PERUBAHAN RESPONS IMUN PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK YANG

Download Respon imun gagal ginjal kronik. J Kedokter Trisakti, September-Desember2000 -Vol.19, No.3 115. Perubahan respons imun pada penderita gagal ...

0 downloads 489 Views 137KB Size
F -X C h a n ge

F -X C h a n ge

c u -tr a c k

N y bu to k lic

Perubahan respons imun pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis Pusparini Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

ABSTRACT Haemodialysis is the most common treatment of chronic renal failure patients to maintain their relative health status. Morbidity and mortality rates in patients undergoing haemodialysis for chronic renal failure have increased in conjunction with the decrease immune response. Decrease of immune response in these patients is caused by uremia, vitamin D deficiency, iron overload and haemodialysis. In uremic patients decrease of immune response is caused by impaired phagocytosic ability of polymorphonuclear leukocytes and monocytes, impaired metabolic activity of hexosemonophosphat shunt (HMS) which is needed to produce reactive oxygen species (ROS). Roles of vitamin D are related to macrophage development and function. Iron overload stimulates bacterial growth and increases its virulence. Haemodialysis causes neutropenia, limphocytopenia and hypocomplementemia due to the type of dialyzer membrane used. (J Kedokter Trisakti 2000;19(3):115 – 124) Key words : haemodialysis, immune response, uremia, chronic renal failure

ABSTRAK Hemodialisis merupakan tindakan invasif yang sering dilakukan pada pasien gagal ginjal kronik untuk mempertahankan pasien dalam keadaan relatif sehat. Angka kesakitan dan angka kematian pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis meningkat sejalan dengan penurunan respons imun pada pasien terkait. Penurunan respons imun dapat disebabkan keadaan uremia, defisiensi vitamin D, penimbunan besi yang berlebihan dan akibat tindakan hemodialisis itu sendiri. Penurunan respons imun pada uremia disebabkan oleh penurunan fungsi fagositosis leukosit polimorfonuklear (PMN) dan monosit, serta penurunan aktivitas metabolik hexosemonophosphate shunt (HMS) yang diperlukan untuk memproduksi reactive oxygen spesies (ROS) . Vitamin D berperan dalam perkembangan dan fungsi makrofag. Penimbunan besi yang berlebihan akan merangsang pertumbuhan bakteri dan meningkatkan virulensi bakteri. Tindakan hemodialisis menyebabkan penurunan respons imun karena terjadinya neutropenia, limfositopenia dan hipokomplementemia yang terutama disebabkan pengaruh jenis membran dialyzer. Kata kunci : hemodialisis, respons imun, uremia, gagal ginjal kronik.

PENDAHULUAN Pada pasien gagal ginjal kronik (GGK) dengan kadar ureum dan kreatinin yang sangat tinggi, selain transplantasi ginjal, tindakan dialisis merupakan satu-satunya cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup pasien dengan tujuan menurunkan kadar ureum, kreatinin dan zat-zat toksik lainnya di dalam darah.(1,2)

Tindakan dialisis pada pasien ini harus dilakukan secara rutin satu sampai dua kali per minggu. Pada tindakan dialisis, hemodialisis lebih sering digunakan dibandingkan peritoneal dialisis.(1,3) Pada hemodialisis darah pasien dipompa keluar dari pembuluh darah, masuk ke dalam suatu alat tempat terjadinya proses difusi

J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 115

.d o

m

w

o

.c

C

m

Respon imun gagal ginjal kronik

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

k

to

bu

y

N

O W !

PD

O W !

PD

c u -tr a c k

.c

F -X C h a n ge

F -X C h a n ge

c u -tr a c k

N y bu to k lic

melalui membran semipermeabel untuk membuang zat-zat toksik dalam darah. (1,4) Tindakan hemodialisis merupakan suatu tindakan invasif yang mempunyai risiko untuk terjadinya infeksi. Pada pasien GGK terjadi perubahan sistem imun yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun, dan keadaan ini mempermudah terjadinya infeksi.(l,5) Dengan makin mahalnya peralatan hemodialisis akhir-akhir ini maka penggunaan ulang komponen pada unit hemodialisis makin meningkat. Penggunaan ulang komponen tersebut menyebabkan risiko terjadinya infeksi akan lebih meningkat apabila penanganannya tidak dilakukan sesuai prosedur yang dianjurkan.(3,5) Infeksi merupakan penyebab utama meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian pada pasien hemodialisis.(2,3) Beberapa penelitian menunjukkan 12 % sampai 20 % kematian pada pasien hemodialisis disebabkan oleh infeksi.3,4 Penyebab tingginya infeksi pada pasien GGK selain menurunnya sistem imun, juga disebabkan oleh adanya penyebab sekunder seperti adanya diabetes dan penyakit jantung paru pada GGK yang akan memperberat risiko infeksi.2 Penurunan sistem imun pada pasien GGK didukung oleh ditemukannya reaksi cutaneous anergy, menurunnya respons terhadap vaksinasi, memanjangnya masa penolakan allograft kulit dan ginjal, dan delayed response leukosit pada tempat inflamasi.(3,5,6) Pada makalah ini akan dibahas mengenai sistem imun secara umum dan perubahan

