiran 11. Uji Anova One-Way terhadap kadar protein mie……………..

116

Lampiran 12. Uji Anova One-Way terhadap kadar lemak mie……………… 116 Lampiran 13. Uji Anova One-Way terhadap kadar karbohidrat mie………...

116

Lampiran 14. Kurva standar formaldehid…………………………………… 117 Lampiran 15. Daya cerna protein mie basah matang………………………..

118

Lampiran 16. Kurva standar BSA…………………………………………...

119

Lampiran 17. Solubilitas protein mie basah matang………………………...

120

Lampiran 18. Larutan-larutan untuk elektroforesis…………………………. 121 Lampiran 19. Prosedur elektroforesis……………………………………….. 124 Lampiran 20. Kurva standar elektroforesis………………………………….

127

Lampiran 21. Perhitungan kesalahan mutlak SDS-PAGE dan native-PAGE. 130

68

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Pasal 1 ayat 4 Undang-undang RI no. 7 tahun 1996 tentang Pangan menyatakan keamanan pangan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Kesadaran masyarakat Indonesia akan keamanan pangan dapat dikatakan masih sangat rendah. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya makanan dan jajanan yang mengandung bahan tambahan yang dilarang seperti formalin dan boraks. Kepala Direktorat Surveilan dan Keamanan Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Winiati Pudji Rahayu (2005) menyatakan bahwa walaupun tidak bisa dipastikan berapa persen dari masyarakat Indonesia yang mengerti dan sadar tentang keamanan pangan, jumlah yang tidak mengerti lebih banyak. Senada dengan Winiati, Endang S. Rahayu dari Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas

Gadjah

Mada

(UGM)

mengungkapkan

bahwa

berdasarkan hasil survei yang dilakukannya terhadap 40 unit Usaha Kecil Menengah (UKM), hanya 61% dari pengelola UKM yang memahami tentang pedoman cara produksi yang baik untuk makanan berdasarkan SK Menkes 1978, sementara 8% tidak paham sama sekali. Endang juga menyampaikan hasil penelitian BPOM pada 2003, yang menunjukkan bahwa dari 9 456 sampel makanan/jajanan yang diambil, 5.6%-nya tidak memenuhi persyaratan. Selain itu, 195 jenis produk makanan menggunakan pewarna yang bukan untuk makanan (rhodamin B), 70 jenis menggunakan formalin, 94 jenis menggunakan boraks, dan 50 jenis menggunakan pengawet yang berlebihan terutama asam benzoat (Media Indonesia On Line, 2004). Banyaknya UKM yang tidak memahami pedoman produksi makanan yang baik sangat mengkhawatirkan, karena mereka seharusnya menjadi tulang punggung keamanan pangan.

69

Mie basah merupakan salah satu contoh produk pangan yang dihasilkan oleh UKM. Mie basah telah menjadi makanan populer dan merupakan bagian yang penting dalam diet masyarakat Indonesia. Pembuatan mie saat ini menggunakan bahan tambahan, dengan tujuan memperbaiki sifat fisik dan daya tahan mie. Biasanya, bahan tambahan yang digunakan adalah K2CO3, Na2CO3, dan polifosfat yang pada kadar tertentu boleh digunakan. Hasil survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri), Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) menunjukkan bahwa natrium benzoat digunakan oleh 91.7% industri mie basah dan 100% industri mie matang, kalium sorbat bersama-sama dengan natrium benzoat digunakan oleh 16.7% industri mie mentah dan 20% industri mie matang, sedangkan pewarna tartrazine digunakan oleh 16.7% industri mie mentah dan 100% industri mie matang (Indrawan, 2005). Mie basah memiliki umur simpan yang pendek, hanya sekitar satu sampai dua hari pada suhu ruang. Kerusakan yang terjadi banyak disebabkan oleh kontaminasi mikroba selama proses produksi dan kerusakan selama pengangkutan atau distribusi. Itulah sebabnya, banyak produsen yang menggunakan bahan tambahan ilegal seperti formalin dan boraks untuk meningkatkan umur simpan mie basah. Mereka melakukan ini untuk meraih keuntungan lebih besar tanpa memikirkan bahayanya bagi kesehatan. Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang di daerah Jabotabek yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan tambahan ilegal (formalin atau boraks). Perinciannya adalah 13 industri (76.47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94.12%) menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 industri

(70.59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri

(23.53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5.88%) yang menggunakan formalin saja (Indrawan, 2005).

70

B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik dan kualitas protein pada mie basah matang yang mengandung formaldehid dan boraks, berdasarkan parameter fisik dan kimia mie basah matang, kadar formaldehid dan boraks dalam produk akhir, perubahan sifat kelarutan protein dalam larutan garam, asam, dan basa, perubahan daya cerna protein in vitro, serta pola elektroforesis SDS-PAGE dan native-PAGE.

C. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini berguna untuk memberi informasi mengenai keamanan pangan kepada masyarakat. Melalui analisis ini, karakteristik bahan pangan yang diawetkan dengan formaldehid dan boraks dapat dibedakan berdasarkan sifat fisik, kimia, kelarutan protein, pola elektroforesis, dan nilai biologis in vitro.

71

II. TINJAUAN PUSTAKA A. MIE Mie, seperti halnya nasi, telah memainkan peranan penting dalam diet masyarakat Indonesia. Produk mie umumnya digunakan sebagai sumber energi karena kandungan karbohidratnya yang relatif tinggi. Ada beberapa tipe mie yang disebabkan perbedaan dalam bahan baku, bentuk produk, dan metode pengolahan. Mie tersebut telah melalui berbagai perubahan yang dilatarbelakangi perjalanan waktu, inovasi teknik, dan permintaan konsumen. Pembuatan mie di dalam rumah tangga diperkenalkan dari Cina sekitar 1 200 tahun yang lalu, dan kemudian menyebar ke negara-negara lain. Sekitar 700 tahun yang lalu, telah dikembangkan pembuatan so-men (mie yang sangat tipis) dengan tangan. Pengembangan mesin pembuat mie dilakukan oleh T. Masaki pada 1884 (Kruger et al., 1996), yang menjadi revolusi industri mie. Pada tahun 1957, mie tipe Cina yang disajikan dingin menjadi populer, terutama di daerah Nagoya, Jepang. Pada tahun berikutnya, mie instan pertama yang disebut chicken ra-men diluncurkan ke pasaran, dan pada 1964 banyak industri yang mulai memproduksi mie instan tipe Cina. Menurut Pagani (1985), berdasarkan ukuran diameter produk, mie dibedakan menjadi tiga, yaitu spaghetti (0.11–0.27 inci), mie (0.07–0.125 inci), dan vermiselli (<0.04 inci). Jika dilihat dari bahan bakunya, ada dua jenis mie, yaitu mie yang berasal dari tepung terutama tepung terigu, dan mie transparan yang berasal dari pati (misalnya soun dan bihun). Dari segi jenis produk yang dipasarkan, terdapat dua jenis mie, yaitu mie basah (mie ayam dan mie bakso), dan mie kering (mie telor dan mie instan). Mie kering dan mie basah memiliki komposisi yang hampir sama. Perbedaannya terletak pada kadar air dan tahapan pembuatan. Mie basah yang terdapat di pasaran, berdasarkan pembuatan dan cara konsumsinya, dibedakan menjadi dua jenis, yaitu mie mentah (misalnya untuk mie ayam) dan mie matang (misalnya mie bakso). Mie mentah dijual tanpa

72

dimasak dahulu dan kadar airnya sekitar 35%. Di pihak lain, mie matang telah mengalami pemasakan sehingga kadar airnya meningkat menjadi sekitar 60%. Menurut Badan Standardisasi Nasional (1992), definisi mie basah adalah produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan. Kualitas mie basah menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Syarat mutu mie basah (SNI 01-2987-1992) No. 1.

2. 3. 4.

5.

Kriteria Uji Keadaan : Bau Rasa Warna Kadar air Kadar abu (dihitung atas dasar bahan kering) Kadar protein ((N x 6.25) dihitung atas dasar bahan kering) Bahan tambahan pangan • Boraks dan asam borat • Pewarna

• • •

Satuan

% b/b

Normal Normal Normal 20 – 35

% b/b

Maks. 3

-

% b/b

-

• 6.

7. 8.

Formalin Cemaran logam : • Timbal (Pb) • Tembaga (Cu) • Seng (Zn) • Raksa (Hg) Arsen (As) Cemaran mikroba : • Angka lempeng total • E. coli • Kapang

Persyaratan

mg/kg

mg/kg Koloni/g APM/g Koloni/g

Min. 3

Tidak boleh ada Sesuai SNI-0222-M dan peraturan MenKes. No. 722/Men.Kes/Per/IX/88 Tidak boleh ada Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.05 Maks. 1.0 x 106 Maks. 10 Maks. 1.0 x 104

1. Pembuatan Mie Basah Matang Bahan dasar umum untuk pembuatan mie basah ialah terigu, air, dan bahan tambahan lain seperti garam, air abu, dan minyak goreng. Terigu berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat, sumber protein, pelarut garam, dan pembentuk sifat kenyal gluten. Garam berfungsi

73

memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, serta meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie. Air abu adalah bahan alkali yang digunakan untuk meningkatkan tekstur mie. Air abu atau kansui dapat mengandung satu atau lebih bahan tambahan pangan, dan yang biasa digunakan adalah natrium karbonat (Na2CO3), kalium karbonat (K2CO3), dan kalium polifosfat (KH2PO4) sebagai bahan alkali dalam pembuatan mie. Bahan-bahan alkali tersebut memiliki fungsi berbeda. Gabungan Na2CO3 dan K2CO3 berguna untuk meningkatkan warna kuning dan memberikan flavor yang lebih baik. Na2CO3 sendiri berfungsi untuk meningkatkan kehalusan dan tekstur mie, K2CO3 untuk meningkatkan sifat kekenyalan mie, sedangkan KH2PO4 untuk meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie (Badrudin, 1994). Tahap pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air, dan membentuk adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses pencampuran adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Jumlah penambahan air adalah sekitar 28-38% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang dari 28%, adonan menjadi keras, rapuh, dan sulit dibentuk menjadi lembaran, sedangkan jika air yang ditambahkan lebih dari 38%, adonan menjadi basah dan lengket (Oh et al., 1985). Badrudin (1994) menyatakan bahwa waktu pengadukan terbaik adalah 15 sampai 25 menit. Apabila kurang dari 15 menit, adonan menjadi lunak dan lengket, sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh, dan kering. Suhu adonan yang terbaik adalah 25-40oC. Apabila suhunya kurang dari 25oC, adonan menjadi keras, rapuh, dan kasar, sedangkan bila suhunya lebih dari 40oC, adonan menjadi lengket sehingga mie kurang elastis. Hal ini disebabkan semakin tinggi suhu, kapasitas pengikatan air dari protein semakin berkurang. Akibatnya, jika suhu terlalu rendah, air tidak tersebar merata ke seluruh adonan, namun jika suhu terlalu tinggi, air kurang terikat dalam adonan. Adonan yang diharapkan bersifat lunak, lembut, tidak lengket, halus, elastis, dan mengembang dengan normal.

74

Tahap selanjutnya ialah pembentukan lembaran (sheeting). Proses ini bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membentuk adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan jalan melewatkan adonan berulang-ulang di antara dua roll logam. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ini di antaranya adalah suhu dan jarak antara roll. Hasil akhir yang diharapkan adalah berupa lembaran adonan yang halus dengan arah jalur serat searah, sehingga dihasilkan mie yang elastis, kenyal, dan halus (Badrudin, 1994). Proses pemotongan.

pembentukan

lembaran

dilanjutkan

dengan

proses

Proses pemotongan lembaran bertujuan untuk membentuk

pita-pita mie dengan ukuran lebar 1-3 mm. Selanjutnya, mie direbus. Perebusan pita-pita mie bertujuan agar terjadi proses gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal (Badrudin, 1994). Gelatinisasi merupakan peristiwa pembengkakan granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali pada posisi semula (Winarno, 1991). Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan akan membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie yang dapat menghasilkan kelembutan mie, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi daya rehidrasi mie (Badrudin, 1994). Tahap terakhir adalah pemberian minyak goreng. Pelumasan mie yang telah direbus dengan minyak goreng dilakukan agar untaian mie tidak menjadi lengket satu sama lain, memberikan citarasa, serta meningkatkan warna dan penampakan agar mie tampak mengkilap. Kadar air mie basah yang cukup tinggi menyebabkan mie basah cepat mengalami kerusakan walaupun disimpan pada suhu lemari es. Kerusakan yang sering terjadi adalah timbulnya kapang. Pada mie basah matang, kerusakan terjadi pada penyimpanan suhu kamar setelah 40 jam, berupa tumbuhnya kapang (Hoseney, 1998). Setelah melewati umur simpan, mie basah akan menunjukan tandatanda kerusakan. Karena mie basah cepat mengalami kerusakan atau kebusukan, banyak usaha dilakukan untuk mencampurkan bahan kimia

75

pengawet. Seringkali pengawet yang dipakai bukanlah pengawet yang ditujukan untuk makanan. Penggunaan bahan tambahan ilegal formalin dan boraks yang banyak terjadi di Jabotabek, dapat meningkatkan umur simpan mie basah (Indrawan, 2005). Hal ini terlihat dari hasil survei terhadap pedagang pasar tradisional dan pedagang produk olahan mie di daerah Bogor dan Jakarta, yang menunjukkan bahwa umur simpan mie basah mentah bisa mencapai 4 hari, sementara umur simpan mie basah matang bisa mencapai 14 hari (Gracecia, 2005). Pedagang pasar tradisional maupun pedagang produk olahan mie di daerah Bogor dan Jakarta sependapat menyatakan bahwa kerusakan mie basah mentah ditandai dengan timbulnya jamur (adanya bintik-bintik warna hitam/merah/biru), munculnya bau asam, mie menjadi hancur, patah-patah, atau menjadi lembek. Demikian juga untuk mie basah matang, ciri kerusakan ditandai dengan adanya bau asam, tekstur menjadi lengket, berlendir, lembek, atau mie menjadi hancur. Secara umum, ciri-ciri kerusakan mie basah mentah dan mie basah matang hampir sama (Gracecia, 2005).

2. Warna Mie Mutu bahan pangan sangat bergantung pada beberapa faktor, seperti citarasa, warna, tekstur, nilai gizi, dan sifat mikrobiologisnya. Di antara faktor-faktor tersebut, warna seringkali menjadi faktor penting yang menjadi penilaian pertama. Bahan yang dinilai bergizi, enak, dan bertekstur baik, tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Ada 5 sebab umum yang dapat menyebabkan suatu bahan makanan menjadi berwarna, yaitu: (1) pigmen yang secara alami terdapat pada tanaman dan hewan; (2) reaksi karamelisasi yang timbul bila gula dipanaskan menghasilkan warna coklat; (3) warna gelap yang timbul karena adanya reaksi Maillard; (4) reaksi antara senyawa organik dengan udara menghasilkan warna hitam atau coklat gelap; (5) penambahan zat warna, baik zat warna alami maupun zat warna sintetik.

76

Warna mie sering diasosiasikan dengan warna kuning. Warna kekuningan alami pada mie mentah disebabkan oleh kandungan flavonoid pada tepung terigu, yaitu karotenoid (Kruger et al., 1996). Komponen warna ini akan terlepas dari pati pada kondisi alkali, sehingga pigmen-pigmen flavonoid berpeluang membentuk warna kuning pada adonan. Oleh karena itu, penambahan alkali seperti kansui dan obat mie pada pembuatan mie akan menyebabkan perubahan warna mie menjadi kuning. Karotenoid utama di dalam gandum adalah karoten, xantofil, dan ester xantofil (Rhim et al., 2000). Sebenarnya, kandungan karotenoid dalam gandum sangat sedikit jika dibandingkan dengan kandungan karotenoid dalam jagung. Oleh karena karotenoid hanya merupakan konstituen minor dari gandum, maka gandum bukanlah sumber prekursor vitamin A yang signifikan. Meskipun demikian, warna yang berasal dari karotenoid merupakan faktor penting dalam penggunaan serealia untuk produksi pangan, terutama gandum durum yang digunakan untuk membuat pasta. Menurut Hoseney (1998), selain timbulnya kapang, kerusakan pada mie basah mentah adalah perubahan warna menjadi lebih gelap setelah disimpan selama 50-60 jam pada suhu lemari es. Perubahan warna mie menjadi lebih gelap disebabkan aktivitas enzim polifenol oksidase (PPO), enzim yang juga menyebabkan browning pada buah. Enzim PPO dalam adonan mie berasal dari tepung terigu. Penelitian Baik et al. (1995) menunjukkan bahwa aktivitas enzim PPO pada tepung terigu kuat (hard flour) lebih tinggi dibandingkan tepung terigu lemah (soft flour). Karena adonan mie menggunakan terigu dengan kandungan protein tinggi (hard flour), maka mie mentah mudah mengalami pencoklatan enzimatis. Oh et al. (1985) menyatakan bahwa warna mie mentah juga dipengaruhi oleh absorpsi air dan pH adonan. Jika absorpsi air meningkat, reaksi pencoklatan enzimatis berpeluang untuk terjadi. Pencoklatan enzimatis tidak terjadi pada mie matang, karena perebusan dapat merusak enzim PPO (Hoseney, 1998). 3. Tekstur Mie Tekstur mie yang dimaksud di sini mencakup gaya putus dan persentase elongasi. Gaya putus merupakan gaya maksimum mie untuk

77

menahan beban yang dinyatakan dalam satuan gram force (gf), sedangkan persentase elongasi merupakan daya ulur mie, yaitu perubahan panjang maksimum mie sebelum sampel rusak atau putus yang dibandingkan dengan panjang awalnya (Hay, 1968). Protein gluten terutama fraksi gliadinnya mempunyai peran penting dalam memperkuat adonan mie (Ruiter, 1978). Gluten merupakan suatu massa yang kohesif dan dapat meregang secara elastis, sehingga peningkatan gluten akan menyebabkan adonan semakin elastis dan tidak mudah putus, baik sewaktu pencetakan maupun gelatinisasi. Dexter et al. (1981) menambahkan bahwa kekuatan adonan mie berasal dari interaksi ikatan disulfida pada gluten. Pengurangan ikatan disulfida dan ikatan ionik akan menurunkan elastisitas dan kekuatan mie. Jadi, penurunan kadar gluten menyebabkan mie rapuh dan mudah patah. Menurut Roos et al. (1997), mie disebut memiliki tekstur yang baik apabila dapat memanjang lebih dari 75% dari panjang mula-mula. Bahan-bahan aditif yang ditambahkan ke dalam adonan dapat mempengaruhi tekstur produk. Asam borat dapat membentuk kompleks dengan protein dan karbohidrat untuk memperkuat tekstur. Reaksi antara asam borat dengan gugus hidroksil yang banyak terdapat dalam senyawa tersebut akan menghasilkan ester. Ester yang paling stabil terbentuk ketika asam borat menjadi jembatan di antara komponen karbohidrat misalnya pada fruktosa-boron-fruktosa. Kemampuan formaldehid dalam memodifikasi gaya putus dan elongasi terjadi karena formaldehid bereaksi dengan gugus ε-NH2 dari lisin untuk membentuk ikatan silang protein yang memperkuat tekstur. Kemampuan formaldehid dalam melakukan ikatan silang pada protein telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Misalnya penelitian terhadap biopolimer dari film tepung biji kapas yang dilakukan oleh Marquie et al. (1997). Di dalam larutan yang basa, ikatan silang antara protein yang disebabkan oleh formaldehid berupa ikatan silang metilen di antara asam amino lisin. Ikatan silang ini akan meningkatkan daya sobek maksimum (maximum puncture

78

force) film tepung biji kapas. Bentuk ikatan silang metilen dapat digambarkan sebagai berikut (Marquie et al., 1997): Protein

Lys-NH-CH2-NH-Lys

Protein

Pembentukan ikatan silang akibat reaksi antara formaldehid dengan grup asam amino bebas lisin juga bisa terjadi pada film gluten gandum. Akibatnya, sifat mekanis film ikut berubah. Penelitian yang dilakukan Michard et al. (2000) menunjukkan bahwa pemberian uap formaldehid pada film akan memodifikasi protein dan mempengaruhi sifat fisik film. Pengaruh yang ditimbulkan dapat berbeda tergantung dari jenis polimer protein tersebut. Contohnya, film yang terbuat dari zein dan kacang pea mengalami penurunan elongasi, sedangkan film yang terbuat dari tepung biji kapas justru mengalami peningkatan elongasi (Michard et al., 2000). Formaldehid mampu bereaksi dengan bentuk primer dan sekunder dari amina, hidroksil, amida, dan grup tiol untuk membentuk turunan metilol (WHO, 2001). Tepung terigu mengandung 4-19 mikroekivalen tiol dan 83-130 mikroekivalen grup disulfida per gram protein. Grup tiol pada protein berpengaruh besar dalam pengembangan adonan. Reaksi antara formaldehid dengan grup tiol protein dapat menurunkan elastisitas dan gaya putus karena penurunan jumlah tiol dapat mengurangi kemungkinan terjadinya ikatan intermolekular disulfida. Padahal, ikatan disulfida ini berperan dalam menjaga elastisitas dan gaya putus mie (Kinsella, 1979). Reaksi antara formaldehid dengan grup asam amino pada protein dapat mengurangi toksisitas formaldehid, akan tetapi mengakibatkan penurunan kualitas tekstur. Menurut Dingle (1977), formaldehid dengan konsentrasi 0.5 mM di dalam 100 g daging ikan akan menghasilkan struktur yang keras sehingga mengurangi akseptabilitasnya untuk dikonsumsi. B. PROTEIN 1. Protein Gandum Hard-grain wheat (gandum durum) menghasilkan adonan yang kuat sehingga digunakan dalam pembuatan pasta. Sebaliknya, soft-grain wheat menghasilkan adonan yang lemah, ekstensibel, sehingga digunakan dalam

79

pembuatan kue (biskuit). Gandum dengan sifat di antara keduanya cocok digunakan dalam pembuatan roti. Gandum durum (Triticum turgidum L. var. durum) adalah komoditas pangan penting di dunia, tidak hanya karena lahannya yang luas namun juga karena peranan pentingnya dalam diet. Program-program pangan di tingkat nasional maupun internasional menekankan aktivitasnya bukan hanya terhadap aspek produktivitas, melainkan juga terhadap kualitas gandum. Telah

diketahui

bahwa

karakteristik

gandum

durum

yang

akan

mempengaruhi kualitas produk akhir berhubungan dengan tingginya kandungan protein dan komponen dari protein tersebut. Terdapat hubungan antara komposisi dan struktur protein dengan sifat fungsional. Dari sudut pandang sifat fungsionalnya, protein gandum dibedakan ke dalam dua kelas, yaitu protein monomerik dan protein polimerik, tergantung apakah protein tersebut terdiri dari satu atau lebih rantai polipeptida. Protein monomerik (atau rantai tunggal) tersusun dari dua grup utama, yaitu grup bertipe gliadin dan grup bertipe albumin atau globulin. Gliadin

biasanya

dibagi

menjadi

empat

grup

berdasarkan

mobilitasnya ketika dipisahkan dalam gel poliakrilamid pada kondisi pH asam (acid-PAGE), yaitu α-, β-, γ-, dan ω- gliadin. Bobot molekul gliadin berkisar antara 30 000 sampai 80 000 Da. Subunit ω-gliadin terpisah secara jelas

dari

polipeptida

lainnya

dalam

sodium

dodecyl

sulphate

polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) karena bobot molekulnya (70 000-80 000 Da) tidak berdekatan dengan polipeptida lain. Subunit ωgliadin kekurangan sulfur, tapi subunit gliadin lainnya mempunyai sejumlah residu sistein, yang dapat membentuk ikatan disulfida intramolekul (Srinivasan dan Alain, 1997). Albumin (larut dalam air) dan globulin (larut dalam larutan garam) adalah campuran dari komponen berbobot molekul rendah, banyak di antaranya berupa enzim. Bobot molekulnya lebih rendah daripada gliadin (20 000-30 000 Da). Komposisi asam aminonya juga berbeda nyata dengan protein gluten (gliadin dan glutenin). Protein gluten banyak mengandung

80

asam glutamat dan prolin, sementara albumin dan globulin memiliki kandungan asam glutamat yang lebih rendah namun kaya akan asam amino esensial lisin (Srinivasan dan Alain, 1997). Tiga gugus utama protein menyusun protein polimerik, yaitu glutenin, high molecular weight (HMW) albumin, dan triticin. Glutenin mempunyai porsi terbesar (sekitar 85%) dari protein polimerik. Bersama dengan gliadin, mereka ditemukan dalam serealia dan tepung, dan merupakan fraksi protein utama dalam endosperm gandum durum. Kesamaan komposisi kimia glutenin dan gliadin mengindikasikan adanya kesamaan asal usul genetik. Glutenin mengandung polipeptida-polipeptida berbeda

yang

dihubungkan

oleh

ikatan

disulfida

intermolekul.

Polipeptidanya disebut subunit dan dibagi menjadi low molecular weight (LMW) atau polipeptida berbobot molekul rendah dan HMW atau polipeptida berbobot molekul tinggi, sesuai dengan bobot molekulnya ketika dipisahkan dalam SDS-PAGE. Subunit glutenin menyebabkan perbedaan dalam sifat viskoelastis gluten (Srinivasan dan Alain, 1997). Protein polimerik selanjutnya yang jumlahnya cukup melimpah adalah HMW albumin, terutama β-amilase. Subunit albumin membentuk polimer di antara jenisnya sendiri dan bukan dengan glutenin. Grup lain dari protein polimerik adalah triticin, yaitu protein bertipe seperti globulin. Mereka juga membentuk polimer dengan subunitnya sendiri (Srinivasan dan Alain, 1997). Tepung gandum mengandung pati dan protein. Dua bahan ini menyusun 90% komposisi tepung (70-80% pati dan 10-15% protein). Di dalam produk pangan, pati muncul dalam bentuk granula kecil (diameter 140 μm), dan di dalam sistem seperti adonan, pati terdispersi dan berperan sebagai bahan pengisi. Di pihak lain, protein membentuk jaringan yang kontinyu dalam pengembangan adonan dan bertanggung jawab terhadap viskoelastisitas produk. Interaksi antara protein tepung dan air, yang juga merupakan komponen penting dalam adonan, merupakan faktor kritis dalam tahap pencampuran. Kapasitas penyerapan air dari tepung gandum berkisar antara

81

2.25 sampai 3.15 ml/g (Zayas, 1997). Hidrasi seluruh komponen tepung, terutama protein dan pati, merupakan syarat awal terbentuknya adonan yang baik. Gluten dapat menahan sejumlah besar air di dalam strukturnya, menghasilkan adonan dengan kadar air yang bisa mencapai 60%. Selama pencampuran, gluten yang terdiri dari gliadin dan glutenin akan berinteraksi dengan air, dengan satu sama lain, dan dengan komponen tepung lainnya, seperti lipid, pati, gula, dan protein terlarut. Sifat reologi adonan dipengaruhi oleh rasio protein dalam tepung dan pembentukan ikatan selama tahap pencampuran. Elastisitas dan viskoelastisitas gluten ditentukan oleh glutenin, yang memiliki bobot molekul besar, dan interaksi hidrofobik dari residu asam amino non polar. Glutenin mengandung sejumlah besar asam hidrofobik, misalnya leusin, yang berkontribusi terhadap pembentukan interaksi hidrofobik. Selain itu, sifat elastisitas juga dikembangkan melalui ikatan disulfida interpolipeptida dalam glutenin. (Zayas, 1997). 2. Sifat-sifat Protein Fungsi utama protein bagi tubuh ialah untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Selain itu, protein dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Protein ikut mengatur berbagai proses tubuh, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara membentuk zat-zat pengatur proses dalam tubuh. Adanya gugus amino dan karboksil bebas pada ujung-ujung rantai molekul protein menyebabkan protein mempunyai banyak muatan (polielektrolit) dan bersifat amfoter (dapat bereaksi dengan asam maupun dengan basa). Daya reaksi berbagai jenis protein terhadap asam dan basa tidak sama, tergantung dari jumlah dan letak gugus amino dan karboksil dalam molekul. Di dalam larutan asam (pH rendah), gugus amino bereaksi dengan H+, sehingga protein bermuatan positif. Bila pada kondisi ini dilakukan elektrolisis, molekul protein akan bergerak ke arah katoda. Sebaliknya, di dalam larutan basa (pH tinggi), molekul protein akan