respons imun pada penderita GGK akibat keadaan uremia, defisiensi vitamin D, penimbunan besi yang berlebihan dan akibat tindakan hemodialisis itu sendiri, serta tindakan pencegahan yang mungkin dilakukan. Pengetahuan akan hal ini diharapkan dapat memperbaiki penatalaksanaan pasien GGK. SISTEM IMUN SECARA UMUM Manusia dapat terlindung dari invasi mikroorganisme karena adanya pertahanan lokal yang bersifat mekanis dan biokimiawi pada kulit dan selaput lendir serta adanya flora lokal yang bersifat komensal. Selaput lendir ditutupi oleh lendir yang akan melindungi dari trauma fisik dan kimiawi. Lendir ini bersifat hidrofilik sehingga mudah dilalui oleh zat antimikroba yang dihasilkan tubuh seperti lisozim dan peroksidase. Sekresi lisozim, kelenjar keringat, mikroorganisme bersifat komensal yang hidup di usus dan vagina termasuk pertahanan lokal yang bersifat biokimiawi. Mukus, silia pada trakea, asam lambung dan kulit merupakan jenis pertahanan lokal yang dapat bersifat fisik maupun biokimiawi.(7) (Gambar 1) Gangguan pertahanan lokal dapat terjadi akibat pemakaian alat seperti infus dan kateter, pembedahan. Pada keadaan seperti ini, penyebab infeksi umumnya adalah flora normal pada tempat tersebut, misalnya Staphylococcus epidermidis yang masuk ke dalam aliran darah melalui luka infus kemudian menimbulkan septikemia.(8)

J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 116

.d o

m

w

o

.c

C

m

Respon imun gagal ginjal kronik

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

k

to

bu

y

N

O W !

PD

O W !

PD

c u -tr a c k

.c

F -X C h a n ge

F -X C h a n ge

c u -tr a c k

N y bu to k lic

Gambar 1. Pertahanan lokal tubuh yang bersifat fisik dan biokimiawi.(7)

Berbagai jenis sel dan molekul terlarut yang disekresikan berperan pada respons imun. Walaupun leukosit merupakan pusat dari seluruh respons imun, sel lain dalam jaringan juga ikut berperan dengan memberi isyarat kepada limfosit serta bereaksi terhadap sitokin yang

dilepaskan oleh limfosit T dan makrofag. Basofil, sel mast dan trombosit akan menghasilkan mediator radang, demikian juga sel jaringan akan menghasilkan sitokin interferon.(7) (Gambar2).

Gambar 2. Beberapa sel utama dalam komponen sistem imun.(7)

Bila pertahanan lokal terganggu, neutrofil akan memegang peranan penting untuk mencegah penyebaran infeksi. Gangguan ini dapat berupa berkurangnya jumlah fagosit, gangguan respons kemotaktik atau menurunnya kemampuan untuk membunuh mikroorganisme.

Gangguan aktivitas neutrofil akan memudahkan terjadinya infeksi oleh berbagai jenis bakteri dan jamur.(8-10) Neutropenia akan memudahkan terjadinya infeksi, dan semakin rendah jumlah jumlah neutrofil, semakin besar pula kemungkinan infeksi. Perlindungan utama J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 117

.d o

m

w

o

.c

C

m

Respon imun gagal ginjal kronik

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

k

to

bu

y

N

O W !

PD

O W !

PD

c u -tr a c k

.c

F -X C h a n ge

F -X C h a n ge

c u -tr a c k

N y bu to k lic

terhadap infeksi oleh Stafilokokus adalah sistem fagositosis yang memadai. Bila terjadi infeksi oleh Stafilokokus pada penderita granulositopenia dan gangguan fagositosis serta penghancuran sel oleh leukosit maka infeksi ini akan menjadi lebih berat dibandingkan penderita tanpa gangguan ini.(8-10) Pada respons imun humoral, antigen akan ditangkap oleh makrofag atau antigen presenting cell (APC), kemudian masuk ke dalam sel dengan cara endositosis atau pinositosis. Setelah diolah oleh sel-sel itu maka antigen tersebut akan dipaparkan di permukaan sel APC bersama

molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Sel T penolong akan mengenali kompleks antigen MHC kelas II tersebut melalui reseptor permukaannya dan sel ini akan teraktivasi. Sel T penolong yang sudah teraktivasi akan mengeluarkan sitokin dan merangsang sel B untuk berproliferasi menjadi sel plasma yang dapat menghasilkan imunoglobulin.(11) (Gambar 3).

Gambar 3. Gambaran respons imun humoral dan seluler yang diperantarai oleh kompleks APC-MHC kelas II dan sel T penolong.(11)

Defisiensi imunoglobulin dapat merupakan kelainan bawaan atau didapat. Hipogamaglobulinemia yang didapat, umumnya disebabkan oleh kehilangan protein berlebihan seperti pada sindroma nefrotik, luka bakar atau limfangiektasia intestinal.(8) Pada keadaan ini penderita mudah mengalami infeksi berulang oleh bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae atau Hemophilus influenzae karena untuk fagositosis dibutuhkan opsonisasi oleh antibodi dalam jumlah yang memadai. (10) Respons imun seluler didahului oleh interaksi antara sel T penolong dengan antigen yang disajikan oleh APC. Sel T penolong yang sudah teraktivasi akan memacu sel efektor yaitu sel T sitotoksik dan sel B. Selanjutnya melalui limfokin yang dihasilkan, sel T akan memicu sel natural killer (NK), makrofag, granulosit dan

antibody dependent cytotoxic cell (ADCC) atau cell killer (sel K) untuk menghancurkan antigen.(12) (Gambar 3) Penurunan jumlah dan fungsi makrofag serta sel T akan menyebabkan meningkatnya risiko infeksi bakteri intrasel, virus, jamur atau protozoa. Gangguan imunitas seluler dapat merupakan kelainan bawaan atau didapat. Kelainan bawaan biasanya sudah terdiagnosis sejak kecil dan sering menimbulkan kematian karena infeksi oportunistik sebelum penderita dewasa.(8) PERUBAHAN RESPONS IMUN PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK Pada gagal ginjal kronik terbukti adanya penurunan respons imun tubuh terhadap infeksi. Hal ini dapat diketahui dengan tingginya angka infeksi, tingginya insidens tuberkulosis, infeksi virus dan neoplasma. Selain itu juga dilaporkan frekuensi cutaneous anergy yang tinggi, J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 118

.d o

m

w

o

.c

C

m

Respon imun gagal ginjal kronik

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

k

to

bu

y

N

O W !

PD

O W !

PD

c u -tr a c k

.c

F -X C h a n ge

F -X C h a n ge

c u -tr a c k

N y bu to k lic

menurunnya respons terhadap vaksinasi dan memanjangnya masa penolakan allograft.5 Perubahan respons imun pada penderita gagal ginjal kronik dapat dikelompokkan menjadi 4 yaitu akibat uremia, akibat defisiensi vitamin D, akibat penimbunan besi yang berlebihan dan akibat tindakan hemodialisis. Akibat uremia Uremia merupakan gejala atau tanda yang berhubungan dengan GGK . Gejala klinik yang dijumpai pada uremia antara lain ditandai dengan terjadinya gangguan keseimbangan air dan elektrolit, gangguan metabolisme dan kelenjar endokrin, gangguan gastrointestinal, kelainan kardiovaskular dan pulmonar, kelainan kulit, kelainan neuromuskular dan kelainan hematologi serta imunologi.(13,14) Pada penderita GGK kemampuan ginjal untuk membuang ureum dan sisa metabolisme lainnya melalui urine menurun sehingga menimbulkan keadaan uremia.(13) Ruiz dkk (6) melakukan penelitian mengenai efek dari serum uremia terhadap mekanisme pertahanan tubuh. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa ternyata infeksi merupakan penyebab utama meningkatnya angka kesakitan dan kematian pada penderita GGK. Dilaporkan sebanyak 20% kematian penderita GGK disebabkan infeksi. Selain itu ternyata terdapat defek mekanisme pertahanan tubuh penderita GGK terhadap infeksi.(6) Infeksi pada pasien dengan uremia disebabkan beberapa hal yaitu faktor ketahanan tubuh pejamu yang menurun akibat kadar ureum

yang tinggi yang bersifat toksis, adanya metabolisme yang abnormal mencakup metabolisme protein, trace metal, dan defisiensi vitamin akibat pengobatan yang dipergunakan.(5,6) Pada uremia, penurunan respons imun disebabkan penurunan fungsi fagositosis leukosit polimorfonuklear (PMN) dan monosit.(3,15) Fagositosis adalah suatu proses dilapisinya partikel asing oleh substansi opsonin terutama IgG. Fagosit mempunyai reseptor spesifik diantaranyaFc domain IgG. Aktivasi reseptor Fc oleh partikel yang telah diopsonisasi menyebabkan partikel asing dapat ditelan oleh fagosit dan memicu oxygen dependent killing mechanisms.( 3) Selain itu selama proses fagositosis diperlukan serangkaian aktivitas jalur metabolisme dan evaluasi aktivitas jalur tersebut dapat mencerminkan kapasitas fungsional proses fagositosis tersebut. Salah satu jalur metabolisme tersebut adalah metabolisme glukosa melalui jalur hexosemonophosphate shunt (HMS) untuk memproduksi reactive oxygen species (ROS), termasuk ion superoksida dan hidrogen peroksida (H2O2) melalui sistem NADPH oksidase (gambar 4). Pembentukan ROS ini diperlukan oleh leukosit sebagai respons terhadap adanya mikroorganisme. Pada uremia aktivitas metabolisme glukose melalui jalur tersebut menurun. Pada gambar 4 dapat dilihat bahwa kedua proses tersebut saling berhubungan dan jalur HMS memberikan energi untuk pembentukan ROS melalui enzim NADPH oksidase. (15)