82

bereaksi sebagai asam atau bermuatan negatif, sehingga molekul protein akan bergerak menuju anoda. Pada pH tertentu yang disebut titik isoelektrik (pI), muatan gugus amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan sehingga molekul bermuatan nol. Pengendapan paling cepat terjadi pada titik isoelektrik ini dan tiap jenis protein mempunyai titik isoelektrik yang berlainan, sehingga prinsip ini sering digunakan dalam pemisahan serta pemurnian protein. Kelarutan protein dipengaruhi oleh komposisi, urutan, berat molekul, konformasi asam amino, serta keberadaan grup polar dan nonpolar asam amino (Zayas, 1997). Protein dapat diendapkan secara selektif dengan mengganti pH, kekuatan ionik, konstanta dielektrik, atau suhu larutan. Struktur alami (native) protein umumnya sangat berlipat-lipat. Panas atau pH ekstrim menyebabkan struktur yang kompak itu kehilangan bentuknya. Fenomena ini disebut denaturasi. Protein akan kembali ke struktur native apabila kondisinya cepat dikembalikan ke keadaan normal. Namun, apabila kondisi normal tidak tercapai dengan cepat, protein tidak akan kembali ke bentuk native-nya, karena telah terjadi agregasi dan reaksi kimia. Protein yang stabil pada suhu tinggi atau pH ekstrim paling mudah dipisahkan dengan teknik ini karena protein yang tidak diinginkan akan mengendap akibat denaturasi, sementara protein yang diinginkan akan tertinggal dalam larutan. Denaturasi protein umumnya didefinisikan sebagai perubahan non kovalen dalam struktur protein. Perubahan ini dapat berupa pergantian struktur sekunder, tersier, atau kuartener molekul. Ketika menggunakan definisi ini, harus diperhatikan bahwa terdeteksinya denaturasi sangat bergantung pada metode yang digunakan. Beberapa metode dapat mendeteksi perubahan yang sangat kecil di dalam struktur, sementara metode yang lain membutuhkan terjadinya perubahan yang lebih besar untuk dapat terdeteksi. Salah satu metode tertua yang dimanfaatkan untuk mendeteksi denaturasi adalah pengukuran perubahan solubilitas. Metode ini merupakan

83

pengukuran kasar dari denaturasi protein karena hanya menunjukkan adanya denaturasi, bukan menunjukkan besarnya denaturasi (Zayas, 1997). Protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya. Denaturasi menyebabkan lapisan molekul protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik ke luar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofil terlipat ke dalam. Pembalikan atau pelipatan terutama terjadi bila larutan protein telah mendekati pH isoelektrik, dan akhirnya protein akan menggumpal dan mengendap. Viskositas larutan akan bertambah karena molekul mengembang dan menjadi asimetrik. Demikian pula sudut putaran optik larutan protein akan meningkat. Jika hal ini terjadi pada enzim-enzim yang gugus prostetiknya terdiri dari protein, maka aktivitasnya akan hilang sehingga tidak berfungsi lagi sebagai enzim yang aktif. Denaturasi protein dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya pemanasan,

perubahan

pH,

penambahan

bahan

kimia

seperti

merkaptoetanol, perlakuan mekanik seperti pengadukan, dan sebagainya. Masing-masing mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap denaturasi protein. Ketika protein dihadapkan pada peningkatan suhu yang melebihi batas normal, penurunan solubilitas atau aktivitas enzimatik akan terjadi. Perubahan ini dapat atau tidak dapat reversibel, tergantung jenis protein dan tingkat pemanasan. Seiring dengan peningkatan suhu, sejumlah ikatan dalam molekul protein melemah. Ikatan yang paling pertama terpengaruh adalah interaksi jarak jauh yang dibutuhkan untuk membentuk struktur tersier. Ketika struktur tersier akhirnya pecah, protein menjadi lebih fleksibel dan gugusnya terekspos ke pelarut. Jika pemanasan dihentikan pada tahap ini, protein dapat melipat kembali ke struktur alaminya. Namun, jika pemanasan dilanjutkan, sejumlah ikatan hidrogen yang menstabilkan struktur heliks mulai pecah. Ketika ikatan ini akhirnya putus, air dapat berinteraksi dan membentuk ikatan hidrogen baru dengan nitrogen amida dan oksigen karbonil dari ikatan peptida. Lebih jauh lagi, kehadiran air akan melemahkan ikatan hidrogen dengan meningkatkan konstanta dielektrik di sekitarnya. Ketika struktur heliks akhirnya rusak, gugus hidrofobik

84

terekspos ke pelarut sehingga interaksi hidrofobik meningkat. Perlakuan suhu tinggi terhadap protein menghasilkan denaturasi yang irreversibel. Presipitasi isoelektrik adalah proses di mana protein mengendap pada pH yang mendekati titik isoelektriknya. Titik isoelektrik (pI) protein merupakan pH di mana muatan total protein adalah nol. Protein cenderung bergabung dan mengendap pada pI karena tidak ada tolakan elektrostatik yang membuat mereka berpisah. Walaupun sebagian kecil protein tetap bertahan di larutan pada titik isoelektrik, pH tersebut biasanya merupakan titik solubilitas minimumnya. Protein yang titik isoelektriknya berada pada pH asam disebut protein asam, sedangkan protein yang titik isoelektriknya berada pada pH basa disebut protein basa. Sebagian besar protein pada pH fisiologis berada di atas titik isoelektriknya dan mempunyai muatan bersih negatif. Artinya, terdapat lebih banyak protein asam daripada protein basa (Zayas, 1997). Jika pH diturunkan jauh di bawah titik isoelektriknya, protein akan kehilangan muatan negatif dan menjadi bermuatan positif. Muatan yang sama akan saling tolak menolak dan mencegah protein untuk mulai beragregasi. Di daerah dengan densitas muatan yang besar, tolakan intramolekul mungkin akan cukup besar untuk menyebabkan lipatan protein lepas. Efek ini mirip dengan perlakuan pemanasan medium terhadap struktur protein. Pada beberapa kasus, terurainya lipatan mungkin dapat mengakibatkan gugus hidrofobik terekspos ke pelarut dan terjadi agregasi irreversibel. Sampai hal ini terjadi, penguraian lipatan sebagian besar masih reversibel. Perlakuan pH tinggi mempunyai efek yang analog dengan pH rendah. Pada pH tinggi, protein memiliki muatan negatif besar karena kondisi lingkungan yang mengandung banyak OH- menyebabkan semakin banyak gugus hidroksil protein yang melepaskan H+. Gaya tolak menolak antara muatan negatif tersebut cukup besar untuk menyebabkan lipatan protein terlepas dan akhirnya terjadi agregasi protein. Ketika protein asam terdenaturasi pada kondisi asam (misalnya pH 2-3), protein beragregasi satu sama lain dengan mudah dan presipitasi

85

meningkat pada pH mendekati titik isoelektrik (di mana tolakan elektrostatik rendah). Di pihak lain, ketika protein basa terdenaturasi di kondisi asam, mereka tidak mudah beragregasi karena protein memiliki banyak muatan positif dalam kondisi asam dan gaya tolak menolaknya tinggi. Ketika pH dikembalikan ke netral, protein basa yang tidak mengendap akan kembali ke struktur native-nya. Akan tetapi, hal ini tidak selalu terjadi pada protein asam. Kembalinya protein asam ke struktur alaminya dimungkinkan jika protein dilarutkan dalam denaturan yang sangat kental (misalnya urea atau guanidine hydrochloride). Konsep yang sama berlaku untuk kondisi basa. Akan tetapi, jika perlakuan ini dilakukan dalam jangka waktu lama, protein asam akan mengendap walaupun dalam kondisi basa. Hal ini disebabkan ikatan peptida rusak dan sulfur dilepaskan sebagai akibat berlebihnya jumlah ion hidroksida dalam larutan basa. Oleh karena jumlah protein asam lebih banyak dibandingkan protein basa, sebagian besar protein mengendap di kondisi asam. Namun, ini hanya berlaku untuk perlakuan jangka pendek. Jika perlakuan cukup lama, seperti telah dijelaskan sebelumnya, protein juga akan mengendap dalam kondisi basa. Perbedaan di antara kondisi asam dan basa adalah presipitasi protein di larutan asam biasanya tidak merusak dan dapat kembali ke struktur nativenya, sementara presipitasi protein di larutan basa biasanya merusak sehingga protein tidak dapat kembali ke struktur native-nya. Protein umumnya lebih larut dalam larutan garam dibandingkan dalam air murni. Garam akan berasosiasi dengan gugus protein yang muatannya berlawanan. Kombinasi muatan ini mengikat air lebih banyak daripada muatan tunggal sehingga hidrasi protein meningkat. Peristiwa ini disebut salting in. Namun, jika konsentrasi larutan garam terlalu tinggi, akan terjadi kompetisi antara ion garam dan protein untuk mengikat air. Ketika hal ini terjadi, protein akan mengalami dehidrasi dan kehilangan solubilitas. Akibatnya, protein terpisah sebagai endapan. Peristiwa pengendapan protein ini disebut salting out.

86

Solubilitas protein tergantung pada konstanta dielektrik larutan di sekelilingnya karena hal itu mempengaruhi kekuatan interaksi elektrostatik di antara grup-grup yang bermuatan. Penambahan pelarut organik yang miscible dengan air tapi kurang polar, seperti etanol atau aseton, akan menurunkan konstanta dielektrik sistem. Apabila konstanta dielektrik menurun, interaksi elektrostatik antara grup-grup yang bermuatan dalam protein akan meningkat. Akibatnya, solubilitas protein menurun karena muatan berkurang, sehingga tolakan antara molekul protein tidak cukup untuk mencegah mereka berkumpul. Kehadiran pelarut yang kurang polar juga mempunyai efek melemahkan ikatan hidrogen dari protein. Jumlah pelarut organik yang dibutuhkan untuk menimbulkan presipitasi tergantung dari jenis protein, sehingga protein juga dapat dipisahkan dengan prinsip ini. Jumlah optimumnya bervariasi dari 5-60%. Fraksinasi dengan pelarut biasanya dilakukan pada suhu 0oC atau di bawah itu untuk mencegah denaturasi protein akibat peningkatan suhu yang terjadi ketika pelarut organik bercampur dengan air. Protein bisa membentuk ikatan silang dengan molekul lain, misalnya melalui ikatan kovalen dengan karbohidrat membentuk glikoprotein. Kehadiran grup yang berikatan silang dengan protein cenderung menurunkan kecepatan denaturasi. Ada dua alasan utama untuk hal ini. Pertama, protein yang berikatan silang dan berukuran besar akan lebih sulit terurai lipatannya daripada protein yang tidak berikatan silang. Ketika energi ditambahkan ke sistem dan ikatan yang menjaga struktur sekunder melemah, molekul yang berikatan silang dengan protein akan cenderung mempertahankan struktur. Hal ini terutama terjadi jika ikatan silang berupa ikatan kovalen, seperti dalam ikatan disulfida. Semakin kompak molekul dan semakin banyak jumlah ikatan disulfida, semakin tinggi stabilitas protein. Ikatan silang juga akan mencegah tereksposnya sejumlah besar gugus hidrofobik ke pelarut. Isolasi protein dari mie basah matang dilakukan setelah mie dikeringkan,

ditepungkan,

dan

dihilangkan

lemaknya

(defattisasi).

Penghilangan lemak biasanya menggunakan pelarut organik, misalnya

87

heksan, petroleum eter, dan aseton. Kadar isolat protein juga dipengaruhi oleh kandungan komponen-komponen dari sampel, seperti karbohidrat dan lemak. Hal ini disebabkan protein dapat berikatan dengan molekul-molekul tersebut. Kemampuan ekstraksi protein dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran partikel tepung, umur tepung, perlakuan panas sebelumnya, rasio pelarutan, suhu, pH, dan kekuatan ion dari medium pengekstrak (Kinsella, 1979). C. FORMALDEHID 1. Sifat Kimia dan Fisik Formaldehid Formaldehid merupakan senyawa yang bersifat mudah terbakar, berbau tajam, tidak berwarna, dan mudah dipolimerisasi pada suhu ruang. Formaldehid mudah larut di dalam air, alkohol, dan pelarut polar yang lain, tetapi memiliki kelarutan yang rendah dalam pelarut non polar. Karakteristik lainnya dari formaldehid disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik formaldehid Formaldehid, metanal, metil aldehid, metilen oksida

Nama Struktur Rumus kimia Berat molekul Titik leleh Titik didih Triple point Densitas Tekanan uap (Pa, 25oC) Kelarutan (mg/liter, 25oC) Faktor konversi

H2CO 30.03 -118 sampai -92oC -21 sampai -19oC 155.1 K (-118.0oC) 1.13 x 103 kg/m3 516 000 400 000 – 550 000 1 ppm = 1.2 mg/m3

(WHO, 2002)

Sekalipun berbentuk gas (td=-21oC), formaldehid tidak dapat disimpan

dalam

bentuk

bebasnya

karena

mudah

berpolimerisasi.

Formaldehid sering dibuat dalam bentuk larutan 37% yang lebih dikenal

88

sebagai formalin. Larutan ini berfungsi sebagai desinfektan dan pengawet (Hart, 1983). Di dalam pembuatan formalin ini, seringkali ditambahkan metanol (10-15%) sebagai stabilizer untuk mengurangi polimerisasi internal. Formaldehid merupakan bentuk aldehid yang paling sederhana, namun ia merupakan elektrofil yang paling kuat dan paling reaktif di antara aldehid yang lain. Formaldehid mudah dioksidasi oleh oksigen di atmosfir untuk membentuk asam format. Senyawa ini juga mudah mengalami oksidasi oleh cahaya matahari menjadi karbon dioksida (WHO, 2002). Pada suhu 150oC, formaldehid terdekomposisi menjadi metanol dan karbon monoksida. Selain itu, formaldehid mampu berkondensasi dengan banyak komponen membentuk turunan metilol dan metilen (IARC, 1982). Formaldehid hadir di lingkungan sebagai hasil dari proses alami dan dari tindakan manusia. Senyawa ini terbentuk dalam jumlah besar di troposfer akibat oksidasi hidrokarbon. Dekomposisi tumbuhan juga termasuk dalam proses alami yang menghasilkan formaldehid, walaupun jumlahnya kecil. Udara merupakan daerah utama siklus formaldehid, karena sebagian besar proses produksi, emisi, dan degradasi senyawa ini terjadi di atmosfer. Di

dalam

air,

formaldehid

cepat

mengalami

biodegradasi

oleh

mikroorganisme sehingga konsentrasinya rendah. Begitu pula di dalam tanah, formaldehid mudah terbiodegradasi. Oleh karena penyerapan tanah sangat rendah, formaldehid mudah tercuci dan mobilitasnya sangat tinggi. Konsentrasi formaldehid di udara, dekat permukaan, pegunungan, atau lautan, berkisar antara 0.05 sampai 14.7 μg/m3, dengan konsentrasi mayoritas dalam kisaran 0.1-2.7 μg/m3. Di lingkungan manusia yang jauh dari kawasan industri, kadar rata-ratanya adalah 7-12 μg/m3 dengan sejumlah kecil daerah mencapai 60-90 μg/m3. Air hujan mengandung 110174 μg/l, dengan kadar tertinggi 310-1 380 μg/l. Di dalam air minum, konsentrasi formaldehid sekitar 0.1 mg/l sehingga rata-rata asupan yang berasal dari air minum adalah 0.2 mg/hari.

89

Bahan pangan secara alami mengandung formaldehid, dengan level 1 mg/kg sampai 90 mg/kg. Kontaminasi terhadap pangan bisa terjadi melalui fumigasi, bahan tambahan pangan, atau pemasakan. Asupan dari makanan tergantung komposisi makanan itu sendiri. Bagi orang dewasa, jumlahnya berkisar 1.5-14 mg/hari. Tabel 3 di bawah ini memuat kadar formaldehid dalam beberapa bahan pangan. Tabel 3. Kandungan formaldehid dalam bahan pangan Sampel Produk nabati: Apel summer Wortel Semangka Aprikot Plum Apel winter Tomat Pisang Kentang Anggur Beetroot kecil Kembang kol Beetroot besar Produk hewani: Susu mentah Potongan daging Ham ayam Ham Sosis boy-scout Sosis casino Sosis peasant

Formaldehid (mg/kg) 6.3 6.8 9.0 9.5 11.2 12.5 13.3 16.3 19.5 22.4 22.5 26.9 35.0 0.8 2.9 3.8 12.4 12.9 13.1 20.7

(Trezl et al., 1996)

Secara besar-besaran, formaldehid dihasilkan dari industri buatan manusia, misalnya dalam asap keluaran mesin-mesin, residu, emisi, atau limbah sisa pengolahan formaldehid dan turunan-turunannya, serta bahan yang dikenai perlakuan dengan formaldehid. Emisi formaldehid dari industri bervariasi tergantung tipe industri tersebut. Sejumlah besar dikeluarkan

90

melalui asap kendaraan bermotor, namun ini pun tergantung kebijakan suatu negara dan kualitas bahan bakarnya. Formaldehid mempunyai banyak kegunaan dalam industri. Senyawa ini digunakan dalam produksi plastik dan resin, produk intermediet, dan keperluan lain yang bervariasi seperti agen pengkelat. Salah satu penggunaannya yang paling umum adalah dalam resin urea-formaldehid dan melamin-formaldehid. Di USA, resin dan plastik yang berbasis formaldehid mencapai 60%. Resin formaldehid digunakan sebagai alat perekat pada produksi triplek dan kayu. Formaldehid diaplikasikan dalam bidang medis untuk sterilisasi, sebagai pengawet, dan bahan pembersih rumah tangga. Fungsinya sebagai desinfektan untuk membunuh virus, bakteri, fungi, dan parasit baru efektif jika konsentrasi penggunaannya besar. Algae, protozoa, dan organisme uniseluler lain cukup sensitif terhadap formaldehid dengan konsentrasi akut letal berkisar 0.3-22 mg/l (WHO, 1969). Mekanisme formaldehid sebagai desinfektan adalah membunuh sel dengan cara mendehidrasi sel jaringan dan sel bakteri dan menggantikan cairan yang normal dengan komponen kaku yang seperti gel. 2. Studi Keamanan Formaldehid Menurut Gracecia (2005) dan Priyatna (2005), mie basah yang dijual di daerah Jabotabek mengandung formalin dengan jumlah rata-rata di pasar tradisional sebesar 106.00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 914.36 mg/kg (mie basah matang), di pedagang produk olahan mie sebesar 72.93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3 423.51 mg/kg (mie basah matang), dan di supermarket sebesar 113.45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 941.82 mg/kg (mie basah matang) (Gracecia, 2005; Priyatna, 2005). Menurut Oktaviani (2005), mie basah mentah yang diberi perlakuan formaldehid dengan konsentrasi 300 mg/kg adonan mengalami peningkatan elastisitas dibandingkan mie tanpa penambahan formaldehid. Hal ini disebabkan pembentukan ikatan silang protein yang dapat memperkuat tekstur mie. Namun, apabila konsentrasi penambahan formaldehid dinaikkan menjadi 600 mg/kg adonan, elastisitas akan menurun. Selain itu,

91

penambahan formaldehid pada mie mentah dapat menurunkan daya cerna protein. Hal itu ditunjukkan oleh menurunnya daya cerna mie yang ditambah formaldehid sebanyak 300 dan 600 mg/kg adonan dibandingkan dengan mie tanpa penambahan bahan tersebut. Pengaruh lain yang timbul karena penambahan formaldehid adalah meningkatnya kecerahan warna mie basah mentah (Oktaviani, 2005). Formaldehid endogenus merupakan produk metabolisme normal dan esensial bagi biosintesis beberapa asam amino dalam tubuh manusia. Formaldehid endogenus diproduksi oleh jaringan dengan kisaran 3-12 ng/g jaringan. Secara alami, sejumlah kecil formaldehid diproduksi di dalam tubuh sebagai metabolit yang normal dan sebagai hasil oksidasi xenobiotics sehingga senyawa ini dapat ditemukan di hati. Formaldehid eksogenus masuk ke dalam tubuh manusia melalui asupan oral, inhalasi, dan kulit. Formaldehid yang diasup secara oral akan segera diserap oleh saluran pencernaan, sedangkan formaldehid yang diinhalasi akan diserap oleh saluran pernapasan bagian atas tetapi tidak sampai didistribusikan ke seluruh tubuh karena metabolismenya yang cepat (Heck et al. 1985). Formaldehid eksogenus dalam plasma manusia akan dikonversi menjadi asam format oleh enzim aldehid dehidrogenase dengan waktu paruh 1-1.5 menit (Bardana dan Montanaro, 1991), sedangkan asam format sendiri memiliki waktu paruh 90 menit. Artinya, metabolisme asam format di dalam tubuh membutuhkan waktu yang lebih lama daripada metabolisme formaldehid (WHO, 2001). Hati manusia dapat mengkonversi formaldehid menjadi CO2 dengan kecepatan 22 mg formaldehid/menit (Owen et al., 1990). Formaldehid yang diserap oleh tubuh akan cepat diubah menjadi asam format, melalui senyawa antara S-formilglutation, oleh enzim formaldehid dehidrogenase dan enzim-enzim lainnya. Konversi formaldehid menjadi asam format terjadi di dalam sel darah merah dan hati. Selanjutnya, asam format dioksidasi menjadi karbon dioksida dan air oleh enzim formiltetrahidrofolat

sintetase,

yang

mengkatalisa

produksi

formiltetrahidrofolat dari format dan tetrahidrofolat. Melalui jalur alternatif

92

lainnya, format dapat dikonversi menjadi garam sodium yang diekskresikan ke dalam urin atau dapat juga diinkorporasikan melalui one-carbon pool untuk digunakan dalam biosintesis (Bardana dan Montanaro, 1991). Formaldehid memiliki bau menyengat yang dapat terdeteksi walaupun pada konsentrasi rendah. Selain itu, uap dan larutannya juga mengiritasi mata dan kulit. Iritasi terjadi jika kulit terpapar larutan formaldehid 5-20%. Iritasi mata, hidung, dan tenggorokan dihasilkan dari paparan sedikitnya 1 ppm formaldehid di udara. Paparan lebih dari 50 ppm bisa mengakibatkan kerusakan yang serius terhadap saluran pernapasan (Federal Provincial-Territorial Committee on Drinking Water, 1997). Konsentrasi terendah yang bisa menimbulkan reaksi pada orang yang sensitif adalah 0.05% (WHO, 1969). Tabel 4 di bawah ini menunjukkan efek inhalasi formaldehid terhadap manusia. Tabel 4. Pengaruh formaldehid bagi kesehatan manusia melalui pernapasan Pengaruh bagi kesehatan Tidak ada pengaruh Ambang batas bau (odor threshold) Iritasi mata* Iritasi dan kesulitan pernapasan Kerusakan kronis paru-paru Pulmonary edema, inflammation, pneumonia Kematian

Konsentrasi formaldehid (ppm) 0.05 0.05-1.0 0.01-2.0 0.1-25 5-30 50-100 100+

*iritasi mata pada 0.01 ppm terjadi karena paparan formaldehid dan polutan yang lain (MFL Inc., 2004)

Formaldehid sangat reaktif dan sangat larut dalam air. Oleh karena lapisan mucous epitelium saluran pernapasan 95% tersusun dari air, formaldehid dengan mudah terserap ke dalam membran mucous saluran pernapasan atas. Walaupun demikian, Heck et al. (1985) mengatakan bahwa paparan formaldehid melalui inhalasi tidak memperlihatkan pengaruh signifikan terhadap konsentrasi formaldehid dalam darah. Studi dilakukan terhadap tikus, monyet, dan manusia, dengan dosis paparan masing-masing 14.4 ppm selama 2 jam untuk tikus, 6 ppm selama 4 minggu untuk monyet,

93

dan 1.9 ppm selama 40 menit untuk manusia. Konsentrasi formaldehid dalam darah diukur sebelum dan sesudah pemaparan, dengan hasil berturutturut 2.24/2.25 μg/g (tikus), 2.42/1.84 μg/g (monyet), dan 2.61/2.77 μg/g (manusia). Akan tetapi, beberapa objek yang lain memperlihatkan adanya perbedaan kandungan formaldehid yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemaparan. Hal ini membuktikan perbedaan variasi pada individu (Heck et al., 1985). Kandungan formaldehid diukur pada beberapa jaringan tikus yang dipaparkan formaldehid (14C-formaldehid) selama 6 jam. Konsentrasi formaldehid tertinggi terdapat dalam esofagus, diikuti ginjal, hati, usus, dan paru-paru. Hal ini berarti

14

C-formaldehid cepat

didistribusikan dari aliran darah ke seluruh tubuh (WHO, 1989). Formaldehid

dapat

diserap

melalui

permukaan

kulit.

Permeabilitasnya telah diuji secara in vitro menggunakan kulit manusia. Tingkat penyerapan formaldehid pada kulit yang terpapar larutan formalin 37% adalah 319 μg/cm2/jam (Loden, 1986). Percobaan juga dilakukan terhadap 5 monyet dengan dosis 0.4-0.9 μg/cm2 selama 24 jam. Hasilnya menunjukkan bahwa penyerapan yang terjadi sangat rendah. Sejumlah 52% diuapkan melalui kulit dan hanya 0.5% dari dosis yang mampu terserap ke dalam kulit (Jeffcoat, 1984). Penyerapan formaldehid pada organ pencernaan telah diuji terhadap 5 ekor anjing yang diberi formaldehid sebanyak 70 mg/kg. Kandungan asam format di dalam darah meningkat cepat. Namun, lima belas menit setelah perlakuan, semua anjing memuntahkannya sehingga perhitungan secara kuantitatif tidak mungkin dilakukan (Malorny et al., 1965). Kasus-kasus yang terjadi pada manusia menunjukkan bahwa formaldehid tidak potensial sebagai senyawa karsinogen. Kanker yang terjadi pada populasi yang terekspos formaldehid adalah tumor nasal. Formaldehid tidak memiliki efek terhadap reproduksi dan tidak bersifat teratigenik. Secara in vitro, formaldehid mengganggu DNA dalam sel manusia, namun tidak ada data yang berhubungan dengan akibat mutagenik. Konsentrasi formaldehid yang bersifat karsinogenik biasanya juga bersifat sitotoksik dan meningkatkan proliferasi sel di dalam hidung.

94

Namun, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa formaldehid tidak karsinogenik ketika masuk ke dalam tubuh melalui jalur oral. Asupan formaldehid melalui air minum selama dua tahun hanya menyebabkan iritasi perut dalam studi yang dilakukan terhadap tikus, khususnya pada konsentrasi yang tinggi (Federal Provincial-Territorial Committee on Drinking Water, 1997). Tolerable Daily Intake (TDI) dari formaldehid dapat diturunkan dengan membagi angka NOAEL (No Observed Adverse Effect Level) pada hewan dengan faktor ketidakpastian (uncertainty factor). TDI = 15 mg/kg berat badan per hari = 0.15 mg/kg berat badan per hari 100 Keterangan: •

15 mg/kg berat badan adalah angka NOAEL pada tikus jantan, termasuk terjadinya perubahan patologis pada perut dan peningkatan nekrosis renal. Hasil ini didapat dari studi selama 2 tahun terhadap tikus yang terekspos formaldehid melalui air minum.



100 merupakan faktor ketidakpastian (x10 untuk variasi intraspesies dan x10 untuk variasi interspesies). Faktor ketidakpastian ekstra tidak digunakan dalam perhitungan di

atas karena formaldehid dimetabolisme dengan cepat di dalam tubuh dan menginduksi tumor hanya pada hewan yang terekspos melalui inhalasi dosis tinggi yang bersifat sitotoksik. Selain itu, tidak ada bukti jelas mengenai sifat karsinogeniknya melalui jalur oral (Federal Provincial-Territorial Committee on Drinking Water, 1997). Nilai batasan formaldehid dalam air minum, yang didasari pertimbangan kesehatan, dapat diturunkan dari TDI seperti tertulis di bawah ini: 15 mg/kg berat badan per hari x 70 kg x 0.05 = 0.35 mg/liter 1.5 liter/hari Keterangan: •

0.15 mg/kg berat badan adalah nilai TDI

95



70 kg adalah berat badan rata-rata orang dewasa



0.05 adalah proporsi asupan harian yang dialokasikan untuk air minum



1.5 liter/hari adalah konsumsi rata-rata air minum untuk orang dewasa

3. Analisis Formaldehid (AOAC, 1995) Analisis formaldehid bisa dilakukan dengan metode spektrofotometri (AOAC, 1995). Tahap pertama dari analisis ini yaitu destilasi untuk memisahkan formaldehid yang terkandung dalam sampel. Tahap kedua ialah reaksi pemunculan warna. Pereaksi yang akan menghasilkan warna jika bertemu dengan formaldehid adalah Nash’s reagent, yang tersusun dari NH4CH3COO, CH3COOH, dan asetil aseton. NH4CH3COO, suatu garam dari asam lemah dan basa lemah, memiliki reaksi kesetimbangan berikut: NH4CH3COO + H2O NH4+ + CH3COO- + H2O

NH4OH + CH3COOH NH4OH + CH3COOH

Amonia yang dihasilkan akan bereaksi dengan asetil aseton membentuk 2,4-pentanedione. Selanjutnya, senyawa tersebut bereaksi dengan formaldehid menghasilkan 3,5-diasetil-1,4-dihidrolutidine. Hasilnya adalah senyawa berwarna kuning yang dapat diukur absorbansinya pada λ=415 nm. Semakin banyak kandungan formaldehid, semakin tinggi intensitas warna, yang artinya lebih besar pula nilai absorbansinya. Tahap ketiga atau tahap terakhir adalah penentuan konsentrasi formaldehid dalam sampel dengan menggunakan kurva standar. Kurva standar ini menghubungkan antara konsentrasi formaldehid sebagai sumbu X dengan nilai absorbansinya sebagai sumbu Y. D. BORAKS 1. Sifat Kimia dan Fisik Boraks Sodium tetraborat dekahidrat, atau yang lebih dikenal dengan nama boraks, merupakan salah satu senyawa sumber unsur boron. Boron tersebar luas di lingkungan, hadir dalam lebih dari 80 jenis mineral, dan menyusun

96

0.001% kerak bumi. Penggunaannya yang umum adalah sebagai herbisida, fungisida, pengawet kayu, dan penolak serangga. Bagi tanaman, boron merupakan elemen nutrisi yang esensial, sehingga dimanfaatkan dalam pupuk. Sementara bagi manusia dan hewan, boron juga diperlukan dalam banyak fungsi kehidupan seperti embriogenesis, pertumbuhan dan pemeliharaan tulang, fungsi imun, kemampuan psikomotor, dan fungsi kognitif (National Toxicology Program, 1987). Toksisitas dari senyawa boron adalah kemampuannya mempengaruhi sintesis DNA dan produksi sel pada sel bakteri (Whorton et al., 1994). Boraks mempunyai rumus kimia Na2B4O7.10H2O dengan berat molekul 381.44. Larutan boraks 0.1 M mempunyai pH 9.2. Boraks biasanya digunakan untuk deterjen, sabun, perekat, kosmetik, obat-obatan, lapisan kertas, desinfektan, insektisida, serta sebagai pelarut gum, dekstrin, dan kasein. Selain itu, boraks juga digunakan pada industri kulit, plastik, dan kaca. Jika boraks ditambahkan ke dalam media pati, wujudnya menjadi seperti karet dan tidak dapat dioleskan karena akan terpecah-pecah menjadi bola-bola kecil (Radley, 1976). Menurut Egan et al. (1981), boraks merupakan pengawet makanan yang sudah ada sejak dulu, tetapi dilarang penggunaannya sejak tahun 1925. Larangan ini dilonggarkan selama perang dunia II dengan mengijinkan penggunaan boraks di dalam minyak babi dan margarin. Kelonggaran ini dicabut kembali pada tahun 1959 oleh FSC (Food Standard Committee) dengan alasan pengawet boron bersifat kumulatif (menimbulkan efek melalui penambahan terus menerus) yang dapat membahayakan kesehatan manusia. WHO telah menetapkan batas asupan boron yang aman bagi orang dewasa, yaitu 1-13 mg/hari (Nielsen, 2004).