Gambar 4. Jalur metabolik aktivasi leukosit dengan menggunakan enzim NADPH oksidase.(15)

Glukosa 1-C NADPH Hexosemonophosphate shunt (HMS)

O2

OHH2O2 HOC1

O2

NADPH oksidase NADP

O2

CO2 Vanholder dkk(15) melakukan penelitian untuk mengetahui penggunaan glukose-1-C selama proses dialisis oleh polimorfonuklear

(PMN) sebagai respons terhadap Staphylococcus aureus. Banyaknya penggunaan glukose-1-C dihitung dengan mengukur kadar CO2 yang J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 119

.d o

m

w

o

.c

C

m

Respon imun gagal ginjal kronik

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

k

to

bu

y

N

O W !

PD

O W !

PD

c u -tr a c k

.c

F -X C h a n ge

F -X C h a n ge

c u -tr a c k

N y bu to k lic

terbentuk. Dari penelitian ini diketahui bahwa respons metabolik terhadap fagositosis akan memburuk sejalan dengan makin beratnya uremia.(15) Pada uremia ditemukan peptida yang mirip dengan ubiquitin yang dapat menghambat kemotaksis neutrofil dan penurunan kemampuan PMN untuk berikatan dengan C5a, suatu faktor kemotaktik. Adanya hambatan kemotaksis ini menyebabkan penurunan fungsi fagositosis, sehingga menurunkan kemampuan respons imun nonspesifik.(3,15) Selain itu penurunan respons imun pada uremia disebabkan penekanan cell mediated immunity yang disebabkan oleh memendeknya umur limfosit, limfopenia, hambatan pada transformasi limfosit, dan penekanan aktivitas limfosit T.(3) Akibat defisiensi vitamin D Sumber vitamin D adalah dari kulit maupun dari makanan yang diserap di usus. Vitamin D3 disintesis pada kulit dari 7 dehidrokolesterol dengan bantuan sinar ultraviolet. Mula-mula terjadi proses hidroksilasi vitamin D 3 menjadi 25 hidroksi-vitamin D3 (25 (OH)D3) pada hati. Selanjutnya terjadi proses hidroksilasi pada ginjal menjadi 1,25 dihidroksi-vitamin D3 (1,25 (OH)2D3) atau 24,25 dihiroksi-vitamin D3 (24,25 (OH)2 D3). Perubahan 25 (OH) D3 menjadi 1,25 (OH)2D3 dipengaruhi oleh hormon paratiroid , kadar fosfat, kalsium dan lain-lain. (16) Peran 1,25 dihidroksi-vitamin D 1,25 (OH)2D3 = calcitriol = vitamin D pada respons imun telah dilaporkan walaupun belum diketahui mekanismenya dengan jelas. Pada pasien dengan GGK dapat dijumpai penurunan kadar vitamin D karena proses hidroksilasi dari 25 (OH) D3 menjadi 1,25 (OH)2D3 terjadi pada ginjal, sehingga penurunan massa ginjal pada pasien GGK menyebabkan rendahnya kadar vitamin D. (5,6)

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 8 pasien uremia yang menjalani hemodialisis menunjukkan peningkatan aktivitas sel NK setelah pemberian calcitriol selama 28 hari. Diperkirakan defisiensi calcitriol merupakan faktor yang berperan terhadap penurunan sel NK. Penemuan ini menunjukkan calcitriol

merupakan suatu hormon imunostimulator in vivo.(5) Di dalam tubuh vitamin D berperan dalam merangsang perkembangan dan pematangan fungsi makrofag, meningkatkan ekspresi reseptor Fc dan C3 (yang menunjukkan adanya aktivasi sel dan peningkatan fungsi respons imun), dan meningkatkan kemotaksis dan fagositosis leukosit PMN. Disamping itu vitamin D juga berperan dalam produksi interleukin 2. (5,16)