Gambar 1. Senyawa asam borat

97

Boron terkandung secara alami di dalam air, buah-buahan, sayuran, dan tumbuhan. Di dalam air, boron berada dalam bentuk asam borat. Tahun 1983, asam borat terdaftar sebagai pengontrol serangga. Sebagai insektisida, asam borat merupakan racun bagi perut serangga dan bersifat abrasif terhadap eksoskeleton serangga, sedangkan sebagai herbisida, asam borat akan mengganggu proses fotosintesis tumbuhan (US EPA, 1985). Jika pH kurang dari 7, asam borat akan berbentuk H3BO3 atau B(OH)3, sedangkan jika pH lebih dari 11.5, boron terdisosiasi sebagai borat [B(OH)4]- menurut reaksi: B(OH)3 + NaOH

[B(OH)4]- + Na+

Pada larutan yang terkonsentrasi, ion polimerik dibentuk, menurut reaksi: 2 B(OH)3 + [B(OH)4]-

[B3O3(OH)4]- + 3 H2O

Kandungan boron dalam jaringan dan organ hewan berkisar antara 0.05-0.6 μg/g. Pada tumbuhan, akumulasi boron dengan konsentrasi tertinggi terjadi dalam kacang (0.025-0.05 mg/berat kering), buah-buahan dan sayuran (0.005-0.02 mg/g), serta serealia dan biji-bijian (0.001-0.005 mg/g) (Federal Provincial-Territorial Committee on Drinking Water, 1990). Peningkatan kadar boron yang disebabkan oleh pestisida tidak signifikan jika dibandingkan kandungan alami boron di dalam tumbuhan. Tabel 5 berikut ini memuat kandungan boron di dalam beberapa bahan pangan. Tabel 5. Kandungan boron dalam beberapa bahan pangan Sumber bahan pangan Apel Pisang Anggur Ceri Peach Pear Selada Brokoli Wortel Daging sapi

Kandungan boron (μg/g) 2.73 3.72 2.02 1.47 1.87 1.22 ≤ 0.015 1.85 0.75 ≤ 0.015

98

Daging ayam Susu Beras Madu Bir

≤ 0.015 ≤ 0.015 ≤ 0.015 7.2 1.8

(WHO, 1998)

Konsentrasi boron di dalam air laut berkisar antara 4-5 mg/l, sementara atmosfir diperkirakan mengandung boron sebesar 1.7 x 10-4 mg/m3. Menurut National Water Quality Data Bank, kandungan boron ratarata dalam air permukaan pada 90% lokasi di Kanada lebih rendah dari 0.5 mg/l. Namun, di beberapa lokasi, konsentrasinya melampaui 2.0 mg/l. Jika konsumsi air adalah 1.5 liter per hari dan kandungan boron maksimum sebesar 0.57 mg/l (berdasarkan survei di Ontario), asupan boron maksimum melalui air minum diperkirakan 0.86 mg/hari (Federal ProvincialTerritorial Committee on Drinking Water, 1990). 2. Studi Keamanan Boraks Penambahan boraks sebanyak 375 dan 750 mg/kg adonan mie basah mentah dapat meningkatkan gaya putus dan persen elongasi. Boraks dapat memperkuat tekstur karena boron dapat berikatan silang dengan protein dan karbohidrat. Intensitas kecerahan dan warna kuning mie basah mentah yang mengandung boraks lebih tinggi dibandingkan mie mentah yang tidak mengandung boraks dan mie mentah yang hanya mengalami penambahan formaldehid (Oktaviani, 2005). Seperti halnya formaldehid, boraks juga bisa menurunkan daya cerna protein dalam kasus mie basah mentah. Namun, penambahan boraks atau kombinasi boraks dan formaldehid menimbulkan penurunan daya cerna yang lebih kecil dibandingkan penambahan formaldehid saja. Di masa lalu, boron diperkirakan tidak esensial bagi hewan. Namun berdasarkan studi terbaru, boron memenuhi beberapa kriteria untuk menjadi esensial. Akan tetapi, belum dapat dipastikan bahwa kekurangan boron akan mengakibatkan penurunan fungsi biologis. Eksperimen pada hewan

99

menunjukkan bahwa boron dapat mempengaruhi secara tidak langsung metabolisme kalsium, fosfor, dan magnesium. Pengaruh boron dalam metabolisme mineral dan peran potensialnya dalam menghambat osteoporosis telah diselidiki. Boron mampu mengurangi ekskresi Ca dan Mg melalui urin pada wanita pasca menopause yang mengkonsumsi diet rendah boron (0.25 mg/hari) selama 119 hari, diikuti dengan suplementasi boron 3.0 mg/hari selama 48 hari. Efeknya lebih terlihat jika diet mengandung magnesium dalam jumlah rendah. Suplementasi boron juga meningkatkan kadar serum β-oestradiol dan testosteron (Nielsen et al., 1987). Senyawa boron cepat diserap baik melalui saluran gastrointestinal, membran mukous, maupun kulit yang terluka. Konsentrasi boron dalam hati, ginjal, otak, dan darah tikus meningkat selama 9 hari pertama akibat konsumsi air minum yang mengandung 100 ppm sodium borat, dengan konsentrasi tertinggi terdapat pada ginjal. Kadar boron di ginjal, hati, dan otak berangsur-angsur menurun menjadi normal ketika mencapai hari ke-21 paparan, sedangkan kadar boron di darah terus meningkat sampai hari ke21. Boron tidak terakumulasi pada jaringan yang normal tapi mungkin terkonsentrasi dalam tumor otak malignan. Menurut Benson et al. (1984), organ-organ manusia rata-rata mengandung boron dalam jumlah sebagai berikut (μg/g): ginjal (0.6); paru-paru (0.6); limpa (0.6); darah (0.4); hati (0.2); otot (0.1); testis (0.09); dan otak (0.06). Boron dieliminasi dari tubuh terutama melalui ginjal, dan sebagian kecil melalui feses, keringat, atau air liur. Setengah dari jumlah boron yang diserap oleh manusia diekskresikan dalam waktu 24 jam pertama setelah asupan 562-611 mg asam borat secara intravena. Lebih dari 92% eliminasi telah terjadi dalam 96 jam setelah asupan 750 mg asam borat melalui air minum (Jansen et al., 1984). Gejala yang muncul akibat keracunan boron yang akut adalah mual, muntah, diare, pusing, alergi kulit, dan depresi. Dosis mematikan yang akut dari asam borat diperkirakan sebesar 15-20 g untuk orang dewasa, 5-6 g untuk balita, dan 1-3 g untuk bayi. Anak-anak, manula, dan penderita

100

masalah ginjal adalah individu yang paling rentan terkena pengaruh toksik dari boron (Siegel dan Wason, 1986). Sehubungan dengan tidak adanya cukup bukti mengenai sifat karsinogen dalam penelitian terhadap tikus, boron diklasifikasikan sebagai grup IVC, yang berarti kemungkinan tidak bersifat karsinogen terhadap manusia (National Toxicology Program, 1987). Data yang dihasilkan dari beberapa studi terhadap anjing dan tikus mengindikasikan bahwa boron menyebabkan atropi testis dan kerusakan sperma, yang mengakibatkan infertilitas. Pada penelitian terhadap hewan, angka NOAEL yang teramati adalah 350 ppm (ekuivalen dengan 17.5 mg/kg berat badan perhari). Dari nilai tersebut, nilai ADI (Acceptable Daily Intake) diturunkan sebagai berikut: ADI = 17.5 mg/kg berat badan per hari = 0.035 mg/kg berat badan per hari 500 Keterangan: •

17.5 mg/kg berat badan adalah angka NOAEL atropi testicular dan kerusakan sperma tikus jantan yang didapat dari studi selama 2 tahun.



500 merupakan faktor ketidakpastian (x10 untuk variasi intraspesies, x10 untuk variasi interspesies, dan x5 untuk gradien kurva dosis-respon).

3. Analisis Boraks (SNI, 1991) Salah satu metode pengukuran boraks adalah mengukur jumlah asam borat dengan metode SNI 1991. Proses kerjanya meliputi beberapa tahapan dengan tujuan menentukan jumlah asam borat secara asidimetri. Tahap pertama dalam analisis ini adalah penghancuran senyawa organik melalui proses pengarangan dan pengabuan, sehingga yang tersisa adalah mineral, CO2, dan H2O. Mie mempunyai pH ± 8.0. Pada pH tersebut, boraks tidak akan mengalami perubahan menjadi asam borat, karena hal itu hanya terjadi jika pH lebih rendah dari 7.0. Jika pH berada pada kisaran 6-11, senyawa boraks dapat berubah menjadi ion poliborat, yaitu (B4O5(OH)42-). Adanya

101

penambahan NaOH 10% pada tahap ini dimaksudkan untuk mengubah ion poliborat menjadi garam borat yang stabil, sesuai dengan reaksi: B4O5(OH)42- + 2 Na+ + 8 H2O

Na2[B4O5(OH)4].8H2O

Tahap kedua adalah ekstraksi asam borat dari senyawa boron dalam kondisi asam. Reaksi terjadi antara senyawa boron dengan HCl dan akuades panas menurut persamaan berikut: Na2[B4O5(OH)4] + 3 H2O + 2 HCl

2 NaCl + 4 H3BO3

Selanjutnya, larutan disaring sehingga larutan yang mengandung asam borat bebas akan terpisah dengan padatan yang tidak terlarut. Kertas saring yang digunakan untuk memisahkan larutan mungkin saja masih menyisakan borat. Jadi, pada tahap ketiga, dilakukan pengabuan kembali, kali ini terhadap kertas saring, untuk mengambil borat yang tertinggal. Dengan pengabuan, senyawa organik akan hancur, sehingga yang tersisa adalah mineral boron. Penambahan air kapur dimaksudkan untuk memberi suasana basa agar terbentuk ion poliborat (B4O5(OH)42-). Abu kertas saring kemudian ditambah HCl dan CaCl2. Di sini, Ca akan membentuk kompleks dengan boron dalam kondisi asam.

B4O5(OH)42- + Ca 2+

Ca(B4O5(OH)4)

Di tahap keempat, semua karbonat dalam larutan diendapkan oleh kapur dalam kondisi alkalis. Karena pada tahap sebelumnya pH larutan diatur menjadi asam, maka perlu penambahan NaOH untuk mengembalikan kondisi pH menjadi basa. Untuk menghilangkan sisa-sisa karbonat yang mungkin tertinggal dalam larutan borat, dilakukan penambahan H2SO4. H2SO4 mengikat karbonat dengan cara bereaksi dengan kompleks Ca(B4O5(OH)4).

Ca(B4O5(OH)4) + H2SO4 + 3 H2O

CaSO4 + 4 H3BO3

102

Selanjutnya larutan dipanaskan untuk mengeluarkan CO2. Sebelum masuk ke tahap berikutnya, kondisi asam akibat penambahan H2SO4 dinetralkan terlebih dahulu dengan penambahan NaOH. Tahap kelima, yang merupakan tahap terakhir, adalah penentuan asam borat menggunakan metode asidimetri. Asam borat bebas direaksikan dengan manitol. Salah satu hasil reaksinya adalah H+. Reaksi yang terjadi dapat digambarkan sebagai berikut: CH2OH HO H3BO3 +

C H B(O)4(CH)4 + H+ + H2O

HO C H

H C OH H C OH CH2OH

H+

yang

dilepaskan

dari

reaksi

di

atas

selanjutnya

dinetralkan oleh NaOH melalui titrasi. Dengan demikian, jumlah asam borat dalam sampel dapat diketahui (1 ml NaOH 0.2 N ≈ 0.0124 g H3BO3). E. ELEKTROFORESIS Elektroforesis merupakan cara pemisahan fraksi-fraksi suatu zat berdasarkan pergerakan partikel bermuatan atau ion-ion makromolekul di bawah pengaruh medan listrik. Dalam medium tertentu, molekul-molekul yang bermuatan ini akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya berlawanan apabila diberi arus listrik (Nur dan Adijuwana, 1988). Pergerakan partikel bermuatan tersebut dapat terjadi karena perbedaan ukuran, bentuk, muatan, atau sifat kimia molekul. Semakin besar muatan, semakin cepat molekul

103

bergerak. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemisahan suatu senyawa dengan menggunakan elektroforesis di antaranya adalah sistem buffer, suhu, waktu, dan besar arus listrik. Semakin tinggi arus yang digunakan, semakin pendek waktu yang dibutuhkan. Konsekuensinya, suhu yang dihasilkan juga meningkat (Tanojo, 1992). Jenis elektroforesis yang umum digunakan dalam pemisahan molekul protein adalah polyacrilamide gel electrophoresis (PAGE). Keuntungan pemakaian PAGE ini adalah ukuran pori-pori gelnya dapat diatur, gel transparan, mudah diwarnai, inert, tidak bereaksi dengan sampel, dan tidak bermuatan (Laemmli, 1970). Gel dibuat dengan cara menyuntikkan larutan poliakrilamid ke dalam celah di antara dua buah plat kaca yang berjarak 0.5-1.5 mm sehingga terbentuk gel yang tipis (Tampubolon, 2000). Menurut Westermeier (1997), keuntungan penggunaan gel yang tipis adalah pemisahan protein terjadi dengan cepat, pita-pita yang dihasilkan lebih jelas, pewarnaan lebih cepat, dan sensitivitasnya tinggi.

Gambar 2. Reaksi polimerisasi akrilamid Reaksi pembentukan poliakrilamid dimulai oleh reaksi antara radikalradikal bebas yang terbentuk dari amonium persulfat dengan akrilamid sehingga terbentuk akrilamid yang aktif. Akrilamid aktif akan bereaksi dengan molekul akrilamid lain dengan proses yang sama sehingga dihasilkan rantai polimer yang panjang (Nur dan Adijuwana, 1988). Untuk dapat membentuk gel, diperlukan N,N’-metilen-bis-akrilamid yang bertindak sebagai cross-

104

linking agent. Ukuran pori gel ditentukan oleh jumlah akrilamid yang digunakan per unit volume medium reaksi dan derajat ikatan silangnya (Boyer, 1986). Hal ini dapat dikontrol dengan memilih konsentrasi yang tepat dari akrilamid dan pereaksi penginduksi ikatan silang. Semakin besar konsentrasi akrilamid yang digunakan, semakin kecil ukuran pori-pori gel. Sebagian besar protein yang telah dipisahkan melalui gel tidak dapat langsung terlihat oleh mata, sehingga perlu dikembangkan metode untuk memvisualisasinya setelah elektroforesis selesai. Pewarna yang umum digunakan untuk mewarnai protein ialah coomassie brilliant blue. Setelah dikeluarkan dari perangkat elektroforesis, gel berisi protein direndam dalam larutan pewarna yang mengandung asam dan alkohol. Larutan ini mendenaturasi protein, menahannya di dalam gel sehingga tidak dapat tercuci, dan memudahkan pewarna untuk mengikatnya. Kelebihan pewarna kemudian dicuci, sehingga terlihatlah protein sebagai pita biru. Sedikitnya 0.1-1.0 µg protein di dalam gel dapat divisualisasi menggunakan coomassie brilliant blue. Pita

protein

yang

telah

divisualisasi

kemudian

diukur

mobilitas

elektroforetiknya. Menurut Copeland (1994), mobilitas relatif protein (Rf) merupakan jarak migrasi pita dibagi jarak migrasi dye. Berat molekul sampel yang dicari ditentukan dari mobilitas pada gel berdasarkan standar berat molekul yang digunakan (Tampubolon, 2000). 1. SDS-PAGE Menurut Smith (1984), modifikasi gel poliakrilamid yang paling banyak digunakan adalah sodium dodecyl sulphate polyacrilamide gel electrophoresis direaksikan

(SDS-PAGE).

dengan

agen

Dalam

pereduksi

SDS-PAGE, seperti

sampel

protein

2-merkaptoetanol

atau

dithiothreitol untuk memutuskan ikatan disulfida. Kemudian protein didenaturasi dan dilapisi dengan muatan negatif oleh molekul SDS. Detergen anionik kuat SDS akan menghancurkan hampir seluruh interaksi non kovalen di dalam protein, menyebabkan lipatan protein terurai. Ratarata setiap molekul SDS berikatan melalui rantai alkil hidrofobiknya dengan tulang punggung polipeptida untuk setiap 2 residu asam amino, sehingga

105

memberi protein terdenaturasi muatan negatif besar yang proporsional dengan massanya (Boyer, 1986). Dengan cara ini, variasi bentuk dan rasio muatan/massa polipeptida dapat dieliminasi. Sejumlah besar ion sulfat dalam micelle ikut mengatasi efek muatan dari polipeptida itu sendiri. Karena protein telah memiliki rasio muatan per massa yang sama, mereka akan dipisahkan hanya atas dasar massanya. Protein berukuran kecil bergerak paling jauh melalui gel, sementara protein yang berukuran lebih besar bergerak lebih lambat karena mereka dihambat oleh ikatan silang di dalam gel sehingga tertahan di daerah atas gel. Di bawah kondisi ini, mobilitas sebagian besar rantai polipeptida secara linier proporsional dengan logaritma dari massanya. Oleh karena itu, jika protein yang telah diketahui bobot molekulnya dielektroforesis bersama dengan sampel, bobot molekul dari sampel yang belum diketahui dapat ditentukan. Protein dengan perbedaan massa sekitar 2% (misalnya 40 dan 41 kDa atau berbeda sekitar 10 asam amino) biasanya juga dapat dibedakan. SDS-PAGE adalah teknik yang cepat, sensitif, dan digunakan secara luas untuk menentukan derajat kemurnian sampel protein, menentukan bobot molekul dari protein yang tidak dikenal, dan menentukan jumlah subunit polipeptida dalam sebuah protein (Boyer, 1986). 2. Native-PAGE Metode native polyacrilamide gel electrophoresis (native-PAGE) diaplikasikan untuk mengetahui bobot molekul alami protein. Di dalam metode ini, protein dihindarkan dari perlakuan yang bisa menimbulkan denaturasi, sehingga pemisahan subunit protein hanya dipengaruhi oleh muatan bersih negatif dan ukurannya. Protein yang berukuran kecil atau bermuatan negatif bermigrasi lebih jauh daripada protein yang berukuran lebih besar atau bermuatan kurang negatif. Oleh karena protein masih berada dalam struktur alaminya, dibutuhkan gel dengan ukuran pori-pori yang lebih besar. Untuk mencapai hal tersebut, konsentrasi gel yang digunakan dalam native-PAGE lebih kecil daripada konsentrasi gel dalam SDS-PAGE.

106

III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan mie basah adalah tepung terigu merk Cakra Kembar dan Segitiga Biru, garam, CMC, obat mie pasar, Na2CO3, STPP (Sodium Tri Polifosfat), air, dan minyak goreng. Bahan pengawet yang digunakan adalah formalin (formaldehid 37%) dan boraks. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis fisik, kimia, dan ekstraksi protein adalah NaCl jenuh (Aw=0.750), K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH, Na2S2O3, H3BO3, akuades, indikator metil merah, indikator metil biru, alkohol, HCl pekat, kertas saring Whatman no. 1, heksan, NH4CH3COO, CH3COOH, asetil aseton, indikator universal, CaCO3, CaCl2, indikator fenolftalein, indikator metil oranye, manitol, tripsin, kimotripsin, peptidase, aseton, coomassie brilliant blue, etanol, asam fosfat, BSA, dan amonium sulfat. Bahan-bahan yang digunakan untuk elektroforesis adalah membran dialisis 8 000 Da, akuades, Tris base, bromphenol blue, sodium dodesil sulfat, gliserol, coomasie brilliant blue, metanol, asam asetat glasial, akrilamid, mikrofilter, amonium persulfat, glisin, 2-merkaptoetanol, dan TEMED. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan mie adalah timbangan, mesin pembuat mie, dan peralatan masak. Peralatan yang digunakan untuk analisis fisik, kimia, dan ekstraksi protein adalah kromameter Minolta tipe CR 20, pengukur tekstur Rheoner RE-3305, Shibaura Aw-meter WA-360, cawan aluminium, oven, desikator, neraca analitik, cawan porselin, tanur, penangas listrik, labu Kjedahl, alat destilasi, kondensor, peralatan gelas, botol semprot, loyang, blender, alat Soxhlet, penangas air, spektrofotometer UV-VIS, hot plate, pH meter, saringan vakum, magnetic stirrer, alat sentrifus, freezer, dan refrigerator. Peralatan untuk elektroforesis adalah tabung vial, eppendorf, peralatan pencetak gel, perangkat alat elektroforesis, mikropipet, power supply, dan agitator.

107

B. METODE PENELITIAN Penelitian dimulai dari pembuatan mie matang dengan bermacammacam formulasi sebagai sampel yang dianalisis sifat-sifat fisik dan kimianya. 1. Pembuatan Mie Basah Matang Adonan mie menggunakan campuran tepung terigu Cakra Kembar dan Segitiga Biru (1:1), air (35% dari berat tepung), garam (2% dari berat tepung), dan CMC (0.2% dari berat tepung). Setelah perebusan dalam air mendidih selama 2 menit, mie dilumuri minyak goreng (5% dari berat tepung). Sampel dibedakan dari ada tidaknya bahan tambahan berupa obat mie pasar, kansui, boraks, atau formaldehid dalam formulasinya. Obat mie pasar merupakan nama dagang untuk menyebut bahan alkali berbentuk bubuk yang digunakan dalam pembuatan mie. Untuk selanjutnya, obat mie pasar ini akan disebut obat mie. Konsentrasi masing-masing bahan tambahan dalam pembuatan mie yang diwakili oleh kode sampel akan diuraikan dalam Tabel 6. Ada tidaknya bahan-bahan tersebut di dalam formulasi masing-masing sampel juga diperjelas melalui Tabel 7. Untuk mempermudah dalam membedakan perlakuan terhadap masing-masing sampel, kode-kode tersebut seterusnya akan digunakan untuk mewakili penulisan sampel di dalam bab-bab selanjutnya. Tabel 6. Keterangan jumlah dari bahan tambahan Kode

Keterangan

O

Obat mie 0.6% dari berat tepung

K

Kansui (STPP:Na2CO3=2:3) 0.5% dari berat tepung

B375

Boraks 375 mg/kg adonan

B750

Boraks 750 mg/kg adonan

F55.2

Formaldehid 55.2 mg/kg air perebus

F110.4

Formaldehid 110.4 mg/kg air perebus

108

F3680

Formaldehid 3680 mg/kg air perebus

Tabel 7. Formulasi bahan tambahan untuk masing-masing sampel Kode sampel Obat mie Kansui Boraks Formalin O



K



O+B375



K+B375 O+B750

☻ ☻

K+B750 O+F55.2

K+B750+F110.4





☻ ☻





☻ ☻



K+B375+F55.2 O+B750+F110.4

☻ ☻

K+F3680 O+B375+F55.2





K+F110.4 O+F3680

☻ ☻



K+F55.2 O+F110.4



☻ ☻ ☻

☻ ☻















Pembuatan mie basah matang terdiri dari beberapa tahap, yaitu pencampuran bahan untuk menjadi adonan, pembentukan adonan menjadi lembaran, pemotongan lembaran menjadi untaian mie, perebusan mie, dan pelumuran mie dengan minyak goreng. Boraks ditambahkan pada tahap pencampuran adonan. Adanya tahap perebusan dan pelumuran untaian mie dengan minyak goreng merupakan perbedaan antara mie basah matang dengan mie basah mentah. Selain itu, penambahan formaldehid pada mie basah matang dilakukan pada saat perebusan, berbeda dengan mie basah mentah yang ditambah formaldehid pada tahap pencampuran adonan. Diagram alir pada Gambar 3 menyajikan tahapan-tahapan pembuatan mie basah matang.

109

Terigu

Air, garam, CMC, obat mie*, kansui*, boraks*

Pencampuran

Pembentukan lembaran Pemotongan Perebusan (100oC, 2 menit)

Formaldehid

Pelumuran minyak

Mie matang

Keterangan: * = untuk mie yang mengalami penambahan bahan tersebut

Gambar 3. Diagram alir pembuatan mie basah matang 2. Analisis Sifat Fisik Sifat fisik mie basah matang diamati secara objektif, yang meliputi pengukuran warna dan tekstur (gaya putus dan elongasi). a. Warna (Metode Hunter) Pengujian warna dilakukan dengan menggunakan kromameter Minolta (tipe CR 200, Jepang). Sejumlah sampel ditempatkan pada wadah yang datar. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, b, dan oH. L menyatakan parameter kecerahan (warna akromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Warna kromatik campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a (a+ = 0-100 untuk warna merah, a- = 0-(-80) untuk warna hijau). Warna

110

kromatik campuran biru kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70 untuk warna kuning, b- = 0-(-70) untuk warna biru. Nilai Hue dikelompokkan sebagai berikut: Red purple

: Hueo 342-18

Green

: Hueo 162-198

Red

: Hueo 18-54

Blue green

: Hueo 198-234

Yellow red

: Hueo 54-90

Blue

: Hueo 234-270

Yellow

: Hueo 90-126

Blue purple

: Hueo 270-306

Yellow green

: Hueo 126-162

Purple

: Hueo 306-342

b. Tekstur (Gaya Putus dan Elongasi) Gaya putus dan elongasi diukur dengan alat yang sama, yaitu Rheoner RE-3305. Alat diatur agar bebannya 0.1 volt, test speed-nya 0.5 mm/s, chart speed-nya 40 mm/menit, dan jarak peak tertingginya 2 cm. Sampel diletakkan pada probe dan dijepit sedemikian rupa pada kedua ujungnya. Hasil pengukuran berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara gaya putus dan elongasi. Gaya putus dinyatakan dalam satuan gf (gramforce), sedangkan elongasi dinyatakan dalam persen. λ

5 gf t

Gambar 4. Kurva hubungan gaya putus dan elongasi Jarak antara ruas garis bernilai 5 gf Gaya putus = t ruas garis x 5 gf Elongasi:

b = λ (mm) x 1.428 (konstanta)

∆L

= 2c – 22

111

Elongasi = ∆ L x 100% a = 11 mm (konstanta)

22

c = √a2 + b2 3. Analisis Sifat Kimia Sifat kimia yang diukur meliputi aktivitas air, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar formaldehid, dan kadar boraks di produk akhir. a. Aktivitas Air (Aw) Alat yang digunakan adalah Shibaura Aw-meter WA-360. Alat dikalibrasi menggunakan NaCl jenuh (Aw = 0.750). Kalibrasi dilakukan dengan cara menempatkan NaCl pada wadah sampel yang kemudian dimasukkan ke dalam Aw-meter. Nilai Aw dibaca setelah tertulis ”completed” pada monitor. Bila Aw yang terbaca tidak tepat 0.750, maka bagian switch diputar sampai angka yang terbaca tepat 0.750. Setelah itu, kalibrasi diulangi sampai tertulis ”completed” dan nilai Aw pada monitor tepat 0.750. Setelah alat dikalibrasi, Aw sampel dapat diukur dengan cara yang sama, yaitu sampel ditempatkan dalam wadah sampel yang kemudian dimasukkan ke dalam Aw-meter sampai tertulis ”completed”. b. Kadar Air (AOAC, 1995) Cawan aluminium kosong dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur pengeringan cawan ini diulangi sampai didapat bobot konstan. Sampel sebanyak 3−5 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C selama 6 jam. Setelah itu, cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Prosedur ini diulangi sampai didapat bobot sampel yang konstan. Kadar air (% basis basah) = B – (C − A) x 100% B

112

Keterangan: A = bobot cawan (g) B = bobot basah sampel sebelum dioven (g) C = bobot cawan dan sampel setelah dioven (g) c. Kadar Abu (AOAC, 1995) Cawan porselin kosong dipanaskan dalam tanur pada suhu 600°C selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur pengeringan cawan ini diulangi sampai didapat bobot konstan. Sampel sebanyak 3−5 gram ditimbang dalam cawan tersebut. Sampel dibakar di atas penangas sampai tidak berasap lagi, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600°C sampai menjadi abu. Cawan berisi abu didinginkan dalam desikator selama 15 menit

kemudian

ditimbang.

Pengabuan

diulangi

dengan

cara

memasukkan kembali cawan berisi abu ke dalam tanur pada suhu 600°C selama 1 jam sampai didapat bobot konstan. Kadar abu (% basis kering) = C − A x 100% B Keterangan: A = bobot cawan (g) B = bobot kering sampel sebelum diabukan (g) C = bobot cawan dan sampel setelah diabukan (g) d. Kadar Protein (Metode Mikro Kjeldahl) Sampel sebanyak 0.1-0.15 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml kemudian ditambah dengan 1.9 g K2SO4, 40 mg HgO, 2 ml H2SO4 pekat, dan batu didih secukupnya. Sampel didestruksi dengan cara dididihkan selama 1−1.5 jam atau sampai cairan berwarna jernih. Labu beserta isinya didinginkan. Selanjutnya, isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 15 ml larutan NaOH-Na2S2O3, kemudian dibilas dengan akuades. Labu erlenmeyer berisi 5 ml H3BO3 yang telah ditambah 2-4 tetes indikator (campuran metil merah 0.02% dalam alkohol dan metil biru 0.02% dalam alkohol dengan perbandingan

113

2:1) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di dalam larutan H3BO3. Selanjutnya dilakukan destilasi sampai sekitar 15 ml destilat tertampung dalam erlenmeyer. Ujung kondensor dibilas dengan sedikit akuades dan bilasannya ditampung di dalam erlenmeyer. Larutan di dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna hijau menjadi ungu. Penetapan blanko dilakukan dengan cara yang sama. % N = Volume HCl (ml) x Normalitas HCl x 14.007 x 100 Bobot kering sampel (mg) Kadar protein (% basis kering) = % N x faktor konversi (5.71) e. Kadar Lemak (Metode Soxhlet) Labu lemak kosong dikeringkan di dalam oven kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel bebas air diekstraksi dengan pelarut heksan di dalam alat Soxhlet selama 5-6 jam. Labu berisi lemak dan heksan kemudian dikeringkan di dalam oven dan didinginkan dalam desikator sampai bobotnya konstan. Kadar lemak (% basis kering) = C – A x 100 B Keterangan: A = bobot labu (g) B = bobot kering sampel (g) C = bobot labu dan lemak setelah dikeringkan (g) f. Kadar Karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat (% basis kering) = 100% - (A + P + L) Keterangan: A P

= kadar abu (% basis kering) = kadar protein (% basis kering)

114

L

= kadar lemak (% basis kering)

g. Kadar Formaldehid (AOAC, 1995) Sebanyak 1-2 g bahan ditambah 100 ml air kemudian dihancurkan. Hancuran dimasukkan ke alat destilasi dan dibiarkan mendidih selama 15 menit. Destilat kemudian ditampung. Nash’s

reagent

dibuat

dengan

cara

melarutkan

15

g

NH4CH3COO, 0.3 ml CH3COOH, dan 0.2 ml asetil aseton ke dalam akuades sampai volumenya 100 ml. Larutan formaldehid standar dibuat dengan konsentrasi 0.5, 2.5, 5.0, 7.5, 10.0, dan 15.0 mg/l. Masing-masing konsentrasi formaldehid standar dipipet sebanyak 1 ml ke dalam tabung reaksi yang berisi 1 ml H2O dan 2 ml Nash’s reagent. Sampel disiapkan dengan cara memipet 1 ml destilat mie ke dalam tabung reaksi berisi 1 ml H2O dan 2 ml Nash’s reagent. Blanko dibuat dengan cara mengganti destilat sampel dengan akuades sejumlah volume yang sama. Seluruh tabung dipanaskan dalam penangas air 38oC untuk memunculkan warna. Larutan diukur absorbansinya pada 415 nm. Konsentrasi formaldehid dalam sampel ditentukan dengan menggunakan kurva standar. Persamaan kurva standar: Y = aX + b Keterangan: X = konsentrasi formaldehid standar (mg/l) Y = absorbansi standar Kadar formaldehid = X x Volume destilat Bobot sampel (g) h. Kadar Boraks (SNI, 1991) Sebanyak 100 g sampel dan 100 ml larutan NaOH 10% dimasukkan ke dalam cawan porselin, kemudian dipanaskan di atas penangas sampai kering. Selanjutnya cawan dan isinya dipanaskan di

115

dalam tanur. Setelah cawan dingin, abu dilarutkan dalam 20 ml akuades panas dan ditetesi larutan HCl 1 N hingga bersifat asam (diuji dengan kertas indikator universal). Larutan sampel disaring melalui kertas saring Whatman no. 1 ke dalam erlenmeyer. Kertas saring dibilas dengan akuades panas sampai filtrat bervolume 50-60 ml. Kertas saring dipindahkan ke dalam cawan porselin semula, lalu dibasahi dengan air kapur sebanyak 80 ml untuk selanjutnya diuapkan di atas penangas. Setelah kertas saring kering, cawan dimasukkan ke dalam tanur sehingga diperoleh abu berwarna putih. Abu dilarutkan dalam HCl (1:3) kemudian dipindahkan ke dalam erlenmeyer semula. Ke dalam erlenmeyer ditambahkan 0.5 g CaCl2 dan beberapa tetes indikator fenolftalein, lalu ditambah larutan NaOH 10% hingga larutan berwarna pink. Selanjutnya, 100 ml air kapur ditambahkan dan dicampur sampai homogen. Campuran disaring melalui kertas saring Whatman no. 1. Sebanyak 50 ml filtrat dimasukkan ke dalam erlenmeyer lain, lalu ditambah H2SO4 1 N sampai warna pink hilang. Larutan ditambah beberapa tetes metil oranye. Selanjutnya, penambahan larutan H2SO4 1 N diteruskan sampai warna larutan berubah dari kuning menjadi merah muda. Larutan ini dididihkan selama 1 menit. Setelah dingin, secara hatihati larutan dititrasi dengan NaOH 0.2 N standar sampai warnanya berubah menjadi kuning. Ke dalam larutan di atas ditambahkan 2 g manitol dan beberapa tetes fenolftalein. Titrasi dengan NaOH 0.2 N standar dilanjutkan sampai warna larutan menjadi pink. Jika warna pink hilang, sedikit manitol ditambahkan ke dalam larutan dan titrasi dengan NaOH 0.2 N diteruskan sampai warna larutan menjadi pink tetap (tidak berubah apabila ditambah manitol). Setelah itu, volume larutan NaOH 0.2 N untuk titrasi dapat dihitung. 1 ml NaOH 0.2 N (0.2 mmol NaOH) ≈ 12.4 mg H3BO3 Konsentrasi NaOH hasil standarisasi = a M Kadar H3BO3 = 12.4 mg H3BO3 x a/0.2 mmol x Volume NaOH x 1000

116

Bobot sampel (g) Kadar boraks = 0.175/0.113 x Kadar H3BO3 4. Daya Cerna Protein In Vitro (Teknik Multi Enzim) Sampel digiling halus hingga lolos ayakan 80 mesh kemudian disuspensikan dalam akuades sampai diperoleh konsentrasi 6.25 mg protein/ml. Sebanyak 50 ml suspensi sampel dimasukkan ke dalam gelas piala dan diatur pH-nya menjadi 8.0 dengan HCl 0.1 N atau NaOH 0.1 N. Sampel diinkubasi dalam penangas air 37oC lalu diaduk selama 5 menit. Larutan multi enzim (1.6 mg tripsin, 3.1 mg kimotripsin, dan 1.3 mg peptidase per 1 ml akuades) ditambahkan sebanyak 5 ml ke dalam suspensi protein sambil tetap diaduk dalam penangas air 37oC (saat penambahan enzim dicatat sebagai menit ke-0). Perubahan pH dicatat pada menit ke-10. Y = 210.464 – 18.103 (8 – X) Keterangan: X = Selisih pH menit ke-0 dengan pH menit ke-10 Y = Daya cerna protein (%) 5. Analisis Solubilitas Protein a. Persiapan Sampel untuk Solubilitas (Sathe, 1994) Sampel mie dikeringkan kemudian dihaluskan menjadi tepung. Tepung mie dihilangkan lemaknya dengan aseton dingin (4oC) menggunakan magnetic stirrer (sampel:solven = 1:5). Endapan disaring dengan kertas saring. Residu disaring dan diekstraksi lagi dengan cara di atas. Residu yang tersisa dikeringkan dan dihaluskan. Sebanyak 2 g tepung mie yang telah dihilangkan lemaknya distirrer dalam 20 ml NaOH 0.1 M pada suhu ruang selama 30 menit. Selanjutnya, endapan disentrifugasi (5 000 rpm, 30 menit). Supernatan digunakan untuk analisis solubilitas (metode Bradford). b. Pengukuran Solubilitas Protein (Metode Bradford)

117

Pereaksi Bradford dibuat dengan melarutkan 100 mg coomassie brilliant blue G250 dalam 50 ml etanol 95%, kemudian ditambah 100 ml asam fosfat 85% dan diencerkan dengan akuades sampai 1 liter. Larutan standar dibuat dengan menggunakan protein BSA. Sebanyak 100 mg BSA ditambah dengan 50 ml akuades atau 0.1 M NaCl, dikocok pelanpelan, dan setelah larut diencerkan sampai 100 ml. Konsentrasi akhir larutan stok untuk standar ini adalah 1 mg/ml. Selanjutnya, dibuat larutan standar dengan konsentrasi 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.6, dan 0.8 mg/ml. Masing-masing konsentrasi larutan standar dipipet 0.1 ml dan ditambahkan 5 ml pereaksi Bradford. Larutan sampel dipipet sebanyak 0.1 ml dan direaksikan dengan 5 ml pereaksi Bradford. Blanko dibuat dengan cara mengganti sampel dengan akuades dalam jumlah yang sama. Setelah 5 menit, absorbansi masing-masing campuran reaksi diukur pada λ=595 nm. Kurva standar dibuat dengan menghubungkan kadar protein BSA (sumbu X) dan nilai absorbansi (sumbu Y). Dengan menggunakan kurva standar yang telah diperoleh, konsentrasi protein dalam masingmasing sampel dapat ditentukan. Persamaan kurva standar: Y = aX + b Keterangan: X = konsentrasi BSA (mg/ml) Y = absorbansi Protein terlarut (mg) = X x faktor pengenceran Solubilitas (%)

=

Protein terlarut x 100% Kadar protein (mg) per 100 mg tepung mie

c. Perubahan Solubilitas Protein akibat Perubahan pH Sebanyak 1 ml sampel dicampur dengan 9 ml akuades kemudian ditetesi HCl 0.05 N atau NaOH 0.05 N sehingga dicapai variasi pH 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11. Semua tabung disentrifus (2 500 rpm 10 menit). Konsentrasi protein pada filtrat diukur menggunakan pereaksi Bradford.

118

d. Perubahan Solubilitas Protein di dalam Larutan Garam Sebanyak 1 ml sampel dicampur dengan 9 ml akuades kemudian garam amonium sulfat ditambahkan sehingga tercapai konsentrasi 20, 30, 40, 50, 60, dan 70%. Semua tabung disentrifus (2 500 rpm, 10 menit). Konsentrasi protein pada filtrat diukur menggunakan pereaksi Bradford. 6. Elektroforesis a. Persiapan Sampel untuk Elektroforesis Sampel disiapkan seperti pada tahap persiapan sampel untuk analisis solubilitas protein. Selanjutnya, supernatan yang berisi protein didialisis menggunakan membran semipermeabel berukuran pori 8 000 Da. Kantung dialisis berisi larutan protein direndam dalam akuades selama 24 jam. Proses ini dibantu dengan adanya pengadukan menggunakan magnetic stirrer. Larutan protein yang telah didialisis siap digunakan untuk elektroforesis. b. SDS-PAGE dan Native-PAGE SDS-PAGE menggunakan separating gel dengan konsentrasi 10%, sedangkan native-PAGE menggunakan separating gel dengan konsentrasi 5%. Berbeda dengan separating gel, konsentrasi stacking gel yang digunakan dalam dua jenis elektroforesis ini sama, yaitu 5%. Untuk SDS-PAGE, standar yang dipakai hanya satu, yaitu protein LMW (Low Molecular Weight), sementara native-PAGE menggunakan dua standar, yaitu protein LMW dan protein HMW (High Molecular Weight). Tahapan-tahapan di dalam elektroforesis dapat dilihat pada diagram alir di Gambar 5. Keterangan selengkapnya mengenai larutanlarutan

elektroforesis,

prosedur

pengerjaan,

dan

kurva

standar

elektroforesis dapat dilihat pada Lampiran 18, Lampiran 19, dan Lampiran 20.

119

Pembuatan separating gel dan stacking gel Preparasi dan penyuntikan sampel Perangkaian alat elektroforesis Pengoperasian elektroforesis (running) Pewarnaan gel (staining) Penghilangan warna (destaining) Perhitungan BM protein Gambar 5. Diagram alir tahapan dalam elektroforesis 7. Analisis Data Data pengukuran sifat fisik dan kimia dianalisis secara statistik dengan Anova-One Way yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Sampel dinyatakan berbeda atau tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%.

120

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK FISIK MIE BASAH MATANG 1. Warna Pengukuran warna bisa dilakukan secara subjektif dan objektif. Penilaian secara subjektif sangat tergantung pada interpretasi masingmasing panelis terhadap visual produk. Sebelum direbus, mie basah mentah yang masih segar berwarna kekuningan. Warna kuning ini berasal dari pigmen-pigmen flavonoid yang dilepaskan dari pati pada kondisi alkali. Oleh karena itu, semakin tinggi penambahan formaldehid, warna kuning mie semakin memudar. Bahkan, mie basah mentah dengan penambahan formaldehid 3680 mg/kg air perebus memiliki warna putih. Hal ini disebabkan formaldehid memiliki pH rendah. Nilai pH larutan formalin yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3.8. Lain halnya dengan mie mentah yang rentan terhadap reaksi pencoklatan enzimatis, mie matang relatif lebih tahan. Penyebabnya adalah enzim polifenol oksidase (PPO) telah diinaktifkan selama perebusan. Warna mie matang di pasaran biasanya lebih dipengaruhi oleh pewarna sintetis. Dalam penelitian ini, mie dibuat tanpa penambahan pewarna sintetis. Namun, adanya penambahan minyak goreng setelah perebusan menjadikan warna mie basah matang berbeda dengan warna mie basah mentah. Pigmen karotenoid yang terkandung dalam minyak sangat

mempengaruhi

penampakan warna kuning mie matang. Itulah sebabnya, pengamatan secara visual memperlihatkan bahwa 14 dari 16 sampel mie matang memiliki warna kekuningan yang tidak jauh berbeda. Perbedaan secara jelas baru muncul ketika konsentrasi aditif (dalam hal ini formaldehid) yang digunakan sangat tinggi (3680 mg/kg air perebus). Untuk mendapatkan penilaian yang lebih teliti, warna mie basah matang diukur secara objektif menggunakan kromameter. Histogram pada

121

Gambar 6 menunjukkan hasil pengujian objektif tersebut. Nilai b (warna kromatik campuran biru kuning), L (parameter kecerahan), dan oH (panjang gelombang dominan yang akan menentukan apakah warna tersebut merah, hijau, atau kuning) ternyata tidak jauh berbeda antara berbagai variasi perlakuan, kecuali pada mie basah matang yang mengalami penambahan formaldehid tertinggi, yaitu 3680 mg/kg air perebus (p<0.05). Kode sampel mewakili perlakuan yang diterapkan pada masing-masing sampel. Keterangan mengenai kode sampel tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 di

120

Nilai warna

100 80 b 60

L H

40 20

K+B750+F110.4

O+B750+F110.4

K+B375+F55.2

O+B375+F55.2

K+F3680

O+F3680

K+F110.4

O+F110.4

K+F55.2

O+F55.2

K+B750

O+B750

K+B375

O+B375

K

O

0

Kode sampel

halaman 40 dan Tabel 7 di halaman 41. Hasil analisis statistik Anova OneWay terhadap warna mie yang dilanjutkan dengan uji Duncan dapat dilihat di Lampiran 3 sampai Lampiran 5. Gambar 6. Pengaruh penambahan aditif terhadap warna mie Di dalam pengujian nilai b, sampel terbagi ke dalam dua subset, di mana sampel O+F3680 dan K+F3680 berada di subset pertama dengan nilai b rata-rata 39.43. Sementara itu, empat belas sampel lainnya berada di subset kedua, dengan nilai b rata-rata 62.78. Semakin besar nilai b positif, maka semakin kuning warna produk yang diuji. Ini artinya, sampel mie yang terletak di subset kedua mempunyai warna jauh lebih kuning

122

dibandingkan sampel mie yang terletak di subset pertama. Semakin tinggi kandungan formaldehid, warna kuning mie semakin memudar karena pelepasan pigmen-pigmen flavonoid dari pati dihambat dengan adanya formaldehid. Warna kuning mie pada sampel dengan penambahan formaldehid 55.2 dan 110.4 mg/kg air perebus masih bisa ditingkatkan dengan pelumuran minyak setelah perebusan. Sementara untuk sampel dengan penambahan formaldehid sangat tinggi (3680 mg/kg air perebus), pelumuran minyak tidak terlalu berpengaruh terhadap peningkatan warna kuning mie. Seperti halnya nilai b, nilai L sampel O+F3680 dan K+F3680 juga berada dalam subset yang berbeda dengan keempat belas sampel mie lainnya (p<0.05). Hanya saja, nilai L kedua sampel tersebut justru lebih besar (rata-rata 86.37) dibandingkan sampel lainnya (rata-rata 72.24). Dengan demikian, sampel O+F3680 dan K+F3680 mempunyai kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan empat belas sampel yang lain. Kedua sampel tersebut memiliki warna putih cerah karena kandungan formaldehidnya sangat tinggi, sehingga penambahan minyak goreng tidak terlalu berpengaruh terhadap peningkatan warna kuning mie. Hal yang berbeda terjadi pada keempatbelas sampel lainnya. Pengujian terhadap nilai oH menunjukkan bahwa sampel mie terbagi ke dalam 5 subset (p<0.05). Perlu diperhatikan di sini bahwa walaupun terdapat 5 subset, sampel O+F3680 dan K+F3680 lagi-lagi berada di subset yang terpisah dari sampel lainnya. Jika nilai oH sampel O+F3680 dan K+F3680 dirata-ratakan, hasilnya adalah 99.0, lebih besar dari nilai oH ratarata keempat belas sampel sisanya yang bernilai 95.1. Meskipun demikian, o

H seluruh sampel tetap tercakup dalam kisaran warna kuning, yaitu 90-126.

2. Tekstur Setelah penyimpanan selama 48 jam, tekstur mie basah mengalami perubahan. Kekerasannya menurun sedangkan kelengketannya meningkat (Chamdani, 2005). Hal ini disebabkan adanya pertumbuhan mikroorganisme yang mendekomposisi nutrisi dalam mie basah sebagai sumber karbon dan

123

energi untuk pertumbuhannya. Salah satu protein di dalam mie, yaitu gluten, berperan penting terhadap pembentukan tekstur mie, sehingga aktivitas mikroorganisme dalam memecah protein akan menurunkan kualitas tekstur mie. Sementara itu, lendir yang dihasilkan oleh mikroorganisme akan menyebabkan mie menjadi lengket. Bahan-bahan aditif yang ditambahkan ke dalam adonan dapat mempengaruhi tekstur produk. Boron dapat berikatan silang dengan protein dan karbohidrat untuk memperkuat tekstur. Formaldehid juga mampu memodifikasi gaya putus dan elongasi karena formaldehid akan bereaksi dengan gugus ε-NH2 dari lisin sehingga terbentuk ikatan silang protein yang memperkuat tekstur. STPP yang digunakan sebagai salah satu bahan kimia penyusun kansui biasanya dimanfaatkan dalam pembuatan bakso untuk meningkatkan elastisitas dan kekenyalan karena STPP mampu berinteraksi dengan protein aktin dan miosin sehingga memperkuat tekstur bakso. Gambar 7 menunjukkan histogram pengaruh penambahan aditif terhadap gaya putus dan persen elongasi mie basah matang. Keterangan mengenai kode sampel dapat dilihat pada Tabel 6 di halaman 40 dan Tabel 7 di halaman 41.

160

120

Gaya putus (gf) Elongasi (%)

100 80 60 40 20 K+B750+F110.4

O+B750+F110.4

K+B375+F55.2

K + F3680

O+B375+F55.2

O + F3680

K + F110.4

O + F110.4

K + F55.2

K + B750

O + F55.2

O + B750

K + B375

O + B375

K

0 O

Nilai tekstur

140

Kode sampel

Gambar 7. Pengaruh penambahan aditif terhadap tekstur mie

124

Walaupun data dari berbagai sumber menyebutkan adanya pengaruh penambahan aditif terhadap tekstur produk, analisis statistik Anova OneWay memperlihatkan bahwa gaya putus dan persentase elongasi keenam belas sampel tidak berbeda nyata (p>0.05). Analisis Anova One-Way ini bisa dilihat pada Lampiran 6 dan Lampiran 7. Pengujian objektif menggunakan Rheoner RE-3305 menghasilkan gaya putus rata-rata 45.6 gf dan persentase elongasi 115.1%. Nilai gaya putus dan persentase elongasi yang cukup rendah ini disebabkan mie basah matang memiliki kadar air yang tinggi karena selama perebusan terjadi penyerapan air dalam jumlah besar. Semakin banyak penyerapan air, mie semakin lembek sehingga gaya putusnya semakin kecil. Pada tingkat penambahan air yang sama, tepung dengan kandungan protein tinggi mempunyai daya serap air lebih besar daripada tepung dengan kandungan protein rendah (Baik et al., 1995). Namun, semakin tinggi kandungan protein adonan, semakin lama waktu masak yang dibutuhkan (Oh et al., 1985). Akibatnya, kekenyalan mie menurun karena suhu tinggi selama perebusan menyebabkan protein terdenaturasi. Kondisi di atas terjadi pada adonan mie basah, karena selain menggunakan tepung berprotein sedang (Segitiga), adonan mie juga menggunakan tepung berprotein tinggi (Cakra). Baik et al. (1995) juga menyatakan bahwa ukuran partikel tepung dapat mempengaruhi kekerasan adonan. Semakin besar ukuran partikel, tepung semakin mudah menyerap air. B. KARAKTERISTIK KIMIA MIE BASAH MATANG 1. Aktivitas Air (Aw) Bahan pangan umumnya memiliki Aw dalam bentuk kisaran. Aktivitas air mie basah matang berkisar antara 0.926 sampai 0.955, dengan nilai rata-rata 0.938. Kerenyahan suatu produk hilang jika Aw-nya lebih besar dari 0.65, sehingga untuk mie basah matang, penilaian tekstur adalah berdasarkan kekenyalannya. Melalui analisis Anova One-Way (Lampiran 8) dapat disimpulkan bahwa aktivitas air sampel mie tidak berbeda nyata (p>0.05) antara berbagai variasi perlakuan.

125

Aw berhubungan dengan kadar air bahan. Perubahan Aw dapat menyebabkan migrasi air antara komponen pangan karena air akan berpindah dari daerah Aw tinggi ke daerah dengan Aw rendah. Jika kelembaban udara sekitar 50-80% (Aw=0.5-0.8), pangan dengan Aw lebih rendah dari itu cenderung untuk menyerap air sementara pangan dengan Aw lebih besar dari itu cenderung untuk kehilangan air (Chaplin, 2005). Mie basah, yang memiliki Aw rata-rata 0.938, cenderung untuk kehilangan air jika disimpan di udara terbuka. Tabel 8 berikut ini memuat nilai Aw dan kadar air masing-masing sampel mie basah. Keterangan mengenai variasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7 di halaman 40 dan 41. Tabel 8. Nilai Aw dan kadar air mie basah Kadar air Kode sampel

Aw

Mie mentah (% bb)

Mie matang (% bb)

Peningkatan (%)

O

0.930

31.21

65.35

109.37

K

0.933

31.83

65.02

104.29

O+B375

0.952

31.53

65.49

107.71

K+B375

0.929

31.15

65.44

110.10

O+B750

0.955

30.77

65.35

112.41

K+B750

0.933

30.45

64.83

112.93

O+F55.2

0.937

31.21

64.15

105.54

K+F55.2

0.926

31.83

64.16

101.57

O+F110.4

0.939

31.21

63.84

104.55

K+F110.4

0.927

31.83

64.00

101.06

O+F3680

0.942

31.21

64.88

107.90

K+F3680

0.940

31.83

64.93

104.01

O+B375+F55.2

0.936

31.53

63.94

102.82

K+B375+F55.2

0.942

31.15

65.61

110.66

O+B750+F110.4

0.934

30.77

64.23

108.78

K+B750+F110.4

0.950

30.45

64.16

110.71

126

Produk pangan yang mudah rusak memiliki Aw>0.95 (setara dengan 43% sukrosa). Pertumbuhan sebagian besar bakteri dihambat pada Aw di bawah 0.91 (setara dengan 57% sukrosa), kamir dihambat pada Aw di bawah 0.87 (setara dengan 65% sukrosa), dan kapang dihambat pada Aw di bawah 0.80 (setara dengan 73% sukrosa). Batas absolut pertumbuhan mikroba adalah pada Aw sekitar 0.6 (Chaplin, 2005). Menurut sumber yang lain, Aw minimum yang dibutuhkan mikroorganisme untuk dapat tumbuh dengan baik adalah 0.90 untuk bakteri, 0.80-0.90 untuk kamir, dan 0.600.70 untuk kapang (Winarno, 1997). Dengan nilai Aw sebesar 0.926-0.955, mie basah dikategorikan sebagai sistem yang basah sehingga rentan terhadap pertumbuhan mikroorganisme dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak bahan pangan seperti reaksi browning, hidrolisis, dan oksidasi lemak. 2. Kadar Air Sebelum ditemukannya istilah Aw, kadar air dianggap sebagai faktor kritis dalam mengontrol mikroorganisme dan reaksi kimia. Di dalam bahan pangan, air merupakan komponen penting karena dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa. Sebagian besar perubahan bahan pangan terjadi dalam media air, baik yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan itu sendiri. Semua bahan pangan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda, dan jumlah itu ikut menentukan penerimaan, kesegaran, dan daya tahan bahan. Perlu diperhatikan bahwa banyaknya air dalam suatu bahan tidak dapat ditentukan dari keadaan fisik bahan tersebut. Adonan mie menggunakan tepung terigu Segitiga dan Cakra Kembar. Tabel 9 berikut memuat hasil analisis proksimat terhadap kedua jenis tepung tersebut. Tabel 9. Kadar proksimat tepung terigu Segitiga dan Cakra Kembar Karakteristik

Terigu Segitiga

Terigu Cakra Kembar

Kadar air (% bb)

13.88

13.79

Kadar abu (% bk)

0.55

0.58

127

Kadar protein (% bk)

11.20

14.00

Kadar lemak (% bk)

0.82

0.95

87.43

84.47

Kadar KH (% bk)

Melalui analisis proksimat, terigu Segitiga dan Cakra Kembar masing-masing diketahui memiliki kadar air 13.88 dan 13.79% (bb). Untuk membuat adonan, ada penambahan air sebanyak 35 g/100 g tepung. Jika dari 50 g terigu Segitiga dan 50 g terigu Cakra Kembar dihasilkan 138 g adonan, diperkirakan kadar air mie basah mentah maksimum sebesar 35.39% (bb). Kadar air mie mentah dalam penelitian sesuai dengan perkiraan tersebut, yaitu rata-rata 31.25% (bb). Hasil ini juga sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 1992, yang memuat syarat kadar air mie basah mentah sebesar 20-35% (bb). Selama perebusan, mie akan menyerap air sehingga kadar air mie yang telah matang jauh lebih besar daripada keadaan mentahnya. Di dalam penelitian dihasilkan kadar air rata-rata mie basah matang sebesar 64.71% (bb). Jika dihitung, kadar air mie meningkat rata-rata 107.10%. Dengan kata lain, selama perebusan, mie akan menyerap air sehingga kadar airnya meningkat lebih dari dua kali lipat. Untuk lebih jelasnya, nilai kadar air mie basah mentah dan mie basah matang beserta peningkatan kadar air seluruh variasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8. Menurut Anova One-Way, yang hasilnya dimuat di Lampiran 9, kadar air tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) antara berbagai variasi perlakuan. 3. Kadar Abu Sebagian besar bahan pangan, yaitu sekitar 96%, terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai abu. Di dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar akan tetapi zat anorganiknya tidak. Residu yang tertinggal setelah suatu bahan dibakar sampai bebas karbon inilah yang disebut abu. Kadar abu tinggi bisa disebabkan bahan mengandung mineral dalam jumlah

128

tinggi atau bahan telah tercemar. Oleh karena itu, kadar abu dapat dijadikan indikator adanya pencemaran oleh kotoran seperti pasir dan batu. Menurut data pada label kemasan, mineral-mineral dalam terigu adalah kalsium (minimum 15 mg/100 g), besi (minimum 5 mg/100 g), dan seng (minimum 3 mg/100 g). Kalsium terdapat dalam tubuh dalam jumlah yang cukup besar, dan karenanya disebut mineral makro, sedangkan besi dan seng terdapat di dalam tubuh dalam jumlah yang kecil, karena itu disebut trace element atau mineral mikro. Di dalam tubuh, ada mineral yang bergabung dengan zat organik, ada pula yang berbentuk ion-ion bebas.