Pada pasien hemodialisis transformasi limfosit berkurang dibanding pada orang normal, tetapi pemberian prekursor vitamin D secara oral selama 4 minggu dapat memperbaiki fungsi transformasi limfosit menjadi normal. Disamping itu pemberian vitamin D pada pasien hemodialisis akan meningkatkan rasio sel T penolong / sel T sitotoksik yang akan meningkatkan jumlah sel T CD4+ dan penurunan jumlah sel T CD8+ sehingga akan meningkatkan daya imunitas tubuh.(5,16) Vitamin D juga berperan meningkatkan produksi interleukin 2 (IL-2), suatu sitokin yang berperan merangsang pembelahan sel T, pertumbuhan sel B dan merangsang aktivitas monosit dan sel NK. Selain itu vitamin D juga berperan pada produksi gamma interferon yang berfungsi dalam imunoregulasi terhadap pertumbuhan dan diferensiasi sel B, aktivasi makrofag dan peningkatan efek ekspresi antigen. (5) Akibat penimbunan besi yang berlebihan Sebelum ditemukannya terapi eritropoietin sebagai pengganti suplementasi besi dan transfusi yang berulang, pada pasien hemodialisis sering dijumpai penimbunan besi yang berlebihan. Keadaan ini akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Parameter yang dipergunakan untuk mengetahui adanya penimbunan besi yang berlebihan adalah bila kadar ferritin serum > 1000 ug/L. (17) Mekanisme terjadinya infeksi pada keadaan penimbunan besi yang berlebihan kemungkinan disebabkan adanya kemampuan besi untuk merangsang pertumbuhan bakteri dan meningkatkan virulensi bakteri. Penimbunan besi yang berlebihan juga berperan terhadap fungsi fagositosis neutrofil dan aktivitas mieloperoksidase. Toksisitas besi terhadap J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 120

.d o

m

w

o

.c

C

m

Respon imun gagal ginjal kronik

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

k

to

bu

y

N

O W !

PD

O W !

PD

c u -tr a c k

.c

F -X C h a n ge

F -X C h a n ge

c u -tr a c k

N y bu to k lic

neutrofil disebabkan terbentuknya oksidan radikal yang berlebihan yang berpengaruh terhadap fungsi fagositosis melalui peroksidasi membran lipid neutrofil.(17,18) Kemampuan fagositosis neutrofil menjadi normal kembali bila pada pasien hemodialisis diberikan desferioksamin sebagai chelating agent yang akan mengikat kelebihan besi sehingga akan menurunkan risiko infeksi.(18) Saat ini dengan makin meningkatnya penggunaan eritropoietin maka pemberian transfusi packed red cell dapat dikurangi sehingga penimbunan besi yang berlebihan dapat dihindari. (17) Hoen dkk (17) menemukan bahwa lebih dari 10 % pasien dengan kadar ferritin > 1000 ug/L menunjukkan penurunan kadar ferritin setelah penggunaan eritropoietin dan hanya 5% pasien yang tetap memiliki kadar ferritin > 1000 ug/L. Akibat tindakan hemodialisis Hemodialisis merupakan suatu proses difusi melalui membran semipermiabel untuk membuang substansi dalam darah yang tidak diinginkan dengan penambahan komponen tertentu. Aliran darah yang konstan pada satu bagian dari membran dan cairan dialisat sebagai pembersih pada sisi lainnya menyebabkan sisa metabolisme dari darah dapat disingkirkan ke dalam cairan dialisat. Hal ini mirip dengan proses yang terjadi pada filtrasi glomerulus. Dengan mengatur komposisi cairan dialisat, kecepatan terpaparnya darah dengan dialisat, tipe dan luas permukaan membran dialisis, frekuensi serta lamanya pemaparan, pasien dengan GGK dapat dipertahankan pada kondisi relatif sehat.(19,20) Reaksi biokimia di dalam tubuh menghasilkan zat-zat yang disebut metabolit. Ginjal membantu mengatur keseimbangan zatzat dalam darah dengan cara mencegah penimbunan metabolit dan air. Darah difiltrasi dan dibersihkan secara teratur pada ginjal. Sisa metabolisme dikumpulkan dan dieksresi ke dalam urin sedangkan zat yang masih berguna seperti air dan elektrolit direabsorbsi kembali. Dialyzer menggunakan prinsip yang terjadi pada ginjal manusia. (19,21) Perangkat hemodialisis terdiri dari tiga komponen yaitu sistem distribusi darah , sistem distribusi cairan dialisat dan dialyzer.(19) Ketiga