Kadar abu (% bk)

2.0 1.6 1.2 0.8 0.4

K+B750+F110.4

O+B750+F110.4

K+B375+F55.2

O+B375+F55.2

K+F3680

O+F3680

K+F110.4

O+F110.4

K+F55.2

O+F55.2

K+B750

O+B750

K+B375

O+B375

K

O

0.0

Kode sampel

Gambar 8. Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar abu mie Gambar 8 di atas merupakan pengamatan kadar abu mie basah matang. Tepung terigu Segitiga dan Cakra Kembar masing-masing mengandung abu sebanyak 0.55 dan 0.58% (bk). Dari 50 g terigu Segitiga dan 50 g terigu Cakra Kembar dihasilkan 138 g adonan. Dengan kadar air 31.25% (bb), diharapkan kadar abu minimum mie sebesar 0.52% (bk). Kadar abu rata-rata mie basah matang yang dihasilkan senilai 1.60% (bk). Nilai ini jauh lebih besar dibandingkan perkiraan karena bahan-bahan selain terigu juga menghasilkan abu. Jika dibandingkan dengan SNI 1992, kadar abu mie basah matang memenuhi persyaratan, yaitu 3% (bb) atau 4.6% (bk).

129

Kadar abu masing-masing sampel dapat dilihat pada Lampiran 2. Analisis dengan Anova One-Way, yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 10, menunjukkan bahwa kadar abu antara sampel tidak berbeda nyata (p>0.05). 4. Kadar Protein Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Metode Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung, karena sebenarnya yang diukur dalam metode ini adalah kadar nitrogennya. Pengalian hasil pengukuran dengan faktor konversi (5.71) akan menghasilkan nilai kadar protein. Angka 5.71 merupakan faktor konversi untuk tepung gandum. SNI 1992 mensyaratkan kadar protein mie basah minimum 3% (bb) atau 4.6% (bk). Sementara itu, kadar protein rata-rata mie basah matang dalam penelitian adalah 11.27% (bk), jauh lebih besar daripada syarat SNI. Hal ini disebabkan, di dalam adonan mie itu sendiri, tepung terigu Segitiga telah mengandung protein 11.20% (bk), dan tepung Cakra Kembar telah mengandung protein 14.00% (bk). Dengan penggunaan tepung 100 g (Segitiga:Cakra=1:1), untuk menghasilkan 138 g adonan yang berkadar air 31.25% (bb), diharapkan kadar protein mie maksimum 11.44% (bk). Jadi, kadar protein yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan harapan. Perbedaan

formulasi

terhadap

keenambelas

sampel

mie

ternyata

menghasilkan nilai kadar protein yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Kesimpulan ini diambil berdasarkan pengujian menggunakan Anova OneWay terhadap kadar protein seluruh sampel. Hasil analisis tersebut ditampilkan

dalam

Lampiran

11.

Gambar

9

pada

halaman

63

menggambarkan kadar protein dari masing-masing sampel. Untuk lebih jelasnya, nilai kadar protein masing-masing sampel juga dimuat dalam Lampiran 2.

130

Penelitian

yang

dilakukan

Fagbenro

dan

Jauncey

(1994)

menunjukkan fenomena yang hampir sama dengan yang terjadi pada mie matang yaitu tidak terdapat perubahan kadar proksimat. Pemberian formaldehid 5 ml/kg silase dan tanpa pemberian formaldehid tidak menghasilkan kandungan protein kasar, lemak kasar, dan kadar abu yang berbeda. Namun ada pula penelitian lain yang mengunakan formaldehid sebagai pengawet, yang menunjukkan adanya perubahan pada kandungan proksimat. Menurut Ang dan Hultin (1989), formaldehid dapat memberikan perubahan yang kompleks pada silase ikan yang diawetkan dengan formaldehid. Protein cenderung untuk beragregasi dan kehilangan kelarutan karena pembentukan ikatan non kovalen di antara molekul. Namun, berhubung metode Kjeldahl hanya mengukur protein secara kasar, yaitu berdasarkan jumlah nitrogen, maka semua nitrogen dalam protein yang mungkin berikatan silang akan terlepas dalam tahap destruksi. Akibatnya nitrogen dapat terukur sehingga kadar protein kasarnya tidak berbeda nyata di antara perlakuan.

Kadar protein (% bk)

14 12 10 8 6 4 2

K+B750+F110.4

O+B750+F110.4

K+B375+F55.2

O+B375+F55.2

K + F3680

O + F3680

K + F110.4

O + F110.4

K + F55.2

O + F55.2

K + B750

O + B750

K + B375

O + B375

K

O

0

Kode sampel

Gambar 9. Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar protein mie

131

5. Kadar Lemak Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang lebih efektif dibanding dengan karbohidrat dan protein. Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9 Kal. Lemak atau minyak, khususnya minyak nabati, mengandung asam-asam lemak esensial seperti asam linoleat, linolenat, dan arakidonat yang dapat mencegah penyempitan pembuluh darah akibat penumpukan kolesterol. Lemak dan minyak juga berfungsi sebagai sumber dan pelarut bagi vitamin-vitamin A, D, E, dan K. Lemak dan minyak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan yang berbeda-beda. Akan tetapi, lemak dan minyak juga seringkali ditambahkan dengan sengaja ke bahan makanan untuk berbagai tujuan. Di dalam pembuatan mie basah matang, minyak nabati ditambahkan kepada mie yang telah direbus sebagai lubrikan, agar tiap helaian mie tidak lengket satu sama lain. Penambahan minyak ini juga mempunyai pengaruh lain, yaitu meningkatkan warna kuning mie, menambah rasa gurih, dan menambah kalori mie karena kadar lemak otomatis meningkat. Tepung terigu Segitiga mengandung lemak 0.82% (bk), sedangkan tepung Cakra Kembar mengandung lemak 0.95% (bk). Namun, kadar lemak mie basah matang jauh lebih tinggi dari kadar lemak pada tepung karena adanya penambahan minyak goreng pada mie yang telah direbus sebanyak 5% dari berat tepung. Kadar lemak rata-rata mie basah matang adalah 5.13% (bk). Nilai ini tidak dapat dibandingkan dengan SNI karena SNI 1992 mengenai mie basah tidak memuat standar jumlah kandungan lemak dalam mie basah. Seperti halnya penelitian terhadap silase ikan yang dilakukan Fagbenro dan Jauncey (1994), kadar lemak masing-masing sampel mie basah matang juga tidak berbeda nyata (p>0.05). Hasil analisisnya menggunakan Anova One-Way dapat dilihat pada Lampiran 12. Gambar 10 di halaman 65 adalah tampilan visual hasil pengukuran kadar lemak dari seluruh sampel. Hasil pengukuran kadar lemak masing-masing sampel dapat dilihat dalam Lampiran 2. Karena kadar lemaknya yang cukup tinggi, mie matang mudah mengalami ketengikan. Hal ini juga berhubungan dengan nilai Aw yang

132

sangat tinggi (0.926-0.955), di mana mie mudah mengalami hidrolisis dan oksidasi lemak. Menurut Dapkevicius et al. (1998), silase ikan yang ditambah formaldehid memiliki nilai peroksida yang lebih tinggi dibanding silase tanpa formaldehid. Ostyakova dan Kosvina (1975) menemukan bahwa formaldehid mampu meningkatkan dekomposisi molekul lemak menjadi

monomer-monomernya dan

meningkatkan oksidasi lemak.

Pengawetan dengan formaldehid menyebabkan jumlah total lipid menurun, proporsi kompleks lemak-protein meningkat, terjadinya proses hidrolisis lipid netral, ester dari asam stearat, dan fraksi fosfolipid. Di pihak lain, tidak adanya perbedaan nyata dalam hal kadar lemak mie basah matang bisa disebabkan sebagian besar lemak baru ditambahkan setelah perebusan sementara formaldehid ditambahkan sebelumnya, yaitu pada saat perebusan.

Kadar lemak (% bk)

6 5 4 3 2 1

K+B750+F110.4

O+B750+F110.4

K+B375+F55.2

O+B375+F55.2

K + F3680

O + F3680

K + F110.4

O + F110.4

K + F55.2

O + F55.2

K + B750

O + B750

K + B375

O + B375

K

O

0

Kode sampel

Gambar 10. Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar lemak mie 6. Kadar Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh penduduk

dunia,

khususnya

bagi

penduduk

negara

yang

sedang

berkembang. Walaupun jumlah kalori yang dapat dihasilkan oleh 1 gram karbohidrat hanya 4 Kal bila dibanding protein dan lemak, karbohidrat merupakan sumber kalori yang murah. Selain itu beberapa golongan

133

karbohidrat menghasilkan serat-serat (dietary fiber) yang berguna bagi pencernaan. Karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur, dan lain-lain. Sementara di dalam tubuh, karbohidrat berguna untuk mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral, dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein. Sebagian besar karbohidrat yang diperlukan tubuh manusia berasal dari bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari, misalnya mie. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan karbohidrat dalam bahan pangan. Cara paling mudah adalah melalui perhitungan kasar yang disebut carbohydrate by difference, seperti yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan cara tersebut, kandungan karbohidrat termasuk serat kasar diukur bukan melalui analisis melainkan melalui persentase setelah dikurangi abu, protein, dan lemak yang semuanya dihitung dalam basis kering. Terigu Segitiga mengandung karbohidrat 87.43% (bk), sedangkan terigu Cakra Kembar mengandung karbohidrat 84.47% (bk). Jadi, mie yang menggunakan tepung tersebut harus mengandung karbohidrat paling sedikit 78.06% (bk). Kadar karbohidrat mie basah matang hasil percobaan tidak berbeda nyata (p>0.05) antara berbagai variasi perlakuan. Nilai rata-rata dari keenambelas sampel mie adalah 81.99% (bk). Namun, seperti halnya kadar lemak, kadar karbohidrat ini tidak dapat dibandingkan dengan SNI, karena SNI 1992 tidak mencantumkan standar jumlahnya.

90 75 60 45 30 15

K+B750+F110.4

O+B750+F110.4

K+B375+F55.2

O+B375+F55.2

K + F3680

O + F3680

K + F110.4

O + F110.4

K + F55.2

O + F55.2

K + B750

O + B750

K + B375

O + B375

K

0 O

Kadar karbohidrat (% bk)

134

Kode sampel

Gambar 11. Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar karbohidrat mie Hasil analisis Anova One-Way dari kadar karbohidrat mie basah matang dapat dilihat pada Lampiran 13. Hasil pengujian menunjukkan bahwa keenambelas sampel memiliki kadar karbohidrat yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Lampiran 2 memuat kadar karbohidrat (% bk) dari masingmasing sampel. Keterangan mengenai kode sampel dapat dilihat pada Tabel 6 di halaman 40 dan Tabel 7 di halaman 41. 7. Kadar Formaldehid Formaldehid ditambahkan saat perebusan. Adanya formaldehid meningkatkan WHC adonan, sehingga bobot mie matang meningkat. Penyerapan air yang sangat besar itu menyebabkan kadar air dan Aw mie menjadi tinggi. Seharusnya, dengan kadar air setinggi itu, mie matang mudah mengalami kerusakan. Namun ternyata, formaldehid bersifat anti mikroba sehingga kerusakan mikrobiologis pada mie yang mengandung formaldehid dapat dihambat. Penggunaan formalin dalam mie matang bisa mempertahankan umur simpan hingga 2 minggu (Indrawan, 2005). Kadar formaldehid diuji dengan menggunakan metode AOAC (1995). Kurva standar formaldehid yang telah dibuat sebelum pengujian sampel memiliki persamaan Y = 0.1183X – 0.1473, dengan X adalah konsentrasi formaldehid (mg/l) dan Y adalah absorbansi (λ=415 nm). Tabel

135

dan gambar hubungan konsentrasi formaldehid standar dengan nilai absorbansinya dapat dilihat pada Lampiran 14. Hasil pengujian terhadap obat mie dan kansui memberi hasil tidak terdeteksinya formaldehid di dalamnya. Tabel 10 memuat hasil pengukuran kadar formaldehid dalam sampel mie basah matang. Laju peningkatan jumlah absolut formaldehid yang diserap mie matang jauh lebih kecil dibandingkan peningkatan jumlah absolut formaldehid dalam air perebus. Hal ini dibuktikan dengan cara menggambarkan data pada Tabel 10 ke dalam bentuk kurva yang terdapat pada Gambar 12.

Tabel 10. Kadar formaldehid mie basah matang Jumlah Penambahan absolut formaldehid penambahan Kode sampel (mg/kg air formaldehid perebus) (mg/750 mg air perebus) O K O + B375 K + B375 O + B750 K + B750 O + F55.2 55.20 41.40 K + F55.2 55.20 41.40 O + F110.4 110.40 82.80 K + F110.4 110.40 82.80 O + F3680 3680.00 2760.00 K + F3680 3680.00 2760.00 O+B375+F55.2 55.20 41.40 K+B375+F55.2 55.20 41.40 O+B750+F110.4 110.40 82.80 K+B750+F110.4 110.40 82.80

Kadar formaldehid dalam mie (mg/kg bb)

Jumlah absolut formaldehid dalam mie (mg/270 g mie matang)

Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi 61.28 51.87 77.84 84.31 711.91 838.09 106.89 111.03 140.29 147.93

Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi 16.55 14.00 21.02 22.76 192.22 226.28 28.86 29.98 37.88 39.94

136

[Formaldehid] (mg/270 mg mie matang)

45 40

y = 0.2292x + 19.93 2 R = 0.9704

35

Tanpa boraks

30

Dengan boraks

25

y = 0.1598x + 8.66 2

R = 0.9018

20

Regresi linier (dengan boraks) Regresi linier (tanpa boraks)

15 10 5 0 0

20

40

60

80

100

[Formaldehid] (mg/750 g air perebus)

Gambar 12. Penyerapan formaldehid pada mie basah matang Nilai R2 di atas 0.9 menunjukkan bahwa parameter X dan Y dalam kedua kurva di atas berbanding lurus secara linier. Koefisien X yang jauh lebih kecil dari 1 menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar formaldehid dalam air perebus, kemampuan mie menyerap formaldehid semakin kecil. Pada sampel yang mengandung formaldehid (O+F55.2, K+F55.2, O+F110.4, K+F110.4), kenaikan kadar formaldehid dari 41.4 menjadi 82.8 mg/750 g air perebus hanya menghasilkan sedikit peningkatan kadar formaldehid dalam produk akhir. Keterbatasan kemampuan mie mengikat formaldehid semakin terlihat pada sampel O+F3680 dan K+F3680, di mana konsentrasi formaldehid dalam air perebus sangat tinggi (3680 mg/kg). Dengan kadar setinggi itu, adonan sudah terlalu jenuh sehingga tidak bisa lagi mengikat formaldehid. Akibatnya, hasil pengukuran jumlah absolut formaldehid dalam produk akhir jauh lebih rendah daripada jumlah absolut formaldehid dalam air perebus. Sampel-sampel yang disebutkan dalam paragraf di atas adalah sampel yang hanya mengalami penambahan formaldehid. Untuk sampel yang mengalami penambahan formaldehid dan boraks (O+B375+F55.2, K+B375+F55.2, O+B750+F110.4, dan K+B750+F110.4), fenomena yang sama juga terjadi, yaitu semakin tinggi kadar formaldehid dalam air perebus,

137

semakin rendah kemampuan mie menyerap formaldehid. Namun, ada hal yang berbeda di sini. Pada konsentrasi formaldehid yang sama, mie yang ditambah boraks mampu menyerap formaldehid lebih banyak dibandingkan mie yang tidak ditambah boraks. Hal ini dapat dilihat dalam Gambar 13.

[Formaldehid] (mg/270 g mie matang)

45 40 35 30

Obat mie tanpa boraks

25

Kansui tanpa boraks

20

Obat mie dengan boraks

Kansui dengan boraks

15 10 5 0 55.2

110.4

[Formaldehid] (mg/kg air perebus)

Gambar 13. Hubungan kadar formaldehid dengan adanya boraks di dalam mie matang Jadi, ketika kadar formaldehid adalah 55.2 mg/kg air perebus, sampel O+B375+F55.2 dan K+B375+F55.2 mengandung formaldehid lebih banyak dibandingkan sampel O+F55.2 dan K+F55.2. Begitu pula ketika kadar formaldehid dalam air perebus adalah 110.4 mg/kg. Kandungan formaldehid sampel O+B750+F110.4 dan O+B750+F110.4 lebih besar dibandingkan sampel O+F110.4 dan K+F110.4. Sampel lainnya yang tidak ditambah formaldehid, yaitu O, K, O+B375,

K+B375,

O+B750,

dan

K+B750,

tidak

teridentifikasi

mengandung formaldehid. Hal ini disebabkan destilat sampel tidak menghasilkan warna ketika direaksikan dengan Nash’s reagent. 8. Kadar Boraks Seperti halnya formalin, boraks dapat menghambat kerusakan mikrobiologis. Boraks dalam mie mentah dapat mempertahankan umur simpan sekitar 2 hari (Indrawan, 2005).

138

Metode penentuan kadar boraks diambil dari SNI 1991. Kadar boraks dinyatakan dalam asam borat (H3BO3). Asam borat dikonversi menjadi boraks menggunakan faktor konversi berikut (WHO, 1998): Jumlah boron

= jumlah asam borat x 0.175

Jumlah boron

= jumlah boraks x 0.113

Di dalam penelitian ini, kadar boraks di dalam bahan-bahan kimia juga diukur. Hasilnya, obat mie mengandung boraks 38.64 mg/g, sementara kansui tidak terdeteksi mengandung boraks. Adanya boraks di dalam obat mie menyebabkan produk akhir yang menggunakan obat mie selalu mengandung boraks, walaupun dalam formulasinya tidak ada penambahan boraks (sampel O, O+F55.2, O+F110.4, O+F3680). Dengan demikian, mie yang menggunakan obat mie selalu mempunyai kadar boraks lebih tinggi dibandingkan mie yang menggunakan kansui, walaupun kedua jenis mie tersebut ditambah boraks dalam jumlah yang sama. Tabel 11 memperlihatkan kadar asam borat dalam produk akhir. Kadar asam borat kemudian dikonversi ke dalam bentuk boraks dan dihitung jumlah absolutnya dalam produk akhir (mie basah matang). Kode sampel mewakili variasi perlakuan terhadap mie. Keterangan perlakuan tersebut dapat dilihat dalam Tabel 6 dan Tabel 7 di halaman 40 dan 41. Tabel 11. Kadar boraks mie basah matang Jumlah Jumlah Boraks Penambahan absolut Kadar absolut dari obat boraks penambahan H3BO3 mie boraks mie Kode sampel (mg/kg boraks matang (mg/270 g (mg/0.6 g adonan) (mg/138 g (mg/kg bb) mie obat mie) adonan) matang) O 23.18 23.18 58.27 24.37 K 5.47 2.29 O+B375 23.18 375 74.93 154.43 64.57 K+B375 375 51.75 96.22 40.23 O+B750 23.18 750 126.68 246.06 102.89 K+B750 750 103.50 193.90 81.08 O+F55.2 23.18 23.18 59.27 24.78 K+F55.2 5.47 2.29 O+F110.4 23.18 23.18 57.80 24.17 K+F110.4 5.20 2.17 O+F3680 23.18 23.18 58.10 24.29 K+F3680 5.35 2.24

139

O+B375+F55.2 K+B375+F55.2 O+B750+F110.4 K+B750+F110.4

23.18 23.18 -

375 375 750 750

74.93 51.75 126.68 103.5

154.18 93.71 250.22 193.84

64.47 39.18 104.63 81.05

Melalui penelitian pendahuluan, diketahui bahwa kansui tidak terdeteksi mengandung boraks. Dengan alasan itu, seharusnya mie kansui yang dibuat tanpa penambahan boraks (K, K+F55.2, K+F110.4, dan K+F3680) memberi hasil negatif dalam pengukuran kadar boraks. Akan tetapi, hasil pengukuran sampel ternyata menunjukkan adanya kandungan boraks di dalam produk akhir, dengan jumlah absolut berkisar antara 2.17 sampai 2.29 mg. Meskipun demikian, hasil ini masih dapat diterima karena menurut data yang ada, boron secara alami terkandung dalam tepung terigu dengan jumlah 0.28 mg/kg berat basah tepung terigu (WHO, 1998) dan pada air minum dengan kadar 4-5 mg/l (Federal Provincial-Territorial Committee on Drinking Water, 1990). Kadar air mie basah matang yang tinggi (rata-rata 64.71% bb), semakin memperbesar kemungkinan adanya boraks, meskipun dalam pembuatan mie tidak menggunakan boraks.

[Boraks] (mg/270 g mie matang)

120 100 80

O O+F55.2

60

O+F110.4 O+F3680

40 20 0 23.18

74.93

126.68

[Penambahan boraks] (mg/138 g adonan)

Gambar 14. Hubungan kadar boraks dengan adanya formaldehid di dalam mie matang yang menggunakan obat mie

140

[Boraks] (mg/270 g mie matang)

120 100 80

K K+F55.2

60

K+F110.4 K+F3680

40 20 0 0.00

51.75

103.50

[Penambahan boraks] (mg/138 g adonan)

Gambar 15. Hubungan kadar boraks dengan adanya formaldehid di dalam mie matang yang menggunakan kansui Gambar 14 dan 15 memperlihatkan bahwa adanya formaldehid di dalam mie tidak berpengaruh nyata terhadap kadar boraks mie matang. Mie yang berasal dari adonan dengan jumlah kandungan boraks sama memiliki kadar boraks akhir yang tidak jauh berbeda. Pernyataan ini diperkuat melalui regresi linier pada Gambar 16. Nilai R2 di atas 0.9 menunjukkan bahwa parameter X dan Y berbanding lurus secara linier, dan koefisien X

[Boraks] (mg/270 g mie matang)

yang mendekati 1 menandakan bahwa peningkatan nilai Y sebanding

120 100 80 60

y = 0.7783x + 3.567 R 2 = 0.9942

40 20 0 0

20

40

60

80

100

120

140

[Penam bahan boraks] (m g/138 g adonan)

dengan peningkatan nilai X. Gambar 16. Jumlah boraks yang tertahan di dalam mie basah matang

141

Jika boraks yang tertahan di dalam produk akhir dibandingkan dengan formaldehid yang ada dalam produk akhir, akan diperoleh hubungan yang berbanding lurus secara linier, seperti terlihat pada Gambar 17. Jadi, secara umum peningkatan kadar boraks dapat menyebabkan peningkatan penyerapan formaldehid. Dugaan sementara adalah ikatan silang dapat terbentuk bukan hanya antara formaldehid dan protein atau boraks dan protein, melainkan juga antara formaldehid, boraks, dan protein.

[Formaldehid] (mg/270 g mie matang)

45 40 35 30 25 y = 0 .2 2 5 6 x + 1 6 .7 0 7 R 2 = 0 .7 9 0 3

20 15 10 5 0 0

20

40

60

80

100

120

[B o r a k s ] (m g /2 7 0 g m ie m a ta n g )

Gambar 17. Hubungan formaldehid dengan boraks dalam mie matang C. DAYA CERNA PROTEIN Enzim yang bereaksi dengan protein memiliki spesifisitas tertentu.

95 90 85 80 75

Kode sampel

K+B750+F110.4

O+B750+F110.4

K+B375+F55.2

O+B375+F55.2

K+F3680

O+F3680

K+F110.4

O+F110.4

K+F55.2

O+F55.2

K+B750

O+B750

K+B375

O+B375

K

70 O

Daya cerna protein (%)

Enzim tripsin bersifat spesifik terhadap grup karboksil dari asam amino lisin

142

dan arginin, enzim peptidase bersifat spesifik terhadap ikatan peptida yang berdekatan

dengan

ikatan

karboksil,

sedangkan

enzim

kimotripsin

mengkatalisis hidrolisis ikatan peptida yang berdekatan dengan grup karboksil dari asam amino aromatik. Sebagian besar protein yang berada dalam struktur alami (native) cukup tahan terhadap enzim proteolitik. Namun, di dalam pencernaan, protein terekspos dengan pH ekstrim sehingga strukturnya berubah menjadi mudah bereaksi dengan molekul enzim. Perubahan struktur ini menjadikan protein lebih rentan terhadap proteolisis. Jadi, kecepatan dan jumlah proteolisis dapat dijadikan indikator denaturasi protein. Gambar 18. Pengaruh penambahan aditif terhadap daya cerna protein mie Gambar 18 menunjukkan bahwa penurunan daya cerna protein lebih terlihat pada mie yang mengandung boraks, dibandingkan mie yang hanya mengandung formaldehid. Nilai biologis protein dapat menurun karena kerusakan asam amino esensial atau reaksi ikatan silang yang mengurangi kemampuan hidrolisis enzim terhadap protein (Damodaran dan Paraf, 1997). Boraks mampu berikatan silang dengan protein sehingga menurunkan daya cerna. Di pihak lain, setelah mencapai konsentrasi tertentu, boraks juga mampu mendenaturasi protein sehingga meningkatkan daya cerna. Di dalam penelitian ini, tingkat konsentrasi boraks yang digunakan rupanya memungkinkan terbentuknya ikatan silang. Di dalam penelitiannya, Motoki et al. (1987) menyatakan bahwa, film yang mengandung kasein yang terikat silang dapat dicerna oleh kimotripsin namun pada kecepatan yang lebih lambat dibandingkan protein yang belum termodifikasi. Ikatan silang juga dapat menurunkan daya cerna lisosim oleh larutan pepsin-pankreatin sebesar 30% (Miller dan Gerrard, 2005). Ikatan silang tidak hanya bisa terjadi karena adanya boraks. Formalin juga mampu membentuk ikatan silang metilen di antara protein pada ε-amino grup dari lisin. Ikatan pada komponen metilen ini masih dapat dihidrolisis pada kondisi asam-pepsin sehingga protein dapat terlepas. Namun, jika kadar formaldehid terlalu tinggi, ikatan irreversibel dapat terjadi dan asam amino lisin rusak (Fagbenro dan Jauncey, 1994). Hasil penelitian terhadap silase ikan

143

yang dilakukan Fagbenro dan Jauncey tersebut menunjukkan bahwa koefisien dapat dicerna (coefficient of digestibility) silase yang mengandung formaldehid mengalami penurunan dibandingkan perlakuan tanpa formaldehid. Akan tetapi, dalam kasus mie basah matang ini, yang terjadi adalah daya cerna protein paling tinggi justru dicapai pada mie yang mengandung formaldehid dalam jumlah paling tinggi. Penurunan daya cerna baru terjadi apabila formaldehid dikombinasikan dengan boraks. Saat ini baru diketahui bahwa formaldehid bisa meningkatkan water holding capacity (WHC), sehingga selama perebusan mie semakin menyerap air panas, dan semakin banyak denaturasi yang terjadi. Seperti telah dikatakan sebelumnya, salah satu indikator adanya denaturasi adalah semakin cepatnya proteolisis. Proteolisis juga bisa dipicu oleh pH ekstrim. Dari penelitian pendahuluan, diketahui bahwa pH larutan formaldehid yang digunakan dalam penelitian ini sangat rendah, yaitu 3.8. Suhu tinggi selama perebusan dan pengeringan mie serta pH ekstrim menyebabkan struktur protein berubah. Perubahan struktur menjadikan protein lebih rentan terhadap enzim proteolisis. Seiring dengan semakin besarnya proteolisis, selisih pH sebelum penambahan enzim dengan pH setelah perlakuan enzim pun menjadi semakin besar. Namun, penjelasan di atas hanya mungkin terjadi bila ikatan silang antara formaldehid dan protein bersifat reversibel, yaitu pada konsentrasi formaldehid rendah. Sebaliknya, jika konsentrasi formaldehid sangat tinggi, ikatan silang dengan protein terjadi secara irreversibel sehingga tingginya daya cerna protein pada konsentrasi formaldehid tinggi belum dapat dijelaskan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini tidak langsung menunjukkan bahwa mie matang yang mengandung formaldehid dan boraks aman untuk dikonsumsi. Berdasarkan data-data penelitian lainnya, penggunaan formaldehid sebagai firming agent menyebabkan kualitas inferior pada makanan yang dihasilkan berdasarkan analisis lisin tersedia. Selain itu asam amino esensial lain juga rusak akibat penggunaan formaldehid (Sotelo et al., 1995). Percobaan jangka pendek in vivo yang dilakukan pada tikus Sprague-Dawley, menghasilkan penurunan berat badan pada jumlah formaldehid 100 mg/kg berat badan per hari. Percobaan in vivo jangka panjang pada tikus, yang

144

diberikan formaldehid 82 mg/kg berat badan per hari melalui air minumnya, menunjukkan terjadinya perubahan jaringan pada lambung tikus (WHO, 2002). Contoh kasus lainnya, penelitian in vivo terhadap tikus Sprague-Dawley, yang diberi ransum dengan jumlah boraks 87.5 mg/kg berat badan selama 90 hari, menunjukkan terjadinya penurunan berat organ dan perubahan sistem reproduksi (WHO, 1998). D. SOLUBILITAS Protein

dapat

dipisahkan

dengan

memanfaatkan

perbedaan

solubilitasnya. Teknik pemisahan dengan solubilitas adalah teknik yang paling mudah digunakan ketika sejumlah besar sampel terlibat karena relatif cepat, tidak mahal, dan umumnya tidak dipengaruhi oleh komponen pangan lain. Solubilitas protein ditentukan oleh susunan asam aminonya, karena susunan tersebut menentukan ukuran, bentuk, hidrofobisitas, dan muatan elektriknya (Zayas, 1997). Solubilitas protein sering digunakan sebagai parameter untuk mengetahui perubahan protein karena kemudahan dan korelasi yang relatif baik dengan karakteristik fisik (Sotelo et al., 1994). Kehilangan solubilitas dapat dihubungkan dengan hilangnya sejumlah karakteristik yang diinginkan dari protein. Di dalam beberapa kasus sistem pangan, perubahan-perubahan struktural selain solubilitas tidak begitu diperhatikan, dan kebanyakan proses pengolahan

maupun

penambahan

aditif

pangan

didesain

untuk

mempertahankan solubilitas protein. Gambar 19 menggambarkan solubilitas masing-masing protein sampel mie basah matang yang diekstrak menggunakan NaOH 0.1 M. Sampel O dan K, yang formulasinya tidak mengalami penambahan boraks dan formaldehid, mempunyai solubilitas paling tinggi dibandingkan sampel lainnya. Solubilitas K lebih besar daripada O mungkin disebabkan obat mie yang digunakan mengandung boraks. Boraks mampu berikatan silang dengan protein sehingga kelarutan protein menurun. Sampel yang dengan sengaja ditambah boraks mempunyai solubilitas lebih rendah daripada O dan K. Akan tetapi, solubilitas justru meningkat

145

dengan semakin tingginya kadar boraks. Sampel yang mendapat penambahan boraks 375 mg/kg, yaitu O+B375 dan K+B375, masing-masing mempunyai solubilitas 22.44% dan 25.82%. Ketika jumlah penambahan boraks ditingkatkan menjadi 750 mg/kg, solubilitas protein sampel ikut meningkat

35 30 25 20 15 10 5 K+B750+F110.4

O+B750+F110.4

K+B375+F55.2

O+B375+F55.2

K+F3680

O+F3680

K+F110.4

O+F110.4

K+F55.2

O+F55.2

K+B750

O+B750

K+B375

O+B375

K

0 O

Solubilitas protein (%)

menjadi 27.64% (O+B750) dan 27.47% (K+B750).