komponen ini dapat dibentuk dalam berbagai konfigurasi yang dilengkapi sejumlah alat monitor supaya prosedur hemodialisis berjalan aman dan lancar.(19-21) Sistem distribusi darah dilengkapi 3 monitor yaitu monitor tekanan arteri, tekanan vena dan detektor gelembung udara. Sistem distribusi cairan dialisat dilengkapi 3 monitor juga yaitu monitor dan pengatur suhu, monitor konduktivitas dan detektor terhadap kebocoran darah. Dialyzer mempunyai struktur penunjang yang memungkinkan darah dan cairan dialisat mengalir secara optimal di kedua sisi yang bersebelahan pada membran. Terdapat 3 jenis konfigurasi ginjal buatan yang lazim dipakai yaitu coil dialyzer, flat plate dialyzer dan hollow fiber dialyzer.(19,20) Tindakan hemodialisis pada pasien dengan GGK yang bertujuan untuk membuang ureum dan sisa metabolisme lainnya di dalam tubuh ternyata membawa dampak terjadinya penurunan respons imun pada pasien tersebut. Penurunan respons imun yang terjadi terutama disebabkan oleh jenis membran dialisis yang dipakai. Membran dialisis ada 2 macam berdasarkan efek terhadap respons imun yaitu pertama, membran dialisis yang menyebabkan penurunan respons imun misalnya cuprophan; kedua, membran dialisis yang tidak menyebabkan penurunan respons imun / penurunan minimal yaitu polymethylmetacrylate (PMMA), poliakrilnitril dan polisulfon sehingga dianjurkan untuk menggunakan membran dialisis yang efek terhadap penurunan respons imun seminimal mungkin.(15) Pada pasien uremia dengan kadar kreatinin melampaui 6 mg/dL terjadi penurunan bermakna kemampuan leukosit untuk melakukan fagositosis. Hal ini diperberat apabila digunakan membran dialisis yang mengaktifkan sistem komplemen misalnya cuprophan. Penggunaan cuprophan sebagai membran dialisis akan menyebabkan penurunan fungsi fagositosis yang jauh lebih besar (60%).(15) Terjadinya kontak antara darah dengan membran dialyzer yang berulang-ulang selama hemodialisis menyebabkan aktivasi sistem komplemen terutama melalui jalur alternatif. (22) Aktivasi sistem komplemen oleh membran dialyzer terutama terjadi pada membran J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 121

.d o

m

w

o

.c

C

m

Respon imun gagal ginjal kronik

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

k

to

bu

y

N

O W !

PD

O W !

PD

c u -tr a c k

.c

F -X C h a n ge

F -X C h a n ge

c u -tr a c k

N y bu to k lic

cuprophan. Aktivasi komplemen melalui jalur alternatif ini disebabkan oleh adanya hidrolisis spontan C3 menjadi C3a dan C3b. C3b selanjutnya berikatan dengan faktor B menghasilkan C3 konvertase C3bBb yang dapat memecah C3 menghasilkan C3a dan C3b lainnya. Dua molekul C3b dengan subunit faktor B yaitu Bb akan membentuk C5 konvertase. Enzim ini akan memecah C5 menjadi C5a dan C5b, yang diikuti oleh pengikatan dengan C6 dan C7 sampai akhirnya terbentuk membran attack complex (MAC) yang dapat menyebabkan lisisnya sel target yaitu semua jenis leukosit, eritrosit dan trombosit.(22) Selain mengaktifkan sistem komplemen jalur klasik, membran cuprophan juga dapat mengaktivasi jalur alternatif. Aktivasi jalur alternatif sistem komplemen akan menghasilkan C3a dan C5a yang bersifat anafilatoksin. Anafilatoksin ini selain dapat menimbulkan anafilaksis dapat juga meningkatkan kemotaksis ke arah membran cuprophan.(22) Pada 15 menit awal hemodialisis dijumpai penurunan jumlah neutrofil, yang akan kembali normal setelah hemodialisis selesai.(13,23)Selama proses hemodialisis neutrofil menghilang dari sirkulasi disebabkan sekuestrasi melalui kapiler pulmonar. Mekanisme sekuestrasi tersebut masih diperdebatkan. Teori yang paling banyak dianut untuk menerangkan hal ini adalah neutrofil menempel pada dinding endotel kapiler pulmonar, yang merupakan permukaan pembuluh darah pertama yang mengalami kontak setelah darah meninggalkan dialyzer. Mekanisme ini disebabkan oleh adanya peningkatan ekspresi reseptor CD 11b / CD 18 pada permukaan neutrofil yang ada di dalam sirkulasi.(23) Neutropenia makin berat bila CD 11b / CD 18 makin banyak. CD 11b / CD18 makin banyak dihubungkan dengan tipe dialyzer dan penggunaan ulang dialyzer. Hal ini menunjukkan hubungan langsung antara produksi C5a dengan lamanya kontak antara darah dengan membran dialyzer. Pada penelitian in vitro ternyata C5a meningkatkan jumlah CD 11b / CD 18, sedangkan peningkatan CD 11b / CD 18 tergantung pada adhesi neutrofil pada sel endotel.23 Penelitian Tabor dkk (23) menunjukkan adanya hubungan antara derajat neutropenia,

peningkatan ekspresi CD 11b / CD18 dan kadar C5a plasma.