Kode sam pel

Gambar 19. Solubilitas protein mie basah matang dalam NaOH 0.1 M Solubilitas sampel yang mengandung formaldehid dalam jumlah paling rendah (O+F55.2 dan K+F55.2) mirip dengan sampel yang ditambah boraks dalam jumlah rendah (O+B375 dan K+B375). Bedanya, penambahan boraks pada mie yang menggunakan obat mie menghasilkan solubilitas yang lebih rendah dibandingkan penambahan boraks pada mie yang menggunakan kansui. Di pihak lain, penambahan formaldehid pada mie yang menggunakan obat mie menghasilkan solubilitas yang lebih tinggi dibandingkan penambahan formaldehid pada mie yang menggunakan kansui. Ketika konsentrasi formaldehid dalam air perebus ditingkatkan, solubilitas protein semakin menurun, yaitu dari 25.66% (O+F55.2) dan 23.53% (K+F55.2) menjadi 17.33% (O+F110.4) dan 19.63% (K+F110.4). Akhirnya, pada konsentrasi formaldehid sangat tinggi (O+F3680 dan K+F3680), solubilitas protein tidak terdeteksi lagi. Sebagai perbandingan, pada tahun 1989, Ang dan Hultin melakukan penelitian terhadap silase ikan yang diawetkan dengan formaldehid. Menurut mereka, formaldehid menyebabkan protein cenderung untuk

146

beragregasi dan kehilangan kelarutan karena pembentukan ikatan non kovalen di antara molekul. Penambahan

boraks

dan

formaldehid

sekaligus

umumnya

menghasilkan solubilitas protein yang lebih rendah dibandingkan sampel tanpa penambahan kedua bahan itu atau sampel yang hanya mengalami penambahan salah satu bahan. Hal ini terjadi pada sampel O+B375+F55.2, K+B375+F55.2, dan O+B750+110.4, dengan nilai solubilitas berturut-turut 16.03%, 17.98%, dan 15.44%. Pengecualian terjadi pada sampel K+B750+F110.4 yang mempunyai solubilitas 21.78%. Nilai ini lebih besar dari solubilitas sampel K+F110.4. Ada beberapa faktor yang menyebabkan solubilitas protein mie basah matang cukup rendah, di antaranya denaturasi. Penurunan solubilitas protein mie akibat denaturasi dipengaruhi oleh waktu dan suhu pemanasan pada saat perebusan. Pada suhu 40-50oC atau lebih, protein mulai terdenaturasi sehingga lipatan rantai polipeptida terurai serta terbentuk ikatan hidrogen dan interaksi elektrostatik baru. Oleh karena protein yang terdenaturasi kehilangan strukturnya, sisi hidrofobik, yang sebelumnya tersembunyi di dalam struktur protein native, menjadi kontak dengan pelarut. Sebagai hasilnya, terjadi agregasi protein akibat interaksi hidrofobik antar protein. Jadi, protein terdenaturasi biasanya mengendap dikarenakan terjadi agregasi. Presipitasi protein terdenaturasi meningkat karena solubilitas protein yang beragregasi dalam air biasanya rendah. Presipitasi

yang

terjadi

karena

protein

terdenaturasi

bersifat

irreversibel. Namun, perlu diingat bahwa solubilitas hanya merupakan pengukuran kasar dari denaturasi protein. Oleh karena itu, kehilangan solubilitas lebih tepat dikatakan sebagai efek denaturasi, bukan menunjukkan besarnya denaturasi. Dalam penelitian ini, kadar protein terlarut mie basah matang diukur menggunakan metode spektrofotometri, di mana warna yang diukur muncul sebagai hasil reaksi antara pereaksi Bradford dengan protein terlarut. Sebagai standar dipakai Bovine Serum Albumin (BSA) dengan persamaan regresi linier Y = 1.1047X – 0.0769 (Lampiran 16). Oleh karena kemungkinan besar protein

147

telah rusak akibat panas selama perebusan, nilai protein terlarut cukup kecil. Solubilitas protein merupakan persentase jumlah protein terlarut (mg) dalam 1 ml NaOH 0.1 M per kadar protein (bk) dari 100 mg tepung mie terdefattisasi. Jadi di sini, kadar protein tepung mie terdefattisasi dijadikan sebagai pembanding. Kadar protein tepung itu diukur menggunakan metode Kjeldahl. Karena metode Kjeldahl mengukur protein secara kasar berdasarkan jumlah nitrogen bebas, kadar protein tepung mie yang terukur cukup tinggi. Ketika nilai protein terlarut yang kecil dibandingkan dengan kadar protein tepung mie yang cukup besar, hasilnya adalah nilai solubilitas yang kecil. Pengaruh penggunaan bahan aditif berupa formaldehid juga pernah dilakukan oleh Ang dan Hultin (1989). Dalam kasus ini, yang menjadi objek penelitian adalah ikan cod. Hasilnya menunjukkan bahwa formaldehid cenderung mengikat residu asam amino tunggal. Hal ini menyebabkan denaturasi miosin, penurunan kelarutan, dan peningkatan hidrofobisitas permukaan pada permukaan miosin ikan cod selama pembekuan. Penelitian lain yang dilakukan Dapkevicius et al. (1998) menunjukkan adanya penurunan solubilisasi protein yang signifikan pada silase yang ditambahkan formaldehid dengan jumlah 0.25 dan 0.43% (w/w). Sotelo et al. (1995) menambahkan bahwa jembatan metilen yang membentuk ikatan silang (crosslinks) intra- dan intermolekuler akan menyebabkan polimerisasi dan penurunan kelarutan protein dan modifikasi sifat-sifat lain. Selain itu keberadaan formaldehid pada otot ikan mengurangi kelarutan protein pada larutan garam NaCl 1% dan 5%. Jika dibandingkan dengan contoh-contoh di atas, untuk kasus mie basah matang, pengaruh aditif baru cukup terlihat pada penambahan formaldehid dengan konsentrasi tertinggi, yakni 3680 g/kg air perebus. Untuk perlakuan selain itu, pengaruh denaturasi lebih besar daripada pengaruh aditif terhadap solubilitas protein. Faktor lain penyebab rendahnya nilai solubilitas protein adalah adanya penambahan minyak setelah perebusan yang mengakibatkan kadar lemak mie basah matang cukup tinggi. Dari penelitian terhadap ikan yang dilakukan oleh Ostyakova dan Kosvina (1975), ditemukan bahwa proporsi kompleks lipidprotein meningkat pada ikan yang diawetkan dengan formaldehid. Jika

148

kompleks itu terbentuk dalam kasus mie basah matang, protein yang terikat pada lipid bisa turut larut dalam aseton dan terbuang selama proses defattisasi. Akibatnya, jumlah protein di dalam tepung mie terdefattisasi berkurang, sehingga kelarutannya menurun. 1. Solubilitas Protein dalam Berbagai pH Beberapa protein mengendap dalam asam, dan beberapa mengendap dalam basa. Menurut Zayas (1997), kelarutan protein tepung terigu meningkat secara linier pada pH 6 sampai 10. Namun, hasil pengukuran solubilitas protein mie basah matang pada kisaran pH 4 sampai 11 tidak menunjukkan hal demikian. Solubilitas protein memang rendah pada pH 4, yang merupakan pH isoelektrik protein, namun tidak semua sampel menunjukkan peningkatan solubilitas secara linier ketika pH dinaikkan. Rendahnya solubilitas protein pada titik isoelektrik dapat dijelaskan sebagai berikut. Protein mempunyai gugus terionisasi seperti gugus karboksil dan gugus amino. Karena muatan gugus-gugus tersebut tergantung pada pH, molekul protein dapat memiliki muatan yang berbeda-beda dalam pH yang berbeda. Jumlah muatan negatif sama dengan jumlah muatan positif pada titik isoelektrik, sehingga tolakan elektrostatik antar protein paling kecil pada titik tersebut, dan solubilitasnya juga paling rendah. Setiap protein memiliki titik isoelektrik yang berbeda karena perbedaan susunan asam aminonya (jumlah grup anionik dan kationik), sehingga mereka dapat dipisahkan dengan cara mengatur pH dari larutan. Ketika pH diatur menjadi pI protein tertentu, protein tersebut akan mengendap sementara protein lainnya akan tinggal di dalam larutan (Zayas, 1997). Gambar 20 dan Gambar 21 memperlihatkan grafik solubilitas protein dari berbagai formulasi mie dalam kisaran pH 4 sampai 11. Sampel O mengalami kenaikan solubilitas sampai pH 7, dengan nilai maksimum 25.42%, kemudian solubilitasnya terus menurun sampai pH 11. Solubilitas maksimum sampel K justru dicapai pada pH 11, yaitu 26.51%, namun kenaikan solubilitas protein sampel K tidak terjadi secara linier, karena di beberapa titik solubilitasnya justru menurun, yaitu di pH 6 dan 10.

149

Sampel dengan kadar boraks rendah, mempunyai solubilitas maksimum pada pH basa, yaitu sebesar 17.80% untuk O+B375 (pada pH 10) dan 25.20% untuk K+B375 (pada pH 11). Sebaliknya, solubilitas maksimum sampel dengan kadar boraks tinggi justru dicapai pada pH asam, yaitu pH 5 untuk O+B750 dan pH 6 untuk K+B750, dengan nilai masingmasing 23.92% dan 26.70%.

Solubilitas protein (%)

35 30 O

25

O + B 37 5

20

O + B 75 0 O + F 55 .2

15

O + F 11 0.4 O + B 37 5 + F 55 .2

10

O + B 75 0 + F 11 0.4

5 0 4

5

6

7

8

9

10

11

pH

Gambar 20. Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan obat mie dalam berbagai pH

Solubilitas protein (%)

35 30 25

K K+B375

20

K+B750 K+F55.2

15

K+F110.4 K+B375+F55.2 K+B750+F110.4

10 5 0 4

5

6

7

8

9

10

11

pH

Gambar 21. Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan kansui dalam berbagai pH

150

Untuk mie yang ditambah formaldehid, solubilitas maksimum tercapai di pH basa, kecuali pada sampel O+F110.4. Solubilitas O+F55.2, K+F55.2, O+F110.4, dan K+F110.4 berturut-turut adalah 22.13% (pH 8), 27.59% (pH 9), 16.65% (pH 5), dan 21.04% (pH 8). Sementara itu, kelarutan protein sama sekali tidak terdeteksi pada sampel yang kandungan formaldehidnya paling tinggi (O+F3680 dan K+F3680). Empat sampel terakhir yang sengaja ditambah boraks dan formaldehid mempunyai pola yang berbeda antara penambahan konsentrasi rendah dengan penambahan konsentrasi tinggi. Untuk penambahan konsentrasi rendah (O+B375+F55.2 dan K+B375+F55.2) solubilitas maksimum dicapai di pH 5, sedangkan untuk

penambahan

konsentrasi

tinggi

(O+B750+F110.4

dan

K+B750+F110.4) solubilitas maksimum dicapai di pH 11. Walaupun tidak mempunyai pola yang teratur, secara umum mie matang yang mengalami penambahan boraks dan formaldehid, baik salah satu maupun keduanya, mempunyai solubilitas protein yang lebih kecil daripada mie tanpa penambahan kedua bahan tersebut. Apabila solubilitas minimum terjadi di pH 4, hal ini sesuai dengan titik isoelektrik protein, sementara jika solubilitas maksimum terjadi di pH 11, hal ini mungkin disebabkan pelarut yang digunakan untuk mengekstrak protein dari tepung mie adalah NaOH yang tentu saja bersifat basa. Ketidakteraturan pola solubilitas protein ini kembali dipengaruhi oleh denaturasi yang telah terjadi terhadap protein mie matang selama perebusan dan pengeringan mie. Sebagai perbandingan adalah solubilitas protein mie mentah, di mana protein cenderung larut pada larutan yang bersifat basa yaitu pH 7-9. Untuk mie mentah yang mengandung formaldehid, protein cenderung larut pada pH yang lebih tinggi, sedangkan protein dari mie yang mengandung lebih banyak boraks cenderung lebih larut pada pH yang lebih rendah dibanding mie yang mengandung sedikit boraks (Oktaviani, 2005). 2. Solubilitas Protein dalam Berbagai Konsentrasi Larutan Garam Solubilitas protein berdasarkan kekuatan ionik tergantung pada sifat alami protein serta konsentrasi dan sifat alami garam. Penambahan garam

151

dapat meningkatkan solubilitas (salting in) atau menurunkan solubilitas (salting out). Solubilitas pada kekuatan ionik kecil meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi garam. Pasangan ion-ion garam dengan gugus bermuatan protein menghasilkan tolakan intermolekular sehingga mencegah protein untuk beragregasi. Akibatnya terjadi peningkatan solubilitas yang dikenal sebagai peristiwa salting in. Solubilitas pada kekuatan ionik besar menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi garam. Protein akan diendapkan dari larutan ketika konsentrasi garam telah melebihi batas kritis, yang dikenal sebagai peristiwa salting out. Aktivitas pelarut untuk melarutkan zat terlarut yang bersifat hidrofobik menurun. Hal ini terjadi karena seluruh air terikat pada garam, sehingga tidak tersedia untuk menghidrasi protein. Garam yang digunakan dalam analisis solubilitas ini adalah amonium sulfat ((NH4)2SO4), yang mempunyai kelarutan tinggi di air. Penambahan (NH4)2SO4 dilakukan mulai dari konsentrasi 20 sampai 70%. Pada tingkat konsentrasi tertentu, suatu protein dapat sangat larut sementara yang lain tidak terlarut. Efek salting in tidak terjadi pada sampel O dan K karena solubilitas proteinnya dalam larutan garam yang konsentrasinya paling kecil sekalipun tetap lebih rendah dibandingkan solubilitasnya tanpa kehadiran garam. Ketika konsentrasi garam ditingkatkan menjadi 30%, solubilitas protein O menurun drastis sampai setengahnya, yaitu dari 31.55% menjadi 15.73%. Sementara itu, solubilitas K juga mengalami penurunan sedikit seiring dengan peningkatan konsentrasi garam, yaitu dari 22.79% menjadi 22.09%. Akhirnya, pada konsentrasi garam 40%, kelarutan protein dari sampel O dan K tidak terdeteksi lagi. Dari keempat sampel yang mengandung boraks tanpa formaldehid, hanya sampel K+B375 yang memperlihatkan efek salting in. Di dalam NaOH 0.1 M, solubilitas protein sampel K+B375 adalah 25.82%. Ketika dilarutkan dalam larutan garam 20%, solubilitasnya meningkat menjadi 30.83%. Peningkatan konsentrasi garam menjadi 30% menyebabkan solubilitasnya turun menjadi 28.71%, namun nilai ini tetap lebih besar dari

152

solubilitasnya dalam NaOH. Barulah pada konsentrasi garam 40% efek salting out terjadi. Sampel O+B375 langsung turun solubilitasnya ketika dilarutkan dalam larutan garam, sedangkan dua sampel lainnya (O+B750 dan K+B750) sempat mengalami kenaikan solubilitas ketika konsentrasi garam dinaikkan dari 20 menjadi 30%, walaupun nilainya tetap lebih kecil daripada solubilitasnya dalam NaOH.

Solubilitas protein (%)

35 30 O

25

O+B375

20

O+B750 O+F55.2

15

O+F110.4 O+B375+F55.2

10

O+B750+F110.4

5 0 20

30

40

50

60

70

Konsentrasi garam (%)

Gambar 22. Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan obat 35

Solubilitas (%)

30 25

K K+B375

20

K+B750 K+F55.2

15

K+B375+F55.2 K+B750+F110.4

10 5 0 20

30

40

50

60

70

Konsentrasi garam (%)

mie dalam larutan garam Gambar 23. Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan kansui dalam larutan garam

153

Gambar di atas memberi gambaran hasil pengukuran solubilitas protein dalam larutan garam. Efek salting in juga terlihat pada salah satu sampel yang mengalami penambahan formaldehid tanpa boraks, yaitu sampel berkode K+F55.2. Pada saat konsentrasi garam 20% solubilitasnya bernilai 26.25%, lebih besar dibandingkan solubilitasnya dalam NaOH yang bernilai 23.53%. Namun begitu konsentrasi garam ditingkatkan menjadi 30%, solubilitasnya langsung turun menjadi 22.24%. Pada sampel berkode O+F110.4, protein terlarut hanya terdeteksi ketika konsentrasi garam 30%, itu pun nilainya cukup kecil, yaitu 8.90%. Protein terlarut bahkan tidak terdeteksi sama sekali dalam sampel K+F110.4, O+F3680, dan K+F3680. Untuk sampel yang mengalami penambahan boraks sekaligus formaldehid,

solubilitas

umumnya

menurun

dengan

meningkatnya

konsentrasi garam, kecuali untuk sampel K+B750+F110.4. Dari keempat sampel yang formulasinya mengandung boraks dan formaldehid tersebut, tiga sampel menunjukkan efek salting in, yakni O+B375+F55.2, O+B750+F110.4, dan K+B750+F110.4. Studi terhadap mie mentah yang dilakukan oleh Oktaviani (2005) menunjukkan

bahwa

penambahan

formaldehid

dan

boraks

dapat

menurunkan kelarutan protein pada larutan garam berkonsentrasi tinggi. Pada larutan garam berkonsentrasi rendah, protein masih dapat larut dengan baik. Selain itu, semakin tinggi kandungan boraks dan formaldehid, semakin rendah kemampuan protein untuk dilarutkan di dalam garam. E. ELEKTROFORESIS Polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) telah menjadi metode pilihan untuk analisis pemisahan protein dan asam nukleat berbobot molekul rendah. Sebelumnya, protein yang akan dianalisis diekstrak dari sampel mie dengan memanfaatkan prinsip solubilitas menggunakan pelarut NaOH 0.1 M. Teknik ini sering digunakan dalam prosedur pemisahan karena mayoritas kontaminan dapat dengan mudah disingkirkan. Problem utama dari metode ini adalah ketika sejumlah besar pelarut mengkontaminasi larutan, sehingga harus

154

dipisahkan dahulu sebelum protein dapat digunakan dalam analisis elektroforesis, misalnya dengan dialisis atau ultrafiltrasi. Di dalam penelitian ini, penyingkiran ion-ion pengganggu dilakukan melalui dialisis. Prinsipnya adalah memanfaatkan kantung dialisis berupa selaput semipermeabel untuk memisahkan protein dari molekul-molekul kecil yang akan mengganggu elektroforesis. Kantung dialisis yang dipilih berukuran 8 000 Da, sehingga dapat menahan molekul-molekul dengan BM lebih besar dari 8 000 Da. Di pihak lain, molekul-molekul dengan BM lebih kecil termasuk ion-ion akan lolos dari pori-pori kantung dialisis sehingga terpisah dari protein. 1. SDS-PAGE Sodium dodecyl sulphate polyacrilamide gel electrophoresis (SDSPAGE) adalah metode untuk menganalisis komposisi polipeptida protein sampel. SDS-PAGE digunakan secara luas dalam analisis protein terutama penentuan berat molekul subunit karena metode ini dapat memberikan perkiraan bobot molekul subunit yang akurat. Molekul SDS membentuk micelle, di mana setiap polipeptida diinkorporasikan ke dalam micelle melalui interaksi hidrofobik dengan gugus alkil detergen. Penentuan berat molekul protein mie basah matang yang mengandung formaldehid dan boraks dengan SDS-PAGE ditujukan untuk mengetahui berat molekul subunit-subunit penyusunnya. Untuk mengetahui subunit-subunit tersebut maka protein harus mengalami denaturasi sehingga dapat dipetakan dalam elektroforegram dengan pita-pita yang berbeda. Dalam analisis ini, tahap persiapan yang mencakup penggunaan SDS dan 2merkaptoetanol dalam buffer sampel serta pemanasan selama 5 menit terhadap sampel sebelum dimasukkan ke dalam sumur elektroforesis ditujukan untuk mendenaturasi protein. Denaturasi protein merupakan keadaan di mana terjadi kerusakan struktur tiga dimensi protein (struktur sekunder dan tersier/konformasi native) menjadi rantai polipeptida yang tidak saling berikatan tetapi ikatan peptida pada polipeptida tersebut tidak mengalami kerusakan.

155

Elektroforesis dengan poliakrilamid dapat meningkatkan resolusi pemisahan komponen karena pemisahan didasarkan pada mobilitas elektroforetik komponen dan saringan molekuler pada pori gel. Saringan molekuler tergantung pada kerapatan pori-pori gel dan ukuran dari molekul yang dipisahkan. Oleh karena itu, pemilihan konsentrasi gel menjadi hal yang penting. Konsentrasi akrilamid yang digunakan adalah 10% di mana diharapkan dapat memisahkan subunit-subunit protein yang memiliki kisaran berat molekul 18–75 kDa. Pada penelitian pendahuluan juga dicoba menggunakan konsentrasi gel 12%, namun pemisahan protein tidak terjadi dengan baik. Konsentrasi akrilamid untuk memisahkan protein pada kisaran berat molekul tertentu dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Konsentrasi akrilamid untuk pemisahan protein pada BM tertentu % akrilamid 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0

Berat molekul (kDa) 200 – 60 120 – 30 75 – 18 60 – 15 45 – 12

(Copeland, 1994)

Dalam satu slab gel, semakin ke bawah, ukuran pori akan semakin kecil sehingga komponen dengan berat molekul kecil akan berada pada bagian bawah sedangkan komponen dengan berat molekul besar akan berada pada bagian atas. Dari hasil penelitian pendahuluan, jumlah optimum sampel yang diaplikasikan ke sumur adalah 3 μg/sumur. Penentuan jumlah optimum sampel yang diaplikasikan dapat dilihat dari tajamnya pita-pita sub unit protein dipetakan dalam elektroforegram. Jika terlalu banyak sampel yang diaplikasikan, pita menjadi terlalu tebal sehingga letak protein tidak jelas terlihat. Begitu pula jika terlalu sedikit protein yang diaplikasikan, pita menjadi terlalu tipis sehingga protein tidak terlihat jelas. Standar yang digunakan dalam SDS-PAGE adalah protein LMW (Low Molecular Weight) yang terdiri dari enam subunit protein, yaitu phosphorylase b (BM=97 kDa), albumin (BM=66 kDa), ovalbumin (BM=45

156

kDa), carbonic anhydrase (BM=30 kDa), trypsin inhibitor (BM=20.1 kDa), dan α-lactalbumin (BM=14.4 kDa). Penentuan berat molekul sampel dihitung menggunakan persamaan regresi linier dari kurva standar yang menghubungkan antara mobilitas elektroforetik (Rf) dengan logaritma dari berat molekul (log BM). Gambar berikut merupakan elektroforegram SDSPAGE slab 1 dan slab 2.

97 66 45 30 20.1 14.4

1

1

1

1

1

1

2

2

2

2

2

2

3

3

3

3

3

3

4

4

4

4

4

4

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

Gambar 24. Elektroforegram I SDS-PAGE pada konsentrasi gel 10%

2

2

2

2

3

3

3

3

157

97 66 45 30

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

20.1 14.4

Gambar 25. Elektroforegram II SDS-PAGE pada konsentrasi gel 10% Berat molekul sampel dapat dihitung dengan memasukkan nilai mobilitas elektroforetik (Rf) sampel sebagai nilai X pada persamaan regresi dari kurva standar. Mobilitas elektroforetik merupakan perbandingan antara jarak pergerakan sampel dengan jarak pergerakan dye. Di dalam penelitian ini, standar diinjeksikan ke dalam dua slab gel, sehingga persamaan regresi yang dihasilkan juga dua buah. Persamaan regresi I (Y = -1.3449X + 1.9104) digunakan untuk sampel O, K, O+B375, K+B375, O+B750, K+B750, O+F55.2, K+F55.2, O+F110.4, dan K+F110.4, sedangkan persamaan regresi II (Y = -1.3921X + 1.9222) digunakan untuk sampel O+B375+F55.2, K+B375+F55.2, O+B750+F110.4, dan K+B750+F110.4. Kedua kurva standar SDS-PAGE tersebut dapat dilihat pada Lampiran 20. Tabel 13 memperlihatkan berat molekul subunit protein dalam masing-masing sampel beserta perkiraan jenis proteinnya. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa secara umum, protein mie basah matang diperkirakan mengandung subunit protein ω-5-gliadin, ω-1,2-gliadin, α-gliadin, γ-gliadin, dan LMW subunit glutenin. Menurut Oktaviani (2005), protein mie mentah juga mengandung 4 subunit dominan seperti halnya mie matang.