Neutropenia juga dapat disebabkan oleh adanya agregasi neutrofil yang diinduksi oleh aktivasi jalur alternatif komplemen. Jarang dijumpai adanya agregasi neutrofil pada pembuluh darah. Penelitian pada binatang dengan neutropenia menunjukkan bahwa neutrofil lebih sering dijumpai pada kapiler pulmonar dibandingkan dengan yang beragregasi di dalam arteriol.(3,23) Hasil penelitian Gascon dkk (24) memperlihatkan penurunan jumlah absolut limfosit pada pasien hemodialisis dan peningkatan jumlah subset limfosit natural killer CD3 /CD 56 + dan CD3 -/CD 16 +. Peningkatan jumlah limfosit natural killer dihubungkan dengan jenis membran dialyzer yang dipakai. Pada pemakaian membran dialyzer cuprophan dijumpai peningkatan jumlah limfosit natural killer sedangkan pada pemakaian membran dialyzer lainnya seperti membran poliakrilnitril dan polisulfon tidak dijumpai keadaan demikian. Penggunaan membran dialyzer cuprophan meningkatkan pergerakan limfosit natural killer dari jaringan limfoid.(24) Pada pasien hemodialisis dengan menggunakan membran cuprophan dijumpai penurunan aktivitas sitotoksik limfosit natural killer. Adanya peningkatan jumlah limfosit natural killer dan penurunan aktivitas sel tersebut merupakan hal yang kontradiktif. Penjelasan dari hal tersebut di atas adalah bahwa peningkatan jumlah limfosit natural killer merupakan mekanisme kompensasi sistem imun untuk meningkatkan produksi sel oleh karena fungsinya yang menurun.(24) PENCEGAHAN Adanya respons imun yang menurun pada GGK merupakan keadaan yang sangat tidak menguntungkan. Oleh karena itu perlu tindakan pencegahan agar kondisi pasien yang sudah demikian rentan terhadap infeksi tidak dengan

J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 122

.d o

m

w

o

.c

C

m

Respon imun gagal ginjal kronik

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

k

to

bu

y

N

O W !

PD

O W !

PD

c u -tr a c k

.c

F -X C h a n ge

F -X C h a n ge

c u -tr a c k

N y bu to k lic

mudah terkena infeksi. Upaya pencegahan yang dianjurkan antara lain : 1. Penanganan pasien secara steril misalnya penggunaan sarung tangan dan masker. (3) 2. Menghindari penggunaan kateter / protesa sementara yang dipakai terlalu lama untuk akses vaskular pada tindakan hemodialisis.(3) 3. Vaksinasi penderita terutama untuk pencegahan infeksi virus hepatitis B.(2) 4. Tindakan eradikasi Staphylococcus aureus dengan mupirosin pada nasal carriage.(3) 5. Penanganan sesuai prosedur untuk semua alat hemodialisis yang dipergunakan ulang.(3) 6. Perlunya pengobatan / pencegahan penimbunan besi yang berlebihan dengan penggunaan iron chelating agent. Penggunaan iron chelating agent juga perlu dimonitor untuk mencegah intoksikasi. (18) 7. Pemakaian eritropoetin untuk mengatasi anemia sebagai tindakan untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah pada GGK yang dapat menyebabkan penimbunan besi yang berlebihan.(18) 8. Pemberian calcitriol pada penderita GGK.(5)

Daftar Pustaka. 1.

2.

3.

4.

5.

6. 7.

8.

KESIMPULAN 9.

Penderita GGK merupakan penderita yang rentan terhadap infeksi. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan respons imun yang diakibatkan antara lain oleh keadaan uremia yang menyebabkan penurunan fagositosis PMN dan monosit, penekanan imunitas seluler, keadaan defisiensi vitamin D yang berperan dalam merangsang perkembangan dan pematangan fungsi makrofag, peningkatan ekspresi reseptor Fc dan C3, peningkatan kemotaksis dan fagositosis PMN serta penimbunan besi yang berlebihan dan akibat tindakan hemodialisis. Dengan penanganan penderita secara steril dan penggunaan ulang alat dialisis sesuai standar yang dianjurkan serta pemberian vaksinasi, chelating agent dan calcitriol, penderita GGK diharapkan dapat dipertahankan dalam kondisi yang relatif sehat.

10.

11.

12.

13.

Favero MS, Alter MJ, Bland LA. Dialysis associated infections and their control. In : Bennett JV, Brachman PS, Sanford JP, editors. Hospital infections. 3th ed. Boston : Little, Brown and Company; 1992.p. 375 – 403. Rodby RA, Trenholme GM. Vaccination of the dialysis patient. Semin Dialysis 1991; 4(2):1025. Vanherweghem JL, Tielmans C, Goldman M, Boelaert J. Infections in chronic hemodialysis patients. Semin Dialysis 1991; 4(4) : 240 – 4. Cohen G, Rudnicki M, Horl WH. Isolation of modified ubiquitin as a neutrophil chemotaxis inhibitor from uremic patients. J Am Soc Nephrol 1998 ; 9 : 451 – 6. Rice JC, Haverty TP. Vitamin D and Immune function in uremia. Semin Dialysis 1990 ; 3(4) : 237 – 9. Rubin NET, Rubin RH.Uremia and host defenses. N Engl J Med 1990; 322 (11) : 770 – 1. Male D, Roitt I. Introduction to the immune system. In : Roitt I, Brostoff J, Male D, editors. Immunology. 2nd ed. St. Louis : Mosby ; 1989.p. 1.1-1.2. Powderly WG. Infections of compromised patient. In : Schaeter M, editor. Mechanism of microbial diseases. 2nd ed. Baltimore : Williams & Wilkins ; 1989.p. 742-8. Drew WL. Infections in the immunocompromised patient. In : Sherris JC editor. Medical microbiology. An introduction to infectious diseases. 3rd ed. New York : Elsevier ; 1994.p. 815 – 21. Sanfilippo F, Balber AE, Granger DL. Immune responses to infection. In : Joklik WK editor. Zinsser microbiology. 20th ed. Conecticut : Prentice Hall International ; 1992.p. 345 – 68. Feldman M, Male D. Cell cooperation in the immune response. In : Roitt I, Brostoff J, Male D, editors. Immunology. 2nd ed. St. Louis : Mosby ; 1989.p. 8.1-8.11. Rook G. Cell mediated immune response. In : Roitt I, Brostoff J, Male D, editors. Immunology. 2nd ed. St. Louis : Mosby ; 1989.p. 9.2-9.12. Carpenter CB, Lazarus JM. Dialysis and transplantation in the treatment of renal failure. In : Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 13th ed. New York : Mc Graw – Hill ; 1994.p. 128192.

J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 123

.d o

m

w

o

.c

C

m

Respon imun gagal ginjal kronik

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

k

to

bu

y

N

O W !

PD

O W !

PD

c u -tr a c k

.c

F -X C h a n ge

F -X C h a n ge

c u -tr a c k

N y bu to k lic

14. Ross EA, Barri YMH, Hemodialysis. In : Tisher CC, Wilcox CS, editors. Nephrology for the house officer. 2th ed. Baltimore : William & Wilkins ; 1993.p. 229 – 42. 15. Vanholder R, Ringoir S, Dhondt A, Hakim R, Waterloos MA, Van Lantschoot N,et al. Phagocytosis in uremia and hemodialysis patients : a prospective and cross sectional study. Kidney Int 1991 ; 39 : 320 – 7. 16. Reichel H, Koeffler P, Norman AW. The role of the vitamin D endocrine system in health and disease. N Engl J Med 1989 ; 320 (15) : 980 – 91. 17. Hoen B, Dauphin AP, Hestin D, Kessler M. Epibacdial : A multicenter prospective study of risk factors for bacteremia in chronic hemodialysis patients. J Am Soc Nephrol 1998 ; 9 : 869 – 76. 18. Waterlot Y, Cantinieaux, Muller CH, Laurent EM, Vanherweghem JL, Fondu P. Impaired phagocytic activity of neutrophils in patients receiving haemodialysis : the critical role of iron overload. BMJ 1985 ; 291 : 501-4. 19. Carpenter CB, Lazarus JM. Dialysis and transplantation in the treatment of renal failure. In : Isselbacher KJ, Braunwald E, wilson JD,

20.

21.

22.

23.

24.

Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 13th ed. new York : Mc Graw-Hill ; 1994.p. 1281-92. Susalit E, Rahardjo JP, Suhardjono, Siregar P. Hemodialisis. Dalam : Daldijono, Santoso T, Rahardjo JP, editors. Gagal ginjal kronik, diagnosa dan penanggulangan. Kumpulan naskah lengkap simposium gagal ginjal kronik. Jakarta ; Percetakan Dragon ; 1987.p. 73-87. Ross EA, Barri YMH. Hemodialysis. In : Tischer CC, Wilcox CS, editors. Nephrology for the house officer. 2nd ed. Baltimore : William & Wilkins ; 1993.p. 229 –42. Cheung AK. Membrane biocompatibility. In : Nissenson AR, Fine RN, Gentile DE, editors. Clinical dialysis. 2th ed. Connecticut : Appleton & Lange ; 1990.p. 69 – 96. Tabor B, Geissler B, Odell R, Schmidt B, Blumenstein M, Schindhelm K. Dialysis neutropenia : The role of cytoskeleton. Kidney Int 1998 ; 53 : 783 – 9. Gascon A, Orfao A, Lerma JL. Antigen phenotype and cytotoxic activity of natural killer cells in hemodialysis patients. Am J Kidney Dis 1996 ; 27(3):373 – 9.

J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 124

.d o

m

w

o

.c

C

m

Respon imun gagal ginjal kronik

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

k

to

bu

y

N

O W !

PD

O W !

PD

c u -tr a c k

.c