158

Tabel 13. Subunit protein mie basah matang dalam SDS-PAGE Kode sampel

O

K

O+B375

K+B375

O+B750

K+B750

O+F55.2

K+F55.2

BM Pita Sampel ke(kDa) 1 67 2 47 3

34

4

23

1 2

70 48

3

34

4

24

1 2

68 48

3

35

4

22

1 2

71 52

3

34

4

22

1 2

70 52

3

34

4

23

1 2

68 48

3

32

4

22

1

49

2

37

3

24

1

52

2

37

3

24

Perkiraan Jenis protein ω-5-gliadin ω-1,2-gliadin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin ω-5-gliadin ω-1,2-gliadin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin ω-5-gliadin ω-1,2-gliadin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin ω-5-gliadin ω-1,2-gliadin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin ω-5-gliadin ω-1,2-gliadin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin ω-5-gliadin ω-1,2-gliadin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin ω-1,2-gliadin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin ω-1,2-gliadin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin

BM Selisih BM referensia dengan (kDa) referensi 64-79 54-64 7* 28-39

-

28-39

5*

64-79 54-64

6*

28-39

-

28-39

4*

64-79 54-64

6*

28-39

-

28-39

6*

64-79 54-64

2*

28-39

-

28-39

6*

64-79 54-64

2*

28-39

-

28-39

5*

64-79 54-64

6*

28-39

-

28-39

6*

54-64

5*

28-39

-

28-39

4*

54-64

2*

28-39

-

28-39

4*

Tabel 13 (lanjutan). Subunit protein mie basah matang dalam SDS-PAGE Kode sampel

O+F110.4

K+F110.4

O+B375+F55.2

K+B375+F55.2

O+B750+F110.4

K+B750+F110.4

BM Pita sampel ke(kDa) 1 53 2

38

3

25

1

52

2

38

3

26

1

52

2

38

3

22

1

52

2

37

3

24

1

55

2

38

3

24

1

55

2

38

3

24

Perkiraan jenis protein ω-1,2-gliadin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin ω-1,2-gliadin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin ω-1,2-gliadin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin ω-1,2-gliadin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin ω-1,2-gliadin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin ω-1,2-gliadin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin α-gliadin, γ-gliadin, LMW subunit glutenin

BM Selisih BM referensia dengan (kDa) referensi 54-64 1 28-39

-

28-39

3*

54-64

2*

28-39

-

28-39

2*

54-64

2*

28-39

-

28-39

6*

54-64

2*

28-39

-

28-39

4*

54-64

-

28-39

-

28-39

4*

54-64

-

28-39

-

28-39

4*

* = selisih BM sampel berada di luar batas kesalahan mutlak (1.3) a

(Belitz dan Grosch, 1999)

Sampel yang tidak mengalami penambahan formaldehid dan boraks dengan sengaja adalah O dan K. Elektroforegram menunjukkan bahwa kedua sampel itu mempunyai 4 protein dominan. Pada sampel O, masingmasing protein berberat molekul 67, 47, 34, dan 23 kDa, sedangkan pada sampel K, masing-masing protein berberat molekul 70, 48, 34, dan 24 kDa. Secara berurut, protein-protein tersebut diduga sebagai ω-5-gliadin (pita 1), ω-1,2-gliadin (pita 2), serta α-gliadin, γ-gliadin, dan LMW subunit glutenin (pita 3 dan pita 4). Nilai BM pita 1 dan pita 3, baik pada sampel O maupun

108

K, masuk dalam kisaran BM referensi, yaitu 64-79 kDa (ω-5-gliadin), dan 28-39 kDa (ω-1,2-gliadin). Sementara itu, nilai BM pita 2 dan pita 4 tidak tercakup dalam kisaran BM protein dugaan. Selisih antara BM sampel dan BM referensi bahkan melebihi batas kesalahan mutlak, yaitu 1.3. Pada tabel, selisih BM yang berada di luar batas kesalahan mutlak diberi label (*). Kesalahan mutlak merupakan selisih BM dari dua buah pita yang jarak migrasinya berbeda sejauh setengah dari satuan terkecil pengukuran (½ x 0.1 cm = 0.05 cm). Perhitungan kesalahan mutlak SDS-PAGE dapat dilihat di Lampiran 21. Sampel yang sengaja ditambah boraks, yaitu O+B375, K+B375, O+B750, dan K+B750, memiliki 4 protein dominan. Polanya sama seperti sampel O dan K, yaitu pita 1 diduga sebagai ω-5-gliadin dan pita 2 diduga sebagai ω-1,2-gliadin. Pita 3 dan pita 4 diduga sebagai α-gliadin, γ-gliadin, dan LMW subunit glutenin. Seperti halnya sampel O dan K, dari keempat pita protein tersebut, ada dua pita yang selisih nilai BM-nya dengan BM referensi melebihi batas kesalahan mutlak, yaitu pita 2 dan pita 4. Jika sampel-sampel yang telah disebutkan di atas mempunyai 4 protein dominan, sampel yang sengaja ditambah formaldehid (O+F55.2, K+F55.2, O+F110.4, dan K+F110.4) hanya memiliki 3 protein dominan. Pita 1 diduga sebagai ω-1,2-gliadin, sedangkan pita 2 dan pita 3 diduga sebagai α-gliadin, γ-gliadin, dan LMW subunit glutenin. Dari ketiga pita tersebut, hanya pita 2 yang nilai BM-nya tercakup dalam kisaran BM referensi, dan dari pita-pita yang nilai BM-nya tidak tercakup dalam kisaran referensi tersebut, hanya pita 1 sampel O+F110.4 yang selisihnya masih dalam batas kesalahan mutlak. Dua sampel lain yang juga mengalami penambahan formaldehid, namun dalam jumlah yang sangat tinggi (O+F3680 dan K+F3680), tidak menghasilkan pita protein yang dapat terdeteksi di SDS-PAGE. Empat sampel terakhir adalah sampel yang selain sengaja ditambah boraks juga ditambah formaldehid (O+B375+F55.2, K+B375+F55.2, O+B750+F110.4, K+B750+F110.4). Polanya sama seperti sampel yang ditambah formaldehid saja, yaitu terdapat 3 protein dominan yang masing-

109

masing diduga sebagai ω-1,2-gliadin (pita 1), serta α-gliadin, γ-gliadin, dan LMW subunit glutenin (pita 2 dan pita 3). Perbedaannya, pada sampel O+B750+F110.4 dan K+B750+F110.4, yang kandungan boraks dan formaldehidnya lebih

tinggi daripada

sampel O+B375+F55.2 dan

K+B375+F55.2, BM protein pita 1 termasuk dalam kisaran BM referensi. 2. Native-PAGE Metode native-PAGE digunakan untuk mengetahui berat molekul protein yang berada dalam struktur alaminya (native). Di dalam metode ini, tidak ada perlakuan untuk mendenaturasi sampel, karena denaturasi mengakibatkan ikatan pada struktur sekunder protein mengalami destruksi. Hal ini akan menyebabkan perubahan konformasi alami protein sehingga berakibat pula pada berat molekul yang diperoleh. Oleh sebab itu, faktorfaktor yang mempengaruhi denaturasi harus dihindarkan. Beberapa faktor yang dapat mengakibatkan denaturasi antara lain perubahan pH (tidak pada kisaran pH 4-8), pemanasan lebih dari 50oC, dan efek-efek lain seperti radiasi dan adanya agen pereduksi (Reithel, 1967), perubahan konsentrasi ion, dan adanya hidrolisis secara kimiawi atau enzimatik (Alais, 1991). Dasar pemilihan konsentrasi gel pada metode ini sama seperti pada SDS-PAGE. Perbedaannya terletak pada konsentrasi separating gel akrilamid yang digunakan. Untuk native-PAGE, ukuran pori gel yang diperlukan lebih besar dibandingkan ukuran pori gel dalam SDS-PAGE. Alasannya, di dalam native-PAGE protein masih dalam konformasi alaminya sehingga berat molekulnya lebih besar dibandingkan dalam SDSPAGE, di mana protein telah berbentuk homogen, yaitu berupa rantai lurus yang panjangnya berbeda-beda sesuai dengan berat molekulnya. Ukuran pori-pori gel yang lebih besar dapat dicapai dengan menggunakan gel dengan konsentrasi yang lebih kecil, karena semakin kecil konsentrasi gel, semakin besar pori yang dihasilkan. Pada penelitian pendahuluan, sempat digunakan separating gel untuk native-PAGE dengan konsentrasi 8%. Menurut Copeland (1994), gel dengan konsentrasi akrilamid 7.5% dapat memisahkan protein dengan berat

110

molekul pada kisaran 30-120 kDa. Namun ternyata gel 8% tidak menghasilkan resolusi pemisahan yang baik. Oleh karena itu, dipilih konsentrasi akrilamid sebesar 5%, yang diharapkan dapat memisahkan protein dengan berat molekul 60-200 kDa. Jumlah sampel yang diinjeksikan adalah 3 μg/sumur, sedangkan standar diinjeksikan sebanyak 0.5 μg/sumur. Standar yang digunakan dalam native-PAGE adalah protein LMW seperti halnya dalam SDS-PAGE, ditambah dengan protein HMW (High Molecular Weight) yang terdiri dari lima subunit protein yaitu thyroglobulin (BM=669 kDa), ferritin (BM=440 kDa), catalase (BM=232 kDa), lactose dehydrogenase (BM=140 kDa), dan albumin (BM=66 kDa). Tidak semua subunit protein dari kurva standar diambil dalam penentuan persamaan regresi linier. Subunit protein yang dipakai adalah protein HMW berberat molekul 669, 440, 232, dan 140 kDa, serta protein LMW berberat molekul 45, 30, 20.1, dan 14.4 kDa. Hal ini dilakukan untuk memperoleh korelasi terbaik antara Rf dan BM protein. Kurva standar I dan II native-PAGE dapat dilihat pada Lampiran 20.

669 440

97 66

232 140

1 1

1

1

1

1

1

1

1

1

66

45 30 20.1 14.4

Gambar 26. Elektroforegram I native-PAGE pada konsentrasi gel 5%

111

669

97 66

440 232 140

1

1

1

1

66

45 30 20.1 14.4

Gambar 27. Elektroforegram II native-PAGE pada konsentrasi gel 5% Gambar di atas menampilkan elektroforegram native-PAGE slab 1 dan slab 2 pada konsentrasi akrilamid 5%. Kurva standar I native-PAGE memiliki persamaan regresi linier Y = -2.1558X + 3.1634, yang digunakan untuk sampel O, K, O+B375, K+B375, O+B750, K+B750, O+F55.2, K+F55.2, O+F110.4, dan K+F110.4. Kurva standar II native-PAGE memiliki persamaan regresi linier Y = -2.1497X + 3.1747, yang digunakan untuk sampel O+B375+F55.2, K+B375+F55.2, O+B750+F110.4, dan K+B750+F110.4. BM protein di dalam native-PAGE jauh lebih besar daripada BM protein di dalam SDS-PAGE. Selain itu, protein di dalam native-PAGE juga tidak terpisah menjadi beberapa subunit, karena metode native-PAGE memang dimaksudkan untuk memisahkan protein yang masih berada dalam konformasi alaminya. Oleh karena itu tidak ada perlakuan untuk mendenaturasi protein. Akan tetapi, hal yang berbeda dihadapi antara sampel mie basah matang dan mie basah mentah. Mie basah matang telah mengalami perebusan, sehingga walaupun prosedur penyiapan sampel dalam native-PAGE tidak melibatkan faktor-faktor penyebab denaturasi,

112

sampel awal yang digunakan telah terdenaturasi. Perbandingan BM protein dalam SDS-PAGE dan native-PAGE dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Perbandingan berat molekul (BM) subunit protein mie matang dalam native-PAGE dan SDS-PAGE Kode sampel O K O+B375 K+B375 O+B750 K+B750 O+F55.2 K+F55.2 O+F110.4 K+F110.4 O+B375+F55.2 K+B375+F55.2 O+B750+F110.4 K+B750+F110.4

BM sampel native-PAGE (kDa) Pita dominan 143 143 174 153 185 197 211 211 291 291 255 255 316 316

BM sampel SDS-PAGE (kDa) Pita 1 67 70 68 71 70 68 49 52 53 52 52 52 55 55

Pita 2 47 48 48 52 52 48 37 37 38 38 38 37 38 38

Pita 3 34 34 35 34 34 32 24 24 25 26 22 24 24 24

Pita 4 23 24 22 22 23 22 -

Sampel O dan K, yang tidak mengalami penambahan boraks dan formaldehid, memiliki BM 143 kDa dalam native-PAGE. Walaupun nilai ini lebih besar daripada BM sampel dalam SDS-PAGE, protein ini masih dapat diduga sebagai HMW subunit glutenin. Subunit ini tidak muncul saat pemisahan menggunakan SDS-PAGE. HMW subunit glutenin memiliki kisaran berat molekul terbesar yang dapat dipisahkan dalam SDS-PAGE, yaitu 90-124 kDa (Belitz dan Grosch, 1999). Batas kesalahan mutlak untuk sampel O dan K adalah 25.8, dan selisih BM sampel O dan K dengan referensi masih tercakup dalam batas kesalahan mutlak tersebut. BM protein sampel lainnya, baik yang hanya mengalami penambahan boraks atau formaldehid saja, maupun keduanya, mempunyai nilai yang jauh lebih besar daripada BM sampel yang dihasilkan dalam SDS-PAGE. Selain itu, kecil kemungkinan untuk menduganya sebagai HMW subunit glutenin. Hal ini dikarenakan selisih BM sampel dengan BM

113

referensi jauh lebih besar daripada batas kesalahan mutlaknya. Perhitungan kesalahan mutlak untuk native-PAGE dimuat dalam Lampiran 21. Proses interaksi protein-protein dapat dibagi menjadi dua. Proses pertama adalah asosiasi, di mana dua protein yang letaknya berjauhan bertemu dalam jangka waktu yang pendek dan membentuk kompleks. Proses kedua dari interaksi protein-protein adalah disosiasi protein membentuk monomer-monomer. Reaksi disosiasi tidak tergantung pada konsentrasi protein, sehingga disebut reaksi orde pertama. Besarnya nilai BM sampel yang formulasinya mengandung boraks dan atau formaldehid kemungkinan disebabkan asosiasi protein. Asosiasi protein merupakan keadaan di mana protein berikatan satu sama lain. Residu hidrofobik pada permukaan protein akan membantu terjadinya asosiasi. Kekuatan elektrostatik juga berpengaruh terhadap kekuatan, spesifisitas pengikatan, dan tingkat asosiasi protein (Vagedes, 2002). Kenaikan tingkat asosiasi dan interaksi protein berhubungan langsung dengan kekuatan elektrostatik pada suatu tempat di mana asosiasi terjadi. Jadi, energi elektrostatik dari interaksi dua buah protein berhubungan secara linier dengan kecepatan asosiasi. Reaksi yang terlibat adalah reaksi orde dua dan tergantung pada konsentrasi kedua reaktan. Mekanisme asosiasi protein terdiri dari dua langkah reaksi di mana

A : B merupakan kompleks

encounter, sementara AB merupakan kompleks akhir asosiasi protein. Berikut ini mekanisme reaksi dari asosiasi protein (Schreiber, 2003): A + B

A : B

AB

Adanya asosiasi protein dengan protein atau protein dengan bahan aditif berhubungan dengan rendahnya nilai solubilitas protein, seperti yang terjadi pada kasus mie matang ini. Asosiasi menyebabkan protein beragregasi dan akhirnya mengendap. Namun, hubungan antara asosiasi dengan daya cerna belum bisa dijelaskan. Seharusnya, asosiasi yang terjadi antara protein dengan bahan aditif menyebabkan daya cernanya menurun karena semakin besar ukuran protein, daya tahannya terhadap serangan

114

enzim proteolisis semakin tinggi. Kenyataannya, peningkatan kadar formaldehid menghasilkan daya cerna protein yang semakin tinggi. Padahal, hasil native-PAGE menunjukkan bahwa BM sampel semakin besar dengan semakin tingginya kadar formaldehid, yang berarti terjadi ikatan silang pada protein. Selain adanya asosiasi protein, besarnya BM sampel yang terukur juga bisa disebabkan beberapa subunit protein memiliki BM yang tidak jauh berbeda. Seringkali jarak migrasi protein-protein tersebut berdekatan, bahkan ada yang batasnya tidak dapat terlihat jelas. Tepung terigu mengandung protein monomerik berukuran besar (gliadin) dan protein polimerik berukuran kecil (LMW glutenin). LMW glutenin hampir sama ukurannya dengan gliadin. Jadi, di dalam pemisahan menggunakan nativePAGE, batas yang jelas antara gliadin dan LMW glutenin sulit untuk ditentukan. Akibatnya, subunit-subunit tersebut terukur sebagai satu pita protein sehingga dihasilkan BM yang lebih besar dari seharusnya.

115

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Mie basah matang dibuat dengan 16 variasi perlakuan. Secara garis besar mie dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu mie yang dibuat dengan obat mie pasar dan mie yang dibuat dengan kansui. Masing-masing kelompok dibagi lagi menjadi mie tanpa penambahan aditif, mie dengan penambahan formaldehid, mie dengan penambahan boraks, dan mie dengan penambahan keduanya. Formaldehid ditambahkan pada saat perebusan, sedangkan boraks ditambahkan dalam adonan. Warna mie matang tidak terlalu dipengaruhi oleh penambahan aditif, tetapi lebih dipengaruhi oleh warna minyak goreng yang ditambahkan setelah perebusan, kecuali jika aditif ditambahkan dalam jumlah sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan Anova One-Way. Dari keenambelas sampel, hanya dua yang nilai b, L, dan oH-nya berbeda nyata (p<0.05), yaitu sampel dengan penambahan formaldehid tertinggi (3680 mg/kg air perebus). Konsentrasi penambahan formaldehid, boraks, atau kombinasi keduanya yang digunakan dalam penelitian ini tidak menimbulkan beda nyata dalam hal tekstur, Aw, dan kadar proksimat di antara 16 variasi perlakuan sampel (p>0.05). Jumlah absolut formaldehid yang terukur dalam produk akhir selalu lebih kecil dibandingkan jumlah absolut formaldehid di dalam air perebus. Keduanya berbanding lurus secara linier dengan R2 di atas 0.9. Regresi linier menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar formaldehid dalam air perebus, kemampuan mie menyerap formaldehid justru semakin menurun. Pada konsentrasi formaldehid yang sama, mie yang mengandung boraks mampu menyerap formaldehid lebih banyak dibandingkan mie yang tidak mengandung boraks. Mie yang dibuat dengan menggunakan obat mie selalu mengandung boraks dalam jumlah lebih besar dibandingkan mie yang dibuat dengan kansui. Hal ini disebabkan obat mie sendiri ternyata mengandung boraks. Mie kansui tanpa penambahan boraks ternyata juga mengandung boraks dalam produk akhirnya. Boraks ini bisa berasal dari air dan terigu.

116

Daya cerna protein mie basah matang justru meningkat dengan semakin tingginya kandungan formaldehid. Penurunan daya cerna baru terjadi apabila formaldehid dikombinasikan dengan boraks. Hal ini mungkin dikarenakan boraks akan mengikat silang protein sehingga menghambat proteolisis. Sampel tanpa penambahan boraks dan formaldehid, mempunyai solubilitas paling tinggi dibandingkan sampel lainnya. Penambahan boraks dan formaldehid sekaligus umumnya menghasilkan solubilitas protein yang lebih rendah dibandingkan sampel yang hanya mengalami penambahan salah satu bahan. Penambahan boraks pada mie yang menggunakan obat mie menghasilkan solubilitas yang lebih rendah dibandingkan penambahan boraks pada mie yang menggunakan kansui. Di sisi lain, penambahan formaldehid pada mie yang menggunakan obat mie menghasilkan solubilitas yang lebih tinggi dibandingkan penambahan formaldehid pada mie yang menggunakan kansui. Ketika konsentrasi formaldehid dalam air perebus ditingkatkan, solubilitas protein semakin menurun. Akhirnya, pada konsentrasi formaldehid sangat tinggi (3680 mg/kg air perebus), solubilitas protein tidak terdeteksi lagi. Sampel dengan kadar boraks rendah, mempunyai solubilitas maksimum pada pH basa. Sebaliknya, solubilitas maksimum sampel dengan kadar boraks tinggi justru dicapai pada pH asam. Bagi mie yang ditambah formaldehid, solubilitas maksimum umumnya tercapai di pH basa. Untuk sampel yang mengalami penambahan formaldehid sekaligus boraks, solubilitas umumnya menurun dengan meningkatnya konsentrasi garam. Elektroforegram SDS-PAGE menunjukkan bahwa sampel tanpa penambahan aditif dan sampel yang hanya ditambah boraks diperkirakan mengandung subunit protein ω-5-gliadin, ω-1,2-gliadin, α-gliadin, γ-gliadin, dan LMW subunit glutenin. Sementara itu, sampel dengan penambahan formaldehid dan kombinasi formaldehid-boraks diduga mengandung ω-1,2gliadin, α-gliadin, γ-gliadin, dan LMW subunit glutenin. Protein di dalam native-PAGE juga tidak terpisah menjadi beberapa subunit sehingga BM-nya jauh lebih besar daripada BM protein di dalam SDS-PAGE. Namun untuk

117

sampel tanpa penambahan formaldehid dan boraks, BM subunit proteinnya masih termasuk dalam kisaran BM HMW subunit glutenin. B. SARAN Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, perlu dicari cara isolasi protein

terbaik

dalam

penentuan

karakteristik

solubilitas

dan

pola

elektroforesisnya. Selain itu, penelitian ini perlu didukung dengan uji in vivo untuk mengetahui apakah perubahan karakteristik protein dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan manusia.

118

DAFTAR PUSTAKA Alais, C. dan G. Linden. 1991. Food Biochemistry. Ellis Horwood, New York. Ang, J.F. dan O.H. Hultin. 1989. Denaturation of Cod Myosin during Freezing after Modifications with Formaldehyde. J. Food Sci. 4:814-818. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis on The Association of Official Agricultural Chemist. Association of Official Analytical Chemistry, Washington DC. Badan Standardisasi Nasional. 1991. Standar Nasional Indonesia: Analisa Borax Kuantitatif (SNI 01-2358-1991). Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia: Syarat Mutu Mie Basah (SNI 01-2987-1992). Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi Kayu (Manihot Esculenta Crantz) sebagai Bahan Pembuat Mie Kering. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Baik, B.K., C. Zuzanna, dan Y. Pomeranz. 1995. Discoloration of Dough of Oriental Noodles. Cereal Chem. 72(2):198-205. Bardana, E.J. dan A. Montanaro. 1991. Formaldehyde: An Analysis of Its Respiratory, Cutaneous, and Immunologic Effects. Ann. Allergy. 66(6):441-458. Belitz, H.D. dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer, Berlin. Benson, W.H., W.J. Berge, dan H.W. Durough. 1984. Absence of Mutagenic Activity of Sodium Borate (Borax) and Boric Acid in The Salmonella Preincubation Test. Environ. Toxicol. Chem. 3:209. Bollag, D.M. dan S.J. Edelstein. 1991. Protein Methods. Willey-Liss, New York. Boyer, R.F. 1986. Modern Eksperimental Biochemistry. The Benjamin/Cumming Pub. Co., Inc., California. Chamdani. 2005. Pemilihan Bahan Pengawet yang Sesuai pada Produk Mie Basah. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Chaplin, M. 2005. Water Structure and Behaviour. www.lsbu.ac.uk/water/ [13 Maret 2005]. Copeland, R.A. 1994. Methods for Protein Analysis. Chapman and Hall, New York.

119

Dexter, J.E., R.R. Matsuo, K.R. Preston, dan R.H. Kilborn. 1981. Comparison of Gluten Strength, Mixing Properties, Baking Quality and Spaghety Quality of Some Canadian Durum and Common Wheat. Canadian Ins. Food Sci. Tech. J. 14:108. Dingle, J.R., R.A. Keith, dan D.K. Lall. 1977. Can Ins. Food Sci. Tech. J. 10:143146. Fagbenro, O. dan K. Jauncey. 1994. Chemical and Nutritional Quality of Fermented Fish Silage Containing Potato Extracts, Formalin, or Ginger Extracts. J. Food Chem. 50:383-388. Federal Provincial-Territorial Committee on Drinking Water. 1990. Boron. Guideline, Canada. www.hc-sc.gc.ca?/hecs-sesc/wate [10 Maret 2005]. Federal

Provincial-Territorial Committee on Drinking Water. 1997. Formaldehyde. Guidelines for Canadian Drinking Water Quality, Canada.

Gracecia, D. 2005. Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Bogor dan Jakarta. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Hart, H. 1983. Kimia Organik. Suminar Achmadi (penerjemah). Erlangga, Jakarta. Hay, F.M. 1968. Properties and Methods of Identification of Commercial Films. Di dalam: The Science and Technology of Polymer Films. J. Food Science. 58(10):206-210. Heck, H. d’A., M. C. Schmitz, P.B. Dodd, E.N. Schachter, T.J. Witek, dan T. Tosun. 1985. Formaldehyde (CH2O) Concentration in The Blood of Humans and Fischer-344 Rats Exposed to CH2O under Controlled Conditions. J. Am. Ind. Hyg. Assoc. 46(1):1-3. Hoseney, R.C. 1998. Principles Cereal Science and Technology, Second Edition. American Association of Cereal Chemist, Inc., St. Paul. Indrawan, I. 2005. Survai Manufaktur dalam rangka Meningkatkan Kualitas Mie Basah di Jabotabek. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. International Agency for Research on Cancer (IARC). 1982. Some Industrials Chemicals and Drystuffs. IARC Monograph. Jansen, J.A., J. Andersen, dan J.S. Schou. 1984. Boric Acid Single Dose Pharmokinetics after Intravenous Administration to Man. Arc. Toxicol. 55:64. Kinsella, J.E. 1979. Functional Properties of Soy Protein. J. Am. Oil Chem. Soc. 56:242.

120

Kruger, J.E., R.B. Matsuo, Miskelly, dan J.W. Dick. 1996. Pasta and Noodle Technology. American Association of Cereal Chemist, Inc., USA. Laemmli, C.K. 1970. Cleavage of Structural Proteins during The Assembly of The Methods. Nature. 227:680-685. Marquie, C., A.M. Tessier, C. Aymard, dan S. Guilbert. 1997. HPLC Determination of The Reactive Lysine Content of Cottonseed Protein Films to Monitor The Extent of Cross-linking by Formaldehyde, Glutaraldehyde, and Glyoxal. J. Agric. Food Chem. 45:922-926. Media Indonesia On Line. 2004. Kesehatan: Kurang Kesadaran akan Keamanan Pangan. www.mediaindo.co.id [1 Agustus 2005]. MFL Occupational Healthcare Inc. 1994. Formaldehyde. www.mflohc.mb.ca [9 Desember 2004]. Michard, V., R. Belarmi., M.H. Morel, dan S. Guilbert. 2000. Properties of Chemically and Physically Treated Wheat Gluten. J. Agric. Food Chem. 48:2948-2953. Miller, A.G. dan J.A. Gerrard. 2005. The Maillard Reaction and Food Protein Crosslinking. www.ppti.usm.my/pfbr [19 Mei 2005]. Motoki, M., H. Aso, K. Seguro, dan N. Nio. 1987. Casein Film Prepared Using Transglutaminase. J. Agri. Biol. Chem. 5:993. National Toxicology Program. 1987. NTP Technical Report Series. Research Triangle Park, NC. Nielsen, F.H., C.D. Hunt, L.M. Mullen, dan J.R. Hunt. 1987. Effect of Dietary Boron on Minerals, Estrogen, and Testosterone Metabolism in Postmenopausal Women. FASEB J. 1:394. Nielsen, F.H. 2004. Boron. Di dalam: E. Merian, M. Anke, M. Ihnat, M. Stoeppler (Eds.). Elements and Their Compounds in The Environment: Occurrence, Analysis, and Biological Relevance, Vol. 3, Nonmetals, Particular Aspects. 2nd Ed. Wiley-Vch, Weinheim. Nur, A.M. dan Adijuwana. 1988. Teknik Separasi dalam Analisa Pangan. PAU IPB, Bogor. Oh, N.H., P.A. Seib, dan A.B. Ward. 1985. Noodles II: The Surface Firmness of Cooked Noodles from Soft and Hard Wheat Flour. Cereal Chem. 62(6):431-436.

121

Oktaviani. 2005. Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Mentah yang Mengandung Formaldehid dan Borax. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Ostyakova, E.B. dan L.A. Kosvina. 1975. Changes in Fraction Composition of Lipids of Whole Small Fish during Preservation with Formalin Solution. Rybnoe Chojasjstvo. 11:81-83. Owen, B.A., C.S. Dudney, E.L. Tan, dan C.E. Easterly. 1990. Formaldehyde in Drinking Water: Comparative Hazard Evaluation and An Approach to Regulation. Regul. Toxicol. Pharmacol. 11:220-236. Pagani, M.A. 1985. Pasta Product from Non Conventional Raw Material. Di dalam: Ch. Mercier dan C. Centrarellis (eds.). Pasta and Extrusion Cooked Foods. Proceeding of An International Symposium, Milan. Priyatna, N. 2005. Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Tangerang dan Bekasi. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Reithel, F.J. 1967. Concept in Biochemistry. McGraw-Hill Book, Co., Inc., New York. Rhim J.W., A. Gennadious, A. Handa, C.L. Weller, dan M.A. Hanna. 2000. Solubility, Tensile, and Color Properties of Modified Soy Protein Isolate Films. J. Agric. Food Chem. 48(10):4937-4941. Roos, A.S., K.J. Quail, dan G.B. Crosbie. 1997. Phycochemical Properties of Australia Flours Influencing The Texture of Yellow Alkaline Noodle. Cereal Chem. 74(6):814-840. Ruiter, D.D. 1978. Composite Flour. Di dalam: Y. Pomeranz (ed.). Advanced in Cereal Science and Technology II. AACC Inc., St. Paul. Schreiber, G. 2003. Protein-protein Association: from Biophysical Understanding to Protein Design. www.weizmann.ac.il/Biological_Chemistry [28 Juli 2005]. Siegel, E. dan S. Watson. 1986. Boric Acid Toxicity. Pediatr. Clin. North Am. 33:363. Smith, B.J. 1984. SDS Polyacrilamide Gel Electrophoresis of Protein. Di dalam: J.M. Walker (ed.). Proteins, Methods in Molecular Biology, Vol 1. The Humana Press Inc., USA. Sotelo, C.G., C. Pineiro, dan R.I.P. Martin. 1995. Denaturation of Fish Proteins during Frozen Storage: Role of Formaldehyde. Z. Lebensm Unters und Forsch. 200:14-23.

122

Sotelo, C.G., P.A. Santiago, I. Ricardo, dan M.G. Jose. 1994. Protein Denaturation in Frozen Stored Hake Muscle: The Role of Formaldehyde. J. Food Chem. 50:267-275. Srinivasan, D. dan P. Alain. 1997. Food Proteins and Their Applications. Marcell Dekker, New York. Tampubolon, T.K. 2000. Karakteristik Sifat Molekuler dan Fungsional Protein dari Biji Saga Pohon (Adenanthera pavonina L.). [Skripsi] Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Tanojo, T. 1992. Analisis Protease Aspergillus oryzae dengan Elektroforesis Gel Poliakrilamid. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Trezl, L., A. Csiba, S. Juhasz, M. Szentyorgyi, G. Lombai, dan L. Hullan. 1997. Endogenous Formaldehyde Level of Foods and Its Biological Significance. Z. Lebensm Unters Forsch. 205:300-304. Undang-undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. US EPA. 1985. Guidance for The Registration of Pesticide Products Containing Boric Acid and Boron Containing Salts as The Active Ingredient. Office of Pesticide Programs, Washington DC. Vagedes, P. 2002. Driving Force of Protein Association: The Dimer-Octomer Equilibirium in Arylsulfatase A. Biophys. J. www.findarticles.com [27 Juli 2005]. Westermeier, R. 1997. Electroforesis in Practise. VCH A Wiley Company, Berlin. Whorton, M.D., J.L. Haas, L. Trent, dan O. Wong. 1994. Reproductive Effects of Sodium Borates on Male Employees: Birth Rate Assesment. www.alliance-natural-health-org [31 Maret 2005]. Winarno, F.G. 1991. Teknologi Produksi dan Kualitas Mie. Makalah pada Seminar Sehari Serba Mie. IPB, Bogor. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. World Health Organization. 1989. Formaldehyde. Environmental Health Criteria, Geneva. World Health Organization. 1996. Updating and Revision of The Air Quality Guidelines for Europe. Report on A WHO Group on Volatile Organic Compounds, Brussels. World Health Organization. 1998. Boron. Environmental Health Criteria, Ohio.

123

World Health Organization. 2001. Formaldehyde. Air Quality Guidelines, Copenhagen. World Health Organization. 2002. Formaldehyde. Concise International Chemical Assessment Document 40, Geneva. Zayas, J.F. 1997. Functionality of Proteins in Food. Springer, Berlin.

124

125

Lampiran 1. Karakteristik fisik dan Aw mie basah matang

Ulangan Kode sampel * O K O+B375 K+B375 O+B750 K+B750 O+F55.2 K+F55.2 O+F110.4 K+F110.4

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

b 62.39 62.85 63.94 64.34 64.44 62.48 61.41 63.41 64.03 61.51 63.22 64.41 60.69 61.71 61.54 62.08 60.17 61.91 61.52 62.89

b rata2 62.62 64.14 63.46 62.41 62.77 63.82 61.20 61.81 61.04 62.21

L 71.11 71.25 74.36 73.06 73.08 69.90 71.36 71.40 73.68 69.38 73.06 72.22 69.77 71.65 71.91 72.38 69.61 72.82 71.39 73.17

L rata2 71.18 73.71 71.49 71.38 71.53 72.64 70.71 72.15 71.22 72.28

o

H

94.9 94.9 95.2 95.0 93.8 94.4 95.3 94.3 94.8 94.8 95.0 94.3 95.0 95.8 95.7 95.7 95.4 96.2 95.6 95.4

o

H rata2 94.9 95.1 94.1 94.8 94.8 94.7 95.4 95.7 95.8 95.5

Gaya putus (gf) 22.7 60.2 24.3 54.0 52.0 38.7 44.3 46.0 40.3 47.0 45.0 49.3 25.3 48.3 17.3 50.7 24.7 50.2 20.7 56.3

Gaya putus rata2 (gf) 41.5 39.2 45.4 45.2 43.7 47.2 36.8 34.0 37.5 38.5

Elongasi (%) 140.9 139.9 142.3 119.8 137.7 142.5 158.2 117.5 151.3 110.8 90.6 182.3 172.2 67.9 88.1 87.4 158.2 112.1 76.2 112.6

Elongasi rata2 (%) 140.4 131.1 140.1 137.9 131.1 136.5 120.1 87.8 135.2 94.4

Aw 0.920 0.940 0.917 0.949 0.970 0.934 0.917 0.940 0.961 0.949 0.919 0.946 0.935 0.939 0.918 0.934 0.940 0.937 0.918 0.935

Aw rata2 0.930 0.933 0.952 0.929 0.955 0.933 0.937 0.926 0.939 0.927

126

Lampiran 1 (lanjutan). Karakteristik fisik dan Aw mie basah matang

Kode sampel

Ulangan *

b

b rata2

L

L rata2

1 36.14 83.66 39.00 85.33 2 41.86 86.99 1 35.63 85.95 K+F3680 39.86 87.41 2 44.08 88.86 1 65.18 75.07 O+B375+F55.2 63.68 73.45 2 62.18 71.82 1 62.65 72.78 K+B375+F55.2 63.18 72.94 2 63.71 73.10 1 64.15 74.69 O+B750+F110.4 62.84 72.67 2 61.53 70.65 1 63.24 73.74 K+B750+F110.4 63.77 74.09 2 64.30 74.44 * = masing-masing ulangan merupakan rata-rata dari duplo O+F3680

o

H

99.0 99.3 98.5 99.0 94.4 95.6 95.4 95.2 95.4 95.6 95.3 95.3

o

H rata2 99.2 98.8 95.0 95.3 95.5 95.3

Gaya putus (gf) 67.0 69.0 54.0 54.0 48.7 60.0 59.3 43.0 42.0 53.0 40.0 52.0

Gaya putus rata2 (gf) 68.0 54.0 54.4 51.2 47.5 46.0

Elongasi (%) 100.0 142.3 118.9 118.9 83.0 90.1 90.2 84.7 88.4 85.0 87.6 85.3

Elongasi rata2 (%) 121.2 118.9 86.6 87.5 86.7 86.5

Aw 0.945 0.938 0.938 0.941 0.924 0.947 0.929 0.954 0.911 0.956 0.935 0.965

Aw rata2 0.942 0.940 0.936 0.942 0.934 0.950

127

Lampiran 2. Karakteristik kimia mie basah matang

Ulangan Kode sampel * O K O+B375 K+B375 O+B750 K+B750 O+F55.2 K+F55.2 O+F110.4 K+F110.4

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

Kadar air (% bb) 65.92 64.77 65.90 64.14 65.15 65.82 65.01 65.87 65.52 65.18 64.23 65.43 63.42 64.88 63.78 64.53 64.58 63.10 63.93 64.06

Kadar air rata2 (% bb) 65.35 65.02 65.49 65.44 65.35 64.83 64.15 64.16 63.84 64.00

Kadar abu (% bk) 1.33 1.83 1.21 2.09 1.91 1.36 1.86 1.47 1.46 1.71 1.99 1.34 2.09 1.18 1.60 1.55 1.30 1.91 1.37 1.89

Kadar abu rata2 (% bk) 1.58 1.65 1.64 1.66 1.58 1.67 1.64 1.58 1.61 1.63

Kadar protein (% bk) 11.26 10.86 11.83 10.30 13.39 9.44 10.31 10.77 10.72 10.37 11.25 9.91 10.34 10.80 10.82 10.34 12.20 12.21 12.11 12.16

Kadar protein rata2 (% bk) 11.06 11.06 11.41 10.54 10.54 10.58 10.57 10.58 12.20 12.14

Kadar lemak (% bk) 5.34 5.24 5.35 5.11 5.48 5.83 5.33 4.63 5.61 5.66 4.11 5.51 3.99 5.92 4.78 4.71 4.75 4.73 5.28 5.16

Kadar lemak rata2 (% bk) 5.29 5.23 5.65 4.98 5.64 4.81 4.96 4.75 4.74 5.22

Kadar KH (% bk) 82.07 82.07 81.62 82.51 79.22 83.37 82.51 83.12 82.21 82.26 82.65 83.24 83.58 82.09 82.80 83.39 81.75 81.15 81.24 80.79

Kadar KH rata2 (% bk) 82.07 82.06 81.30 82.82 82.24 82.95 82.83 83.09 81.45 81.01

128

Lampiran 2 (lanjutan). Karakteristik kimia mie basah matang

Kode sampel

Ulangan *

Kadar air (% bb)

Kadar air rata2 (% bb)

Kadar abu (% bk)

1 65.58 1.43 64.88 2 64.19 1.28 1 65.77 1.48 K+F3680 64.93 2 64.10 1.48 1 63.89 1.42 O+B375+F55.2 63.94 2 64.00 1.82 1 65.68 1.86 K+B375+F55.2 65.61 2 65.55 1.53 1 63.54 1.54 O+B750+F110.4 64.23 2 64.93 1.73 1 63.57 1.96 K+B750+F110.4 64.16 2 64.74 1.36 * = masing-masing ulangan merupakan rata-rata dari duplo O+F3680

Kadar abu rata2 (% bk) 1.36 1.48 1.62 1.70 1.63 1.66

Kadar protein (% bk) 12.17 12.15 11.25 11.25 12.14 12.23 10.94 13.03 11.11 12.07 9.50 11.60

Kadar protein rata2 (% bk) 12.16 11.25 12.18 11.98 11.59 10.55

Kadar lemak (% bk) 5.52 5.42 5.99 5.36 4.63 4.76 5.22 5.39 5.70 4.10 4.14 5.37

Kadar lemak rata2 (% bk) 5.47 5.68 4.69 5.30 4.90 4.75

Kadar KH (% bk) 80.87 81.14 81.27 81.90 81.81 81.19 81.98 80.05 81.66 82.10 84.41 81.68

Kadar KH rata2 (% bk) 81.01 81.58 81.50 81.02 81.88 83.04

129

Lampiran 3. Uji Anova One-Way dan uji Duncan terhadap tingkat kekuningan mie

Sumber Keragaman Antar Grup Dalam Grup Total

Jumlah Kuadrat 3868.484 198.687 4067.171

Derajat Bebas 15 48 63

Rataan Kuadrat 257.899 4.139

F hitung 62.305

Sig. .000

Subset untuk α = .05 Sampel

N

1

2

11

4

39.0000

12

4

39.8550

9

4

61.0400

7

4

61.2000

8

4

61.8100

10

4

62.2050

4

4

62.4100

1

4

62.6200

5

4

62.7700

15

4

62.8400

14

4

63.1800

3

4

63.4600

13

4

63.6800

16

4

63.7700

6

4

63.8150

2

4

64.1400

Sig.

.555

.080

130

Lampiran 4. Uji Anova One-Way dan uji Duncan terhadap tingkat kecerahan mie

Sumber Keragaman Antar Grup Dalam Grup Total

Jumlah Kuadrat 1461.152 199.294 1660.446

Derajat Bebas 15 48 63

Rataan Kuadrat 97.410 4.152

F hitung 23.461

Sig. .000

Subset untuk α = .05 Sampel

N

1

2

7

4

70.7100

1

4

71.1800

9

4

71.2150

4

4

71.3800

3

4

71.4900

5

4

71.5300

8

4

72.1450

10

4

72.2800

6

4

72.6400

15

4

72.6700

14

4

72.9400

13

4

73.4450

2

4

73.7100

16

4

74.0900

11

4

85.3250

12

4

87.4050

Sig.

.057

.155

131

Lampiran 5. Uji Anova One-Way dan uji Duncan terhadap derajat hue mie

Sumber Keragaman Antar Grup Dalam Grup Total

Jumlah Kuadrat 113.384 9.790 123.174

Derajat Bebas 15 48 63

Rataan Kuadrat 7.559 .204

F hitung 37.061

Sig. .000

Subset untuk α = .05 Sampel

N

1

2

3

4

5

6

3

4

94.100

6

4

94.650

5

4

94.800

94.800

4

4

94.800

94.800

1

4

94.900

94.900

13

4

95.000

95.000

95.000

2

4

95.100

95.100

95.100

95.100

16

4

95.300

95.300

95.300

95.300

14

4

95.300

95.300

95.300

95.300

7

4

95.400

95.400

95.400

10

4

95.500

95.500

95.500

15

4

95.500

95.500

95.500

8

4

95.700

95.700

9

4

12

4

98.750

11

4

99.150

Sig.

94.650

95.800

.091

.087

.069

.065

.065

.216

132

Lampiran 6. Uji Anova One-Way terhadap gaya putus mie

Sumber Keragaman Antar Grup Dalam Grup Total

Jumlah Kuadrat 4310.329 7567.110 11877.439

Derajat Bebas 15 48 63

Rataan Kuadrat 287.355 157.648

F hitung 1.823

Sig. .059

F hitung 1.859

Sig. .053

F hitung 1.101

Sig. .381

F hitung .416

Sig. .957

Lampiran 7. Uji Anova One-Way terhadap persen elongasi mie

Sumber Keragaman Antar Grup Dalam Grup Total

Jumlah Kuadrat 30433.384 52387.250 82820.634

Derajat Bebas 15 48 63

Rataan Kuadrat 2028.892 1091.401

Lampiran 8. Uji Anova One-Way terhadap aktivitas air mie

Sumber Keragaman Antar Grup Dalam Grup Total

Jumlah Kuadrat .005 .014 .018

Derajat Bebas 15 48 63

Rataan Kuadrat .000 .000

Lampiran 9. Uji Anova One-Way terhadap kadar air mie

Sumber Keragaman Antar Grup Dalam Grup Total

Jumlah Kuadrat 23.857 183.350 207.207

Derajat Bebas 15 48 63

Rataan Kuadrat 1.590 3.820

133

Lampiran 10. Uji Anova One-Way terhadap kadar abu mie

Sumber Keragaman Antar Grup Dalam Grup Total

Jumlah Kuadrat .410 6.874 7.284

Derajat Bebas 15 48 63

Rataan Kuadrat .027 .143

F hitung .191

Sig. .999

F hitung 1.811

Sig. .061

F hitung 1.406

Sig. .183

Lampiran 11. Uji Anova One-Way terhadap kadar protein mie

Sumber Keragaman Antar Grup Dalam Grup Total

Jumlah Kuadrat 27.926 49.355 77.281

Derajat Bebas 15 48 63

Rataan Kuadrat 1.862 1.028

Lampiran 12. Uji Anova One-Way terhadap kadar lemak mie

Sumber Keragaman Antar Grup Dalam Grup Total

Jumlah Kuadrat 7.459 16.971 24.430

Derajat Bebas 15 48 63

Rataan Kuadrat .497 .354

Lampiran 13. Uji Anova One-Way terhadap kadar karbohidrat mie

Sumber Keragaman Antar Grup Dalam Grup Total

Jumlah Kuadrat 35.036 62.998 98.034

Derajat Bebas 15 48 63

Rataan Kuadrat 2.336 1.312

F hitung 1.780

Sig. .066

134

Lampiran 14. Kurva standar formaldehid

Konsentrasi formaldehid standar (mg/l) 0.5 2.5 5.0 7.5 10.0 15.0

Absorbansi 0.004 0.150 0.408 0.625 1.009 1.711

Absorbansi (415 nm)

1.8 1.6 1.4 1.2 1.0

y = 0.1183x - 0.1473 R2 = 0.9845

0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0

5

10

15

Konsentrasi formaldehid (mg/l)

20

135

Lampiran 15. Daya cerna protein mie basah matang

Kode sampel

O K

K+B375 O+B750 K+B750 O+F55.2 K+F55.2

Daya Ulangan cerna (%) 1

84.47

2

85.73

1

88.45

2

85.19

1

85.37

2

85.37

1

83.92

2

82.48

1

83.56

2

85.37

1

83.38

2

84.47

1

84.11

2

85.73

1

85.55

2

85.37

Daya cerna

Kode

rata2

sampel

Daya Ulangan cerna (%)

(%) 85.10

O+F110.4

86.82

K+F110.4

85.37

O+F3680

83.20

K+F3680

84.47

O+B375+F55.2

83.92

K+B375+F55.2

84.92

O+B750+F110.4

85.46

K+B750+F110.4

1

85.19

2

87.54

1

86.64

2

84.65

1

89.17

2

90.08

1

87.54

2

87.00

1

85.19

2

86.10

1

83.74

2

83.74

1

84.65

2

82.66

1

85.37

2

85.55

Daya cerna rata2 (%) 86.37 85.64 89.63 87.27 85.64 83.74 83.65 85.46

136

Lampiran 16. Kurva standar BSA

Konsentrasi BSA (mg/ml) 0.1 0.2 0.3 0.4 0.6 0.8

Absorbansi 0.054 0.142 0.240 0.358 0.571 0.825

Absorbansi (595 nm)

0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4

y = 1.1047x - 0.0769 R2 = 0.997

0.3 0.2 0.1 0.0 0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

Konsentrasi BSA (mg/ml)

1.0

137

Lampiran 17. Solubilitas protein mie basah matang Solubilitas protein (%) di dalam … Berbagai pH Berbagai konsentrasi garam (%) 7 8 9 10 11 20 30 40 50 60 70

Kode sampel

NaOH 0.1 M

4

5

6

O

31.78

18.21

18.45

21.08

25.42

25.19

24.96

24.57

21.78

31.55

15.73

-

-

-

-

K

32.99

23.10

24.81

24.03

25.43

25.81

26.36

26.05

26.51

22.79

22.09

-

-

-

-

O+B375

22.44

14.59

14.81

15.11

13.24

16.01

13.39

17.80

17.58

17.20

16.38

-

-

-

-

K+B375

25.82

14.03

16.56

24.80

20.88

22.02

23.57

23.41

25.20

30.83

28.71

11.90

-

-

-

O+B750

27.64

19.19

23.92

23.60

19.68

20.09

19.76

17.31

22.45

22.45

25.72

11.35

-

-

-

K+B750

27.47

19.45

26.54

26.70

25.23

24.34

21.98

18.56

20.76

24.34

24.66

-

-

-

-

O+F55.2

25.66

18.95

19.20

19.52

20.82

22.13

20.42

18.87

19.44

12.52

15.86

-

-

-

-

K+F55.2

23.53

24.66

25.00

25.25

25.41

25.83

27.59

27.34

23.82

26.25

22.24

-

-

-

-

O+F110.4

17.33

13.46

16.65

13.46

14.00

14.61

14.07

14.00

13.39

-

8.90

-

-

-

-

K+F110.4

19.63

18.09

15.96

15.28

14.11

21.04

18.77

20.28

16.92

-

-

-

-

-

-

O+F3680

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

K+F3680

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

O+B375+F55.2

16.03

11.81

15.65

12.97

13.25

12.29

14.90

15.58

14.62

16.48

15.86

-

-

-

-

K+B375+F55.2

17.98

16.23

20.88

16.80

18.81

17.30

18.74

16.73

17.88

15.87

13.66

-

-

-

-

O+B750+F110.4

15.44

11.43

11.21

12.19

11.60

13.74

14.26

14.48

15.00

17.30

16.78

-

-

-

-

K+B750+F110.4

21.78

22.38

22.81

22.47

24.70

24.36

23.24

25.90

26.42

26.85

27.79

12.69

-

-

-

138

Lampiran 18. Larutan-larutan untuk elektroforesis Larutan-larutan stok elektroforesis (Bollag dan Edelstein, 1991): 1. Tris-HCl 2 M pH 8.8 (100 ml) Sebanyak 24.2 Tris base dilarutkan ke dalam 50 ml akuades. Kemudian, pH larutan diatur menjadi 8.8 dengan penambahan HCl pekat. Selanjutnya, volume larutan ditepatkan menjadi 100 ml dengan penambahan akuades. 2. Tris-HCl 1 M pH 6.8 (100 ml) Sebanyak 12.1 g Tris base dilarutkan ke dalam 50 ml akuades. Kemudian, pH larutan diatur menjadi 6.8 dengan penambahan HCl pekat. Selanjutnya, volume larutan ditepatkan menjadi 100 ml dengan penambahan akuades. 3. Bromphenol blue 1% (10 ml) Sebanyak 100 mg bromphenol blue dilarutkan ke dalam 10 ml akuades. 4. SDS 10% (100 ml) Sebanyak 10 g SDS dilarutkan ke dalam 100 ml akuades. 5. Gliserol 50% (100 ml) Sebanyak 50 ml gliserol 100% dicampur dengan 50 ml akuades. 6. Larutan staining (1 l) Sebanyak 1 g coomassie brilliant blue R-250 dicampur dengan 450 ml metanol, 450 ml akuades, dan 100 ml asam asetat glasial. Larutan ini dapat digunakan berkali-kali. 7. Larutan destaining (1 l) Sebanyak 100 ml metanol dicampur dengan 100 ml asam asetat glasial, dan 800 ml akuades.

139

Lampiran 18 (lanjutan). Larutan-larutan untuk elektroforesis Larutan-larutan untuk SDS-PAGE: 1. Larutan A (Akrilamid 40%/1.1% bisakrilamid) 2. Larutan B (separating gel buffer) Sebanyak 18.17 g Tris base ditambah 4 ml SDS 10% kemudian dilarutkan ke dalam 40 ml akuades. Setelah itu, pH larutan diatur menjadi 8.8 dengan penambahan HCl pekat. Selanjutnya, volume larutan ditepatkan menjadi 100 ml dengan penambahan akuades. Larutan disaring dengan mikrofilter ukuran 0.45 μm. Larutan yang telah disaring kemudian disimpan pada suhu 4oC. 3. Larutan C (stacking gel buffer) Sebanyak 6.08 g Tris base ditambah 4 ml SDS 10% kemudian dilarutkan ke dalam 40 ml akuades. Setelah itu, pH larutan diatur menjadi 6.8 dengan penambahan HCl pekat. Selanjutnya, volume larutan ditepatkan menjadi 100 ml dengan penambahan akuades. Larutan disaring dengan mikrofilter ukuran 0.45 μm. Larutan yang telah disaring kemudian disimpan pada suhu 4oC. 4. Amonium persulfat (APS) 10% Sebanyak 0.1 g APS dilarutkan ke dalam 1 ml akuades. APS dibuat segar setiap kali akan melakukan elektroforesis. 5. Buffer elektroforesis Sebanyak 15.1 g Tris base, 72.0 g glisin, dan 5.0 g SDS dilarutkan ke dalam 800 ml akuades. Selanjutnya, volume larutan ditepatkan menjadi 1 liter dengan penambahan akuades. 6. Buffer sampel Buffer sampel dibuat dengan cara mencampurkan 0.6 ml Tris-HCl 1 M pH 6.8, 5 ml gliserol 50%, 2 ml SDS 10%, 0.5 ml 2-merkaptoetanol, 1 ml bromphenol blue, dan 0.9 ml akuades.

140

Lampiran 18 (lanjutan). Larutan-larutan untuk elektroforesis Larutan-larutan untuk native-PAGE: 1. Larutan A Akrilamid 40%/1.1% bisakrilamid 2. Larutan B (separating gel buffer) Tris-HCl 1.5 M pH 8.8 3. Larutan C Tris-HCl 0.5 M pH 6.8 4. APS 10% Sama seperti pada SDS 5. Buffer elektroforesis Sebanyak 3 g Tris base dan 14.4 g glisin dilarutkan ke dalam akuades sampai volume akhirnya 1 liter. Larutan akhir dipastikan memiliki pH 8.8. 6. Buffer sampel Buffer sampel dibuat dengan cara mencampurkan 3.1 ml Tris-HCl pH 6.8, 5 ml gliserol 50%, 5 ml bromphenol blue 1%, dan 1.9 ml akuades.

141

Lampiran 19. Prosedur elektroforesis 1. Pembuatan separating gel Pada penelitian ini digunakan gel akrilamid dengan persentase akhir 10%. Campuran larutan (10 ml untuk satu plate) yang digunakan sebagai berikut: 40% akrilamid/1.1% bisakrilamid

3.3 ml

Separating gel buffer

2.5 ml

Akuades

4.2 ml

APS 10%

50 μl

TEMED

5 μl

Cara pembuatan separating gel: a. Plat elektroforesis disusun menurut petunjuk. b. Larutan akrilamid, separating gel buffer, dan akuades dicampur dengan menggunakan stirrer. c. APS dan TEMED kemudian dicampurkan pada campuran langkah b. d. Campuran larutan dituang dengan pipet ke dalam celah di antara 2 pelat kaca elektroforesis secara cepat dan hati-hati untuk mengurangi kemungkinan timbulnya gelembung udara. e. Sebanyak 0.5-1 cm bagian dari tepi atas kaca disisakan untuk tempat memasukkan sisir. Akuades ditambahkan pada bagian tersebut agar permukaan gel tetap rata. f. Gel dipolimerisasi selama 30-60 menit. 2. Pembuatan stacking gel Untuk pembuatan gel ini digunakan konsentrasi 5%. Campuran larutan yang digunakan (3 ml untuk satu plate) adalah sebagai berikut: 40% akrilamid/1.1% bisakrilamid

0.67 ml

Stacking gel buffer

1.0 ml

Akuades

2.3 ml

APS 10%

30 μl

TEMED

5 μl

142

Lampiran 19 (lanjutan). Prosedur elektroforesis Cara pembuatan stacking gel: a. Akuades di atas separating gel dihilangkan dengan tissue. b. Larutan akrilamid, stacking gel buffer, dan akuades dicampur dengan menggunakan stirrer. c. APS dan TEMED kemudian dicampurkan pada campuran langkah b. d. Campuran larutan dituang dengan pipet di atas separating gel sampai memenuhi bagian atas celah kaca elektroforesis. e. Sisir dimasukkan dengan hati-hati agar tidak ada gelembung udara yang terperangkap pada ujung gigi sisir. f. Gel dipolimerisasi selama 30 menit. g. Setelah gel terbentuk, gel ditempatkan dalam perangkat elektroforesis. 3. Preparasi dan pemasukan sampel Sampel berupa protein yang terlarut diambil dan dicampur dengan buffer sampel. Campuran diaduk dengan stirrer kemudian dipanaskan selama 5 menit dalam air mendidih (untuk SDS-PAGE), atau tidak dipanaskan (untuk native-PAGE). Sebelum dimasukkan ke dalam sumur gel, sampel didinginkan sebentar dan distirrer. Jumlah sampel yang dimasukkan ke dalam sumur adalah 3 μl. 4. Gel running Steker elektroda dipasangkan pada power supply. Power supply dihubungkan dengan arus 100 V selama lebih kurang 2 jam atau sampai migrasi mencapai 1 cm dari bawah gel. Gel diambil dari kedua plat elektroforesis dengan menggunakan spatula kemudian bagian kanan dan kirinya ditandai. 5. Gel staining Gel ditempatkan dalam wadah yang telah diisi larutan staining dengan menggunakan sarung tangan. Gel diagitasi konstan dengan gerakan pelan. Larutan staining dapat digunakan berkali-kali.

143

Lampiran 19 (lanjutan). Prosedur elektroforesis 6. Gel destaining Gel ditempatkan dalam wadah yang telah diisi larutan destaining (± 20 ml). Gel diagitasi konstan (± 24 jam) sampai pita-pita protein yang terbentuk terlihat nyata dan warna latar gel menjadi terang.

144

Lampiran 20. Kurva standar elektroforesis 1. Kurva standar I SDS-PAGE Rf standar (X) 0.0175 0.0614 0.1667 0.2456 0.4386 0.6053

BM standar 97 66 45 30 20.1 14.4

Log BM standar (Y) 1.987 1.820 1.653 1.477 1.303 1.158

2.5

Log BM

2.0 1.5 y = -1.3449x + 1.9104 R2 = 0.9474

1.0 0.5 0.0 0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

Rf

2. Kurva standar II SDS-PAGE Rf standar (X) 0.0254 0.0678 0.1695 0.2458 0.4322 0.5932

BM standar 97 66 45 30 20.1 14.4

Log BM standar (Y) 1.987 1.820 1.653 1.477 1.303 1.158

145

Lampiran 20 (lanjutan). Kurva standar elektroforesis

2.5

Log BM

2.0 1.5 y = -1.3921x + 1.9222 R 2 = 0.9474

1.0 0.5 0.0 0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

Rf

3. Kurva standar I native-PAGE Rf standar (X) 0.1000 0.2750 0.4250 0.5250 0.6333 0.7583 0.8667 0.9333

BM standar 669 440 232 140 45 30 20.1 14.4

Log BM standar (Y) 2.825 2.643 2.365 2.146 1.653 1.477 1.303 1.158

3.5 3.0

Log BM

2.5 2.0 y = -2.1558x + 3.1634 R 2 = 0.9747

1.5 1.0 0.5 0.0 0.0

0.2

0.4

0.6

Rf

0.8

1.0

146

Lampiran 20 (lanjutan). Kurva standar elektroforesis 4. Kurva standar II native-PAGE Rf standar (X) 0.0893 0.2768 0.4554 0.5446 0.6429 0.7857 0.8571 0.9196

BM standar 669 440 232 140 45 30 20.1 14.4

Log BM standar (Y) 2.825 2.643 2.365 2.146 1.653 1.477 1.303 1.158

3.5 3.0

Log BM

2.5 2.0 y = -2.1497x + 3.1747 R2 = 0.9646

1.5 1.0 0.5 0.0 0.0

0.2

0.4

0.6

Rf

0.8

1.0

147

Lampiran 21. Perhitungan kesalahan mutlak SDS-PAGE dan native-PAGE Kesalahan mutlak penentuan berat molekul didapat dengan cara menghitung selisih berat molekul dari perbedaan migrasi sebesar 0.05. Nilai 0.05 merupakan setengah dari satuan terkecil pengukuran (½ x 0.1 cm = 0.05 cm). 1. Regresi linier kurva standar I SDS-PAGE adalah Y = -1.3449X + 1.9104. Persamaan ini digunakan untuk sampel O, K, O+B375, K+B375, O+B750, K+B750, O+F55.2, K+F55.2, O+F110.4, dan K+F110.4. Migrasi 1 1.05

Rf 0.1754 0.1842

Log BM 1.674 1.663 Selisih BM =

BM 47.3 46.0 1.3

2. Regresi linier kurva standar II SDS-PAGE adalah Y = -1.3921X + 1.9222. Persamaan ini digunakan untuk sampel O+B375+F55.2, K+B375+F55.2, O+B750+F110.4, dan K+B750+F110.4. Migrasi 1 1.05

Rf 0.1695 0.1780

Log BM 1.686 1.674 Selisih BM =

BM 48.6 47.3 1.3

3. Regresi linier kurva standar I native-PAGE adalah Y = -2.1558X + 3.1634. Persamaan ini digunakan untuk sampel O, K, O+B375, K+B375, O+B750, K+B750, O+F55.2, K+F55.2, O+F110.4, dan K+F110.4. Migrasi 1 1.05

Rf 0.1667 0.1750

Log BM 2.804 2.786 Selisih BM =

BM 636.9 611.1 25.8

4. Regresi linier kurva standar II native-PAGE adalah Y = -2.1497X + 3.1747. Persamaan ini digunakan untuk sampel O+B375+F55.2, K+B375+F55.2, O+B750+F110.4, dan K+B750+F110.4. Migrasi 1 1.05

Rf 0.1786 0.1875

Log BM 2.791 2.772 Selisih BM =

BM 617.8 591.1 26.7

148